dilakukan dengan persentase menggunakan tipe jawaban “ya” dan · 2017. 4. 1. · kepala...
TRANSCRIPT
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian tetang Evaluasi Pengembangan Potensi Wisata Ancient Track
One dengan Model CIPP di Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan, Kabupaten
Gianyar sudah pernah diadakan sebelumnya, yang berjudul Evaluasi
Pengembangan Desa Budaya Kertalangu Denpasar Sebagai Daya Tarik Wisata
oleh Panca (2016). Hasil penelitian bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan
program pengembangan Desa Budaya Kertalangu sebagai daya tarik wisata
alternative di Kota Denpasar. Secara khusus, penelitian ini disusun untuk
menjawab beberapa permasalahan pelaksanaan program pengembangan Desa
Budaya Kertalangu sebagai daya tarik wisata alternatif di Kota Denpasar dilihat
dari aspek konteks, input, proses dan produk; kendala-kendala yang dihadapi
dalam pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya Kertalangu; dan
dampak ekonomi, sosial budaya dan lingkungan pada masyarakat dari
pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya Kertalangu sebagai daya tarik
wisata alternatif di Kota Denpasar.
Terkait dengan penelitian ini menggunakan tiga teori yang dipakai dalam
pengkajiannya yakni teori evaluasi, teori pembangunan pariwisata berkelanjutan,
dan teori pengembangan destinasi pariwisata dengan model analisis CIPP
(Context, Input, Process, Product) dengan pendekatan kualitatif yang didukung
juga oleh pendekatan kuantitatif. Data kuantitatif yang didapat dari penyebaran
kuesioner, diukur dengan menggunakan skala Guttman. Perhitungan hasil
kuesioner dilakukan dengan persentase menggunakan tipe jawaban “Ya” dan
9
“Tidak”. Total jawaban “Ya” dibagi jumlah responden dikalikan 100%. Jumlah
jawaban memberikan Gambaran tanggapan responden terhadap kondisi
masyarakat Desa Kesiman Kertalangu sebagai akibat pelaksanaan program
pengembangan Desa Budaya Kertalangu.
Penelitian dilakukan di Desa Kesiman Kertalangu pada bulan April sampai
dengan bulan Juni 2015. Populasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
kepala keluarga (KK) di Desa Kesiman Kertalangu yang berjumlah 2.767 KK
(Profil Desa Kesiman Kertalangu tahun 2014). Jumlah total responden adalah 97
orang yang ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin. Penentuan responden
berdasarkan teknik disproportional stratified random sampling dan penentuan
informan dilakukan dengan teknik purposive sampling.
Pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya Kertalangu sebagai daya
tarik wisata alternatif di Kota Denpasar ditinjau dari aspek konteks, input, proses
dan produk dianalisis menggunakan analisis model evaluasi CIPP. Teknik analisis
deskriptif kualitatif digunakan untuk membahas kendala-kendala yang dihadapi
dalam pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya Kertalangu melalui
focus group discussion. Analisis ini juga digunakan untuk membahas dampak
ekonomi, sosial budaya dan lingkungan pada masyarakat sebagai akibat
pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya Kertalangu yang diperoleh
dari hasil persebaran kuesioner.
Hasil dari penelitian ini Pertama, pelaksanaan program pengembangan Desa
Budaya Kertalangu sebagai daya tarik wisata alternatif di Kota Denpasar ditinjau
dari aspek konteks menunjukkan bahwa pengembangan Desa Budaya Kertalangu
10
bertujuan untuk melestarikan lingkungan dengan memasukkan konsep ekonomi
melalui kegiatan wisata. Ditinjau dari aspek input tampak bahwa ketersediaan
personil masih minim terutama ketersediaan tenaga tari dan tabuh. Ditinjau dari
aspek proses, tampak bahwa masih banyak program-program yang belum
terlaksana, salah satunya yaitu wisata air dan bahkan terhenti seperti program spa
relaksasi. Hanya 16 program yang terlaksana dari 45 item program. Ditinjau dari
aspek produk diketahui bahwa tingkat partisipasi masyarakat masih rendah dan
pengelolaan potensi wisata masih perlu dikembangkan, meskipun tingkat
kunjungan wisatawan dapat dikatakan cukup banyak. Secara keseluruhan, Desa
Budaya Kertalangu sudah layak disebut sebagai daya tarik wisata karena kawasan
tersebut mempunyai apa yang disebut something to see, something to do dan
something to buy. Hanya saja masih ada fasilitas yang keberadaannya kurang
mendapat perhatian, salah satunya toilet. Berdasarkan kondisi tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pengelolaan Desa Budaya Kertalangu sebagai daya tarik
wisata alternatif di Kota Denpasar belum berjalan dengan optimal.
Kedua, kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program
pengembangan Desa Budaya Kertalangu sebagai daya tarik wisata alternatif di
Kota Denpasar yaitu manajemen pengelolaan yang belum optimal terutama dalam
hal promosi dan pengelolaan kebersihan kawasan; terbatasnya anggaran yang
dialokasikan untuk pengembangan potensi wisata; dan koordinasi antar pihak
pengelola dan antara pihak pengelola dengan pihak Desa Kesiman Kertalangu
belum berjalan dengan baik.
11
Ketiga, dampak pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya
Kertalangu sebagai daya tarik wisata alternatif di Kota Denpasar ditinjau dari
aspek ekonomi, sosial budaya dan lingkungan. Dari 12 indikator, 8 indikator
menyatakan berpengaruh positif terhadap kehidupan masyarakat Desa Kesiman
Kertalangu dan 4 indikator lainnya masih belum optimal. Atas kondisi ini,
pengembangan Desa Budaya Kertalangu sudah menerapkan prinsip-prinsip
pembangunan pariwisata berkelanjutan namun perlu dioptimalkan lagi.
Penelitian ini memiliki kesamaan dalam model analisis dan pendekatan
yang digunakan, namun terkait lokasi penelitian memiliki perbedaan yakni
penelitian sebelumnya berlokasi di Desa Budaya Kertalangu, Kota Denpasar
sedangkan penelitian yang dilakukan ini terkait pengembangan potensi ancient
track one berada di Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan Kabupaten Gianyar
Penelitian terhadap Desa Wisata Bedulu pernah dilakukan oleh Mananda
(2012) ini memfokuskan pada Analisis Kelayakan Desa Bedulu sebagai Desa
Wisata di Kabupaten Gianyar (Kajian Aspek Pasar dan Pemasaran). Mananda
(2012) menyatakan bahwa Desa Bedulu layak sebagai desa wisata di Kabupaten
Gianyar. Hal ini karena pengembangan Desa Bedulu layak dikembangkan karena
memiliki potensi pasar dengan jumlah kunjungan wisatawan untuk tahun 2012
sebesar 544 orang per tahun, tahun 2013 (589 orang), tahun 2014 (650 orang),
tahun 2015 (736 orang) dan tahun 2016 (859 orang) terutama dengan adanya
kerjasama dengan Golden Kriss Tour and Travel dan Talisman Tour & Travel
yang turut memberikan kontribusi untuk mengirim wisatawan menginap dan
menikmati tour yang ditawarkan oleh Desa Wisata Bedulu.
12
Dari hasil penelitian, bahwa analisis pesaing yang digunakan dalam
parameter penelitian ini t diketahui bahwa harga dan manajemen dari Desa Wisata
Bedulu lebih murah dibanding ketiga pesaing yakni Desa Wisata Mas, Desa Bona
dan Desa Kendran. Strategi-strategi yang diperoleh antara lain: Strategi penetapan
lokasi atau outlet dilakukan untuk mengenalkan produk Desa Wisata Bedulu
kepada calon wisatawan, Strategi harga yang digunakan oleh Desa Wisata Bedulu
adalah metode cost plus pricing dengan menetapkan margin yang diinginkan oleh
Desa Wisata dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan pesaing,
Product growth strategies dimana Desa Wisata Bedulu memiliki beberapa produk
jasa yang berkualitas lebih baik atau berbeda dengan produk lain, dengan tujuan
agar memiliki kesempatan untuk meningkatkan pangsa pasar dengan menarik
pelanggan yang berbeda, melakukan offensive strategy merupakan strategi yang
lebih menitik beratkan pada usaha perubahan untuk mencapai tingkat yang lebih
baik, melakukan training dibidangnya masing-masing di mana Desa Wisata
Bedulu selalu melakukan pelatihan terhadap karyawan untuk memberikan standar
pelayanan yang berkualitas dengan cepat dengan harga yang murah dan
merancang proses kerja yang efisien dan efektif yang mengacu pada SOP
(standard operating procedures).
Persamaan dalam penelitian ini dengan penelitian Mananda (2012) terletak
pada objek yang diteliti yaitu lokasi penelitian serta potensi yang dimiliki oleh
Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan dalam menunjang kegiatan pariwisata di
Kabupaten Gianyar. Penelitian Mananda (2012) fokus penelitiannya terletak pada
analisis kelayakan Desa Bedulu sebagai Desa Wisata, sedangkan penelitian ini
13
berfokus pada evaluasi pengembangan potensi wisata Ancient Track One Desa
Wisata Bedulu dan Desa Buruan sebagai salah satu wisata alternatif di Kabupaten
Gianyar.
Penelitian yang terkait dengan pengembangan tracking juga dilakukan oleh
Robert dan Eryurt (2013) dalam jurnal internasional Annual Digital Journal On
Research in Convervation And Cultural Heritage yang berjudul “Culture Routes
in Turkey”. Dalam penelitiannya Robert dan Eryurt (2013) pengembangan
pariwisata di Negara Turkey memberikan kesempatan dalam pengembangan
wisata di Pegunungan KaÇkar atau Pontic Range dan situs arkeologi di GÖbekli
Tape.
Kunjungan wisatawan ke negara Turki pada tahun 2012 menempati urutan
ke 6 dalam jumlah kunjungan wisatawan internasional dari seluruh dunia dengan
jumlah total sebanyak 35,7 juta. Dalam penelitian ini bahwa kebudayaan
masyarakat menjadi salah satu keunikan yang terdapat dalam kegiatan tracking di
wilayah Pegunungan KaÇkar atau Pontic Range dan situs arkeologi di GÖbekli
Tape. Perkembangan tracking yang cukup besar dari tahun 1999 hingga 2013
maka pihak pemerintah Negara Turkey meluncurkan sebuah aplikasi dalam
perangkat iphone sebagai salah satu panduan untuk melakukan aktivitas tracking.
Aplikasi tersebut juga membantu wisatawan dalam halnya menggunakan sistem
GPS, peta topografi, data, foto dan deskripsi fasilitas serta atraksi yang terdapat
sepanjang perjalanan tracking.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Robert dan
Eryurt (2013) adalah sama-sama meneliti potensi dalam pengembangan tracking
14
dalam menunjang aktivitas wisata namun perbedaan dalam penelitian ini terkait
dengan lokasi peneltian serta mengevaluasi kegiatan wisata tracking Ancient
Track One Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan sebagai salah satu wisata
alternatif di Kabupaten Gianyar.
Bastemur (2011) dengan judul penelitian “A New Destination For
Alternative Tourism; Lycian Way” dalam jurnal Internasional Proceedings of the
International Conference on Tourism (Icot 2011) Tourism in an Era of
Uncertainty. Lycia adalah sebuah peradaban yang terletak antara kota Fethiye dan
Kota Antalya Bays atau yang lebih dikenal sebagai Teke Peninsula di Negara
Turki. Pada tahun 1999, daerah ini dibuka untuk umum sebagai rute wisata
tracking untuk wisata alternatif.
Lycian adalah rute tracking yang biasanya dilakukan sebagai kegiatan
wisata minat khusus. Dibutuhkan sekitar satu bulan untuk perjalanan rute tracking
ini. Musim terbaik untuk melakukan kegiatan tracking adalah pada saat
musimsemi dan musim gugur. Terutama April-Mei atau September Oktober
merupakan bulan yang baik untuk melakukan kegiatan wisata tracking tersebut.
Kegiatan selama perjalanan tracking tersebut antara lain melihat keindahan
burung langka, bersepeda, berenang, wisata paralayang, arung jeram atau
menunggang kuda. Sepanjang jalan, beberapa akomodasi dapat ditemui seperti,
hotel, homestay, hostel dan wisma.
Penelitian ini menggunakan studi kasus sebagai informasi yang
dikumpulkan dari survei literatur, dan menggunakan analisis statisti, sehingga
diperlukan waktu selama 35 hari untuk mewawancarai dengan masyarakat lokal
15
dan wisatawan yang berkunjung ke rute Lycian. Hasil penelitian dengan rumusan
masalah Apa jenis kegiatan yang akan Anda lakukan saat Anda tracking di rute
Lycian?. Sebanyak 58% dari respoden datang ke wilayah tersebut hanya tracking,
25% adalah untuk berenang tempat yang berbeda, 20% adalah untuk scuba-diving
dan pariwisata kecelakaan, 31% adalah untuk survei flora dan fauna, 28% adalah
untuk melihat burung langka, 25% adalah untuk wisata budaya, berjalan di kota
tua, 22% adalah untuk olahraga panjat tebing, 23% dari responden adalah untuk
kegiatan lain seperti, parasailing, bersepeda dan wisata camping. Selain itu 67%
responden dari yang disurvei merasa sangat puas, 21% dari responden yang puas
dan 4% dari tidak puas. Ketika alasan ketidakpuasan diminta untuk 4% dari
wisatawan, jawaban mereka umumnya tentang keberadaan akomodasi.
Pengembangan wisata tracking di Lycian sudah mengalami peningkatan
yang cukup baik, diharapkan perlunya perbaikan sarana fasilitas akomodasi,
meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan dengan melakukan promosi, harus
adanya studi lanjutan terkait pengembangan wisata tracking di Lycian.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah
terletak dengan jenis kegiatan wisatanya namun dalam Pengembangan Potensi
Wisata Ancient Track One di Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan hanya
membutuhkan waktu yang singkat dan berbeda dengan rute wisata tracking di
Lycian, Turkey
Suryasih (2014) dalam penelitiannya yang berjudul Upaya Merancang
Tinggalan Prabu Udayana di Desa Pekraman Kutri Sebagai Desa Wisata
memfokuskan peneltiannya terkait dengan pengembangan potensi salah satu
16
tinggalan Prabu Udayana yaitu Pura Bukit Dharma Durga Kutri di Desa Pekraman
Kutri dan upaya pelestarian serta pemanfaatannya sebagai desa wisata.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Suryasih (2014) menyatakan Desa
Pekraman Kutri layak dikembangkan sebagai salah satu desa wisata di Kabupaten
Gianyar. Hasil dari penelitian ini adalah Potensi fisik yang dimiliki Desa
Pekraman Kutri adalah pertama,di sebelah timur mengalir Tukad Pakerisan dan di
sebelah barat mengalir Tukad Petanu, seperti diketahui kedua sungai tersebut dari
hulu hingga hilir banyak terdapat tinggalan-tinggalan arkeologis dan diprediksi
sebagai pusat peradaban Bali di masa lampau, kedua letak Desa Pekraman Kutri
dan Pura Bukit DarmaDurga Kutri yang sangat strategis di pinggir jalan protokol,
dekat dengan Kota Gianyar dan merupakan pariwisata, ketiga keindahan
panorama Pura Bukit Darma Durga Kutri jika seorang wisatawan begitu
memasuki area Pura maka akan merasakan suatu pemandangan yang tidak mereka
duga sebelumnya. Letak pura dipinggir jalan raya, akan tetapi keindahan dan
keagungan pura seperti berada di suatu area yang jauh dari keramaian, keempat,
Pura Bukit Dharma Durga Kutri memiliki puluhan arca tinggalan
arkeologis,aneka macam pepohonan dan beberapa satwa seperti burung dan
biawak, kelima Desa Pekraman Kutri sebagai bagian dari desa Buruwan dan
Kecamatan Blahbatuh sebagai satu kesatuan, memiliki keunggulan karena di desa
Buruan dan Kecamatan Blahbatuh banyak terdapat sentra kerajinan, Puri
Blahbatuh dan daya tarik wisata lainnya.
Potensi non fisik adalah pertama tradisi, adat-istiadat yang terikat sebagai
satu kesatuan sebagai desa pekraman, kedua nilai kolektivitas yang tinggi antara
17
warga Desa Pekraman Kutri, ketiga sumberdaya budaya dan sumber daya sosial
dimiliki sebagai aset pariwisata, keempat keinginan kuat warga desa pakraman
Kutri untuk mendukung desa wisata dan kelima pemerintah Kabupaten Gianyar
memiliki fokus terhadap pengembangan pariwisata. Upaya merancangan desa
pekraman Kutri sebagai desa wisata dengan ikon tinggalan Prabu Udayana dan
permaisurinya yaitu Pura Bukit Dharma Durga Kutri di Desa Buruan Kecamatan.
Blahbatuh, Kabupaten Gianyar dapat terlaksana jika potensi wisata baik fisik
maupun non fisik diidentifikasi dan nantinya dikemas sebagai heritage tourism.
Pariwisata berbasis masyarakat merupakan kunci pendekatan yang digunakan
untuk dapat mendorong dalam pengembangan secara berkelanjutan. Desa wisata
mungkin bukan satu-satunya pilihan, namun melalui desa wisata akan sangat
memberikan manfaat secara langsung bagi pelestarian Pura Bukit Dharma Durga
Kutri dan manfaat ekonomi bagi warga masyarakatnya.
Persamaan dalam penelitian ini dengan penelitian Suryasih (2014) terletak
pada objek yang diteliti yaitu lokasi penelitian serta potensi yang dimiliki oleh
Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan dalam menunjang kegiatan pariwisata di
Kabupaten Gianyar. Penelitian Suryasih (2014) fokus penelitiannya terletak pada
upaya merancang Peninggalan Prabu Udayana di Desa Pakraman Kutri Sebagai
Desa Wisata, sedangkan penelitian ini berfokus pada evaluasi pengembangan
potensi wisata Ancient Track One Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan sebagai
salah satu wisata alternatif di Kabupaten Gianyar.
Beberapa hasil penelitian lain yang juga dianggap relevan dengan penelitian
ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Putra (2005), Choirinnisa (2010), dan
18
Gautama (2011). Penelitian yang dilakukan oleh Putra (2005) bertujuan untuk
mengevaluasi perkembangan kawasan pariwisata Lovina di Kabupaten Buleleng
untuk menuju pariwisata bekelanjutan.
Penelitian ini menggunakan teknik observasi, wawancara dan data hasil
penelitian dianalisis dengan analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa fisik, ekonomi, sosial dan budaya mengalami kemunduran
sehingga berdampak pada menurunnya perekonomian masyarakat. Persamaan
penelitian ini dengan penelitian Putra (2005) yaitu sama-sama melakukan evaluasi
terhadap perkembangan suatu destinasi.Perbedaan penelitian ini terletak pada
objek yang diteliti.Penelitian Narendra dilakukan di Kawasan Pantai Lovina di
Buleleng, sedangkan penelitian ini dilakukan di Desa Wisata Bedulu dan Desa
Buruan, Kabupaten Gianyar.
Evaluasi terhadap pengembangan destinasi juga dilakukan oleh Choirinnisa
(2010). Dalam penelitiannya, Choirinnisa, menerapkan evaluasi ex-ante (pre-
programme) terhadap aspek fisik dan kelembagaan program pengembangan
destinasi Percandian Muaro Jambi. Evaluasi tersebut dilakukan sebelum
implementasi sebuah program.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi pendahuluan terhadap
aspek fisik dan kelembagaan program pengembangan destinasi Percandian Muaro
Jambi. Ada dua kriteria yang digunakan untuk menilai kelayakan program
pengembangan destinasi Percandian Muaro Jambi yaitu pertama, kualitas
Percandian Muaro Jambi sebagai destinasi wisata dan kedua, aspek kelembagaan
dari organisasi-organisasi yang menangani program pengembangan destinasi
19
Percandian Muaro Jambi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
metode penelitian dengan pendekatan kuantitatif untuk memberikan deskripsi dan
analisis terhadap kelayakan aspek fisik dan kelembagaan Program Pengembangan
Destinasi Pariwisata dengan menggunakan evaluasi pendahuluan. Data yang
terkumpul kemudian dianalisis menggunakan teknik analisis successive
approximation yang membandingkan antara data temuan dan teori untuk
menjelaskan kesenjangan yang terjadi pada suatu realitas sosial.
Penelitian yang dilakukan Choirinnisa (2010), menunjukkan bahwa
pengembangan percandian Muaro Jambi perlu disertai dengan peningkatan
kualitas amenitas dan kemudahan akses karena keduanya masih dianggap menjadi
masalah bagi wisatawan yang ingin mengunjungi Percandian Muaro Jambi.
Secara kelembagaan, kecakapan organisasi-organisasi yang mengelola program
pengembangan destinasi Percandian Muaro Jambi sudah cukup layak, namun
terdapat permasalahan dari sisi kuantitas dan kualitas SDM dan belum
berkembangnya usaha penunjang pariwisata berskala kecil, menengah dan besar.
Persamaan antara penelitian ini dengan penelitian Choirinnisa (2010) adalah
melakukan evaluasi terhadap program pengembangan suatu destinasi.
Perbedaannya terletak pada fokus penelitian dan teknik analisis datanya.
Penelitian Choirinnisa (2010) lebih fokus pada aspek fisik dan kelembagaannya
sebelum program dilaksanakan yang dianalisis dengan teknik successive
approximation dan penelitian ini lebih fokus pada aspek pengembangan potensi
wisata yang dianalisis dengan teknik deskriptif kualitatif dengan konversi data
melalui skala guttman.
20
Oka (2011), juga melakukan evaluasi perkembangan destinasi evaluasi
dilakukan terhadap perkembangan wisata bahari di Pantai Sanur. Hasil evaluasi
menunjukkan bahwa terjadi perubahan motivasi wisatawan untuk melakukan
kegiatan wisata bahari, terjadi pencemaran lingkungan, serta terjadinya
permasalahan sosial. Evaluasi dilakukan dengan cara meneliti faktor-faktor yang
menarik wisatawan untuk melakukan kegiatan wisata bahari di Pantai Sanur,
meneliti karakteristik Pantai Sanur dalam menunjang kegiatan wisata bahari dan
menganalisis langkah-langkah yang dilakukan untuk menciptakan wisata bahari
berkelanjutan.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan analisis
deskriptif kualitatif dengan peneliti sebagai alat penelitiannya. Artinya penelitian
ini mengunakan instrumen kunci dalam pengumpulan data yang dilakukan dengan
metode observasi, menyebarkan lembar pertanyaan terstruktur serta wawancara
mendalam (in-depth interview).
2.2 Konsep
Ada lima konsep yang akan dijelaskan pada subbab ini yaitu, Potensi dan
daya tarik wisata, Desa Wisata, Wisata Alternatif, dan Wisata Purbakala (Heritage
Tourism) dan Pariwisata Berbasis Masyarakat (Community Based Tourism) yang
uraian dari masing-masing konsep tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
2.2.1 Konsep Potensi Wisata dan Daya Tarik Wisata
Potensi wisata adalah berbagai sumber daya yang terdapat di sebuah
daerah tertentu yang bisa dikembangkan menjadi atraksi wisata. Potensi wisata
adalah berbagai sumber daya yang dimiliki oleh suatu tempat dan dapat
21
dikembangkan menjadi suatu atraksi wisata (tourist attraction) yang dimanfaatkan
untuk kepentingan ekonomi dengan tetap memperhatikan aspek-aspek lainnya
Pendit (1999: 21).
Undang Undang Republik Indonesia No 10 Tahun 2009 Tentang
Kepariwisataan: Pasal 1 Ayat 5 menyatakan bahwa Daya Tarik Wisata adalah
segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa
keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi
sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Sementara dalam Bab I, pasal 10,
disebutkan kawasan strategis pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi
utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang
mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan
ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayan sumber daya alam, daya dukung
lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, pada
Pasal 1 ayat (5) menyebutkan bahwa Daya Tarik Wisata (DTW) adalah “segala
sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa
keanekaragaman kekayaan alam, budaya dan hasil buatan manusia yang menjadi
sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.”
Daya tarik merupakan fokus utama dari industri pariwisata (Ismayanti,
2010). Daya tarik wisata harus dikelola sedemikian rupa agar keberlangsungan
dan kesinambungannya terjamin. Daya tarik wisata dapat dikelompokkan ke
dalam dua bagian yaitu: pertama, daya tarik wisata ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa, yang berwujud keadaan alam, serta flora dan fauna; dan kedua, daya tarik
22
wisata hasil karya manusia yang berwujud museum, peninggalan purbakala, seni
budaya dan tempat hiburan.
Menurut Sunaryo (2013:35), terkait dengan daya tarik wisata dapat dibagi
menjadi tiga jenis yaitu daya tarik wisata alam, daya tarik wisata budaya dan daya
tarik wisata minat khusus. Daya tarik wisata alam adalah sumber daya alam yang
berpotensi serta memiliki daya tarik bagi pengunjung baik dalam keadaan alami
maupun setelah ada usaha budi daya. Pada umumnya daya tarik ini lebih banyak
berbasis pada keindahan dan keunikan yang tersedia di alam. Potensi daya tarik
wisata alam dapat dibagi menjadi empat kawasan yaitu flora dan fauna, keunikan
dan kekhasan ekosistem, gejala alam dan budidaya sumber daya alam.
Daya tarik wisata budaya adalah daya tarik wisata yang berbasis pada hasil
karya dan hasil cipta manusia seperti museum, peninggalan sejarah, upacara
adat,seni pertunjukan dan kerajinan. Daya tarik wisata khusus adalah daya tarik
wisata yang dikembangkan dengan lebih banyak berbasis pada akativitas
pemenuhan keinginan wisatawan secara spesifik. Wisata ini lebih diutamakan
pada wisatawan yang mempunyai minat atau motivasi khusus seperti berburu,
mendaki gunung, arung jeram, agrowisata, pengamatan satwa tertentu dan
aktivitas-aktivitas wisata minat khusus lainnya yang biasanya terkait dengan hobi
atau kegemaran wisatawan.
Suwantoro (2004:36), menyatakan bahwa daya tarik suatu objek wisata
didasarkan atas beberapa hal di antaranya adanya sumber daya yang dapat
menimbulkan rasa senang, indah, nyaman dan bersih, adanya aksesibilitas yang
tinggi untuk dapat mengunjunginya, adanya ciri khusus atau spesifikasi yang
23
bersifat langka, adanya sarana dan prasarana penunjang untuk melayani para
wisatawan yang hadir serta objek wisata yang mempunyai daya tarik yang tinggi
baik alam maupun budaya.
Daya tarik wisata merupakan salah satu unsur yang berpengaruh dalam
pengembangan destinasi pariwisata. Jackson (dalam Pitana dan Gayatri,
2005:101), menyatakan perkembangan suatu daerah menjadi destinasi wisata
dipengaruhi oleh beberapa hal penting, di antaranya: Attractive to client (menarik
untuk klien), Facilities and attractions (fasilitas dan atraksi), Geographic location
(lokasi geografis), Transport link (transportasi), Political stability (stabilitas
politik), Healthy environment (lingkungan yang sehat), No government restriction
(tidak ada larangan atau batasan pemerintah).
Dari ketujuh unsur tersebut, atraksi atau daya tarik merupakan faktor yang
utama yang didukung oleh faktor-faktor lain. Atraksi dalam hal ini daya tarik
merupakan komponen yang sangat vital. Seperti yang diungkapkan oleh Gunn
(dalam Pitana dan Gayatri, 2005:102);
the attractions represent the most important reasons for travel todestinations
Atraksi atau daya tarik memegang peranan yang sangat penting, oleh karena
itu suatu tempat wisata (destinasi) harus memiliki keunikan yang bisa menarik
wisatawan. Fasilitas-fasilitas pendukung lainnya juga harus dipenuhi sehingga
wisatawan menjadi betah dan rela menghabiskan waktu di tempat tersebut.
Pembangunan daya tarik wisata dapat dilakukan oleh pemerintah, badan
usaha maupun perseorangan maka dapat dikatakan bahwa daya tarik dan daya
tarik wisata adalah Segala sesuatu yang terdapat di daerah tujuan wisata yang
24
merupakan daya tarik agar orang mau berkunjung (Yoeti, 1997 : 161-3). Adapun
hal-hal tersebut antara lain:
(1) Benda-benda yang tersedia di alam (natural amenities) berupa iklim,
berbentuk pemandangan alam, flora, fauna, hutan belukar, sumber air
mineral, pusat-pusat kesehatan seperti air panas.
(2) Hasil ciptaan manusia (man made supply) berupa peninggalan sejarah,
kebudayaan dan keagamaan.
(3) Tata cara hidup masyarakat (the way of life) berupa adat istiadat, dan
kebiasaan hidup masyarakat (Yoeti, 2008:242).
Ada lima syarat yang harus dipenuhi oleh suatu daerah atau daya tarik
tujuan wisata menurut Yoeti, (2008:242). yaitu:
(1) Something to see
Daerah atau tempat tersebut harus ada daya tarik dan daya tarik wisata yang
berbeda dengan yang dimiliki oleh daerah lain atau daya tarik khusus untuk dapat
dilihat atau dinikmati oleh wisatawan.
(2) Something to do
Selain banyak dapat dilihat dan disaksikan, harus pula disediakan fasilitas
rekreasi atau sesuatu yang dapat dilakukan di tempat tersebut.
(3) Something to buy
Tempat tersebut harus tersedia fasilitas untuk berbelanja (shopping) terutama
barang-barang souvenir dan kerajinan rakyat, selain itu juga tersedia pula sarana-
sarana pendukung atau pembantu lainnya.
25
(4) Something to Share
Sebuah kegiatan atraksi wisata yang dilakukan oleh wisatawan berdampak
kepada informasi serta pengalaman yang mereka dapatkan sehingga hal tersebut
dapat diinformasikan yang tentu berguna bagi wisatawan lainnya
(5) Something to Learn
Sebagai media pembelajaran baru sehingga memberikan informasi atau
pengalaman yang lebih kepada wisatawan terhadap suatu objek atau daya tarik
wisata yang dikunjungi
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan daya tarik wisata adalah
segala sesuatu yang terdapat di daerah tujuan wisata yang merupakan daya tarik
orang untuk berkunjung sehingga yang di dapatkan ketika berkunjung ialah
keindahan dan kelestarian alamnya maupun keindahan budaya sejarah di Desa
Wisata Bedulu dan Desa Buruan, Kabupaten Gianyar.
2.2.2 Konsep Pariwisata Alternatif
Pariwisata alternatif merupakan pariwisata yang kegiatannya peduli
terhadap alam, sosial-budaya dan masyarakat serta adanya interaksi dan berbagi
pengalaman anatar wisatawan dengan masyarakat lokal (Smith & Eadington,
1992:167). Kegiatan pariwisata ini muncul akibat dampak pariwisata masal
terhadap kerusakan lingkungan alam, sosial-budaya dan tidak memperhatikan
keberlanjutan dari destinasi itu sendiri. Dalam kegiatannya pariwisata alternatif
memiliki tujuan dalam pengembangan diantaranya (Suansri dalam Damanik,
2006:82):
26
a. Menciptakan kesadaran wisatawan dengan masyarakat lokal tentang
konservasi sumber daya alam, rencana pemanfaatan sumber daya
wisata secara berkelanjutan dan membangun kriteria pencegahan
dampak negatif lingkungan.
b. Menciptakan rasa bangga masyarakat lokal terhadap budayanya.
c. Mendistribusikan keuntungan wisata secara adil dan merata sehingga
pendapatan masyarakat mengalami peningkatan
d. Menjamin partisipasi masyarakat lokal dalam pariwisata,
mengembangakan kemampuan mereka untuk mengelola usaha wisata
dan menjadi pemandu wisata.
Beberapa pengertian diatas, secara umum memiliki kesamaan yang
merupakan terjemahan lebih lanjut dari pariwisata alternatif. Oleh karena itu,
kegiatan pariwisata alternatif mampu memenuhi syarat tersebut apabila:
1. Secara ekologis alternatif, yaitu pengembangan dan pembangunan
pariwisata di Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan tidak
menimbulkan efek negatif bagi ekosistem setempat. Selain itu,
konservasi sumber daya pariwisata yang ada harus diupayakan untuk
dilindungi sumberdaya alam, sosial-budaya dan lingkungan dari efek
mass tourism.
2. Secara sosial dapat diterima, dengan mengacu kepada kemampuan
masyarakat lokal dalam mengembangkan Ancient Track One di Desa
Wisata Bedulu dan Desa Buruan untuk menyerap aktivitas pariwisata
tanpa menimbulkan konflik sosial.
27
3. Secara kultural pengembangan Ancient Track One di Desa Wisata
Bedulu dan Desa Buruan. Konsep yang dikembangkan dengan adanya
Ancient Track One di Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan dapat
diterima oleh masyarakat lokal serta mampu beradaptasi dengan
budaya wisatawan yang cukup berbeda (tourist culture).
4. Secara ekonomis menguntungkan, artinya pengembangan Ancient
Track One di Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan yang diperoleh
dari kegiatan atraksi wisata tersebutr mampu mensejahterakan
masyarakat lokal.
2.2.3 Konsep Desa Wisata
Desa wisata merupakan suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi,
dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan
masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku
(Nuryanti,1993:89). Penetapan suatu desa sebagai desa wisata harus memiliki
persyaratan-persyaratan antara lain memiliki objek-objek yang menarik untuk
ditawarkan (attractions), mudah dijangkau dengan alat transportasi
(accessibilities), dan tersedia sarana pariwisata (amenities) seperti akomodasi,
restoran atau rumah makan sehingga perlu adanya dukungan dari masyarakat dan
aparat desa, serta keamanan desa tersebut terjamin.
Desa Wisata adalah dimana sekelompok kecil wisatawan tinggal dalam
atau dekat dengan suasana tradisional, biasanya di desa-desa yang terpencil dan
belajar tentang kehidupan pedesaan dan lingkungan setempat (Inskeep, 1991:75).
Maksud dari pengertian di atas adalah Desa Wisata merupakan suatu tempat yang
28
memiliki ciri dan nilai tertentuyang dapat menjadi daya tarik khusus bagi
wisatawan dengan minat khusus terhadap kehidupan pedesaan. Hal ini
menunjukkan bahwa daya tarik utama dari sebuah Desa Wisata adalah kehidupan
warga desa yang unik dan tidakdapat ditemukan di perkotaan.
“Village Tourism, where small groups of tourist stay in or near traditional,
often remote villages and learn about village life and the local
environment.”(Inskeep, 1991:75).
Pengembangan desa wisata diharapkan benar-benar mencerminkan
suasana pedesaan. Oleh karena itu, konsep penggalian produk desa wisata
diarahkan pada pengembangan interaksi budaya dari manusia ke manusia, dan
dari manusia kealam desa. Dengan demikian, beragam atraksi wisata yang dapat
dikembangkan antara lain kegiatan persawahan, ladang, kegiatan kesenian desa,
kegiatan olah raga, kegiatan upacara, dan kegiatan-kegiatan lain seperti meditasi,
pembangunan rumah, serta kegiatan adat lainnya.
Dari berbagai definisi tersebut, pengembangan desa wisata lebih
memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh suatu desa. Dalam penyediaan fasilitas
wisata juga harus mencerminkan lingkungan pedesaan. Akan tetapi,
pengembangan suatu desa wisata bukan hanya menyajikan potensi desa
sebagadaya tarik wisata. Aspek-aspek lain yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat lokal juga harus mendapat perhatian. Masyarakat sebagai bagian dari
struktur suatu desa memiliki peran penting dalam keberlanjutan desa wisata.
Dalam pengembangan desa wisata masyarakat seringkali tidak diberikan
kesempatan untuk berpartisipasi, sehingga kurang memberikan apresiasi.
Kehidupan tradisional dengan berbagai tradisi unik menjadi daya tarik unggulan
29
dalam pengembangan beberapa desa wisata. Sebagai daya tarik wisata memang
kehidupan tradisional eksistensinya perlu dijaga dan dilestarikan. Namun disisi
lain, perkembangan jaman akan dapat mempengaruhi nilai ketradisionalan.
2.2.4 Konsep Wisata Situs Purbakala (Heritage Tourism)
Sebagaian besar situs dan tinggalan arkeologi yang menjadi objek dan
daya tarik wisata di Bali kini berada di dalam area pura. Tinggalan arkeologi
tersebut dapat dikatakan sebagai living monument sehingga pemeliharaan dan
pelestariannya dilakukan secara rutin dan berkesinambungan oleh masyarakat
setempat atau pengemong pura bersangkutan (Ardika, 2007:39-40).
Atraksi utama dalam wisata heritage adalah konteks (setting) kesejarahan
dan kearifan lokal. Heritage bisa bersifat kongkrit (tangible heritage) seperti:
pemandangan alam, tempat-tempat tinggalan arkeologi, pengetahuan dan
pengalaman hidup sampai sekarang. Heritage juga bersifat abstrak (intangible
heritage), seperti cerita rakyat (folklores), bahasa, tradisi, nilai-nilai yang diwarisi
oleh suatu kelompok masyarakat (Isdaryono, 2013:67-68)
Pasal 4, ayat 2 dalam Kode Etik Pariwisata Dunia antara lain menyebutkan
bahwa kegiatan dan kebijakan pariwisata wajib diarahkan dalam rangka
penghormatan terhadap warisan kekayaan seni, arkeologi dan budaya, yang harus
dilindungi dan diserahkan kepada genersi penerus. Dalam pasal 5, ayat 1, kode
etik tersebut dinyatakan pula bahwa penduduk setempat harus diikutsertakan
dalam kegiatan ekonomis, sosial dan budaya yang mereka usakan.
Penelitian ini terkait dengan wisata situs purbakala dimana wisatawan baik
domestik dan mancanegara dapat mengetahui peninggalan arkeologi di Desa
30
Wisata Bedulu dan Desa Buruan yang dikemas dalam kegiatan atraksi wisata
tracking dari Objek Wisata Goa Gajah hingga Pura Bukit Dharma Durga Kutri
dengan nama kegiatan ancient track one dengan memiliki 12 potensi wisata situs
purbakala.
2.2.5 Konsep Pariwisata Berbasis Masyarakat (Community Based Tourism)
Konsep CBT (Community Based Tourism) berkaitan erat dengan
sustainable tourism development (pembangunan pariwisata berkelanjutan).
Keduanya memberikan pengutamaan pada manfaat pembangunan bagi
masyarakat, khususnya manfaat ekonomi, sosial budaya dan lingkungan (Richards
dan Hall, 2000:1).
Istilah CBT (Community Based Tourism) pertama kali muncul tahun 1990-
an, bersamaan dengan konsep pro-poor tourism (pariwisata pro-orang miskin),
rural tourism (pariwisata perdesaan), dan istilah lainnya yang dimaksudkan untuk
membantu pembangunan masyarakat tertinggal secara ekonomi (Moscrado,
2008:39)
Prinsip dasar CBT (Community Based Tourism) adalah membuka ruang
dan peluang yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi aktif
dalam pengembangan dan pengelolaan daya tarik di daerahnya sehingga mereka
ikut mendapatkan share serta menjaga sumber daya pariwisatanya. Mitchell dan
Ashley, (2010:54) menyatakan bahwa tujuan utama CBT (Community Based
Tourism) adalah melibatkan komunitas untuk “fully owning and operating
tourism facilities” dimana pengelolaannya fasilitas dimiliki langsung oleh
masyarakat setempat.
31
Melihat prinsip dasar tersebut maka dapat disimpulkan jika masyarakat
setempat menikmati keuntungan (benefit) atau insentif ekonomi dari pengelolaan
usaha wisata di daerahnya, mereka akan memiliki tanggung jawab moral untuk
melestarikan sumber daya alam dan sumber daya budaya yang menjadi bagian
utama dari daya tarik wisata tersebut.
Terkait dengan definisi CBT (Community Based Tourism) maka dalam
penelitian ini diharapkan pelibatan masyarakat yang berada di Desa Wisata
Bedulu dan Desa Buruan dapat berpartisipasi aktif dalam pengembangan potensi
ancient track one, sehingga memperoleh tujuan serta harapan dimana segala
pengelolaan dan potensi yang ada dapat rasakan langsung oleh masyarakat di desa
tersebut.
2.3 Landasan Teori
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori-teori yang dianggap
relevan dan mampu memecahkan permasalahan sebagaimana dirumuskan pada
Bab I yaitu Teori Evaluasi, Teori Pembangunan Pariwisata dan Teori
Pengembangan Pariwisata.
2.3.1 Teori Evaluasi
Evaluasi terkadang sering diartikan secara sempit dan bahkan tidak tepat.
Masih banyak yang memandang evaluasi itu hanya didasarkan pada kegiatan-
kegiatan atau program yang dianggap menonjol. Salah satu kesalahan yang
terjadi, misalnya evaluasi hanya dipandang sebagai sekedar penilaian semata.
Evaluasi adalah proses mengumpulkan informasi mengenai suatu objek,
menilai suatu objek, dan membandingkannya dengan kriteria, standar dan
32
Objek risetevaluasi:KebijakanProgramProyekKinerjaSDMSistemOrganisasiManajemenLain-lain
Kriteria:ManfaatEfektifitasEfisiensiKesesuaian
Standar:KualitasKuantitas
Indikator:DampakHasil,
Hasil RisetEvaluasi:Informasi objek risetevaluasi dalamkaitannya dengankriteria, standar danindikatornya
Daya Guna RisetEvaluasi:
PengambilanKeputusan MengenaiObjek Riset Evaluasi
indikator (Lamsuri dkk, 2011). Konsep evaluasi menurut Lamsuri dapat dilihat
pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1Riset Evaluasi
(Sumber: Wirawan dalam Lamsuri dkk, 2011)
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2006
tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Pembangunan, evaluasi adalah rangkaian kegiatan membandingkan realisasi
masukan (input), keluaran (output), dan hasil (outcome) terhadap rencana dan
standar. Evaluasi dilakukan dengan maksud untuk dapat mengetahui dengan pasti
apakah pencapaian hasil, kemajuan dan kendala yang dijumpai dalam pelaksanaan
rencana pembangunan dapat dinilai dan dipelajari untuk perbaikan pelaksanaan
rencana pembangunan di masa yang akan datang.
Di dalam pelaksanaannya, kegiatan evaluasi dapat dilakukan pada
berbagai tahapan yang berbeda yaitu Evaluasi pada tahap perencanaan (ex-ante),
Evaluasi pada tahap pelaksanaan (on-going) dan evaluasi pada tahan pasca-
pelaksanaan (ex-post). Evaluasi pada Tahap Perencanaan (ex-ante), yaitu evaluasi
dilakukan sebelum ditetapkannya rencana pembangunan dengan tujuan untuk
DibandingkanDengan
33
memilih dan menentukan skala prioritas dari berbagai alternatif dan kemungkinan
cara mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya.
Evaluasi pada Tahap Pelaksanaan (on-going), yaitu evaluasi dilakukan
pada saat pelaksanaan rencana pembangunan untuk menentukan tingkat kemajuan
pelaksanaan rencana dibandingkan dengan rencana yang telah ditentukan
sebelumnya. Evaluasi pada Tahap Pasca-Pelaksanaan (ex-post) yaitu evaluasi
yang dilaksanakan setelah pelaksanaan rencana berakhir, yang diarahkan untuk
melihat apakah pencapaian (keluaran/hasil/dampak) program mampu mengatasi
masalah pembangunan yang ingin dipecahkan. Ada beberapa hal yang merupakan
pokok-pokok pengertian evaluasi di antaranya mencakup: pertama, evaluasi
merupakan suatu kegiatan untuk mengamati dan menganalisis suatu keadaan,
peristiwa, gejala alam, atau sesuatu objek; kedua, membandingkan segala sesuatu
yang diamati dengan pengalaman atau pengetahuan yang telah diketahui dan atau
miliki; dan ketiga, melakukan penilaian atas segala sesuatu yang diamati,
berdasarkan hasil perbandingan atau pengukuran yang dilakukan.
Evaluasi pada Tahap Pelaksanaan (on-going), yaitu evaluasi dilakukan
pada saat pelaksanaan rencana pembangunan untuk menentukan tingkat kemajuan
pelaksanaan rencana dibandingkan dengan rencana yang telah ditentukan
sebelumnya.Evaluasi pada Tahap Pasca-Pelaksanaan (ex-post) yaitu evaluasi yang
dilaksanakan setelah pelaksanaan rencana berakhir, yang diarahkan untuk melihat
apakah pencapaian (keluaran/hasil/dampak) program mampu mengatasi masalah
pembangunan yang ingin dipecahkan.
34
Ada beberapa hal yang merupakan pokok-pokok pengertian evaluasi di
antaranya mencakup: pertama, evaluasi merupakan suatu kegiatan untuk
mengamati dan menganalisis suatu keadaan, peristiwa, gejala alam, atau sesuatu
objek; kedua, membandingkan segala sesuatu yang diamati dengan pengalaman
atau pengetahuan yang telah diketahui dan atau miliki; dan ketiga, melakukan
penilaian atas segala sesuatu yang diamati, berdasarkan hasil perbandingan atau
pengukuran yang dilakukan. Dari pengertian-pengertian tentang evaluasi yang
telah dikemukakan, dalam penelitian ini, evaluasi yang dimaksud yaitu sebuah
proses atau kegiatan yang dilakukan untuk mengamati dan menganalisis suatu
keadaan untuk diketahui sejauhmana pelaksanaan kegiatan tersebut berjalan,
kendala-kendala yang dihadapi serta dampak yang ditimbulkan sebagai akibat dari
pelaksanaan kegiatan tersebut.
Evaluasi merupakan salah satu komponen penting dari sistem manajemen.
Adanya evaluasi ini, maka akan diketahui bagaimana kondisi suatu objek yang
dievaluasi baik dari program, pelaksanaan maupun hasilnya. Kegiatan evaluasi
merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari kegiatan perencanaan
program. Tujuan evaluasi harus selaras dengan tujuan yang ingin dicapai yang
telah dinyatakan dalam perencanaan programnya. Seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya, tujuan evaluasi adalah untuk melihat seberapa jauh tujuan porgram
yang telah dapat dicapai, dan seberapa jauh telah terjadi penyimpangan dalam
pelaksanaan program dibanding dengan perencanaannya.
Penjelasan terhadap evaluasi di suatu kegiatan, dapat dilakukan dengan
menerapkan beberapa jenis model evaluasi. Tayibnapis, 2008 (dalam Mardikanto
35
dan Soebiato, 2013:91), mengemukakan bahwa model evaluasi ada beberapa
macam di antaranya model evaluasi CIPP (context, input, process, product),
evaluasi model UCLA, model Brinkerhoff, model stake atau model countenance.
Model CIPP (context, input, process, product) membagi evaluasi menjadi
empat macam yaitu context evaluation to server planning decision, input
evaluation structuring decision, process evaluation to serve implementing
decision, dan product evaluation to serve recycling decision. Evaluasi model
UCLA, diperkenalkan oleh Alkin, 1969:51 yang membagi evaluasi menjadi lima
macam yaitu System Assessment, Programme Planning, Programme
Implementation, Programme Improvement, dan Programme Certification.
Model Brinkerhoff, diperkenalkan oleh Brinkerhoff & C.s, (1983:131)
dimana mengemukakan tiga golongan evaluasi yaitu fixed and emergent
evaluation, formative vs sumative evaluation, dan esperimental dan Quasi
experimental design vs natural/unobstrusive inquiry. Model Stake atau model
Contenance, yang menekankan dua dasar evaluasi yaitu desciption dan judgement
serta adanya tiga tahap program yaitu antecedents (context), transaction (process)
dan outcomes (output).
Penelitian ini, menggunakan model evaluasi yaitu model evaluasi CIPP
(context, input, process, product). Model evaluasi ini dikembangkan oleh Daniel
Stufflebeam, 2003:57. Model ini banyak digunakan oleh para evaluator karena
model evaluasi ini lebih komprehensif jika dibandingkan dengan model evaluasi
lainnya. Model evaluasi ini dalam perkembangannya telah disempurnakan dan
36
digunakan oleh berbagai disiplin ilmu. Stufflebeam, 2003 (dalam Zhang, dkk,
2011:61) menyebutkan bahwa:
CIPP (context, input, process, product) evaluation models is acomprehensive framework for conducting formative and summativeevaluations of projects, personnel, products, organizations, and evaluationsystems
Model evaluasi CIPP (context, input, process, product) merupakan kerangka
kompreherensif untuk melakukan evaluasi formatif dan evaluasi sumatif terhadap
proyek, personil, produk, organisasi maupun evaluasi sistem. Taylor (dalam
Mardikanto, 2013:89) menyebutkan bahwa evaluasi formatif adalah evaluasi yang
dilaksanakan terhadap program atau kegiatan yang telah dirumuskan, sebelum
program atau kegiatan itu sendiri dilaksanakan. Evaluasi sumatif merupakan
kegiatan evaluasi yang dilakukan setelah program selesai dilaksanakan.
CIPP merupakan singkatan dari context, input, process dan product.
Keempat model evaluasi tersebut merupakan satu rangkaian yang utuh tetapi
dalam pelaksanaannya seorang evaluator tidak harus menggunakan
keseluruhannya. Hal yang menjadi unik dari model tersebut adalah pada
setiaptahap evaluasi terdapat perangkat pengambilan keputusan dan operasi
sebuah program.
Wirawan (2012), menguraikan keempat aspek model CIPP(context, input,
process, product) sebagai berikut :
1) Evaluasi konteks (Context)
Berisi tentang analisis kekuatan dan kelemahan obyek tertentu. Dengan
kata lain evaluasi konteks (context evaluation) memberikan informasi bagi
37
pengambil keputusan dalam perencanaan suatu program yang akan
dilaksanakan.
2) Evaluasi masukan (Input)
Merupakan evaluasi yang bertujuan untuk menyediakan informasi
bagaimana menggunakan sumber daya yang tersedia, sarana dan fasilitas
yang dimiliki serta alternatif-alternatif strategi yang harus
dipertimbangkan untuk mencapai suatu program.
3) Evaluasi proses (Process)
Evaluasi ini digunakan untuk melihat apakah pelaksanaan program
sudahsesuai dengan strategi yang telah dilaksanakan.
4) Evaluasi produk (Product)
Evaluasi ini merupakan evaluasi mengukur keberhasilan pencapaian
tujuan. Tahap evaluasi ini bertujuan untuk mengukur, menginterpretasikan
dan menilai pencapaian program.
Penelitian ini, teori evaluasi model CIPP (context, input, process, product)
digunakan untuk memberikan Gambaran tentang pelaksanaan pengembangan
potensi wisata ancient track one di Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan sebagai
salah satu wisata alternatif di Kabupaten Gianyar. Pelaksanaan tersebut sudah
sejalan atau menyimpang dari kegiatan yang telah ditetapkan dan pelaksanaan
pengembangan potensi wisata tracking melihat sudah terealisasi atau belum, maka
dapat diketahui dengan analisis melalui teori ini.
38
2.3.2 Teori Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan
Pariwisata berkelanjutan adalah sebuah proses dan sistem pembangunan
pariwisata yang dapat menjamin keberlangsungan atau keberadaan sumber daya
alam, kehidupan sosial-budaya dan ekonomi hingga generasi yang akan datang.
Pada prinsipnya, pariwisata berkelanjutan adalah pariwisata yang
aktivitasnya tetap memperhatikan keseimbangan alam, lingkungan, budaya dan
ekonomi agar pariwisata tersebut terus berlanjut. Maka pengelolaannya harus
memberikan keuntungan secara ekonomi bagi seluruh pihak terkait baik itu
pemerintah, sektor swasta, serta masyarakat setempat.
Pariwisata berkelanjutan merupakan terjemahan lebih lanjut dari
pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan, menurut The World
Commissions for Environmental and Development (WCED) didefinisikan
sebagai:
meeting the needs of the present, without compromising the ability of futuregenerations to meet their own needs
Pembangunan berkelanjutan menurut pemahaman WCED merupakan
pembangunan yang dapat “menjamin pemenuhan kebutuhan generasi sekarang
tanpa mempertaruhkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi
kebutuhan mereka sendiri” (Arida, 2009:16).
Ada beberapa kriteria atau syarat yang harus dipenuhi agar kegiatan wisata
dianggap berkelanjutan (Sunaryo, 2013:40) yaitu pertama, mampu berlanjut
secara lingkungan yaitu pembangunan pariwisata tidak menimbulkan efek negatif
bagi ekosistem setempat. Selain itu, konservasi merupakan kebutuhan yang
39
harusdiupayakan untuk melindungi sumberdaya alam dan lingkungan dari efek
negatifkegiatan wisata (environmentally sustainable).
Kedua, secara sosial dan kultural dapat diterima yaitu mengacu kepada
kemampuan masyarakat lokal untuk menyerap aktivitas pariwisata tanpa
menimbulkan konflik sosial dan masyarakat lokal mampu beradaptasi dengan
budaya wisatawan yang cukup berbeda (socially and culturally acceptable).
Ketiga, secara ekonomis menguntungkan dan layak, artinya keuntungan
yang diperoleh dari kegiatan pariwisata dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat (economically viable). Keempat, memanfaatkan teknologi yang layak
atau pantas untuk diterapkan di wilayah lingkungan tersebut (technologically
appropriate).
Secara ringkas, pemahaman mengenai kegiatan pariwisata berkelanjutan
dapat diGambarkan ke dalam model ilustrasi sebagai berikut:
Gambar 2.2Model ilustrasi parameter sustainable development
(Sumber: Sunaryo, 2013:45)
40
Ilustrasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembangunan pariwisata
berkelanjutan pada intinya berkaitan dengan usaha menjamin agar sumber daya
alam, sosial dan budaya dengan menggunakan teknologi yang pantas
dimanfaatkan untuk pembangunan pariwisata pada generasi ini agar dapat
dinikmati untuk generasi yang akan datang. Seperti yang disebutkan dalam
Piagam Pariwisata Berkelanjutan, bahwa Pembangunan pariwisata berkelanjutan,
adalah pembangunan yang dapat didukung secara ekologis sekaligus layak secara
ekonomi, juga adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat (Sunaryo,
2013:58). Pembangunan berkelanjutan adalah upaya terpadu dan terorganisasi
untuk mengembangkan kualitas hidup dengan cara mengatur penyediaan,
pengembangan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya secara berkelanjutan.
Penelitian ini, mengaplikasikan teori pembangunan pariwisata
berkelanjutan untuk menganalisis kendala-kendala yang terjadi sebagai akibat
pengembangan Ancient Track One di Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan.
Konsep yang dikembangkan dengan adanya Ancient Track One di Desa Wisata
Bedulu dan Desa Buruan merupakan bentuk dari pariwisata alternatif dengan
menerapkan prinsip-prinsip pengembangan pariwisata budaya berbasis kerakyatan
dan berkelanjutan.
2.3.3 Teori Pengembangan Destinasi Pariwisata.
Pengembangan pariwisata merupakan suatu rangkaian upaya untuk
mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan berbagai sumber daya pariwisata
mengintegrasikan segala bentuk aspek di luar pariwisata yang berkaitan secara
langsung maupun tidak langsung akan kelangsungan pengembangan pariwisata.
41
Pengembangan suatu daerah untuk menjadi suatu daerah tujuan wisata,
agar menarik untuk dikunjungi oleh wisatawan potensial, maka harus memiliki
tiga syarat (Mariotti, 1985 dan Yoeti, 1987 dalam Sunaryo, 2013), yaitu: pertama,
daerah tersebut harus mempunyai apa yang disebut dengan “Something to see”.
Maksudnya, destinasi tersebut harus mempunyai daya tarik khusus yang bisa
dilihat oleh wisatawan, di samping itu juga harus mempunyai atraksi wisata yang
dapat dijadikan sebagai “entertainments” bila orang datang untuk
mengunjunginya.
Kedua, daerah tersebut juga harus mempunyai “something to do”.
Artinya, harus disediakan juga beberapa fasilitas rekreasi atau amusements dan
tempat serta wahana yang bisa digunakan oleh wisatawan untuk beraktivitas
seperti olahraga, kesenian maupun kegiatan yang lain yang dapat membuat
wisatawan menjadi betah tinggal lebih lama. Ketiga, daerah tersebut juga harus
mempunyai“something to buy”. Di tempat tersebut harus tersedia barang-barang
cinderamata (souvenir) seperti halnya kerajinan rakyat setempat yang bisa dibeli
wisatawan sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang ke tempat asal wisatawan.
Keempat, “something to share” dimana daerah juga memiliki sebuah
kegiatan atraksi yang menyuguhkan pengalaman kepada wisatawan sehingga ada
keinginan kembali (repeat) ke objek atau daya tarik yang mereka kunjungi serta
yang Kelima, “something to learn” daerah atraksi sebagai media pembelajaran
baru sehingga memberikan informasi atau pengalaman yang lebih kepada
wisatawan terhadap suatu objek atau daya tarik tersebut.
42
Menurut Rev Ron O’Grady (dalam Suwantoro, 2004), pengembangan
pariwisata harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu :
1) Decision making about the form of tourism in any place must be made inconsultation with the local people and be acceptable to them.
2) A reasonable share of the profits derived from tourism must return to thepeople.
3) Tourism must be based on sound enviromental and ecological principles, besensitive to local cultural and religious traditions and should not place anymembers of the host community in a position of inferiority.
4) The number of tourism visiting any area should not be such that they overshelmthe local population and deny the posibility of genuine human encounter.
Mengembangkan sebuah destinasi pariwisata, seorang perencana (tourism
planner) paling tidak harus memperhatikan dua lingkup pengembangan yang
saling melengkapi, yaitu lingkup pengembangan spasial dan tingkatan
pengembangan dari destinasi tersebut. Memperhatikan lingkungan pengembangan
spasial dalam pengertian ini adalah seorang perencana pengembangan destinasi
harus memahami dan memperhatikan latar belakang kontekstual dan lingkungan
makro dari destinasi yang akan dikembangkan menurut Sunaryo, (2013:168)
Secara visual, strategi pengembangan destinasi yang berbasis pada
kesesuaian dengan lingkungan makro dalam pengembangan kepariwisataan dapat
diilustrasikan dalam Gambar 2.3 berikut ini:
Gambar 2.3Strategi Kesesuaian Destinasi dengan Lingkup Makro
Sunaryo, (2013)
TheDestinastion
Strategy
MacroEnvironment
IndustryEnvironment
43
Keberhasilan tingkat pengembangan destinasi didasarkan pada beberapa
aspek yaitu pengembangan suatu destinasi harus dapatditerima oleh masyarakat
lokal dan bahkan keterlibatannya sangat diharapkan. Keterlibatan dimaksud lebih
pada pemanfaatan tenaga lokal dalam setiap kegiatan sehingga masyarakat lokal
merasakan dampak ekonomi dari pengembangan destinasi tersebut.Selain itu,
pengembangan tersebut harus memperhatikan aspek-aspek lingkungan yang ada.
Jangan sampai pengembangan destinasi malah memberikan efek negatif terhadap
lingkungan alam yang ada termasuk lingkungan sosial masyarakat sekitar.
Kondisi ini tentu dapat dijadikan indikator akan keberhasilan
pengembangan suatu destinasi. Sebagaimana disampaikan oleh Suwantoro (2004),
bahwa pengembangan destinasi dapat dikatakan berhasil jika memenuhi beberapa
kriteria kelayakan, yaitu kelayakan finansial, kelayakan sosial ekonomi regional,
layak teknis, dan layak lingkungan.
Kelayakan finansial berarti kelayakan ini menyangkut perhitungan
secarakomersial dari pembangunan objek wisata tersebut. Perkiraan keuntungan
dan kerugian sudah harus diperkirakan dari awal dan berapa lama waktu yang
dibutuhkan untuk mengembalikan modal yang telah digunakan. Kelayakan sosial
ekonomi regional dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana pengembangan
destinasi ini mampu memberikan dampak sosial ekonomi secara regional. Artinya
dapat menciptakan lapangan kerja, meningkatkan penerimaan devisa, dapat
meningkatkan penerimaan sektor yang lain seperti pajak, perindustrian dan
perdagangan, pertanian dan lain-lainnya. Dalam hal ini, tidak hanya semata-mata
komersial tetapi juga memperhatikan dampak secara lebih luas.
44
Layak teknis artinya pengembangan destinasi ini harus dapat
dipertanggungjawabkan secara teknis dengan melihat daya dukung yang ada.
Begitu halnya dengan layak lingkungan, artinya analisis mengenai dampak
lingkungan dapat digunakan sebagai acuan kegiatan pengembangan suatu
destinasi.
Pengembangan destinasi yang menyebabkan rusaknya lingkungan harus
dihentikan pembangunannya. Pengembangan destinasi bukanlah merusak
lingkungan namun harus dapat besinergi serta dapat memanfaatkan sumber daya
alam untuk kebaikan manusia dan meningkatkan kualitas hidup manusia sehingga
menjadi keseimbangan, keselarasan dan keserasian hubungan antara manusia
dengan manusia, manusia dengan lingkungan alam dan manusia dengan Tuhan.
Teori ini digunakan untuk menganalisis layak atau tidaknya
pengembangan ancient track one di Desa Wisata Bedulu disebut sebagai daya
tarik wisata alternatif di Kabupaten Gianyar. Hal ini mengacu pada potensi yang
dimiliki oleh Desa Wisata Bedulu dengan adanya pengembangan ancient track
one yang belum dimiliki oleh desa-desa lainnya di Kabupaten Gianyar
2.4 Model Penelitian
Guna menjawab rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas,
memerlukan sebuah model penelitian atau kerangka konsep berpikir. Penelitian
ini diawali dengan pemahaman bahwa pariwisata di Bali merupakan salah satu
sektor unggulan selain sektor pertanian dan sektor industri kecil dan menengah.
Pariwisata yang dikembangkan adalah pariwisata berbasis budaya. Namun,
pengembangan pariwisata di Bali pada umumnya cenderung dilakukan semata-
45
mata untuk kepentingan ekonomi dan mengabaikan kelestarian lingkungan
dankepentingan masyarakat lokal.
Melihat kondisi tersebut, setiap daerah berupaya untuk mengembangkan
pariwisata alternatif. Berbagai wisata alternatif muncul untuk menjamin
keberlanjutan pariwisata itu sendiri. Salah satunya yaitu upaya yang dilakukan
oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar dalam bukunya yang berjudul
“Gianyar Historical and Archaeological Guide To The Pakerisan and Petanu
Rivers” berupaya mengembangkan Ancient Track One (Tracking Situs Budaya) di
Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan sebagai daya tarik wisata alternatif di
Kabupaten Gianyar dan diharapkan mampu menjadi daya tarik wisata unggulan.
Pada kenyataannya, dalam perkembangannya kondisi fisik dan lingkungan
sekitar tracking ini dapat dikatakan kurang terawat dan belum mampu
berkembang dengan optimal. Terdapat fasilitas-fasilitas yang terbengkalai dan
tidak termanfaatkan kembali maka untuk itulah perlu dilakukan evaluasi kembali
terkait pengembangan tracking tersebut.
Melihat permasalahan tersebut, maka digunakanlah konsep untuk
memberikan batasan terhadap penelitian ini. Konsep yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu, konsep potensi wisata dan daya tarik wisata, konsep desa
wisata, konsep wisata purbakala (heritage tourism) dan pariwisata berbasis
masyarakat (community based tourism). Teori yang digunakan untuk menjawab
dan menganalisis permasalahan dalam penelitian ini yaitu teori-teori yang
dianggap relevan diantaranya teori evaluasi, teori pembangunan pariwisata
berkelanjutan dan teori pengembangan destinasi pariwisata.
46
Mengacu pada teori tersebut, maka diharapkan pengembangan potensi
Ancient Track One di Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan sebagai wisata
alternatif di Kabupaten Gianyar yang dianalisis dengan model CIPP (Context,
Input, Process, Product) dapat dievaluasi dengan jelas. Selain itu, kendala-
kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pengembangan Ancient Track One di
Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan dengan melakukan evaluasi terhadap
pelaksanaan program pengembangan tracking ini, maka akan didapatkan suatu
rekomendasi yang nantinya dapat dimanfaatkan untuk mewujudkan Desa Wisata
Bedulu dan Desa Buruan sebagai daya tarik wisata alternatif di Kabupaten
Gianyar.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat diGambarkan kerangka konsep
atau model penelitian mengenai evaluasi pengembangan potensi wisata ancient
track di Desa Wisata Bedulu dan Desa Buruan sebagai salah satu wisata alternatif
di Kabupaten Gianyar, seperti pada Gambar 2.4. berikut ini
47
Gambar 2.4Model Penelitian
Pariwisata Alternatif
EvaluasiPengembangan
Ancient Track OneWisata Tracking
Situs Budaya DesaWisata Bedulu dan
Desa Buruan
Wisata Tracking SitusBudaya Desa Wisata
Bedulu dan Desa Buruan
Konsep:Konsep Potensi
Wisata Dan DayaTarik WisataKonsep Desa WisataKonsep Daya Tarik
Wisata AlternatifKonsep Wisata Situs
Budaya (HeritageTourism)Konsep Pariwisata
BerbasisMasyarakat(Community BasedTourism)
Teori:Teori EvaluasiTeori
PembangunanPariwisataBerkelanjutanTeori
PengembanganDestinasiPariwisata
Kendala-kendalapengembangan
PelaksanaanPengembangan
Hasil Penelitian
Rekomendasi
Analisis