difteria pada anak.docx

Upload: idhul-ade-rikit-fitra

Post on 14-Apr-2018

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/30/2019 DIFTERIA PADA ANAK.docx

    1/16

    REFERAT MINI Page 1

    DIFTERIA PADA ANAK

    (Idhul Ade Rikit Fitra, Hasniah Bombang)

    Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik

    Pada Bagian Ilmu Kesehatan Anak

    RSUP Bahteramas Fakultas Kedokteran Universitas Haluoleo

    Kendari

    2013

    I. DefenisiDifteria adalah suatui infeksi akut sangat menula, disebabkan oleh

    Corynebacterium diptheriae dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada

    kulit atau dan / atau mukosa. 1,2,3,4 Gejala klinik yang timbul, lokal, dan umum

    merupakan akibat dari hasil kerja toksin yang diproduksi oleh kuman difteria.2

    Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius bagian atas. 4

    II. EpidemologiDifteria tersebar luas di seluruh dunia. Angka kejadian menurun secara nyata

    setelah perangdunia II, setelah penggunaan toksoid difteria. Demikian pula

    terdapat penurunan mortalitas yang berkisar antara 5-10 %. Di ruang perawatan

    penyakit menular bagian ilmu kesehatan anak RSUD dr. Soetomo dalam tahun

    1982-1986 rata-rata dirawat 200-400 kasus difteria setiap tahun dengan angka

    kematian sekitar 4-7 % , akan tetapi dari tahun ke tahun tampak penurunan jumlah

    pasien dan pada tahun 1989 terdapat 130 kasus dengan angka kematian 3,08%.

    Delapan puluh persen kasus terjadi dibawah 15 tahun, meskipun demikian dalam

    suatu keadaan wabah, angka kejadian menurut umur tergantung status imunitas

    populasi setempat. Faktor sosial ekonomi, pemukiman yang padat, nutrisi yang

    jelek, terbatasnya fasilitas kesehatan, merupakan faktor penting terjadinya

    penyakit ini. Angka kesakitan dan kematian tahun 1992-1996 di rumah sakit

  • 7/30/2019 DIFTERIA PADA ANAK.docx

    2/16

    REFERAT MINI Page 2

    propinsi di Jakarta, Semarang, Bandung, Palembang dan Ujung Pandang ternyata

    masih tetap tinggi.1

    Difteria ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier melalui

    droplet (infeksi tetesan) ketika batuk, bersin atau berbicara. Muntahan/debu bisa

    merupakan wahana penularan (Vehicles of transmission). Difteria kulit, meskipun

    jarang dibahas, memegang peranan yang cukup penting secara epidemologik.

    Pada suatu saat ketika angka kejadian difteria faucial di beberapa negara mulai

    memudar, difteria kulit dilaporkan meningkat. Hal yang penting bahwa dalam

    suatu populasi tertentu dengan karier kulit dalam proporsi yang cukup tinggi

    terdapat kekebalan terhadap difteria faucial, namun sebaliknya berperan pula

    dalam terjadinya wabah difteriafaucial. 1

    III. EtiologiDisebabkan oleh Corynebacterium diptheriae, bakteri gram positif yang

    bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarnaan sediaan

    langsung dapat dilakukan dengan metilen blue atau toluidin blue. Basil ini dapat

    ditemukaan dengan sediaan langsung dari lesi. 1

    Gambar 2. Bakteri Corynebacterium diptheriae dikutip dari kepustakaan 5

    Penyakit ini mempunyai dua bentuk, yaitu :

    1. Tipe respirasi, yang disebabkan oleh strain bakteri yang memproduksi toksin(toksigenik)

    2. Tipe kutan, yang disebabkan oleh strain toksigenik maupun nontoksigenik

  • 7/30/2019 DIFTERIA PADA ANAK.docx

    3/16

    REFERAT MINI Page 3

    Tipe respirasi biasanya mengakibatkan gejala berat sampaii meninggal, sedangkan

    tipe kutan umumnya gejala ringan dengan peradangan yang tidak khas, sehingga

    tidak lagi dilaporkan dalam program penanggulangan. 5

    Corynebacterium diptheriae terdiri dari 3 tipe varian, yaitu mitis,

    intermedius, dan gravis. Menurut bakteriofag C diptheriae dapat dibagi menjadi

    19 tipe, adapun menurut virulensinya, bakteri ini dibagi menjadi tipe ganas dan

    tipe jinak. Bakteri tipe jinak dapat ditemukan pada tenggorok dan selaput mukosa

    manusia. Tipe ini mengeluarkan toksin yang bekerja sebagai imunogen yang

    mampu mengikat antioksidan difteria. Jadi, toksin ini berfungsi sebagai antitoksin

    antibodi sehingga sering terjadi infeksi yang tanpa gejala (Carrier). 5

    Di Rumania, pada masa non-epidemi, angka carrier mencapai 0,5-1,2%

    penduduk dengan bakteri tipe mitis. Pada masa epidemi, angka carrier bisa

    meningkat menjadi 25-40% dengan bakteri versi tipe gravis. Bakteri dengan strain

    yang tidak ganas dapat berubah menjadi ganas apabila terinfeksi oleh bakteriofag.

    Eksotoksin yang diproduksi oleh bakteri merupakan suatu protein yang tidak

    tahan terhadap panas dan cahaya. Bakteri dapat memproduksi toksin bila

    terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toksinogen. 5

    Penularan penyakit ini terjadi secara droplet saat penderita atau carrier batuk,

    bersin, dan berbicara. Akan tetapi, debu dan muntahan juga bisa menjadi media

    penularan. Masa inkubasi adalah 2-5 hari. Masa penularan difteria dari penderita

    adalah 2-4 minggu. Sedangkan penularan dari carrier bisa mencapai 6 bulan.

    Penularan pada bayi masih jarang karena ada antibodi pasif dari ibunya yang

    dapat bertahan sampai 6-12 bulan. 5

    IV. PatofisiologiBakteri C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta

    berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai

    memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling, selanjutnya menyebar ke

    seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada

    jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel.

    Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang

  • 7/30/2019 DIFTERIA PADA ANAK.docx

    4/16

    REFERAT MINI Page 4

    telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dalam ribosom.

    Bila rangkaian asam amino ini akan ditambahkan dengan asam amino lain untuk

    membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses

    translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA +

    dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan

    enzyme translokasi (elongation factor-2) yang aktif. 1

    Toksin difteria mula-mula menempel pada membrane sel dengan bantuan

    fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk, mengakibatkan inaktivasi

    enzim translokasi melalui proses : NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2

    (inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan

    proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida

    yang diperlukan, akibatnya sel akan mati. Nekrosis tampak jelas didaerah

    kolonisasi bakteri. Sebagai respons, terjadi inflamasi lokal bersama-sama dengan

    jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah lepas. Produksi

    toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat

    fibrin. Terbentuklah suatu membrane yang melekat erat berwarna kelabu

    kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran

    juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan

    membrane akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membrane akan terlepas sendiri

    pada masa penyembuhan. 1

    Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan

    bakteri (misalnya Streptococcus pyogenus). Membran dan jaringan edematous

    dapat menymbat jalan nafas. Gangguan pernafasan/sufokasi bisa terjadi dengan

    perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang

    diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama

    jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya berpengaruh pada toksin yang

    bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah

    melakukan penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat

    masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis

    biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah

    3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksik dan

  • 7/30/2019 DIFTERIA PADA ANAK.docx

    5/16

    REFERAT MINI Page 5

    degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung

    tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan system

    konduksi. Apabila pasien tetap hidup, terjadi regenerasi otot dan fibrosis

    interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada

    selaput mielin. Nekrosis hati bisa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang

    tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal. 1

    V. KlasifikasiMenurut Beach et al (1950), membagi difteria berdasarkan berat ringannya

    penyakit, yaitu : 4

    1. Infeksi ringanPseudomembran terbatas pada mukosa hidung atau fasial dengan gejala

    hanya nyeri menelan.

    2. Infeksi sedangPseudomembran menyebar lebih luas sampai ke dinding posterior faring

    dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan

    konservatif

    3. Infeksi beratDisertai gejala sumbatan jalan nafas yang berat, yang hanya dapat diatasi

    dengan trakeostomi. Juga gejala komplikasi miokarditis, paralisis ataupun

    nefritis dapat menyertainya.

    Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun 2012

    mengklasifikasikan difteria secara klinik berdasarkan lokalisasi membran, yaitu :1,2,3

    1. Difteria respiratorik, yaitu : Difteria hidung Difteria tonsil dan faring Difteria laring/trakea

    2. Difteria nonrespiratorik, yaitu : Difteria bentuk lain (jarang) : difteria kulit, Konjungtiva, Genitalia

  • 7/30/2019 DIFTERIA PADA ANAK.docx

    6/16

    REFERAT MINI Page 6

    VI. Manifestasi KlinisTergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa

    bervariasi dan tanpa gejala sampai keadaan/penyakit yang hipertoksik serta fatal.

    Sebagai faktor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria,

    virulensinya serta toksikogenitasnya C. diphtheria (kemapuan kuman membentuk

    toksin) dan lokalisasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur,

    penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada

    sebelumnya. Difteria mempunyai masa tunas 2-6 hari. Pasien pada umumnya

    datang untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam

    jarang melebihi 38,9 oC dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi

    penyakit difteria. 1

    1. Difteria HidungDifteria hidung pada awalnya menyerupai commond cold , dengan gejala pilek

    ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi

    serosanguinus dan kemudian mukopurulen, menyebabkan lecet pada nares dan

    bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah septum nasi.

    Absorbs toksin sangat lambat dan gejala sistemik timbul tidak nyata sehingga

    diagnosis lambat dibuat. 1,4

    2. Difteria Tonsil FaringGejala adalah anoreksia, malaise, demam ringan, dan nyeri menelan. Dalam 1-

    2 hari kemudian timbul membrane yang melekat, berwarna putih kelabu dapat

    menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan pallatum molle atau ke

    bawah ke laring dan trakea. Usaha melepaskan membrane akan mengakibatkan

    pendarahan. Dapat terjadi limfadenitis servikal dan submandibular, bila

    limfadenitis terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas,

    timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat penetrasi toksin dan

    luas membrane. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau

    sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai

    kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam 1

    minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi berangsur-

  • 7/30/2019 DIFTERIA PADA ANAK.docx

    7/16

    REFERAT MINI Page 7

    angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan

    membrane akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan

    sempurna. 1,4

    3. Difteria LaringDifteria laring biasanya merupakan perluasan difteria faring. Pada difteria

    faring primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai

    daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala

    obstruksi saluran nafas atau lebih mencolok. Gejala klinis difteria laring sukar

    dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti nafas berbunyi, stridor

    yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat

    terdapat retraksi suprasternal, interkostal, dan supraklavikular. Bila terjadi

    pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak.

    Pada kasus berat, membrane dapat meluas kepercabangan trakeobronkial. Apabila

    difteria laring terjadi sebagai perluasan dari difteria faring, maka gejala yang

    tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia. 1,4

    4. Difteria Kulit, Vulvovaginal, dan TelingaMerupakan tipe difteria yang tidak lazim ( unusual). Difteria kulit berupa tukak

    dikulit, tepi jelas, dan terdapat membrane pada dasarnya. Kelainan cenderung

    menahun. Difteria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan,

    edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa ottitis media

    eksterna dengan secret purulen dan berbau. 1,4

    VII. DiagnosisAnamnesis 1,2,3,4

    - Demam subfebril- Anoreksia- Sakit menelan- Suara serak- Batuk mengonggong- Stridor dan tanda lain obstruksi jalan nafas : sesak, sianosis- Riwayat kontak dengan penderita difteria

  • 7/30/2019 DIFTERIA PADA ANAK.docx

    8/16

    REFERAT MINI Page 8

    Pemeriksaan Fisik1,2,3,4

    - Membran khas terutama pada tonsil dan dinding faring dengan sifat-sifat:membran tebal putih kelabu, pinggir hiperemis dan udem, sukar diangkat dan

    mudah berdarah.

    Gambar 2. Pseudomembran pada difteria

    - Pembesaran kelenjar limfe servikal/submandibula- Bull Neck (adenitis servika, peri adenitis dan edema jaringan lunak sekitar

    leher), secara klinik, dapat dikenal bilamana batas M. sternokleidomastoideus,

    Angulus mandibularis dan Medial clavikula tidak jelas lagi.

    - Difteri hidung sekret serosaguinus dari lubang hidung dan tanda-tanda iritasipada lubang hidung dan bibir atas.

    - Difteri laring mudah didiagnosis secara klinik bila ada difteria tonsil danfaring. Bilamana tidak ada tanda-tanda difteri tonsil dan maka diagnosis difteri

    faring harus dibantu dengan pemeriksaan larongoskopi.

    Laboratorium 1,2,3,4

    - Hitung leukosit darah tepi dapat meningkat- Kadang-kadang timbul anemia- Protein likuor pada neuritis difteria sedikit meningkat- Urea N darah pada nekrosis tubular akut dapat meningkat

  • 7/30/2019 DIFTERIA PADA ANAK.docx

    9/16

    REFERAT MINI Page 9

    - Diagnosis pasti : Bakteri difteria pada sediaan langsung/ biakan (+), preparatapusan langsung dan biakan diambil dari bahan apusan mukosa hidung dan

    tenggorok (naso faringeal swab)

    EKG

    - Dapat terjadi aritmia, perubahan segmen S-T dan gelombang T bila terjadimiokarditis

    VIII. Pemeriksaan PenunjangTujuan : 2,3

    - Untuk mengkonfirmasi diagnosis- Untuk menentukan adanya komplikasi- Untuk pengamatan lanjut selama perawatan- Untuk mempertimbangkan prognosisJenis pemerikasaan 2-3

    1. Pemeriksaan Bakteriologis: berupa preparat apusan dan biakan bakteri C.difteria dari bahan apusan mukosa hidung dan tenggorokan (naso faring swab.

    2. Darah rutin (Hb, Leukosit, Hitung Jenis)3. Urine lengkap (aspek, protein, dan sedimen)4. Enzim CPK segera pada saat masuk rumah sakit5. Ureum dan Kreatinin bila ada kecurigaan komplikasi ginjal6. EKG dilakukan sejak hari 1 perawatan kemudian secara serial minimal 1x/

    minggu dila ada indikasi bisa dilakukan 2-3 x / minggu

    IX. Diagnosis Banding 1,2,31. Difteria Hidung, penyakit yang menyerupai adalah Rinorrehea (Commond

    Cold, Sinusitis, Adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues

    congenital).

    2. Difteria Faring, harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut yangdisebabkan oleh Streptococcus (tonsillitis akut, septic sore throat),

  • 7/30/2019 DIFTERIA PADA ANAK.docx

    10/16

    REFERAT MINI Page 10

    mononukleus infeksiosa, tonsillitis membranosa non-bakterial, tonsillitis

    herpetika primer, moniliasis, blood dyscaria, pasca tonsilektomi

    3. Difteria Laring, gejala menyerupai laryngitis, dapat menyerupai infeksiuscroups yang lain yaituspasmodic croup, angioneuretic edema pada laring, dan

    benda asing dalam laring

    4. Difteria Kulit, perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yangdisebabkan oleh streptococcus dan stafilococcus.

    X. PenatalaksanaanPengobatan Umum 1,2,3,4

    - Perwatan tirah baring selama 2 minggu, penderita dirawat dalam ruang isolasi- Menjamin masukan cairan dan makan penderitaan. Bentuk makanan

    disesuaikan dengan toleransi, untuk hal ini dapat diberi makanan lunak,

    saring/cair, bila perlu sonde lambung jika ada kesukaran menelan (terutama

    paralisis palatum molle dan otot-otot faring

    - Menjamin kemudahan defekasi penderita. Untuk ini kalau perlu diberikan obat-obat membantu defekasi (misalnya klisma, laksansia atau stool softener) untuk

    mencegah mengedan berlebihan.

    - Bila anak gelisah beri sedatif, diazepam atau luminal- Pemberian antitusif untuk mengurangi batuk (difteri laring)- Aspirasi secret secara periodik terutama untuk difteri laring- Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan napas :

    a. Oksigenasib. Tindakan trakeostomi disesuaikan dengan tingkat dispneu menurut Jakson :

    I. Penderita tenang dengan cekungan ringan suprasternalII. Retraksi suprasternal lebih dalam ditambah cekungan epigastrium dan

    penderita mulai gelisah

    III.Retraksi supra dan infrasternal, supraklavikular, interkostal dan sangatgelisah

  • 7/30/2019 DIFTERIA PADA ANAK.docx

    11/16

    REFERAT MINI Page 11

    IV.Penderita sangat gelisah, kekuatan, muka pucat kelabu, kemudianakibat kehabisan tenaga nampak seolah-olah tenang, tertidur dan

    akhirnya meninggal karena asfiksia.

    Indikasi trakeostomi bilamana penderita sudah masuk ke tingkat II dan ke

    III.

    Pengobatan Spesifik1,2,3,4

    a. Serum Anti Difteri (SAD)Dosis diberikan berdasarkan atas luasnya membran dan beratnya penyakit :

    - Dosis 40.000 IU (untuk difteria sedang) : bila membran terbatas padatonsil saja yaitu sebagian /seluruh tonsil secara unilateral atau bilateral.

    - Dosis 80.000 IU (untuk difteria berat) : bila membran meluas melewatitonsil yaitu meluas ke uvula, palatum molle, dinding faring

    - Dosis 120.000 IU (untuk difteria sangat berat) : bila ada bull neck,kombinasi difteria faring dan laring, komplikasi berupa miokarditis, kolaps

    sirkulasi dan kasus-kasus lanjut.

    SAD diberikan dosis tunggal melalui IV (drips) dengan cara melarutkan dalam

    200 cc NaCl 0,9 % pemberian selesai dalam waktu 24 jam (34 tpm).

    SAD merupakan serum heterolog dapat menimbulkan efek samping

    berbahaya, karena itu setiap pemberian SAD harus dilakukan :

    1. Uji kepekaan sebelum pemberian SAD untuk menentukan kemungkinanpeka/serasi terhadap serum heterolog

    2. Pengawasan (tanda-tanda vital dan reaksi lain ) selama dan setelahpemberian SAD (terutama sampai 2 jam setelah pemberian SAD)

    3. Adrenalin 0,01 cc/KgBB secara IM maksimal diulang sampai 3 x denganinterfal 5-15 menit

    4. Sarana dan penanggulangan reaksi renjatan anafilaktik harus tersediaUji kepekaan yang dilakukan terdiri dari :

    a) Test Kulit : 0,1 cc pengenceran 1: 10 SAD dengan NaCl 0,9 % secara intrakutan

  • 7/30/2019 DIFTERIA PADA ANAK.docx

    12/16

    REFERAT MINI Page 12

    Hasilnya dibaca setelah 15-20 menit

    Dianggap positif bila teraba indurasi dengan diameter paling sedikit10 nm

    b) Test Mata : 1 tetes pengenceran 1:10 SAD dengan NaCl 0,9 % diteteskan pada

    salah satu kelopak bagian bawah

    1 tetes Nacl 0,9 % digunakan sebagai kontrol pada mata lain Hasilnya dibaca setelah 15-20 menit

    Dianggap positif bila mata ditetesi SAD menunjukkan tanda-tandakonjungtivitis (merah+bengkak+lakrimasi) bila positif diobati dengan

    1 tetes adrenalin 1 : 1000

    Bila salah satu uji kepekaan positif, SAD tidak boleh diberikan sekaligus tapi

    secara bertahap, yaitu dengan dosis yang ditingkatkan secara perlahan-lahan

    (densebilisasi) dengan interval 20 menit , SAD diencerkan dalam NaCl 0,9%

    sebagai berikut :

    0,05 cc dari pengenceran 1 : 20 secara s.c 0,1 cc dari pengenceran 1 : 20 secara s.c 0,1 cc dari pengenceran 1 : 10 secara s.c 0,1 cc tanpa pengenceran secara s.c 0,3 cc tanpa pengenceran secara i.m 0,5 cc tanpa pengenceran secara i.m 0,1 cc tanpa pengenceran secara i.v SAD yang sisa diberikan melalui i.v secara drips. Jika ada reaksi dari

    penderita (tanda-tanda anafilaktik) segera berikan adrenalin 1:1.000

    b. Antibiotik1,2,3,4 Penisilin prokain 100.000 SI/KgBB/hari i.m selama 10 hari , dosis

    maksimal 3 gr /hari

    Bila alergi terhadap penicillin maka diberikan eritromisin 50mg/KgBB/hari, secara oral 3-4 x/ hari selama 10 hari

    c. Kortikosteroid 1,2,3,4

  • 7/30/2019 DIFTERIA PADA ANAK.docx

    13/16

    REFERAT MINI Page 13

    Indikasi pemberian pada difteria berat dan sangat berat (membran luas,komplikasi dan bull neck)

    Dosis prednison 2 mg/KgBB/hari selama 3 minggu atau deksametasone0,5-1 mg/KgBB/hari secara iv (terutama untuk toksemia).

    Pengobatan karier1,2,3

    Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji schick

    negative tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang

    dapat diberikan adalah penicillin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau

    eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan

    tonsilektomi/adenoidektomi.

    Pengobatan terhadap kontak1,2

    Biakan Uji Schick Tindakan

    (-)

    (+)

    (+)

    (-)

    (-)

    (-)

    (+)

    (+)

    Bebas isolasi : anak telah mendapat imunisasi dasar

    diberikan booster toksoid difteria

    Pengobatan karier 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan,

    atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu

    minggu

    Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral /suntikan atau

    eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI

    Toksoid difteria (imunisasi aktif), sesuaikan dengan

    status imunisasi

    XI. Komplikasi 41. Saluran pernafasan

    Obstruksi jalan nafas dengan segala akibatnya, bronkopneumonia dan

    atelektasis

    2. KardiovaskulerMiokarditis akibat toksin yang dibentuk oleh kuman

    3. UrogenitalDapat terjadi nefritis akut

    4. Susunan Saraf

  • 7/30/2019 DIFTERIA PADA ANAK.docx

    14/16

    REFERAT MINI Page 14

    Kira-kira 10 % penderita difteria akan mengalami komplikasi yang mengenai

    system saraf terutama system motorik

    Paralisis /parese dapat berupa :

    a. Paralisis/ parese palatum molle sehingga rejadi rinolalia, kesukaranmenelan. Sifatnya reversible dan terjadi pada minggu I dan II

    b. Paralisis/ parese otot-otot mata, sehingga dapat mengakibatkan strabismus,gangguan akomidasi, dilatasi pupil atau ptosis, yang timbul setelah minggu

    ke III

    c. Paralisis umum yang dapat timbul setelah minggu ke IV, kelainan dapatmegenai otot muka, leher, anggota gerak dan yang paling berbahaya bila

    mengenai otot pernafasan

    XII. Pemulangan Penderita 2 Bila kelainan klinis/fisis telah menghilang Biakan 2x berturut-turut negative (bila keadaan memungkinkan), EKG 3x berturut-turut normal Tidak ada kesulitan dalam pemberian makanan dan defekasi Sebelum penderita dipulangkan, penderita dan saudara-saudaranya atau

    anggota keluarga lain yang serumah (nonimun) diberikan vaksinasi dasar

    difteria dan booster

    XIII. Pencegahan 1,3,4,51. Isolasi penderita

    Penderita difteria diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan

    sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi C. diphtheria 2 kali

    berturut-turut

    2. ImunisasiPencegahan dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT (difteria, pertusis,

    tetanus) pada bayi dan vaksin DT (difteria, tetanus) pada anak usia sekolah

    dasar.

    3. Pencarian dan kemudian mengobati karer difteria.

  • 7/30/2019 DIFTERIA PADA ANAK.docx

    15/16

    REFERAT MINI Page 15

    Dilakukan dengan uji Schick , yaitu bila hasil negative (mungkin penderita

    karier atau pernah mendapat imunisasi), maka harus dilakukan hapusan

    tenggorok. Jika ternyata ditemukan C. diphtheria , penderita harus diobati dan

    bila perlu dilakukan tonsilektomi.

    XIV. Prognosis 3,4Nelson berpendapat kematian penderita difteria sebesar 3 5 % dan sangat

    bergantung kepada :

    1. Umur penderita, karena makin muda umur anak prognosis buruk2. Perjalanan penyakit , karena makin lanjut makin buruk prognosisnya3. Letak lesi difteria dan penyebaran4. Keadaan umum penderita, misalnya prognosis kurang baik pada penderita gizi

    kurang

    5. Pengobatan, makin lambat pemberian antitoksin, prognosisnya akan makinburuk

    XV. Daftar Pustaka1. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Difteria. Dalam

    Soedarmo SSP dkk. Editor . Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi

    2. Jakarta : IDAI . 2012. H. 312-21.

    2. Rauf S, Artati RD, Meylani. Standar Pelayanan Medik. Ilmu KesehatanAnak. Universitas Hasanuddin. Makassar : FK-Unhas. 2009. H: 11-18

    3. Garna H, Nataprawira HMD, Rahayuningsih SE. Pedoman Diagnosis danTerapi. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 3. Bandung : Bagian Ilmu Kesehatan

    Anak. FK-UNPAD. RS. Hasan Sadikin. 2005. H. 205-08

    4. Hassan R, Alatas H, Latief A, Napitipulu PM,Pudjiadi A, Ghazali MV, etal, editors. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2. Edisi 11. Jakarta :

    Infomedika Jakarta : 2007 H. 550-56.

    5. Widoyono . Penyakit tropis epidemologi, penularan, pencegahan, &pemberantasannya. Edisi kedua. Jakarta : Penerbit Erlangga. 2011. Hal.

    22-27.

  • 7/30/2019 DIFTERIA PADA ANAK.docx

    16/16

    REFERAT MINI Page 16