diagnosis dan penatalaksanaan rinitis alergi persisten sedang-berat
TRANSCRIPT
Referat
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSAAN RHINITIS ALERGI PERSISTEN
SEDANG-BERAT
Disusun oleh:
JESSIECA LIUSEN
0708112138
Pembimbing:
Dr. ROY DAVID SARUMPAET, SpTHT-KL
KEPANITERAAN KLINIK KBK
BAGIAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU
2012
1
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN RINITIS ALERGI
PERSISTEN SEDANG-BERAT
1. Pendahuluan
Alergi adalah manifestasi klinis yang disebabkan oleh respon imun pada
paparan alergen berulang seperti serbuk sari, kutu, debu, makanan, dan lain-lain.
Rinitis alergi adalah inflamasi membran mukosa nasal yang dimediasi oleh reaksi
antigen dengan IgE terhadap satu atau lebih alergen yang terjadi pada pasien
dengan riwayat atopi. 1,2 Rinitis alergi merupakan salah satu bentuk reaksi
hipersensitivitas yakni tipe 1 yang disebut juga sebagai reaksi anafilaksis.
Hipersensitivitas tipe 1 merupakan reaksi alergi yang timbulnya cepat, melibatkan
histamin yang distimulasi dari degranulasi sel mast dan basofil, serta melibatkan
mediator inflamasi dan IgE. Reaksi ini merupakan reaksi self-limiting.3
Patofisiologinya dapat dilihat pada gambar 1 berikut.4
Gambar 1. Patofisiologi rinitis alergi4
Berdasarkan data Amerika Serikat, sekitar 18-32% populasi mengidap
rinitis alergi, prevalensinya terus meningkat. Rinitis alergi sangat mempengaruhi
kualitas hidup pasien, produktivitas, memberikan dampak ekonomi yang besar
dalam pengobatannya.5
2
Berdasarkan Workshop ARIA 2007, rinitis alergi diklasifikasikan sebagai
berikut:6
Di negara Barat, 29% dari populasi mengidap rinitis alergi persisten dan
rata-rata memiliki derajat serangan yang berat. Pada penelitian lain di Italia, dari
1321 pasien rinitis alergi, 7,7% intermiten ringan, 17,1% intermiten sedang-berat,
11,6% persisten ringan, dan 63,6% persisten sedang berat. Penelitian retrospektif
di 9 negara Asia, menunjukkan 60-70% pasien dengan persisten sedang-berat.5
Dengan demikian, dampak terhadap kualitas hidup penderita akan lebih berat.
Prevalensi terjadinya asma meningkat seiring dengan meningkatnya persistensi
gejala dan derajat berat rinitis alergi.7 Penatalaksanaan rinitis alergi persisten
dapat dilakukan dengan farmakoterapi, imunoterapi, dan edukasi. Hingga
sekarang masih banyak penelitian mengenai strategi penatalaksanaan rinitis alergi
persisten sedang-berat sehingga dapat mencapai sasaran yang optimal.8
2. Diagnosis
a. Anamnesis
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Secara umum gejala klinis rinitis alergi berupa :2
1. Bersin berulang,
2. Rinore encer dan banyak,
3. Hidung tersumbat,
4. Hidung dan mata gatal
Pada anak, biasanya tidak semua gejala klinis yang timbul, gejala tersering
pada anak adalah hidung tersumbat. Gejala tambahan lainnya berupa lakrimasi. 2
3
Intermiten (Gejala)< 4 hari dalam seminggu< 4 minggu dalam setahun
Persisten (Gejala)> 4 hari dalam seminggu> 4 minggu dalam setahun
RinganTidur normalTak mengganggu aktivitas, olahragaTak mengganggu kerja dan sekolahGejala (+) tapi tak menonjol
Sedang-beratTidur terganggguMengganggu aktivitas, olahragaMengganggu kerja dan sekolahGejala (+) dan menonjol
Bersin dan rinore dapat terjadi pada reaksi alergi fase cepat sekitar 30
menit setelah IgE terpapar pada alergen tertentu dan kemudian menghilang.
Reaksi alergi fase cepat terjadi sebagai respon dari sel mast yang terpapar alergen.
Sel mast kemudian mengalami degranulasi mengeluarkan mediator inflamasi.
Mediator preformed di sel mast lepas berupa histamin. Selain itu, dilepaskan juga
newly formed mediator seperti leukotriene, prostaglandin, dan platelet activating
factor (PAF). Mediator pada reaksi alergi fase cepat yang bersifat kemotaksis
mengakibatkan terjadinya reaksi alergi fase lambat di mana kemotaktik terhadap
eosinofil, sel mast, sel T. Migrasi eosinofil dan sel T ke mukosa hidung
mengakibatkan rusaknya sel epitel mukosa nasal serta remodeling mukosa
nasal.4,9,10,11
Akibatnya, serabut saraf langsung terpapar mediator inflamasi yang
dikeluarkan tersebut. Jika yang tereksitasi (oleh neurotropin) adalah serabut
sensorik maka terjadi gejala gatal di hidung, jika yang tereksitasi oleh serotonin
adalah serabut motorik maka mengakibatkan terjadi bersin. Jika yang tereksitasi
oleh neurotropin adalah saraf otonom maka akan meningkatkan sekresi sel
Goblet dan eksudasi plasma dari kapiler sehingga menghasilkan gejala klinis
berupa rinore yang encer. Proses ini disebut hiperresponsif non spesifik. Histamin
mengakibatkan vasodilatasi sinusoid sehingga terjadi kongesti nasal. 4, 9, 10, 11
Reaksi alergi fase lambat berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam
setelah pemaparan, dan bisa berlangsung hingga 24-48 jam. Sel eosinofil, sel Th2
menginfiltrasi mukosa nasal mengeluarkan beberapa sitokin, mediator kimia,
kemokin. Sitokin seperti IL-3,4,5 dan granulosit-makrofag koloni stimulating
factor (GMCSF) diproduksi oleh sel Th2 dan sel mast serta eosinofil. Mediator
kimia yang dilepas berupa platelet activating factor (PAF), sistenil leukotriene,
dan tromboksan A2. Kemokin berupa eotaksin berfungsi untuk mengaktivasi sel T
normal dan meningkatkan produksi sel T di timus. Mediator kimia ini dapat
mengakibatkan hipereksitasi parasimpatis sehingga mengakibatkan vasodilatasi
dan edema interstisial sehingga terjadi pembesaran konka. Pada fase ini, selain
alergen, iritasi oleh faktor non spesifik seperti asap rokok, bau yang merangsang,
perubahan cuaca, dan kelembaban udara yang tinggi bisa memperberat gejala.4,11
4
Mekanisme terjadinya gejala klinis pada rinitis alergi dapat dilihat pada
gambar 2 di bawah ini.4
Gambar 2. Mekanisme terjadinya gejala klinis rinitis alergi4
Dari anamnesis juga harus dicari riwayat atopi di keluarga, sebab jika
kedua orang tua memiliki riwayat atopi maka >50% dari anak mungkin bisa kena
rinitis alergi. Perhatikan gambar 3. 11, 12, 13
Gambar 3. Kemungkinan atopi keturunan12
Diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan jika 2 atau lebih dari gejala
seperti rinore encer, bersin, kongesti nasal, dan gatal di hidung terjadi selama 1
jam atau lebih dan berulang dalam beberapa hari.9
Penelitian Lee CH et al menunjukkan pada rinitis persisten sedang berat
gejal klinis bersin, rinore, dan kongesti akan lebih berat dibandingkan rinitis
intermiten ringan, persisten ringan, dan intermiten sedang-berat. Berikut hasil
penelitiannya pada tabel 1.5
5
Tabel 1. Penelitian Lee CH et al menunjukkan pada rinitis persisten sedang berat
gejala bersin, kongesti, dan rinore lebih berat.5
Penelitian DREAMS menunjukkan pada pasien dengan rinitis alergi
persisten sedang-berat dengan rinore dan gatal di hidung disebabkan oleh
multialergen pencetus seperti kutu debu dan serbuk sari (Tabel 2). 7
Tabel 2. Signifikansi sensitivitas alergen pada rinitis alergi persisten
sedang-berat7
Pada pasien dengan rinitis alergi persisten sedang-berat, biasanya juga
disertai dengan berkurangnya penciuman (Gambar 4). Hal ini dikarenakan
rinitis alergi yang kronik dapat mengakibatkan terjadinya hipertrofi mukosa dan
edem, hal ini akan menghambat rangsang bau mencapai neuroepitel olfaktorius.
Reseptor olfaktorius juga menjadi rusak akibat stress oksidatif yang terjadi
bersamaan dengan setiap reaksi inflamasi alergi. Hal ini mengakibatkan
berkurangnya reseptor olfaktorius dan terjadi regenerasi epitel olfaktorius. 5
6
Gambar 4. Perbandingan disfungsi penciuman pada kelompok rinitis alergi5
Keadaan lain yang berhubungan dengan patofisiologi rinitis alergi sendiri
juga harus ditanyakan di anamnesis. Obstruksi nasal dapat mengakibatkan pasien
tidur mendengkur dan bahkan bisa terjadi apnea sementara saat tidur. Obstruksi
dari ostium sinus dapat mengakibatkan sinusitis. Disfungsi tuba Eustachius juga
dapat terjadi, hal ini menjadi penyebab terjadinya otitis media serosa. Riwayat
penyakit lainnya yang juga dapat mempengaruhi terjadinya rinitis alergi
ditanyakan pada pasien seperti asma, dermatitis atopi.11
b. Pemeriksaan fisik
Rasa gatal di hidung mengakibatkan kebiasaan menggosok hidung dan
mata maka timbullah allergic salute yakni garis horizontal di 1/3 dorsum nasal
distal (gambar 5).13
Gambar 5. Allergic salute13
Pada rinitis alergi juga dapat terjadi kongesti vena di wajah mengakibatkan
tampaknya pembengkakan kelopak mata bawah disertai garis Dennies (Gambar
6). Garis tersebut serta pembengkakan kelopak mata bagian bawah tersebut
7
tampak lebih gelap dibanding daerah sekitarnya yang disebut dengan allergic
shiners (Gambar 7). Hal ini terjadi karena statis vena periorbital akibat obstruksi
kongesti nasal. 11,13
Gambar 6. Denniess line13
Gambar 7. Allergic shiners12
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior akan tampak mukosa nasal pucat,
kebiruan dan sekretnya encer tanpa tanda infeksi sekunder (gambar 8).12,13,15
Gambar 8. Rinoskopi anterior tampak mukosa pucat kebiruan12
8
c. Pemeriksaan penunjang
1. Skin test
Skin test merupakan salah satu gold standard tes alergi. Prinsip skin test
adalah dengan terjadinya reaksi antara antigen dengan sel mast yang telah
tersensitisasi di kulit mengakibatkan munculnya edema dan eritema pada
kulit. Reaksi ini berlangsung dari 2 menit-20 menit. Skin test ini disupresi
oleh antihistamin dan antidepresan. Oleh karena itu, pasien tidak boleh
mengkonsumsi antihistamin dan antidepresan dalam 72 jam sebelum skin
test dilakukan.1,14
Skin test terbagi menjadi epikutaneus dan intrakutaneus.1,14
a. Uji epikutaneus contohnya skin prick test dan skin scratch test.1,14 Dari
beberapa jenis skin test tersebut, skin prick test direkomendasikan
sebagai skin test yang dapat dilakukan dalam praktek sehari-hari.9 Skin
test dilakukan pada daerah volar lengan bawah. Jarak antar alergen
yang diuji sekitar 2 cm untuk skin prick test dan 5 cm untuk uji
intradermal. Skin prick test dilakukan dengan menusukkan jarum
lanset yang sudah ada alergen ke barrier epidermis. Untuk kontrol
harus disediakan kontrol negatif tanpa alergen dan kontrol positif
menggunakan histamin dilusi.16
Sebelum melakukan skin scratch test, lapisan kulit superfisial
ditempeli dulu dengan tape kemudian tape ditarik sehingga lapisan
korneum kulit ikut tertarik. Kemudian alergen yang akan diuji
dioleskan ke area kulit tersebut. Skin scratch test hanya dilakukan jika
jumlah alergen yang ada sedikit dan tidak mencukupi untuk skin prick
test.16
b. Uji intrakutaneus
Skin test yang paling sensitif adalah uji intrakutan. Uji intrakutan
dilakukan dengan menyuntikkan alergen pada berbagai konsentrasi
dan kepekatan. Selain diketahui alergen penyebab juga dapat
menentukan derajat dan dosis inisial untuk desensitisasi. Jika dengan
skin prick test hasilnya negatif maka selanjutnya dilakukan uji
9
intrakutan sebab skin prick test kurang sensitif untuk menunjukkan
reaksi alergi pada kadar antigen yang rendah.1,15
Setelah 20 menit observasi, dilakukan penilaian reaksi alergi yang terjadi
seperti pada tabel 3 berikut:16
Tabel 3. Interpretasi reaksi alergi pada skin test 16,17
2. Pemeriksaan kadar IgE
Pemeriksaan kadar IgE dapat dilakukan dengan pemeriksaan IgE total
serum dan secara invitro16,18
a. Pemeriksaan IgE total menunjukkan peningkatan dari kadar
normalnya, tabel 4 berikut menunjukkan nilai normal IgE total16
Tabel 4. Nilai normal IgE total serum16
b. Pemeriksaan IgE invitro dapat menunjukkan alergen yang
mensensitisasi terjadi reaksi alergi secara lebih spesifik. Uji invitro
dilakukan dengan beberapa metode RAST (Radio Alergo Sorbent
Test) maupun ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay).16
Metode yang paling sering digunakan adalah RAST yang
10
menggunakan alergen tak larut di suatu cakram kertas selulosa
yang terdapat IgE spesifik dari serum.18 Indikasi pemeriksaan
invitro apabila terdapat :16
i. Indikasi primer:
1. Kondisi di mana skin test tidak dapat dilakukan
seperti pada bayi, penyakit kulit pada area skin test,
urtikaria, dan alergen skin test yang tidak tersedia
2. Dapat menimbulkan bahaya bagi pasien seperti syok
anafilaktik
ii. Indikasi sekunder: jika terjadi kesenjangan antara
anamnesis denan hasil skin test, untuk pasien yang akan
menjalani imunoterapi.
3. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan berupa pemeriksaan sitologi
hidung dengan mengambil sekret hidung dan menilainya. Jika eosinofil
ditemukan dalam jumlah banyak >10% sel dari sekret hidung akan
mendukung ke arah rinitis alergi. Namun perlu diingat bahwa pada rinitis
kronik juga menimbulkan eosinofilia. 11
4. Hitung eosinofil darah tepi meningkat merupakan penanda penyakit
atopi.11
Gambar di bawah ini menunjukkan pemeriksaan penunjang rinitis alergi
dan kaitannya dengan patofisiologi.16
11
Gambar 9. Pemeriksaan penunjang rinitis alergi dan kaitannya dengan
reaksi alergi16
Tabel 5 di bawah ini menunjukkan guide diagnosis rinitis alergi.6
Tabel 5. Guide diagnosis rinitis alergi6
3 . Penatalaksanaan
a. Menghindari alergen penyebab
Penanganan terbaik dalam kasus alergi adalah dengan menghindari alergen
penyebab.14 Walaupun secara evidenced based, menghindari allergen penyebab
pada rinitis persisten sedang-berat tidak memiliki makna yang signifikan tetapi hal 12
ini masih menjadi rekomendasi ARIA. Pada pasien dengan persisten sedang-berat,
kemungkinan alergen penyebab sudah multipel, sehingga akan sulit untuk
menghindari alergen penyebab. 8
Kutu rumah ditemukan pada kondisi hangat, lembab, dan memakan kulit
manusia. Antigen penyebabnya berupa kotoran kutu. Yang dapat dilakukan adalah
eliminasi reservoir berupa karpet, hewan, menutupi bantal dan tempat tidur
dengan sarungnya. Bulu kucing harus dihindari dengan cara meletakkan kucing di
luar rumah dan membersihkan karpet dan furniture, mandikan kucing dengan air
hangat sekali seminggu.14
Pada pasien dengan predisposisi cuaca dingin, maka disarankan untuk
melakukan pembatasan aktivitas di luar rumah terutama pada pagi hari, kemudian
jendela rumah dibiarkan tertutup pada pagi hari. Tabel berikut menunjukkan hal
yang dapat dilakukan untuk menghindari paparan serbuk sari di luar rumah (Tabel
6).Tempat tidur rajin dibersihkan dengan menggunakan air hangat sehingga
membunuh kutu debu rumah, penghangat ruangan harus rajin dibersihkan untuk
mencegah ruangan dalam kondisi lembab. Tabel berikut menunjukkan hal yang
bisa dilakukan untuk menghindari paparan alergen kutu debu rumah (Tabel 7).11,12
Tabel 6. Menghindari paparan serbuk sari12
13
Tabel 7. Menghindari paparan kutu debu rumah12
b. Farmakoterapi
Farmakoterapi yang dapat diberikan berupa antihistamin, dekongestan,
stabilizer sel mast, steroid, leukotriene reseptor antagonis, dan antikolinergik
(tabel 8).2
Tabel 8. Efek farmakoterapi pada rinitis alergi2
Klasikasi ARIA bertujuan untuk memudahkan penatalaksanaan pasien
sesuai dengan derajat berat ringan serangan serta frekuensi serangan. Berikut ini
14
adalah algoritme yang menunjukkan penatalaksanaan untuk tiap klasifikasi rinitis
alergi.6
Gambar 10. Algoritme penatalaksanaan rinitis alergi ARIA6
Berikut ini adalah table yang menunjukkan evidence based therapy untuk
rinitis alergi.6
Tabel 9. Evidenced based therapy rinitis alergi6
15
Berikut ini adalah penjelasan mengenai obat-obatan dalam farmakoterapi
rinitis alergi:
1. Antihistamin
Antihistamin bekerja dengan berkompetisi pada reseptor histamin H1 di organ
target.
a. Generasi pertama efek sampingnya berupa efek antikolinergik seperti
mukosa kering, jika digunakan penggunaan jangka panjang menyebabkan
toleransi, selain itu yang sering adalah efek sedasi. Contohnya
klorfeniramin, klemastin, dimetindene maleat, hidroksizin, ketotifen,
oxatomin, bromfeniramin, difenhidramin, tripolidin.
b. Generasi kedua tidak dapat melewati sawar darah otak sehingga tidak
memiliki efek sedasi, efek samping tersering adalah aritmia karena efek
antikolinergiknya. Contohnya adalah astemizol, terfenadin, setirizin,
loratadin, akrivastin, azelastin, desloratadin, ebastin, fexofenadine,
levosetirizin, loratadin, mekuitazin, mizolastin, rupatadin. Tabel 10 berikut
menunjukkan dosis antihistamin oral. Astemizol dan terfenadin telah
ditarik dari pasaran karena bersifat kardiotoksik. Walaupun antihistamin
generasi I lebih poten dibanding generasi II, tetapi generasi I tetap tidak
boleh diberikan jika generasi II tersedia.6, 10, 13,14, 15
Tabel 10. Dosis antihistamin13
Antihistamin merupakan terapi lini pertama untuk rinitis alergi tetapi bukan untuk
persisten sedang-berat. Antihistamin intranasal contohnya azelastin,
16
levocabastine, olapatadine. 6 Antihistamin dapat diberikan pada pasien persisten
sedang-berat sebagai terapi tambahan.8
2. Dekongestan
Dekongestan adalah agonis adrenergik yang mengakibatkan vasokontriksi dan
mengurangi kongesti nasal. Biasa digunakan topikal berupa tetes hidung atau
spray hidung. Mengakibatkan fenomena rebound sehingga bisa terjadi rinitis
medikamentosa jika digunakan lebih dari 7 hari. Sediaan oral berupa
pseudoefedrin, fenilpropalamin, fenilefrin. Efek samping penting berupa
hipertensi, insomnia, dalam penggunaannya biasa dikombinasikan dengan
antihistamin. Pseudoefedrin diberikan dengan dosis 240mg/hari pada dewasa.
Fenilefrin dosisnya 40mg/ hari pada dewasa.14, 15 Dekongestan intranasal seperti
oksimetazolin, xilometazolin mengurangi kongesti nasal. Dekongestan intranasal
direkomendasikan untuk terapi pada pasien dengan persisten sedang-berat.6,19
3. Steroid
Steroid digunakan bukan karena dapat menghindarkan reaksi antibodi-alergen
tetapi untuk minimalisir respon inflamasi akibat pelepasan mediator inflamasi
serta mengurangi hiperaktivitas nasal. Tabel berikut menunjukkan dosis steroid
topikal nasal. (Tabel 11)6,13,14
Tabel 11. Steroid nasal topikal13, 14
Steroid intranasal merupakan terapi lini pertama dan sangat efektif untuk rinitis
alergi yang persisten sedang-berat. Efek samping sistemik dari preparat topikal
steroid ini sangat rendah sehingga dapat digunakan dalam jangka lama. Steroid
oral hanya digunakan jika klinis dari persisten sedang-berat tidak membaik tetapi
hanya diberikan dalam jangka waktu pendek.6
17
4. Antikolinergik
Antikolinergik mengakibatkan sekresi mukus di mukosa hidung berkurang
sehingga bermanfaat untuk menangani rinore. Sediaan yang ada ipratropium
bromide spray, dosisnya 2 semprotan di masing-masing hidung 3x1 hari. Efek
samping sistemik tidak ada.14
5. Mast cell stabilizer
Kromolin semprot hidung merupakan stabilizer sel mast, dan mencegah terjadinya
degranulasi sel mast sehingga dapat mencegah reaksi alergi fase cepat dan lambat.
Pemberian dimulai dengan 1x semprotan pada masing-masing hidung tiap 4 jam
maksimal selama 2 minggu.15
6. Leukotriene reseptor antagonis
Inhibitor leukotriene memiliki efek menghambat reseptor sistenil leukotriene,
preparat ini memiliki toleransi yang baik sehingga dapat digunakan baik dewasa
maupun anak-anak. Efektif untuk semua gejala rinitis alergi. Contoh preparat
antileukotriene berupa montelukast, pranlukast, zafirlukast. Preparat
antileukotriene ini belum beredar di Indonesia. 6 Leukotrien merupakan salah satu
jenis mediator yang dilepaskan dari reaksi imunologik pada rinitis alergi yang
berperan terhadap timbulnya kongesti hidung.11 Antagonis reseptor leukotrien
efektif untuk rinitis alergi intermiten dan rinitis alergi persisten.2 99% Berikatan
dengan protein plasma, dan sedikit yang bisa melewati sawar darah otak.
Metabolismenya terjadi di hati, dengan enzim sitokrom p450 dan diekskresikan
lewat empedu. Efek sampingnya sangat sedikit dilaporkan hanya 2% dari seluruh
kejadian berupa nyeri kepala, insomnia, gangguan tidur. Efektivitasnya sama
dengan antihistamin jika digunakan monoterapi tetapi jika dibandingkan dengan
steroid intranasal masih kurang efektif. Penggunaannya secara kombinasi dengan
antihistamin generasi II sama efektifnya dengan steroid intranasal monoterapi.
Preparat tersedia dalam sediaan tablet 4 mg,5 mg, 10 mg. Bayi- anak usia 5 tahun
dosisnya 1x4 mg. Usia 6-14 tahun dosisnya 1x5 mg. Dosis dewasa 1x10mg per
hari.20,21
Keuntungan pemberian medikamentosa intranasal adalah sebagai berikut: 10
a. Dapat digunakan dengan konsentrasi tinggi dan langsung tepat sasaran
18
b. Beberapa obat sistemik memiliki efek samping sistemik lebih besar, tapi
jika diberikan intranasal dapat meminimalisir efek samping tersebut
c. Onset kerja obat lebih cepat daripada pemberian oral
Sebagai seorang dokter umum, dapat memberikan terapi medikamentosa
pada pasien rinitis alergi, akan tetapi jika > 3 bulan setelah terapi medika mentosa
diberikan tidak ada perbaikan gejala maka tindakan selanjutnya adalah merujuk
pasien ke spesialis.10
c. Imunoterapi
Imunoterapi hanya dilakukan sebagai penatalaksanaan untuk rinitis alergi
persisten sedang-berat yang telah menjalani terapi medikamentosa tetapi
menunjukkan hasil yang tidak memuaskan atau muncul efek samping serius dari
terapi medikamentosa tersebut. Terapi ini harus cepat dilaksanakan pada pasien
persisten sedang-berat sebab dapat mencegah terjadinya asma dan progresivitas
serangan rinitis.8 Mekanisme imunoterapi sebagai terapi desensitisasi dapat
dijelaskan dengan gambar berikut.9
Gambar 11. Mekanisme imunoterapi sebagai terapi desensitisasi9
Walaupun tidak semua pasien dengan rinitis alergi memerlukan terapi ini, hanya
terapi inilah yang bisa menyembuhkan rinitis alergi. Pemberian antigen yang akan
berikatan dengan IgE yang sudah tersensitisasi bermanfaat untuk memodulasi
terbentuknya IgG, IgG ini disinyalir akan mampu menghambat reaksi alergi.
Imunoterapi dapat diberikan secara subkutan maupun sublingual. Dosis antigen
yang digunakan sesuai dengan hasil uji khusus dosis antigen pada uji intrakutan,
ELISA, dan lain-lain. Injeksi antigen dilakukan 1-2x dalam 1 minggu hingga efek
terlihat, lalu dilakukan hanya 1x1 minggu selama 1 tahun. Terapi maintenance
19
diberikan tiap 2-3 minggu dalam 3-5 tahun. 2, 14 Dikatakan bahwa pemberian
sublingual memiliki risiko reaksi anafilaksis yang lebih rendah dari pada
pemberian subkutan.8
d. Pembedahan
Indikasi tindakan bedah terhadap pasien rinitis alergi yaitu :10
- Hipertrofi konka inferior yang resisten terhadap pengobatan
- Variasi anatomi tulang hidung dengan gangguan fungsi atau estetik
- Sinusitis kronik sekunder akibat rinitis alergi
- Bentuk berbeda dari poliposis unilateral hidung (polip koana, polip
soliter, sinusitis jamur alergi) atau polip hidung bilateral yang
resisten terhadap pengobatan
- Penyakit sinus jamur
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan jika
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.22 Teknik operasi endoskopi
minimal invasif saat ini telah dilakukan untuk hipertrofi konka. Tindakan bedah
laser saat ini juga telah dilakukan. 10
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Lalwani AK, editor. Current diagnosis and treatment: otolaryngology head and neck surgery. 2nd ed. New York: Mc Graw Hill; 2004.
2. Krouse JH. Allergic rhinitis. In: Stucker FJ, Souza CD, Kenyon GS, Lian TS, Draf W, Schick B, editors. Rhinology and facial surgery. Berlin: Springer Science; 2009.p.247-54.
3. Pasha R. Otolaryngology head and neck surgery clinical reference guide. 2nd ed. San Diego: Prural Publishing; 2005.
4. Okano M. Mechanism and clinical implication of glucocorticosteroids in the treatment of allergic rinitis. Clinical and Experimental Immunology. 2009;158:164-73.
5. Lee CH, Jang JH, Lee HJ, Kim IT, Chu MJ, Kim CD et al. Clinical characteristic of allergic rinitis according to allergic rinitis and its impact on asthma guidelines. Clinical and Experimental Otorhinolaryngology. 2008;1(4): 196-200.
6. Bosquet J, Reid J, Van WC, Baena CC, Demoly P, Denburg J et al. Management of allergic rinitis and its impact on asthma. USA:Allergic Rinitis and its Impact on Asthma; 2007.
7. Bousquet J, Maesano A, Carat F, Leger D, Rugina M, Pribil C et al. Characteristic of intermittent and persistent allergic rinitis : DREAMS study group. Clin Exp Allergy. 2005;35:728-32.
8. Mullol J, Bachert C, Bousquet J. Management of persistent allergic rinitis : evidenced based treatment with levocetirizine. Therapeutics and Clinical Risk Management. 2005;1(4):265-71.
9. Min YG. The pathophysiology, diagnosis, and treatment of allergic rinitis. Allergy Asthma Immunol Res. 2010;2(2):65-76.
10. Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens WJ, Togias A, et.al. Allergic rinitis and its impact on asthma (ARIA) 2008 update. Allergy. 2008; 63(Suppl. 86): 8–160.
11. Pinto JM, Naclerio RM. Allergic rhinitis. In: Snow JB, Ballenger JJ. Ballenger’s otorhinolaryngology head and neck surgery.16th ed. Spain: BC Decker;2003.p.708-31.
21
12. Onerci TM. Diagnosis in otorhinolaryngology. Berlin: Springer Science; 2009.
13. Stanford T. The pediatric allergic rhinitis. In: Mitchell RB, Pereira KD, editors. Pediatric otolaryngology for clinician.New York: Humana Press; 2009.p. 113-8.
14. Mabri RL. Allergic rhinitis. In: Cummings CW, editor. Otolaryngology head and neck surgery. 3rd ed. New York: Mosby; 1999.p.906-9.
15. Mabri RL. Allergic rhinitis. In: Byron J, et al, editors. Head and neck surgery otolaryngology. Volume 2. 3rd ed. Philadelphia: William & Wilkins; 2001.p.33.
16. Klimek L, Schendzielorz P. Early detection of allergic disease in otorhinolaryngology. GMS Current Topics in Otorhinolaryngology. 2008;7:1-25.
17. Allergy testing, skin test. 2010 [cited 2012 June 13]. Available from: http://216.177.139.237/allergy_testing.html
18. Adams GL, Boies LR, Highler PA. Boies Buku ajar penyakit THT. Jakarta: EGC; 1997.
19. Jan L, Bousquet J, Cagnani CEB, Bonini S, Canonica WG, Casale TB, et al. Allergic rinitis and its impact on asthma (ARIA) 2010 Revision. Canada:ARIA;2010.
20. Lagos JA, Marshall GD. Montelukast in the management of allergic rinitis. Therapeutic and Clinical Risk Management. 2007;3(2):327-32.
21. Drug [homepage on the Internet]. Drug Information Online;c2012 [ cited 2012 Jul 27]. USA; Available from: http://www.drugs.com/dosage/montelukast.html
22. Soepardi EA, Iskandar N, ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI; 2003.
22