dian anggraeni

16
HUKUM HUMANITER Oleh: DIAN ANGGRAENI 1112O11108 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

Upload: gilang-fardes-pratama

Post on 01-Dec-2015

34 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Tugas Hukum Humaniter Fakultas Hukum Universitas Lampung Angkatan 2011

TRANSCRIPT

Page 1: Dian Anggraeni

HUKUM HUMANITER

Oleh:

DIAN ANGGRAENI1112O11108

FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS LAMPUNG

2013

Page 2: Dian Anggraeni

Nama : Dian Anggraeni

NPM : 1112011108

MAKUL : Hukum Humaniter Internasional

Kelas : A2

Dosen : Ahmad Sofyan, S. H., M. H.

Tugas : Analisis Berdasarkan Studi Kasus Mengenai

Konflik Sometimes In April

Page 3: Dian Anggraeni

BAB I

KASUS POSISI

A. Fakta

Genosida atau genosid adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud memusnahkan (membuat punah) bangsa tersebut. Menurut Statuta Roma dan Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, genosida ialah Perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya; melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain. 1

Kejahatan Genosida/kejahatan yang ditakuti oleh semua umat ini pun terjadi yang membuat kelam Negara Rwanda,Afrika.Kejadian ini berawal ketika bulan april pada tahun 1994, presiden Rwanda (Juvenal Habyarimana), Presiden Burundi (Cyprien Ntarymira), dan penumpang lainnya akan mendarat. Pesawat tersebut ditembak oleh sekelompok orang ekstrimis dan kemudian menewaskan para penumpang di dalam pesawat tersebut termasuk Presiden Rwandan dan Presiden Burundi. Tidak lama setelah Presiden Rwanda tewas beserta Presiden Burundi dan penumpang lainnya, para kelompok garis keras Hutu memblokade di berbagai tempat di Rwanda dan memulai pencarian serta pembataian terhadap suku tutsi.2

Para kelompok militer juga turut terlibat dalam peristiwa pembantaian ini. Mereka juga melibatkan para penduduk sipil seperti para petani untuk membunuh suku Tutsi dengan senjata seperti parang maupun senjata api maka terjadilah pembantaian kurang lebih 1.000.000 orang dalam waktu 100 hari di Rwanda.3

Konflik di Rwanda, awalnya dapat dikategorikan sebagai konflik internal, menyusul perebutan kekuasaan antara etnis Tutsi dan Hutu yang mengakibatkan perang sipil di tahun 1959. Akan tetapi konteks konflik internal pada kejahatan

1 Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM2 Ria Wierma Putri, Hukum Humaniter Internasional, Bandar Lampung: Universitas Lampung. Hlm.623 M. Ya’cup A kadir, “Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Internasional Dan hukum Nasional”,Jurnal Ilmu Hukum Kanun ,Vol X1X No.48 Desember 2009, FH UNSYIAH Aceh,Hlm 121.

Page 4: Dian Anggraeni

genosida dan konflik etnis di Rwanda menjadi hirauan internasional karena adanya upaya pemusnahan etnis secara besar-besaran.4

Rwanda merupakan salah satu negara di belahan Benua Afrika yang terdiri dari 3 kelompok etnis: Hutu (88%), Tutsi (11%), dan Twa pygmies (1%) yang memiliki kesamaan budaya, bahasa dan agama. Namun pada tahun 1916 terjadi klasifikasi ras di Rwanda pada masa kolonial Belgia, yang kemudian menimbulkan kebencian di antara kedua suku tersebut. Namun pada tahun 1959 Belgia menyerahkan Rwanda kepada Hutu dan adanya kelompok anti-Tutsi. Rwandan Patriotic Front (RPF) merupakan pergerakan dari para pengungsi yang ingin merebut tanah air mereka pada tahun 1988 dan tahun 1990 melakukan serangan terhadap rezim Hutu. Perang dan pembantaian ini terus berlangsung sampai tahun 1993.5

PBB dalam usahanya melindungi kekuasaan kedua suku tersebut, menegosiasikan kesepakatan untuk pembagian kekuasaan. Namun kelompok garis keras ekstrimis Hutu menolaknya. Mereka juga menolak penyatuan etnis di Rwanda yang merupakan isi dari Piagam Arusha pada tahun 1993. Hal ini kemudian membuat kelompok garis keras Hutu ekstrimis merencanakan pembantaian atau genosida terhadap suku Tutsi dan Hutu moderat.6

Penduduk Rwanda keturunan Hutu, seperti Augustin dalam film ini, harus menghadapi dilema karena istrinya (Jeanne) dan sahabatnya merupakan keturunan Tutsi. Pembantaian ini juga mengancam ketiga anaknya (Anne-Marie, Yves-Andre dan Marcus). Saudara kandungnya, Honore Butera, yang bekerja sebagai penyiar radio RTLM bertugas untuk membacakan daftar nama yang sasaran kelompok Hutu ekstrimis untuk dibunuh. Namun Honore tidak menyebutkan nama Augustin dalam siarannya dan kemudian berusaha menolong Jeanne dan anak-anak dari Augustin yang seharusnya dilindungi dalam perang. 7

Namun pertolongan yang dilakukan Honore gagal karena dalam perjalanannya ketiga anak Augustin tewas ditembak dan istrinya dapat selamat namun meninggal kemudian karena bunuh diri setelah para militer Hutu ektrimis melakukan pelecehan terhadap Jeanne. Dilema kedua yang dihadapi Augustin

4 Aryuni Yuliatiningsih,”Perlindungan Terhadap Pengungsi Domestik Menurut Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia “,Jurnal Dinamika Hukum ,Vol.8 No.3 September 2008,hlm 21.5 Antanio Pradjasto, “Konvensi Genosida Melindungi Hak Asasi Manusia-Memerangi Impunitass”, Jurnal Hukum Jentera,Vol.II No.1 februari 2004,PSHK Jakarta,hlm 65.6 Rika Ratna Permata,” Suatu Tinjauan Hukum Terhadap Pelanggaran Piagam PBB Oleh Invasi AS Ke Irak “,Jurnal HI, Vol 2 No 2 Agustus 2003,hlm 155.7 Andri Kurniawan, “Pemenuhan Hak-Hak Anak Atas Kesehatan Diprovinsi Nanggro Aceh Darussalam didasarkan Qanun Aceh Nomor 11 tahun 2008 Tentang Perlindungan Anak-Anak”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol 11 No 2 Mei 2011,FH UNSOED Purwokerto,hlm 187.

Page 5: Dian Anggraeni

adalah ketika sahabatnya Xavier Miango juga harus dibunuh oleh kelompok Hutu ekstrimis karena dia adalah keturunan Tutsi.8

Dalam kurun waktu 100 hari dari 6 April hingga 16 Juli 2004, diperkirakan 800.000 hingga 1 juta suku Tutsi dan Hutu moderat meninggal. Lebih dari 6 pria, wanita dan anak-anak dibunuh setiap menit setiap jam dalam setiap hari. Antara 250.000 dan 500.000 wanita mengalami kekerasan seksual. Sebanyak 20.000 anak-anak lahir dari tindakan itu. Lebih dari 67% wanita yang diperkosa terinfeksi HIV/AIDS. 75.000 yang selamat menjadi yatim piatu dan 40.000 lainnya tidak memiliki tempat tinggal.  Rwanda tidak bisa melindungi masyarakatnya bahkan menjadi ancaman bagi warganegaranya sendiri.9

Adapun pelanggaran-pelanggaran yang terjadi:10

a. Pelanggaran HAM sekaligus juga pelanggaran hukum humaniterb. Penduduk sipil yang dijadikan sebagai objek sasaran seranganc. Pembunuhan secara keji terhadap penduduk sipild. Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam

pembunuhan, penyekapane. perlakuan kejam dan penganiayaanf. Penyanderaang. Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina

dan merendahkan martabath. Perlakuan semena-mena terhadap tawanan perangi. Memaksa orang atau penduduk sipil untuk ikut mengangkat senjata untuk

melawan musuh j. Menjadikan seseorang yang tak berdaya sebagai sasaran serangan;k. Menjadikan daerah-daerah yang tidak dipertahankan atau demiliterised

zone sebagai sasaran serangan,dll.

B. Pihak-Pihak Yang Bersengketa

Berdasarkan uraian di atas, pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa tersebut adalah:

8 Roberia Dan Siti Maimunah ,” Cakupan Hak Asasi Manusia Bidang Kesehatan”, Jurnal Hukum Kesehatan ,Vol 2 No 4 Tahun 2009,hlm 59.9 Sophia Listriani, “Tanggung Jawab Komandan Atas Pelanggaran Hukum Humaniter Dalam Suatu Sengketa Internasional “, Jurnal Ilmiah Mondial Ilmu-Ilmu Sosial Dan Kemasyarakatan,Vol 9 No 16 Juli 2007,UNSYIAH Ace,hlm 12110 Idris,”Kejahatan Perang : Kasus Agresi AS Atas Irak “, Jurnal Hukum Internasional,Vol.3 No 2 Agustus 2004, FH UNPAD Bandung,hlm 198

Page 6: Dian Anggraeni

a. Etnis Tutsib. Etnis Hutu

BAB 2

MASALAH HUKUM DAN TINJAUAN TEORISTIK

Page 7: Dian Anggraeni

A. MASALAH HUKUM

Pada saat perang atau konflik antara etnis tutsi dan hutu berlangsung, tentu banyak sekali pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh masing-masing pihak yang melanggar kaidah atau peraturan hukum perang. Pada kali ini, penulis ingin menganalisis pelanggaran-pelangaran apa saja yang dilakukan para pihak berperang tersebut? Dan dimanakah pengaturan pelanggaran tersebut diatur?

B. TINJAUAN TEORITIK

1. Metode Berperang

Metode berperang diatur dalam protokol tambahan 1 Konvesi Jenewa 1949,konvensi Den Haag IV 1907. Metode perang yang diatur dalam konvensi ini adalah:a. Melarang membunuh atau melukai orang dari pihak musuh secara curang

atau khianat(pasal 23b). mengenai perbuatan curang atau khianat konvensi tidak menentukan secara tegas tindakan-tindakan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan khianat atau curang serta bagaimana perbadaan antara perbuatan khianat dengan muslihat perang yang diakui sah. Pasal 23f HR hanya menetapkan penggunaan bendera perdamaian tidak pada tempatnya dilarang kecuali sesuai dengan fungsinya digunakan untuk melindungi negosiator atau perantara.

b. Melarang perbuatan yang bukan berdasarkan pada sifat curang tidaknya suatu perbuatan tetapi karena sifat kejamnya suatu perbuatan, misalnya larangan membunuh atau melukai musuh yang telah berstatus hors de combat (pihak yang telah menyerah) (pasal 23 c HR).

c. Pasal 3 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 memberikan jaminan perlakuan menurut asas-asas perikemanusiaan, terlepas dari status apakah sebagai pemberontak atau sifat dari sengketa bersenjata itu sendiri.11

d. Kemudian, pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 menyatakan “Dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung di dalam wilayah salah satu Pihak Agung penandatangan, tiap Pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut : 12

11 Teguh Sulista,” Pengaturan Perang Dan Konflik Bersenjata Dalam Hukum Humaniter Internasional”, Jurnal Hukum Internasional,Vol 4 No 3 April 2007, Fakultas Hukum UNPAD Bandung,hlm 53512 Adwani,”Perlindungan Korban Perang Dalam Konflik Bersenjata Non-Internasional”,Jurnal Ilmu Hukum Kanun,Vol XVIII,No 43 April 2008,FH UNSYIAH Aceh,hlm.21.

Page 8: Dian Anggraeni

Orang-orang yang tidak mengambil bagian aktif dalam sengketa itu, termasuk anggota-anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penawanan atau sebab lain apapun dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu.13

e. Selanjutnya Pasal 3 ayat 2 Konvensi-konvensi Jenewa 1949 menyatakan bahwa yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat.

2. Pengertian Penduduk Sipil dan Status Penduduk Sipil Yang Menjadi Korban dalam Konflik Bersenjata Non-Internasional di Rwanda

Secara umum diketahui bahwa di dalam setiap peperangan pasti ada pihak–pihak yang harus mendapatkan perlindungan. Salah satu di antara pihak-pihak tersebut adalah warga sipil. Istilah warga sipil dalam Bahasa Inggris dapat ditemukan padanannya dalam kata ‘civilian’. Di dalam Black’s Law Dictionary, civilian diartikan sebagai ‘a person not serving in the military’. Dengan kata lain warga sipil adalah orang–orang yang ada di luar anggota militer.

Penduduk sipil (civilians) ialah mereka yang tidak turut serta secara aktif dalam permusuhan atau pertempuran, mereka harus dilindungi dan tidak boleh dijadikan sasaran serangan.14

Hukum Humaniter telah menentukan perbedaan status dalam situasi konflik non-internasional yaitu kombatan dan civilian. Status warga sipil dalam suatu konflik bersenjata adalah berstatus sebagai civilian yang harus mendapatkan perlindungan. Status perlindungan terhadap warga sipil tersebut diatur baik dalam Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II maupun Hukum Kebiasaan Internasional Humaniter.

BAB 3

TUNTUTAN PELANGGARAN PERANG HUKUM HUMANITER

13 Mochtar Kusumaatmadja,2002, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949 Mengenai Perlindungan Korban Perang ,Bandung: Alumni,hlm 32.14GPH Haryomataram, Sekelumit Tentang Hukum Humaniter, Surakarta: Sebelas Maret University Press, hlm.102.

Page 9: Dian Anggraeni

Berdasarkan fakta yang telah dijelaskan diatas berdasarkan landasan teoritik, pelanggaran-pelanggaran yang dapat dituntutkan terhadap kasus perperangan tersebut ialah:

1. Perlindungan Hukum Terhadap Warga sipil dalam Konflik Bersenjata Non-Internasional

2. Penduduk sipil yang dijadikan sebagai objek sasaran serangan

BAB 4

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER

Page 10: Dian Anggraeni

1. Perlindungan Hukum Terhadap Warga sipil dalam Konflik Bersenjata Non-Internasional Ditinjau Perspektif Hukum Humaniter Internasional

Perlindungan yang seharusnya diterima oleh warga sipil yang menjadi korban dalam suatu konflik bersenjata non-internasional seperti yang terjadi di Rwanda dapat ditemukan pada Konvensi Jenewa IV 1949 beserta Protokol Tambahan II dan Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan. Pada Konvensi Jenewa IV 1949, terdapat pengaturan yang umum mengenai perlindungan terhadap warga sipil yaitu dalam Pasal 27-39, dan Pasal 47, 48, 50, 55, dan 58. Substansi ini diatur dalam Pasal 7, 13, 14, 17 Protokol Tambahan II. Sedangkan di dalam Hukum Kebiasaan Internasional Humaniter juga ditegaskan mengenai perlindungan warga sipil ini yaitu terdapat dalam Aturan 1, 2, 5-7, 9, 10, 12, 13, 20-24, 33-35, 42, 53-55, 70-84, 86-105, dan 131.15

Selain ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan warga sipil dalam suatu peperangan. Terdapat aturan pencegahan mengenai kemungkinan jatuhnya korban dari kalangan warga sipil. Adapun aturan pencegahan mengenai kemungkinan jatuhnya korban dari kalangan warga sipil sebagai akibat suatu operasi militer yang merupakan penjabaran dari Prinsip Pembedaan adalah-aturan-aturan yang terkait dengan Proporsionalitas dalam Penyerangan (Aturan 14), terkait dengan Langkah Pencegahan dalam Penyerangan (Aturan 15, 17, 18, 19). Sedangkan aturan Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan mengenai perlindungan bagi warga sipil yang telah menjadi korban adalah aturan-aturan yang terkait Korban Luka, Korban Sakit, dan Korban Karam (Aturan 109 dan 111), terkait Korban Tewas (112-116), Orang Hilang (Aturan 117), dan terkait Implementasi dalam hal Tanggung Jawab dan Ganti Rugi (Aturan 150).16

2. Penduduk sipil yang dijadikan sebagai objek sasaran serangan

Pasal 85 ayat (3) Protokol tambahan 1/1977 menyatakan bahwa perbuatan yang menyebabkan kematian merupakan pelanggaran berat yaitu tindakan yang dilakukan terhadap penduduk sipil/orang sipil yang dijadikan objek sasaran serangan dan melancarkan serangan tanpa membedakan objeknya yang menyebabkan penduduk sipil mengalami kerugian hidup berlebihan17.

BAB 5

KESIMPULAN

a. Pada dasarnya Hukum Humaniter telah menentukan adanya perbedaan status dalam situasi konflik bersenjata. Status warga sipil dalam konflik bersenjata non-internasional adalah civilian dimana warga sipil merupakan pihak yang

15 Antanio Pradjasto, Op.Cit.,hlm 7616 Adwani,Op.Cit.,hlm 76.17 Yuliatiningsih,Aryuni, “Perlindungan Terhadap Pengungsi Domestik Menurut Hukum Humaniter dan HAM “, Jurnal Dinamika Hukum, Vol 8 No 3 September 2008,FH UNSOED Purwokerto,hlm 98.

Page 11: Dian Anggraeni

harus dilindungi. Status perlindungan tersebut sudah jelas diatur dalam Konvensi-Konvensi Jenewa 1945 beserta Protokol Tambahannya dan juga Hukum Kebiasaan Internasional Humaniter. Dalam suatu konfliik bersenjata orang-orang yang seharusnya menjadi korban adalah kombatan sehingga warga sipil wajib dilindungi, tetapi apabila warga sipil tersebut ikut dalam perang dengan mengangkat senjata maka status terlindungi mereka secara otomatis akan hilang. 18

b. Perlindungan yang diberikan kepada warga sipil yang menjadi korban perang dalam konflik bersenjata non-internasional telah secara tegas diatur dalam Konvensi Jenewa IV dan Protokol Tambahan II, juga dalam Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan. Perlindungan-perlindungan sebagaimana disebutkan diatas seharusnya diterima oleh warga sipil baik yang menjadi korban maupun yang tidak menjadi korban dalam konflik bersenjata yang terjadi di Rwanda. Tetapi faktanya, perlindungan yang seharusnya diterima oleh mereka tidaklah diberikan secara optimal. 19

Daftar Pustaka

Antanio Pradjasto, “Konvensi Genosida Melindungi Hak Asasi ManuMemerangi Impunitass”,Jurnal Hukum Jentera,Vol.II No.1 februari2004,PSHK Jakarta,hlm 65.

Ria Wierma Putri, Hukum Humaniter Internasional, Bandar Lampung:Universitas Lampung.Hlm.62

18 GPH Haryomataram,Op.Cit., hlm 8619 Adwani, “Perlindungan Terhadap Orang-Orang Dalam Daerah Konflik Bersenjata Menurut Hukum Humaniter Internasional”,Jurnal Dinamika Hukum,Vol 12 No 1 Januari 2012,hlm 99.

Page 12: Dian Anggraeni

M. Ya’cup A kadir, “Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Internasional Dan hukumNasional”,Jurnal Ilmu Hukum Kanun ,Vol X1X No.48 Desember 2009,FH UNSYIAH Aceh,Hlm 121.

Aryuni Yuliatiningsih,”Perlindungan Terhadap Pengungsi Domestik MenurutHukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia “,Jurnal Dinamika Hukum,Vol.8 No.3 September 2008,hlm 21.

Rika Ratna Permata,” Suatu Tinjauan Hukum Terhadap Pelanggaran Piagam PBBOleh Invasi AS Ke Irak “,Jurnal HI, Vol 2 No 2 Agustus 2003,hlm 155.

Andri Kurniawan, “Pemenuhan Hak-Hak Anak Atas Kesehatan DiprovinsiNanggro Aceh Darussalam didasarkan Qanun Aceh Nomor 11 tahun 2008Tentang Perlindungan Anak-Anak”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol 11 No2 Mei 2011,FH UNSOED Purwokerto,hlm 187.

Roberia Dan Siti Maimunah ,” Cakupan Hak Asasi Manusia Bidang Kesehatan”,Jurnal Hukum Kesehatan ,Vol 2 No 4 Tahun 2009,hlm 59.

Sophia Listriani, “Tanggung Jawab Komandan Atas Pelanggaran HukumHumaniter Dalam Suatu Sengketa Internasional “, Jurnal Ilmiah MondialIlmu-Ilmu Sosial Dan Kemasyarakatan,Vol 9 No 16 Juli 2007,UNSYIAHAceh,hlm 121

Idris,”Kejahatan Perang : Kasus Agresi AS Atas Irak “, Jurnal HukumInternasional,Vol.3 No 2 Agustus 2004, FH UNPAD Bandung,hlm 198

Teguh Sulista,” Pengaturan Perang Dan Konflik Bersenjata Dalam HukumHumaniter Internasional”, Jurnal Hukum Internasional,Vol 4 No 3 April2007, Fakultas Hukum UNPAD Bandung,hlm 535

Adwani,”Perlindungan Korban Perang Dalam Konflik Bersenjata NonInternasional”,Jurnal Ilmu Hukum Kanun,Vol XVIII,No 43 April2008,FH UNSYIAH Aceh,hlm.21.

Mochtar Kusumaatmadja,2002, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949Mengenai Perlindungan Korban Perang ,Bandung: Alumni,hlm 32.

GPH Haryomataram, Sekelumit Tentang Hukum Humaniter, Surakarta: SebelasMaret University Press, hlm.102.

Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM