diktat kuliah genetika ikan

27
BAB I PENDAHULUAN Mata kuliah genetika ikan yang dibahas ini lebih menitik beratkan pa kajian genetika kuantitatif pada spesies ikan sebagai obyek uraian mata k tersebut. Cakupan dalam genetika kuantitatif ini menjelaskan peranan prog seleksi, program hibridisasi maupun peranan bioteknologi (program sex rev ) untuk memperoleh stok induk unggul dalam upaya meningkatkan produksi usah budidaya ikan. Tujuan genetika ikan yang diterapkan pada budidayaikan adalah peningkatan produksi ikan. Pertama, untuk meningkatkan ukuran ikan yang dibudidayakan. Kedua, untuk meningkatkan produksi khususnya berat tubuh i yang dihasilkan. Umumnya terdapat dua ara untuk upaya peningkatan produksi. Pertama, dengan manipulasi lingkungan, seperti misalnya penggunaan pakan buatan, atau perbaikan pengelolaan kualitas air. Kedua, mengusahakan perbaikan pertumbuhan ikan seara genetik.. !pabila kedua ara terseb dilaksanakan, produksi ikan yang diharapkan akan dapat terapai. "eberapa program breeding dapat digunakan untuk memperbaiki suatu populasi ikan seara genetik. Selective breeding dan crossbreeding (dikenal sebagai hibridisasi) merupakan dua program genetik ikan tradisional yang lama digunakan para breeder (petani pemijah ikan) untuk memperbaiki genetik pertumbuhan ikan. Inbreeding sering dikombinasikan dengan hibridisasi untuk memperbaiki hasil akhir program crossbreeding . #edangkan pada perkembang terakhir program bioteknologi yang sering diikutkan dalam upaya menetak induk unggul adalah program sex reversal (pengalihan kelamin seara hormonal). Selective breeding adalah program breeding yang menoba untuk memperbaiki nilai genetik populasi dengan seleksi dan hanya mengg persilangan ikan$ikan yang terbaik (ukuran besar, bobot paling berat, %ar bagus) dengan harapan bah%a induk$induk ikan terseleksi akan mampu me%ariskan superioritasnya kepada keturunannya. &ika hal ini terjadi, gen

Upload: elsa-nurhani

Post on 06-Oct-2015

47 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

BAB I

1

BAB I

PENDAHULUAN

Mata kuliah genetika ikan yang dibahas ini lebih menitik beratkan pada kajian genetika kuantitatif pada spesies ikan sebagai obyek uraian mata kuliah tersebut. Cakupan dalam genetika kuantitatif ini menjelaskan peranan program seleksi, program hibridisasi maupun peranan bioteknologi (program sex reversal) untuk memperoleh stok induk unggul dalam upaya meningkatkan produksi usaha budidaya ikan.

Tujuan genetika ikan yang diterapkan pada budidaya ikan adalah peningkatan produksi ikan. Pertama, untuk meningkatkan ukuran ikan yang dibudidayakan. Kedua, untuk meningkatkan produksi khususnya berat tubuh ikan yang dihasilkan. Umumnya terdapat dua cara untuk upaya peningkatan produksi. Pertama, dengan manipulasi lingkungan, seperti misalnya penggunaan pupuk, pakan buatan, atau perbaikan pengelolaan kualitas air. Kedua, mengusahakan perbaikan pertumbuhan ikan secara genetik.. Apabila kedua cara tersebut dapat dilaksanakan, produksi ikan yang diharapkan akan dapat tercapai.

Beberapa program breeding dapat digunakan untuk memperbaiki suatu populasi ikan secara genetik. Selective breeding dan crossbreeding (dikenal sebagai hibridisasi) merupakan dua program genetik ikan tradisional yang telah lama digunakan para breeder (petani pemijah ikan) untuk memperbaiki genetik pertumbuhan ikan. Inbreeding sering dikombinasikan dengan hibridisasi untuk memperbaiki hasil akhir program crossbreeding. Sedangkan pada perkembangan terakhir program bioteknologi yang sering diikutkan dalam upaya mencetak stok induk unggul adalah program sex reversal (pengalihan kelamin secara hormonal).

Selective breeding adalah program breeding yang mencoba untuk memperbaiki nilai genetik populasi dengan seleksi dan hanya menggunakan persilangan ikan-ikan yang terbaik (ukuran besar, bobot paling berat, warna paling bagus) dengan harapan bahwa induk-induk ikan terseleksi akan mampu mewariskan superioritasnya kepada keturunannya. Jika hal ini terjadi, generasi berikutnya akan memiliki pertumbuhan cepat, dan pada akhirnya akan meningkatkan produksi ikan. Ikan akan lebih efisien sebagai usaha budidaya, memiliki biaya pakan relatif rendah atau ikan akan memiliki warna tubuh yang diinginkan sehingga meningkatkan nilai penjualan.

Crossbreeding adalah program breeding yang mencoba untuk menemukan kombinasi antara populasi yang berbeda untuk menghasilkan superioritas pertumbuhan terhadap keturunan sehingga keturunan akan menampakkan hybrid vigour. Program crossbreeding umunya melibatkan strain-strain yang berbeda dalam satu spesies (intraspecific hybridization), namun spesies-spesies ikan yang berbeda juga dapat dihibridisasikan (interspecific hybridization). Hibridisasi diantara spesies ikan Tilapia yang berbeda bertujuan untuk menghasilkan hibrid-hibrid ikan yang semuanya jantan dan memiliki pertumbuhan relatif lebih tinggi dari parentnya.

Pada perkembangan tahun terakhir ini, peranan bioteknologi sangat menguntungkan upaya perbaikan genetik ikan. Salah satu yang telah diaplikasikan pada program breeding adalah produksi stok induk hasil kegiatan sex reversal untuk memproduksi populasi-populasi monoseks yang memiliki sifat pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan parentnya. Ikan Tilapia jantan merupakan jenis ikan yang diinginkan dalam budidaya dari pada ikan betinanya karena pertumbuhannya dua kali lipat dibanding ikan betina. Produksi stok induk hasil kegiatan sex reversal umumnya dilakukan dengan cara pemberian hormon seks (estrogen atau androgen) melalui makanannya untuk mencegah terjadinya differensiasi kelamin pada tahap burayak (fry). Efektivitas penggunaan hormon seks tergantung pada sistem penentu kelamin pada spesies ikan tersebut dan apakah yang diharapkan semuanya berjenis kelamin jantan atau betina.

BAB II

SELEKSI FENOTIF KUANTITATIF

Fenotip kuantitatif penting untuk produksi seperti misalnya panjang, berat, konversi pakan dan jumlah telur per kg berat induk betina merupakan sifat genetik ikan yang memiliki keuntungan ekonomis. Seleksi fenotip kuantitatif pada ikan bertujuan untuk menyisihkan alel-alel yang tidak diharapkan dalam suatu populasi ikan. Fenotif kuantitatif dikendalikan oleh banyak gen (poligenik) sehingga tidak dapat dianalisa secara sederhana seperti halnya fenotif yang hanya dikendalikan oleh satu atau dua gen saja.

Aditive genetic variance merupakan komponen genetik yang terpenting untuk varian fenotif dan dapat dieksploitasi dengan program selective breeding. Sedangkan dominance genetic variance dapat dieksploitasi dengan program crossbreeding (hibridisasi).

2.1. Genetik Fenotif Kuantitatif

Fenotif-fenotif kuantitatif secara genetik merupakan ekspresi gen yang sangat kompleks. Tidak seperti fenotif kualitatif yang dikontrol oleh gen tunggal, suatu fenotif kuantitatif dikontrol oleh 20 atau 50 atau bahkan 100 gen lebih. Jumlah gen-gen yang mengontrol fenotif kuantitatif ini tidak diketahui, demikian pula modus operasi ekspresi gen tersebut juga tidak diketahui.

Setiap gen dapat membantu menghasilkan fenotif kuantitatif yang menunjukkan macam-macam sifat sehingga menampakkan adanya variasi ekspresi yang terus menerus. Adanya variasi secara terus menerus ini disebabkan oleh dua hal yaitu :

(1) setiap gen mengikuti hukum Mendel dan kedua alel pada tiap-tiap lokus

memisah selama proses meiosis sehingga gamet yang terbentuk hanya akan menerima satu dari alel tersebut;

(2) semua fenotip umumnya dipengaruhi oleh faktor lingkungan sehingga muncul

sifat yang bervariasi.

Oleh karena banyaknya fenotif kuantitatif yang menampakkan variasi terus menerus maka cara untuk mempelajarinya adalah dengan menggunakan analisis varian yang terdapat dalam populasi dan memilah-milahkan ke dalam komponen genetik. Komponen genetik yang terlibat dalam fenotif kuantitatif adalah varian fenotif (VP), varian genetik (VG) dan varian lingkungan (VE). Varian fenotif merupakan jumlah dari varian genetik (VG), varian lingkungan (VE) dan interaksi yang terdapat diantara varian genetik dan varian lingkungan (VG-E).

VP = VG + VE + VG-E

Varian genetik merupakan komponen yang sangat besar sekali pengaruhnya terhadap fenotif kuantitatif karena obyek dari setiap program breeding adalah untuk mengeksploitasi atau untuk merubah genetik suatu populasi dalam upaya memperbaiki produktivitas. Pengukuran varian genetik harus melibatkan varian genetik aditif (VA), varian genetik dominan (VD) dan varian genetik epistatik (VI). Dengan demikian VG merupakan jumlah VA, VD dan VI.

VG= VA + VD + VISub komponen VG tidak dapat disebut sebagai aksi aditif, dominan dan aksi gen epistatik. Varian genetik aditif (VA), VD dan VI merupakan komponen komponen varian fenotif, bukan merupakan modus aksi gen untuk gen tertentu.

Perbedaan diantara VA, VD dan VI merupakan ekspresi sifat yang harus diwariskan kepada keturunannya dalam program pemuliaan ikan. Setiap perbedaan sifat diwariskan dengan cara yang berbeda sehingga program breeding yang berbeda diperlukan untuk mengeksploitasi setiap tipe varian genetik yang dapat memperbaiki produktivitas.

Varian genetik dominan adalah varian yang ditimbulkan dari interaksi alel-alel pada setiap lokus. Hal ini disebabkan adanya pemisahan pasangan alel selama meiosis. Varian genetik dominan tidak dapat diwariskan dari induknya kepada keturunan, namun harus ditimbulkan lagi pada setiap generasi yang baru. Interaksi pasangan alel-alel dominan ini dapat berubah dan terpisah oleh peristiwa segregasi dan pindah silang (crossing over) selama meiosis, sehingga varian genetik dominan ini tidak dapat secara otomatis diwariskan dari induk kepada anaknya.

Varian genetik epistatik merupakan varian yang ditimbulkan dari interaksi alel-alel diantara 2 atau lebih lokus. Peristiwa pemisahan alel dan segregasi selama meiosis mengakibatkan varian genetik epistatik tidak dapat diwariskan dari induk kepada anaknya, sehingga harus diupayakan kembali agar muncul pada stiap generasi yang baru.

Varian genetik aditif merupakan komponen genetik yang ditimbulkan oleh pengaruh aditif (pengaruh yang kuat) dari gen-gen. Varian genetik aditif merupakan kumpulan dari pengaruh semua alel-alel yang terdapat dalam lokus. Varian ini tidak tergantung pada interaksi spesifik atau kombinasi alel-alel, sehingga varian genetik aditif tidak terpisah selama proses meiosis. Dengan demikian varian genetik aditif diwariskan secara permanen dari induk kepada anaknya. Oleh karena pada pelaksanaanya varian genetik epistatik sulit untuk dieksploitasi, komponen genetik penting pada fenotif kuantitatif adalah varian genetik dominan (VD) dan varian genetik aditif (VA).

Ekspresi sifat kuantitatif dalam varian genetik dominan tergantung pada interaksi alel sehingga harus dieksploitasi dengan program hibridisasi untuk menimbulkan kembali kombinasi pasangan alel yang bersifat dominan. Sebaliknya varian genetik aditif tidak tergantung dari interaksi alel, karena varian tersebut merupakan fungsi alel yang akan terekspresi langsung dari induk kepada anaknya. Varian genetik aditif dapat dieksploitasi dengan program seleksi.

2.2. Seleksi Dan Varian Genetik Aditif

Seleksi merupakan program breeding dalam individu atau famili yang terpilih dalam upaya untuk merubah rata-rata populasi pada generasi berikutnya. Seleksi didasarkan atas nilai ekspresi fenotif kuantitatif minimal. Ikan yang menunjukkan nilai fenotif kuantitatif diatas nilai minimal dapat digunakan sebagai calon induk terpilih, sedangkan yang menunjukkan ekspresi dibawah nilai minimal harus disisihkan.

Seleksi dimaksudkan untuk merubah fenotif kuantitatif dari rata-rata populasi dengan cara mengeksploitasi genetik aditif yang bertanggung jawab terhadap pewarisan sifat yang menguntungkan dari induk kepada anaknya. Segregasi dan pemisahan alel selama meiosis mengurangi genotif dari kondisi diploid ke kondisi haploid sehingga dapat merubah varian genetik dominan, namun tidak akan merubah varian genetik aditif karena merupakan fungsi dari alel.

Ikan-ikan yang menunjukkan superioritasnya disebabkan varian genetik aditif mampu mewariskan pengaruh-pengaruh superioritas tersebut sehingga eksploitasi varian ini yang sangat nyata dalam pelaksanaan program seleksi. Apabila diketahui varian genetik aditif suatu fenotif kuantitatif maka akan lebih mudah memprediksikan rata-rata fenotif pada generasi berikutnya didasarkan atas rata-rata calon induk ikan terseleksi. Dengan demikian varian genetik aditif ini disebut sebagai varian nilai breeding.

2.3. Heritabilitas

Proporsi jumlah varian genetik aditif (VA) penting untuk diketahui oleh karena dapat diprediksikan apakah program seleksi tersebut efektif. Jumlah varian genetik yang terdapat dalam fenotif kuantitatif dari suatu populasi sangat menentukan keberhasilan program seleksi. Apabila jumlah varian tersebut kecil maka nilai yang dapat dieksploitasi juga kecil sehingga menyulitkan program seleksi. Proporsi jumlah varian fenotif kuantitatif (VP) yang dikontrol oleh VA disebut heritabilitas (h2).

h2 = VA / VPHeritabilitas menggambarkan proporsi VP yang diwariskan dan dapat diprediksikan serta dapat dipertanggungjawabkan karena h2 merupakan komponen genetik yang tidak terpisahkan selama meiosis. Jika nilai h2 diketahui maka akan lebih mudah memprediksi respon seleksi dengan menggunakan rumus :

R = Sh2Dimana R adalah respon seleksi, S adalah diferensial seleksi dan h2 adalah proporsi jumlah VA. Heritabilitas menunjukkan prosentase pewarisan fenotif kuantitatif dan tergantung dari VA yang merupakan komponen genetik penentu. Nilai heritabilitas berkisar diantara 0 dan 1,0. Besar kecilnya nilai heritabilitas akan memnentukan prediksi berat rata-rata populasi pada generasi berikutnya. Bilamana nilai heritabilitas lebih kecil dari 0,15 (h2 = 15 %), pengubahan untuk memperbaiki berat rata-rata populasi dengan program seleksi akan lebih menyulitkan. Semakin besar nilai heritabilitas, pengubahan berat rata-rata populasi dengan seleksi semakin mudah dan efektif.

Salah satu contoh penerapan respon seleksi (R) dapat dilaksanakan pada usaha budidaya ikan. Apabila seorang petani ikan lele ingin mengadakan seleksi dari stok populasi induk ikan lele dengan berat rata-rata populasi 454 g per ekor dan petani mengharapkan dari program seleksi tersebut dapat terpilih 50 ekor induk betina dengan rata-rata berat 604 g dan 40 ekor induk jantan dengan berat rata-rata 692 g, maka dengan menggunakan rumus respon seleksi akan dapat diketahui perkiraan berat rata-rata pada generasi berikutnya. Penghitungan R dilakukan melalui tiga tahap.

Tahap pertama : memperoleh nilai h2 pertumbuhan (dalam hal ini nilainya telah diketahui untuk ikan lele sebesar 0,50)

Tahap kedua : menghitung diferensial atau perbedaan seleksi, sebagai berikut :

S = berat rata-rata terseleksi ( + berat rata-rata terseleksi ( rata-rata populasi

2

S = 604 g + 692 g 454 g

2

S = 194 g

Tahap ketiga : menghitung respon seleksi

R = Sh2

R = (194g) (0,50)

R = 97 g

Berat rata-rata populasi berikutnya (F1 = keturunan pertama hasil persilangan dari induk-induk ikan lele terseleksi) menjadi :

F1 = berat rata-rata populasi + respon seleksi

F1 = 454 g + 97 g

F1 = 551 g

Peningkatan nilai heritabilitas dapat dilakukan dengan seleksi berat rata-rata induk ikan untuk mengetahui standar deviasi dan koefisien variasi berat rata-rata populasi. Populasi dengan standar deviasi dan koefisien variasi besar lebih memudahkan pengeksploitasian varian genetik (termasuk VA), oleh karena jumlah variasi perbedaan berat rata-rata individu yang terseleksi dengan berat rata-rata populasi semakin besar perbedaannya sehingga memudahkan seleksi.

Seleksi untuk mengumpulkan populasi dengan koefisien variasi sifat pertumbuhan yang besar merupakan salah satu jalan untuk memperbaiki produktivitas budidaya ikan. Rata-rata koefisien variasi untuk fenotif pertumbuhan calon induk ikan mas (Common carp) adalah 22 a5, sedangkan untuk ikan Tilapia sebesar 27 %. Nilai heritabilitas (h2) untuk kecepatan pertumbuhan spesies ikan mas sebesar 0,49 (h2 = 49 %) untuk induk berumur 1 tahun dan untuk induk berumur 2 tahun sebesar 0,50 ( 0,008. Besarnya nilai heritabilitas ini menunjukkan respon terhadap seleksi juga meningkat.

2.4. Standar Deviasi (SD) Dan Koefisien Variasi (CV) Seleksi

Meskipun heritabilitas merupakan salah satu faktor yang menentukan apakah seleksi akan efektif atau tidak, standar deviasi dan koefisien variasi seleksi juga berperanan menentukan apakah populasi mempunyai variasi fenotif yang cukup untuk mencapai target melalui seleksi. Standar deviasi memberikan gambaran jelas mengenai ukuran fonotif kuantitatif terendah.

Standar deviasi dan koefisien variasi seleksi memberikan peluang untuk mencapai prosentase peningkatan kualitas keturunan. Fenotif kuantitatif populasi dengan standar deviasi dan koefisien variasi besar akan mempermudah seleksi. Variasi yang dapat dimanfaatkan dalam populasi yang memiliki standar deviasi dan koefisien variasi kecil sangat sedikit dan nilainya tidak akan jauh berbeda dengan ukuran rata-rata dalam populasi tersebut. Sebagai contoh, jika ada dua populasi ikan memiliki berat rata-rata 400 g dimana satu populasi memiliki standar deviasi 10 g (CV = 2,5 %), sedangkan populasi yang satunya lagi memiliki standar deviasi 100 g (CV = 2,5 %), maka seleksi akan lebih efektif dalam populasi yang memiliki standar deviasi 100 g. Kemudahan seleksi pada populasi dengan standar deviasi yang besar dikarenakan dalam populasi tersebut memiliki perbedaan variasi yang lebih besar.

Standar deviasi seleksi memberikan gambaran tentang intensitas seleksi untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pada populasi yang memiliki standar deviasi dan koefisien variasi seleksi kecil, maka intensitas seleksi akan lebih tinggi apabila dibandingkan dengan populasi yang memiliki SD dan CV yang besar. Sebagai contoh, intensitas seleksi akan mencapai 50 % ketika SD 0,7 kg (CV = 70 %), dan sebaliknya intensitas seleksi dapat meningkat mencapai 95 % ketika SD 0,3 kg (CV = 30 %). Hal ini menunjukkan bahwa seleksi akan lebih sering dilakukan ketika nilai SD mengecil, dan sebaliknya seleksi akan lebih jarang dilakukan ketika nilai SD meningkat.

BAB III

HIBRIDISASI

2.1 Program Hibridisasi

Apabila dalam program seleksi, nilai koefisien variasinya kecil atau varian genetik aditif yang dapat dieksploitasi kecil, maka tidak memungkinkan untuk memperbaiki suatu fenotif kuantitatif dengan seleksi. Salah satu teknik yang dapat dipergunakan untuk memperbaiki produktivitas tersebut adalah program hibridisasi (crossbreeding). Hibridisasi memperbaiki produktivitas dengan cara mengeksploitasi varian genetik dominan (VD). Prinsip dasar hibridisasi adalah menimbulkan kembali kombinasi-kombinasi baru pasangan alel-alel yang berinteraksi. Bilamana dalam pasangan alel-alel yang berinteraksi terdapat alel dominan yang besifat superior maka akan memperbaiki produktivitas. Kombinasi persilangan induk ikan harus diperbanyak untuk memperoleh keturunan hibrid superior.

Beberapa hasil kombinasi persilangan dalam program hibridisasi dapat memproduksi keturunan hibrid superior yang memperbaiki produktivitas. Sebagai contoh beberapa hibrid Channel catfish memberikan peningkatan pertumbuhan sebesar 10-18% dibanding dengan populasi tanpa hibridisasi (Dunham dan Smitherman, 1985; Chappel, 1979). Hibridisasi akan lebih memberikan pengaruh perbaikan dan nilai tambah genetik, apabila dilakukan dalam famili, atau lebih menguntungkan lagi dilakukan antar strain yang hidup pada lokasi yang berbeda. Kenyataan tersebut terbukti dari keturunan hasil persilangan strain-strain hibrid pada Cyprinus carpio yang hidup pada daerah yang berbeda menunjukkan kecepatan pertumbuhan lebih baik (peningkatan berat tubuh sebesar 29%) dibandingkan hasil persilangan secara normal (Komen et al., 1993).

Superioritas keturunan hibrid dapat diukur sebagai nilai heterosis (hybrid vigour) yang dapat mengevaluasi prosentase peningkatan pertumbuhan relatif keturunan hibrid tersebut. Efek heterosis (H) dapat ditampakkan pada persilangan crossbreeding antara channel catfish (berat rata-rata 460 g) dan blue catfish (berat rata-rata 440 g), memberikan nilai heterosis sebesar 18% pada berat rata-rata hibrid (Chappel, 1979; Tave 1986).

2.2. Penggunaan Hibridisasi

Eksploitasi varian genetik dominan tidak tergantung pada varian genetik aditif, sehingga hibridisasi dapat digunakan untuk memperbaiki produktivitas apakah nilai heritabilitasnya kecil atau besar. Ketika nilai heritabilitas kecil, hibridisasi sering digunakan sabagai salah satu cara praktis untuk memperbaiki produktivitas karena seleksi tidak efisien. Hibridisasi dapat diikutkan dalam program seleksi sebagai tahap persilangan akhir untuk menimbulkan peningkatan ekspresi pertumbuhan ikan.

Apabila dalam program seleksi telah ditentukan galur populasi kontrol dan galur populasi terseleksi, maka pada akhir seleksi dapat dimasukkan program hibridisasi antara galur kontrol dan terseleksi untuk mendapatkan keturunan hibrid yang terbaik. Hibridisasi juga digunakan untuk memperoleh strain baru yang unggul ataupun untuk menghasilkan keturunan yang memiliki ukuran fenotif kuantitatif seragam karena metodanya yang efisien. Penggunaan hibridisasi juga dimaksudkan untuk menghasilkan populasi ikan yang monoseks dan digunakan untuk mempertahankan populasi yang tidak mampu bereproduksi kembali. Chappel (1979) melaporkan bahwa hibridisasi dapat memperbaiki performan pertumbuhan Channel catfish, dimana beberapa hibrid ikan tersebut memberikan peningkatan pertumbuhan sebesar 10 18 %. Lebih lanjut Dunham dan Simtherman (1985) mengemukakan bahwa hibridisasi memperbaiki produksi telur dan starin baru. Sebagai contoh Dunham dan Smitherman (1985) dalam penelitiannya menghasilkan strain AU-MK-3 untuk spesies Channel catfish dari hasil hibridisasi Channel catfish strainMarion x Kansas. Populasi hibrid F1 strain Marion x Kansas yang disilangkan satu sama lain menghasilkan hibrid F2 strain Marion x Kansas yang kemudian akan disilangkan antara sesamanya untuk menghasilkan generasi hibrid ketiga (F3 strain Marion Kansas = AU-MK-3) Generasi ketiga dari keturunan hibrid ini memiliki suatu kecepatan pertumbuhan terbesar, rata-rata pemijahan tercepat (sekitar 3 tahun) dan produksi benih lebih banyak dibandingkan generasi terdahulu.

Auburn University-Marion ( x Auburn University-Kansas ( (AU-M) (AU-K)

F1 : (AU-MK-1)

(AU-MK-1 x AU-MK-1)

F2 : AU-MK-2

SELEKSI

AU-MK-2 x AU-MK-2

F3 : AU-MK-3

Hibridisasi akan lebih memberikan pengaruh perbaikan genetik apabila dilakukan di dalam famili. Hibridisasi antara Channel catfish x blue catfish akan lebih menunjukkan peningkatan pertumbuhan dan kelangsungan hidup dari pada hibridisasi antara kedua spesies itu dengan white catfish yang dikarenakan adanya perbedaan jumlah kromosom. Jumlah kromosom Channel catfish dan blue catfish 58 kromosom, sedangkan jumlah kromosom white catfish 48 kromosom. Tidak selamanya hibridisasi antar spesies (interspecific) lebih baik dari pada hibridisasi antar strain (intraspecific).

2.3 Heterosis

Salah satu cara memperbaiki produksi hibrid-hibrid F1 intraspesifik adalah melihat nilai heterosis positifnya (hybrid vigour) pada budidaya ikan dengan membandingkan hibridisasi antara strain-strain hatchery (panti benih ikan) dan strain-strain alami. Sebagai contoh penelitian-penelitian hibridisasi dengan Channel catfish menunjukkan bahwa :

Strain hatchery x strain hibrid F1 hatchery 80 % heterosis + Strain hatchery x strain hibrid F1 alami 30 % heterosis +Superioritas atau inferioritas keturunan hibrid diukur sebagai heterosis (H) atau hybrid vigour. Heterosis (H) dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

H = (Rata-rata hibrid F1 Rata-rata induk ) x 100 %

Rata-rata induk

Sebagai contoh, dilakukan persilangan antara Channel catfish, blue catfish dan resiprok hibridnya untuk mengevaluasi pertumbuhan relatif catfish. Pada saat panen (umur pemeliharaan 18 bulan) dicatat berat rata-rata masing-masing kelompok sebagai berikut :

KelompokBerat rata-rata (g)

Channel catfish460

Blue catfish440

Channel catfish ( x blue catfish (600

Blue catfish ( x Channel catfish (462

Penghitungan nilai heterosis dilakukan dalam tiga tahap :

Tahap pertama : hitung berat rata-rata kelompok induk ?

Berat rata-rata kelompok induk = 460 g + 440 g / 2

Berat rata-rata induk = 450 g

Tahap kedua : hitung berat rata-rata hibrid ?

Berat rata-rata hibrid = 462 g + 600 g / 2

Berat rata-rata hibrid = 531 g

Tahap ketiga : hitung heterosis ?

H = (531 g 450 g) x 100 %

450 g

H = 18 %

2.4. Inbreeding

Inbreeding merupakan program pemuliaan yang berpengaruh terdahap produktivitas. Persilangan antara ikan-ikan yang memiliki hubungan kekeluargaan dikenal sebagai inbreeding. Secara genetik, inbreeding dilakukan untuk menciptakan keturunan homosigot. Individu-individu yang kekerabatannya dekat akan mewarisi sifat yang sama dari induknya karena alel-alel terbagi dengan jumlah yang sama seperti pasangan alel-alel semula (dari induknya).

Seleksi, migrasi, mutasi dan penyimpangan genetik mengubah frekuensi gen, akan tetapi inbreeding tidak mengubah frekuensi gen. Persilangan yang dekat kekerabatannya akan menambah kehomosigotan, karena mengubah frekuensi genotif dengan penambahan alel yang homosigot dan pengurangan alel yang heterosigot. Hal ini menyebabkan variasi genotif bertambah sehingga variasi fenotif juga bertambah.

Individu yang heterosigot umumnya menyimpan alel resesif perusak. Jika alel ini terekspresi akan menghasilkan bentuk abnormal atau fenotif letal. Oleh karena inbreeding menciptakan homosigot dengan memasangkan alel yang sama karena pewarisan induk, kemungkinan besar jarang sekali alel resesif perusak berpasangan dan terekspresi pada individu inbreed dibandingkan dengan persilangan induk yang jauh hubungan kekerabatannya. Namun demikian tidak ada kepastian bahwa keturunan inbreed akan selalu abnormal.

2.4.1. Aplikasi Inbreeding

Kajian penelitian aplikasi inbreeding yang menggunakan spesies ikan menunjukkan bahwa inbreeding mereduksi produktivitas, namun demikian inbreeding dengan metoda tertentu masih dapat digunakan untuk memperbaiki genetik populasi. Metoda tersebut dikenal sebagai program line breeding. Program line breeding dilakukan ketika individu yang unggul (biasanya jantan) disilangkan dengan keturunannya. Hal ini dilakukan agar supaya sifat unggul pada individu jntan tersebut menambah kontribusi gen pada gene pool keturunannya.

Aplikasi kedua dari inbreeding adalah untuk membuat galur inbreed yang akan dihibridisasikan sehingga menghasilkan hibrid-hibrid generasi pertama (F1) yang memiliki sifat tumbuh relatif lebih baik. Dua atau lebih dari galur inbreed tersebut disilangkan satu sama lain untuk menggabungkan alel-alel tertentu. Ketika galur inbreed disilangkan, hibrid-hibrid keturunannya akan identik dan seragam sifatnya. Hal inilah yang menjadi tujuan dari program crossbreeding. Inbreeding dengan dua atau lebih galur yang diikuti program hibridisasi merupakan metoda klasik untuk memproduksi keturunan yang pertumbuhannya seragam.

Dua tipe line breeding yang umum digunakan dalam perbaikan keturunan hibrid adalah mild linebreeding dan intense linebreeding. Pada program mild linebreeding, hasil persilangan generasi pertama (hibrid turunan pertama) disilangkan dengan individu lain untuk menghasilkan hibrid turunan kedua yang selanjutnya disilangkan dengan individu lain untuk menghasilkan turunan hibrid ketiga. Turunan hibrid ketiga tersebut kemudian disilangkan dengan individu lain untuk menghasilkan turunan hibrid keempat. Persilangan terakhir dilakukan dengan menyilangkan turunan hibrid keempat dengan individu jantan unggul yang dipakai sebagai parent (induk pertama) yang diharapkan mewarisi keunggulannya dengan prosentase yang besar.

Program kedua adalah intense line breeding yang selalu menggunakan persilangan individu unggul sebagai pejantan dengan individu lain pada setiap generasi yang diharapkan akan memperbesar pengaruh penurunan sifat unggul pada hasil keturunan. Hasil keturunan hibrid generasi pertama disilangkan dengan individu unggul sebagai pejantan untuk menghasilkan keturunan hibrid kedua yang mewarisi sifat unggul dan selanjutnya disilangkan kembali dengan individu jantan unggul untuk menambah keunggulannya pada keturunan hibrid ketiga. Persilangan terakhir dilakukan antara hibrid keturunan ketiga dengan individu jantan unggul sehingga akan diperoleh keturunan keempat yang akan mewarisi hampir 100 % keunggulan pejantan (sebagai induk unggulan).

Mild linebreeding :

Parent :A x B (A=jantan unggul)

Keturunan I : C x D (C merupakan hibrid keturunan I mewarisi 50 % ke-

unggulan A)

Keturunan II : E x G (E merupakan hibrid keturunan kedua mewarisi 25 %

keunggulan A)

Keturunan III : H x I (H merupakan hibrid keturunan III mewarisi 12,5 %

keunggulan A)

Keturunan IV : A x J (J merupakan hibrid keturunan IV mewarisi 6,25 %

keunggulan A)

K (Keturunan K memperoleh sumbangan keunggulan A se-

besar 6,25 % + 100 % / 2 = 53,12 %)

Intense linebreeding :

Parent : A x B (A=jantan unggul)

Keturunan I : A x C (C merupakan hibrid keturunan I mewarisi

50 % keunggulan A)

Keturunan II A x D (D merupakan hibrid keturunan II mewarisi

75 % keunggulan A)

Keturunan III A x E (E merupakan hibrid keturunan III yang

mewarisi 87,5 % keunggulan A)

G (keturunan G memperoleh sumbangan keunggulan

A sebesar 87,5 % + 100 % / 2 = 93,75 %)

2.4.2. Cara Penghitungan Inbreeding

Nilai inbreeding dapat dihitung dengan menggunakan tehnik yang disebut path analysis, yaitu dengan menyajikan garis keturunan dalam bentuk diagram path dan menentukan inbreeding individu dengan memasukkan kemungkinan perbedaan path dengan satu atau lebih common ancestor (tetua/induk pertama).

A B

D D

B G A

G

A E

E

C C

Garis keturunan Diagram path

Setiap anak panah pada diagram path menunjukkan sebuah gamet yang menerima 50 % genom induk (orang tuanya). Inbreeding individu ditentukan dengan menggunakan rumus :

FX = ( ((0,5)N (1 + FA)(dimana : Fx = inbreeding individu

( = simbol dari penjumlahan

N = jumlah individu yang termasuk dalam diagram path

FA = inbreeding common ancestorJika FA = 0, maka rumus di atas menjadi :

FX = ( ((0,5)N(Individu G menunjukkan keturunan yang inbreed karena satu dari tetuanya terlihat pada kedua sisi maternal (garis betina) dan paternal (garis jantan). Individu A adalah tetua (common ancestor) dari individu G. Nilai inbreeding G diperoleh dengan cara menelusuri jalur dari G ke A. Penelusuran ini untuk mencari panjangnya garis pewarisan dari setiap generasi, mulai dari A sampai G. Hal ini dapat dilakukan dari salah satu orang tua G, kemudian ditelusuri jalan menuju A, selanjutnya dari A ke orang tua G yang lain. Untuk menghitung FG harus ditelusuri jalan dari D ke E melalui A.

D (1)

G A (2)

E (3)

Pada jalur penelusuran tersebut terdapat 3 individu yang berhubungan dengan G (N = 3). Individu A bukan inbreed karena merupakan common ancestor. Nilai FG dapat dicari dengan menggunakan rumus :

FG = (0,5)N

FG = (0,5)3 = 0,125

Jadi keturunan G yang merupakan inbreed mewarisi kehomosigotan individu A sebagai tetua sebesar 12,5 %.

2.4.3. Pengaruh Ukuran Populasi Pada Inbreeding

Inbreeding yang tidak disengaja dan penyimpangan genetik selalu terjadi dalam populasi hatchery karena populasi tersebut kecil dan lingkungannya tertutup. Kedua hal ini akan merusak variasi populasi genetik dan menurunkan produktivitas. Pengaruh yang tidak menguntungkan ini dapat diatasi dengan jumlah persilangan yang efektif (efective breeding = NE). Jumlah NE tergantung dari jumlah induk yang disilangkan, rasio seks, cara persilangan dan variasi ukuran famili.

Apabila tidak dilakukan seleksi induk ikan, maka persilangan yang dapat dilakukan ada dua cara yaitu persilangan secara acak (random) dan persilangan antar keturunan. Jumlah breeding efektif yang harus digunakan pada populasi dengan persilangan secara acak dapat dihitung dengan rumus :

4 (( () (( ()

Ne =

(( () (( ()

dimana : Ne = jumlah breeding efektif

( ( = jumlah induk betina

( ( = jumlah induk jantan

Jumlah breeding efektif merupakan suatu konsep yang sangat penting dalam manajemen populasi, karena memberikan petunjuk tentang stabilitas genetik populasi. Apabila Ne menurun, inbreeding dan variasi perubahan frekuensi gen akan meningkat. Jumlah breeding efektif ini berbanding terbalik dengan inbreeding.

Bilamana Ne dalam suatu populasi menurun dan berakibat pada penurunan produktivitas, maka upaya yang harus ditempuh adalah menambah Ne sebesar mungkin dan memijahkan induk dengan rasio seks lebih tinggi. Pengaruh rasio seks terhadap inbreeding ditunjukkan dengan rumus :

1 1

F = +

8 (( () 8 (( ()

Cara ketiga untuk memaksimalkan Ne adalah mengubah persilangan random (acak) menjadi persilangan kekerabatan (antar keturunan). Persilangan antar keturunan berbeda dengan persilangan acak. Pada persilangan keturunan setiap betina meninggalkan satu anak betina dan setiap jantan meninggalkan satu anak jantan yang akan dipergunakan sebagai broodstock (calon induk). Sistem breeding ini dapat menggandakan Ne tanpa menambah ukuran populasi. Cara perhitungan Ne dengan persilangan keturunan menggunakan rumus :

16 (( () (( ()

Ne =

3 (( () + (( () atau (( () + 3 (( ()

Jika rasio seks dalam persilangan tersebut lebih banyak induk betina maka digunakan faktor pembaginya adalah 3 (( () + (( (), sebaliknya apabila dalam persilangan terdapat lebih banyak induk jantan, digunakan faktor pembagi (( () + 3 (( (). Ne bertambah bila menggunakan persilangan keturunan karena menambah variasi genetik dengan jaminan bahwa telur-telur yang dihasilkan selalu tersedia pada generasi mendatang.

Jika populasi breeding tidak menambah ukuran populasi, satu-satunya cara untuk menambah produktivitas adalah mengubah rasio seks atau mengubah persilangan keturunan. Cara tersebut dikenal sebagai efektif breeding efisien (Nb).

Ne

Nb =

N

Nb adalah efektif breeding efisien dan N adalah ukuran populasi. Efektif breeding efisien dapat memberikan petunjuk bagaimana caranya mengelola dan mengatur hatchery dengan baik terutama dalam hal penyediaan stok calon induk bermutu yang diusahakan agar tingkat inbreeding dapat diminimalisasi. Persilangan keturunan dapat diperbaiki dengan menggunakan Nb apabila rasio seks induk jantan dan betina adalah 50 : 50.

BAB IV

MEKANISME SEX REVERSAL PADA GENETIKA IKAN

Umumnya pada ikan,, diferensiasi seksual terjadi selama awal perkembangan telur sampai burayak (fry) dan dikontrol oleh konfigurasi kromosom pada nukleus telur yang dibuahi. Konfigurasi kromosom yang tersusun atas kromosom eks XX akan terekspresi menjadi individu betina dan untuk komposisi kromosom seks XY terekspresi menjadi individu jantan. Pada ikan memiliki mekanisme yang sama untuk kontrol seks dengan ekspresi individu betina yang umumnya homogametic sex. Namun pada Oreochromis aureus (ikan nila) ekspresi individu jantan merupakan homogametic sex.

4.1. Penentu Kromosom Seks

Baik pada mamalia maupun ikan, penentuan seks kelamin sangat dipengaruhi oleh kromosom dan bukan oleh lingkungan. Pada umumnya, kromosom betina adalah XX dan jantan adalah XY. Kromosom Y merupakan kromosom yang mewariskan faktor penentu seks kelamin pada mamalia. Jika misalkan individu memiliki 2 kromosom X dan 1 kromosom Y maka jenis kelaminnya adalah jantan. Namun umumnya individu hanya memiliki 1 kromosom X dan kromosom Y yang tidak berkembang dianggap sebagai individu betina.

Perkembangan gonad dan penentuan jenis kelamin pada mamalia (termasuk ikan) diatur oleh kromosom Y. Jika tidak terdapat kromosom Y, gonad berkembang menjadi ovari. Hormon-hormon estrogenik yang diproduksi oleh ovari mampu menginduksi Mullerian duct menjadi vagina, serviks, uterus dan oviduk. Jika terdapat kromosom Y, maka kromosom Y akan mengatur pembentukan faktor penentu testis. Faktor penentu testis yang terbentuk akan menginduksi perkembangan gonad menjadi testis (yang materialnya diambil dari bahan calon pembentuk ovari). Oleh karena testis yang terbentuk, maka akan disekresikan dua hormon utama. Pertama adalah Anti Mullerian Duct Hormone (dikenal sebagai AMH = Anti Mullerian Hormone) yang merupakan hormon perusak jaringan yang menginduksi perkembangan uterus, oviduk, serviks dan vagina. Hormon kedua adalah testosteron yang memaskulinisasi calon sel pembentuk gonad, menstimulasi pembentukan penis, skrotum dan bagian anatomi jantan lainnya. Secara rinci pada Gambar 1 di bawah diuraikan proses penentuan jenis kelamin oleh kromosom Y.

Kromosom Y mesoderm pada gonad

Faktor yang belum berkembang

Penentu Testis

Testis Ovari

Sel Leydig Sel Sertoli Sel Teka Sel Granulosa

Wolfian duct Breast tissue

Testosteron AMH Estrogen

Mamary glands

Epididimis, Dihydrotestosterone ( Vas deferens, Mullerian Uterus, oviduk,

Seminal vesicle Urogenital Penis duct serviks, vagina

Gambar 1. Urutan kejadian yang menjurus pada pembentukan fenotif seks pada

mamalia. Keberadaan kromosom Y pada gonad yang belum ter-

deferensiasi (indifferensiasi) menyebabkan pengubahan menjadi testis.

Sel-sel testis mensekresikan hormon-hormon yang menyebabkan

diferensiasi menjadi fenotif jantan. Ketiadaan kromosom Y, gen-gen

ovarium beraksi untuk membentuk ovari dan menginduksi adanya

perkembangan fenotif seks betina (Gilbert, 1991)

4.2. Gen-gen Pada Kromosom Y

Beberapa gen yang terdapat dalam kromosom seks telah ditemukan dan memiliki fungsi untuk diferensiasi seksual normal. Diferensiasi gonad yang belum terdiferensiasi tergantung pada ekspresi gen-gen kromosom Y yang terdapat dalam sel-sel epitelium seks. Diferensiasi testis merupakan ekspresi penentu eks pada kromosom Y di dalam sel-sel sertoli. Oleh karena sel sertoli merupakan tipe sel pertama testis yang berdiferensiasi, hal ini yang meungkinkan gen penentu seks kromosom Y dan semua kejadian lainnya pada pembentukan testis.

Pada manusia, gen untuk faktor penentu testis (TDF = Testis Determining Factor) yang terletak pada lengan pendek kromosom Y merupakan gen pembentuk ekspresi individu jantan.

Gen penentu testis pada kromosom Y diperlukan, namun tidak cukup untuk menginduksi perkembangan testis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gen pada kromosom Y berkoordinasi dengan gen-gen autosomal tertentu. Gen penentu testis terletak pada daerah 35.000 bp pada kromosom Y yang terletak sebelum pseudoautosomal. Pada daerah ini ditemukan suatu urutan DNA spesifik jantan yang menyandi suatu peptida dari 223 asam-asam amino. Gen ini disebut sebagai sex determining region Y (SRY) yang menyandi faktor penentu testis yang bekerja sebelun atau sesudah atau selama diferensiasi testis.

Satu dari gen-gen yang diatur oleh faktor penentu testis adalah gen untuk AMH (Anti Mullerian Hormone). Hormon ini diproduksi oleh sel-sel sertoli testis dan merupakan salah satu produk utama dari jaringan testis. Gen penentu testis pada kromosom Y mencit (Tdy) dapat bekerjasama dengan gen penentu testis autosomal (Testis determining autosomal = Tda-1).

Gen penentu perkembangan ovarium adalah gen Od (Ovarian determining) yang terletak pada kromosom X atau pada suatu autosom. Gen Od ini berfungsi untuk mengaktivasi gen berikutnya (gen Od-1) pada jalur perkembangan ovarium . Gen Od-1 ini dapat mengaktivasi gen dalam germ cell line untuk menginduksi aktivasi perkembangan ovarium di dalam sel-sel gonad.

Gen pertama pada jalur perkembangan testis adalah faktor penentu pada testis (Tdy). Gen ini bekerja terlebih dahulu dari pada gen Od dan bertindak dalam dua fungsi. Pertama, mengaktivasi gen berikutnya (Td-1) dalam jalur testis dan gen Td-1 ini kemudian menekan aktivitas gen Od. Akibat mekanisme operasi gen ini, testis akan terbentuk. Jika terdapat gen Tdy, akan terbentuk testis, dan sebaliknya ovari akan terbentuk jika tidak ada gen Tdy. Model ini memungkinkan pewarisan pembalikan seks (sex reversal) yang disebabkan oleh hilangnya koordinasi antara gen Tdy dan alel-alelnya. Hilangnya koordinasi ini mungkin pertanda timing ekspresi gen. Pada Gambar 2 di bawah ini disajikan model penentuan jenis kelamin (Gilbert, 1991).

(a) Gen Tdy menginisiasi perkembangan testis

Sel-sel germ Od Prospermatogonia

XY ( inisiasi perkembangan testis oleh ekspresi

Gen Tdy Testis

Sel-sel gonad Tdy Td-1 Sel sertoli

(b) Jika tidak ada gen Tdy, gen Od menginduksi perkembangan ovari

Sel-sel germ Od Oosit meiotik

induksi per-

XX ( kembangan ovari oleh gen Od Ovari

Sel-sel gonad Od-1 Sel-sel granulosa

(c) Ekspresi gen Od dan represi gen Tdy menjurus pada sex reversalSel-sel germ Od

XY ( Represi gen Tdy Ovari

Sel-sel gonad Tdy Od-1 Sel granulosa

Gambar 2. Jika terdapat gen Tdy, gen Od akan direpresi sehingga terjadi insiasi perkembangan

testis oleh ekspresi gen Tdy (a). Jika tidak terdapat gen Tdy, gen Od menginduksi

perkembangan ovari karena ekspresi dari gen Od tersebut (b). Bilamana gen Tdy

yang akan terekspresi ditekan (oleh perlakuan hormon), gen Od akan terekspresi

dan menginduksi gen Od-1 untuk membentuk ovari (mekanisme sex reversal)

DIKTAT KULIAH GENETIKA IKAN

GENETIKA FENOTIF KUANTITATIF

Oleh

Ibnu Dwi Buwono, Ir.,MSi.

JURUSAN PERIKANAN

FAKULTAS PERTANIAN

BANDUNG 2001 KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Alloh Yang Maha Esa atas tersusunnya buku pegangan kuliah genetika ikan ini. Buku tersebut lebih dimaksudkan untuk mempermudah pemahaman mahasiswa terhadap mata kuliah genetika ikan yang banyak menguraikan teori-teori dasar genetika yang harus disederhanakan penyampaiannya. Topik yang dibahas dalam buku ini dititik beratkan pada genetika fenotif kuantitatif khususnya program seleksi, hibridisasi, inbreeding dan mekanisme sex reversal pada genetika ikan.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima ksih, kepada :

1. Bapak Prof.H.A. Himendra W.,dr,SpAn.KIC selaku Rektor Universitas Padjadjaran

2. Bapak Prof.Dr.Sadeli Natasasmita,Ir. Selaku Dekan Fakultas Pertanian

Universitas Padjadjaran

3. Bapak Dr. Otong Suhara,Ir.,MS. Selaku Ketua Jurusan Perikanan

Universitas Padjadjaran

3. Staf perpustakaan Fakultas Pertanian dan Jurusan Perikanan yang

telah membantu mencarikan bahan rujukan.

Menyadari akan kekurangan dalam penyajian buku ajar tersebut, penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang membangun.

Bandung, Februari 2001

Penulis,