dhf siti fix-1

33
Case Reports DENGUE HAEMORRHAGE FEVER Oleh: SITI AISYAH, S.KED NIM 1408465593 Pembimbing : dr. Riza Iriani., Sp.A KEPANITRAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK 1

Upload: asiyah-uswatun-nisa

Post on 30-Jan-2016

22 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

dfhhfgjhgkjjh

TRANSCRIPT

Page 1: dhf siti fix-1

Case Reports

DENGUE HAEMORRHAGE FEVER

Oleh:

SITI AISYAH, S.KED

NIM 1408465593

Pembimbing :

dr. Riza Iriani., Sp.A

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU

RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU

2015

1

Page 2: dhf siti fix-1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi virus dengue merupakan salah satu penyebab penyakit tersering pada anak-

anak.1 Infeksi virus dengue pada manusia menyebabkan spektrum manifestasi klinik yang

bervariasi dari dengue fever, dengue with warning sign, severe dengue.2 Tanda patoknomonik

antara Demam Dengue (DD) dengan Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah peningkatan

permeabiltas kapiler darah yang menyebabkan adanya kebocoran dari intravaskular ke

kompartemen ekstravaskular. Demam berdarah dengue mempunyai mortality rate 5%, tetapi

bila berkembang menjadi sindrom syok dengue mortality rate akan meningkat menjadi 40%.1

Pada saat ini DBD di banyak negara di kawasan Asia Tenggara merupakan penyebab

utama perawatan anak di rumah sakit. Saat ini, jumlah kasus masih tetap tinggi, rata–rata 10–

25 kasus per 100.000 penduduk, namun angka kematian telah menurun bermakna menjadi <

2 %. Infeksi dengue yang terbanyak adalah pada kelompok umur 4 – 10 tahun. Pada tahun

2004, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia melaporkan 23.857 kasus DBD yang

dirawat di Rumah Sakit, termasuk diantaranya sebanyak 367 kematian. Di Sumatra bagian

Selatan sendiri prevalensi DBD adalah 0.4%.2 Tidak ada terapi yang spesifik untuk DD dan

DBD, prinsip utama adalah terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka

kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi

merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan

pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu

dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah

dehidrasi dan hemokonsentrasi yang dapat memperburuk keadaan pasien.3

2

Page 3: dhf siti fix-1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Demam berdarah dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus, yang tergolong

arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk terutama menyerang

anak, remaja dan dewasa. Demam dengue merupakan penyakit infeksi virus yang ditularkan

melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Empat serotipe penyebab virus

dengue, yaitu DEN 1, 2, 3 dan 4 dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi di banyak

daerah di dunia. Virus dengue dapat menyebabkan manifestasi klinis yang bermacam-macam

dari asimptomatik sampai DBD dengan kebocoran plasma yang dapat mengakibatkan syok

hipovolemik yaitu Dengue Shock Syndrome (DSS).3,4

2.2 Etiologi

Virus dengue merupakan small single stranded RNA. Infeksi dengue disebabkan oleh

virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Virus (Arbovirus) yang sekarang dikenal

dengan genus Flavivirus, famili Flaviviride dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-1,

Den-2, Den-3 dan Den-4.5,6

Aedes aegypti adalah vektor utama nyamuk demam beradrah. Virus berkembang di

nyamuk selama 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum menularkan kembali ke

manusia. Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4-7 hari (intrinsic

incibation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia ke nyamuk hanya

terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum

panas sampai 5 hari sebelum timbul demam.5,6

2.3 Epidemiologi

Demam berdarah dengue terjadi dimana banyak tipe virus dengue secara simultan

atau berurutan ditularkan. Demam ini adalah endemik di Asia tropik, dimana suhu panas dan

praktik penyimpanan air dirumah menyebabkan populasi Aedes aegypti besar dan permanen.

Setelah 14 tahun sejak KLB pertama di Manila, yaitu tahun 1968 kasus DBD untuk

pertama kalinya dilaporkan di Indonesia. KLB pertama terjadi di Jakarta dan Surabaya. Kasus

3

Page 4: dhf siti fix-1

yang tercatat sebanyak 58 kasus DBD, 24 diantaranya mengalami kematian. Setelah kejadian

itu DBD menyebar ke kota-kota lainnya, khususnya kota-kota besar dengan kepadatan

penduduk dan mobilitas yang tinggi.5,6

Sejak tahun 2000, infeksi dengue telah menyebar hampir ke seluruh dunia. Pada tahun 2003,

8 negara yaitu Banglades, India, Indonesia, Maladewa, Myanmar, Sri lanka, Thailand dan

Timor leste telah melaporkan peningkatan dari kejadian infeksi dengue. Pada tahun 2007

Indonesia telah melaporkan lebih dari 150.000 kasus infeksi dengue, 25.000 kasus infeksi

dengue dilaporkan berasal dari ibu kota yaitu Jakarta dan Jawa barat. Faktor-faktor yang

mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD sangat kompleks, yaitu pertumbuhan

penduduk yang tinggi, urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali, tidak adanya

kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan peningkatan sarana transportasi.

Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor antara lain status

imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue, dan kondisi geografis

setempat. Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di Surabaya dan

Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun daerah penyebaran penyakit terjadi

peningkatan yang pesat. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di

Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence rate

meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-27

per 100,000 penduduk. 5,6,7

2.4 Patogenesis

Patogenesisnya belum dimengerti secara sempurna. Virus dengue masuk ke dalam

tubuh manusia melalui gigitan nyamuk dan infeksi pertama kali mungkin memberi gejala

sebagai demam dengue. Reaksi tubuh memberikan reaksi yang berbeda ketika seseorang

mendapat infeksi yang berulang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk. Hal ini

merupakan dasar teori yang disebut the secondary heterologous infection atau the sequential

infection hypothesis. Infeksi virus yang berulang ini akan menyebabkan suatu reaksi

anamnestik antibodi, sehingga menimbulkan kompleks antigen-antibodi dengan konsentrasi

tinggi.5,6

Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan

menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan

dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi

heterolog maka virus tidak dinetralisasi oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi

dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenaian antibody dependent enchancement

4

Page 5: dhf siti fix-1

(ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel

mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif

yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga

mengakibatkan keadaan hipovolemik dan syok.5,6

Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada tiap

pasien, respon antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari

mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi

antibodi IgG anti dengue. Replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang

bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini

mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen antibodi yang akan mengaktifkan sistem

komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan

permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke

ruang ekstravaskuler. Pada pasien yang syok berat volume plasma dapat berkurang sampai

lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan

adanya peningkatan hematokrit, penurunan kadar natrium dan terdapatnya cairan pada rongga

serosa (efusi pleura,ascites). Syok yang tidak ditangani secara adekuat akan menyebabkan

asidosis dan anoksia.5,6

Selain mengaktifkan komplemen, reaksi ini pun menyebabkan agregasi trombosit dan

mengaktivisasi sistem koagulasi melalui kerusakan endotel pembuluh darah. Kedua faktor

tersebut menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari

perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran

ADP, sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini membuat trombosit dihancurkan

oleh RES sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini menyebabkan pengeluaran

platelet faktor III sehingga terjadi koagulopati konsumtif (KID), ditandai dengan peningkatan

FDP (fibrinogen degredation product) sehingga ada penurunan faktor pembekuan.5,6

Agregasi trombosit mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun

jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Disisi lain, aktivasi koagulasi

akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehinga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga

memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi

perdarahan pada DBD merupakan akibat trombositopenia, penurunan faktor pembekuan

akibat KID, kelainan fungsi trombosit, kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya

perdarahan memperberat syok yang terjadi.5,6

Dampak metabolik lain yang terjadi pada infeksi virus dengue ialah memposisikan

tubuh host dalam kondisi hipermetabolik. Pada kondisi hipermetabolik tubuh menuntut

5

Page 6: dhf siti fix-1

mitokondria untuk meningkatkan produksi ATP. Dampak sampingnya ialah peningkatan

produksi Reactive Oxygen Species (ROS). ROS bersama sitokin proinflamatori menyebabkan

penurunan elastisitas otot polos kapiler, miokard dan berpengaruh pada sistem konduksi

jantung terutama pada sindrom syok dengue. Dapat dipahami bahwa syok pada infeksi DBD

dapat terjadi akibat perpindahan plasma, perdarahan, kelumpuhan otot polos vaskuler dan

kelumpuhan miokard.7

2.5 Klasifikasi

Hingga saat ini, di Indonesia masih digunakan penggolongan penyakit oleh virus

dengue menggunakan konsensus WHO tahun 1997, dimana infeksi virus dengue dibagi

asimtomatik dan simtomatik, asimtomatik yaitu undifferentiated fever dan demam dengue

(DD), simptomatik yaitu demam berdarah dengue (DBD). DBD sendiri diklasifikasikan

menjadi 4 kategori berdasarkan tingkat keparahannya dimana derajat III dan IV merupakan

Dengue syok sindrom (DSS). Menurut konsensus WHO, diagnosis DBD harus memenuhi

empat kriteria yaitu demam akut yang terjadi terus menerus selama 2-7 hari, terjadinya ciri-

ciri pendarahan, trombositopenia, serta hemokonsentrasi. 8-11

Saat ini banyak tenaga kesehatan serta ahli yang berpendapat bahwa kriteria WHO

tahun 1997 tersebut tidak praktis untuk digunakan, sulitnya mengonfirmasi kasus DBD pada

praktik sehari-hari, seringnya ditemukan kasus yang tidak memenuhi kriteria DBD (hanya

memenuhi kriteria demam dengue) namun dikemudian hari berkembang menjadi DBD berat,

serta penekanan tingkat keparahan DBD berdasarkan pendarahan yang terjadi dan bukannya

kebocoran plasma, pada kasus infeksi dengue yang sangat berat. 8-11

Merujuk pada hal tersebut, pada tahun 2009 WHO merevisi klasifikasi penyakit

akibat virus dengue. Pada panduan WHO, pasien langsung dikelompokkan berdasarkan

tingkat keparahan penyakit, dimana terdapat dua kategori besar yaitu Dengue tidak berat (non

severe dengue), serta dengue berat (severe dengue) berdasarkan temuan klinis serta

laboratoris. Pasien non severe dengue dibagi kembali menjadi dua subgrup, yaitu pasien

dengan warning signs serta pasien tanpa warning signs. 8-11

6

Page 7: dhf siti fix-1

Gambar 1. Pembagian klasifikasi kasus infeksi dengue menurut WHO 2009

2.6 Manifestasi Klinik

WHO pada tahun 2009 membagi gejala klinis demam dengue menjadi 3 fase, yaitu :

Fase Demam, Fase Kritis dan Fase Recovery.

1. Fase Demam

Demam akut yang berlangsung 2 - 7 hari dan sering disertai muka kemerahan, eritema

kulit, nyeri seluruh badan, mialgia, atralgia dan sakit kepala. Beberapa pasien dapat memiliki

gejala sakit tenggorokan, faring hiperemis dan injeksi konjungtiva. Anorexia, mual dan

muntah sering terjadi dan dapat sulit dibedakan dengan demam non-dengue pada fase awal.

Uji torniquet positif pada fase ini meningkatkan kepastian dari dengue. Manifestasi

perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan membran mukosa (mis. hidung dan gusi)

dapat terlihat. Gejala tidak khas seperti perdarahan vagina dan perdarahan gastrointestinal

dapat terjadi. Hati dapat membesar dan terasa sakit pada beberapa hari sewaktu demam.

Penurunan sel darah putih dapat memberikan tanda sebagai infeksi dengue (WHO, 2009).

Tanda dan gejala ini kurang dapat membedakan antara severe dan non severe dengue

sehingga perlu monitoring lebih untuk berhati - hati dalam menilai fase perkembangan ke

fase kritis.

7

Page 8: dhf siti fix-1

2. Fase Kritis

Pada tahap ini, demam masih berlangsung pada hari ke 3 – 7 namun temperatur

sedikit menurun yaitu 37.5 – 38 C atau lebih rendah dan juga menyebabkan peningkatan⁰

permeabilitas kapiler dengan level hematokrit yang meningkat. Periode kebocoran plasma

berlangsung selama 24 – 48 jam. Leukopenia parah diikuti dengan penurunan hitung

trombosit mengindikasikan terjadinya kebocoran plasma. Pada pasien dengan tidak diikuti

peningkatan permeabilitas kapiler akan membaik namun pasien yang memiliki keadaan

tersebut akan bertambah parah dengan kehilangan volume plasma. Efusi pleura dan asites

dapat terdeteksi tergantung dari tingkat keparahan kebocoran plasma tersebut. Maka foto

thorax dan USG abdomen dapat digunakan sebagai alat bantu diagnosa. Kadar hematokrit

yang melebihi batas normal dapat digunakan sebagai acuan melihat derajat keparahan

kebocoran plasma (WHO, 2009). Syok dapat terjadi jika volume plasma berkurang hingga

titik kritis dan sering didahului oleh warning signs. Syok yang berlangsung lama,

menyebabkan hipoperfusi organ sehingga dapat mengakibatkan gangguan organ, metabolik

asidosis dan Disseminated Intravascular Coagulation (DIC).

3. Fase Penyembuhan (Recovery)

Pasien yang melewati fase kritis akan memasuki fase recovery dimana terjadi

reabsorpsi cairan extravaskular dalam 48-72 jam, dimana keadaan umum akan membaik,

nafsu makan bertambah, gejala gastrointestinal berkurang, status hemodinamik stabil dan

diuresis terjadi. Ruam, pruritis, bradikardia dapat terjadi pada fase ini (WHO, 2009).

Hematokrit dapat kembali stabil atau menurun akibat efek pengenceran dari absorpsi cairan.

Sel darah putih perlahan mengalami peningkatan setelah suhu tubuh menurun diikuti dengan

peningkatan trombosit. Respiratory distress akibat efusi pleura masif dan ascites dapat terjadi

akibat dari terapi cairan IV yang berlebih sewaktu fase kritis.

Pada balita, anak – anak dan dewasa yang pertama kali terinfeksi virus dengue akan

menimbulkan gejala demam yang tidak dapat dibedakan dari infeksi virus lainnya. Ruam

makulopapular dapat timbul bersamaan dengan demam ataupun setelah demam turun. Ruam

yang bersamaan dengan demam hanya berbentuk makula, bersifat menyeluruh dan berubah

pucat jika ditekan sedangkan ruam setelah demam turun bersifat makulopapular pada seluruh

tubuh dan tidak terdapat pada telapak tangan dan kaki (Gruskin, 2010). Gejala ISPA dan GI

8

Page 9: dhf siti fix-1

sangat umum terjadi pada penderita ini. Lelah, nyeri pada retroorbita, mialgia dan atralgia

juga dirasakan pada penderita DBD.

2.7 Diagnosis

Berdasarkan WHO 1997, kriteria diagnosis DBD ditegakkan melalui dua kriteria8-11 :

A. Kriteria Klinis

1) Demam tinggi mendadak dan terus menerus selama 2 – 7 hari

2) Didapati uji tourniquet positif dengan salah satu bentuk perdarahan:

Petekie, ekimosis, atau purpura

Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan dari

tempat lain

Hematemesis dan atau melena

3) Pembesaran hati

4) Syok yang di tandai dengan nadi lemah dan cepat disertai penurunan tekanan nadi (=20

mm Hg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik =80 mm Hg) disertai kulit yang teraba

dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki, pasien menjadi gelisah dan

timbul sianosis di sekitar mulut.

B. Kriteria Laboratorium

1) Trombositopenia (=100.000/ ul}

2) Terdapat peningkatan hematokrit = 20% dibandingkan dengan nilai hematokrit pada

masa sebelum sakit atau masa konvalesen

3) Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.

Dua atau tiga patokan klinis pertama disertai trombositopenia dan hemokonsentrasi

sudah cukup untuk menegakkan diagnosa DBD. Tes serologis, kultur viral dari plasma (50%

sensitif pada ke 5), pemeriksaan IgM dengan ELISA, titer antibodi IgG yang meningkat 4

kali. Pada penderita DBD dengan enchepalitis, harus di periksa CSS/CSF untuk membantu

diagnosis.

Pemeriksaan kadar AST dan ALT juga diperlukan karena berhubungan dengan derajat

penyakit DBD. Pada anak dengan infeksi dengue semakin tinggi kadar AST dan ALT serum,

semakin berat derajat penyakit. Kadar AST lebih tinggi dibandingkan kadar ALT serum

dengan rasio 2-3:1. Pada beberapa kasus dapat ditemukan leukopenia.

9

Page 10: dhf siti fix-1

2.8 Penatalaksanaan

Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan

plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan.

Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa,

tetapi pada pasien DSS diperlukan perawatan intensif. Diagnosa dini terhadap tanda–tanda

syok merupakan hal yang penting untuk mengurangi kematian. Pada fase demam pasien

dianjurkan tirah baring, diberi obat antipiretik atau kompres hangat. Tidak dianjurkan

pemberian asetosal/salisilat dikarenakan dapat menimbulkan gastritis, perdarahan atau

asidosis sehingga antipiretik yang dianjurkan adalah parasetamol. Pemberian cairan dan

elektrolit per oral, jus buah, sirup, susu, selain air putih juga dianjurkan pada pasien demam

dengue9-11.

Parameter yang harus diperhatikan dalam pemantauan perjalanan penyakit DD/DBD

adalah9-11 :

Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan dan tanda dan gejala lain

Perfusi perifer sesering mungkin karena sebagai indikator awal tanda syok, serta mudah dan

cepat utk dilakukan

Tanda vital: suhu, nadi, pernapasan, tekanan darah, diperiksa minimal setiap 2-4 jam pada

pasien non syok & 1-2 jam pada pasien syok.

Pemeriksaan hematokrit serial setiap 4-6 jam pada kasus stabil dan lebih sering pada pasien

tidak stabil atau dicurigai mengalami perdarahan.

Diuresis setiap 8-12 jam pada kasus tidak berat dan setiap jam pada pasien dengan syok

berkepanjangan atau dicurigai mengalami kelebihan pemberian cairan. Jumlah urin harus 1

ml/kg berat badan/jam ( berdasarkan berat badan ideal)

Adapun indikasi pemberian cairan intravena pada pasien dengan DBD adalah sebagai

berikut9-11 :

Pasien tidak dapat asupan yang adekuat untuk cairan per oral ataumuntah

Hematokrit meningkat 10%-20% meskipun dengan rehidrasi oral

Ancaman syok atau dalam keadaan syok

Prinsip umum terapi cairan pada DBD9-11 :

Kristaloid isotonik harus digunakan selama masa kritis.

Cairan koloid digunakan pada pasien dengan perembesan plasma hebat dan tidak ada respon

pada minimal volume cairan kristaloid yang diberikan.

Volume cairan rumatan + dehidrasi 5% harus diberikan untuk menjaga volume dan cairan

intravaskular yang adekuat.

10

Page 11: dhf siti fix-1

Pada pasien dengan obesitas, digunakan berat badan ideal sebagai acuan untuk menghitung

volume cairan.

Kecepatan cairan intravena harus disesuaikan dengan keadaan klinis.

Transfusi suspensi trombosit pada trombositopenia untuk profilaksis tidak dianjurkan.

Pemeriksaan laboratorium baik pada kasus syok maupun non syok saat tidak ada perbaikan

klinis walaupun penggantian volume sudah cukup, maka perhatikan ABCS yang terdiri dari,

A – Acidosis: gas darah, B – Bleeding: hematokrit, C – Calsium: elektrolit, Ca++ dan S –

Sugar: gula darah .

Tata laksana infeksi dengue berdasarkan fase perjalanan penyakit9-11:

Fase Demam

Pada fase demam, dapat diberikan antipiretik + cairan rumatan atau cairan oral apabila anak

masih mau minum, pemantauan dilakukan setiap 12-24 jam

a. Medikamentosa

Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan aspirin.

Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti

emetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.

Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati, apabila terdapat perdarahan saluran cerna

kortikosteroid tidak diberikan.

Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati.

b. Supportif

Cairan: cairan per oral + cairan intravena rumatan per hari + 5% deficit.

Diberikan untuk 48 jam atau lebih

Kecepatan cairan IV disesuaikan dengan kecepatan kehilangan plasma, sesuai keadaan klinis,

tanda vital, diuresis dan hematokrit

Fase Kritis

Pada fase kritis pemberian cairan sangat diperlukan yaitu kebutuhan rumatan +

deficit, disertai monitor keadaan klinis dan laboratorium setiap 4-6 jam.

DBD dengan syok berkepanjangan (DBD derajat IV)

- Cairan: 20 ml/kg cairan bolus dalam 10-15 menit, bila tekanan darah sudah didapat cairan

selanjutnya sesuai algoritma pada derajat III

- Bila syok belum teratasi: setelah 10ml/kg pertama diulang 10 ml/kg, dapat diberikan bersama

koloid 10-30ml/kgBB secepatnya dalam 1 jam dan koreksi hasil laboratorium yang tidak

normal

- Transfusi darah segera dipertimbangkan sebagai langkah selanjutnya

11

Page 12: dhf siti fix-1

- Monitor ketat (pemasangan katerisasi urin, katerisasi pembuluh darah vena sentral / akses

arteri)

- Inotropik dapat digunakan untuk mendukung tekanan darah

Apabila jalur intravena tidak didapatkan segera, coba cairan elektrolit per oral bila

pasien sadar atau jalur intraoseus. Jalur intraoseus dilakukan dalam keadaan darurat atau

setelah dua kali kegagalan mendapatkan jalur vena perifer atau setelah gagal pemberian

cairan melalui oral. Cairan intraosesus harus dikerjakan secara cepat dalam 2-5 menit.

Perdarahan hebat

- Apabila sumber perdarahan dapat diidentifikasi, segera hentikan. Transfusi darah segera

adalah darurat, tidak dapat ditunda sampai hematokrit turun terlalu rendah. Bila darah yang

hilang dapat dihitung, harus diganti. Apabila tidak dapat diukur, 10 ml/kg darah segar atau 5

ml/kg PRC harus diberikan dan dievaluasi.

- Pada perdarahan saluran cerna, H2 antagonis dan penghambat pompa proton dapat

digunakan.

- Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan komponen darah seperti suspense trombosit,

plasma darah segar/cryoprecipitate. Penggunaan larutan tersebut ini dapat menyebabkan

kelebihan cairan.

2.9 Prognosis

Prognosis demam dengue berhubungan dengan antibodi yang didapat atau infeksi

awal dengan virus yang menyebabkan terjadinya DBD. Prognosis di tentukan juga oleh

lamanya penanganan terhadap terjadinya syok pada DSS.

IDENTITAS PASIEN

Nama : An. TC

No. RM : 903948

Umur : 11 tahun 2 bulan

12

Page 13: dhf siti fix-1

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Perum PKS Naga Sakti Kec. Bandar sei Kab. Palelawan

Tanggal Masuk : 10 Oktober 2015

ALLOANAMNESIS

Diberikan oleh : Ibu kandung pasien

Keluhan utama : Demam tinggi sejak 7 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :

Sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh demam. Tidak menggigil.

Demam tinggi disertai nyeri-nyeri pada sendi. Pasien juga mengeluh kepala nya pusing dan

mengeluh mual dan muntah tiap kali makan. BAB berdarah disangkal. Keluhan muncul

bintik-bintik merah disangkal. Perdarahan lainnya seperti gusi berdarah dan mimisan juga

disangkal. Pasien juga merasa badannya lemas. Pasien lalu berobat ke puskesmas dan

mendapat obat penurun panas. Demam mencapai hingga 38˚C dan turun dengan pemberian

obat. Selain itu menurut ibu pasien, demam pasien sempat turun pada hari ke 5 namun naik

lagi. Keluhan lain seperti nafsu makan pasien menurun dan pasien juga mengeluh nyeri ulu

hati. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Nyeri saat BAK disangkal, nyeri perut dan nyeri saat

menelan juga disangkal.

Sejak 2 hari SMRS demam naik lagi dan nafsu makan pasien tidak ada. Pasien masih

mau minum. Kemudian pasien kembali dibawa berobat ke RS Syafira. Di RS Syafira

dilakukan pemeriksaan laboraturium pada pasien, didapatkan trombosit pasien sangat turun

dan IgM anti dengue reaktif. Pasien di diagnosa dengan DHF grade 2 dari RS tersebut dan di

sarankan dokter yang memeriksa untuk dirawat tapi kamar RS tsb penuh dan pasien dirujuk

ke RSUD Arifin Achamad. Di RSUD keluhan demam tidak ada lagi, namun pasien terlihat

lemas.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.

Riwayat Asma disangkal.

Riwayat alergi obat dan makanan disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :

Ayah pasien pernah terkena malaria dan sudah sembuh. Ibu pasien lupa kapan tapi

menurutnya sudah lama.

Riwayat Orang Tua :

Pekerjaan Ayah : Swasta

13

Page 14: dhf siti fix-1

Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga

Riwayat Kehamilan :

Pasien lahir cukup bulan, lahir spontan ditolong Bidan, BBL 3 kg. Selama hamil tidak pernah

ada masalah.

Riwayat Makan dan Minum :

- ASI diberikan sejak lahir sampai 6 bulan.

- PASI diberikan sejak usia diatas 6 bulan.

- Makanan biasa mulai diberikan sejak usia 1 tahun 6 bulan sampai sekarang.

Riwayat Imunisasi :

- Hepatitis 3 kali

- BCG 1 kali

- Polio 5 kali

- Campak 3 kali

- DPT 5 kali

Riwayat Pertumbuhan :

Berat badan lahir : 3100 gram

Panjang badan lahir : tidak ingat

Berat badan masuk RS : 28 kg

Panjang badan masuk RS : 137 cm

Riwayat Perkembangan :

- Mengangkat kepala usia 2 bulan

- Telungkup usia 5 bulan

- Berdiri usia 9 bulan

- Berjalan usia 11 bulan

Keadaan Perumahan dan Tempat Tinggal :

- Pasien tinggal di rumah papan. Daerah tempat tinggal dekat perkebunan sawit dan dikelilingi

parit yang jarang dibersihkan. Tidak ada yang sakit seperti ini dirumah pasien ataupun

lingkungan sekitar rumah.

- Sumber air minum : air galon

- Sumber MCK : air sumur

PEMERIKSAAN FISIK

Kesan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Komposmentis

Tanda-tanda vital :

14

Page 15: dhf siti fix-1

Tekanan darah : 100/70 mmHg

Nadi : 98 x/menit

Suhu : 37,2ºC

Nafas : 22 x/menit

Gizi :

TB : 137 cm

BB : 28 kg

LILA : 13 cm

LK : 50 cm

Kepala : normocephali

Rambut : hitam, tidak mudah dicabut

Mata : cekung, edema palpebra (-/-)

Konjungtiva : anemis (-/-)

Sklera : ikterik (-/-)

Pupil : Bulat, isokor 3mm/3mm

Refleks cahaya: (+/+)

Telinga : dalam batas normal

Hidung : dalam batas normal. Epistaksis (-)

Mulut : tonsil dan faring hiperemis (-), perdarahan pada gusi (-)

Bibir : kering, pucat (-)

Selaput lendir : basah

Palatum : utuh

Lidah : kotor (-)

Gigi : karies (-)

Leher

KGB : pembesaran KGB (-)

Kaku kuduk : (-)

Dada

Inspeksi : gerakan dinding dada simetris kiri dan kanan. Retraksi (-)

Palpasi : vokal fremitus (+/+) simestris

Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru.

Auskultasi : vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-).

Bunyi jantung 1 & 2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

15

Page 16: dhf siti fix-1

Inspeksi : datar, Scar (-)

Auskultasi : BU (+) normal

Perkusi : timpani pada seluruh lapangan abdomen

Palpasi : supel, nyeri tekan (-),

hepatomegali (-), splenomegali (-), turgor kembali cepat.

Alat kelamin : perempuan, dalam batas normal, udem labia (-)

Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-), tampak bintik merahan pada

kulit sekitar tungkai bawah

Status Neurologis : tidak terdapat kelainan.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Hb : 12,5 g/dl Ht : 35,2 %

Leukosit :3.500 /uL

Trombosit : 37.000 /uL

MCV : 75,5 MCHC : 35,5

MCH : 26,7 RDW : 12,9

Anti dengue IgM : Reaktif

HAL-HAL YANG PENTING DARI ANAMNESIS:

Demam tinggi sejak 7 hari SMRS

Demam disertai nyeri sendi

Pusing

Mual dan muntah tiap kali makan

Lemas dan nafsu makan menurun

Nyeri ulu hati

Dokter merujuk DHF gr. II

HAL-HAL YANG PENTING DARI PEMERIKSAAN FISIK

Bintik kemerahan pada tungkai bawah

HAL-HAL YANG PENTING DARI LAB RUTIN :

Leukopenia

Trombositopenia

Anti dengue IgM Reaktif

16

Page 17: dhf siti fix-1

DIAGNOSA KERJA : DHF grade II

DIAGNOSA GIZI : gizi baik

PEMERIKSAAN ANJURAN :

Cek laboraturium rutin

TERAPI

Medikamentosa saat di IGD RSUD Arifin Achmad:

- IVFD RL 1 Kolf habis dalam 4 jam

- Paracetamol syr 2 x 1 cth

Gizi :

RDA x BBI = 40 x 31 = 1240 kkal

Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

FOLLOW UP

Hari

/tanggal

Subjektif Objektif Assesment Terapi

11

oktober

2015

Pukul

08.00

wib

Demam (-), nyeri

perut (-), nyeri sendi

(-), perut kembung

(-), gusi berdarah (-),

mimisan (-), BAK

tidak ada keluhan.

BAB warna coklat

tua. darah (-)

Pasien sudah mulai

mau makan.

KU : TSS

Kes : CM

TD : 100/60 mmHg

Nadi : 92x/i

Nafas : 20x/i

T : 36,2 c

Kepala / wajah :

edema palpebral

(-/-), konjungtiva

anemis (-/-), skelra

ikterik (-/-),

pembesaran KGB

leher (-)

Jantung : S1 S2

reguler, irama

DHF

without

warning

signs

-IVFD RL 10 tpm

-Paracetamol

3x1cth /kp

-Cek ulang darah

lengkap

17

Page 18: dhf siti fix-1

teratur, murmur (-),

gallop (-)

Paru : vesikuler,

ronkhi -/-, wheezing

-/-

Abdomen : supel,

bising usus (+)

normal, NT (-),

organomegali (-),

tympani (+)

Ekstremitas : akral

hangat, CRT <2

detik, edema (-).

Rash konvalesence

Pemeriksaan

laboraturium :

Hemoglobin : 12,6

g/dl

Hematokrit : 37,9 %

Leukosit : 4200 /uL

Trombosit : 57000

/uL

12

oktober

2015

07.00

wib

Demam (-), nyeri

perut (-), nyeri sendi

(-), perut kembung

(-), gusi berdarah (-),

mimisan (-), BAK

tidak ada keluhan,

BAB(-)

Nafsu makan(+)

KU : TSS

Kes : CM

TD : 110/70 mmHg

Nadi : 89x/i

Nafas : 21x/i

T : 36,8 c

Kepala / wajah :

edema palpebral

(-/-), konjungtiva

anemis (-/-), skelra

ikterik (-/-),

pembesaran KGB

DHF

without

warning

signs

-IVFD RL 10 tpm

- parasetamol syr

3x1 cth/ KP

- multivitamin syr

2x1 cth

Pasien di izinkan

pulang.

18

Page 19: dhf siti fix-1

leher (-)

Jantung : S1 S2

reguler, irama

teratur, murmur (-),

gallop (-)

Paru : vesikuler,

ronkhi -/-, wheezing

-/-

Abdomen : supel,

bising usus (+)

normal, NT (+),

organomegali (-),

tympani (+)

Ekstremitas : akral

hangat, CRT <2

detik, edema (-).

Rash konvalesnce

Pemeriksaaan

laboratorium:

Hb : 13,0 g/dl

Ht : 39.1%

Leu:5100 /ul

Tromb: 78.000/ul

BAB IV

PEMBAHASAN

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan virus dengue

yang termasuk kelompok B Artropod Borne Virus (Arboviruses) yang sekarang dikenal

sebagai genus Flavivirus, family Flaviviridae dan mempunyai 4 jenis serotype, yaitu : DEN-

1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Penyakit ini merupakan penyakit dengan spektrum presentasi

19

Page 20: dhf siti fix-1

klinis yang luas serta sulit diprediksi progresi serta hasil akhirnya. Sering kali sulit diprediksi

apakah pasien dengan infeksi dengue dengan gejala yang tidak parah akan menjadi dengue

berat atau tidak. Padahal, jika pasien yang pada perjalanan penyakitnya akan menjadi dengue

berat dapat diprediksi, maka tentunya manajemen kegawatdaruratan penyakit oleh virus

dengue akan menjadi lebih efektif

Pada pasien di atas, didapatkan demam tinggi mendadak sudah 7 hari. Menurut WHO

salah satu kriteria dari DBD adalah demam tinggi mendadak 2-7 hari tanpa sebab yang jelas.

Selain itu pasien juga mengeluhkah kepala nya sakit, mual muntah dan ditemukan ada tanda

bekas ptekie berupa rash konvalesens. Hasil laboraturium pada pasien ini didapatkan

trombositopenia, dimana terjadi penurunan trombosit <100.000/ul dan terdapat leukopenia.

Namun tidak didapatkan hemokonsentrasi berupa penurunan atau peningkatan dari

hematokrit. Pada pasien dapat diketahui tidak ada tanda kebocoran plasma baik itu

hemokonsentrasi, asites, atau efusi pleura.

Perlu diperhatikan juga jika adanya warning signs, antara lain : nyeri abdomen yang

hebat, muntah terus menerus, perdarahan mukosal, letargi, pembesaran hepar lebih dari 2 cm,

maupun peningkatan hematokrit disertai penurunan trombosit dengan cepat. Pada kasus

dengue berat (severe dengue) perlu dipertimbangkan pada pasien demam akut yang tinggal di

daerah endemik dengue atau pernah bepergian ke daerah tersebut, yang disertai tanda-tanda

kebocoran plasma berat, perdarahan hebat, gangguan fungsi organ lain antara lain liver, otak,

jantung dan sebagainya.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang pada pasien ini. Penegakan diagnosis DBD pada pasien ini berdasarkan adanya

lebih dari dua kriteria, yang memenuhi kriteria klinis dari WHO yakni demam tinggi

mendadak tanpa sebab yang jelas dan berlangsung terus menerus selama 2-7 hari, terdapat

manifestasi perdarahan berupa rush konvalesens serta dari pemeriksaan fisik didapatkan

pasien dalam keadaan umum yang baik, kesadaran komposmentis, dengan tanda-tanda vital

yang normal. Dari pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah rutin didapatkan hasil

trombositopenia. Hal ini merupakan salah satu dari kriteria laboratoris DBD.

Diagnosa kerja pada pasien ini adalah DHF grade II. Merujuk pada kriteria dari WHO

2009, pada pasien ini adalah dengue hemorage fever without warning sign. Sesuai dengan

kriteria yang sudah dijelaskan di atas dan dapat dibedakan dari warning sign.

Untuk sindrom syok dengue, beberapa literatur yang mengatakan bahwa setelah

demam berlangsung selama beberapa hari keadaan umum pasien dapat tiba-tiba memburuk,

yang biasannya terjadi pada saat atau setelah demam menurun, yakni antara hari sakit ke 3 –

20

Page 21: dhf siti fix-1

7. sebagian besar kasus ditemukan tanda-tanda kegagalan sirkulasi, kulit teraba lembab dan

dingin, serta nadi menjadi cepat dan halus. Pasien seringkali akan mengeluh nyeri di daerah

perut sesaat sebelum syok. Pada pemeriksaan laboratorium biasanya akan ditemukan adanya

hemokonsentrasi (peningkatan kadar hematokrit ≥20%) dan trombositopenia (trombosit <

100.000/mm3). Terjadinya peningkatan kadar Hb merupakan bukti terjadinya kebocoran

plasma. Trombositopenia sedang sampai berat yang disertai dengan hemokonsentrasi adalah

temuan laboratorium yang khusus untuk DBD. Patofisiologi yang menunjukkan derajat

keparahan DBD dan membedakannya dari Demam Dengue adalah keluarnya plasma yang

bermanifestasi sebagai peningkatan hematokrit (hemokonsentrasi), efusi, atau

hipoproteinemia.

Pasien ini mendapatkan terapi awal di RS Syafira berupa IVFD RL 10 tpm namun

tidak diketahui jumlah cairan yang diberikan pada pasien ketika pasien dirujuk ke RSUD AA.

Di IGD RSUD AA, pasien diberikan terapi IVFD RL 1 kolf habis dalam waktu 4 jam, serta

parasetamol. Saat diruangan pasien diberikan terapi cairan IVFD RL 10 tpm. Pengobatan

DBD bersifat simptomatis dan suportif, terapi suportif berupa penggantian cairan yang

merupakan pokok utama dalam tatalaksana DBD. Volume cairan yang diberikan disesuaikan

dengan berat badan, kondisi klinis dan temuan laboraturium.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bakshi AS. Dengue fever, DHF and DSS. Apollo Med 2007;4:111-7.

2. Karyanti MR, Hadinegoro SR. Perubahan epidemiologi demam berdarah dengue di

Indonesia. Sari Pediatri 2009;10:424-32

3. RSUP Persahabatan (2010). Penyakit terbanyak rawat inap (SMF Anak) menurut nomor ICD

dan jenis penyakit. Jakarta: Rekam Medis

21

Page 22: dhf siti fix-1

4. Raihan, Hadinegoro SRS, Tumbelaka AR. Faktor prognosis terjadinya syok pada demam

berdarah dengue. Sari Pediatri 2010;12:47-52

5. Infeksi Virus Dengue. Dalam : Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku Ajar

Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Kedua. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2010. Hal.155-

181

6. Hadinegoro SR, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana Demam Berdarah

Dengue di Indonesia. Jakarta: Depkes RI Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan

Penyehatan Lingkungan. 2006. Hal. 1-43

7. Hardiono D., Sri Rezeki. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta: Ikatan Dokter

Anak Indonesia. 2004

8. Behrman Richard E., Kliegman Robert, Arvin Ann M., et al. Demam Berdarah Dengue

dan Sindrom Syok Dengue. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Vol. II. E/15. Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran EGC.20001. Hal 1134-1135

9. World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for

Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011.p.1-

67.

10. WHO. Dengue Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control. 2009.

Hal 3-147

11. Pudjiadi AH dkk. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Edisi

Pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2009.

22