digawe pdf

88
1 PENGELOLAAN USAHA PENAMBANGAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C, DI DESA DARMAKRADENAN KECAMATAN AJIBARANG KABUPATEN BANYUMAS (Tinjauan Yuridis Terhadap Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun 1995 ) Oleh : RAHMI DYAH HAJENG RIZKIANA E1A006106 Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012

Upload: bayu-indra-kusuma

Post on 19-Feb-2016

237 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Digawe PDF

TRANSCRIPT

Page 1: Digawe PDF

1

PENGELOLAAN USAHA PENAMBANGAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C,

DI DESA DARMAKRADENAN KECAMATAN AJIBARANG KABUPATEN

BANYUMAS

(Tinjauan Yuridis Terhadap Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas

Nomor 39 Tahun 1995 )

Oleh :

RAHMI DYAH HAJENG RIZKIANA

E1A006106

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2012

Page 2: Digawe PDF

2

PENGELOLAAN USAHA PENAMBANGAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C,

DI DESA DARMAKRADENAN KECAMATAN AJIBARANG KABUPATEN

BANYUMAS

(Tinjauan Yuridis Terhadap Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas

Nomor 39 Tahun 1995 )

Oleh :

RAHMI DYAH HAJENG RIZKIANA

E1A006106

Disetujui dan diterima

Pada tanggal, 27 Februari 2012

Pembimbing I Pembimbing II Penguji

Djumadi. SH.,SU Rochati. SH.,MHum Joko Susanto.SH.,SU

NIP.194705051893031001 NIP.195410091984032001 NIP.195508101983031003

Mengetahui

Universitas Jenderal Soedirman

D e k a n,

Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S.

NIP. 195206031980032001

Page 3: Digawe PDF

3

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya :

Nama : RAHMI DYAH HAJENG RIZKIANA

NIM : E1A006106

Judul Skripsi : PENGELOLAAN USAHA PENAMBANGAN BAHAN

GALIAN GOLONGAN C, DI DESA DARMAKRADENAN

KECAMATAN AJIBARANG KABUPATEN BANYUMAS

(Tinjauan Yuridis Terhadap Peraturan Daerah Tingkat II

Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun 1995)

Menyatakan bahwa Skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya sendiri

dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain.

Dan apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut diatas,

maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas.

Purwokerto, 20 Februari 2012

RAHMI DYAH HAJENG RIZKIANA

NIM. E1A006106

Page 4: Digawe PDF

4

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini Untuk mengetahui pengelolaan usaha penambangan bahan galian golongan C di Desa Darmakradenan Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas berdasarkan Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun 1995 tentang Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C.

Metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah metode pendekatan Yuridis Normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legis positifis yang menyatakan bahwa hukum identik dengan norma tertulis yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, selain itu konsepsi ini melihat hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat otonom terlepas dari kehidupan masyarakat.Metode pendekatan masalah menggunakan Pendekatan Perundang-Undangan berupa inventarisasi peraturan perundang-undangan. Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian.

Data yang digunakan adalah berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku, buku-buku, hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan juga kamus.

Berdasarkan kajian pustaka dapat disimpulkan bahwa dalam pengelolaan usaha penambangan di Desa Darmakradenan Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas masih banyak tindakan-tindakan yang bertentangan dengan aturan Perundang-undangan khususnya Undang-Undang Lingkungan Hidup. Berkaitan dengan Peraturan Daerah Yang digunakan yaitu Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun 1995 walaupun dalam pembuatannya sudah mengacu pada Undang-Undang Lingkungan Hidup dan juga Undang-Undang Pertambangan tertapi perlu dilakukan perubahan pada peraturan daerah tersebut karena malihat usianya yang sudah cukup lama dan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat.

Berdasarkan kajian pustaka dapat disimpulkan bahwa dalam pengelolaan usaha penambangan di Desa Darmakradenan Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas masih banyak tindakan-tindakan yang bertentangan dengan aturan Perundang-undangan khususnya Undang-Undang Lingkungan Hidup. Berkaitan dengan Peraturan Daerah Yang digunakan yaitu Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun 1995 walaupun dalam pembuatannya sudah mengacu pada Undang-Undang Lingkungan Hidup dan juga Undang-Undang Pertambangan tertapi perlu dilakukan perubahan pada peraturan daerah tersebut karena malihat usianya yang sudah cukup lama dan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat.

Kata kunci: Perlindungan lingkungan, kegiatan penambangan bahan galian golongan C

Page 5: Digawe PDF

5

ABSTRACT

The purpose of this study To determine the mineral mining business management class C in the Village District Darmakradenan Ajibarang Banyumas Regional Level II Regulation Banyumas No. 39 of 1995 on Mining Minerals Group C.

The method used in the writing of this thesis is a normative juridical approach method, which is an approach that uses the concept positifis legislators stating that the law is identical to the written norms made by the competent authority, other than that this conception view the law as an autonomous normative system regardless ofmasyarakat.Metode life approach to the problem using the approach Legislation in the form of an inventory of legislation. The approach to the assessment of legislation related to the central theme of research. The data used is in the form of legislation and regulations, books, studies, works of the law as well as a dictionary. Based on the literature review can be concluded that the management of mining enterprises in the Village District Darmakradenan Ajibarang Banyumas many actions that are contrary to rules of legislation in particular the Environment Act. Local regulations relating to the use the Level II Regional District Regulation No. 39 of 1995 Banyumas although its production has been referred to the Environment Act and the Mining Act tertapi necessary to amend the regulations malihat area because he is already quite long and is no longer applicable to the development of society. Based on the literature review can be concluded that the management of mining enterprises in the Village District Darmakradenan Ajibarang Banyumas many actions that are contrary to rules of legislation in particular the Environment Act. Local regulations relating to the use the Level II Regional District Regulation No. 39 of 1995 Banyumas although its production has been referred to the Environment Act and the Mining Act tertapi necessary to amend the regulations malihat area because he is already quite long and is no longer applicable to the development of society. Keywords: environmental protection, mineral mining category C

Page 6: Digawe PDF

6

Kata Pengantar

Alihamdulillah hirobil alamin, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsinya yang berjudul “ Pengelolaan Usaha Penambangan bahan Galian Golongan C Di Desa Darmakradena Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas (Tinjauan Yuridis Terhadap Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun 1995 tentang Pertambangan Golongan C)

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini penulis mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, petunjuk, bantuan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang seikhlas-ikhlasnya atas motivasi dan dukungan baik langsung ataupun tidak langsung kepada:

1. Ibu Hj. Rochani Urip Salami, S.H.,M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.

2. Bapak Djumadi S.H.,S.U selaku Pembimbing Akademik dan sekaligus sebagai Pembimbing I, yang selalu memotivasi dalam perjalanan kuliah penulis.

3. Ibu Rochati. S.H., M.Hum selaku Pembimbing II yang telah memberi masukan kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsinya.

4. Bapak Joko Susanto. S.H.,S.U selaku Penguji yang telah meberikan masukan untuk perbaikan skripsi penulis.

5. Bapak Supriyanto.S.H.,M.H selaku Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara dan sekaligus sebagai Pembimbing pengganti dalam seminar penulis.

6. Semua dosen dan juga karyawan Fakultas Hukum Unsoed

7. Semua sahabat di Unit kegiatan mahasiswa Perguruan Pencak Silat Batako Berpati Putih yang telah membantu dalam proses pendewasaan diri penulis.

8. Orang tua dan juga saudara yang selalu memberikan motivasi dan dukungan baik moril dan materil.

9. Sahabat dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu, trimakasih karma slalu memberikan semangat dan telah memberikan warna dalam kehidupan penulis.

10. Semua mahasiswa angkatan 2006 yang telah bersama-sama berjuang untuk menyelesaikan kuliah.

Page 7: Digawe PDF

7

11. Teman-teman KKN Posdaya di Desa Sidanegara, yang telah memberikan pengalaman baru bagi penulis.

12. Semua pihak-pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari sepenuhnya dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu penulis selalu terbuka untuk menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dan bermanfaat. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi setiap pembacanya.

Tanggal, 20 Februari 2012

Penulis,

Rahmi Dyah Hajeng Rizkiana

E1A006106

Page 8: Digawe PDF

8

Daftar Isi

Halaman

Halaman Judul…………………………………………………………………… i

Halaman Pengesahan…………………………………………………………….. ii

Halaman Pernyataan……………………………………………………………... iii

Abstrak…………………………………………………………………………… iv

Abstrack………………………………………………………………………….. v

Kata Pengantar…………………………………………………………………… vi

Daftar Isi…………………………………………………………………………. viii

BAB I: Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………. 1

B. Perumusan Masalah………….…………………………………………... 10

C. Tujuan Tenelitian………………………………………………………… 10

D. Kegunaan Penelitian……………………………………………………… 11

BAB II: Tinjauan Pustaka

A. Lingkungan Hidup……………………………………………………….. 12

a. Pengertian Lingkungan Hidup…………………………………… 14

b. Asas-Asas Hukum Lingkungan…………………………………... 16

c. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ……………… 17

d. Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup…………………………… 25

e. Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup………………….. 28

f. Penegakan Hukum Lingkungan………………………………….. 31

g. Sengketa Lingkungan Hidup……………………………………... 33

B. Pertambangan Golongan C……………………………………………….. 35

1. Pengertian Pertambangan…………………………………………... 35

2. Pengertian Penambangan Golongan C (kapur/gamping)…………… 38

Page 9: Digawe PDF

9

3. Perizinan Penambangan……………………………..……………… 38

4. AMDAL, UKL-UPL………………………………………………... 42

5. Dampak Penambangan…………………………………………..….. 44

C. BAB III. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan…………………………………………………. 46

2. Spesifikasi Penelitian……………………………………………….. 46

3. Sumber Data………………………………………………………… 47

4. Metode Pengumpulan Data…………………………………………. 49

5. Metode Penyajian Data……………………………………………... 49

6. Metode Analisis Data……………………………………………….. 49

D. BAB IV. Hasil dan Pembahasan

A. Hasil……………………………………………………………….. 51

B. Pembahasan……………………………………………………….. 64

E. BAB V. Penutup

A. Simpulan…………………………………………………………. 89

B. Saran……………………………………………………………… 90

Daftar Pustaka

Page 10: Digawe PDF

10

BAB 1

PENDAHULUAN

A . Latar Belakang Masalah

Manusia sangat berperan terhadap lingkungan dan berpengaruh terhadap

lingkungan hidupnya. Baik untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti sandang,

pangan maupun papan/perumahan. Tumbuh kembangnya pemikiran manusia berkaitan

dengan perkembangan teknologi yang dapat membawa dampak negatif maupun positif

terhadap lingkungan hidup. Oleh sebab itu kita bangsa Indonesia wajib melestarikan dan

mengembangkan lingkungan hidup agar dapat menjadi sumber kehidupan bagi rakyat

Indonesia. Perkembangan pembangunan juga mempunyai peran terhadap lingkungna.

Menurut Supriadi pembangunan merupakan upaya sadar yang dilakukan manusia untuk

mencapai kehidupan yang lebih baik. Hakikat pembangunan adalah bagaimana agar

kehidupan hari depan lebih baik dari hari ini. Namun demikian tidak dapat dipungkiri

bahwa pembangunan akan selalu bersentuhan dengan lingkungan.1

Negara Indonesia yang sebagian wilayahnya berupa daratan menyimpan banyak

kekayaan alam yang berbeda-beda pada setiap daerah. Pengelolaan sumber daya alam

adalah menjadi salah satu usaha pemerintah untuk meningkatkan kesejateraan

1 Supriadi, 2008. Hukum Lingkungan Di Indonesia. Sinar grafika. Hal 38

Page 11: Digawe PDF

11

masyarakat, seperti tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3)

yang berbunyi sebagai berikut:

Bumi, air dan kekayaan alam yang tekandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan

dipegunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Ketentuan Pasal 33 tersebut memberikan hak penguasaan kepada Negara atas seluruh

sumber daya alam Indonesia dan memberikan kewajiban kepada Negara untuk

menggunakannya bagi kemakmuran rakyat. Ketentuan lain yang menyatakan bahwa

sumber daya alam adalah hak bersama dan dapat dimanfatkan oleh setiap orang diatur

dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup (UUPLH) yaitu:

(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

(2) Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.

(3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 65 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup (UPPLH) yaitu:

(1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik yang sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.

(2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

(3) Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.

(4) Setiap orang berhak berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Page 12: Digawe PDF

12

(5) Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup.

Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 23 Tahun 2009 tentang

Pengendalian Lingkungan Hidup di Kabupaten Banyumas dalam Pasal 8 yaitu:

1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

2) Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan dampak lingkungan hidup.

3) Setiap orang mempunyai hak berperan dalam rangka pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan pasal tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam pelaksanan usaha

penambangan atau penggalian sumber daya alam yang ada.

Kabupaten Banyumas adalah salah satu daerah yang memiliki berbagai kekayaan sumber

daya alam, tercatat Kabupaten Banyumas memiliki berbagai potensi untuk peningkatan

Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui upaya pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA)

yang potensial yaitu bahan galian. Melalui pajak pengambilan bahan galian dapat

menambah pemasukan terhadap daerah seperti yang disebutkan dalam Peraturan Daerah

Kabupaten Banyumas Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah, untuk menggali

sumber pendapatan daerah di bidang perpajakan daerah guna membiayai pelaksanaan

Pemerintahan Daerah dan dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

Kabupaten Banyumas memiliki berbagai sumber daya mineral yang tersebar di berbagai

daerah. Bahan galian khususnya batu kapur/gamping cukup potensial di Desa

Darmakradenan Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas. Berdasarkan data Dinas

Page 13: Digawe PDF

13

Sumber Daya Air, Pertambangan dan Energi Kabupaten Banyumas sumber daya batu

gamping/kapur di daerah Darmakradenan berjumlah 442.181.173 ton.2 Penambangan

batu gamping/kapur yang dilakukan saat ini oleh masyarakat yang dalam pengerjaannya

termasuk penambangan skala kecil banyak dijumpai di Desa Darmakradenan Kecamatan

Ajibarang sebagai usaha penambangan rakyat atau termasuk dalam penambangan bahan

galian golonagn C. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan

Mineral dan Batubara yang dimaksud usaha pertambangan adalah kegiatan dalam rangka

pengusahaan mineral atau batu bara yang meliputi tahapan penyelidikan umum,

eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian,

pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang. Dalam Peraturan Daerah Tingkat II

Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun 1995 Pasal 1 huruf (g) tentang Usaha

Pertambangan Bahan Galian Golongan C yang dimaksud dengan usaha pertambangan

bahan galian golongan C adalah usaha pertambangan yang terdiri atas usaha eksplorasi,

eksploitasi, pengolahan/ pemurnian, pengangkutan dan penjualan bahan galian golongan

C.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan penambangan sebagai proses, cara,

perbuatan menambang.

Desa Darmakradenan yang terletak sebagian di dataran sedang dan sebagian di dataran

tinggi dengan ketinggian antara 250-750 m di atas permukaan laut dengan tanah yang

sebagian berupa tanah bebatuan memiliki tidak kurang dari 15 tempat penambangan dan

pengelolaan batu kapur/gamping yang terletak di sisi kanan kiri jalan utama penghubung 2 www.pemdesdarma.go.id

Page 14: Digawe PDF

14

kecamatan Ajibarang dan Gumelar. Sekarang ini penambangan dilakukan di lokasi

sepanjang kurang lebih 8 km.3

Dengan maraknya penambangan batu gamping/kapur yang dilakukan oleh warga

masyarakat, walaupun itu merupakan penambangan skala kecil tetapi tetap harus

diperhatikan aspek legalitas hukumnya, karena banyak penambangan skala kecil yang

tidak/ kurang mengindahkan hal ini. Aspek hukum yang terkait berupa perizinan,

pengaturan tata ruang atau kawasan, termasuk kebijakan tentang zonasi, pertanahan,

pengendalian, pencemaran dan reklamasi serta hukum adat. Hal tersebut harus dilakukan

oleh setiap orang yang melakukan usaha pertambangan untuk melindungi dan

melestarikan lingkungan. Dalam UUPLH Tahun 1997 yang dimaksud pengelolaan

lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang

meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan,

pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. Kemudian dipertegas

dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup (UUPPLH) Pasal 1 angka (2) yang dimaksud perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup adalah, upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk

melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau

kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,

pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

Dalam upaya pengendalian lingkungan bukan hanya menjadi kewajiban pelaku

penambangan saja tetapi juga Pemerintah dan masyarakat seperti diatur dalam dalam 3 www.pemdesdarma.go.id

Page 15: Digawe PDF

15

Pasal 63 UUPPLH Tahun 2009, bahwa pemerintah baik pemerintah pusat, pemerintah

provinsi dan juga pemerintah kabupaten/kota bertugas dan berwenang:

Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah kabupaten/kota bertugas dan berwenang:

a. menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota;

b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota;

c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH kabupaten/kota;

d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;

e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat kabupaten/kota;

f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan;

g. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;

h. memfasilitasi penyelesaian sengketa;

i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundangundangan;

j. melaksanakan standar pelayanan minimal;

k. melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota;

l. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota;

m. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota;

n. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;

o. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat kabupaten/kota; dan

p. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.

Page 16: Digawe PDF

16

Kewajiban masyarakat untuk pengendalian lingkungan hidup terdapat dalam Pasal 67 dan

Pasal 68 UUPPLH Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup, yaitu:

Pasal 67

Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Pasal 68

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban:

a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;

b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan

c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Dalam penambangan skala kecil bentuk perizinan yang diperlukan adalah berupa Izin

Pertambangan Rakyat (IPR) dan bisa dimiliki perorangan atau kelompok atau berupa

koperasi atau badan usaha yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang untuk

mengurus soal pertambangan ini melalui Dinas Pertambangan dan Energi di Kabupaten

Banyumas. Selain berkaitan dengan perizinan perlu juga diperhatikan peraturan mengenai

K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja). Telah banyak daerah penambangan batu kapur

Page 17: Digawe PDF

17

yang menjadi rusak dan bahkan sampai memakan korban seperti tertimbun tanah longsor,

pencemaran lingkungan dan juga banjir.

Pemerintah Daerah sebagai pengawas dan juga sebagai pembuat kebijakan yang telah

memperoleh kewenangan dari pemerintah pusat perlu mengatur lebih lanjut mengenai

usaha penambangan bahan galian golongan C dalam suatu peraturan yang lebih khusus,

sehingga pemerintah Kabupaten Banyumas mengeluarkan Peraturan Daerah Tingkat II

Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun 1995 tentang Usaha Pertambangan Bahan Galian

Golongan C.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan

Lingkungan Hidup dalam Pasal 124 bahwa:

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) dinyatakan berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.

Berdasarkan ketentuan pasal ini bahwa Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten

Banyumas Nomor 39 Tahun 1995 tentang Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan

C adalah merupakan salah satu peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup ( Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia ) yang telah berubah menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang

Page 18: Digawe PDF

18

Pengelolaan Lingkungan Hidup dan telah diperbaharui lagi menjadi Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau

yang lebih sering disingkat dengan UUPPLH Tahun 2009.

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang di atas dapat diambil perumusan masalah:

Bagaimanakah pengelolaan usaha penambangan bahan galian golongan C di Desa

Darmakradenan Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas berdasarkan

Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun 1995 tentang

Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C ?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengelolaan usaha penambangan bahan galian golongan C di

Desa Darmakradenan Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas berdasarkan Peraturan

Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun 1995 tentang Usaha

Pertambangan Bahan Galian Golongan C.

D. Kegunaan Penelitian

Page 19: Digawe PDF

19

Penelitian mengenai bahan galian Golongan C di Desa Darmakradenan

Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas ini memiliki dua kegunaan yaitu:

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan akan membantu perkembangan ilmu

pengetahuan dan menambah referensi mengenai praktik penambangan bahan galian

golongan C (gamping/kapur), di Desa Darmakradenan Kecamatan Ajibarang Kabupaten

Banyumas.

b. Kegunaan Praktis

Penelitian ini dapat digunakan bagi pihak-pihak yang membutuhkan, seperti

Badan Lingkungan Hidup, Pengusaha, Penambang swasta, dan Pemerintah pada saat

melakukan tindakan yang berkaitan dengan Hukum Lingkungan pada umumnya dan

menyangkut tentang praktik penambanngan bahan galian golongan C (gamping/kapur) di

Desa Darmakradenan Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Lingkungan Hidup

Sebagai wujud kesepakatan Negara Indonesia terhadap Konferensi Stockholm

pada tahun 1972 yaitu untuk memperhatikan segi-segi lingkungan dalam pembangunan,

Page 20: Digawe PDF

20

Indonesia membentuk panitia interdepartemental untuk mengatur rumusan kebijkan

dalam bidang pengelolaan lingkungan hidup. Dari kepanitiaan yang dibentuk banyak

kebijakan yang telah dihasilkan dan setiap tahunnya menunjukkan perkembangan yang

cukup baik, salah satu produk hukum yang dihasilkan pada periode itu adalah Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan

Lingkungan Hidup. Undang-Undang tersebut merupakan landasan berbagai ketentuan

dan peraturan mengenai masalah pengelolaan lingkungan hidup. Dengan banyaknya

masalah kependudukan dan lingkungan yang semakin berkembang sejalan dengan laju

kegiatan pembangunan dirasa perlu adanya penyempurnaan terhadap Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1982, dengan alasan tersebut maka dibentuklah Undang-Undang Nomor

23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Untuk sementara undang-

undang tersebut cukup mampu mengatasi masalah yang ada tetapi melihat usia Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 1997 yang cukup lama dan juga kualitas lingkungan hidup

yang semakin menurun sepertinya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak lagi menjamin kepastian hukum dan juga menjamin

hak rakyat Indonesia maka dilakukanlah perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 23

Tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara keduanya adalah merupakan Undang-Undang yang

setingkat selain itu keduanya juga memiliki keterkaitan satu sama lain. Dalam Undang-

Page 21: Digawe PDF

21

Undang Nomor 32 Tahun 2009, setiap usaha yang berdampak penting terhadap

lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL (Pasal 23). Sedangkan dalam Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2009 dimuat pula bahwa setiap izin eksplorasi yang diterbitkan

harus memuat dokumen AMDAL. Untuk izin usaha operasi produksi, harus juga memuat

tentang pengelolaan lingkungan hidup termasuk reklamasi lahan yang telah ditambang.

Jika melihat hal tersebut keduanya adalah merupakan undang-undang yang berlapis dan

keduanya juga memiliki sifat kekhususan masing-masing. Dari kedua undang-undang

tersebut pastilah ada peraturan pelaksana yang mengikutinya, diantaranya yaitu Peraturan

Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun 1995 tentang Usaha

Pertambangan Bahan Galian Golongan C yang merupakan salah satu peraturan di tingkat

daerah kabupaten. Untuk ditingkat propinsi sendiri yaitu ada Peraturan Daerah Tingkat I

Propinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 1994

a. Pengertian Lingkungan Hidup

Istilah lingkungan dan lingkungan hidup dalam bahasa inggris sebagai terjemahan

dari environment and human environment , digunakan secara bergantian dalam

pengertian yang sama.

Lingkungan hidup adalah merupakan bagian yang mutlak dari kehidupan manusia.

Semua kebutuhan manusia dapat terpenuhi dari kekayaan alam yang menjadi sumber

penting bagi manusia.

Page 22: Digawe PDF

22

N.H.T.Siahaan mengartikan bahwa lingkungan hidup adalah semua benda, daya dan kondisi yang terdapat dalam satu tempat atau ruang tempat manusia atau mahluk hidup berada dan dapat mempengaruhi hidupnya.4

Walaupun lingkungan hidup merupakan sumber penting bagi manusi tetapi perlu adanya

upaya untuk tetap melestarikan kekayaan alam yang ada agar generasi selanjutnya tetap

dapat nenikmati hasil dari alam.

Menurut Supriyadi yang mengutip pendapat Otto Soemarwoto menyatakan bahwa dalam realitasnya lingkungan merupakan sumber daya yang memiliki kemampuan dalam melakukan regenerasi pada dirinya, apalagi terhadap sumber daya lingkungan yang tidak dapat diperbaharui. Oleh karena itu dalam menata lingkungan sebagai sumber daya perlu melakukan pengelolaan dengan bijaksana.5

Lingkungan hidup menurut Soejono diartikan sebagai lingkungan hidup fisik atau

jasmani yang mencakup dan meliputi semua unsur dan faktor fisik jasmaniah yang

terdapat dalam alam.6

Dari pengertian lingkungan di atas maka lingkungan dapat di kelompokkan menjadi 3

macam yaitu:

1.) Lingkungan fisik (Physical Environment)

Yaitu segala sesuatu disekitar kita yang bersifat benda mati seperti gedung, sinar, air dan lain-lain.

4 N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, erlangga, Jakarta. Hal 4 5 Supriadi, Hukum Lingkungan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Hal 4 6 Soejono, 1996. Hukum Lingkungan, Rineka Cipta

Page 23: Digawe PDF

23

2.) Lingkungan biologis (Biological Environment)

Yaitu segala sesuatu yang berada disekitar kita yang bersifat organis, seperti manusia, binatang, jasad renik, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya.

3.) Lingkungan social (Social Environment)

Yaitu manusia-manusia lain yang berada disekitar atau kepada siapa kita mengadakan hubungan pergaulan.7

Guna perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup sangat dibutuhkan hukum yang

mampu berperan sebagai sarana dalam melindungi lingkungan hidup. Selain sebagai

pelindung, hukum lingkungan ini juga sebagai dasar untuk mengatasi masalah-masalah

lingkungan. Masalah-masalah tersebut dapat berupa terganggunya lingkungan fisik

maupun lingkungan sosial suatu masyarakat yang dapat merupakan suatu akibat ataupun

suatu proses ataupun akibat dari ulah manusia yang dapat berupa pencemaran maupun

perusakan lingkungan.

b. Asas –Asas Hukum Lingkungan

Hukum lingkungan memberikan dasar untuk kebijaksanaan pengelolaan

lingkungan sebagaimana hendak dilaksanakan penguasa. Pangkal kebijaksanaan hukum

lingkungan dinyatakan dalam sejumlah asas seperti:

1. Asas Penanggulangan Pada Sumber (Abatement at the Source)

Asas ini memberikan prioritas pada penanganan secara prefentif. Lebih baik mencegah pencemaran atau menangani pada sumbernya dari pada membersihkan kembali

7 N.H.T. Siahaan.2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan (edisi ke dua). Erlangga.hal 15

Page 24: Digawe PDF

24

pencemaran yang sudah terjadi. Dalam hukum lingkungan asas ini dinyatakan dalam kewajiban perizinan terhadap aktifitas tertentu dengan persyaratan-persyaratannya. Izin persyaratannya bertujuan untuk mencegah pencemaran.

2. Asas Tentang Sarana Praktis Yang Terbaik (The Best Prakticabel Mean)

Asas ini mengandung arti bahwa sarana-sarana tersebut diterapkan untuk menanggulangi atau mencegah pencemaran lingkungan yang menurut keadaan teknik actual adalah paling efektif dan sekaligus bagi si pencemar dapat diterima secara logis.

3. Asas Cegah Tangkal (Stand Still Principle)

Asas ini maksudnya dalam daerah yang relative bersih tidak boleh menjadi semakin jelek dan pencemaran dalam daerah yang telah tercemar tidak boleh bertambanh tercemar dan bahkan harus ditekan kembali dengan cara scanering.

4. Prinsip Pencemar Membayar (Polluter Pays Principle)

Setiap orang yang mencemarkan bertanggung jawab untuk menghilangkan atau meniadakan pencemaran yang disebabkan olehnya, ia wajib membayar biaya-biaya untuk menghilangkannya.

5. Asas Differensiasi Regional

Situasi lingkungan berbeda-beda menurut daerah dank arena itu menuntut suatu kebijaksanaan yang ditujukan kepada daerah itu. Pelaksanaannya juga berbeda menurut daerahnya.

6. Asas Beban Pembuktian Terbalik

Hal ini dinyatakan dalam perkara-perkara perdata. Dalam kenyataan hakim-hakim mempunyai kebebasan besar dalam pembagian pembuktian tentang pertanyaan apakah suatu kegiatan merugikan bagi lingkungan. Dalam arti pemerintah, asas tersebut berarti bahwa barang siapa yang akan melakukan kegiatan wajib menunjukan bahwa kegiatan tersebut tidak merugikan lingkungan.8

c. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

8 Kartono. Abdul Aziz. Diktat Kuliah Hukum Lingkungan. Purwokerto. 2002. hal 15-17

Page 25: Digawe PDF

25

UUPLH Tahun 1997 mengartikan pengelolaan lingkungan adalah adalah upaya

terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan

penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan

pengendalian lingkungan hidup. Sedangkan untuk penyelenggaraanya berdasarkan Pasal

3 UUPLH Tahun 1997 dilaksanakan dengan asas tanggung jawab negara, asas

berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan

berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia

Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman

dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolahan Lingkungan Hidup Pasal 1 angka (2) yang

dimaksud perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan

terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah

terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan,

pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum. Sesuai

Pasal 2 UUPPLH 2009, Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan

berdasarkan asas:

a. Tanggung jawab Negara;

b. Kelestarian dan keberlanjutan;

c. Keserasian dan keseimbangan;

d. Keterpaduan;

e. Manfaat;

f. Kehati-hatian;

g. Keadilan;

Page 26: Digawe PDF

26

h. Ekoregion;

i. Keanekaragaman hayati;

j. Pencemar membayar;

k. Partisipatif;

l. Kearifan local;

m. Tata kelola pemerintahan yang baik; dan

n. Otonomi daerah.

Dalam penjelasan Pasal 2 UUPPLH Tahun 2009 menjelaskan yang dimaksud dengan

asas tanggung jawab Negara adalah negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam

akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup

rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan. Negara menjamin hak

warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Negara mencegah dilakukannya

kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau

kerusakan lingkungan hidup. Yang dimaksud dengan asas kelestarian dan keberlanjutan

adalah bahwa setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi

mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya

pelestarian daya

dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup. Yang dimaksud dengan

asas keserasian dan keseimbangan adalah bahwa pemanfaatan lingkungan hidup harus

memperhatikan berbagai aspek seperti kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan

perlindungan serta pelestarian ekosistem. Yang dimaksud dengan asas keterpaduan

adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan

memadukan berbagai unsur atau menyinergikan berbagai komponen terkait. Yang

Page 27: Digawe PDF

27

dimaksud dengan asas manfaat adalah bahwa segala usaha dan/atau kegiatan

pembangunan yang dilaksanakan disesuaikan dengan potensi sumber daya alam dan

lingkungan hidup untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan harkat manusia

selaras dengan lingkungannya. Yang dimaksud dengan “asas kehati-hatian” adalah bahwa

ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan

penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda

langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran

dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Yang dimaksud dengan asas keadilan adalah

bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus mencerminkan keadilan

secara proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi, maupun

lintas gender. Yang dimaksud dengan asas ekoregion adalah bahwa perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan karakteristik sumber daya alam,

ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan lokal. Yang

dimaksud dengan asas keanekaragaman hayati adalah bahwa perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan upaya terpadu untuk

mempertahankan keberadaan, keragaman, dan keberlanjutan sumber daya alam hayati

yang terdiri atas sumber daya alam nabati dan sumber daya alam hewani yang bersama

dengan unsur nonhayati di sekitarnya

secara keseluruhan membentuk ekosistem. Yang dimaksud dengan asas pencemar

membayar adalah bahwa setiap penanggung jawab yang usaha

Page 28: Digawe PDF

28

dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup

wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan. Yang dimaksud dengan “asas

partisipatif” adalah bahwa setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif

dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung. Yang dimaksud dengan

asas kearifan lokal adalah bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang

berlaku dalam tata kehidupan masyarakat. Yang dimaksud dengan asas tata kelola

pemerintahan yang baik adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

dijiwai oleh prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan. Yang

dimaksud dengan asas otonomi daerah adalah bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah

dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kegiatan perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan UUPPLH Tahun 2009 haruslah meliputi

meliputi:

a. Perencanaan;

b. Pemanfaatan;

c. Pengendalian;

d. Pemeliharaan;

e. Pengawasan dan;

f. Penegakan hukum.

Page 29: Digawe PDF

29

Perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan terlebih

dahulu:

1. Menginventaris lingkungan hidup, yaitu suatu kegitan untuk memperoleh data dan

informasi berkaitan dengan sumber daya alam yang meliputi:

I. Potensi dan ketersediaan;

II. Jenis yang dimanfaatkan;

III. Bentuk penguasaan;

IV. Pengetahuan pengelolaan;

V. Bentuk kerusakan dan;

VI. Konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan.

2. Menetapkan wilayah ekoregion, adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri

iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli serta pola interaksi manusia dengan alam yang

menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup.

3. Menyusun RPPLH (Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup), yaitu

perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya

perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.

Penetapan RPPLH terdiri atas:

1. RPPLH Nasional;

Page 30: Digawe PDF

30

2. RPPLH provinsi;

3. RPPLH kabupaten/ kota.

RPPLH memuat rencana tentang:

a) Pemanfaatan dan pencadangan sumber daya alam;

b) Pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup;

c) Pengendalian, pemantauan serta pendayagunaan dan pelestarian sumber daya

alam, dan;

d) Adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.

Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan RPPLH yang telah dibuat,

jika RPPLH belum tersedia maka pemanfaatan sumberdaya alam dilaksanakan

berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan memperhatikan:

1) Keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup;

2) Keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup, dan;

3) Keselamatan, mutu hidup dan kesejahteraan masyarakat.

Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 23 Tahun 2009 tentang

Pengendalian Lingkungan Hidup Di Kabupaten Banyumas dalam Pasal 1 angka 9 dan 16,

pengendalian lingkungan hidup diartikan sebagai upaya terpadu untuk mencegah,

menanggulangi dan memulihkan fungsi lingkungan hidup. Sedangkan perencanaan

pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat RKL adalah upaya penanganan

Page 31: Digawe PDF

31

dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari

rencana usaha dan/atau kegiatan.

Pasal 3 UUPPLH 2009 menjelaskan bahwa tujuan pengelolaan lingkungan hidup adalah:

a) Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup;

b) Menjamin, keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia; c) Menjamin kelangsungan kehidupan mahluk hidup dan kelestarian

ekosistem; d) Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; e) Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup; f) Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa

depan. g) Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup

sebagai bagian dari hak asasi manusia; h) Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana; i) Mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan j) Mengantisipasi isu lingkungan global.

d. Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup

Berdasarkan UUPLH Tahun 1997 Pasal 1 angka (5) dan juga Pasal 1 angka (6)

Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup yang dimaksud pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah, rangkaian upaya

untuk memelihara daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Pengendalian

lingkungan hidup juga menjadi salah satu upaya yang dilaksanakan oleh pemerintah baik

Pemerintah Pusat ataupun Pemerintah Daerah dan juga oleh para penanggung jawab

kegiatan/usaha sesuai kewenangan, peran, dan tanggung jawabnya masing-masing dalam

rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup yang meliputi:

Page 32: Digawe PDF

32

1.) Pencegahan

Berdasarkan Pasal 14 UUPPLH Tahun 2009 instrumen pencegahan, pencemaran,

dan/atau kerusakan lingkungan hidup terdiri atas:

a. KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategia);

b. Tata ruang;

c. Baku mutu lingkungan hidup;

d. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;

e. AMDAL;

f. UKL-UPL;

g. Perizinan;

h. Instrumen ekonomi lingkungan hidup;

i. Peraturan perundang undangan berbasis lingkungan hidup;

j. Anggaran berbasis lingkungan hidup;

k. Analisis resiko lingkungan hidup;

l. Audit lingkungan hidup;

m. Instrument lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.

2.) Penanggulangan

Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup

wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup

yaitu berupa:

a. Pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup kepada masyarakat;

Page 33: Digawe PDF

33

b. Pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

c. Penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

d. Cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ketentuan tersebut di atas di dasarkan pada Pasal 53 UUPPLH tahun 2009.

3.) Pemulihan.

Dalam Pasal 54 UUPPLH Tahun 2009 menyatakan bahwa, setiap orang yang

melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan

pemulihan fungsi lingkungan hidup. Pemulihan tersebut dilakukan dengan tahapan:

a. Penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemaran; b. Remediasi; c. Rehabilitasi; d. Restorasi; dan/ atau e. Cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi.

e. Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup

Pengertian pencemaran lingkungan hidup berdasarkan Pasal 12 UUPLH Tahun

1997 adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau

komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya

turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat

berfungsi sesuai dengan peruntukannya sedangkan dalam Pasal 1 angka (14) UUPPLH

Tahun 2009 pencemaran lingkungan hidup adalah, masuk atau dimasukannya mahluk

hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan

Page 34: Digawe PDF

34

manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.

Kerusakan lingkungan hidup adalah, perubahan langsung dan/ atau tidak langsung

terhadap sifat fisik, kimia, dan atau hayati lingkungan hidup, yang melampaui kriteria

baku kerusakan lingkungan hidup, pengertian ini didasarkan pada Pasal 1 angka (17)

Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup. Adapun tindakan manusia yang berpengaruh langsung ataupun tidak langsung

terhadap perubahan sifat fisik, kimia, dan atau hayati lingkungan hidup sehingga

melampaui kriteria baku lingkungan hidup disebut dengan perusakan lingkungan, yang

diatur dalam Pasal 1 angka (14) UUPLH dan juga dalam Pasal 1 angka (16) UUPPLH

Tahun 2009.

Jika dilihat dari segi ilmiah, suatu lingkungan dapat disebut sudah tercemar bila memiliki

beberapa unsur. Unsur-unsur tersebut adalah:

1) Kalau suatu zat, organisme, atau unsur-unsur yang lain (seperti gas, cahaya, energi) telah tercampur (terinduksi) ke dalam sumber daya/ lingkungan tertentu; dan

2) Karenanya menghalangi/ mengganggu fungsi atau peruntukan dari sumber daya lingkungan tersebut.9

Berdasarkan ketentuan Pasal 20 UUPPLH Tahun 2009, penentuan terjadinya pencemaran

lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup yang meliputi:

a. Baku mutu air;

b. Baku mutu air limbah;

c. Baku mutu air laut;

9 N.H.T. Siahaan. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan (edisi ke dua). Erlangga, Jakarta. 2004

Page 35: Digawe PDF

35

d. Baku mutu udara ambient;

e. Baku mutu emisi;

f. Baku mutu gangguan;

g. Baku mutu lain sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup

dengan persyaratan:

a. Memenuhi baku mutu lingkungan hidup.

b. Mendapatkan izin dari Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai

dengan kewenangannya.

Selanjutnya dalam Pasal 21 UUPPLH Tahun 2009 telah ditentukan mengenai kriteria

baku kerusakan lingkungan hidup yang meliputi kriteria baku kerusakan ekositem dan

kriteria baku akibat kerusakan iklim.

Kriteria baku kerusakan ekosistem meliputi:

a. Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa;

b. Kriteria baku kerusakan terumbu karang;

c. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/ atau lahan;

d. Kriteria baku kerusakan mangrove;

e. Kriteria baku kerusakan padang lamun;

f. Kriteria baku kerusakan gambut;

g. Kriteria baku kerusakan karst;

Page 36: Digawe PDF

36

h. Kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kriteria kerusakan akibat perubahan iklim didasarkan pada parameter antara lain:

a. Kenaikan temperatur;

b. Kenaikan muka air laut;

c. Badai dan/atau;

d. Kekeringan.

f. Penegakan Hukum Lingkungan

Penegakan hukum lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan aparatur dan

kepatuhan masyarakat terhadap peraturan yang berlaku. Penegakan hukum bukan hanya

bersangkutan dengan hukum pidana saja, melainkan mempunyai makna yang luas

meliputi preventif (negosiasi, supervisi, penerangan, nasihat, dan sebagainya), represif

(dimulai dengan penyelidikan, penyidikan, sampai dengan penerapan sanksi baik

administratif maupun hukum pidana). Penegak hukum untuk masing-masing instrumen

berbeda, yaitu instrumen administratif oleh pejabat administratif atau pemerintahan,

perdata oleh pihak yang dirugikan sendiri, baik secara individual maupun kelompok

bahkan masyarakat atau negara sendiri atas nama kepentingan umum.

Ada 3 instrumen utama menegakkan hukum lingkungan :

1.Instrumen Administratif

Instrumen administratif adalah merupakan sarana yang bersifat preventif dan

bertujuan untuk menegakkan peraturan perundang-undangan lingkungan. Penegakan

Page 37: Digawe PDF

37

hukum dapat diterapkan terhadap kegiatan yang menyangkut persyaratan, perizinan, baku

mutu lingkungan, dan rencana pengelolaan lingkungan. Beberapa jenis sarana penegakan

hukum administratif adalah:

a. Paksaan pemerintah atau tindakan paksa (bestuurdwang). b. Uang paksa (publiekrechtelijke dwangsom). c. Penutupan tempat usaha (sluiting van een inrichting). d. Penghentian kegiatan mesin perusahaan (buitengebruikstellingvan een toestel). e. Pencabutan izin melalui proses: teguran, paksaan pemerintah, penutupan dan uang

paksa.10

Penerapan instrumen administratif lebih sering digunakan dibandingkan

instrumen perdata dan pidana. Karena letak intrumen administratif yang berada pada

jajaran utama dalam penegakan hukum. Dengan banyaknya penggunaan instrumen

administratif dalam penegakan hukum lingkungan bukan berarti instrumen administratif

adalah instrumen yang terbaik karena instrumen administratif juga memiliki kelemahan

yaitu adanya kecenderungan penegakan hukum yang tidak kondusif karena tidak

membuat jera perusak lingkungan.

2. Instrumen Perdata

Penegakan hukum lingkungan melalui hukum perdata tidak terlalu populer, hal ini

disebabkan karena berlarut-larutnya proses perdata di pengadilan. Dalam Pasal 89 10 Siti Sundari Rangkuti. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional. Airlangga University Press. 1996. hal 192

Page 38: Digawe PDF

38

UUPPLH Tahun 2009 mengenai pengajuan gugatan melaui jalur pengadilan ketentuan

pengajuan didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Untuk pengajuan

gugatan ganti rugi dan juga pemulihan lingkungan dapat dilakukan oleh Pemerintah dan

Pemerintah Daerah, oleh masyarakat dan juga oleh organisasi lingkungan hidup. Khusus

untuk organisasi lingkungan, hak pengajuan gugatan hanya sebatas untuk melakukan

tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.

3. Instrumen Pidana

Penegakan hukum lingkungan berdasarkan instrumen pidana adalah cara terahir

yang ditempuh apabila dalam penegakan instrumen administratif dan instrumen perdata

tidak tercapai. Dalam Pasal 97 UUPPLH Tahun 2009 menyatakan bahwa tindakan pidana

dalam UUPPLH adalah merupakan suatu kejahatan. Pengaturan ketentuan pidana yang

lebih lengkap dalam UUPPLH terdapat dalam Pasal 94 dan Pasal 120.

g. Sengketa Lingkungan Hidup

Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang

timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau berdampak pada lingkungan hidup.

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup adalah prosedur yang dilakukan untuk mencari

atau mendapatkan keputusan, solusi atau penyelesaian atas sengketa lingkungan hidup

(karena pencemaran dan/ atau perusakan) baik melalui pengadilan atau di luar

pengadilan. Dalam UUPLH Tahun 1997 Pasal 30, penyelesaian sengketa lingkungan

Page 39: Digawe PDF

39

hidup dapat ditempuh melalui pengadilan dan/atau di luar pengadilan dan pilihan tersebut

dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa. Sedangkan dalam UUPPLH

Tahun 2009 penyelesaian sengketa lingkungan hidup diatur dalam Pasal 84. Untuk

gugatan di pengadilan hanya dapat dilakukan jika penyelesaian di luar pengadilan

dianggap gagal.

Upaya penyelesaian di luar pengadilan adalah menjadi salah satu alternatif

penyelesaian yang bertujuan:

1.) Mengurangi penumpukan perkara di pengadilan;

2.) Untuk meningkatkan keterlibatan dan otonomi masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa;

3.) Untuk memperlancar dan memperluas akses kepada pengadilan;

4.) Untuk memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak.

Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan:

a. Negosiasi b. Mediasi c. Arbitrase d. Konsiliasi e. Pencarian fakta11

Untuk penyelesaian melalui jalur pengadilan tahapannya sama seperti dalam

proses beracara lain sesuai denga jenis gugatannya, untuk pengaturannya jika dalam

11 Hyrinimus Rhiti. Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup. Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 2006. hal 125

Page 40: Digawe PDF

40

UUPLH terdapat dalam Pasal 34-40 dan dalam UUPPLH terdapat dalam Pasal 87

sampai dengan Pasal 96.

B. Pertambangan Golongan C

1. Pengertian Pertambangan

Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara menyebutkan dalam Pasal 1 angka (1) yang dimaksud pertambangan adalah,

sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan

pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi

kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan, dan pemurnian, pengangkutan dan

penjualan, serta kegiatan pasca tambang.

Masih dalam UU yang sama tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 1 angka

(29) yang dimaksud wilayah pertambangan yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah

yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan

administrasi pemerintah yang merupakan bagian dari tata ruang nasional. Pasal 1 angka

(32) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, wilayah

pertambangan rakyat yang disebut WPR, adalah bagian dari WP tempat dilakukan

kegiatan usaha pertambangan rakyat.

Usaha penambangn sendiri adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau

batubara yang meliputi tahapan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan,

Page 41: Digawe PDF

41

konstruksi, penambangan, pengolahan, dan pemurnian, pengangkutan, dan penjualan,

serta pascatambang, pengertian tersebut berdasarkan UU Pertambangn Mineral dan

Batubara Tahun 2009 Pasal 1 angka (6).

Pembagian usaha pertambangan dikelompokkan atas:

a. Pertambangan mineral; dan

b. Pertambangan batubara.

Pertambangan mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digolongkan atas:

a. Pertambangan mineral radio aktif;

b. Pertambangan mineral logam;

c. Pertambangan mineral bukan logam; dan

d. Pertambangan batuan

Pembagian tersebut berdasarkan pada UU Pertambangan Mineral dan Batubara

Tahun 2009. Sehubungan dengan penggolongan komoditas tambang pada Pasal 2 huruf

(d) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha

Pertambangan Mineral dan Batubara yang menyebutkan bahwa:

Batuan meliputi pumice, tras, toseki, obsidian, marmer, perlit, tanah diatome, tanah serap (fullers earth), slate, granit, granodiorit, andesit, gabro, peridotit, basalt, trakhit, leusit, tanah liat, tanah urug, batu apung, opal, kalsedon, chert, kristal kuarsa, jasper, krisoprase, kayu terkersikan, gamet, giok, agat, diorit, topas, batu gunung quarry besar, kerikil galian dari bukit, kerikil sungai, batu kali, kerikil sungai ayak tanpa pasir, pasir urug, pasir pasang, kerikil berpasir alami (sirtu), bahan timbunan pilihan (tanah), urukan tanah setempat, tanah merah (laterit), batu gamping, onik, pasir laut, dan pasir yang tidak

Page 42: Digawe PDF

42

mengandung unsur mineral logam atau unsur mineral bukan logam dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan.

Dari bunyi pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa gamping adalah merupakan jenis

batuan yang menjadi komoditas tambang.

2. Pengertian Penambangn Golongan C (Gamping/Kapur)

Pengertian Penambangan batu kapur, dalam kamus umum bahasa Indonesia

disebutkan bahwa penambangan adalah: proses, cara, perbuatan menambang. Gamping

adalah; batuan berwarna putih jika dibakar dapat digunakan sebagai campuran bahan

bangunan yang sebagian besar terdiri atas kalsium karbonat dan batu kapur.

Pasal 1 huruf (f) dan (g) Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas Nomor 39

Tahun 1995 tentang Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C yang dimaksud

bahan galian golongan C adalah, bahan galian yang bukan strategis dan bukan vital.

Sedangkan usaha pertambangan bahan galian golongan C adalah Usaha pertambangan

yang terdiri atas usaha eksplorasi, eksploitasi, pengolahan/ pemurnian, pengangkutan dan

penjualan bahan galian golongan C.

3. Perizinan Penambangan

Izin usaha pertambangan (IUP) adalah izin untuk melaksanakan usaha

pertambangn. Izin usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1)

UU Pertambangan Mineral dan Batubara tahun 2009 dikelompokan atas:

Page 43: Digawe PDF

43

a. Pertambangan mineral; dan

b. Pertambangan batubara.

Selanjutnya dalam Pasal 35 UU Pertambangan Mineral dan Batubara Tahun 2009 usaha

pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 di laksankan dalam bentuk:

a. IUP;

b. IPR; dan

c. IUPK.

Pengertian Pasal 35 UU Pertambangan Mineral dan Batubara adalah bahwa setiap

kegiatan penambangan yang dilakukan haruslah dengan perizinan sesuai dengan jenis

tambang yang dimanfaatkan. Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009

tentang Pertambangan Mineral dan Batubara memisahkan IUP menjadi dua tahap yaitu:

a. IUP eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi dan studi kelayakan umum.

b. IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan, dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.

Pengertian mengenai IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi terdapat dalam ketentuan

umum Pasal 1 angka (8) dan (9) UU Pertambangan Mineral dan Batubara Tahun 2009.

IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan

penyelidikan umum, eksplorasi dan studi kelayakan, sedangkan IUP Operasi Produksi

adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk

melakukan tahapan kegiatan operasi produksi.

Mengenai pemberian Ijin Usaha Pertambangan (IUP), berdasarkan Peraturan Pemerintah

Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan

Page 44: Digawe PDF

44

Batubara pada Pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa IUP diberikan oleh Menteri,

gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan permohonan

yang diajukan oleh, badan usaha, koperasi, dan perseorangan. Ketentuan mengenai

jangka waktu IUP eksplorasi diatur dalam pasal 42 UU Pertambangn Mineral dan

Batubara yaitu;

1) Untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 8 tahun.

2) Untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan paling lama dalam jangka waktu 3 tahun dan mineral bukan logam jenis tertentu dapat dapat diberikan dalam jangka waktu 7 tahun.

3) Untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 3 tahun.

4) Untuk pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 7 tahun.

IUP Operasi produksi akan diberikan setelah mendapatkan IUP ekplorasi sebagai

kelanjutan untuk melaksanakan kegiatan usaha pertambangannya dengan jangka waktu;

1. Pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 tahun dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 10 tahun.

2. Pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 10 tahun dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 5 tahun.

3. Pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 tahun dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 10 tahun.

4. Pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 5 tahun dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 5 tahun.

5. Pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 thun dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 10 tahun.

Dalam Pasal 1 huruf (h) Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas Nomor 39

Tahun 1995 tentang Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C mengenai Surat Izin

Page 45: Digawe PDF

45

Pertambangan Daerah yang selanjutnya disebut SIPD adalah kuasa pertambangan yang

berikan wewenang untuk melakukan semua atau sebagian tahap usaha pertambangan

bahan galian golongan C. Pemberian SIPD diberikan dengan jangka waktu maksimal 5

tahun dan hanya dapat diperpanjang untuk 1 kali. Perpanjangan SIPD diajukan selambat-

lambatnya dalam waktu 3 bulan sebelum berahir masa berlaku SIPD, ketentuan tersebut

berdasarkan pada Peraturan Daerah Kabupaten Tingkat II Banyumas Nomor 39 Tahun

1995 tentang Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C Pasal 10.

4. AMDAL, UKL, UPL

Dalam kajian lingkungan pada usaha pertambangan batu kapur (AMDAL/UKL-

UPL) disebutkan bahwa setiap usaha dan kegiatan pada dasarnya menimbulkan dampak

terhadap lingkungan hidup yang perlu dianalisis sejak awal perencanaanya, sehingga

langkah pengendalian dampak negatif dan pengembangan dampak positif dapat disiapkan

sedini mungkin. Dampak besar dan penting adalah perubahan Lingkungan Hidup yang

sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha/kegiatan, kriterianya adalah:

1. Besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak; 2. Luas wilayah penyebaran dampak; 3. Lamanya dampak berlangsung; 4. Intensitas dampak; 5. Banyaknya komponen lingkungan lainnya yang akan terkena dampak; 6. Sifat komulatif dampak tersebut; 7. Berbalik atau tidak berbaliknya dampak.12

12 Koesnadi Hardjasoemantri. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Hal 253

Page 46: Digawe PDF

46

Usaha-usaha yang memungkinkan dapat menimbulkan dampak besar dan penting

terhadap Lingkungan Hidup diantaranya adalah pertambangan yang merupakan salah

satu kegiatan eksploitasi sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Dalam rangka

menunjang pembangunan yang berwawasan lingkungan maka bagi rencana usaha yang

tidak ada dampak pentingnya diwajibkan membuat UKL-UPL. UKL-UPL adalah syarat

untuk mendapatkan izin melakukan usaha. Kegiatan yang tidak wajib menyusun Analisis

Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) tetap harus melaksanakan Upaya Pengelolaan

Lingkungan( UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). UKL dan UPL adalah

serangkaian kegiatan pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang dilakukan oleh

pemrakarsa suatu rencana usaha atau kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun

AMDAL, yaitu kegiatan yang tidak akan menimbulkan dampak. Pelaksanaan upaya

pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan terdiri dari 2 kategori yaitu:

Harus melewati suatu kajian lingkungan terlebih dahulu yang disebut dokumen UKL-

UPL: Tidak perlu melewati kajian lingkungan dalam dokumen UKL-UPL. Ada beberapa

kegiatan yang walaupun tidak akan menimbulkan dampak penting tetap membutuhkan

identifikasi dampak terlebih dahulu sebelum dapat dipastikan upaya pengelolaan

lingkungan dan upaya pemantauan lingkungannya, identifikasi dampak ini dibutuhkan

karena ada kombinasi antara frekuensi kegiatan yang tinggi dengan intensitas dampak

yang tinggi, sehingga menyebabkan munculnya ketidak pastian pengelolaan dampak

yang perlu dikomunikasikan kepada pihak terkait lainnya.

Page 47: Digawe PDF

47

Kajian mengenai dampak-dampak yang diakibatkan oleh penambangan batu

kapur/gamping Lingkungan yang dibutuhkan dikenal dengan nama Dokumen Upaya

Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). Dokumen

ini berisi uraian singkat dari proses identifikasi dampak yang dilakukan secara sistematis

dan program pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang akan dilaksanakan.

5. Dampak Penambangan

Setiap upaya penambangan pastilah memberikan dampak yang luas pada

lingkungan disekitarnya baik itu dampak positif maupun dampak negatif. Salah satu

dampak positif yang dapat dirasakan oleh masyarakat adalah dengan adanya pusat

penambangan maka akan mensejahterakan wilayah disekitarnya dan juga akan

meningkatkan perekonomian di tempat tersebut sedangkan dampak negatifnya adalah

rusaknya wilayah penambangan akibat pengambilan bahan tambang. Tetapi terlepas dari

dampak positif yang diterima masyarakat, usaha penambangan sudah pasti akan lebih

banyak menyisakan problem lingkungan, banyak contoh yang membuat kita harus

berhati-hati dalam melakukan eksplorasi sumberdaya alam. Krisis lingkungan yang

ditinggalkan oleh aktifitas penambangan bermacam-macam, mulai dari degradasi lahan

sampai residu bahan-bahan beracun yang berbahaya bagi manusia. Idealnya setiap usaha

eksplorasi harus diikuti oleh upaya reklamasi, komitmen ini seharusnya dapat diikuti oleh

setiap pengusaha penambangan atau penanggung jawab penambangan agar pencemaran

Page 48: Digawe PDF

48

dan perusakan lingkungan dapat dicegah atau diatasi sehingga tidak menimbulkan bahaya

bagi masyarakat dan juga lingkungan disekitarnya.

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Metode Pendekatan

Metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah metode pendekatan Yuridis

Normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legis positifis yang menyatakan

bahwa hukum identik dengan norma tertulis yang dibuat oleh pejabat yang berwenang,

Page 49: Digawe PDF

49

selain itu konsepsi ini melihat hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat otonom

terlepas dari kehidupan masyarakat.13 Metode pendekatan masalah menggunakan

Pendekatan Perundang-Undangan (Statue Approach) berupa inventarisasi peraturan

perundang-undangan. Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundang-

undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian.14

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi yang diguakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi penelitian

deskriptif. Spesifikasi penelitian deskriptif oleh Soerjono Soekanto dalam bukunya

Pengantar Penelitian Hukum dijelaskan, sebagai berikut, Penelitian deskriptif adalah

suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan

manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, serta hanya menjelaskan keadaan objek

masalahnya tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum.15

3. Sumber Data

13 Ronny Hanintijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta,1988, halaman 13-14. 14 Johnny, Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publising: Malang, 2008, halaman 295 15 Soerjono, Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UII Press, 1981, hal. 10

Page 50: Digawe PDF

50

Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data

sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Di dalam penelitian

hukum, data sekunder mencakup16

a. Bahan hukum primer

Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, berupa peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer berupa:

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup

c) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara

d) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup.

e) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan

f) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Usaha Pertambangan

g) Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai

Dampak Lingkungan (AMDAL)

h) Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun 1995

tentang Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C

b. Bahan hukum sekunder

16 Soerjono Soekamto dan Sri Mamuji. Penelitian Hukum Normatf. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Halaman:13.

Page 51: Digawe PDF

51

Yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti, rancangan

undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.

c. Bahan hukum tersier, yaitu: kamus.

4. Metode Pengumpulan Data

Data sekunder diperoleh dengan mengumpulkan bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang diperoleh dari studi pustaka yaitu

mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan yang berupa peraturan perundang-undangan,

literatur dan dokumen yang terkait dengan permasalahan yang diteliti.

5. Metode Penyajian Data

Metode penyajian data dalam penelitian ini akan disajikan dalam bentuk uraian

yang disusun secara sistematis, logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang

diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok

permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh.

6. Metode Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis data normatif

kualitatif. Pendapat Soejono S. berkaitan dengan analisis data kualitatif adalah analisis

yang bertujuan untuk mengungkapkan apa yang menjadi latar belakang kebenaran.

Page 52: Digawe PDF

52

Dengan demikian jumlah (kuantitas) data sekunder tidak diutamakan melainkan kualitas

dari data sekunderlah yang lebih diutamakan, yaitu data yang diperoleh dari studi

kepustakaan.17 Dalam metode ini menjabarkan dan membahas hasil penelitian yang

didasarkan pada kaidah-kaidah hukum yang relevan dengan pokok permasalahan dan

doktrin hukum yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

BAB IV

17 Ibid., Hal. 25

Page 53: Digawe PDF

53

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL

1. Gambaran Umum Desa Darmakradenan

a. Keadaan Geografis Desa Darmakradenan

Secara administratif Desa Darmakradenan termasuk dalam wilayah Kecamatan

Ajibarang Kabupaten Banyumas, terletak di sebelah barat Kecamatan Cilongok dan

berada di daerah selatan Kabupaten Banyumas. Luas wilayah Desa Darmakradenan

adalah 1.184.245 ha dengan batas-batas desa sebagai berikut :

Sebelah Utara : Desa Gancang

Sebelah Barat : Desa Paningkaban

Sebelah Selatan : Desa Tipar Kidul

Sebelah Timur : Desa Karang Bawang

Desa Darmakradenan terdiri atas empat dusun yaitu Dusun I berada di tengah desa

yang terbagi dalam tiga RW, Dusun II berada di sebelah selatan desa yang terbagi dalam

dua RW, Dusun III berada di sebelah timur desa yang terbagi dalam tiga RW, dan Dusun

IV berada di sebelah barat desa yang terbagi dalam dua RW.

Page 54: Digawe PDF

54

Desa darmakradenan memiliki konfigurasi berupa pegunungan dengan ketinggian

antara 250 – 750 m di atas permukaan laut (dpl), sehingga tergolong daratan sedang dan

sebagian pada dataran tinggi. Sebagian tanahnya berupa tanah bebatuan, tanah sawah,

dan tanah darat. Jumlah total penduduk 9112 jiwa dengan rincian jumlah penduduk laki-

laki sebanyak 4550 jiwa, jumlah penduduk perempuan sebanyak 4562 jiwa. Sedangkan

jumlah kepala keluarga sebanyak 2535 KK. Pada sektor pertanian tanaman pangan, luas

tanah yang ditanami padi 100,485 ha, jagung 12 ha, kacang kedelai 3,5 ha, kacang tanah

6,5 ha dan ubi kayu 15 ha. Jumlah total rumah tangga petani adalah 1.813 RTP dengan

rincian rumah tangga yang memiliki lebih dari 1,0 ha lahan pertanian tanaman pangan

sebanyak 127 RTP, rumah tangga yang memiliki 0,5 – 1,0 ha lahan pertanian tanaman

pangan sebanyak 1262 RTP, rumah tangga yang memiliki kurang dari 0,5 ha lahan

pertanian tanaman pangan sebanyak 424 RTP dan rumah tangga yang tidak memiliki

lahan pertanian tanaman pangan sebanyak 360 RTP.

Jumlah penduduk usia 15-55 tahun yang merupakan angkatan kerja 5464 orang,

jumlah penduduk usia 15-55 tahun yang masih sekolah 216 orang, jumlah penduduk usia

15-55 tahun yang menjadi ibu rumah tangga 1713 orang, jumlah penduduk usia 15-55

tahun yang bekerja penuh 948 orang dan jumlah penduduk usia 15-55 tahun yang bekerja

tidak tentu 831 orang.Produk domestik desa bruto berupa tanaman padi, jagung, kedelai,

ubi kayu, kacang tanah dan industri kapur. Pada sektor pertanian jumlah rumah tangga

petani 1223 rumah tangga dengan jumlah total anggota rumah tangga petani 4378 orang,

dan jumlah rumah tangga buruh tani 112 rumah tangga dengan jumlah total anggota

rumah tangga buruh tani 151 orang. Pada sektor industri jumlah rumah tangga industri 44

Page 55: Digawe PDF

55

rumah tangga dengan jumlah total anggota rumah tangga industri 88 orang, dan jumlah

rumah tangga buruh industri 656 rumah tangga dengan jumlah total anggota rumah

tangga buruh industri 872 orang. Jumlah kepala keluarga 2674 dengan rincian 882

keluarga pra sejahtera, 462 keluarga sejahtera 1, 859 keluarga sejahtera 2, 293 keluarga

sejahtera 3, 115 keluarga sejahtera 3 plus.

b. Penambangan Kapur

Gugusan perbukitan yang memanjang kurang lebih 4 km, berada di 3 kecamatan,

Ajibarang, Gumelar, Pekuncen dan wilayah ini adalah daerah kaya sumber daya alam,

khususnya batu gamping. Dinas Pertambangan Kabupaten Banyumas memperkirakan

total cadangan limestone yang bisa dieksplorasi sekitar 442.181.173 ton. Jumlah tersebut

hanya cadangan di Desa Darmakeradenan, desa dan kecamatan lain belum dihitung. Bisa

dipastikan total cadangan batu gamping di perbukitan tersebut jauh melebihi angka yang

dikeluarkan pemerintah.

2. Penambangan Bahan galian Golongan C di Desa Darmakradenan

a. Objek Penambangan

Masyarakat di sekitar perbukitan gamping, khususnya desa Darmakeradenan

sudah terbiasa mengolah batu gamping tersebut menjadi kapur tohor, bahan inilah yang

Page 56: Digawe PDF

56

nantinya diolah menjadi kapur putih yang biasa digunakan untuk campuran adonan

semen, labur( sejenis kapur tembok).

Saat ini di Desa Darmakeradenan, hanya tersisa kurang lebih 25 buah tobong.

Tobong adalah tempat pengolahan dan pembakaran batu gamping menjadi kapur tohor.

Tiap tobong bisa menghasilkan sekitar 40 M² kapur per minggu. Dari tiap meter kubik

kapur yang dihasilkan, Pemerintah Kabupaten Banyumas kebagian jatah melalui pajak

bahan galian C sebesar 15 % dari hasil penjualan kapur. Namun, sampai sekarang belum

ada laporan yang pasti tentang pendapatan daerah dari sektor ini. Setiap kali obong

membutuhkan paling tidak 12 truk batu gamping, tiap rit gamping dibeli seharga Rp.

100.000. Batu gamping ini dibeli dari para pemilik tanah yang kebetulan memiliki lahan

bergamping, atau kepada Perhutani jika batu gamping diambil dari hutan. Cadangan batu

gamping di desa Darmakradenan terdapat di beberapa grumbul, antara lain di grumbul

Pegawulan, Karangpucung, Angkruk dan Darma. Di grumbul Angkruk lokasi batu

gamping terletak di wilayah Perhutani mempunyai panjang 1.475,00 M, Lebar 540,93 M,

tebal 188,00 M berat jenis 2,2 kg, kawasan ini mempunyai cadangan batu gamping

sebesar 164.499.999 ton. Dari penelitian yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan

Kabupaten Banyumas, bahwa batu gamping di grumbul ini memiliki kualitas paling baik,

kadar CaO-nya mencapai 53,5 %. Di Karang Pucung dan Pegawulan, terdapat cadangan

batu gamping dengan panjang 1.200,00 m, lebar 261, 12 m, tebal 188 m, berat jenis 2,20

kg, jadi cadangan di kawasan ini adalah 67.499.520 ton.

Page 57: Digawe PDF

57

Batu gamping juga dapat dimanfaatkan untuk membuat klinker, bahan ini adalah

bahan dasar pembuatan semen portland. Melihat cadangan yang melimpah, direncanakan

akan ada pembangunan pabrik semen skala besar. Walaupun dari masyarakat belum ada

persetujuan tetapi dari informasi yang didapat pehutani telah menyetujui lahannya untuk

pembangunan pabrik semen, dan jika di daerah tersebut benar dibangun pabrik semen

dengan teknologi yang canggih maka itu akan sangat menambah pundi-pundi PAD.

b. Subjek Penambangan

Penambangan batu kapur di Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang

kabupaten Banyumas kebanyakan merupakan penambangan rakyat.

Menurut bapak Sartono selaku pengusaha batu kapur dan juga sebagai ketua

Asosiasi, penambangan rakyat adalah penambangan yang dilakukan oleh masyarakat

sekitar dengan alat sederhana tetapi dalam kenyataannya untuk menambah hasil produksi,

mereka juga menggunakan bahan peledak untuk menghancurkan bukit kapur. Sebenarnya

penggunaan bahan peledak dilarang oleh pemerintah tetapi menurutnya ada kebijakan

yang diberikan oleh kepolisian kepada mereka walaupun dalam penggunaannya mereka

tidak memiliki izin.18

Pertambangan kapur di Desa Darmakeradenan adalah pertambangan kapur yang

bersifat tetap, walaupun untuk sekarang permintaan kapur sudah sangat berkurang tetapi

para pengusaha tetap memproduksi kapur walaupun dalam jumlah sedikit untuk

18 Wawancara dengan Sartono, 2011

Page 58: Digawe PDF

58

dipasarkan ke toko-toko bangunan di daerah tersebut. Para pekerja dan masyarakat

sekitar sangat tergantung pada pertambangan kapur tersebut karena pertambangan

tersebut sebagai mata pencaharian mereka dan pengusahapun menyadari hal tersebut,

sehingga para pengusaha tetap berusaha mempertahankan pertambangan tersebut yang

sudah dikelola secara turun temurun walaupun kondisinya tidak sesukses dahulu.

Sebagian besar pertambangan kapur di Desa Darmakradenan dilengkapi dengan

tobong-tobong yang tidak jauh dari tempat penggalian, lokasi yang berada tidak jauh dari

tempat tinggal mereka mempermudah mereka dalam pengolahan. Tenaga kerja yang

dipekerjakan dalam tobong biasanya berkisar 5-8 orang, termasuk orang yang bekerja

mengumpulkan batu kapur yang telah diledakkan. Pekerja yang bekerja pada tambang

kapur adalah merupakan pekerja harian yang dibayar Rp. 20.000 – Rp. 50.000 ribu per

hari tergantung pekerjaan yang dilakukan.

Seperti yang telah dijelaskan diatas tadi bahwa pertambangan kapur pada saat ini

mengalami penurunan dalam hal produksi dan juga permintaan. Menurut Sartono selaku

pengusaha kapur hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:

a. Karena mahalnya bahan bakar untuk membakar dan mengolah gamping

menjadi kapur halus. Dulu pembakaran batu kapur menggunakan bahan bakar

minyak tetapi karena kenaikan bahan bakar maka para pengusaha beralih

menggunakan kayu bakar tetapi itu tidak cukup membantu karena

pengolahannya menjadi lebih lama dan hasilnya tidak sebanyak seperti

menggunakan solar.

Page 59: Digawe PDF

59

b. Karena menurunnya daya pakai oleh masyarakat. Jika dahulu pembuatan

rumah dilapisi dengan kapur tepi untuk sekarang pembuartan rumah hanya

menggunakan semen saja karena hasilnya lebih kuat.

c. Tidak adanya bantuan modal baik dari infestor ataupun dari pemerintah

daerah setempat. Selama ini para pengusaha hanya mengandalkan modal dari

uang sendiri, tidak pernah ada bantuan modal dari pihak manapun walaupun

usah tersebut diketahui sedang mengalami kebangkrutan.19

Pada saat sekarang usaha pertambangn kapur tidak sebanyak dahulu jumlahnya kurang

dari 50 lokasi. Para pengusaha beralih mengelola usaha lain yang lebih menghasilkan

seperti peternakan, perkebunan dan juga pengelolaan kayu. Kebanyakan dari mereka

hanya memiliki izin untuk usaha penambangannya saja tetapi untuk izin galiannya

mereka tidak memiliki izin. Menurut bapak Kistam selaku Perangkat Desa para

pengusaha tidak memiliki izin dengan alasan:

a. Kesadaran masyarakat yang masih rendah dalam hal pengajuan izin

pertambangan rakyat.

b. Mereka beranggapan tidak perlu izin karena mereka menambang di tanah

milik sendiri.

c. Sulitnya mengurus perpanjangan izin di kantor penanaman modal dan

perizinan.20

19. Hasil wawancara dengan bapak Sartono Agustus 2011 20 Hasil wawancara dengan bapak Kistam. Agustus 2011

Page 60: Digawe PDF

60

3. Dasar Hukum Penambangan Bahan Galian Golongan C Jenis Batu Kapur Di

Desa Darmakradenan.

Dasar hukum kegiatan pertambangan batu kapur di Desa Darmakradenan

Kabupaten Banyumas antara lain:

a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

hidup

b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara.

c. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup.

d. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1997 tentang Analisis Dampak

Lingkungan Hidup.

e. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan

Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

f. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah Nomor 6 Tahun

1994 Tentang Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongn C.

g. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 5 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup Di provinsi Jawa Tengah.

h. Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 23 Tahun 2009 tentang

Pengendalian Lingkungan Hidup Di Kabupaten Banyumas.

Page 61: Digawe PDF

61

i. Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun 1995

tentang Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C

j. Peraturan Daerah Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas Nomor 5 Tahun

1998 tentang Pajak Pengambilan dan Pengelolaan Bahan Galian Golongan C.

4. Upaya yang Dilakukan Untuk Menekan Kerusakan Lingkungan.

Sebagai usaha pencegahan akibat pertambangan kapur di desa Darmakradenan

Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas telah menerapkan upaya administrasi melalui

instansi terkait. Bukti dari pemberlakuan ini terlihat dalam ketentuan bahwa untuk

melakukan pertambangan batu kapur para penambang harus mengajukan Izin

Pertambangan Rakyat (IPR) terlebih dahulu. Ketentuan pengajuan IPR terlebih dahulu

untuk dapat melakukan kegiatan pertambangan batu kapur terdapat dalam Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dan juga

dalam Peraturan Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 1994 tentang

Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C Pasal 4 ayat (2) dan di tindak lanjuti oleh

Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun 1995 tentang Usaha

Pertambangan Bahan Galian Golongan C Pasal 4 ayat (1) yaitu, Usaha pertambangan

bahan galian golongan C hanya dapat dilakukan dengan SIPD (Surat Izin pertambangan

Daerah).

Selain itu juga diatur dalam Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi,

Page 62: Digawe PDF

62

Setiap orang atau badan usaha yang akan mendirikan, memperluas atau memindahkan

seluruh atau sebagian usaha pertambangan bahan galian golongan C di daerah wajib

terlebih dahulu memiliki SIPD dari Bupati (kepala daerah).

Di Kabupaten Banyumas terdapat instansi yang berkaitan langsung dengan

pembinaan pertambangan bahan galian golongan C yaitu Dinas Pertambangan Kabupaten

Banyumas sebagai instansi yang berwenang di bidang pertambangan mengkoordinasi

instansi lain dalam kaitan pertambangan bahan galian golongan C di Kabupaten

Banyumas. Upaya-upaya yang dilakukan Dinas Pertambangan Kabupaten Banyumas

bersama tim dalam rangka menertibkan pertambangan batu kapur:

a. mengadakan sosialisasi dan pembinaan pertambangan usaha rakyat;

b. mengadakan pengawasan dan pengendalian pertambangan.

Secara fisik area bekas tambang tidak cocok lagi ditanami, oleh karena itu perlu

adanya perlakuan khusus agar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Selama ini reklamasi

menjadi kewenangan Dinas Pertambangan Kabupaten Banyumas tetapi karena kurangnya

tenaga pantau untuk mangawasi kegiatan tersebut mengakibatkan kegiatan reklamasi

belum dapat berjalan dengan baik. Sebenarnaya reklamasi bukan hanya menjadi

tanggung jawab Dinas Pertambangan saja tetapi juga menjadi tanggung jawab para

pengusaha tambang. Untuk Desa Darmakradenan awalnya para pengusaha belum sadar

akan pentingnya reklamasi dan hanya sedikit pengusaha saja yang melakukan reklamasi

pada lahan bekas tambang tetapi setelah adanya longsor dan juga banjir yang dialami

desa tersebut kesadaran untuk menanami kembali bekas galian mulai tumbuh, memang

Page 63: Digawe PDF

63

awalnya cukup sulit untuk menanam di tanah kapur tetapi ahirnya masyarakat tau

tanaman yang cocok di tanam di sana yaitu berupa pohon kayu-kayuan, coklat dan juga

palawija. Untuk sekarang tanaman yang ditanam pada kegiatan reklamasi sudah

dikembangkan oleh masyarakat dan menjadi produktif sebagai mata pencaharian lain

setelah penambangan.

5. Kegiatan Penambangan Bahan Galian Golongan C

Dalam melakukan kegiatan pertambangan dan pengelolaan lingkungan hidup

tetap mengacu pada UUPLH Tahun 1997 yang telah diperbaharui menjadi UUPPLH

Tahun 2009 selain itu juga mengacu pada UU Pertambangan Mineral dan Batubara

Tahun 2009 yang dalam pelaksanaan kewenagannya diatur dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan dan juga Peraturan Pemerintah

Nomor 23 Tahun 2010 tentang Usaha Pertambangan. Berkaitan dengan penambangan

yang ada di daerah mengacu pada Peraturan Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Tengah

Nomor 6 Tahun 1994 tentang Usaha Pertambangan bahan Galian Golongan C yang di

laksanakan dengan Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun

1995 tentang Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C.

B. Pembahasan

Page 64: Digawe PDF

64

Kesadaran akan hak dan juga kewajiban dalam hal pengelolaan lingkungan hidup

adalah salah satu cara yang dapat mencegah pencemaran dan juga kerusakan lingkungan

hidup. seperti diatur dalam Pasal 5 UUPLH Tahun 1997 dan juga dalam Pasal 65

UUPPLH Tahun 2009 yaitu:

a. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik yang sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia

b. Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

c. Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.

d. Setiap orang berhak berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

e. Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup.

Selain itu juga terdapat dalam Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 23 Tahun

2009 tentang Pengendalian Lingkungan Hidup Di Kabupaten Banyumas dalam Pasal 8

yaitu:

1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

2) Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan dampak lingkungan hidup.

3) Setiap orang mempunyai hak berperan dalam rangka pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Walaupun demikian mereka juga tetap berkewajiban memelihara kelestarian fungsi

lingkungan dan juga mengendalikan pencemaran dan kerusakan lingkungan, seperti

diatur dalam Pasal 6 UUPLH Tahun 1997 yaitu:

Page 65: Digawe PDF

65

(1) Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan.

(2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 68 UUPPLH Tahun 2009 bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan atau

kegiatan berkewajiban:

a. Memberikan informasi yang terkait dengan perlindunagan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka dan tepat waktu.

b. Menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup. c. Menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/ atau kriteria

baku kerusakan lingkungan hidup.

Aturan lain berkaitan dengan hak dan kewajiban, terdapat dalam Pasal 9 Peraturan

Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 23 Tahun 2009 tentang Pengendalian Lingkungan

Hidup di Kabupaten Banyumas yaitu:

1.) Setiap orang wajib memelihara kelestarian lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan.

2.) Setiap pemrakarsa yang melakukan usaha dan/ atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengendalian dampak lingkungan.

3.) Setiap pemrakarsa yang melakukan kegiatan dan/ atau kegiatan wajib melaksanakan RKL (Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup) dan RPL (Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup), UKL (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup) dan UPL (Upaya Pemantauan Lingkungan hidup) atau SPPLH (Surat Pernyataan Pengelolaan dan Pemantauan lingkungan Hidup) sesuai dengan dokumen yang telah disepakati.

Suatu usaha penambangan pastilah akan berdampak luas pada lingkungan disekitarnya

apalagi jika usaha tersebut telah dilakukan bertahun-tahun, bukan hanya dampak positif

saja tetapi juga dampak negatif. Oleh karena itu diperlukan adanya tindakan yang dapat

dipaksakan agar lingkungan tetap terlindungi dari pencemaran dan kerusakan akibat

Page 66: Digawe PDF

66

penambangan. Sebernarnya berkaitan dengan perlindungan lingkungan sudah diatur

dalam UUPLH Tahun 1997 dalam Pasal 1 angka (2) yang dimaksud pengelolaan

lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang

meliputi kebijaksanaan, penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan,

pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup.

Sedangkan untuk pengertian pengelolaan lingkungan hidup diatur dalam Pasal 1 angka

(2) yaitu upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi

lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan

hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan,

pengawasan dan penegakan hukum.

Upaya yang paling awal dilakukan sebagai upaya perlindungan terhadap

lingkungan terkait penambangan batu kapur adalah mengenai perencanaan dan

pemanfaatan. Pengaturan mengenai perencanaan diatur dalam Pasal 5 UUPPLH Tahun

2009, yaitu bahwa suatu perencanaan pengelolaan lingkungan hidup harus meliputi,

inventarisasi lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion dan melakukan penyusunan

RPPLH. Hal yang sama terkait perencanaan penambanagan juga dilakukan seperti

perencanaan dalam pengelolaan lingkungan hidup yaitu dengan Infentaris pertambangan

yang bertujuan untuk memperoleh data dan informasi mengenai sumber daya tambang

yang meliputi:

a. Potensi dan ketersediaan;

b. Jenis yang dimanfaatkan:

Page 67: Digawe PDF

67

c. Bentuk penguasaan;

d. Pengetahuan pengelolaan;

e. Bentuk kerusakan;

f. Konflik dan penyebab konflik akibat pengelolaan.

Yang nantinya akan menentukan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup serta

cadangan sumber tambang yang ada. Penentuan wilayah peambangan ditentukan oleh

Menteri setelah berkoordinasi dengan instansi terkait.

Dalam pelaksanaan kegiatan penambangan kapur di Desa Darmakradenan untuk upaya

perencanaan belumlah dapat berjalan dengan baik atau bahkan hampir tidak ada

perencanaan karena kebanyakan para pemilik usaha tambang memperoleh lahannya dari

warisan, bukan dengan sengaja membuka lahan penambangan. Selain itu juga karena

usaha penambangan yang dilakukan adalah merupakan peambangan rakyat sehingga

mereka merasa tidak perlu melakukan perencanaan. Kalaupun mereka memiliki data

perencanaan itu adalah hasil setelah usaha penambangan tersebut dilakukan. Perencanaan

dalam usaha penambangan bukan hanya terkait dengan inventaris penambangan saja

tetapi juga terkait dengan perizinan. Setiap usaha atau kegiatan wajib memiliki amdal jika

kegiatanya berdampak penting, UKL dan UPL jika kegiatannya tidak berdampak penting.

Berdasarkan Pasal 19 UUPLH Tahun 1997 bahwa izin dapat diterbitkan dengan

memperhatikan:

a. Rencana tata ruang.

b. Pendapat masyarakat.

Page 68: Digawe PDF

68

c. Pertimbangan dan rekomendasi pejabat yang berwenang yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan tersebut.

Izin lingkungan yang diterbitkan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/ Walikota sesuai dengan

kewenangannya, nantinya akan digunakan untuk memperoleh izin usaha atau izin

kegiatan. Pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral

dan Batubara Berkaitan dengan perizinan diatur dalam Pasal 67 yaitu:

1.) Bahwa Ijin Pertambangan Rakyat (IPR) diberikan oleh Bupati/ Walikota terutama kepada penduduk setempat baik perorangan maupun kelompok masyarakat dan/ atau koperasi.

2.) Bupati/Walikota dapat melimpahkan kewenangan pelaksanaan pemberian IPR kepada camat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3.) Untuk memperoleh IPR pemohon wajib menyampaikan surat permohonan kepada bupati/walikota.

Hampir sama seperti Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara, dalam

Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun 1995 tentang Usaha

Pertambangan Bahan galian Golongan C Pasal 5 yaitu;

a. Setiap orang atau badan usaha yang akan mendirikan, memperluas atau memindahkan seluruh atau sebagian usaha pertambangan bahan galian golongan C di daerah wajib terlebih dahulu memiliki SIPD (Surat Izin Pertambangan Daerah) dari Bupati/ Kepala daerah.

b. SIPD diberikan setelah semua persyaratan terpenuhi dari Dinas Pertambangan berdasarkan koordinasi dinas terkait.

c. Untuk melakukan semua usaha pertambangan eksplorasi, eksploitasi, pengolahan/pemurnian, pengangkutan dan penjualan atau sebagian tahap usaha pertambangan bahan galian golongan C dapat diberikan 1 (satu) SIPD dan atau masing-masing kegiatan usaha pertambangan diterbitkan satu SIPD.

d. SIPD tidak dapat dipindah tangankan tanpa izin dari Bupati/ Kepala Daerah.

Page 69: Digawe PDF

69

Dari pasal tersebut diatas dapat diketahui bahwa perizinan adalah merupakan tahapan

yang paling penting dalam pertambangan karena nantinya dengan perizinan akan dengan

jelas diketahui kegiatan apa yang akan dilakukan oleh seseorang. Selanjutnya dalam

Pasal 6, dalam pemberian SIPD haruslah mempertimbangkan sifat dan besarnya endapan

serta kondisi lingkungan dan kemampuan pemohon baik teknis maupun administratif.

Berkaitan dengan jangka waktu berlakunya surat ijin pertambangan berdasarkan Pasal 10

Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun 1995 tentang Usaha

Pertambangan Bahan galian Golongan C bahwa:

a. SIPD berlaku selama usaha bersangkutan masih berjalan, dengan ketentuan maksimal 5 tahun dan hanya dapat diperpanjang untuk 1 kali.

b. Perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan dalam waktu selambat-lambatnya 3 bulan sebelum berahirnya masa berlaku.

Jangka waktu berlakunya surat izin pertambangan jika menurut UU Pertambangan

Mineral dan Batubara Pasal 42 dan Pasal 47 maka akan meliputi dua tahap yaitu:

Jangka waktu izin pertambangan untuk IUP Eksplorasi.

(1) Untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 8 tahun.

(2) Untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan paling lama dalam jangka waktu 3 tahun dan mineral bukan logam jenis tertentu dapat dapat diberikan dalam jangka waktu 7 tahun.

(3) Untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 3 tahun. (4) Untuk pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 7

tahun.

Jangka waktu izin pertambangan untuk IUP Operasi Produksi.

Page 70: Digawe PDF

70

a. Pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 tahun dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 10 tahun.

b. Pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 10 tahun dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 5 tahun.

c. Pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 10 tahun.

d. Pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 5 tahun dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 5 tahun.

e. Pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 tahun dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 10 tahun.

Kegiatan penambangan yang dilakukan oleh pengusaha di Desa Darmakradenan

kebanyakan dari mereka hanya memiliki izin usaha saja, sedangkan untuk izin galian

masih jarang yang memilikinya. Dengan kata lain dalam melakukan usaha penambangan

mereka tidak melalui tahapan perencanaan. Jika suatu usaha penambangan tidak

mengindahkan syarat-syarat ataupun ketentuan penambangan maka dapat dilakukan

penghentian sementara atau bahkan sampai dengan pencabutan izin seperti diatur dalam

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

Pasal 113 sampai dengan Pasal 116.

Penghentian sementara kegiatan usaha penambangan dapat diberikan kepada pemegang

IUP dan IUPK (Ijin Usaha Pertambangan khusus) apabila terjadi:

a. Keadaan kahar; b. Keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan penghentian sebagian atau

seluruh kegiatan usaha penambangan;

Page 71: Digawe PDF

71

c. Apabila kondisi daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak dapat menanggung beban kegiatan operasi produksi sumber daya mineral dan/atau batubara yang dilakukan di wilayahnya.

Penghentian sementara kegiatan usaha penambangan tidak mengurangi masa berlaku IUP

dan IUPK. Permohonan penghentian sementara kegiatan usaha penambangan

disampaikan kepada Menteri, Gubernur, Bupati/ Wali kota, sesuai dengan

kewenangannya dan pejabat tersebut wajib mengeluarkan keputusan tertulis mengenai

diterima atau ditolaknya permohonan tersebut disertai alasannya paling lama 30 hari

sejak menerima permohonan tersebut. Jangka waktu penghentian sementara karena

keadaan kahar atau keadaan yang menghalangi, diberikan paling lama 1 tahun dan dapat

diperpanjang paling banyak 1 kali untuk satu tahun.

Berkaitan dengan pencabutan izin, pengaturannya terdapat dalam Pasal 119 Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yaitu:

IUP atau IUPK dapat dicabut oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya apabila:

d. Pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta peraturan perundang-undangan;

e. Pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini;

f. Pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit.

Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun 1995 tentang Usaha

Pertambangan Bahan Galian C juga mengatur mengenai pencabutan izin, yaitu terdapat

dalam Pasal 13 ayat (2), SIPD dicabut karena:

a. Diperoleh secara tidak sah; b. Pemegang SIPD tidak melaksanakan usaha penambangan bahan galian

golongan C dalam jangka waktu 6 bulan setelah diberikan izin;

Page 72: Digawe PDF

72

c. Pemegang SIPD melanggar ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Daerah ini dan persyaratan yang tercantun dalam SIPD;

d. Pemegang SIPD melakukan usaha penambangan selain yang ditetapkan dalam SIPD;

e. Lokasi tempat usaha dibutuhkan oleh Pemerintah untuk kepentingan umum atau sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan Rencana Tata Ruang Kota/Daerah.

Pencabutan izin sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Tingkat II

Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun 1995 tentang Usaha Pertambangan Bahan Galian

C didahului dengan peringatan sebanyak 3 kali kepada pemegang SIPD secara tertulis

disertai dengan alasan-alasannya. Jika semua persyaratan ataupun perizinan telah

diperoleh barulah pemegang SIPD ataupun pengusaha tambang dapat melakukan

pemanfaatan bahan tambang dengan cara eksploitasi yaitu dengan maksud untuk

mendapatkan bahan galian dan memanfaatkannya. Di Desa Darmakradenan eksploitasi

dilakukan dengan cara meledakkan bukit kapur dengan menggunakan dinamit yang

mereka rancang sendiri yang sebenarnya penggunaan bahan peledak itu dilarang oleh

pemerintah. Pengaturan mengenai penggunaan bahan peledak sebenarnya diatur juga

dalam Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun 1995 tentang

Pertambangan Bahan Galian Golongan C yaitu dalam Pasal 17 yaitu, Pemakaian bahan

peledak untuk usaha pertambangan bahan galian golongan C mengikuti ketentuan

Peraturan perundang-undangan yang berlaku. Cara yang selanjutnya dilakukan setelah

eksploitasi adalah dengan pengolahan dan pemurnian yaitu kegiatan untuk mempertinggi

mutu bahan galian serta untuk memanfaatkan dan memperoleh unsur-unsur yang terdapat

pada bahan galian itu. Setelah upaya peledakan yang dilakukan oleh para pekerja

bongkahan kapur nantinya akan dihancurkan dan dibakar dalam tobong-tobong yang

Page 73: Digawe PDF

73

telah tersedia untuk menghasilkan kapur yang lebih halus dan lebih putih. Tahap

selanjutnya yang dilakukan pengusaha adalah pengangkutan dan penjualan. Adanya

rangkaian kegiatan penambangan tersebut, masyarakat memperoleh manfaat atas

kegiatan yang dilakkukan, seperti meningkatnya perekonomian masyarakat, dan juga

tersedianya lapangan pekerjaan. Selain manfaat yang telah diperoleh, akibat lain yang

diteriam oleh masyarakat Darmakredenan adalah mengenai kerusakan lingkungan akibat

bekas penggalian kapur, tanah menjadi rawan longsor karena komposisinya yang tidak

lagi padat seperti pada saat masih berupa bukit-bukit kapur, selain itu juga sisa-sisa

pembakaran yang dibuang ke tempat bekas penggalian mengakibatkan tanah tersebut

menjadi sulit untuk ditanami. Pasal 16 Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas

Nomor 39 Tahun 1995 tentang Pertambangan Bahan Galian Golongan C mengatur

mengenai pembuangan sisa penambangan, bahwa pembuangan sisa-sisa bahan galian

yang tidak terpakai dan air limbahnya harus memenuhi persyaratan-persyaratan sesuai

dengan ketentuan Peraturan Perundang- undangan.

Usaha selanjutnya berkaitan dengan pengelolaan usaha penambangan adalah

pengendalian dan pemeliharaan. Pengendalian pencemaran akibat usaha penambangan

dilakukan oleh pemerintah baik dipusat ataupun di daerah, penanggung jawab usaha

sesuai dengan kewenangan, peran dan tanggung jawabnya masing-masing. Berdasarkan

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara kewenangan pengelolaan pertambangan terbagi menjadi kewenangan

pemerintah, kewenangan pemerintah provinsi dan juga kewenangan pemerintah

kabupaten atau kota.

Page 74: Digawe PDF

74

Kewenangan pemerintah dalam pengelolaan pertambangan antara lain:

a. Menetapkan kebijakan nasional; b. Pembuatan peraturan perundang-undangan; c. Penetapan standar nasional, pedoman dan kriteria; d. Penetapan system perizinan pertambangan mineral dan batubara nasional; e. Penetapan WP (Wilayah Pertambangan); f. Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan

usaha pertambangan yang lokasi penambangannya berada pada lintas wilayah provinsi dan/atau dalam wilayah laut lebih dari 12 mil dari garis pantai yang berdampak langsung pada lingkungan;

g. Pemberian IUPK eksplorasi dan IUPK opersi produksi.

Pada Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun 1995 tentang

Usaha Pertambangan Bahan galian Golongan C Pasal 12, pengusaha dan/atau pemegang

SIPD berkewajiban antara lain:

a. Menciptakan keselamatan kerja pengamanan teknis dan lingkungan hidup sesuai ketentuan-ketentuan yang berlaku dan melaksanakan petunjuk-petujnyk dari Dinas Pertambangan;

b. Memelihara fasilitas umum yang dipergunakan; c. Memfungsikan bekas lahan bahan galian golongan C sesuai dengan kondisi

topografi, kondisi geologis, dan hal-hal yang bersifat kondisional lainnya; d. Memberikan laporan tertulis atas pelaksanaan usaha setiap 3 bulan sekali

kepada Dinas Pertambangan; e. Memberikan laporan kepada Bupati/kepala daerah atas penemuan bahan

galian dan benda berharga yang tidak disebutkan dalam SIPD; f. Mematuhi semua syarat-syarat yang tercantum dalam SIPD.

Selain dalam Pasal 12 ditentukan pula dalam Pasal 15 bahwa apabila dalam pelaksanaan

usaha pertambangan bahan galian golongan C dapat menimbulkan bahaya dan merusak

lingkungan hidup, pemegang SIPD diwajibkan menghentikan kegiatannya dan

mengusahakan penanggulangan serta segera melapor kepada Bupat/Kepala Daerah.

Untuk pemeliharaan penambangan dapat dilakukan dengan konservasi sumber daya alam

Page 75: Digawe PDF

75

ataupun bahan tambaang yang digunakan dan juga pencadangan sumber daya alam

berupa bahan tambang.

Dalam hal pembinaan dan pengawasan Pasal 139 Undang-Undang Pertambangan

Mineral dan Batubara Tahun 2009 menentukan bahwa:

1. Menteri melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha penambangan yang dilakukan oleh Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten sesuai dengan kewenangannya.

2. Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:

a. Pembinaan pedoman dan standar pelaksanaan pengelolaan usaha pertambangan;

b. Pemberian bimbingan, supervise, dan konsultasi; c. Pendidikan dan pelatihan; d. Perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi

pelaksanaan penyelenggaraan usaha pertambangan di bidang mineral dan batubara.

3. Menteri dapat melimpahkan kepada Gubernur untuk melakukan pembinaan terhadap penyelenggara kewenangan pengelolaan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten.

4. Menteri, Gubernur atau Bupati sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab melakukan pembinaan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IPR, atau IUPK.

Selanjutnya berkaitan dengan pengawasan, UUPLH Tahun 1997 dalam Pasal 22

menyatakan:

(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.

(2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.

Page 76: Digawe PDF

76

(3) Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada Pemerintah Daerah, Kepala Daerah menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.

UUPPLH Tahun 2009 juga mengaturnya yaitu dalam Pasal 71 yang menyatakan:

1) Menteri, Gubernur, Bupati atau Walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

2) Menteri, Gubernur, Bupati atau Walikota dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

3) Dalam melaksanakan pengawasan Menteri, Gubernur, Bupati/ Walikota menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional.

Pasal 140 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara berbunyi:

(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha penambangan yang dilakukan oleh pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten sesuai dengan kewenangannya;

(2) Menteri dapat melimpahkan kepada Gubernur untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggara kewenangan pengelolaan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten;

(3) Menteri, Gubernur atau Bupati sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab melakukan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IPR, atau IUPK.

Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun 1995 tentang Usaha

Pertambangan Bahan Galian Golongan C sebagai pelaksana dari UU Pertambangan

Mineral dan Batubara, pengaturan mengenai pembinaan dan pengawasan tercantum

dalam Pasal 22 yaitu:

a. Pembinaan, pengawasan, pengendalian terhadap pemegang SIPD dilakukan oleh Dinas Pertambangan, baik secara struktural maupun fungsional;

Page 77: Digawe PDF

77

b. Pengawasan fungsional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan keputusan Bupati Kepala Daerah;

c. Pengawasan umum atas pelaksanaan peraturan daerah ini dilakukan oleh inspektorat wilayah Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas;

d. Untuk kepentingan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diberikan biaya operasional yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Bupati Kepala Daerah dan dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Pasal 24 Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun 1995

tentang Usaha Pertambangan Bahan galian Golongan C:

a. Pengawasan terhadap pelaksanaan usaha pertambangan bahan galian C ditujukan untuk masalah administrasi dan produksi, pengaturan keasaman, keselamatan kerja, efisiensi, efektifitas pekerjaan serta keamanan lingkungan pertambangan;

b. Untuk pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemegang SIPD wajib menerima kedatangan petugas pengawas dan memberikan data yang diperlukan;

c. Pengaturan terhadap pelaksanaan pembinaan, pengawasan dan pengendalian diatur lebih lanjut dengan Keputusan Bupati Kepala daerah.

Dari asal-pasal yang mengatur pembinaan dan pengawasan diatas dapat diuraikan:

1. Menteri melakukan pengawasan terhadap penangung jawab kegiatan /usaha

berdasarkan ketentuan yang ditetapkan dalam peratutan perundang-undangan

dibidang lingkungan hidup.

2. Menteri dapat menetapkan pejabat yang berwenang atau dengan pendelegasian untuk

melakukan pengawasan .

Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan terhadap usaha penambangan di Kabupaten

Banyumas memang telah ada dan dilaksanakan oleh Dinas Pertambangan namun karena

kurangnya jumlah tenaga pembinaan dan pengawasan mengakibatkan tugas yang

Page 78: Digawe PDF

78

dilakukan tidak maksimal. Pembinaan dan pengawasan tidak dapat dilakukan secara rutin

dan berkelanjutan, akibatnya masih banyak pengusaha tambang yang belum memiliki

izin, selain itu juga banyak pengusaha atau pananggung jawab penambangan yang

melakukan usaha/kegiatan tambang berbeda dengan surat izin yang dimilikinya.

Penegakan hukum dalam usaha pertambangan juga sama menggunakan instrumen

administratif, instrumen perdata, dan instrumen pidana seperti dalam UUPPLH Tahun

2009. Instrumen administratif adalah merupakan sarana yang bersifat prefentif dan

bertujuan untuk menegakkan peraturan perundang-undangan lingkungan. Penegakan

hukum dapat diterapkan terhadap kegiatan yang menyangkut persyaratan, perizinan, baku

mutu lingkungan, dan rencana pengelolaan lingkungan. Beberapa jenis sarana penegakan

hukum administratif adalah:

a. paksaan pemerintah atau tindakan paksa (bestuursdwang) b. uang paksa (publiekkrechtelijke dwangsom) c. penutupan tempat usaha(sluiting van een inrichting) d. penghentian kegiatan mesin perusahaan (buitengebruikstellilngvan een toestel) e. pencabutan izin melalui proses: teguran, paksaan pemerintah, penutupan dan uang

paksa. .21

Jika berdasarkan Pasal 25 UUPLH Tahun 1997 terkait dengan penerapan instrumen

administratif adalah:

1) Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan pemerintahan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan,

21 Siti Sundari Rangkuti. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional. Airlangga University Press. 1996. hal 192

Page 79: Digawe PDF

79

penanggulangan, dan/atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-undang.

2) Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diserahkan kepada Bupati/Walikotamadya/Kepala Daerah Tingkat II dengan Peraturan Daerah Tingkat I.

3) Pihak ketiga yang berkepentingan berhak mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan paksaan pemerintahan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

4) Paksaan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), didahului dengan surat perintah dari pejabat yang berwenang.

5) Tindakan penyelamatan, penanggulangan dan/atau pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diganti dengan pembayaran sejumlah uang tertentu.

Pasal 76 ayat (2) UUPPLH Tahun 2009, sanksi administratif yang dapat diterapkan

kepada penangguang jawab usaha atau kegiatan yang melakukan pelanggaran terhadap

izin lingkungan adalah berupa, teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin

lingkungan, dan juga pencabutan izin lingkungan. Sanksi administratif yang digunakan

dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Usaha Pertambangan Mineral dan

Batubara, Pasal 151 ayat (2) juga hampir sama dengan UUPPLH yaitu berupa peringatan

tertulis, penghentian sementara/sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi

produksi, dan pencabutan IUP, IPR atau IUPK.

Pengajuan gugatan administratif dalam UUPPLH Tahun 2009 diatur dalam Pasal 93

yaitu:

(1) Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha Negara apabila:

a. Badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen amdal;

Page 80: Digawe PDF

80

b. Badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKL-UPL; dan/atau

c. Badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan.

(2) Tata cara pengajuan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara mengacu pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.

Penerapan instrumen aministratif lebih sering digunakan dibandingkan instrumen perdata

dan pidana. Karena letak intrumen administratif yang berada pada jajaran utama dalam

penegakan hukum. Dengan banyaknya penggunaan instrumen administratif dalam

penegakan hukum lingkungan bukan berarti instrumen administratif adalah yang terbaik

karena instrumen administratif juga memiliki kelemahan yaitu adanya kecenderungan

penegakan hukum yang tidak kondusif karena tidak membuat jera perusak lingkungan.

Instrument lain yang digunakan dalam penegakan hukum lingkungan adalah melalui

instrumen perdata, instrumen ini tidak terlalu popular, hal ini disebabkan karena berlarut-

larutnya proses perdata di pengadilan. Dalam Pasal 89 UUPPLH Tahun 2009 mengenai

pengajuan gugatan melaui jalur pengadilan ketentuan pengajuan didasarkan pada Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata. Untuk pengajuan gugatan ganti rugi dan juga

pemulihan lingkungan dapat dilakukan oleh, Pemerintah dan Pemerintah Daerah, oleh

masyarakat dan juga oleh organisasi lingkungan hidup. Khusus untuk organisasi

lingkungan, hak pengajuan gugatan hanya sebatas pada untuk melakukan tindakan

tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil. Instrumen

yang selanjutnya digunakan adalah instrumen pidana, ini adalah cara terahir yang

ditempuh apabila dalam penegakan instrumen administratif dan instrumen perdata tidak

Page 81: Digawe PDF

81

tercapai. Dalam Pasal 97 UUPPLH Tahun 2009 menyatakan bahwa tindakan pidana

dalam UUPPLH adalah merupakan suatu kejahatan. Pengaturan ketentuan pidana yang

lebih lengkap dalam UUPPLH terdapat dalam Pasal 94 sampai dengan Pasal 120. Jika

dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara ketentuan pidananya diatur dalam Pasal 158 sampai dengan Pasal 165.

Peraturan Daerah Kabupaten Tingkat II tentang Usaha Pertambangan Bahan Galian

Golongan C juga mengatur tentang ketentuan pidana yaitu dalam Pasal 25:

1. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 12, diancam pidana kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000 (lima puluh ribu rupiah)

2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pelanggaran.

Di Desa Darmakradenan pelanggaran berkaitan dengan usaha penambangan yang

dilakukan kebanyakan adalah berupa pelanggaran administratif yang menyangkut

perizinan sehingga penegakan hukum yang dilakukan adalah cenderung kepada paksaan

pemerintah berupa penghentian kegiatan penambangan.

Berkaitan dengan penyelesaian sengketa lingkungan hidup berdasarkan UUPPLH

dapat dilakukan melalui pengadilan atau di luar pengadilan diatur dalam Pasal 84 sampai

dengan 93. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui jalur pengadilan dalam

UUPLH Tahun 1997 diatur dalam Pasal 34:

(1) Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.

Page 82: Digawe PDF

82

(2) Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut.

Sedangkan dalam UUPPLH Tahun 2009 diatur dalam Pasal 87 yaitu:

1. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.

2. Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak melepaskan tanggung jawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.

3. Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap 4. Hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan. 5. Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundangundangan.

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar jalur pengadilan dalam UUPLH diatur

dalam Pasal diatur dalam Pasal 85 yang menyatakan:

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai:

a. Bentuk dan besarnya ganti rugi; b. Tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan; c. Tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau

perusakan; dan/atau d. Tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.

Upaya penyelesaian sengketa diluar pengadilan merupakan cara yang sering

ditempuh dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup karena hasilnya akan lebih

dapat diterima oleh semua pihak. Untuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak

berlaku untuk tindak pidana lingkungan hidup seperti diatur dalam UUPPLH Tahun

2009. Begitu juga dalam penyelesaian sengketa yang terjadi dalam usaha penambangan

Page 83: Digawe PDF

83

di Desa Darmakradenan, mereka lebih memilih jalur damai dalam menyelesaikan

masalah yang terjadi, misalnya ketika terjadi longsor dan menimpa para pekerja, memang

awalnya pengusaha tetap diproses di kepolisian tetapi ahirnya mereka memilih cara

damai karena kedua belah pihak sama-sama saling membutuhkan dan mereka tau resiko

yang ditanggung jika mereka bekerja sebagai penambang, namun sebagai gantinya para

pengusa memberikan sejumlah uang sebagai ganti kerugian atau sebagai santunan kepada

para korban atau keluarga korban.

Page 84: Digawe PDF

84

BAB V

PENUTUP

A. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta telaah peraturan perundang-

undangan terkait dengan lingkungan hidup dan juga pertambangan maka dapat diambil

simpulan sebagai berikut:

1. Usaha penambangan yang dilakukan di Desa Darmakradenan tidak melalui tahapan

perencanaan karena usaha tersebut merupakan usaha turun temurun dan dikelola oleh

perorangan. Pemanfaatan penambangan yang seharusnya menggunakan peralatan yang

masih sederhana karena merupakan penambangan rakyat sudah mulai berubah termasuk

dalam penggunaan bahan peledak untuk lebih mempermudah pengambilan bahan

tambang. Upaya pengendalian dan pemeliharaan dilakukan oleh pemerintah dengan

menerapkan instrumen-instrumen lingkungan hidup walaupun dalam pelaksanaannya

belum dapat memperlihatkan hasil yang maksimal. Kurangnya tenaga pembinaan dan

pengawasan mengakibatkan upaya pengawasan yang dilakukan tidak dapat secara rutin

dijalankan, akibatnya masih banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi baik dalam

proses perizinan, pelaksanaan usaha, dan juga dalam penegakan hukum.

Page 85: Digawe PDF

85

2. Penegakan hukum yang dilakukan yaitu dengan penerapan instrumen administratif,

instrumen perdata dan juga instrumen pidana tetapi dalam mengatasi sengketa lingkungan

hidup dan juga pertambangan lebih banyak dilakukan penyelesaian diluar pengadilan

yaitu melalui negosiasi dan mediasi karena prosesnya lebih cepat dan hasilnya lebih dapat

diterima oleh kedua belah pihak.

3. Pengaturan mengenai pengelolaan penambangan baik yang terdapat dalam Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ataupun yang

terdapat dalam Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas Nomor 39 Tahun

1995 tentang Penambangan Bahan Galian Golongan C sudah sesuai dengan Undang-

Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Juga Undang-Undang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup

B. SARAN

1. Bagi pemerintah seharusnya dapat lebih tegas dalam melaksanakan penertiban dan

penegakan hukum selain itu juga pemerintah perlu melakukan perbaruan terhadap

Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Banyumas karena walaupun sudah mengacu

pada Undang-Undang Lingkungan Hidup dan juga Undang-Undang Pertambangan tetapi

ada pasal-pasal yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman misalnya dalam

pengaturan mengenai perizinan yang seharusnya diatur dengan lebih jelas, iuran

pertambangan daerah, dan juga berkaitan dengan ketentuan pidana.

Page 86: Digawe PDF

86

2. Bagi semua pihak yang terkait dengan penambangan di Desa Darmakeradenan baik itu

pemerintah, pengusaha, ataupun masyarakat sekitar hendaknya dapat mengetahui dan

melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing terkait dengan penambangan gamping,

karena dampak dari kegiatan tersebut akan sangat berpengaruh terhadap lingkungan

hidup.

Page 87: Digawe PDF

87

Daftar Pustaka

Literatur

Ibrahim, Johnny. 2008. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia.

Hardjasoemantri, Koesnadi. 2006. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta. Gadjah Mada

University Press. Kartono. Abdul Aziz. Diktat Kuliah Hukum Lingkungan. Purwokerto. 2002. N.H.T.Siahaan. 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta: Erlangga. Rhiti Hyrinimus. 2006. Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup. Yogyakarta.

Universitas Atma Jaya Press. Siti Sundari Rangkuti. 1996. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional.

Surabaya: Airlangga University Press.

Soekanto, Soerjono. 1981. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UII Press.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji. 1996. Penelitian Hukum Normatf. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Supriadi. 2008. Hukum Lingkungan Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Peraturan Perundang Undangan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan.

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Usaha Pertambangan.

Page 88: Digawe PDF

88

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 1994 Tentang Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongn C.

Peraturan Derah Kabupaten Banyumas Nomor 23 Tahun 2009 tentang Pengendalian Lingkungan Hidup di Kabupaten Banyumas.

Peraturan Daerah Kabupaten Tingkat II Banyumas Nomor 39 Tahun 1995 tentang Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C

Sumber lain

http://www.banyumaskab.go.id Diakses tanggal 18 Maret 2011

www.pemdesdarma.go.id Diakses tanggal 18 Maret 2011