di kompas tv: tinjauan pragmatik - usd repository · pdf filesangkan paraning dumadi plagiat...
TRANSCRIPT
i
WACANA HUMOR KRITIK SOSIAL
DALAM STAND UP COMEDY INDONESIA SEASON 4
DI KOMPAS TV: TINJAUAN PRAGMATIK
Tugas Akhir
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Marius Peng Mitang
124114003
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2016
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
Skripsi ini saya persembahkan kepada keluarga:
Bapa Bonefasius Osias, Mama Petronela Emiliana Nimat,
serta Adik Yoseph Venansius Mitang dan Yohana Dalima Mitang
Tinggallah di dalam Aku,
sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa
(Yoh, 15:14-15)
Sangkan Paraning Dumadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang tidak jemu
memberikan rahmat, penyertaan, dan bimbingan-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi berjudul “Wacana Humor Kritik Sosial dalam Stand Up
Comedy Indonesia Season 4 di Kompas TV: Tinjauan Pragmatik”. Skripsi ini
disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S.)
pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Skripsi ini terselesaikan berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak.
Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Paulus Ari Subagyo, M.Hum. selaku dosen pembimbing I yang telah
banyak membantu dalam penyusunan skripsi ini. Tuntunan dan dukungan
moril beliau banyak bermanfaat dalam membentuk dan mematangkan
kemampuan berpikir penulis.
2. Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum. selaku dosen pembimbing II, yang
telah memberikan banyak masukan dalam penyusunan skripsi ini. Ilmu dan
petuah yang beliau berikan dalam perjalanan akademik ini telah menuntun
penulis menuju ke kematangan berpikir dan kematangan jiwa.
3. Segenap dosen Program Studi Sastra Indonesia Indonesia: Drs. Hery Antono,
M.Hum., Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum., Drs. B. Rahmanto, M.Hum.,
Drs. F.X. Santosa, M.S., S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum., Dra. F. Tjandrasih
Adji, M. Hum., dan Sony Christian Sudarsono, S.S., M.Hum. yang telah
menuntun dan membekali berbagai ilmu pengetahuan, semangat spiritual, dan
falsafah kehidupan kepada penulis.
4. Segenap staf sekretariat Fakultas Sastra atas pelayanan administrasi.
5. Keluarga penulis, yang senantiasa bernama anugerah, doa, motivasi,
pengorbanan, dan terima kasih: Bapa Bonefasius Osias, Mama Petronela
Emiliana Nimat, serta adik Yoseph Venansius Mitang dan Yohana Dalima
Mitang.
6. Ibu Agnes Triana sekeluarga. Terima kasih atas segala kebaikan yang
tersemat dalam setiap kebersamaan, dukungan, dan doa yang terucap.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRAK
Mitang, Marius Peng. 2016. “Wacana Humor Kritik Sosial dalam Stand Up
Comedy Indonesia Season 4 di Kompas TV: Tinjauan Pragmatik”.
Skripsi Strata Satu (S-1). Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas
Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Skripsi ini membahas wacana humor kritik sosial (WHKS) dalam acara
Stand Up Comedy Indonesia Season 4 (SUCI 4) di Kompas TV. Dua masalah
yang dibahas: (a) siapa sasaran kritik dan apa hal yang dikritik dalam WHKS
SUCI 4; serta (b) bagaimana kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS
SUCI 4 pada prinsip kerja sama? Kajian dilakukan dengan pendekatan pragmatik.
Data penelitian ini berupa WHKS yang diperoleh dari situs YouTube yang
menayangkan pertunjukan SUCI 4. Data dikumpulkan dengan metode simak, lalu
ditranskrip sebagai bahasa tulis. Data kemudian dianalisis menggunakan metode
padan dengan submetode padan pragmatik. Hasil penelitian disajikan dengan
metode informal dan formal.
Hasil penelitian ialah sebagai berikut. Pertama, pihak yang dikritik dan hal
yang dikritik adalah: (a) pemerintah (kebijakan diskriminatif, kinerja, dan
kegagalan penegakan aturan); (b) anggota DPR (kinerja, kebiasaan tidur saat
rapat, dan perilaku korupsi); (c) anggota ormas (sikap munafik dan sikap
intoleransi); (d) perempuan Indonesia (kesalahpahaman atas konsepsi kesetaraan
gender, profesi perempuan, kecemburuan yang berlebihan, dan kesadaran wanita
muslim untuk berkerudung,); (e) pertelevisian Indonesia (kualitas program, jam
tayang iklan, diskriminasi peran keaktoran); (f) pedangdut wanita (musikalitas);
(g) orangtua (pola asuh terhadap anak); (h) masyarakat lokal (sikap apatis pemuda
Betawi pada tanjidor, kesadaran masyarakat Jakarta dalam penanganan banjir,
perilaku penonton dangdut, tingkah laku pelajar Bintaro, stigma masyarakat
terhadap orang kurus); (i) masyarakat luas (sikap politik dalam Pileg dan Pilpres
2014, minimnya penghargaan terhadap dokter, sikap individualistis akibat
penggunaan handphone); (j) persepakbolaan (kualitas permainan tim nasional
Indonesia, kualitas wasit Indonesia, tindakan provokasi); (k) institusi pendidikan
(implementasi metode pembelajaran kontekstual, ketiadaan pembelajaran
sasando, pelaksanaan MOS, kualitas gizi di pesantren); (l) tokoh (pemilihan
lokasi pendeklarasian sebagai capres, dan tindakan kekerasan fisik).
Kedua, humor pada WHKS dalam SUCI 4 diciptakan dengan mematuhi
dan/atau tidak mematuhi prinsip kerja sama. Kepatuhan dan ketakpatuhan tersebut
dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe, yaitu: (a) tuturan yang mematuhi tiga
maksim, tetapi tidak mematuhi satu maksim (Tipe I); (b) tuturan yang mematuhi
dua maksim, tetapi tidak mematuhi dua maksim (Tipe II); (c) tuturan yang
mematuhi satu maksim, tetapi tidak mematuhi tiga maksim (Tipe III).
Kata kunci: humor, kritik sosial, SUCI 4, prinsip kerja sama, pragmatik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
ABSTRACT
Mitang, Marius Peng. 2016. “The Social Criticism Humor Discourse in Stand Up
Comedy Indonesia Season 4 on Kompas TV: Pragmatics Study”. An
Undergraduate Thesis. Study Program of Indonesian Letters, Faculty
of Letters, Sanata Dharma University.
This research discusses the social criticism humor discourse (TSCHD) in
Stand Up Comedy Indonesia Season 4 (SUCI 4) show on Kompas TV. There are
two matters to be observed: (a) who are the targets of criticism and what are the
criticisms of humor in SUCI 4; and (b) how does the obedience and disobedience
utterance of TSCHD in SUCI 4 to cooperative principle? The main problems were
analyzed with pragmatics approach.
The data are TSCHD that collected from YouTube contains SUCI 4 show.
The method that be used to collect data is simak method, and then the data were
transcribed into written language. The data were analyzed using padan method
and padan pragmatics sub-method. The researcher served informal method and
formal method to present the analytic result.
The researcher finds out two results of this research. First, the targets of
criticism and the criticisms in SUCI 4 humor discourse are (a) the government
(discriminatory policy, achievement, and regulation established); (b) the People‟s
Representative Council Members (achievement, sleep in the meeting, and
corruption); (c) the mass organization members (the hypocrisy and intolerant
behavior); (d) the Indonesian women (misunderstanding of gender equality
concept, occupation, excessive jealousy in relationship, and awareness to wear a
hijab); (e) Indonesian television (the program quality, the time of commercial
break, and discrimination on role play scenarios); (f) the women dangdut
musician (musicality); (g) the parents (parenting), (h) the local society (Betawi
youth is apathy toward tanjidor, awareness to beating the Jakarta floods, the
behavior of Bintaro‟s student, and stigma of being naturally skinny);
(i) the general society (political preference in Indonesian Legislative Election and
Presidential Election in 2014, unappreciated for the doctor‟s kindness, and
individualistic disposition caused by cellphone usage); (j) football (Indonesian
national team quality, Indonesian referee quality, the provocation); (k) the
educational institutions (implementation of contextual learning method, lack of
sasando learning, implementation of orientation programs, and nutritional quality
of food in pesantren); (l) the public figure (the place where to declaration as a
presidential candidate, and the violent behavior).
Second, humor of TSCHD in SUCI 4 are created by obeying and/or
disobeying cooperative principle. The obedience and disobedience are classified
to three types, which include: (a) the utterance that obeys three maxims, but
disobeys one maxim (Type I); (b) the utterance that obeys two maxims, but
disobeys two maxims (Type II); (c) the utterance that obeys one maxim, but
disobeys three maxims (Type III).
Keywords: humor, social criticism, SUCI 4, cooperative principle, pragmatics
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
DAFTAR SINGKATAN
O1 : orang pertama dalam wacana SUCI 4 berupa dialog
O2 : orang kedua dalam wacana SUCI 4 berupa dialog
O3 : orang ketiga dalam wacana SUCI 4 berupa dialog
O4 : orang keempat dalam wacana SUCI 4 berupa dialog
SUC : Stand Up Comedy
SUCI 4 : Stand Up Comedy Indonesia Season 4
WHKS : Wacana Humor Kritik Sosial
DAFTAR TANDA PADA DATA
U : Tanda garis bawah menandai punch line atau tuturan yang mengandung
efek humor
B : Tulisan bercetak tebal menandai sasaran kritik dan hal yang dikritik dalam
wacana.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ........................................................ iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................................................ iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ............................................. v
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vi
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii
ABSTRAK ....................................................................................................... ix
ABSTRACT ....................................................................................................... x
DAFTAR SINGKATAN DAN TANDA .......................................................... xi
DAFTAR ISI .................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xvi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
a. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
b. Rumusan Masalah ................................................................................... 11
c. Tujuan Penelitian .................................................................................... 11
d. Manfaat Penelitian .................................................................................. 11
e. Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 13
f. Landasan Teori ........................................................................................ 17
1.6.1 Pengertian Wacana ......................................................................... 17
1.6.2 Pengertian Humor .......................................................................... 18
1.6.3 Wacana Humor Kritik Sosial ......................................................... 19
1.6.4 Prinsip Kerja Sama ........................................................................ 20
a. Maksim Kuantitas ...................................................................... 21
b. Maksim Kualitas ....................................................................... 21
c. Maksim Relevansi ..................................................................... 22
d. Maksim Cara ............................................................................. 22
1.6.5 Penciptaan Humor secara Pragmatis ............................................. 23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
1.6.6 Konteks .......................................................................................... 24
1.6.7 Komponen Tutur ............................................................................ 24
1.6.8 Struktur Wacana Stand Up Comedy ............................................... 25
1.7 Metode dan Teknik Penelitian ................................................................ 26
1.7.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ......................................... 26
1.7.2 Metode Analisis Data ..................................................................... 27
1.7.3 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ........................ 31
1.8 Sistematika Penyajian ............................................................................. 32
BAB II SASARAN KRITIK DAN HAL YANG DIKRITIK
DALAM WACANA HUMOR KRITIK SOSIAL SUCI 4 ................ 33
2.1 Pengantar ................................................................................................ 33
2.2 Pemerintah .............................................................................................. 35
2.2.1 Kebijakan Diskriminatif ................................................................ 37
2.2.2 Kinerja Pemerintah ........................................................................ 40
2.2.3 Kegagalan Penegakan Aturan ........................................................ 43
2.3 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ........................................... 45
2.3.1 Kinerja Anggota DPR .................................................................... 47
2.3.2 Kebiasaan Tidur saat Rapat ........................................................... 50
2.3.3 Perilaku Korupsi ............................................................................ 52
2.4 Anggota Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) ...................................... 54
2.4.1 Kemunafikan Anggota Ormas Islam ............................................. 56
2.4.2 Sikap Intoleransi Ormas Islam ...................................................... 56
2.5 Perempuan Indonesia .............................................................................. 57
2.5.1 Kesalahpahaman atas Konsepsi Kesetaraan Gender ..................... 59
2.5.2 Profesi Perempuan......................................................................... 60
2.5.3 Kecemburuan yang Berlebihan ..................................................... 61
2.5.4 Kesadaran Wanita Muslim untuk Berkerudung ............................ 63
2.6 Pertelevisian Indonesia ............................................................................ 64
2.6.1 Kualitas Program ........................................................................... 66
2.6.2 Jam Tayang Iklan........................................................................... 69
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
2.6.3 Diskriminasi Peran Keaktoran ...................................................... 71
2.7 Pedangdut Wanita ................................................................................... 72
2.7.1 Musikalitas ..................................................................................... 73
2.8 Orangtua .................................................................................................. 74
2.8.1 Pola Asuh terhadap Anak ............................................................... 76
2.9 Masyarakat Lokal .................................................................................... 79
2.9.1 Sikap Apatis Pemuda Betawi pada Tanjidor .................................. 80
2.9.2 Kesadaran Masyarakat Jakarta dalam Penanganan Banjir ............ 82
2.9.3 Perilaku Penonton Dangdut ........................................................... 83
2.9.4 Tingkah Laku Pelajar Bintaro ........................................................ 84
2.9.5 Stigma Masyarakat terhadap Orang Kurus .................................... 85
2.10 Masyarakat Luas .................................................................................... 86
2.10.1 Sikap Politik dalam Pemilihan Legislatif dan
Pemilihan Presiden 2014 ............................................................. 88
2.10.2 Minimnya Penghargaan terhadap Dokter .................................... 89
2.10.3 Sikap Individualistis akibat Penggunaan Handphone ................. 90
2.11 Persepakbolaan ...................................................................................... 91
2.11.1 Kualitas Permainan Tim Nasional Indonesia ............................... 93
2.11.2 Kualitas Wasit Indonesia .............................................................. 94
2.11.3 Tindakan Provokasi...................................................................... 95
2.12 Institusi Pendidikan ............................................................................... 96
2.12.1 Ketiadaan Pembelajaran Sasando ................................................ 98
2.12.2 Pelaksanaan Masa Orientasi Siswa .............................................. 99
2.12.3 Kualitas Gizi di Pondok Pesantren .............................................. 100
2.13 Tokoh ..................................................................................................... 101
2.13.1 Pemilihan Tempat Pendeklarasian sebagai Calon Presiden ......... 103
2.13.2 Tindakan Kekerasan Fisik ........................................................... 104
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
BAB III KEPATUHAN DAN KETAKPATUHAN
TUTURAN DALAM WACANA HUMOR KRITIK SOSIAL SUCI 4
PADA PRINSIP KERJA SAMA .................................................. 106
3.1 Pengantar ................................................................................................ 106
3.2 Tuturan yang Mematuhi Tiga Maksim, tetapi Tidak Mematuhi Satu Maksim
(Tipe I) .................................................................................................... 109
3.2.1 Subtipe Ia ....................................................................................... 109
3.2.2 Subtipe Ib ....................................................................................... 113
3.2.3 Subtipe Ic ....................................................................................... 115
3.3 Tuturan yang Mematuhi Dua Maksim, tetapi Tidak Mematuhi Dua Maksim
(Tipe II) ................................................................................................... 117
3.3.1 Subtipe IIa ...................................................................................... 117
3.3.2 Subtipe IIb ..................................................................................... 119
3.3.3 Subtipe IIc ...................................................................................... 122
3.3.4 Subtipe IId ..................................................................................... 130
3.3.5 Subtipe IIe ...................................................................................... 133
3.4 Tuturan yang Mematuhi Satu Maksim, tetapi Tidak Mematuhi Tiga Maksim
(Tipe III) ................................................................................................. 136
3.4.1 Subtipe IIIa .................................................................................... 136
3.4.2 Subtipe IIIb .................................................................................... 137
BAB IV PENUTUP ......................................................................................... 140
4.1 Kesimpulan ............................................................................................. 140
4.2 Saran ....................................................................................................... 144
DAFTAR KEPUSTAKAAN ............................................................................ 145
PUSTAKA LAMAN ........................................................................................ 147
LAMPIRAN ..................................................................................................... 149
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Sasaran Kritik dan Hal yang Dikritik dalam WHKS SUCI 4 ............ 33
Tabel 2: Tipe-tipe Kepatuhan dan Ketakpatuhan Tuturan dalam WHKS SUCI 4
pada Prinsip Kerja Sama .................................................................... 108
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penelitian ini membahas wacana humor kritik sosial (WHKS) dalam
pertunjukan Stand Up Comedy Indonesia Season 4 (SUCI 4) yang ditayangkan di
Kompas TV secara pragmatis. Stand up comedy (SUC) adalah salah satu bentuk
komedi verbal yang dilakukan secara perseorangan atau bermonolog mengenai
suatu topik di hadapan penonton secara langsung
(https://id.wikipedia.org/wiki/pelawak_tunggal). SUC dapat disebut juga sebagai
komedi tunggal. Di Indonesia, pelaku SUC biasa disebut comic, komika, atau
stand up comedy-an.
SUCI 4 adalah kompetisi SUC atau ajang pencarian bakat di bidang SUC
musim keempat yang ditayangkan di Kompas TV pada Februari sampai Juni 2014.
Tahapan penyelenggaraan kompetisi ini diawali dengan audisi di beberapa kota-
kota besar di Indonesia. Para comic yang lolos babak audisi tampil pada babak
utama di Jakarta. Pada babak utama, pertunjukan diadakan sekali dalam
seminggu. Pada setiap pekannya para juri akan mengeliminasi salah seorang
comic. Puncak dari babak utama ini menyisakan atau menghasilkan dua comic
yang bertarung pada babak final untuk memperebutkan status jawara dalam
kompetisi ini.
Humor dalam SUC berbeda dengan genre komedi-komedi lainnya.
Kekuatan SUC terletak pada penggunaan bahasa verbal yang sangat dominan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Comic secara aktif bercerita tentang hasil pengalaman, pengamatan, dan
aspirasinya terhadap kehidupan di sekitarnya yang dikemas menjadi sesuatu yang
lucu kepada penonton.
Mengacu pada hal tersebut, sebagai entitas komunikasi verbal, tuturan di
dalam SUCI 4 pun tidak terlepas dari maksud dan tujuan tertentu. Sebagaimana
Leech (1983: 24) menyatakan bahwa di dalam pragmatik, berbicara merupakan
aktivitas yang berorientasi pada tujuan (goal oriented activities). Tuturan yang
disampaikan oleh penutur pada hakikatnya dilandasi oleh maksud dan tujuan
tertentu. Demikian pun dengan wacana SUC –yang di dalamnya tercakup berbagai
dimensi makna dan maksud yang luas. Pertunjukan SUC tidak hanya sebagai
sarana hiburan semata, tetapi juga dapat berperan sebagai media didaktis karena
informasi atau materi yang disampaikan mengandung pesan-pesan yang bersifat
informatif dan mengedukasi para penonton.
Di panggung pertunjukan SUCI 4, para comic sering kali membawakan
materi humor yang mengandung kritik sosial. Secara umum, kritik sosial tersebut
meliputi kritik terhadap konstelasi sosial, ekonomi, dan tirani kekuasaan, baik
dalam lingkup daerah asal comic maupun dalam lingkup nasional. Oleh karena itu,
di dalam penelitian ini akan dibahas dua masalah terkait dengan WHKS dalam
SUCI 4. Pertama, siapa sasaran kritik dan apa hal yang dikritikkan comic?
Perhatikan beberapa contoh WHKS dalam SUCI 4 berikut ini.
(1) Cewek itu sering banget ngomongin masalah kesetaraan
gender. Bener nggak sih? Lagian kesetaraan gender itu
maksudnya apa sih? Setara itu kan artinya sama, padahal
sama belum tentu proporsional, belum tentu pas. Contohnya
begini. Gua naik bis, gua naik kereta sama adek gua. Tempat
duduknya cuma satu. Adik gua duduk, gua berdiri; nggak setara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
tetapi proporsional karena gua lebih kuat, hitungannya setara.
Atau pakai solusi yang kedua, gua duduk, adik gua gua pangku.
Ini cewek mintanya kesetaraan gender, tapi giliran di kereta
tempat duduk cuma satu gua duduk dia berdiri, ngelihatin gua
terus. Ya, nggak gua kasih. Kan setara. Kalau mau, pakai solusi
yang kedua: elu gua pangku. Iya, nggak? Kalau elu gua pangku,
ya adik gua berdiri. Iya kan? Kalau masih nggak mau juga, ya
sudah silakan duduk, tapi elu pangku gua, ya adik gua berdiri
lagi. (Dzawin, show 10).
(2) Ketika semua yang di sini sudah bersistem dengan online, di
tempat saya itu, aduh, oh lain, lain dari yang lain. (Abdur,
show 3).
(3) Nih ya, gua kasih tahu. Anak-anak Cilincing tekun-tekun,
maksudnya nurut, nggak kayak di daerah gua, Masya Allah,
anak sekolahnya bandel bener. Anak kecil di sekolahan gue,
cewek-ceweknya kalau nongkrong pakai baju you can see. Ya
Allah, kita gerah kalau ngelihatin yang kayak gitu, you can see.
Kita samperin; kita omelin.
O1: Neng, mohon maaf nih. Kenape pakai baju you can see?
O2: Bang, mohon maaf nih Bang. Aye mendingan pakai baju
you can see daripada you can touch.
Ya Allah gue kesel, gua marahin.
O1: Eh, anak sape loe? Pulang sono!
O2: Ngapain, Bang?
O1: Ganti you can touch. (David, show 7).
Sasaran kritik comic dalam wacana (1) adalah kaum perempuan, secara
khusus yang sering kali membicarakan dan menuntut persamaan hak dengan
kaum laki-laki. Hal tersebut ditandai melalui kalimat Cewek itu sering banget
ngomongin masalah kesetaraan gender.
Hal yang dikritik pada wacana ini ihwal kesalahpahaman kaum perempuan
terhadap konsepsi kesetaraan gender. Hal ini ditunjukkan melalui tuturan Lagian
kesetaraan gender itu maksudnya apa sih? Setara itu kan artinya sama, padahal
sama belum tentu proporsional, belum tentu pas. Dalam ilustrasinya di atas:
seorang wanita di kereta api yang tengah berdiri karena tidak mendapatkan kursi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
kosong; ia selalu memandangi comic yang sedang duduk bersama adiknya,
dengan harapan comic mempersilakan wanita tersebut menduduki kursinya.
Comic tidak memberikan kursinya untuk ditempati oleh wanita tersebut karena (1)
ia memiliki hak untuk tetap menduduki kursi yang sudah ditempatinya sejak awal
dan (2) ia merasa tidak adil jika ia harus berdiri karena memberikan kursi yang
didudukinya ditempati oleh wanita tersebut. Dengan kata lain, wanita itu ingin
berusaha mendapatkan haknya untuk menduduki kursi tersebut dengan melanggar
atau mengabaikan hak comic menempati kursi itu.
Comic penutur wacana (2) bernama Abdur, yang berasal dari Desa
Lamakera, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Yang menjadi
sasaran kritik comic adalah pemerintah. Hal tersebut ditunjukkan dalam tuturan di
tempat saya itu, aduh, oh lain, lain dari yang lain. Tuturan tersebut
mengimplikasikan kegagalan pemerintah dalam pengadaan teknologi informasi di
kampung halaman comic.
Kritikan comic menyiratkan sikap diskrimitif pemerintah dalam
memeratakan fasilitas teknologi informasi pada berbagai daerah di Indonesia.
Pada wacana ini, comic mengungkapkan dikotomi keberadaan dan kemajuan
teknologi antara daerah asalnya yang sangat memprihatinkan, yang ditandai
melalui tuturan oh lain, dengan Jakarta, yang diungkapkan melalui frasa di sini,
yang perkembangan teknologinya informasinya sudah maju, yaitu
tersistematisasinya berbagai aktivitas berbasis online. Hal ini diterangkan melalui
tuturan semua yang di sini sudah bersistem dengan online.
Comic yang mennuturkan wacana (3) adalah David, yang berasal dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
Bintaro, Jakarta Selatan. Wacana di atas disampaikannya di hadapan para siswa
SMAN 52 Jakarta di kawasan Cilincing, Jakarta Utara. Sasaran kritik comic
adalah pelajar di Bintaro, yang ditandai melalui tuturan nggak kayak di daerah
gua, Masya Allah, anak sekolahnya bandel bener.
Hal yang dikritik pada wacana ini adalah perihal tingkah laku pelajar
Bintaro. Kritikan tersebut ditunjukkan melalui tuturan Anak kecil di sekolahan
gue, cewek-ceweknya kalau nongkrong pakai baju you can see. Adapun tuturan
pada frasa baju you can see mengimplikasikan masalah tingkah laku pelajar yang
dimaksud, karena merunut pada konteks etika sosial, baju you can see atau baju
tanpa lengan dianggap tidak memenuhi kaidah kesopanan.
Kedua, bagaimana kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS
SUCI 4 pada prinsip kerja sama Grice? Masalah ini terkait dengan proses
penciptaan humor secara pragmatis. Menurut Wijana (2003:6), salah satu bentuk
penciptaan wacana humor yaitu melalui penciptaan tuturan yang tidak mematuhi
norma-norma pragmatik bahasa, yang terdiri prinsip kerja sama (cooperative
principle) Grice dan prinsip kesopanan (politeness principle) Leech. Dalam
penelitian ini, peneliti hanya membahas prinsip kerja sama.
Grice (1975), menyebut ada empat maksim percakapan dalam prinsip kerja
sama yang berfungsi untuk mengatur proses komunikasi antara peserta tutur, yaitu
maksim kuantitas (quantity maxim), maksim kualitas (quality maxim), maksim
relevansi (relation maxim), dan maksim cara (manner maxim). Maksim kuantitas
menekankan setiap peserta tutur memberikan kontribusi yang secukupnya yang
dibutuhkan atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya. Maksim
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
kualitas mewajibkan setiap peserta tutur mengatakan hal yang sebenarnya atau
apa adanya. Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan
memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Maksim cara
mewajibkan setiap peserta tutur berbicara secara jelas, tidak ambigu, tidak kabur,
serta runtut.
Wijana (2003: 6) menyebutkan, wacana humor secara tekstual dan
interpersonal tidak patuh pada (salah satunya) prinsip kerja sama Grice. Dengan
menyimpangkan tuturan dari keempat maksim di atas, tujuan penutur dalam
menyampaikan humornya dapat tercapai, yaitu timbulnya efek lucu (comic effect).
Di samping itu, proses penciptaan humor pada wacana SUCI 4 ini tidak
hanya menekankan pada penciptaan tuturan yang tidak mematuhi prinsip
pragmatik Grice. Penelitian ini juga mengemukakan bahwa tuturan yang
mematuhi prinsip kerja sama dapat memberikan efek lucu dan komunikatif –
sebagaimana hakikat komunikasi– bagi yang menyaksikan pertunjukan SUCI 4.
Perhatikan contoh berikut ini:
(4) Cewek itu sering banget ngomongin masalah kesetaraan gender.
Bener gak sih? Lagian kesetaraan gender itu maksudnya apa
sih? Setara itu kan artinya sama, padahal sama belum tentu
proporsional, belum tentu pas. Contohnya begini. Gua naik bis,
gua naik kereta sama adek gua. Tempat duduknya cuma satu.
Adik gua duduk, gua berdiri; nggak setara tetapi proporsional
karena gua lebih kuat, hitungannya setara. Atau pakai solusi
yang kedua, gua duduk, adik gua gua pangku. Ini cewek
mintanya kesetaraan gender, tapi giliran di kereta tempat duduk
cuma satu gua duduk dia berdiri, ngelihatin gua terus. Ya, nggak
gua kasih. Kan setara. Kalau mau, pakai solusi yang kedua: elu
gua pangku. Iya, nggak? Kalau elu gua pangku, ya adik gua
berdiri. Iya kan? Kalau masih nggak mau juga, ya sudah silakan
duduk, tapi elu pangku gua, ya adik gua berdiri lagi. (Dzawin,
show 10).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
(5) Ketika semua yang di sini sudah bersistem dengan online, di
tempat saya itu, aduh, oh lain, lain dari yang lain. (Abdur,
show 3).
(6) Nih ya, gua kasih tahu. Anak-anak Cilincing tekun-tekun,
maksudnya nurut, nggak kayak di daerah gua, Masya Allah,
anak sekolahnya bandel bener. Anak kecil di sekolahan gue,
cewek-ceweknya kalau nongkrong pakai baju you can see. Ya
Allah, kita gerah kalau ngelihatin yang kayak gitu, you can see.
Kita samperin; kita omelin.
O1: Neng, mohon maaf nih. Kenape pakai baju you can see?
O2: Bang, mohon maaf nih Bang. Aye mendingan pakai baju
you can see daripada you can touch.
Ya Allah gue kesel, gua marahin.
O1: Eh, anak sape loe? Pulang sono!
O2: Ngapain, Bang?
O1: Ganti you can touch. (David, show 7).
Wacana (4) memiliki tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim
kualitas, dan maksim relevansi, tetapi tidak mematuhi maksim cara. Wacana ini
mematuhi maksim kuantitas karena sumbangan informasi yang disampaikan oleh
comic memadai. Yang menjadi pokok permasalahan pada wacana di atas yaitu
perihal kesalahpahaman konsepsi kesetaraan gender oleh kaum perempuan. Hal
tersebut terimplikasi melalui tuturan comic yang mempersoalkan keseringan kaum
perempuan membicarakan masalah kesetaraan gender serta mempertanyakan
esensi dari konsepsi kesetaraan tersebut. Berikut tuturan kuncinya: Lagian
kesetaraan gender itu maksudnya apa sih? Setara itu kan artinya sama, padahal
sama belum tentu proporsional, belum tentu pas.
Untuk mengurai kesalahpahaman tersebut, comic lantas memberikan
informasi pendukung berupa ilustrasi praktis dan solusi terkait masalah tersebut.
Berikut tuturan kuncinya: Contohnya begini. Gua naik bis… dan seterusnya.
Wacana di atas juga mematuhi maksim relevansi karena pokok
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
pembicaraannya bersangkut paut secara langsung dengan infromasi pendukung.
Selain itu, wacana ini memiliki tuturan yang mematuhi maksim kualitas. Hal
tersebut ditunjukkan melalui tuturan Cewek itu sering banget ngomongin masalah
kesetaraan gender. Jika merunut pada faktanya, persoalan kesetaraan gender
menjadi salah satu isu aktual dan kontekstual yang masih dan sering kali
diperbicarakan dalam berbagai forum perbincangan kaum perempuan.
Tuturan yang menimbulkan efek humor terletak pada ambiguitas frasa adik
gua. Pada awal tuturan, frasa adik gua bermakna „saudara kandung yang lebih
muda‟. Sementara pada akhir tuturan, frasa „adik gua‟ (yang bergaris bawah)
dapat bermakna „kemaluan laki-laki‟ mengalami ketaksaan, terutama saat diikuti
oleh kata kerja „berdiri‟. Maknanya tidak saja berarti tunggal „saudara mudanya
yang berdiri‟, namun bisa juga berarti „kemaluannya berereksi‟. Dengan
demikian, tuturan ini tidak mematuhi maksim cara.
Wacana (5) memiliki tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim
kualitas, dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim relevansi. Wacana ini
mematuhi maksim kuantitas karena sumbangan informasi yang disampaikan oleh
comic tidak kurang dan tidak lebih.
Wacana ini juga mematuhi maksim kualitas. Berikut penjelasannya. Comic
yang menuturkan wacana (5) adalah Abdur, seorang warga Desa Lamakera,
Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tuturan comic berkenaan
dengan kondisi faktual pembangunan atau keberadaan sarana dan pra-sarana
dalam bidang informasi dan teknologi di Desa Lamakera atau daerah-daerah di
NTT yang belum terlaksana atau memadai. Provinsi NTT mengalami
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
keterbelakangan dalam hal perkembangan dan pertumbuhan informasi dan
teknologi. Wacana ini juga mematuhi maksim cara karena karena comic
menyampaikan tuturannya secara jelas dan tidak ada tuturan yang ambigu.
Wacana (5) tidak mematuhi maksim relevansi. Hal tersebut diterangkan
melalui tuturan online dan oh lain. Terminologi online memiliki makna
„konektivitas antarperanti elektronik atau peranti elektronik dengan jaringan
internet‟. Pada wacana ini, tuturan tersebut mengimplikasikan kemajuan
teknologi informasi di Pulau Jawa, khususnya Jakarta. Sementara itu, tuturan oh
lain bukan merupakan terminologi khusus sebagai antitesis dari istilah online,
meskipun tuturan tersebut mengimplikasikan disparitas perkembangan teknologi
informasi di Nusa Tenggara Timur, secara khusus Larantuka.
Wacana (6) berikut ini memiliki tuturan yang mematuhi maksim cara, tetapi
tidak mematuhi maksim kuantitas, maksim kualitas, dan maksim relevansi.
Wacana ini mematuhi maksim cara karena penuturannya jelas dan tidak
mengandung informasi yang ambigu.
Wacana tersebut mengandung tuturan yang tidak mematuhi maksim
kualitas. Hal ini tampak pada tuturan you can touch. Tuturan ini diasumsikan
sebagai model baju yang mengumbar aurat. Pada kenyataannya, baju yang
memiliki desain atau nama tersebut tidak ada.
Wacana di atas juga memiliki tuturan yang tidak relevan, yaitu tampak pada
percakapan O1 dan O
2. Percakapan berawal dari pertanyaan O
1 kepada O
2
mengenai alasannya memakai baju yang mengumbar aurat tersebut. O1 bertanya
dengan maksud memarahi O2 dan menasihatinya agar memakai pakaian yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
lebih sopan. O2
menjawabnya tidak secara langsung. O2 berasumsi bahwa O
1
menganggapnya sebagai gadis yang nakal. Melalui tuturan aku mendingan pakai
you can see daripada you can touch, O2 ingin menegaskan bahwa ia bukanlah
gadis yang seperti disangkanya karena baju yang dikenakannya masih dalam
tataran wajar. O1
yang bertambah kesal terhadap jawaban O2 karena iktikad
baiknya ditolak sontak berang, menanyakan siapa orangtuanya, lalu menyuruhnya
pulang. Dalam percakapan yang wajar, seseorang yang disuruh pulang atau diusir
umumnya akan memberikan dua kemungkinan jawaban: iya atau tidak. Akan
tetapi, O2 justru balik bertanya kepada O
1 untuk apa dia harus pulang. Di sinilah
letak ketidakterkaitan pertama tuturan di atas.
Pada akhir percakapan, O1 menyuruh O
2 untuk mengganti baju you can see-
nya dengan baju you can touch. Ungkapan O1 ini tidak selaras atau relevan
dengan sikapnya pada awal percakapan yang kesal dengan perangai buruk gadis-
gadis di kampung halamannya. Hal ini bisa berarti bahwa maksud dan motivasi
baik dari comic mengalami pembiasan, yakni O1 menggoda O
2. Oleh karena
tuturan O1 yang berlebihan tersebut, maka tuturan itu tidak mematuhi maksim
kuantitas.
Peneliti memilih topik ini sebagai objek kajian penelitiannya berdasarkan
alasan-asalan berikut. Pertama, pertunjukan SUCI 4 di Kompas TV masih relatif
baru, sehingga sejauh kajian tinjauan pustaka yang dilakukan oleh peneliti, kajian
wacana humor verbal secara pragmatik, khususnya mengkaji kepatuhan dan
ketakpatuhan tuturannya pada prinsip kerja sama Grice sebagai wahana
penciptaan humor belum pernah dilakukan. Kedua, penelitian terhadap penciptaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
wacana humor pada umumnya masih ditinjau berdasarkan aspek ketidakpatuhan
prinsip kerja sama. Melalui kajian ini, peneliti tidak hanya akan mengkaji proses
penciptaan wacana humor SUCI 4 berdasarkan ketakpatuhan tuturannya pada
prinsip kerja sama, tetapi juga akan mengkajinya berdasarkan kepatuhan
tuturannya tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Siapa sasaran kritik dan apa hal yang dikritik dalam WHKS SUCI 4?
2. Bagaimana kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada
prinsip kerja sama Grice?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Mendeskripsikan siapa sasaran kritik dan apa hal yang dikritik dalam WHKS
SUCI 4.
2. Mendeskripsikan kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4
pada prinsip kerja sama Grice.
1.4 Manfaat Hasil Penelitian
Hasil penelitian berjudul “Wacana Humor Kritik Sosial dalam Stand Up
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
Comedy Indonesia Season 4 di Kompas TV: Tinjauan Pragmatik” adalah deskripsi
tentang: (1) sasaran kritik dan hal yang dikritik dalam WHKS SUCI 4; serta (2)
kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja
sama Grice. Adapun manfaat hasil penelitian ini dijabarkan sebagai berikut.
1.4.1. Manfaat Teoretis
Secara pragmatis, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan penjelasan
bagaimana mengkaji (mengungkap) sasaran kritik dan hal yang dikritik dalam
wacana humor kritis verbal serta proses penciptaan WHKS pada SUCI 4
berdasarkan kepatuhan dan ketakpatuhan tuturannya pada prinsip kerja sama
Grice. Sejauh penelusuran peneliti, kajian perihal aspek-aspek penciptaan wacana
humor verbal pada umumnya hanya berdasarkan ketakpatuhan tuturannya pada
prinsip kerja sama dan kesopanan saja. Oleh karena itu, penelitian ini, secara
khusus kajian ihwal penciptaan humor berdasarkan kepatuhan tuturannya pada
prinsip kerja sama, dapat menjadi informasi atau referensi bagi penelitian-
penelitian selanjutnya.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan secara praktis agar dapat melakukan
kritikan yang jenaka dan tidak menyinggung perasaan orang yang dikritik.
Penelitian ini juga dapat dipakai sebagai salah satu acuan bagi untuk melakukan
SUC dengan memanfaatkan prinsip-prinsip pragmatik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
1.5 Tinjauan Pustaka
Kajian tentang wacana humor yang berkaitan dengan linguistik pernah
dilakukan oleh Sudarsono (2013), Cahyaprasetya (2015), Wati (2013), Sari
(2012), Fadilah (2015), dan Wijayanti (2015). Sudarsono (2013), melalui
skripsinya “Wacana Gombal dalam Bahasa Indonesia: Kajian Struktural,
Pragmatis, dan Kultural”, melihat penciptaan humor dalam wacana gombal
melalui proses berikut ini. Pertama, pemanfaatan aspek kebahasaan dari tataran
yang rendah hingga tataran yang tinggi, yaitu (1) aspek fonologi, berupa
permainan fonem dan penambahan suku kata, (2) aspek sintaksis, berupa pertalian
kata dalam frasa dan pertalian antarklausa, (3) aspek semantik, berupa polisemi,
homonimi, idiom, peribahasa, hiperbola, elipsis, metafora, dan personifikasi, dan
(4) aspek wacana, berupa pantun, silogisme, dan entailmen. Kedua, proses
penciptaan humor dalam wacana gombal dilakukan dengan membelok dari prinsip
kerja sama untuk menghasilkan nilai rasa gombal. Wujud pelanggaran prinsip
kerja sama berupa sumbangan informasi yang berlebihan, kurang logis, keluar
dari konteks, dan ambigu.
Cahyaprasetya (2015), dalam skripsinya: “Pelanggaran Prinsip Kerja Sama
dan Prinsip Kesopanan dalam Acara Tatap Mata Trans 7 sebagai Wahana
Menciptakan Humor Verbal Lisan”, menemukan hasil kajiannya sebagai berikut.
Pertama, ditemukan wujud pelanggaran prinsip kerja sama sebagai wahana
penciptaan humor dalam acara Tatap Mata Trans 7, yang meliputi: (1) maksim
kuantitas berupa informasi yang berlebihan dan informasi yang kurang informatif,
(2) maksim kualitas berupa informasi yang salah dan informasi tidak logis, (3)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
maksim relevansi berupa informasi tidak relevan dengan masalah pembicaraan,
dan (4) maksim pelaksanaan berupa kesalahan dalam menafsirkan mitra tutur,
informasi implisit. Kedua, ditemukan wujud pelanggaran prinsip kesopanan, yaitu
(1) maksim kebijaksanaan berupa perintah yang mempermalukan mitra tutur dan
informasi yang membingungkan mitra tutur, (2) maksim kemurahan berupa
pemanfaatan ketidaktahuan mitra tutur dan permintaan sesuatu kepada mitra tutur,
(3) maksim penerimaan berupa merendahkan mitra tutur dan mencela mitra tutur,
(4) maksim kerendahan hati berupa bangga terhadap diri sendiri, (5) maksim
kecocokan berupa informasi tidak sebenarnya, dan (6) maksim kesimpatian
berupa sikap antipati terhadap kesusahan mitra tutur.
Wati (2013) mengkaji humor SUC dalam skripsinya yang berjudul “Bahasa
Humor Pertunjukan: Kajian Prinsip Kerja Sama terhadap Pertunjukan Stand Up
Comedy Show di Metro TV”. Penelitian ini membahas bentuk pendayagunaan
maksim-maksim dalam prinsip kerja sama Grice dan implikatur tuturan humor
yang mendayagunakan prinsip kerja sama dalam SUC Show di Metro TV. Berikut
ini adalah hasil penelitiannya. Pertama, pendayagunaan maksim kualitas pada
terbagi atas sembilan jenis: pelesetan, pemahaman yang salah, dianggap salah
oleh comic, generalisasi yang salah, tidak masuk akal, tidak didukung bukti-bukti,
hal yang belum tentu benar, pemikiran yang menyimpang atau tidak lazim, dan
kombinasi tidak masuk akal dan dianggap salah oleh comic. Kedua,
pendayagunaan maksim cara terdiri atas penuturan yang tidak jelas, kabur, dan
tidak langsung. Ketiga, pendayagunaan maksim relevansi terdiri dari selipan,
ketidaksinambungan dengan pernyataan sebelumnya dalam satu topik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
pembicaraan, ketidaksinambungan karena ambiguitas, ketidaksinambungan
karena tuturan yang kurang lengkap, dan penggunaan kata yang kurang tepat.
Sari (2012), dalam skripsi berjudul “Humor dalam Stand Up Comedy oleh
Raditya Dika (Kajian Tindak Tutur, Jenis, dan Fungsi)”, mengkaji tentang jenis
tindak tutur dan penerapan prinsip kerja sama beserta penyimpangan yang terjadi
dalam humor SUC oleh Raditya Dika serta mengetahui jenis dan fungsi humor
yang digunakan. Adapun hasil penelitiannya sebagai berikut. Pertama, jenis tindak
tutur dalam humor SUC oleh Raditya Dika yang menimbulkan kelucuan adalah
tindak tutur lokusi naratif, deskriptif, dan informatif; ilokusi asertif, direktif,
deklaratif, dan ekspresif; serta tindak tutur perlokusi. Kedua, ditemukannya
penerapan dan penyimpangan maksim-maksim prinsip kerja sama dan prinsip
sopan santun dalam tuturan untuk memancing tawa penonton. Ketiga, jenis humor
yang terdapat dalam SUC oleh Raditya Dika adalah guyonan parikena, satire,
sinisme, plesetan, analogi, unggul-pecundang, dan apologisme. Keempat, fungsi
yang termuat di dalam SUC oleh Raditya Dika adalah fungsi (1) membantu
pendidikan anak muda, (2) meningkatkan solidaritas suatu kelompok, (3) sebagai
sarana kritik sosial, (4) memberikan suatu pelarian yang menyenangkan dari
kenyataan, dan (5) mengubah pekerjaan yang menyenangkan menjadi permainan.
Fadilah (2015), melalui skripsinya: “Humor dalam Wacana Stand-up
Comedy Indonesia Season 4 di Kompas TV”, mengemukakan hasil penelitiannya
sebagai berikut. Pertama, penciptaan humor SUCI 4 menggunakan teknik
praanggapan, teknik implikatur, dan teknik dunia kemungkinan. Kedua, tuturan
humor SUCI 4 berfungsi sebagai penyalur keinginan dan gagasan, pemahaman
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
diri untuk menghargai orang lain, pemahaman kritis terhadap masalah yang ada,
penghibur, penyegaran pikiran, dan peningkatan rasa sosial.
Wijayanti dalam tesisnya: “Analisis Wacana Stand Up Comedy Indonesia
Session 4 Kompas TV” menemukan bahwa struktur wacana SUCI 4 terdiri atas
struktur wajib, yaitu isi lawakan yang terdiri atas pengantar dan punch line, serta
unsur opsional yang terdiri atas salam pembukan, pertanyaan kabar, kalimat
penutup, dan penyebutan nama. Selain itu, kepaduan antarpremis dalam wacana
ditemukan wacana yang kohesif saja, kohesif dan koheren, serta tidak kohesif dan
koheren.
Wijayanti juga menemukan berbagai fenomena kebahasaan dalam acara
SUCI 4 untuk menimbulkan efek humor, yaitu permainan bunyi yang terdiri atas
penggantian bunyi pada kata dan suku kata, ambiguitas yang terdiri dari
ambiguitas gramatikal (kata majemuk, frasa, amfipoli) dan ambiguitas leksikal
(polisemi dan homonimi), relasi leksikal (hiponimi dan kohiponimi, meronimi,
kolokasi, sinonimi, antonimi), permainan unsur pembatas, metonimi, hiperbola,
simile, visualisasi referen, dan entailment. Fungsi komunikatif SUCI 4 yaitu
untuk bercanda, menertawakan diri sendiri, menyindir, mengkritik, mempengaruhi
penonton, dan menginformasikan budaya.
Berdasarkan beberapa tinjauan pustaka di atas, kebaruan yang ditemukan di
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, penciptaan wacana humor
secara pragmatis, terutama humor dalam SUCI 4, tidak hanya dapat dilakukan
dengan tidak mematuhi prinsip pragmatik saja, tetapi juga dengan mematuhi
prinsip pragmatik tersebut. Penelitian ini melengkapi tesis Wijayanti (2015) yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
hanya mengkaji humor dalam SUCI 4 secara struktural dan skripsi Fadilah (2015)
yang hanya mengkaji proses penciptaan humor dengan teknik praanggapan, teknik
implikatur, dan teknik dunia kemungkinan. Kedua, entitas wacana SUCI 4 adalah
komunikasi verbal. Di dalam pragmatik, kegiatan berbicara berorientasi pada
maksud dan tujuan. Humor dalam pertunjukan SUC tersebut tidak semata-mata
untuk menghibur para penonton, tetapi juga menyingkap banyak persoalan sosial
masyarakat Indonesia. Di atas panggung, para comic menyuarakan kritikan dan
aspirasi melalui lawakan-lawakannya. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini
akan membahas secara komprehensif siapa sasaran kritik dan apa hal yang dikritik
oleh comic di dalam SUCI 4. Pembahasan ini tidak ditemukan di dalam penelitian
pada tinjauan pustaka di atas.
1.6 Landasan Teori
Dalam landasan teori ini dipaparkan tentang (1) wacana, (2) humor, (3)
wacana humor kritik sosial, (4) prinsip kerja sama, (5) penciptaan humor secara
pragmatis, (6) konteks, (7) komponen tutur, dan (8) struktur wacana SUC.
1.6.1 Wacana
Poerwadarminta (dikutip Baryadi, 2002: 1) mendefinisikan kata wacana
merunut pada akar atau asal-usul katanya. Kata wacana berasal dari kata vacana
yang berarti „bacaan‟ dalam bahasa Sanskerta yang kemudian masuk sebagai
kosakata bahasa Jawa Kuna dan Jawa Baru wacana yang berarti „bicara, kata,
ucapan‟. Dalam linguistik, istilah wacana dipandang sebagai satuan kebahasaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
tertinggi atau terbesar karena mencakup kalimat, gugus kalimat, alinea, penggalan
wacana, dan wacana utuh (Ibid., hlm.2).
1.6.2 Humor
Humor menurut KBBI (Sugono, dkk. (eds.), 2008: 512) berarti (i) sesuatu
yang lucu dan (ii) keadaan yang menggelikan hati; kejenakaan, kelucuan.
Sedangkan menurut Wijana (2003: xx), humor adalah rangsangan verbal dan, atau
visual yang secara spontan dimaksudkan dapat memancing senyum dan tawa
pendengar atau orang yang melihatnya. Berkenaan dengan hal tersebut, ada tiga
aspek yang layak diperhatikan, yakni tindakan verbal atau nonverbal yang
merupakan stimulusnya, aktivitas kognitif dan intelektual sebagai alat persepsi
dan evaluasi rangsangan itu, dan respon yang dinyatakan dengan senyum (Ibid.,
hlm.37).
Menurut Danandjaja, seperti dikutip Wijana (2003: 3), menyatakan bahwa
di dalam masyarakat, humor, apapun bentuknya, harus dapat menjadi pelipur lara.
Humor, melalui reaksi emosional, misalnya tawa, dapat mengendurkan
ketegangan batin dan pikiran akibat persoalan sosial yang dihadapi masyarakat
tersebut. Dengan demikian, humor bukan hanya sebagai hiburan semata,
melainkan dapat menciptakan kondisi psikis seseorang menjadi lebih baik dan
keseimbangan jiwa tetap terjaga.
Wacana di dalam SUC termasuk wacana humor karena penciptaannya
ditujukan untuk menghibur para penonton. Di dalam pertunjukan SUC,
manifestasi dari penikmatan humor berupa tawa dan/atau tepukan tangan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
1.6.3 Wacana Humor Kritik Sosial
Untuk menerangkan pengertian WHKS, diuraikan terlebih dahulu
pengertian kritik sosial. Istilah kritik sosial terdiri dari dua kata, yaitu kritik dan
sosial. Kata kritik, secara etimologis, berasal dari bahasa Yunani krinein yang
artinya „memisahkan, memerinci dan menimbang‟. Pengkritik berarti orang yang
membuat pemisahan, perincian, dan penimbangan antara nilai dan yang bukan
nilai, arti dan yang bukan arti, baik dan jelek (Kwant, 1975: 12). Kritik di dalam
KBBI (Sugono, dkk. (eds.), 2008: 742) berarti „kecaman atau tanggapan, kadang-
kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya,
pendapat, dan sebagainya‟.
Seorang pengkritik harus lebih dahulu mengenal dan mengetahui kenyataan
dari hal yang dikritiknya, menentukan apakah kenyataan yang dihadapinya itu
benar-benar seperti apa yang seharusnya, lalu mengidealkan kenyataan yang
dinilainya itu sesuai norma, hukum, atau falsafah masyarakat yang bersangkutan.
Sementara itu, orang yang dikritik memiliki kewajiban untuk memenuhi kritikan
atau harapan pengkritik (Kwant, 1975: 11).
Kata sosial berasal dari bahasa Latin socius yang berarti „teman, kawan‟,
dan kemudian diserap ke dalam bahasa Inggris social yang artinya „berteman,
bersama, berserikat‟ (Shadily, 1993: 1). Kata social pun lalu diserap ke dalam
bahasa Indonesia menjadi sosial yang berarti „berkenaan dengan masyarakat‟
(Sugono, dkk. (eds.), 2008: 1331).
Berdasarkan pengertian kata kritik dan sosial di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa kritik sosial adalah gambaran, kecamanan, tanggapan dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
penilaian terhadap persoalan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Damono
(1983: 22) menyebutkan, persoalan itu mencakup masalah manusia dengan
lingkungannya, manusia dengan manusia lain, manusia dengan kelompok sosial,
manusia dengan kelompok penguasa, dan manusia dengan institusi-institusi yang
ada.
WHKS adalah wacana hiburan yang penciptaannya ditujukan untuk
menghibur penonton (membangkitkan rasa tawa) di samping sebagai wahana
kritik sosial terhadap segala bentuk ketimpangan yang terjadi di tengah
masyarakat. Humor merupakan salah satu sarana yang efektif di saat saluran kritik
lainnya tidak dapat menjalankan fungsinya (Wijana, 2003: 1). Dengan humor,
manusia dapat menghadapi persoalan sosial dengan canda dan tawa, terutama bagi
masyarakat yang tengah menghadapi situasi yang pelik (Ibid., hlm.3). Sementara
itu, bagi sasaran kritik dalam WHKS, kritikan-kritikan yang diungkapkan tidak
begitu dirasakan melecehkan atau mempermalukan karena disampaikan dengan
jenaka.
1.6.4 Prinsip Kerja Sama
Grice (1975: 45), yang diterangkan kembali oleh Baryadi (2015: 88-89),
mengemukakan prinsip kerja sama sebagai berikut.
“Make your conversation contribution such as is required, at the
stage at which it occurs, by the accepted purpose or direction of the
talk exchange in which you are engaged”.
„Buatlah percakapan Anda sebagaimana yang diminta, sesuai
dengan taraf percakapan itu terjadi, dengan tujuan dan arah yang
dapat diterima dalam pertukaran percakapan yang Anda terlibat di
dalamnya‟.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
Lebih lanjut, Grice (1975: 47) menjelaskan bahwa dengan memperhatikan
dan menaati prinsip kerja sama ini, tuturan-tuturan yang diutarakan dapat diterima
secara efektif oleh mitra tutur. Dalam prinsip kerja sama ini, Grice menyebutkan
empat maksim percakapan yang harus dipatuhi oleh setiap partisipan tutur, yaitu
maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim, relevansi, dan maksim cara.
a. Maksim Kuantitas
Menurut Grice (1975: 45), yang diperjelas oleh Baryadi (2015: 89), ada dua
hal yang perlu diperhatikan untuk menegakkan maksim kuantitas, yaitu: (1) Make
your contribution as informative as is required (for current purposes of the
exchange). „Sampaikan informasi seinformatif mungkin (sesuai dengan tujuan
percakapan)‟; (2) Do not make your contribution more informative than required.
„Jangan menyampaikan informasi yang berlebihan yang melebihi yang
dibutuhkan‟. Tuturan yang tidak mematuhi ketentuan ini maka dianggap tidak
mematuhi maksim kuantitas.
b. Maksim Kualitas
Grice (1975: 46), yang dikemukakan kembali oleh Baryadi (2015: 89),
menjelaskan bahwa ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk menegakkan
maksim kualitas, yaitu: (1) Do not say what you believe to false. „Jangan
mengatakan sesuatu yang tidak benar‟; (2) Do not say that for which you lack
adequate evidence. „Jangan mengatakan sesuatu yang kebenarannya tidak dapat
dibuktikan secara memadai‟. Tuturan yang tidak mematuhi ketentuan ini maka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
dianggap tidak mematuhi maksim kuantitas.
c. Maksim Relevansi
Berikut pendapat Grice (1975: 46), yang diperjelas kembali oleh Baryadi
(2015: 89) tentang maksim relevansi.
Under the category of RELATION I place single maxim, namely,
„Be relevant.‟
Di bawah kategori hubungan saya menempatkan sebuah maksim
tunggal, „Usahakan relevan‟.
Maksim ini menekankan mewajibkan setiap peserta tutur memberikan
kontribusi yang relevan dengan persoalan yang sedang diperbincangkan.
d. Maksim Cara
Menurut Grice (1975: 46), yang diterangkan kembali oleh Baryadi (2015:
90), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menegakkan maksim ini.
Finally, under the category of MANNER, which I understand as
relating not (like the previous categories) to what is said but, rather, to
HOW what is said is to be said, I include the supermaxim –„Be
perspicuous‟– and various maxims such as.
„Akhirnya, dalam kategori CARA, dalam hal ini saya memahami
bukan sebagai apa yang dikatakan (seperti kategori sebelumnya),
melainkan tentang BAGAIMANA apa yang dikatakan itu harus
diungkapkan, saya merumuskan supermaksim –Ungkapan secara
tepat– dan bermacam-macam maksim sebagai berikut.
1. Avoid obscurity of expression. „Hindari ungkapan yang kabur‟.
2. Avoid ambiguity. „Hindari ketaksaan‟.
3. Be brief (avoid unnecessary prolixity). „Buatlah ringkas (hindari
ungkapan yang berkepanjangan‟.
4. Be orderly. „Ungkapkanlah sesuatu itu secara runtut‟.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
Maksim cara berhubungan dengan cara mengutarakan maksud.
Pengungkapan maksud tuturan dilakukan dengan cara berbicara secara langsung,
menghindari tuturan yang kabur, menyampaikan tuturan yang bukan
mulitinterpretatif atau tidak taksa, berbicara secara singkat (tidak berlebih-
lebihan), dan runtut (berbicara dengan teratur, tidak berbelit-belit).
1.6.5 Penciptaan Humor secara Pragmatis
Penciptaan wacana humor dapat dilakukan dengan memanfaatkan aspek-
aspek lingual maupun prinsip-prinsip pragmatik. Pemanfaatan kedua aspek
tersebut dapat menimbulkan efek ketidakterdugaan bagi mitra tutur. Unsur
ketidakterdugaan ini menjadi hal yang pokok dalam proses penciptaan humor agar
menimbulkan reaksi emosial dari mitra tutur (Ibid., hlm.280-281). Lebih lanjut,
Wijana (Ibid., hlm.17 dan 36) mengemukakan, unsur ketidakterdugaan dapat
diperoleh dengan melakukan penyimpangan pada aspek semantis bahasa dan
prinsip-prinsip pragmatik.
Di samping itu, berkenaan dengan kajian ini, penciptaan humor juga dapat
dilakukan dengan mematuhi aspek-aspek tersebut, secara khusus aspek pragmatis.
Di dalam penelitian ini, penciptaan wacana humor SUC tidak hanya menekankan
pada bentuk tuturan-tuturan yang tidak mematuhi prinsip kerja sama agar dapat
menggelakkan penonton. Sebagai pertunjukan komedi yang mengedepankan
aspek verbal, tuturan di dalam SUC pun dilandasi oleh maksud dan tujuan
tertentu. Salah satunya untuk menyampaikan kritik. Agar kritikan tersebut
tersampaikan dan terpahami oleh penonton, maka tuturan dalam wacana humor
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
SUC pun haruslah komunikatif dan informatif. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan menyampaikan tuturan yang mematuhi prinsip kerja sama.
1.6.6 Konteks
Menurut Kridalaksana (2008: 134), konteks adalah (1) aspek-aspek
lingkungan fisik atau sosial yang kait-mengkait dengan ujaran tertentu; (2)
pengetahuan yang sama-sama dimiliki pembicara dan pendengar sehingga
pendengar paham akan apa yang dimaksud pembicara. Sementara itu, di dalam
KBBI (Sugono, dkk. (eds.), 2008: 728) konteks didefinisikan sebagai (1) bagian
suatu uraian atau kalimat yg dapat mendukung atau menambah kejelasan makna;
(2) situasi yg ada hubungannya dengan suatu kejadian. Sementara itu, Leech
(1983: 13) menerangkan bahwa konteks merupakan pengetahuan latar apapun
yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur yang membantu mitra tutur
dalam menafsirkan apa yang dimaksud oleh penutur.
1.6.7 Komponen Tutur
Teori komponen tutur yang digunakan dalam kajian ini adalah teori
komponen tutur yang dikemukakan oleh Poedjosoedarmo (via Baryadi, 2015: 24-
25). Adapun komponen-komponen tutur tersebut yang digunakan dan berkaitan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, orang ke-satu (O1), yaitu
penutur –dalam pertunjukan SUC mengacu pada comic. Pribadi si penutur
berkaitan dengan dua hal, yaitu siapakah O1 dan dari manakah asal atau latar
belakang O1. Kedua, orang ke-dua (O2), yaitu mitra tutur –dalam pertunjukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
SUC mengacu pada penonton. Dalam kajian ini, peneliti juga bertindak sebagai
penonton. Ketiga, maksud dan tujuan percakapan. Maksud dan kehendak O1
sangat mempengaruhi bentuk-bentuk tutur yang diujarkannya.
1.6.8 Struktur Wacana SUC
Struktur atau bagian utama dari wacana SUC terdiri atas setup dan punch
line. Menurut Dean (2012: 14), setup adalah bagian pertama dari humor SUC,
yang menyiapkan orang untuk tertawa. Punch line adalah bagian kedua dari
humor SUC, yang membuat orang tertawa. Dengan kata lain, setup menciptakan
ekspektasi dan punch line menghadirkan kejutan. Bagian setup menuntun
penonton menuju sebuah ekspektasi. Selanjutnya, punch line mengejutkan
penonton, namun berbeda dengan ekspektasi yang telah terbentuk di dalam benak
penonton. Dean (Ibid., hlm.18) memberi contoh sebagai berikut.
(7) Saya sudah menikah selama empat puluh tahun dan cinta sejati
saya hanya ada di satu perempuan. Andai istri saya kenal
perempuan itu, saya bisa dibunuh.
Setup: Saya sudah menikah selama empat puluh tahun dan cinta sejati
saya hanya ada di satu perempuan.
Saat dan setelah comic mengucapkan setup-nya, di benak penonton akan
tercipta asumsi pada tuturan tersebut yang kira-kira seperti ini: Pria ini
membanggakan betapa ia mencintai istrinya sepenuh hati. Mereka sudah menikah
selama empat puluh tahun dan mereka sangat bahagia. Pria ini tidak pernah sekali
pun berselingkuh dan akan setia seumur hidupnya.
Melalui asumsi itu, para penonton akan menduga dan berekspektasi bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
perempuan yang dicintai laki-laki itu adalah istrinya sendiri. Akan tetapi, comic
memberikan punch line dan sekaligus mematahkan atau membelokkan ekspektasi
penonton.
Punch Line: Andai istri saya kenal perempuan itu, saya bisa dibunuh.
Ternyata, meskipun sudah menikahi istrinya selama empat puluh tahun,
laki-laki ini tidak bahagia dan lebih memilih untuk mencintai perempuan lain.
Akan tetapi, laki-laki ini merasa takut dibunuh oleh istrinya jika mengetahui
perselingkuhannya dengan perempuan lain.
1.7 Metode dan Teknik Penelitian
1.7.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Objek penelitian ini adalah (1) siapa sasaran kritik dan apa hal yang dikritik
dalam WHKS SUCI 4 dan (2) bagaimana kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan
dalam WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja sama Grice. Objek ini berada dalam data
berupa wacana humor SUCI 4. Data-data diperoleh dari situs YouTube yang
menayangkan pertunjukan SUCI 4 pada Februari sampai Juni 2014.
Data yang dikumpulkan berupa tuturan yang mengandung nilai humor kritik
sosial. Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data-data ini adalah metode
simak, yaitu metode yang dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa
(Sudaryanto, 2015: 203). Metode ini diwujudkan dalam dua teknik penjaringan
data. Dalam kajian ini, teknik sadap berperan sebagai teknik dasar; teknik simak
bebas libat cakap sebagai teknik lanjutannya; lalu diakhiri dengan teknik catat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
Pelaksanaan teknik sadap dilakukan dengan menyadap penggunaan bahasa
seseorang atau beberapa orang (Ibid., hlm.203). Sementara itu, teknik simak bebas
libat cakap dilakukan dengan hanya menyimak tuturan yang disampaikan oleh
penutur secara reseptif atau tanpa terlibat dalam pembentukan dan pemunculan
calon data (Ibid., hlm.203). Untuk melengkapi teknik ini, digunakan teknik catat,
yaitu teknik yang dilakukan dengan mentranskripsikan tuturan humor yang
mengandung kritik sosial.
1.7.2 Metode Analisis Data
Metode yang digunakan untuk menganalisis data sesuai rumusan masalah
dan tujuan penelitian dalam kajian ini adalah metode padan pragmatis. Metode
padan pragmatis yaitu metode yang alat penentunya mitra tutur (Ibid., hlm.18).
Dalam metode padan pragmatis, segala reaksi atau tanggapan mitra tutur menjadi
penentu identitas satuan-satuan lingual tertentu. Adapun dalam kajian ini, peneliti
berperan sebagai penonton SUCI 4 sekaligus penafsir tuturan comic. Metode ini
digunakan untuk mengidentifikasi tuturan-tuturan humor yang mengandung kritik
sosial.
Dalam penerapannya, metode ini akan didahului dengan mengidentifikasi
clue (tanda, isyarat) (Titscher, dkk. via Subagyo, 2012: 59). Clue dalam wujud
tanda baca, kata, frasa, kalimat atau tuturan tunggal, gugus kalimat atau gugus
tuturan, hingga paragraf. Selanjutnya, clue tersebut diidentifikasikan, ditafsirkan,
dan dipaparkan sesuai konteks (Ibid., hlm.59). Pada kajian ini, pengidentifikasian
clue untuk menentukan dan mendeskripsikan: (1) sasaran kritik dan hal yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
dikritik dalam WHKS SUCI 4; (2) kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam
WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja sama.
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang akan dikaji di
dalam penelitian ini, maka tahapan analisis data dilakukan sebagai berikut.
Pertama, untuk mendeskripsikan siapa sasaran kritik dan apa hal yang dikritik
dalam WHKS SUCI 4, maka dilakukan pengidentifikasian clue berupa kata ganti
orang, nama orang, nama lembaga, dan pernyataan-pernyataan bermuatan
informasi kritik sosial, lalu dideskripsikan, ditafsirkan, dan dijelaskan sesuai
konteks WHKS SUCI 4. Selanjtunya, data-data yang telah dianalisis diklasifikasi
menurut kesamaan sasaran kritiknya. Berikut ini adalah contoh analisis datanya.
(8) Saya itu memiliki kelembutan hati seperti Ibu saya. Kalau saya
melihat pengemis, dia itu kasihan, naik turun angkot susah.
Saya pengen nganu, mbarengi. Saya pengen membonceng dia.
Saya kan naik motor.
O1: Ayo Bu, saya bonceng. Naik motor saya. Ngeng.
O1: Silakan turun, Bu. Kita sudah sampai.
O2: Di mana nih?
O1: Kantor Satpol PP.
Kartini membuat emansipasi tidak mengajarkan wanita
untuk mengemis. (Dodit, show 8).
Sasaran tutur pada wacana (8) mengacu pada kaum perempuan. Hal tersebut
ditunjukkan dengan kata pengemis dan Bu. Tuturan ini mengimplikasikan seorang
ibu yang berprofesi sebagai pengemis. Pada wacana (8), comic mengimbau kaum
perempuan untuk mengilhami dan memanifestasikan perjuangan Kartini. Hal ini
ditandai melalui tuturan Kartini membuat emansipasi tidak mengajarkan wanita
untuk mengemis.
Kartini mengangkat martabat perempuan Indonesia agar dapat hidup secara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
mandiri, cerdas, produktif, dan tangguh. Berkat kegigihannya itu, dewasa ini,
sudah banyak perempuan-perempuan Indonesia yang menjadi sosok penting dan
sumber inspirasi bagi rakyat Indonesia. Namun, pada kenyataan lain, gambaran
nasib kaum perempuan Indonesia ada yang masih memilukan. Comic
mencontohkan perempuan yang berprofesi sebagai pengemis: para perempuan
yang hanya mendapat uang hasil rasa haru orang lain.
Pada wacana (8) diceritakan bahwa comic (O1) menaruh iba pada seorang
perempuan pengemis (O2) yang kesulitan menaiki dan menuruni angkutan umum.
Oleh karena itu, O1 pun berinisiatif untuk mengantar O
2 dengan menggunakan
sepeda motornya. Tanpa disadari oleh O2, O
1 justru mengantarnya ke kantor
Kesatuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). O1 bermaksud agar O
2 mendapat
pembinaan agar kelak tidak mengemis lagi. Menilik sikap comic pada seorang
perempuan pengemis yang semula dikasihaninya, hal ini dimaksudkan agar
siapapun dapat terlibat dan bahu-membahu bersama para aparatur pemerintah
terkait dalam pengentasan persoalan pada penyandang masalah kesejahteraan
sosial. Di samping itu, comic juga memberi peringatan kepada kaum perempuan
agar terus menghidupkan semangat, perjuangan, dan cita-cita Kartini untuk
memperadabkan diri perempuan itu sendiri maupun kaum perempuan pada
umumnya.
Kedua, untuk mendeskripsikan kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam
WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja sama Grice, maka dilakukan pengidentifikasian
data (tuturan) yang menghasilkan tawa. Langkah berikutnya adalah
mendeskripsikan setiap tuturan yang telah teridentifikasi berdasarkan kepatuhan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
dan ketakpatuhan pada prinsip kerja sama. Langkah terakhir dalam tahapan ini
adalah mengelompokkan setiap tuturan berdasarkan tipe-tipe kepatuhan dan
ketakpatuhannya pada prinsip kerja sama. Berikut ini adalah contoh hasil analisis
datanya.
(9) Saya itu memiliki kelembutan hati seperti Ibu saya. Kalau saya
melihat pengemis, dia itu kasihan, naik turun angkot susah. Saya
pengen nganu, mbarengi. Saya pengen membonceng dia. Saya
kan naik motor.
O1: Ayo Bu, saya bonceng. Naik motor saya. Ngeng.
O1: Silakan turun, Bu. Kita sudah sampai.
O2: Di mana nih?
O1: Kantor Satpol PP.
Kartini membuat emansipasi tidak mengajarkan wanita untuk
mengemis. (Dodit, show 8).
Wacana (9) mematuhi maksim kuantitas, maksim kualitas, dan maksim cara,
tetapi tidak mematuhi maksim relevansi. Bagian wacana ini yang mematuhi
maksim kuantitas dapat dilihat dari tuturan O1
yang menggambarkan dirinya
sebagai pribadi yang memiliki kelembutan hati dan punya empati terhadap orang
lain. Hal ini ditunjukkan melalui tuturan Saya itu memiliki kelembutan hati seperti
Ibu saya. Kalau saya melihat pengemis, dia itu kasihan. Sebagai bukti kebaikan
hatinya, lantas comic menerangkannya berupa tuturan tambahan melalui dialog.
O2, yang merupakan seorang pengemis, dibantu oleh O
1 dengan
memboncengkannya di sepeda motornya karena tidak tahan melihat O2 yang
kesulitan saat keluar-masuk dari angkutan umum. Nahasnya, O1 tidak
mengantarkan O2 ke tempat yang dikehendakinya, melainkan menurunkannya di
kantor Kesatuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
Sementara itu, bagian wacana (9) yang mematuhi maksim kualitas yakni
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
terdapat pada tuturan Saya pengen membonceng dia dan Ayo Bu, saya bonceng.
Kedua tuturan ini mengimplikasikan keselarasan perbuatan dan perkataan comic.
Selain itu, wacana ini mematuhi maksim cara karena penuturan comic jelas
dan tidak ada tuturan yang taksa. Berkenaan dengan ketaksaan, tuturan yang
bergaris bawah di atas menimbulkan reaksi tawa karena adanya pemahaman
penonton terhadap konteks tuturan tersebut, yakni bahwa pengemis yang dibawa
maupun ditahan di kantor tersebut pada umumnya akan diberi pendampingan dan
pembinan agar tidak mengemis lagi. Hal ini justru tidak dikehendaki oleh
pengemis karena meminta-minta adalah satu-satunya jalan bagi mereka agar tetap
hidup.
Wacana di atas tidak mematuhi maksim relevansi karena tuturan awal O1
yang mengklaim dirinya sebagai pribadi yang memiliki kelembutan hati, tidak
sejalan dengan realitasnya, yaitu ketika O1
memboncengi O2, O
1 justru
mengantarkannya ke kantor Satpol PP.
1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode
infromal dan metode formal. Metode informal menyajikan hasil analisis data
berupa kata-kata biasa yang dapat dipahami secara mudah oleh pembaca,
sedangkan metode formal menyajikan hasil analisis data berupa tanda dan
lambang (Sudaryanto, 2015: 241).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
1.8 Sistematika Penyajian
Penyajian hasil penelitian ini dijabarkan ke dalam empat bab. Bab I
merupakan pendahuluan, yang mencakup latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori,
metode dan teknik penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II berisi
pembahasan perihal sasaran kritik dan hal yang dikritik dalam WHKS SUCI 4.
Bab III berisi analisis kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4
pada prinsip kerja sama. Bab IV merupakan bab penutup, yang mencakup
kesimpulan dan saran.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
BAB II
SASARAN KRITIK DAN HAL YANG DIKRITIK
DALAM WACANA HUMOR KRITIK SOSIAL SUCI 4
2.1 Pengantar
Stand Up Comedy merupakan genre komedi yang disampaikan melalui
aktivitas berbicara (secara lisan). Di dalam pragmatik, berbicara merupakan
aktivitas yang berorientasi pada tujuan. Dengan demikian, pertunjukan SUC,
termasuk SUCI 4, dilandasi oleh orientasi pada tujuan tertentu, di samping
sebagai media hiburan. Di dalam penelitian ini, tujuan komedi para comic dalam
SUCI 4 berorientasi pada kritik sosial. Berkenaan dengan itu, hal yang dikaji
dalam bab ini adalah siapa sasaran kritik dan apa hal yang dikritikkan oleh comic.
Pada pembahasan berikut ini, data pertama-tama diklasifikasi menurut siapa
sasaran kritik, kemudian ditelaah apa saja hal yang dikritik. Sasaran kritik dan hal
yang dikritik dalam WHKS dijabarkan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 1
Sasaran Kritik dan Hal yang Dikritik dalam WHKS SUCI 4
No. Sasaran Kritik Hal yang Dikritik
1 Pemerintah
Kebijakan Diskriminatif
Kinerja Pemerintah
Kegagalan Penegakan Aturan
2 Anggota DPR
Kinerja Anggota DPR
Kebiasaan Tidur saat Rapat
Perilaku Korupsi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
3 Anggota Ormas Kemunafikan Anggota Ormas Islam
Sikap Intoleransi Ormas Islam
4 Perempuan
Indonesia
Kesalahpahaman atas Konsepsi Kesetaraan Gender
Profesi Perempuan
Kecemburuan yang Berlebihan
Kesadaran Wanita Muslim untuk Berkerudung
5 Pertelevisian
Indonesia
Kualitas Program
Jam Tayang Iklan
Diskriminasi Peran Keaktoran
6 Pedangdut Wanita Musikalitas
7 Orangtua Pola Asuh Orangtua terhadap Anak
8 Masyarakat Lokal
Sikap Apatis Pemuda Betawi pada Tanjidor
Kesadaran Masyarakat Jakarta dalam Penanganan
Banjir
Perilaku Penonton Dangdut
Tingkah Laku Pelajar Bintaro
Stigma Masyarakat terhadap Orang Kurus
9 Masyarakat Luas
Sikap Politik dalam Pileg dan Pilpres 2014
Minimnya Penghargaan terhadap Dokter
Sikap Individualistis akibat Penggunaan
Handphone
10 Persepakbolaan
Kualitas Permainan Timnas Indonesia
Kualitas Wasit Indonesia
Tindakan Provokasi
11 Institusi Pendidikan
Ketiadaan Pembelajaran Sasando
Pelaksanaan MOS
Kualitas Gizi di Pondok Pesantren
12 Tokoh Pemilihan Lokasi Pendeklarasian sebagai Capres
Tindakan Kekerasan Fisik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
2.2 Pemerintah
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, merupakan badan negara yang
bertanggung jawab atas tata kelola pemerintahan. Adapun tugas pemerintah secara
garis besar yaitu menjalankan kekuasaan atas tugas (undang-undang dan
peraturan/hukum) yang dibuat oleh anggota legislatif (Tim Nasional Dosen
Pendidikan Kewarganegaraan, 2010: 91). Pelaksanaan kekuasaan tersebut
meliputi wewenang mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik dalam suatu
kelompok masyarakat dan wilayah, baik pada tataran pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah. Dengan demikian, pemerintah bertanggung jawab secara
penuh dan langsung terhadap keberlangsungan kehidupan masyarakat. Oleh
karena perannya tersebut, pemerintah pun menjadi salah satu lembaga negara
yang mendapat perhatian publik. Masyarakat melaksanakan fungsi pengawasan
untuk mengetahui dan mengkritisi kinerja pemerintah. Perhatikan ketiga wacana
berikut.
(10) Teman-teman, teman-teman tahu gedung Kementerian Desa
Tertinggal itu ada di mana? Ada di Jakarta. Fungsinya apa? Itu
sama seperti kita buat orang-orangan sawah taruh di laut. Buat
apa? Mau usir paus pakai orang-orangan sawah, hah? Maksud
saya, tempatkan segala sesuatu itu berdasarkan fungsinya.
Kementerian Desa Tertinggal ya taruh di desa tertinggal
begitu. Taruh di desa tertinggal. Kalau taruh di Jakarta, tiap pagi
dia bangun buka jendela, begitu. Dia buka.
O1: Wah, bangunan sudah banyak, gedung sudah banyak. Wah,
Indonesia sudah maju.
Kalau taruh di desa tertinggal, begitu buka jendela.
O1: Hei, ini jendela di mana ini?
Saking tertinggalnya, jendela saja tidak ada. Mungkin itu karena
namanya Kementerian Desa Tertinggal, jadi menterinya di sini,
desanya ditinggal. (Abdur, show 17).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
(11) Saya kasih tahu ya, kehidupan di Lampung itu keras, ekstrim.
Tingkat kejahatan di Lampung itu tinggi, bahkan lebih tinggi
daripada Jakarta. Di Jakarta ini kan jarang ada begal, ada
rampok, rampok motor. Kalau di Lampung itu banyak betul. Iya
serius ini. Tawa kamu. Di Lampung itu banyak begal. Kalau
orang naik motor sendirian, apalagi kalau di jalan sepi, udah itu.
Berharap aja di rumah punya nyawa cadangan, karena pasti
dibegal. Iya. Orang mau ke pasar aja kebegal. Bahkan mau ke
warung aja kebegal. Orang mau ngebegal, dibegal. Karena begal
itu suka nyari tempat sepi; bawa golok nungguin orang datang.
Tiba-tiba di belakangnya ada begal, bawa pistol, todong.
O1: Oi, sini motor kamu.
O2: Oi, saya ini begal. Kok kamu begal? Saya ini bawa golok
saya ini.
O1: Woi, saya bawa pistol.
O2: Senjata kamu lebih canggih rupanya. Ya udahlah, ambil
motor saya.
Udahnya, dia nelpon polisi kan.
O2: Pak, tolong Pak. Ini motor saya dibegal Pak.
O3: Oh iya, tunggu, Dek. Saya juga lagi dibegal ini. (Wendi, pre
show 2).
(12) Ngomongin transportasi, khususnya di Jakarte, orang Betawi
punya peran penting: jaga parkir. Parkir itu vital banget di
Jakarta, sampai ada kebijakan dilarang parkir. Yang
ngelanggar dicabut pentilnya. Tapi, kebijakan itu gagal. Ya
iyalah. Pentil doang mah bisa beli. Kalau mau sukses, pentilnya
loe taroh, motornya loe angkut. (David, show 10).
Sasaran tutur pada ketiga wacana tersebut mengacu pada pemerintah.
Wacana (10) ditandai dengan frasa kementerian desa tertinggal. Tuturan ini
mengimplikasikan Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, yang
juga termasuk dalam jajaran pemerintah. Wacana (11) ditunjukkan melalui tuturan
Tingkat kejahatan di Lampung itu tinggi. Tuturan ini mengimplikasikan
pemerintah provinsi Lampung, yang berfungsi sebagai penanggung jawab dalam
memberikan perlindungan dan pengamanan bagi masyarakat Lampung. Wacana
(12) ditandai melalui tuturan parkir itu vital banget di Jakarta, sampai ada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
kebijakan dilarang parkir. Tuturan ini mengimplikasikan pemerintah sebagai
sasaran kritik –karena sebagai pencanang dan pelaksana aturan tersebut.
Hal-hal yang dikritik kepada pemerintah adalah sebagai berikut. Pertama,
kebijakan diskriminatif pemerintah pusat. Kedua, kinerja pemerintah. Ketiga,
kegagalan penegakan aturan.
2.2.1 Kebijakan Diskriminatif
Wacana (13) memuat kritikan comic atas sikap diskriminasi pemerintah
pusat perihal pelaksanaan dan pemerataan pembangunan daerah-daerah di
Indonesia.
(13) Saya heran, pembangunan itu selalu dibeda-bedakan, selalu
dibeda-bedakan. Padahal, kita ini kan satu Ibu Pertiwi, teman-
teman, satu Ibu Pertiwi. Saya itu terkadang berpikir itu dengan
frasa Ibu Pertiwi. Kalau kita memang satu Ibu Pertiwi begitu,
apakah memang dulu itu ada satu seorang perempuan,
kemudian melahirkan pulau-pulau di Indonesia kah? Iya, jadi
kamar bersalin begitu, lampu terang, follow spot di mana-mana
begitu, kemudian Ibu Pertiwi berbaring.
O1: Ya, Ibu Per.
Ini panggilan akrab Ibu Pertiwi, ya.
O1: Ya, Ibu Per, tarik nafas dalam-dalam, Ibu. Terus Ibu, terus,
iya, terus, kuat, terus, kepalanya sudah keluar, oke, ya.
Sumatera.
Sumatera lahir, dan itu adalah pulau yang paling susah lahir
karena gunungnya paling banyak. Itu Ibu Pertiwi sampai robek-
robek itu. Dan mungkin setelah itu, Kalimantan lahir, Jawa lahir,
Bali lahir, dan pulau-pulau di bagian Indonesia Timur itu
lahirnya paling terakhir.
O1: Ya, Ibu Per, tarik nafas dalam-dalam, Ibu. Terus Ibu, iya
terus, sedikit lagi, sedikit lagi, kepalanya sudah keluar, oke,
iya, listrik mati.
Begitulah cara kami lahir. Makanya wajar kalau kami gelap-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
gelap. (Abdur, show 17).
Wacana di bawah ini berisi kritikan comic atas sikap diskriminasi
pemerintah pusat perihal pemerataan pembangunan infrastruktur daerah-daerah di
Indonesia.
(14) Di Malang itu teman-teman, saya suka sekali nonton Arema di
stadion; dan aremania di sana itu sudah mulai ada kubu-
kubunya. Jadi, ada aremania tribun utara, tribun selatan, tribun
ekonomi, manajemen, akuntasi, oi macam-macam, macam-
macam. Akhirnya saya berpikir, kayaknya saya juga harus buat
kubu sendiri. Saya beri nama Aremania tribun tenggara timur
laut. Yang lain bawa terompet, kami bawa kompas. “Ini tenggara
timur laut di bagian mana?” Begitu dapat tempat duduk, ada
yang protes, “ Ah, di sini bukan tenggara timur laut. Di sini ini
selatan barat daya.” Akhirnya harus cari lagi. Begitu dapat
tempat duduk yang benar, pertandingan sudah bubar. Tapi
teman-teman, paling tidak enak itu kalau kalian nonton dari
tribun timur, karena kalau di tribun barat itu nonton pakai
lampu, cahaya terang kelap-kelip di mana-mana, tapi di
tribun timur itu masih gelap, listrik tidak ada. Di tribun
barat itu dikasih kursi, dikasih sofa, makan enak-enak, tapi
di tribun timur itu masih beralaskan tanah, makan
seadanya. Bahkan orang dari tribun barat itu berteriak ke tribun
timur, “Woi, kalian yang ada di tribun timur, sabar saja, nanti
kami bangun kursi di situ. Kami kasih makan enak.” Tetapi,
sampai pertandingan berakhir tidak ada yang datang. (Abdur,
show 9).
Wacana (15) mengandung kritikan comic atas sikap diskriminasi pemerintah
pusat terhadap penanggulangan bencana alam di daerah terpencil di Indonesia.
(15) Teman-teman, di sini ada yang tahu Rokatenda? Tidak ada.
Inilah suara minor yang mau saya bawa malam ini. Teman-
teman, Rokatenda adalah gunung berapi di Pulau Flores. Dia
meletus dari bulan Oktober 2012 sampai Desember 2013.
Empatbelas bulan, empatbelas bulan. Bahkan dari pertama
kali dia meletus sampai dia ulang tahun yang pertama, tiup-
tiup lilin, tidak ada kado yang datang, tidak ada. Wajar kalau
teman-teman tidak tahu karena memang berita Rokatenda
meletus pada waktu itu, itu tertutup oleh berita banjir Jakarta.
Bahkan berita banjir Jakarta itu diarahkan menjadi bencana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
nasional karena merugikan negara hampir duapuluh triliun.
Rokatenda selama empatbelas bulan meletus itu negara cuma
rugi seribu rupiah. Iya, dua koin lima ratus untuk tutup telinga.
(Abdur, show 1).
Abdur, penutur wacana (13) merupakan comic yang berasal dari Desa
Lamakera, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Dalam penampilannya, Abdur
sering kali mengungkapkan keprihatinannya dengan mengangkat isu sosial
seputar kehidupan masyarakat Indonesia Timur (kawasan Indonesia yang merujuk
pada daerah Sulawesi, Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara).
Pada wacana (13), comic mengkritisi sikap diskriminatif pemerintah pusat
dalam melaksanakan pembangunan (seperti pembangunan manusia dan
pembangunan infrastruktur) di Indonesia Timur. Hal ini ditandai melalui tuturan
(1) Saya heran, pembangunan itu selalu dibeda-bedakan, selalu dibeda-bedakan
dan (2) Pulau-pulau di bagian Indonesia Timur itu lahirnya paling terakhir.
Kedua tuturan kunci di atas mengimplikasikan kesenjangan dan dikotomi
pembangunan manusia dan pembangunan infrastruktur antara daerah-daerah di
Indonesia, khususnya di kawasan Indonesia Timur. Dalam pembangunan nasional,
Indonesia Timur memang selalu dikebelakangkan.
Pada wacana (14), comic mengkritisi perbedaan perlakuan pemerintah
dalam pemerataan pembangunan daerah-daerah di Indonesia. Hal ini ditunjukkan
pada tuturan Tapi teman-teman, paling tidak enak itu kalau kalian nonton dari
tribun timur, karena kalau di tribun barat itu nonton pakai lampu, cahaya terang
kelap-kelip di mana-mana, tapi di tribun timur itu masih gelap, listrik tidak ada.
Di tribun barat itu dikasih kursi, dikasih sofa, makan enak-enak, tapi di tribun
timur itu masih beralaskan tanah, makan seadanya. Pernyataan ini merupakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
tuturan figuratif yang mengimplikasikan konteks ketidakmerataan pembangunan
di Indonesia. Frasa tribun timur mengacu pada daerah-daerah Indonesia Timur
yang digambarkan miskin infrastruktur dan kebutuhan hidup. Sebaliknya, frasa
tribun barat mengacu pada daerah-daerah Indonesia Barat yang dilukiskan
memiliki pembangunan infrastruktur yang baik dan berpenduduk sejahtera.
Pada wacana (15), comic mengeluhkan minimnya perhatian pemerintah
pusat pada daerah-daerah terpencil di Indonesia. Hal ini ditandai pada kalimat
Bahkan dari pertama kali dia meletus sampai dia ulang tahun yang pertama, tiup-
tiup lilin, tidak ada kado yang datang, tidak ada. Tuturan ini mengimplikasikan
periode terakhir letusan Gunung Rokatenda yang terjadi selama satu tahun, yakni
pada Oktober hingga Desember 2013. Rokatenda merupakan gunung berapi yang
tepatnya berada di Pulau Palue, sebelah utara Pulau Flores. Akibat letusan ini,
beberapa desa dihujani kerikil dan abu vulkanik, ketersediaan pangan dan air
bersih berkurang, dan lima warga sekitar Rokatenda meregang nyawa akibat
tersapu awan panas. Meskipun bencana alam ini berlangsung lama, comic
mengklaim bahwa pemerintah pusat tidak memberikan bantuan logistik dan uang
kepada korban letusan Rokatenda.
2.2.2 Kinerja Pemerintah
Wacana (16) berikut memuat kritikan terhadap kinerja Kementerian Negara
Pembangunan Daerah Tertinggal Republik Indonesia.
(16) Teman-teman, teman-teman tahu gedung Kementerian Desa
Tertinggal itu ada di mana? Ada di Jakarta. Fungsinya apa? Itu sama seperti kita buat orang-orangan sawah taruh di laut.
Buat apa? Mau usir paus pakai orang-orangan sawah, hah?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
Maksud saya, tempatkan segala sesuatu itu berdasarkan
fungsinya. Kementerian Desa Tertinggal ya taruh di desa
tertinggal begitu. Taruh di desa tertinggal. Kalau taruh di
Jakarta, tiap pagi dia bangun buka jendela, begitu. Dia buka.
O1: Wah, bangunan sudah banyak, gedung sudah banyak. Wah,
Indonesia sudah maju.
Kalau taruh di desa tertinggal, begitu buka jendela.
O1: Hei, ini jendela di mana ini?
Saking tertinggalnya, jendela saja tidak ada. Mungkin itu karena
namanya Kementerian Desa Tertinggal, jadi menterinya di sini,
desanya ditinggal. (Abdur, show 17).
Wacana berikut berisi kritikan terhadap kinerja pemerintah Lampung dalam
melindungi dan mengamankan masyarakat Lampung dari tindakan kejahatan.
(17) Saya kasih tahu ya, kehidupan di Lampung itu keras, ekstrim.
Tingkat kejahatan di Lampung itu tinggi, bahkan lebih tinggi
daripada Jakarta. Di Jakarta ini kan jarang ada begal, ada
rampok, rampok motor. Kalau di Lampung itu banyak betul. Iya
serius ini. Tawa kamu. Di Lampung itu banyak begal. Kalau
orang naik motor sendirian, apalagi kalau di jalan sepi, udah itu.
Berharap aja di rumah punya nyawa cadangan, karena pasti
dibegal. Iya. Orang mau ke pasar aja kebegal. Bahkan mau ke
warung aja kebegal. Orang mau ngebegal, dibegal. Karena
begal itu suka nyari tempat sepi; bawa golok nungguin orang
datang. Tiba-tiba di belakangnya ada begal, bawa pistol, todong.
O1: Oi, sini motor kamu.
O2: Oi, saya ini begal. Kok kamu begal? Saya ini bawa golok
saya ini.
O1: Woi, saya bawa pistol.
O2: Senjata kamu lebih canggih rupanya. Ya udahlah, ambil
motor saya.
Udahnya, dia nelpon polisi kan.
O2: Pak, tolong Pak. Ini motor saya dibegal Pak.
O3: Oh iya, tunggu, Dek. Saya juga lagi dibegal ini. (Wendi, pre
show 2).
Pada wacana (16), comic mengkritisi kinerja Kementerian Negara
Pembangunan Daerah Tertinggal Republik Indonesia. Hal ini ditandai berupa
tuturan Teman-teman tahu gedung Kementerian Desa Tertinggal itu ada di mana?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
Ada di Jakarta. Fungsinya apa? Tuturan ini mengimplikasikan gagasan comic
yang menganggap bahwa hasil kinerja Kementerian Negara Pembangunan Daerah
Tertinggal dalam pembangunan dan pengembangan daerah tertinggal tidak
berjalan optimal. Comic beranggapan bahwa hal ini terjadi karena lokasi kantor
kementerian tersebut berada di Jakarta, sehingga tidak menjangkau dan melihat
persoalan rakyat secara dekat dan empiris.
Berdasarkan Indeks Pembangunan Desa 2014, terdapat 20.168 desa
tertinggal. Adapun sebaran desa tertinggal terbanyak di Pulau Papua, dengan
jumlah mencapai 6.139 desa. Secara umum, desa-desa tertinggal banyak terdapat
pada wilayah yang berada di kawasan Indonesia Tengah dan Indonesia Timur
(http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/10/20/141445026/20.168.Desa.di.I
ndonesia.Masih.Tertinggal).
Menilik pada kenyataan itu, comic berpandangan bahwa pengurangan
jumlah desa tertinggal di Indonesia dapat ditempuh dengan menempatkan kantor
Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal di kawasan atau daerah
yang tergolong tertinggal. Langkah ini bertujuan agar kementerian tersebut
mengenal secara dekat persoalan dan kebutuhan masyarakat desa tertinggal,
sehingga kebijakan dan program untuk mengurangi keberadaan dan pertumbuhan
desa tertinggal pun dapat terimplementasi dengan baik.
Pada wacana (17), comic mengkritisi kinerja pemerintah Lampung dalam
memberikan perlindungan dan keamanan bagi masyarakatnya seiring dengan
maraknya aksi kejahatan begal di Lampung saat itu. Hal tersebut ditunjukkan pada
tuturan Kehidupan di Lampung itu keras, ekstrim. Tingkat kejahatan di Lampung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
itu tinggi dan Di Lampung itu banyak begal. Tuturan ini mengimplikasikan
tingginya angka kejahatan begal di Lampung.
Berikut ini adalah fakta kejahatan begal yang terjadi di Lampung pada
2014 lalu. Teraslampung.com (18/9/14) mewartakan, gembong komplotan begal
bersenjata api asal Lampung Timur berhasil diringkus Resmob Subdit III
Ditkrimum Polda Lampung, Kamis (18/9) siang. Tersangka yang diamankan yaitu
Suheili, warga Dusun Mas, Desa Tebing, Kecamatan Melinting, Kabupaten
Lampung Timur dan Afen Kurniawan, warga Maringgai, Kecamatan Labuhan
Maringgai, Kabupaten Lampung Timur.
Kedua tersangka telah melakukan pencurian motor puluhan kali di beberapa
tempat. Dalam beraksi, keduanya membekali diri dengan senjata api maupun
senjata tajam. Seorang wanita pernah menjadi korban pembunuhan mereka saat
menjalankan aksi pencurian (http://www.teraslampung.com/2014/09/gembong-
komplotan-begal-bersenpi.html).
2.2.3 Kegagalan Penegakan Aturan
Wacana (18) berisi kritikan terhadap kegagalan pemerintah DKI Jakarta
dalam menegakkan aturan tertib parkir kendaraan bermotor.
(18) Ngomongin transportasi, khususnya di Jakarte, orang Betawi
punya peran penting: jaga parkir. Parkir itu vital banget di
Jakarta, sampai ada kebijakan dilarang parkir. Yang
ngelanggar dicabut pentilnya. Tapi, kebijakan itu gagal. Ya
iyalah. Pentil doang mah bisa beli. Kalau mau sukses, pentilnya
loe taroh, motornya loe angkut. (David, show 10).
David adalah comic yang berasal dari suku Betawi. Dalam penampilannya,
David sering kali menuangkan keresahannya dengan mengangkat isu sosial
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
seputar kehidupan masyarakat Betawi dan masyarakat Jakarta pada umumnya.
Pada wacana (18), comic mengkritisi kegagalan kebijakan pemerintah DKI
Jakarta dalam memberlakukan sanksi pencabutan pentil pada kendaraan bermotor
yang melanggar rambu larangan parkir dan berhenti di bahu jalan raya. Hal ini
ditandai melalui tuturan Parkir itu vital banget di Jakarta, sampai ada kebijakan
dilarang parkir. Tapi, kebijakan itu gagal.
Pada 2014 yang lalu, pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberlakukan
aturan berupa larangan memarkir dan memberhentikan kendaraan bermotor di
bahu jalan yang telah diberi rambu larangan tersebut sebagai upaya untuk
menegakkan kembali aturan lalu lintas dan mengurai kemacetan. Comic
mengungkapkan bahwa aturan ini gagal ditegakkan. Sanksi atas pelanggaran
peraturan itu tidak membuat jera karena pelanggar akan dengan mudah membeli
dan memasang kembali pentil pada kendaraan bermotornya.
Berikut ini adalah salah satu penyebab gagalnya aturan ini ditegakkan,
seperti penuturan Kompas.com (24/9/2013). Tukang parkir yang menyediakan
lahan parkir di bahu jalan tidak mau kalah dengan aksi cabut pentil ban kendaraan
oleh petugas Dinas Perhubungan DKI Jakarta. Mereka memberi jaminan pentil
dan dipompa. Di samping itu, minimnya fasilitas parkir yang tersedia di Jakarta
menyebabkan pemilik kendaraan kembali pada kebiasaan lamanya, yakni parkir
secara serampangan (http://nasional.kompas.com/read/2013/09/24/0842289/
Tukang.Parkir.Beri.Garansi.Pentil.Ban.yang.Dicabut).
Pemerintah melalui Dinas Perhubungan harus lebih keras dalam menindak
para pelaku parkir liar. Comic pun mengusulkan agar kendaraan bermotor, baik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
sepeda motor maupun mobil, yang diparkir di badan jalan secara liar untuk
diderek atau diangkut ke kantor dinas atau lembaga terkait untuk menimbulkan
efek jera bagi pemilik kendaraan tersebut.
2.3 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik pusat maupun daerah, merupakan
salah satu lembaga tinggi negara yang secara konstitusional mengemban tugas
melaksanakan kedaulatan rakyat. Berdasarkan UUD 1945, DPR RI memiliki
wewenang dan fungsi sebagai berikut: membentuk undang-undang bersama-sama
presiden, menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara bersama-sama
presiden dan melaksanakan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang,
pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara dan atas kebijaksanaan
pemerintah (Budiardjo, (eds.), 1993: 8).
Sementara itu, pada tataran daerah (provinsi dan kabupaten/kota), DPR
Daerah (DPRD) berwewenang dan berfungsi sebagai berikut: membentuk
peraturan daerah bersama kepala daerah, menetapkan anggaran dan belanja daerah
bersama-sama kepala daerah dan melaksanakan pengawasan atas pelaksanaan
peraturan daerah dan pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Sebagai institusi demokrasi, DPR belum menjalankan fungsinya dengan
baik (Ibid., hlm.5). Oleh karena itu, kiprah dan kinerja para legislator ini pun
selalu dipantau oleh para konstituennya maupun rakyat Indonesia secara umum.
Adapun fungsi pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat untuk mengetahui
tanggung jawab dan komitmen anggota DPR dalam menjalankan fungsi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
keterwakilan dan sebagai pelayan masyarakat. Perhatikan ketiga wacana di bawah
ini.
(19) DPR itu tugasnya kan untuk mendengarkan suara rakyat,
aspirasi rakyat. Tapi, gimana caranya DPR mendengarkan suara
rakyat ketika DPR dihalangi oleh tembok yang begitu tinggi,
pakai, naik ke kantor, ke kantor itu pakai Camry. Ya kan?
Seharusnya DPR itu bukan diletakkan di Senayan, tapi di
tengah-tengah pasar. Iya. Di pasar itu kan segala macam ada
kan? Dari tukang ayam sampai tukang cabe, ayam kampus,
cabe-cabean. Ada gitu. (Dzawin, show 6).
(20) Caleg. Caleg ini mereka berebut kursi, tapi setelah mereka
menang dan duduk di kursi itu, mereka malah tidur, dan lebih
parahnya lagi yang mimpin rapat udah tahu yang dengerin tidur,
rapatnya masih gitu-gitu aja. Ini harusnya dibikin rapat yang
lebih meriah. Jadi, begitu masuk ruang rapat:
O1: Oke, peserta rapat paripurna, mana suaranya? Yang di
sebelah sana, mana suaranya?
O2: Rghhh (Mendengkur).
O1: Yang sebelah, sana mana suaranya?
O3: Rghhh (Mendengkur).
Akhirnya,
O1: Oke, kita mulai rapatnya.
Pas dia duduk, tidur. Ini kan sama aja ya? (Coki, show 6).
(21) Saya itu selalu bingung. Kita itu selalu bingung kalau pemilihan.
Kita selalu bingung memikirkan caleg. Padahal caleg tidak
pernah bingung memikirkan kita. Caleg tidak pernah bingung
memikirkan kita. Padahal seperti ini. Mereka juga tidak
mengingat kita. Maksud saya, ingatlah kita, ingat kita, apalagi
kalau kalian sudah korupsi. Ingat, bagi-bagi hasil korupsi. Dan
begini, kalau misalnya. Tapi, jangan kalian pilih caleg yang
seperti itu. Itu tidak baik. Yang harus kalian pilih itu caleg yang
jujur. Jujur kalau butuh uang rakyat. (Sri, show 6).
Sasaran tutur pada ketiga wacana tersebut mengacu pada anggota DPR.
Wacana (19) ditandai melalui kata DPR. Wacana (20) ditunjukkan melalui kata
Caleg dan klausa Duduk di kursi itu. Kata caleg merupakan akronim dari frasa
calon anggota legislatif (peserta pemilu legislatif). Tuturan Duduk di kursi itu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
merupakan ungkapan figuratif yang bermakna „menduduki jabatan sebagai
anggota DPR‟. Wacana (21) ditandai melalui kata Caleg.
Hal yang dikritik kepada anggota DPR adalah sebagai berikut. Pertama,
kinerja anggota DPR. Kedua, kebiasaan tidur saat rapat. Ketiga, perilaku korupsi.
2.3.1 Kinerja Anggota DPR
Wacana berikut ini memuat kritikan terhadap kinerja anggota DPR.
(22) DPR itu tugasnya kan untuk mendengarkan suara rakyat,
aspirasi rakyat. Tapi, gimana caranya DPR mendengarkan
suara rakyat ketika DPR dihalangi oleh tembok yang begitu
tinggi, pakai, naik ke kantor, ke kantor itu pakai Camry. Ya
kan? Seharusnya DPR itu bukan diletakkan di Senayan, tapi di
tengah-tengah pasar. Iya. Di pasar itu kan segala macam ada
kan? Dari tukang ayam sampai tukang cabe, ayam kampus,
cabe-cabean. Ada gitu. (Dzawin, show 6).
Wacana (23) berisi kritikan terhadap hasil kerja anggota DPR perihal
memperjuangkan nasib rakyat kecil.
(23) Meskipun suara saya cempreng emejing gila, suara saya ini juga
menentukan siapa yang bakal duduk di DPR. Dan demokrasi ini
berjalan tanpa suara saya itu nggak bakal bisa. Suara rakyat
kecil, dalam arti sebenarnya. Dan pemerintah ini cuma janji-
janji kosong. Katanya memperjuangkan rakyat kecil.
Bohong. Kalau memang memperjuangkan, kenapa sampai
sekarang tes CPNS masih menggunakan tinggi badan sebagai
syarat utama. Saya kerja apa? (Arif, show 6).
Wacana (24) berikut mengandung kritikan terhadap kinerja anggota DPR
yang sering kali memberi harapan palsu pada rakyat.
(24) Emang pemilu suka bikin bingung ya. Partai banyak. Namanya
p anu lah, p itu lah. Menurut gua, percuma bang kalau ujung-
ujungnya jadi PHP, Partai Harapan Palsu. (David, show 6).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
Pada wacana (22), comic mengungkapkan, fungsi keterwakilan suara rakyat
yang diemban oleh anggota DPR tidak berjalan secara ideal. Hal ini ditandai
melalui tuturan Tapi, gimana caranya DPR mendengarkan suara rakyat ketika
DPR dihalangi oleh tembok yang begitu tinggi, pakai, naik ke kantor, ke kantor itu
pakai Camry. Tuturan Tembok yang begitu tinggi merupakan ungkapan asosiatif
dari Kantor DPR RI di Senayan. Kata Camry mengacu pada mobil sedan berkelas
menengah ke atas yang bernama lengkap Toyota Camry. Tuturan ini merupakan
asosiasi dari simbol kemewahan (anti-kemasyarakatan). Dengan demikian, tuturan
kunci tersebut mengimplikasikan para anggota DPR, yang begitu sulit didekati,
ditemui, dan tidak merakyat. Sikap para wakil rakyat yang memisahkan jarak
dengan rakyatnya ini berdampak langsung dengan rendahnya aspirasi rakyat yang
dapat terpenuhi. Kebijakan-kebijakan publik yang dihasilkan pun tidak mampu
mengatasi persoalan masyarakat secara komprehensif.
Sebagai simbol kerakyatan, comic mengusulkan agar kantor DPR RI
dipindahkan ke lingkungan sosial yang dekat dengan masyarakat, misalnya pasar
tradisional –sebagai simbol kerakyatan, pasar menjadi tempat berjubelnya
masyarakat, terutama masyarakat lapisan menengah ke bawah–, agar anggota
DPR ini bisa mengetahui masalah nyata yang dialami masyarakat serta
mendengarkan aspirasi dan kebutuhan mereka secara langsung.
Pada wacana (23), comic mengkritisi kinerja anggota DPR yang sering kali
memburas atau membohongi masyarakat. Hal ini ditunjukkan melalui tuturan
Pemerintah ini cuma janji-janji kosong. Katanya memperjuangkan rakyat kecil.
Bohong. Terminologi pemerintah dalam tuturan tersebut mengacu bukan pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
lembaga eksekutif, melainkan lembaga legislatif, dalam hal ini yaitu anggota
DPR. Hal ini selaras dengan tuturan awal comic yang mengungkapkan Suara saya
ini juga menentukan siapa yang bakal duduk di DPR.
Sebagai contoh buruknya hasil kerja anggota legislatif, comic menyebutkan
langkah diskriminatif anggota DPR dalam menetapkan aturan terkait syarat
pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Salah satu persyaratan
pendaftaran tersebut yakni adanya batas minimal tinggi badan bagi para pendaftar.
Aturan ini mendiskriminasi masyarakat yang memiliki tinggi badan yang tidak
memenuhi kualifikasi itu untuk mendapatkan hak dan kesempatan kerja yang
sama dengan masyarakat lainnya. Comic pun merasa dirugikan oleh aturan ini
karena memiliki ukuran tubuh yang relatif pendek, sehingga menganggap anggota
DPR tidak dapat memperjuangkan kebutuhan dan aspirasi segala lapisan dan
golongan masyarakat.
Pada wacana (24), comic mengeluhkan kinerja para anggota DPR yang tidak
memberikan kontribusi nyata dan baik bagi kehidupan rakyat, meskipun jumlah
partai politik (termasuk anggota DPR) di Indonesia relatif banyak. Hal ini
ditunjukkan dalam tuturan Partai banyak. Menurut gua, percuma bang kalau
ujung-ujungnya jadi PHP, Partai Harapan Palsu.
Runtuhnya rezim Orde Baru pada Mei 1998 sebagai penanda lahirnya
reformasi demokrasi –yang direpresi pertumbuhannya pada masa pemerintahan
Soeharto. Kini, sebagai masyarakat demokratis, rakyat dapat terlibat langsung
ataupun tidak langsung –melalui wakil rakyat di badan legislatif– dalam
membantu penyelenggaraan negara. Entitas keterlibatan rakyat itu meliputi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
kegiatan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Hal ini pun
tercantum dan dijamin secara konstitusional oleh negara melalui Pasal 28E ayat
(3) UUD 1945 amandemen IV yang menyatakan “Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Singkatnya,
aturan ini pun memicu kelahiran dan pertumbuhan partai politik (parpol) baru di
Indonesia. Tercatat, parpol (nasional maupun lokal) peserta pemilu 1999
berjumlah 48, parpol peserta pemilu 2004 berjumlah 24, parpol peserta pemilu
2009 berjumlah 44, dan parpol peserta pemilu 2014 berjumlah 15.
Idealnya, keberadaan parpol-parpol ini tentu membawa angin segar bagi
masyarakat Indonesia, terutama karena jumlahnya relatif banyak. Logikanya,
semakin besar jumlahnya, maka harapan dan cita-cita rakyat semakin banyak yang
tersalur dan terserap. Akan tetapi, berjibunnya jumlah parpol pada setiap
penyelenggaraan pemilu nyatanya berbanding terbalik dengan hasil pengentasan
persoalan ekonomi dan sosial masyarakat. Salah satu indikatornya: jumlah
penduduk miskin Indonesia masih memilukan, yaitu pada angka 27,73 juta jiwa
per September 2014 (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/01/03/
070700226/Turun.Jumlah.Penduduk.Miskin.Capai.27.7.Juta.Orang). Oleh karena
itu, comic lantas menyimpulkan bahwa partai-partai politik di Indonesia adalah
partai harapan palsu alias pemberi harapan palsu.
2.3.2 Kebiasaan Tidur Saat Rapat
Wacana berikut ini memuat kritikan terhadap kebiasaan tidur anggota DPR
saat rapat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
(25) Caleg. Caleg ini mereka berebut kursi, tapi setelah mereka
menang dan duduk di kursi itu, mereka malah tidur, dan
lebih parahnya lagi yang mimpin rapat udah tahu yang dengerin
tidur, rapatnya masih gitu-gitu aja. Ini harusnya dibikin rapat
yang lebih meriah. Jadi, begitu masuk ruang rapat:
O1: Oke, peserta rapat paripurna, mana suaranya? Yang di
sebelah sana, mana suaranya?
O2: Rghhhh (Mendengkur).
O1: Yang sebelah, sana mana suaranya?
O3: Rhghhh (Mendengkur).
Akhirnya,
O1: Oke, kita mulai rapatnya.
Pas dia duduk, tidur. Ini kan sama aja ya? (Coki, show 6).
Comic mengkritik perilaku atau tingkah buruk para anggota DPR saat
mengikuti rapat. Hal ini terimplikasi dalam kalimat Caleg ini mereka berebut
kursi, tapi setelah mereka menang dan duduk di kursi itu, mereka malah tidur.
Pada nukilan tersebut, tuturan berebut kursi bermakna „merebut atau meraih
jabatan‟ sebagai anggota legislatif dan tuturan duduk di kursi itu bermakna
„menduduki jabatan‟ sebagai anggota legislatif.
Di tengah bertumbuh dan berkembangnya sikap kritis dan skeptis rakyat
Indonesia terhadap para wakilnya di kursi legislatif, para wakil rakyat ini belum
mampu menunaikan sumpah jabatannya. Harapan dan tuntutan rakyat tidak
kunjung tercapai. Sebagai bukti, hasil survei nasional Institut Riset Indonesia
(Inisis) dan Poltracking Institute masing-masing pada September dan Oktober
2013 lalu menunjukkan bahwa DPR mendapatkan tingkat kepuasan publik paling
rendah.
Survei Inisis menunjukkan sebanyak 60,9 persen responden menilai kinerja
anggota DPR tidak memuaskan (http://nasional.kompas.com/read/2013/
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
09/29/1224051/Survei.Insis.Publik.Makin.Tak.Puas.pada.Kinerja.DPR). Survei
Poltracking Institute juga memperlihatkan tingkat ketidakpuasan responden
sebesar 61,68 persen (http://nasional.tempo.co/read/news/2013/10/20/
078523131/lagi-hasil-survei-kinerja-dpr-buruk). Alhasil, kebiasaan tidur anggota
DPR saat rapat –yang seharusnya membahas kebijakan-kebijakan publik– sudah
barang tentu membuat masyarakat Indonesia semakin berang.
Comic memberikan ide yang inovatif untuk mencegah rasa kantuk yang
dialami anggota DPR saat rapat. Pemimpin rapat harus melakukan tindakan
atraktif, seperti menyapa para anggota rapat layaknya seorang biduan menyapa
para penontonnya. Hal ini diyakini oleh comic dapat meningkatkan antusiasme
para peserta rapat untuk terus terjaga saat sidang atau rapat berlangsung. Namun,
anggapan itu lantas dipatahkan oleh rasa skeptis comic bahwa tabiat anggota DPR
ini tidak dapat berubah dalam waktu relatif singkat. Alhasil, pada akhir wacana di
atas comic menuturkan bahwa anggota DPR tetap pada kebiasaannya: tidur saat
rapat.
2.3.3 Perilaku Korupsi
Wacana (26) berikut ini berisi kritikan terhadap perilaku koruptif anggota
DPR.
(26) Biasa ke kantor pakai Camry, ini jalan kaki. Pas lagi jalan
ketemu preman. Tapi, nggak akan dipalak. Ya, kali preman pasar
malak preman negara? Loe tahu kan preman pasar itu.
O1: Woi, siapa loe?
O2: Tukang daging, bang.
O1: Duit, duit!
O1: Woi, siapa loe?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
O2: Anggota dewan.
O1: Duit.
O2: Kenapa, kok saya nggak jadi dipalak?
O1: Maaf nih ya, Pak. Saya preman biasa malak duit halal.
Kalau saya malak Bapak, dosanya dobel. (Dzawin, show 6).
Wacana berikut ini mengandung kritikan terhadap perilaku korupsi anggota
DPR.
(27) Saya itu selalu bingung. Kita itu selalu bingung kalau pemilihan.
Kita selalu bingung memikirkan caleg. Padahal caleg tidak
pernah bingung memikirkan kita. Caleg tidak pernah bingung
memikirkan kita. Padahal seperti ini. Mereka juga tidak
mengingat kita. Maksud saya, ingatlah kita, ingat kita, apalagi
kalau kalian sudah korupsi. Ingat, bagi-bagi hasil korupsi. Dan
begini, kalau misalnya. Tapi, jangan kalian pilih caleg yang
seperti itu. Itu tidak baik. Yang harus kalian pilih itu caleg yang
jujur. Jujur kalau butuh uang rakyat. (Sri, show 6).
Pada wacana (26), comic mengeluhkan tindakan korupsi yang marak terjadi
di lingkungan pejabat DPR. Hal ini ditunjukkan dalam tuturan Saya preman biasa
malak duit halal. Kalau saya malak Bapak, dosanya dobel. Di dalam tuturan
kunci tersebut, diceritakan bahwa seorang preman enggan memalak salah seorang
anggota DPR karena curiga dan takut uang yang dimiliki oleh pejabat legislatif itu
adalah hasil korupsi. Tuturan ini mengimplikasikan tabiat buruk anggota DPR
ihwal perilaku koruptif.
Tempo.co (23/9/14) mengungkapkan, berdasarkan data KPK, terdapat 466
politikus yang terjerat kasus korupsi. Ada sembilan partai politik yang kadernya
melakukan tindakan korupsi (https://m.tempo.co/read/news/2014/09/23/
063609068/anas-dan-466-politikus-yang-dijerat-kasus-korupsi). Pada pemberitaan
tersebut, tidak dijelaskan rentang waktu korupsi itu terjadi.
Pada wacana (27), comic mengkritisi tindakan korupsi yang dilakukan para
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
anggota DPR. Hal ini ditunjukkan dalam tuturan Ingat, bagi-bagi hasil korupsi
dan Jujur kalau butuh uang rakyat. Tuturan ini mengimplikasikan sifat
ketidakjujuran anggota DPR yang menyelewengkan uang negara, dan dipakai
untuk kepentingan pribadi maupun kelompok.
Menjelang pemilihan umum, para pemilih sering kali dihadapkan pada
berbagai pilihan politik untuk menentukan siapa caleg yang pantas menduduki
kursi jabatan tersebut. Hak suara yang digunakan oleh para pemilih adalah simbol
pencurahan harapan dan mimpi kepada para calon anggota terpilih untuk
membawa para konstituennya dan masyarakat dalam lingkup yang lebih luas
mendapat kehidupan yang lebih baik. Akan tetapi, pada kenyataannya, kinerja
para anggota DPR ini memprihatinkan. Sikap skeptis pun berkembang di
masyarakat. Sebagai bentuk kekecewaannya, comic lantas mengasosiasikan
anggota DPR dengan sifat koruptif, ketidakjujuran, dan tamak.
2.4 Anggota Organisasi Kemasyarakatan
Organisasi Kemasyarakatan (ormas) adalah organisasi yang didirikan dan
dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi,
kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi
dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila (https://id.wikipedia.org/wiki/
Organisasi_massa). Adapun salah satu fungsi ormas bagi masyarakat yaitu
melestarikan dan memelihara norma, nilai, moral, etika, dan budaya yang hidup
dalam masyarakat. Nahasnya, fungsi ini sering kali dijalankan dengan tindakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
banal. Oleh karena itu, sikap dan pandangan kritis diperlukan untuk mengontrol
dan menilai peran ormas dalam kehidupan bermasyarakat. Perhatikan wacana-
wacana berikut ini.
(28) Menurut gua mah, ormas berani kalau rame-rame. Sendiri mah
belom tentu. Kita tempatin, Pak, ormas di tempat prostitusi.
Rame-rame dia sweeping, Pak. Kemarin gua temuin ormas
sendiri, Pak. Pakai peci, pakai sticklight. Bener, ada mobil
mewah mau masuk, dia setopin.
O1: Stop! Ya, kiri dikit, Pak. Kanan, kanan, mundur dikit.
(David, show 17)
(29) Kalau menurut gua, fungsi dari pakaian, fungsi dari pakaian,
fungsi dari fesyen itu ada dua: yang pertama visual, yang kedua
fungsional. Enak dilihat dan bisa merepresentasikan sikap.
Percuma pakai peci-koko-sarung, peci-koko-sarung, tapi pas
giliran puasa ada warteg masih digerebek. Ya kan? Padahal
udah ditirai. Padahal udah ditirai, masih digerebek. Kan
kasihan. Gua belum kenyang. (Dzawin, show 13).
Sasaran kritik pada kedua wacana di atas mengacu pada anggota ormas
Islam. Wacana (28) ditunjukkan melalui kata Ormas dan klausa Pakai peci.
Tuturan ini mengimplikasikan ormas Islam (yang diasosiasikan melalui klausa
Pakai peci yang lazimnya merupakan atribut dari agama Islam). Wacana (29)
ditunjukkan melalui tuturan Percuma pakai peci-koko-sarung, peci-koko-sarung,
tapi pas giliran puasa ada warteg masih digerebek. Tuturan tersebut
mengimplikasikan ormas Islam (yang diasosiasikan melalui frasa peci-koko-
sarung serta kata gerebek yang berkenaan dengan aksi penggeledahan, razia,
bahkan pengrusakan rumah makan oleh ormas Islam tertentu pada Bulan
Ramadhan).
Hal yang dikritik kepada ormas adalah sebagai berikut. Pertama,
kemunafikan anggota ormas Islam. Kedua, intoleransi ormas Islam.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
2.4.1 Kemunafikan Anggota Ormas Islam
Wacana (30) berisi kritikan terhadap kemunafikan anggota ormas Islam.
(30) Menurut gua mah, ormas berani kalau rame-rame. Sendiri
mah belom tentu. Kita tempatin, Pak, ormas di tempat
prostitusi. Rame-rame dia sweeping, Pak. Kemarin gua temuin
ormas sendiri, Pak. Pakai peci, pakai sticklight. Bener, ada
mobil mewah mau masuk, dia setopin.
O1: Stop! Ya, kiri dikit, Pak. Kanan, kanan, mundur dikit.
(David, show 17).
Comic mengkritisi sikap munafik anggota ormas yang hanya berani
menjalankan aksinya secara massal. Hal ini diungkapkan dalam tuturan Menurut
gua mah, ormas berani kalau rame-rame. Sendiri mah belom tentu.
Ormas sering kali melaksanakan aksinya secara kolektif. Menurut comic,
keberanian anggota ormas ini dilatarbelakangi oleh jumlah dan kekuatan
massanya yang masif. Sebaliknya, anggota ormas belum tentu berani menjalankan
aksinya secara individu. Sebagai contoh, comic mengilustrasikan O1, salah
seorang anggota ormas Islam, yang sedang berada di sebuah tempat prostitusi.
Oleh karena tanpa dukungan anggota ormas yang lainnya, O1 pun tidak berani
melaksanakan penertiban penyakit masyarakat (Pekat) di lokalisasi itu. O1 hanya
menjadi penjaga parkir kendaraan-kendaraan di lokasi tersebut.
2.4.2 Sikap Intoleransi Ormas Islam
Wacana (31) berikut memuat kritikan terhadap sikap intoleransi ormas Islam
terhadap masyarakat.
(31) Kalau menurut gua fungsi dari pakaian, fungsi dari pakaian,
fungsi dari fesyen itu ada dua: yang pertama visual, yang kedua
fungsional. Enak dilihat dan bisa merepresentasikan sikap.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
Percuma pakai peci-koko-sarung, peci-koko-sarung, tapi pas
giliran puasa ada warteg masih digerebek. Ya kan? Padahal
udah ditirai. Padahal udah ditirai, masih digerebek. Kan
kasihan. Gua belum kenyang. (Dzawin, show 13).
Comic mengkritisi sikap intoleransi ormas Islam kepada masyarakat. Hal ini
diungkapkan melalui tuturan Percuma pakai peci-koko-sarung, peci-koko-sarung,
tapi pas giliran puasa ada warteg masih digerebek. Tuturan ini mengimplikasikan
sikap intoleran ormas Islam yang melakukan razia rumah makan secara
sewenang-wenang.
Dalam contoh kasus yang disebutkan comic, ormas tersebut digambarkan
tidak bersikap toleran dengan menggerebek rumah makan yang tetap dibuka pada
masa Ramadan, meskipun etalase, jendela, dan pintunya telah ditirai –tindakan ini
sebagai bentuk pengormatan bagi masyarakat yang menjalankan puasa. Comic
mengecam tindakan ormas tersebut. Menurutnya, perilaku banal ormas itu tidak
mencerminkan nilai-nilai agamais dari atribut keagamaan yang dikenakannya.
2.5 Perempuan Indonesia
Persoalan gender merupakan salah satu isu penting dan aktual yang sering
kali dibahas dalam kajian ilmiah maupun pada berbagai forum perbincangan
masyarakat Indonesia. Masalah kesenjangan kedudukan sosial, kekerasan, hingga
eksploitasi seksual sampai saat ini terus memecut perempuan Indonesia. Langkah
afirmatif dan konstruktif dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan terus
digalakkan untuk mewujudkan wajah peradaban perempuan Indonesia menjadi
lebih baik lagi. Perhatikan beberapa wacana di bawah ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
(32) Gua resah banget, resah banget. Sebagai anak muda yang
religius, gua resah, sampai gua bela-belain survei tuh tempat.
Survei, serius gua survei. Gua masuk ke dalem ditawarin pakai
foto.
O1: Mau yang mana, Mas?
O2: Yang ini ajalah.
Kite masuk ke dalam kamar. Asyik nih. Jablaynya masuk.
O3: Bang.
O2: Iye.
O3: Mau mulai dari mana?
O2: Aduh, mulai dari mana. Neng muslim?
O3: Iya, Bang.
O2: Ya udah, kita mulai dari surat Al-Isra ayat 32. Wa la
taqrabuz zina. Janganlah kau mendekati zinah.
Ya Allah, tuh jablay bengong. Lima menit dia cabut.
O2: Eh, mau ke mana, loe?
O3: Ambil mukenah. (David, show 17).
(33) Kalau menurut gua, kalau menurut gua, cewek cantik itu adalah
cewek yang dapat memantaskan dan melindungi dirinya sendiri.
Makanya gua suka banget sama cewek-cewek yang
berkerudung. Tapi, banyak yang bilang cewek yang berkerudung
itu kuno, nggak modern. Eh, kata siapa? Sekarang banyak kok
kerudung-kerudung modern yang udah digaya-gayain. Hijabers
kan, yang kerudungnya warna-warni, dikasih bunga, tancepin
batang singkong, pohon kelapa. (Dzawin, show 10).
(34) Betawi mah mohon maaf, bukannya kita nggak mau dandan.
Laki-bini di rumah sering berantem gara-gara dandan. Coba,
lakinya tadinya kagak rapi, rapi sedikit bininya nyap-nyap.
O1: Kampung mane yang baru ade jande?
Nyisir sedikit, bininya nyap-nyap, nyanyi.
O1: Biasanya tak pakai minyak wangi.
Lakinya marah.
O2: Eh, loe nyanyi kagak joget. Joget dong. Biasanya tak pakai
minyak wangi. (David, show 13).
Sasaran kritik ketiga wacana di atas ialah kaum perempuan Indonesia.
Wacana (32) diungkapkan dalam kata Jablay dan frasa tuh tempat. Kata jablay
merupakan akronim dari istilah jarang dibelai. Kata ini berpadanan dengan istilah
pelacur, pramuria, sundal, atau tuna susila. Frasa tuh tempat mengimplikasikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
sebuah tempat prostitusi yang didatangi oleh comic. Wacana (33) ditandai dengan
kata Cewek. Wacana (34) ditunjukkan melalui tuturan rapi sedikit bininya nyap-
nyap dan Nyisir sedikit, bininya nyap-nyap. Tuturan ini mengimplikasikan kaum
perempuan Betawi sebagai sasaran kritik karena sering kali mencereweti
suaminya jika berpenampilan rapi dan menarik.
Hal yang dikritik kepada perempuan Indonesia adalah sebagai berikut.
Pertama, kesalahpahaman atas konsepsi kesetaraan gender. Kedua, profesi
perempuan. Ketiga. rasa cemburu berlebihan perempuan Betawi yang sudah
berumah tangga terhadap suaminya. Keempat, kesadaran wanita muslim untuk
berkerudung.
2.5.1 Kesalahpahaman atas Konsepsi Kesetaraan Gender
(35) Cewek itu sering banget ngomongin masalah kesetaraan gender.
Bener nggak sih? Lagian kesetaraan gender itu maksudnya
apa sih? Setara itu kan artinya sama, padahal sama belum
tentu proporsional, belum tentu pas. Contohnya begini. Gua
naik bis, gua naik kereta sama adek gua. Tempat duduknya
cuma satu. Adik gua duduk, gua berdiri; nggak setara tetapi
proporsional karena gua lebih kuat, hitungannya setara. Atau
pakai solusi yang kedua, gua duduk, adik gua gua pangku. Ini
cewek mintanya kesetaraan gender, tapi giliran di kereta tempat
duduk cuma satu gua duduk dia berdiri, ngelihatin gua terus. Ya,
nggak gua kasih. Kan setara. Kalau mau, pakai solusi yang
kedua: elu gua pangku. Iya, nggak? Kalau elu gua pangku, ya
adik gua berdiri. Iya kan? Kalau masih nggak mau juga, ya
sudah silakan duduk, tapi elu pangku gua, ya adik gua berdiri
lagi. (Dzawin, show 10).
Hal yang dikritik pada wacana ini ihwal kesalahpahaman kaum perempuan
terhadap konsepsi kesetaraan gender. Hal ini ditunjukkan melalui tuturan Lagian
kesetaraan gender itu maksudnya apa sih? Setara itu kan artinya sama, padahal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
sama belum tentu proporsional, belum tentu pas. Tuturan ini mengimplikasikan
keraguan comic terhadap kaum perempuan dalam memahami esensi kesetaraan
gender.
Dalam ilustrasinya di atas: seorang wanita di kereta api yang tengah berdiri
karena tidak mendapatkan kursi kosong; wanita itu memandangi comic yang
sedang duduk bersama adiknya, dengan harapan comic mempersilakannya
menduduki kursi tersebut. Comic tidak memberikan kursinya untuk ditempati oleh
wanita tersebut karena: (1) ia memiliki hak untuk tetap menduduki kursi yang
sudah ditempatinya sejak awal; (2) ia merasa tidak adil jika ia harus berdiri karena
memberikan kursi yang didudukinya ditempati oleh wanita tersebut. Dengan kata
lain, wanita itu ingin berusaha mendapatkan haknya untuk menduduki kursi
tersebut dengan melanggar atau mengabaikan hak comic menempati kursi itu.
2.5.2 Profesi Perempuan
Wacana (36) mengandung kritikan terhadap profesi perempuan sebagai
pelacur.
(36) Gua resah banget, resah banget. Sebagai anak muda yang
religius, gua resah, sampai gua bela-belain survei tuh tempat.
Survei, serius gua survei. Gua masuk ke dalem ditawarin pakai
foto.
O1: Mau yang mana, Mas?
O2: Yang ini ajalah.
Kite masuk ke dalam kamar. Asyik nih. Jablaynya masuk.
O3: Bang.
O2: Iye.
O3: Mau mulai dari mana?
O2: Aduh, mulai dari mana. Neng muslim?
O3: Iya, Bang.
O2: Ya udah, kita mulai dari surat Al-Isra ayat 32. Wa la
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
taqrabuz zina. Janganlah kau mendekati zinah.
Ya Allah, tuh jablay bengong. Lima menit dia cabut.
O2: Eh, mau ke mana, loe?
O3: Ambil mukenah. (David, show 17).
Wacana (36) memuat kritikan dan ajakan comic terhadap wanita pelacur
untuk kembali menapaki laku sosial yang baik agar menjadi wanita yang salih.
Hal ini diungkapkan melalui tuturan Wa la taqrabuz zina. Janganlah kau
mendekati zinah. Tuturan tersebut merupakan nukilan sebuah ayat pada Al-Quran
yang berisi larangan bagi pemeluk Islam untuk berzinah.
Keresahan dan kepedulian comic untuk memartabatkan kembali kaum yang
dianggap amoral dan termarginalkan dalam struktur sosial masyarakat ini
didasarkan pada semangat religiusitas yang dimilikinya. Sebagai perbuatan
terlarang yang termaktub dalam kepercayaannya, comic ingin mencerahkan dan
menginsafkan kembali budi pekerti dan moral seorang perempuan penjaja
syahwat dengan memberikannya semangat spritualitas.
2.5.3 Kecemburuan yang Berlebihan
Wacana berikut berisi kritikan terhadap kecemburuan berlebihan perempuan
terhadap pasangan hidupnya.
(37) Betawi mah mohon maaf, bukannya kita nggak mau dandan.
Laki-bini di rumah sering berantem gara-gara dandan. Coba,
lakinya tadinya kagak rapi, rapi sedikit bininya nyap-nyap.
O1: Kampung mane yang baru ade jande?
Nyisir sedikit, bininya nyap-nyap, nyanyi.
O1: Biasanya tak pakai minyak wangi.
Lakinya marah.
O2: Eh, loe nyanyi kagak joget. Joget dong. Biasanya tak pakai
minyak wangi. (David, show 13).
Comic mengkritik sikap wanita Betawi yang sudah menikah yang sering
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
kali menaruh cemburu dan curiga berlebih kepada suaminya. Hal ini diungkapkan
melalui tuturan Coba, lakinya tadinya kagak rapi, rapi sedikit bininya nyap-nyap
dan Kampung mane yang baru ade jande.
Wacana ini bercerita tentang kehidupan sepasang keluarga Betawi yang
bertengkar karena sikap apriori dan skeptis istri terhadap sang suami. Adapun
keluarga yang dikisahkan ini diasumsikan sebagai representasi kehidupan
keluarga Betawi. Comic menuturkan, orang Betawi, khususnya pria, termasuk
tipikal masyarakat yang tidak suka berdandan dalam kehidupan sehari-harinya.
Kaum pria Betawi yang sudah berumah tangga enggan berpenampilan rapi dan
menarik karena selalui dicurigai, diomeli, dan disangka berselingkuh oleh
pasangannya.
Kepedulian para pria Betawi pada diri sendiri dan kehendak untuk
menyenangi sang istri dengan berpenampilan rapi, bersih, dan menarik bukan
hanya disalahartikan oleh para istri, namun juga sering kali berujung pada
pertengkaran keduanya. Sebagai laki-laki dan masyarakat Betawi, comic pun
resah dihadapkan pada kenyataan tersebut. Sindiran berupa ilustrasi yang
dikisahkan comic bermaksud untuk mengajak para wanita Betawi agar dapat
mengendalikan kebiasaan curiga dan gampang marah pada pasangannya serta
menghargai dan menghormati tindakan para suami yang berdandan jika memang
dimaksudkan untuk membahagiakan istrinya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
2.5.3 Kesadaran Wanita Muslim untuk Berkerudung
Wacana (38) berikut ini memuat kritikan terhadap kesadaran wanita muslim
untuk mengenakan kerudung.
(38) Kalau menurut gua, kalau menurut gua, cewek cantik itu adalah
cewek yang dapat memantaskan dan melindungi dirinya sendiri.
Makanya gua suka banget sama cewek-cewek yang
berkerudung. Tapi, banyak yang bilang cewek yang
berkerudung itu kuno, nggak modern. Eh, kata siapa?
Sekarang banyak kok kerudung-kerudung modern yang udah
digaya-gayain. Hijabers kan, yang kerudungnya warna-warni,
dikasih bunga, tancepin batang singkong, pohon kelapa.
(Dzawin, show 10).
Comic mengkritik sikap wanita muslim yang enggan mengenakan kerudung.
Hal tersebut ditunjukkan dalam tuturan Tapi, banyak yang bilang cewek yang
berkerudung itu kuno, nggak modern.
Comic penutur wacana (38) adalah alumnus salah satu pondok pesantren
(ponpes) modern di Jawa Barat. Sebagai institusi pendidikan Islam, tata hidup dan
aturan di ponpes pun mengacu pada ajaran Islam. Beberapa contoh umum –yang
berkenaan dengan analisis wacana ini–, para para santri wanita wajib berkerudung
dan berpakaian tertutup serta secara aktif mempelajari ilmu agama dan
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Wanita-wanita seperti ini pada
umumnya dicitrakan sebagai wanita yang salih. Sebagai bentuk pengamalan nilai-
nilai Islam dan kecintaan pada budi pekerti seperti yang dimiliki para santri
wanita, comic lantas menaruh hati pada wanita seperti itu, di antaranya yaitu yang
mengenakan kerudung.
Maraknya tren berbusana modern dan mutakhir ala negeri asing, membuat
kaum wanita, terutama kawula muda, terpincut untuk mengikutinya demi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
menunjang penampilan yang lebih cantik dan menarik, tanpa mempertimbangkan
kepantasannya dan kesesuaiannya dengan tradisi masyarakat Indonesia. Bagi
comic, hal ini bertentangan dengan nilai yang dianutnya. Comic beranggapan,
wanita, khususnya penganut ajaran Islam, akan terlihat cantik jika dapat
memantaskan dan melindungi dirinya sendiri, yakni dengan mengenakan
kerudung. Kerudung masa kini pun telah banyak diinovasi, modern, dan
disesuaikan dengan selera pemakai. Hal ini tentu saja dapat memikat hati para
wanita muslim untuk mengenakannya. Dengan demikian, para wanita muslim
tidak dapat lagi berkilah bahwa mengenakan kerudung memiliki kesan atau citra
wanita kolot.
2.6 Pertelevisian Indonesia
Televisi merupakan media komunikasi massa yang berperan sebagai
penyampai informasi dan sarana hiburan. Dewasa ini, banyak terdapat konten
siaran pada sejumlah media penyiaran televisi yang tidak mendidik, destruktif,
dan tidak aman bagi kelompok umur tertentu. Mengacu pada Pedoman Perilaku
Penyiaran yang diterbitkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia, tayangan televisi
harus dapat membina watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa serta
mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, media penyiaran dalam
menayangkan siaran harus mempertimbangkan penghormatan terhadap nilai
kesukuan, agama, dan ras, norma kesusilaan dan kesopanan, perlindungan
terhadap anak dan remaja, kepentingan publik, dan perlindungan kepada orang
dan kelompok masyarakat tertentu. Perhatikan beberapa wacana berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
(39) Waktu itu saya hampir ikut kontes nyanyi Factor X, tapi nggak
jadi. Soalnya yang dinilai bukan suaranya, tapi tampangnya.
Lihat aja Mika tuh ya. Mika itu cuma modal tampang cakep.
Coba kalo dia nggak cakep, pasti jelek. Pasti komentarnya kayak
gini, “Lagu kamu pernah dinyanyiin sama Once, tapi aku lebih
suka waktu kamu nyanyiinnya. Feel-nya lebih dapet.” Ini
bahaya kalau penontonnya itu kebawa ke kehidupan sehari-hari
gitu ya. Ada guru gitu, misal.
O1: Fatin, satu tambah satu berapa?
O2: Dua, Bu.
O1: Kemarin Tuti juga jawab seperti kamu, tapi saya lebih suka,
tapi saya lebih suka suka jawaban kamu ya. Feel-nya lebih
dapet. (Beni, show 1).
(40) Ini keresahan gua sebenarnya. Gua benci sama acara Dunia
dan Lain-lain. Ya, loe tahu lah acara itu ya. Ini gua benci
banget. Gua benci. Menurut gua, acara itu ngeselin karena
hanya menghasilkan pribadi-pribadi yang pemberani. Harusnya
dibikin lebih bermanfaat. Acara uji nyali menghasilkan pribadi-
pribadi yang pemberani, cerdas, tangkas, dan ceria. Jadi, bikin
acara uji nyali yang berfaedah dan edukatif. Jadi, nanti kalau ada
setan gitu nakut-nakutin, jadi berpendidikan.
O1: Oi ….
O2: Apa rumus pitagoras?
Atau, atau misalnya nanti kalau kesurupan ditanya-tanyanya
bisa lebih interaktif gitu.
O3: Oe….
O4: Namanya siapa, Pak?
O3: Joko.
O4: Oke, Mbah Joko, apa ibukota Indonesia?
O3: Sunda Kelapa.
O4: Salah. Jakarta.
O3: Eh, waktu saya masih hidup mah namanya Sunda Kelapa.
(Coki, show 5).
(41) Film-film di Indonesia tuh mendiskriminasikan orang timur
sebenarnya, teman-teman. Iya. Orang timur itu, misalkan kita
ambil contoh Iko Uwais gitu. Iko Uwais kalau mau main film
berperan jadi orang timur itu gampang. Tinggal jemur dia di
panas pakai baju merah, celana biru, sepatu hijo, goyang-goyang
bombastic, selesai. Selesai. Tapi, kalau orang timur mau jadi Iko
Uwais itu susah. Kalau pun main dengan Iko Uwais paling jadi
penjahat, tukang pukul, pegang parang, kemudian, “Hei, ko stop
tipu-tipu saya e.” (Abdur, show 16).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
Sasaran tutur pada ketiga wacana tersebut mengacu pada pertelevisian
Indonesia. Wacana (39) ditunjukkan dalam frasa Kontes nyanyi Faktor X. Tuturan
ini mengimplikasikan sebuah ajang pencarian bakat dalam bidang tarik suara
bernama X Factor yang ditayangkan di RCTI pada 2013 lalu. Wacana (40)
ditunjukkan melalui tuturan acara Dunia dan Lain-lain. Tuturan ini
mengimplikasikan sebuah acara uji nyali bertajuk (Masih) Dunia Lain yang
ditayangkan di Trans 7. Wacana (41) diungkapkan melalui tuturan Film-film di
Indonesia.
Hal yang dikritikkan kepada pertelevisian Indonesia adalah sebagai berikut.
Pertama, kualitas program televisi Indonesia. Kedua, jam tayang iklan. Ketiga,
diskriminasi peran keaktoran.
2.6.1 Kualitas Program
Wacana berikut memuat kritikan terhadap kualitas acara kompetisi
bernyanyi X Factor di RCTI.
(42) Waktu itu saya hampir ikut kontes nyanyi Factor X, tapi nggak
jadi. Soalnya yang dinilai bukan suaranya, tapi tampangnya.
Lihat aja Mika tuh ya. Mika itu cuma modal tampang cakep.
Coba kalo dia nggak cakep, pasti jelek. Pasti komentarnya kayak
gini, “Lagu kamu pernah dinyanyiin sama Once, tapi aku lebih
suka waktu kamu nyanyiinnya. Feel-nya lebih dapet.” (Beni,
show 1).
Wacana (43) mengandung kritikan atas kualitas acara (Masih) Dunia Lain di
Trans 7.
(43) Ini keresahan gua sebenarnya. Gua benci sama acara Dunia dan
Lain-lain. Ya, loe tahu lah acara itu ya. Ini gua benci banget.
Gua benci. Menurut gua, acara itu ngeselin karena hanya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
menghasilkan pribadi-pribadi yang pemberani. Harusnya
dibikin lebih bermanfaat. Acara uji nyali menghasilkan pribadi-
pribadi yang pemberani, cerdas, tangkas, dan ceria. Jadi, bikin
acara uji nyali yang berfaedah dan edukatif. Jadi, nanti kalau ada
setan gitu nakut-nakutin, jadi berpendidikan.
O1: Oi…, apa rumus pitagoras?
Atau, atau misalnya nanti kalau kesurupan ditanya-tanyanya
bisa lebih interaktif gitu.
O2: Oe….
O3: Namanya siapa, Pak?
O2: Joko.
O3: Oke, Mbah Joko, apa ibukota Indonesia?
O2: Sunda Kelapa.
O3: Salah. Jakarta.
O2: Eh, waktu saya masih hidup mah namanya Sunda Kelapa.
(Coki, show 5).
Wacana (44) berikut ini berisi kritikan terhadap kualitas iklan di Indonesia.
(44) Banyak iklan di Indonesia ini yang memicu kita untuk
nonton bola, tapi nggak ada satupun iklan di Indonesia yang
memacu kita untuk sholat tahajud. Bener nggak, sih? Iya,
nggak? Emang di sini ada yang pernah lihat iklan sholat tahajud
gitu? Nggak ada, kan? Seharusnya ada, men, kayak “Extra joss
susu jahe untuk menemani sholat tahajudmu”; atau “Kuku bima
religi”; atau “Jangan sholat tahajud tanpa kacang garudo”.
(Dzawin, show 11).
Pada wacana (42), comic mengkritisi kualitas ajang pencarian bakat dalam
bidang tarik suara X Factor Indonesia musim pertama yang ditayangkan stasiun
televisi RCTI pada 2013. Hal tersebut diungkapkan melalui tuturan Soalnya yang
dinilai bukan suaranya, tapi tampangnya. Tuturan ini mengimplikasikan
rendahnya kualitas kompetisi bernyanyi X Factor Indonesia tahun 2013. Sebagai
contoh, comic mempermasalahkan kemampuan bernyanyi Mika, kontestan ajang
tersebut, dan berasumsi jika keberadaan Mika dalam panggung pertunjukan
tersebut disebabkan bukan pada kepiawaiannya menarik perhatian juri dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
penonton melalui kualitas suaranya, melainkan pada paras rupawan yang
dimilikinya. Berdasar pada dugaan ini, comic yang pada awalnya memiliki niat
mengikuti kontes itu, mengurungkan niatnya karena merasa tidak memiliki
tampang yang dapat memikat perhatian juri dan penonton untuk berkompetisi di
ajang tersebut.
Pada wacana (43), comic mengkritisi kualitas tayangan uji nyali bertajuk
Dunia dan Lain-lain. Nama acara ini mengimplikasikan sebuah acara bernama
(Masih) Dunia Lain yang ditayangkan di stasiun televisi Trans 7. Kritikan comic
ditandai melalui kalimat Acara itu ngeselin karena hanya menghasilkan pribadi-
pribadi yang pemberani. Tuturan ini mengimplikasikan opini comic perihal
minimnya nilai edukasi pada tayangan ini bagi para penonton.
(Masih) Dunia Lain menayangkan acara realitas yang bertemakan
supranatural. Acara ini menampilkan kegiatan para peserta dalam melakukan uji
nyali. Para peserta pun harus berbekal keberanian spiritual dan ragawi karena
akan ditempatkan dan dibiarkan sendiri di sebuah lokasi angker sepanjang malam
hingga fajar.
Wacana (43) bersifat satiris yang mengungkapkan keresahan comic pada
acara (Masih) Dunia Lain yang dianggapnya tidak bernilai edukatif, sebagaimana
tertuang dalam Bab VII Pasal 11 ayat (1) Pedoman Perilaku Penyiaran dan
Standar Program Siasaran: Lembaga penyiaran wajib memperhatikan
kemanfaatan dan perlindungan untuk kepentingan publik. Acara ini tidak hanya
gagal memuat nilai didaktis, namun juga dapat menciptakan ketakutan dan
kengerian publik. Oleh karena itu, dengan menimbang dan memperhatikan hak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
tahu atau pemenuhan informasi masyarakat, comic memberi solusi untuk
memperbaiki kualitas program tersebut. Secara implisit, anjuran dan ilustrasi
comic sebagai bentuk sindiran. Ilustrasi berupa dialog itu bermaksud untuk
menggambarkan betapa minimnya kualitas tayangan (Masih) Dunia Lain jika
ditilik dari parameter kebermanfaatannya bagi khayalak.
Di dalam wacana (44), comic mengkritisi tayangan iklan di televisi yang
hanya menampilkan konten produk barang dan jasa, tanpa memiliki pesan moral
tertentu pada masyarakat, misalnya ajakan beribadah. Imbasnya, kesadaran
masyarakat untuk menjalankan ibadah pun berkurang. Hal ini ditunjukkan pada
kalimat Banyak iklan di Indonesia ini yang memicu kita untuk nonton bola, tapi
nggak ada satupun iklan di Indonesia yang memacu kita untuk sholat tahajud.
Sebagai contoh, beberapa iklan produk makanan dan minuman ringan
mempersuasi masyarakat untuk lebih menyaksikan pertandingan sepak bola pada
dini hari atau subuh, alih-alih melaksanakan sholat tahajud (bagi pemeluk Islam).
Oleh karena itu, comic mengusulkan agar iklan di televisi harus dapat
menumbuhkan, mengajak, dan memicu kesadaran masyarakat untuk taat
beribadah.
2.6.2 Jam Tayang Iklan
Wacana di bawah ini memuat kritikan terhadap jam tayang iklan kondom di
Indonesia.
(45) Menurut gua, kondom itu nggak ada gunanya karena sudah
gagal memenuhi fungsinya untuk mencegah pertambahan
penduduk. Kenapa bisa gagal? Alasannya simpel: karena iklan
kondom ditaroh jam 1 malam. Ini yang mau nonton siapa?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
Setan? Ini mungkin makanya di zaman modern nggak ada lagi
film horor beranak dalam kubur, karena setannya udah pakai
kondom. (Coki, pre show 1).
Comic mengkritisi gagalnya promosi atau iklan penggunaan kondom,
sehingga berdampak pada tingginya pertumbuhan penduduk Indonesia. Hal
tersebut ditunjukkan dalam tuturan Kondom itu nggak ada gunanya karena sudah
gagal memenuhi fungsinya untuk mencegah pertambahan penduduk dan Karena
iklan kondom ditaroh jam 1 malam.
Laju pertumbuhan penduduk Indonesia mengalami peningkatan dari setiap
tahun. Menurut data yang dilansir Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) pada 2011, penduduk Indonesia dalam interval 2000 hingga
2010 bertambah 3,5 juta jiwa setiap tahunnya (http://nasional.kompas.com/read/
2011/07/13/2024416/Penduduk.Indo.Tambah.3.5.Juta.Jiwa.Per.Tahun).
Sementara itu, data sensus penduduk menurut Kementerian Dalam Negeri
menunjukkan, pada 2010 jumlah penuduk Indonesia menyentuh angka 237 juta
jiwa, sementara pada 2015 mengalami pertumbuhan yang signifikan, yaitu
sebanyak 252 juta jiwa penduduk (https://m.tempo.co/read/news/2016/
01/14/173736151/tiap-tahun-penduduk-indonesia-bertambah-3-juta-orang).
Pengendalian laju pertumbuhan ini sebagai salah satu dampak dari
minimnya minat penggunaan alat kontrasepsi oleh masyarakat, di samping
meningkatnya jumlah pasangan usia muda. Hal ini jugalah yang diyakini oleh
comic. Menurutnya, promosi penggunaan kondom melalui iklan di televisi tidak
menjangkau atau merangkum masyarakat secara luas karena minimnya jumlah
penonton televisi pada jam tayang iklan tersebut. Iklan kondom yang ditayangkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
pada jam tayang utama (prime time) bersifat lebih promotif dan persuasif karena
mendapatkan perhatian masyarakat (penonton) lebih banyak. Penayangan iklan
kondom pada malam hari memang didasarkan pada regulasi –yang menyangkut
norma kesopanan, norma kesusilaan, dan kewajiban perlindungan dan
pemberdayaan anak dan remaja dari produk yang diiklankan– yang ditetapkan
oleh Komisi Penyiaran Indonesia melalui Pedoman Perilaku Penyiaran dan
Standar Program Siaran.
2.6.2 Diskriminasi Peran Keaktoran
Wacana (46) berisi kritikan terhadap diskriminasi peran aktor Indonesia
Timur dalam karya sinematografi Indonesia.
(46) Film-film di Indonesia tuh mendiskriminasikan orang
Timur sebenarnya, teman-teman. Iya. Orang timur itu,
misalkan kita ambil contoh Iko Uwais gitu. Iko Uwais kalau
mau main film berperan jadi orang timur itu gampang. Tinggal
jemur dia di panas pakai baju merah, celana biru, sepatu hijo,
goyang-goyang bombastic, selesai. Selesai. Tapi, kalau orang
timur mau jadi Iko Uwais itu susah. Kalau pun main dengan Iko
Uwais paling jadi penjahat, tukang pukul, pegang parang,
kemudian, “Hei, ko stop tipu-tipu saya e.” (Abdur, show 16).
Comic mengkritik karya-karya sinematografi Indonesia yang
mendiskreditkan orang-orang Timur karena sering kali melakoni peran-peran
subversif. Hal ini ditunjukkan melalui kalimat (1) Film-film di Indonesia tuh
mendiskriminasikan orang timur sebenarnya dan (2) Kalau pun main dengan Iko
Uwais paling jadi penjahat, tukang pukul, pegang parang. Terminologi „orang
Timur‟ mengacu pada masyarakat Indonesia yang berasal dari wilayah geografis
Sulawesi, Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
Sebagai salah satu contoh, comic menyebutkan lakon antagonis seorang
aktor bernama Alfridus Godfred –yang merupakan orang timur– dalam sebuah
film laga berjudul The Raid. Hal tersebut diungkapkan melalui tuturan Hei, ko
stop tipu-tipu saya e yang merupakan penggalan dialog Alfridus Godfred dalam
film The Raid. Aktor itu melakoni peran sebagai salah seorang gangster. Serupa
dengan Alfridus Godfred, dalam film-film laga, aktor-aktor timur (aktor yang
berasal dari Indonesia Timur) lain pun banyak yang melakoni peran sebagai tokoh
antagonis, sebuah peran yang diantaranya identik dengan kekerasan, sehingga
menjauhkan tokoh dari simpati dan empati penonton.
2.7 Pedangdut Wanita
Dewasa ini, pertunjukan musik dangdut kian marak ditayangkan di televisi-
televisi lokal dan nasional, serta situs web berbagi video YouTube. Dangdut begitu
dekat dan hidup di tengah-tengah masyarakat. Nahasnya, sejak dua windu terkini,
pertunjukan dangdut sering kali berbenturan dengan nilai normatif masyarakat.
Busana dan aksi panggung bernuansa erotis dijadikan produk jualan utama
sebagian besar pedangdut. Sebagai tontonan dan simbol kesenian rakyat,
pedangdut tersebut perlu dikritisi agar menghidupkan kembali nilai-nilai estetika
dan etika musik dangdut yang telah mengalami pembiasan sejak awal 2000-an –
yang sangat identik dengan goyangan pantat. Perhatikan wacana berikut.
(47) Dangdut yang sekarang itu lebih mementingkan goyangan
daripada lagu. Teman-teman ada yang tahu lagunya Zaskia?
Tidak tahu. Kita tahunya dia goyang itik. Teman-teman tahu
lagunya Inul Daratista? Tidak tahu. Kita tahunya dia goyang
ngebor. Teman-teman tahu lagunya Angel Elga? Tidak tahu.
Kita tahunya dia mantan Rhoma Irama. (Abdur, show 15).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
Sasaran tutur pada wacana (47) mengacu pada seniman dangdut. Hal
tersebut ditunjukkan melalui tuturan Zaskia, Inul Daratistata, dan Angel Elga.
Nama-nama tersebut menjadi representasi dari ciri musik dangdut dan biduannya
pada masa kini. Adapun hal yang dikritikkan kepada pedangdut wanita generasi
terkini yakni perihal rendahnya musikalitas mereka.
2.7.1 Musikalitas
Wacana (48) memuat kritikan terhadap musikalitas pedangdut wanita masa
kini.
(48) Dangdut yang sekarang itu lebih mementingkan goyangan
daripada lagu. Teman-teman ada yang tahu lagunya Zaskia?
Tidak tahu. Kita tahunya dia goyang itik. Teman-teman tahu
lagunya Inul Daratista? Tidak tahu. Kita tahunya dia goyang
ngebor. Teman-teman tahu lagunya Angel Elga? Tidak tahu. Kita
tahunya dia mantan Rhoma Irama. (Abdur, show 15).
Comic mengeluhkan karya musik seniman dangdut masa kini yang lebih
identik dengan goyangannya, alih-alih lagu-lagunya. Hal ini ditunjukkan melalui
kalimat Dangdut yang sekarang itu lebih mementingkan goyangan daripada lagu.
Tuturan ini mengimplikasikan penjelasan berikut ini.
Dangdut merupakan salah satu dari genre seni musik Indonesia. Merunut
pada sejarahnya, dangdut adalah musik popular tradisional yang sebagian berasal
dari musik Hindustan, Melayu, dan Arab. Musik dangdut mengalami transformasi
menjadi kontemporer pada tahun akhir 1960-an. Rhoma Irama yang pertama kali
memperkenalkan dan menyebarluaskan musik dangdut kepada masyarakat
Indonesia (https://id.wikipedia.org/wiki/Dangdut ).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
Lagu-lagu yang digubahnya identik dengan nafas religi hingga bernuansa
kritis, baik yang ditujukan kepada khayalak maupun bagi para penguasa negeri.
Para pedangdut lain pada masa itu pun satu per satu bermunculan dan meramaikan
jagat hiburan tanah air. Lambat laun, lagu dangdut pun menjadi sangat populer di
tengah masyarakat. Dua unsur pokok yang dijunjung dan menjadi karakteristik
pedangdut pada masa itu: etika dan estetika.
Keberadaan musik dangdut dalam khazanah panggung hiburan Nusantara
masih terus terjaga hingga kini. Nahasnya, comic berpandangan, dangdut yang
diperkenalkan dan dibawakan oleh generasi 2000-an sangat kontradiktif dengan
karya-karya para seniman yang mendahuluinya. Para seniman dangdut era 2000-
an dianggap membiaskan dan mengaburkan esensi dari seni yang mereka
bawakan, sehingga secara ironis publik lebih mengenal mereka karena
goyangannya, alih-alih lagu yang mereka lantunkan. Sebut saja Inul Daratista
yang lebih dikenal karena goyang ngebor, Zaskia Gotik yang termahsyur akibat
goyangan itiknya, dan lain sebagainya. Sementara itu, pedangdut Angel Elga
terkenal karena hubungan asmaranya dengan Rhoma Irama.
2.8 Orangtua
Pola asuh orangtua dapat memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
anak. Sebagai contoh, kebiasaan para orangtua yang memberi represi dan
memaksakan kehendaknya terhadap anak untuk menggeluti bidang ilmu tertentu,
tanpa menimbang tingkat kercerdasan, minat, dan bakat sang anak, sering kali
dapat membebani dan mengganggu perkembangan anak. Pendidikan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
pembimbingan, dan pengasuhan yang baik kepada anak menjadi sangat penting
agar kelak dapat menjadi bekal sang anak untuk menjalani kehidupannya pada
masa yang akan datang. Oleh karena itu, diperlukan sikap kritis untuk membantu
mengkonstruksi perilaku orangtua dalam mengasuh dan mendidik anak.
Perhatikan beberapa wacana di bawah ini.
(49) Orangtua sekarang itu masih banyak yang berpikir bahwa anak
yang cerdas adalah anak yang pintar matematika, sedangkan
anak yang pintar di bidang lain itu enggak dibilang cerdas.
Sekarang gini, untuk orang-orang yang tidak mencintai
matematika, buat apa loe belajar matematika terlalu dalam.
Ingat, men, loe belajar matematika dari SD sampai SMA
persamaan linear dua variable enggak kepakai pas loe lagi beli
siomay. Ya kan? Ya kali gitu beli siomay.
O1: Bang, beli siomay. Bang, kalau siomay 1, tahunya 3 kan
tiga ribu. Kalau siomay 2, tahunya 5 kan lima ribu.
Berapakah harga satu siomay?
Ya, enggak gitu, kan? (Dzawin, show 8).
(50) Sampai sekarang masih banyak orangtua yang berpikir, anak
yang mendalami hobinya itu, itu nggak baik, orangtua nggak
senang. Karena banyak orangtua sekarang berpikir bahwa anak
SD lebih baik pintar matematika, anak SMP pintar fisika dasar,
anak SMA pintar kimia, mahasiswa pintar dialektika. Kalau
semua orang beranggapan seperti itu, terus bidang-bidang lain
siapa yang mau ngisi? Siapa yang mau ngisi? Ya, diisi sama
anak yang dulunya dianggap bodoh di sekolah yang bahkan
nggak naik kelas dua kali: Pras Teguh. Bidang lain mau diisi
sama siapa? Anak pinggiran, anak Betawi pinggiran yang
dulunya tukang ojek? Yang kalau omong apa-apa nyai, apa-apa
nyai. Bidang lain mau diisi sama siapa? Sama anak pesisir timur
yang datang ke Malang buat belajar, dan ketika datang ke
Jakarta, masuk hotel ngelihat air langsung teriak, “Eh, Dzawin,
Dzawin, sumber air su dekat.” Ya kan? Dan bidang lain mau
diisi sama siapa? Bidang lain diisi sama anak pesantren yang
dulunya hanya bisa dianggap hanya bisa ngaji dan ceramah,
padahal nggak bisa dua-duanya. (Dzawin, show 15).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
Sasaran tutur pada kedua wacana tersebut mengacu pada orangtua. Wacana
(49) ditunjukkan melalui kata Orangtua. Wacana (50) diungkapkan melalui kata
Orangtua. Adapun hal yang dikritikkan kepada orangtua adalah pola asuh
terhadap anak.
2.5.1 Pola Asuh terhadap Anak
Wacana berikut memuat kritikan terhadap pola asuh terhadap anak.
(51) Orangtua sekarang itu masih banyak yang berpikir bahwa
anak yang cerdas adalah anak yang pintar matematika,
sedangkan anak yang pintar di bidang lain itu enggak
dibilang cerdas. Sekarang gini, untuk orang-orang yang tidak
mencintai matematika, buat apa loe belajar matematika terlalu
dalam. Ingat, men, loe belajar matematika dari SD sampai SMA
persamaan linear dua variable enggak kepakai pas loe lagi beli
siomay. Ya kan? Ya kali gitu beli siomay.
O1: Bang, beli siomay. Bang, kalau siomay 1, tahunya 3 kan
tiga ribu. Kalau siomay 2, tahunya 5 kan lima ribu.
Berapakah harga satu siomay?
Ya, enggak gitu, kan? (Dzawin, show 8).
Wacana (52) mengandung kritikan atas pola asuh terhadap anak.
(52) Sampai sekarang masih banyak orangtua yang berpikir, anak
yang mendalami hobinya itu, itu nggak baik, orangtua nggak
senang. Karena banyak orangtua sekarang berpikir bahwa
anak SD lebih baik pintar matematika, anak SMP pintar
fisika dasar, anak SMA pintar kimia, mahasiswa pintar
dialektika. Kalau semua orang beranggapan seperti itu, terus
bidang-bidang lain siapa yang mau ngisi? Siapa yang mau ngisi?
Ya, diisi sama anak yang dulunya dianggap bodoh di sekolah
yang bahkan nggak naik kelas dua kali: Pras Teguh. Bidang lain
mau diisi sama siapa? Anak pinggiran, anak Betawi pinggiran
yang dulunya tukang ojek? Yang kalau omong apa-apa nyai,
apa-apa nyai. Bidang lain mau diisi sama siapa? Sama anak
pesisir timur yang datang ke Malang buat belajar, dan ketika
datang ke Jakarta, masuk hotel ngelihat air langsung teriak, “Eh,
Dzawin, Dzawin, sumber air su dekat.” Ya kan? Dan bidang lain
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
mau diisi sama siapa? Bidang lain diisi sama anak pesantren
yang dulunya hanya bisa dianggap hanya bisa ngaji dan
ceramah, padahal nggak bisa dua-duanya. (Dzawin, show 15).
Pada wacana (51), comic mengeluhkan sikap dan perilaku orangtua dalam
mengasuh dan menumbuhkembangkan kecerdasan anaknya, seperti memaksakan
kecerdesan dan minat anak pada bidang tertentu, misalnya matematika. Hal
tersebut ditunjukkan melalui tuturan Orangtua sekarang itu masih banyak yang
berpikir bahwa anak yang cerdas adalah anak yang pintar matematika,
sedangkan anak yang pintar di bidang lain itu enggak dibilang cerdas.
Seperti yang dilansir Kompas.com (3/10/15), disebutkan bahwa ada delapan
jenis kecerdasan anak. Kecerdasan itu meliputi word smart (kecerdasan
linguistik), number smart (kecerdasan logika atau matematis), self smart
(kecerdasan intrapersonal), people smart (kecerdasan interpersonal), music smart
(kecerdasan musikal), picture smart (kecerdasan spasial), body smart (kecerdasan
kinetik), dan nature smart (kecerdasan naturalis) (http://health.kompas.com/read/
2015/10/03/174041923/8.Jenis.Kecerdasan.Anak.dan.Cara.Mengembangkannya).
Setiap anak dapat memiliki tipe-tipe kecerdasan yang berbeda atau
menonjol pada kecerdasan tertentu. Berkenaan dengan hal ini, comic mengimbau
para orangtua agar tidak membabaskan anaknya pada bidang yang tidak sesuai
dengan kecerdasannya. Misalnya, anak-anak yang barangkali tidak meminati dan
membakati bidang matematika, namun dipaksa oleh orangtuanya untuk menekuni
bidang tersebut agar sang anak (dianggap atau menjadi) cerdas. Perkembangan
kecerdasan anak tidak saja terganggu, kebermanfaatan pengetahuan atau yang
dimiliki oleh sang anak pun menjadi tidak berguna dalam kehidupan sehari-hari.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
Parameter kecerdasan seseorang tidak hanya dapat diukur berdasarkan
kecakapannya dalam bidang matematika. Tugas orangtua adalah mengenali dan
membantu mengembangkan kecerdasan apapun yang dimiliki anaknya.
Pada wacana (52), comic mengkritisi pola asuh para orangtua yang
menuntut anaknya untuk menekuni bidang eksakta dan menentang minat dan
bakat anak dalam bidang lain. Hal tersebut ditunjukkan melalui tuturan Banyak
orangtua sekarang berpikir bahwa anak SD lebih baik pintar matematika, anak
SMP pintar fisika dasar, anak SMA pintar kimia, mahasiswa pintar dialektika.
Sikap tersebut dapat mendiskreditkan bidang lain serta anak yang
membakati atau meminati bidang lain tersebut. Comic mencontohkan dirinya dan
ketiga comic SUCI 4: Pras Teguh, David Nurbianto, dan Abdur Arsyad. Oleh
karena ketiganya, kecuali Abdur Arsyad –ketika itu sedang menempuh program
Magister Matematika– tidak berbekal kecerdasan matematis, lantas dianggap
bodoh, lalu terpaksa menekuni bidang keilmuan lain.
Kecerdasan itu bersifat majemuk. Setiap anak dilahirkan dengan kecerdasan,
bakat, dan minat yang beragam. Dengan demikian, tolok ukur kecerdasan anak
pun tidak hanya mengacu pada satu jenis kecerdasan atau bidang tertentu, dalam
hal ini kecerdasan logika atau matematis, sebagaimana pandangan umum
masyarakat yang diyakini oleh para orangtua. Guna mendukung pertumbuhan dan
perkembangan anak, orangtua tidak hanya harus mengetahui kecerdasan, bakat,
dan minat anaknya; orangtua juga harus membantu dan memfasilitasi anaknya
untuk menunjang kecerdasan, bakat, dan minat tersebut. Dengan demikian,
keberagaman bidang-bidang keilmuan dalam pendidikan formal, pendidikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
informal, dan pendidikan nonformal pun untuk mengakomodasi berbagai macam
kompetensi setiap anak.
2.9 Masyarakat Lokal
Setiap daerah di Indonesia memiliki bentuk persoalan yang berbeda dan
beragam. Tidak sedikit di antaranya berakar pada perilaku masyarakat. Misalnya,
pengentasan masalah banjir di beberapa kota-kota besar mengalami stagnansi,
yang di antaranya disebabkan oleh rendahnya kepedulian masyarakat untuk
menjaga kebersihan drainase, sungai, dan waduk. Oleh karena itu, agar
terciptanya lingkungan hidup dan sosial yang aman dan nyaman, diperlukan sikap
kritis oleh siapa saja untuk mengingatkan dan menyadarkan masyarakat untuk
memiliki kepedulian dan kecintaan pada lingkungan tempatnya berada, baik
dalam hubungannya dengan alam maupun dengan sesama manusia. Perhatikan
wacana-wacana di bawah ini.
(53) Di sini ada yang tahu tanjidor? Tanjidor itu musik asli Betawi
sejak tahun 1918. Nggak cuma musiknya yang tua, pemainnya
juga. Ini anak mudanya pada kemane? Loe kagak cukup
naroh aki-aki buat adzan subuh? Ini aki-aki kasihan. Pagi
adzan subuh, siang main tanjidor, ini Maghrib masih hidup sujud
syukur. (David, show 2).
(54) (Lagu: Buang sampah ke dalem kali. Kalo banjir, setenge mati).
Stop! Banjir setenge mati. Jakarta banjir salah siapa? Salah
kite. Tempat air loe tempatin. Zaman dulu Pitung bisa jalan di
air itu sakti. Salah. Pitung visioner. Zaman sekarang nemu orang
jalan di air mah banyak. Saban banjir kita jalan di air. Saktian
kita ama Pitung. Jalan di airnya rutin setahun sekali. (David,
show 14).
(55) Orang Betawi mah kenal pelem dari layar tancap. Untung
penonton layar tancap ini tertib, gelar koran, baris rapi, kagak
kayak nonton dangdut: rusuh. Yang nonton lulusan SSB,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
Sekolah Senggol Bacok. Senggol dikit berantem. Kita lagi joget
enak-enak. Ya elah.
O1: (disenggol) Woi...! Anak mana loe?
O2: Anak elu! Pulang, Pa! Emak nyariin ono. (David, show 5).
Sasaran tutur pada ketiga wacana tersebut mengacu pada masyarakat lokal.
Wacana (53) ditunjukkan dalam tuturan Anak mudanya dan Loe kagak cukup
naroh aki-aki buat adzan subuh. Tuturan ini mengimplikasikan kaum muda
Betawi sebagai sasaran kritik comic. Wacana (54) ditandai melalui tuturan Jakarta
banjir salah siapa? Salah kite. Tuturan ini mengimplikasikan masyarakat Jakarta
sebagai sasaran kritik. Wacana (55) diungkapkan melalui tuturan kagak kayak
nonton dangdut dan Yang nonton SSB, Sekolah Senggol Bacok. Tuturan ini
mengimplikasikan masyarakat penonton pertunjukan dangdut. Adapun kelompok
masyarakat ini identik dengan tindakan kekerasan saat sedang menyaksikan
pertunjukan musik dangdut.
Hal yang dikritikkan kepada masyarakat lokal adalah sebagai berikut.
Pertama, sikap apatis pemuda Betawi pada kesenian tanjidor. Kedua, kesadaran
masyarakat Jakarta dalam penanganan banjir. Ketiga, perilaku penonton dangdut.
Keempat, stigma buruk masyarakat terhadap orang kurus.
2.9.1 Sikap Apatis Pemuda Betawi pada Tanjidor
Wacana (56) berikut memuat kritikan terhadap sikap apatis pemuda Betawi
pada kesenian tanjidor.
(56) Di sini ada yang tahu tanjidor? Tanjidor itu musik asli Betawi
sejak tahun 1918. Nggak cuma musiknya yang tua, pemainnya
juga. Ini anak mudanya pada kemane? Loe kagak cukup
naroh aki-aki buat adzan subuh? Ini aki-aki kasihan. Pagi adzan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
subuh, siang main tanjidor, ini Maghrib masih hidup sujud
syukur. (David, show 2).
Comic mengkritisi sikap ketidakpedulian anak muda Betawi pada kesenian
tanjidor. Hal tersebut diterangkan melalui tuturan Ini anak mudanya pada kemane.
Tanjidor adalah sebuah kesenian Betawi berbentuk orkes. Tanjidor
umumnya dipakai pada perhelatan masyarakat Betawi, seperti mengiringi
pengantin atau pesta cap gomeh di kalangan Cina Betawi (https://id.wikipedia.
org/wiki/Tanjidor). Pemain tanjidor ini umumnya berasal dari kelompok
masyarakat Betawi yang sudah memasuki usia senja. Demikian pun dengan para
penikmatnya.
Sejak pertama kali muncul pada tahun 1918, tanjidor berkembang menjadi
salah satu kesenian yang digandrungi oleh masyarakat Betawi. Bersama ondel-
ondel, tanjidor menjadi ikon dan identitas kultur masyarakat Betawi. Nahasnya,
dewasa ini kebudayaan ini tengah mengalami situasi yang muskil. Eksistensi
tanjidor dalam khazanah kebudayaan Betawi mengalami dekadensi: mulai
ditinggalkan dan dilupakan. Meregenerasi seniman gaek tanjidor dengan kaum
muda sebagai usaha konservatif agar menjadi budaya sintas pun mengalami
kendala. Comic menyayangkan mentalitas dan inisatif anak muda Betawi yang
acuh tak acuh pada kesenian tersebut. Tidak hanya itu, aktivitas keagamaan dalam
lingkungan masyarakat Betawi, seperti shalat-shalat di tempat ibadah sering kali
dikumandangkan oleh tetua-tetua masyarakat Betawi, alih-alih para kawula
mudanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
2.9.2 Kesadaran Masyarakat Jakarta dalam Penanganan Banjir
Wacana di bawah ini memuat kritikan terhadap kesadaran masyarakat
Jakarta dalam penanganan banjir.
(57) (Lagu: Buang sampah ke dalem kali. Kalo banjir, setenge
mati). Stop! Banjir setenge mati. Jakarta banjir salah siapa?
Salah kite. Tempat air loe tempatin. Zaman dulu Pitung bisa
jalan di air itu sakti. Salah. Pitung visioner. Zaman sekarang
nemu orang jalan di air mah banyak. Saban banjir kita jalan di
air. Saktian kita ama Pitung. Jalan di airnya rutin setahun sekali.
(David, show 14).
Hal yang dikritikkan comic ditandai melalui tuturan Buang sampah ke
dalem kali dan Tempat air loe tempatin. Tuturan Buang sampah ke dalem kali
mengimplikasikan rendahnya kesadaran dan ketertiban masyarakat Jakarta dalam
menjaga kebersihan lingkungan alam. Tuturan Tempat air loe tempatin
mengimplikasikan Jakarta sebagai kawasan yang rentan terhadap genangan air.
Nahasnya, kesadaran masyarakat pun terbilang rendah, sehingga masih banyak
masyarakat yang tetap menempati kawasan ini.
Merunut pada aspek historis dan geologisnya, permasalahan banjir dan
genangan air di Jakarta telah berlangsung lama sejak zaman pemerintahan
Kolonial Belanda, dan penanganannya pun hingga kini tidak kunjung usai.
Sebagian daratan pada kawasan Jakarta juga merupakan dataran rendah yang pada
zaman dulu merupakan rawa-rawa yang dikepung banyak sungai. Rawa-rawa itu
dikeringkan dan dijadikan hunian. Akibatnya, kawasan untuk resapan air justru
mengirim lebih banyak air permukaan ke Jakarta. Kedudukan permukaan tanah di
Jakarta juga mengalami penurunan pada kisaran 4-20 sentimeter per tahun.
(http://sains.kompas.com/read/2013/01/18/9141229/Bagi.Jakarta.Banjir.Seolah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
Menjadi.Takdir).
Menilik pada realitas ini, comic pun mengungkapkan bahwa Jakarta
memang merupakan kawasan genangan air dan masyarakat Jakarta terlalu
gegabah untuk menempati daerah tersebut.
2.9.3 Perilaku Penonton Dangdut
Wacana (58) berisi kritikan terhadap perilaku kasar penonton dangdut.
(58) Orang Betawi mah kenal pelem dari layar tancap. Untung
penonton layar tancap ini tertib, gelar koran, baris rapi. Kagak
kayak nonton dangdut: rusuh. Yang nonton lulusan SSB,
Sekolah Senggol Bacok. Senggol dikit berantem. Kita lagi
joget enak-enak. Ya elah.
O1: (disenggol) Woi...! Anak mana loe?
O2: Anak elu! Pulang, Pa! Emak nyariin ono. (David, show 5).
Comic mengeluhkan tabiat penonton konser dangdut yang identik dengan
perkelahian saat menyaksikan pertunjukan dangdut. Implikasi kebanalan penonton
dangdut tersebut ditunjukkan melalui tuturan Kagak kayak nonton dangdut:
rusuh. Yang nonton lulusan SSB, Sekolah Senggol Bacok. Senggol dikit berantem.
Prevalensi kerusuhan dalam konser dangdut terus terjadi. Kegaduhan itu
akibat sifat eksplosif serta tingginya antusiasme dan dinamika pentonton –karena
harus bergoyang saat menikmati dendangan lagu– sehingga sentuhan atau gesekan
antarpenonton pun menjadi hal yang mutlak, terutama jika sebelumnya sudah
menenggak minuman keras dan sedang di bawah pengaruhnya. Senggolan itu pun
sering kali dianggap sebagai tindakan intimidatif dan provokatif. Perkelahian
hingga kerusuhan pun sering kali tidak terhindarkan.
Berikut ini adalah salah satu contoh kasus kerusuhan dalam konser dangdut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
Detik.com (28/8/12) mengabarkan, dua kelompok pemuda di Desa Karangtawar,
Kecamatan Laren, Lamongan Jawa Timur terlibat tawuran saat konser musik
dangdut dalam rangka memperingati HUT ke-67 RI, Senin (27/8) sore. Tawuran
dipicu saling ejek antarkelompok pemuda hingga terjadi aksi saling lempar
(http://tv.detik.com/readvideo/2012/08/28/092238/120828019/ 080609680/ rusuh-
konser-dangdut).
Comic mengimbau para penonton dangdut untuk mencontoh laku para
penonton layar tancap. Ketertiban dan kerapian adalah yang hal yang dijunjung
penonton layar tancap untuk menciptakan situasi yang aman dan nyaman saat
menikmati tontonan yang disajikan.
2.9.4 Tingkah Laku Pelajar Bintaro
Wacana (59) berikut memuat kritikan atas tingkah laku pelajar Bintaro.
(59) Nih ya, gua kasih tahu. Anak-anak Cilincing tekun-tekun,
maksudnya nurut, nggak kayak di daerah gua, Masya Allah,
anak sekolahnya bandel bener. Anak kecil di sekolahan gue,
cewek-ceweknya kalau nongkrong pakai baju you can see. Ya
Allah, kita gerah kalau ngelihatin yang kayak gitu, you can see.
Kita samperin; kita omelin.
O1: Neng, mohon maaf nih. Kenape pakai baju you can see?
O2: Bang, mohon maaf nih Bang. Aye mendingan pakai baju
you can see daripada you can touch.
Ya Allah gue kesel, gua marahin.
O1: Eh, anak sape loe? Pulang sono!
O2: Ngapain, Bang?
O1: Ganti you can touch. (David, show 7)
Comic penutur wacana (59) adalah David, yang berasal dari Bintaro, Jakarta
Selatan. Wacana di atas disampaikannya di hadapan para siswa SMAN 52 Jakarta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
di kawasan Cilincing, Jakarta Utara. Sasaran kritik comic adalah pelajar Bintaro,
yang ditandai melalui tuturan nggak kayak di daerah gua, Masya Allah, anak
sekolahnya bandel bener.
Hal yang dikritik pada wacana ini adalah perihal tingkah laku pelajar
Bintaro. Kritikan tersebut ditunjukkan melalui tuturan Anak kecil di sekolahan
gue, cewek-ceweknya kalau nongkrong pakai baju you can see. Adapun tuturan
pada frasa baju you can see mengimplikasikan masalah tingkah laku pelajar yang
dimaksud, karena merunut pada konteks etika sosial, baju you can see atau baju
tanpa lengan dianggap tidak memenuhi kaidah kesopanan.
2.9.5 Stigma Masyarakat terhadap Orang Kurus
Wacana berikut ini memuat kritikan atas stigma masyarakat terhadap orang
kurus.
(60) Selain diejek kecil, saya juga sering diejek kurus. Dan orang-
orang itu melihat orang kurus itu cacingan. Tapi. Betulan, itu
salah. Itu pendapat yang salah. Itu pendapat yang salah.
Hilangkan. Orang kurus itu ndak cacingan. Orang kurus itu ndak
cacingan. Tunggu dulu, kenapa gatal pantatku? (Sri, pre show 1).
Comic mengkritisi pandangan masyarakat bahwa orang kurus identik
dengan penyakit cacingan. Implikasi kritikan ini ditandai melalui tuturan Orang-
orang itu melihat orang kurus itu cacingan. Tuturan ini juga mengimplikasikan
comic penutur wacana ini merupakan penderita cacingan karena bertubuh kurus.
Cacingan merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing. Gejala umum
yang terlihat secara kasat mata pada penderita cacing biasanya badan (menjadi)
kurus dan perut membuncit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
Comic memiliki ukuran tubuh yang kurus. Akibatnya, ia tidak hanya diejek
kurus; ia juga selalu disangka sebagai penderita cacingan. Dengan tegas, comic
menampik sangkaan itu. Pada dasarnya, orang kurus disebabkan oleh berbagai
macam hal, bukan karena cacingan semata. Tuturan comic bermaksud untuk
memperbaiki cara pandang masyarakat dengan tidak menaruh sikap apriori
terhadap orang kurus.
Nahasnya, setelah comic menyatakan dirinya bebas dari penyakit cacingan,
ia justru mengungkapkan tuturan Tunggu dulu, kenapa gatal pantatku? Tuturan
ini mengimplikasikan comic ternyata penderita cacingan. Adapun gejala lainnya
yang dirasakan penderita penyakit ini adalah gatal-gatal di sekitar area dubur. Hal
ini juga berarti penonton telah dibohonginya. Akan tetapi, tanpa mengaburkan
sikap kritis comic, tuturan pada akhir wacana ini pun hanya pretensi comic untuk
menciptakan efek humor bagi penonton.
2.10 Masyarakat Luas
Masyarakat Indonesia sering kali dikepung oleh persoalan kolektif.
Rendahnya kepekaan dan kepedulian social serta tingkat akses informasi
masyarakat yang minim adalah beberapa penyebab masalah bersama tersebut.
Penyelesaian setiap masalah ini pun harus dilakukan secara bersama-sama oleh
masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, dibutuhkan sikap kritis untuk
mengingatkan, menyadarkan, dan menggerakkan masyarakat untuk bahu-
membahu mengentaskannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
(61) Jadilah pemilih yang kritis. Gampang belajar kritis mah ama
komentator bola tarkam. Ada yang tahu? Antarkampung. Ini
komentator kritis banget. Dia ngenalin pemain nggak cuma
namanya. Dia kenal nama sama aibnya.
O1: Nomor punggung sepuluh, Zaenudin. Wah, ini bininya tiga
nih.
O1: Nomor punggung duapuluh, Bambang. Ya elah Bambang,
cieh abis ketahuan selingkuh. (David, show 6).
(62) Saya tuh lagi kesel banget sama orang-orang yang main
handphone. Orang zaman sekarang itu lebih senang ngobrol di
aplikasi messenger daripada ngomong di kehidupan nyata.
Kayak saya itu punya temen-temen saya yang merantau ke
mana-mana itu punya grup What‟s Ap. Itu kalau ngobrol di grup
What‟s Ap itu seru banget. “Eh, nanti kita kalau ketemu, kita
ngobrol bareng, ya. Kita ngopi bareng. Kita berenang di langit.”
Tapi kalau pas ketemu langsung, semuanya pada main
handphone, What‟s Ap-an gitu kan.
O1: Dzi, aku minta jus kamu dong.
O2: Ya elah, tinggal minta langsung aja kali. Ngapain lewat
What‟s Ap?
O1: Oke, Dzi.
O1: Dzi, cek What‟s Ap. (Hifdzi, show 9).
(63) Tapi gitu, gue ngelihat tenaga kesehatan dan dokter di
Indonesia kurang dihargai. Yang klise aja nih ya, misalnya
habis operasi, “Bapak, operasinya berhasil.” “Terima kasih,
Tuhan.” Tapi, kalau kejadiannya lain. “Bapak, kami telah
berusaha, tapi anak Bapak tidak bisa selamat dalam operasi ini.”
“Dokter melakukan malpraktek! Dokter melakukan
malpraktek!” Tuh. Kalau berhasil, yang diterimkasihin Tuhan;
kalau gagal yang disalahi dokter. Mungkin orang-orang lupa,
tangan Tuhan bekerja lewat siapa. Maradona, tangan Tuhan.
(Liant, show 6).
Sasaran tutur pada ketiga wacana tersebut mengacu pada masyarakat luas.
Wacana (61) diungkapkan melalui tuturan Jadilah pemilih yang kritis. Tuturan ini
mengimplikasikan masyarakat umum yang memiliki hak memilih pada Pemilihan
Legislatif dan Pemilihan Presiden pada 2014 silam. Wacana (62) ditandai melalui
frasa Orang-orang yang main handphone. Wacana ini mengimplikasikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
masyarakat yang gemar bersosialisasi melalui perangkat komunikasi telepon
seluler. Wacana (63) ditunjukkan melalui tuturan gue ngelihat tenaga kesehatan
dan dokter di Indonesia kurang dihargai. Tuturan ini mengimplikasikan
masyarakat sebagai sasaran kritik comic karena selaku pengguna jasa dan layanan
kesehatan.
Hal yang dikritikkan kepada masyarakat luas adalah sebagai berikut.
Pertama, sikap politik dalam Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden 2014.
Kedua, minimnya penghargaan terhadap dokter. Ketiga, sikap individualistis
akibat penggunaan handphone.
2.10.1 Sikap Politik dalam Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden 2014
Wacana berikut berisi kritikan terhadap sikap politik masyarakat dalam
perhelatan Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden 2014.
(64) Jadilah pemilih yang kritis. Gampang belajar kritis mah ama
komentator bola tarkam. Ada yang tahu? Antarkampung. Ini
komentator kritis banget. Dia ngenalin pemain nggak cuma
namanya. Dia kenal nama sama aibnya.
O1: Nomor punggung sepuluh, Zaenudin. Wah, ini bininya tiga
nih.
O1: Nomor punggung duapuluh, Bambang. Ya elah Bambang,
cieh abis ketahuan selingkuh. (David, show 6).
Comic mengimbau masyarakat untuk bersikap kritis dalam menjatuhkan
preferensi politiknya pada perhelatan Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) dan
Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 2014 silam. Hal tersebut diungkapkan melalui
tuturan Jadilah pemilih yang kritis.
Perpolitikan nasional mengalami kegaduhan menjelang Pemilu 2014. Dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
kampanye dan debat capres-cawapres, baik para kandidat, tim sukses, dan para
pendukung saling melakukan intrik dan intimidasi. Sementara itu, di kompleks
parlemen (gedung MPR/DPR/DPD) di Senayan, beberapa anggota DPR ada yang
dimejahijaukan akibat terlilit kasus hukum.
Melihat realitas tersebut, comic menyarankan rakyat Indonesia untuk
menjadi pemilih yang cerdas dan berhati-hati dalam menentukan pilihannya pada
pasangan capres-cawapres dan caleg yang bertarung dalam Pemilu. Serupa
komentator bola tarkam yang memiliki kemampuan mengenali persona (terutama
aib) para pemain sepak bola, comic bermaksud mengajak masyarakat untuk
mengetahui rekam jejak para kandidat yang akan dipilih guna memperbaiki
kualitas pemerintah dan parlemen Indonesia.
2.10.2 Minimnya Penghargaan terhadap Dokter
Wacana (65) memuat kritikan terhadap minimnya penghargaan masyarakat
atas jasa dokter Indonesia.
(65) Tapi gitu, gue ngelihat tenaga kesehatan dan dokter di
Indonesia kurang dihargai. Yang klise aja nih ya, misalnya
habis operasi, “Bapak, operasinya berhasil.” “Terima kasih,
Tuhan.” Tapi, kalau kejadiannya lain. “Bapak, kami telah
berusaha, tapi anak Bapak tidak bisa selamat dalam operasi ini.”
“Dokter melakukan malpraktek! Dokter melakukan
malpraktek!” Tuh. Kalau berhasil, yang diterimkasihin Tuhan;
kalau gagal yang disalahi dokter. Mungkin orang-orang lupa,
tangan Tuhan bekerja lewat siapa. Maradona, tangan Tuhan.
(Liant, show 6).
Comic mengeluhkan kurangnya penghargaan masyarakat Indonesia atas
hasil kerja jasa tenaga kesehatan Indonesia, secara khusus dokter. Hal ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
ditunjukkan melalui tuturan Tenaga kesehatan dan dokter di Indonesia kurang
dihargai.
Sebagai contoh, comic menyebut perilaku diskriminasi pasien beserta
keluarganya kepada dokter. Para pengguna jasa kesehatan sering kali
melayangkan tuduhan hingga pengajuan somasi jika dokter tidak mampu
mengobati atau menyelamatkan nyawa pasien. Dokter dianggap melakukan
kelalaian medis apabila pengobatannya tidak menuai kesembuhan atau
keselamatan pada pasien. Sebaliknya, jika pasien sembuh, keluarga pasien
pertama-tama mengucap terima kasih kepada Tuhan, alih-alih dokter yang telah
berusaha mengobati dan menyembuhkannya.
2.10.3 Sikap Individualistis akibat Penggunaan Handphone
Wacana berikut memuat kritikan terhadap sikap individualistis masyarakat
akibat penggunaan handphone (telepon seluler).
(66) Saya tuh lagi kesel banget sama orang-orang yang main
handphone. Orang zaman sekarang itu lebih senang ngobrol
di aplikasi messenger daripada ngomong di kehidupan
nyata. Kayak saya itu punya temen-temen saya yang merantau
ke mana-mana itu punya grup What‟s Ap. Itu kalau ngobrol di
grup What‟s Ap itu seru banget. “Eh, nanti kita kalau ketemu,
kita ngobrol bareng, ya. Kita ngopi bareng. Kita berenang di
langit.” Tapi kalau pas ketemu langsung, semuanya pada main
handphone, What‟s Ap-an gitu kan.
O1: Dzi, aku minta jus kamu dong.
O2: Ya elah, tinggal minta langsung aja kali. Ngapain lewat
What‟s Ap?
O1: Oke, Dzi.
O1: Dzi, cek What‟s Ap. (Hifdzi, show 9).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
Comic mengkritisi perilaku individualistis ihwal rendahnya interaksi sosial
secara langsung masyarakat dewasa ini akibat gemar berkomunikasi melalui
telepon seluler (ponsel) pintar. Hal ini diungkapkan melalui tuturan Orang zaman
sekarang itu lebih senang ngobrol di aplikasi messenger daripada ngomong di
kehidupan nyata dan Tapi kalau pas ketemu langsung, semuanya pada main
handphone.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Google, pengguna ponsel pintar di
Indonesia didominasi oleh aktivitas di media sosial dan bertukar pesan melalui
aplikasi pepesan instan (http://tekno.kompas.com/read/2015/11/19/23084827/
Mau.Tahu.Hasil.Riset.Google.Soal.Penggunaan.Smartphone.di.Indonesia). Akibat
buruk dari kebiasaan berkomunikasi melalui ponsel adalah minimnya interaksi
sosial secara langsung
Comic pun mengalami kenyataan itu. Melalui ilustrasinya, comic
menggambarkan potret laku masyarakat pengguna ponsel. Kebiasaan
berkomunikasi melalui ponsel tidak hanya dapat mengganggu kepekaan terhadap
lingkungan sosial individu itu berada, namun juga dapat mereduksi kebiasaan
berkomunikasi secara lisan terhadap orang-orang yang berada di sekitarnya.
2.11 Persepakbolaan
Persepakbolaan Indonesia tengah mengalami krisis. Krisis itu di antaranya
seret prestasi, kualitas pemain dan perangkat pertandingan (wasit), hingga
kekisruhan dalam pertandingan.
Perihal krisis, persepakbolaan dunia pun mengalami persoalan yang sama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
Sebut saja diskriminasi serta kekerasan fisik dan verbal, baik yang melibatkan
pemain, perangkat pertandingan, maupun pendukung. Sebagai olahraga yang
dimiliki masyarakat dunia, tidak terkecuali rakyat Indonesia, upaya dan sikap
kritis-konstruktif pun perlu dilakukan untuk membangun persepakbolaan tanah air
maupun dunia menjadi lebih baik.
(67) Selain jadi comic, gua juga seneng sepak bola. Di sini ada fans
Barcelona? Gua kasih tahu, Barcelona ini memiliki taktik yang
nggak dimiliki sama klub-klub lain: tiki-taka. Tiki-taka ini
permainan dari kaki ke kaki, dari Xavi ke Iniesta, Iniesta ke
Messi, gol. Keren kan. Dan, sebenarnya Indonesia memiliki
taktik juga, tapi nggak dimiliki sama negara-negara lain: teka-
teki. Karena dia nggak bakal tahu ngoper ke mana. (Pras Teguh,
pre show 1).
(68) Tapi, emang menurut gua, wasit itu harus tegas. Loe lihat di
Piala Dunia, kalau ngasih kartu kuning ya ngasih aja. Wasit
Indonesia ragu-ragu. Pelanggaran:
O1: Hei! Aduh kasih nggak ya? Kasih nggak ya?
O2: Apa, kartu?
O1: Ha? Enggak, gatel. (Pras Teguh, show 15)
(69) Tapi sebenarnya, jujur, gua kurang suka sama bola, gua kurang
suka nonton bola, nggak suka bahkan. Karena kalau menurut
gua, bola itu penuh dengan provokasi. Loe lihat kemarin itu
ada kasus Materazzi disundul sama Zidane. Itu karena
Materazzi memprovokasi Zidane.
O1: Eh, Zidane, ibu kamu teroris ya?
Zidane masih sabar.
O1: Eh, Zidane, adik kamu teroris ya?
Zidane masih sabar.
O1: Eh, Zidane, Bapak kamu tukang siomay ya?
O2: Eh, anjir, gua digombalin. Derrr (menanduk dada O
1)
(Dzawin, show 15).
Sasaran tutur pada ketiga wacana tersebut mengacu pada insan
persepakbolaan nasional dan internasional. Wacana (67) ditunjukkan dalam kata
Indonesia. Tuturan ini mengimplikasikan tim nasional (timnas) sepak bola
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
Indonesia. Wacana (68) diungkapkan melalui frasa Wasit Indonesia. Wacana (69)
ditandai melalui tuturan (1) bola itu penuh dengan provokasi, (2) Materazzi, dan
(3) Zidane. Ketiga tuturan tersebut mengimplikasikan kasus provokasi berbau isu
suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang dilakukan oleh pemain
bertahan timnas Italia, Marco Materazzi terhadap Zinedine Zidane, gelandang
sekaligus kapten timnas Perancis pada babak final Piala Dunia 2006.
Hal yang dikritikkan kepada persepakbolaan nasional dan internasional
adalah sebagai berikut. Pertama, kualitas permainan timnas sepak bola Indonesia.
Kedua, kualitas wasit sepak bola Indonesia. Ketiga, tindakan provokasi dalam
sepak bola.
2.11.1 Kualitas Permainan Timnas Indonesia
Wacana (70) mengandung kritikan terhadap kualitas permainan kualitas
timnas Indonesia.
(70) Selain jadi comic, gua juga seneng sepak bola. Di sini ada fans
Barcelona? Gua kasih tahu, Barcelona ini memiliki taktik yang
nggak dimiliki sama klub-klub lain: tiki-taka. Tiki-taka ini
permainan dari kaki ke kaki, dari Xavi ke Iniesta, Iniesta ke
Messi, gol. Keren kan. Dan, sebenarnya Indonesia memiliki
taktik juga, tapi nggak dimiliki sama negara-negara lain:
teka-teki. Karena dia nggak bakal tahu ngoper ke mana.
(Pras Teguh, pre show 1).
Comic mengkritisi strategi dan kualitas permainan timnas sepak bola
Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan dalam tuturan Sebenarnya Indonesia memiliki
taktik juga, tapi nggak dimiliki sama negara-negara lain: teka-teki. Karena dia
nggak bakal tahu ngoper ke mana.
Indonesia seret prestasi dalam kancah persepakbolaan internasional sejak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
dua dekade terkini. Terakhir kali timnas sepak bola Indonesia meraih juara yakni
dalam ajang SEA Games pada 1991. Comic berasumsi bahwa penyebab kegagalan
sepak bola Indonesia karena salah menerapkan strategi permainan dan bahkan
telah menjadikannya sebagai identitas sepak bola tanah air. Comic menamai taktik
itu teka-teki. Menurut comic, taktik ini layaknya menebak sebuah enigma: penuh
misteri, rahasia, terkaan, dan pertanyaan. Demikian halnya dengan permainan
sepak bola Indonesia: antarpenggawa timnas Indonesia menyimpan teka-teki, dan
menebak-nebak ke arah mana atau kepada siapa bola yang sedang dalam kendali
rekan timnya akan dituju. Bola operan pun tidak jarang jatuh pada kubu lawan
atau bahkan meninggalkan lapangan pertandingan.
2.11.2 Kualitas Wasit Indonesia
Wacana berikut ini berisi kritikan terhadap kualitas wasit sepak bola
Indonesia.
(71) Tapi, emang menurut gua, wasit itu harus tegas. Loe lihat di
Piala Dunia, kalau ngasih kartu kuning ya ngasih aja. Wasit
Indonesia ragu-ragu. Pelanggaran:
O1: Hei! Aduh kasih nggak ya? Kasih nggak ya?
O2: Apa, kartu?
O1: Ha? Enggak, gatel. (Pras Teguh, show 15).
Comic mengkritisi kualitas wasit sepak bola Indonesia dalam memimpin
dan menjalankan pertandingan. Hal tersebut ditunjukkan melalui kalimat Wasit
Indonesia ragu-ragu. Tuturan ini mengimplikasikan ketidaktegasan sikap wasit
Indonesia dalam mengambil sebuah keputusan pada pertandingan sepak bola.
Dalam perhelatan kompetisi sepak bola nasional pada setiap divisi,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
kepemimpinan wasit selalu dikeluhkan oleh para peserta kompetisi. Tidak jarang
penampilan wasit di atas lapangan pun memicu perdebatan bagi tim yang
bertanding. Keputusannya pun sering kali mengernyitkan dahi pemain, pelatih,
hingga kubu pendukung. Rendahnya kualitas penyelenggaraan sepak bola
Indonesia sebagai salah satu dampak dari minimnya kompetensi para wasit.
Akibatnya, pertandingan yang bergulir pun tidak jarang jauh dari rasa adil dan
bersih.
Sebagai contoh, comic menyoroti kualitas wasit Indonesia melalui dialog.
Pada dialog tersebut, O1 (wasit) digambarkan tidak tegas dalam menentukan sikap
untuk memberi kartu kuning pada O2 (pemain) yang melakukan pelanggaran.
Akibat mendapat intimidasi O2, O
1 menjadi takut. Lantas, O
1 pun mengurungkan
niatnya untuk memberi hukuman pada O2.
2.11.3 Tindakan Provokasi
Wacana (72) berikut memuat kritikan terhadap tindakan provokasi dalam
dunia sepak bola.
(72) Tapi sebenarnya, jujur, gua kurang suka sama bola, gua kurang
suka nonton bola, nggak suka bahkan. Karena kalau menurut
gua, bola itu penuh dengan provokasi. Loe lihat kemarin itu
ada kasus Materazzi disundul sama Zidane. Itu karena Materazzi
memprovokasi Zidane.
O1: Eh, Zidane, ibu kamu teroris ya?
Zidane masih sabar.
O1: Eh, Zidane, adik kamu teroris ya?
Zidane masih sabar.
O1: Eh, Zidane, Bapak kamu tukang siomay ya?
O2: Eh, anjir, gua digombalin. Derrr (menanduk dada O
1)
(Dzawin, show 15).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
Comic mengeluhkan maraknya berbagai tindakan provokasi di dalam sepak
bola. Hal ini diungkapkan melalui tuturan Karena kalau menurut gua, bola itu
penuh dengan provokasi. Pada wacana di atas, comic mencontohkan kisah
tandukan keras Zidane, kapten Timnas Perancis, ke dada Materazzi, bek Timnas
Italia, pada partai final Piala Dunia 2006. Tindakan Zidane dipicu oleh ucapan
Materazi yang tertuju kepadanya. Tuturan tersebut –yang diduga berunsur SARA–
menyulut emosi Zidane, yang lantas menandukkan kepalanya tepat pada dada
Materazzi hingga jatuh tersungkur dan terkapar beberapa saat di atas lapangan.
Kisah itu pun menjadi salah satu drama sekaligus kisah kontroversial dalam
sejarah sepak bola modern.
Keengganan comic menyukai sepak bola disebabkan oleh maraknya
kontroversi dan friksi yang terjadi pada cabang olahraga ini. Namun, upaya-upaya
menanggulangi berbagai entitas kekerasan, seperti kampanye antidiskriminasi
(SARA) telah dilakukan dan terus digalakkan oleh federasi sepak bola negara-
negara di dunia.
2.12 Institusi Pendidikan
Institusi pendidikan merupakan lembaga formal negara yang
menyelenggarakan pendidikan, baik yang berbasis sekolah atau madrasah pada
pendidikan dasar dan menengah serta perguruan tinggi pada pendidikan tinggi.
Secara umum, institusi pendidikan berperan dan bertanggung jawab pada
pembangunan dan pengembangan kecerdasan intelektual maupun karakter atau
kepribadian yang berbudaya, berakhlak, dan bermoral bagi peserta didik. Oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
karena itu, diperlukan sikap kritis untuk menilai dan mengawasi proses
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia guna meningkatkan mutu pendidikan itu
sendiri. Perhatikan ketiga wacana di bawah ini.
(73) Sebenarnya malam hari ini tuh saya kepingin sekali berada di
panggung ini, kemudian bawa sasando, alat musik asli NTT
begitu. Cuma apa daya, saya tidak bisa main sasando. Teman-
teman, di NTT sekalipun belajar sasando itu tidak masuk
dalam kurikulum. Tidak masuk. Sedikit lagi masuk museum
itu. Saya takutnya, ini lama-kelamaan sasando itu hanya bisa
tinggal cerita. Saya punya anak begitu, kemudian saya punya
anak datang, tanya ke saya.
O1: Bapa, katanya sasando itu alat musik NTT. Itu dia pung
cara main bagaimana e?
O2: Ah, dia punya cara main itu, anak, ya begitu.
O1: Ya begitu bagaimana?
O2: Ya, begitu. Ya, kalau gitar kan begini (sambil memetik
gitar). Nah, gitar begini. Nah, sasando begitu.
O2: Ah, sudah anak. Tidak usah pikir. Mari kita minum tuak saja.
(Abdur, show 14).
(74) Tapi, kalau loe sadar ya, kalau loe sadari, sebenarnya MOS itu
bukan ajang untuk perkenalan sekolah, tapi dipakai sama
senior-senior ini dipakai untuk ajang obral cinta, tebar
pesona, modus. Iya. Kan kalau kita disuruh pakai aksesoris
kalau aksesorisnya nggak lengkap itu kita dihukum ya. Coba
kalau yang dihukum itu cewek, cantik, terus hidung mancung,
kayak Nabila gitu lah, eh Nadia, kayak Nadia gitu, ya kan.
O1: Eh, kamu. Kenapa aksesoris kamu enggak lengkap?
O2: Maaf, Kak, tadi ketinggalan.
O1: Enggak ada alesan. Kamu harus dihukum!
O2: Hukumannya apa, Kak?
O1: Nanti kakak kasih tahu lewat SMS. Mana nomor kamu?
(Dzawin, show 7).
(75) Eh, loe tahu nggak sih, dari sekian banyak makanan nusantara,
makanan yang paling enak itu adalah makanan pesantren.
Kenapa? Karena makanan pesantren itu bergizi, men,
bergizi rendah. Pagi-pagi kita makan nasi, tahu, kerupuk;
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
siang-siang kita makan nasi, tempe, kerupuk; malam-malam kita
makan hati, men. Makannya itu-itu mulu. (Dzawin, show 3).
Sasaran kritik pada ketiga wacana tersebut mengacu pada institusi
pendidikan. Wacana (73) ditunjukkan dalam tuturan di NTT sekalipun belajar
sasando itu tidak masuk dalam kurikulum. Tuturan ini mengimplikasikan institusi
pendidikan selaku salah satu pihak yang memiliki wewenang dalam menyusun
dan menjalankan kurikulum pendidikan. Wacana (74) ditunjukkan melalui tuturan
sebenarnya MOS itu bukan ajang untuk perkenalan sekolah, tapi dipakai sama
senior-senior ini dipakai untuk ajang obral cinta, tebar pesona, modus. Tuturan
ini mengimplikasikan institusi pendidikan sebagai pelaksana dan penanggung
jawab atas penyelewengan pelaksanaan masa orientasi siswa (MOS). Wacana (75)
diungkapkan melalui tuturan Karena makanan pesantren itu bergizi, men, bergizi
rendah. Tuturan ini mengimplikasikan pesantren sebagai sasaran kritik.
Hal yang dikritikkan kepada institusi pendidikan adalah sebagai berikut.
Pertama, ketiadaan pembelajaran kesenian sasando. Kedua, pelaksanaan Masa
Orientasi Siswa. Ketiga, kualitas gizi di pesantren.
2.12.1 Ketiadaan Pembelajaran Sasando
Wacana (76) berikut mengandung kritikan atas ketiadaan pembelajaran
kesenian sasando.
(76) Sebenarnya malam hari ini tuh saya kepingin sekali berada di
panggung ini, kemudian bawa sasando, alat musik asli NTT
begitu. Cuma apa daya, saya tidak bisa main sasando. Teman-
teman, di NTT sekalipun belajar sasando itu tidak masuk
dalam kurikulum. Tidak masuk. Sedikit lagi masuk museum
itu. Saya takutnya, ini lama-kelamaan sasando itu hanya bisa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
tinggal cerita. Saya punya anak begitu, kemudian saya punya
anak datang, tanya ke saya.
O1: Bapa, katanya sasando itu alat musik NTT. Itu dia pung cara
main bagaimana e?
O2: Ah, dia punya cara main itu, anak, ya begitu.
O1: Ya begitu bagaimana?
O2: Ya, begitu. Ya, kalau gitar kan begini (sambil memetik
gitar). Nah, gitar begini. Nah, sasando begitu.
O2: Ah, sudah anak. Tidak usah pikir. Mari kita minum tuak
saja. (Abdur, show 14).
Pada wacana (76), comic mengkritisi ketidakpedulian institusi pendidikan di
Nusa Tenggara Timur untuk memasukkan kesenian sasando dalam kurikulum
pembelajaran di sekolah. Hal tersebut diungkapkan melalui tuturan Di NTT
sekalipun belajar sasando itu tidak masuk dalam kurikulum.
Sebagai salah satu ikon kesenian NTT, sasando menghadapi situasi yang
muskil dan ironis: hingga tahun 2014, sasando belum pernah diajarkan secara
formal oleh sekolah-sekolah di NTT. Secara implisit, comic menilai, salah satu
upaya pelestarian sasando adalah dengan mewariskan dan mengajarkannya
kepada generasi muda melalui pelajaran di sekolah. Dengan demikian, sasando
akan tetap menjadi kebudayaan sintas dan dapat dikenal serta dimainkan oleh
generasi-generasi saat ini dan yang akan datang.
2.12.2 Pelaksanaan Masa Orientasi Siswa (MOS)
Wacana berikut memuat kritikan terhadap pelaksanaan MOS.
(77) Tapi, kalau loe sadar ya, kalau loe sadari, sebenarnya MOS itu
bukan ajang untuk perkenalan sekolah, tapi dipakai sama
senior-senior ini dipakai untuk ajang obral cinta, tebar
pesona, modus. Iya. Kan kalau kita disuruh pakai aksesoris
kalau aksesorisnya nggak lengkap itu kita dihukum ya. Coba
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
kalau yang dihukum itu cewek, cantik, terus hidung mancung,
kayak Nabila gitu lah, eh Nadia, kayak Nadia gitu, ya kan.
O1: Eh, kamu. Kenapa aksesoris kamu enggak lengkap?
O2: Maaf, Kak, tadi ketinggalan.
O1: Enggak ada alesan. Kamu harus dihukum!
O2: Hukumannya apa, Kak?
O1: Nanti kakak kasih tahu lewat SMS. Mana nomor kamu?
(Dzawin, show 7).
Comic mengkritisi penyimpangan pelaksanaan MOS pada jenjang
pendidikan sekolah menengah. Hal ini ditunjukkan dalam tuturan Sebenarnya
MOS itu bukan ajang untuk perkenalan sekolah, tapi dipakai sama senior-senior
ini dipakai untuk ajang obral cinta, tebar pesona, modus.
Tuturan tersebut mengimplikasikan penjelasan berikut. Comic
mengungkapkan, MOS kini bukanlah sekadar kegiatan yang bertujuan untuk
mengenalkan dan mengendapkan tata nilai dan aturan lingkungan sekolah tersebut
kepada siswa baru. Motif laten yang sering kali terungkap dalam pelaksanaan
MOS adalah upaya pendekatan relasional para panitia kegiatan kepada para
peserta. Dalam konteks ini, terminologi pendekatan tersebut mengacu pada
aktivitas para panitia yang berusaha mencari perhatian dan mendekati para peserta
dengan tujuan menjadikannya pacar. Comic menilai, realitas ini telah menjauhkan
pelaksanaan MOS dari esensinya.
2.12.4 Kualitas Gizi di Pondok Pesantren
Wacana (78) berisi kritik terhadap kualitas gizi makanan di pondok
pesantren.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
(78) Eh, loe tahu nggak sih, dari sekian banyak makanan nusantara,
makanan yang paling enak itu adalah makanan pesantren.
Kenapa? Karena makanan pesantren itu bergizi, men,
bergizi rendah. Pagi-pagi kita makan nasi, tahu, kerupuk;
siang-siang kita makan nasi, tempe, kerupuk; malam-malam kita
makan hati, men. Makannya itu-itu mulu. (Dzawin, show 3).
Comic mengkritisi tindakan pondok pesantren selaku institusi pendidikan
Islam yang tidak memberikan perhatian serius pada persoalan kebutuhan gizi
pangan para santri. Hal tersebut diungkapkan melalui tuturan Karena makanan
pesantren itu bergizi, man, bergizi rendah.
Pada pagi hari, para santri ditemani dengan hidangan nasi, tahu, dan
kerupuk. Pada siang hari, nasi, tempe, dan kerupuk menjadi menu santap siang
para santri. Jika menakar kandungan gizi makanan tersebut, maka didapat hasil
sebagai berikut: nasi mengandung karbohidrat; tahu mengandung protein, lemak,
dan karbohidrat; tempe mengandung protein, lemak, dan karbohidrat; kerupuk
mengandung karbohidrat serta kadar gula dan garam yang tinggi. Comic menilai,
kandungan dan keseimbangan gizi dari pangan-pangan tersebut memprihatinkan.
Sementara itu, tuturan makan hati yang diungkapkan comic bukan mengacu
pada aktivitas mengonsumsi jeroan ati ampela, melainkan sebuah idiom yang
bermakna „kecewa, sedih, atau kesal‟. Comic kecewa dan sedih karena sepanjang
dan setiap hari para santri selalu disajikan menu makanan yang sama yang
memiliki kualitas gizi yang rendah dan tidak seimbang.
2.13 Tokoh
Terminologi tokoh dalam pembahasan ini mengacu pada tokoh masyarakat
yang mencakup pejabat dan pemuka agama. Dalam sebuah masyarakat, lazim
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
muncul tokoh atau orang terkemuka, baik karena jabatannya maupun peran
sosialnya. Tokoh-tokoh ini tidak terlepas dari pembicaraan publik, terutama jika
kiprah dan pemberitaannya mencakup skala nasional. Pada pembahasan ini, akan
dikemukakan tokoh-tokoh yang ketika itu menjadi pembicaraan publik karena
alasan berikut ini. Pertama, tokoh politik yang dinilai salah memilih tempat
pendeklarasiannya sebagai calon presiden (capres) pada Pilpres 2014. Kedua, ada
tokoh agama yang melakukan kekerasan fisik.
(79) Capres menurut gua yang paling terpenting adalah harus tahu
sejarah. Karena kemarin ada capres deklarasi, salah milih
tempat sejarah. Dia deklarasi di Rumah Si Pitung. Padahal dia
nggak tahu dulu rumah sejarahnya si Pitung gimana. Pak,
Pitung mah kagak pernah punya rumah. Lah, seumur hidup
dikejar Belande, gimana mau punya rumah, Pak? Entuh rumah
yang dirampok Pitung sejarahnye. Ini orang katanya, “Biarin,
saya deklarasi di sini, biar menularkan semangat si Pitung.”
Semangat ape? Ngerampok? (David, show 17).
(80) Percuma loe pakai peci-koko-sarung, peci-koko-sarung, tapi
giliran pas lagi ceramah di atas panggung, kepala orang
dipiting. Percuma. Siapa namanya tuh? Ustad apa? Ustad apa?
Ya, Ustad Harajuku. Ini mungkin waktu dia masih di
pesantren, temen-temennya bangun malam buat sholat tahajud,
dia bangun malam buat nonton smackdown. (Dzawin, show 13).
Sasaran kritik pada kedua wacana tersebut mengacu pada tokoh atau orang
terkemuka Indonesia. Wacana (79) ditunjukkan melalui kalimat Capres deklarasi
dan Dia deklarasi di rumah Si Pitung. Tuturan ini mengimplikasikan Joko
Widodo yang pada Maret 2014 silam mendeklarasikan keikutsertaannya sebagai
capres dalam Pemilihan Presiden 2014 di salah satu lokasi cagar budaya Betawi:
Rumah Pitung. Wacana (80) ditandai melalui tuturan Ustad Harajuku dan pas lagi
ceramah di atas panggung, kepala orang dipiting. Tuturan tersebut
mengimplikasikan Ustad Hariri, salah seorang ustad yang pernah tersangkut kasus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
sebagai pelaku kekerasan fisik kepada salah seorang penata suara dalam sebuah
acara yang diikutinya.
Hal yang dikritikkan kepada kedua tokoh tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, kesalahan Joko Widodo dalam memilih tempat pendeklarasiannya
sebagai capres pada Pilpres 2014. Kedua, tindakan kekerasan fisik Ustad Hariri.
2.13.1 Pemilihan Tempat Pendeklarasian sebagai Calon Presiden
Wacana (81) memuat kritikan terhadap kesalahan Joko Widodo dalam
memilih tempat pendeklarasian sebagai capres pada 2014 silam.
(81) Capres menurut gua yang paling terpenting adalah harus tahu
sejarah. Karena kemarin ada capres deklarasi, salah milih
tempat sejarah. Dia deklarasi di Rumah Si Pitung. Padahal dia
nggak tahu dulu rumah sejarahnya si Pitung gimana. Pak,
Pitung mah kagak pernah punya rumah. Lah, seumur hidup
dikejar Belande, gimana mau punya rumah, Pak? Entuh rumah
yang dirampok Pitung sejararhnye. Ini orang katanya, “Biarin,
saya deklarasi di sini, biar menularkan semangat si Pitung.”
Semangat ape? Ngerampok? (David, show 17)
Comic mengkritisi keputusan Joko Widodo yang memilih Rumah Pitung
untuk mendeklarasikan keikutsertaannya sebagai capres dalam Pilpres 2014. Hal
tersebut diungkapkan dalam tuturan Kemarin ada capres deklarasi, salah milih
tempat sejarah. Tuturan ini mengimplikasikan fakta pendeklarasian Joko Widodo
sebagai capres dalam Pilpres 2014 yang bertempat di Rumah Pitung.
Ketika itu, tindakan Jokowi tersebut menuai polemik. Kompas.com
(22/3/14) melansir, Ketua Lembaga Antar Bidang Badan Musyawarah Masyarakat
Betawi, Muhammad Rifky menyatakan keberatan dan meminta agar Jokowi
segera meminta maaf kepada masyarakat Betawi karena telah menggunakan nama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
pahlawan Si Pitung untuk kepentingan politik. Hal berikutnya yang membuat
dirinya beserta tokoh Betawi lainnya geram dengan deklarasi Jokowi, yakni
penggunaan kata Si Pitung yang merupakan simbol perlawan. Menurutnya,
perkataan itu tidak tepat diucapkan oleh Jokowi pada saat itu. Tokoh Pitung
merupakan penggambaran pahlawan yang berjuang tidak mementingkan
kelompok, tapi untuk masyarakat. Berbeda dengan Jokowi yang mencalonkan diri
menjadi presiden dari kelompok tertentu (http://nasional.kompas.com/read/
2014/03/22/1010023/Deklarasi.di.Rumah.Si.Pitung.Jokowi.Harus.Minta.Maaf).
Comic juga turut melayangkan kritik keras kepada Jokowi atas tindakannya
tersebut. Comic menilai, Jokowi tidak memahami budaya Betawi, khususnya
sejarah Rumah Pitung. Menurut comic, Rumah Pitung bukanlah rumah asli Si
Pitung, melainkan rumah hasil merampok. Oleh karena ketidaktahuan Jokowi,
comic lantas menyindirnya dengan mengatakan bahwa Jokowi ingin menularkan
semangat merampok Pitung. Hal ini mengacu pada pernyataan Jokowi yang
menyatakan ingin menularkan semangat tokoh Pitung yang lantas menimbulkan
banyak penafsiran oleh berbagai lapisan masyarakat.
2.13.2 Tindakan Kekerasan Fisik
Wacana di bawah ini berisi kritikan atas tindakan kekerasan fisik yang
dilakukan oleh Ustad Hariri.
(82) Percuma loe pakai peci-koko-sarung, peci-koko-sarung, tapi
giliran pas lagi ceramah di atas panggung, kepala orang
dipiting. Percuma. Siapa namanya tuh? Ustad apa? Ustad apa?
Ya, Ustad Harajuku. Ini mungkin waktu dia masih di pesantren,
temen-temennya bangun malam buat sholat tahajud, dia bangun
malam buat nonton smackdown. (Dzawin, show 13).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
Comic mengkritisi perilaku salah seorang ustad yang melakukan tindakan
kekerasan. Hal tersebut diterangkan dalam tuturan Percuma loe pakai peci-koko-
sarung, peci-koko-sarung, tapi giliran pas lagi ceramah di atas panggung, kepala
orang dipiting.
Adapun orang yang dimaksudkan oleh comic adalah Ustad Hariri, yang
ketika itu (diduga) menekan kepala seorang penata suara dengan dengkulnya
dalam sesi ceramah yang dibawakannya di sebuah acara hajatan pernikahan pada
7 Januari 2014 silam (http://m.tempo.co/read/news/2014/02/13/058553740/Video-
Ustad-Hariri-di-Youtube-Bikin-Geger).
Comic menyayangkan tindakan sang ustad yang harusnya dapat menjadi
panutan dengan memberi contoh laku dan teladan yang baik seturut nilai-nilai
Islam yang dianutnya. Comic pun menyindir bahwa tindakan Ustad Hariri
terinspirasi oleh aksi para pegulat dalam smackdown, sebuah acara gulat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
BAB III
KEPATUHAN DAN KETAKPATUHAN
TUTURAN DALAM WACANA HUMOR KRITIK SOSIAL SUCI 4
PADA PRINSIP KERJA SAMA
3.1 Pengantar
Wacana humor dapat tercipta melalui pemanfaatan berbagai aspek
kebahasaan yang digunakan secara tidak semestinya (Wijana, 2003: 33).
Pemanfaatan aspek kebahasaan yang digunakan secara tidak semestinya tersebut
salah satunya dengan menciptakan tuturan yang tidak mematuhi maksim-maksim
prinsip kerja sama Grice. Hal ini juga berlaku dalam penciptaan wacana SUC
secara pragmatis. Melalui ketakpatuhan tersebut, tujuan comic untuk
menggelakkan penonton melalui humornya bisa terwujud.
Di samping itu, pada penelitian ini juga akan dibuktikan bahwa proses
penciptaan wacana humor SUC tidak hanya menekankan pada bentuk-bentuk
tuturan yang menyimpang dari prinsip kerja sama Grice, melainkan juga dengan
mematuhinya. Sebagai wacana verbal, tuturan dalam wacana humor SUC pun
haruslah komunikatif dan informatif agar pesan yang disampaikan comic dapat
dipahami oleh audiensi. Oleh karena itu, penuturan wacana SUCI 4 ini harus
mematuhi prinsip kerja sama. Berkenaan dengan hal tersebut, dalam Bab III
dikaji ihwal kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada
prinsip kerja sama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
Pada pembahasan berikut ini, hasil klasifikasi data diidentifikasi menjadi 3
(tiga) tipe berdasarkan jumlah maksim yang dipatuhi dan yang tidak dipatuhi.
Pertama, tuturan yang mematuhi tiga maksim, tetapi tidak mematuhi satu maksim
(Tipe I). Tipe ini mencakup 3 (tiga) subtipe, yakni: (a) Subtipe Ia, yaitu tuturan
yang mematuhi maksim kuantitas, maksim relevansi, dan maksim cara, tetapi
tidak mematuhi maksim kualitas; (b) Subtipe Ib, yaitu tuturan yang mematuhi
maksim kuantitas, maksim kualitas, dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi
maksim relevansi; (c) Subtipe Ic, yaitu tuturan yang mematuhi maksim kuantitas,
maksim kualitas, dan maksim relevansi, tetapi tidak mematuhi maksim cara.
Kedua, tuturan yang mematuhi dua maksim, tetapi tidak mematuhi dua maksim
(Tipe II). Tipe ini mencakup 5 (lima) tipe, yakni: (a) Subtipe IIa, yaitu tuturan
yang mematuhi maksim kuantitas dan maksim kualitas, tetapi tidak mematuhi
maksim relevansi dan maksim cara; (b) Subtipe IIb, yaitu tuturan yang mematuhi
maksim kuantitas dan maksim relevansi, tetapi tidak mematuhi maksim kualitas
dan maksim cara; (c) Subtipe IIc, yaitu tuturan yang mematuhi maksim kuantitas
dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim kualitas dan maksim relevansi;
(d) Subtipe IId, yaitu tuturan yang mematuhi maksim kualitas dan maksim cara,
tetapi tidak mematuhi maksim kuantitas dan maksim relevansi, (e) Subtipe IIe,
yaitu tuturan yang mematuhi maksim relevansi dan maksim cara, tetapi tidak
mematuhi maksim kuantitas dan maksim kualitas. Ketiga, tuturan yang mematuhi
satu maksim, tetapi tidak mematuhi tiga maksim. Tipe ini mencakup 2 (dua)
subtipe, yakni: (a) Subtipe IIIa, yaitu tuturan yang mematuhi maksim kuantitas,
tetapi tidak mematuhi maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara; (b)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
Subtipe IIIb, yaitu tuturan yang mematuhi maksim cara, tetapi tidak mematuhi
maksim kuantitas, maksim kualitas, dan maksim cara. Dari ketiga tipe ini,
ditemukan bahwa sebagian besar tuturan dalam WHKS SUCI 4 berupa tuturan
yang mematuhi dua maksim, tetapi melanggar dua maksim. Tiga tipe dan sepuluh
subtipe tersebut dapat dijabarkan melalui tabel berikut ini.
Tabel 2
Kepatuhan dan Ketakpatuhan
Tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada Prinsip Kerja Sama
Keterangan:
: Mematuhi
X : Tidak Mematuhi
Tipe Subtipe
Maksim
Kuantitas Kualitas Relevansi Cara
Patuh pada Tiga Maksim,
Tidak Patuh pada Satu
Maksim (Tipe I)
Ia x
Ib x
Ic x
Patuh pada Dua Maksim,
Tidak Patuh pada Dua
Maksim (Tipe II)
IIa x x
IIb x x
IIc x x
IId x x
IIe x x
Patuh pada Satu Maksim,
Tidak Patuh pada Tiga
Maksim (Tipe III)
IIIa x x x
IIIb x x x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
3.2 Tuturan yang Mematuhi Tiga Maksim, tetapi Tidak Mematuhi Satu
Maksim (Tipe I)
Tipe ini mencakup tiga subtipe, yaitu Subtipe Ia, Subtipe Ib, dan Subtipe Ic.
Berikut ini penjabarannya.
3.2.1 Subtipe Ia
Subtipe Ia adalah tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim
relevansi, dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim kualitas. Berikut
wacana-wacana yang tergolong dalam Subtipe Ia.
(83) Jadilah pemilih yang kritis. Gampang belajar kritis mah ama
komentator bola tarkam. Ada yang tahu? Antarkampung. Ini
komentator kritis banget. Dia ngenalin pemain nggak cuma
namanya. Dia kenal nama sama aibnya.
O1: Nomor punggung sepuluh, Zaenudin. Wah, ini bininya tiga
nih.
O1: Nomor punggung duapuluh, Bambang. Ya elah Bambang,
cieh abis ketahuan selingkuh. (David, show 6).
(84) Saya heran, pembangunan itu selalu dibeda-bedakan, selalu
dibeda-bedakan. Padahal, kita ini kan satu Ibu Pertiwi, teman-
teman, satu Ibu Pertiwi. Saya itu terkadang berpikir itu dengan
frasa Ibu Pertiwi. Kalau kita memang satu Ibu Pertiwi begitu,
apakah memang dulu itu ada satu seorang perempuan,
kemudian melahirkan pulau-pulau di Indonesia kah? (Abdur,
show 17).
(85) Banyak iklan di Indonesia ini yang memicu kita untuk nonton
bola, tapi nggak ada satupun iklan di Indonesia yang memacu
kita untuk sholat tahajud. Bener nggak, sih? Iya, nggak? Emang
di sini ada yang pernah lihat iklan sholat tahajud gitu? Nggak
ada, kan? Seharusnya ada, men, kayak “Extra joss susu jahe
untuk menemani sholat tahajudmu”; atau “Kuku bima religi”;
atau “Jangan sholat tahajud tanpa kacang garudo”. (Dzawin,
show 11).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
Wacana (83) mematuhi maksim kuantitas karena sumbangan informasi yang
memadai. Comic mengharapkan agar masyarakat bersikap kritis dalam
menentukan pilihan politiknya pada Pileg dan Pilpres 2014. Berikut tuturan
kuncinya: Jadilah pemilih yang kritis. Untuk menerangkan tuturan tersebut, lebih
lanjut comic memberikan informasi agar masyarakat untuk mencontoh sikap kritis
komentator bola antarkampung (tarkam) dalam memperkenalkan para pemain.
Berikut tuturan kuncinya: Dia ngenalin pemain nggak cuma namanya. Dia kenal
nama sama aibnya. Sikap kritis itu pun ditunjukkan comic melalui tuturan O1.
Berkenaan dengan penjelasan di atas, wacana ini juga mematuhi maksim
relevansi karena adanya pertalian antarinformasi. Hal tersebut ditandai melalui
tuturan kunci Ini komentator kritis banget. Dia ngenalin pemain nggak cuma
namanya. Dia kenal nama sama aibnya. Di samping itu, wacana (81) mematuhi
maksim cara karena tidak ada tuturan yang taksa dan multiinterpretasi.
Wacana ini tidak mematuhi maksim kualitas karena memiliki tuturan yang
tidak benar. Hal tersebut ditandai melalui tuturan kunci berikut ini: 1) Dia kenal
nama sama aibnya; 2) Wah, ini bininya tiga nih; 3) cieh abis ketahuan selingkuh.
Informasi pada tuturan tersebut berhasil memicu tawa penonton karena
ketidaklazimannya. Sulit mendapati fakta komentator pertandingan sepak bola
antarkampung mengumbar secara langsung di hadapan penonton ihwal aib
kehidupan rumah tangga para pesepak bola yang bertanding.
Wacana (84) mematuhi maksim kuantitas karena sumbangan informasi yang
diberikan memadai. Adapun pokok persoalan pada wacana ini yakni perihal
diskriminasi pemerintah dalam melaksanakan pembangunan daerah-daerah di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
Indonesia, yang ditandai melalui tuturan kunci Saya heran, pembangunan itu
selalu dibeda-bedakan, selalu dibeda-bedakan. Lebih lanjut, comic pun
menuturkan argumentasi imajinatifnya yang memenuhi pokok pembicaraannya
dengan mempertanyakan akar pembedaan perlakuan pemerintah dalam
menjalankan pembangunan, yang ditunjukkan melalui tuturan kunci Padahal, kita
ini kan satu Ibu Pertiwi, teman-teman, satu Ibu Pertiwi.
Selain itu, melalui pemaparan tersebut, tuturan comic tidak hanya memadai,
tetapi juga informasi-informasi yang terkandung di dalamnya saling bersangkut-
paut (relevan). Wacana ini juga mematuhi maksim cara karena tuturan yang
disampaikan tidak mengandung informasi yang taksa dan multitafsir.
Wacana (84) tidak mematuhi maksim kualitas karena mengandung tuturan
yang tidak benar. Hal ini ditandai melalui tuturan Saya itu terkadang berpikir itu
dengan frasa Ibu Pertiwi. Kalau kita memang satu Ibu Pertiwi begitu, apakah
memang dulu itu ada satu seorang perempuan, kemudian melahirkan pulau-
pulau di Indonesia kah? Terminologi Ibu Pertiwi merupakan ungkapan idiomatis
yang bermakna „tanah air‟ atau „tanah tumpah darah‟, bukan sosok seorang
perempuan yang bernama Pertiwi yang melahirkan pulau-pulau di Indonesia.
Wacana (85) mematuhi maksim kuantitas karena sumbangan informasi yang
diberikan comic memadai. Pokok pembicaraan wacana ini menceritakan tentang
keresahan comic terhadap konten iklan komersial di Indonesia yang lebih
mempersuasi masyarakatnya untuk menonton tayangan sepak bola daripada
beribadah. Berikut ini tuturan kuncinya: Banyak iklan di Indonesia ini yang
memicu kita untuk nonton bola, tapi nggak ada satupun iklan di Indonesia yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
memacu kita untuk sholat tahajud. Lebih lanjut, comic memerikan
argumentasinya agar konsep penayangan iklan minuman energi dan makanan
ringan diberi pesan religius, yang ditandai melalui tuturan kunci Extra joss susu
jahe untuk menemani sholat tahajudmu, atau Kuku bima religi, atau Jangan
sholat tahajud tanpa kacang garudo. Kontribusi tiap informasi pada tuturan ini
pun tidak kurang dan tidak lebih. Di samping itu, mengacu pada penjelasan
tersebut, wacana di atas memenuhi kaidah maksim relevansi: adanya pertautan
setiap informasi dengan pokok pembicaraan yang disampaikan comic.
Tuturan-tuturan pada wacana ini juga mematuhi maksim cara karena comic
tidak mengungkapkan informasi-informasi yang ambigu. Frasa extra joss susu
jahe, kuku bima, dan kacang garudo (yang berhasil menggelakkan penonton)
mengacu pada produk-produk minuman berenergi dan kacang yang memiliki
nama serupa seperti yang disebutkan comic, kecuali kacang garudo yang
dipelesetkan dari nama sebenarnya, yaitu kacang garuda.
Wacana (85) tidak mematuhi maksim kualitas karena terkandung tuturan-
tuturan yang tidak benar. Tuturan Extra joss susu jahe untuk menemani sholat
tahajudmu, Kuku bima religi, dan Jangan sholat tahajud tanpa kacang garudo
memiliki efek humor karena dianggap sebagai tuturan yang keliru dan tidak logis.
Produk minuman berenergi seperti extra joss dan kuku bima berfungsi untuk
menambah energi bagi yang meminumnya, terutama ketika akan melakukan
pekerjaan berat. Demikian juga dengan produk kacang garuda, yang biasanya
dimakan saat sedang santai. Produk makanan dan minuman ini pun lazimnya tidak
dikonsumsi saat sedang beribadah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
3.2.2 Subtipe Ib
Subtipe Ib adalah tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim
kualitas, dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim relevansi. Wacana di
bawah ini digolongkan ke dalam Subtipe Ib.
(86) Dangdut yang sekarang itu lebih mementingkan goyangan
daripada lagu. Teman-teman ada yang tahu lagunya Zaskia?
Tidak tahu. Kita tahunya dia goyang itik. Teman-teman tahu
lagunya Inul Daratista? Tidak tahu. Kita tahunya dia goyang
ngebor. Teman-teman tahu lagunya Angel Elga? Tidak tahu.
Kita tahunya dia mantan Rhoma Irama. (Abdur, show 15).
(87) Selain diejek kecil, saya juga sering diejek kurus. Dan orang-
orang itu melihat orang kurus itu cacingan. Tapi. Betulan, itu
salah. Itu pendapat yang salah. Itu pendapat yang salah.
Hilangkan. Orang kurus itu ndak cacingan. Orang kurus itu
ndak cacingan. Tunggu dulu, kenapa gatal pantatku? (Sri,
preshow 1).
Wacana (86) mematuhi maksim kuantitas karena alasan berikut. Pokok
pembicaraan wacana ini yakni perihal rendahnya musikalitas pedangdut wanita
masa kini, yang ditandai melalui tuturan Dangdut yang sekarang itu lebih
mementingkan goyangan daripada lagu. Untuk memerikan gagasan pokok di atas,
comic lantas memberi argumentasi pendukung ihwal para pedangdut yang lebih
dikenal publik karena goyangan dan sensasinya, alih-alih karya musiknya.
Wacana (86) juga mematuhi maksim kualitas karena comic menyampaikan
tuturan yang benar adanya. Hal ini ditandai melalui tuturan kunci Kita tahunya
dia goyang itik, Kita tahunya dia goyang ngebor, dan Kita tahunya dia mantan
Rhoma Irama. Jika merunut pada situasi faktualnya, Zaskia Gotik, Inul Daratista,
dan Angel Elga memang lebih dikenal publik sebagai seniman dangdut bukan
karena ketenaran lagu-lagu yang mereka nyanyikan, melainkan goyangan dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
kehebohan perihal kehidupan yang mereka jalani. Selain itu, wacana di atas
mematuhi maksim cara karena tidak ada satupun tuturan comic yang taksa.
Efek humor pada wacana (86) terjadi karena adanya tuturan yang tidak
mematuhi maksim relevansi. Hal tersebut ditandai melalui tuturan Teman-teman
tahu lagunya Angel Elga? Tidak tahu.Kita tahunya dia mantan Rhoma Irama.
Tuturan ini tidak berkaitan dengan pokok pembicaraan comic atau informasi-
informasi yang mendahuluinya karena pedangdut yang dimaksudkan comic hanya
terbatas pada mereka yang dikenal karena memiliki goyangan khas, bukan karena
sensasi hubungannya dengan pedangdut pria.
Wacana (87) mematuhi maksim kuantitas karena alasan berikut. Pada
wacana tersebut, comic memulai tuturannya dengan mendeskripsikan dirinya:
berbadan kecil dan kurus. Menurut comic, banyak orang yang berpandangan
bahwa orang kurus (termasuk dirinya) selalu cacingan. Melalui wacana di atas,
comic mengkritisi pandangan umum masyarakat yang sering kali mengecap orang
kurus sebagai penderita cacingan. Penjelasan tersebut menjadi intisari dari wacana
di atas, yang ditunjukkan melalui tuturan kunci berikut: Selain diejek kecil, saya
juga sering diejek kurus. Dan orang-orang itu melihat orang kurus itu cacingan.
Lebih lanjut, comic memberikan argumentasinya (informasi tambahan) berupa
sanggahan atas pandangan umum masyarakat tersebut. Comic berasalan, sebagai
orang kurus ia merasa tidak mengalami hal tersebut. Selain itu, melalui penjelasan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa sumbangan informasi-informasi yang
disampaikan comic memadai.
Tuturan wacana (87) juga mematuhi maksim kualitas, yang ditandai oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
tuturan kunci berikut: Dan orang-orang itu melihat orang kurus itu cacingan. Jika
merunut pada kenyataan dan kebiasaannya, pada umumnya orang kurus sering
kali dianggap menderita cacingan.
Wacana tersebut memiliki tuturan yang tidak mematuhi maksim relevansi,
yakni ditandai dalam tuturan kunci berikut: Orang kurus itu ndak cacingan.
Tunggu dulu, kenapa gatal pantatku? Tidak lama setelah menyatakan dirinya
tidak menderita cacingan, comic tiba-tiba memegang pantatnya karena merasa
gatal. Salah satu indikasi seseorang cacingan ialah mengalami gatal-gatal pada
bagian dubur. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa si comic juga ternyata
cacingan. Di situlah letak ketidakrelevansian tuturan tersebut.
3.2.3 Subtipe Ic
Subtipe Ic adalah tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim
kualitas, dan maksim relevansi, tetapi tidak mematuhi maksim cara. Wacana
berikut tergolong ke dalam subtipe ini.
(88) Cewek itu sering banget ngomongin masalah kesetaraan gender.
Bener nggak sih? Lagian kesetaraan gender itu maksudnya apa
sih? Setara itu kan artinya sama, padahal sama belum tentu
proporsional, belum tentu pas. Contohnya begini. Gua naik bis,
gua naik kereta sama adek gua. Tempat duduknya cuma satu.
Adik gua duduk, gua berdiri; nggak setara tetapi proporsional
karena gua lebih kuat, hitungannya setara. Atau pakai solusi
yang kedua, gua duduk, adik gua gua pangku. Ini cewek
mintanya kesetaraan gender, tapi giliran di kereta tempat duduk
cuma satu gua duduk dia berdiri, ngelihatin gua terus. Ya, nggak
gua kasih. Kan setara. Kalau mau, pakai solusi yang kedua: elu
gua pangku. Iya, nggak? Kalau elu gua pangku, ya adik gua
berdiri. Iya kan? Kalau masih nggak mau juga, ya sudah silakan
duduk, tapi elu pangku gua, ya adik gua berdiri lagi. (Dzawin,
show 10).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
Wacana (88) memiliki tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim
kualitas, dan maksim relevansi, tetapi tidak mematuhi maksim cara. Wacana ini
mematuhi maksim kuantitas karena sumbangan informasi yang disampaikan oleh
comic memadai. Yang menjadi pokok permasalahan pada wacana di atas yaitu
perihal kesalahpahaman atas konsepsi kesetaraan gender oleh kaum perempuan.
Hal tersebut terimplikasi melalui tuturan comic yang mempersoalkan keseringan
kaum perempuan dalam membicarakan masalah kesetaraan gender serta
mempertanyakan esensi dari konsepsi kesetaraan tersebut. Berikut tuturan
kuncinya: Lagian kesetaraan gender itu maksudnya apa sih? Setara itu kan
artinya sama, padahal sama belum tentu proporsional, belum tentu pas.
Untuk mengentaskan keresahannya pada kesalahpahaman tersebut, comic
lantas memberikan informasi pendukung berupa ilustrasi praktis dan solusi terkait
masalah tersebut. Berikut tuturan kuncinya: Contohnya begini. Gua naik bis…dst.
Wacana di atas juga mematuhi maksim relevansi karena pokok
pembicaraannya bersangkut paut secara langsung dengan informasi pendukung.
Selain itu, wacana ini memiliki tuturan yang mematuhi maksim kualitas. Hal
tersebut ditunjukkan melalui tuturan Cewek itu sering banget ngomongin masalah
kesetaraan gender. Jika merunut pada konteks riilnya, persoalan kesetaraan
gender menjadi salah satu isu aktual dan kontekstual yang masih dan sering kali
diperbicarakan dalam berbagai forum perbincangan kaum perempuan. Hal ini
tidak terlepas dari maraknya persoalan sosial yang masih mendera kaum
perempuan.
Tuturan yang menimbulkan efek humor terletak pada ambiguitas frasa adik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
gua. Pada awal wacana, frasa adik gua (yang tidak bergaris bawah) bermakna
„saudara kandung yang lebih muda‟. Sementara pada akhir wacana, frasa „adik
gua‟ (yang bergaris bawah) bermakna „kemaluan laki-laki‟. Saat diikuti oleh kata
kerja „berdiri‟, frasa „adik gua‟ tidak saja berarti „saudara mudanya yang berdiri‟,
namun bisa juga berarti „kemaluannya berereksi‟. Dengan demikian, tuturan ini
tidak mematuhi maksim cara.
3.3 Tuturan yang Mematuhi Dua Maksim, tetapi Tidak Patuh pada Dua
Maksim (Tipe II)
Tipe ini mencakup lima subtipe, yaitu Subtipe IIa, Subtipe IIb, Subtipe IIc,
Subtipe IId, dan Subtipe IIe. Berikut pemaparannya.
3.3.1 Subtipe IIa
Subtipe IIa adalah tuturan yang mematuhi maksim kuantitas dan maksim
kualitas, tetapi tidak mematuhi maksim relevansi dan maksim cara. Berikut ini
adalah wacana yang termasuk dalam Subtipe IIa.
(89) Eh, loe tahu nggak sih, dari sekian banyak makanan nusantara,
makanan yang paling enak itu adalah makanan pesantren.
Kenapa? Karena makanan pesantren itu bergizi, men, bergizi
rendah. Pagi-pagi kita makan nasi, tahu, kerupuk; siang-siang
kita makan nasi, tempe, kerupuk; malam-malam kita makan hati,
men. Makannya itu-itu mulu. (Dzawin, show 3).
Bagian wacana (89) yang mematuhi maksim kuantitas ditunjukkan melalui
penjelasan berikut. Pokok pembicaraan wacana ini ihwal minimnya gizi makanan
di pesantren, yang ditunjukkan melalui tuturan Karena makanan pesantren itu
bergizi, man, bergizi rendah. Lebih lanjut, comic memberi tuturan tambahan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
berupa informasi perihal menu makanan di pesantren yang secara implisit
menunjukkan bahwa kandungan dan keseimbangan gizi dari pangan-pangan
tersebut rendah. Berikut ini tuturan kuncinya Pagi-pagi kita makan nasi, tahu,
kerupuk; siang-siang kita makan nasi, tempe, kerupuk; malam-malam kita makan
hati, men. Di samping mematuhi maksim kuantitas, kedua tuturan kunci tersebut
juga menunjukkan kepatuhan terhadap maksim kualitas. Konteks faktual (fakta
keras) perihal persoalan yang diangkat comic dalam wacana ini hanya sebatas
pada pengalaman empiris comic selama mengenyam pendidikan di pondok
pesantren tersebut, sebagaimana yang dituturkannya pada wacana (89).
Sementara itu, bagian wacana (89) yang tidak mematuhi maksim relevansi
ditandai dalam tuturan berikut: 1) Eh, loe tahu nggak sih, dari sekian banyak
makanan nusantara, makanan yang paling enak itu adalah makanan pesantren; 2)
Karena makanan pesantren itu bergizi, man, bergizi rendah. Tuturan ini
menerangkan bahwa comic membelokkan harapan penonton yang semula
berasumsi bahwa pernyataan comic ihwal makanan pesantren itu enak dan bergizi
adalah benar. Akan tetapi, asumsi penonton dipatahkan oleh comic dengan berujar
bahwa makanan pesantren ternyata bergizi rendah. Lantas, tuturan ini
mengundang tawa penonton.
Bagian wacana di atas yang tidak mematuhi maksim cara terdapat pada
tuturan malam-malam kita makan hati, men. Tuturan makan hati diasumsikan
mengandung dua arti. Pertama, makan hati yang berarti aktivitas mengonsumsi
jeroan ati ampela. Kedua, ungkapan idiomatis yang bermakna kecewa, sedih, atau
kesal. Adapun yang dimaksudkan comic mengacu pada arti yang kedua.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
Sementara itu, penonton bisa saja menafsirkannya pada pengertian yang pertama.
Oleh karena ketaksaannya, maka tuturan yang tidak mematuhi maksim cara ini
memiliki efek humor.
3.3.2 Subtipe IIb
Subtipe IIb adalah tuturan yang mematuhi maksim kuantitas dan maksim
relevansi, tetapi tidak mematuhi maksim kualitas dan maksim cara. Ketiga wacana
berikut ini digolongkan ke dalam Subtipe IIb.
(90) Emang pemilu suka bikin bingung ya. Partai banyak. Namanya
p anu lah, p itu lah. Menurut gua, percuma bang kalau ujung-
ujungnya jadi PHP, Partai Harapan Palsu. (David, show 6).
(91) Percuma loe pakai peci-koko-sarung, peci-koko-sarung, tapi
giliran pas lagi ceramah di atas panggung, kepala orang dipiting.
Percuma. Siapa namanya tuh? Ustad apa? Ustad apa? Ya, Ustad
Harajuku. Ini mungkin waktu dia masih di pesantren, temen-
temennya bangun malam buat sholat tahajud, dia bangun malam
buat nonton smackdown. (Dzawin, show 13).
(92) Meskipun suara saya cempreng emejing gila, suara saya ini juga
menentukan siapa yang bakal duduk di DPR. Dan demokrasi ini
berjalan tanpa suara saya itu nggak bakal bisa. Suara rakyat
kecil, dalam arti sebenarnya. Dan pemerintah ini cuma janji-
janji kosong. Katanya memperjuangkan rakyat kecil. Bohong.
Kalau memang memperjuangkan, kenapa sampai sekarang tes
CPNS masih menggunakan tinggi badan sebagai syarat utama.
Saya kerja apa? (Arif, show 6).
Wacana (90) mematuhi maksim kuantitas karena kontribusi informasi yang
disampaikan comic terhadap intisari pembicaraan yang disampaikannya
mencukupi. Pokok gagasan dari wacana di atas berisi tentang keresahan comic
terhadap keberadaan dan peran partai-partai politik di Indonesia bagi masyarakat.
Hal itu ditandai dalam tuturan Partai banyak. Lebih lanjut, untuk mendukung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
gagasan itu, comic lantas menambah informasi pendukung, yaitu partai-partai
politik ini pada kenyataannya tidak memberikan kontribusi bagi masyarakat.
Berdasarkan penjelasan tersebut, wacana di atas juga mematuhi maksim relevansi
karena pertautan antarinformasi-informasinya tersebut.
Wacana (90) tidak mematuhi maksim kualitas karena terkandung informasi
yang tidak benar, yaitu pada frasa Partai Harapan Palsu. Faktanya, partai politik
tersebut memang tidak pernah ada. Penuturan frasa tersebut dimaksudkan comic
sebagai ungkapan metaforis untuk menyindir kinerja partai politik Indonesia yang
tidak jarang memberikan harapan palsu kepada masyarakat. Di samping itu, pada
wacana ini juga terdapat informasi yang ambigu, yang ditandai dalam ujaran PHP.
Berdasarkan pengertian umumnya, kata PHP merupakan singkatan dari istilah
Pemberi Harapan Palsu. Untuk menghasilkan gelak tawa penonton, comic pun
memberikan makna lain (ganda) pada kata PHP tersebut.
Wacana (91) mematuhi maksim kuantitas karena jumlah informasi yang
disampaikan comic terhadap pokok pembicaraan yang disampaikannya memadai.
Intisari tuturan di atas ihwal kritikan terhadap perilaku banal individu yang
agamis. Untuk mendukung informasi tersebut, comic lantas memberikan
informasi tambahan berupa contoh salah seorang yang memiliki laku demikian:
Ustad Harajuku, serta hal yang melatarbelakangi atau memengaruhi tindakan
ustad tersebut. Berdasarakan penjelasan tersebut, informasi-informasi yang
dipaparkan comic juga saling bertalian. Dengan demikian, tuturan comic
mematuhi maksim relevansi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
Pada wacana di atas, terdapat informasi yang tidak mematuhi maksim
kualitas, yakni pada tuturan dia bangun malam buat nonton smackdown. Tuturan
ini tidak mematuhi maksim kualitas karena hanya merupakan asumsi comic yang
bisa saja tanpa berdasarkan fakta, dengan maksud untuk menyindir Ustad Hariri.
Sementara itu, tuturan yang tidak mematuhi maksim cara terdapat pada frasa
Ustad Harajuku. Nama sebenarnya yang dimaksudkan comic ialah Ustad Hariri,
salah seorang ustad yang pernah tersangkut kasus sebagai pelaku kekerasan fisik
kepada salah seorang penata suara pada sebuah acara yang diikutinya. Oleh
karena itu, efek humor pada tuturan ini terjadi karena beberapa hal: ujaran tersebut
menjadi tidak jelas (kabur), tidak diketahui penonton, atau konteks individu yang
dimaksud dapat dikenali oleh penonton.
Wacana (92) mematuhi maksim kuantitas karena sumbangan informasi yang
disampaikan oleh comic memadai. Wacana ini mengangkat persoalan lemahnya
kinerja anggota DPR dalam memperjuangkan hak rakyat untuk mendapatkan
kesempatan kerja. Berikut tuturan kuncinya: pemerintah ini cuma janji-janji
kosong. Katanya memperjuangkan rakyat kecil. Bohong. Berkenaan dengan hal
tersebut, comic pun memberikan informasi tambahan perihal aturan ukuran tinggi
badan sebagai salah satu syarat utama untuk mengikuti tes Calon Pegawai Negeri
Sipil (CPNS) yang ditetapkan oleh pemerintah. Bagi comic, yang juga berukuran
tubuh pendek, aturan ini merupakan sikap diskriminasi pemerintah dalam
menjamin hak bagi setiap masyarakat Indonesia untuk memperoleh pekerjaan.
Berikut tuturan kuncinya: kenapa sampai sekarang tes CPNS masih menggunakan
tinggi badan sebagai syarat utama. Di samping itu, berdasarkan ulasan di atas,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
hal tersebut juga menunjukkan bahwa wacana ini mematuhi maksim relevansi
karena keterkaitan setiap informasi yang disampaikan comic.
Adapun bagian wacana yang tidak mematuhi maksim kualitas diungkapkan
melalui tuturan kenapa sampai sekarang tes CPNS masih menggunakan tinggi
badan sebagai syarat utama. Tuturan tersebut diasumsikan oleh penonton sebagai
informasi yang tidak valid, karena pada umumnya aturan tersebut memang jarang
ada atau tidak diketahui publik, dan hanya sebagian kecil instansi pemerintah
yang memberlakukan aturan tersebut.
Sementara itu, ujaran yang tidak mematuhi maksim cara diungkapkan
melalui tuturan berikut: 1) Rakyat kecil, dalam arti sebenarnya; 2) Katanya
memperjuangkan rakyat kecil. Untuk menciptakan efek humor, frasa rakyat kecil
pada kedua tuturan tersebut dibuat taksa oleh comic dengan membiaskannya dari
pengertian umumnya „orang yang tingkat sosial ekonominya rendah‟ menjadi
„orang yang berukuran tubuh kecil atau pendek‟.
3.3.3 Subtipe IIc
Subtipe IIc adalah tuturan yang mematuhi maksim kuantitas dan maksim
cara, tetapi tidak mematuhi maksim kualitas dan maksim relevansi. Perhatikan
keempat wacana yang tergolong ke dalam Subtipe IIc berikut ini.
(93) Saya tuh lagi kesel banget sama orang-orang yang main
handphone. Orang zaman sekarang itu lebih senang ngobrol di
aplikasi messenger daripada ngomong di kehidupan nyata.
Kayak saya itu punya temen-temen saya yang merantau ke
mana-mana itu punya grup What‟s Ap. Itu kalau ngobrol di grup
What‟s Ap itu seru banget. “Eh, nanti kita kalau ketemu, kita
ngobrol bareng, ya. Kita ngopi bareng. Kita berenang di langit.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
Tapi kalau pas ketemu langsung, semuanya pada main
handphone, What‟s Ap-an gitu kan.
(94) Tapi teman-teman, paling tidak enak itu kalau kalian nonton dari
tribun timur, karena kalau di tribun barat itu nonton pakai
lampu, cahaya terang kelap-kelip di mana-mana, tapi di tribun
timur itu masih gelap, listrik tidak ada. Di tribun barat itu
dikasih kursi, dikasih sofa, makan enak-enak, tapi di tribun
timur itu masih beralaskan tanah, makan seadanya. Bahkan
orang dari tribun barat itu berteriak ke tribun timur, “Woi, kalian
yang ada di tribun timur, sabar saja, nanti kami bangun kursi di
situ. Kami kasih makan enak.” Tetapi, sampai pertandingan
berakhir tidak ada yang datang. (Abdur, show 9).
(95) Ini keresahan gua sebenarnya. Gua benci sama acara Dunia dan
Lain-lain. Ya, loe tahu lah acara itu ya. Ini gua benci banget.
Gua benci. Menurut gua, acara itu ngeselin karena hanya
menghasilkan pribadi-pribadi yang pemberani. Harusnya dibikin
lebih bermanfaat. Acara uji nyali menghasilkan pribadi-pribadi
yang pemberani, cerdas, tangkas, dan ceria. Jadi, bikin acara uji
nyali yang berfaedah dan edukatif. Jadi, nanti kalau ada setan
gitu nakut-nakutin, jadi berpendidikan.
O1: Oi ….
O2: Apa rumus pitagoras?
Atau, atau misalnya nanti kalau kesurupan ditanya-tanyanya
bisa lebih interaktif gitu.
O3: Oe….
O4: Namanya siapa, Pak?
O3: Joko.
O4: Oke, Mbah Joko, apa ibukota Indonesia?
O3: Sunda Kelapa.
O4: Salah. Jakarta.
O3: Eh, waktu saya masih hidup mah namanya Sunda Kelapa.
(Coki, show 5).
(96) DPR itu tugasnya kan untuk mendengarkan suara rakyat,
aspirasi rakyat. Tapi, gimana caranya DPR mendengarkan suara
rakyat ketika DPR dihalangi oleh tembok yang begitu tinggi,
pakai, naik ke kantor, ke kantor itu pakai Camry. Ya kan?
Seharusnya DPR itu bukan diletakkan di Senayan, tapi di
tengah-tengah pasar. Iya. Di pasar itu kan segala macam ada
kan? Dari tukang ayam sampai tukang cabe, ayam kampus,
cabe-cabean. (Dzawin, show 6).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
Wacana (93) mematuhi maksim kuantitas karena sumbangan informasi yang
disampaikan comic atas pokok pembicaraan yang disampaikannya memadai.
Intisari tuturan comic yakni perihal kekesalannya pada perilaku masyarakat
pengguna telepon seluler (ponsel) pintar yang lebih gemar berkomunikasi melalui
peranti tersebut, alih-alih secara langsung. Berikut ini tuturan kuncinya: Orang
zaman sekarang itu lebih senang ngobrol di aplikasi messenger daripada
ngomong di kehidupan nyata. Untuk mendukung gagasan ini, comic lantas
memberikan argumentasi dan ilustrasi ihwal perilaku komunikasi pengguna
ponsel pintar, yaitu ditunjukkan melalui dialog.
Wacana (93) mematuhi maksim cara karena penyampaiannya jelas dan
terutama tuturan yang bersifat ambigu tidak terdapat di dalam wacana ini, secara
khusus pada punch line (tuturan yang bergaris bawah). Tuturan tersebut
menimbulkan efek humor semata-mata karena memuat unsur ketidaklogisan dan
ketidakrelevansian. O1 meminta jus kepada O
2 melalui aplikasi WhatsAap. O
2
yang merasa kesal karena O1 memintanya menggunakan aplikasi obrolan
elektronik tersebut lantas menyuruhnya untuk memintanya secara langsung, tanpa
melalui medium alat komunikasi. Ini tuturan pertama yang tidak mematuhi
maksim relevansi.
Selanjutnya, O1 pun menanggapi anjuran O
2 dengan berbicara langsung
kepadanya. Nahasnya, yang diminta O1 dalam percakapan langsung itu bukanlah
jus, melainkan menyuruh O2 untuk mengecek aplikasi WhatsAap-nya karena O
1
baru saja mengirim pesan yang berisi permintaan jus kepadanya. Tentu yang
dimaksudkan O2 bukanlah demikian. Tuturan ini jelas tidak mematuhi prinsip
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
maksim relevansi.
Tuturan yang tidak mematuhi maksim kualitas tampak pada pernyataan O2
yang menceritakan tentang rencana mereka saat berjumpa: ngobrol bareng, ngopi
bareng, dan berenang di langit. Hal ketiga dianggap tidak logis karena lazimnya
aktivitas berenang hanya dilakukan di air, bukan di darat maupun di langit.
Wacana (94) mematuhi maksim kuantitas karena informasi yang
disampaikan comic memberi kontribusi yang memadai terhadap informasi yang
lainnya. Wacana ini menceritakan tentang disparitas pembangunan infrastruktur
antara Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Comic mendeskripsikan dikotomi
tersebut secara informatif dalam bentuk ilustrasi. Berikut bagian wacana yang
menunjukkan pematuhan maksim kuantitas: (1) paling tidak enak itu kalau kalian
nonton dari tribun timur; (2) karena kalau di tribun barat itu nonton pakai lampu,
cahaya terang kelap-kelip di mana-mana, tapi di tribun timur itu masih gelap,
listrik tidak ada; (3) Di tribun barat itu dikasih kursi, dikasih sofa, makan enak-
enak; (4) di tribun timur itu masih beralaskan tanah, makan seadanya. Tuturan
(2), (3), dan (4) memberikan informasi deksriptif pada tuturan (1) untuk
menerangkan informasi perihal situasi yang tidak mengenakkan saat berada di
tribun timur akibat penyelenggaraan pembangunan infrastruktur yang cenderung
berpusat di tribun barat.
Selain itu, pada wacana (94) tidak terdapat tuturan yang ambigu.
Penggunaan terminologi dan dikotomi tribun barat dan tribun timur dapat
dipahami oleh penonton sebagai analogi dari kesenjangan pembangunan
Indonesia Barat dan Indonesia Timur, sebagaimana yang dimaksudkan oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
comic. Pemahaman penonton terbangun karena entitas komedi yang dibawakan
Abdur pada umumnya berkenaan dengan fenomena persoalan sosial-ekonomi di
Indonesia Timur beserta komparasinya dengan Indonesia Barat.
Di samping itu, tuturan yang tidak mematuhi maksim kualitas ditunjukkan
melalui ujaran berikut: di tribun barat itu nonton pakai lampu..., tapi di tribun
timur itu masih gelap, listrik tidak ada. Di tribun barat itu dikasih kursi..., tapi di
tribun timur itu masih beralaskan tanah, makan seadanya. Tuturan ini
mengimplikasikan fakta kesenjangan pembangunan di Indonesia Barat dan
Indonesia Timur. Jika konteks (implikasi) itu dilepaskan, maka nilai kebenaran
dari informasi pada tuturan itu pun hampa, karena faktanya, perbedaan fasilitas
pada setiap tribun di stadion tidak semencolok tuturan comic, terutama stadion
yang diilustrasikan di atas merupakan milik Arema, yang pada kenyataanya tidak
sama seperti yang dideskripsikan comic melalui ilustasi tersebut.
Bagian wacana (94) yang tidak mematuhi maksim relevansi terdapat pada
tuturan Tetapi, sampai pertandingan berakhir tidak ada yang datang. Ujaran ini
berhasil memicu tawa karena disimpangkan dari tuturan sebelumnya serta asumsi
penonton. Comic mengawali punch line itu dengan memberikan set up melalui
tuturan Woi, kalian yang ada di tribun timur, sabar saja, nanti kami bangun kursi
di situ. Kami kasih makan enak. Idealnya, setelah menyampaikan tuturan tersebut,
penonton akan berasumsi bahwa comic akan berujar bahwa penghuni tribun barat
akan menepati perkataannya, sehingga penghuni tribun timur terbebas dari situasi
muskil. Akan tetapi, comic membelokkan harapan penonton. Penghuni tribun
barat justru hanya memburas, dan penghuni tribun timur tetap menjalani
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
kehidupannya dengan penuh kemalangan.
Wacana (95) mematuhi maksim kuantitas. Berikut beberapa tuturan kunci
yang menerangkan unsur informatif setiap ujaran yang disampaikan comic: 1)
acara itu ngeselin karena hanya menghasilkan pribadi-pribadi yang pemberani;
2) bikin acara uji nyali yang berfaedah dan edukatif. Adapun wacana ini
mengungkapkan kritikan comic terhadap acara uji nyali bertajuk (Masih) Dunia
Lain (yang dipelesetkan comic menjadi Dunia dan Lain-lain). Keresahan comic
ini terimplikasi melalui tuturan kunci pertama. Untuk menanggulangi
keresahannya pada acara tersebut, comic memberikan ide inovatif bagi acara itu
agar dapat memberikan manfaat bagi penonton. Hal tersebut diterangkan pada
tuturan kunci kedua. Kehadiran dialog O1, O
2, dan O
3 juga memberikan kontribusi
memadai untuk mengilustrasikan dan menegaskan kebermanfaatan acara (Masih)
Dunia Lain jika mengusung nilai-nilai didaktis.
Selain mematuhi maksim kuantitas, wacana di atas pun mematuhi maksim
cara. Tidak ada satupun tuturan yang mengandung ketaksaan. Meskipun
penyebutan nama tayangan Dunia dan Lain-lain dipelesetkan dari nama
sebenarnya, konteks tuturan tersebut tetap dapat dipahami oleh penonton,
sebagaimana yang dimaksudkan comic, yaitu tayangan uji nyali bertajuk (Masih)
Dunia Lain.
Sementara itu, bagian wacana (95) yang tidak mematuhi maksim kualitas
ditandai melalui tuturan kunci berikut: Jadi, nanti kalau ada setan gitu nakut-
nakutin, jadi berpendidikan. Ujaran ini dianggap tidak logis dan benar karena
pada hakikatnya tayangan ini merupakan sebuah acara uji nyali dengan hal-hal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
mistis (roh halus). Setiap kontestan uji nyali akan berada di lokasi gelap dan
angker sendirian selama semalam hingga dua malam konsekutif. Kontestannya
pun sering kali mengalami kerasukan. Pada saat itulah, pakar supranatural yang
mendampingi acara ini biasanya menjalin komunikasi dengan kontestan.
Nahasnya, ilustrasi ihwal interaksi komunikatif dan edukatif yang disampaikan
comic melalui dialog, justru tidak masuk akal. Sulit membayangkan dan
mempercayai perstiwa seseorang yang sedang dirasuki dan dikuasai oleh roh
halus memberikan ilmu pengetahuan bagi penonton tayangan itu.
Selain itu, ujaran pada wacana ini yang tidak mematuhi maksim relevansi
ditunjukkan melalui tuturan Sunda Kelapa. Tuturan ini merupakan punch line,
Punch line tersebut dibangun oleh set up pada tuturan Oke, Mbah Joko, apa
ibukota Indonesia? Pada tuturan yang wajar, setelah comic mengucapkan set up
tersebut, penonton berasumsi bahwa jawaban ideal atas pertanyaan tersebut ialah
DKI Jakarta. Akan tetapi, untuk menciptakan efek komedi, comic mematahkan
harapan penonton dengan mengatakan Sunda Kelapa sebagai ibukota Indonesia.
Wacana (96) mematuhi maksim kuantitas karena sumbangan informasi yang
disampaikan memadai. Sisi informatif wacana ini dapat dilihat dari pokok
pembicaraan wacana ini, yakni sorotan comic atas rendahnya kinerja anggota DPR
dalam mengemban amanah rakyat kecil. Hal ini ditandai melalui tuturan kunci
berikut ini: DPR itu tugasnya kan untuk mendengarkan suara rakyat, aspirasi
rakyat. Tapi, gimana caranya DPR mendengarkan suara rakyat ketika DPR
dihalangi oleh tembok yang begitu tinggi.... Lebih lanjut, comic pun memaparkan
opininya berupa solusi bagi anggota dewan untuk dapat memperjuangkan suara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
dan nasib masyarakat, yang ditandai melalui tuturan Seharusnya DPR itu bukan
diletakkan di Senayan, tapi di tengah-tengah pasar. Wacana di atas juga
mematuhi maksim cara karena comic menyampaikan tuturannya secara jelas,
tidak ada tuturan yang memiliki tafsiran ganda.
Sementara itu, ujaran yang tidak mematuhi maksim kualitas ditandai
melalui tuturan Seharusnya DPR itu bukan diletakkan di Senayan, tapi di tengah-
tengah pasar. Pendapat comic melalui tuturan tersebut terlalu mengada-ada dan
mustahil terjadi karena luasnya cakupan tugas dan fungsi anggota DPR, terlebih
kompleksitas persoalan parlemen tidak hanya mencakup pada ranah pasar atau
pada level rakyat kecil.
Bagian wacana (96) yang tidak mematuhi maksim relevansi terdapat pada
tuturan ayam kampus dan cabe-cabean. Kedua tuturan ini merupakan punch line
atau tuturan yang memiliki efek humor. Frasa ayam kampus merupakan ungkapan
idiomatis yang bermakna „penjaja seks yang berasal dari kalangan mahasiswi‟,
dan frasa cabe-cabean bermakna „gadis di bawah umur yang baru menggeluti
profesi sebagai pramuria‟. Punch line ini dibangun oleh set up yang terdapat pada
tuturan Dari tukang ayam sampai tukang cabe. Ketika comic menyampaikan set
up tersebut, penonton akan berasumsi bahwa tuturan berikutnya berupa informasi
profesi lainnya yang ada pada ranah pasar tradisional. Namun, comic
membelokkan dugaan tersebut dengan melontarkan ujaran ayam kampus, cabe-
cabean. Pada umumnya, keberadaan perempuan yang berasal dari kedua
kelompok ini bukan di pasar tradisional, melainkan di tempat-tempat orang
mencari hiburan. Dengan demikian, tuturan ini pun berhasil mengundang gelak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
tawa penonton.
3.3.4 Subtipe IId
Subtipe IId adalah tuturan yang mematuhi maksim kualitas dan maksim
cara, tetapi tidak mematuhi maksim kuantitas dan maksim relevansi. Berikut ini
wacana yang termasuk dalam Subtipe IId.
(97) Caleg. Caleg ini mereka berebut kursi, tapi setelah mereka
menang dan duduk di kursi itu, mereka malah tidur, dan lebih
parahnya lagi yang mimpin rapat udah tahu yang dengerin tidur,
rapatnya masih gitu-gitu aja. Ini harusnya dibikin rapat yang
lebih meriah. Jadi, begitu masuk ruang rapat:
O1: Oke, peserta rapat paripurna, mana suaranya? Yang di
sebelah sana, mana suaranya?
O2: Rghhh (Mendengkur).
O1: Yang sebelah, sana mana suaranya?
O3: Rghhh (Mendengkur).
Akhirnya,
O1: Oke, kita mulai rapatnya.
Pas dia duduk, tidur. Ini kan sama aja ya? (Coki, show 6).
(98) Tapi sebenarnya, jujur, gua kurang suka sama bola, gua kurang
suka nonton bola, nggak suka bahkan. Karena kalau menurut
gua, bola itu penuh dengan provokasi. Loe lihat kemarin itu ada
kasus Materazzi disundul sama Zidane. Itu karena Materazzi
memprovokasi Zidane.
O1: Eh, Zidane, ibu kamu teroris ya?
Zidane masih sabar.
O1: Eh, Zidane, adik kamu teroris ya?
Zidane masih sabar.
O1: Eh, Zidane, Bapak kamu tukang siomay ya?
O2: Eh, anjir, gua digombalin. Derrr (menanduk dada O
1).
(Dzawin, show 15).
(99) Kalau menurut gua, kalau menurut gua, cewek cantik itu adalah
cewek yang dapat memantaskan dan melindungi dirinya sendiri.
Makanya gua suka banget sama cewek-cewek yang
berkerudung. Tapi, banyak yang bilang cewek yang berkerudung
itu kuno, nggak modern. Eh, kata siapa? Sekarang banyak kok
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
kerudung-kerudung modern yang udah digaya-gayain. Hijabers
kan, yang kerudungnya warna-warni, dikasih bunga, tancepin
batang singkong, pohon kelapa. (Dzawin, show 10).
Wacana (97) mematuhi maksim kualitas karena comic menyampaikan
tuturan yang mengandung kebenaran. Hal ini dapat dilihat dari tuturan kunci
berikut: Caleg ini mereka berebut kursi, tapi setelah mereka menang dan duduk di
kursi itu, mereka malah tidur. Tuturan kunci tersebut mengimplikasikan fakta
kebiasaan tidur anggota DPR saat mengikut rapat. Wacana ini mematuhi maksim
cara karena tidak mengandung tuturan yang taksa dan multitafsir.
Wacana (97) tidak mematuhi maksim kuantitas karena informasi yang
disampaikan berlebihan. Pokok pembicaraan wacana ini membahas kebiasaan
tidur anggota DPR saat sidang. Oleh karena keresahan comic pada hal tersebut, ia
lantas memberikan ide solutif agar anggota dewan bisa menghentikan tabiatnya
itu. Hal tersebut ditunjukkan melalui dialog. Nahasnya, jalan keluar yang
disampaikan comic ternyata tidak menyelesaikan persoalan tersebut. Berikut
tuturan yang menerangkan hal tersebut: Pas dia duduk, tidur. Ini kan sama aja ya?
Alhasil, di samping kuantitas informasi yang berlebih, tuturan itu pun tidak
mematuhi maksim relevansi.
Wacana (98) memiliki tuturan yang mematuhi maksim kualitas yang
ditandai melalui tuturan Loe lihat kemarin itu ada kasus Materazzi disundul sama
Zidane. Itu karena Materazzi memprovokasi Zidane. Tuturan ini
mengimplikasikan salah satu fakta provokasi yang terjadi dalam ranah sepak bola.
Wacana di atas juga mematuhi maksim cara karena tidak ada satupun tuturan yang
mengandung ketaksaan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
Sementara itu, bagian wacana (98) yang tidak mematuhi maksim kuantitas
dan relevansi secara bersamaan terdapat pada dialog terakhir O1dan O
2: “Eh,
Zidane, Bapak kamu tukang siomay ya?” “Eh, anjir, gua digombalin. Derrr
(menanduk dada O1).” Sumbangan tuturan tersebut tidak informatif dan tidak
relevan karena kehadiran kedua bagian wacana tersebut justru berlebihan dan
tidak menambah informasi apapun yang relevan dengan tindakan provokasi
berupa ucapan berbau SARA O1
kepada O2.
Wacana (99) mengandung tuturan yang mematuhi maksim kualitas, yang
ditandai dalam tuturan kunci berikut: Sekarang banyak kok kerudung-kerudung
modern yang udah digaya-gayain. Hijabers kan, yang kerudungnya warna-warni,
dikasih bunga. Tuturan ini mengimplikasikan suatu fakta bahwa model dan desain
kerudung telah mengalami transformasi, menyesuaikan diri dengan tren busana
masa kini. Wacana ini juga mematuhi maksim cara karena tidak ada satupun
tuturan yang mengandung ambiguitas.
Bagian wacana (99) yang tidak mematuhi maksim kuantitas dan maksim
relevansi ditandai oleh tuturan yang sama: tancepin batang singkong, pohon
kelapa. Tuturan tersebut tidak menambah informasi apapun dengan tuturan yang
mendahuluinya. Tuturan itu juga tidak relevan dengan tuturan sebelumnya, secara
khusus tuturan dikasih bunga. Tuturan ini menjadi set up pamungkas comic untuk
membelokkan persepsi dan harapan penonton pada tuturan yang akan
disampaikan comic berikutnya. Oleh karena ada unsur “tumbuhan” pada set up
(dikasih bunga) tersebut, maka comic lantas memberi dimensi informasi yang
mirip pada punch line-nya (tancepin batang singkong, pohon kelapa), yakni sama-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
sama memiliki unsur “tumbuhan”. Akan tetapi, baik secara tekstual maupun
kontekstual, set up dan punch line ini tidak saling terkait, karena yang menjadi inti
wacana di atas ihwal model kerudung kontemporer.
3.3.5 Subtipe IIe
Subtipe IIe adalah tuturan yang mematuhi maksim cara dan maksim
relevansi, tetapi tidak mematuhi maksim kuantitas dan maksim kualitas.
Perhatikan kedua wacana yang tergolong ke dalam Subtipe IIe di bawah ini.
(100) Capres menurut gua yang paling terpenting adalah harus tahu
sejarah. Karena kemarin ada capres deklarasi, salah milih tempat
sejarah. Dia deklarasi di Rumah Si Pitung. Padahal dia nggak
tahu dulu rumah sejarahnya si Pitung gimana. Pak, Pitung mah
kagak pernah punya rumah. Lah, seumur hidup dikejar Belande,
gimana mau punya rumah, Pak? Entuh rumah yang dirampok
Pitung sejarahnye. Ini orang katanya, “Biarin, saya deklarasi di
sini, biar menularkan semangat si Pitung.” Semangat ape?
Ngerampok? (David, show 17).
(101) Menurut gua, kondom itu nggak ada gunanya karena sudah
gagal memenuhi fungsinya untuk mencegah pertambahan
penduduk. Kenapa bisa gagal? Alasannya simpel: karena iklan
kondom ditaroh jam 1 malam. Ini yang mau nonton siapa?
Setan? Ini mungkin makanya di zaman modern nggak ada lagi
film horor beranak dalam kubur, karena setannya udah pakai
kondom. (Coki, pre show 1).
Wacana (100) mematuhi maksim relevansi karena setiap informasi di dalam
tuturan ini saling terkait. Adapun intisari wacana ini berisi tentang kesalahan salah
satu capres pada Pilpres 2014 dalam memilih tempat pendeklarasiannya. Berikut
tuturan kuncinya: Capres menurut gua yang paling terpenting adalah harus tahu
sejarah. Karena kemarin ada capres deklarasi, salah milih tempat sejarah. Lebih
lanjut, comic membeberkan alasannya mengapa ia menganggap capres tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
salah dalam memilih tempat deklarasi. Tuturan kuncinya sebagai berikut: Pak,
Pitung mah kagak pernah punya rumah. Lah, seumur hidup dikejar Belande,
gimana mau punya rumah, Pak? Entuh rumah yang dirampok Pitung sejarahnye.
Selain itu, wacana di atas juga mematuhi maksim cara karena tidak ada satupun
tuturan yang bersifat ambigu.
Bagian wacana (100) yang tidak mematuhi maksim kuantitas ditandai dalam
tuturan kunci ini yang juga menjadi punch line-nya: Semangat ape? Ngerampok?
Kontribusi tuturan ini dianggap berlebihan karena tidak informatif dan hanya
merupakan opini comic yang mempertanyakan (memojokkan) pernyataan capres
tersebut yang terdapat pada tuturan berikut: Biarin, saya deklarasi di sini, biar
menularkan semangat si Pitung.
Sementara itu, tuturan yang tidak mematuhi maksim kualitas terdapat pada
bagian wacana berikut: Pitung mah kagak pernah punya rumah. Lah, seumur
hidup dikejar Belande, gimana mau punya rumah, Pak? Tuturan ini dapat
menghasilkan lebih dari satu interpretasi, yang disebabkan oleh beragamnya versi
cerita tentang sejarah hidup Pitung. Tuturan ini bisa jadi menimbulkan efek humor
jika diasumsikan bahwa penonton menganggap informasi pada tuturan tersebut
tidak benar. Terlepas dari perdebatan kepemilikan Rumah Pitung –apakah itu
kediaman asli Pitung atau bukan–, tuturan comic yang mengungkapkan bahwa
Pitung sama sekali tidak memiliki rumah (selain Rumah Pitung), dapat
menimbulkan keraguan bagi penonton karena dianggap tidak logis.
Wacana (101) mematuhi maksim cara karena tuturan yang disampaikan
tidak mengandung informasi yang taksa. Wacana di atas juga mematuhi maksim
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
relevansi. Pokok pembicaraan wacana ini berisi tentang kritik comic atas
kegagalan kondom dalam memenuhi fungsinya sebagai pencegah pertambahan
jumlah penduduk. Lebih lanjut, comic pun menerangkan opininya (alasan
gagalnya fungsi kondom) yang bertalian dengan masalah pada pokok
pembicaraannya.
Sementara itu, bagian wacana (101) yang tidak mematuhi maksim kuantitas
diterangkan dalam tuturan kunci berikut: Ini yang mau nonton siapa? Setan? Ini
mungkin makanya di zaman modern nggak ada lagi film horor beranak dalam
kubur, karena setannya udah pakai kondom. Tuturan ini menimbulkan efek humor
karena kontribusi informasinya berlebihan. Idealnya, wacana di atas berakhir pada
tuturan Karena iklan kondom ditaroh jam 1 malam.
Wacana ini juga tidak mematuhi maksim kualitas karena comic
menyampaikan informasi yang tidak benar. Melalui imajinasinya, comic beropini
atau menduga bahwa iklan kondom yang ditayang pada tengah malam hanya
ditonton oleh setan, sehingga kondom lebih banyak dipakai oleh setan-setan
tersebut ketimbang manusia. Imbasnya, eskalasi pertumbuhan manusia terus
meningkat, sedangkan angka reproduksi setan menjadi berkurang –hal itu tampak
pada minimnya keberadaan film horor yang mengisahkan tentang mayat wanita
yang beranak di dalam kubur. Secara fungsional dan logika, yang hanya
menggunakan kondom adalah manusia dan yang mampu bereproduksi atau
berkembang biak adalah manusia, hewan, dan tumbuhan. Dengan demikian,
tuturan si comic tidak memiliki nilai kebenaran.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
3.4 Tuturan yang Mematuhi Satu Maksim, tetapi Tidak Mematuhi Tiga
Maksim (Tipe III)
Tipe ini mencakup dua subtipe, yaitu Subtipe IIIa dan Subtipe IIIb. Berikut
ini adalah penjabarannya.
3.4.1 Subtipe IIIa
Subtipe IIIa adalah tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, tetapi tidak
mematuhi maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara. Wacana berikut
tergolong dalam Subtipe IIIa.
(102) Orang Betawi mah kenal pelem dari layar tancap. Untung
penonton layar tancap ini tertib, gelar koran, baris rapi. Kagak
kayak nonton dangdut: rusuh. Yang nonton lulusan SSB,
Sekolah Senggol Bacok. Senggol dikit berantem. Kita lagi joget
enak-enak. Ya elah.
O1: (disenggol) Woi...! Anak mana loe?
O2: Anak elu! Pulang, Pa! Emak nyariin ono. (David, show 5).
Wacana (102) mematuhi maksim kuantitas karena sumbangan informasi
yang diberikan memadai. Pokok pembicaraan wacana ini ihwal perbedaan tingkah
laku penonton layar tancap dan penonton dangdut. Lebih lanjut, comic
memberikan ilustrasi melalui dialog O1
dan O2
untuk menunjukkan perilaku kasar
penonton konser dangdut.
Wacana ini memiliki tuturan yang tidak mematuhi maksim kualitas, yaitu
ditandai dengan tuturan kunci kagak kayak nonton dangdut: rusuh. Yang nonton
lulusan SSB, Sekolah Senggol Bacok. Informasi pada tuturan ini tidak valid karena
keberadaan Sekolah Senggol Bacok pada kenyataannya tidak pernah ada. Tuturan
ini dimaksudkan comic untuk mengimplikasikan kelakuan penonton dangdut agar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
mengundang gelak tawa penonton.
Selain itu, pada wacana di atas terdapat tuturan yang mengandung informasi
yang ambigu, yakni pada kata SSB. Pada umumnya, terminologi ini dipahami
sebagai singkatan dari Sekolah Sepak Bola. Namun, untuk menciptakan efek
humor, comic menyimpangkan artinya menjadi Sekolah Senggol Bacok.
Wacana (102) juga tidak mematuhi maksim relevansi, yakni ditandai
melalui tuturan dalam dialog O1
dan O2. Pada saat O
1 memarahi dan menanyai O
2
karena menyenggolnya, penonton berasumsi bahwa O2
adalah orang lain (orang
yang tidak dikenalinya) atau tidak setempat asal dengan O1. Akan tetapi, comic
membelokkan asumsi penonton dengan menyebut bahwa O2
adalah anak O1.
3.4.2 Subtipe IIIb
Subtipe IIIb adalah tuturan yang mematuhi maksim cara, tetapi tidak
mematuhi maksim kuantitas, maksim kualitas, dan maksim relevansi. Wacana di
bawah ini termasuk dalam Subtipe IIIb.
(103) Waktu itu saya hampir ikut kontes nyanyi Factor X, tapi nggak
jadi. Soalnya yang dinilai bukan suaranya, tapi tampangnya.
Lihat aja Mika tuh ya. Mika itu cuma modal tampang cakep.
Coba kalo dia nggak cakep, pasti jelek. Pasti komentarnya kayak
gini, “Lagu kamu pernah dinyanyiin sama Once, tapi aku lebih
suka waktu kamu nyanyiinnya. Feel-nya lebih dapet.” Ini
bahaya kalau penontonnya itu kebawa ke kehidupan sehari-hari
gitu ya. Ada guru gitu, misal.
O1: Fatin, satu tambah satu berapa?
O2: Dua, Bu.
O1: Kemarin Tuti juga jawab seperti kamu, tapi saya lebih suka,
tapi saya lebih suka suka jawaban kamu ya. Feel-nya lebih
dapet. (Beni, show 1).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
Wacana (103) tidak memiliki tuturan yang bersifat ambigu. Adapun nama-
nama penyanyi, seperti Mika, Once, dan Fatin, yang disebutkan pada wacana ini,
diucapkan secara jelas (tanpa dipelesetkan) oleh comic. Lain halnya dengan ujaran
Factor X. Tuturan ini dipelesetkan comic dari nama sebenarnya X Factor –salah
satu ajang pencarian bakat dalam bidang tarik suara, yang tayang di stasiun
RCTI–, tetapi tidak menimbulkan ambiguitas.
Bagian wacana (103) yang tidak mematuhi maksim kuantitas ditandai dalam
tuturan kalo dia nggak cakep, pasti jelek. Keberadaan tuturan pasti jelek
berlebihan dan tidak menambah informasi apapun dari tuturan sebelumnya. Frasa
nggak cakep merupakan parafrasa dari kata jelek. Dengan demikian, kedua tuturan
tersebut memiliki dimensi makna yang sama.
Adapun tuturan yang tidak mematuhi masim kualitas ditandai pada ujaran
Kemarin Tuti juga jawab seperti kamu, tapi saya lebih suka, tapi saya lebih suka
suka jawaban kamu ya. Feel-nya lebih dapet. Tuturan tersebut dinilai tidak logis
dan tidak benar, karena pada kenyataannya penilaian yang diberikan oleh guru
atas jawaban siswa tidak berdasarkan pada nilai rasa yang didapatkannya saat
siswa menjawab pertanyaannya, melainkan karena nilai kebenarannya.
Sementara itu, tuturan yang tidak mematuhi maksim relevansi terdapat
pada tuturan Coba kalo dia nggak cakep –bagian set up– dan tuturan pasti jelek –
yang menjadi punch line. Idealnya, setelah comic melontarkan set up ini,
penonton akan berasumsi bahwa jika Mika, kontestan bertampang rupawan di
X Factor, diandaikan berburuk rupa, maka keberadaannya pada kontes tersebut
tidak akan pernah ada, karena menurut opini comic ajang kontes bernyanyi ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
hanya diperuntukkan bagi individu yang memiliki tampang menarik. Akan tetapi,
comic membiaskan asumsi tersebut dengan memberi punch line yang tidak
koheren dengan harapan penonton.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Penelitian bertajuk “Wacana Humor Kritik Sosial dalam Stand Up Comedy
Indonesia Season 4 di Kompas TV: Tinjauan Pragmatik” ini membahas dua
masalah, yaitu: (1) sasaran kritik dan hal yang dikritik dalam WHKS SUCI 4; (2)
kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja
sama.
Berdasarkan pembahasan pada Bab II dan Bab III, diperoleh hasil sebagai
berikut. Pertama, pihak yang dikritik adalah:
(a) Pemerintah, dengan hal yang dikritik:
(i) kebijakan diskriminatif;
(ii) kinerja;
(iii) kegagalan penegakan aturan.
(b) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dengan hal yang dikritik:
(i) kinerja;
(ii) kebiasaan tidur saat rapat;
(iii) korupsi.
(c) Anggota organisasi kemasyarakatan Islam, dengan hal yang dikritik:
(i) sikap munafik;
(ii) sikap intoleransi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
(d) Perempuan Indonesia, dengan hal yang dikritik:
(i) kesalahpahaman atas konsepsi kesetaraan gender;
(ii) profesi;
(iii) kecemburuan yang berlebihan;
(iv) kesadaran wanita muslim untuk berkerudung.
(e) Pertelevisian Indonesia, dengan hal yang dikritik:
(i) kualitas program;
(ii) jam tayang iklan;
(iii) diskriminasi peran keaktoran.
(f) Pedangdut wanita, dengan hal yang dikritik:
(i) musikalitas.
(g) Orangtua, dengan hal yang dikritik:
(i) pola asuh terhadap anak.
(h) Masyarakat lokal, dengan hal yang dikritik:
(i) sikap apatis pemuda Betawi pada tanjidor;
(ii) kesadaran masyarakat Jakarta dalam penanganan banjir;
(iii) perilaku penonton dangdut;
(iv) tingkah laku pelajar Bintaro;
(v) stigma masyarakat terhadap orang kurus.
(i) Masyarakat luas, dengan hal yang dikritik:
(i) sikap politik dalam Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden 2014;
(ii) minimnya penghargaan terhadap dokter;
(iii) sikap individualistis akibat penggunaan handphone;
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
(j) Persepakbolaan, dengan hal yang dikritik:
(i) kualitas permainan timnas sepak bola;
(ii) kualitas wasit Indonesia;
(iii) tindakan provokasi.
(k) Institusi pendidikan, dengan hal yang dikritik:
(i) ketiadaan pembelajaran sasando;
(ii) pelaksanaan masa orientasi siswa;
(iii) kualitas gizi di pondok pesantren.
(l) Tokoh, dengan hal yang dikritik:
(i) pemilihan tempat pendeklarasian sebagai capres;
(ii) tindakan kekerasan fisik Ustad Hariri.
Kedua, perihal dengan penciptaan humor, kepatuhan dan ketakpatuhan
tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja sama terdiri dari tiga tipe utama.
(a) Tuturan yang mematuhi tiga maksim, tetapi tidak mematuhi satu maksim
(Tipe I). Tipe ini mencakup:
(i) Subtipe Ia, yaitu tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim
relevansi, dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim kualitas;
(ii) Subtipe Ib, yaitu tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim
kualitas, dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim relevansi.
(iii) Subtipe Ic, yaitu tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim
kualitas, dan maksim relevansi, tetapi tidak mematuhi maksim cara.
(b) Tuturan yang mematuhi dua maksim, tetapi tidak mematuhi dua maksim
(Tipe II) . Tipe ini mencakup:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
(i) Subtipe IIa, yaitu tuturan yang mematuhi maksim kuantitas dan
maksim kualitas, tetapi tidak mematuhi maksim relevansi dan maksim
cara;
(ii) Subtipe IIb, yaitu tuturan yang mematuhi maksim kuantitas dan
maksim relevansi, tetapi tidak mematuhi maksim kualitas dan maksim
cara;
(iii) Subtipe IIc, yaitu tuturan yang mematuhi maksim kuantitas dan
maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim kualitas dan maksim
relevansi;
(iv) Subtipe IId, yaitu tuturan yang mematuhi maksim kualitas dan
maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim kuantitas dan maksim
relevansi;
(v) Subtipe IIe, yaitu tuturan yang mematuhi maksim cara dan maksim
relevansi, tetapi tidak mematuhi maksim kuantitas dan maksim
kualitas.
(c) Tuturan yang mematuhi satu maksim, tetapi tidak mematuhi tiga maksim
(Tipe III). Tipe ini mencakup:
(i) Subtipe IIIa, yaitu tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, tetapi
tidak mematuhi maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara;
(ii) Subtipe IIIb, yaitu tuturan yang mematuhi maksim cara, tetapi tidak
mematuhi maksim kuantitas, maksim kualitas, dan maksim relevansi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
4.2 Saran
Penelitian ini berjudul “Wacana Humor Kritik Sosial dalam Stand Up
Comedy Indonesia Season 4 di Kompas TV: Tinjauan Pragmatik”. Sebelum
penelitian ini dilakukan, telah ditemukan sekurang-kurangnya dua penelitian
terkait wacana humor SUCI 4 (lihat tinjauan pustaka). Berdasarkan hasil
penelitian ini maupun kedua penelitian tersebut, hal yang dapat dikaji untuk
penelitian selanjutnya perihal wacana SUCI 4 yaitu proses penciptaan wacana
humor SUCI 4 berdasarkan kepatuhan dan ketakpatuhan tuturannya pada prinsip
kesopanan Leech.
Selain mengkaji wacana humor SUCI 4, peneliti selanjutnya pun dapat
mengkaji berbagai pertunjukan SUC termutakhir, seperti Stand Up Comedy
Acadamy (SUCA 1) di Indosiar dan Stand Up Comedy Indonesia Season 5 (SUCI
5) serta Stand Up Comedy Indonesia Season 6 (SUCI 6) yang masing-masing
tayang di Kompas TV. Hal ini sangat memungkinkan bagi peneliti lain karena
maraknya fenomena tuturan di dalam wacana SUC yang terbilang unik atau
berbeda dari tuturan pada umumnya. Dengan demikian, kajian linguistis terhadap
wacana SUC pun dapat terus berlanjut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Baryadi, I. Praptomo. 2002. Dasar-dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa.
Yogyakarta: Pustaka Gondho Suli.
_________________. 2015. Teori-teori Linguistik Pascastruktural Memasuki
Abad ke-21. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Budiardjo, Miriam dan Ibrahim Ambong (Editors). 1993. Fungsi Legislatif dalam
Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Cahyaprasetya, Vicky Puri. 2015. “Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dan Prinsip
Kesopanan dalam Acara Tatap Mata Trans 7 sebagai Wahana Menciptakan
Humor Verbal Lisan”. Skripsi pada Program Studi Pendidikan Bahasa,
Sastra Indonesia, dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Damono, Sapardi Djoko. 1983. Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa
Catatan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Dean, Greg. 2012. Step by Step To Stand-Up Comedy. Jakarta: Bukune.
Fadilah, Emy Rizka. 2015. “Humor dalam Wacana Stand-Up Comedy Indonesia
Season 4 di Kompas TV”. Skripsi pada Program Studi Sastra Indonesia,
Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang.
Grice, H.P. 1975. “Logic and Conversation”. Dalam Syntax and Semantics:
Speech Act 3. New York: Academic Press. Halaman 41-58.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Kwant. 1975. Manusia dan Kritik. Yogyakarta: Kanisius.
Leech, Geoffrey. 1983. Principles of Pragmatics. London and New York:
Longman Press.
Sari, Chyndy Febrinda. 2012. “Humor dalam Stand Up Comedy oleh Raditya
Dika: Kajian Tindak Tutur, Jenis, dan Fungsi”. Skripsi pada Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitas Negeri Surabaya.
Shadily, Hassan. 1993. Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta.
Subagyo, Paulus Ari. 2012. “Bingkai dalam Wacana Tajuk Tentang Terorisme:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
Kajian Pragmatik Kritis atas Editorial Suara Pembaruan dan Republika”.
Disertasi pada Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sudarsono, Sony Christian. 2013. “Wacana Gombal dalam Bahasa Indonesia:
Kajian Struktural, Pragmatis, dan Kultural”. Skripsi pada Program Studi
Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar
Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakrta: Sanata
Dharma University Press.
Sugono, Dendy, dkk (eds.). 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi
Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tim Nasional Dosen Pendidikan Kewarganegaraan. 2010. Pendidikan
Kewarganegaraan: Paradigma Terbaru untuk Mahasiswa. Bandung:
Alfabeta.
Wati, Desy Winda. 2013. “Kajian Prinsip Kerja Sama terhadap Pertunjukan Stand
Up Comedy Show di Metro TV”. Skripsi pada Program Studi Bahasa dan
Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra,
Universitas Negeri Malang, Malang.
Wijana, I Dewa Putu. 2004. Kartun: Studi tentang Permainan Bahasa.
Yogyakarta: Ombak.
Wijayanti, Asri. 2015. “Analisis Wacana Stand Up Comedy Indonesia Session 4
Kompas TV”. Tesis pada Program Studi Linguistik, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
PUSTAKA LAMAN
Anshari, Dian Fath Risalah El. 2014. “Deklarasi di Rumah Si Pitung Jokowi
Harus Minta Maaf”. Stable URL: http://nasional.kompas.com/read/2014/
03/22/1010023/Deklarasi.di.Rumah.Si.Pitung.Jokowi.Harus.Minta.Maaf.
Diunduh pada 19/3/2016, 12.10.
Arif, Ahmad. 2013. “Bagi Jakarta Banjir Seolah Menjadi Takdir”. Stable URL:
http://sains.kompas.com/read/2013/01/18/09141229/Bagi.Jakarta.Banjir.
Seolah.Menjadi.Takdir. Diunduh pada 12/3/2016, 09.10.
Asikin, Zainal. 2014. “Gembong Komplotan Begal Bersenpi”. Stable URL:
http://www.teraslampung.com/2014/09/gembong-komplotan-begal-
bersenpi.html. Diunduh pada 12/3/2016, 09.15.
Auliani, Palupi Annisa. 2015. “Mau Tahu Hasil Riset Google soal Penggunaan
Smartphone di Indonesia”. Stable URL: http://tekno.kompas.com/read/
2015/11/19/23084827/Mau.Tahu.Hasil.Riset.Google.soal.Penggunaan.
Smartphone.di.Indonesia. Diunduh pada 12/3/2016, 09.30.
“Dangdut,” Stable URL: https://id.wikipedia.org/wiki/Dangdut. Diunduh pada
1/3/2016, 11.40
Djumena, Erlangga. 2015. “Turun, Jumlah Penduduk Miskin Capai 27,7 Juta
Orang”. Stable URL: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/01/03/
070700226/Turun.Jumlah.Penduduk.Miskin.Capai.27.7.Juta.Orang.
Diunduh pada 12/3/2016, 11.00.
Gatra, Sandro. 2013. “Survei Insis Publik Makin Tak Puas pada Kinerja DPR”.
Stable URL: http://nasional.kompas.com/read/2013/09/29/1224051/Survei.
Insis.Publik.Makin.Tak.Puas.pada.Kinerja.DPR. Diunduh pada 12/3/2016.
11.30.
Maharani, Dian. 2015. “Jenis Kecerdasan Anak dan Cara Mengembangkannya”.
Stable URL: http://health.kompas.com/read/2015/10/03/174041923/8.Jenis.
Kecerdasan.Anak.dan.Cara.Mengembangkannya. Diunduh pada 15/3/2016,
16.20.
Mulia, Prima. 2016. “Tiap Tahun Penduduk Indonesia Bertambah 3 Juta Orang”.
Stable URL: https://m.tempo.co/read/news/2016/01/14/173736151/tiap-
tahun-penduduk-indonesia-bertambah-3-juta-orang. Diunduh pada
15/3/2016, 16.30.
“Organisasi Massa,” Stable URL: https://id.wikipedia.org/wiki/ Organisasi massa.
Diunduh pada 1/3/2016, 11.15
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
“Pelawak Tunggal,” Stable URL: https://id.wikipedia.org/wiki/ pelawak_tunggal.
Diunduh: 9/2/2016, 11.00.
“Penduduk Indonesia Tambah 3,5 Juta Jiwa Per Tahun,” Stable URL:
http://nasional.kompas.com/read/2011/07/13/2024416/Penduduk.Indo.
Tambah.3.5.Juta.Jiwa.Per.Tahun. Diunduh pada 15/3/16, 16.40
Rastika, Icha. 2014. “Tahun 2035 Proyeksi Jumlah Penduduk Indonesia 305 Juta
Jiwa”. Stable URL: http://nasional.kompas.com/read/2014/01/29/1643028/
Tahun.2035.Proyeksi.Jumlah.Penduduk.Indonesia.305.Juta.Jiwa.
Diunduh pada 15/3/2016, 17.00.
Rusli, Andi. 2014. “Anas dan 466 Politikus yang Dijerat Kasus Korupsi”. Stable
URL: https://m.tempo.co/read/news/2014/09/23/ 063609068/anas-dan-466-
politikus-yang-dijerat-kasus-korupsi. Diunduh pada 16/3/16, 08.15.
“Rusuh Konser Dangdut,” Stable URL: http://tv.detik.com/readvideo/2012/08/
28/092238/120828019/080609680/rusuh-konser-dangdut. Diunduh pada
17/3/2016, 12.15.
Sukamto, Imam. 2013. “Lagi, Hasil Survei Kinerja DPR Buruk”. Stable URL:
http://nasional.tempo.co/read/news/2013/10/20/078523131/lagi-hasil-survei
kinerja-dpr-buruk. Diunduh pada 17/3/2016, 10.25.
Suryowati, Estu. 2015. “Desa di Indonesia Masih Tertinggal”. Stable URL:
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/10/20/141445026/20.168.
Desa.di.Indonesia.Masih.Tertinggal. Diunduh pada 17/3/2016, 11.10.
Syatiri, Ana Shofiana. 2013. “Tukang Parkir Beri Garansi Pentil Ban yang
Dicabut”. Stable URL: http://nasional.kompas.com/read/2013/09/24/
0842289/Tukang.Parkir.Beri.Garansi.Pentil.Ban.yang.Dicabut..Diunduh
pada 17/3/2016, 11.40.
“Tanjidor,” Stable URL: https://id.wikipedia.org/wiki/Tanjidor. Diunduh pada
1/3/2016, 11.50
Utama, Praga. 2014. “Video Ustad Hariri di Youtube Bikin Geger”. Stable URL:
http://m.tempo.co/read/news/2014/02/13/058553740/Video-Ustad-Hariri-di-
Youtube-Bikin-Geger. Diunduh pada 19/3/16, 12.30.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
149
LAMPIRAN
KEPATUHAN DAN KETAKPATUHAN
TUTURAN DALAM WACANA HUMOR KRITIK SOSIAL SUCI 4
1. Subtipe Ia
Subtipe Ia adalah tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim
relevansi, dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim kualitas. Wacana-
wacana berikut ini dikelompokkan ke dalam Subtipe Ia.
(104) Teman-teman, di sini ada yang tahu Rokatenda? Tidak ada. Inilah
suara minor yang mau saya bawa malam ini. Teman-teman,
Rokatenda adalah gunung berapi di Pulau Flores. Dia meletus dari
bulan Oktober 2012 sampai Desember 2013. Empatbelas bulan,
empatbelas bulan. Bahkan dari pertama kali dia meletus sampai dia
ulang tahun yang pertama, tiup-tiup lilin, tidak ada kado yang
datang, tidak ada. Wajar kalau teman-teman tidak tahu karena
memang berita Rokatenda meletus pada waktu itu, itu tertutup oleh
berita banjir Jakarta. Bahkan berita banjir Jakarta itu diarahkan
menjadi bencana nasional karena merugikan negara hampir duapuluh
triliun. Rokatenda selama empatbelas bulan meletus itu negara cuma
rugi seribu rupiah. Iya, dua koin lima ratus untuk tutup telinga.
(Abdur, show 1).
(105) Orangtua sekarang itu masih banyak yang berpikir bahwa anak yang
cerdas adalah anak yang pintar matematika, sedangkan anak yang
pintar di bidang lain itu enggak dibilang cerdas. Sekarang gini, untuk
orang-orang yang tidak mencintai matematika, buat apa loe belajar
matematika terlalu dalam. Ingat, men, loe belajar matematika dari
SD sampai SMA persamaan linear dua variabel enggak kepakai pas
loe lagi beli siomay. Ya kan? Ya kali gitu beli siomay.
O1: Bang, beli siomay. Bang, kalau siomay 1, tahunya 3 kan tiga
ribu. Kalau siomay 2, tahunya 5 kan lima ribu. Berapakah harga
satu siomay?
Ya, enggak gitu, kan? (Dzawin, show 8).
(106) Biasa ke kantor pakai Camry, ini jalan kaki. Pas lagi jalan ketemu
preman. Tapi, nggak akan dipalak. Ya, kali preman pasar malak
preman negara? Loe tahu kan preman pasar itu.
O1: Woi, siapa loe?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
150
O2: Tukang daging, bang.
O1: Duit, duit!
O1: Woi, siapa loe?
O2: Anggota dewan.
O1: Duit.
O2: Kenapa, kok saya nggak jadi dipalak.
O1: Maaf nih ya, Pak. Saya preman biasa malak duit halal. Kalau
saya malak Bapak, dosanya dobel. (Dzawin, show 6).
(107) Di sini ada yang tahu tanjidor? Tanjidor itu musik asli Betawi sejak
tahun 1918. Nggak cuma musiknya yang tua, pemainnya juga. Ini
anak mudanya pada kemane? Loe kagak cukup naroh aki-aki buat
adzan subuh? Ini aki-aki kasihan. Pagi adzan subuh, siang main
tanjidor, ini Maghrib masih hidup sujud syukur. (David, show 2).
(108) (Lagu: Buang sampah ke dalem kali. Kalo banjir, setenge mati).
Stop. Banjir setenge mati. Jakarta banjir salah siapa? Salah kite.
Tempat air loe tempatin. Zaman dulu Pitung bisa jalan di air itu sakti.
Salah. Pitung visioner. Zaman sekarang nemu orang jalan di air mah
banyak. Saban banjir kita jalan di air. Saktian kita ama Pitung. Jalan
di airnya rutin setahun sekali. (David, show 14).
(109) Selain jadi comic, gua juga seneng sepak bola. Di sini ada fans
Barcelona? Gua kasih tahu, Barcelona ini memiliki taktik yang
nggak dimiliki sama klub-klub lain: tiki-taka. Tiki-taka ini
permainan dari kaki ke kaki, dari Xavi ke Iniesta, Iniesta ke Messi,
gol. Keren kan. Dan, sebenarnya Indonesia memiliki taktik juga, tapi
nggak dimiliki sama negara-negara lain: teka-teki. Karena dia nggak
bakal tahu ngoper ke mana. (Pras Teguh, pre show 1).
(110) Tapi, emang menurut gua, wasit itu harus tegas. Loe lihat di Piala
Dunia, kalau ngasih kartu kuning ya ngasih aja. Wasit Indonesia
ragu-ragu. Pelanggaran:
O1: Hei! Aduh kasih nggak ya? Kasih nggak ya?
O2: Apa, kartu?
O1: Ha? Enggak, gatel. (Pras Teguh, show 15).
(111) Lampung itu banyak begal. Kalau orang naik motor sendirian,
apalagi kalau di jalan sepi, udah itu. Berharap aja di rumah punya
nyawa cadangan, karena pasti dibegal. Iya. Orang mau ke pasar aja
kebegal. Bahkan mau ke warung aja kebegal. Orang mau ngebegal,
dibegal. Karena begal itu suka nyari tempat sepi; bawa golok
nungguin orang datang. Tiba-tiba di belakangnya ada begal, bawa
pistol, todong.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
151
O1: Oi, sini motor kamu.
O2: Oi, saya ini begal. Kok kamu begal? Saya ini bawa golok saya
ini.
O1: Woi, saya bawa pistol.
O2: Senjata kamu lebih canggih rupanya. Ya udahlah, ambil motor
saya.
Udahnya, dia nelpon polisi kan.
O2: Pak, tolong Pak. Ini motor saya dibegal Pak.
O3: Oh iya, tunggu, Dek. Saya juga lagi dibegal ini. (Wendi, pre
show 2).
2. Subtipe Ib
Subtipe Ib adalah tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim
kualitas, dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim relevansi. Wacana di
bawah ini digolongkan ke dalam Subtipe IIb.
(112) Betawi mah mohon maaf, bukannya kita nggak mau dandan. Laki-
bini di rumah sering berantem gara-gara dandan. Coba, lakinya
tadinya kagak rapi, rapi sedikit bininya nyap-nyap.
O1: Kampung mane yang baru ade jande?
Nyisir sedikit, bininya nyap-nyap, nyanyi.
O1: Biasanya tak pakai minyak wangi.
Lakinya marah.
O2: Eh, loe nyanyi kagak joget. Joget dong. Biasanya tak pakai
minyak wangi. (David, show 13).
(113) Gua resah banget, resah banget. Sebagai anak muda yang religius,
gua resah, sampai gua bela-belain survei tuh tempat. Survei, serius
gua survei. Gua masuk ke dalem ditawarin pakai foto.
O1: Mau yang mana, Mas?
O2: Yang ini ajalah.
Kite masuk ke dalam kamar. Asyik nih. Jablaynya masuk.
O3: Bang.
O2: Iye.
O3: Mau mulai dari mana?
O2: Aduh, mulai dari mana. Neng muslim?
O3: Iya, Bang.
O2: Ya udah, kita mulai dari surat Al-Isra ayat 32. Wa la taqrabuz
zina. Janganlah kau mendekati zinah.
Ya Allah, tuh jablay bengong. Lima menit dia cabut.
O2: Eh, mau ke mana, loe?
O3: Ambil mukenah. (David, show 17).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
152
(114) Sampai sekarang masih banyak orangtua yang berpikir, anak yang
mendalami hobinya itu, itu nggak baik, orangtua nggak senang.
Karena banyak orangtua sekarang berpikir bahwa anak SD lebih baik
pintar matematika, anak SMP pintar fisika dasar, anak SMA pintar
kimia, mahasiswa pintar dialektika. Kalau semua orang beranggapan
seperti itu, terus bidang-bidang lain siapa yang mau ngisi? Siapa
yang mau ngisi? Ya, diisi sama anak yang dulunya dianggap bodoh
di sekolah yang bahkan nggak naik kelas dua kali: Pras Teguh.
Bidang lain mau diisi sama siapa? Anak pinggiran, anak Betawi
pinggiran yang dulunya tukang ojek? Yang kalau omong apa-apa
nyai, apa-apa nyai. Bidang lain mau diisi sama siapa? Sama anak
pesisir timur yang datang ke Malang buat belajar, dan ketika datang
ke Jakarta, masuk hotel ngelihat air langsung teriak, “Eh, Dzawin,
Dzawin, sumber air su dekat.” Ya kan? Dan bidang lain mau diisi
sama siapa? Bidang lain diisi sama anak pesantren yang dulunya
hanya bisa dianggap hanya bisa ngaji dan ceramah, padahal nggak
bisa dua-duanya. (Dzawin, show 15).
(115) Menurut gua mah, ormas berani kalau rame-rame. Sendiri mah
belom tentu. Kita tempatin, Pak, ormas di tempat prostitusi. Rame-
rame dia sweeping, Pak. Kemarin gua temuin ormas sendiri, Pak.
Pakai peci, pakai sticklight. Bener, ada mobil mewah mau masuk,
dia setopin.
O1: Stop! Ya, kiri dikit, Pak. Kanan, kanan, mundur dikit. (David,
show 1)
(116) Tapi gitu, gue ngelihat tenaga kesehatan dan dokter di Indonesia
kurang dihargai. Yang klise aja nih ya, misalnya habis operasi,
“Bapak, operasinya berhasil.” “Terima kasih, Tuhan.” Tapi, kalau
kejadiannya lain. “Bapak, kami telah berusaha, tapi anak Bapak
tidak bisa selamat dalam operasi ini.” “Dokter melakukan
malpraktek! Dokter melakukan malpraktek!” Tuh. Kalau berhasil,
yang diterimkasihin Tuhan; kalau gagal yang disalahi dokter.
Mungkin orang-orang lupa, tangan Tuhan bekerja lewat siapa.
Maradona, tangan Tuhan. (Liant, show 6).
(117) Sebenarnya malam hari ini tuh saya kepingin sekali berada di
panggung ini, kemudian bawa sasando, alat musik asli NTT begitu.
Cuma apa daya, saya tidak bisa main sasando. Teman-teman, di NTT
sekalipun belajar sasando itu tidak masuk dalam kurikulum. Tidak
masuk. Sedikit lagi masuk museum itu. Saya takutnya, ini lama-
kelamaan sasando itu hanya bisa tinggal cerita. Saya punya anak
begitu, kemudian saya punya anak datang, tanya ke saya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
153
O1: Bapa, katanya sasando itu alat musik NTT. Itu dia pung cara
main bagaimana e?
O2: Ah, dia punya cara main itu, anak, ya begitu.
O1: Ya begitu bagaimana?
O2: Ya, begitu. Ya, kalau gitar kan begini (sambil memetik gitar).
Nah, gitar begini. Nah, sasando begitu.
O2: Ah, sudah anak. Tidak usah pikir. Mari kita minum tuak
saja.(Abdur, show 14).
(118) Tapi, kalau loe sadar ya, kalau loe sadari, sebenarnya MOS itu bukan
ajang untuk perkenalan sekolah, tapi dipakai sama senior-senior ini
dipakai untuk ajang obral cinta, tebar pesona, modus. Iya. Kan kalau
kita disuruh pakai aksesoris kalau aksesorisnya nggak lengkap itu
kita dihukum ya. Coba kalau yang dihukum itu cewek, cantik, terus
hidung mancung, kayak Nabila gitu lah, eh Nadia, kayak Nadia gitu,
ya kan.
O1: Eh, kamu. Kenapa aksesoris kamu enggak lengkap?
O2: Maaf, Kak, tadi ketinggalan.
O1: Enggak ada alesan. Kamu harus dihukum!
O2: Hukumannya apa, Kak?
O1: Nanti kakak kasih tahu lewat SMS. Mana nomor kamu?
(Dzawin, show 7).
(119) Kalau menurut gua fungsi dari pakaian, fungsi dari pakaian, fungsi
dari fesyen itu ada dua: yang pertama visual, yang kedua fungsional.
Enak dilihat dan bisa merepresentasikan sikap. Percuma pakai peci-
koko-sarung, peci-koko-sarung, tapi pas giliran puasa ada warteg
masih digerebek. Ya kan? Padahal udah ditirai. Padahal udah ditirai,
masih digerebek. Kan kasihan. Gua belum kenyang. (Dzawin, show
13).
(120) Saya itu selalu bingung. Kita itu selalu bingung kalau pemilihan.
Kita selalu bingung memikirkan caleg. Padahal caleg tidak pernah
bingung memikirkan kita. Caleg tidak pernah bingung memikirkan
kita. Padahal seperti ini. Mereka juga tidak mengingat kita. Maksud
saya, ingatlah kita, ingat kita, apalagi kalau kalian sudah korupsi.
Ingat, bagi-bagi hasil korupsi. Dan begini, kalau misalnya. Tapi,
jangan kalian pilih caleg yang seperti itu. Itu tidak baik. Yang harus
kalian pilih itu caleg yang jujur. Jujur kalau butuh uang rakyat. (Sri,
show 6).
(121) Teman-teman, teman-teman tahu gedung Kementerian Desa
Tertinggal itu ada di mana? Ada di Jakarta. Fungsinya apa? Itu sama
seperti kita buat orang-orangan sawah taruh di laut. Buat apa? Mau
usir paus pakai orang-orangan sawah, hah? Maksud saya, tempatkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
154
segala sesuatu itu berdasarkan fungsinya. Kementerian Desa
Tertinggal ya taruh di desa tertinggal begitu. Taruh di desa tertinggal.
Kalau taruh di Jakarta, tiap pagi dia bangun buka jendela, begitu. Dia
buka.
O1: Wah, bangunan sudah banyak, gedung sudah banyak. Wah,
Indonesia sudah maju.
Kalau taruh di desa tertinggal, begitu buka jendela.
O1: Hei, ini jendela di mana ini?
Saking tertinggalnya, jendela saja tidak ada. Mungkin itu karena
namanya Kementerian Desa Tertinggal, jadi menterinya di sini,
desanya ditinggal. (Abdur, show 17).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI