diagnosis dan penatalaksanaan rinitis alergi persisten sedang-berat

33
Referat DIAGNOSIS DAN PENATALAKSAAN RHINITIS ALERGI PERSISTEN SEDANG-BERAT Disusun oleh: JESSIECA LIUSEN 0708112138 Pembimbing: Dr. ROY DAVID SARUMPAET, SpTHT-KL KEPANITERAAN KLINIK KBK 1

Upload: jessieca-liusen

Post on 26-Jul-2015

597 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi Persisten Sedang-Berat

Referat

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSAAN RHINITIS ALERGI PERSISTEN

SEDANG-BERAT

Disusun oleh:

JESSIECA LIUSEN

0708112138

Pembimbing:

Dr. ROY DAVID SARUMPAET, SpTHT-KL

KEPANITERAAN KLINIK KBK

BAGIAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU

RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU

2012

1

Page 2: Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi Persisten Sedang-Berat

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN RINITIS ALERGI

PERSISTEN SEDANG-BERAT

1. Pendahuluan

Alergi adalah manifestasi klinis yang disebabkan oleh respon imun pada

paparan alergen berulang seperti serbuk sari, kutu, debu, makanan, dan lain-lain.

Rinitis alergi adalah inflamasi membran mukosa nasal yang dimediasi oleh reaksi

antigen dengan IgE terhadap satu atau lebih alergen yang terjadi pada pasien

dengan riwayat atopi. 1,2 Rinitis alergi merupakan salah satu bentuk reaksi

hipersensitivitas yakni tipe 1 yang disebut juga sebagai reaksi anafilaksis.

Hipersensitivitas tipe 1 merupakan reaksi alergi yang timbulnya cepat, melibatkan

histamin yang distimulasi dari degranulasi sel mast dan basofil, serta melibatkan

mediator inflamasi dan IgE. Reaksi ini merupakan reaksi self-limiting.3

Patofisiologinya dapat dilihat pada gambar 1 berikut.4

Gambar 1. Patofisiologi rinitis alergi4

Berdasarkan data Amerika Serikat, sekitar 18-32% populasi mengidap

rinitis alergi, prevalensinya terus meningkat. Rinitis alergi sangat mempengaruhi

kualitas hidup pasien, produktivitas, memberikan dampak ekonomi yang besar

dalam pengobatannya.5

2

Page 3: Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi Persisten Sedang-Berat

Berdasarkan Workshop ARIA 2007, rinitis alergi diklasifikasikan sebagai

berikut:6

Di negara Barat, 29% dari populasi mengidap rinitis alergi persisten dan

rata-rata memiliki derajat serangan yang berat. Pada penelitian lain di Italia, dari

1321 pasien rinitis alergi, 7,7% intermiten ringan, 17,1% intermiten sedang-berat,

11,6% persisten ringan, dan 63,6% persisten sedang berat. Penelitian retrospektif

di 9 negara Asia, menunjukkan 60-70% pasien dengan persisten sedang-berat.5

Dengan demikian, dampak terhadap kualitas hidup penderita akan lebih berat.

Prevalensi terjadinya asma meningkat seiring dengan meningkatnya persistensi

gejala dan derajat berat rinitis alergi.7 Penatalaksanaan rinitis alergi persisten

dapat dilakukan dengan farmakoterapi, imunoterapi, dan edukasi. Hingga

sekarang masih banyak penelitian mengenai strategi penatalaksanaan rinitis alergi

persisten sedang-berat sehingga dapat mencapai sasaran yang optimal.8

2. Diagnosis

a. Anamnesis

Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang. Secara umum gejala klinis rinitis alergi berupa :2

1. Bersin berulang,

2. Rinore encer dan banyak,

3. Hidung tersumbat,

4. Hidung dan mata gatal

Pada anak, biasanya tidak semua gejala klinis yang timbul, gejala tersering

pada anak adalah hidung tersumbat. Gejala tambahan lainnya berupa lakrimasi. 2

3

Intermiten (Gejala)< 4 hari dalam seminggu< 4 minggu dalam setahun

Persisten (Gejala)> 4 hari dalam seminggu> 4 minggu dalam setahun

RinganTidur normalTak mengganggu aktivitas, olahragaTak mengganggu kerja dan sekolahGejala (+) tapi tak menonjol

Sedang-beratTidur terganggguMengganggu aktivitas, olahragaMengganggu kerja dan sekolahGejala (+) dan menonjol

Page 4: Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi Persisten Sedang-Berat

Bersin dan rinore dapat terjadi pada reaksi alergi fase cepat sekitar 30

menit setelah IgE terpapar pada alergen tertentu dan kemudian menghilang.

Reaksi alergi fase cepat terjadi sebagai respon dari sel mast yang terpapar alergen.

Sel mast kemudian mengalami degranulasi mengeluarkan mediator inflamasi.

Mediator preformed di sel mast lepas berupa histamin. Selain itu, dilepaskan juga

newly formed mediator seperti leukotriene, prostaglandin, dan platelet activating

factor (PAF). Mediator pada reaksi alergi fase cepat yang bersifat kemotaksis

mengakibatkan terjadinya reaksi alergi fase lambat di mana kemotaktik terhadap

eosinofil, sel mast, sel T. Migrasi eosinofil dan sel T ke mukosa hidung

mengakibatkan rusaknya sel epitel mukosa nasal serta remodeling mukosa

nasal.4,9,10,11

Akibatnya, serabut saraf langsung terpapar mediator inflamasi yang

dikeluarkan tersebut. Jika yang tereksitasi (oleh neurotropin) adalah serabut

sensorik maka terjadi gejala gatal di hidung, jika yang tereksitasi oleh serotonin

adalah serabut motorik maka mengakibatkan terjadi bersin. Jika yang tereksitasi

oleh neurotropin adalah saraf otonom maka akan meningkatkan sekresi sel

Goblet dan eksudasi plasma dari kapiler sehingga menghasilkan gejala klinis

berupa rinore yang encer. Proses ini disebut hiperresponsif non spesifik. Histamin

mengakibatkan vasodilatasi sinusoid sehingga terjadi kongesti nasal. 4, 9, 10, 11

Reaksi alergi fase lambat berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam

setelah pemaparan, dan bisa berlangsung hingga 24-48 jam. Sel eosinofil, sel Th2

menginfiltrasi mukosa nasal mengeluarkan beberapa sitokin, mediator kimia,

kemokin. Sitokin seperti IL-3,4,5 dan granulosit-makrofag koloni stimulating

factor (GMCSF) diproduksi oleh sel Th2 dan sel mast serta eosinofil. Mediator

kimia yang dilepas berupa platelet activating factor (PAF), sistenil leukotriene,

dan tromboksan A2. Kemokin berupa eotaksin berfungsi untuk mengaktivasi sel T

normal dan meningkatkan produksi sel T di timus. Mediator kimia ini dapat

mengakibatkan hipereksitasi parasimpatis sehingga mengakibatkan vasodilatasi

dan edema interstisial sehingga terjadi pembesaran konka. Pada fase ini, selain

alergen, iritasi oleh faktor non spesifik seperti asap rokok, bau yang merangsang,

perubahan cuaca, dan kelembaban udara yang tinggi bisa memperberat gejala.4,11

4

Page 5: Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi Persisten Sedang-Berat

Mekanisme terjadinya gejala klinis pada rinitis alergi dapat dilihat pada

gambar 2 di bawah ini.4

Gambar 2. Mekanisme terjadinya gejala klinis rinitis alergi4

Dari anamnesis juga harus dicari riwayat atopi di keluarga, sebab jika

kedua orang tua memiliki riwayat atopi maka >50% dari anak mungkin bisa kena

rinitis alergi. Perhatikan gambar 3. 11, 12, 13

Gambar 3. Kemungkinan atopi keturunan12

Diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan jika 2 atau lebih dari gejala

seperti rinore encer, bersin, kongesti nasal, dan gatal di hidung terjadi selama 1

jam atau lebih dan berulang dalam beberapa hari.9

Penelitian Lee CH et al menunjukkan pada rinitis persisten sedang berat

gejal klinis bersin, rinore, dan kongesti akan lebih berat dibandingkan rinitis

intermiten ringan, persisten ringan, dan intermiten sedang-berat. Berikut hasil

penelitiannya pada tabel 1.5

5

Page 6: Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi Persisten Sedang-Berat

Tabel 1. Penelitian Lee CH et al menunjukkan pada rinitis persisten sedang berat

gejala bersin, kongesti, dan rinore lebih berat.5

Penelitian DREAMS menunjukkan pada pasien dengan rinitis alergi

persisten sedang-berat dengan rinore dan gatal di hidung disebabkan oleh

multialergen pencetus seperti kutu debu dan serbuk sari (Tabel 2). 7

Tabel 2. Signifikansi sensitivitas alergen pada rinitis alergi persisten

sedang-berat7

Pada pasien dengan rinitis alergi persisten sedang-berat, biasanya juga

disertai dengan berkurangnya penciuman (Gambar 4). Hal ini dikarenakan

rinitis alergi yang kronik dapat mengakibatkan terjadinya hipertrofi mukosa dan

edem, hal ini akan menghambat rangsang bau mencapai neuroepitel olfaktorius.

Reseptor olfaktorius juga menjadi rusak akibat stress oksidatif yang terjadi

bersamaan dengan setiap reaksi inflamasi alergi. Hal ini mengakibatkan

berkurangnya reseptor olfaktorius dan terjadi regenerasi epitel olfaktorius. 5

6

Page 7: Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi Persisten Sedang-Berat

Gambar 4. Perbandingan disfungsi penciuman pada kelompok rinitis alergi5

Keadaan lain yang berhubungan dengan patofisiologi rinitis alergi sendiri

juga harus ditanyakan di anamnesis. Obstruksi nasal dapat mengakibatkan pasien

tidur mendengkur dan bahkan bisa terjadi apnea sementara saat tidur. Obstruksi

dari ostium sinus dapat mengakibatkan sinusitis. Disfungsi tuba Eustachius juga

dapat terjadi, hal ini menjadi penyebab terjadinya otitis media serosa. Riwayat

penyakit lainnya yang juga dapat mempengaruhi terjadinya rinitis alergi

ditanyakan pada pasien seperti asma, dermatitis atopi.11

b. Pemeriksaan fisik

Rasa gatal di hidung mengakibatkan kebiasaan menggosok hidung dan

mata maka timbullah allergic salute yakni garis horizontal di 1/3 dorsum nasal

distal (gambar 5).13

Gambar 5. Allergic salute13

Pada rinitis alergi juga dapat terjadi kongesti vena di wajah mengakibatkan

tampaknya pembengkakan kelopak mata bawah disertai garis Dennies (Gambar

6). Garis tersebut serta pembengkakan kelopak mata bagian bawah tersebut

7

Page 8: Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi Persisten Sedang-Berat

tampak lebih gelap dibanding daerah sekitarnya yang disebut dengan allergic

shiners (Gambar 7). Hal ini terjadi karena statis vena periorbital akibat obstruksi

kongesti nasal. 11,13

Gambar 6. Denniess line13

Gambar 7. Allergic shiners12

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior akan tampak mukosa nasal pucat,

kebiruan dan sekretnya encer tanpa tanda infeksi sekunder (gambar 8).12,13,15

Gambar 8. Rinoskopi anterior tampak mukosa pucat kebiruan12

8

Page 9: Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi Persisten Sedang-Berat

c. Pemeriksaan penunjang

1. Skin test

Skin test merupakan salah satu gold standard tes alergi. Prinsip skin test

adalah dengan terjadinya reaksi antara antigen dengan sel mast yang telah

tersensitisasi di kulit mengakibatkan munculnya edema dan eritema pada

kulit. Reaksi ini berlangsung dari 2 menit-20 menit. Skin test ini disupresi

oleh antihistamin dan antidepresan. Oleh karena itu, pasien tidak boleh

mengkonsumsi antihistamin dan antidepresan dalam 72 jam sebelum skin

test dilakukan.1,14

Skin test terbagi menjadi epikutaneus dan intrakutaneus.1,14

a. Uji epikutaneus contohnya skin prick test dan skin scratch test.1,14 Dari

beberapa jenis skin test tersebut, skin prick test direkomendasikan

sebagai skin test yang dapat dilakukan dalam praktek sehari-hari.9 Skin

test dilakukan pada daerah volar lengan bawah. Jarak antar alergen

yang diuji sekitar 2 cm untuk skin prick test dan 5 cm untuk uji

intradermal. Skin prick test dilakukan dengan menusukkan jarum

lanset yang sudah ada alergen ke barrier epidermis. Untuk kontrol

harus disediakan kontrol negatif tanpa alergen dan kontrol positif

menggunakan histamin dilusi.16

Sebelum melakukan skin scratch test, lapisan kulit superfisial

ditempeli dulu dengan tape kemudian tape ditarik sehingga lapisan

korneum kulit ikut tertarik. Kemudian alergen yang akan diuji

dioleskan ke area kulit tersebut. Skin scratch test hanya dilakukan jika

jumlah alergen yang ada sedikit dan tidak mencukupi untuk skin prick

test.16

b. Uji intrakutaneus

Skin test yang paling sensitif adalah uji intrakutan. Uji intrakutan

dilakukan dengan menyuntikkan alergen pada berbagai konsentrasi

dan kepekatan. Selain diketahui alergen penyebab juga dapat

menentukan derajat dan dosis inisial untuk desensitisasi. Jika dengan

skin prick test hasilnya negatif maka selanjutnya dilakukan uji

9

Page 10: Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi Persisten Sedang-Berat

intrakutan sebab skin prick test kurang sensitif untuk menunjukkan

reaksi alergi pada kadar antigen yang rendah.1,15

Setelah 20 menit observasi, dilakukan penilaian reaksi alergi yang terjadi

seperti pada tabel 3 berikut:16

Tabel 3. Interpretasi reaksi alergi pada skin test 16,17

2. Pemeriksaan kadar IgE

Pemeriksaan kadar IgE dapat dilakukan dengan pemeriksaan IgE total

serum dan secara invitro16,18

a. Pemeriksaan IgE total menunjukkan peningkatan dari kadar

normalnya, tabel 4 berikut menunjukkan nilai normal IgE total16

Tabel 4. Nilai normal IgE total serum16

b. Pemeriksaan IgE invitro dapat menunjukkan alergen yang

mensensitisasi terjadi reaksi alergi secara lebih spesifik. Uji invitro

dilakukan dengan beberapa metode RAST (Radio Alergo Sorbent

Test) maupun ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay).16

Metode yang paling sering digunakan adalah RAST yang

10

Page 11: Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi Persisten Sedang-Berat

menggunakan alergen tak larut di suatu cakram kertas selulosa

yang terdapat IgE spesifik dari serum.18 Indikasi pemeriksaan

invitro apabila terdapat :16

i. Indikasi primer:

1. Kondisi di mana skin test tidak dapat dilakukan

seperti pada bayi, penyakit kulit pada area skin test,

urtikaria, dan alergen skin test yang tidak tersedia

2. Dapat menimbulkan bahaya bagi pasien seperti syok

anafilaktik

ii. Indikasi sekunder: jika terjadi kesenjangan antara

anamnesis denan hasil skin test, untuk pasien yang akan

menjalani imunoterapi.

3. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan berupa pemeriksaan sitologi

hidung dengan mengambil sekret hidung dan menilainya. Jika eosinofil

ditemukan dalam jumlah banyak >10% sel dari sekret hidung akan

mendukung ke arah rinitis alergi. Namun perlu diingat bahwa pada rinitis

kronik juga menimbulkan eosinofilia. 11

4. Hitung eosinofil darah tepi meningkat merupakan penanda penyakit

atopi.11

Gambar di bawah ini menunjukkan pemeriksaan penunjang rinitis alergi

dan kaitannya dengan patofisiologi.16

11

Page 12: Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi Persisten Sedang-Berat

Gambar 9. Pemeriksaan penunjang rinitis alergi dan kaitannya dengan

reaksi alergi16

Tabel 5 di bawah ini menunjukkan guide diagnosis rinitis alergi.6

Tabel 5. Guide diagnosis rinitis alergi6

3 . Penatalaksanaan

a. Menghindari alergen penyebab

Penanganan terbaik dalam kasus alergi adalah dengan menghindari alergen

penyebab.14 Walaupun secara evidenced based, menghindari allergen penyebab

pada rinitis persisten sedang-berat tidak memiliki makna yang signifikan tetapi hal 12

Page 13: Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi Persisten Sedang-Berat

ini masih menjadi rekomendasi ARIA. Pada pasien dengan persisten sedang-berat,

kemungkinan alergen penyebab sudah multipel, sehingga akan sulit untuk

menghindari alergen penyebab. 8

Kutu rumah ditemukan pada kondisi hangat, lembab, dan memakan kulit

manusia. Antigen penyebabnya berupa kotoran kutu. Yang dapat dilakukan adalah

eliminasi reservoir berupa karpet, hewan, menutupi bantal dan tempat tidur

dengan sarungnya. Bulu kucing harus dihindari dengan cara meletakkan kucing di

luar rumah dan membersihkan karpet dan furniture, mandikan kucing dengan air

hangat sekali seminggu.14

Pada pasien dengan predisposisi cuaca dingin, maka disarankan untuk

melakukan pembatasan aktivitas di luar rumah terutama pada pagi hari, kemudian

jendela rumah dibiarkan tertutup pada pagi hari. Tabel berikut menunjukkan hal

yang dapat dilakukan untuk menghindari paparan serbuk sari di luar rumah (Tabel

6).Tempat tidur rajin dibersihkan dengan menggunakan air hangat sehingga

membunuh kutu debu rumah, penghangat ruangan harus rajin dibersihkan untuk

mencegah ruangan dalam kondisi lembab. Tabel berikut menunjukkan hal yang

bisa dilakukan untuk menghindari paparan alergen kutu debu rumah (Tabel 7).11,12

Tabel 6. Menghindari paparan serbuk sari12

13

Page 14: Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi Persisten Sedang-Berat

Tabel 7. Menghindari paparan kutu debu rumah12

b. Farmakoterapi

Farmakoterapi yang dapat diberikan berupa antihistamin, dekongestan,

stabilizer sel mast, steroid, leukotriene reseptor antagonis, dan antikolinergik

(tabel 8).2

Tabel 8. Efek farmakoterapi pada rinitis alergi2

Klasikasi ARIA bertujuan untuk memudahkan penatalaksanaan pasien

sesuai dengan derajat berat ringan serangan serta frekuensi serangan. Berikut ini

14

Page 15: Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi Persisten Sedang-Berat

adalah algoritme yang menunjukkan penatalaksanaan untuk tiap klasifikasi rinitis

alergi.6

Gambar 10. Algoritme penatalaksanaan rinitis alergi ARIA6

Berikut ini adalah table yang menunjukkan evidence based therapy untuk

rinitis alergi.6

Tabel 9. Evidenced based therapy rinitis alergi6

15

Page 16: Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi Persisten Sedang-Berat

Berikut ini adalah penjelasan mengenai obat-obatan dalam farmakoterapi

rinitis alergi:

1. Antihistamin

Antihistamin bekerja dengan berkompetisi pada reseptor histamin H1 di organ

target.

a. Generasi pertama efek sampingnya berupa efek antikolinergik seperti

mukosa kering, jika digunakan penggunaan jangka panjang menyebabkan

toleransi, selain itu yang sering adalah efek sedasi. Contohnya

klorfeniramin, klemastin, dimetindene maleat, hidroksizin, ketotifen,

oxatomin, bromfeniramin, difenhidramin, tripolidin.

b. Generasi kedua tidak dapat melewati sawar darah otak sehingga tidak

memiliki efek sedasi, efek samping tersering adalah aritmia karena efek

antikolinergiknya. Contohnya adalah astemizol, terfenadin, setirizin,

loratadin, akrivastin, azelastin, desloratadin, ebastin, fexofenadine,

levosetirizin, loratadin, mekuitazin, mizolastin, rupatadin. Tabel 10 berikut

menunjukkan dosis antihistamin oral. Astemizol dan terfenadin telah

ditarik dari pasaran karena bersifat kardiotoksik. Walaupun antihistamin

generasi I lebih poten dibanding generasi II, tetapi generasi I tetap tidak

boleh diberikan jika generasi II tersedia.6, 10, 13,14, 15

Tabel 10. Dosis antihistamin13

Antihistamin merupakan terapi lini pertama untuk rinitis alergi tetapi bukan untuk

persisten sedang-berat. Antihistamin intranasal contohnya azelastin,

16

Page 17: Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi Persisten Sedang-Berat

levocabastine, olapatadine. 6 Antihistamin dapat diberikan pada pasien persisten

sedang-berat sebagai terapi tambahan.8

2. Dekongestan

Dekongestan adalah agonis adrenergik yang mengakibatkan vasokontriksi dan

mengurangi kongesti nasal. Biasa digunakan topikal berupa tetes hidung atau

spray hidung. Mengakibatkan fenomena rebound sehingga bisa terjadi rinitis

medikamentosa jika digunakan lebih dari 7 hari. Sediaan oral berupa

pseudoefedrin, fenilpropalamin, fenilefrin. Efek samping penting berupa

hipertensi, insomnia, dalam penggunaannya biasa dikombinasikan dengan

antihistamin. Pseudoefedrin diberikan dengan dosis 240mg/hari pada dewasa.

Fenilefrin dosisnya 40mg/ hari pada dewasa.14, 15 Dekongestan intranasal seperti

oksimetazolin, xilometazolin mengurangi kongesti nasal. Dekongestan intranasal

direkomendasikan untuk terapi pada pasien dengan persisten sedang-berat.6,19

3. Steroid

Steroid digunakan bukan karena dapat menghindarkan reaksi antibodi-alergen

tetapi untuk minimalisir respon inflamasi akibat pelepasan mediator inflamasi

serta mengurangi hiperaktivitas nasal. Tabel berikut menunjukkan dosis steroid

topikal nasal. (Tabel 11)6,13,14

Tabel 11. Steroid nasal topikal13, 14

Steroid intranasal merupakan terapi lini pertama dan sangat efektif untuk rinitis

alergi yang persisten sedang-berat. Efek samping sistemik dari preparat topikal

steroid ini sangat rendah sehingga dapat digunakan dalam jangka lama. Steroid

oral hanya digunakan jika klinis dari persisten sedang-berat tidak membaik tetapi

hanya diberikan dalam jangka waktu pendek.6

17

Page 18: Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi Persisten Sedang-Berat

4. Antikolinergik

Antikolinergik mengakibatkan sekresi mukus di mukosa hidung berkurang

sehingga bermanfaat untuk menangani rinore. Sediaan yang ada ipratropium

bromide spray, dosisnya 2 semprotan di masing-masing hidung 3x1 hari. Efek

samping sistemik tidak ada.14

5. Mast cell stabilizer

Kromolin semprot hidung merupakan stabilizer sel mast, dan mencegah terjadinya

degranulasi sel mast sehingga dapat mencegah reaksi alergi fase cepat dan lambat.

Pemberian dimulai dengan 1x semprotan pada masing-masing hidung tiap 4 jam

maksimal selama 2 minggu.15

6. Leukotriene reseptor antagonis

Inhibitor leukotriene memiliki efek menghambat reseptor sistenil leukotriene,

preparat ini memiliki toleransi yang baik sehingga dapat digunakan baik dewasa

maupun anak-anak. Efektif untuk semua gejala rinitis alergi. Contoh preparat

antileukotriene berupa montelukast, pranlukast, zafirlukast. Preparat

antileukotriene ini belum beredar di Indonesia. 6 Leukotrien merupakan salah satu

jenis mediator yang dilepaskan dari reaksi imunologik pada rinitis alergi yang

berperan terhadap timbulnya kongesti hidung.11 Antagonis reseptor leukotrien

efektif untuk rinitis alergi intermiten dan rinitis alergi persisten.2 99% Berikatan

dengan protein plasma, dan sedikit yang bisa melewati sawar darah otak.

Metabolismenya terjadi di hati, dengan enzim sitokrom p450 dan diekskresikan

lewat empedu. Efek sampingnya sangat sedikit dilaporkan hanya 2% dari seluruh

kejadian berupa nyeri kepala, insomnia, gangguan tidur. Efektivitasnya sama

dengan antihistamin jika digunakan monoterapi tetapi jika dibandingkan dengan

steroid intranasal masih kurang efektif. Penggunaannya secara kombinasi dengan

antihistamin generasi II sama efektifnya dengan steroid intranasal monoterapi.

Preparat tersedia dalam sediaan tablet 4 mg,5 mg, 10 mg. Bayi- anak usia 5 tahun

dosisnya 1x4 mg. Usia 6-14 tahun dosisnya 1x5 mg. Dosis dewasa 1x10mg per

hari.20,21

Keuntungan pemberian medikamentosa intranasal adalah sebagai berikut: 10

a. Dapat digunakan dengan konsentrasi tinggi dan langsung tepat sasaran

18

Page 19: Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi Persisten Sedang-Berat

b. Beberapa obat sistemik memiliki efek samping sistemik lebih besar, tapi

jika diberikan intranasal dapat meminimalisir efek samping tersebut

c. Onset kerja obat lebih cepat daripada pemberian oral

Sebagai seorang dokter umum, dapat memberikan terapi medikamentosa

pada pasien rinitis alergi, akan tetapi jika > 3 bulan setelah terapi medika mentosa

diberikan tidak ada perbaikan gejala maka tindakan selanjutnya adalah merujuk

pasien ke spesialis.10

c. Imunoterapi

Imunoterapi hanya dilakukan sebagai penatalaksanaan untuk rinitis alergi

persisten sedang-berat yang telah menjalani terapi medikamentosa tetapi

menunjukkan hasil yang tidak memuaskan atau muncul efek samping serius dari

terapi medikamentosa tersebut. Terapi ini harus cepat dilaksanakan pada pasien

persisten sedang-berat sebab dapat mencegah terjadinya asma dan progresivitas

serangan rinitis.8 Mekanisme imunoterapi sebagai terapi desensitisasi dapat

dijelaskan dengan gambar berikut.9

Gambar 11. Mekanisme imunoterapi sebagai terapi desensitisasi9

Walaupun tidak semua pasien dengan rinitis alergi memerlukan terapi ini, hanya

terapi inilah yang bisa menyembuhkan rinitis alergi. Pemberian antigen yang akan

berikatan dengan IgE yang sudah tersensitisasi bermanfaat untuk memodulasi

terbentuknya IgG, IgG ini disinyalir akan mampu menghambat reaksi alergi.

Imunoterapi dapat diberikan secara subkutan maupun sublingual. Dosis antigen

yang digunakan sesuai dengan hasil uji khusus dosis antigen pada uji intrakutan,

ELISA, dan lain-lain. Injeksi antigen dilakukan 1-2x dalam 1 minggu hingga efek

terlihat, lalu dilakukan hanya 1x1 minggu selama 1 tahun. Terapi maintenance

19

Page 20: Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi Persisten Sedang-Berat

diberikan tiap 2-3 minggu dalam 3-5 tahun. 2, 14 Dikatakan bahwa pemberian

sublingual memiliki risiko reaksi anafilaksis yang lebih rendah dari pada

pemberian subkutan.8

d. Pembedahan

Indikasi tindakan bedah terhadap pasien rinitis alergi yaitu :10

- Hipertrofi konka inferior yang resisten terhadap pengobatan

- Variasi anatomi tulang hidung dengan gangguan fungsi atau estetik

- Sinusitis kronik sekunder akibat rinitis alergi

- Bentuk berbeda dari poliposis unilateral hidung (polip koana, polip

soliter, sinusitis jamur alergi) atau polip hidung bilateral yang

resisten terhadap pengobatan

- Penyakit sinus jamur

Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan jika

konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara

kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.22 Teknik operasi endoskopi

minimal invasif saat ini telah dilakukan untuk hipertrofi konka. Tindakan bedah

laser saat ini juga telah dilakukan. 10

20

Page 21: Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi Persisten Sedang-Berat

DAFTAR PUSTAKA

1. Lalwani AK, editor. Current diagnosis and treatment: otolaryngology head and neck surgery. 2nd ed. New York: Mc Graw Hill; 2004.

2. Krouse JH. Allergic rhinitis. In: Stucker FJ, Souza CD, Kenyon GS, Lian TS, Draf W, Schick B, editors. Rhinology and facial surgery. Berlin: Springer Science; 2009.p.247-54.

3. Pasha R. Otolaryngology head and neck surgery clinical reference guide. 2nd ed. San Diego: Prural Publishing; 2005.

4. Okano M. Mechanism and clinical implication of glucocorticosteroids in the treatment of allergic rinitis. Clinical and Experimental Immunology. 2009;158:164-73.

5. Lee CH, Jang JH, Lee HJ, Kim IT, Chu MJ, Kim CD et al. Clinical characteristic of allergic rinitis according to allergic rinitis and its impact on asthma guidelines. Clinical and Experimental Otorhinolaryngology. 2008;1(4): 196-200.

6. Bosquet J, Reid J, Van WC, Baena CC, Demoly P, Denburg J et al. Management of allergic rinitis and its impact on asthma. USA:Allergic Rinitis and its Impact on Asthma; 2007.

7. Bousquet J, Maesano A, Carat F, Leger D, Rugina M, Pribil C et al. Characteristic of intermittent and persistent allergic rinitis : DREAMS study group. Clin Exp Allergy. 2005;35:728-32.

8. Mullol J, Bachert C, Bousquet J. Management of persistent allergic rinitis : evidenced based treatment with levocetirizine. Therapeutics and Clinical Risk Management. 2005;1(4):265-71.

9. Min YG. The pathophysiology, diagnosis, and treatment of allergic rinitis. Allergy Asthma Immunol Res. 2010;2(2):65-76.

10. Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens WJ, Togias A, et.al. Allergic rinitis and its impact on asthma (ARIA) 2008 update. Allergy. 2008; 63(Suppl. 86): 8–160.

11. Pinto JM, Naclerio RM. Allergic rhinitis. In: Snow JB, Ballenger JJ. Ballenger’s otorhinolaryngology head and neck surgery.16th ed. Spain: BC Decker;2003.p.708-31.

21

Page 22: Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi Persisten Sedang-Berat

12. Onerci TM. Diagnosis in otorhinolaryngology. Berlin: Springer Science; 2009.

13. Stanford T. The pediatric allergic rhinitis. In: Mitchell RB, Pereira KD, editors. Pediatric otolaryngology for clinician.New York: Humana Press; 2009.p. 113-8.

14. Mabri RL. Allergic rhinitis. In: Cummings CW, editor. Otolaryngology head and neck surgery. 3rd ed. New York: Mosby; 1999.p.906-9.

15. Mabri RL. Allergic rhinitis. In: Byron J, et al, editors. Head and neck surgery otolaryngology. Volume 2. 3rd ed. Philadelphia: William & Wilkins; 2001.p.33.

16. Klimek L, Schendzielorz P. Early detection of allergic disease in otorhinolaryngology. GMS Current Topics in Otorhinolaryngology. 2008;7:1-25.

17. Allergy testing, skin test. 2010 [cited 2012 June 13]. Available from: http://216.177.139.237/allergy_testing.html

18. Adams GL, Boies LR, Highler PA. Boies Buku ajar penyakit THT. Jakarta: EGC; 1997.

19. Jan L, Bousquet J, Cagnani CEB, Bonini S, Canonica WG, Casale TB, et al. Allergic rinitis and its impact on asthma (ARIA) 2010 Revision. Canada:ARIA;2010.

20. Lagos JA, Marshall GD. Montelukast in the management of allergic rinitis. Therapeutic and Clinical Risk Management. 2007;3(2):327-32.

21. Drug [homepage on the Internet]. Drug Information Online;c2012 [ cited 2012 Jul 27]. USA; Available from: http://www.drugs.com/dosage/montelukast.html

22. Soepardi EA, Iskandar N, ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI; 2003.

22