dewan perwakilan rakyat republik indonesia … · melakukan penelitian, kajian, tentang isu ini....

28
1 DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT KOMISI I DPR RI Tahun Sidang : 2019 - 2020 Masa Persidangan : II Jenis Rapat : Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi I DPR RI dengan Pakar/Akademisi Hari, Tanggal : Rabu, 22 Januari 2020 Pukul : 10.35 WIB – 13.00 WIB Sifat Rapat : Terbuka Tempat : Ruang Rapat Komisi I DPR RI, Gedung Nusantara II Lt. 1, Jl. Jenderal Gatot Soebroto, Jakarta 10270 Ketua Rapat : Dr. H. Abdul Kharis Almasyhari, Wakil Ketua Komisi I DPR RI Sekretaris Rapat : Suprihartini, S.IP., M.SI., Kabag Sekretariat Komisi I DPR RI Acara : Hadir : Penjelasan Pakar/Akademisi terhadap Rumusan RUU tentang Penyiaran: 1. Dasar Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis RUU Penyiaran; 2. Asas, Tujuan, Fungsi, dan Ruang Lingkup Penyiaran; 3. Tugas dan Wewenang Pemerintah dan KPI dalam Penyiaran; 4. Digitalisasi Penyiaran; 5. KPI di Era Penyiaran Digital. PIMPINAN: 1. Meutya Viada Hafid (F-PG) 2. Utut Adianto (F-PDI Perjuangan) 3. H. Bambang Kristiono, S.E. (F-Gerindra) 4. H. Teuku Riefky Harsya, M.T. (F-PD) 5. Dr. H. Abdul Kharis Almasyhari (F-PKS) ANGGOTA: FRAKSI PDI-PERJUANGAN (F-PDIP) 6. Puan Maharani 7. Dede Indra Permana, S.H. 8. Dr. Effendi MS Simbolon, MIPol. 9. Ir. Rudianto Tjen 10. Charles Honoris 11. Junico BP Siahaan, S.E. 12. Adian Napitupulu, S.H. 13. Dr. H. Hasanuddin, M.M., M.Si. 14. Mayjen TNI Mar. (Purn) Sturman Panjaitan, S.H. 15. Drs. Mukhlis Basri FRAKSI PARTAI GOLKAR (F-PG) 16. Dave Akbarshah Fikarno, M.E. 17. Bobby Adhityo Rizaldi, S.E., Ak., M.B.A., C.F.E. 18. I. Lodewijk F. Paulus 19. Nurul Arifin, M.Si. 20. Drs. H. Bambang Heri Purnama, S.T., S.H., M.H.

Upload: others

Post on 18-Oct-2020

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA … · melakukan penelitian, kajian, tentang isu ini. Ini yang terus terang buat kami frekuensi harus menjadi kepentingan bersama untuk

1

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

RISALAH RAPAT KOMISI I DPR RI

Tahun Sidang

: 2019 - 2020

Masa Persidangan : II

Jenis Rapat : Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi I DPR RI dengan Pakar/Akademisi

Hari, Tanggal : Rabu, 22 Januari 2020 Pukul : 10.35 WIB – 13.00 WIB Sifat Rapat : Terbuka

Tempat : Ruang Rapat Komisi I DPR RI, Gedung Nusantara II Lt. 1, Jl. Jenderal Gatot Soebroto, Jakarta 10270

Ketua Rapat : Dr. H. Abdul Kharis Almasyhari, Wakil Ketua Komisi I DPR RI Sekretaris Rapat : Suprihartini, S.IP., M.SI., Kabag Sekretariat Komisi I DPR RI Acara : Hadir :

Penjelasan Pakar/Akademisi terhadap Rumusan RUU tentang Penyiaran: 1. Dasar Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis RUU Penyiaran; 2. Asas, Tujuan, Fungsi, dan Ruang Lingkup Penyiaran; 3. Tugas dan Wewenang Pemerintah dan KPI dalam Penyiaran; 4. Digitalisasi Penyiaran; 5. KPI di Era Penyiaran Digital.

PIMPINAN: 1. Meutya Viada Hafid (F-PG) 2. Utut Adianto (F-PDI Perjuangan) 3. H. Bambang Kristiono, S.E. (F-Gerindra) 4. H. Teuku Riefky Harsya, M.T. (F-PD) 5. Dr. H. Abdul Kharis Almasyhari (F-PKS) ANGGOTA: FRAKSI PDI-PERJUANGAN (F-PDIP) 6. Puan Maharani 7. Dede Indra Permana, S.H. 8. Dr. Effendi MS Simbolon, MIPol. 9. Ir. Rudianto Tjen 10. Charles Honoris 11. Junico BP Siahaan, S.E. 12. Adian Napitupulu, S.H. 13. Dr. H. Hasanuddin, M.M., M.Si. 14. Mayjen TNI Mar. (Purn) Sturman Panjaitan, S.H. 15. Drs. Mukhlis Basri

FRAKSI PARTAI GOLKAR (F-PG) 16. Dave Akbarshah Fikarno, M.E. 17. Bobby Adhityo Rizaldi, S.E., Ak., M.B.A., C.F.E. 18. I. Lodewijk F. Paulus 19. Nurul Arifin, M.Si. 20. Drs. H. Bambang Heri Purnama, S.T., S.H., M.H.

Page 2: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA … · melakukan penelitian, kajian, tentang isu ini. Ini yang terus terang buat kami frekuensi harus menjadi kepentingan bersama untuk

2

21. Christina Aryani, S.E., S.H., M.H. 22. Ilham Pangestu

FRAKSI PARTAI GERINDRA (F-GERINDRA) 23. Sugiono 24. Yan Permenas Mandenas, S.Sos., M.Si 25. H. Fadli Zon, S.S., M.Sc. 26. Dr. H. Azikin Solthan, M.Si. 27. Fadhlullah, S.E. 28. Andika Pandu Puragabaya, S.Psi, M.Si, M.Sc. FRAKSI PARTAI NASIONAL DEMOKRAT (F-NASDEM) 29. Prananda Surya Paloh 30. Muhammad Farhan 31. Kresna Dewanata Phrosakh 32. Willy Aditya 33. Ary Egahni Ben Bahat, S.H.

FRAKSI PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (F-PKB) 34. Drs. H. Taufiq R. Abdullah 35. Dr. (H.C) H. A. Muhaimin Iskandar, M.Si. 36. Drs. H. M. Syaiful Bahri Anshori, MP. 37. A. Helmy Faishal Zaini 38. H. Bachrudin Nasori, S.Si., M.M. 39. H. Abdul Kadir Karding, S.PI., M.Si FRAKSI PARTAI DEMOKRAT (F-PD) 40. Rizki Aulia Rahman Natakusumah 41. Dr. H. Sjarifuddin Hasan, S.E., M.M., M.B.A. 42. H. Darizal Basir, S.Sos., M.B.A. 43. Hasan Saleh

FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (F-PKS) 44. Dr. H. Jazuli Juwaini, Lc., M.A. 45. H. Sukamta, Ph.D. 46. KH. Toriq Hidayat, Lc. 47. Dr. H. Almuzzammil Yusuf, M.Si.

FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL (F-PAN) 48. H. A. Hanafi Rais, S.IP., M.P.P. 49. Ir. H. Ahmad Rizki Sadig, M.Sc. 50. Hj. Farah Putri Nahlia, M.Sc. FRAKSI PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN (F-PPP) 51. H. Syaifullah Tamliha, S.Pi., M.S. 52. Muhammad Iqbal, S.E., M.Com.

Anggota yang Izin : 1. Ir. Alimin Abdullah (F-PAN)

Undangan

: 1. Head of Journal and Publication at LSPR Communication and Bussiness Institute, Dr. Lestari Nurhayati, M.Si.;

2. Dosen Hukum Telematika Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Judhariksawan, S.H., M.H.;

Page 3: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA … · melakukan penelitian, kajian, tentang isu ini. Ini yang terus terang buat kami frekuensi harus menjadi kepentingan bersama untuk

3

Jalannya Rapat :

KETUA RAPAT (DR. H. ABDUL KHARIS ALMASYHARI) :

Bismillahirrahmanirrahim, Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarukatuh. Selamat pagi salam sejahtera untuk kita semuanya.

Saya ucapkan selamat datang kepada yang terhormat Dr. Lestari Nurhayati M.Si, Bapak Prof. Dr. Judhariksawan,S.H.,M.H, Bapak Dr. Firman Kurniawan, M.Si, dan Ir. Nonot Harsono, selamat datang juga kepada Pimpinan dan Anggota Komisi I DPR RI, pada rapat hari ini Rabu 22 Januari 2020 berdasarkan informasi dari Sekretariat saat ini daftar hadir telah ditanda tangani oleh 15 orang dan dari 5 Fraksi dengan demikian korum fraksi telah terpenuhi, dan kita akan mengadakan rapat dengar pendapat umum pada hari ini, dengan mengucapkan

Bismillahirrahmanirrahim rapat ini saya nyatakan dibuka, dan bersifat terbuka.

(RAPAT DIBUKA PUKUL 10.35 WIB) (RAPAT DINYATAKAN TERBUKA UNTUK UMUM)

(KETUK PALU : 1X) Bapak-Ibu sekalian. Hari ini kita mengadakan RDPU untuk mendengarkan beberapa penjelasan dari pakar

berkaitan dengan kembali RUU Penyiaran revisi RUU Penyiaran masuk dalam program legislasi nasional prioritas Komisi I, kita yakin sekali walaupun baru akan diumumkan nanti di Paripurna tapi karena kemarin dalam Bamus dan dalam rapat Baleg sudah disepakati hanya Paripurna-nya masih nanti, tapi tidak ada salahnya kita ingin merefresh dan kemudian ingin mendengarkan pendapat atau pandangan dari para pakar berkaitan dengan RUU Penyiaran, perlu saya sampaikan bahwa pada periode kemarin kebetulan saya ada di Komisi I juga RUU Penyiaran sudah selesai draft di Komisi I.

Jadi draft usulan revisi RUU Penyiaran itu sudah selesai dan sudah disampaikan ke Baleg, dan di Baleg kemarin sudah sampai pada pleno tinggal yang belum adalah pengambilan keputusan di Baleg, plenonya sudah draft Komisi I DPR RI sudah diterima penyempurnaan disana-sini, namun sampai akhir periode kemarin tidak berhasil diselesaikan karena belum di Paripurna-kan, dengan demikian berarti kita akan memulai lagi hari ini sebagai bentuk rapat-rapat kita kedepan dalam membahas RUU Penyiaran usul inisiatif Komisi I DPR RI, oleh karenanya saya kira bergiliran kita membahas dari awal jadi bukan meneruskan tidak ada warisan tapi kita sekedar mengingatkan saja, bahwa periode kemarin di Komisi I sudah sampai disitu.

Karena sekarang formasi komposisi Komisi I tentunya berbeda ada yang kemarin adalah Anggota Komisi I juga, ada yang kemarin bukan Komisi I ada juga yang baru, oleh karenanya kita akan mulai pada hari ini. Kita akan dengarkan masukan tentang RUU Penyiaran akan mulai dari mana diurut dari Ibu Dr. Lestari ya, langsung saja karena kita nanti jam 1 harus ada Paripurna sehingga kita ingin mendengarkan langsung dari para pakar, kami persilahkan kepada Dr. Lestari Nurhayati M.Si untuk menyampaikan masukan dan pandangannya.

Silakan.

HEAD OF JOURNAL AND PUBLICATION AT LSPR COMMUNICATION AND BUSSINESS INSTITUTE (DR. LESTARI NURHAYATI, M.SI.) : Terima kasih Pimpinan.

3. Pakar Komunikasi Universitas Indonesia, Dr. Ir. Firman Kurniawan Sujono, M.Si.; dan

4. Dewan Pengawas BAKTI, Ir. Nonot Harsono, M.T.

Page 4: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA … · melakukan penelitian, kajian, tentang isu ini. Ini yang terus terang buat kami frekuensi harus menjadi kepentingan bersama untuk

4

Para Anggota Dewan yang terhormat, hari ini saya hendak menyampaikan beberapa paparan poin berkaitan dengan bagaimana Rancangan Undang-Undang Penyiaran Indonesia yang tidak terlepas dari kepentingan rakyat, konglomerasi media, dan perubahan teknologi digital kita, ada beberapa hal yang perlu kita mungkin pelajari bersama, bahwa landasan filosofis Undang-Undang Penyiaran ini sudah sangat jelas dasarnya jelas tidak ada sama sekali pertanyaan bagaimana pentingnya kita menyelenggarakan penyiaran itu sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45.

Bahwa Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa dan dasar negara Indonesia mau tidak mau haruslah merupakan perwujudan jiwa bangsa, sikap mental, budaya, dan karakteristik bangsa yang itu harus muncul dalam Undang-Undang Penyiaran Indonesia dan ini yang menjadi roh, ini yang tidak bisa kita hindarkan.

KETUA RAPAT (DR. H. ABDUL KHARIS ALMASYHARI) :

Maaf Ibu Lestari, kami beri waktu 20 menit maksimal ya.

HEAD OF JOURNAL AND PUBLICATION AT LSPR COMMUNICATION AND BUSSINESS INSTITUTE (DR. LESTARI NURHAYATI, M.SI.) :

Siap Pimpinan. Lalu yang berikutnya dari landasan ini kita lihat di Undang-Undang Dasar 45 Pasal 33

jelas, jadi Pasal 33 itu menunjukan apa yang menjadi kelanjutan dari penyusunan Undang-Undang Penyiaran itu sendiri, bagaimana kita harus melihat perekonomian disusun berdasarkan usaha bersama, jadi inti dari kerakyatan dari usaha bersama itu menjadi kajian yang utama, lalu yang menjadi penting juga adalah bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat termasuk udara, frekuensi.

Termasuk ini yang menjadi dasar mengapa penyiaran menjadi sangat penting dan terus terang saya tadi sempat lupa memperkenalkan diri, saya Lestari Nurhayati saya sekarang menjadi peneliti dan dosen di London School Of Public Relations, dan juga menjadi aktifis di kualisi nasional reformasi penyiaran yang sangat konsen sejak tahun 2016 itu kita selalu melakukan penelitian, kajian, tentang isu ini. Ini yang terus terang buat kami frekuensi harus menjadi kepentingan bersama untuk kesejahteraan masyarakat, berikutnya dari landasan filosofis yang harus kita perhatikan adalah karena negara memegang kekuasaan atas tadi bumi, air, dan seiisinya termasuk frekuensi maka negara dalam hal ini harus tegas mengamanatkan kepada pemerintah dalam hal ini kebetulan Kementerian Kominfo.

Dan juga KPI sebagai sebuah lembaga independent yang mengurusi penyiaran itu benar-benar memperlihatkan posisinya sebagai penjaga kepentingan masyarakat sebagai penjaga amanah dari seluruh kepentingan masyarakat, dan berikutnya kalau kita melihat dari landasan sosiologis kita jelas sekali melihat bahwa dalam landasan sosiologis ini karena penyiaran tadi milik publik milik masyarakat, frekuensinya harus ditekankan disana maka Undang-Undang yang dibuat dan peraturan pemerintah itu tetaplah harus mengatur dan membatasi kepemilikan media penyiaran secara tegas, pembatasan ini agar tidak ada konglomerasi media yang pada akhirnya dapat mempengaruhi konten media tersebut.

Kenapa demikian?. Karena ketika penyiaran itu sekarang kita harus mengetahui semua pihak ya Bapak-Ibu Anggota Dewan yang terhormat, kita harus mengakui ada polarisasi antara rakyat dan pemilik media, ada polarisasi antara rakyat dengan konglomerasi media yang terus berjalan dan tidak bisa dihentikan, dan posisi kita semua haruslah merujuk kepada kepentingan publik maka rakyatlah yang harus dibela rakyat yang menjadi kepentingan bersama, terus terang beberapa kali ketika saya bertemu dengan para Anggota Dewan yang terhormat selalu ada upaya menyampaikan bahwa pemilik media itu rakyat, betul mereka secara individu rakyat tetapi sebagai kekuatan industri, sebagai pemilik media yang menguasai industri itu fungsinya menjadi berbeda, itu yang terus menerus saya selalu ingin sampaikan kita harus melihat kepentingan rakyat diatas segalanya.

Page 5: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA … · melakukan penelitian, kajian, tentang isu ini. Ini yang terus terang buat kami frekuensi harus menjadi kepentingan bersama untuk

5

Ketika kita sudah dalam kondisi saat ini terjebak ketika monopoli atau konglomerasi media tidak terhindarkan, maka yang terjadi adalah tidak adanya keragaman kepemilikan, kalau tidak ada keragaman kepemilikan maka tidak ada keragaman konten dan suara, konten dan pendapat dari media itu sendiri satu arah saja dan ini yang menerikan dan ini kita sudah merasakan semua bahwa media-media yang dimiliki oleh segelintir orang kemudian memiliki suara yang hanya pada 1 titik “kepentingan”, ini tidak boleh lagi Bapak dan Ibu sekalian. Jadi ini yang menjadi persoalan landasan serius dari landasan sosiologis Undang-Undang Penyiaran.

Sementara itu dari sisi landasan yuridis, dalam landasan yuridis kita bisa memperhatikan bahwa persoalan ketidak pastian dari Undang-Undang yang ada sebelumnya sekarang terjadi karena Undang-Undang Penyiaran yang lama yang tahun 2002 itu sudah sangat tidak up to date sudah sangat ketinggalan jaman tidak mengikuti perkembangan teknologi digital yang sangat luar biasa, undang-undang tersebut tidak mampu mengakomodasi kondisi konglomerasi media yang ada di Indonesia, ini yang harus segera didiskusikan dan dibahas dalam rapat-rapat Dewan yang terhormat di Komisi I ini untuk memastikan bahwa undang-undang yang nanti akan dibangun didirikan ulang Rancangan Undang-Undang terbaru itu benar-benar harus mengingat kepentingan masyarakat.

Jadi kepemilikan itu menjadi isu yang sangat serius diluar aturan tentang SSJ, digitalisasi, lembaga penyiaran, komunitas, iklan, rating, dan sebagainya itu nanti kita akan sedikit singgung. Berikutnya berkaitan dengan tujuan penyiaran kita mungkin akan lewatin karena tujuan penyiaran jelas disini, kemudian setelah tujuan penyiaran fungsi penyiaran juga jelas nah ini yang penting, Bapak-Ibu sekalian seolah-olah kita sekarang lupa, bahwa tujuan penyiaran yang utama selain edukasi, informasi, dan hiburan, itu ada unsur yang sangat penting juga itu perekat pemersatu bangsa, sejauh ini kita selalu mengembankan penyiaran perekat pemersatu bangsa ini hanya pada penyiaran publik milik TVRI dan itu menurut saya agak meresahkan.

Karena kewajiban semua penyiaran di Indonesia harusnya sudah melakukan apa yang disebut dengan upaya perekat persatuan dan kesatuan bangsa, makin kesini yang terjadi adalah makin munculnya seringnya informasi yang ditampilkan hiburan yang ditampilkan itu makin memecah belah bangsa Indonesia dan ini harus kita hindari, ini yang salah satu yang menjadi konsen dari fungsi penyiaran yang ada perubahan. Sementara itu dari ruang lingkup Undang-Undang Penyiaran sudah sangat jelas, bahwa undang-undang ini mencangkup banyak hal yaitu dari lembaga pengaturannya, lembaga regulasinya termasuk dari hal KPI nya kemudain pengaturan iklannya, penentuan prinsip-prinsip standar siarannya, dan juga penerapan sanksi-sanksinya.

Ini yang nanti yang harus mulai ditekankan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Penyiaran yang akan datang, setelah kita membahas ruang lingkup Undang-Undang Penyiaran maka kita melihat bagaimana proses digitalisasi penyiaran dalam hal ini sebetulnya nanti Pak Nonot akan jauh lebih memberikan masukan posisi Undang-Undang Penyiaran ini seharusnya bagaimana, dalam berbagai riset yang saya lakukan jelas, bahwa Pemerintah nanti memang masih harus mengembangkan apa yang disebut dengan road map, untuk apa?. Untuk menerapkan progres atau proses migrasi digital secara bertahap dan ini harus muncul di undang-undang secara jelas karena kalau tidak menjadi persoalan serius siapa yang akan bertanggung jawab siapa yang akan mengembangkan road map ini.

Lalu migrasi digital harus dilakukan dengan cara yang menghasilkan efisiensi penggunaan spektrum frekuensi yang menempatkan kepentingan rakyat Indonesia sekali lagi kepentingan rakyat Indonesia, jadi ini prioritas yang tidak bisa kita hilangkan, dan yang berikutnya pengembangan road map dan penerapannya serta proses migrasi digital ini harus melibatkan segenap pihak stakeholder, terima kasih hari ini kami berkesempatan untuk menyampaikan gagasan ini karena apa menjadi penting pelibatan masyarakat sipil, akademisi, dan juga berbagai pihak untuk melihat, bahwa Undang-Undang ini disusun berdasarkan kepentingan seluruh pihak.

Selanjutnya ini yang menurut saya sebetulnya point yang menjadi konsen saya selama ini salah satunya adalah isu tentang bagaimana hubungan KPI dan pemerintah diera penyiaran digital, ketika kita membahas hubungan itu sebagai hubungan yang sejajar maka itu harus diawali dengan konsep pemahaman, bahwa KPI sebagai sebuah lembaga independen layaknya

Page 6: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA … · melakukan penelitian, kajian, tentang isu ini. Ini yang terus terang buat kami frekuensi harus menjadi kepentingan bersama untuk

6

lembaga independent negara lainnya haruslah diberi kewenangan yang sangat cukup bukan dikerdilkan, bukan dibatasi sehingga ketika KPI melakukan tugasnya dia mampu memiliki nantinya wewenang yang juga mampu menyelamatkan, mampu memberikan perlindungan terhadap siaran televisi Indonesia yang lebih sehat.

Dalam prakteknya ini yang kemudian sering kali terjadi isu yang sangat serius bahwa kalau kita melihat undang-undang yang terdahulu sebetulnya sudah cukup baik, dikatakan “KPI melakukan koordinasi dan atau kerjasama dengan pemerintah lembaga penyiaran dan masyarakat.” Dalam prakteknya ini yang tampaknya menjadi persoalan yang cukup serius karena sering kali upaya KPI untuk menetapkan sanksi dan aturan itu terganjal oleh kewenangannya, kewenangan yang kemudian diberikan sepenuhnya kepada pemerintah padahal kembali lagi yang mengetahui yang memahami penyiaran di Indonesia adalah KPI itu harusnya begitu tapi dalam prakteknya ini tidak berjalan, ini yang kemudian harus diperkuat KPI dan tidak sekedar mengawasi isi siaran.

Namun ini yang mungkin catatan berikutnya juga KPI harus diberi porsi yang cukup jelas transparan, supaya nantinya pekerjaannya bisa dipertanggung jawabkan yaitu dengan cara dibatasi fungsi dan tugasnya, kami dari berbagai riset penelitian menunjukan sudah seharusnya memang aturan tentang digitalisasi itu terjelaskan terpapar dengan kejelasan antara penggunaan frekuensi dengan penggunaan internet, jadi karena broadband dan broadcast itu berbeda, broadcast sebagai penyiaran itu praktek utamanya adalah penggunaan frekuensi, sementara kalau broadband baru penggunaan internet, dalam proses konvergensi digital saat ini kemudian televisi-televisi yang berfrekuensi selain sistemnya menggunakan digital dia juga menggunakan fasilitas internet untuk streaming itu oke, itu diizinkan.

Namun ini barangkali yang menjadi salah satu catatan dari kami adalah harusnya ada kejelasan di undang-undang, kalau Undang-Undang Penyiaran tidak memungkinkan untuk itu, maka mau tidak mau harus dipertegas dalam Undang-Undang Telekomunikasi, karena hal ini menjadi persoalan nanti siapa melakukan apa, tumpang tindih kalau tidak ada kejelasan opisisi. Bagaimana memperkuat fungsi dan wewenangan KPI ini yang kemudian saya selalu sampaikan harus ada sistem yang transparan dan akuntabel dalam proses penyeleksiannya rekrutmennya, terus terang kalau Pak Judhariksawan ini dahulu KPI yang sangat ideal awal-awal KPI itu sangat ideal menjalankan tugasnya, makin kesini terus terang kami melihat fungsi dan tugas KPI makin merosot.

Karena apa? Karena sistem rekrutmennya yang makin buruk, kenapa buruk? Karena tidak transparan saya selalu mengikuti setiap proses pemilihan KPI, saya termasuk yang mengikuti proses alur dan memperhatikan satu-persatu calonnya, salah satu yang menjadi persoalan serius adalah ketidak transparanan itu yang menyebabkan terpilihnya para komisioner yang tidak memiliki kemampuan kompetensi dibidang penyiaran, mohon maaf Bapak-Ibu sekalian, memang pada akhirnya Komisi I DPR yang menentukan siapa menjadi Anggota Komisioner KPI, tapi saya dulu aktif sekali dilembaga independen pemantau Pemilu melihat proses yang berbeda, sama-sama ada proses politik didalamnya, tetapi hasilnya kenapa berbeda, ini yang menjadi permasalahan saya.

Kalau pemilihan Anggota KPU itu transparan semua sampai skor nilai kompetensinya jelas dibuka untuk masyarakat, mohon maaf Bapak-Ibu, kalau KPI tidak, sulapan semua, tiba-tiba di DPR pun sudah hilang ranking-ranking itu, tidak ada, berdasarkan nama saja, padahal seharusnya kompetensi itu menjadi yang utama, selain integritas. Inilah yang menjadikan kondisi KPI kita menjadi sangat lemah, sekali lagi kenapa saya menekankan ini, karena kedepannya ini adalah menjadi tanggung jawab pekerjaan rumah para Anggota Dewan yang terhormat, Pemerintah, dan DPR. Jadi ini yang isu serius yang tidak terselesaikan, saya menghawatirkan ketika undang-undang yang kita susun nantinya sangat bagus, tapi pelaksanaannya tidak dilakukan oleh regulator yang cukup mempuni menguasai isu penyiaran, maka yang yang terjadi akan berulang.

Bapak-Ibu mungkin bisa melihat diberbagai rekaman, ketika seorang Komisioner menganggap sebuah acara azab itu mengandung nilai, itu buat saya persoalan serius, azab itu sebuah sinetron, sama sekali tidak mengandung nilai dari berbagai hal, itu tidak masuk akal, dan itu dianggap memberikan nilai dan masuk akal dan itu menjadi isu yang cukup serius, karena

Page 7: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA … · melakukan penelitian, kajian, tentang isu ini. Ini yang terus terang buat kami frekuensi harus menjadi kepentingan bersama untuk

7

ketidak mampuan kompetensi seorang komisioner, dan rata-rata seperti itulah ternyata yang terjadi dari pemahaman para komisioner sekarang ini.

Bapak-Ibu yang terhormat. Barangkali itu paparan yang bisa saya sampaikan, mari kita ciptakan penyiaran

Indonesia yang lebih sehat dan berkualitas untuk masa depan bangsa dan negara Indonesia. Terima kasih. Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarukatuh.

KETUA RAPAT (DR. H. ABDUL KHARIS ALMASYHARI) :

Walaikum’salam Warahmatullahi Wabarukatuh. Terima kasih Ibu Dr. Lestari Nurhayati, pagi-pagi kita sudah dibangunkan dengan

sesuatu yang menarik sekali ya sehingga harapannya ketika menyusun undang-undang ini nanti selalu ingat Ibu Lestari ini bahwa jangan main-main, ini ada masalah yang sangat besar termasuk KPI.

Selanjutnya Prof. Silahkan Prof.

DOSEN HUKUM TELEMATIKA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN (PROF. DR. JUDHARIKSAWAN, S.H., M.H.) :

Bismillahirrahmanirrahim, Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarukatuh. Selamat pagi salam sejahtera untuk kita semua. Yang saya hormati Pimpinan Komisi I DPR RI beserta para anggota.

Ini banyak teman lama saya dan saya rasa fit and proper test lagi ini saya ini, terima kasih, alhamdullilah diberikan kesempatan untuk kembali berkunjung keruangan ini dan kali ini posisi berbeda, dan diberi kesempatan untuk memberikan masukan untuk revisi Undang-Undang Penyiaran, tadi Pimpinan memberikan waktu 20-25 menit slide saya ada 25 slide sebenarnya, kalau begitu 1 menit 1 slide, saya coba untuk lebih. Karena ini tadi mengatakan ini dimulai lagi dengan yang baru tidak merupakan tindak lanjut atau meneruskan yang sudah dilakukan oleh Komisi I sebelumnya, maka saya juga ingin memulai dengan highlight apa yang terjadi sesungguhnya di Undang-Undang 32/2002, sekaligus kita bicara tentang apa yang kemungkinan akan kita bisa lakukan. Kalau didalam TOR yang kami terima, kami diminta untuk memberikan masukan terkait dengan filosofi secara komprehensif, maka saya kira menggali tentang apa itu Undang-Undang 32/2002, merupakan salah satu hal yang harus kita lakukan dari awal, mari kita lihat jejak di 2002, bahwa Undang-Undang Penyiaran itu dimulai dengan satu filsafat demokrasi penyiaran yang mungkin baru ada setelah kita reformasi, didalamnya ada keinginan terjadi sebuah marketplace of ideas, tidak ada lagi pemusatan suatu opini pembentukan opini yang hanya berpusat dari Ibu Kota dan pengalaman menunjukan bahwa penyiaran pada waktu itu memang dikuasai oleh keinginan kekuasaan. Oleh karena itu diterobos dengan kehadiran Undang-Undang Penyiaran yang baru 2002 dengan meletakan asasnya pada demokrasi penyiaran, kalau kita bicara tentang demokrasi maka tentu kita bicara tentang kedaulatan rakyat, tadi Ibu Lestari sudah menekankan tentang pentingnya publik menjadi arus utama dalam membangun sistem penyiaran maka sesungguhnya itu sudah ada di Undang-Undang Penyiaran, dan itu terbukti bahwa salah satu prinsip dasar yang juga diakui dan diatur dalam Undang-Undang 32 adalah kita harus merancang suatu sistem kepemilikan yang tidak berpusat pada satu kongklomerasi, satu entitas tertentu tapi kita menyebarkan itu kepada seluruh pihak yang mungkinkan atau dimungkinkan untuk juga menjalankan penyiaran.

Oleh karena itu ada pembatasan kepemilikan dan itu saya kira sudah dijalankan sejak adanya Undang-Undang 2002 walaupun sekali lagi gambarannya adalah idealnya seperti ini, memang dalam kenyataannya belum optimal karena dalam pelaksanaannya kita masih melihat

Page 8: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA … · melakukan penelitian, kajian, tentang isu ini. Ini yang terus terang buat kami frekuensi harus menjadi kepentingan bersama untuk

8

nanti ada beberapa kecenderuangan adanya seolah bukan saya tidak ingin mengatakan manipulasi, tetapi mencoba mencari celah dalam hukum untuk kemudian tetap menjaga kepemilikan itu berpusat kepada kelompok-kelompok tertentu.

Diversity of content diartikan bahwa kalau dia demokrasi maka seharusnya dia juga merekam apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan oleh rakyat Indonesia, oleh karena itu muatan lokal menjadi salah satu pilihan utama didalam penyiaran, tidak hanya berpusat kepada sebuah proses imprealisme budaya dari suatu kota, karena terus terang saya dari dahulu mengatakan bahwa penyiaran Indonesia dari dulu hanya imprealisme suatu budaya daerah ke daerah yang lain tidak ada keberagaman, oleh karena itu menjadi suatu hal yang saya harus mengatakan itu harus tetap dipertahankan, sistem jaringan adalah investasi dari demokrasi, dari diversity of ownership, kalau dia dahulu berpusat di Jakarta maka sistem jaringan ternyata bisa menghidupkan TV-TV lokal.

Ibu-Bapak yang saya hormati. Terutama yang belum terlalu mendalam dalam Undang-Undang Penyiaran, gagasan

atau filosofi utama dari sistem-sistem jaringan itu adalah pembagian ekonomi yang merata dalam penyiaran, saya kasih contoh, salah satu kewajiban lembaga penyiaran swasta adalah membangun atau menyiarkan 10% dari seluruh total siarannya dari yang ada itu adalah siaran dengan muatan lokal, artinya apa? 10% itu harus diisi dengan konten lokal, ketika dia mensyaratkan konten lokal maka dia akan membutuhkan local genius, dia akan menyebarkan local wisdom, dia akan membutuhkan SDM-SDM lokal karena tidak mungkin semua di impor dari Jakarta, dengan demikian akan terbangun ekonomi akan terbangun SDM, akan terbangun pusat pendidikan, akan terbangun production house, artinya apa? Penyiaran bisa meratakan ekonomi, itu sebenarnya filosofi dari sistem stasiun jaringan.

Sehingga kalau misalnya ada suara yang ingin menghilangkan ini saya termasuk orang yang mungkin terdepan akan mengatakan “tolong jangan dihilangkan”, karena ini luar biasa menurut saya, kemudian sistem penyiaran Indonesia juga meletakan bahwa karena dia adalah ranah publik maka dia seharusnya highly regulated, pemahaman tentang ranah publik itu sering kali dikaburkan oleh mengatakan bahwa konglomerasi itupun adalah publik padahal pahamnya tidak seperti itu, kenapa dia dikatakan sebagai ranah publik?.

Pertama, spektrum frekuensi menggunakan gelombang elektromagnetik yang tersebar melalui udara, udara itu milik publik tidak mungkin dikuasai suatu entitas ataupun negara dia adalah milik semua orang.

Yang kedua adalah penyiaran sasaran utamanya adalah publik, konglomerasi atau industri penyiaran tidak mungkin akan bisa memperoleh pemasukan income atau meningkatkan industrinya kalau tidak berbasis pada publik terutama kalau kita bicara soal rating oleh karena itu dimensinya adalah publik, yang paling terpenting adalah siaran itu sangat mempengaruhi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, oleh karena dia, makanya harus berdimensi publik, karena dia berdimensi publik maka negara ini harus hadir menjaga agar penyiaran itu memang benar-benar untuk publik makanya dia harus highly regulated sangat-sangat diatur.

KPI hadir sebagai salah satu bentuk modern state dalam demokrasi katanya dalam negara demokrasi yang modern meletakan tidak lagi hanya trias politika tetapi ada yang baru, kemudian juga turut berperan terutama dalam konteks kalau dia adalah urusan-urusan publik jangan lagi pemerintah terlalu banyak publik, terkait dengan teori reinventing government misalnya, mengatakan, bahwa “demokrasi di negara modern itu seharusnya menyerahkan urusan-urusan publik kembali ke publik, negara hadir sebagai fasilitator.” Dalam konteks ini karena penyiaran adalah ranah publik mengikuti berbagai trend modern state yang lain maka independent regulatory body itu hadir kita membentuk yang namanya Komisi Penyiaran Indonesia.

Kalau didalam perjalanannya banyak persoalan nanti saya akan memperlihatkan dimana anomalinya kenapa sampai KPI bisa seperti yang dikhawatirkan oleh Ibu Lestari, dan yang terakhir adalah dalam konteks sistem penyiaran kita harus mengatakan bahwa hukum atau penegakan hukum administratif menjadi core atau inti dari Undang-Undang Penyiaran 32, yang sayangnya salah satu penilaian yang ketika kami masih di KPI kita atau kami tidak bisa

Page 9: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA … · melakukan penelitian, kajian, tentang isu ini. Ini yang terus terang buat kami frekuensi harus menjadi kepentingan bersama untuk

9

melaksanakan itu secara optimal karena ada banyak peraturan-peraturan yang dibutuhkan, salah satu contoh, misalnya yang belum jalan sampai hari ini dan saya kira ini yang harus dipikirkan oleh teman-teman di Komisi I adalah tentang denda administratif.

Sampai hari ini itu tidak jalan karena Undang-Undang 32 bahkan sesungguhnya sudah mengatur, ketika itu pernah kami persoalkan dia membutuhkan peraturan pemerintah pelaksana, dia butuh aturan tentang PNBP dan sebagainya dan tentu rumusannya itu perlu ada aturan yang lebih jelas, kalau itupun mau dilakukan lagi saya kira itu menarik karena yang kita hadapi ini kalau memang targetnya adalah memperbaiki industri, maka ketakutan industri yang utama adalah kehilangan uang Rp1,00 pun, dengan denda andministratif mereka akan kehilangan banyak, untuk tidak kehilangan banyak mereka akan mematuhi aturan saya kira itu strateginya dan itu yang sering kali kami diskusikan.

Bapak-Ibu yang terhormat. Itulah kira-kira gambaran tentang Undang-Undang 32 yang didalamnya ada tujuan penyiaran yang saya kira filosofi asasnya sudah benar dan saya termasuk yang berharap tidak diganti, jadi demokrasi penyiarannya jangan diganti tujuan penyiarannya juga tidak diganti dengan catatan, bahwa slide saya mengatakan ini harus sesuai dengan tanda panah, bahwa penyiaran itu pertama harus memperkukuh integrasi nasional seterusnya, jangan sampai kemudian dibalik panahnya yang utama adalah menumbuhkan industrinya karena ketika industrinya yang diutamakan, maka integrasinya nomor sekian, jadi ini tanda panahnya sudah sesuai dengan Undang-Undang 32. Kalau fungsi penyiaran itu adalah media informasi, pendidikan, hiburan sehat, dan seterusnya saya kira sudah clear tapi yang paling penting adalah saya tidak tahu ini apakah nanti akan menjadi sorotan yang menarik bagi teman-teman dari Partai Politik, karena fakta menunjukan penyiaran itu memiliki suatu kemampuan dia sudah menjadi suatu tools yang luar biasa bila terkait dengan politik, pada kesempatan ini saya ingin mengingatkan kepada kita semua, bahwa penyiaran itu masuk kategori pers, ketika dia masuk dalam kategori pers, maka dia dipandang sebagai pilar ke-4 demokrasi artinya tolong jangan diganggu penyiaran itu jangan diganggu dengan kekuasaan.

Ini yang sulitnya hari ini yang akan Ibu-Bapak hadapi terutama tadi Ibu Lestari menyinggung tentang kepemilikan dan keterkaitan dengan hal-hal yang terkait dengan politik. Kenapa ini menjadi catatan yang terpenting karena jika ini kita legasikan ini kita tidak lagi mewujudkan, maka yang terjadi adalah pers kita khususnya penyiaran kita itu akan menjadi tools dari kekuasaan dan politik, dan saya kira itu bukan gagasan atau filosofi utama dari pers sebagai pilar ke-4, kalau pilar ke-4 nya tidak lagi berfungsi sebagai pilar ke-4 maka pertanyaanya siapa lagi yang mengawasi triaspolitika yang lain? Apakah kita setuju? bahwa sosial media itu adalah sebagai pilar ke-5 yang akan mengawasi politik yang mengawasi 3 pilar yang lain? Atau bahkan pilar ke-5 yang mengawasi pilar ke-4? Ini perdebatan filosifos dan akademik yang mungkin bisa dikembangkan pada proses naskah akademik tentang the vote is state of democracy.

Sekarang mari kita lihat kami juga diminta untuk menilai tentang Komisi Penyiaran Indonesia.

Ibu-Bapak yang saya hormati. Saya ingin mengatakan, bahwa Komisi Penyiaran Indonesia adalah gagasan yang brilian

ketika Undang-Undang 2002, tetapi gagasan brilian ini sayang sekali nanti dalam perjalanannya tidak sesuai dengan harapan, kenapa? Mari kita lihat dahulu Pasal 7 ayat (2) mengatakan, bahwa KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran, saya sering kali mengatakan kalau ada kata-kata “mengatur hal-hal mengenai penyiaran”, maka seharusnya kita memaknai bahwa KPI mengatur segala hal tentang penyiaran.

Apakah didalam perjalanannya KPI mengatur segala hal mengenai penyiaran? Ini pertanyaan yang akan kita jawab, mari kita lihat putusan MK tahun 2003 mengatakan, bahwa “kata KPI bersama Pemerintha itu hilang” jadi ini flashback dahulu untuk Ibu-Bapak yang mungkin belum mengikuti bagaimana perjalanan putusan MK, jadi di Undang-Undang Penyiaran karena KPI mengatur hal-hal penyiaran mengatur segala hal tentang penyiaran maka semua peraturan pelaksana itu seharusnya disusun oleh KPI bersama pemerintah, segala substansi tentang Undang-Undang Penyiaran disusun oleh KPI bersama pemerintah ada banyak pasal mengatur.

Page 10: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA … · melakukan penelitian, kajian, tentang isu ini. Ini yang terus terang buat kami frekuensi harus menjadi kepentingan bersama untuk

10

Tetapi pembuat Undang-Undang 32 menaruh pada Pasal 62 dipasal terakhir tentang peraturan peralihan, bahwa peraturan-peraturan yang tadi KPI bersama pemerintah harus dibuat dengan peraturan pemerintah, sebagai orang hukum saya mengatakan inilah letak kesalahannya, seharusnya dia disebut bukan peraturan pemerintah tetapi harus peraturan KPI, kenapa? Karena ketika dia di judicial review maka tidak salah Mahkamah Konstitusi memutuskan, bahwa kata “KPI bersama” itu hilang, karena kewenangan peraturan pemerintah dalam Undang-Undang Dasar dikatakan adalah kewenangan pemerintah untuk membuatnya, jadi peraturan pemerintah tentu menjadi kewenangan pemerintah tidak mungkin kewenangan lembaga lain.

Seharusnya dia menjadi peraturan KPU bukan peraturan pemerintah, oleh karena itu kata “KPI bersama” dihilangkan oleh Mahkamah Konstitusi, ada yang bertanya apakah boleh peratuan KPI? Apakah KPI boleh mengeluarkan izin? jawaban saya bisa, contoh misalnya OJK itu adalah lembaga yang bukan lembaga pemerintah tapi dia punya izin untuk mengeluarkan izin dan mencabut izin, jadi tidak ada jawaban bahwa izin itu hanya milik pemerintah, sepanjang undang-undang mengatur seharusnya bisa itu salah satu analogi.

Ibu-Bapak yang saya hormati. Gara-gara putusan MK ini yang menurut saya tidak salah, karena menghilangkan kata “KPI bersama” karena memang di peraturan itu, Peraturan pemerintah, tapi karena itulah muncul lah peraturan pemerintah semua tentang penyiaran dan inilah yang berjalan sampai hari ini, hal hasil KPI hanya sebagai pengawas isi siaran, KPI tidak lagi mengatur hal-hal mengenai penyiaran, padahal kalau kita baca tidak ada 1 pasal pun di Undang-Undang 32/2002 yang mengatakan “KPI adalah pengawas isi siaran”, tetapi dalam pernyataannya Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri yang mengatur melaksanakan Undang-Undang 32 berdasarkan putusan MK itu adalah meletakkan KPI sebagai pengawas isi siaran, termasuk dalam proses perizinan KPI hanya disuruh ngawasi isi siaran dan seterusnya. Ketika ini terjadi, maka terjadilah diameteral antara kepentingan Pemerintah dan kepentingan KPI dalam proses perizinan dan pengawasan, dan ini menjadi cikal bakal hal-hal yang mungkin bisa melemahkan KPI. Persoalan lain dari KPI adalah struktur organisasi pusat dan daerah. Di Undang-Undang 32 tidak jelas mengatur bagaimana seharusnya, diserahkan karena memang pada waktu pembentukan Undang-Undang 32 antusiasme terkait dengan otonomi daerah itu masih sangat kuat jadi memang otonomi daerah masih mengemukan sangat kuat waktu itu, sehingga daerah disuruh ngatur sendiri, tapi ternyata dalam perjalanan pemerintah kemudian dan pemerintah daerah kemudian melihat, bahwa penyiaran itu adalah milik pusat. Alhasil, daerah hari ini, Ibu-Bapak, tidak tahu apakah mendapatkan laporan dari teman-teman KPI daerah, bahwa mereka hari ini tidak dibiayai lagi oleh daerah dalam konteks anggaran, mereka hanya masuk bantuan sosial dana hibah, bayangkan dana hibah untuk sebuah lembaga negara yang pendanaannya disebutkan didalam Undang-Undang Penyiaran, bahwa KPI daerah itu dibiayai oleh APBD, tapi nomenklatur ini hanya ditaruh pada hibah, kita tahu bagaimana hibah itu hanya sekali untuk bantuan sosial dan seterusnya dan tidak boleh berkali-kali, itu bisa jadi kesalahan juga, dan ketika itu kemudian 2 tahun yang lalu sudah mulai bergulir, bahkan ada temen-temen KPID itu yang kasihan tidak mempunyai anggaran dari Januari, bahkan sampai 1 tahun.

Belakangan baru kemudian mereka akhirnya dapat clue dari Kementerian Dalam Negeri itu dimasukan dalam hibah, kalau dalam hibah terus menerus ini juga menjadi masalah, jadi tolong kalau memang mau bikin Undang-Undang Penyiaran, bikin yang jelas, KPI Daerah itu posisinya apa? dan Pemerintah Daerah itu harus berbuat apa? ini yang menjadi persoalan dan status kelembagaan KPI, khususnya KPI Pusat.

Saya juga menjadi kembali teringat pada peristiwa ketika kami ternyata di Bappenas sendiri itu tidak paham tentang posisi kelembagaannya KPI, bayangkan komisi indipenden yang dibentuk oleh Undang-Undang Penyiaran itu dalam lembagaan negara itu tidak mengerti posisinya dimana? lembaga negara indipenden kemudian lembaga negaranya? posisinya? fasilitasinya apa? dia setara dengan apa? itu juga tidak jelas, ini menjadi perbincangan yang luar biasa pada waktu itu.

Page 11: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA … · melakukan penelitian, kajian, tentang isu ini. Ini yang terus terang buat kami frekuensi harus menjadi kepentingan bersama untuk

11

Kemudian masalah pendanaan, ada keinginan bahwa kalau memang KPI Pusat dan KPI Daerah menjadi satu kesatuan, maka seharusnya itu APBN, dan masa jabatan ini juga menjadi pertanyaan, dari beberapa komisi penyiaran adalah terkait dengan masa jabatan 3 tahun yang sangat singkat, saya kasih ilustrasi yang sedikit anekdot Pak, kalau Bapak Komisi I baru memilih Anggota KPI pada tahun 2010 misalnya, maka selama 1 tahun pertama mereka adaptasi, tahun ke-2 mereka baru mulai kerja sudah paham kerjaannya, pada tahun ke-3 mereka berusaha memikirkan bagaimana lagi kelanjutannya, jadi kapan kerjanya?. Jadi kalau mau stabil mungkin masa jabatan menjadi salah satu persoalan juga, itu gambaran KPI yang ada saat ini.

Sekarang kita lihat tentang digitalisasi. Tentu ada pertanyaan mengapa harus digitalisasi? Sebagai pengajar hukum internasional saya menemukan bahwa di ITU Convention And Constitution tahun 2010 itu ada sebuah artikel, ada satu pasal di Pasal 44 yang mengatakan begini “bahwa setiap negara itu harus berupaya untuk menggunakan spektrum frekuensi se-efisiensi mungkin, dan dalam rangka efisiensi itu maka mereka harus mengupayakan penggunaan teknologi yang terkini, kebetulan pada waktu 2000an sampai 2005 itu ada temuan yang baru itu namanya multyplexing digital, oleh karena itu masyarakat region I adalah wilayah telekomunisi, jadi wilayah telekomunikasi didunia ini dibagi atas 3 oleh ITU Convention And Constitution.

Region I, region II, region III, Indonesia masuk region III, region I itu benua Eropa, Afrika, dan Timur Tengah, bersama dengan Iran yang waktu itu masuk di Region III ada sekitar 120 negara itu mengadakan konfrensi di Jenewa Swiss untuk membahas tentang penemuan terkini untuk penghematan spektrum frekuensi, dan lahirlah Geneva Agreement, yang kemudian memberikan suatu gambaran baru terkait penggunaan digital dipenyiaran televisi, karena digital itu sesungguhnya sudah dikenal sebelum digunakan di penyiaran, alhasil 2015 mereka sepakat untuk switch off jadi analognya mati, diganti dengan digital.

Apakah Indonesia wajib mengikuti? Kalau secara hukum tidak wajib, karena ini Geneva Agreement, Indonesia tidak masuk dalam region III, tetapi kemudian karena ini perkembangan terbaru ada keharusan Indonesia beradaptasi, oleh karena itu ini kira-kira gambarannya, negara-negara yang harus Geneva Agreement lanjut saja. Oleh karena itu ITU memikirkan bagaimana pembelajaran yang baik dari region III itu dipraktekkan juga ditempat yang lain. Mereka kemudian mengeluarkan guidelines untuk wilayah Afrika dan melakukan sebuah pertemuan tahun 2012 dan mengeluarkan sebuah guidelines untuk Asia Pasifik, jadi bagaimana Indonesia menghadapi digital sesungguhnya, ITU sudah membuatkan guidelines.

Mudah-mudahan Ibu-Bapak bisa menemukan ini, dan ini mudah sekali dicari di internet bisa di download, kalau tidak bisa saya bisa kasih salinannya ke Sekretariat, bahwa didalam guidelines ini ada beberapa analisis yang berdasarkan dari pengalaman region III, yang kemudian diajarkan kepada region yang lain, termasuk Indonesia.

Yang menarik dari guidelines disitu ada beberapa saran, masukan, rekomendasi, terkait dengan bagaimana kita negara membangun policy, bagaimana membangun kebijakan, bagaimana menyusun sebuah regulasi, bagaimana pilihan teknologinya, bagaimana network planning nya, bagaimana customer awarenes, dan juga bagaimana business planning, supaya transisinya itu smooth, tidak grasak-grusuk, terus kemudian terjadi shock atau lompatan yang tidak terkendali.

Termasuk didalamnya pilihan-pilihan membuat policy, pilihan-pilihan terkait dengan kalau kita yang ribut hari inikan terkait dengan apakah multiplexing, multiplexer-nya itu multiplexing atau single multiplexing, itukan menjadi persoalan yang kemarin sampai, kemudian tadi Pimpinan mengatakan, ini ada perubahan di Badan Legislasi, ini ada usulan-usulan yang disampaikan oleh guidelines, kemudian ada bagaimana mengatur tentang anggaran, bagaimana relefansi dan bagaimana roadmap nya dibuat. Saya kira kita bisa belajar dari sini, ini menarik begitu ya. Next.

Salah satu contoh, misalnya didalam guidelines itu mengatakan begini, kalau mau bicara tentang digital, kalau mau imigrasi yang smooth, tolong jangan bicara sendiri, jangan bertindak sendiri libatkan stakeholders yang lain.

Siapa? Didalam guidelines itu ada stakeholders-nya, ada government, regulator, broadcaster, broadcaster itu yang hari ini incumbent dengan kemungkinan dia kedepan, kemudian operator cable dan satellite, kemudian bagaimana supplier equipment, perusahaan-

Page 12: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA … · melakukan penelitian, kajian, tentang isu ini. Ini yang terus terang buat kami frekuensi harus menjadi kepentingan bersama untuk

12

perusahaan TV juga harus diajak ngomong, installation provider nya juga, bagaimana audience publik, juga jangan ditinggalkan itu guidelinesnya, itu semua dibicarakan.

Dalam konteks ini guidelines juga menunjukan, bahwa diberbagai negara itu banyak digital national team yang dibentuk tidak jalan sendiri, kenapa tidak jalan sendiri? Karena memang kepentingannya banyak tidak hanya kepentingan industri, tidak hanya kepentingan negara yang butuh atau menginginkan adanya digital deviden tidak.

Oleh karena itu ini adalah beberapa contoh saja di Amerika bahkan FCC tidak jalan sendiri, FCC bersama dengan NTE jadi perdagangan begitu dia bekerjasama menyusun bagaimana ini terjadi, jadi kalau di Indonesia hanya jalan sendiri pasti juga banyak persoalannya terutama apalagi saya akan perlihatkan bagaimana perlidungan publiknya. Kalau berkaitan dengan public orientation saya selalu mengingatkan bahwa migrasi dan analog switch off itu tidak boleh menimbulkan masalah bagi publik, jangan ada digital shock terus tiba-tiba publik kaget analognya ilang harus apa? Harus beli TV baru kah? Kalau beli TV, wah harganya mahal TV digtial, kemudian sosialisasinya tidak ada, fasilitas publik dalam menghadapi migrasi seperti apa?

Oke sosialisasi itu mungkin dengan berbagai tayangan di TV sekarang sudah banyak tetapi apakah itu kemudian membuat publik sudah bisa menerima ada perubahan tentang migrasi ini. Kemudian digital deviden jangan semata-mata hanya untuk kepentingan industri tetapi juga harus ingat tentang kebutuhan publik ini juga menjadi penting.

Ibu-Bapak yang saya hormati. Saya ingin share sedikit, ini yang pernah saya pelajari ketika menyusun sebuah blue print di KPI tentang migrasi tentang digital, saya kira Komisi I pernah kami berikan tentang bagaimana blue print digital yang saya susun bersama dengan teman-teman di KPI waktu itu, perlindungan publik yang saya kasih contoh misalnya Amerika Serikat dan Jepang, di Amerika Serikat yang kita tahu adalah negara sifatnya individualistik atau liberalnya cukup tinggi tapi ternyata gara-gara digital dia sedikit agak sosialis, kenapa saya katakan agak sosialis?, karena mereka memikirkan publiknya ketika digital ini berubah ketika TV dirumahnya yang analog terus tiba-tiba tidak bisa menangkap siaran, dan harus berganti dengan digital, pertanyaan mereka adalah ini kesalahan siapa?. Apakah kesalahan publik yang tiba-tiba tidak bisa menonton analog? Ternyata tidak ini ada persoalan juga, atau pemikirannya kita ganti lagi misalnya ada yang mengatakan justru dia menjadi sosialis karena untuk mempertahankan industri siarannya, maksudnya apa? Maksudnya bahwa kalau publik tidak siap menerima siaran digital maka industrinya juga akan mati, jadi ini menjadi pemikiran untuk teman-teman yang akan menyusun Undang-Undang Penyiaran ini, bahwa ketika kita ingin imigrasi ke digital jangan hanya memikirkan komersialnya tetapi publiknya juga harus disiapkan, ketika publiknya tidak siap maka industrinya pasti tidak akan jalan tidak ada yang menonton siaran digital karena publiknya juga tidak siap. Untuk menjaga kesiapan itu Amerika menggelontorkan sebuah kupon bernilai 40 USD 1 rumah tangga dikasih 2 kupon ini untuk beli set top box alat untuk mengubah siaran digital kembali kesiaran digital di TV yang analog itu diberikan, mereka bisa meminta atau mendapatkan kupon itu melalui online, telfon, e-mail, atau fax, mereka minta ke NTE dan FCC. Tahun 2009 Juni 2012 itu ada kupon yang dibeli atau yang disebarkan sampai dengan 63 juta lebih, kemudian biaya yang dikeluarkan cukup banyak dan yang menarik adalah bahwa ini yang saya katakan tadi, bahwa ini menjadi kepentingan kita semua bersama-sama adalah pada masa sosialisasi, ada 1018 station bahwa sebentar lagi kita akan analog switch off jadi peran serta media pun mereka juga turut ambil bagian, ini menjadi menarik karena mereka menyiapkan diri bersama-sama tidak jalan sendiri. Terkait dengan digital deviden Amerika kemudian mengatur begini channel 2-69 adalah channel untuk digital, channel 2-51 untuk digital TV, sisanya ada sekitar 108 megahertz itu dilelang hasil lelangnya mereka bisa sampai 20 billion Dollar atau 20 triliun mungkin dan itu untuk negara, tetapi ada beberapa channel 63-69 itu untuk public safety diberikan kepada Pemadam Kebakaran, Kepolisian, dan sebagainya, ini yang mungkin juga tolong dipikirkan terkait dengan digital deviden karena kita bisa mendapatkan uang dari sana, tetapi tolong juga untuk menggunakan frekuensi itu kembali untuk publik, itu di Amerika. Sekarang di Jepang kalau di Jepang ini menarik sebagai contoh sosialisasi yang menurut saya sangat berhasil, semua TV analog yang dijual ditoko-toko Jepang menjelang

Page 13: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA … · melakukan penelitian, kajian, tentang isu ini. Ini yang terus terang buat kami frekuensi harus menjadi kepentingan bersama untuk

13

mereka migrasi tahun 2011, semua TV yang analog itu ditempeli stiker atau shield yang mengatakan bahwa ini TV analog, sebaliknya ada TV yang digital itu ditempeli stiker ini TV digital, kemudian ada sosialisasi bahwa 2011 TV analog ini tidak bisa lagi menangkap siaran, tetapi yang digital ini yang harus anda beli, sehingga orang yang mau membeli TV baru dia tidak salah beli, pertanyaan sekarang ada ketika kita kemarin ribut mau digital apakah kita yang membeli TV itu tersosialisasi ketika membeli TV?. Kan tidak ada jadi pelindungan publiknya dimana begitu ini hal yang menurut saya sangat bagus untuk mencontoh Jepang. Kemudian di Jepang itu didalam bus itu ada 2 TV yang sengaja disandingkan untuk memperlihatkan ini analog ini digital, jadi keinginan orang untuk ke digital itu bukan karena paksaan ya karena merasa ternyata digital lebih bagus, jadi awareness itu dibangun bukan dipaksakan ini menjadi hal yang menarik. Terakhir terkait dengan konvergensi, terkait dengan online broadcasting informasi yang terkini di Eropa di 2018 mereka sudah juga mulai merancang aturan tentang broadcasting di online, tetapi yang paling fenomenal terjadi 20 Agustus tahun lalu, terdekat Turki sudah mengatur regulasi tentang transmisi radio dan televisi di internet, alhasil netflix harus minta izin kalau mau siaran di Turki, kalau Turki apakah Indonesia boleh?. Mengingatkan lagi tentang sovereignty dan sovereign right yang Ibu-Bapak Komisi I ributkan, soal Natuna. Kalau soal online broadcasting kita kenal IPTV, OTT, kita kenal Internet TV, nanti kita mungkin bisa elaborasi apa bedanya, kalau IPTV contoh yang sekarang kita sudah sering nikmati adalah Indihome dengan UC TV nya, kalau OTT Youtube karena dia tidak melalui lembaga penyedia infrastruktur dia hanya melewati itu, ini beberapa alasan mengapa sampai Uni Eropa mengatur tentang broadcasting di internet karena nasional security, protection of miners, protection of human dignity, protection of human security, information security, protection of privacy, reputation, dan intellectual property, saya kira menarik juga tadi KNRP akan diskusi soal penyiaran dan copy right, itu juga menarik dan harus dipersoalkan didalam online broadcasting. Saya percepat, terakhir saya sempat berfikir apakah iya kita bisa bicara tentang omnibus law karena sekarang sedang rame ya omnibus law, kalau saya ditanyakan apakah dalam konteks komunikasi bisa ada omnibus law, maka jawaban saya Undang-Undang Telekomunikasi, kenapa? Karena kalau kita lihat definisi dari telekomunikasi berdasarkan konfensi internasional itu menganut semua, jadi penyiaran bisa masuk dalam telekomunikasi, internet juga masuk dalam telekomunikasi, dia menjadi semua persoalan telekomunikasi sehingga ada omnibus law dalam konteks ini tapi “what ever” itu nanti bisa dikembangkan atau tidak setidaknya saya pernah memikirkan itu yang mungkin saya sampaikan. Saya kira itu dari saya, lebih kurangnya mohon dimaafkan mudah-mudahan ada manfaatnya.

Wabillahi Taufiq Wal Hidayah. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarukatuh.

KETUA RAPAT (DR. H. ABDUL KHARIS ALMASYHARI) :

Walaikum’salam Warahmatullahi Wabarukatuh.

Lebih 7 menit tapi karena tadi Ibu Lestari sisa 8 menit jadi dihibahkan. Kita lanjutkan yang ketiga Pak Doktor Firman silahkan.

PAKAR KOMUNIKASI UNIVERSITAS INDONESIA (DR. IR. FIRMAN KURNIAWAN SUJONO, M.SI.) : Baik terima kasih.

Yang saya hormati Pimpinan Komisi I dan para Anggota Dewan yang terhormat. Terlebih dahulu saya memperkenalkan diri nama saya Firman Kurniawan, sehari-hari pengajar, antara lain di Universitas Indonesia, tetapi pendapat yang saya sampaikan pada kesempatan ini lebih karena perhatian saya sebagai pengamat komunikasi dan budaya digital.

Jadi memenuhi permintaan Sekretariat Jendral kemarin untuk berbicara tentang penyiaran dan perubahan atau Rancangan Undang-Undang Penyiaran, maka saya mencoba

Page 14: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA … · melakukan penelitian, kajian, tentang isu ini. Ini yang terus terang buat kami frekuensi harus menjadi kepentingan bersama untuk

14

menyusun pendapat saya ini dengan terlebih dahulu menggambarkan tentang perubahan ekosistem digital berikutnya. Jadi ini kurang lebih digitalisasi disegala kehidupan yang sering kita sebut sebagai disrupsi, itu mengubah ekosistem secara radikal yang akhirnya memunculkan praktek-praktek baru termasuk didalam penyiaran. Ada banyak hal yang disampaikan oleh para ilmuan tentang apa sebetulnya yang terjadi didalam digitalisasi, salah satu yang mungkin relevan ini adalah disampaikan oleh Hos Luis Orihuela bahwa kurang lebih ada 10 paradigma baru didalam komunikasi di era digital yang bisa kita ikuti, yaitu perubahan dari from audience to user disini kalau pada era sebelumnya yang namanya hal layak itu sifatnya pasif, mereka menerima program maupun yang disiapkan oleh produsen penyiaran, maka di era berikutnya hal layak itu lebih aktif sehingga mereka disebut sebagai user.

Kemudian yang kedua, ini sangat mengubah paradigma didalam era digital ini media berubah menjadi konten, jadi kalau kita berbicara tentang Undang-Undang Penyiaran tentang KPI dan sebagainya yang kita bicarakan adalah medium. Televisi sebagai medium, radio sebagai medium, dan apa yang ingin kita atur itu sebetulnya mediumnya tetapi dialam era digital sesungguhnya konten is the king jadi kita berbicara tentang konten nanti implikasi berikutnya saya akan jelaskan, yang kemudian semua media itu menjadi multimedia bisa konvergen suara gambar data dan selanjutnya, kemudian tidak lagi kenal jadwal, yang lebih penting adalah real time dan problem keterbatasan justru menjadi yang kita sering sebut sebagai from scarcity to abundance jadi kita mengalami tsunami informasi, problem bukan pada terbatasnya jumlah informasi yang beredar tetapi justru bagaimana kita mengendalikan jumlah informasi, yang luar biasa yang kemudian berimplikasi terhadap kualitas maupun problem berikutnya adalah kebenaran ini yang kita sebut kemudian era post truth. Dan kemudian kalau kita berbicara Undang-Undang Penyiaran kita berbicara tentang lembaga yang ada editor mediated maka diera digital semua berubah menjadi non-mediated, semua orang bisa memproduksi konten user generated content, yang terpenting dari itu semua bukan frekuensi publik, tetapi akses terhadap jaringan internet, jadi dimana ada jaringan internet semua orang akhinya bisa memproduksi konten. Yang berikutnya adalah from one way to interactivity semua siaran bisa terinteraksi secara langsung secara real time tidak satu arah lagi semua bisa berpendapat sehingga disitu tadi sebetulnya terbuka kesempatan untuk demokratisasi informasi, demokrasi pendapat dan sebagainya ini sesuatu hal yang membanggakan kecuali ketika itu kooptasi oleh kepentingan kekuasaan. Kemudian from linear to hiperteks, sajian dari informasi tidak hanya dalam bentuk satu macam tetapi berbagai macam yang dapat dinikmati secara real time, seperti kalau kita membaca media online bisa maju kewaktu yang akan datang atau mundur dimasa yang sebelumnya, dan akhir dari semua itu adalah from data to knowledge, jadi semua material informasi yang kita sebut sebagai material siaran itu akan menjadi pengetahuan, sehingga ini kalau kita merancang undang-undang untuk penyiaran dan sebagainya ujung dari produk penyiaran adalah knowledge sehingga tidak bisa dikuasai oleh pihak lain. Yang berikutnya ini bisa dilompati sampai 10 sllide yang relevan dari apa yang saya sampaikan dari 10 perubahan paradigma tadi, bahwa masyarakat hari ini seperti yang kita rasakan memiliki otoritas penuh terhadap informasi yang dikonsumsinya terjadi demokratisasi informasi, masyarakat dapat mengakses berbagai sumber informasi dengan akses cepat dan munculnya gejala yang disebut sebagai logika waktu pendek, masyarakat tidak bisa lagi menunggu informasi tetapi mereka dengan aktif mencari dan bahkan akan muncul alternatif informasi ketika apa yang mereka cari tidak mereka dapatkan mereka membuat siaran sendiri. Akibat akumulasi konten dengan informasi yang sejenis informasi berlimpah dengan keragaman yang terbatas, sikap terhadap sesuatu yang baik atau yang buruk dengan cepat terakumulasi, sehingga muncul gejala yang disebut sebagai echo chamber filter bubble, yang kemudian memunculkan sikap yang disebut dengan fanatisme yang kalau kita urai lebih lanjut, ini yang menjadi akal segregasi sosial. Kemudian masyarakat tidak mengutamakan informasi dari otoritas produksi yang selama ini kita sebut sebagai lembaga penyiaran, organisasi-organisasi yang resmi sebagai media konvensional dan sebagainya tetapi lebih percaya kepada rekan sekitarnya, akibat membanjirnya informasi terjadi persaingan dalam menempatkan informasi.

Page 15: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA … · melakukan penelitian, kajian, tentang isu ini. Ini yang terus terang buat kami frekuensi harus menjadi kepentingan bersama untuk

15

Masyarakat menyukai informasi yang dikemas dalam bentuk hiburan, narasi yang penuh kontroversial, drama, sehingga mengemas informasi komersialpun harus mempertimbangkan logika hiburan, kalau kita lihat hari ini informasi-informasi itu penuh sensasi dan kejutan, masyarakat memiliki dan terexpose oleh lebih dari 1 konteks media, ini semua kalau saya coba rangkum, mungkin berikutnya 4 hal besar digitalisasi media yang dikaitkan dengan penyiaran yang pertama adalah user generated content, semua orang bisa memproduksi material siaran jadi kalau kita bicara tentang perubahan RUU Nomor 32 tahun 2002, material siaran adalah material yang disebar luaskan dengan frekuensi publik dan sebagainya, sekarang yang disebut dengan material siaran adalah apa yang bisa diproduksi oleh siapapun yang memiliki akses terhadap internet. Kemudian yang kedua real time, produksi tidak perlu lagi menunggu, tetapi kebutuhan justru ketika orang terusik rasa ingin tahunya, dan ketika tadi tidak disediakan informasinya mereka akan membuat alternatif siaran sendiri. Kemudian multimedia interactivity terjadi selain multimedia yang menyebabkan informasi dapat ditampilkan didalam berbagai berbagai bentuk media, juga terjadi perembesan antara satu media dengan media lain, kalau kita lihat sekarang bagaimana isi dari youtube bisa masuk ke whatsapp, dari whatsapp masuk ke bentuk-bentuk yang lain, sehingga tanpa melihat kadar kualitas informasinya terjadi pertukaran informasi yang menyebabkan sebuah kebenaran menjadi sulit ditentukan, dan itu semua terjadi karena non-mediated. Semua orang bisa memproduksi tanpa kenal, yang namanya etika penyiaran tentang asas-asas menyampaikan informasi dan sebagainya, tetapi semuanya bisa memproduksi konten siaran. Berikutnya yang terkait dengan user generated content tadi adalah we are the media, kita semua adalah media kita semua adalah penyiar, sejak dikembangkannya teknologi web 2.0 yang berimplikasi kepada user generated content ,maka semua orang dapat melakukan penyiaran, sehingga menyusun Undang-Undang Penyiaran diera digital berarti menyusun aturan tentang produksi konten yang dihasilkan semua orang, berikutnya ini adalah angka-angka tentang penggunaan media kita, jadi televisi kepemilikannya masih cukup besar di Indonesia sekitar 95%. Berikutnya, televisi adalah media yang masih paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia, menurut data indikator sosial budaya yang dikeluarkan BPS pada tahun 2019, sepanjang 2003-2018, persentase masyarakat usia 10 tahun keatas yang menonton televisi selalu berada diatas 80%, jadi sebetulnya isu penyiaran ini masih sangat penting. Perhitungan berdasarkan atas jumlah masyarakat yang menonton televisi selama seminggu terakhir, ditahun 2018 masyarakat yang menonton televisi, selama seminggu terakhir meningkat dari 84,94% menjadi 93,02% ditahun 2018, mungkin ini adalah angka yang agak mengejutkan sebetulnya, kalau diruang-ruang kelas atau kita bertemu dengan kelompok milenial, kelompok muda kalau ditanya, apakah masih menonton televisi? Mereka sepertinya tidak menonton televisi, tapi angkanya cukup penting seperti itu. Mungkin penjelasan dari itu adalah mungkin televisi kepemilikannya 95%, tapi mereka belum tentu menonton siaran televisi yang ditonton adalah siaran youtube, siaran yang dari facebook dan sebagainya, tapi menggunakan pesawat televisi. Ini adalah gambaran persentase perhatian masyarakat usia 10 tahun keatas terhadap media radio, surat kabar, dan televisi, televisi masih cukup tinggi, sedangkan radio dan surat kabar menurun drastis, ditahun 2018 dan seterusnya, berikutnya penonton free to air menurun, waktu menonton menurut BPS, jumlah masyarakat yang menonton televisi masih tinggi, catatan lembaga survei Nielson, 3 tahun terakhir jumlah kepemirsaan televisi free to air di Indonesia justru menurun. Data Nielson ini berasal dari 15 stasiun televisi peringkat teratas dari 11 kota besar di Indonesia, total rates didefinisikan atas unique views yang menonton selama 15 detik, jadi yang disebut menonton adalah kalau kita ada didepan siaran selama minimal 15 detik, hasilnya sepanjang tahun 2016-2018 jumlah penonton televisi turun signifikan, terutama di kelompok usia muda dan kelas penonton dengan tingkat sosial ekonomi menengah keatas, jumlah penonton yang stabil adalah kelompok usia 40 tahun keatas dengan kelas ekonomi menengah kebawah, jadi produk-produk siaran kita terutama televisi itu lebih diperhatikan oleh mereka yang ada diusia 40 tahun keatas dan terutama kelompok menengah kebawah. Berikutnya ini adalah angka kepenontonan dari kelompok muda, yang berikutnya ini adalah waktu yang kemudian kemana ketika masyarakat atau hal layak tidak lagi menonton

Page 16: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA … · melakukan penelitian, kajian, tentang isu ini. Ini yang terus terang buat kami frekuensi harus menjadi kepentingan bersama untuk

16

televisi?. Mereka ada di internet, angkanya untuk Indonesia lebih dari 8 jam 30 menit ada di depan internet. Berikutnya ini adalah aktivitas-aktivitas mereka menonton online video, menonton vlog dan sebagainya, berikutnya dan juga kemudian yang menjadi sumber informasi, bukan lagi material siaran televisi, radio, koran, dan majalah, tetapi sosial media dimiliki sampai 150 juta penduduk Indonesia, itu artinya 56% dari populasi dan sebagian besar mengaksesnya dari perangkat mobile 48%. ANGGOTA DEWAN KOMISI I DPR RI : Interupsi Pimpinan sebentar.

Ini maaf, ini age gap nya berapa Pak ya? umurnya ini untuk umur berapa? PAKAR KOMUNIKASI UNIVERSITAS INDONESIA (DR. IR. FIRMAN KURNIAWAN SUJONO, M.SI.) : Secara umum Pak, tapi angkanya untuk Indonesia. Ini jumlah kepemilikan mobile 355 juta, padahal jumlah penduduk Indonesia sampai dengan ini angka yang saya dapatkan masih Januari 2019 untuk Indonesia, jumlah penduduk Indonesia waktu itu 268 juta, tapi jumlah kepemilikan mobile 355 juta, jadi jumlah perangkat mobile lebih banyak dari jumlah sikat gigi kita. Berikutnya ini adalah e-commerce activities, ini hanya untuk menggambarkan, bahwa Indonesia ini termasuk negara yang cukup adaptif dan sangat menikmati perkembangan, jadi ada fasilitas voice search, voice comment, dan sebagainya Indonesia adalah negara yang paling tinggi mengadaptasi perkembangan teknologi ini. Berikutnya ini tentang sayangnya adaptasi Indonesia terhadap teknologi yang begitu tinggi tidak dibarengi dengan kesadaran tentang penyalahgunaan data, jadi Indonesia termasuk negara yang dibawah rata-rata yang garis putih itu adalah rata-rata kepedulian penduduk dunia terhadap penyalahgunaan data Indonesia ada dibawah itu. Berikutnya ini adalah menunjukan bahwa dimana orang Indonesia mengakses informasi itu yang garis hijau adalah perangkat mobile yang semakin tahun semakin bertambah, sedangkan perangkat yang konvensional seperti tadi televisi dan sebagainya yang ada dikuning itu jumlahnya cenderung tetap dan menurun. Berikutnya ini adalah data evolusi penggunaan data mobile, berikutnya sehingga hari ini tidak berlebihan kalau kita sebut kita berada didalam era yang disebut sebagai mobile moment, semua aktifitas kita 70% termasuk menonton televisi dan sebagainya ada di perangkat mobile. Berikutnya mengapa terjadi seperti itu? Karena speed is the key, kecepakatan adalah kata kunci tadi real time tidak bisa lagi menunggu. Berikutnya dan medium itu sebetulnya sudah bukan hal yang utama, ketika sudah berhasil multimedia, bisa kita katakan the end of medium hari ini adalah content is the king.

Kalau kita berbicara tentang RUU Penyiaran yang disebut dengan penyiaran yang disebar luaskan lewat radio atau televisi itu adalah medium, sedangkan kalau kita melihat era digital tadi sebetulnya yang kita hadapi sesungguhnya yang perlu kita atur adalah konten, dan itu dihasilkan oleh mereka yang dapat mengakses jaringan internet. Di Indonesia sudah sekitar 155 juta masyarakat yang terakses internet, sehingga penyiaran di era digital bisa digambarkan tanpa mediasi editor, sulit diawasi hingga tidak mungkin diawasi kemudian mengandalkan literasi dan etika informasi publik, jadi tentu saja bagaimana tantangan yang kita hadapi, adalah mengawasi konten yang bisa disebar luaskan oleh siapapun yang memegang perangkat mobile, tentu paradigmanya berbeda dengan apa yang dilakukan oleh KPI selama ini. Berikutnya sehingga dari semua uraian tersebut menurut pendapat saya, makna penyiaran dan pentingnya etika informasi, fungsi penyiaran yang intinya adalah penyebaran truth dan knowledge untuk memperkuat dan memberdayakan masyarakat. Sehingga lewat fungsi ini pengetahuan dan kebenaran dapat diakses oleh semua publik, karena tidak semua publik bisa mengakses pengetahuan lewat jenjang pendidikan yang formal, namun banyak lembaga dan pihak yang tidak memahami ontologi penyiaran sehingga penyiaran tereduksi menjadi alat kepentingan yang bermotif politik dan ekonomi semata, ini dilakukan

Page 17: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA … · melakukan penelitian, kajian, tentang isu ini. Ini yang terus terang buat kami frekuensi harus menjadi kepentingan bersama untuk

17

dengan berbagai macam cara berbagai modus disinformasi, hoax, propaganda dan sebagainya, untuk membentuk citra dan tujuan-tujuan sempit lainnya. Konteks penyiaran juga sejalan dengan gagasan episdemokrasi, knowledge sharing, dan diskursus epistemik. Konsekuensi logisnya dari itu semua, adalah fungsi penyiaran harusnya dibebaskan dari kepentingan-kepentingan pragmatis yang bersifat jangka pendek, dan semua pihak yang memiliki kesempatan menyiarkan konten yang diproduksinya, perlu memahami konsekuensi atas material yang disebar luaskannya, jadi kalau kita melihat lembaga yang bukan penyiaran tetapi menyiarkan informasi seperti koran, majalah, dan sebagainya, lebih pada fungsi-fungsi pengawasannya dijalankan oleh dewan pers yang lebih mengutamakan pada aspek etika dan pembentukan literasi publik terhadap konsekuensi informasi yang disebar luaskannya, jadi menurut saya menjadi tantangan yang luar biasa besar ketika yang kita hadapi adalah konten yang dapat dihasilkan oleh semua hal layak yang dapat mengakses internet dengan perangkat mobile-nya. Dari saya itu.

Terima kasih. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarukatuh.

KETUA RAPAT (DR. H. ABDUL KHARIS ALMASYHARI) :

Walaikum’salam Warahmatullahi Wabarukatuh.

Terakhir Pak Nonot. Silakan Pak Nonot.

DEWAN PENGAWAS BAKTI (IR. NONOT HARSONO, M.T.) : Terima kasih Pimpinan.

Ibu-Bapak sekalian Anggota Dewan yang saya hormati. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarukatuh.

Setelah mendengar tadi aspek filosofis, kemudian catatan pengalaman dari Prof yang sudah lama di KPI, kemudian dari Pak Firman tentang situasi saat ini, mudah-mudahan presentasi saya ini simple dan sebentar saja, karena background saya adalah Insinyur Telekomunikasi, hanya kebetulan pernah 2 periode di BRTI dan sekarang aktif dimasyarkat telematika Indonesia.

Berbicara mengenai penyiaran Indonesia, izinkan saya menyampaikan prinsip sederhananya saja, karena kita ujung dari diskusi ini adalah untuk merumuskan RUU Penyiaran, itu dijaman yang seperti diceritakan Pak Firman dan Pak Yudha tadi dan Ibu Lestari itu, seperti apa yang baiknya? Beberapa poin yang coba saya tampilkan disini, adalah kita perlu menyepakati lagi tentang kira-kira Undang-Undang Penyiaran nanti itu mau ngatur apa itu?. Jadi menimbangnya itu apa saja yang mau dimasukan disitu, diaspek menimbangnya itu karena apa saja begitu, karena mengingat kalau yang disampaikan Pak Firman tadi, begitu luar biasanya dampak sosial ekonomi dari pemanfaatan teknologi digital begitu, dan yang kedua saya ingin menyampaikan, bahwa keramaian-keramaian tentang digitalisasi TV itu berbeda dengan istilah digital tentang yang disematkan diekonomi digital maupun yang lain, kalau ekonomi digital itukan ngomongnya seluruh kegiatan ekonomi yang dipicu oleh teknologi digital. Sedangkan yang digitalisasi TV itu hanya menyangkut free to air saja, hanya menyangkut siaran TV teristrial free to air, tetapi karena memang mayoritas rakyat Indonesia itu adalah masih penonton TV dirumah, sehingga dan yang ramai itu adalah pasar-pasar tontonan yang berdasarkan rating seperti itu, maka diskusi ini menjadi menarik begitu, kembali kepada paparan saya, bahwa kita perlu menyepakati apakah penyiaran yang kita maksudkan itu adalah penyebarluasan informasi/konten kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk memenuhi salah satu dari hak atau salah dua hak warga negara di Pasal 28 F dan 28 C Undang-Undang Dasar 45.

Page 18: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA … · melakukan penelitian, kajian, tentang isu ini. Ini yang terus terang buat kami frekuensi harus menjadi kepentingan bersama untuk

18

Yaitu “hak untuk mendapatkan akses informasi dan komunikasi” dan yang C itu adalah “hak untuk mendapatkan manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi”, namun kalau itu yang menjadi dasar penyiaran hanya salah satu dari pemenuhan hak itu karena akses komunikasi, dan informasi itu juga dipenuhi oleh negara melalui apa yang diatur oleh Undang-Undang 36/99 tentang telekomunikasi dan pemanfaatan yang lain diatur dalam Undang-Undang ITE tahun 2011. Kemudian dalam dokumen-dokumen yang terdahulu itukan negara hadir dalam konteks penyebarluasan informasi ini untuk melindungi warga negara dari paparan informasi dan konten yang tidak sesuai dengan norma ideologi bangsa, misalnya dalam alinea ke-4 dikatakan “melindungi segenap bangsa”.

Kemudian berikutnya kalau konteksnya adalah penyebarluasan informasi kepada seluruh rakyat maka kita perhatikan ada ragam salurannya, ada elektronik dan non-elektronik kalau kita mengacu kepada Undang-Undang 32 2002 itu yang dibicarakan adalah siaran TV misalnya dominasi siaran TV, maka sebetulnya ragam saluran elektronik untuk yang dimaksudkan didalam Undang-Undang 32 itukan ada kabel TV yang kerumah atau kekantor, satelit TV yang langsung direct to home atau langsung kekantor. Kemudian saat ini seperti yang disampaikan Pak Evan jaringan internet ke rumah ataupun ke gadget yang dipegang oleh masyarakat, kemudian ada saluran free to air yaitu televisi teristrial.

Kemudian media elektronik apapun yang lain hingga sampai kemasyarakat misalnya yang bersifat individual ataupun custom, kemudian cakupan wilayah itu apakah yang terbatas maupun yang keseluruh wilayah, sehingga didalam konsep penyusunan Undang-Undang Penyiaran nanti itu dari apa yang ditetapkan diatas dipilih yang diatas kita bisa menentukan bab apa saja yang perlu diatur, kalau tujuan utamanya adalah penyebarluasan informasi dan konten kepada seluruh masyarakat bisa melalui saluran televisi terestrial maupun televisi yang lain maka kita bisa bayangkan apa saja yang bisa diatur itu, contoh didalam Undang-Undang 32 tahun 2002 itukan ada TV berbayar begitu kalau ngomong TV berbayar sudah tidak terkait dengan digitalisasi begitu.

Jadi kalau ngomong TV satelit berbayar, melalui satelit isunya sudah tidak ada isu digital deviden, karena digital deviden itu hanya ada free to air teristrial free to air, bicara tentang TV kabel seperti kawan-kawan yang TV Kabel yang menarik kerumah-rumah itu pakai koaksial itu juga tidak terkait digital deviden, yang pakai fiber to the home, fiber optik langsung kerumah-rumah juga tidak terkait dengan digital deviden, sehingga maksud saya menyampaikan ini adalah penyusunan bab-babnya itu, ini bab ataupun sub bab itu menjadi clear begitu, misalnya “dalam hal penyebaran informasi atau konten melalui” yang memerlukan spektrum frekuensi radio maka ada aturan yang perlu mengacu misalnya ke Undang-Undang 36 tahun 99 misalnya seperti itu.

F-NASDEM (MUHAMMAD FARHAN) : Maaf Pimpinan. Pak pendalaman saja Pak biar saya jelas.

bisa balik lagi Mas Bowo mengenai ragam saluran TV berbayar Pak. hanya perlu penegasan saja barangkali, takutnya data saya kurang, hasil dari ITU di Paris bulan November atau Desember kemarin itu mengatakan untuk 5G itu menggunakan 26 gigahertz, apakah itu bertabrakan dengan salah satu atau lebih operator TV berbayar di Indonesia tidak? Ada tidak Bapak data itu? DEWAN PENGAWAS BAKTI (IR. NONOT HARSONO, M.T.) : Maksudnya jaringan 5G? F-NASDEM (MUHAMMAD FARHAN) : Iyakan, 5G nanti akan pindah ke 26 gigahertz, ini hasil dari ITU kemarin, ini apakah di Indonesia 26 gigahertz ini sudah ada penghuninya atau belum? Karena saya khawatirnya.

Page 19: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA … · melakukan penelitian, kajian, tentang isu ini. Ini yang terus terang buat kami frekuensi harus menjadi kepentingan bersama untuk

19

DEWAN PENGAWAS BAKTI (IR. NONOT HARSONO, M.T.) : Yang dekat disitu Pak Farhan, itu CB 100 meterband untuk supir truk atau masyarakat yang pakai HT ya, kemudian ada, tapi didalam ITU pasti sudah, di karena yang bahas di ITU adalah keseluruhan table spektrum, jadi kalau disitu bertabrakan, dipastikan tidak bertabrakan.

Jadi yang sekarang ramai untuk minta frekuensi baru itukan termasuk HAPS high altitude platform, kemudian ada juga yang showbiz wireless microphone yang untuk karena kebetuhan wireless microphone itu makin banyak, itu ada juga yang mengajukan termasuk minta digital deviden itu.

Terima kasih. Kemudian prinsip-prinsip selanjutnya yang ada dalam pikiran saya tentang RUU Penyiaran ini, maka tentu kalau fokusnya itu adalah penyebaran konten, dan kemudian tujuan nasionalnya adalah melindungi masyarakat dari paparan konten yang tidak sesuai dengan harapan kita dan harapan negara, maka tentu yang diatur adalah asas norma dalam melakukan penyiaran atau penyebar luasan konten, garis besar aturan mainnya, maka tentu ada dari sisi konten produksinya produsen konten itu juga diberi aturan-aturan atau rambu-rambu etika konten, apa yang diharapkan oleh negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45.

Sehingga dalam RUU itu kemudian ada pemberian tugas kepada lembaga yang diberi tugas untuk pengawasan penyebar luasan kontennya dalam bentuk P3SPS, kemudian dibentuk kelembagaannya dan seterusnya. Kemudian berikutnya adalah penyiaran yang menggunakan spektrum frekuensi radio tentu mengacu kepada Undang-Undang 36/99 dan turunannya, yaitu hanya ada 1 Pasal disitu yaitu Pasal 33 Undang-Undang 36/99, yang intinya siapapun yang memancarkan atau membangun pemancar radio konsen utamanya adalah jangan sampai menimbulkan gangguan kepada pihak lain, karena menggunakan media udara pemancaran radio yang tidak disetting dengan benar, itu sinyal radionya akan bleber ketempat lain, sehingga menimbulkan interferrence itu yang tidak boleh terjadi.

Maka kemudian ada aturan turunannya yang lebih teknis, misalnya tentang ketentuan-ketentuan teknis terkait setting dari sebuah pemancar itu, yang perlu diperhatikan sebetulnya dalam sejarah broadcasting baik dalam kita mengacu pada sejarah di Amerika, sebetulnya yang broadcasting ini sebetulnya sudah 1920 ini ditemukannya, tetapi populer baru 1960-an atau 50-an, bahwa sebetulnya yang dialokasikan spektrum frekuensinya untuk penyiaran itu sudah membatasi jumlah kanal jadinya begitu. Artinya karena apa tadi tujuan utamanya adalah penyebar luasan informasi, maka perlu kanal perlu saluran, yang disiapkan oleh FCC maupun undang-undang yang lain sebetulnya, adalah jumlah saluran penyiarannya.

Tetapi kemudian bisa diatur karena pemancar radio itu ada unsur daya pancar dan frekuensi, maka juga daya pancarnya dibatasi rendah maka daya jangkauannya juga akan terbatas, itu yang kemudian melahirkan TV komunitas ataupun TV lokal dan lain-lain, termasuk mengatur ketinggian antena dan lain-lain, yang tentu tidak di Undang-Undang, tetapi prinsip payung di Undang-Undangnya kan, bahwa filosofi penyebarluasan informasi/konten, kemudian media yang dicakup dalam Undang-Undang ini apakah semua media atau dibatasi, kemudian norma-norma yang mengikat kepada yang memproduksi konten kemudian yang menyalurkan konten, kemudian yang menonton konten juga, sehingga ada istilah disisi user itu ada disisi kanal dan sebagainya ada pengaturan jam dan sebagainya.

Yang menjadi ramai dengan digitalisasi itu adalah karena 1 kanal spektrum frekuensi yang asalnya itu 8 megahertz kanal frekuensi itu hanya bisa ditempati 1 stasiun pemancar, dengan digital itu bisa puluhan bisa lebih dari 10 stasiun pemancar, intisari dari subtansi digitalisasi TV itu adalah 1 pemancar TV yang asalnya untuk 1 stasiun TV saat ini, itu bisa untuk menyalurkan lebih dari 10 program siaran TV melalui 1 pemancar, sehingga jumlah pemancarnya yang kemudian menjadi jauh berkurang, jumlah pemancarnya menjadi berkurang, tapi pelaku penyiarannya bisa tetap begitu, malah jumlah salurannya bisa bertambah ini, hanya disisi lain ada tuntutan kualitas gambar yang lebih.

Maka kalau itu ingin gambarnya lebih resolusinya lebih tinggi, lebih halus, maka kemudian dari standar kualitas, standar TV dinaikan menjadi HD misalnya, atau ultra HD, atau bahkan yang lebih tinggi, tapi dalam pertimbangan-pertimbangan teknis tidak layak

Page 20: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA … · melakukan penelitian, kajian, tentang isu ini. Ini yang terus terang buat kami frekuensi harus menjadi kepentingan bersama untuk

20

memancarkan melalui free to air siaran TV yang misalnya ultra HD tidak layak karena untuk apa, karena pasti ada saluran lain yaitu konsumennya juga akan berbeda begitu. Prinsip dari digitalisasi yang perlu kita pahami prinsipnya adalah digitalisasi siara TV itu hanya membahas tentang yang siaran free to air jadi sedangkan siaran yang di Undang-Undang 32 lebih dari itu begitu.

Kemudian intinya adalah dengan teknik digital seperti yang disampaikan oleh Prof. Judhariksawan tadi adalah seperti yang dibahas ITU, bahwa efisiensi spektrum frekuensi radio, jadi yang asalnya 1 channel yang lebarnya 8 megahertz itu dipakai oleh 1 stasiun, sekarang bisa dipakai oleh banyak karena teknologi digital, yang menimbulkan persoalan itu begitu siapa yang memegang kekuasaan di pemancarnya, kalau yang lain hanya bisa nyolok begitu mestinya meskipun ini sebetulnya bisa dengan kesepakatan, justru karena gotong royong membangun pemancar sebetulnya modalnya lebih rendah lebih efisien tinggal mau kompak atau tidak begitu.

Kemudian rencana berikutnya itu yang menimbulkan kompromi sulit dicapai, itukan karena yang 1 beralasan “saya ingin High Definition, resolusi yang lebih tinggi”, maka itu kemudian masuk kepembahasan-pemabahasan teknis, kalau begitu saya dapat jatah berapa saluran standar ini. Lanjut.

Saya kira kalau hal teknisnya itu saja prinsipnya, yang ingin kami sampaikan adalah bahwa siaran digital adalah hanya ngomong tentang free to air, kemudian dari situ jumlah pemancar itu jauh berkurang begitu, jumlahnya pemancarnya jauh berkurang meskipun jumlah saluran untuk siarannya tetap atau bahkan bisa bertambah, nanti yang akan mengubah-ngubah saluran itu adalah kemauan dari masing-masing pelaku penyiaran itu mau yang standart kualitas ataukan yang high definition begitu.

Itu yang mungkin perlu mendapat penegasan atau ketegasan dari apa yang ada di undang-undang ini, karena ada alternatif lain untuk yang kualitas yang lebih tinggi misalnya seperti itu. Kemudian bagaimana mengakomodasi yang komunitas? Karena kalau dahulu yang komunitas itu definisikan sebagai pemancar yang radius pancarannya maksimum 5 kilometer misalnya begitu, kalau begitu berartikan pemancar mandiri sendirian analog, kalau didalam era digital itu apakah masih seperti itu untuk komunitas itu? Apakah diakomodasi dengan slot waktu biasanya seperti itu.

Kemudian diversity of ownership, diversity of content, itu mau secara teknis mau dipenuhi dengan cara seperti apa? Karena yang teknis ini bisa mengikuti apa yang diinginkan oleh yang mau menggunakan. Sehingga kalau boleh kami memberikan gambaran ilustrasinya jadi ini modulasi digital, jadi TV siaran free to air digital itu ada pada teknologi radionya pemancarnya begitu, begitu pemancarnya menggunakan modulasi digital maka dia akan bisa memuat banyak konten banyak saluran informasi, seperti halnya saluran-saluran yang lain jadi yang namanya multiplexer adalah menggabungkan, mengagregasi banyak sumber siaran ditumpangkan kepada 1 pemancar itu saja prinsipnya, jadi 1 pemancar memancarkan agregasi dari banyak stasuin siaran.

Ini yang menimbulkan impact sosial ekonomi bisnis dalam negosiasinya itu sebetulnya itu, kalau kemudian saya mendengar di periode yang lalu, ada bagaimana kalau ada sendirian yang mengelola pemancar, apakah nanti akan seperti telekomunikasi bisnisnya begitu? ada yang menyediakan jaringan atau saluran pemancaraannya, kemudian para pelaku penyiaran yang ada sekarang hanya mengisi salurannya itu, apakah tidak tambah rumit? Itu nanti menjadi bahan pembicaraan ini, tapi prinsipnya yang disediakan oleh teknologi digital adalah seperti ini prinsipnya adalah, bahwa 1 pemancar bisa membaca saluran yang banyak begitu, tantangannya adlaah apakah pemilik stasiun siaran ini yang banyak ini bersedia menggunakan pemancar ini secara bersama-sama begitu.

Dengan keuntungan bahwa modalnya akan lebih hemat, karena 1 pemancar ditanggung rame-rame secara finansialnya rame-rame, jadi inti dari digitalisasi free to air adalah seperti itu sedangkan cakupan Undang-Undang Penyiaran dari yang sudah pernah ada yaitu Undang-Undang 32, tidak hanya free to air, jadi ada yang melalui koaksial, ada yang melalui fiber optik, fiber to the home, dan lain-lain itu sudah jalan, apakah sekarang juga akan difakta yang disampaikan Pak Firman tadi dengan internet itu, apakah juga akan dituliskan norma-normanya?, karena ancamannya terhadap generasi muda itu sama, ancamannya terhadap pola pikir dan sebagainya itu sama begitu.

Page 21: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA … · melakukan penelitian, kajian, tentang isu ini. Ini yang terus terang buat kami frekuensi harus menjadi kepentingan bersama untuk

21

Jadi itu yang mungkin bisa saya sampaikan untuk pendahuluan diskusi, kalau ada yang kurang mungkin nanti bisa ditambahkan.

Terima kasih Pak Ketua. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarukatuh.

KETUA RAPAT (DR. H. ABDUL KHARIS ALMASYHARI) : Walaikum’salam Warahmatullahi Wabarukatuh. Terima kasih Pak Nonot, selanjutnya kita mungkin masih ada waktu untuk melakukan

pendalaman sampai pukul maksimal pukul 13.00 WIB maksimal tapi belum makan siang dan lain sebagainya, secukupnya saya kira karena ini kita baru mendengarkan masukan-masukan dari para pakar, tapi ada pakar Komisi I yang mau melakukan pendalaman.

Kami persilahkan Pak Bobby. F-GOLKAR (BOBBY ADHITYO RIZALDI, S.E., AK., M.B.A., C.F.E.) : Terima kasih Pimpinan.

Bapak-Ibu yang hadir Anggota Komisi I beserta para pakar. Langsung saja saya untuk seluruh narasumber mungkin kalau bisa dijawab satu-satu aja

Pak, karena mungkin ada hal yang berbeda, bagaimana kami dalam proses pembentukan Undang-Undang Penyiaran ini bisa mengatasi kegagapan untuk mengawasi media konten seperti netflix, karena netflix itu tadi disebutkan di Pak Judhariksawan, ini Pak Ketua KPI, Pak Firman juga, media dengan tren seperti sekarang netflix itu intinya siaran, tapi bajunya itu telekomunikasi, karena itukan OTT, Over The Top, didalam 2 undang-undang itu tidak ada yang mengatur ini didalam Undang-Undang Penyiaran membatasi, Undang-Undang Telekomunikasi membatasi.

Sehingga waktu KPI yang sekarang Pak Budi Satrio mengatakan, bahwa dia ingin mengawasi netflix itu memang secara Undang-Undang tidak bisa, bukan kewenangan dia, tapi sampai hari ini konten didalam netflix atau media seperti itu tidak bisa diawasi, semua tidak bisa mengawasi LSS, tidak bisa, Kominfo juga tidak bisa. Dalam undang-undang inikan ada tema konvergensi, tapi konvergensinya itu tidak mencangkup semua materi siaran yang digunakan oleh frekuensi telekomunikasi, frekuensi inikan sebenarnya 1 Pak, hanya dibagi saja, siaran mana, telekomunikasi mana, tapi intinya siaran, jangan sampai Undang-Undang Penyiaran ini hanya menjadi Undang-Undang TV Box, atau bukan merespon apa yang dikatakan Pak Firman “tren nya”, apalagi kita lihat 8 jam, itu sudah tidak ada lagi orang 8 jam nonton TV Pak.

Jadi dari seluruh pakar apa kiranya kalau omnibus law yang tadi itu Pak, sampai sekarang tidak ada itu Pak, tidak ada dalam item ini, menyikapinya, apakah perlu Undang-Undang Penyiaran digabungkan dengan Undang-Undang Telekomunikasi? digabungkan dengan Undang-Undang RTRI? misalkan, sehingga ini semua menjadi integral.

Lantas kedua saya mengkhusus kepada Ibu Lestari, tadi bagus sekali Ibu, bagaimana kita menormakan dalam syarat untuk menjadi Komisioner KPI itu, yang tadi Ibu bilang bisa mewakili kompetensi, karena begini Ibu, di era reformasi inikan intinya ada ketidak percayaan kepada lembaga negara, sehingga kita memerlukan keterlibatan publik dalam bentuk komisi-komisi yang harusnya ad hoc itu.

Ini komisi macam-macam ada Komisi KPK, Komisi Penyiaran, Komisi informasi, Komisi Pengawasan, segala macam, intinya ada keterlibatan publik oleh karenanya persyaratan dalam komisi-komisi itu tidak pernah mengebutkan kompetensi akademik sektoral, kita hanya menyebutkan kompetensi itu adalah akademik umur 35-65, intinya tidak buta huruf sama waras saja Ibu. Jadi Komisi I memilih KPI dengan kualitas ini karena disitulah kita bisa milih dengan pilihan-pilihan yang ada, tapi kalau Ibu bilang harus ada yang kompetensi segala macam bagaimana kita menormakan itu? Karena dalam spirit-nya Komisi-Komisi diseluruh Undang-Undang ini itu adalah keterlibatan publik.

Ibaratanya ibu rumah tangga saja atau siapapun pendidikannya asal sesuai selama dia passion selama dia ngerti tentang penyiaran, selama dia mengerti tentang bidang sektoral ini dia bisa memilih, bagaimana bisa menormakan dalam usulan Ibu tadi supaya ya minimal lebih

Page 22: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA … · melakukan penelitian, kajian, tentang isu ini. Ini yang terus terang buat kami frekuensi harus menjadi kepentingan bersama untuk

22

dikerucutkan dari Pansel, karena dari Pansel kita memilih 1 diantara 2 paling tidak kalau memang tidak menyalahi HAM, gimana caranya semua lulusan Fisikom yang harus di KPI, misalkan, atau kalau sekarang tetap terbuka Ibu siapapun asal memiliki passion di fit proper dia ngerti tentang siaran atau mungkin Bapak-Bapak tidak punya lulusan akademik soal ini, tetapi dia sehari 10 jam nonton TV sehingga dia hafal ya itu bisa saja.

Bagaimana menormakan ini Ibu kompetensi itu bagaimana? Terakhir khusus untuk Pak Judhariksawan dan Pak Firman tadi saya setuju itu tata kelola tren juga sama Pak Nonot, bagaimana dalam Undang-Undang Penyiaran ini Pak pendekatan kita pendekatan akademis atau best practice itu didunia bagian mana yang menurut Bapak paling sesuai sama di Indonesia, karena paling tidak begini Pak, kami di DPR ini sering didemo segala macam, dibilang, apalagi yang diperiode 2014-2019, kita ini hanya menghasilkan 80 undang-undang, tapi kalau Bapak lihat dari 2014-2019 ini undang-undang yang dihasilkan kalau dibandingkan, mohon maaf, 2004-2014, kita hampir sedikit sekali kalah di MK Pak, tidak bisa, dikit yang kalah kita, mungkin saya bilang tidak ada, tapi mungkin saya lupa.

Tapi tidak ada kita seperti tahun 2012, Pasal Undang-Undang kita dikalah oleh MK, tidak ada kita Pak, jadi sangat berkualitas sehingga saya ingin tahu karena kalau kajian akademiknya itu di Eropa, Amerika, negara yang JDP nya jauh dengan kita tingkat kesiapannya itu tidak relevan dengan kita, kita ini mau bikin undang-undang yang stakeholdernya mobilisasi ikut, Undang-Undang tahun 2009-2014 contoh paling gampang Undang-Undang Geospasial Pak, Geospasial itu adalah Undang-Undang pemetaan dari Badan Peta itu sampai sekarang tidak jalan Pak, peta yang di kehutanan punya peta, dinas sosial punya peta, BNPB punya peta, hari ini tidak jalan karena apa Undang-Undang Geospasialnya bagus Pak, refernya ke Amerika, ini segala macam, tapi dengan kultur kita, ternyata beda.

Oleh karenanya yang cocok dengan karakter stakeholder karena inilah bedanya kita dengan akademisi, kalau akademisikan mana yang ideal Pak tapi kita mau bikin undang-undang yang stakeholder-nya paling utama pemain utama dibidang penyiaran ini mau ikut kita, kalau tidakkan tidak jadi-jadi undang-undang juga.

Jadi pertama adalah dari sisi bagaimana kemampuan stakeholder menyarap regulasi, lantas dengan populasi penontonnya dengan yang tadi saya kutip kata-kata Bapak tadi yang digital shock itu bagus Pak untuk kita mensosialisasikan, digital shock ini negara mana yang kira-kira bisa cocok kita adopt untuk Undang-Undang Penyiaran.

Karena kalau kita adopt-nya ke UK ke yang ada automatic shut-off dalam waktu 7 tahun, 11 tahun, wah itu wafat kita Pak, tidak jadi-jadi ini barang, jadi harus ada dimensi, berapa kemampuan anggaran, kemampuan sudah jelas 5 tahun ini kita punya kemampuan hanya hampir 4,8 triliun di TVRI, itu dengan uang 4,8 triliun di Kominfo itu 1 tahun sekitar 8 triliun ya, 8 triliun kali 4 hanya 32 triliun. Jadi 32 ditambah 5, tarolah hanya tidak sampai 40 triliun, tarolah urusan penyiaran ini 20% berarti hanya sekitar 10 triliun dalam waktu 4 tahun, bagaimana undang-undang ini bisa sukses dengan kebutuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, tingkat pendapatan masyarakat sekarang, mana yang kira-kira bisa kita adopt.

Jadi kalau daftar akademisnya berdasarkan apa ini saya rasa wafat tidak jadi-jadi ini undang-undang Pak, jadi saya rasa kita perlu best practice yang menurut bapak sudah bisa terbukti dan paling dekat kondisinya dengan Indonesia itu dari negara mana.

Terima kasih Pak.

KETUA RAPAT (DR. H. ABDUL KHARIS ALMASYHARI) : Terima kasih Pak Bobby. Sebelum ke yang lain kalau nanti ada saya mau tambahkan untuk Ibu Dokter Lestari ya,

tadi karena disoroti tentang pemilihan KPI. Saya sampaikan sedikit ketika pemilihan KPI kemarin, atau saya kebetulan sudah 2 kali

mengikuti pemilihan KPI, yang jelas Komisi I tidak mungkin melakukan seleksi sendiri ketika kita kemudian meminta Kominfo sebagai mitra kita untuk membuat Pansel itupun digugat, jadi kenapa yang menseleksi kok Kominfo? Padahal secara undang-undang yang memilih ada Komisi I, jadi memang diera demokratisasi ini serba “riweuh” begitu kira-kira begitu.

Page 23: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA … · melakukan penelitian, kajian, tentang isu ini. Ini yang terus terang buat kami frekuensi harus menjadi kepentingan bersama untuk

23

Kemudian setelah kemudian Pansel menghasilkan itu, mungkin ada kaidah yang mungkin dilawan dahulu, dilawan digugat masuk Ombudsman, kemudian Ombudsman pun segera kesini, ramelah kemarin, pemilihan KPI kemarin, kami tidak tahu nilai masing-masing, yang penting Ombudsman kasih ke kita 3 kali jumlah Anggota, cukup buat kami fit proper diruangan setelah itu kami pilih itu sudah melalui seleksi, sampai karena akhirnya Ombudsman garang sekali, kemudian kita iseng pingin tahu, sebenarnya ini gimana?, sebenarnya kok bisa sampai ramai sekali?, memang tidak mungkin untuk dibuka semuanya, nilainya, misalnya dan kalau dibuka nanti apa dasar saya dapat nilai segini, itu lebih ribet lagi.

Tapi itu kerja Pansel ya, jadi DPR memang menyerahkan kepada Pansel untuk sampai 3 kali jumlah dari Komisioner KPI, untuk yang KPI, jadi masukan Ibu mestinya dicari yang kompetensinya, ya kita cari kompetensi.

Kami pernah ketemu dengan orang yang kompetensinya sangat bagus, tapi dengan gaji yang segitu mereka tidak mau, masalahnya begitu, iya kita ketemunya orang yang kompetensinya, mungkin tidak sebagus yang kita harapkan, yang mau dengan gaji segitukan, begitu, ini dilema, maunya orang-orang yang paling top di dunia penyiaran jadi KPI, tapi kalau digaji segitu, ya tidak mau ya. Itu ada pertimbangan-pertimbangan, termasuk masalah gaji, silahkan ada lagi mungkin? Cukup ya? satu tanggapan dan mudah-mudahan karena Pak Bobby meminta keempatnya ini menanggapi.

Silahkan berbagi waktu, jangan terlalu panjang, kita akan segera sudahi dan persiapan untuk Paripurna.

Silahkan kita balik mulai dari Pak Nonot. DEWAN PENGAWAS BAKTI (IR. NONOT HARSONO, M.T.) : Terima kasih Pak Ketua dan Anggota Dewan yang saya hormati. Mengenai netflix itu sejak lama, sudah menjadi problem, tapi memang kalau dicari-cari, secara prinsipkan, siapapun yang kemudian mendapatkan manfaat dari wilayah Indonesia itu haruslah memenuhi atau permisi, atau tahu diri, ataukan punya etika untuk berkomunikasi begitu.

Pengalaman saya di BURT, itu pengusaha Jepang yang mau kesini itu berkunjung ke kantor, kemudian menanyakan “kalau saya ingin begini, itu bagaimana?”. Di 2014 saya pernah mengomentari tentang netfllix, itu berdasarkan Undang-Undang Perfilman Indonesia, kalau di Undang-Undang Perfilman Indonesia itu malah sebetulnya bisa dipakai alasan untuk memblokir netflix.

Karena saya sendiri pro blokir, karena kita sudah kehilangan banyak dari prinsip borderless sama cross border, ini juga menjadi isu yang sangat penting karena saat ini platform global, 5 raksasa global itu sudah hampir selesai membangun kabel lautnya. Jadi nanti akan terjadi integrasi vertikal oleh google, facebook, dan kawan-kawan itu untuk menguasai sendiri, membangun sendiri kabel laut sampai ke ujung, sehingga kalau di Undang-Undang Perfilman, itu semua yang masuk ke Indonesia, itu harus melalui screening, harus melalui lembaga sensor ataupun yang lain, prosedur itu tidak terjadi kalau dan itu ada pasal yang mengatakan “penyaluran film termasuk media internet” begitu. F-GOLKAR (BOBBY ADHITYO RIZALDI, S.E., AK., M.B.A., C.F.E.) : Izin Pak interupsi. Jadi begini Pak, kajian tentang Undang-Undang Sensor oleh LSM, itu tidak mempan untuk netflix, karena ada 1 Pasal disitu disampaikan, bahwa “itu bisa LSM untuk film yang disiarkan oleh BUT”, untuk netflix ini tidak ada BUT nya, PT nya juga tidak ada Pak, kantornya saja tidak ada disini Pak, itu jadi tidak bisa undang-undang itu Pak.

Page 24: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA … · melakukan penelitian, kajian, tentang isu ini. Ini yang terus terang buat kami frekuensi harus menjadi kepentingan bersama untuk

24

DEWAN PENGAWAS BAKTI (IR. NONOT HARSONO, M.T.) : Jadi dari situ kalau dari perspektif yang berlawanan Pak, disitulah kemudian muncul

diwajibkan bikin BUT begitu, karena ada etika yang tidak digunakan netflix ambil manfaat dari wilayah Indonesia, kok tidak ada permisi apa-apa. Jadi yang didekati adalah pendekatan kedaulatan begitu.

Kemudian kalau Judhariksawan meng-quotes yang definisi telekomunikasi ITU, bahwa “yang disebut telekomunikasi adalah semua model penyampaian konten.” Itu definisi ITU sudah diratifikasi di Undang-Undang 36 di Pasal 1 nomor 1 Pak, definisi di ketentuan umum, Undang-Undang 36 Pasal 1 butir 1, yaitu “telekomunikasi adalah segala bentuk penyampaikan konten”.

Itu kalau menggunakan Undang-Undang Telekomunikasi, dikaitkan dengan batang tubuh didalamnya, segala bentuk itu harus berizin begitu, kalau dikaitkan dengan pasal itu bisa menjadi undang-undang yang menyapu semuanya, mengcover semuanya.

Kira-kira mungkin itu pendapat saya Pak. Terima kasih.

KETUA RAPAT (DR. H. ABDUL KHARIS ALMASYHARI) : Baik.

Pak Bobby, apa yang disampaikan oleh Pak Nonot tadi, dan juga didalam pengamatan saya, ini yang disebut dengan “dilema hilangnya batas”, borderless. Jadi kita semua sedang terkaget-kaget, ditengah euforia, ditengah kemudahan teknologi digital, kita masih bingung yang seperti ini bisa dibatasi atau tidak ini? yang seperti ini perlu dibatasi atau tidak?, dan sebagainya.

Dan ternyata efeknya sudah kita rasakan seperti itu. Mungkin mengacu kepada apa yang pernah dilakukan Kominfo, blokir terhadap telegram, kemudian aplikasi yang lain, ternyata bisa kalau dengan pendekatan infrastruktur tadi, diblokir dan sebagainya. Dan kemudian diminta mereka untuk membuat statement “anda bisa membuat siaran mengambil keuntungan dan sebagainya dari negara kami, jika anda memenuhi syarat tertentu”.

Tadi kalau Mas Nonot dengan BOT dan sebagainya, setelah itu dipenuhi baru kita bebaskan kembali, mungkin dari situ aspek penegakkan bisa dijalankan Pak. Jadi kita selama inikan bingung, yaitu dilema hilangnya borderless dan tadi dari Pak Judhariksawan netlfix bisa, kemudian google di China juga bisa diatur, dan lain sebagainya, tentunya mestinya kita bisa dengan pendekatan, itu dari saya itu Pak

Terima kasih.

DOSEN HUKUM TELEMATIKA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN (PROF. DR. JUDHARIKSAWAN, S.H., M.H.) : Baik.

Untuk menanggapi atau memberi respon kepada pertanyaan Pak Bobby, izin, kalau soal netflix ada 2 kata kunci Pak Bobby menurut saya.

Pertama, berkaitan dengan kedaulatan, menjadi negara yang sedikit otoriter saya kira tidak ada masalah, dan tidak terlarang demi kepentingan publik yang lebih baik. Tetapi otoriternya ini dalam konteks untuk menjaga publik, ketika saya menjadi Ketua KPI, saya pernah didatangi oleh Ketua semacam KPI nya China, berkunjung silahturahmi, saya sempat bertanya begini, mengapa China begitu sangat ketat menjaga dan sensornya sangat ketat, jadi perusahaan-perusahaan asing tadi tidak boleh masuk dengan mudah, bahkan anda membuat google sendiri, membuat facebook sendiri, baidu mengalahkan amazon dan sebagainya. Jawabannya sederhana Pak, kami menjaga kebudayaan kami, kalau pendekatannya kesana saya kira itu clear, hukum internasional pun tidak akan pernah bisa mengganggu kedaulatan suatu negara sepanjang itu demi negaranya, saya kira pendekatan pertama yang perlu kita pahami dan kita bisa lakukan. Jadi jika dikaitkan dengan gateway, maka semua hal-hal asing yang masuk ke Indonesia itukan pasti ada gateway nya, tidak bisa serta merta masuk begitu saja, gateway nya itu ternyata kita bisa melihat beberapa metode dengan memperhatikan

Page 25: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA … · melakukan penelitian, kajian, tentang isu ini. Ini yang terus terang buat kami frekuensi harus menjadi kepentingan bersama untuk

25

sesungguhnya sistem telekomunikasi itukan terdiri dari kabel, nirkabel, atau wireless, atau sistem satelit, internet-pun harus menggunakan ketiga ini. Jadi tadi ada cerita tentang konsorsium itu bangun kabel bawah laut, yaitu pasti sistem kabel, pertanyaankan ujung kabel itu akan kemana? Itu pertanyaanya ujung kabel itu akan kemana? kalau dia pakai terestrial, maka terestrial itu akan menggunakan udara, tapi udara itu akan kemana ujungnya, kemana? Apakah dia keperusahaan yang akan menyambung ke rakyat, atau rakyat sendiri yang bisa langsung akses, misalnya tadi parabola secara langsung atau mungkin peralatan yang bisa langsung digunakan oleh masyarakat, kalaupun pakai satelit kita, yang kemudian punya kebijakan open sky policy. Apakah perlu kita menuju open sky policy? Dengan misalnya satelit itu harus memang punya landing rights, yang dimana perusahaan ground nya itu memang adalah milik atau mempunyai izin di negara ini, sehingga kalau misalnya gateway-nya kita mencegah atau kita atur, kita berikan norma untuk misalnya apa saja yang boleh anda masukan kedalam negara ini, maka normanya adalah ini, misalnya tadi pendekatannya harus ada BUT atau harus ada perusahaan yang memang menjadi mitra anda, yang kalau terjadi sesuatu, maka perusahaan itu yang akan menjadi bertanggung jawab secara nasional, kalau ini kemudian kita lakukan, maka saya kira itu netflix tidak akan macam-macam. Seperti misalnya Turki, peraturan yang baru mereka itu netflix juga akhirnya tidak bisa mengecam atau Amerika tidak bisa mengecam Turki, karena netflix itu bukan sesuatu yang berkaitan dengan human rights, karena apa? Karena itu adalah pilihan netflix, itu bukan sesuatu yang harus dikonsumsi oleh masyarkat Turki misalnya, seandainya netflix itu adalah udara, mungkin negara tidak mungkin akan mengantisipasi, tetapi netflix itu pilihan, pilihan itukan menjadi ada faktor ekonominya, ingin memanfaatkan ekonomi gateway-nya kita atur. Persoalannya disini, adalah saya sering kali mengatakan begini, kita sering kali lupa untuk membebankan persoalan ini kepada perusahaan telekomunikasi, saya kasih contoh Pak, saya termasuk orang yang tidak sependapat ketika kementerian harus membeli alat untuk menyensor, karena apa? Karena fungsi menyensor itu bukan di kementerian, tetapi di gateway nya. Jadi PT. Telkom, Indosat, apapun semua, ketika dia mau menyalurkan apapun dari luar, dia harus sesuai norma Indonesia, kalau tidak dia tolak kan bisa dibebankan itu kepada mereka. Mungkin salah satu usulan yang pernah saya pikirkan, adalah kita harus membuat norma itu kepada perusahaan telekomunikasi, jika ada konten-konten internet yang anda ingin salurkan ke negara ini, ke masyarakat, ke konsumen, maka normanya ini. Jadi Insya Allah anak muda pakai gadget dia tidak akan pernah terpapar oleh sesuatu yang bermasalah, karena sudah dari awalnya sudah tersaring, yang menyaringnya bukan pemerintah, tapi yang menyaringnya ya perusahaan-perusahaan telekomunikasi itu, karena sayakan tidak mungkin bisa ber-internet kalau tidak berlangganan. F-GOLKAR (BOBBY ADHITYO RIZALDI, S.E., AK., M.B.A., C.F.E.) : Pimpinan izin penajaman. Jadi Pak Judha jadi ini masuk didalam Undang-Undang Penyiaran atau di Undang-Undang Telekomunikasi, apa Undang-Undang Telekomunikasi Siaran? Itu maksudnya. DOSEN HUKUM TELEMATIKA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN (PROF. DR. JUDHARIKSAWAN, S.H., M.H.) : Kalau saya katakan tadi, kalau dia mau pakai omnibus law, dia cukup dengan Undang-Undang Telekomunikasi bisa mencakup semua, tapi kalau misalnya ini juga mau diadopsi di Undang-Undang Penyiaran kita begini Pak Bobby, dalam pemahaman saya adalah, bahwa kalau kita mau mengatur penyiaran di internet maka kita harus menetapkan dahulu entitas online broadcasting, apa itu online broadcasting?, apa itu online broadcasting?, dari situ itulah jenis dari online broadcasting, dia berbeda dengan sosial media, dia berbeda dengan yang lain, setelah itu, kalau dia masuk, kita sudah punya satu kesepahaman tentang apa itu online broadcasting, maka itulah yang menjadi ranahnya Undang-Undang Penyiaran dan KPI seperti itu.

Page 26: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA … · melakukan penelitian, kajian, tentang isu ini. Ini yang terus terang buat kami frekuensi harus menjadi kepentingan bersama untuk

26

Terus ada pertanyaan menarik dari poin ke-2, negara mana yang cocok? Banyak sekali best practice dari berbagai negara yang bisa kita ramu menjadi satu, saya kasih contoh Pak Bobby, Amerika Serikat walaupun negara super power, ternyata tidak langsung bilang “cut off” di semua kota, dimulai dari Hawaii, dari kecil itu, jadi dari pinggir dia menyerang ketengah, jadi dia pelan-pelan, kenapa? Dia tidak mau terjadi digital shock, jadi misalnya kita mau melakukan ini, saya kira yang dilakukan oleh Kementerian Kominfo kemarin ini dengan melansir digital diperbatasan, itu satu hal yang menurut saya sangat baik, perlu diteruskan dan kita bisa mulai dari pelan-pelan itu, contohnya dari pinggir begitu ya, kalau memang tidak mau atau tidak bisa, dari Ibu Kota misalnya, atau ada kesulitan dari sisi anggaran. Tapi kalau dari sisi anggaran sebenarnya ada jalan keluar, saya sering kali mengatakan begini, digital deviden itu adalah pengambilan frekuensi yang dahulunya milik penyiaran, kenapa digital deviden itu tidak ambil sebagian untuk kepentingan penyiaran juga? misalnya tadi contoh set top box untuk menjaga kelangsungan industri itu, siapkan masyarakatnya, jangan membuat masyarakatnya rugi, jangan membebankan digital migration itu kepada masyarakat, tetapi fasilitasi mereka supaya siap masyarakatnya, teknologinya datang, mereka tidak ada masalah. Caranya fasilitasi mereka perusahaan-perusahaan pembuat set top box, itukan sudah mulai ada sebenarnya, hanya dia perlu diberi insentif, insentifnya dari mana? Jangan dari negara juga, mungkin saat berat, digital deviden itu bisa sesungguhnya. Jadi kita lelang misalnya sekian persen, dari lelang itu bisa untuk membiayai itu, supaya masyarakat bisa ready to digital, itu salah satu pemikiran yang pernah. Jadi beberapa contoh itu bisa kita lakukan. Jadi kita meramu, saya tidak mengambil satu negara terbaik, karena semua negara punya persoalan, walaupun itu Malaysia yang terdekat dengan kita, mereka bikin suatu perusahaan swasta yang sama sekali bukan TV, bukan apa, tapi disuruh bikin digital, alhasil juga kedodoran, karena memang ada persoalan didalam industri ini. Tetapi sekali lagi banyak, banyak hal yang bisa kita ambil dari best practice mereka, contoh yang paling baik untuk sosialisasi tadi Jepang, siapkan masyarakatnya, maka masyarakat sendiri akan bisa beralih dengan sendirinya, saya kira contoh yang paling baik. Saya kira itu jawaban saya.

Terima kasih. HEAD OF JOURNAL AND PUBLICATION AT LSPR COMMUNICATION AND BUSSINESS INSTITUTE (DR. LESTARI NURHAYATI, M.SI.) : Baik.

Terima kasih Pak Bobby. Ada beberapa hal yang mungkin saya sepakati dengan Bapak, tapi ada juga yang kurang sepakat.

Jadi misalkan begini Pak, saya sepakat bahwa KPK, Bawaslu, itu ad hoc, tetapi KPI, KPU, itu tidak akan pernah ad hoc Pak, karena apa? KPI dan KPU itu mirip, jadi dia menjalankan tugas yang akan rutin terus, harus ada terpisah dari Pemerintah. Tidak terbayang buat kami, kalau Pemerintah itu tunggal, mengurusi penyiaran dan juga mengurusi urusan pemilu, itu berbahaya, tapi kalau korupsi itu ditangani, itu bisa hilang bisa Pak. Jadi KPK itu ad hoc, Bawaslu juga ad hoc, diberbagai negara, pengalaman saya melakukan studi-banding dan penelitian, itu mereka tidak ada lagi Bawaslu diberbagai negara, Indonesia dan beberapa negara masih, tapi tidak banyak. Jadi ini persoalan yang mungkin perlu kita klarifikasi. Sehingga pemilihan KPU itu berdasarkan kompetensi, kalau dia tidak memahami sama sekali isu tentang kepemiliuan, selesai sudah, dan ini yang saya harapkan dilakukan kepada pemilihan komisioner KPI. Soal gaji relatif ya Pak Pimpinan. Jadi banyak orang yang memiliki kemampuan idealisme dan mau bekerja, karena kalau terus terang dalam proses seleksi sekali lagi di KPU itu terbuka, Panselnya itu mengeluarkan angka ranking kompetensinya, tidak boleh marah, karena memang sudah ada ukurannya, bisa dilihat dari apa yang dihasilkan, karya tulis minimal ketika melakukan proses seleksi, karena diberi waktu untuk melakukan itu, menterjemahkan yang menjadi gagasan dia sebagai nantinya komisioner, lembaga negara yang nantinya berwenang dibidang yang bersangkutan.

Page 27: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA … · melakukan penelitian, kajian, tentang isu ini. Ini yang terus terang buat kami frekuensi harus menjadi kepentingan bersama untuk

27

Saya sepakat kalau dia misalnya tidak berbasiskan, saya juga tidak setuju kalau semuanya orang komunikasi, belum tentu itu bagus juga, tapi yang memiliki kompetensi itu tidak hanya orang komunikasi Pak, ini Pak Nonot saja insinyur teknik, paham tentang digitalisasi misalnya, itu juga diperlukan.

Jadi intinya yang memahami sektor-sektor kepenyiaran termasuk isu-isu nilai-nilai yang diadopsi oleh penyiaran Indonesia sebagai pemersatu bangsa, ini yang barangkali yang kita harus sangat serius memikirkan, proses dari tim seleksi itu sendiri, KPU juga punya proses tim seleksi yang sangat ketat ya, jadi terbuka, transaparan dan akuntable, yang pertama yang harus ditekankan para penyelenggara panitia seleksi untuk komisioner di KPI.

Itu yang mungkin kita bisa belajar hal baik dari KPU, meskipun selalu ada isu persoalan politik, tapi itu biasa, yang penting kompetensinya tidak kedodoran, itu yang menjadi isu kami.

Lalu yang berikutnya secara normatif, otomatis, kemudian dia paham misalnya dia latar belakangnya ibu rumah tangga, tetapi dia menjadi banyak sekarang Pak, pemantau, pengawas, atau pemerhati isu televisi penyiaran, ada kelompok-kelompok organisasi yang memahami isu konten penyiaran dan sangat konsen terhadap isi-isi penyiaran, itu boleh. Jadi saya sepakat, tidak harus berlatar belakang akademis, tapi memiliki kompetensi dan minat, passion terhadap bidang itu, sehingga itu nanti bisa disusun alat ukurnya untuk proses tim seleksinya.

Lalu yang kemudian saya sepakat juga dengan Pimpinan, bahwa permasalahannya memang di Pansel Pak awalnya, makanya yang kami harapkan mungkin next DPR, di Komisi I terutama, harus menekankan kepada panitia seleksi dalam hal ini Kominfo, untuk tidak bermain-main menyusun anggota pansel, karena seingat saya, Pansel yang terakhir ini juga bermasalah, karena jumlahnya melebihi jumlah yang Pansel sebelumnya, peraturan jumlah Pansel memang tidak secara jelas, tetapi sempat diatur, diaturnya itu kalau tidak salah tidak lebih dari 7 atau 5 orang, ini kemarin banyak sekali Pak anggota Panselnya, sehingga terlalu banyak suara, ternyata dalam proses seleksinya juga bermasalah, tidak berani mengungkapkan angka ranking, tidak berani menunjukan nilai kompetensi, itu isu yang menurut saya persoalan yang sangat serius.

Termasuk integritas, jadi dalam hal ini next, barangkali Panitia Seleksi dari DPR bisa diusulkan salah satunya dari pihak yang memiliki kemampuan untuk menyelidiki integritas soal keuangan, KPK dan sebagainya, itu mungkin perlu menjadi catatan tambahan, mengenai streaming video on demand netflix, amazon, dan sekarang disney sudah mau masuk, saya sepakat dengan Prof. Judhariksawan, bahwa sebetulnya kita harus secara tegas melaksanakan undang-undang yang sudah ada dahulu, ketika Undang-Undang Telekomunikasi sudah jelas mengatur itu, kenapa itu tidak dimanfaatkan?, tidak dijalankan?, kita menjadi sangat panik, karena kita merasa ini siaran, padahal basisnya balik lagi dari slide presentasi saya, itu adalah broadband internet.

Internet itu adalah selama ini masih dipegang sepenuhnya oleh Pemerintah, dalam praktek berikutnya perlu mungkin dipikirkan lembaga yang kemudian tadi mampu mengatur secara independen untuk isu telekomunikasi, kalau itu diperlukan, kalau tidak ya tidak apa-apa, saya termasuk dalam hal ini, berfikir bahwa negara punya hak menjaga wibawa kesatuan Indonesia dalam hal bagaimana konten-konten yang masuk melalui internet itu dijaga dengan sebenar-benarnya, ini isu yang barangkali perlu menjadi perhatian.

Saya mungkin bisa menambahkan sedikit masukan dari Prof. Judha tadi, bahwa begini Pak, Amerika itu katanya negara liberal, tapi Indonesia itu jauh lebih liberal dalam proses penyiarannya.

Saya berikan contoh begini, di Amerika tahun 1983 itu memiliki perusahaan pemilik, ownership dari broadcasting itu 50-an, tapi mungkin Amerika jangan-jangan terinspirasi dari Indonesia ya, karena Indonesia sangat mampu bermain untuk melakukan proses konglomerasi yang luar biasa tadi, maka yang terjadi di Amerika pada tahun 2013, itu baru kepemilikannya baru menjadi terpusat, tidak divercity lagi. Jadi tidak beragam lagi, jadi hanya 6, dan ketika 6 kepemilikan broadcasting ini, maka kita bisa lihat hasilnya adalah terpilihnya salah seorang Presiden Amerika terbaru 2014 dengan cara menguatkan stasiun televisi Fox Group itu Pak, punya 274 afiliasi, 17 stasiun televisi sendiri, bisa dibayangkan menyergap seluruh Amerika untuk isinya Trump.

Page 28: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA … · melakukan penelitian, kajian, tentang isu ini. Ini yang terus terang buat kami frekuensi harus menjadi kepentingan bersama untuk

28

Apakah kita mau Indonesia akan menjadi negara yang dikuasai oleh segelintir kelompok kepentingan tertentu, dalam hal ini, mohon maaf sebesar-besarnya, partai politik yang menguasai satu saja, itu berbahaya. Saya selalu berkiblat bahwa partai politik itu harus justru melindungi kepentingan masyarakat, karena hadir untuk masyarat, sehingga tidak ada monopoli lagi terhadap penyiaran, isi siaran, terhadap kepemilikan media, barangkali ini yang terus terang saya sebetulnya begini, ketika 2014, Pemilu di Indonesia 2013-2014 mulai kampanye di televisi, saya sangat konsen kepada 2 media yang seolah-olah bertempur dan saling menguasai pemirsa televisi kita, sebut saja Metro TV dan TV-One.

Saya, dua-duanya merasa sangat tidak nyaman, karena ini sangat tidak sehat membelah publik, membelah masyarakat Indonesia menjadi tidak bersatu lagi, tetapi kepentingan masing-masing pemilik televisi, tapi kemarin lebih seram lagi, 1 suara semua Pak. Jadi terus terang menurut saya, ini persoalan yang sangat serius, kita tidak boleh membiarkan media penyiaran kita dikuasai oleh satu kepentingan partai politik. Bapak-Ibu inikan dari berbagai partai politik seharusnya memikirkan itu untuk masa depan partai politik juga, karena barangkali ini adalah hal yang tidak bisa kita cegah kalau tidak dilakukan perbaikan dari sisi undang-undang.

Televisi, kenapa masih sangat sering dibahas? karena kita tahu kue iklan TV di Indonesia itu masih sangat besar, tahun lalu dari 160-an triliun belanja iklan Indonesia, itu 110 triliunnya televisi, jadi 110 triliun hanya dikuasai oleh sekian gelintir orang pemilik televisi.

Bapak-Ibu mohon dikaji ulang kalau kita ingin membuat undang-undang, mohon tidak membiarkan itu terjadi lagi dengan lebih pengawasan ketat dan pelaksanaannya jauh lebih bermanfaat untuk masyarakat kedepan.

Barangkali itu yang saya bisa sampaikan. Terima kasih.

KETUA RAPAT (DR. H. ABDUL KHARIS ALMASYHARI) :

Terima kasih kepada 4 narasumber yang sudah memberikan tanggapan juga paparan

tadi, dan juga saya kira kita akan sudahi rapat dengar pendapat umum pada hari ini dengan agenda mendengarkan masukan dari para pakar terhadap rumusan Rancangan Undang-Undang tentang Penyiaran.

Bapak-Ibu sekalian, sekali lagi saya ucapkan terima kasih.

(RAPAT DITUTUP PUKUL 13.00 WIB) (KETUK PALU : 3X)

Jakarta, 22 Januari 2020 a.n Ketua Rapat

SEKRETARIS RAPAT,

Ttd.

SUPRIHARTINI, S.I.P., M.Si. NIP. 19710106 199003 2 001