dewan perwakilan daerah republik indonesia ... fileundang no. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, ......

29
Nomor: RISALAHDPD/KMT III-RAKER/I/2018 DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ----------- RISALAH RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM KOMITE III DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA MASA SIDANG III TAHUN SIDANG 2017-2018 I. KETERANGAN 1. Hari : Selasa 2. Tanggal : 23 Januari 2018 3. Waktu : 10.28 WIB - 12.22 WIB 4. Tempat : R.Sidang 2C 5. Pimpinan Rapat : 1. Fahira Idris, S.E., M.H. (Ketua); 2. dr. Delis Julkarson Hehi, MARS (Wakil Ketua) 3. Abdul Aziz, S.H. (Wakil Ketua) 6. Acara : Inventarisasi Materi Penyusunan RUU tentang Perlindungan Pasien dengan narasumber: 1. Dr. Tonang Dwi Ardyanto, Sp.PK., Ph.D. 2. Dr. Noviani 7. Hadir : Orang 8. Tidak hadir : Orang

Upload: buithuan

Post on 06-Apr-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Nomor: RISALAHDPD/KMT III-RAKER/I/2018

DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA

-----------

RISALAH

RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM KOMITE III

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

MASA SIDANG III TAHUN SIDANG 2017-2018

I. KETERANGAN

1. Hari : Selasa

2. Tanggal : 23 Januari 2018

3. Waktu : 10.28 WIB - 12.22 WIB

4. Tempat : R.Sidang 2C

5. Pimpinan Rapat :

1. Fahira Idris, S.E., M.H. (Ketua);

2. dr. Delis Julkarson Hehi, MARS (Wakil Ketua)

3. Abdul Aziz, S.H. (Wakil Ketua)

6. Acara : Inventarisasi Materi Penyusunan RUU tentang Perlindungan

Pasien dengan narasumber:

1. Dr. Tonang Dwi Ardyanto, Sp.PK., Ph.D.

2. Dr. Noviani

7. Hadir : Orang

8. Tidak hadir : Orang

RDPU KOMITE III DPD RI MS III TS 2017-2018

(SELASA, 23 JANUARI 2018)

1

II. JALANNYA RAPAT:

PIMPINAN RAPAT: FAHIRA IDRIS, S.E., M.H. (KETUA KOMITE III DPD RI)

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Salam sejahtera bagi kita semua.

Om swastiastu.

Kepada yang terhormat Bapak Ibu Anggota Komite III DPD RI. Yang kami hormati

Bapak dr. Tonang Dwi Ardyanto, Sp.PK, Ph.d dan hadirin yang berbahagia. Mengawali

Rapat Dengar Pendapat Umum Komite III DPD RI pada pagi hari ini, marilah kita panjatkan

puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan perkenan-Nya kita semua dapat

hadir di ruang sidang yang mulia ini dalam keadaan sehat wal afiat dan tanpa kurang apapun.

Sebelum kami membuka Rapat Dengar Pendapat Umum Komite III DPD RI terlebih dahulu

marilah kita berdoa menurut agama dan kepercayaan Bapak Ibu sekalian agar kegiatan ini

dapat berjalan dengan baik serta memberikan hasil yang bermanfaat bagi kita semua dalam

menjalankan tugas-tugas konsitusional kita. Berdoa dimulai. Berdoa selesai.

Yang terhormat Bapak Ibu Anggota Komite III DPD RI, narasumber dan hadirin yang

kami hormati, sambil menunggu satu narasumber lagi yaitu Ibu Rufiani. Oleh karena itu

dengan mengucapkan bismillahirahmanirahiim pada hari ini Selasa 23 Januari 2018 RDPU

Komite III dalam rangka membahas inventasisasi materi penyusunan RUU tentang

perlindungan pasien saya buka dan terbuka untuk umum.

KETOK 1X

Perlu kami sampaikan kepada Bapak Ibu Anggota Komite III DPD RI bahwa untuk

memperoleh materi dan informasi yang berkaitan dengan permasalahan perlindungan pasien,

telah hadir di tengah-tengah kita semua Bapak dr. Tonang Dwi Ardyanto, Sp.PK, Ph.d dan

kami sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kehadiran Bapak dr. Tonang.

Yang terhomrat Bapak Ibu Anggota Komite III DPD RI, narasumber dan hadirin yang

kami hormati, salah satu isu krusial dalam penyelenggaran pelayanan kesehatan adalah

perlindungan terhadap pasien sebagai penerima layanan kesehatan. Pada pokoknya

sebagaimana amanat konstitusi Pasal 28h Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-

Undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, maka setiap orang tidak terkecuali pasien

berhak menerima layanan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Hak atas layanan

kesehatan tersebut wajib diberikan oleh pemerintah guna memenuhi hak setiap orang untuk

hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang

baik dan sehat. Akan tetapi dengan segala keterbatasan yang dimiliki oleh pemerintah,

penyelenggaraan layanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat belum paripurna.

Berbagai ragam aduan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan baik yang bersifat non

medis maupun medis menjadi penanda belum paripurnanya pelayanan kesehatan tersebut.

Aduan yang bersifat non medis meliputi antara lain tagihan, perlindungan data dan

keamanan di lingkungan rumah sakit, sedangkan yang bersifat medis seperti sulit

berkomunikasi dengan dokter atau tenaga kesehatan dan dugaan mal praktek profesi. Patut

diduga bahwa situasi dan kondisi sebagaimana tersebut di atas disebabkan karena

penyelenggaraan layanan kesehatan sejauh ini lebih sering dianggap komoditas ekonomi

RAPAT DIBUKA PUKUL 10.28 WIB

RDPU KOMITE III DPD RI MS III TS 2017-2018

(SELASA, 23 JANUARI 2018)

2

ketimbang komoditas sosial. Padahal menjadikan layanan kesehatan sebagai komoditas

ekonomi bukan saja bertentangan dengan Undang-Undang Kesehatan tetapi lebih jauh lagi

merupakan ancaman bagi keadilan sosial. Kekuatan dan transaksi ekonomi yang

mendominasi pola hubungan antar pasien dengan rumah sakit sebagai badan hukum dan

pasien dengan dokter atau tenaga kesehatan telah berdampak pada tidak seimbangnya

kedudukan pasien dengan rumah sakit dan pasien dengan dokter atau tenaga kesehatan.

Pasien akan selalu ditempatkan pada posisi yang lebih rendah dan lemah. Dengan posisi yang

lemah tersebut, pasien tentu akan sering dilemahkan. Jangankan untuk menuntut kerugian

secara perdata maupun pidana, untuk menuntut rumah sakit atau tenaga kesehatan dan atau

fasilitas kesehatan atas dasar pelanggaran etika saja sangatlah sulit. Alih-alih hendak

melakukan tuntutan hukum untuk memperoleh keadilan, justru pasienlah yang kadang

terkena tuntutan hukum.

Yang terhormat Bapak Ibu Anggota Komite III DPD RI, Bapak narasumber dan

hadirin yang kami hormati, di Indonesia hingga saat ini belum ada regulasi yang secara

khusus mengatur tentang perlindungan pasien. Berbagai peraturan perundangan di bidang

kesehatan seperti hanya secara garis besar saja mengatur tentang hak dan kewajiban pasien,

rumah sakit, dokter atau tenaga kesehatan. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang

telah kami uraikan tadi, Komite III DPD RI berinisiasi menyusun RUU Perlindungan Pasien.

Dalam rangka penyusunan RUU Perlindungan Pasien maka diperlukan pendalaman berbagai

hal terutama terkait lingkup materi hak dan kewajiban pasien, rumah sakit dan dokter,

mekanisme pengaturan penyelesaian konflik atau sengketa yang timbul akibat tidak

terpenuhinya hak pasien dan peran pemerintah dalam penegakan dan perlindungan hak-hak

pasien. Dan mendengar Rapat Pendapat Umum kali ini kami sangat berharap dapat

memperoleh berbagai informasi serta data-data dari Bapak Tonang terkait dengan

permasalahan-permasalahan di atas serta permasalahan-permasalahan lainnya yang berkaitan

dengan pasien.

Yang terhormat Bapak Ibu Anggota Komite III DPD RI, para narasumber dan hadirin

yang kami hormati, demikianlah pengantar singakat dari kami. Untuk mempersingkat waktu

kami persilakan kepada Bapak dr. Tonang untuk dapat menyampaikan pandangannya dalam

waktu 20 menit. Waktu dan tempat kami persilakan.

PEMBICARA: dr. TONANG DWI ARDYANTO, Sp.PK, Ph.d (NARASUMBER)

Terima kasih.

Yang kami hormati Bu Pimpinan, segenap Anggota Dewan Perwakilan Daerah. Saya

mengucapkan terima kasih mendapatkan kepercayaan yang besar dan ini tugas berat untuk

saya. Untuk itu izinkan kami dengan waktu cukup cepat menyampaikan apa yang kami

jadikan pandangan menanggapi dari rencana DPD RI untuk menyusun Rencana Undang-

Undang Perlindungan Pasien. Saya bawa pointer atau harus lanjut begitu? Mohon izin.

Baik, pertama kami sampaikan bahwa kalau kita bicara perlindungan pasien yang

penting menurut kami adalah kita membahas namanya patient safety, keselamatan pasien.

Kami merasa dari segi saya sebagai seorang akademisi di Fakultas Kedokteran maupun

sebagai praktisi di bidang pelayanan rumah sakit, patient safety merupakan bentuk nyata dari

keberpihakan yang berhubungan dengan pasien dan layanan kesehatan. Nyebutnya saja sudah

patient safety, tidak menyebut doctor safety ataupun hospital safety, jadi patient safety.

Teman-teman kami pernah merasa tidak nyaman dengan istilah ini tapi kita jelaskan bahwa

kalau namanya patient safety sebetulnya pasti membuat kalian safety. Jadi kalau membahas

safety dengan yang lain yang lain belum tentu ikut safety kalau kita gunakan kata-kata

sebagai patient safety. Jadi memang saat ini pelayanan kesehatan itu menjadikan pasien

sebagai pusat, pusatnya pasien bukan dokter, bukan penyedianya.

RDPU KOMITE III DPD RI MS III TS 2017-2018

(SELASA, 23 JANUARI 2018)

3

Baik, lanjut. Nah ini sedikit gambaran, cepat saja. Beberapa sejarah panjang tentang

bahwa pelayanan kesehatan itu sangat menghargai sisi pelayanan pada pasien dan

keselamatannya. Justru karena memang kita menyadari bahwa sebagai manusia biasa tentu

tidak mungkin luput dari kemungkinan melakukan kesalahan, dalam arti tidak sengaja. Itu

selalu ada kesalahan itu, siapapun itu. Di sisi lain karena pasien merupakan suatu entitas

biologis yang bukan sebagaimana mesin atau sebagaimana robot, memang selalu ada potensi

bahwa terjadi missed di sana sekali lagi karena memang tidak sengaja. Untuk itulah kenapa

patient safety merupakan suatu pemahaman bahwa to err is human, jadi salah itu manusiawi.

Tetapi justru kita berusaha bahwa membangun sebuah sistem supaya yang manusiawi itu

menjadi minimal kalau bisa nol. Itulah yang menjadi bagian penting dari patient safety.

Lanjut lagi. Di Indonesia, lanjut, langsung saja. Di Indonesia, kita teruskan lagi, yang

penting ada kata-kata bahwa “medicine is an art of probability” yang sebelumnya nomor dua

ini, “medicine is a science of uncertainty and an art of probablility”. Sekali lagi karena

pasien sekali lagi suatu entitas biologis yang tidak sebagaimana mesin, tidak sebagaimana

benda mati, dia selalu punya variasi, selalu punya keunikan masing-masing pribadi dan

masing-masing mohon maaf tubuh dalam bahasa biologis yang membuat memang kita tidak

punya suatu kalimat matematika pasti dalam menghadapi pasien. Lanjut lagi. Untuk itu di

Indonesia patient safety diatur dengan beberapa regulasi. Pertama adalah muncul di Undang-

Undang No. 29 Tahun 2004 tentang praktek kedokteran. Khususnya Pasal 2 dan beberapa

pasal yang lain yang juga senada. Di Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan

juga muncul tentang patient safety ini yang mengamanahkan semua pelayanan kesehatan

harus mengutamakan fokus pada patient safety. Khusus untuk rumah sakit ada Undang-

Undang No. 44 Tahun 2009 yang juga sekali lagi menekankan tugas rumah sakit untuk selalu

mengutamakan sisi patient safety. Khusus dalam hal teknisnya sudah terbit dua permenkes.

Pertama Permenkes 1691/2011 yang terakhir diperbaharui dengan Permenkes 11/2017 yang

khusus membahas tentang patient safety atau tentang keselamatan pasien.

Terus sekali lagi. Nah dari segi kami PERSI, saya selaku pengurus Perhimpunan

Rumah Sakit Seluruh Indonesia di kampartemen jaminan kesehatan, tahun 2005 PERSI yang

telah menggawangi di kala waktu itu pencangangan tentang Gerakan Keselamatan Pasien

Rumah Sakit oleh Ibu Menteri Kesehatan yang digawangi oleh PERSI. Dan sejak itu 2006

kita terbitkan buku tentang pedoman pelaksanaan keselamatan pasien di rumah sakit sebagai

tonggak awal bagi penerapan patient safety di Indonesia. Nah sekarang apa sih patient safety

itu? Di WHO menyebut patient safety adalah upaya kita untuk menghilangkan resiko

terjadinya trauma yang accidental kecelakaan. Kita berusaha untuk ke arah sana. Tentu sekali

lagi kita sampaikan bahwa karenanya ini dari sifat manusiawi untuk mungkin melakukan

kesalahan dan karena pasien sekali lagi merupakan suatu entitas yang unik secara biologis

maka yang dilakukan adalah membetuk suatu sistem operasional dan proses yang

meminimalkan kemungkinan terjadinya kesalahan dan memaksimalkan kemampuan kita

untuk menanggulangi kalau sampai terjadi hal-hal. Ini adalah upaya dari patient safety.

Dalam Bahasa Indonesia di slide berikutnya sesuai dengan Permenkes menyebutkan patient

safety adalah sistem dimana rumah sakit membuat suatu acuan pasien lebih aman sejak dari

assesment resiko, identifikasi sampai pada pengelolaan. Semua yang berhubungan dengan

resiko pasien, pelaporan, analisis, kemampuan belajar dan seterusnya yang tujuannya sekali

lagi adalah meminimalkan timbulnya resiko dan mencegah terjadinya cedera yang

disebabkan oleh kesalahan. Apa yang paling penting adalah sekali lagi faktor manusiawi. Ini

adalah kenyataan di lapangan bahwa tidak mungkin kita melepaskan seorang dari

kemungkinan melakukan suatu kesalahan. Tapi satu hal yang kita pahami bersama bahwa

prinsip dasarnya tidak ada petugas pelayanan kesehatan yang profesional yang sejak awal

berniat melakukan kesalahan dan merugikan pasien. Selama dia masih profesional maka

sebetulnya tidak pernah ada niat seperti itu. Tetapi memang mungkin saja timbul banyak

RDPU KOMITE III DPD RI MS III TS 2017-2018

(SELASA, 23 JANUARI 2018)

4

masalah dalam sistem kerja yang dapat bukan pasti ya, yang dapat memicu terjadinya

kesalahan. Kalau Bapak Ibu barangkali mengatakan bahwa ada juga dokter yang begini-

begini ya mohon maaf itu berati tidak profesional. Nah sekali lagi dalam profesional dalam

profesi kesehatan, pasti tidak ada niat melakukan kesalahan apalagi sampai menimbulkan

kerugian bagi pasiennya.

Sekali lagi ini adalah yang paling utama dari dasar patient safety, to err is human,

salah itu manusiawi. To cover up, kalau dia menyembunyikan kesalahan, itu yang tidak

termaafkan. To cover up is unforgivable. Dan tidak mampu belajar dari kesalahan adalah hal

yang tidak bisa diterima. Ini adalah konsep dasar dari patient safety. Sekali lagi beranjak dari

kesadaran bahwa salah adalah manusiawi tetapi orang salah itu harus mengakui untuk

kemudian memperbaiki. Itulah yang menjadi persoalan kita sekarang mengapa kampanye

patient safety itu lebih berbasis kepada speak up. Artinya siapapun di line kesehatan itu kita

dorong untuk mau dan berani bicara justru untuk mengakui ada suatu kesalahan untuk kita

perbaiki. Jadi itulah dasar dari patient safety. Mohon dilanjut.

Nah hal yang kedua adalah semakin kompleks permasalahan kesehatan sekarang. Di

gambar berikutnya Bapak Ibu kalau melihat di sisi kiri adalah gambaran kesehatan yang era

sebelum ini. Orang masuk ruang operasi dengan menggunakan gas tertentu yang orang

teranestesi tidak sadar, begitu waktu itu. Dengan resiko masih suka bocor misalnya tapi

sederhana tapi masih cukup sebelah kanan sebelah kiri itu barangkali masih cukup rumit

untuk kita di Indonesia. Di Indonesia ini dulu waktu itu ruang operasi masih sederhana, masih

sangat sepi alat-alatnya. Tapi hari ini di ruang operasi itu penuh dengan berbagai alat yang

canggih, semua dihubungkan dengan alat dan monitor, petugas semakin banyak karena

semua alat ada petugasnya, sehingga timbulah suatu kompleksitas masalah di sana dalam

pelayanan. Nah semakin kompleks suatu sistem pelayanan akan semakin memberikan resiko

munculnya suatu kesalahan kalau tidak dilakukan upaya pencegahan dalam sistem yang dapat

mendeteksi suatu kesalahan termasuk memitigasi kalau sampai terjadi suatu kesalahan. Ini

adalah konsep kedua tentang patient safety.

Berikutnya lagi, kita juga untuk menanggulangi itu di slide berikutnya kita

menekankan suatu kerjasama tim yang efektif. Nah kerjasama tim itu sebetulnya tidak hanya

melibatkan orang-orang yang berada pada sisi pelayanan. Tapi juga pada orang pada sisi

pasien sebenarnya. Kita sangat berharap pada patient safety itu ditopang betul dengan

kerjasama antara pemberi pelayanan, dokter, perawat, bidan, semua profesi kesehatan

ctermasuk institusi rumah sakit dan pasien itu sendiri sebagai penerima pelayanan untuk

kerjasama. Karena tanpa itu maka akan memunculkan nanti resiko salah juga semakin besar.

Ini berarti mengimplikasikan pasien bahwa menjadi diposisikan sebagai mitra untuk kita

bersama-sama menyusun suatu langka kerja pelayanan kesehatan yang efektif, sekali lagi

meminimalkan resiko kesalahan. Berikutnya kita masuk lagi.

Nah ada tiga tahapan sebetulnya kita mewujudkan keselamatan pasien itu. Pertama

adalah mencegah kesalahan dilakukan menggunakan namanya manajemen resiko atau risk

management. Rumah sakit, dokter, pemberi pelayanan memetakan apa saja kemungkinan

resiko, kita petakan, kita identifikasi kemudian kita susun suatu langkah untuk mencegah agar

tidak terjadi. Ini langkah pertama. Langkah kedua adalah making error visible, artinya kita

membuat supaya kalau ada kesalahan itu segera diketahui dengan jelas oleh siapapun. Ini

upaya kita untuk mencegah. Begitu terjadi langsung diketahui. Itu yang kedua. Yang ketiga

adalah kalau sudah terlanjur terjadi suatu kesalahan maka kita berusaha memitigasi supaya

efeknya menjadi minimal. Inilah tiga tahap kita mewujudkan suatu keselamatan pasien.

Lanjut lagi.

RDPU KOMITE III DPD RI MS III TS 2017-2018

(SELASA, 23 JANUARI 2018)

5

Nah sekarang masuk poin kedua atau topik kedua yaitu tentnag hak dan kewajiban

pasien. Bapak Ibu Anggota DPD yang kami hormati, sebetulnya sampai saat ini sudah ada

beberapa regulasi yang sudah mengatur tentang posisi dan hak pasien. Slide ini berusaha

menunjukan bagaimana kita membandingan kalau boleh kita bandingkan, walaupun kita

tidak bermaksud demikian antara hak yang dimiliki oleh pasien sebagai penerima pelayanan

dan hak nakes maupun rumah sakit sebagai pemberi pelayanan. Dalam berbagai regulasi

yang muncul kita rumsukan terutama di Undang-Undang, Undang-Undang Praktek

Kedokteran, Undang-Undang Kesehatan maupun Undang-Undang Rumah Sakit, ada 18 poin

dari hak pasien. Saya ingin rangkum sebagian tapi kalau lengkap kita bisa buka di regulasi

yang dimaksud. Ada 18 poin dari hak seorang pasien termasuk bahwa kalau memang pasien

merasa, baru sekedar merasa saja ataupun dia menduga ada pelayanan yang tidak sesuai

dengan standar maka dia punya hak untuk melaporkan keluhan itu ke media sosial, media

cetak maupun media elektronik. Itu hak pasien. Ini menurut saya justru kami dari orang

rumah sakit baru menduga saja punya hak, padahal belum tentu benar, itu sudah boleh. Itu

bahasa undang-undang demikian. Sisi lain kami di pelayanan memang kami memiliki di sana

itu 8 poin hak kami. Itu cuma ada beberapa yaitu kami berusaha kalau mungkin meminta

pasien itu memberikan informasi yang jelas dan jujur, itu sebetulnya poinnya. Sisi lain adalah

kami tentu bahwa tidak tertentu kami tidak bisa mengungkapkan rahasia kedokteran sampai

nanti memang dari sis pasien sendiri yang membuka ke publik baru kami boleh secara hati-

hati dan sebagian saja membuka rahasia untuk sekedar untuk meluruskan, itu saja. Ini

menunjukan bahwa sebetulnya dari sisi ini pasien telah mendapatkan hak yang menurut kami

cukup lebih secara proporsional dibandingkan kami yang sangat dibatasi dalam beberapa

untuk tidak semena-mena membuka rahasia kedokteran. Ini kami sampaikan demikian. Jadi

kalau Bapak Ibu sekalian sering melihat di media sosial maupun media cetak elekteronik

sering muncul keluhan pasien maka kami dari sisi pelayanan tidak boleh melakukan itu

sampai nanti terbukti memang sisi pasien sendiri yang memang telah membuka. Nah kami

sebatas untuk menjawab pertanyaan saja. Itu yang boleh kami lakukan di bidang pemberi

layanan. Berikutnya.

Dari sisi kewajiban sebaliknya, kewajiban pasien itu sebetulnya hanya terdiri dari satu

memberikan informasi yang benar dan jujur dan mematuhi aturan selama dia merasa itu tidak

bertentangan dan memberikan imbalan dalam bahasa kita adalah yang proporsional. Tentu

tidak dalam kajian merupakan suatu entitas ekonomi yang seolah-olah menjadi

memperdagangkan pelayanan. Sisi lain, kewajiban kami juga banyak. Kewajiban kami

terutama adalah untuk memberikan pelayanan sesuai dengan standar, tanpa diskriminasi.

Mengutamakan keselamatan pasien. Itulah tiga hal utama kewajiban kami di undang-undang

tentang kewajiban pemberi pelayanan kesehatan dibandingkan dengan kewajiban dari sisi

pasien. Lanjutkan lagi berikutnya.

Nah kalau ini kami mencoba mengurai lebih dalam pada sisi yang lebih baru yaitu di

Undang-Undang Rumah Sakit sebenarnya tidak ada rincian tentang kewajiban pasien.

Rincian itu baru muncul di Permenkes No. 69 Tahun 2014 tentang kewajiban rumah sakit dan

kewajiban pasien. Di sana kewajiban pasien ada 8 poin, sementara kewajiban rumah sakit itu

ada 22 poin. Kewajiban dokter atau rumah sakit ada 22 poin. Sekali lagi haknya banyak pada

pasien, sementara kewajibannya banyak pada kami sebetulnya, untuk menunjukan bahwa

sebetulnya pasien pada posisi yang lebih untuk mendapatkan jaminan mendapatkan

pelayanan kesehatan. Mohon maaf ini slide-nya salah kalimat. Slide berikutnya.

Dari sisi bagaimana perlindungan hukum, ini di Pasal 56 Undang-Undang Kesehatan

36/2009 sebetulnya disebutkan di sana pasien itu berhak untuk menerima dan menolak

sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima

penjelasan. Hak itu akan hilang kalau menurut pada tiga hal yaitu karena penderita penyakit

menular, pada kondisi tidak sadar atau karena gangguan mental. Di luar itu pasien

RDPU KOMITE III DPD RI MS III TS 2017-2018

(SELASA, 23 JANUARI 2018)

6

mempunyai hak penuh untuk mau menerima maupun menolak. Mohon maaf ada yang mati.

Sebagian atau seluruh tindakan yang akan diberikan kalau sudah menerima penjelasan. Ini

menunjukan bagi kami bahwa sudah ada perlindungan hukum yang cukup kuat bagi pasien

dalam menghadapi situasi dimana menjalani suatu pelayanan kesehatan. Lanjut lagi.

Bagi kami di penyedia layanan kesehatan maka kami mendapatkan beberapa batasan

yang harus kami taati, misalnya bahwa menolak mengungkapkan informasi kedokteran.

Sekali lagi ini adalah kewajiban utama kami maka kalau terjadi rumah sakit atau dokter

diwawancara tidak bersedia memberikan jawaban karena kami memang terikat betul untuk

tidak mengungkapkan informasi dan rahasia kedokteran. Sampai misalkan nanti kalau

memang pasien itu telah menuntut rumah sakit dan menginformasikan melalui media massa

maka barulah kami memiliki hak untuk dapat memberikan jawaban, sebatas jawaban

seperlunya dengan terpaksa mengungkapkan rahasia kedokteran. Dan kalau memang pasien

sudah menyatakan untuk menolak suatu tindakan atau terapi maka pasien itu sudah

melepaskan kami dari tanggungjawab hukum. Berarti memang pasien sudah menghendaki

untuk tidak terikat pada menerima sebagian dan seluruhnya dari tindakan tadi. Slide

berikutnya.

Kita menyatakan sekarang tentang hubungan kerabatik bahwa antara dokter dengan

pasien itu pada awal dulu hubungannya adalah seperti patronalistik seolah-olah menjadikan

bahwa dokter adalah yang tahu segalanya sementara pasien itu tidak tahu apa-apa. Kalau

dulu, di awal dulu. Jadi waktu itu memang menunjukan suatu komplikasi bahwa kedudukan

pasien itu seolah-olah tidak setara dengan dokter, dengan rumah sakit, tidak setara. Hanya

tinggal cuma manut atau tidak manut, kalau tidak manut ya sudah, begitu waktu itu.

Kesannya seperti ini. Nah berikutnya, pada slide berikutnya kami tunjukan transisinya. Slide

berikutnya, bahwa ada beberapa perubahan model hubungan dokter dengan pasien dari yang

awal tadi menyatakan seolah-olah pasien adalah pasrah, tidak bisa apa-apa dan tidak tahu

apa-apa, dan sekarang bergerak menuju yang sifatnya menuju ini, pertama menuju yang

sifatnya trust and ability. Artinya pasien sekarang sudah menuntut tentang kompetensi dan

simpati dari pemberi pelayanan. Sekarang sudah menjadi hal yang wajar bahwa pasien itu

menuntut rumah sakit harus terakreditasi, dokter sudah harus punya ACP dan sebagainya

untuk menunjukan bahwa pasien itu tidak mau bahwa sekedar menerima begitu saja. Jadi

pasien kemudian menuntut sesuatu yang pasti tentang profesionalitas dari pemberi pelayanan.

Bahkan sekarang ini menunjukan yang namanya adalah kontraktual resensif dimana seolah-

olah dokter dengan pemberi pelayanan itu seolah-olah dalam suatu ikatan kontrak. Ini

kadang-kadang menyebabkan kekakuan hubungan karena kemudian yang terjadi adalah

mebalik. Kalau dulu di awal seolah-olah pasien itu menjadi orang yang posisinya tidak tahu

apa-apa dan harus manut, kalau sekarang seolah-olah menjadi begini, pemberi pelayanan

menjadi merasa sangat terkekang, sangat terikat untuk tidak boleh macam-macam. Karena

kalau ada apa-apa resikonya adalah resiko yang berat sekali. Padahal sekali lagi hubungannya

kerabatik yang sebetulnya di slide berikutnya hubungannya adalah suatu hubungan saling

percaya sebetulnya. Saling percaya, ada hak dan kewajiban masing-masing. Ya akhirnya

menimbulkan memang ada sisi perdata maupun pidana. Sebetulnya inti dari semua itu adalah

pelayanan kesehatan yang menuju suatu hasil paripurna bagi pelayanan kesehatan itu sendiri

dimana pada slide berikutnya kita meyatakan bahwa hubungan itu tidak memperjanjikan

bahwa suatu kesembuhan. Yang diperjanjikan adalah suatu upaya terbaik dari pemberi

pelayanan bahwa pasien mendapatkan pelayanan terbaik untuk mendapatkan hasil terbaik

juga. Tetapi kesembuhan bukan merupakan bagian yang diperjanjikan karena ini sekali lagi

adalah wilayah yang sifatnya memang tadi banyak probabilitas dan banyak uncertainty.

Itulah memang falsafah dasar dari ilmu kedokteran dalam memandang keselamatan pasien.

Slide berikutnya, mohon maaf ini tegang sedikit.

RDPU KOMITE III DPD RI MS III TS 2017-2018

(SELASA, 23 JANUARI 2018)

7

Nah untuk itu Permenkes No. 1691/2001 junto 11/2017 telah menunjukan 7 langkah,

maaf 7 standar keselamatan pasien untuk menunjukan upaya rumah sakit dan pelayanan

kesehatan itu menuju keselamatan pasien. Nah sekarang kita di sini bahwa ada nomor 1 dan 2

yang paling utama yaitu hak pasien dan mendidik pasien, ini yang paling utama dari

ckeselamatan pasien sekali lagi karena tanpa keterlibatan, tanpa peran serta, tanpa urun

tanggung jawab diantara dua itu maka keselamatan pasien itu sulit untuk kita capai. Sekarang

kita lihat coba bagaimana pada slide berikutnya, mohon izin kami teruskan. Nah satu

sekarang yang menarik adalah kita bicara tentang JKN hari ini, tentang JKN dan BPJS

Kesehatan. Bapak Ibu sekalian, sebetulnya dengan ada JKN itu sebetulnya justru kita merasa

pasien semakin terlindungi. Kenapa begitu? Karena ada pihak ketiga. Kalau dulu pasien itu

hanya berhadapan dengan dokter dan rumah sakit pada posisi yang barangkali tidak tahu apa-

apa, begitu. Tapi sekarang diantara dokter dan rumah sakit dengan pasien itu ada BPJS

Kesehatan yang justru itu menjadi orang ketiga dalma hal ini adalah yang menjadi seolah-

olah menjadi menjaga keseimbangan antara pasien dengan pemberi pelayanan. Itu dari segi

perasaan psikis. Yang kedua adalah akses lebih terjaga bagi pasien karena ada jaminan

finansial. Mohon maaf Bapak Ibu, saat ini kalau dulu, mohon maaf ini bahasa kami mungkin

agak kasar tapi ini realistis, kalau ada pasien yang membutuhkan cuci darah, seminggu sudah

dua kali maka yang terjadi adalah mohon maaf sekali tingal nanti menunggu kapan biayanya

habis, kapan tabungannya habis, kapan barang terakhir yang dirumah terjual. Ibaratnya

demikian. Tapi saat ini bagi seorang pasien untuk cuci darah rutin seminggu dua kalipun

selama masih bisa ke rumah sakit iabratnya naik angkot atau naik apapun juga tetap terlayani

sehingga akhirnya menurut kami adalah JKN ini hak pasien lebih terlindungi karena tidak ada

lagi hambatan finansial. Nah bagi kami juga sebagai pemberi pelayanan juga ada sisi positif

karena dengan ada JKN itu berarti kami tidak lagi harus berpikir tentang ini pasien masih

punya waktu tidak untuk bayar obat, kami lebih tenang. Ya walaupun sekarang memang

kalau dalam JKN masih ada beberapa catatan yang perlu kita perbaiki tapi itu wilayah lain

yang tidak untuk hari ini. Slide berikutnya.

Kami mencoba sekarang ini merangkum dari uraian tadi dalam hal pelayanan

kesehatan itu sebetulnya pasien itu kalau kami merangkum memiliki harapan ada empat ini,

realiabilitas artinya tepat waktu pelayanan, nyaman, mudah, kan begitu harapannya. Kedua,

responsiveness, artinya pelayanan dengan responsif, tidak menunggu dan tidak ada

diskriminasi. Berikutnya adalah sisi tentang insurance, jaminan bahwa pelayanan itu berbasis

pada standar mutu dan standar pelayanan pasien, nomor tiga. Keempat, pasien mengharapkan

suatu empati, komunikasi yang efektif, keterlibatan pasien, menghargai posisi pasien adalah

harapan pasien. Sisi lain harapan kami sebagai penyedia layanan adalah kami boleh

menyampaikan sebenarnya ada empat juga sederhana. Pertama, koperatif. Itu pasien itu

memberi informasi yang jujur, yang lengkap dan mengikuti instruksi sebagaimana dengan

standar pelayanan kedokteran, itu harapan kami. Yang kedua adalah responsible. Artinya

pasien itu bersedia aktif bertanya dan ikut terlibat membuat keputusan justru supaya

menghindarkan resiko terjadinya salah paham. Kalau pasien itu mau terlibat aktif, mau

berkomunikasi maka resiko salah paham akan menjadi kecil, harapan kami. Ketiga adalah

rasional. Artinya membuat suatu harapan yang rasional untuk menyadari bahwa kita berusaha

yang terbaik tetapi tidak menjanjikan sebuah kesembuhan. Ini adalah sisi yang nomor tiga,

rasional. Keempat adalah, emotionally friendly. Artinya adalah mohon maaf, untuk kita

menjaga suasana komunikasi yang positif, kondusif. Adalah tidak sehat kalau nanti

pemberitaan itu didesak dalam posisi tertekan secara emosional sehingga justru tidak bisa

menjalankan tugasnya secara standar mutu dan keselamatan pasien. Kalau apa-apa serba

mudah disebarkan ke medsos, mudah disampaikan ke media maka sebelum dilakukan

klarifkasi maka membuat pemberitaan itu dalam posisi defensif, menjadi serba takut, serba

kaku dan serba tidak berani mengambil langkah. Ini adalah sisi ini. Nah untuk itu kami

RDPU KOMITE III DPD RI MS III TS 2017-2018

(SELASA, 23 JANUARI 2018)

8

merasa secara bersama-sama... Pelayanan kesehatan itu bisa berjalan dengan aman, dengan

nyaman, tujuannya tercapail, terjaga ... kita bersama. Dalam titik itulah kita terkadang merasa

bahwa kami khawatir justru pandangan yang kaku terhadap aspek hukum terhadap pasien itu

kadang-kadang justru mengganggu. Harapan bersama karena tadi menimbulkan suasana yang

kaku. Hubungan yang seolah-olah menjadi hubungan harus bersifat hitam di atas putih, harus

cbersifat resiko hukum dan seterusnya.

Nah untuk itu kami usulkan di slide berikutnya kalau memang akan disusun suatu

regulasi khusus di level undang-undang untuk perlindungan pasien kami berharap sifatnya

adalah untuk menajamkan dan mengkhusukan saja yang sudah dimuat dalam aspek-aspek

perlindungan pasien di regulasi sebelumnya. Sudah ada Undang-Undang Praktek Kedokteran,

sudah ada Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Rumah Sakit, bahkan juga kalau ada

juga Undang-Undang Perlindungan Konsumen misal kalau dimasukan. Sudah mencakup juga

tentang aspek-aspek perlindungan pasien. Barangkali nanti kalau memang DPD berkehendak

menyusun suatu Undang-Undang Perlindungan Pasien maka sifatnya adalah tadi

menajamkan dan mengkhususkan regulasi-regulasi sebelumnya. Kalaupun misalnya nanti

disepakati bahwa memandang sudah cukup dengan regulasi-regulasi yang ada maka

barangkali adalah tetap sangat positif bahwa Dewan Perwakilan Daerah ini mendorong

pelaksanaan regulasi ini dengan baik. Karena kita akui sampai dengan saat ini barangkali

pemahaman tentang isi regulasi tentang hak pasien itu belum sepenuhnya dipahami oleh

masyarakat sehingga kekhawatiran bahwa belum ada perlindungan. Barangkali demikian.

Nah untuk itu di slide berikutnya kami usul, di slide berikutnya bagaimana kalau kita usulkan

wujudnya justru adalah Undang-Undang Perlindungan Pelayanan Kesehatan atau namanya

adalah Undang-Undang Perlindungan Kesehatan. Ini saya bukan ahli hukum tapi sifatnya

maksud kami adalah karena memang ada suatu sifat khusus dalam hal pelayanan kesehatan

ini dan ada sifat sensitif yang tidak bisa disamakan mohon maaf kontraktual layanan publik

yang lainnya. Jadi ada suatu kekhususan, suatu sifat sensitif yang barangkali perlu kita

lindungi dalam suatu Undang-Undang Perlindungan Kesehatan.

Nah kedua, karena ini menyangkut hajat hidup masyarakat luas yang memang

mencakup dari masyarakat yang mohon maaf, paling tidak mampu sampai masyarakat yagn

sangat mampu dari sudut penerima pelayanan kesehatan yang sangat-sangat kompleks

masalahnya. Karena itu kita usulkan justru untuk menjaga keseimbangan para pihak ini kita

usulkan ada suatu Undang-Undang Perlindungan Kesehatan atau namanya mohon dari

beliau-beliau dari ahli hukum tapi intinya adalah mengatur bagaimana hak dan kewajiban

para pihak dalam pelayanan kesehatan itu justru bagaimana agar tetap seimbang terjaga dna

tidak menggangu sifat dari pelayanan kesehatan yang memang seharusnya berjalan dengan

sangat humanis. Ini adalah usul kami demikian. Demikian barangkali.

Terima kasih slide-nya selesai. Usul-usul kami sekiranya dapat diterima dan

dipertimbangan dari Bapak dan Ibu sekalian yang terhormat. Terima kasih Ibu Pimpinan.

PIMPINAN RAPAT: FAHIRA IDRIS, S.E., M.H. (KETUA KOMITE III DPD RI)

Selamat datang kepada yang terhormat Ibu Rufiani di Komite III DPD RI. Untuk

waktu dan tempat kami persilakan, kami berikan sekitar 20 menit paparan.

Terima kasih.

RDPU KOMITE III DPD RI MS III TS 2017-2018

(SELASA, 23 JANUARI 2018)

9

PEMBICARA: dr. NOVIANI (NARASUMBER)

Bismillahirahmanirahiim.

Alhamdulillahirabilalamin.

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Kepada Ibu Pimpinan Dewan Ibu Fahira Idris dan para anggotanya. Maaf saya agak

terlambat datangnya, sempat muter-muter dulu. Kesempatan saya kali ini sebenarnya saya

mewakili Prof. Hasbullah Thabrany yang saat ini kebetulan sedang rapat juga di tempat lain,

insya Allah nanti siang beliau akan hadir. Tidak banyak yang bisa saya sampaikan di sini

karena beliau juga memberi amanah kepada saya mendadak, Ibu Ketua. Dan saya mohon

maaf juga saya tidak mengikuti jalannya persidangan ini. Saat ini belum ada yang bisa saya

sampaikan ke majelis ini.

Terima kasih.

PIMPINAN RAPAT: FAHIRA IDRIS, S.E., M.H. (KETUA KOMITE III DPD RI)

(*berbicara tanpa mic)

PEMBICARA: Drs. MUHAMMAD AFNAN HADIKUSUMO (DIY)

Terima kasih Pimpinan.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Yang saya hormati Pimpinan Komite III, teman-teman Anggota Komite III dan

narasumber Prof. Tonang dan Rufiani. Tadi saya ikut mendengarkan paparan dari dr. Tonang

Ardyanto. Pada waktu reses kemarin salah satu materi yang kita mintakan masukan dari

masyarakat adalah tentang perlindungan pasien. Banyak masukan dari masyarakat berkaitan

dengna pelayanan di tingkat rumah sakit itu ya. Jadi pelayanan di tingkat rumah sakit itu

kalau kelasnya adlah kelas yang rendah, Kelas III, Kelas II itu pelayanannya kurang optimal.

Jadi si pasien itu bukannya tambah sehat tapi tambah sakit masuk rumah sakit itu. Kurangnya

senyum, kemudian keluarga paseien yang menjaga dibentak-bentak dan sebagainya. Ini

keluhan yang sering kita dengar dari masyarakat, begitu.

Yang kedua, berkaitan dengan kecepatan pelayanan, kecepatan pelayanan penanganan

pasien. Nah ini juga menjadi keluhan karena berkaitan dengan terutama untuk pasien-pasien

yang emergency itu butuh penanganan yang cepat tetapi begitu masuk rumah sakit mereka

dokter yang biasa menangani itu masih harus menunggu konsultasi dengan dokter spesialis

sehingga ada proses yang agak lama. Dan yang kedua, proses agak lama itu juga berkaitan

dengan prosedur administrasi. Di beberapa tempat harus meninggalkan uang jaminan, kalau

tidak, tidak dilayani. Tapi ada juga beberapa rumah sakit yang tidak melalui itu. Jadi begitu

masuk langsung ditangani. Nah ini ada kaitannya dengan perlindungan pasien juga.

Kemudian berkaitan dengan kesalahan diagnosa. Kesalahan diagnosa itu memang di undang-

undang itu ada klausul yang menyatakan pasien diperbolehkan untuk melakukan second

opinion kepada dokter yang lain tetapi apabila terjadi kesalahan diagnosa kemudian terjadi

malpraktek ini pasien sering bingung kemana. Biasanya kalau yang tahu itu langsung ke

dewan kode etik, tetapi yang tidak tahu langsung ke aparat keamanan, begitu. Ya ini yang

masih perlu disosialisasikan kepada masyarakat itu. Untuk yang lain-lain saya kira sudah

hampir sama ya, yang disampaikan masyarakat itu sudah tertampung di pasal-pasal yang ada

itu.

Saya kira itu Bu Pimpinan. Kurang lebihnya mohon maaf.

RDPU KOMITE III DPD RI MS III TS 2017-2018

(SELASA, 23 JANUARI 2018)

10

PIMPINAN RAPAT: FAHIRA IDRIS, S.E., M.H. (KETUA KOMITE III DPD RI)

Terima kasih banyak.

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

Terima kasih Pak Afnan. Selanjutnya yang terhormat Hj. Suriati Armaiyn, Senator

dari Maluku Utara. Kami persilakan.

PEMBICARA: Hj. SURIATI ARMAIYN (MALUT)

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh dan selamat pagi kepada Pimpinan,

narasumber dan sahabat-sahabat Anggota DPD yang saya hormati.

Pemerintah sekarang sedang giat-giatnya di bidang kesehatan yaitu meningkatkan

pelayanan kesehatan semaksimal mungkin tapi di lapangan khususnya di daerah masih

ditemukan hal-hal yang mengakibatkan pelayanan-pelayanan pasien tidak sebagaimana

mestinya. Misalnya para dokter atau dokter spesialis dengan alasan tunjangan profesi

terlambat dibayar, para dokter tersebut meninggalkan tempat kerja atau semacam mogok

kerja.

Kedua, di kecamatan khususnya di puskesmas-puskemas sering kekurangan obat-

obatan ataupun peralatan medis sehingga pelayanan pasien tidak maksimal. Ketiga, seringkali

berakhir masa tugas dokter PTT tidak secepat diganti terutama di provinsi kepulauan seperti

Maluku Utara.

Terima kasih.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

PIMPINAN RAPAT: FAHIRA IDRIS, S.E., M.H. (KETUA KOMITE III DPD RI)

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

Terima kasih.

Selanjutnya yang terhormat Bapak Ir. H. Abdul Jabbar Toba, Senator dari Sultra.

Kami persilakan.

PEMBICARA: Ir. H. ABDUL JABBAR TOBA (SULTRA)

Terima kasih.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Pimpinan Komite III beserta seluruh Anggota Komite III yang saya hormati, Bapak

dan Ibu narasumber. Ada pertanyaan dari awal tadi, perlindungan pasien perlukah undang-

undang khusus? Kalau saya bercerita tentang ini saya kira banyak pengalaman kita. Saya

pernah pengalaman teman saya kecelakaan jatuh dari motor pada hari jumat pada waktu itu.

Hari jumat itu biasanya hari olahraga. Jadi seluruh baik dokternya ikut di situ, sudah setengah

jam tidak dilayani, padahal ini muka sudah hancur karena jatuh, menggangu juga ini. Jadi itu

anu-nya, nanti dilayani kita setelah kita marah. Saya termasuk sendiri waktu itu masih muda

jadi berani marah, sekarang tidak takut lagi marah sekarang, eh sudah takut marah sekarang

karena sudah tua. Jadi waktu itu marah akhirnya dilayanilah tapi ada peristiwa yang paling

mengerikan, seorang tentara angkatan darat luka karena jatuh juga. Tidak dilayani maka

datanglah komandannya. Komandannya datang tempeleng semua orang ada, kecuali

dokternya yang tidak ditempeleng. Nah ini pengalaman Pak. Artinya pelayanan terhadap

pasien kurang tapi alhamdulillah sekarang sudah agak baik tapi dalam reses kami masih kita

ketemukan Pak. Di desa-desa ada petugas kesehatan itu masih memilih-milih pasien terutama

yang pakai kartu. Ditanya pakai kartu? Iya. Tunggu ya sebentar, saya layani dulu ini. Yang

RDPU KOMITE III DPD RI MS III TS 2017-2018

(SELASA, 23 JANUARI 2018)

11

dilayani dulu adalah yang bayar langsung. Nah ini barangkali saya sependapat kalau ini

judulnya perlukah perlindungan pasien? Saya jawab perlu. Karena apa? Karena itulah yang

pengalaman yang kami lihat. Tadinya sangat mengerikan sekarang sudah, sekarang masih

Pak berlaku di daerah-daerah puskesmas-puskesmas itu. Para petugas masih memilih-milih

pasien, apalagi kalau pasiennya yang sudah tidak kelihatan pakaiannya saja sudah kumuh ya,,

kumuh sekali. Mungkin tidak pakai sendal di puskesmas kadang-kadang tidak dilayani. Dan

yang perlu dari saya sekali lagi perlindungan pasien perlu dibuatkan undang-undang.

Terima kasih.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

PIMPINAN RAPAT: FAHIRA IDRIS, S.E., M.H. (KETUA KOMITE III DPD RI)

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

Selanjutnya yang terhormat Bapak Syarif, S.H, M.H., Senator dari Lampung,

kemudian dilanjutkan oleh Bapak BBM dari Babel.

PEMBICARA: SYARIF, S.H., M.H. (LAMPUNG)

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Yang saya hormati Ibu Ketua dan Bapak Wakil Ketua Pak Abdul Aziz, seluruh

Anggota Senator seluruh Indonesia yang saya hormati dan saya sangat banggakan dan

selamat datang untuk dr. Tonang Dwi Ardyanto Sp.PK, dan Ibu Noviani. Mudah-mudahan

kehadirannya bermanfaat untuk kita semua.

Kasus penelantaran terhadap pasien miskin yang terjadi di Lampung pada 20 Januari

2014, ini cerita dulu Pak ya. Jadi pada 20 Januari 2014 atas diri Suparman, umur 60 tahun

yagn dibuang dari Rumah Sakit Umum Dadi Cokro Dipo Bandar Lampung oleh beberapa

oknum pegawai rumah sakit karena tidak mampu membayar biaya perawatannya adalah

kejahatannya. Dan pada prinsipnya saya sangat mendukung atas adanya Undang-Undang

Perlindungan Pasien ini Pak karena hal tersebut sudah terjadi, karena belum ada

penanganannya terhadap undang-undang yang ada di undang-undangnya.

Demikian saja dari saya Pak, Bu.

Terima kasih.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

PIMPINAN RAPAT: FAHIRA IDRIS, S.E., M.H. (KETUA KOMITE III DPD RI)

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

Selanjutnya yang terhormat Bapak Bahar Buasan, Senator dari Babel.

PEMBICARA: BAHAR BUASAN, S.T., MSM. (KEP. BABEL)

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Yang saya hormati Pimpinan, Anggota DPD RI dan narasumber yang saya cintai.

Tema kita pada siang hari ini adalah perlukah undang-undang khusus kah? Saya melihat

selain daripada undang-undang bagaimana sosialisasi daripada undang-undang ini dari atas

sampai ke bawah? Yang kita temukan ini kebanyakan itu kan adanya di bawah. Kadang-

kadang undang-undangnya ada, dibawahnya tidak pernah tahu. Ini yang menjadi sebuah

problematika. Saya menemukan beberapa minggu yang lalu ada di Jawa Barat seorang pasien

tabrakan. Dia ke rumah sakit bawa BPJS, ditolak oleh rumah sakitnya karena itu seharusnya

bukan pakai BPJS, pakai Jasaraharja. Kebetulan saya ada di situ, ini masalah kartunya apa

RDPU KOMITE III DPD RI MS III TS 2017-2018

(SELASA, 23 JANUARI 2018)

12

masalah penyelamatan pasiennya? Sudah tahu orangnya tabrakan, perlu pertolongan pertama.

Apalagi ditulis IGD. Saya bilang tolong dicopot IGDnya. Nyatanya kartunya dulu, bukan

penyelamatan pasiennya. Nah ini mungkin pembahasan hari ini ya tidak perlu saya sebutkan

di sini. Saya kira ini merupakan banyak hal-hal yang kita temukan dengan banyaknya kartu-

kartu sekarang ini sehingga membuat rumah sakit mempunyai kebijakan-kebijakan tertentu.

Nah ini juga kita harus evaluasi, bukan hanya masalah rumah sakitnya, juga prosesnya ini

juga kadang-kadang mengganggu rumah sakit sehingga kebijakan itu bisa muncul karena ada

sesuatunya juga. Nah ini juga mungkin dalam pembahasan undang-undang ini perlu kita

perhatikan juga bagaimana bisa menjadi win-win solution, bagaimana rumah sakit bisa

membuat kebijakan yang nyaman bagi pasien dan pasien juga bisa mendukung berjalannya

operasional rumah sakit. Jangan hanya sepihak.

Yang kita banyak temukan juga di daerah, terutama daerah-daerah yang kekurangan

doker. Terutama dokter spesialis. Kadang-kadang dokter ini menjadi arogansi sehingga

merasa dialah yang paling benar. Padahal kadang-kadang pasien masih mempertimbangkan.

Pada saat dia mempertimbangkan kadang-kadang disuruh pulang oleh rumah sakit, karena

dianggap pasien tidak nurut kata dokter. Padahal belum tentu kebijakan dokter itu benar. Ini

juga mungkin pada saat pembahasan undang-undang ini kita perlu perhatikan. Saya merasa

ada spesialis baru yang menangani tentang bagaimana seorang dokter membantu seorang

pasien umurnya bisa menjadi lebih panjang. Saya seumur hidup baru tahu kalau ada seorang

dokter yang profesinya adalah bagaimana melayani pasien sehingga pasien ini bisa berumur

panjang. Sekarang kebetulan saya lagi mensosialisasi, membantu sosialisasi sebuah novel

yang berjudul pelangi cinta dari Belitung. Buku ini, novel ini menceritakan bagaimana

keberanian seorang pasien menghadapi penyakit sehingga ia bisa bertahan menghadapi

penyakit kanker selama 13 tahun. Ini tentu didukung oleh keberanian si pasien sendiri,

didukung oleh lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat juga termasuk dokternya. Saya

baru tahu di Darmais ada seorang dokter namanya dr. Maria. Dia menekuni bidang ini setelah

saya membaca novel itu. Ini kisah nyata. Jadi saya berharap untuk mensosialisasikan ini juga

kepada dokter-dokter biar bagaimana melayani, ternyata pengaruh dokter itu sangat

mempengaruhi umur si sang pasien itu.

Kebetulan pada masa reses kemarin saya juga sosialisasi ke Akademi Keperawatan,

bagaimana pengaruh atau peranan perawat dalam menyembuhkan penyakit si pasien itu

sendiri. Jadi di dalam rangka pembahasan undang-undang ini, saya lihat dari sisi undang-

undang juga dari sisi pelaksanaan undang-undang itu dari atas sampai ke bawah sehingga

bisa memperbaiki kesehatan Bangsa Indonesia ke depannya lebih baik.

Sekian. Terima kasih.

PIMPINAN RAPAT: FAHIRA IDRIS, S.E., M.H. (KETUA KOMITE III DPD RI)

Terima kasih kepada Pak Bahar Buasan.

Selanjutnya saya persilakan kepada Senator Riri dari Bengkulu. Selanjutnya Ibu GKR

Ayu dari Jawa Tengah.

RDPU KOMITE III DPD RI MS III TS 2017-2018

(SELASA, 23 JANUARI 2018)

13

PEMBICARA: RIRI DAMAYANTI JOHN LATIEF, S.Psi. (BENGKULU)

Bismillahirahmanirahiim.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Yang terhormat Pimpinan Komite III dan Bapak Ibu Anggota DPD yang saya

hormati, dan kedua narasumber yang sudah berkenan hadir di ruangan ini. Saya Riri

Damayanti, saya dari Provinsi Bengkulu. Dan saya sudah membaca dan mendengar paparan

dari narasumber. Sebenarnya saya hanya melengkapi, tadi sudah banyak disampaikan oleh

teman-teman Anggota yang lain tentang pelayanan, kemudian adanya seperti indikasi

perbedaan pelayanan karena berbasis kartu jaminan kesehatan dan bagaimana kondisi di

rumah sakit-rumah sakit di daerah. Saya hanya menambahkan satu poin yang berkaitan

dengan apa yang sudah disampaikan narasumber tadi. Ada tiga garis besar yang saya

tangkap. Yang menarik bagi saya adalah pertama ditulis di sana adalah faktor manusiawi.

Yang kedua adalah sistem dan kompleksitas sistem pelayanan. Kemudian yang ketiga

kerjasama tim yang efektif. Nah mengingat yang tadi Pak Bahar Buasan juga sempat

menyampaikan perawat itu adalah orang yang sangat berhubungan langsung dan 24 jam bisa

dikatakan adalah fungsi perawat yang sangat penting. Nah yang berhubungan saat ini dengan

materi yang sedang dibahas adalah bagaimana Undang-Undang Perlindungan Pasien. Nah

yang ingin saya minta, ini kan sedang rapat dengar pendapat ya dengan para narasumber,

saya ingin minta pandangan narasumber tentang koordinasi perawat yang seringkali

ditemukan di rumah sakit terutama rawat inap itu yang penanganan kesehatan itu berbeda-

beda setiap perawat. Nah ini bagaimana tanggapan Bapak?

Ada contoh kasus sedikit, Pimpinan. Misalnya begini, perawat itu seringkali dalam

sehari bisa dua kali atau tiga kali ganti shift. Kemudian contoh begini, ketika perawat yang ini

masuk si pasien diarahkan untuk diinfus atau diberikan obat ini itu dan lain sebagainya. Tiba-

tiba nanti ketika ganti perawat yang mana sering kita temukan kalau di rumah sakit daerah

dokter tidak stand by di tempat, hanya datang atau visit di hari-hari tertentu dan tidak selalu

memberikan informasi yang akurat kepada para perawat ini. Nah kemudian karena pergantian

shift perawat yang lain melakukan tindakan yang berbeda, atau contohnya begini, ini infus

dicabut ya Bu, karena sudah tidak dibutuhkan lagi atau obatnya sudah bisa diganti dengan

obat yang diminum langsung. Kemudian ketika besok pagi harinya lagi perawat lain datang

lagi malah bertanya kepada si pasien, lho ini kok dicabut seharusnya masih dipasang. Itu

salah satu contoh kasus dimana perawat yang 24 jam sedangkan mereka pergantian shift

tanpa memahami bagaimana seharusnya si pasien ini diberikan pelayanan, begitu. Jadi karena

berhubungan saya pribadi bukan orang kesehatan saya minta pandangan saja dari Bapak

karena saya tidak mau memberikan beban lagi kepada Bapak, saya hanya ingin diberi

masukan bagaimana pandangan terhadap pergantian atau pelayanan yang diberikan oleh

perawat. Karena betul sekali ada faktor manusiawi, para perawat pasti dan tentu tidak mau

dan tidak punya niat untuk melakukan hal yang membahayakan kesehatan pasiennya. Namun

pergantian shift ini dan kemudian tindakan yang berbeda-beda antar perawat pergantian ini

menyebabkan sering kali saya temukan perbedaan memberikan apa ya istilahnya,

memberikan layanan kepada pasiennya dengan opini yang berbeda-beda, begitu. Seperti

contoh yang saya sampaikan tadi. Nah mungkin itu saja yang dapat saya sampaikan.

Selebihnya dari itu teman-teman lain sudah menyampaikan yang lainnya tadi.

Terima kasih.

Wabillahitaufik walhidayah.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

RDPU KOMITE III DPD RI MS III TS 2017-2018

(SELASA, 23 JANUARI 2018)

14

PIMPINAN RAPAT: FAHIRA IDRIS, S.E., M.H. (KETUA KOMITE III DPD RI)

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

Selanjutnya yang terhormat Ibu Hj. GKR Ayu Koes Indriyah, Senator dari Jawa

Tengah.

PEMBICARA: GKR. AYU KOES INDRIYAH (JATENG)

Terima kasih.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Para Anggota dan narasumber dr. Tonang dan dr. Noviani. Selamat datang di DPD.

Mohon maaf saya tadi agak terlambat tapi saya sudah mempersiapkan pertanyaan dan

bagaimana itu nanti bisa diimplementasikan di dalam RUU Perlindungan Pasien. Bapak tadi

sudah menerangkan bagaimana perlakuan rumah sakit dari yang BPJS yang dapat subsidi dari

pemerintah maupun BPJS yang mandiri. Memang kita rasakan di Indonesia ini rumah sakit

tidak on dengan itu sehingga pelayanan terhadap pasien yang menggunakan layanan asuransi

baik itu BPJS maupun asuransi swasta itu mereka tidak segera bisa melayani, mesti

mengecek ini dna itu. Kitapun Anggota DPD RI kadang-kadang kalau di rumah sakit yang

belum pernah kita datangi mereka agak lama itu untuk mengakses asuransi kita. Padahak kita

VVIP. Nah saya jadi berpikir bagaimana itu BPJS dan asuransi swasta yang lain mereka

kurang cepat itu sehingga mesti menunggu lama. Nah bagaimana itu bisa dimasukan

terangkum di dalam RUU itu nanti bahwa rumah sakit itu mengetahui dengan pasti, mereka

citu melayani pasien baik itu yang langsung membayar tunai maupun lewat asuransi-asuransi.

Nah dari di lapangan yang saya lihat, memang kebanyakan rumah sakit itu kekurangan tenaga

medis dan kekurangan tenaga perawat sehingga karena kekurangan itu para tenaga medis dan

perawat jadi tidak bisa melayani dengan benar. Jadi ini seperti apa ya, kemarin kita

membahas tentang RUU Keperawatan. Nah ini harus menyambung ini, perlindungan pasien

tapi juga peningkatan kesejahteraan bagi para perawatnya sehingga apakah bisa di dalam

RUU ini nanti itu tergambarkan bahwa pasien terlindungi jika para tenaga medisnya juga

terlindungi kehidupan dan segala macamnya. Karena banyak pasien di daerah itu para

perawatnya itu tidak mendapatkan vaksin untuk paparan-paparan terhadap itu penyakit-

penyakit yang mudah menular. Mereka tidak mendapatkan vaksin. Itu kan menyebabkan

mereka istilahnya orang Jawanya minggrang-minggring untuk memegang pasien ya memang

kemungkinan penyakitnya bisa menular. Seperti Hepatitis C, itu kan menular, difteri juga

menular. Nah itu di Indonesia itu masih sangat terbatas sekali pengetahuan rumah sakit itu

untuk melindungi para perawatnya sendiri ataupun pengunjung rumah sakit yang lain.

Dan jika terjadi malpraktek di rumah sakit apakah nanti bisa digambarkan di dalam

RUU ini? Hal apa yang bisa dilakukan para pasien ini untuk meminta pertanggungjawaban

dari rumah sakit, karena selama ini tidak pernah ada. Malpraktek ya malpraktek saja, begitu.

Rumah sakitnya tidak bisa dituntut, dokternya tidak bisa dituntut dan bebas begitu saja. Kalau

di luar negeri begitu menyebabkan apa kepada pasien dan segala macam, rumah sakit itu bisa

tutup karena begitu tingginya yang harus dibayar oleh rumah sakit itu terhadap kerugian yang

bahkan kematian yang terjadi pada pasien. Nah apakah bisa nanti dimasukan ke dalam RUU

ini tentang hal-hal yang pertanggungjawaban dari rumah sakit jika merugikan pihak pasien

atau bisakan di dalam RUU ini diperjelas siapa yang harus bertanggungjawab nih, dokternya

sendiri secara pribadi atau rumah sakitnya karena tindakan salah dari dokter yang melakukan

kesalahan sehingga menyebabkan pasien cacat atau malah sampai ke kematian. Itu saja

Ketua.

Terima kasih.

RDPU KOMITE III DPD RI MS III TS 2017-2018

(SELASA, 23 JANUARI 2018)

15

PIMPINAN RAPAT: FAHIRA IDRIS, S.E., M.H. (KETUA KOMITE III DPD RI)

Terima kasih.

Untuk selanjutnya yang terhormati Bapak H. Abdurrahman Abubakar Bahmid,

Senator dari Gorontalo.

PEMBICARA: H. ABDURRAHMAN ABUBAKAR BAHMID, Lc (GORONTALO)

Terima kasih Ibu Ketua, seluruh Anggota.

Bapak Ibu pemateri, ada dua hal yang ingin saya sampaikan. Yang pertama terkait

dengan regulasi yang terkait dengan perlindungan pasien. Sejauh mana kalau dalam praktek

yang Bapak Ibu alami di dunia kesehatan efektivitas undang-undang yang sudah ada baik

yang 36 tahun 2009 maupun 44 tahun 2009 tentang rumah sakit atau undang-undang lainnya.

Apakah memang permasalahannya di regulasi atau bukan? Dalam pemaparan Bapak dokter

sampaikan memang sangat banyak terkait dengan pentingnya patient safety ya. Nah yang

ingin kami tanyakan apakah saya tidak fokus, apa kekurangan-kekurangan yang harus

dibenahi dari undang-undang yang sudah ada ini sehingga masih perlukah kita membuat

undang-undangnya yang baru. Ini yang ingin saya sampaikan. Apakah Bapak sudah

membedah kekurangan dari undang-undang yang sudah ada? Selama ini kalau kita lihat dari

efektivitas kalau menurut Bapak, dari pengalaman yang ada Undang-Undang Kesehatan 36

memberikan sanksi pidana 2 tahun untuk yang tidak, untuk pimpinan bila korban tidak

mengalami cacat atau meninggal, atau denda paling banyak 200 juta. Bila mengalami cacat

itu 10 tahun atau... Nah sekarang sejauh ini ada tidak orang-orang atau pimpinan yang sudah

dikenai sanksi ini? dan begitu juga rumah sakit yang menurut pasal 44 itu sampai dibnekukan

ditegur, ini sudah sejauh mana? Kalau sanksinya tidak diterapkan secara tegas mau kita bikin

undang-undang seperti apapun itu akan sekedar menjadi undang-undang di atas kertas yang

tidak efektif. Itu satu.

Yang kedua, dari undang-undang yang sudah ada saya ingin tanya, saya belum baca

keseluruhan. Yang disebutkan di situ yang akan diberi sanksi tertulis adalah pasien yang

dalam keadaan darurat tidak ditangani. Nah bagaimana dengan pasien yang sebenarnya tidak

darurat tapi mengalami pelayanan yang tidak baik dari pihak rumah sakit maupun oknum-

oknum pelayan kesehatan yang ada di rumah sakit tersebut, apakah itu administrasi, apakah

hal-hal yang lain yang sudah disampaikan oleh teman-teman saya. Nah apakah ada sanksi

juga bagi mereka? Itu saja dari saya Ibu Ketua.

Terima kasih.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

PIMPINAN RAPAT: FAHIRA IDRIS, S.E., M.H. (KETUA KOMITE III DPD RI)

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

Selanjutnya yang terhormat Bapak Syafrudin Atasoge, Senator dari NTT, kemudian

dilanjutkan dengna yang terhormat Bapak H. A.M. Iqbal Parewangi dari Sulsel.

RDPU KOMITE III DPD RI MS III TS 2017-2018

(SELASA, 23 JANUARI 2018)

16

PEMBICARA: SYAFRUDIN ATASOGE, S.Pd. (NTT)

Baik.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Pimpinan yang saya hormati, Bapak Ibu Anggota yang saya hormati.

Bapak Ibu narasumber yang saya hormati. Saya sedikit saja karena sudah disampaikan

Pak Abdurrahman Bahmid. Saya hanya melihat sedikit pernyataan ini yang membuat saya

bertanya. Semakin kompleks suatu sistem berarti semakin besar kemungkinan terjadi

kesalahan. Artinya bahwa menyambung yang disampaikan Pak Abdurrahman Bahmid tadi

bahwa apakah selama ini undang-undang itu kemudian sudah melihat sistem yang ada?

Kekurangan-kekurangan dimana? Kemudian sistem-sistem ini yang semakin kompleks

kemudian membuka kemungkinan semakin banyak terjadi kesalahan.

Saya punya keyakinan bahwa setiap manusia apalagi dokter tidak ada niat untuk

membuat bagaimana pasiennya celaka tapi kemudian mengutip pernyataan narasumber tadi

bahwa dengan sistem yang kompleks ini dimana itu? Ini yang mungkin saya ingin ada

stressing point-nya lebih lanjut di sini.

Terima kasih.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

PIMPINAN RAPAT: FAHIRA IDRIS, S.E., M.H. (KETUA KOMITE III DPD RI)

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

Selanjutnya yang terhormat Bapak H. A.M. Iqbal Parewangi, Senator dari Sulsel.

PEMBICARA: A.M. IQBAL PAREWANGI (SULSEL)

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ibu Ketua, segenap sahabat Bapak Ibu Senator Republik Indonesia yagn saya hormati.

Narasumber yang saya banggakan., saya hormati. Pak Syafrudin Atasoge menyebut

kompleksitas. Saya ingin nyambung. Kompleksitas kalau tidak punya batasan akan

bermasalah, harus ada margin yang jelas, harus ada batas yang jelas dan standing point saya

adalah bahwa Undang-Undang Perlindungan Pasien itu perlu, itu standing point saya. Cuma

karena ini kompleks maka saya ingin pendalaman dari narasumber. Pada titik mana

perlindungan pasien itu harus berakhir? Yang saya maksudkan dengan perlindungan, batas

perlindungan, bila mungkin batas hukumnya. Karena begini dok, dan Bapak Ibu sekalian,

apakah perlindungan terhadap pasien masih berlaku misal ketika seorang Ketua Lembaga

Negara itu dalam proses hukum lalu kemudian terjadi kecelakaan yang dicelakaan atau

kecelakaan yang memang disengaja atau kecelakaan yang memang kecelakaan? Jelasnya

saya agak ambigu dengan perlindungan pasien terhadap Setya Novantoyang lalu. Nah ini

batasannya dimana? Mohon maaf kalau saya mengangkat melihat dari perspektif yang lain.

Jadi oke kita standing point kita Undang-Undang Pasien perlu, kita diinjeksi dari kesadaran

menarik dari pasal bahwa ini kompleks, kompleksitas selalu memerlukan batasan. Saya

berangkat dari realitas bahwa ada ambiguitas terhadap batasan ini ketika proses hukum

sedang berlangsung pada seorang pasien Setya Novanto yang lalu.

Terima kasih banyak.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

RDPU KOMITE III DPD RI MS III TS 2017-2018

(SELASA, 23 JANUARI 2018)

17

PIMPINAN RAPAT: FAHIRA IDRIS, S.E., M.H. (KETUA KOMITE III DPD RI)

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

Selanjutnya, ada tambahan pertanyaan? Mungkin ada sedikit dari kami, dari meja

Pimpinan. Saya ingin menanyakan bahwa minta penjelasan juga dari narasumber mengenai

pola hubungan koordinasi secara hierarki antara dokter secara internal di rumah sakit.

Sebagai contoh, setiap pasien itu akan ditangani oleh satu dokter tapi ada dokter

penangungjawab ruangan dan seterusnya hingga ke direktur rumah sakit. Pola hubungan ini

penting untuk diketahui untuk menentukan penanggungjawab utama atau hanya

pengikutsertaan dari suatu tindakan hukum. Kemudian juga sebagai Bapak juga duduk di

organisasi PERSI ya? Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia dapatkan dipaparkan

sedikit bagaimana model atau penanganan atau kebijakan penanganan yang akan dilakukan

PERSI dalam hal terdapat kejadian rumah sakit yang berhadapan dengan hukum dengan

pasien. Bagaimana SOPnya?

Kemudian dalam pandangan narasumber selain tuntutan pidana dan perdata yang

dapat dialamatkan kepada dokter atau rumah sakit dalam hal terdapat tindakan yang tidak

sesuai dengan prosedur, apakah proses penyelesaian sengketa atau konflik di atas dapat

diarahkan kepada penyelesaian di luar pengadilan dengan model-model mediasi atau

rekonsiliasi, apakah ada pengalaman dari PERSI? Mungkin bisa tolong dijawab.

Terima kasih.

PEMBICARA: dr. TONANG DWI ARDYANTO, Sp.PK, Ph.d. (NARASUMBER)

Terima kasih Ibu Pimpinan dan Bapak Ibu segenap Anggota.

Kami akan mencoba menanggapi, mohon izin.

Saya belum pengalaman jadi saya akan urutkan satu per satu, nanti barangkali bisa

sesuai dengan harapan.

Pertama, kepada beliau Bapak Afnan dari Yogya. Tadi beberapa pertanyaan hampir

sama tapi saya ambil dari awal, jadi dari Bapak. Bapak Ibu kalau tadi salah satu slide saya

menyebut bagaimana peran dari era JKN dan sebelum JKN. Tanpa melebih-lebihkan, kami

akan sampaikan bahwa pemberlakuan JKN mulai Januari 2015 itu memang menjadi

semacam pembeda antara era sebelum dan setelah JKN dengan segala catatannya. Beberapa

keluhan tadi misalkan dimulai dari Pak Afnan tadi misalkan pelayanan rumah sakit maka kita

berharap dengan kosep JKN ini justru kita akan menggunakan beberapa hambatan-hamabtan

yang sering terjadi di lapangan. Misalnya begini, disebutkan bahwa pasien datang ke IGD

ditanya soal jaminan, sudah jelas sebetulnya sejak Undang-Undang Praktek Kedokteran,

Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Praktek Kedokteran 29/2004, Undang-Undang

Kesehatan 36/2009 maupun Undang-Undang Rumah Sakit 44/2009 itu sudah jelas tegas

mengatakan bahwa dalam keadaan darurat tidak boleh ada permintaan uang jaminan, bahkan

tindakan pertolongan darurat itu harus didahului dari keharusan syarat administratif. Itu

demikian Pak. Nah sebelum di era JKN ini, baisanya yang terjadi adalah ketika pasien datang

dilakukan suatu proses penanganan kedaruratan, nah kadang terjadi di suatu titik dimana

diperlukan suatu biaya untuk perawatan lanjutan. Ini sering menjadi masalah sebelum era

JKN. Nah untungnya setelah JKN maka sebetulnya hambatan tentang adanya finansial itu

justru sudah diatasi dengan JKN dan BPJS sehingga ini menyebabkan pasien ini tidak

terbebani pikir soal biaya. Kami rumah sakitpun juga terkurangi bebannya karena tidak

menanyakan lagi soal biaya. Nanti apakah ada disteminasi nanti kami akan jawab di

ckemudian. Nah ini justru adalah poinnya karena saoal JKN ini. Kita juga sebetulnya dengan

JKN ini menyiapkan nanti standarisasi pelayanan itu menjadi lebih tercapai. Kalau

sebelumnya mohon maaf kita tahu di lapangan memang jujur kita akui beda tarif layanan itu

RDPU KOMITE III DPD RI MS III TS 2017-2018

(SELASA, 23 JANUARI 2018)

18

menjadi begitu variatif di lapangan. Bapak tadi menyebutkan ada rumah sakit yang

barangkali sudah berjalan sesuai harapan, tidak ada pertanyaan soal jaminan, juga ada rumah

sakit yang ternyata Bapak tadi sampaikan masih suka atau masih ditemui barangkali yang

meminta jaminan. Sekarang dengan konsep JKN itu menjadikan semua itu menjadi tidak

boleh. Berarti mempertegas lagi yang sudah ada di undang-undang sejak 2004 sampai ke

2009 sebetulnya jalan sekarang.

Nah begitu juga misalkan nanti disebutkan tentang misalnya tidak optimal pelayanan.

Bapak Ibu, sebetulnya sudah ada standar pelayanan kedokteran itu sudah menunjukan sejak

tahun 2008 muncul yang namanya Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit. Itu ada di

cPermenkes 129/2008. Di sana ada kata-katanya, ketika pasien datang di IGD maka harus

dilayani dalam waktu paling lambat sekian menit. Itu ada. Misalnya untuk mendapatkan

layanan rekam medis misalkan dalam waktu sekian menit itu ada, sudah ada riset sampai ke

menitnyapun ada. Nah ini terakhir pertama dulu 2008 muncul, sekarang terakhir kemarin itu

diperbaharui tahun 2012 Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit, itu ada di sana. Nah

bahwa kemudian ada pertanyaannya seberapa itu berjalan maka kemudian muncul yang

namanya sekarang kita bicara akreditasi rumah sakit untuk menilai seberapa rumah sakit itu

telah menjalankan standar sesuai dengan regulasinya. Nanti akan mencakup beberapa

pertanyaan dari Bapak Ibu yang lain juga. Nanti kita sampaikan pada saat yang bersangkutan.

Dan bagaimana dengan kesalahan diagnosis? Ada yang namanya audit medik. Artinya untuk

setiap keputusan di situ akan ada suatu proses audit, dilakukan oleh organisasi profesi untuk

menilai apakah keputusan itu telah sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan

operasional. Itu dilakukan yang namanya audit medik. Nah audit medik inilah upaya kita

untuk menjaga, memelihara supaya semua sesuai standar. Jangan sampai terjadi nanti

keputusan medis itu menyimpang dari standar yang sudah ada yang ditetapkan di sana. Kalau

memang dirasa oleh pasien itu perlu suatu second opinion ini adalah hak yang dilindungi oleh

undang-undang sejak Undang-Undang Praktek Kedokteran, Undang-Undang Kesehatan

sampai Undang-Undang Rumah Sakit semua melindungi pihak pasien untuk boleh

melakukan second opinion terhadap dokter selain yang menjadi dokter perawatnya. Apakah

ini sudah berjalan? Beberapa rumah sakit sudah berjalan meskipun kesulitannya juga kalau

tidak salah tadi ada yang menyebut juga memang kita juga masih kekurangan tenaga. Di

banyak daerah terjadi memang misalnya cuma itu sehingga melakukan second opinion juga

tidak bisa kemana-mana karena memang di situ hanya ada itu. Ini adalah kenyataan juga di

lapangan yang kita juga perlu perhatikan untuk tidak menganggap bahwa bukan karena tidak

diberi kesempatan tapi memang karena kenyataannya dokternya cuma itu di situ. Ini yang

terjadi banyak di daerah kita hadapi demikian.

Nah untuk alur pengaduannya betul memang ada dua arah yang bisa kita ambil kalau

pasien merasa terjadi suatu dugaan yang menurutnya adalah tidak sesuai dengan standar.

Alurnya bisa ke alur profesi menggunakan namanya MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin

Kedokteran Indonesia). Nanti laporan ke sana, akan diproses. Akses di sana menyebutkan

bahwa setiap laporan itu harus diproses, sampai nanti terbukti memang betul atau tidak, harus

diproses. Itu di sana. Nah memang Pasal 66 Ayat (3) UU Praktik Kedokteran mengatakan

bahwa pengaduan ke MKDKI itu tidak mnghapuskan hak dari pasien untuk juga, Majelis

Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, Ibu, MKDI. Nah, di Pasal 66 Ayat (3) tersebut

menyatakan bahwa walaupun sudah melaporkan ke MKDI itu tidak menghilangkan hak bagi

pasien untuk melaporkan ke jalur hukum, artinya jalur kepolisian dan seterusnya. Itu masih

dibolehkan. Ini memang bunyinya demikian dalam UU Praktik Kedokteran sekaligus

menunjukkan bahwa sebetulnya sejak tahun 2004 itu sudah ada seperti ini. Hanya barangkali

tadi betul bahwa pemahaamn atau barangkali tersampaikannya isi seperti ini ke masyarakat

yang barangkali belum. Ini yang menjadi tentu wilayah kita untuk kita cermati bersama-sama.

RDPU KOMITE III DPD RI MS III TS 2017-2018

(SELASA, 23 JANUARI 2018)

19

Berikutnya mohon izin kepada Ibu Hj. Suriati Armaiyn, mohon izin kalau namanya

salah, mohon maaf, dari Maluku Utara. Kami merasa betul, Bu, memang variasi dari

kemampuan layanan di Indonesia ini memang sangat variatif. Maka, dalam konsep … (menit

78.38 kurang jelas, red.) ada namanya dana kompensasi di mana misalnya terjadi di suatu

daerah itu memang ketersediaan dari segi fasilitas kesehatan maupun SDM itu kurang, maka

ada dana kompensasi dari jalur program untuk mengkompensasi bahwa daerah itu memang

kerja layanan belum sesuai dengan harapan. Itu ada, nah ini yang kita harapkan sama-sama.

Justru sebetulnya kita berharap, kami dari Persi pun berharap bahwa ada perhatian lebih dari

pemerintah dalam bentuk untuk menyediakan fasilitas kesehatan maupun SDM-nya di

daerah. Sekarang Kemenkes telah menjalankan dengan program namanya Nusantara Sehat,

yaitu mengirim tim kesehatan ke seluruh pelosok dengan harapan untuk menutup kekurangan

ini. Ya mengurangilah, kalau menutup mungkin belum. Mengurangi kekurangan dari

ketersediaan tenaga medis ini. Ini memang menjadikan apa yang telah tertulis di UU menjadi

belum mampu terlaksana dengan baik karena memang di lapangan memang masih kurang

SDM ini.

Kemudian tentang tadi mohon izin, tentang mogok kerja, memang di sisi lain

penghargaan terhadap kinerja profesi kesehatan di daerah ini memang kami masih merasa

belum sepenuhnya sesuai harapan. Sehingga beberapa titik terjadi salah paham, terjadi salah

pengertian sehingga akhirnya memunculkan berita tentang misalnya kemarin di Sulawesi ada

yang harus terpaksa menarik diri, 17 dokter spesialis karena barangkali belum tercapai

kesepakatan yang nyaman di antara dua pihak. Nah sebetulnya dalam konsep JKN ini

sebenarnya sudah ada jalannya. Sebetulnya dengan JKN itu sebenarnya malah justru terjadi

bahwa ada jaminan dari JKN untuk dapat diberikan. Sebelum JKN dulu kalau rumah sakit itu

menghadapi kenyataan misalnya mendapatkan pasien yang mohon maaf, kurang mampu,

maka kami serba salah. Tidak dilayani tentu salah, kalau dilayani kita tidak bisa mendapat

imbalan karena memang tidak mampu. Nah sekarang dengan konsep JKN justru terjadi

bahwa pasiennya yang kurang mampu pun tetap bisa datang ke rumah sakit, dan kami pun

tetap dapat klaim dari BPJS. Suatu kemajuan sebetulnya walaupun sekali lagi memang soal

JKN memang kita masih rata-rata masih banyak kita akui, tapi minimal sebagai suatu

program, arahnya sudah ke sana.

Kemudian berikutnya, Bapak Jabbar Toba, mohon maaf sekali lagi kalau namanya

salah. Pertolongan terlambat dari Jumat, ini masuk keprihatian kita. Bapak/Ibu, dalam standar

pelayanan rumah sakit itu ada yang namanya standar ARK, yaitu Akses, Rumah Sakit, dan

Kontinuitas Pelayanan. Ini sekaligus menjawab pertanyaan Ibu Riri ya tentang kontinuitas ini

bahwa seharusnya tidak boleh terjadi karena alasan kegiatan apa yang menyebabkan tidak

adanya pelayanan. Tidak boleh, karena yang utama dari rumah sakit adalah pelayanan.

Sebetulnya yang melakukan kegiatan selama itu adalah orang-orang yang memang di luar

medis sebetulnya, Bapak, sebetulnya demikian. Orang yang dalam pelayanan tidak boleh

ditinggalkan hanya karena alasan yang sifatnya nonmedis. Misalnya, apel pagi misalkan.

Apel pagi itu hanya diikuti oleh yang memang tidak terima pelayanan. Kalau yang terima

pelayanan mestinya tidak ikut apel pagi sehingga tidak mengurangi, tidak menghambat akses

orang untuk ke rumah sakit karena pelayanan. Jadi, kami merasa memang inilah kepentingan

kita bersama untuk kita koreksi bersama-sama. Nah, ini pun juga kemudian dalam JKN juga

menjadi hal bagus karena begitu dalam JKN itu ada hadir orang ketiga. Kalau dulu kalau ada

pasien tidak puas, rumah sakit kan cuma berhadapan dengan rumah sakit dan dokter.

Sekarang kalau ada, dengan adanya JKN, ada bagian kesehatan, maka begitu ada keluhan,

maka dia bisa mengeluh ke bagian kesehatan. Dalam bahasa Indonesia, dalam bahasa ya

kurang nyaman, tetapi ini realistis bahwa kalau rumah sakit itu sekarang ini sangat tergantung

pada JKN. 80 – 90% pasien rumah sakit adalah pasien JKN yang biayanya itu diberikan

dalam bentuk klaim ke BPJS Kesehatan. Kalau sampai rumah sakit itu misalnya katakanlah

RDPU KOMITE III DPD RI MS III TS 2017-2018

(SELASA, 23 JANUARI 2018)

20

tidak mendapatkan klaim dari BPJS Kesehatan oleh karena masalah keluhan dari pasien,

otomatis rumah sakit tidak akan jalan sekarang ini. Inilah berarti mohon maaf ini walaupun

sebetulnya tidak nyaman karena seperti kita menjadikan anu terbelenggu karena uang, tetapi

kenyataannya memang tanpa hubungan dengan BPJS Kesehatan, tanpa kelancaran klaim dari

BPJS Kesehatan, kelancaran operasional rumah sakit akan sangat terganggu oleh sekali lagi

90% pasien adalah pasien dari JKN. Ini ya secara halus kami menyebut sebagai blessing in

disguise, artinya ada suatu berkah dari kondisi yang tidak menyenangkan, yaitu perasaan

JKN, tapi akhirnya menjadi berkah karena rumah sakit sekarang menjadi dipaksa ke jalan

yang benar, mungkin bahasanya begitu. Dalam artinya, dipaksa untuk kembali pada filosofi

yang sebenarnya, yaitu fungsi sosial rumah sakit.

Kemudian tadi menyangkut juga kemudian soal diskriminasi. Justru sekarang ini,

Bapak, dengan sudah 90% pasien itu JKN, maka bagi rumah sakit sebetulnya susah untuk

lagi memilahkan lagi. Justru pasien yang banyak adalah pasien JKN. Juga tadi mohon maaf

Bapak dari Lampung terjadi misalnya tahun 2014 ada kejahatan kemanusiaan tadi Bapak

menyebut oleh karena penelantaran waktu itu dan juga keluhan tentang tadi misalnya ditanya

kartunya apa, itu barangkali masih di … (menit 83.29 kurang jelas, red.) di mana peserta

masih belum banyak. Sekarang ini sekali lagi 90% pasien rumah sakit adalah pasien JKN.

Jadi, kalau sampai memisahkan yang umum dulu, baru JKN, saya kira sudah tidak mungkin

jalan sekarang karena hampir semua pasien adalah pasien JKN.

Kemudian tadi misalnya, apakah berarti pasien yang umum dengan pasien yang JKN

itu akan beda? Ini yang kita sebut dengan yang namanya tadi, standar rumah sakit … (menit

83.51 kurang jelas, red.) standar akreditasi namanya PAP, yaitu Perawatan dan Asuhan

Pasien di mana menyebutkan bahwa tidak boleh ada perbedaan standar pelayanan, baik itu

pasien itu di kelas mana pun dan dengan menggunakan biaya dari mana pun. Dalam hal tarif

misalnya, kami sampaikan ada Permenkes No. 85 Tahun 2015 tentang Standar Tarif Rumah

Sakit bahwa yang namanya jasa bagi profesi kesehatan di kelas mana pun rumah sakit adalah

sama. Artinya kalau Bapak pasien mau dirawat di kelas 3, kelas 2, sampai kelas yang paling

tinggi sekalipun sebetulnya jasanya sama. Ini disebabkan barangkali kalau dulu Bapak/Ibu

pernah barangkali pernah mendengar lelucon bahwa misalnya kalau di kelas VIP senyumnya

lebar misalnya begitu, kalau di kelas bawah tidak. Ini suka begitu, kami sekarang sampaikan

bahwa dengan standar tarif yang sama ini maka sebetulnya sama jasanya. Juga sebetulnya

tidak ada lagi perbedaan antara layanan profesi kita, di kelas yang mana pun akan sama.

Berikutnya lagi tentang bagaimana, mohon maaf Pak Bahar Buasan dari Bangka

Belitung tadi, pertama menyebut soal apakah regulasi yang ada itu sudah dilaksanakan

dengan baik. Kami akan sampaikan terus terang memang inilah barangkali perhatian kita

bersama bahwa regulasinya sudah lengkap menurut saya, sudah ada. Perlindungan pasien

sudah jelas, UU-nya kuat, sudah level UU, bukan lagi di level teknis, sudah level UU. Level

tadi juga sudah muncul misalnya tadi … (menit 85.17 kurang jelas, red.) tentang hak

kewajiban pasien sudah ada juga. Hanya memang barangkali kita akui sama-sama bahwa satu

pemahaman rumah sakit tentang isi regulasi juga barangkali perlu kita tingkatkan. Yang

kedua, tentu memang penegakan hukum dari regulasi itu yang kita harus jadikan prioritas.

Kalau itu kita tegakkan menurut saya sudah cukup aturannya. Jadi, kami berpandangan

memang yang masalah adalah dalam pelaksanaan regulasinya, bukan dalam hal kecukupan

atau keberadaan dari regulasinya. Ini tentu menjadi tugas kita bersama, baik kami di Persi

maupun juga nanti organisasi-organisasi seperti IDI, IPI, dan seterusnya maupun juga

barangkali tentu dorongan dari Bapak dan Ibu sekalian yang terhormat.

Nah, pasien ditolak karena tadi menyebut soal harus pakai Jasa Raharja. Betul Bapak

memang aturan di JKN kemarin memang begini, sebenarnya sejak tahun 1966 itu sudah ada

aturan Jasa Raharja yang menyebutkan bahwa semua pasien lalu lintas itu sebetulnya

ditanggung oleh Jasa Raharja dengan segala aturannya di sana. Ketika masuk JKN 2014

RDPU KOMITE III DPD RI MS III TS 2017-2018

(SELASA, 23 JANUARI 2018)

21

kemarin memang masih ada … (menit 86.15 kurang jelas, red.) aturan di mana orang yang

kecelakaan harus dengan Jasa Raharja, tapi juga punya kartu JKN KIS. Nah, ini memang

masalah kita bersama sampai tahun keempat ini. Maka, kemarin kami di Persi usul dalam

revisi draf Perpres tentang JKN akan ada, semoga diterima nanti, bahwa, kami juga kemarin

ikut dalam pembahasan di tingkat harmonisasi antarkementerian, akan dibuat

penyederhanaan supaya kalau ada pasien itu kecelakaan, maka yang pertama adalah kita

gunakan yang sudah jelas itu adalah kartu JKN-nya. Bahwa nanti kemudian akan ada jaminan

dari Jasa Raharja, itu merupakan wilayah kerja sama antara BPJS Kesehatan dengan Jasa

Raharja sendiri, tapi tidak harus merepotkan pasien maupun rumah sakit. Nah, tapi begitu pun

sebetulnya kami juga akui kalau sampai terjadi pasien kecelakaan di rumah sakit kok tidak

dilayani karena alasan belum jelas Jasa Raharja, tentu adalah sesuatu yang tidak benar. Siapa

pun itu, apa pun itu, kalau namanya kecelakaan dan kondisi darurat, maka tidak usah

bertanya soal biaya dari mana, tidak usah bicara soal administrasi, tapi kita tolong lebih dulu.

Ini adalah asas yang ada di rumah sakit sesuai dengan sejak tadi UU 2004 maupun 2009

semua menyatakan demikian ini.

Kemudian berikutnya, tentang nah kami terima kasih tadi Bapak Bahar telah

menyampaikan tentang kadang juga terjadi memang rumah sakit juga harus mengikuti aturan

dari JKN. Aturan itu misalnya menyebutkan soal syarat-syarat administrasi juga ada. Jadi

memang kalau memang dirasa bahwa pasien itu masih terhambat oleh karena administrasi,

ini juga bagian dari kita berusaha menyederhanakan aturan JKN yang mana itu adalah aturan

eksternal dari rumah sakit. Bukan internal rumah sakit, tapi aturan dari eksternal rumah sakit

di JKN. Semoga nanti dalam draf Perpres yang kemarin kita bahas bersama-sama arahnya

memang menyederhanakan sisi administrasi. Harapannya adalah tentu pelayanan pasien itu

aksesnya tidak terhambat hanya karena administrasi. … (menit 88.00 kurang jelas, red.) yang

kita perjuangkan bersama-sama. Kami sepakat tentang hal ini.

Tentang pasien disuruh pulang dalam keadaan belum tentu kondisinya kesehatannya

baik, nah ini sama, Bapak. Sekarang ini, standar pelayanan kesehatan itu akan terbuka, bisa

dibuka oleh masyarakat karena adalah bentuknya adalah Kepmenkes. Kalau bentuknya

adalah Kepmenkes berarti kan itu adalah akses publik untuk bisa dibuka bersama-sama.

Sebetulnya pasien maupun yang menjadi wakil pasien itu bisa mempelajarinya, kemudian

bisa menyampaikan, misalnya merasa bahwa ini belum sesuai dengan standar. Sangat boleh

dilakukan. Justru kita berharap dengan demikian ada tadi, ada komunikasi efektif dan peran

dari pasien maupun yang mewakili pasien untuk terlibat dalam proses kita menjaga mutu

layanan. Ini sudah ada regulasinya, hanya barangkali terus terang nuwun sewu sekali lagi

memang ini bicara dari segi implementasi yang kita masih menjadi perhatian kita bersama.

Satu lagi tadi yang Bapak Bahar sampaikan soal perawatan … (menit 88.51 kurang

jelas, red.) panjang umur. Ini namanya perawatan paliatif. Perawatan paliatif adalah upaya

kita untuk melakukan perawatan pada kondisi pasien yang di kondisi terminal. Artinya

begini, mohon maaf misalnya pasien dalam kondisi sudah terdiagnosa kanker, sudah

menyebar, tidak mungkin dioperasi karena sudah menyebar seluruh tubuh, kita berusaha

memberikan namanya perawatan paliatif. Paliatif ini sudah ada regulasinya juga, sudah ada

Permenkes-nya juga yang mengatur bagaimana kita berusaha untuk membuat pasien itu lebih

nyaman menjalani kehidupannya di masa-masa yang dalam secara ilmu adalah di terminal,

artinya di akhir hidupnya. Nah ini upaya kita sebelum ini memang terus terang kita seringkali

terjebak pada titik begini, begitu sudah terdiagnosa dengan kanker berat, tidak punya biaya,

akhirnya terpaksa dibawa pulang, dan akhirnya mohon maaf meninggal dalam keadaan yang

tidak terhormat, bahas kita, tidak terhargai. Nah, dengan konsep paliatif dan konsep JKN

sebetulnya menjadi baik karena berarti dia tetap bisa ditangani dengan biaya dari JKN.

Meskipun, kemarin kami memang usul memang dalam Perpres JKN bahwa ada suatu alokasi

khusus dari pemerintah untuk menganggarkan pelayanan bagi paliatif. Karena ini begini,

RDPU KOMITE III DPD RI MS III TS 2017-2018

(SELASA, 23 JANUARI 2018)

22

Bapak/Ibu kami sampaikan juga apa adanya bahwa kalau ada pasien paliatif di rumah sakit

itu berarti dia akan lama di rumah sakit. Itu artinya berarti tempat tidurnya juga dipakai lama.

Akibatnya akan menghambat kalau ada pasien lain yang sebetulnya juga butuh rumah sakit.

Maka, kita coba usulkan kepada pemerintah bahwa ada suatu tempat khusus untuk merawat

pasien paliatif ini sehingga tidak harus mengurangi akses tempat tidur bagi pasien lain yang

juga membutuhkan. Termasuk juga, dari segi alokasi pendanaannya supaya nanti nyaman.

Contoh di Jepang misalkan ada asuransi khusus untuk hari tua, maaf untuk penanganan

penyakit di hari tua. Ini adalah upaya mereka untuk dapat memberikan pelayanan yang

terbaik. Ini adalah sudah ada. Tadi beliau menyebut soal Dr. Maria, betul di Dharmais

memang kita sama-sama, memang demikian dan ini sudah berjalan di rumah sakit sebetulnya

walaupun sekali lagi sebelum JKN itu terhambat di biaya. Setelah JKN, kita berharap biaya

tidak masalah asalkan kita bisa memberikan perawatan paliatif itu sampai pada titik akhir

kehidupan dengan cara yang terhormat, demikian ini.

Berikutnya, tadi kepada Ibu Riri Damayanti. Terima kasih Ibu, Ibu mengingatkan soal

standar asuhan di keperawatan maupun pelayanan. Terus saya menyebut soal standar

akreditasi, Bu. Yang namanya dua, … (menit 91.04 kurang jelas, red.) terkait adalah: 1)

tentang pelayanan dan asuhan perawatan pasien; 2) tentang akses rumah sakit dan

kontinuitas. Ibu sangat tepat sekali menilai bahwa memang tadi beserta juga dengan Bapak

yang dari NTT soal kapasitas sistem. Jadi Bapak/Ibu, kami matur, sistem yang kompleks

adalah misalkan begini, rumah sakit … (menit 91.23 kurang jelas, red.) yang tempat tidurnya

baru 50, … (menit 91.27 kurang jelas, red.) baru 4 misalkan, tentu lebih sederhana. Tapi

rumah sakit seperti RSCM misalnya atau seperti Kariadi, Semarang, atau seperti Moewardi di

Solo misalnya, dengan bed-nya sekian ribu atau Hasan Sadikin, Bandung, maka komunikasi

akan risiko untuk tidak sambung. Ibu betul sekali. Maka dalam standar akses ini, ada yang

namanya proses transfer. Proses transfer pasien ini harus dilakukan dengan sangat cermat,

sangat rinci, ada check list detailnya untuk memastikan bahwa informasi itu selalu

bersambung dan tidak terputus. Karena memang, di rumah sakit itu yang paling lama shift-

nya adalah pasien. Itu 24 jam, sementara dokter cuma, sebentar, perawat cuma 8 jam

misalkan begitu. Yang harus di rumah sakit adalah pasien, maka kita jaga betul namanya

proses transfer. Nah ini memang dulu, maaf kami sampaikan apa adanya, dulu seperti ini

adalah hal yang barangkali kita anggap sebagai tidak terlalu penting sehingga dulu sehingga

terjadi bahwa transfer informasi itu tidak berjalan dengan baik. Akibatnya, tadi Ibu Riri betul

menyampaikan mestinya pasien ini tadi mestinya instruksinya apa, tidak tersampaikan. Jadi

akhirnya pada saat di berikutnya, tidak terlaksana. Ini memang merupakan bagian yang kita

perbaiki sama-sama, Ibu. Maka dalam standar akreditasi sejak 2012, ada namanya kontinuitas

pelayanan sehingga transfer harus benar. Tidak boleh terjadi nanti informasi penting apalagi

sampai terlupakan, tidak boleh. Makanya sekarang Bapak/Ibu kalau lihat di rumah sakit pada

jam-jam misalnya pergantian shift ya, sekitar menjelang jam 2, maka akan selalu ada proses

namanya briefing di mana perawat pada shift pagi akan bersama-sama dengan perawat yang

shift berikutnya itu keliling untuk menunjukkan ini pasien ini instruksinya begini, begini,

begini, dan seterusnya; pasien ini nanti rencana jam sekian akan dilakukan apa; pasien ini

pada jam segini akan dilakukan apa; itu disampaikan semua. Maka mohon ikut diawasi,

Bapak/Ibu sekalian, kalau sampai terjadi proses transfer ini kok seperti model dulu. Nuwun

sewu ini … (menit 93.17 kurang jelas, red.), dulu kan modelnya cuma jam 2 cuma say hello,

iya ya, udah ya, gantian ya. Sekarang tidak boleh, Bapak. Sekarang harus jelas ada proses

transfer betul-betul tercatat sampai betul-betul siapa yang tanggung jawab. Ini adalah upaya

kita untuk menjaga betul kualitas pelayanan supaya tidak terputus. Jadi terima kasih Ibu Riri

telah memberikan tepat ke sana. Semoga itu membuat tidak terjadi keputusan informasi dan

tidak terjadi perbedaan pelayanan hanya karena siapa yang jaga. … (menit 93.42 kurang

jelas, red.) saya kira, tetapi memang kadang-kadang kan bawaan kita sebagai orang manusia

RDPU KOMITE III DPD RI MS III TS 2017-2018

(SELASA, 23 JANUARI 2018)

23

kan terbawa oleh situasi emosional. Kita berusaha betul menjaga supaya dengan transfer yang

benar, maka berarti tidak boleh terjadi hanya karena tadi sekadar say hello, akhirnya tidak

tahu gejala-gejala lainnya. Kan bisa baca di catatan, oh tidak bisa, sekarang tidak boleh hanya

sekadar membaca catatan, tidak bisa. Harus ada proses transfer langsung dari orang ke orang

sekarang, ini memang keadaannya demikian sekarang ini.

Berikutnya, nuwun sewu … (berbicara bahasa Jawa, red.), ini saya orang Solo juga,

saya harus matur beliau, nggih. Seharusnya Ibu, dulu di awal JKN ketika baru yang menjadi

peserta itu memang baru kelompok PPI ya, maka memang orang suka mengatakan, nuwun

sewu ini juga saya, Bapak/Ibu, sebetulnya JKN itu sudah kita mulai rilisan sejak tahun 2007

dengan yang namanya Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin waktu itu. Hanya sekitar 30%

orang miskin yang dilayani waktu itu sehingga kesannya menjadi seolah-olah yang ini

menjadi beda. Nah maksud JKN 2014 itu ketika kita berusaha menuju ke semua orang masuk

menjadi peserta JKN, maka mulai ada perbedaan, mulai ada perbaikan karena berarti

sekarang kita tidak bisa lagi membedakan. Bapak/Ibu, sekarang kalau kita melihat di kartu

peserta JKN/KIS itu tidak ada lagi kata-kata ini PPI atau tidak. Semua adalah sama kartunya.

Harapan kita adalah menjadikan tidak boleh lagi ada bedanya karena kartunya apa. Bahkan,

JKN mengamanahkan regulasinya bahwa obat bagi pasien di Kelas III itu sama dengan

pasien di kelas paling atas, artinya pasien Kelas I. Harus sama persis, tidak boleh beda. Kalau

di sana, pasien Kelas I itu dilakukan USG, Kelas III juga USG. Kalau Kelas I dilakukan

operasi dengan benang apa, Kelas III juga sama benangnya apa. Itu adalah amanah JKN.

Yang beda hanya sisi akomodasinya, yaitu bahwa barangkali di Kelas I ada fasilitas apa,

Kelas III mungkin satu kamar berapa orang, itu saja bedanya. Tetapi soal obat, soal tindakan,

operasi, soal tindakan dan operasi harus sama. Ini adalah amanah JKN. Sekali lagi memang

terus terang kalau Bapak/Ibu bicara soal, loh kok di lapangan beda. Mari kita sama-sama

dorong supaya semua menjadi sesuai dengan regulasi, ini yang kita dorongkan. Karena

regulasi sudah ada sebetulnya, sudah ada dengan rinci ada semua.

Yang kedua tadi tentang kekurangan tenaga, matur sangat adalah memang ini soal

kekurangan tenaga ini memang … (menit 96.02 kurang jelas, red.). JKN itu mengamanahkan

supaya rumah sakit itu terus efisien. Artinya memang dipatok dengan tarif sekian harus jalan.

Maka memang … (menit 96.13 kurang jelas, red.) kita berusaha efisien, termasuk dalam

efisiensi SDM. Tetapi, di sisi lain memang kalau SDM kurang juga risiko terhadap patien

safety sehingga kita memang berusaha merusak keseimbangan. Nah kami kan sekarang

sedang menyusun revisi tentang kualifikasi rumah sakit, termasuk untuk menyusun standar

ketenagaan sehingga nanti ada kata-kata misalkan bahwa kalau Anda punya sekian pasien,

harus punya sekian perawat, itu jelas. Nuwun sewu, kami akui memang terus terang sebelum

era JKN ini memang dan sebelum era kita banyak bicara soal standar, ya kita suka mendapati

memang rumah sakit itu ya kadang-kadang tenaganya memang masih kurang, tapi

dipaksakan jalan. Jadi dengan konsep JKN ini kalau sampai rumah sakit itu menjalankan

layanan tidak sesuai standar, tidak dibayar oleh BPJS Kesehatan. Jadi ya nuwun sewu dalam

bahasa saya, nuwun sewu ini dalam bahasa orang Solo, … (berbicara bahasa Jawa, red.).

Tetapi intinya begini, karena memang tarifnya pun demikian, antara demikian, makanya

menyebabkan rumah sakit sekarang tidak boleh main-main. Begitu kita main-main, tidak

akan dibayar oleh BPJS Kesehatan. Ya nuwun sewu ini sebetulnya kan rendah ya. Mungkin

kalau bagi Bu Riri kan secara psikologis kok … (menit 97.17 kurang jelas, red.) harkat kita

cuma karena uang kita mau, tapi ya memang kenyataan demikian sekarang. Kalau tidak

karena JKN, karena BPJS, maka kita sekarang rumah sakit yang main-main, pelayanan yang

tidak sesuai standar, apalagi … (menit 97.24 kurang jelas, red.) tidak akan dibayar. Jadi

memang demikian.

Kemudian berikutnya lagi, tadi saya matur nuwun sekali juga bahwa telah menyebut

soal risiko. Risiko tentang misalkan infeksi penyakit, risiko tentang paparan radiasi, risiko

RDPU KOMITE III DPD RI MS III TS 2017-2018

(SELASA, 23 JANUARI 2018)

24

tentang kejadian kecelakaan kerja, itu memang di rumah sakit sangat besar risikonya. Dan ini

terus terang, dalam tarif JKN belum diperhitungkan. Akhirnya kami masih suka mengeluh,

masih suka menjerit kepada Ibu Menteri Kesehatan maupun Menteri Keuangan bahwa

mohon bahwa sebaiknya juga masuk dalam perhitungan tarif. Jadi, perawat misalkan harus

kita lakukan setiap tahun kita lakukan proses vaksinasi, kita tes kesehatan, kita beri makanan

tambahan, dan yang diradiasi radiologi misalkan itu harus ada, perlakukan khusus, orang di

laboratorium yang setiap hari harus mengelola sampel darah penuh bakteri juga kita lakukan

perlindungan, itu memang belum masuk, tapi itu betul sekali. Maka tadi saya sebutkan

mohon maaf, dan saya katakan tadi adalah, mohon maaf, kita usulkan barangkali tidak,

khusus tentang perlindungan pasien, tapi menjadi perlindungan pelayanan kesehatan.

Sehingga, ada sisi perlindungan pasiennya juga masuk, sisi perlindungan tenaga medis juga

masuk, jadi barangkali adalah sudah mencakup semuanya ke sana ini. Matur nuwun sangat.

Kemudian soal malpraktik, dalam UU Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004

maupun UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 tadi yang Bapak, nuwun sewu tadi Bapak dari,

mohon maaf tadi nuwun sewu Bapak, saya agak lupa namanya Bapak, Bapak Abdurrahman

juga menyebut tadi. Sebetulnya sudah jelas aturan di sana. Nah, di sana ada dua pembagian.

Ada yang sifatnya merupakan pelanggaran secara individu, ada yang pelanggaran secara

corporate, Bapak. Individu artinya adalah individu oleh tenaga medis yang bersangkutan, itu

adalah artinya secara individual. Ada sisi di sana berarti ada ancaman juga, baik dari segi

perdata maupun pidana juga ada. Itu rinci betul di UU Praktik Kedokteran sampai UU Rumah

Sakit jelas ada angkanya. Artinya, angka itu dalam arti angka kurungan maupun angka

dendanya ada jelas. Nah kalau yang terjadi ini dianggap oleh karena bersifat corporate,

artinya merupakan suatu kejahatan bersama-sama satu rumah sakit, maka yang kena rumah

sakitnya kena semua. Jadi ada sisi individual, ada sisi corporate. Bagi direksi, bahkan ada sisi

tanggung renteng. Artinya, kalau kesalahan itu terjadi misalkan begini, ada dokter yang

berpraktik tanpa surat izin praktik, itu dokternya kena, direksinya juga kena. Kalau terjadi

misalkan yang seperti itu kok ternyata kok cukup banyak, ini berarti kesalahan satu rumah

sakit. Berarti harus dihukum juga satu rumah sakit. Bapak Ibu, apakah sudah ada dokter yang

dihukum karena malpraktik secara pidana? Sudah. Apakah baru satu? Tidak, sudah beberapa.

Apakah ada rumah sakit yang sudah direksinya kena ikut tanggung renteng karena suatu

malpraktik? Sudah, tidak sedikit terus terang. Ini sudah ada. Ya tentu saya tidak menyebut

rinci, tetapi ada, sudah. Baru saja pun juga ada juga, sudah ada.

Nah kemudian ini artinya sudah ada bukti memang itu bisa dilakukan. Hanya memang

sekali lagi kalau kita kemudian mengedepankan, lebih mengedepankan kepada sisi

penegakan hukum dalam arti represifnya, kami khawatir bahwa akan membuat nanti teman-

teman di pelayanan itu menjadi serba takut, serba khawatir, serba tidak berani. Makanya

sampai sempat muncul gambar lucu di media massa, di media sosial bahwa kalau ada pasien

datang itu, terus dokter harus membawa pengacara. Itu karena saking, digambarkan saking

takutnya nanti kalau ada sampai ada apa-apa. Karena memang saat ini kan, mohon maaf tadi

saya sebutkan di depan bahwa kami terikat betul dengan klausul untuk tidak boleh membuka

rahasia kedokteran. Tetapi kalau Bapak/Ibu lihat di media sosial setiap hari selalu muncul.

Hari ini pun juga muncul di media sosial kalau ada tentang sebuah rumah sakit katanya

menelantarkan pasien, nyebut nama pasiennya, nyebut nama dokternya. Tetapi kami, tidak

boleh melakukan itu sebelum ada suatu tuntutan resmi dari pasien. Nah ini menyebabkan

nanti teman-teman kami di lapangan itu suka mengatakan, kami takut sekarang mau ngapa-

ngapain karena kalau ada apa-apa, kami kena. Nah ini mohon nanti kalau memang semangat

untuk kita menyusun UU Perlindungan apa pun nanti namanya ini muncul, maka kita harus

tetap mengedepankan bahwa jangan sampai sisi aturan interpresif ini menyebabkan terjadi

suatu intensive medicine. Artinya, dokter itu menjadi selalu membela diri, selalu menahan

diri, tidak berani melakukan tindakan hanya karena khawatir kalau dilakukan suatu

RDPU KOMITE III DPD RI MS III TS 2017-2018

(SELASA, 23 JANUARI 2018)

25

penuntutan. Ini kita saling menjaga, kita melindungi betul pasien, sangat setuju kami, tetapi

juga kita menjaga supaya tetap terjadi suatu hubungan relasi terapeutik yang positif bagi

kesembuhan pasien.

Dan berikutnya, tadi juga sebetulnya sudah kami jawab, Pak Abdurrahman, tentang

… (menit 101.58 kurang jelas, red.), sudah jalan Pak, sudah berlangsung, sudah ada

penuntutan, sudah ada pemidanaan sudah berjalan, sudah ada, marginnya sudah banyak.

Mohon maaf kalau di Jakarta ini guyonannya Pak, guyonannya di Jakarta ini, tiada hari tanpa

berita soal gugatan rumah sakit. Ini guyonannya saking memang sudah menjadi hal yang

banyak. Nah inilah yang merupakan kami maksud tadi bahwa kekhawatiran kami ini

menyebabkan teman-teman di lapangan menjadi takut, menjadi defensif, menjadi tidak berani

melangkah.

Nah, tentang khusus mengenai tadi Pak, apakah prinsip begini, mendahulukan

kegawatan? Betul, Pak. Dari segi profesi, dari segi rumah sakit, semua mengatakan bahwa di

IGD itu kita mendahulukan kegawatan. Tidak ada ceritanya di IGD ditanyai dulu soal punya

uang atau tidak. Mohon maaf ini kalau ini kan lagunya Iwan Fals dulu kan begitu ya dulu

lagu Iwan Fals. Tetapi, kan sekarang dengan kondisi JKN, Pak, maka dengan JKN itu, rumah

sakit sebenarnya lebih aman. Dalam arti, sudah jelas ada yang menanggung sebetulnya, yaitu

JKN. Perkara yang menanggung kurang, soal nanti, soal lain, Pak. Kita bicara soal JKN, soal

lain, tetapi intinya sudah ada yang menanggung. Jadi sebetulnya sekarang ini tidak masalah.

Apakah kalau darurat harus pakai rujukan? Tidak. Kalau memang darurat, maka tidak perlu

rujukan, bisa langsung ke rumah sakit dan kita layani. Itu tidak masalah kita layani semua.

Bahkan di rumah sakit yang belum bekerja sama dengan BPJS kesehatan pun tetap dilayani,

sama-sama. ini sudah regulasinya demikian.

Nah sekarang masuk yang tentang tadi, apakah patient safety perlu undang-undang

baru? Kalau kami berpandangan, kita lebih mengusulkan tentang penajaman, mendorong

implementasi di aturan yang sudah ada. Toh sudah ada level undang-undang yang mengatur

soal hak pasien juga sehingga saya kira kami khawatir nanti kalau misalnya pun harus ada,

berarti sesuatu yang sifatnya khusus. Usul kami tadi adalah UU yang melindungi pelayanan

kesehatan. Itu barangkali lebih mampu mencakup semuanya.

Bapak Sjafruddin dari NTT, mohon izin. Sudah kami tadi betul, Pak, kami tadi sudah

gambarkan. Rumah sakit tipe D yang pasiennya cuma 50, dokternya baru 4 misalkan,

perawatnya baru mungkin 30-an, … (kurang jelas, red.), gedungnya cuma satu lantai, apa-apa

cepat, apa-apa mudah. Tetapi kalau sudah seperti tadi, RSCM, mungkin Kariadi, Hasan

Sadikin, Moewardi di Solo misalkan. Maka, kadang-kadang kita saja tidak saling kenal

saking banyaknya perawatnya. Akhirnya, terjadi tadi maka risiko salah semakin besar. Untuk

itulah, maka kompleksitas itu harus selalu diikuti dengan membangun sistem yang semakin

kuat, harus begitu. Semakin besar rumah sakit, harus semakin kuat sistemnya untuk

meminimalkan risiko salah. Karena situasi rumah sakit itu juga akhirnya terimbas oleh sistem

eksternal, ini yang kami sampaikan tadi. Tadi Bapak Iqbal, nggih mohon izin, juga berarti

maksudnya juga berpikir tentang risiko terhadap suatu faktor eksternal. Misalnya tadi soal

JKN, JKN punya sistem yang mengatur. Karena mengatur, maka rumah sakit juga harus

menyesuaikan dengan membuat sistem eksternal, yaitu JKN misalkan. Ini adalah upaya kita

supaya nanti menjadi sinkron karena sekali lagi sistem yang semakin kompleks, maka

risikonya semakin besar terjadi kesalahan. Bukan berarti lantas … (kurang jelas, red.) banyak

salah, bukan begitu, tetapi potensi salahnya semakin besar. Ini harus sadari bersama.

Sekarang, mohon izin Pak Iqbal, kalau bicara khusus tentang apakah ada titik akhir di

mana perlindungan itu harus selesai, dari sisi kami pemberi layanan kesehatan, sebetulnya

pasien itu adalah pasien. Siapa pun dia adalah pasien. Bahwa kemudian dia punya status

hukum yang lain adalah merupakan wilayah yang lain. Contoh sederhana saja. Kami di

rumah sakit sering menerima polisi datang yang ternyata adalah narapidana. Kami biasa

RDPU KOMITE III DPD RI MS III TS 2017-2018

(SELASA, 23 JANUARI 2018)

26

menerima, tidak masalah. Kami tangani dia sebagaimana seorang pasien. Bahwa kemudian di

situ ada proses penjagaan, monggo itu soal aparat penegak hukum. Atau misalkan begini,

Pak, kami juga suka mendapati misalnya pasien datang dengan luka tembak misalkan, di

kaki. Ternyata dia adalah memang dalam pengejaran polisi misalkan, tertangkap, tertembak,

ya tetap layani biasa. Bahwa di luar itu ada soal polisinya mau apa, monggo. Nah maka

seharusnya sebetulnya kalau dalam pendapat kami, ketika misalnya memang ada seseorang,

tanpa menyebut nama, yang kemudian dia itu mengalami kecelakaan, masuk rumah sakit

adalah suatu standar pasien biasa, yaitu standar pasien kecelakaan saja. Bahwa dia kemudian

ada kaitan dengan hukum, itu soal lain sebetulnya. Sehingga, memang sebetulnya kalau kami

boleh mengatur, maka tentu sebetulnya mohon juga rumah sakit dan dokter itu tidak usah

diseret-seret ke soal hukumnya sebetulnya. Kita sebetulnya kan berharap kalaupun memang

ada, katakanlah misalkan nanti ada suatu seorang narapidana atau seorang “tersangka”

dirawat di rumah sakit, mohon kami tidak usah ditanya soal status hukumnya. Cukup kami

ditanya soal apa sih sakitnya. Sepanjang itu memang dibolehkan secara hukum untuk kita

buka. Karena membuka rahasia kedokteran adalah hanya boleh atas suatu kasus kriminal atas

perintah dari pengadilan atau karena permintaan dari lembaga berwenang, itu kami baru

boleh membuka. Maka kalau ada kita merawat seorang pasien ditanya mengenai misalnya,

tentang ini bagaimana ininya, kami tidak boleh menjawab memang. Maka kalau sampai

terjadi, Bapak pernah melihat ada yang akhirnya menjawab, akhirnya malah menjadi

masalah. Mohon izin begitu, Pak, kami tidak usah menjawab lebih lanjut.

Ibu Fahira Idris, kami sudah banyak berkenalan secara media sosial walaupun hanya

membaca beliau. Ibu, ada suatu perubahan besar dalam pola hierarki perawatan pasien di

rumah sakit. Sebelum era patient safety tahun 2006, maka dokter itu sebagaimana seperti

seorang kapten kapal yang dia punya kewenangan penuh, mau hitam/putih atas pasien.

Semua orang harus manut pada dokter. Itu era dulu, itu namanya era capten of the ship,

dokter sebagai capten on the ship. Tetapi memasuki era patient safety, maka kita

kembangkan konsep namanya menjadi dokter adalah seperti seorang manajer, manajer

pelayanan. Sehingga, dia akan melakukan proses manajerial, mengkoordinasikan seluruh

orang yang terlibat dalam pelayanan bagi pasien. Jadi, sekarang pasien itu menjadi center.

Kalau dulu center-nya dokter. Dokter ngomong A, pokoknya harus manut, semua pasien

manut, semua perawat manut. Sekarang kalau pasien itu menjadi center, maka pasien itu

harus didekati oleh banyak profesi. Ada perawat, ada analis kesehatan, ada fisioterapi,

kemudian ada lagi radiografer, termasuk juga ada psikolog. Nah itu semua adalah sama-sama

merawat seorang pasien. Akhirnya, pasien itu akan merasa dia menjadi seorang yang

diistimewakan karena semua orang mendekati ke dia. Dokter menjadi seorang manajer,

dalam arti membuat suatu mengkoordinasikan pelayanan tadi, namanya menjadi DPJP

(Dokter Penanggung Jawab Pelayanan). Ini adalah konsep sekarang, Ibu. Jadi memang,

apakah bagaimana tanggung jawab hukumnya? Berarti juga sekarang akan bergeser bahwa

kalau dulu orang mengatakan, yang salah selalu dokternya tok karena … (kurang jelas, red.).

Sekarang tidak, semua profesi sekarang sadar bahwa dia juga terlibat dalam pelayanan

sehingga kalau ada masalah pada pasien, maka semua profesi ikut tanggung jawab, secara

hukum juga. Bahwa kemudian di atas itu semua ada direksi yang menjadi pengelola

pelayanan kesehatan, tadi kami atur betul ada tanggung renteng pada direksi maupun juga ada

kemudian terjadi suatu yang disebut dengan kesalahan korporat, yaitu suatu rumah sakit

dianggap salah, artinya kesalahan sistem. Misalnya salah sistem itu misalnya begini, direktur

tidak pernah membuat SPO, itu kesalahan sistem; direktur tidak pernah mengecek SIP dokter,

itu kesalahan sistem; direktur misalnya membuat aturan bahwa pasien itu boleh dipulangkan

sebelum sembuh, itu berarti kesalahan sistem. Itu berarti yang salah adalah rumah sakit,

manajemen salah semua. Yang kemarin kita lihat satu contoh di Jakarta, barangkali

Bapak/Ibu pernah mendengar kasus karena ada kasus dianggap penelantaran dan

RDPU KOMITE III DPD RI MS III TS 2017-2018

(SELASA, 23 JANUARI 2018)

27

keterlambatan respons, maka akhirnya kan seluruh manajemen diganti kemarin. Keputusan

… (kurang jelas, red.) adalah manajemen dihukum dengan dilepaskan semua dari tugasnya,

diganti semua yang baru karena adalah dianggap karena kesalahan manajerial.

Yang berikutnya, bagaimana dengan Persi? Kami di Persi memiliki namanya,

Makersi, yaitu Majelis Kehormatan Rumah Sakit Indonesia yang tugasnya adalah menyusun

kode etik rumah sakit dalam hal pelayanan, termasuk dalam menghadapi pelayanan pada

pasien. Kalau sampai terjadi suatu masalah, layanan rumah sakit tidak sesuai standar, maka

saya akan turun bersama-sama dengan BPRS, yaitu Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia,

ini adalah bentukan dari Kemenkes untuk terjun dan melihat, mengamati, mencermati,

menelisik, dan akhirnya mendudukkan apa masalahnya. Kami tentu harus profesional bahwa

yang salah tetap salah, yang benar kita tunjukkan benar. Dan, asas yang utama adalah sekali

lagi patient safety dan kemaslahatan bagi masyarakat. Itu yang kita ambil karena

bagaimanapun tentu kita tidak boleh mengesampingkan sisi kemaslahatan itu terkalahkan

oleh sisi kepentingan rumah sakit, tidak. Rumah sakit tetap harus pada asas untuk membela

kemaslahatan masyarakat. Itu yang kita utamakan demikian. Maka, apakah ada rumah sakit

yang ditegur Persi? Pernah, tentu jelas. Untuk setiap izin rumah sakit itu, Persi akan terlibat,

yaitu untuk menilai kesiapannya dari segi kode etik rumah sakit maupun persiapan standar

rumah sakit, itu kami terlibat. Jadi kalau sampai terjadi rumah sakit masalah, Persi akan

terlibat juga walaupun memang Persi ini adalah bekerja secara moral. Artinya, kami memang

tidak punya kewenangan untuk melakukan hukuman kepada rumah sakit, tetapi kita bisa

merekomendasikan. Yang punya kewenangan adalah nanti di Kemenkes untuk mengambil

sikap.

Tentang penjelasan arbitrase, sengketa medis, ini kami malah terima kasih, Bu. Nanti

kalau betul usul kami tadi diterima bahwa ada semacam UU Perlindungan Pelayanan

Kesehatan, maka ini menjadi bagian penting. Itu sengketa medis. Sengketa medis itu

diupayakan melalui jalur yang resmi di mana ada beberapa orang yang memang telah

mendapatkan izin dari MA untuk menjadi seorang arbitrase atau menjadi penyelesaian

sengketa medis nonlitigasi, artinya di luar pengadilan. Itu boleh dilakukan. Justru dengan

kemaslahatan bahwa yang dicari adalah kemanfaatan bersama, misalnya bahwa tidak perlu

harus mengungkap rahasia kedokteran terlalu banyak. Kalau … (kurang jelas, red.) otomatis

harus membuka rahasia kedokteran, kan juga risiko. Dalam konsep sengketa medis itu

berusaha mencari keseimbangan hak dan kewajiban para pihak, yaitu hak keseimbangan

antara pasien penerima pelayanan maupun keluarganya dan hak dari penyedianya. Masing-

masing juga punya kewajiban. Diharapkan terdapat penyelesaian yang menjadikan

kemanfaatan tertinggi bagi kedua pihak. Ini adalah tujuan dari penyelesaian sengketa medis

secara nonlitigasi.

Nah barangkali kalau kami sekali lagi matur, kami sangat menghargai betul upaya

untuk menuju melindungi pasien dan kami berpendapat sudah ada regulasinya. Jadi kalau

misalnya akan disusun undang-undang baru, kami usulkan adalah namanya menjadi UU

Perlindungan Pelayanan Kesehatan, termasuk tentu adalah ada perlindungan pasien, jelas,

dan juga ada sisi perlindungan bagi para pemberi pelayanan kesehatan.

Kami mohon izin, mohon maaf bila banyak kurangnya. Semoga dapat menjadikan

masukan bagi Bapak/Ibu sekalian.

Terima kasih.

RDPU KOMITE III DPD RI MS III TS 2017-2018

(SELASA, 23 JANUARI 2018)

28

PIMPINAN RAPAT: FAHIRA IDRIS, S.E., M.H. (KETUA KOMITE III DPD RI)

Tepuk tangan dulu. Luar biasa. Terima kasih kepada Dr. Tonang. Jadi artinya

memang kebutuhan akan UU Perlindungan Pasien merupakan hal yang penting diwujudkan

dengan mengadopsi prinsip patient safety sebagai bentuk nyata keberpihakan pada

perlindungan pasien dan menjadikan pasien sebagai pusat pelayanan kesehatan.

Kemudian juga yang kedua, mungkin pengaturan UU Perlindungan Pasien harus

memuat hak dan kewajiban berimbang antara pasien dan tenaga kesehatan dengan kejelasan

mekanisme komplain dan saksi secara proporsionil

Ketiga, pasca berlakunya JKN Kesehatan, berdampak positif untuk perlindungan

pasien, baik jaminan akses finansial maupun layanan. Meski demikian, perlu terus dibenahi

agar dapat sesuai dengan harapan publik.

Dan terakhir, mengenai pembentukan UU Perlindungan Pasien memang harus

memuat pula paradigma relasi dokter dan pasien yang didasarkan pada horisontal kontraktual

yang seimbang. Kesamaan hak dan kewajiban dokter dan pasien sebagai subjek hukum

didasarkan pada sikap saling percaya serta memiliki hak dan kewajiban yang berkonsekuensi

pada tanggung jawab perdata maupun pidana.

Dengan demikian, kita telah menyelesaikan agenda rapat dengar pendapat umum hari

ini. Maka dengan mengucapkan hamdallah, kita akhiri RDPU ini. Semoga Allah SWT

senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua.

Wabillahitaufik walhidayah

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

KETOK 3X

RAPAT DITUTUP PUKUL 12.22 WIB