determinan kemauan membayar pajak bumi dan ...repository.ub.ac.id/9952/1/wahyu sadriana...
TRANSCRIPT
DETERMINAN KEMAUAN MEMBAYAR
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERKOTAAN DI KOTA MALANG
TESIS
Disusun Untuk memenuhi persyaratan
memperoleh gelar Magister
Oleh:
WAHYU SADRIANA WIDIASTARI
NIM. 166030111111012
PROGRAM MAGISTER ILMU ADMNISTRASI PUBLIK
KEKHUSUSAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
IDENTITAS TIM PENGUJI
JUDUL TESIS:
DETERMINAN KEMAUAN MEMBAYAR PAJAK BUMI DAN BANGUNANPEROTAAN DI KOTA MALANG
Nama Mahasiswa : Wahyu Sadriana Widiastari
NIM : 166030111111012
Program Studi : Magister Ilmu Administrasi Publik
Minat : Perencanaan Pembangunan Daerah
KOMISI PEMBIMBING:
Ketua : Dr.Ratih Nurpratiwi, M.Si
Anggota : Firda Hidayati, S.Sos, MPA, DPA
TIM DOSEN PENGUJI:
Dosen Penguji 1 : Dr. Hermawan, S.IP, M.Si
Dosen Penguji 2 : Sujarwoto, S.IP., M.Si., Ph.D
Tanggal Ujian : 20 Desember 2017
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Wahyu Sadriana Widiastari lahir di Malang pada tanggal 10 Januari 1983merupakan putri dari ayah Abdul Karim (Alm) dan ibu Eko Pujiati. Jenjangpendidikan mulai dari pendidikan SD s.d SMA di Kota Malang. Lulus SMA,pendidikan dilanjutkan pada program DIII- Akuntansi di Politeknik Negeri Malang.Lulus program DIII-Akuntansi pada tahun 2005, penulis diterima sebagai CPNSPemerintah Kota Batu dengan penempatan sebagai staf pada Dinas PendapatanDaerah. Selama bekerja di Kota Batu, penulis mendapatkan kesempatanmenempuh studi lanjutan, yaitu S1 Ekonomi Universitas Widyagama, dan yangterakhir sampai saat ini sedang menyelesaikan program Magister IlmuAdministrasi Publik di Universitas Brawijaya.
Malang, 20 Desember 2017
Penulis,
Wahyu Sadriana Widiastari
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberikan berbagai
kemudahan dalam menyelesaikan karya ilmiah ini, dan menyampaikan terima
kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, Bapak
Prof.Dr.Bambang Supriyono, M.S.;
2. Ketua Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik Universitas
Brawijaya, Bapak Dr.Irwan Noor, M.A. yang penuh dedikasi dan
keterbukaan;
3. Sekretaris Program Magister Ilmu Administrasi Publik Universitas Brawijaya,
Ibu Dr.Firda Hidayati, S.Sos., M.P.A. beserta staf akademik atas bantuan
dan kemudahan administrasi pendidikan;
4. Komisi Pembimbing, Ibu Dr. Ratih Nurpratiwi, M.Si., dan Ibu Firda Hidayati,
S.Sos, MPA, DPA yang penulis hormati dan taati atas segala bimbingan dan
saran demi keberhasilan penelitian dan penulisan tesis;
5. Dosen Penguji Bapak Dr. Hermawan, S.IP, M.Si dan Bapak Sujarwoto, S.IP.,
M.Si., Ph.D atas segala saran dan perbaikan dalam penyusunan tesis;
6. Para dosen pada program Magister Ilmu Administrasi Publik Universitas
Brawijaya atas segala ilmu yang telah diberikan, semoga menjadi ilmu yang
bermanfaat;
7. Orang tua penulis Bapak Abdul Karim (Alm) dan Ibu Eko Pujiatii yang telah
meridhoi dan mendoakan setiap upaya yang penulis lakukan;
8. Suamiku tercinta Loehing Bayoe Ajimpoe yang dengan sabar mendoakan
dan mendukung penulis, serta anak-anakku tersayang Raffasya Alfarizqi dan
Kiandra Azkiya Azkadina atas semua keceriaan yang diberikan;
9. Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Malang Bapak
Ir. Sapto P. Santoso, M.Si yang telah memberikan ijin pada penulis untuk
menempuh program studi magister melalui beasiswa Bappenas serta
dukungannya atas penulisan tesis;
10. Sekretaris Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Kota Malang Bpk
BaihaqS.Pd., SE., M.Si atas dukungan dan motivasi kepada penulis;
11. Kasubbag Perencanaan dan Keuangan Badan Pengelola Keuangan dan
Aset Daerah Kota Malang Ibu Emmie Ristantien, SE., MM. atas dukungan
dan motivasinya;
12. Kasubbid Penagihan Badan Pelayanan Pajak Daerah Kota Malang Ibu Luluk
Khafifah atasbantuan dan partisipasinya dalam penulisan tesis ini;
13. Kepala Pusbindiklatren Bappenas yang telah memberikan kesempatan dan
dukungan materiil dalam menempuh studi Magister Ilmu Administrasi Publik
Universitas Brawijaya;
14. Rekan-rekan Tailor Made XIII yang senantiasa menjadi tempat bertukar
pikiran selama menempuh pendidikan dan menyelesaikan penelitian ini.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat, nikmat, hidayah dan
anugerah-Nya kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan, bantuan,
doa dan dukungan kepada penulis.
Malang, 20 Desember 2017
Penulis,
Wahyu Sadriana Widiastari
Abstrak
Wahyu Sadriana Widiastari, Program Studi Magister Ilmu AdministrasiPublik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya. 2017. “DeterminanKemauan Membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang”.Komisi Pembimbing: Ketua: Dr. Ratih Nur Pratiwi, M.Si dan anggota: FirdaHidayati, S. Sos., MPA., DPA.
Salah satu prinsip keuangan daerah yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah diperlukankewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri yang didukungoleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Keuangandaerah ini diperlukan untuk melaksanakan pembangunan daerah demi mencapaikesejahteraan masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2009tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah dilakukan penguatanperpajakan daerah, yaitu dengan menjadikan Pajak Bumi dan Bangunan-Perkotaan sebagai komponen dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namunsangat disayangkan, Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malangmemiliki piutang terbesar dari semua jenis pajak di Kota Malang. Oleh karenaitulah maka perlu untuk diketahui determinan kemauan membayar Pajak Bumidan Bangunan Perkotaan di Kota Malang seperti sanksi, pelayanan on the spot,dan reputasi petugas pajak, sehingga dapat mengurangi piutang Pajak Bumi danBangunan Perkotaan.
Tujuan penelitian ini adalah (1) Menguji hubungan Sanksi dan kemauanwajib pajak membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang;(2)Menguji hubungan persepsi tentang pelayanan on the spot dan kemauanmembayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang;(3)Mengujihubungan reputasi petugas pajak dan kemauan membayar Pajak Bumi danBangunan Perkotaan di Kota Malang.(4) Menguji hubungan sanksi, persepsitentang pelayanan on the spot, dan reputasi petugas pajak secara bersama-sama terhadap kemauan membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan diKota Malang.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Metode penelitianyang digunakan adalah metode survey, menggunakan teknik simple randomsampling dengan responden berjumlah 100 responden orang. Sedangkan teknikanalisis datanya menggunakan tes validitas, reliabilitas, uji asumsi klasik dananalisis regresi linier berganda.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah (1) Terdapat hubungan positifsecara parsial antara variabel sanksi, pelayanan on the spot, dan reputasipetugas pajak dengan variabel kemauan membayar Pajak Bumi dan BangunanPerkotaan di Kota Malang; (2)Terdapat hubungan positif secara simultan antarasanksi, persepsi tentang pelayanan on the spot, dan reputasi petugas pajakterhadap variabel kemauan membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan diKota Malang. Secara simultan ketiga variabel independen tersebut memberikankontribusi sebesar 88,3% terhadap kemauan membayar Pajak Bumi danBangunan Perkotaan di Kota Malang.Sedangkan 11,7% kemauan membayarPajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang dipengaruhi oleh variabellain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
x
Kata Kunci: Kemauan Membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan, Sanksi,Persepsi tentang Pelayanan on the Spot, Reputasi Petugas Pajak.
xi
ABSTRACT
Wahyu Sadriana Widiastari, Master Program of Public Administration,Faculty of Administratrative Science, Universitas Brawijaya. 2017. “DeterminantWillingness To Pay Land and BuildingTaxes in Malang City”. Supervisor : Dr.Ratih Nur Pratiwi, M.Si and co-supervisor: Firda Hidayati, S. Sos., MPA., DPA.
One of the principes of regional finance contained in Law Number 23Tahun 2014 is the need for authority and the ability to dig up its own financialresources supported by the financial balance between central and localgoverments.Regional finance is important in order to achieve community welfare.Based on Law Number 28 Tahun 2009 has been strengthened local taxation bymaking Land and BuildingTaxes as a component in Local Revenue.Unfortunately, Land and BuildingTaxes in Malang City has the biggestreceivables from all types of taxes. Therefore, it is necessary to know thedeterminants on willingness to pay Land and BuildingTaxes in Malang City suchas sanction, perception about on the spot service, and reputation of tax officer toreduce receivables of Land and BuildingTaxes.
The purposes of this research are to examine: (1) the relationship ofsanction on willingness to pay Land and BuildingTaxes; (2) the relationship ofperception about on the spot service on willingness to pay Land andBuildingTaxes; (3) the relationship of tax officer’s reputation on willingness to payLand and BuildingTaxes; (4) the relationship of sanction, on the spot service, andtax officer’s reputation simultaneously on willingness to pay Land andBuildingTaxes.
This research uses quantitative approach.The researched method usedsurvey method and using simple random sampling technique amount to 100respondents. The data were analysed using validity, reliability test, classicalassumption test, and multiple regression.
The conclusion of this research are: (1) there is partial relationshipbetween sanction, perception about on the spot service, and tax officer’sreputation on willingness to pay Land and BuildingTaxes; (2) there issimultaneously relationship between sanction, perception about on the spotservice, and tax officer’s reputation on willingness to pay Land andBuildingTaxes. The contribution of independent variables have an effect of 88,3%of willingness to pay Land and BuildingTaxes in Malang and 11,7% influenced byother variables that weren’t examined in this research.
Keywords: Willingness to pay Land and BuildingTaxes, sanction, perceptionabout on the spot service, tax officer’s reputation
xii
xiii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis dengan judul
“Determinan Kemauan Membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota
Malang”.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan secara parsial antara
sanksi, persepsi tentang pelayanan on the spot, reputasi petugas pajak dan
kemauan membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang.
Tujuan selanjutnya adalah untuk menguji hubungan antara sanksi, persepsi
tentang pelayanan on the spot, reputasi petugas pajak secara bersama-sama
terhadap kemauan membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota
Malang.
Penulis menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar tulisan ini dapat
bermanfaat bagi yang membutuhkan serta menjadi masukan bagi peneliti lain
yang tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik yang sama.
Malang, 20 Desember 2017
Penulis,
Wahyu Sadriana Widiastari
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………… i
LEMBAR PENGESAHAN ...............................................................................
IDENTITAS PENGUJI ....................................................................................
PERNYATAAN ORISINALITAS ....................................................................
SERTIFIKAT BEBAS PLAGIASI ....................................................................
RIWAYAT HIDUP ...........................................................................................
UCAPAN TERIMA KASIH ..............................................................................
Ii
iii
iv
v
vii
viii
RINGKASAN ..................................................................................................
SUMMARY .....................................................................................................
x
xii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... xiii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………... xiv
DAFTAR TABEL ………………………………………………………………….
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................
xxi
xxiii
xxiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ……………………………………………………… 1
1.2. Perumusan Masalah Penelitian ....................……………………. 13
1.3. Tujuan Penelitian …………………………………………………… 14
1.4. Manfaat Penelitian ………………………………………………..... 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu ………………………………......………… 16
2.2. Kerangka Dasar Teoritik.............................................................. 23
2.2.1 Desentralisasi ...................................................................
2.2.2 Desentralisasi Fiskal .........................................................
23
25
xiv
2.2.3 Keuangan Daerah ....... ...................................................... 27
2.2.4 Pendapatan Asli Daerah ........................ ........................... 28
2.2.5 Pajak ..................... ............................................................
2.2.5.1 Definisi Pajak dan PajaK Daerah ...........................
2.2.5.2 Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan
2.2.5.3 Jenis Pajak ..........................................................
2.2.5.4 Fungsi Pajak .........................................................
2.2.5.5 Sistem Pemungutan Pajak ...................................
2.2.5.6 Syarat Pemungutan Pajak .....................................
2.2.6 Kemauan Membayar Pajak ...............................................
2.2.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemauan Membayar
Pajak .................................................................................
2.2.7.1 Sanksi ..................................................................
2.2.7.2 Persepsi Tentang Pelayanan on the Spot ...........
2.2.7.3 Reputasi Petugas Pajak .......................................
2.2.8 Administrasi Publik ...............................................
2.2.8.1 Pengertian Administrasi Publik .............................
2.2.8.2 Ruang Lingkup Administrasi Publik ......................
2.2.9 Pelayanan Publik ..............................................................
2.2.9.1 Definisi Pelayanan ...............................................
2.2.9.2 Definisi Pelayanan Publik ....................................
2.2.9.3 Kualitas Pelayanan Publik ...................................
2.2.10 Etika Administrasi Publik ................................................
2.2.10.1 Definisi Etika ......................................................
2.2.10.2 Etika Administrasi Publik ....................................
29
29
32
36
38
39
40
42
43
43
45
47
48
48
49
51
51
51
52
53
53
54
xv
BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran ………………………………………………
3.1.1 Hubungan Sanksi dan Kemauan Membayar Pajak
3.1.2 Hubungan Pelayanan on the Spot dan KemauanMembayar Pajak .............................................................
3.1.3 Hubungan Reputasi Petugas Pajak dan KemauanMembayar Pajak ..............................................................
55
59
59
60
3.2. Hipotesis ......... ......................................................................... 62
3.3. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel .......................... 63
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Metode Penelitian ....................................................................... 71
4.2 Lokasi Penelitian ........................................................................ 72
4.3 Populasi dan Sampel .................................................................74
4.3.1 Populasi ........................................................................... 74
4.3.2 Sampel ............................................................................ 75
4.4 Pengumpulan Data .................................................................... 78
4.5 Skala Pengukuran Instrumen Penelitian ................................... 79
4.6 Reliabilitas dan Validitas .............................................................. 81
4.7 Uji Asumsi Klasik ........................................................................ 82
4.7.1 Uji Normalitas .................................................................... 83
4.7.2 Uji Multikolonieritas ........................................................... 84
4.7.3 Uji Heterokedastisitas dan Homokedastisitas .................. 85
4.8 Analisis Data ............................................................................. 86
4.8.1 Uji t .................................................................................... 87
4.8.2 Uji F................. ................................................................... 87
xvi
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Gambaran Umum Obyek Penelitian ........................................... 89
5.1.1 Letak Geografis dan Wilayah Administratif ....................... 89
5.1.2 Gambaran Umum Badan Pelayanan Pajak Daerah ........ 93
5.1.2.1 Dasar Hukum Pembentukan ................................. 93
5.1.2.2 Tugas Pokok dan fungsi ........................................ 93
5.1.2.3 Susunan Organisasi Badan Pelayanan Pajak
Daerah .................................................................. 95
5.1.2.4 Tujuan dan Sasaran Badan Pelayanan Pajak
Daerah .................................................................... 95
5.1.2.5 Susunan Kepegawaian .......................................... 96
5.1.2.6 Jenis Pajak Daerah yang dikelola Badan Pelayanan
Pajak Daerah Kota Malang ....................................... 96
5.1.3 Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan Kota Malang ...... 98
5.2 Uji Reliabilitas dan Validitas Instrumen .................................. 100
5.2.1 Uji Reliiabilitas dan Validitas Variabel Kemauan Membayar
Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan ...................... 101
5.2.1.1 Uji Reliabilitas Variabel Kemauan Membayar
Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan ............... 101
5.2.3 Uji Validitas Variabel Kemauan Membayar
Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan ................ 102
5.2.2 Uji Reliabilitas dan Validitas Variabel Sanksi............... 104
5.2.2.1 Uji Reliabilitas Variabel Sanksi ....................... 104
5.2.2.2 Uji Validitas Variabel Sanksi ........................... 104
5.2.3 Uji Reliabilitas dan Validitas Variabel Persepsi Tentang
xvii
Pelayanan On the Spot ...... ...................................... 106
5.2.3.1 Uji Reliabilitas Variabel Persepsi Tentang
Pelayanan On the Spot .................................. 106
5.2.3.2 Uji Validitas Variabel Persepsi Tentang
Pelayanan On the Spot ................................. 106
5.2.4 Uji Reliabilitas dan Validitas Variabel Reputasi
Petugas Pajak ........................................................... 108
5.2.4.1 Uji Reliabilitas Variabel Reputasi
Petugas Pajak ............................................. 108
5.2.4.2 Uji Validitas Variabel Reputasi
Petugas Pajak .............................................. 108
5.3 Uji Korelasi Antara Variabel Independen dan
Dependen .......................................................................... 110
5.4 Deskripsi Responden .................................................... 111
5.4.1 Deskripsi Responden Berdasarkan Jenis
Kelamin .................................................................. 111
5.4.2 Deskripsi Responden Berdasarkan Usia ............... 112
5.4.3 Deskripsi Responden Berdasarkan Pekerjaan ..... 113
5.4.4 Deskripsi Responden Berdasarkan Jenjang
Pendidikan ............................................................ 113
5.4.5 Deskripsi Responden Berdasarkan Domisili ......... 114
5.5 Analisis Statistik Deskriptif ............................................ 115
5.6 Hasil Uji Asumsi Klasik ................................................... 117
5.6.1 Hasil Uji Normalitas ............................................... 117
5.6.2 Hasil Uji Multikolinieritas ........................................ 120
5.6.3 Hasil Uji Heterokedastisitas ..................................... 121
xviii
5.7 Pengujian Hipotesis ......................................................... 123
5.7.1 Pengujian Hipotesis Pertama .................................. 123
5.7.2 Pengujian Hipotesis Kedua ................................... 124
5.7.3 Pengujian Hipotesis Ketiga .................................. 125
5.7.2 Pengujian Hipotesis Keempat.............................. 126
5.8 Pembahasan Hasil ............................................................ 128
5.8.1 Hubungan Sanksi Terhadap Kemauan Membayar Pajak
Bumi dan Bangunan Perkotaan ................................. 128
5.8.2 Hubungan Persepsi Tentang Pelayanan on the
Spot Terhadap Kemauan Membayar Pajak Bumi
dan Bangunan Perkotaan ........................................ 132
5.8.3 Hubungan Reputasi Petugas Pajak Terhadap Kemauan
Membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan ...... 137
5.8.4 Hubungan Sanksi, Persepsi Tentang Pelayanan
on the Spot, dan Reputasi Petugas Pajak Secara
SimultanTerhadap Kemauan Membayar Pajak Bumi
dan Bangunan Perkotaan .............................................. 139
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan ................................................................................ 146
6.1 Saran ......................................................................................... 147
6.1.1 Saran Bagi Pemerintah Kota Malang ............................... 147
6.1.2 Saran Bagi Peneliti Selanjutnya ...................................... 150
6.3 Keterbatasan Penelitian ............................................................ 150
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………. ... 152
xix
xx
DAFTAR TABEL
Tabel Judul Halaman1.1
1.2
Variabel yang Akan Digunakan Dalam Penelitian
Piutang PBB Perkotaan Kota Malang Tahun 2013-
2016
7
12
2.1 Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu 19
3.1 Konsep, Variabel, Indikator dan Item 68
4.1
4.2
5.1
5.2
5.3
5.4
5.5
5.6
5.7
5.8
5.9
5.10
5.11
5.12
5.14
5.15
5.16
5.17
5.18
Prosentase Piutang Pajak Daerah Kota Malang
Tahun 2016
Jumlah Wajib PBB Perkotaan Kota Malang yang
menunggak
Kontribusi Masing-Masing Jenis Pajak Terhadap
Total Penerimaan Pajak Daerah
Jumlah Wajib PBB Perkotaan Kota Malang Tahun
2013-2016
Jumlah Wajib PBB Perkotaan Kota Malang yang
Menunggak
Reliabilitas Kemauan Membayar PBB Perkotaan
Korelasi Bivariat Kemauan Membayar PBB
Perkotaan
Reliabilitas Sanksi
Korelasi Bivariat Sanksi
Reliabilitas Pelayanan On The Spot
Korelasi Pelayanan On The Spot
Reliabilitas Reputasi Petugas Pajak
Korelasi Reputasi Petugas Pajak
Korelasi Antara Variabel Independen dan
Dependen
Statistik Deskriptif
Hasil Uji Kolmogorov Smirnov
Hasil Uji Multikolinieritas
Hasil Uji Glejser
Ringkasan Hasil Analisis Regresi Berganda
72
73
97
98
99
101
103
104
105
106
107
108
109
110
116
118
120
122
123
xxi
xxii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Judul Halaman
3.1 Kerangka Konsep Penelitian 583.2
5.1
5.2
5.3
5.4
5.5
5.6
5.7
5.8
Hipotesis Penelitian
Peta Administratif Kota Malang
Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Responden Berdasarkan Usia
Responden Berdasarkan Pekerjaan
Responden Berdasarkan Jenjang Pendidikan
Responden Berdasarkan Domisili
Grafik Normal P-Plot Regression Kemauan
Membayar Pajak
Hasil Uji Heterokedastisitas
62
90
111
112
113
114
115
119
121
xxiii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Reformasi politik yang terjadi pada tahun 1998 telah mengubah
pemerintahan yang sentralistik menjadi pemerintahan yang desentralistik.
Pemerintahan yang desentralistik diwujudkan dengan pemberian otonomi daerah
oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Otonomi Daerah menurut
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Undang–Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan ada dua prinsip keuangan
daerah. Pertama, dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah kewenangan
yang melekat pada setiap kewenangan pemerintahan menjadi kewenangan
daerah. Kedua, untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata dan
bertanggung jawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber
keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah serta antara propinsi dengan kabupaten/kota.
Hal ini berarti, daerah telah diberi kewenangan untuk membuat
perencanaan, melaksanakan, mengawasi, mengendalikan, dan mengevaluasi
kebijakan-kebijakan daerah. Pemerintah Pusat memberikan kewenangan kepada
Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
yang tentunya memerlukan dukungan tersedianya pendapatan daerah yang
memadai. Dengan melaksanakan optimalisasi sumber-sumber penerimaan
1
2
daerah sama artinya dengan meningkatkan kapasitas fiskal daerah. Oleh karena
itulah Pemerintah Daerah harus dapat menggali sumber-sumber pendapatan
daerah bagi pembiayaan pembangunan demi kesejahteraan masyarakat.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah ada hal-hal yang perlu mendapat
perhatian lebih yaitu masalah pengelolaan keuangan daerah dan pengganggaran
daerah. Hal ini senada dengan pendapat dari Adisasmita (2014: 3) bahwa “dilihat
dalam konteks pengelolaan keuangan daerah, penerimaan pendapatan daerah
dan anggaran mempunyai kaitan yang erat terhadap keberhasilan pembangunan
daerah dan pelaksanaan otonomi daerah, oleh karena itu harus dikelola secara
efektif, efisien dan profesional serta berkelanjutan”. Menurut Mardiasmo (2002:
9) anggaran daerah adalah “rencana kerja Pemerintah daerah dalam bentuk
uang (rupiah) dalam satu periode tertentu (satu tahun)”. Dalam membiayai
pembangunan, Pemerintah Daerah tetap mendapatkan bantuan dari Pemerintah
Pusat. Bantuan pendanaan ini berupa Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi
Khusus, dan Dana Bagi Hasil. Meskipun demikian, dalam era otonomi, daerah
harus dapat terus meningkatkan pendapatan daerahnya sendiri.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sumber
penerimaan daerah terdiri dari Pendapatan Daerah dan Pembiayaan.
Pendapatan Daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah, Dana
Perimbangan, dan Lain-Lain Pendapatan. Sedangkan pembiayaan bersumber
dari sisa lebih perhitungan anggaran daerah, penerimaan pinjaman daerah,
dana cadangan daerah, dan hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Pendapatan Asli Daerah merupakan komponen terpenting bagi pemerintah
daerah dalam usaha untuk meningkatkan kemandirian daerah. Pendapatan Asli
3
Daerah terdiri atas Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Kekayaan Daerah
yang Dipisahkan, dan Lain-Lain PAD yang Sah.
Salah satu tujuan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal
adalah untuk meningkatkan kemandirian daerah dan mengurangi
ketergantungan terhadap pemerintah pusat. Kemandirian daerah sangat erat
kaitannya dengan kemampuan daerah dalam mengelola Pendapatan Asli
Daerah (PAD). Menurut Mahmudi (2010: 18) “Semakin tinggi kemampuan daerah
dalam menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), maka semakin besar pula
diskresi daerah untuk menggunakan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tersebut
sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan prioritas pembangunan daerah”. Hal ini
berarti bahwa dengan meningkatnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) semakin
besar peluang pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat dilakukan melalui
pembangunan derah dan juga memberikan pelayanan publik yang baik.
Pelayanan publik sendiri menurut Sabaruddin (2015: 11) adalah” produk suatu
organisasi atau institusi tertentu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat baik
jasa dan barang”. Dalam rangka mewujudkan pembangunan dan pemberian
pelayanan publik yang lebih baik lagi kepada masyarakat maka diperlukan
tersedianya dana yang memadai. Pendapatan yang bersumber dari daerah
adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang salah satu komponennya adalah
pajak, yaitu sumber PAD yang memililiki kontribusi terbesar. Oleh karena itu
pemungutan dan penerimaan pajak daerah harus diintensifkan dan ditingkatkan.
Pengertian pajak daerah menurut Undang-Undang No.28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah “kontribusi wajib kepada
Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
4
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”. Berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah dilakukan penguatan perpajakan
daerah, yaitu dengan menjadikan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan-Perkotaan dan Pedesaan sebagai
komponen dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan-Perkotaan dan Pedesaan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 adalah “pajak atas bumi
dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang
pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha
perkebunan, perhutanan, dan pertambangan”. Pengertian Bumi berdasarkan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 adalah “permukaan bumi yang meliputi
tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah kabupaten/kota. Sedangkan
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap
pada tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut.” Objek Pajak Bumi dan
Bangunan Perkotaan dan Perdesaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang
dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali
kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan
pertambangan. Sedangkan Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan
Perdesaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai
suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau
memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
Selain adanya penguatan perpajakan, dalam rangka peningkatan
penerimaan Pendapatan Asli Daerah yang berasal dari pajak, kesadaran dan
5
kepatuhan untuk memenuhi kewajiban perpajakan juga sangat penting.
Sedangkan kesadaran dan kepatuhan untuk memenuhi kewajiban perpajakan ini
dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu tidak hanya tergantung kepada masalah-
masalah teknis saja tetapi dipengaruhi pula oleh kemauan wajib pajak untuk
membayar pajak (Rahayu, 2010). Sedangkan menurut Norman D. Nowak (2007)
(dalam Zain, 2017) peningkatan penerimaan pajak akibat verifikasi aparat
perpajakan, aktivitas para ahli hukum, para akuntan serta teknisi lainnya dan
keputusan peradilan pajak, biasanya hanya merupakan 3% sampai 5% dari
seluruh penerimaan pajak. Sedangkan sisanya sebesar 95% adalah hasil dari
pengembangan iklim perpajakan. Sedangkan faktor dominan yang berpengaruh
terhadap iklim perpajakan menurut Zain (2007) adalah kemauan
(willingness)membayar pajak yaitu sampai sejauh mana wajib pajak akan
mematuhi peraturan perundang-undangan dalam membayar pajak. Zain (2007;
30) menyatakan bahwa “kesadaran dan kepatuhan memenuhi kewajiban
perpajakan tidak hanya tergantung pada masalah-masalah teknis saja yang
menyangkut metode pemungutan, pemeriksaan, penyidikan, akan tetapi
tergantung juga pada kemauan wajib pajak untuk memenuhi kewajibannya
membayar pajak”. Hal tersebut didukung oleh pendapat dari Jogiyanto (2008)
yang mengatakan bahwa “ Jika niat diyakini memang benar-benar sebagai
penentu langsung dari perilaku atas kemauan sendiri (volitional behavior) maka
mereka seharusnya berkorelasi lebih kuat dengan perilaku dibandingkan dengan
faktor-faktor penentu lainnya”. Hal ini dapat diartikan bahwa kemauan membayar
pajak merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi wajib pajak untuk
membayar pajak. Sedangkan Faktor yang mempengaruhi kemauan wajib pajak
dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak menurut Zain (2007; 33-38)
6
antara lain: sistem perpajakan yang adil, sanksi, pelayanan, reputasi petugas
pajak, program informasi. Sedangkan menurut Katona (1975)(dalam Burton,
2009) menyatakan bahwa “perubahan persepsi masyarakat terhadap pemerintah
berupa kepercayaan dan keyakinan untuk betul-betul melayani rakyatnya dapat
mempengaruhi perilaku ekonomi rakyat yang salah satunya adalah kemauan
membayar/hasrat membayar pajak”. Hal ini berarti kemauan membayar pajak
dipengaruhi oleh pelayanan yang diberikan oleh pemerintah.
Penelitian yang pernah dilakukan oleh Penelitian selanjutnya dilakukan
oleh Katharina Gangl, Stephan Muehlbacher, Manon de Groot, Sjoerd
Goslinga,Eva Hofmann, Christoph Kogler, Gerrit Antonides, and Erich Kirchler
(2013) yang menyatakan bahwa siapa yang mendapatkan pelayanan yang baik
akan memiliki keinginan yang besar untuk membayar pajak. Penelitian
selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Merima Ali, Odd-Helge
Fjeldstad and Ingrid Hoem Sjursen (2014) yang menyatakan bahwa pelayanan
publik serta pengetahuan perpajakan dan kesadaran berpengaruh terhadap
kepatuhan. Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh James
alm and Jorge Martinez-Vazque menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi
motivasi intrinsik atau kemauan bagi masyarakat Rusia adalah sistem pajak
yang transparan, pengurangan korupsi, administrasi perpajakan yang modern
melalui pelayanan, meningkatkan kepercayaan kepada pemerintah dan hukum.
Selain itu menurut Andrea F. Presbitero, Agnesse Sacchi, dan Alberto Zazzaro
(2014) yang menyatakan bahwa pentingnya penelitian terkait Pajak Bumi dan
Bangunan karena Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak yang
memberikan kontribusi besar dalam penerimaan negara dan mendukung
keberlanjutan keuangan. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Ortega,
7
Daniel; Ronconi, Lucas; Sanguinetti, Pablo (2016) yang hasilnya menyatakan
bahwa untuk meningkatkan pendapatan hendaknya dilakukan dengan cara
meningkatkan pelayanan dikarenakan akan lebih efektif.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Erzo F.P. Luttmen dan Monica Singhal
(2014) menyatakan bahwa moral perpajakan(yang dilihat dari motivasi instrinsik,
ketersediaan pelayanan akan barang publik sebagai timbal balik pembayaran
pajak, pengaruh teman dan lingkungan sosial, budaya dan informasi)
mempengaruhi kepatuhan wajib pajak. Penelitian berikutnya adalah penelitian
yang dilakukan oleh Kerly Randlane (2015) berjudul “Tax compliance as a
system: Mapping the field” yang menyatakan bahwa pendekatan sistem terkait
kepatuhan merupakan dasar bagi pemerintah untuk mengembangkan strategi
administrasinya dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Penelitian
selanjutnya dilakukan oleh Atiola Moses Idowu, Norhaya Kamarudin, Kamalasan
Achu, dan Ibisola Abayomi Solomon (2016) yang menyatakan bahwa pentingnya
petugas pajak memiliki keahlian atau sertifikasi penilai sehingga penilaian obyek
Pajak Bumi dan Bangunan dapat akurat serta dapat mengurangi jumlah wajib
pajak yang menghindari pajak atau tidak membayar pajak yang akan
menyebabkan piutang pajak dan menekan biaya administrasi.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Tina M.F. Beale Rochelle, Rochelle A.
Chner Miler, Amani Ishemo, dan Cadien A. Murray-Stuart (2015) yang
menyatakan bahwa yang berhubungan dengan kemauan membayar Pajak Bumi
dan Bangunan adalah sistem perpajakan, kualitas pelayanan publik, dan petugas
pajak. negara. Penelitian yang dilakukan oleh Tyler L. Gamble, Mc.Corkle dan
Ryan Smith (2017) yang menyatakan bahwa dengan menerapkan sanksi maka
masyarakat akan mau membayar Pajak Bumi dan Bangunan tepat waktu.
8
Variabel yang berhubungan dengan kemauan membayar pajak yang
digunakan dalam penelitian yang telah dilakukan ini berdasarkan pendapat Zain
(2007), Katona (1975)(dalam Burton 2010) dan dari hasil penelitian yang telah
dilakukan yang dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut ini:
Tabel 1.1: Variabel yang Akan Digunakan Dalam Penelitian
No Nama Ahli/Peneliti
Variabel
Sanksi PelayananReputasi
Petugas Pajak
1 Mohammad Zain √ √ √
2 Katona √
3 Pancawati Hardiningsih √ 4 Katharina Gangl, Stephan
Muehlbacher, Manon de Groot, Sjoerd Goslinga,Eva Hofmann, Christoph Kogler, Gerrit Antonides, and Erich Kirchler
√
5 Merima Ali, Odd-Helge
Fjeldstad and Ingrid Hoem Sjursen
√
6 James alm and Jorge Martinez-Vazque
√
7 Ortega, Daniel; Ronconi, Lucas; Sanguinetti, Pablo
√
8 Erzo Erzo F.P. Luttmen dan Monica Singha √
9 Tina M.F. Beale Rochelle, Rochelle A. Chner Miler, Amani Ishemo, dan CadienA. Murray-Stuart
√ √
10 Tyler L. Gamble, Mc.Corkle dan Ryan Smith
√
Sumber: Data diolah penulis (2017)
Dari tabel 1.1 tersebut maka variabel yang berhubungan dengan kemauan
membayar pajak yang akan diteliti adalah sanksi, pelayanan dan reputasi
petugas pajak. Sedangkan variabel sistem perpajakan yang adil dan program
informasi yang dinyatakan oleh Zain (2007) tidak digunakan. Sistem perpajakan
yang adil tidak digunakan karena berdasarkan Teori Gaya Pikul (dalam Rahayu,
9
2013: 59) keadilan dan kebenaran negara dalam memungut pajak dari warganya
didasarkan pada kemampuan dan kekuatan setiap pribadi masyarakatnya, yaitu
kemampuan dan kekuatan untuk memperoleh penghasilan, harta kekayaan, dan
konsumsi dengan tujuan agar dapat menghidupi diri sendiri dan kemampuan
untuk memikul beban kehidupan lainnya. Apabila dihubungkan dengan Pajak
Bumi dan Bangunan Perkotaan, teori ini sulit dilaksanakan karena pendataan
yang dilakukan hanya terkait obyek pajak dan identitas wajib pajaknya saja ,
sehingga tidak dapat diketahui berapa kemampuan dan kekuatan pribadi wajib
pajak. Selain itu juga perolehan obyek pajak belum tentu merupakan hasil usaha
wajib pajak, seperti diperoleh dari warisan, sewa, hibah atau hadiah. Selain itu,
informasi yang berkaitan dengan data subyek pajak, wajib pajak, dan obyek
pajak hanya diketahui oleh petugas pajak, sehingga tidak relevan ketika
ditanyakan kepada wajib pajak. Sedangkan untuk program informasi tidak
digunakan karena menurut Zain (2007: 38) program informasi yang dimaksudkan
adalah pemberian informasi kepada anak-anak usia muda yang dilakukan di
sekolah-sekolah sehingga tidak relevan ketika hal tersebut ditanyakan kepada
Wajib Pajak melalui kuesioner yang dibagikan oleh penulis. Selain itu, di Kota
Malang sendiri semenjak tahun 2013 sampai dengan bulan Oktober 2017 baru
sekali dilaksanakan pemberian informasi yaitu tahun 2015 dan dilakukan kepada
ketua RT di seluruh Kota Malang terkait adanya perubahan Nilai Jual Obyek
Pajak sebagai dasar perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan terutang.
Perbedaan penelitian yang dilakukan ini dengan penelitian sebelumnya adalah
menambahkan variabel dari penelitian terdahulu yaitu reputasi petugas pajak.
Pelayanan on the spot adalah jenis pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah
Kota Malang yang masih bersifat insindentil dan belum dilakukan secara
10
terjadwal. Pelayanan on the spot ini adalah pelayanan yang dilakukan oleh
Badan Pelayanan Pajak Daerah Kota Malang dengan menggunakan mobil pajak
keliling untuk pembayaran PBB yang dilakukan di tempat-tempat tertentu dan
ketika ada kegiatan atau acara-acara tetentu. Pelayanan on the spot ini tidak
setiap hari tersedia, hanya tersedia ketika terdapat acara tertentu seperti ketika
Walikota Malang melakukan agenda blusukan, jalan sehat sadar pajak atau
acara lainnya terkait perpajakan.
Apabila dikaitkan dengan administrasi publik, maka variabel yang diteliti
dalam penelitian ini termasuk dalam lingkup administrasi publik. Menurut
pendapat Pasolong (2016) aspek paling penting dalam menentukan ruang
lingkup administrasi publik adalah kepentingan publik. Sedangkan ruang lingkup
administrasi publik menurut Pasolong (2006) yang sesuai dengan penlitian ini
antara lain: Kebijakan Publik, Pelayanan Publik, dan Etika Administrasi Publik.
Berdasarkan pendapat Pasolong tersebut di atas maka variabel yang diteliti
dalam penelitian ini yaitu sanksi termasuk ke dalam lingkup kebijakan publik
karena sanksi ini termuat dalam kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Kota
Malang berupa Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2015 tentang Perubahan
Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
Perkotaan. Sanksi yang diatur dalam Peraturan Daerah tersebut merupakan
sanksi administrasi dan sanksi pidana. Sedangkan Pelayanan on the spot
termasuk dalam ruang lingkup administrasi publik yaitu pelayanan publik dan
reputasi petugas pajak termasuk dalam lingkup etika administrasi publik.
reputasi petugas pajak tersebut termasuk ke dalam ruang lingkup etika
administrasi publik karena reputasi petugas pajak berkaitan dengan tingkah laku
dari petugas pajak seperti kecakapan, keadilan, dan kejujuran.
11
Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2015 tentang Perubahan
Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
Perkotaa, sanksi merupakan konsekuensi bagi wajib pajak yang terlambat
membayar pajak atau melakukan kecurangan dengan tidak melaporkan dengan
benar obyeknya dengan benar. Sanksi denda diberikan kepada wajib pajak yang
terlambat membayar pajak. Sedangkan sanksi pidana baik berupa kurungan
maupun penjara diberikan kepada wajib pajak yang menyembunyikan atau tidak
melaporkan dengan benar obyek pajaknya.
Sedangkan terkait dengan pelayanan, memberikan pelayanan kepada
masyarakat merupakan tugas dari pemerintah, oleh karena itulah maka
pemerintah harus memberikan pelayanan yang baik terutama dalam
pemungutan pajak. Menurut pendapat dari Zain(2007: 35) bahwa “harus
dikembangkan keyakinan pada para pembayar pajak, bahwa instansi pajak
dengan para petugasnya akan selalu menjadikan pekerjaan atau tindakan
memenuhi kewajiban perpajakan semudah dan sesederhana mungkin”.
Sedangkan pengertian pelayanan itu sendiri menurut Monir (2003:16) (dalam
Pasolong, 2010: 128) adalah “ proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas
orang lain secara langsung”. Apabila dikaitkan dengan perpajakan, dari definisi
tersebut dapat diartikan bahwa pelayanan dimaksudkan adalah pemenuhan
kebutuhan oleh wajib pajak untuk memenuhi kewajibannya membayar pajak.
Pelayanan on the spot merupakan pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah
Kota Malang dalam rangka pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan.
Pelayanan ini merupakan pelayanan yang mendekati wajib pajak karena
pelayanan ini dilakukan di kelurahan-kelurahan ketika Walikota Malang
melakukan blusukan. Hal ini dilakukan agar masyarakat mudah menjangkau
12
lokasi pembayaran tinggalnya. Dengan pelayanan tersebut maka diharapkan
masyarakat akan memiliki persepsi yang baik terhadap pelayanan tersebut dan
meningkatkan kemauan wajib pajak untuk membayar pajak.
Sedangkan reputasi petugas pajak diperlukan untuk meningkatkan
kemauan wajib pajak dalam membayar pajak. Hal ini dikarenakan oleh reputasi
petugas pajak yang baik, meliputi kecakapan, keadilan dan kejujuran, dapat
memberikan motivasi bagi wajib pajak untuk mau membayar pajak karena
merasa dapat mempercayai petugas pajak. Dari sisi kecakapan, apabila petugas
cakap, maka wajib pajak akan dapat menerima pelayanan sesuai dengan apa
yang dibutuhkan. Dari sisi keadilan, apabila wajib pajak yang merasa
diperlakukan adil tanpa dibeda-bedakan maka kemauan membayar pajaknya
akan meningkat. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa apabila wajib pajak
memiliki persepsi yang baik atas apa yang telah dilakukan pemerintah yaitu dari
segi sanksi, pelayanan, dan juga reputasi petugas pajaknya maka akan dapat
memotivasi wajib pajak untuk mau membayar pajak.
Permasalahan yang terjadi di Kota Malang sendiri terkait dengan masih
rendahnya kemauan membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan, dapat
dilihat dari data piutang Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan Kota Malang terus
bertambah dari tahun 2013-2016 seperti pada tabel 1.2 berikut ini.
Tabel 1.2: Piutang Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan Kota MalangTahun 2013-2016
No Tahun Jumlah Wajib Pajak Jumlah (Rp)
1 2013 80.585 13.202.289.509
2 2014 80.415 13.601.791.593
3 2015 84.673 19.240.504.810
4 2016 93.759 20.296.192.996
Total 66.340.778.908
Sumber data: diolah Peneliti (2017)
13
Dari tabel 2.1 tersebut di atas dapat diketahui bahwa dari jumlah wajib pajak
maupun dari nominalnya piutang Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota
Malang mengalami peningkatan dari tahun 2013, yaitu dimana tahun 2013 Pajak
Bumi dan Bangunan menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah yang
sebelumnya pajak tersebut merupakan Pajak Pusat. Pada tahun anggaran 2013,
jumlah wajib pajak yang menunggak berjumlah 80.585 wajib pajak dengan
nominal piutang sebesar Rp 13. 202.289.509,00. Tahun anggaran 2014 jumlah
tersebut bertambah sebesar Rp 13.601.791.593,00 dengan jumlah wajib pajak
yang menunggak pada tahun 2014 sebanyak 80.415 wajib pajak. Pada tahun
anggaran 2015 jumlah tersebut bertambah dengan penambahan yang lebih
besar dari penambahan yang terjadi pada tahun anggaran 2014. Pada tahun
anggaran 2015 jumlah piutang Pajak Bumi dan Bangunan sebesar
Rp 19.240.504.810 dengan jumlah wajib pajak sebanyak 84.673 wajib pajak.
Sedangkan pada tahun anggaran 2016 jumlah piutang Pajak Bumi dan
Bangunan Perkotaan sebesar Rp 20.296.192.996,00 dengan jumlah wajib pajak
93.759 wajib pajak. Apabila ditotal piutang tersebut diatas berjumlah
Rp 66.340.778.908,00.
Berdasarkan penelitian terdahulu, kajian teori dan permasalahan di atas
maka, peneliti ingin menguji hubungan sanksi, persepsi tentang pelayanan on
the spot, dan reputasi petugas pajak tehadap kemauan membayar Pajak Bumi
dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan penelitian terdahulu, kajian teori dan kondisi di lapangan yang
dijelaskan diatas maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini antara lain:
14
1. Apakah ada hubungan antara sanksi dan kemauan membayar Pajak Bumi
dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang?
2. Apakah ada hubungan antara persepsi tentang pelayanan on the spot dan
kemauan membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang?
3. Apakah ada hubungan antara reputasi petugas pajak dan kemauan
membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang?
4. Apakah ada hubungan sanksi, persepsi tentang pelayanan on the spot, dan
reputasi petugas pajak secara bersama-sama dengan kemauan membayar
Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini antara lain:
1. Menguji hubungan sanksi dan kemauan wajib pajak membayar Pajak Bumi
dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang.
2. Menguji hubungan persepsi tentang pelayanan on the spot dan kemauan
membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang.
3. Menguji hubungan reputasi petugas pajak dan kemauan membayar Pajak
Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang.
4. Menguji hubungan sanksi, persepsi tentang pelayanan on the spot, dan
reputasi petugas pajak secara bersama-sama dengan kemauan membayar
Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang
1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian diatas maka
penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain :
15
1. Manfaat Praktis
Hasil Penelitian yang telah dilakukan ini diharapkan bermanfaat sebagai
bahan informasi atau masukan bagi Pemerintah Kota Malang khususnya
Badan Pelayanan Pajak Daerah dalam menyusun perencanaan dalam
membuat kebijakan terkait pajak daerah khususnya Pajak Bumi dan
Bangunan Perkotaan dalam rangka meningkatkan kemauan membayar
Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan.
2. Manfaat Teoritis
Hasil Penelitian yang telah dilakukan ini diharapkan menjadi bahan kajian
atau referensi bagi peneliti berikutnya tentang usaha peningkatan kemauan
membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan.
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab Pendahuluan, bahwa masalah
yang dikaji dalam penelitian yang akan dilakukan ini terkait faktor-faktor yang
berhubungan dengan kemauan membayar Pajak Bumi dan Bangunan
Perkotaan di Kota Malang, maka sudah sepatutnya penelitian ini memanfaatkan
hasil-hasil penelitian terdahulu yang relevan. Tujuannya adalah agarhasil
penelitian tersebut dapat memberi gambaran dan arah bagi penelitian yang akan
dilakukan. Beberapa penelitian terdahulu yang dipilih ini adalah sebagaimana
disajikan dalam diskripsi di bawah ini.
1) Penelitian yang dilakukan oleh Katharina Gangl, Stephan Muehlbacher,
Manon de Groot, Sjoerd Goslinga,Eva Hofmann, Christoph Kogler, Gerrit
Antonides, and Erich Kirchler (2013) yang berjudul ‘‘How can I help you?’’
Perceived Service Orientationof Tax Authorities and Tax Compliance. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahfwa pelayanan dan kepatuhan wajib pajak
berhubungan secara signifikan dan pelayanan yang baik akan meningkatkan
kemauan untuk membayar pajak.
2) Penelitian yang dilakukan oleh Merima Ali, Odd-Helge Fjeldstad and Ingrid
Hoem Sjursen (2014) berjudul “To Pay or not to Pay? Citizens’ Attitude
Toward Taxation in Kenya, Tanzania, Uganda and South Africa”. Hasil
Penelitian ini menunjukkan bahwa pelayanan publik serta pengetahuan
perpajakan dan kesadaran berpengaruh terhadap kepatuhan.
17
3) Penelitian yang dilakukan oleh Pancawati Hardiningsih (2011) yang berjudul
“Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemauan Membayar Pajak”. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa:
a) Kesadaran membayar pajak berpengaruh dan signifikan terhadap
kemauan membayar pajak;
b) Kualitas Layanan berpengaruh positif terhadap kemauan membayar pajak
c) Pengetahuan, pemahaman peraturan perpajakan, dan persepsi efektifitas
sistem perpajakan tidak berpengaruh terhadap kemauan membayar
pajak,
4) Penlitian yang dilakukan oleh James alm and Jorge Martinez-Vazque
berjudul “Russian Attitudes Toward Paying Taxes – Before, During, and After
the Transition”. menyatakan bahwa yang dapat meningkatkan norma
kepatuhan bagi masyarakat Rusia adalah sistem pajak yang transparan,
pengurangan korupsi, administrasi perpajakan yang modern melalui
pelayanan, meningkatkan kepercayaan kepada pemerintah dan hukum.
5) Penelitian yang dilakukan oleh Andrea F.Presbitero, Agnese Sacchi, dan
Alberto Zazzaro yang berjudul “Property Tax and Fiscal Discipline in OECD
Countries” yang menyatakan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan memberikan
kontribusi yang besar terhadap total penerimaan dan mendukung untuk
keberlanjutan keuangan negara.
6) Penelitian yang dilakukan oleh Ortega, Daniel; Ronconi, Lucas; Sanguinetti,
Pablo (2016) berjudul “Reciprocity and Willingness to Pay Taxes: Evidence
from a Survey Experiment in Latin America”. Penelitian ini menunjukkan
bahwa dengan memberikan pelayanan yang lebih baik akan meningkatkan
18
kemauan membayar pajak yang dapat meningkatkan pendapatan
pemerintah.
7) Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Erzo F.P. Luttmen dan Monica Singhal
(2014) berjudul “Tax Morale” yang menyatakan bahwa moral
perpajakan(yang dilihat dari motivasi instrinsik, ketersediaan pelayanan akan
barang publik sebagai timbal balik pembayaran pajak, pengaruh teman dan
lingkungan sosial, budaya dan informasi) mempengaruhi kepatuhan wajib
pajak.
8) Kerly Randlane (2015) berjudul “Tax compliance as a system: Mapping the
field” yang menyatakan bahwa pendekatan sistem terkait kepatuhan
merupakan dasar bagi pemerintah untuk mengembangkan strategi
administrasinya dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
9) Timothy Besley, Anders Jensen, Torsten Persson (2014) yang berjudul “
Norm, Enforcement and Tax Evasion”. Hasil penelitian ini menyatakan
bahwa Norma dan penegakan undang-undang berpengaruh terhadap
penghindaran pajak.
10) Atiola Moses Idowu, Norhaya Kamarudin, Kamalasan Achu, dan Ibisola
Abayomi Solomon (2016) “A Review of Valuation Impact on Property Tax”.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa pentingnya petugas pajak memiliki
keahlian atau sertifikasi penilai sehingga penilaian obyek Pajak Bumi dan
Bangunan dapat akurat serta dapat mengurangi jumlah wajib pajak yang
menghindari pajak atau tidak membayar pajak yang akan menyebabkan
piutang pajak dan menekan biaya administrasi.
19
11) Penelitian yang dilakukan oleh Tina M.F. Beale, Rochelle A. Chnner Miller,
Amani Ishemo, dan Cadien A. Murray-Stuart (2016) yang berjudul “ Towards
Property Tax Compliance : a Case Study of Attitudes Toward Paying
Property Taxes in Jamaica” yang menyatakan bahwa yang berhubungan
dengan kemauan membayar pajak bumi dan bangunan adalah sistem
perpajakan, kualitas pelayanan publik, dan petugas pajak.
12) Tyler L. Gamble (2017) yang berjudul “ Using Behavioral Economic Nudges
to Increase Property Tax Compliance” yang menyatakan bahwa Hasil
Penelitian ini menyatakan bahwa dengan menerapkan sanksi maka
masyarakat akan mau membayar Pajak Bumi dan Bangunannya dengan
tepat waktu.
Tabel 2.1 Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu
NONama Peneliti/
Judul PenelitianHasil Penelitian
Perbedaan denganPenelitian ini
Kontribusi padaPenelitian Ini
1. Katharina Gangl, Stephan Muehlbacher, Manon de Groot, Sjoerd Goslinga, Eva Hofmann, Christoph Kogler, Gerrit Antonides, and Erich Kirchler(2013) yang berjudul ‘‘How can I help you?’’ Perceived Service Orientation of TaxAuthorities and Tax Compliance
Penelitian ini menunjukkan bahwa pelayanan dan kepatuhan wajib pajak berhubungan secara signifikan dan pelayanan yang baik akan meningkatkan kemauan untuk membayar pajak.
a) Lokasi penelitian di Belanda.
b) Variabel yang diteliti adalah pelayanan saja
Mendukung dalammenentukanvariabel yang akanditeliti yaitupelayanan
2. Penelitian yang dilakukan oleh Merima Ali, Odd-Helge Fjeldstad and Ingrid Hoem Sjursen (2014) berjudul “To Pay ornot to Pay?
Pelayanan publik serta pengetahuan perpajakan dan kesadaran berpengaruh terhadap kepatuhan
1) Lokasi Penelitian :Kenya, Tanzania, Uganda, and South Africa
2) Meneliti 1 faktor dari 5 faktor yang diteliti dalam penelitian yang akan dilaksanakan
Mendukung dalammenentukanvariabel yang akanditeliti yaitupelayanan
20
NONama Peneliti/
Judul PenelitianHasil Penelitian
Perbedaan denganPenelitian ini
Kontribusi padaPenelitian Ini
Citizens’ Attitude Toward Taxation inKenya, Tanzania, Uganda and SouthAfrica”
yaitu kualitas pelayanan
3. PancawatiHardiningsih yangberjudul “Faktor-Faktor yangMempengaruhiKemauanMembayar Pajak”
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa:a) Kesadaran
membayar pajak berpengaruh dan signifikan terhadap kemauan membayar pajak;
b) Kualitas Layanan berpengaruh positif terhadap kemauan membayar pajak
c) Pengetahuan, pemahaman peraturan perpajakan, dan persepsi efektifitas sistem perpajakan tidak berpengaruh terhadap kemauan membayar pajak
a) Lokasi Penelitian :KPP Pratama Jepara
b) Meneliti 1 faktor dari 5 faktor yang akan diteliti yaitu kualitas pelayanan
Mendukung dalammenentukanvariabel yang akanditeliti danpenentuan yaitupelayanan danindikator kemauanmembayar pajak
4. Penelitian yang dilakukan oleh James alm and Jorge Martinez-Vazque yang berjudul Russian attitudes toward payingtaxes – before, during, andafter the transition
Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa yang dapat mempengaruhi motivasi intrinsik ataukemauan bagi masyarakat Rusia adalah sistem pajak yang transparan, pengurangan korupsi,administrasi
1) Lokasi penelitian : Rusia
2) Meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi norma kepatuhan
Mendukung dalammenentukanvariabel yang akanditeliti yaitukepercayaanterhadap sistempemerntahan danhukum
5. Andrea F.Presbitero, Agnese Sacchi, dan Alberto Zazzaro yang berjudul (2014)“Property Tax and Fiscal Discipline in OECD Countries”
menyatakan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan memberikan kontribusi yang besarterhadap total penerimaan dan mendukung untuk keberlanjutan keuangan negara.
1) Lokasi Penelitian:Roma, Italy
2) Membahaspentingnya PajakBumi danBangunan
Mendukungditelitinya PajakBumi danBangunanmengingt kontribusiPajak Bumi danBangunan bagikeberlanjutankeuangan negara
21
NONama Peneliti/
Judul PenelitianHasil Penelitian
Perbedaan denganPenelitian ini
Kontribusi padaPenelitian Ini
6. Ortega, Daniel; Ronconi, Lucas; Sanguinetti, Pablo(2016) berjudul Reciprocity and Willingness to Pay Taxes: Evidence from a Survey Experiment in Latin America
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan memberikan pelayanan yang lebih baik akan meningkatkan kemauan membayar pajak yang dapat meningkatkan penda-patan Pemerintah
a) Lokasi penelitian : di Amerika Latin
b) Variabel yang diteliti hanya pelayanan saja
Mendukung dalammenentukanvariabel yang akanditeliti yaitupelayanan
7. Penelitian yangdilakukan olehErzo F.P. Luttmendan MonicaSinghal (2014)berjudul “TaxMorale”
Penelitian ini menunjukkan bahwa moral perpajakan(yang dilihat dari motivasi instrinsik, ketersediaan pelayanan akan barang publik sebagai timbal balik pembayaran pajak, pengaruh teman dan lingkungan sosial, budaya dan informasi) mempengaruhi kepatuhan wajib pajak.
1) Lokasi : di Jerman2) Menggunakan
studi literatur dandiskusi
Mendukungvariabel yang akanditeliti yaitupelayanan
8 Kerly Randlane(2015) berjudul“Tax complianceas a system:Mapping the field”
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa pendekatan sistem terkait kepatuhan merupakan dasar bagi pemerintah untuk mengembangkan strategi administrasinya dalam meningkatkan kepatuhan
1) Lokasi penelitian:Estonia
2) Meneliti tentangcaramengembangkanstrategiadministrasi untukmeningkatkankepatuhan wajibpajak
Mendukung konsepkemauanmembayar pajak
9 Timothy Besley,Anders Jensen,Torsten Persson(2014) yangberjudul “ Norm,Enforcement andTax Evasion”.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa norma dan penegakan undang-undang mempengaruhi masyarakat untk tidak melakukan penghindaran pajak.
1) Lokasi Penelitian:United Kingdom
2) Variabel yangditeliti hanya satuyang sama yaituterkait pengakanundang-undangsedangkanpelayanan danreputasi petugaspajak tidak diteliti
Mendukung untukpembahasan tekaitsanksi
22
NONama Peneliti/
Judul PenelitianHasil Penelitian
Perbedaan denganPenelitian ini
Kontribusi padaPenelitian Ini
10 Atiola MosesIdowu, NorhayaKamarudin,Kamalasan Achu,dan IbisolaAbayomi Solomon(2016) yangberjudul “AReview ofValuation Impacton Property Tax”
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa pentingnya petugas pajak memiliki keahlian atau sertifikasi penilai sehingga penilaian obyek Pajak Bumi dan Bangunan dapat akurat serta dapat mengurangi jumlah wajib pajak yang menghindari pajak atau tidak membayar pajak yang akan menyebabkan piutang pajak dan menekan biaya administrasi.
1) Lokasi Penelitian:Malaysia
2) Menelitipentingnyakeahlian dalammenilai bagipetugas pajak.
Mendukungpembahasan terkaitdengan kemaunmwmbayar PajakBumi dan Bangunanapabila penilaianobyek pajak akuratsehingga dapatmengurangi piutang
11. Tina M.F. Beale, Rochelle A. Chnner Miller, Amani Ishemo, dan Cadien A. Murray-Stuart (2016) yang berjudul “ Towards PropertyTax Compliance : a Case Study of Attitudes Toward Paying Property Taxes in Jamaica”
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa yang berhubungan dengan kemauan membayar pajak bumi dan bangunan adalah sistem perpajakan, kualitas pelayanan publik, dan petugas pajak.
1) Lokasi penelitian:Jamaica
2) Selain survey jugamenggunakanGeographicInformationSystem
Mendukung variabelpelayanan danreputasi petugaspajak
12. Tyler L. Gamble(2017) yangberjudul “ UsingBehavioralEconomic Nudgesto IncreaseProperty TaxCompliance”
Hasil Penelitian ini menyatakan bahwa dengan meerapkan sanksi maka masyarakat akan mau membayar Pajak Bumi dan Bangunannya dengan tepat waktu
1) Lokasi penelitian:North Carolina
2) Meneliti tentangketepatan waktudalam membayarPajak Bumi danBangunan
Mendukung variabelsanksi
Sumber: Data diolah Penulis, 2017
Dari ringkasan penelitian terdahulu tersebut dapat dilihat pengaruh dari
faktor-faktor yang mempengaruhi kemauan membayarpajak, yaitu: keadilan
23
sistem perpajakan, Kesadaran membayar pajak, Kualitas Layanan, pelayanan,
pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan perpajakan, persepsi yang baik
atas efektivitas sistem perpajakan dan sanksi, sistem pajak yang transparan,
pengurangan korupsi, dan administrasi perpajakan yang modern melalui
pelayanan.
2.2. Kerangka Dasar Teoritik
2.2.1 Desentralisasi
Reformasi politik yang terjadi pada tahun 1998 telah mengubah
pemerintahan yang sentralistik menjadi pemerintahan yang desentralistik.
Pemerintahan yang desentralistik diwujudkan dengan pemberian otonomi daerah
oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Otonomi daerah dimulai
sejak 1 Januari 2001. Daerah-daerah otonom (kabupaten/kota) diberi
kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sesuai aspirasi
masyarakat serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Otonomi Daerah menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam
Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
disebutkan ada dua prinsip keuangan daerah. Pertama, dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah kewenangan yang melekat pada setiap
kewenangan pemerintahan menjadi kewenangan daerah. Kedua, untuk
24
menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab,
diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri
yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah
serta antara propinsi dengan kabupaten/kota.
Dengan desentralisasi ini, maka secara umum hal-hal yang berkaitan
dengan stabilisasi dan distribusi dilakukan oleh pemerintah pusat, sementara
fungsi alokasi dlaksanakan oleh pemerintah daerah, karena daerah lebih
mengetahui kondisi riil di lapangan atau kebutuhan masyarakat setempat.
Daerah diberikan kewenangan untuk mengelola keuangannya sendiri dengan
harapan terwujudnya keseimbangan yang lebih transparan dan akuntabel dalam
pendistribusian kewenangan, pembiayaan, dan penataan sistem pengelolaan
keuangan yang lebih baik dalam mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah
secara optimal sesuai dinamika dan tuntutan aspirasi masyarakat yang
berkembang.
Hal ini berarti, daerah telah diberi kewenangan untuk membuat
perencanaan, melaksanakan, mengawasi, mengendalikan, dan mengevaluasi
kebijakan-kebijakan daerah. Pemerintah Pusat memberikan kewenangan kepada
Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
yang tentunya memerlukan dukungan tersedianya pendapatan daerah yang
memadai. Dengan melaksanakan optimalisasi sumber-sumber penerimaan
daerah sama artinya dengan meningkatkan kapasitas fiskal daerah. Oleh karena
itulah Pemerintah Daerah harus dapat menggali sumber-sumber pendapatan
daerah bagi pembiayaan pembangunan demi kesejahteraan masyarakat.
2.2.2 Desentralisasi Fiskal
25
Desentralisasi fiskal menurut Bird dan Vallaincort (1998) (dalam Kuncoro,
2012: 322) adalah “suatu cara yang dilakukan oleh setiap negara dalam
mengatur sektor publik yang dalam hal ini selalu mencerminkan sejarah,
geografi, keseimbangan politik, tujuan kebijakan,dan karakteristik lain yang
berbeda tajam antara satu negara dengan negara lainnya”. Isu sentral terkait
desentralisasi fiskal ini menurut (Kuncoro, 2012: 322) antara lain: alokasi dari
setiap fungsi fiskal, efektivitas penugasan penerimaan, instrumen perpajakan
yang tepat, peranan dana transfer pemerintah, dan pengalihan tanggung jawab
dari pusat ke daerah. Sedangkan menurut Khusaini (2006: 97) desentralisasi
fiskal adalah “ pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan anggaran atau
keuangan yang sebelumnya tersentralisasi, baik secara administrasi maupun
pemanfaatannya diatur dan dilakukan oleh pemerintah pusat”.
Manfaat dari desentralisasi fiskal menurut Adisasmita (2014: 87) antara
lain:
a. Medorong peningkatan partisipasi, prakarsa dan kreativitas masyarakat
dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan hasil-hasil
pembangunan di seluruh daerah di Indonesia;
b. Memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran
mengambil keputusan ke tingkat pemerintah yang lebih rendah.
Menurut pendapat Khusaini (2006: 99) terdapat 3 (tiga) variabel yang
mewakili desentralisasi fiskal, yaitu:
1. Desentralisasi Pengeluaran
Variabel ini merupakan rasio pengeluaran total masing-masing
kabupaten/kota terhadap pengeluaran pemerintah pusat.
2. Desentralisasi Pengeluaran Pembangunan
26
Variabel ini didefinisikan sebagai rasio total pengeluaran pembangunan
masing-masing kabupaten/kota (APBD) terhadap total pengeluaran
pembangunan nasional (APBN) (Zhang dan Zhou, 1998) (dalam Khusaini
2006: 100).
3. Desentralisasi Penerimaan
Didefinisikan sebagai rasio total penerimaan masing-masing kabupaten/kota
terhadap total penerimaan pemerintah pusat.
Prinsip dan tujuan dari pelaksanaan desentralisasi fiskal menurut
Mardiasmo (2000) antara lain:
a. Mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah (vertical
fiskal imbalance) dan antar daerah (horizontal fiskal imbalance).
b. Meningkatkan kualitas pelayanan publik didaerah dan mengurangi
kesenjangan antar daerah
c. Meningkatkan efisiensi sumber daya manusia
d. Tata kelola, transparan dan akuntabel dalam pelaksanaan kegiatan
pengalokasian transfer ke daerah yang tepat sasaran
e. Mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro.
Desentralisasi fiskal dapat diukur melalui ringkat kemandirian daerah.
Davey (1988:260) menyatakan “bahwa pemerintah daerah akan menikmati
tingkat otonomi daerah yang diinginkan yaitu kebebasan bertindak – jika mereka
sendiri yang mencari sebagian besar uang yang mereka perlukan dan mereka
belanjakan”. Dari pendapat Davey tersebut dapat disimpulkan bahwa
pemerintah daerah harus terus meningkatkan pendapatan daerahnya untuk
mendukung peningkatan kemandrian daerah.
2.2.3 Keuangan Daerah
27
Menurut pasal 1 ayat 5 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, yang dimaksud keuangan daerah
adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk di dalamnya
segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah
tersebut.
Tujuan keuangan daerah menurut Adisasmita (2014:2) antara lain:
a) Menjamin tersedianya keuangan daerah guna pembiayaan pembangunan
daerah;
b) Meningkatkan pengelolaan keuangan daerah yang memenuhi prinsip,
norma, asas dan standar akuntansi;
c) Meningkatkan pedapatan asli daerah secara kreatif melalui penggalia
potensi, intensifikasi dan ekstensifikasi.
Menurut Halim (2004: 92) tiga aspek dalam pengelolaan Keuangan Daerah
antara lain:
1. Analisis Penerimaan, yaitu analisis tentang kemampuan pemerintah daerah
dalam menggali sumber pendapatannya yang potensial dan biaya untuk
memperoleh pendapatan tersebut;
2. Analisis Pengeluaran, yaitu analisis tentang besarnya biaya pelayanan publik
dan apakah yang menyebabkan biaya tersebut meningkat;
3. Analisis Anggaran, yaitu analisis hubungan antara anggaran dan
pendapatan serta kecenderungan yang diproyeksikan di masa depan.
Apabila membahas tentang pembiayaan dalam penyelenggaraan tugas
Pemerintah daerah dan DPRD yang berasal dari APBD maka yang sangat
penting untuk diperhatikan adalah seberapa besar pendapatan daerah.
28
Pendapatan daerah harus dapat menutupi pengeluaran daerah. Hal tersebut
senada dengan pendapat Halim (2004: 71) yang mengatakan bahwa “ Apabila
rencana kebutuhan belanja lebih besar dari rencana penerimaan daerah, maka
daerah harus berupaya menutupi kekurangan (defisit) yang terjadi”.
2.2.4 Pendapatan Asli Daerah
Menurut Undang-undang No. 33 tahun 2004, “ Pendapatan Asli Daerah
adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam
daerahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sedangkan menurut Mardiasmo
(2004: 132) PAD adalah “ penerimaan daerah dari sektor pajak daerah, retribusi
daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah”.
Menurut Undang-undang No. 33 tahun 2004 pasal 6, “ Sumber-sumber
Pendapatan Asli Daerah terdiri dari:
1) Pajak daerah,
2) Retribusi daerah,
3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
4) Lain-lain Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) yang sah”.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, sumber pendapatan yang berasal dari pajak
daerah dan retribusi daerah dirinci sebagai berikut:
a. Pajak Provinsi terdiri dari: (1) pajak kendaraan bermotor; (2) bea balik nama
kendaraan bermotor; (3) pajak bahan bakar kendaraan bermotor; (4) pajak
air permukaan; dan (5) pajak rokok.
29
b. Pajak Kabupaten/Kota terdiri dari: (1) pajak hotel; (2) pajak restoran; (3)
pajak hiburan; (4) pajak reklame; (5) pajak penerangan jala; (6) pajak
mineral bukan logam dan batuan; (7) pajak parkir; (8) pajak air tanah; (9)
pajak sarang burung walet; (10) pajak bumi dan bangunan perdesaan dan
perkotaan; dan (11) bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.
c. Retribusi Daerah, meliputi: (1) retribusi jasa umum; (2)retribusi jasa usaha;
dan (3) retribusi perizinan tertentu.
2.2.5 Pajak
2.2.5.1 Definisi Pajak dan Pajak Daerah
Terdapat beberapa definisi pajak menurut para ahli. Defini pajak menurut
Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S. H (dalam Resmi, 2016: 1) adalah “ peralihan
kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran
rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber
utama untuk membiayai public investment. Sedangkan menurut Pandiangan
(2013:4) pajak yaitu:
“pembayaran atau pengalihan sebagian penghasilan atau harta kekayaanyang dimiliki oleh masyarakat kepada negara yang dapat dipaksakanberdasarkan undang-undang sebagai bentuk keikutsertaan dan partisipasimasyarakat dalam negara, namun pembayarannya tidak mendapat balasjasa secara langsung, yang digunakan untuk membiayai tugas negara demimeningkatkan kualitas dan kesejahteraan masyarakat.”
Pajak menurut Dr. N. J. Feldmann (dalam Resmi, 2016: 1) adalah “prestasi yang
dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma
yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-
mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum”.
Dari definisi pajak di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
30
a) Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta
aturan pelaksanaannya;
b) Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi
individual oleh pemerintah;
c) Pajak dipungut oleh negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah;
d) Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila
dari pemasukannya masih terdapat surplus, digunakan untuk membiayai
public investment.
Sedangkan beberapa pengertian pajak daerah menurut ahli adalah sebagi
berikut. “Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh daerah kepada
orang pribadi atau badan tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat
dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan
pembangunan daerah” (Siahaan, 2005: 10). Pajak Daerah menurut Sunarto
(2005: 15) adalah “ pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah, baik provinsi
maupun kabupaten/kota yang berguna untuk menunjang penerimaan
pendapatan asli daerah dan hasil penerimaan tersebut masuk dalam APBD.
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak,
adalah “kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
31
Dalam hal perpajakan daerah, pemerintah daerah diberi kewenangan untuk
menetapkan dan memungut berbagai jenis pajak daerah sesuai dengan potensi
yang dimilikinya. Sedangkan landasan hukum penetapan pajak daerah adalah
Peraturan Daerah (Perda) yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD). Menurut Adisasmita (2014: 101) menyebutkan bahwa” pemerintah
daerah mempunyai kebebasan yang lebih besar dalam tindakan di bidang
keuangan, Pemda dapat mengubah tarif sumber-sumber pajak daerah”.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pajak Daerah Terdiri
dari:
a. Pajak Provinsi yang terdiri dari:
(1) pajak kendaraan bermotor;
(2) bea balik nama kendaraan bermotor;
(3) pajak bahan bakar kendaraan bermotor;
(4) pajak air permukaan; dan (5) pajak rokok.
b. Pajak Kabupaten/Kota terdiri dari:
(1) pajak hotel;
(2) pajak restoran;
(3) pajak hiburan;
(4) pajak reklame;
(5) pajak penerangan jala;
(6) pajak mineral bukan logam dan batuan;
(7) pajak parkir;
(8) pajak air tanah;
(9) pajak sarang burung walet;
(10) pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan; dan
32
(11) bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.
2.2.5.2 Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan
Menurut Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 7 Tahun 2015 tentang
Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi
dan Bangunan Perkotaan, Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan adalah
pajakatasbumidan/atau bangunanyangdimiliki,dikuasai, dan/atau dimanfaatkan
oleh orang pribadi atau Badan untuk perkotaan kecuali kawasan yang digunakan
untuk kegiatanusahaperkebunan,perhutanan, dan pertambangan.
Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan menurut Peraturan Daerah
Kota Malang Nomor 7 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah
Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan Pasal 3
ayat 1 adalah “Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai dan/atau
dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan untuk perkotaan, kecuali kawasan
yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan,perhutanan,dan
pertambangan”. TermasukdalampengertianBangunanantara lain:
a. Jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel,
pabrik dan emplasemennya yang merupakan suatu kesatuan dengan
kompleks bangunantersebut;
b. Jalan tol;
c. Kolam renang;
d. Pagar mewah;
e. tempat olahraga;
f. taman mewah;
g. tempat penampungan minyak,air dan gas,pipa minyak; dan
33
h. menara.
Sedangkan Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan
adalah objek pajak yang:
a. digunakan oleh Pemerintah,Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah
untuk penyelenggaraan pemerintahan;
b. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah,
sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak
dimaksudkan untuk memperolehkeuntungan;
c. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang
sejenisdenganitu;
d. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional
dan tanah negara yang belumdibebani suatu hak.
Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan menurut Peraturan Daerah
Kota Malang Nomor 7 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah
Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan Pasal 5
ayat 1adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak
atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki,
menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. ApabilaObjek Pajak
belum jelas diketahui Wajib Pajaknya, Walikota dapat menetapkan Subjek Pajak
sebagai WajibPajak. Subyek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat
dikenakan Pajak. Apabila Subjek Pajak yang ditetapkan sebagaimana Wajib
Pajak, dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada Walikota bahwa ia
bukan Wajib Pajak terhadap Objek Pajak dimaksud. Apabila keterangan tersebut
disetujui, maka Walikota membatalkan penetapan sebagai Wajib Pajak, dalam
34
jangka waktu 1 (satu) bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud.
Namun apabila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Walikota
mengeluarkan keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya. Apabila
setelah jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya keterangan
tersebut, Walikota tidak memberikankeputusan, maka keterangan yang diajukan
itu dianggap disetujui dan Walikota segera membatalkan penetapan sebagai
Wajib Pajak.
Nilai Jual Obyek Pajak menurut Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 7
Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011
tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan adalah “harga rata-rata yang
diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak
terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandinganharga dengan
objek lain yang sejenis,ataunilaiperolehanbaru,atauNJOPpengganti”.Besarnya
NJOP Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) untuk setiap WajibPajak.
Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan menurut
Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 7 Tahun 2015 tentang Perubahan atas
Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
Perkotaan Pasal 6 ayat 1 adalah Nilai Jual Obyek Pajak.
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan berdasarkan Peraturan Daerah
Kota Malang Nomor 7 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah
Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan Pasal 7
ayat 1 adalah sebagai berikut:
35
a. untuk NJOP sampai dengan Rp. 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus
juta rupiah) ditetapkan sebesar 0,055 % (nol koma nol lima puluh lima
persen) per tahun;
b. untuk NJOP Rp. 1.500.000.001,00 (satu milyar lima ratus juta satu rupiah)
sampai dengan Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) ditetapkan
sebesar 0,112 % (nol koma seratus dua belas persen) per tahun;
c. untuk NJOP Rp. 5.000.000.001,00 (lima milyar satu rupiah) sampai dengan
Rp. 100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,145 %
(nol koma seratus empat puluh lima persen) per tahun;
d. untuk NJOP diatas Rp. 100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah)
ditetapkan sebesar 0,113 % (nol koma seratus tiga belas persen) per tahun.
Dalam hal pemanfaatan bumi dan/atau bangunan ramah lingkungan
dan/atau merupakan bangunan atau lingkungan cagar budaya, maka dapat
diberikan pengurangan paling banyak sebesar 50 % (lima puluh persen) dari tarif
Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan.Besaran pokok Pajak Bumi dan Bangunan
Perkotaan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar
pengenaan pajak sebagaimana dimaksud, setelah dikurangi NJOP Tidak Kena
Pajak.
Pendataan dilakukan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Obyek
Pajak (SPOP). Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) berdasarkan
Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 7 Tahun 2015 tentang Perubahan atas
Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
Perkotaan adalah “surat yang digunakan oleh Wajib Pajakuntuk melaporkan data
subjek dan objek Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah”. SPOP harus diisi dengan
36
jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan kepada Walikota
atau Pejabat yang ditunjuk, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah
tanggal diterimanya SPOP oleh Subjek Pajak.
2.2.5.3 Jenis Pajak
Beberapa jenis paajk menurut Resmi (2016: 7-8) adalah:
1) Menurut Golongan
Pajak menurut golongannya terdiri dari:
a) Pajak Langsung;
Pajak langsung adalah pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri
oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada
orang lain atau pihak lain. Pajak harus menjadi beban Wajib Pajak yang
bersangkutan. Contohnya: Pajak Penghasilan (PPh), PPh dibayar atau
ditanggung oleh pihak-pihak tertentu yang memperoleh penghasilan
tersebut.
b) Pajak Tidak Langsung
Pajak tidak langsung adalah pajak yang pada akhirnya dapat
dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain atau ihak ketiga. Pajak
tidak langsung terjadi jika terdapat suatu kegiatan, peristiwa, atau
perbuatan yang menyebabkan terutangnya pajak, misalnya terjadi
penyerahan barang dan jasa. Contohnya: Pajak Pertambahan Nilai
(PPN). PPN terjadi karena terdapat pertambahan nilai terhadap barang
dan jasa. Pajak ini dibayarkan oleh produsen atau pihak yang menjual
barang, tetapi dapat dibebankan kepada konsumen baik secara eksplisit
maupun implisit (dimasukkan dalam harga jual barang dan jasa).
37
2) Menurut Sifat
a) Pajak Subjektif
Pajak Subjektif adalah pajak yang pengenaannya memperhatikan
keadaan wajib pajak atau pengenaan pajak yang memperhatikan
keadaan subjeknya. Contohnya: Pajak Penghasilan (PPh). Dalam PPh
terdapat Subjek Pajak (Wajib Pajak) orang pribadi. Pengenaan PPh
untuk orang pribadi tersebut memperhatikan keadaan pribadi Wajib
Pajak (status perkawinan, banyaknya anak, dan tanggungan lainnya).
Keadaan pribadi wajib Pajak tersebut selanjutnya digunakan untuk
menentukan besarnya penghasilan tidak kena pajak.
b) Pajak Objektif
Pajak Objektif merupakan pajak yang pengenaannya memperhatika
objeknya,baik berupa benda, keadaan, perbuatan, maupun peristiwa
yang mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar pajak, tanpa
memperhatikan keadaan pribadi Subjek Pajak (Wajib Pajak) dan tempat
tinggal. Contonya: Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan
atas Barang Mewah (PPnBM), serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
3) Menurut Lembaga pemungutnya
c) Pajak Negara (Pajak Pusat)
Pajak Negara (Pajak Pusat merupakan pajak yang dipungut oleh
pemerintah pusat. Contohnya: PPh, PPN, dan PnBM.
d) Pajak Daerah
Pajak Daerah merupakan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah,
baik daerah tingkat I (pajak provinsi) maupun daerah tingkat II ( pajak
Kabupaten/Kota, dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah
38
masing-masing. Pajak Daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009.
2.2.5.4 Fungsi Pajak
Menurut Rahayu (2010) fungsi pajak antara lain:
1. Fungsi Budgetair
Fungsi Budgetair ini merupakan fungsi utama pajak, atau fungsi fiskal (fiscal
function), yaitu pajak dipergunakan sebagai alat untuk memasukkan dana
secara optimal ke kas negara yang dilakukan sistem pemungutan
berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku. Pajak berfungsi
sebagai alat untuk memasukkan uang dari sektor swasta (rakyat) ke dalam
kas negara atau anggaran pemerintah sebagai pihak yang membutuhkan
dana untuk membiayai berbagai kepentingan melakukan upaya pemungutan
pajak dari penduduknya. Disebut sebagai fungsi utama karena secara
historis pertama kali muncul. Pajak digunakan sebagai alat untuk
menghimpun dana dari masyarakat tanpa ada kontraprestasi secara
langsung dari zaman sebelum masehi sudah dilakukan. Pengumpulan dama
dari pajak adalah seoptimal mungkin, karena memasukkan dana secara
optimal buka berarti memasukkan dana secara maksimal, atau sebesar-
besarnya, tetapi usaha memasukkan dana jangan sampai ada yang
terlewatkan, baik subyek pajak maupun obyek pajaknya.
2. Fungsi Regulerend
Fungsi regulerend disebut juga fungsi mengatur, yaitu pajak merupakan alat
kebijakan pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Selain untuk
memasukkan uang untuk kegunaan kas negara, pajak dimaksudkan pula
39
sebagai usaha pemerintah untuk ikut andil dalam hal mengatur dan bilamana
perlu mengubah susunan pendapatan dan kekayaan dalam sektor swasta.
Fungsi regulerend juga disebut fungsi tambahan, karena fungsi regulerend
ini hanya sebagai tambahan atas fungsi utama pajak yaitu fungsi budgetair.
2.2.5.5 Sistem Pemungutan Pajak
Dalam rangka memungut pajak menurut Resmi (2016: 10-11) dikenal
beberapa sistem pemungutan pajak, antara lain: Official Assessment System,
Self Assessment System, dan With Holding System.
a) Official Assessment System
Official Assessment System merupakan sistem pemungutan pajak yang
memberi kewenangan aparatur perpajakan untuk menentukan sendiri jumlah
pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta kegiatan
menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada di tangan para
aparatur perpajakan. Dengan demikian, berhasil atau tidaknya pelaksanaan
pemungutan pajak banyak tergantung pada aparatur perpajakan (peranan
dominan ada pada aparatur perpajakan).
b) Self Assessment System
Self Assessment System merupakan sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang Wajib Pajak dalam menentukan sendiri jumlah pajak
yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini inisiatif serta kegiatan
menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada di tangan Wajib
Pajak. Wajib Pajak dianggap mampu menghitung pajak, memahami undang-
40
undang perpajakan yang sedang berlaku, mempunyai kejujuran yang tinggi,
dan menyadari akan arti pentingnya membayar pajak.
c) With Holding System
With Holding System merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada pihak ketiga yang ditunjuk untuk menentukan besarnya
pajak yang terutang oleh Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku. Penunjukan pihak ketiga ini dilakukan
sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Keputusan
presiden, dan peraturan lainnya untuk memotong serta memungut pajak,
menyetor, dan mempertanggungjawabkan melalui sarana perpajakan yang
tersedia. Berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak
tergantung pada pihak ketiga yang ditunjuk. Peranan dominan pada pihak
ketiga.
2.2.5.6 Syarat Pemungutan Pajak
Pajak yang dibebankan kepada masyarakat haruslah tidak boleh terlalu
tinggi dan tidak boleh terlalu rendah. Menurut Sumarsan (2013: 7) apabila pajak
terlalu tinggi maka masyarakat akan enggan membayar dan apabila terlalu
rendah maka pembangunan tidak akan berjalan karena kekurangan dana. Oleh
karena itulah, maka menurut Sumarsan (2013: 7-8) pemungutan pajak harus
memenuhi syarat:
1) Adil
Seperti halnya produk hukum, pajak pun mempunyai tujuan untuk
menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam perundang-
undangan maupun adil dalam pelaksanaannya. Misalnya: (1) Dengan
41
mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak; (2) Pajak diberlakukan bagi
setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak; (3) Sanksi
atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai dengan berat
ringannya pelanggaran.
2) Tidak mengganggu perekonomian
Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak
mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan,
maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan
masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak,
terutama masyarakat kecil dan menengah.
3) Efisien
Biaya-biaya yang dikeluarkan dalm rangka pemungutan pajak harus
diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada
biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itulah, sistem pemungutan
pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan demikian,
wajib pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik
dari segi perhitungan maupun dari segi waktu.
4) Sederhana
Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung
beban pajak yang harus dibayarnya. Apabila sistem pajak sederhana maka
akan meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Namun jika sistem
pajak rumit maka orang akan semakin enggan membayar pajak.
42
2.2.6 Kemauan Membayar Pajak
Norman D. Nowak (1970) (dalam Zain, 2007:31) mengatakan bahwa
“peningkatan penerimaan pajak akibat verifikasi aparat perpajakan, aktivitas para
ahli hukum, para akuntan serta tehnisi lainnya dan keputusan peradilan
perpajakan, hanya sebesar 3%-5% dari total penerimaan, sedangkan sisanya
sebesar 95% adalah hasil dari pengembangan iklim perpajakan. Sedangkan
menurut Zain (2007: 31) faktor dominan yang berpengaruh terhadap
perkembangan iklim perpajakan adalah cara pandang wajib pajak yang
mempengaruhi kemauan wajib pajak untuk membayar pajak sesuai peraturan
yang berlaku.
Kemauan membayar pajak menurut Zain (2007:30) adalah sampai sejauh
mana wajib pajak akan mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan
dalam membayar pajak. Maksudnya adalah seberapa besar keinginan wajib
pajak untuk membayar pajak. Sedangkan faktor-faktor yang berhubungan
dengan kemauan membayar pajak menurut Zain (2007:33-38) antara lain: (1)
sanksi; (2) pelayanan; (3) reputasi petugas pajak. Selain itu menurut Randlane
(2013) “Willingness to pay tax is called tax moral. Tax morale is the attitude of
individuals toward paying taxes, their personal belief, norms, and intrinsic
motivation”. Dari pendapat Randlane tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
kemauan membayar pajak merupakan sikap seseorang terhadap pembayaran
pajak, keyakinan pribadi, norma, dan motivasi. Dari pendapat Zain dan Randlane
tersebut dapat disimpulkan bahwa kemauan membayar pajak merupakan sikap
seseorang terhadap pembayaran pajak, sampai sejauh mana wajib pajak akan
mematuhi peraturan perpajakan dalam membayar pajaknya.
43
Indikator kemauan membayar pajak menurut Hardiningsih (2011) antara
lain:
a. Menyiapkan dokumen yang diperlukan dalam membayar pajak
b. Mengetahui informasi mengenai cara dan tempat pembayaran pajak
c. Mengetahui informasi mengenai batas waktu pembayaran pajak
d. Alokasi dana untuk membayar pajak
2.2.7 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kemauan Membayar Pajak
2.2.7.1 Sanksi
Menurut Richard Burton (2002) “Kaidah Hukum (hukum pajak) berupa
sanksi pidana maupun administrasi pada dasarnya dimaksudkan agar
masyarakat patuh dan mau melunasi kewajibannya untuk melunasi utang
pajaknya dengan baik dan benar”. Sedangkan menurut Mardiasmo (2009: 56)
“Sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan (norma perpajakan) akan dituruti/ditaati/dipatuhi. Menurut
Zain (2007:34) “sanksi berhubungan dengan kemauan membayar pajak karena
sanksi, terutama sanksi pidana akan membuat wajib pajak takut untuk
mendekam di penjara sehingga mereka mau membayar pajak, namun pada
umumnya wajib pajak tidak takut dengan sanksi administrasi”. Wajib Pajak pada
umumnya akan merasa takut akan ancaman hukuman apabila diketahui
melakukan kecurangan. Menurut beberapa administrator, apabila dengan
ancaman hukuman saja wajib pajak merasa takut maka tidak perlu dilakukan
tindakan apapun untuk membuat wajib pajak patuh terhadap peraturan
perpajakan. Perasaan takut akan tertangkap dan dipenjarakan akibat melanggar
peraturan perpajakan merupakan alat pencegah yang ampuh untuk mengurangi
44
pelanggaran terhadap peraturan.
Terdapat 2(dua) macam sanksi dalam perpajakan menurut Rahayu(2010:),
yaitu:
1. Sanksi administrasi
Sanksi administrasi menurut Rahayu (2010) terdiri dari:
a. Denda, yaitu sanksi yang dikenakan terkait pelanggaran terhadap
kewajiban pelaporan
b. Bunga, yaitu sanksi yang dikenakan terkait pelanggaran terhadap
kewajiban pembayaran pajak
c. Kenaikan, yaitu sanksi yang berupa kenaikan jumlah pajak yang harus
dibayar, terkait pelanggaran terhadap kewajiban yang diatur dalam
ketentuan material
2. Sanksi pidana
Dalam Rahayu (2010) dijelaskan bahwa sanksi pidana yang dapat
dikenakan terhadap pelanggaran terhadap peraturan perpajakan adalah
berupa hukuman kurungan dan hukuman penjara. Menurut Rahayu dan
Suandy (2010) perbedaan pidana kurungan dan pidana penjara adalah
sebagai berikut:
a. Pidana kurungan
1) Terhukum menjalani hukuman di rumah sendiri, dengan kewajiban
melapor kepada yang berwajib
2) Hukuman kurungan maksimal 1 tahun
3) Terhukum dalam melakukan aktifitas pekerjaan lebih ringan
4) Tahanan kurungan lebih leluasa dikunjungi sanak saudaranya, dapat
melakukan aktivitas lain, misalnya ada alat hiburan, mendengarkan
45
musik, membaca buku
5) Tidak ada pembagian kelas antara pidana yang pernah dilakukan
6) Pidana kurungan dapat menjadi pengganti hukuman denda
b. Pidana penjara
1) Terhukum dalam menjalani pidana di tempat tertentu, seperti di
gedung atau di pulau terpencil
2) Hukuman batas maksimal seumur hidup atau dihukum mati
3) Pekerjaan di lembaga pemasyarakatan lebih banyak dan berat
Indikator sanksi menurut Adam Smith (dalam Rahayu, 2010:63) antara lain:
a. Sanksi yang diberikan kepada Wajib Pajak harus jelas
b. Sanksi Perpajakan tidak mengenal kompromi (not arbitrary), tidak ada
komromi
c. Sanksi yang diberikan seimbang
d. Sanksi yang diberikan memberikan efek jera
2.2.7.2 Persepsi Tentang Pelayanan On The Spot
Pelayanan on the spot yaitu pelayanan pembayaran Pajak Bumi dan
Bangunan Perkotaan dengan mobil pajak keliling ketika ada blusukan atau acara
perpajakan sehingga memudahkan dan lebih dekat dengan wajib pajak. Dalam
rangka mengetahui bagaimana pendapat wajib pajak tentang pelayanan on the
spot ini, maka digunakan teori persepsi dan teori tentang kualitas pelayanan.
Persepsi menurut pendapat dari Robbins (2013:200) adalah “proses di
mana individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka
guna memberikan arti bagi lingkungan mereka”. Indikator Persepsi menurut
Robbins (2013) adalah:
46
1) Penerimaan
Menurut Robbins (2013) proses penerimaan merupakan indikator terjadinya
persepsi dalam tahap fisiologi, yaitu berfungsinya indera untuk menangkap
rangsang dari luar.
2) Interpretasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) interpretasi adalah
pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu atau
tafsiran.
Sedangkan untuk mengetahui apa yang dirasakan oleh wajib pajak
digunakan indikator ukuran kepuasan wajib pajak yang tedapat pada lima
dimensi kualitaas pelayanan menurut Zethaml-Parasuraman-Berry (1990)(dalam
Pasolong, 2016: 135) yaitu:
1) Tangibles
Tangibles merupakan kualitas pelayanan berupa sarana fisik perkantoran,
komputerisasi administrasi, ruang tunggu, dan tempat informasi.
2) Reliability
Reliability merupakan kemampuan dan keandalan untuk menyediakan
pelayanan yang terpercaya.
3) Responsive
Responsive merupakan kesanggupan untuk membantu dan menyediakan
pelayanan secara cepat dan tepat, serta tanggap terhadap keinginan
konsumen.
4) Assurance
Assurance merupakan kemampuan dan keramahan serta sopan santun
pegawai dalam meyakinkan konsumen.
47
5) Emphaty
Sikap tegas tetapi penuh perhatian dari pegawai terhadap konsumen.
2.2.7.3 Reputasi Petugas Pajak
Reputasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perbuatan yang
menyebabkan mendapatkan nama baik. Reputasi petugas pajak ini erat
kaitannya dengan etika administrasi publik, apabila perbuatan yang dilakukan
oleh petugas etis atau baik maka petugas akan mendapatkan nama baik.
Menurut Bentham (1789)(dalam Pasolong, 2016: 194) mengatakan bahwa “
prinsip etis dan tidak etisnya suatu kegiatan tergantung kepada kecenderungan
menghasilkan kebahagiaan, atau mengurangi kebahagiaan”. Mengikuti Jeremy
Bentham , John Stuart Mill (1861) (dalam Pasolong, 2016: 195) mengatakan
bahwa “suatu kegiatan dianggap baik secara etis apabila dapat meningkatkan
kebahagiaan dan tidak etis atau buruk apabila tidak mendatangkan kebahagiaan
atau kesenangan”.
Menurut Zain (2007) reputasi petugas pajak mempengaruhi kemauan wajib
pajak membayar pajak. Reputasi petugas pajak yang meliputi kecakapan,
kecepatan, ketepatan, keadilan dan kejujuran dalam melayani masyarakat.
Sesuai dengan pendapat Bentham yang didukung oleh John Stuart Mill diatas
dan dikaitkan dengan indikator reputasi petugas pajak menurut(2007) maka
reputasi petugas pajak akan baik apabila petugas pajak dapat melaksanakan
indikator tersebut dengan baik sehingga dapat mendatangkan kebahagiaan atau
kesenangan bagi wajib pajak yang dilayani.
Indikator Reputasi Petugas Pajak menurut Zain (2007:36) antara lain:
a. Kecakapan teknis
48
b. Cepat dalam pemberian layanan
c. Tepat dalam pemberian layanan
d. Adil dalam melayani
2.2.8 Administrasi Publik
2.2.8.1 Pengertian Administrasi Publik
Menurut Chandler dan Plano dalam (Keban, 2004:3) Administrasi Publik
adalah “proses dimana sumber daya dan personel publik diorganisir dan
dikoordinasikan untuk memformulasikan, mengimplementasikan, dan mengelola
(manage) keputusan-keputusan dalam kebijakan publik”. Sedangkan menurut
Marshall E. Dimock, Gladys O. Dimock dan Louis W Koenig dalam (Pasolong,
2016:7) administrasi publik adalah “kegiatan pemerintah di dalam melaksanakan
kekuatan politiknya”. Sedangkan menurut pendapat Jhon M pfiffner dan Robert V
Prethus dalam (Pasolong , 2016:7) administrasi publik meliputi:
“(1) implementasi kebijakan pemerintah yang telah ditetapkan oleh badan-badan perwakilan politik;(2) koordinasi usaha-usaha perorangan dan kelompokuntuk melaksanakan kegiatan pemerintah;(3) Suatu proses yang bersangkutandengan pelaksanaan kebijakan-kebijakan pemerintah, pengarahan kecakapandan teknik-teknik yang tidak terhingga jumlahnya, memberikan arah dan maksudterhadap usaha sejumlah orang.”
Dari beberapa definisi di atas maka Pasolong mendefinisikan administrasi
publik sebagai “ kerjasama yang dilakukan oleh sekelompok orang atau lembaga
dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dalam memenuhi kebutuhan
secara efisien dan efektif”.
49
2.2.8.2 Ruang Lingkup Administrasi Publik
Ruang lingkup administrasi publik disampaikan oleh beberapa ahli. Menurut
Nicholas Henry dalam (Pasolong, 2016:19) ruang lingkup administrasi publik
antara lain:
1. Organisasi publik, pada prinsipnya berkenaan dengan model-model
organisasi dan perilaku organisasi;
2. Manajemen publik, yaitu berkenaan dengan sistem dan ilmu manajemen,
evaluasi program dan produktivitas, anggaran publik dan manajemen
sumber daya manusia; dan
3. Implementasi, yaitu menyangkut pendekatan terhadap kebijakan publik dan
implementasinya, privatisasi, administrasi antar pemerintahan dan etika
birokrasi.
Menurut Dimock dan Dimock dalam (Pasolong, 2016: 20) membagi
administrasi publik ke dalam empat komponen, yaitu:
1. Apa yang dilakukan pemerintah, pengaruh kebijakan dan tindakan-
tindakan politis, dasr-dasar, wewenang, lingkungan kerja pemerintah,
penentuan tujuan-tujuan, kebijakan-kebijakan administratif yang bersifat
ke dalam, dan rencana-rencana;
2. Bagaimana pemerintah mengartur organisasi, personalia, dan
pembiayaan usaha-usahanya, struktur administrasi dari segi formalnya;
3. Bagaimana para administrator mewujudkan kerja sama (teamwork).
Aliran dan proses administrasi dalam pelaksanaan, dengan titik berat
pada pimpinan, tuntutan, koordinasi, pelimpahan wewenang, hubungan
pusat dan bagian-bagian, pengawasan, moril, hubungan masyarakat dan
sebagainya; dan
50
4. Bagaimana pemerintah tetap bertanggung jawab baik mengenai
pengawasan dalam badan-badan eksekutif sendiri, dan yang lebih
penting lagi mengenai pengawasan oleh badan-badan perwakilan rakyat,
badan-badan yudikatif, dan berbagai badan lainnya.
Sementara itu, lingkup administrasi publik menurut Keban dalam
(Pasolong, 2016:21) meliputi:
1. Kebijakan;
2. Organisasi;
3. Manajemen;
4. Moral dan etika;
5. Lingkungan; dan
6. Akuntabilitas
Sedangkan menurut Pasolong ruang lingkup administrasi publik antara lain:
1. Kebijakan publik;
2. Birokrasi publik;
3. Manajemen publik;
4. Kepemimpinan;
5. Pelayanan publik;
6. Administrasi kepegawaian negara;
7. Kinerja; dan
8. Etika administrasi publik.
51
2.2.9 Pelayanan Publik
2.2.9.1 Definisi Pelayanan
Pada dasarnya pelayanan ialah kegiatan seseorang, sekelompok dan/
atau organisasi baik secara langsung maupun tidak langsung untuk memenuhi
kebutuhan. Menurut pendapat Moenir (2013) (dalam Pasolong, 2016: 128)
pelayanan adalah “proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain
secara langsung. Sedangkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (1993)
(dalam Pasolong, 2016: 128) berpendapat bahwa pelayanan adalah “segala
bentuk kegiatan pelayanan dalam bentuk barang atau jasa dalam rangka upaya
pemenuhan kebutuhan masyarakat”.
2.2.9.2 Definisi Pelayanan Publik
Definisi Pelayanan publik menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik adalah “kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam
rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau
pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik”.
Pelayanan publik menurut Sinambela (dalam Pasolong, 2016) adalah “setiap
kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang
memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau
kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu
produk secara fisik”. Sedangkan menurut pendapat dari Agung (dalam Pasolong
2016) pelayanan publik adalah “ pemberian pelayanan 9melayani) keperluan
orang lain atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu
sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Dari sudut
52
pelanggan dimana dalam hal ini merupakan wajib pajak, setiap dimensi itu
penting dalam penyampaian pelayanan yang berkualitas, untuk itu pemerintah
perlu menerapkan perspektif pelayanan pelanggan sesuai dengan pendapat dari
Jan Carlzon (dalam William) (dalam Pasolong, 2016) yang antara lain:
1.Pelanggan adalah raja;
2.Pelanggan adalah alasan keberadaan kita;
3.Tanpa pelanggan, kita tidak punya apa-apa;
4.Pelanggan kitalah yang menentukan bisnis kita; dan
5.Jika kita tidak memahami pelanggan kita, maka berarti kita tidak
memahami bisnis kita.
Pernyataan di atas menunjukkan orientasi terhadap pelanggan(wajib pajak), yaitu
bahwa pelanggan (wajib pajak) adalah penentu puncak sifat dan keberhasilan
organisasi. Perspektif ini disebut perspektif pelanggan.
2.2.9.3 Kualitas Pelayanan Publik
Lima dimensi kualitaas pelayanan menurut Zethaml-Parasuraman-Berry
(1990)(dalam Pasolong, 2016: 135) yaitu:
1) Tangibles
Tangibles merupakan kualitas pelayanan berupa sarana fisik perkantoran,
komputerisasi administrasi, ruang tunggu, dan tempat informasi.
2) Reliability
Reliability merupakan kemampuan dan keandalan untuk menyediakan
pelayanan yang terpercaya.
53
3) Responsive
Responsive merupakan kesanggupan untuk membantu dan menyediakan
pelayanan secara cepat dan tepat, serta tanggap terhadap keinginan
konsumen.
4) Assurance
Assurance merupakan kemampuan dan keramahan serta sopan santun
pegawai dalam meyakinkan konsumen.
5) Emphaty
Sikap tegas tetapi penuh perhatian dari pegawai terhadap konsumen.
2.2.10 Etika Administrasi Publik
2.2.10.1 Definisi Etika
Etika berasal dari Yunani “ethos” yang berarti watak kesusilaan atau
adat. Kata ini identik dengan kata “ mos” yang berarti adat atau cara hidup.
Menurut pendapat dari Poedjawijatna (dalam Pasolong, 2016) etika merupakan
cabang dari filsafat. Etika hendak mencari, tindakan manusia manakah yang baik
dan manakah yang tidak baik atau buruk. Pendapat lain dikemukakan oleh
Bertens (dalam Keban) (dalam Pasolong, 2016) yang menggambarkan konsep
etika yaitu kebiasaan, adat atau akhlak atau watak. Sedangkan menurut Salam
Burhanuddin (dalam Pasolong, 2016) etika adalah “sebuah refleksi kritis dan
rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam
sikap dan pola perilaku manusia, baik secara pribadi maupun secara kelompok.”
Pengertian etika menurut Bratawijaya (1992) (dalam Pasolong, 2016: 190)
adalah” ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak atau moral”. Etika menurut
Bratawijaya ada dua jenis, yaitu:
54
1. Etika umum
Etika umum adalah menyajikan suatu pendekatan yang teliti mengenai
norma-norma yang berlaku umum bagi setiap warga masyarakat, yang terdiri
dari : norma santun, norma hukum, dan norma moral.
2. Etika Khusus
Etika Khusus adalah penerapan etika umum dalam kegiatan profesi seperti
etika dosen, etika sekretaris, etika dokter, etika bisnis dan sebagainya.
2.2.10.2 Etika Administrasi Publik
Menurut Bentham (1789)(dalam Pasolong, 2016: 194) mengatakan bahwa
“ prinsip etis dan tidak etisnya suatu kegiatan tergantung kepada kecenderungan
menghasilkan kebahagiaan, atau mengurangi kebahagiaan”. Mengikuti Jeremy
Bentham , John Stuart Mill (1861) (dalam Pasolong, 2016: 195) mengatakan
bahwa “suatu kegiatan dianggap baik secara etis apabila dapat meningkatkan
kebahagiaan dan tidak etis atau buruk apabila tidak mendatangkan kebahagiaan
atau kesenangan”.
55
BAB III
KERANGKA KONSEP PENELITIAN
3.1 Kerangka Pemikiran
Kerangka berpikir menurut Uma Sekaran (1992) (dalam Sugiyono,
2013:60) adalah ”model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan
dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting”.
Sedangkan menurut Suriasumantri (1986) (dalam Sugiyono 2013: 60) kerangka
pemikiran adalah “ penjelasan sementara terhadap gejala-gejala yang menjadi
obyek permasalahan”. Kerangka pemikiran dapat meyakinkan apabila alur
pikiran tersebut logis dalam membangun kerangka berpikir yang menghasilkan
kesimpulan berupa hipotesis. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
kerangka berpikir merupakan sintesa tentang hubungan antar variabel yang
disusun dari berbagai teori yang telah dideskripsikan (Sugiyono, 2013:60).
Kerangka pemikiran dalam penelitian yang akan dilakukan ini berawal dari
pelaksanaan desentralisasi berdasarkan Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah disebutkan ada dua prinsip keuangan daerah,
dimana prinsip pertama adalah untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang
luas, nyata dan bertanggung jawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan
menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan daerah serta antara propinsi dengan
kabupaten/kota. Salah satu kesempatan yang diperoleh Pemerintah Kota dalam
menggali sumber keuangannya sendiri adalah dengan dijadikannya Pajak Bumi
dan Bangunan Perkotaan sebagai Pajak Daerah yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
56
Namun upaya menggali sumber keuangan sendiri bagi Pemerintah Daerah
melalui Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan ini masih mengalami hambatan.
Salah satunya adalah masih tingginya piutang Pajak Bumi dan Bangunan
Perkotaan. Apabila piutang menurun atau tidak terdapat piutang sama sekali
maka penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan akan meningkat.
Menurut Norman D. Nowak (2007) (dalam Zain, 2007:31) peningkatan
penerimaan pajak 95% merupakn hasil dari pengembangan iklim perpajakan.
Sedangkan faktor dominan yang berpengaruh terhadap iklim perpajakan menurut
Zain (2007) adalah cara pandang wajib pajak yang mempengaruhi kemauan
membayar pajak, yaitu sampai sejauh mana wajib pajak akan mematuhi
peraturan perundang-undangan. Faktor-faktor yang yang berhubungan dengan
kemauan membayar pajak menurut Zain (2007) antara lain: sistem perpajakan
yang adil, sanksi, pelayanan, reputasi petugas pajak, dan program informasi.
Sedangkan Jogiyanto (2008) yang mengatakan bahwa “ Jika niat diyakini
memang benar-benar sebagai penentu langsung dari perilaku atas kemauan
sendiri (volitional behavior) maka mereka seharusnya berkorelasi lebih kuat
dengan perilaku dibandingkan dengan faktor-faktor penentu lainnya”. Hal ini
dapat diartikan bahwa kemauan membayar pajak merupakan faktor utama yang
dapat mempengaruhi wajib pajak untuk membayar pajak.Dari pendapat ahli dan
penelitian terdahulu diketahui bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan
kemauan membayar pajak adalah sanksi, pelayanan, dan reputasi petugas
pajak. Sedangkan dari ketiga faktor tersebut yang belum diteliti pada penelitian
terdahulu yang digunakan dalam penelitian ini adalah reputasi petugas pajak.
Variabel sistem perpajakan yang adil dan program informasi yang
dinyatakan oleh Zain (2007) tidak digunakan. Sistem perpajakan yang adil tidak
57
digunakan karena berdasarkan Teori Gaya Pikul (dalam Rahayu, 2013: 59)
keadilan dan kebenaran negara dalam memungut pajak dari warganya
didasarkan pada kemampuan dan kekuatan setiap pribadi masyarakatnya, yaitu
kemampuan dan kekuatan untuk memperoleh penghasilan, harta kekayaan, dan
konsumsi dengan tujuan agar dapat menghidupi diri sendiri dan kemampuan
untuk memikul beban kehidupan lainnya. Apabila dihubungkan dengan Pajak
Bumi dan Bangunan Perkotaan, teori ini sulit dilaksanakan karena pendataan
yang dilakukan hanya terkait obyek pajak dan identitas wajib pajaknya saja ,
sehingga tidak dapat diketahui berapa kemampuan dan kekuatan pribadi wajib
pajak. Selain itu juga perolehan obyek pajak belum tentu merupakan hasil usaha
wajib pajak, seperti diperoleh dari warisan, sewa, hibah atau hadiah. Selain itu,
informasi yang berkaitan dengan data subyek pajak, wajib pajak, dan obyek
pajak hanya diketahui oleh petugas pajak, sehingga tidak relevan ketika
ditanyakan kepada wajib pajak. Sedangkan untuk program informasi tidak
digunakan karena menurut Zain (2007: 38) program informasi yang dimaksudkan
adalah pemberian informasi kepada anak-anak usia muda yang dilakukan di
sekolah-sekolah sehingga tidak relevan ketika hal tersebut ditanyakan kepada
Wajib Pajak melalui kuesioner yang dibagikan oleh penulis. Selain itu, di Kota
Malang sendiri semenjak tahun 2013 sampai dengan bulan Oktober 2017 baru
sekali dilaksanakan pemberian informasi yaitu tahun 2015 dan dilakukan kepada
ketua RT di seluruh Kota Malang terkait adanya perubahan Nilai Jual Obyek
Pajak sebagai dasar perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan terutang.
58
Apabila faktor-faktor yang berhubungan dengan kemauan membayar pajak
tersebut dapat ditingkatkan maka kemauan membayar Pajak Bumi dan
Bangunan Perkotaan juga akan meningkat. Hal ini dapat meningkatkan realisasi
penerimaan Pendapatan Asli Daerah yang berasal dari penerimaan Pajak Bumi
dan Bangunan Perkotaan yang dapat meningkatkan kemampuan daerah dalam
membayai pembangunan daerah dan mengurangi ketergantungan daerah
terhadap pemerintah pusat. Kondisi ini sesuai dengan prinsip keuangan daerah
yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yaitu diperlukannya kemampuan untuk menggali sumber
keuangan sendiri dalam pelaksaaan otonomi daerah.Dari penjabaran di atas
maka kerangka konsep penelitian ini adalah sebagai berikut.
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Dari Gambar diatas maka kerangka konsep penelitian akan dijelaskan lebih lanjut
berikut ini.
Sanksi, Persepsi tentang PelayananOn The Spot, dan Reputasi Petugas
Pajak
Kemauan Membayar Pajak Bumidan Bangunan Perkotaan
59
3.1.1. Hubungan Sanksi dan Kemauan Membayar Pajak Bumi dan
Bangunan Perkotaan
Menurut Richard Burton (2002), sanksi pajak berupa sanksi administrasi
maupun sanksi pidana dimaksudkan agar masyarakat patuh dan mau membayar
pajaknya dengan baik dan benar. Dari sudut pandang yuridis, pajak mengandung
unsur pemaksaan. Maksudnya, jika kewajiban perpajakan tidak dilaksanakan,
maka akan ada konsekuensi hukum yang berupa sanksi baik berupa sanksi
administrasi maupun sanksi hukum. Sedangkan menurut Zain (2007: 34-35)
“Penduduk di berbagai bagian dunia ini merasa takut akan ancaman hukuman
yang berbeda-beda, tetapi pada umumnya para wajib pajak cenderung tidak
takut akan ketetapan pajak beserta sanksi administrasinya, tetapi lebih takut
akan ancaman sanksi pidananya berupa hukuman kurungan atau penjara.” Oleh
karena itulah maka Zain (2007) berpendapat bahwa sanksi berhubungan dengan
kemauan membayar pajak.Selain itu dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Nugroho(2016) menunjukkan bahwa sanksi berhubungan secara positif dan
signifikan dengan kemauan membayar pajak.
3.1.2. Hubungan Pelayanan On The Spot dan Kemauan Membayar Pajak
Bumi dan Bangunan Perkotaan
Menurut Zain (2007: 35) “untuk meningkatkan kemauan membayar pajak
maka harus dikembangkan dan ditingkatkan pelayanan terhadap wajib pajak”.
Demikian juga menurut pendapat Zeithaml (1990)(dalam Pasolong, 2016: 135)
yang mengatakan bahwa “keputusan seorang konsumen untuk mengkonsumsi
barang atau jasa dipengaruhi oleh berbagai faktor yang salah satunya adalah
persepsinya terhadap kualitas pelayanan”. Dengan kata lain, baik buruknya
60
kualitas pelayanan tergantung dari persepsi konsumen atas pelayanan yang
diberikan. Pelayanan on the spot merupakan pelayanan pembayaran Pajak Bumi
dan Bangunan Perkotaan yang bertujuan untuk memberikan pelayanan yang
lebih dekat dan lebih menghemat biaya bagi para wajib pajak. Pelayanan ini
dilakukan karena semenjak Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan menjadi
bagian dari Pajak Asli Daerah maka wajib pajak tidak dapat membayar pajak
tersebut di semua kelurahan seperti ketika Pajak Bumi dan Bangunan masih
menjadi Pajak Pusat. Oleh karena itulah, untuk memudahkan wajib pajak yang
tinggal di Kelurahan yang belum terdapat tempat pembayaran Pajak Bumi dan
Bangunan Perkotaan tersebut, maka pada saat dilaksanakan agenda blusukan
Walikota atau kegiatan yang berkaitan dengan perpajakan seperti jalan sehat
sadar pajak, maka diadakan Pelayanan on the Spot. Apabila persepsi tentang
pelayanan on the spot ini baik maka kemauan membayar Pajak Bumi dan
Bangunan Perkotaan akan meningkat.
3.1.3. Hubungan Reputasi Petugas Pajak dan Kemauan Membayar Pajak
Bumi dan Bangunan Perkotaan
Reputasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988:744) adalah
“perbuatan yang menyebabkan orang mendapat nama baik”. Reputasi petugas
pajak ini erat kaitannya dengan etika administrasi publik, apabila perbuatan yang
dilakukan oleh petugas etis atau baik maka petugas akan mendapatkan nama
baik. Menurut Bentham (1789)(dalam Pasolong, 2016: 194) mengatakan bahwa “
prinsip etis dan tidak etisnya suatu kegiatan tergantung kepada kecenderungan
menghasilkan kebahagiaan, atau mengurangi kebahagiaan”. Mengikuti Jeremy
Bentham , John Stuart Mill (1861) (dalam Pasolong, 2016: 195) mengatakan
61
bahwa “suatu kegiatan dianggap baik secara etis apabila dapat meningkatkan
kebahagiaan dan tidak etis atau buruk apabila tidak mendatangkan kebahagiaan
atau kesenangan”.
Menurut Zain (2007) reputasi petugas pajak berhubungan dengan
kemauan wajib pajak membayar pajak. Reputasi petugas pajak yang meliputi
kecakapan, kecepatan, ketepatan, keadilan dan kejujuran dalam melayani
masyarakat. Sesuai dengan pendapat Bentham yang didukung oleh John
Stuart Mill diatas dan dikaitkan dengan indikator reputasi petugas pajak
menurut Zain(2007) maka reputasi petugas pajak akan baik apabila petugas
pajak dapat melaksanakan indikator tersebut dengan baik sehingga dapat
mendatangkan kebahagiaan atau kesenangan bagi wajib pajak yang dilayani.
Aabila dilihat dari sisi kecakapan, apabila petugas cakap, maka wajib pajak
akan dapat menerima pelayanan sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Dari sisi
keadilan, apabila wajib pajak yang merasa diperlakukan adil tanpa dibeda-
bedakan maka kemauan membayar pajaknya akan meningkat.Hal ini
dikarenakan oleh semua tindakan yang dilakukan petugas pajak akan
mempengaruhi kepercayaan masyarakat. Apabila reputasi petugas pajak baik
maka kepercayaan masyarakat terhadapnya akan tinggi dan akan
meningkatkan kemauannya membayar pajak. Namun, apabila reputasi petugas
pajak buruk maka kemauan membayar pajak dari wajib pajak juga akan rendah.
62
3.2 Hipotesis
Sesuai dengan kerangka konseptual diatas maka hipotesis dalam
penelitian ini dapat dibuat tiga model sebagai berikut:
Keterangan:
Berhubungan Parsial
Berhubungan Simultan
Gambar 3.2 Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian secara verbal dapat dinyatakan sebagai berikut:
H1: Terdapat hubungan antara sanksi dan kemauan membayar Pajak Bumi dan
Bangunan Perkotaan di Kota Malang
H2 : Terdapat hubungan antara pelayanan on the spot dan kemauan membayar
Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang
H3 : Terdapat hubungan antara reputasi petugas pajak dan kemauan membayar
Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang
H4: Variabel sanksi, persepsi tentang pelayanan on the spot, dan reputasi
petugas pajak secara simultan berhubungan dengan Kemauan
MembayarPajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang.
KemauanMembayar Pajak
Bumi danBangunanPerkotaan
Persepsi tentang pelayanan onthe spot
Sanksi
Reputasi petugas pajak
63
3.3 Definisi Operasional dan pengukuran Variabel
Variabel penelitian menurut Sugiyono (2015: 38) adalah “segala sesuatu
yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dielajari sehingga
diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya.
Sedangkan menurut Hatch dan Farhady, 1981 (dalam Sugiyono, 2015) secara
teoritis variabeldapat didefinisikan “sebagai atribut seseorang atau obyek, yang
mempunyai “variasi” antara satu orang dengan yang lain atau satu obyek dengan
obyek yang lain” Selain itu, menurut Kerlinger (1973) (dalam Sugiyono, 2015)
“variabel adalah konstruk (constructs) atau sifat yang akan dipelajari”. Menurut
Kidder (1981) (dalam Sugiyono, 2015) menyatakan bahwa variabel adalah “suatu
kualitas (qualities) dimana peneliti mempelajari dan menarik kesimpulan darinya.
Berdasarkan pengertian variabel yang disampaikan oleh para ahli di atas dapat
disimpulkan bahwa variabel penelitian merupakan atribut atau sifat atau kualitas
dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.
Di dalam penelitian yang akan dilakukan ini variabel yang berhubungan
dengan Kemauan MembayarPajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota
Malang adalah Sanksi(selanjutnya disebut variabel X1),Persepsi tentang
Pelayanan On The Spot(Selanjutnya disebut variabel X2), dan Reputasi Petugas
Pajak (selanjutnya disebut variabel X3). Berdasarkan jenis variabel yang
ada,Variabel X1, X2, dan X3ini disebut variabel bebas, yaitu variabel yang
mempengaruhi variabel terikat. Sedangkan variabel terikat yaitu variabel
Kemauan membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan (selanjutnya disebut
variabel Y), yang merupakan variabel yang menjadi perhatian utama peneliti atau
variabel utama yang menjadi faktor yang berlaku dalam investigasi.
64
Salah satu hal yang membantu komunikasi antar peneliti adalah definisi
operasional. Definisi operasional merupakan petunjuk tentang bagaimana suatu
variabel diukur. Masing-masing dari variabel dalam penelitian ini dinyatakan
dalam definisi operasional sebagai berikut:
1. Kemauan Membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan
Menurut Zain (2007) kemauan membayar pajak adalah “seberapa besar
keinginan wajib pajak untuk memenuhi kewajibannya membayar pajak”.
Selain itu menurut Randlane (2013) “Willingness to pay tax is called tax
moral. Tax morale is the attitude of individuals toward paying taxes, their
personal belief, norms, and intrinsic motivation”. Dari pendapat Zain dan
Randlane tersebut dapat disimpulkan bahwa kemauan membayar pajak
merupakan sikap seseorang terhadap pembayaran kpajak, sampai sejauh
mana wajib pajak akan mematuhi peraturan perpajakan dalam membayar
pajaknya.Faktor- faktor yang berhubungan dengan kemauan membayar
pajak menurut Zain (2007) antara lain:
a) sistem perpajakan yang adil;
b) sanksi;
c) pelayanan;
d) reputasi petugas pajak;
e) program Informasi.
2. Sanksi
Terdapat dua jenis sanksi dalam perpajakan, yaitu sanksi administrasi dan
sanksi pidana. Menurut Richard Burton (2002) “Kaidah Hukum (hukum
pajak) berupa sanksi pidana maupun administrasi pada dasarnya
dimaksudkan agar masyarakat patuh dan mau melunasi kewajibannya untuk
65
melunasi utang pajaknya dengan baik dan benar”. Sedangkan menurut
Mardiasmo (2009: 56) “Sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (norma perpajakan)
akan dituruti/ditaati/dipatuhi. Menurut Zain (2007:34) “sanksi berhubungan
dengan kemauan membayar pajak karena sanksi, terutama sanksi pidana
akan membuat wajib pajak takut untuk mendekam di penjara sehingga
mereka mau membayar pajak, namun pada umumnya wajib pajak tidak takut
dengan sanksi administrasi”. Sanksi dalam penelitian yang akan dilakukan
ini dilihat dari pentingnya sanksi untuk menciptakan kedisiplinan wajib
dengan mewujudkan kemauan membayar Pajak Bumi dan Bangunan
Perkotaan. Pelaksanaan sanksi harus jelas,tidak mengenal kompromi,
seimbang, dan memberikan efek jera..
3. Persepsi tentang Pelayanan On The Spot
Definisi operasional persepsi tentang pelayanan on the spot dalam penelitian
yang akan dilakukan ini adalah bagaimana wajib Pajak Bumi dan
BangunanPerkotaan menerima dan menginterpretasikan informasi yang
diterimanya terkait pelayanan on the spot. Persepsi menurut pendapat dari
Robbins (2013:200) adalah “proses di mana individu mengatur dan
menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna memberikan arti
bagi lingkungan mereka”. Dari pendapat tersebut diketahui apabila stimulus
atau rangsangan atau informasi yang diberikan sangat penting dan
menentukan penafsiran yang dihasilkan terhadap stimulus atau rangsangan
tersebut. Salah satu upaya Pemerintah Kota Malang untuk memberikan
stimulus yang baik terkait pelayanan pembayaran pajak adalah dengan
memberikan pelayanan berkualitas dan dapat meningkatkan kemauan wajib
66
pajak PBB Perkotaan yaitu dengan pelayanan on the spot. Pelayanan on the
spot adalah pelayanan yang diberikan di daerah wajib pajak tinggal melalui
mobil pajak keliling yang biasanya dilakukan di Kantor Kelurahan yang
belum terdapat fasilitas pembayaran PBB Perkotaan atau ketika ada
kegiatan “blusukan” Walikota. Hal ini dilakukan karena dari data tempat
Pembayaran PBB Perkotaan di Kota Malang telah ditentukan terdapat di
beberapa lokasi saja, yang belum mencakup semua kelurahan di Kota
Malang.
Adanya pelayanan on the spot ini menyebabkan tempat membayar Pajak
Bumi dan Bangunan Perkotaan menjadi lebih dekat. Persepsi yang akan
digunakan dalam penelitian yang akan dilakukan ini adalah persepsi
masyarakat terutama masyarakat yang menjadi Wajib Pajak Bumi dan
Bangunan tentang Pelayanan On The Spot yaitu kualitas pelayanannya yang
menggunakan indikator dari Zeithaml. Menurut Zeithaml (1990)(dalam
Pasolong, 2016: 135) yang mengatakan bahwa “keputusan seorang
konsumen untuk mengkonsumsi barang atau jasa dipengaruhi oleh berbagai
faktor yang salah satunya adalah persepsinya terhadap kualitas pelayanan”.
Dengan persepsi tentang pelayanan on the spot terkait kualitas
pelayanannya yang baik terkait pelayanan on the spot ini maka seharusnya
kemauan wajib pajak untuk membayar PBB Perkotaan juga meningkat.
4. Reputasi Petugas Pajak
Reputasi petugas pajak ini erat kaitannya dengan etika administrasi publik,
apabila perbuatan yang dilakukan oleh petugas etis atau baik maka petugas
akan mendapatkan nama baik. Menurut Bentham (1789)(dalam Pasolong,
2016: 194) mengatakan bahwa “ prinsip etis dan tidak etisnya suatu kegiatan
67
tergantung kepada kecenderungan menghasilkan kebahagiaan, atau
mengurangi kebahagiaan”. Mengikuti Jeremy Bentham , John Stuart Mill
(1861) (dalam Pasolong, 2016: 195) mengatakan bahwa “suatu kegiatan
dianggap baik secara etis apabila dapat meningkatkan kebahagiaan dan
tidak etis atau buruk apabila tidak mendatangkan kebahagiaan atau
kesenangan”.
Reputasi Petugas Pajak menurut Zain (2007) dapat dilihat dari:
a. Kecakapan teknis
b. Kecepatan dalam memberikan pelayanan
c. Ketepatan dalam memberikan pelayanan
d. Keadilan dalam memberikan pelayanan
e. Kejujuran dalam memberikan pelayanan ini dikaitkan dengan pendapat
dari
Apabila indikator reputasi petugas pajak dikaitkan dengan etika
administrasi publik menurut Jeremy Bentham yang didukung oleh John
Stuart Mill maka apabila indikator kecakapan, kecepatan, ketepatan,
keadilan, dan kejujuram dalam memberikan pelayanan ini membuat wajib
pajak senang, maka dapat dikatakan bahwa petugas pajak telah
melaksanakan kewajibannya sesuai dengan etika administrasi publik.
Seperti sudah dijelaskan di sub bab variabel penelitian di atas bahwasanya
variabel belum siap diukur, maka dari itu diperlukan semacam petunjuk
pelaksanaan bagaimana cara mengukur suatu variabel. Definisi operasional
adalah petunjuk tentang bagaimana suatu variabel diukur. Dengan membaca
definisi operasional suatu penelitian akan diketahui pengukuran suatu variabel
sehingga dapat diketahui baik buruknya pengukuran tersebut (Singarimbun dan
68
Effendi, 1984). Dengan demikian definisi operasional merupakan sesuatu yang
memperjelas suatu konsep sehingga konsep tersebut dapat diukur untuk
keperluan pengukuran di lapangan.
Berdasarkan definisi konsep operasional danvariabel yang telah disajikan,
peneliti dapat menyajikan ringkasannya sebagaimana disajikan dalam tabel 3.1
berikut ini.
Tabel 3.1 Konsep,Variabel,Indikatordan ItemNo Konsep Variabel Indikator Item1 Pajak
Zain (2007), Randlane (2015)
Kemauan Membayar Pajak Bumi dan Bangunan(Hardiningsih, 2011)
a) Dokumen yang diperlukan dalam membayar pajak
Wajib pajak menyiapkan dokumen yang diperlukan dalam membayar PBB Perkotaan
b) Informasi mengenaicara dan tempat pembayaran pajak
1) Wajib pajak mencari informasi mengenai cara pembayaran PBB Perkotaan
2) Wajib Pajak mencari informasi mengenai tempat pembayaraan PBB Perkotaan
c) Informasi mengenaiwaktu pembayaran
1) Wajib Pajak mencari tahu jadwal tentang jadwal pelayanan pembayaran PBB Perkotaan
2) Wajib pajak telah mengetahui informasi mengenai batas waktu pembayaran PBB
d) Alokasi dana untuk membayarPajak
1) Wajib Pajak mengalokasikan dana untuk membayar PBB Perkotaan
2) Wajib Pajak menyiapkan dana yang telah dialokasikan sebelum berangkat ke tempat pembayaran PBB Perkotaan
2. Pajak
Richard Burton(2002), Mardiasmo (2009), dan Zain (2007)
SanksiAdam Smith (dalam Siti Kurnia Rahayu, 2010)
a) Sanksi yangdiberikan kepadawajib pajak jelas
Sanksi pajak yang diberikan jelas, yaitu antara sanksi administrasi dan sanksi pidana
b)Sanksi perpajakan tidak mengenal kompromi (not arbitrary), tidak adatoleransi
1) Wajib Pajak yang melanggar akan diberikan sanksi sesuai dengan peraturan
2) Sanksi pajak diberikan kepada semua wajib pajakyang melanggar
No Konsep Variabel Indikator Item
69
c) Sanksi yang diberikan seimbang
1) Wajib Pajak akan dikenakan sanksi administrasi jika tidak membayar/kurang membayar pajak terutang saat jatuh tempo adalah sesuai
2) Wajib Pajak akan dikenakan sanksi Pidana apabila menyembunyikan obyek pajaknya adalah sesuai
d) Sanksi yang diberikan memberikan efek jera
1) Sanksi pidana penjara diberikan kepada wajib pajak yang menyembunyikan obyek dapat memberikan efek jera
2) Sanksi pidana kurungan diberikan kepada wajib pajak yang tidak menyerahkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak dapat memberikan efek jera
3) Sanksi denda keterlambatan membayar pajak terutang sebesar 2%dapat memberikan efek jera.
3. Persepsi (Robbins, 2008), kualitas pelayanan publik (Zeithaml dan Berry, 1990)
Persepsi tentang pelayanan on the spot (Robbins, 2008), kualitas pelayanan publik (Zeithaml dan Berry, 1990)
a. Penerimaan informasi pelayanan on the spot
Wajib pajak mengetahui pelayanan on the spot dengan mobil pajak keliling ketika ada blusukan Walikota.
b. Interpretasi/ penilaian wajib pajak terhadap kualitas pelayanan on the spot
1. Tangible Sarana pelayanan on the spot dengan mobil pajak keliling baik.
2. Reliability Pelayanan on the spot dapat dipercaya karena wajib pajak yang membayar mendapat buktipembayaran yang sah
No Konsep Variabel Indikator Item
70
3. Responsive a) Pelayanan on the spot menguntungkan wajib pajak karena lokasinya lebih dekat.
b) Pelayanan on the spot yang lebih dekat sesuai dengan keinginan wajib pajak.
4. Assurance Petugas sopan dan ramah dalam melayani
5. Empathy Petugas pelayanan on the spot tegas dan melayani sesuai dengan kebutuhan wajib pajak
4. Etika administrasi publik (Jeremy Bentham,1789) dan JohnStuart Mill (1861)
Reputasi petugas pajak (Zain, 2007)
a) Kecakapan teknis Petugas cakap/mampu memberikan pelayanan kepada wajib pajak
b) Kecepatan dalammemberikanpelayanan
Petugas cepat dalam memberikan pelayanan
c) Ketepatan dalammemberikanpelayanan
Petugas tepat/sesuai keinginan wajib pajak dalam memberikan pelayanan
d) Keadilan dalammemberikanpelayanan
1) Petugas melayani semua wajib pajak yang datang
2) Wajib pajak dilayani sesuaiurutan kedatangan
e) Kejujuran dalammemberikanpelayanan
1) Petugas jujur dalam memberikan informasi
2) Petugas tidak memungut biaya selain yang tercantum pada Surat Pemberitahuan Pajak Terutang(SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan
3) Petugas tidak memberikanpelayanan yang tidak sesuai dengan peraturan atau ketentuan yang telah ditetapkan
Sumber: Data diolah Peneliti, 2017
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Metode Penelitian
Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kemauan membayar
Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang ini menggunakan
pendekatan penelitian kuantitatif dengan jenis analisis eksplanatif. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kuantitatif dikarenakan olehpendekatan kuantitaif
dapat memberikan jawaban atas rumusan masalah yang telah ditetapkan yang
menitikberatkan pada aspek pengukuran yang mengkonversi kenyataan atau
realitas di lapangan kedalam angka yang selanjutnya dianalisis dengan
menggunakan alat analisis tertentu.Metode Penelitian Kuantitatif, sebagaimana
dikemukakan oleh Sugiyono (2015) yaitu :
“Metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme,digunakanuntuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu,pengumpulan datamenggunakan instrumen penelitian, analisis databersifatkuantitatif/statistik, dengan tujuan untuk menguji hipotesis yangtelahditetapkan”.
Menurut Singarimbun dan Effendi (2002) memberikan penjelasan bahwa
jenis penelitian eksplanasi adalah ”suatu jenis penelitian yang dimaksudkan
untuk memberikan penjelasan mengenai fenomena yang diteliti berdasarkan
data atau fakta di lapangan penelitian”. Penelitian eksplanasi menjelaskan
berbagai faktor yang menjadi penyebab terjadinya suatu peristiwa, dengan ciri
yaitu menjelaskan hubungan atau pengaruh antarvariabel independen (bebas)
dan dependen (terikat) . Adapun tipe penelitian untuk jenis penelitian ekplanasiini
adalah tipe penelitian asosiasi. Penelitian asosiasi merupakan penelitian yang
bertujuan untuk mengetahui pengaruh ataupun juga hubungan antara dua
71
72
variabel atau lebih (Sugiyono,2003). Sedangkan metode penelitian yang
digunakan adalah metode penelitian survey, Penelitian survey merupakan
penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi menggunakan kuesioner
sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbundan Effendi, 1989).
4.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi penelitian (Lokus) di Kota Malang.
Pemilihan lokasi penelitian ditentukan dengan metode purposive atau penentuan
lokasi penelitian secara sengaja berdasarkan atas pertimbangan–pertimbangan
tertentu. Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan atas pertimbangan sebagai
berikut:
a) Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang merupakan pajak yang
memiliki prosentase piutang terbesar daripada pajak lain yang dipungut
Pemerintah Kota Malang. Data tersebut dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut
ini.
Tabel 4.1 Prosentase Piutang Pajak Kota Malang Tahun 2016
Sumber data: Diolah Penulis (2017)
Dari data yang telah diolah diketahui bahwa pada tahun 2016 piutang Pajak
Hotel sebesar 3,47% dari total piutang pajak. Sedangkan piutang Pajak
Restoran sebesar 3,70% dari total piutang pajak. Piutang Pajak Hiburan
73
sebesar 0,48% dari total piutang pajak. Sedangkan Piutang Pajak Parkir
merupakan piutang terkecil yaitu sebesar 0,01% dari total piutang pajak.
Piutang Pajak Air Bawah Tanah sebesar 0,06%. Piutang Pajak Bumi dan
Bangunan Perkotaan merupakan pajak dengan prosentase terbesar yaitu
91, 89%.
b) Jumlah wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan Kota Malang yang
menunggak selalu meningkat dari tahun ke tahun seperti tampak pada tabel
4.2 berikut ini.
Tabel 4.2Jumlah Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan KotaMalang yang Menunggak
No Tahun Jumlah Wajib Pajak
Kenaikan/Penurunan
1 2013 80.585
2 2014 80.415 (170)
3 2015 84.673 4.258
4 2016 93.759 9.086
Sumber data: Diolah Penulis (2017)
Dari tabel 4.2 tersebut diketahui bahwa jumlah wajib Pajak Bumi dan
Bangunan Perkotaan Kota Malang yang menunggak cenderung bertambah
hanya di tahun 2014 saja mengalami penurunan sedangkan setelah itu
mengalami peningkatan. Pada tahun 2014 jumlah wajib pajak yang menunggak
berkuran gsebesar 170 orang. Pada tahun 2015 jumlah wajib pajak yang
menunggak bertambah sebanyak 4.258 orang. Pada tahun 2016 mengalami
kenaikan yang lebih banyak dibanding tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 9.086
orang.
Sedangkan lokasi penyebaran kuesioner (fokus) adalah kantor Bank Jatim
yang terdapat di 5 (lima) lokasi di Kota Malang yaitu di Kecamatan Sukun,
74
Kecamatan Klojen, Kecamatan Lowokwaru, Kecamatan Kedungkandang, dan
Kecamatan Blimbing.
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi merupakan subyek penelitian. Pengertian Populasi menurut
Sugiyono (2013: 80) adalah “wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek
yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya”. Dari pengertian menurut
Sugiyono tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa populasi tidak hanya
terbatas pada orang (subyek) melainkan juga pada benda-benda yang lain.
Selain itu, populasi bukan hanya sekedar kuantitas atau jumlah dari obyek
ataupun subyek yang diteliti, akan tetapi juga meliputi seluruh karakteristik atau
sifatdari obyek atau subyek tersebut. Sedangkan menurut Darmawan (2013:
137) populasi adalah “ sumber data dalam penelitian tertentu yang memiliki
jumlah banyak dan luas”.
Populasiadalah jumlahkeseluruhan dari unit analisisyang ciri-cirinya akan
diduga (Singarimbun dan Effendi, 1989: 152). Populasidibedakanmenjadi 2 (dua)
yaitu populasi sampling dan populasi sasaran. Untuk membedakan populasi
sampling dengan populasi sasaran, dapat dijelaskan apabila peneliti mengambil
rumah tangga sebagai sampel, sedangkan yang diteliti adalah anggota rumah
tangga yang bekerja sebagai petani.Dalam hal ini seluruh rumah tangga di dalam
wilayah penelitian adalah populasi sampling, sedangkan seluruh petani dalam
wilayah penelitian disebut populasi sasaran (Palte, 1978:12) (dalam Masri
Singarimbun dan Sofian Effendi, 1989)
75
Berdasarkan penjelasan tersebut maka populasi dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
(1) Populasi sampling yaitu seluruh Wajib Pajak Bumi dan Bangunan di Kota
Malang;
(2) Populasi sasaran yaitu Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota
Malangyang membayar PBB di kantor Bank Jatim di 5 (lima) kecamatan di
Kota Malang
4.3.2 Sampel
Menurut Sugiyono (2015) sampel adalah “ bagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut”. Apabila populasi besar dan
penelii tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya
karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan
sampel yang diambil dari populasi itu. Apa yang telah dipelajari dari sampel
tersebut, kesimpulannya dapat diberlakukan untuk populasi. Oleh karena itu,
sampel yang diambil dari populasi harus benar-benar representatif/mewakili.
Menurut Sugiyono (2015:82-85) terdapat beberapa teknik sampling yang
dapat digunakan dalam menentukan sampel yang akan digunakan dalam
penelitian, antara lain:
(1) Probability SamplingProbability sampling adalah teknik pengambilan sampel yang memberikanpeluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilihmenjadi anggota sampel. Teknik ini meliputi:
a) Simple random samplingDikatakan simple (sederhana) karena pengambilan anggota sampel daripopulasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang adadalam populasi itu.
b) Proportionate stratified random samplingTeknik ini digunakan bila populasi mempunyai anggota/unsur yang tidakhomogeny dan berstrata secara proporsional. Suatu organisasi yangmemiliki pegawai dengan latar belakang pendidikan yang berstrata, maka
76
populasi pegawai tersebut adalah berstrata. Misalnya jumlah pegawaiyang lulus S1=45, S2=30, STM=700, ST=900, SMA=400, SD=300.
c) Disproportionate stratified random samplingTeknik ini digunakan untuk menentukan jumlah sampel, bila populasiberstrata tetapi kurang proporsional. Misalnya, pegawai dari unit kerja Amemiliki 3 orang pegawai lulusan S3, 4 orang lulus S2, 90 orang lulus S1,800 orang lulus SMU, 700 orang lulus SMP, maka 3 orang lulusan S3 dan4 orang lulusan S2 tersebut diambil semua sebagai sampel. Ini dilakukankarena jumlahnya terlalu sedikit dibandingkan dengan kelompok yanglain.
d) Cluster sampling (Area Sampling)Teknik sampling daerah digunakan untuk menentukan sampel bila obyekyang akan diteliti atau sumber data sangat luas, misalnya penduduk darisuatu negara, propinsi atau kabupaten. Penentuan penduduk mana yangakan dijadikan sumber data, maka pengambilan sampelnya berdasarkandaerah populasi yang telah ditetapkan. Teknik sampling ini menggunakandua tahap, yaitu tahap pertama menentukan sampel daerah, dan tahapkedua menentukan orang-orang yang ada pada daerah itu secarasampling juga.
(2) Nonprobability SamplingNonprobability sampling adalah teknik pengambilan sampel yang tidakmemberi peluang/kesempatan sama bagi setiap unsure atau anggotapopulasi untuk dipilih menjadi sampel. Teknik sampel ini meliputi:a) Sampling sistematis
Sampling sistematis adalah teknik pengambilan sampel berdasarkanurutan dari anggota populasi yang telah diberi nomor urut.
b) Sampling kuotaSampling kuota adalah teknik untuk menentukan sampel dari populasiyang mempunyai ciri-ciri tertentu sampai jumlah (kuota) yang diinginkan.
c) Sampling insidentalIalah teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa sajayang secara kebetulan incidental bertemu dengan peneliti dapatdigunakan sebagai sampel.
d) Sampling purposiveYaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Misalnyaakan melakukan penelitian tentang kualitas makanan, maka sampelsumber datanya adalah orang yang ahli makanan, atau penelitian tentangkondisi politik di suatu daerah, maka sampelnya adalah ahli politik dansebagainya.
e) SamplingjenuhDisebut teknik penentuan sampel jenuh apabila semua anggota populasidigunakan sebagai sampel. Sampling ini sering digunakan apabila jumlahpopulasinya relatif kecil, kurang dari 30 orang atau penelitian yang inginmembuat generalisasi dengan kesalahan yang sangat kecil. Istilah laindari sampel jenuh adalah sensus, yaitu semua anggota populasi menjadisampel penelitian.
f) Snowball samplingYaitu teknik penentuan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil,
kemudian membesar.
77
Singarimbun dan Effendi (1989: 151-152) berpendapat dalam hal
menentukan ukuran / jumlah sampel akan dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yang terdiri dari:(1) derajat keseragaman dari populasi; (2) presisi yang
dikehendaki dalam penelitian;(3) rencana analisa; (4) tenaga, biaya dan waktu.
Penentuan sampel dalam penelitian yang akan dilakukan adalah dengan
teknik sampling probability ,yaitu teknik pengambilan sampel yang memberikan
peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi
anggota sampel. Teknik penentuan sampling dalam penelitian ini adalah simple
random sampling, yaitu pengambilan anggota sampel dari populasi dilakukan
secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu. Sampel
dalam penelitian yang akan dilaksanakan ini adalahWajib PBB Perkotaan yang
membayar PBB Perkotaan di kantor Bank Jatim yang ada di Kantor Kelurahan
Tlogomas, Kantor Kecamatan Blimbing, Kantor Kecamatan Sukun, Kantor
Kecamatan Kedungkandang, Bank Jatim Cabang Pemkot, selama waktu
penyebaran kuesioner, yaitu sejak tanggal 4-12 September 2017.
Adapun penentuan jumlah sampel yang digunakan adalah penentuan
jumlah sampel menurut Sukmadinata (2015: 260-261), yaitu untuk penelitian
survey jumlah sampel 100 cukup memadai.Prosentase yang digunakan adalah
berdasarkan prosentase jumlah wajib PBB Perkotaan di setiap kecamatan, yaitu
Kecamatan Klojen 11 orang, Kecamatan Lowokwaru 23 orang, Kecamtan
Blimbing 20 orang, Kecamatan Kedungkandang 24 orang, dan Kecamatan
Sukun 22 orang.
78
4.4 Pengumpulan Data
Berdasarkan sumber datanya, pengumpulan data terdiri dari sumber primer
dan sumber sekunder. Pengertian sumber primer dan sumber sekunder menurut
Sugiyono (2013:225) “sumber primer adalah sumber data yang langsung
memberikan data kepada pengumpul data, dan sumber sekunder merupakan
sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul
data”.Penelitian yang akan dilakukan ini menggunakan sumber data primer
sebagai dasar pengujian hipotesis serta menggunakan data sekunder sebagai
bahanpelengkapdalamanalisishasilpenelitian..
Menurut Darmawan (2013: 159) teknik pengumpulan data adalah “cara-
cara yang ditempuh dan alat-alat yang digunakan oleh peneliti dalam
mengumpulkan datanya”. Sedangkan menurut Sugiyono (2013: 225) teknik
pengumpulan data dapat dilakukan dengan observasi (pengamatan), interview
(wawancara), kuesioner (angket), dokumentasi dan gabungan keempatnya”.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan kuesioner. Pada jenis penelitian survey penggunaan kuesioner
merupakan hal yang pokok untuk pengumpulan data ( Singarimbun dan Sofian
Effendi, 1989). Metode ini digunakan untuk memperoleh data primer. Sedangkan
untuk memperoleh data sekunder digunakan teknik dokumentasi dan
wawancara. Dalam penelitian ini dokumentasi dilakukan terhadap dokumen wajib
Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan Kota Malang, laporan piutang Pajak Bumi
dan Bangunan Perkotaan, dokumen Rencana Strategis Dinas Pendapatan
Tahun 2013-2018 danbahan-bahan lain dari sumber yang relevan selama
penelitian ini berlangsung.
79
4.5 Skala Pengukuran Instrumen Penelitian
Pengukuran merupakan suatu proses hal mana suatu angka atau simbol
dilekatkan pada karakteristik atau properti suatu stimuli sesuai dengan aturan
atau prosedur yang telah ditetapkan (Ghozali, 2016). Menurut Stevens (1946)
(dalam Gozali, 2016: 3)”skala pengukuran dapat dikelompokkan menjadi empat
jenis, yaitu: skala nominal, ordinal, interval, dan rasio”. Penjelasan untuk masing-
masing skala adalah sebagai berikut.
1) Skala Nominal
Menurut Ghozali (2016: 3) “skala nominal merupakan skala pengukuran
yang menyatakan kategori, atau kelompok dari suatu subyek, contohnya:
variabel jenis kelamin, responden dapat dikelompokkan ke dalam dua
kategori laki-laki dan perempuan”. Kategori tersebut dapat diberi kode angka
1 dan 2. Angka ini digunakan hanya untuk menghitung jumlah setiap kategori
bukan untuk menghitung nilai rata-rata dan standar deviasi. Uji statistik yang
sesuai dengan skala nominal adalah uji statistik yang berdasarkan jumlah
terbanyak seperti modus dan distribusi frekuensi.
2) Skala Ordinal
Menurut Ghozali (2016: 4) skala ordinal tidak hanya mengkategorikan
variabel kedalam kelompok, tetapi juga melakukan ranking terhadap
kategori, contohnya: kita ingin mengukur preferensi responden terhadap
empat merek produk mineral yaitu dengan cara memberi angka 1 untuk
produk yang paling disukai, angka 2 untuk ranking ke dua dan seterusnya.”
Sedangkan data yang diperoleh dari pengukuran dengan skala ordinal ini
disebut data ordinal. Uji statistik yang sesuai adalah modus, median,
distribusi frekuensi, dan statistik non parametrik seperti rank order
80
correlation. Skala Likert atau sering disebut summated scale (skala yang
dijumlahkan) pada dasarnya adalah skala ordinal. Skala Likert minimal 5
atau ganjil. Angka skor 1,2,3,4,dan 5 jaraknya tidak konstan, maka skor tidak
mempunyai makna dan tidak dapat dijumlah atau dikurangkan, dikali
maupun dibagi. Jadi jawaban skor 4 lebih tinggi peringkatnya daripada skor
2, tetapi tidak berarti bahwa jawaban setuju = 2 x tidak setuju.
3) Skala Interval
Skala interval ini cocok digunakan untuk semua uji statistik, kecuali yang
berdasarkan koefisien variasi.Skala Likert jika jarak antara skala dibuat sama
atau konstan maka menjadi skala interval.
4) Skala Rasio
Menurut Ghozali (2016: 4) “Skala Rasio adalah skala interval dan memiliki
nilai dasar (based value) yang tidak dapat dirubah”. Skala rasio dapat
ditransformasikan dengan cara mengalikan dengan konstanta, tetapi
transformasi tidak dapat dilakukan jika dengan cara menambah konstanta
karena hal ini akan merubah nilai dasarnya.Contohnya adalah pernyataan
yang mengatakan “ Umur Amir dua kali umur Tono” adalah valid. Data yang
diperoleh dari skala rasio disebut data rasio dan tidak ada pembatasan
terhadap alat uji statistik yang sesuai. Variabel yang diukur dengan skala
interval dan rasio disebut variabel metrik
Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalahskala Likert.Skala Likert yakni
skala yang digunakan mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorangatau
sekelompok orang tentang fenomena sosial (Sugiyono,2015: 93). Apabila Skala
Likert ini digunakan maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator
81
variabel, yang kemudian dijadikan sebagai acuan dalam menyusun item-item
instrumen yang berupa pernyataan atau pertanyaan.
Dalam penelitian ini,setiap jawaban dari responden akan dibagi menjadi
lima kategori yaitu :
a. Jawaban sangat tidak setuju diberi nilai1
b. Jawaban tidak setuju diberi nilai 2
c. Jawaban ragu-ragu diberi nilai3
d. Jawaban setuju diberi nilai 4
e. Jawaban sangat setuju diberi nilai 5
4.6 Reliabilitasdan Validitas
Masri Singarimbun dan SofianEffendi (1989)menjelaskan bahwa reliabilitas
adalah“istilah yang dipakai untuk menunjukkan sejauh mana suatu hasil
pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulangi dua kali atau lebih”.
Sedangkan Ghozali (2016: 47) mengatakan bahwa reliabilitas adalah alat untuk
mengukur suatu kuesioner yang merupakan indikator dari variabel atau
konstruk”. Suatu keusioner dikatakan reliabel atau handal apabila jawaban
seseorang terhadap pernyataan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke
waktu.Setelah dilakukan penelitian kemudian hasilnya dibandingkan dengan
pertanyaan lain atau mengukur korelasi antar jawaban pertanyaan. Dengan
menggunakan bantuan SPSS dilakukan uji statistik Cronbach Alpha (α). Suatu
konstruk atau variabel dikatakan reliabel jika memberikan nilai Cronbach Alpha >
0,70 (Nunnally, 1994) (dalam Ghozali, 2016: 48).
Sedangkan uji validitas menurut Ghozali (2016: 52) “digunakan untuk
mengukur sah atau valid tidaknya suatu kuesioner”. Suatu Kuesioner dikatakan
82
valid jika pertanyaan pada kuesioner mampu mengungkapkan sesuatu yang
akan diukur oleh kuesioner tersebut. Misalnkan kita ingin mengukur autonomi
seorang karyawan dengan memberi 4 pertanyaan kepada karyawan tersebut,
maka pertanyaan tersebut harus dapat Secara tepat mengungkapkan tingkat
autonomi. Jadi validitas ingin mengukur apakah pertanyaan dalam kuesioner
yang sudah kita buat betul-betul dapat mengukur apa yang hendak kita ukur.
Sedangkan menurut Singarimbun dan Effendi(1989) validitas menunjukkan
sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur. Didalam
penelitian ini uji validitas item akan dilakukan dengan menggunakan bantuan
aplikasi computer SPSSyaitu dengan melakukan korelasi bivariate antara
masing-masing skor indikator dengan total skor konstruk atau variabel.
Mengukur validitas dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
1) Melakukan korelasi antar skor butir pertanyaan dengan total skor konstruk
atau variabel.
2) Melakukan korelasi bivariate antara masing-masing skor indikator dengan
total skor konstruk.
3) Uji dengan Confirmatory Factor Analysis (CFA).
4.7 Uji Asumsi Klasik
Sebelum menggunakan model regresi, akan digunakan dulu uji asumsi
klasik yang menurut Ghozali (2016: 101-163) terdiri dari Uji Multikolinearitas,uji
Heterokedastisitas, dan Uji Normalitas. Dalam penelitian ini uji asumsi klasik
akan dilakukan dengan menggunakan teknik statistik dengan bantuan progam
aplikasi komputer SPSS.
83
4.7.1 Uji Normalitas
Uji normalitas ini dilakukan untuk mengetahui apakah data yang diteliti
berdistribusi normal atau tidak. Nilai pada data yang diuji akan menyebabkan
ketidaknormalan. Model regresi dikatakan baik apabila distribusi datanya normal
atau mendekati normal. Cara mendeteksi apakah distribusi datanya normal atau
tidak dapat dilakukan dengan menggunakan uji statistik atau menggunakan
grafik.
Uji normalitas dengan menggunakan uji statistik dapat dilakukan dengan
dengan cara uji Kolmogorov-Smirnov. Dasar pengambilan keputusan apabila
nilai sig. > 0.05 maka tidak signifikan yang berarti data relatif sama dengan rata-
rata sehingga disebut normal.
Uji normalitas menggunakan gambar yaitu menggunakan grafik normal p-
plot regression. Untuk mengetahui normal tidaknya distribusi datanya dapat
dideteksi dengan melihat penyebaran data (titik) pada sumbu diagonal dari grafik
p-plot regression. Menurut Ghozali(2016:156) kriteria pengambilan keputusan ini
adalah:
1. Jika data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal
menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi memenuhi asumsi
normalitas.
2. Jika data menyebar jauh dari diagonal dan/atau tidak mengikuti arah garis
diagonal tidak menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi tidak
memenuhi asumsi normalitas.
Penelitian ini menggunakan uji statistik maupun dengan menggunakan
grafik untuk melakukan Uji Normalitas. Hal ini dimaksudkan agar normalitas data
dalam model regresi benar-benar teruji.
84
4.7.2 Uji Multikolonieritas
Menurut Ghozali (2016: 103) Uji Multikolonieritas bertujuan untuk menguji
apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas
(independen). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara
variabel independen. Jika variabel independen saling berkorelasi, maka variabel-
variabel ini tidak ortogonal. Variabel ortogonal adalah variabel independen yang
nilai korelasi antar sesama variabel independen sama dengan nol.
Dalam rangka mendeteksi ada tidaknya multikolonieritas dapat dilakukan
dengan cara:
1) Nilai R² yang dihasilkan oleh suatu estimasi model regresi empiris sangat
tinggi, tetapi secara individual variabel-variabel independen banyak yang
tidak signifikan mempengaruhi variabel dependen.
2) Menganalisis matrik korelasi variabel-variabel independen. Jika antar
variabel independen ada korelasi yang cukup tinggi (umumnya diatas 0,90),
maka hal ini merupakan indikasi adanya multikolinieritas. Multikolinieritas
dapat disebabkan karena adanya efek kombinasi dua atau lebih variabel
independen.
3) Multikolinieritas dapat juga dilihat dari:
a. Nilai tolerance dan lawannya.
b. Varians Inflation Factor (VIF).
Kedua ukuran diatas menunjukkan setiap variabel independen manakah
yang dijelaskan oleh variabel independen lainnya. Dalam pengertian
sederhana yaitu setiap variabel independen menjadi variabel independen
menjadi variabel dependen (terikat) dan diregres terhadap variabel
85
independen lainnya. Tolerance mengukur variabilitas variabel independen
terpilih yang tidak dijelaskan oleh variabel independen lainnya.
Multikolinieritas ini dapat dilihat dari nilai Tolerance dan Varian Inflation
Factor (VIF). Semakin kecil nilai Tolerance dan semakin besar VIF maka
semakin mendekati terjadinya masalah multikolonieritas. Apabila nilai
Tolerance lebih dari 0,1 dan VIF kurang dari 10 maka tidak terjadi
multikolinearitas.
Penelitian ini menggunakan nilai tolerance dan Varian Inflation Factor
(VIF) untuk melihat ada tidaknya Multikolinearitas. Apabila dari hasil uji dengan
menggunakan SPSS 20 nilai Tolerance > 0,10 dan VIF<10 maka tidak terjadi
multikolinearitas.
4.7.3 Uji Heteroskedastisitas dan Homokedastisitas
Menurut Ghozali (2016: 134) Uji Heteroskedastisitas dilakukan untuk
menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari
residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain.Uji Heteroskedastisitas
dilakukan dengan dua cara yaitu menggunakan gambar dan angka. Model
Regresi yang baik adalah yang Homokedastisitas atau tidak terjadi
Heterokedastisitas. Homokedastisitas berarti tidak terjadi hubungan antara nilai
residu dengan variabel bebas sehingga variabel terikat hanya benar-benar
dijelaskan oleh variabel bebas.
Uji Heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
a) Melihat Grafik Plot;
Apabila ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk pola tertentu
yang teratur (bergelombang, melebar, kemudian menyempit), maka
86
mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas. Namun apabila tidak ada
pola yang jelas, serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada
sumbu Y, maka tidak terjadi heterokedastisitas.
b) Uji Park
Uji Park dilakukan dengan meregresikan variabel bebas terhadap nilai log-
linier kuadrat;
c) Uji Glejser
Uji Glesjer dilakukan dengan meregresikan variabel bebas terhadap nilai
residual independennya. Apabila variabel independen signifikan secara
statistik mempengaruhi variabel dependen, maka ada indikasi terjadi
heterokedastisitas. Apabila probabilitas signifikansinya di atas tingkat
kepercayaan 5%, maka model regresi tidak terdapat heterokedastisitas.
d) Uji White
Pada dasarnya uji white mirip dengan kedua uji Park dan Glejser. Menurut
White, uji ini dapat dilakukan dengan meregres residual kuadrat (U²t) dengan
variabel independen, variabel independen kuadrat dan perkalian (interaksi)
variabel independen.
Penelitian ini menggunakan Uji Park dalam menguji heterokedastisitas.
4.8 Analisis Data
Analisis data dan pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukandengan
menggunakan model regresi linear berganda, dimana dalam analisis regresi
tersebut akan menguji pengaruhsanksi,persepsi tentang pelayanan on the spot,
dan reputasi petugas pajakterhadap kemauan membayar Pajak Bumi dan
Bangunan Perkotaan. Pengolahan data menggunakan SPSS dengan pengujian
87
hipotesis dilakukan dengan menguji persamaan regresi secara parsial maupun
simultan. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah multivariate
analisis dengan teknik statistik regresi linier berganda yang digunakan untuk
menguji hipotesis penelitian. Derajat hubungan linier antara dua variabel diukur
menggunakan analisa korelasi. Analisa korelasi juga menunjukkan hubungan
antara variabel dependen dengan variabel independen. Nilai koefisien korelasi
berkisar dari -1 sampai dengan +1.
4.8.1 Uji t
Uji t digunakan untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel
independen terhadap variabel dependen.
Ho: βi = 0, artinya variabel independen secara individu tidak berhubungan secara
signifikan terhadap variabel dependen.
H1: βi > 0, artinya variabel independen secara individu berhubungan positif dan
signifikan terhadap variabel dependen.
Dasar penentuan ada tidaknya hubungan dapat dilihat dari nilai
signifikansinya yaitu dengan melihat nilai β1, β2, β3..dst. Apabila nilai signifikansi
> 0.05 variabel independen tidak memiliki hubungan terhadap variabel
dependen. Namun, apabila nilai siginifansi < 0.05 maka variabel independen
mempunyai hubungan yang signifikan terhadap variabel dependen.
4.8.2 Uji F
Uji F ini digunakan untuk mengetahui apakah variabel independen secara
bersama-sama atau simultan berhubungan dengan variabel dependen.Dengan
88
tingkat signifikani α sebesar 5% atau 0,05 maka kriteria pengujian adalah
sebagai berikut:
1) Apabila nilai signifikansi fhitung ≤ 0,05 maka H0 ditolak. Ini berarti bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara semua variabel independen
dengan variabel dependen.
2) Apabila nilai signifikansi fhitung > 0,05 maka H0 diterima. Ini berarti bahwa
tidak terdapat hubungan secara signifikan antara semua variabel
independen dengan variabel dependen.
89
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Gambaran Umum Obyek Penelitian
5.1.1 Letak Geografis dan Wilayah Administratif
Kota Malang merupakan salah satu kota yang terletak di Provinsi Jawa
Timur dan berada di tengah-tengah Kabupaten Malang. Kota Malang terletak
pada 112.06˚-112.07˚ BT,7.06˚-8.02˚ LS dengan luas sebesar 110,06 km².
Sedangkan batas wilayah Kota Malang adalah sebagai berikut:
a. Sebelah Utara : Kecamatan Singosari dan Kecamatan Karangploso,
Kabupaten Malang
b. Sebelah Timur : Kecamatan Pakisdan Kecamatan Tumpang, Kabupaten
Malang
c. Sebelah Selatan : Kecamatan Tajinan dan Kecamatan Pakisaji, Kabupaten
Malang
d. Sebelah Barat : Kecamatan Wagir dan Kecamatan Dau, Kabupaten
Malang
Secara administratif Kota Malang terdiri atas 5 (lima) Kecamatan seperti
tampak pada gambar 5.1 berikut ini.
90
Gambar 5.1 Peta Administratif Kota Malang
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 8 Tahun 2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kecamatan dan Kelurahan, yang membagi Wilayah
Daerah menjadi: 5 (lima) Kecamatan dan 57 (lima puluh tujuh) Kelurahan, yaitu :
1) Kecamatan Klojen, terdiri dari :
a) Kelurahan Klojen;
b) Kelurahan Rampalcelaket;
c) Kelurahan Samaan;
d) Kelurahan Kiduldalem;
e) Kelurahan Sukoharjo;
f) Kelurahan Kasin;
g) Kelurahan Kauman;
h) Kelurahan Oro-oro Dowo;
91
i) Kelurahan Bareng;
j) Kelurahan Gadingkasri;
k) Kelurahan Penanggungan.
2) Kecamatan Blimbing, terdiri dari :
a) Kelurahan Balearjosari;
b) Kelurahan Arjosari;
c) Kelurahan Polowijen;
d) Kelurahan Purwodadi;
e) Kelurahan Blimbing;
f) Kelurahan Pandanwangi;
g) Kelurahan Purwantoro;
h) Kelurahan Bunulrejo;
i) Kelurahan Kesatrian;
j) Kelurahan Polehan;
k) Kelurahan Jodipan.
3) Kecamatan Kedungkandang, terdiri dari :
a) Kelurahan Kotalama;
b) Kelurahan Mergosono;
c) Kelurahan Bumiayu;
d) Kelurahan Wonokoyo;
e) Kelurahan Buring;
f) Kelurahan Kedungkandang;
g) Kelurahan Lesanpuro;
h) Kelurahan Sawojajar;
i) Kelurahan Madyopuro;
92
j) Kelurahan Cemorokandang;
k) Kelurahan Arjowinangun;
l) Kelurahan Tlogowaru.
4) Kecamatan Lowokwaru, terdiri dari :
a) Kelurahan Tunggulwulung;
b) Kelurahan Merjosari;
c) Kelurahan Tlogomas;
d) Kelurahan Dinoyo;
e) Kelurahan Sumbersari;
f) Kelurahan Ketawanggede;
g) Kelurahan Jatimulyo;
h) Kelurahan Tunjungsekar;
i) Kelurahan Mojolangu;
j) Kelurahan Tulusrejo;
k) Kelurahan Lowokwaru;
l) Kelurahan Tasikmadu.
5) Kecamatan Sukun, terdiri dari :
a) Kelurahan Ciptomulyo;
b) Kelurahan Gadang;
c) Kelurahan Kebonsari;
d) Kelurahan Bandungrejosari;
e) Kelurahan Sukun;
f) Kelurahan Tanjungrejo;
g) Kelurahan Pisangcandi;
h) Kelurahan Bandulan;
93
i) Kelurahan Karangbesuki;
j) Kelurahan Mulyorejo;
k) Kelurahan Bakalankrajan.
Jumlah penduduk Kota Malang pada tahun 2016 adalah sebesar 856.410
jiwa (Kota Malang Dalam Angka 2017). Sedangkan jumlah wajib Pajak Bumi dan
Bangunan di masing-masing kecamatan adalah sebagai berikut: (1) Kecamatan
Lowokwaru berjumlah 62.783 wajib pajak atau sebesar 23%; (2)Kecamatan
Blimbing berjumlah 53.718 wajib pajak atau sebesar 20%; (3)Kecamatan Klojen
sebanyak 29.167 wajib pajak atau 11%; (4)Kecamatan Sukun sebanyak 58.884
wajib pajak atau sebesar 22%; dan (5)Kecamatan Kedungkandang sebanyak
64.135 wajib pajak atau sebesar 24%.
5.1.2 Gambaran Umum Badan Pelayanan Pajak Daerah
5.1.2.1 Dasar Hukum Pembentukan
Badan Pelayanan Pajak Daerah Kota Malang dibentuk berdasarkan
Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan
Susunan Perangkat Daerah dan Peraturan Walikota Malang Nomor 48 Tahun
2016 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi serta Tata
Kerja Badan Pelayanan Pajak Daerah.
5.1.2.2 Tugas Pokok dan Fungsi
Badan Pelayanan Pajak Daerah merupakan perangkat daerah yang
melaksanakan fungsi penunjang urusan pemerintahan di bidang keuangan
khususnya pemungutan Pajak Daerah. Badan Pelayanan Pajak Daerah dipimpin
oleh seorang Kepala Badan yang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya
94
dibantu oleh seorang Sekretaris dan 3 (tiga) orang Kepala Bidang, yaitu: Bidang
Pendataan, Pendaftaran dan Penetapan, Bidang Penagihan dan Pemeriksaan
serta Bidang Pengembangan Potensi.
Badan Pelayanan Pajak Daerah Kota Malang melaksanakan tugas
menyusun dan melaksanakan kebijakan daerah di bidang pemungutan Pajak
Daerah. Sedangkan untuk melaksanakan tugas pokok yang dimaksud, maka
Badan Pelayanan Pajak Daerah mempunyai fungsi :
a. Penyusunan perencanaan strategis Perangkat Daerah;
b. Penyusunan rencana intensifikasi dan ekstensifikasi Pajak Daerah;
c. Pengembangan potensi Pajak Daerah;
d. Pendataan, pendaftaran, dan penetapan Pajak Daerah;
e. Pemungutan Pajak Daerah;
f. Penyelesaian keberatan Pajak Daerah;
g. Penyelesaian permohonan pembetulan, pembatalan, pengurangan
ketetapan, penghapusan, pengurangan sanksi, dan kelebihan pembayaran
atas Pajak Daerah.
h. Pembinaan dan pengendalian terhadap sistem pemungutan Pajak Daerah.
i. Penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD);
j. Pembukuan dan pelaporan atas pemungutan dan penyetoran pajak daerah;
k. Pengelolaan Barang Milik Daerah yang berada dalam kewenangannya;
l. Pengelolaan administrasi umum;
m. Pemberdayaan dan pembinaan jabatan fungsional;
n. Penyelenggaraan UPT.
95
5.1.2.3 Susunan Organisasi Badan Pelayanan Pajak Daerah
Susunan Organisasi Badan Pelayanan Pajak Daerah, terdiri dari :
a. Kepala Badan;
b. Sekretariat, terdiri dari :
1. Subbagian Perencanaan dan Keuangan; dan
2. Subbagian Umum dan Kepegawaian;
c. Bidang Pendataan, Pendaftaran dan Penetapan, terdiri dari :
1. Subbidang Pendataan;
2. Subbidang Pendaftaran; dan
3. Subbidang Penetapan;
d. Bidang Penagihan dan Pemeriksaan, terdiri dari :
1. Subbidang Penagihan;
2. Subbidang Pemeriksaan; dan
3. Subbidang Penyelesaian Sengketa;
e. Bidang Pengembangan Potensi, terdiri dari :
1. Subbidang Penggalian Potensi;
2. Subbidang Pengembangan Sistem Pelayanan Pajak; dan
3. Subbidang Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan;
f. UPT;
g. Kelompok Jabatan Fungsional.
5.1.2.4 Tujuan dan Sasaran Badan Pelayanan Pajak Daerah
Tujuan yang ingin dicapai Badan Pelayanan Pajak Daerah Kota Malang
adalah mengoptimalkan penerimaan pajak daerah. Sedangkan Sasaran yang
96
ingin dicapai Badan Pelayanan Pajak Daerah adalah peningkatan penerimaan
pajak daerah.
5.1.2.5 Susunan Kepegawaian
Susunan kepegawaian Badan Pelayanan Pajak Daerah Kota Malang
dikelompokkan menurut golongan kepangkatan, tingkat pendidikan dan Eselon.
Jumlah pegawai Badan Pelayanan Pajak Daerah sebanyak 170 orang, terdiri dari
107 orang Aparatur Sipil Negara (ASN), dan 63 orang tenaga bantu Badan
Pelayanan Pajak Daerah (Badan Pelayanan Pajak Daerah per Januari 2017).
5.1.2.6 Jenis Pajak Daerah yang Dikelola Badan Pelayanan Pajak Daerah
Kota Malang
Jenis Pajak Daerah yang Dikelola Badan Pelayanan Pajak Daerah kota
Malang antara lain:
a. Pajak Hotel
b. Pajak Restoran
c. Pajak Hiburan
d. Pajak Reklame
e. Pajak Penerangan jalan
f. Pajak Parkir
g. Pajak Air Tanah
h. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
i. Pajak Bumi dan Bangunan
Kontribusi Penerimaan masing-masing jenis pajak di atas terhadap total
penerimaan pajak daerah kota malang dapat dilihat pada tabel 5.1 berikut ini.
97
Tabel 5.1 Kontribusi Tiap Jenis Pajak Terhadap Total Penerimaan PajakDaerah
Sumber data : diolah peneliti (2017)
Dari tabel 5.1 di atas dapat diketahui bahwa kontribusi terbesar terhadap
total penerimaan pajak daerah Kota Malang diberikan oleh Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan yaitu sebesar 38,67% dengan nilai Rp
144.892.155.137,00. Pada posisi ke dua ditempati oleh Pajak Bumi dan
Bangunan dengan kontribusi sebesar 16,66% atau senilai Rp 62.416.413.408,00.
Sedangkan penyumbang ke tiga adalah Pajak Reklame yaitu sebesar 12,70%
atau senilai Rp 47.568.068.966,00. Pemberi kontribusi ke empat adalah Pajak
Restoran yaitu sebesar 12,68% atau senilai Rp 47.498.229.279,00. Pemberi
kontribusi ke lima adalah Pajak Hotel yaitu sebesar 10,11% atau senilai
37.857.637.844,00. Selanjutnya adalah Pajak Parkir sebesar 5,90% atau senilai
Rp 22.101.587.217,00. Pemberi kontribusi ke tujuh adalah Pajak Hiburan yaitu
sebesar 1,76% atau senilai Rp 6.610.023.252,00. Pemberi kontribusi yang
98
berada di urutan ke delapan adalah Pajak Penerangan Jalan yaitu sebesar
1,30% atau senilai Rp 4.887.815.130,00. Sedangkan pajak yang memberikan
kontribusi terkecil adalah Pajak Air Tanah, yaitu sebesar 0,22% atau senilai
Rp 809.743.186,00.
5.1.3 Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang
Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan menjadi Pajak Daerah Kota Malang
semenjak tahun 2013. Sebelumnya Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan ini
merupakan pajak pusat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009,
maka Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan ini menjadi pajak daerah. Peraturan
daerah Kota Malang yang mengatur tentang Pajak Bumi dan Bangunan ini pada
awalnya adalah Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi
dan Bangunan Perkotaan. Setelah itu diubah menjadi Peraturan Daerah Nomor 7
Tahun 2015 tentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011
tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan. Perubahan ini dilakukan
dikarenakan oleh adanya perubahan Nilai Jual Obyek Pajak.
Data Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang Dari
Tahun 2013-2016 dapat dilihat pada tabel 5.2 berikut ini.
Tabel 5.2 Jumlah Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Kota Malang Tahun2013-2016
Sumber data: diolah peneliti (2017)
99
Dari tabel 5.2 diatas diketahui bahwa pada tahun 2013 jumlah Wajib
Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang sebanyak 252.801 orang.
Pada tahun 2014 jumlah tersebut bertambah sebanyak 4.256 orang atau naik
sebesar 1,68% dari tahun 2013 sehingga jumlah Wajib Pajak Bumi dan
Bangunan menjadi 257.057 orang. Kenaikan jumlah Wajib Pajak Bumi dan
Bangunan ini juga terjadi pada tahun 2015. Pada Tahun 2015 jumlah Wajib
Pajak Bumi dan Bangunan bertambah sebanyak 3.567 atau naik sebesar1,39%
dari tahun 2014. Kenaikan yang terjadi menyebabkan jumlah Wajib Pajak Bumi
dan Bangunan pada tahun 2015 menjadi sebanyak 260.624 orang. Kenaikan
jumlah Wajib Pajak Bumi dan Bangunan juga terjadi pada tahun 2016. Pada
tahun 2016 jumlah Wajib Pajak Bumi dan Bangunan bertambah sebanyak 5.213
orang atau sebanyak 1% dibandingkan tahun 2015. Kenaikan ini menyebabkan
jumlah Wajib Pajak Bumi dan Bangunan di Kota Malang menjadi sebanyak
265.837 orang.
Sedangkan Jumlah Wajib Pajak Bumi dan Bangunan yang menunggak
dapat dilihat pada tabel 5.3 berikut ini.
Tabel 5.3 Jumlah Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan yangMenunggak
Sumber data : diolah peneliti (2017)
Dari tabel 5.3 tersebut di atas diketahui bahwa jumlah wajib pajak yang
menunggak untuk tahun 2013, yaitu ketika tahun pertama Pajak Bumi dan
Bangunan Perkotaan menjadi Pajak Daerah di Kota Malang adalah sebanyak
100
80.585 wajib pajak. Sedangkan jumlah wajib yang menunggak untuk tahun 2014
lebih sedikit jika dibanding tahun 2013, yaitu sebanyak 80.415 wajib pajak atau
turun sebesar 0,21%. Namun untuk tahun 2015 jumlah wajib pajak yang
menunggak sebanyak 84.673 wajib pajak atau naik dari tahun 2014 sebesar
5,30%. Jumlah wajib pajak yang menunggak tahun 2016 adalah sebanyak 9.086
atau naik sebesar 10,73%.
Lokasi tempat pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan di Kota Malang
adalah sebagai berikut:
1) Kantor Kecamatan Lowokwaru;
2) Kantor Kecamatan Blimbing;
3) Kantor Kecamatan Klojen;
4) Kantor Kecamatan Sukun;
5) Kantor Kecamatan Kedungkandang;
6) Kantor Kelurahan Bareng;
7) Kantor Kelurahan Lesanpuro;
8) Kantor Kelurahan Tlogomas;
9) Kantor Kelurahan Polehan;
10) Kantor Kelurahan Bumiayu;
11) Kantor Kelurahan Tunggulwulung
5.2 Uji Reliabilitas dan Validitas Instrumen
Uji Reliabilitas digunakan untuk menguji apakah suatu kuesioner
merupakan indikator dari variabel atau konstruk. Suatu kuesioner dikatakan
reliabel atau handal apabila jawaban responden terhadap pernyataan adalah
konsisten. Dalam penelitian ini, pengukuran reliabilitas menggunakan cara one
101
shot atau pengukuran sekali saja, yaitu mengukur korelasi antar jawaban
pernyataan. Pengukuran dilakukan dengan bantuan SPSS dengan uji statistik
Cronbach Alpha (α). Menurut Nunnally(1994) (dalam Ghozali, 2016) “suatu
konstruk atau variabel dikatakan reliabel jika memberikan nilai Cronbach Alpha >
0,07”.
Sedangkan uji validitas dimaksudkan untuk mengukur valid tidaknya
kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner
mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner
tersebut. Dalam penelitian ini, pengujian validitas menggunakan bantuan SPSS
20 dengan cara melakukan korelasi bivariate antara masing-masing skor
indikator dengan total skor konstruk.
5.2.1 Uji Reliabilitas dan Validitas Variabel Kemauan Membayar Pajak
5.2.1.1 Uji Reliabilitas Variabel Kemauan Membayar Pajak
Hasil dari pengujian reliabilitas variabel Kemauan Membayar Pajak tampak
pada tabel 5.4 berikut ini.
Tabel 5.4 Reliabilitas Kemauan Membayar Pajak
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha
Cronbach's
Alpha Based on
Standardized
Items
N of Items
,721 ,715 7
Dari tabel 5.4 di atas dapat diketahui bahwa nilai Cronbach Alphanya adalah
sebesar 71,5% yang berarti bahwa konstruk atau variabel tersebut reliabel
karena nilai Cronbach Alphanya > 0,07.
102
5.2.1.2 Uji Validitas Variabel Kemauan Membayar Pajak
Hasil dari pengujian validitas variabel Kemauan Membayar Pajak dengan
menggunakan SPSS 20 dengan melakukan korelasi bivariate antara masing-
masing skor dengan total skor konstruk seperti yang tampak pada tabel 5.5
berikut ini.
103
Tabel 5.5 Korelasi Bivariate Kemauan Membayar Pajak
Correlations
KMP1 KMP2 KMP3 KMP4 KMP5 KMP6 KMP7 KMP
KMP1
Pearson Correlation 1 ,131 ,188 ,201* ,354** ,116 ,004 ,436**
Sig. (2-tailed) ,196 ,061 ,045 ,000 ,251 ,967 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100
KMP2
Pearson Correlation ,131 1 ,694** ,364** ,212* ,259** ,282** ,723**
Sig. (2-tailed) ,196 ,000 ,000 ,034 ,009 ,005 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100
KMP3
Pearson Correlation ,188 ,694** 1 ,386** ,099 ,188 ,275** ,698**
Sig. (2-tailed) ,061 ,000 ,000 ,329 ,061 ,006 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100
KMP4
Pearson Correlation ,201* ,364** ,386** 1 ,311** ,322** ,350** ,717**
Sig. (2-tailed) ,045 ,000 ,000 ,002 ,001 ,000 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100
KMP5
Pearson Correlation ,354** ,212* ,099 ,311** 1 ,213* ,170 ,547**
Sig. (2-tailed) ,000 ,034 ,329 ,002 ,034 ,091 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100
KMP6
Pearson Correlation ,116 ,259** ,188 ,322** ,213* 1 ,421** ,553**
Sig. (2-tailed) ,251 ,009 ,061 ,001 ,034 ,000 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100
KMP7
Pearson Correlation ,004 ,282** ,275** ,350** ,170 ,421** 1 ,565**
Sig. (2-tailed) ,967 ,005 ,006 ,000 ,091 ,000 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100
KMP
Pearson Correlation ,436** ,723** ,698** ,717** ,547** ,553** ,565** 1
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Dari tabel 5.5 di atas diketahui bahwa korelasi antara masing-masing indikator
terhadap total skor konstruk menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini
menunjukkan bahwa masing-masing indikator pertanyaan adalah valid.
104
5.2.2 Uji Reliabilitas dan Validitas Variabel Sanksi
5.2.2.1 Uji Reliabilitas Variabel Sanksi
Hasil dari pengujian reliabilitas variabel Sanksi tampak pada tabel 5.6
berikut ini.
Tabel 5.6 Reliabilitas Variabel Sanksi
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha
Cronbach's
Alpha Based on
Standardized
Items
N of Items
,814 ,838 8
Dari tabel 5.6 di atas dapat diketahui bahwa nilai Cronbach Alphanya adalah
sebesar 81,4% yang berarti bahwa konstruk atau variabel tersebut reliabel
karena nilai Cronbach Alphanya > 0,07.
5.2.2.2 Uji Validitas Variabel Sanksi
Hasil dari pengujian validitas variabel Sanksi dengan menggunakan SPSS
20 dengan melakukan korelasi bivariate antara masing-masing skor dengan total
skor konstruk seperti yang tampak pada tabel 5.7 berikut ini.
Tabel 5.7 Korelasi Bivariate Sanksi
Correlations
Sanksi
1
Sanksi
2
Sanksi
3
Sanksi
4
Sanksi
5
Sanksi
6
Sanksi
7
Sanksi
8
Sanksi
105
Sanksi 1
Pearson Correlation 1 ,779** ,504** ,419** ,147 ,341** ,221* -,097 ,495**
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000 ,143 ,001 ,027 ,337 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Sanksi 2
Pearson Correlation ,779** 1 ,647** ,538** ,189 ,437** ,283** -,086 ,590**
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000 ,060 ,000 ,004 ,396 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Sanksi 3
Pearson Correlation ,504** ,647** 1 ,414** ,292** ,631** ,438** ,106 ,689**
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000 ,003 ,000 ,000 ,293 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Sanksi 4
Pearson Correlation ,419** ,538** ,414** 1 ,351** ,395** ,526** ,439** ,749**
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Sanksi 5
Pearson Correlation ,147 ,189 ,292** ,351** 1 ,432** ,668** ,423** ,653**
Sig. (2-tailed) ,143 ,060 ,003 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Sanksi 6
Pearson Correlation ,341** ,437** ,631** ,395** ,432** 1 ,648** ,388** ,790**
Sig. (2-tailed) ,001 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Sanksi 7
Pearson Correlation ,221* ,283** ,438** ,526** ,668** ,648** 1 ,530** ,820**
Sig. (2-tailed) ,027 ,004 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Sanksi 8
Pearson Correlation -,097 -,086 ,106 ,439** ,423** ,388** ,530** 1 ,619**
Sig. (2-tailed) ,337 ,396 ,293 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Sanksi
Pearson Correlation ,495** ,590** ,689** ,749** ,653** ,790** ,820** ,619** 1
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Dari tabel 5.7 di atas diketahui bahwa korelasi antara masing-masing indikator
terhadap total skor konstruk menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini
menunjukkan bahwa masing-masing indikator pertanyaan adalah valid.
5.2.3 Uji Reliabilitas dan Validitas Variabel Pelayanan on the Spot
5.2.3.1 Uji Reliabilitas Variabel Pelayanan on the Spot
106
Hasil dari pengujian reliabilitas variabel Pelayanan on the Spot tampak
pada tabel 5.8 berikut ini.
Tabel 5.8 Reliabilitas Pelayanan on the Spot
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha
Cronbach's
Alpha Based on
Standardized
Items
N of Items
,698 ,739 7
Dari tabel 5.8 di atas dapat diketahui bahwa nilai Cronbach Alphanya adalah
sebesar 73,9% yang berarti bahwa konstruk atau variabel tersebut reliabel
karena nilai Cronbach Alphanya > 0,07.
5.2.3.2 Uji Validitas Pelayanan on the Spot
Hasil dari pengujian validitas variabel Sanksi dengan menggunakan SPSS 20
dengan melakukan korelasi bivariate antara masing-masing skor dengan total
skor konstruk seperti yang tampak pada tabel 5.9 berikut ini.
Tabel 5.9 Korelasi Bivariate Pelayanan on the Spot
Correlations
107
POTS1 POTS2 POTS3 POTS4 POTS5 POTS6 POTS7 POTS
POTS1
Pearson Correlation 1 ,332** ,307** ,012 ,112 -,078 -,296** ,372**
Sig. (2-tailed) ,001 ,002 ,905 ,269 ,443 ,003 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100
POTS2
Pearson Correlation ,332** 1 ,192 ,153 ,121 ,084 -,059 ,441**
Sig. (2-tailed) ,001 ,056 ,128 ,230 ,405 ,559 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100
POTS3
Pearson Correlation ,307** ,192 1 ,833** ,657** ,500** ,290** ,841**
Sig. (2-tailed) ,002 ,056 ,000 ,000 ,000 ,003 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100
POTS4
Pearson Correlation ,012 ,153 ,833** 1 ,709** ,517** ,338** ,773**
Sig. (2-tailed) ,905 ,128 ,000 ,000 ,000 ,001 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100
POTS5
Pearson Correlation ,112 ,121 ,657** ,709** 1 ,682** ,314** ,801**
Sig. (2-tailed) ,269 ,230 ,000 ,000 ,000 ,001 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100
POTS6
Pearson Correlation -,078 ,084 ,500** ,517** ,682** 1 ,323** ,665**
Sig. (2-tailed) ,443 ,405 ,000 ,000 ,000 ,001 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100
POTS7
Pearson Correlation -,296** -,059 ,290** ,338** ,314** ,323** 1 1,000**
Sig. (2-tailed) ,003 ,559 ,003 ,001 ,001 ,001 ,000
N 100 100 100 100 100 100 101 101
POTS
Pearson Correlation ,372** ,441** ,841** ,773** ,801** ,665** 1,000** 1
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000
N 100 100 100 100 100 100 101 101
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Dari tabel 5.10 di atas diketahui bahwa korelasi antara masing-masing indikator
terhadap total skor konstruk menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini
menunjukkan bahwa masing-masing indikator pertanyaan adalah valid.
5.2.4 Uji Reliabilitas dan Validitas Variabel Reputasi Petugas Pajak
5.2.4.1 Uji Reliabilitas Variabel Reputasi Petugas Pajak
108
Hasil dari pengujian reliabilitas variabel Reputasi Petugas Pajak tampak
pada tabel 5.10 berikut ini.
Tabel 5.10 Reliabilitas Reputasi Petugas Pajak
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha
Cronbach's
Alpha Based on
Standardized
Items
N of Items
,883 ,885 8
Dari tabel 5.10 di atas dapat diketahui bahwa nilai Cronbach Alphanya adalah
sebesar 88,5% yang berarti bahwa konstruk atau variabel tersebut reliabel
karena nilai Cronbach Alphanya > 0,07.
5.2.4.2 Uji Reliabilitas Variabel Reputasi Petugas Pajak
Hasil dari pengujian validitas variabel Reputasi Petugas Pajak dengan
menggunakan SPSS 20 dengan melakukan korelasi bivariate antara masing-
masing skor dengan total skor konstruk seperti yang tampak pada tabel 5.11
berikut ini.
Tabel 5.11 Korelasi Bivariate Reputasi Petugas Pajak
Correlations
109
RPP1 RPP2 RPP3 RPP4 RPP5 RPP6 RPP7 RPP8 RPP
RPP1
Pearson Correlation 1 ,676** ,625** ,610** ,513** ,414** ,510** ,209* ,810**
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,037 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100
RPP2
Pearson Correlation ,676** 1 ,611** ,577** ,626** ,577** ,575** ,232* ,836**
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,020 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100
RPP3
Pearson Correlation ,625** ,611** 1 ,514** ,551** ,532** ,535** ,200* ,797**
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,046 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100
RPP4
Pearson Correlation ,610** ,577** ,514** 1 ,430** ,510** ,550** ,204* ,753**
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,042 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100
RPP5
Pearson Correlation ,513** ,626** ,551** ,430** 1 ,661** ,529** ,262** ,777**
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,009 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100
RPP6
Pearson Correlation ,414** ,577** ,532** ,510** ,661** 1 ,505** ,357** ,756**
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100
RPP7
Pearson Correlation ,510** ,575** ,535** ,550** ,529** ,505** 1 ,436** ,755**
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100
RPP8
Pearson Correlation ,209* ,232* ,200* ,204* ,262** ,357** ,436** 1 ,399**
Sig. (2-tailed) ,037 ,020 ,046 ,042 ,009 ,000 ,000 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100
RPP
Pearson Correlation ,810** ,836** ,797** ,753** ,777** ,756** ,755** ,399** 1
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100 100
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Dari tabel 5.11 di atas diketahui bahwa korelasi antara masing-masing indikator
terhadap total skor konstruk menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini
menunjukkan bahwa masing-masing indikator pertanyaan adalah valid.
110
5.3 Uji Korelasi Antara Variabel Independen dan Dependen
Uji korelasi antara Variabel Independen dan Dependen dilakukan dengan
bantuan SPSS 20 yang menghasilkan data seperti pada tabel 5.12 di bawah ini:
Tabel 5.12 Korelasi Antara Variabel Independen dan Dependen
Correlations
Sanksi Persepsi
Tentang
Pelayana On
the Spot
Reputasi
Petugas
Pajak
Kemauan
Membayar
PBB
Sanksi
Pearson Correlation 1 ,775** ,772** ,926**
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000
N 100 100 100 100
Persepsi Tentang Pelayana
On the Spot
Pearson Correlation ,775** 1 ,744** ,797**
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000
N 100 100 100 100
Reputasi Petugas Pajak
Pearson Correlation ,772** ,744** 1 ,811**
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000
N 100 100 100 100
Kemauan Membayar PBB
Pearson Correlation ,926** ,797** ,811** 1
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000
N 100 100 100 100
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Dari data pada tabel 5.12 diatas diketahui bahwa terdapat hubungan atau
korelasi antara variabel independen yaitu variabel sanksi, pelayanan on the spot,
dan reputasi petugas pajak dengan variabel dependen yaitu variabel kemauan
membayar pajak. Sedangkan nilai korelasi untuk variabel sanksi adalah sebesar
0,926. Nilai korelasi untuk variabel pelayanan on the spot sebesar 0,797 dan
untuk reputasi petugas pajak sebesar 0,811.Dari hasi perhitungan tersebut
menunjukkan bahwa ketiga variabel independe berpengaruh terhadap variabel
dependen.
111
5.4 Deskripsi Responden
Responden dalam penelitian ini adalah wajib Pajak Bumi dan Bangunan
Perkotaan di Kota Malang yang tersebar di 5 (lima) kecamatan. Karakteristik
responden yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini terdiri dari
beberapa kelompok, yaitu responden berdasarkan jenis kelamin, usia, pekerjaan,
jenjang pendidikan, dan domisili.
5.4.1 Deskripsi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Berikut ini merupakan deskripsi dari responden berdasarkan jenis kelamin.
Gambar 5.2 Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan diagram diatas diketahui bahwa dari total responden yang
berjumlah 100 orang, responden laki-laki berjumlah 63% atau 63 orang dan
responden perempuan berjumlah 37% atau 37 orang.
5.4.2 Deskripsi Responden Berdasarkan Usia
Berikut ini merupakan deskripsi dari responden berdasarkan usia..
112
Gambar 5.3 Responden Berdasarkan Usia
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa dari total responden yang
berjumlah 100 orang jumlah responden yang berusia antara 20-29 tahun
sebanyak 5% atau 5 orang. Responden yang berusia antara 30-39 tahun
sebanyak 15% atau 15 orang. Responden yang berusia antara 40-49 tahun
merupakan responden terbanyak yaitu 40% atau 40 orang. Sedangkan
responden yang berusia antara 50-59 tahun sebanyak 30% atau 30 orang.
Responden yang berusian antara 60-69 tahun sebanyak 9% atau 9 orang.
Sedangkan responden yang berusia antara 70-71 tahun merupakan responden
dengan jumlah paling sedikit yaitu 1% atau 1 orang.
5.4.3 Deskripsi Responden Berdasarkan Pekerjaan
Berikut ini merupakan deskripsi dari responden berdasarkan pekerjaan.
113
Gambar 5.4 Responden Berdasarkan Pekerjaan
Dari grafik diatas diketahui bahwa dari total responden yang berjumlah 100
orang, responden yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil sebanyak 16%
atau 16 orang. Sedangkan responden yang bekerja sebagai pegawai swasta
sebanyak 62% atau 62 orang dan responden yang bekerja selain Pegawai
Negeri Sipil dan Pegawai Swasta sebanyak 22% atau 22 orang.
5.4.4 Deskripsi Responden Berdasarkan Jenjang Pendidikan
Berikut ini merupakan deskripsi dari responden berdasarkan jenjang pendidikan.
114
Gambar 5.5 Responden Berdasarkan Jenjang Pendidikan
Berdasarkan grafik diatas diketahui bahwa jumlah responden dengan jenjang
pendidikan SD sebanyak 4% atau 4 orang. Responden dengan jenjang
pendidikan SMP sebanyak 5% atau 5 orang. Responden dengan jenjang
pendidikan SMA sebanyak 43% atau 43 orang. Responden dengan jenjang
pendidikan D1 sebanyak 3% atau 3 orang. Responden dengan jenjang
pendidikan D3 sebanyak 5% atau 5 orang. Responden dengan jenjang
pendidikan S1 sebanyak 36% atau 36 orang. Responden dengan jenjang
pendidikan S2 sebanyak 4% atau 4 orang.
5.4.5 Deskripsi Responden Berdasarkan Domisili
Berikut ini merupakan deskripsi dari responden berdasarkan Kecamatan
tempat tinggalnya.
115
Gambar 5.6 Responden Berdasarkan Domisili
Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa responden yang berdomisili di
Kecamatan Klojen sebanyak 11% atau 11 orang. Sedangkan responden yang
berdomisili di Kecamatan Lowokwaru sebanyak 23% atau 23 orang. responden
yang berdomisili di Kecamatan Blimbing sebanyak 20% atau 20 orang.
responden yang berdomisili di Kecamatan Kedungkandang sebanyak 24% atau
24 orang. responden yang berdomisili di Kecamatan Sukun sebanyak 22% atau
22 orang.
5.5 Analisis Statistik Deskriptif
Analisis Statistik Deskriptif ini diperoleh dengan menggunakan bantuan
SPSS 20, dengan hasil seperti yang tampak pada tabel 5.14 berikut ini
116
Tabel 5.14 Tabel Statistik Deskriptif
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Kemauan Membayar Pajak 100 28 35 32,38 1,830
Sanksi 100 32 40 35,95 2,520
Pelayanan On the Spot 100 28 35 31,55 2,316
Reputasi Petugas Pajak 100 22 36 27,96 4,202
Valid N (listwise) 100
Berdasarkan tabel deskriptif dengan menggunakan bantuan SPSS 20 di atas
diketahui bahwa nilai terendah untuk variabel Sanksi adalah 32 dan nilai terbesar
adalah 40. Sedangkan nilai rata-rata (mean) untuk variabel Sanksi adalah 35,95
dan apabila dibagi dengan jumlah pertanyaan sebanyak 8 pertanyaan maka
rata-rata jawaban responden berada pada skala 4. Dengan demikian untuk
variabel Sanksi rata-rata responden menjawab “setuju” berdasarkan skala pada
kuisioner. Maksud dari jawaban ini adalah bahwa Sanksi dianggap oleh
responden dapat mempengaruhi kemauan responden untuk membayar pajak.
Pada variabel Persepsi tentang Pelayanan on the Spot, dari tabel 5.2
tersebut di atas diketahui bahwa nilai terendah untuk variabel Persepsi tentang
Pelayanan on the Spot adalah 28 dan nilai terbesar adalah 35. Sedangkan nilai
rata-rata (mean) untuk variabel Pelayanan on the Spot adalah 31,55 dan apabila
dibagi dengan jumlah pertanyaan sebanyak 7 pertanyaan maka rata-rata
jawaban responden berada pada skala 4. Dengan demikian untuk variabel
persepsi tentang Pelayanan on the Spot rata-rata responden menjawab “setuju”
berdasarkan skala pada kuisioner. Maksud dari jawaban ini adalah bahwa
Persepsi tentang Pelayanan on the Spot dianggap oleh responden dapat
mempengaruhi kemauan responden untuk membayar pajak.
117
Sedangkan pada variabel Reputasi Petugas Pajak, dari tabel 5.2 tersebut
di atas diketahui bahwa nilai terendah untuk variabel Reputasi Petugas Pajak
adalah 22 dan nilai terbesar adalah 36. Sedangkan nilai rata-rata (mean) untuk
variabel Reputasi Petugas Pajak adalah 27,96 dan apabila dibagi dengan jumlah
pertanyaan sebanyak 8 pertanyaan maka rata-rata jawaban responden berada
pada skala 4. Dengan demikian untuk variabel Reputasi Petugas Pajak rata-rata
responden menjawab “setuju” berdasarkan skala pada kuisioner. Maksud dari
jawaban ini adalah bahwa Reputasi Petugas Pajak dianggap oleh responden
dapat mempengaruhi kemauan responden untuk membayar pajak.
5.6 Hasil Uji Asumsi Klasik
5.6.1 Hasil Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah sebaran data yang
akan dianalisis berdistribusi normal atau tidak. Pengujian normalitas dilakukan
dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dan dengan menggunakan grafik
normal p-plot regression dengan bantuan progam aplikasi komputer SPSS ver
20.0 for Windows.
. Pengujian dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov ini dilakukan
dengan terlebih dahulu menentukan hipotesis pengujian yritu:
H0 : data terdistribusi secara normal
HA : data tidak terdistribusi secara normal
Pedoman dalam pengambilan keputusan adalah sebagai berikut:
a. Bila nilai probabilitas (Asymp. Sig) < 0,05, maka distribusi adalah tidak
normal
b. Bila nilai probabilitas (Asymp. Sig) > 0,05, maka distribusi adalah normal
118
Hasil uji Kolmogorov Smirnov dengan menggunakan SPSS 20 adalah
sebagai berikut.
Tabel 5.15 Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized
Residual
N 100
Normal Parametersa,bMean 0
Std. Deviation ,61619700
Most Extreme Differences
Absolute ,093
Positive ,093
Negative -,074
Kolmogorov-Smirnov Z ,928
Asymp. Sig. (2-tailed) ,355
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Dari data diatas diketahui bahwa nilai Asymp. Sig.(2-tailed) adalah
sebesar 0,355. Nilai Asymp. Sig. (2-tailed) dari tersebut bernilai > 0,05. Hal ini
berarti bahwa asumsi normalitas terpenuhi dan H0 (data terdistribusi secara
normal) diterima sehingga model regresi tersebut layak digunakan.
Selain menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov, pengujian normalitas
dalam penelitian ini dilakukan juga dengan menggunakan grafik normal p-plot
regression seperti pada gambar 5.7 dan 5.8 berikut ini.
119
Gambar 5.7 Grafik Histogram
Gambar 5.8 Grafik normal p-plot regression
120
Dari gambar grafik hidtogram terlihat bahwa grafik tidak memberikan pola
distibusi yang menceng ke kiri atau ke kanan. Demikian juga dari gambar grafik
p-plot regression di atas untuk uji normalitas dengan menggunakan grafik normal
p-plot regression terlihat titik-titik untuk semua variabel mengikuti dan mendekati
garis diagonal sehingga dapat disimpulkan bahwa model regresi memenuhi
asumsi normalitas.
5.6.2 Hasil Uji Multikolinieritas
Uji Multikolinieritas dimaksudkan untuk menguji apakah pada model
regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen). Model
regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel independen.
Pengujian Multikolinearitas dengan melihat nilai tolerian dan Varian Infloating
Factor (VIF) menunjukkan setiap variabel independen manakah yang dijelaskan
oleh variabel independen lainnya Syarat tidak terjadinya multikolinieritas adalah
apabila nilai Tolerance ≥ 0,10 dan nilai VIF≤ 10. Hasil pengujian Multikolinieritas
dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 5.16 berikut ini.
Tabel 5.16 Hasil Uji Multikolinieritas
Variabel Collinearity Statistics
Tolerance VIF
X1. Sanksi ,314 3,184
X2. Pelayanan on the spot ,347 2,882
X3. Reputasi Petugas Pajak ,352 2,844Sumber Data: Diolah Penulis (2017)
Dari tabel diatas diketahu bahwa nilai Tolerance untuk variabel Sanksi
dengan nilai 0,314, Pelayanan on the spot dengan nilai 0,347, dan Reputasi, dan
Reputasi Petugas Pajak dengan nilai 0,352 adalah > 0,10. Selanjutnya nilai VIF
untuk variabel Sanksi dengan nilai 3,184, Pelayanan on the spot dengan nilai
121
2,882, dan Reputasi, dan Reputasi Petugas Pajak dengan nilai 2,844 adalah
<10. Dari hasil perhitungan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi
masalah multikolinieritas.
5.6.1 Hasil Uji Heterokedastisitas
Uji Heteroskedastisitas dilakukan untuk menguji apakah dalam model
regresi terdapat hubungan antara variabel pengganggu dengan variabel bebas.
Dilakukan dengan dua cara yaitu menggunakan gambar dan angka. Syarat uji
regresi adalah tidak ada heteroskedastisitas. Pada penelitian ini uji
heterokedastisitas menggunakan gambar dan angka yaitu uji Glesjer.
Gambar 5.9 Hasil Uji Heteroskedastisitas
Dari gambar 5.11 di atas terlihat bahwa titik-titik menyebar di sekitar garis
nol dan tidak mengumpul. Namun untuk lebih meyakinkan lagi bahwa tidak
122
terjadi Heterokedastisitas maka perlu diuji dengan menggunakan uji Glesjer,
sehingga model regresi tersebut layak digunakan. Hasil uji glesjer tersebut
tampak pada tabel 5.17 berikut ini.
Tabel 5.17 Hasil Uji Glejser
Model Unstandardized
Coefficients
Standardize
d
Coefficients
t Sig.
B Std. Error Beta
1
(Constant) 2,105 ,722 2,913 ,004
Sanksi -,016 ,030 -,095 -,535 ,594
PersepsiTerhadap
Pelayanan On the
Spot
-,054 ,030 -,298 -1,774 ,079
Reputasi Petugas
Pajak,022 ,017 ,217 1,303 ,196
Dari tabel 5.17 di atas terlihat bahwa nilai probabilitas signifikansinya
untuk semua variabel bebas (independen) bernilai jauh diatas 5% yang sesuai
dengan hasil uji dengan menggunakan gambar scatterplot di atas sehingga
dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heterokedastisitas sehingga model regresi
layak digunakan.
123
5.7 Pengujian Hipotesis
Ringkasan hasil pengujian dapat diketahui dari tabel 5.18 berikut ini:
Tabel 5.18 Ringkasan Hasil Analisis Regresi Berganda
Variabel B Β T Sig Keterangan
Konstanta 9,167 8,457 ,000
Sanksi ,493 ,678 11,064 ,000 signifikan
Pelayanan On the Spot ,100 ,128 2,194 ,031 signifikan
Reputasi Petugas Pajak ,084 ,193 3,323 ,001 Signifikan
R R Square Adjusted R Square
,942 ,887 ,883
F 250,252 Sig 0,000
Sumber: Data Diolah, 2017
5.7.1 Pengujian Hipotesis Pertama
Hipotesis pertama yang menyatakan bahwa Terdapat hubungan antara
sanksi dan kemauan membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota
Malang dilakukan dengan melaksanakan uji t. Dasar pengambilan keputusannya
adalah apabila nilai signifikansinya < 0,05 maka terdapat hubungan antara
variabel sanksi terhadap kemauan membayar pajak.
Hipotesis uji yang digunakan adalah:
H0: variabel sanksi (X1) tidak berhubungan dengan kemauan membayar
pajak
H1: variabel sanksi (X1) berhubungan dengan kemauan membayar pajak
Hasil uji t pada tabel 5.18 diperoleh nilai Sig t sebesar 0,000 maka dapat
disimpulkan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima atau bahwa variabel sanksi (X1)
berhubungan secara parsial terhadap Kemauan Membayar Pajak(Y). Koefisien
regresi variabel sanksi (X1) yang dihasilkan dari pengujian tersebut adalah
124
sebesar 0,493 menyatakan bahwa apabila variabel sanksi (X1) yaitu sanksi
pidana ditambah sebesar 1 tahun maka kemauan membayar pajak(Y) akan
bertambah sebesar 0,493.
Hal ini menunjukkan bahwa wajib pajak masih mengkhawatirkan atau
takut terhadap sanksi yang akan diterima apabila tidak melaksanakan
kewajibannya membayar pajak atau dengan kata lain, sanksi dapat memberikan
efek jera. Oleh karena itulah maka wajib pajak menjadi memiliki kemauan untuk
membayar pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang sesuai
peraturan yang berlaku. Selain itu apabila dilihat dari koefisien regresinya, maka
apabila sanksi perpajakan dinaikkan atau penegakkan penerapan sanksi yang
sesuai peraturan dapat ditingkatkan maka kemauan membayar Pajak Bumi dan
Bangunan Perkotaan juga akan meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa
responden dalam penelitian yang telah dilakukan ini akan memenuhi
kewajibannya membayar pajak karena adanya sanksi yang diberikan apabila
wajib pajak tidak membayar pajak atau melaporkan obyek pajaknya dengan tidak
benar.
5.7.2 Pengujian Hipotesis Kedua
Hipotesis kedua yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
pelayanan on the spot dan kemauan membayar Pajak Bumi dan Bangunan
Perkotaan di Kota Malang dilakukan dengan melaksanakan uji t. Dasar
pengambilan keputusannya adalah apabila nilai signifikansinya < 0,05 maka
terdapat hubungan antara variabel sanksi dan kemauan membayar pajak.
125
Hipotesis uji yang digunakan adalah:
H0: variabel persepsi tentang pelayanan on the spot (X2) tidak berhubungan
secara signifikan dengan kemauan membayar pajak
H1: variabel persepsi tentang pelayanan on the spot (X2) berhubungan
secara signifikan dengan kemauan membayar pajak
Hasil uji t pada tabel 5.18 diperoleh nilai Sig t sebesar 0,031 maka dapat
disimpulkan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima atau bahwa variabel persepsi
tentang pelayanan on the spot (X2) berhubungan secara parsial dengan
Kemauan Membayar Pajak(Y). Sedangkan koefisien regresi variabel persepsi
tentang pelayanan on the spot (X2) yang dihasilkan dari pengujian tersebut
adalah sebesar 0,100 menyatakan bahwa apabila variabel persepsi tentang
pelayanan on the spot (X2) bertambah atau sebesar 1 unit maka kemauan
membayar pajak(Y) akan bertambah sebesar 0,100 unit.
Hasil perhitungan di atas berarti bahwa apabila kualitas pelayanan on the
spot ditingkatkan, maka kemauan membayar Pajak Bumi dan Bangunan
Perkotaan di Kota Malang akan meningkat.
5.7.3 Pengujian Hipotesis Ketiga
Hipotesis ketiga yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
reputasi petugas pajak dan kemauan membayar Pajak Bumi dan Bangunan
Perkotaan di Kota Malang dilakukan dengan melaksanakan uji t. Dasar
pengambilan keputusannya adalah apabila nilai signifikansinya < 0,05 maka
terdapat hubungan antara variabel sanksi dan kemauan membayar pajak.
126
Hipotesis uji yang digunakan adalah:
H0: variabel reputasi petugas pajak (X3) tidak berhubungan secara signifikan
terhadap kemauan membayar pajak
H1: variabel reputasi petugas pajak (X3) berhubungan secara signifikan
dengan kemauan membayar pajak
Hasil uji t pada tabel 5.18 diperoleh nilai Sig t sebesar 0,001 maka dapat
disimpulkan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima atau bahwa variabel reputasi
petugas pajak (X3) berhubungan secara parsial terhadap Kemauan Membayar
Pajak(Y). Sedangkan koefisien regresi variabel reputasi petugas pajak (X3) yang
dihasilkan dari pengujian tersebut adalah sebesar 0,084 menyatakan bahwa
apabila variabel reputasi petugas pajak (X3) bertambah sebesar 1 atau
menambah petugas yang memiliki reputasi baik sebanyak satu orang maka
kemauan membayar pajak(Y) akan bertambah sebesar 0,084.
Hasil perhitungan di atas berarti bahwa apabila reputasi petugas pajak baik
maka masyarakat akan merasa senang karena mereka dapat mengandalkan
petugas pajak. Apabila kemampuan petugas pajak ditingkatkan dalam hal
kecakapan teknis, kecepatan dalam memberikan pelayanan, ketepatan dalam
memberikan pelayanan, adil dan juga jujur dalam memberikan pelayanan maka
kemauan membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan juga akan meningkat.
5.7.4 Pengujian Hipotesis Keempat
Berdasarkan hasil perhitungan regresi pada tabel 5.18 diatas dapat
diperoleh persamaan regresi sebagai berikut:
Y = β0 + β1Sanksi + β2 Persepsi tentang Pelayanan on the Spot + β3Reputasi
Petugas Pajak + e
127
Hipotesis keempat yang menyatakan bahwa Variabel sanksi, persepsi
tentang pelayanan on the spot, dan reputasi petugas pajak secara simultan
berhubungan dengan Kemauan Membayar Pajak Bumi dan Bangunan
Perkotaan di Kota Malang dilakukan dengan melaksanakan uji F. Dasar
pengambilan keputusannya adalah apabila nilai signifikansinya < 0,05 maka
terdapat hubungan antara variabel sanksi Persepsi tentang Pelayanan on the
Spot, dan Reputasi Petugas Pajak dengan kemauan membayar Pajak Bumi dan
Bangunan Perkotaan di Kota Malang. Berdasarkan hasil perhitungan dengan
signifikansi 0,000 atau jauh lebih kecil dari 0,05 maka variabel independen yaitu:
Sanksi, Persepsi tentang Pelayanan on the Spot, dan Reputasi Petugas Pajak
secara simultan berhubungan terhadap Kemauan Membayar Pajak Bumi dan
Bangunan Perkotaan di Kota Malang.
Hasil Penelitian di atas menunjukkan bahwa apabila secara bersama-
sama, penegakkan pelaksanaan sanksi dapat ditingkatkan, kualitas pelayanan
on the spot ditingkatkan, dan juga adanya peningkatan kualitas dari petugas
pajak maka kemauan membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota
Malang akan meningkat.
Dari tabel 5.18 di atas dapat diketahui besarnya kontribusi variabel
independen secara simultan terhadap variabel dependen, berdasarkan hasil
perhitungan dengan nilai koefisien determinasi atau Adjusted R Square = 0,883
maka kontribusi dari variabel independen yaitu: Sanksi, Persepsi tentang
Pelayanan On the spot, dan Reputasi Petugas Pajak adalah sebesar 88,3%,
sedangkan 11,7% lainnya disumbangkan oleh variabel lainnya yang tidak diteliti
dalam penelitian ini.
128
5.8 Pembahasan Hasil
5.8.1 Hubungan Sanksi dan Kemauan Membayar Pajak Bumi dan
Bangunan Perkotaan di Kota Malang
. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sanksi berhubungan secara
signifikan dengan kemauan membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di
Kota Malang. Apabila sanksi ditingkatkan atau penegakkan pelaksanaan sanksi
ditingkatkan maka kemauan membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di
Kota Malang akan meningkat. Hal ini dikarenakan oleh wajib pajak masih
mengkhawatirkan atau takut akan mendapatkan sanksi apabila tidak membayar
pajak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selain itu wajib pajak merasa jera
dengan sanksi yang diterima apabila tidak melaksanakan kewajibannya untuk
membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan. Dari penjelasan tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa sanksi berhubungan dengan kemauan wajib pajak
untuk melunasi utang pajaknya. Menurut pendapat Richard Burton (2002)
“Kaidah hukum (hukum pajak) berupa sanksi pidana maupun sanksi administrasi
pada dasarnya dimaksudkan agar masyarakat patuh dan mau melunasi
kewajibannya untuk melunasi utang pajaknya dengan baik dan benar”. Selain itu
Menurut Zain(2007) “tidak diperlukan usaha apapun apabila dengan rasa takut
dan ancaman hukuman saja wajib pajak sudah akan mematuhi kewajibannya”.
Penjabaran tersebut menunjukkan bahwa penelitian ini didukung oleh Richard
Burton dan Zain.
Pemerintah Kota Malang telah mengatur sanksi untuk wajib Pajak Bumi
dan Bangunan Perkotaan ini dalam Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 7
Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011
Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan. Dalam peraturan tersebut
129
disebutkan bahwa terdapat 2 (dua) jenis sanksi, yaitu sanksi administrasi yaitu
sebesar 2% untuk keterlambatan dan sanksi pidana berupa kurungan atau
penjara. Hasil kuesioner untuk item pernyataan yang berkaitan dengan sanksi
pidana, hasil kuesioner untuk item pernyataan yang berkaitan dengan sanksi
pidana mempunyai nilai rata-rata 4 yang berarti wajib pajak menjawab setuju.
Hal ini mengindikasikan bahwa sanksi pidana yang diberikan oleh Pemerintah
akan wajib pajak merasa takut terhadap sanksi pidana danmembuat efek jera
bagi wajib pajak.
Selain itu, dari hasil kuesioner diketahui pula bahwa pada item
pernyataan yang berkaitan dengan sanksi administrasi rata-rata jawaban
responden adalah berada pada skor 3,77 yang berarti masyarakat ragu-ragu
dengan sanksi administrasi berupa denda keterlambatan sebesar 2%. Hal ini
mengindikasikan bahwa wajib pajak meragukan apabila sanksi administrasi yang
ditetapkan Pemerintah Kota Malang untuk keterlambatan membayar Pajak Bumi
dan Bangunan Kota Malang dapat membuat efek jera. Berdasarkan penjabaran
hasil kuesioner tersebut maka dapat dikatakan bahwa sanksi berpengaruh
terhadap kemauan membayar Pajak Bumi dan Bangunan. Namun sanksi yang
lebih memberikan efek jera adalah sanksi pidana daripada sanksi administrasi
Hasil penelitian bahwa sanksi berhubungan dengan kemauan membayar Pajak
Bumi dan Bangunan ini didukung oleh pendapat dari Richard Burton (2002)
,Zain(2007), penelitian dari Nugroho (2016) dan Sukma (2015) yang mengatakan
bahwa sanksi berhubungan dengan kemauan membayar pajak.
Di Kota Malang aturan terkait sanksi Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan
ini diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2015 tentang Perubahan
130
Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan Perkotaan. Dalam peraturan daerah tersebut diatur bahwa sanksi
administrasi untuk keterlambatan membayar Pajak Bumi dan Bangunan
Perkotaan di Kota Malang saat ini ditetapkan sebesar 2%. Sedangkan sanksi
pidana yang diatur dalam peraturan ini antara lain:
(1) Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPOP atau
mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan
keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah
dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau
pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar.
(2) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPOP atau
mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan
keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah dapat
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana
denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar.
Sanksi administrasi telah diterapkan di Kota Malang, namun untuk
penerapan sanksi pidana belum dapat sepenuhnya dilakukan. Hal ini
dikarenakan oleh Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang Masih
menggunakan data dari Kantor Pajak Pratama Kota Malang. Pajak Bumi dan
Bangunan Perkotaan ini mulai menjadi Pajak Daerah Kota Malang pada tahun
2013. Data wajib pajak lama yang digunakan adalah data pelimpahan yang
berasal dari Kantor Pajak Pratama Kota Malang. Pemerintah Kota Malang belum
melakukan pendataan ulang terkait obyek dan subyek Pajak Bumi dan Bangunan
131
Perkotaan di Kota Malang. Hal inilah yang menyebabkan Pemerintah Kota
Malang dalam hal ini adalah Badan Pelayanan Pajak Daerah Kota Malang
kesulitan memberlakukan sanksi pidana terhadap obyek pajak yang yang telah
berubah kepemilikan namun pemilik belum melaporkan perubahan tersebut.
Langkah yang telah diambil oleh Badan Pelayanan Pajak Daerah Kota Malang
untuk mengatasi masalah tersebut sementara hanya memasang papan
peringatan menunggak pajak pada obyek pajak yang telah menunggak lebih dari
5 (lima) tahun.
Apabila sanksi dikaitkan dengan ruang lingkup administrasi publik, maka
sanksi yang diatur dalam Peraturan Daerah Kota Malang ini termasuk dalam
ruang lingkup administrasi publik yaitu kebijakan publik. Dilihat dari definisi
kebijakan publik maka pemberian sanksi kepada Wajib Pajak Bumi dan
Bangunan di Kota Malang merupakan tindakan Pemerintah Kota Malang untuk
memberikan sanksi kepada wajib pajak yang tidak patuh. Sedangkan yang
dimaksud berorientasi pada kepentingan publik adalah pemberian sanksi
dilaksanakan agar wajib pajak membayar pajak yang menurut Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 pajak daerah merupakan “kontribusi wajib kepada Daerah
yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”. Hal ini berarti bahwa pajak yang terkumpul akan digunakan
untuk kepentingan rakyat, sehingga dengan memberikan sanksi kepada wajib
pajak yang tidak patuh maka tindakan pemerintah ini merupakan tindakan yang
berorientasi kepada kepentingan publik. Selanjutnya kebijakan publik yang
merupakan tindakan pemilihan alternatif untuk dilaksanakan atau tidak
132
dilaksanakan oleh pemerintah demi kepentingan publik sangatlah jelas bahwa
Pemerintah Kota Malang telah membuat dan mengesahkan Peraturan Daerah
Nomor 7 Tahun 2015 tentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 11 tentang
Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan yang didalamnya memuat tentang sanksi,
baik sanksi administrasi maupun sanksi pidana. Hal ini berarti Pemerintah Kota
Malang memilih untuk melaksanakan atau menerapkan sanksi tersebut demi
kepentingan publik, meskipun dalam kenyataannya masih sulit menerapkan
sanksi pidana dikarenakan kurang akuratnya data wajib pajak.
Adanya hubungan antara sanksi dan kemauan membayar Pajak Bumi dan
Bangunan Perkotaan ini, apabila sanksi dapat diterpkan dengan baik dan benar
sesuai peraturan maka kemauan membayar Pajak Bumi dan Bangunan
Perkotaan di Kota Malang akan meningkat. Hal ini akan meningkatkan realisasi
penerimaan Pajak Asli Daerah yang dapat digunakan untuk membiayai
pembangunan di Kota Malang. Apabila Pendapatan Asli Daerah bertambah
maka akan mengurangi ketergantungan daerah terhadap pusat sehingga
menguatkan otonomi daerah itu sendiri.
5.8.2 Hubungan Persepsi Tentang Pelayanan on The Spot dan Kemauan
Membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang
Pelayanan on the spot yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
pelayanan yang dilakukan oleh Badan Pelayanan Pajak Daerah Kota Malang
dengan menggunakan mobil pajak keliling ketika ada acara blusukan Walikota
Malang atau ada acara-acara tertentu yang berhubungan dengan pajak atau di
tempat-tempat yang tidak terdapat tempat pembayaran Pajak Bumi dan
Bangunan. Hal ini dikarenakan ketika Pajak Bumi dan Bangunan masih menjadi
133
Pajak Pusat, wajib pajak dapat membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan
di Kantor Kelurahan dan membayar melalui petugas Kelurahan. Hal ini sangat
memudahkan masyarakat dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan
Perkotaan. Namun semenjak menjadi Pajak Daerah, maka pembayaran Pajak
Bumi dan Bangunan Perkotaan hanya dapat dibayarkan di tempat-tempat yang
telah ditentukan yang antara lain:
a) Kantor Kecamatan Lowokwaru
b) Kantor Kecamatan Blimbing
c) Kantor Kecamatan Klojen
d) Kantor Kecamatan Sukun
e) Kantor Kecamatan Kedungkandang
f) Kantor Kelurahan Bareng
g) Kantor Kelurahan Lesanpuro
h) Kantor Kelurahan Tlogomas
i) Kantor Kelurahan Polehan
j) Kantor Kelurahan Bumiayu
k) Kantor Kelurahan Tunggulwulung
Wajib pajak yang berdomisili di lokasi yang di kelurahannya tidak terdapat
tempat pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan dapat membayar Pajak Bumi dan
Bangunan pada saat dilaksanakan pelayanan on the spot. Dari hasil kuesioner
total nilai dari 5 (lima) indikator yang digunakan, setiap indikator memiliki nilai
rata-rata skor 4 yang berarti wajib pajak mempersepsikan kualitas pelayanan on
the spot sudah baik. Namun dari kelima indikator dari Zeithaml (tangible,
reliability, responsive, assurance, dan empathy) nilai terendah terdapat pada
indikator tangible. Indikator tangible ini berkaitan dengan sarana fisik dalam
134
melaksanakan pelayanan on the spot. Meskipun dari hasil skor sudah baik,
namun jika dibandingkan dengan nilai yang diperoleh pada indikator lain, maka
sarana fisik dari pelayanan on the spot ini perlu mendapatkan perhatian lebih dari
Pemerintah Kota Malang. Hal ini dapat terjadi dikarenakan pelayanan on the spot
merupakan pelayanan dengan menggunakan mobil pajak keliling, dimana tidak
terdapat ruang tunggu yang nyaman bagi wajib pajak.
Secara umum dari hasil total skor variabel persepsi tentang pelayanan on
the spot ini baik. Apabila dilihat dari indikator reliabel, maka dapat disimpulkan
bahwa wajib pajak menilai bahwa pelayanan on the spot merupakan pelayanan
yang terpercaya karena wajib pajak yang membayar Pajak Bumi dan Bangunan
Perkotaan mendapatkan bukti pembayaran yang sah. Sedangkan dari indikator
responsive, yaitu kesanggupan untuk secara cepat dan tepat serta tanggap
terhadap konsumen, pelayanan on the spot dinilai baik. Hal ini dapat terjadi
karena pelayanan on the spot merupakan pelayanan yang disediakan oleh
Pemerintah Kota Malang khusus untuk pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan
Perkotaan yang mendekati wajib pajak. Pelayanan on the spot ini dilakukan
ketika terdapat agenda blusukan Walikota Malang. Acara blusukan Walikota
Malang ini dilakukan di Kelurahan-kelurahan yang ada di Kota Malang. Oleh
karena pelayanan on the spot ini dilaksanakan di lokasi dilakukannya agenda
blusukan, maka wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang yang
bertempat tinggal di daerah tersebut akan lebih dekat dalam melaksanakan
kewajibannya membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan. Apabila tidak
terdapat pelayanan on the spot ini, maka wajib Pajak Bumi dan Bangunan
membayar pajak tersebut di Kantor Bank Jatim yang terdapat di tempat-tempat
tertentu yang telah ditentukan oleh Pemerintah Kota Malang. Namun dengan
135
adanya pelayanan on the spot ini maka wajib pajak yang bertempat tinggal jauh
dari lokasi pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan yang telah
ditentukan oleh Pemerintah Kota Malang dapat membayar pajak tersebut di
lokasi blusukan Walikota Malang yang lebih dekat dengan lokasi tempat
tinggalnya. Oleh karena itulah maka pelayanan on the spot ini dapat dikatakan
tepat dan tanggap terhadap keinginan wajib pajak, yang menginginkan
pembayaran pajak yang lebih dekat. Pelayanan lebih dekat ini diinginkan karena
ketika Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan ini masih menjadi Pajak Pusat maka
wajib pajak dapat membayarnya melalui pegawai kelurahan setempat, namun
sejak menjadi pajak daerah maka tidak di semua kelurahan terdapat tempat
pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan.
Indikator berikutnya adalah assurance, yaitu kemampuan dan keramahan
serta sopan santun pegawai dalam meyakinkan kepercayaan konsumen.
Indikator assurance ini mendapatkan total nilai terbesar diantara indikator yang
lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa petugas telah bersikap sopan dan ramah
dalam melayani wajib pajak. Sikap sopan dan ramah dlam memberikan
pelayanan ini sangat penting bagi wajib pajak. Hal ini dikarenakn oleh dengan
kesopanan dan keramahan dari petugas maka wajib pajak akan merasa nyaman
sehingga wajib pajak akan yakin bahwa mereka dapat mempercayai petugas
pajak, dan bahwa petugas tersebut tidak akan menipu atau menggelapkan pajak
yang mereka bayarkan.
Indikator terakhir yang digunakan adalah empathy, yaitu sikap tegas tetapi
penuh perhatian dari petugas terhadap konsumen. Dari hasil kuesioner diketahui
bahwa wajib pajak menilai bahwa petugas pajak yang melayani telah memiliki
sikap tegas namun perhatian kepada wajib pajak. Tegas yang dimaksud adalah
136
petugas melaksanakan tugasnya sesuai dengan aturan yang berlaku dan tidak
dapat dikompromi, namun apabila ada wajib pajak yang mengalami kesulitan
maka petugas akan memberikan saran atau masukan yang sesuai dengan
aturan yang berlaku.
Salah satu contoh bahwa pelayanan on the spot ini berhubungan dengan
kemauan membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan adalah Pelayanan on
the spot yang dlakukan di Kelurahan Dinoyo. Berdasarkan pelayanan yang
pernah dilakukan di Kelurahan Dinoyo yang diakses melalui
(http://malangkota.go.id/2017/07/15/jemput bola, BP2D Buka Stan Layanan
Pembayaran Pajak di Kawasan Dinoyo/ diakses pada tanggal 25 Juli 2017)
dalam pelayanan On The Spot tersebut petugas Badan Pelayanan Pajak Daerah
(BP2D) Kota Malang bekerjasama dengan Bank Jatim Cabang Malang membuka
stan pelayanan dan pembayaran PBB di Kantor Kelurahan Dinoyo. Stan dibuka
mulai pukul 08.00 WIB dan ditutup pukul 12.00 WIB, Wajib Pajak yang
membayar PBB Perkotaan yang membayar sebanyak 112 orang. Dari uraian
tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan adanya pelayanan on the spot ini
maka kemauan wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang
meningkat.
Penjabaran diatas menunjukkan bahwa pelayanan on the spot
berhubungan dengan kemauan membayar pajak. Hasil penelitian ini didukung
oleh Pendapat Zain(2007), Katona (1975)(dalam Burton 2010), Katharina Gangl,
Stephan Muehlbacher, Manon de Groot, Sjoerd Goslinga,Eva Hofmann,
Christoph Kogler, Gerrit Antonides, and Erich Kirchler, Ortega, Daniel; Ronconi,
Lucas; Sanguinetti, Pablo.
137
Dengan adanya hubungan antara pelayanan on the spot ini terutama
dalam hal kualitas pelayanannya maka apabila kualitas pelayanan ditingatkan
maka kemauan membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan akan
meningkat. Apabila peningkatan kualitas pelayanan dilaksankan seperti misalnya
memberikan jadwal rutin untuk pelayanan on the spot ini, menambah armada
mobil pajak keliling atau dalam jangka panjang Pemerintah Kota Malang
menyediaan pelayanan yang lebih nyaman yaitu degan menyediakan tempat
pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di setiap kelurahan maka
kemauan membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan akan meningkat.
Peningkatan ini akan menyebabkan realisasi penerimaan Pajak Asli Daerah
meningkat.Peningkatan ini akan mengurangi ketergantungan daerah kepada
pusat sehingga akan terjadi penguatan otonomi daerah.
5.8.3 Hubungan Reputasi Petugas Pajak dan Kemauan Membayar Pajak
Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang
Reputasi petugas pajak yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah
perbuatan yang dilakukan oleh petugas pajak sehingga mendapatkan nama baik.
Menurut Bentham (1789)(dalam Pasolong, 2016: 194) mengatakan bahwa “
prinsip etis dan tidak etisnya suatu kegiatan tergantung kepada kecenderungan
menghasilkan kebahagiaan, atau mengurangi kebahagiaan”. Pendapat ini
didukung oleh John Stuart Mill (1861) (dalam Pasolong, 2016: 195) mengatakan
bahwa “suatu kegiatan dianggap baik secara etis apabila dapat meningkatkan
kebahagiaan dan tidak etis atau buruk apabila tidak mendatangkan kebahagiaan
atau kesenangan”.
138
Dari hasil kuesioner untuk pernyataan yang berkaitan dengan reputasi
petugas banyak rata-rata skor yang diperoleh adalah 4 yang menunjukkan
bahwa reputasi petugas pajak di Kota Malang baik. Berdasarkan pendapat dari
Bentham tersebut diatas apabila reputasi petugas pajak baik sehingga dapat
menyebabkan wajib pajak senang untuk dilayani oleh mereka maka pelayanan
yang diberikan adalah etis atau baik.
Berdasarkan Renstra Badan Pelayanan Pajak Daerah Kota Malang tahun
2017 terdapat program Pengembangan Sumber Daya Manusia yang
kegiatannya berupa bimtek dan diklat fiskus atau petugas pajak. Program dan
kegiatan ini dapat menunjang kemampuan petugas pajak dalam pelaksanaan
tugasnya terutama dalam memberikan pelayanan kepada wajib pajak. Apabila
program dan kegiatan ini dilaksanakan dan berhasil maka dapat membantu
memperbaiki reputasi petugas pajak atau menjadikan reputasi petugas pajak
yang sudah baik menjadi lebih baik lagi di mata wajib pajak. Kegiatan semacam
ini memang sangat diperlukan untuk mendapatkan petugas pajak dengan
reputasi yang baik, hal ini dikarenakan oleh adanya perubahan peraturan
perpajakan. Dengan diadakannya kegiatan ini maka petugas pajak akan memiliki
pengetahuan tentang peraturan perpajakan terbaru, sehingga ketika ada wajib
pajak yang bertanya atau membutuhkan informasi terkait peraturan perpajakan
terbaru maka petugas pajak dapat menjelaskannya kepada wajib pajak. Wajib
pajak yang puas dengan jawaban petugas pajak tersebut akan memberikan
penilaian atau mempersepsikan bahwa petugas pajak memiliki reputasi yang
baik sehingga kemauan membayar pajaknya akan meningkat. Hasil penelitian ini
didukung oleh pendapat dari Zain (2007) bahwa reputasi petugas pajak
berhubungan dengan kemauan membayar Pajak Bumi dan Bangunan.
139
Menurut Zain (2007) reputasi petugas pajak dapat dilihat dari kecakapan
teknis petugas, kecepatan, ketepatan dan keadilan dalam memberikan
pelayanan. Zain (2007) mengatakan bahwa “semua sikap dan tindakan petugas
pajak berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat. Apabila masyarakat
percaya kepada petugas pajak maka ia akan mau untuk membayar pajak”.
Pendapat Zain tersebut menunjukkan bahwa reputasi petugas pajak
berhubungan dengan kemauan membayar pajak.
Dengan demikian, maka apabila reputasi petugas pajak ditingkatkan lagi
dengan terus melaksanakan kegiatan peningkatan kapasitas pegawai pajak
secara rutin maka akan dapat meningkatkan kemauan membayar Pajak Bumi
dan Bangunan Perotaan sehingga Pendapatan Asli Daerah juga akan
meningkat dan memperkuat otonomi daerah.
5.8.4 Hubungan Sanksi, Persepsi Tentang Pelayanan on the Spot, dan
Reputasi Petugas Pajak Secara Simultan dengan Kemauan
Membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang
Berdasarkan hasil penelitian ini, sanksi, persepsi tentang pelayanan on the
spot, dan reputasi petugas pajak berhubungan signifikan secara bersama-sama
atau simultan dengan kemauan membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan
di Kota Malang. Secara simultan ketiga variabel independen tersebut
berkontribusi sebesar 88,3% terhadap kemauan membayar Pajak Bumi dan
Bangunan Perkotaan di Kota Malang.Sedangkan 11,7% kemauan membayar
Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang dipengaruhi oleh variabel
lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Hasil Uji F tampak seperti tabel berikut
ini.
140
Variabel B Sig Keterangan
Konstanta 9,167 ,000
Sanksi ,493 ,000 Signifikan
Pelayanan On the Spot ,100 ,031 Signifikan
Reputasi Petugas Pajak ,084 ,001 Signifikan
RR
SquareAdjusted R Square
,942 ,887 ,883
F 250,252 Sig 0,000
Sedangkan Variabel yang berhubungan dengan kemauan membayar Pajak
Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang pada posisi pertama berdasarkan
penelitian ini adalah sanksi dengan koefisien sebesar 0,493 yang berarti bahwa
apabila sanksi pidana ditambah 1 tahun maka kemauan membayar Pajak Bumi
dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang akan bertambah sebesar 0,493 dari
sebelumnya. Variabel yang berhubungan setelah sanksi adalah persepsi tentang
pelayanan on the spot dan selanjutnya adalah reputasi petugas pajak. Nilai
koefisien variabel persepsi tentang pelayanan on the spot adalah sebesar 0,100
yang berarti apabila variabel persepsi tentang pelayanan on the spot ditingkatkan
1 unit atau mobil pajak keliling ditambah 1 unit maka kemauan membayar Pajak
Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang akan bertambah sebesar 0,100.
Demikian juga dengan variabel reputasi petugas pajak yang berada pada posisi
ke tiga dengan nilai koefisien sebesar 0,084 maka apabila variabel ini ditambah 1
orang atau menambah 1 orang petugas yang memiliki reputasi baik maka
kemauan membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang akan
bertambah sebesar 0,084.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa apabila variabel sanksi,
persepsi tentang pelayanan on the spot, dan reputasi petugas pajak meningkat
141
maka kemauan membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang
akan meningkat pula. Hasil penelitian ini didukung oleh pendapat dari Zain
(2007) yang menyebutkan bahwa sanksi, pelayanan, dan reputasi petugas pajak
berhubungan dengan kemauan membayar pajak. Apabila kemauan wajib pajak
untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan meningkat, maka akan
berdampak pada kenaikan jumlah penerimaan yang berasal dari Pajak Bumi dan
Bangunan Perkotaan. Penambahan penerimaan yang berasal dari Pajak Bumi
dan Bangunan Perkotaan tersebut akan menambah jumlah Pendapatan Asli
Daerah yang merupakan sumber penerimaan daerah. Hal ini sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yaitu sumber penerimaan daerah
terdiri dari Pendapatan Daerah dan Pembiayaan. Pendapatan Daerah bersumber
dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan Lain-Lain Pendapatan.
Pendapatan Asli Daerah ini menurut Mahmudi (2010) merupakan diskresi bagi
Pemerintah Daerah untuk dapat digunakan dalam membiayai pembangunan
daerah. Oleh karena itulah maka dengan meningkatnya kemauan membayar
pajak yang berasal dari Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang
yang merupakan pajak dengan realisasi terbesar ke dua maka sumber
pembiayaan pembangunan yang sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan
prioritas Kota Malang akan bertambah. Hal ini sesuai dengan pendapat dari
Adisasmita (2014: 3) bahwa “dilihat dalam konteks pengelolaan keuangan
daerah, penerimaan pendapatan daerah dan anggaran mempunyai kaitan yang
erat terhadap keberhasilan pembangunan daerah dan pelaksanaan otonomi
daerah, oleh karena itu harus dikelola secara efektif, efisien dan profesional serta
berkelanjutan”. Sesuai pendapat Adisasmita tersebut maka sangat diperlukan
142
pengelolaan keuangan daerah terutama yang berkaitan dengan penerimaan
pendapatan daerah sebagai sumber pembiayaan pembangunan derah yang baik
dan berkelanjutan. Peningkatan penerimaan Pendapatan Asli Daerah dapat
meningkatkan kemampuan daerah dalam membiayai pembangunan di daerah itu
sendiri. Berdasarkan prinsip keuangan daerah yang terdapat dalam Undang–
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yaitu untuk
menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab,
diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri
yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah
serta antara propinsi dengan kabupaten/kota, maka dengan meningkatnya
Pendapatan Asli Daerah berarti daerah memiliki kemampuan untuk menggali
sumber keuangan sendiri dan juga akan mengurangi ketergantungan daerah
terhadap sumber pembiayaan yang berasal dari dana perimbangan antara
pemerintah pusat dan daerah serta antara propinsi dengan kabupaten.
Upaya yang telah dilakukan Pemerintah Kota Malang untuk mengetahui
pemilik dari obyek Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan juga dalam rangka
meningkatkan pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan adalah dengan
melaksanakan program Sunset Policy. Program tersebut dilaksanakan pada
tahun 2016 dan 2017. Pada program Sunset Policy tahun 2016 diikuti sebanyak
1.213 wajib pajak dengan penerimaan sebesar Rp 1.592.800.000,00. Sedangkan
program Sunset Policy tahun 2017 diikuti sebanyak 539 wajib pajak dengan
penerimaan sebesar Rp 587.200.000,00. Dengan dilaksanakannya program
sunset policy ini maka penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan
meningkat. Selain itu juga wajib pajak yang telah mengikuti program tersebut
akan mau membayar pajaknya di tahun mendatang karena mereka telah
143
terbebas dari sanksi administrasi dari tunggakan pajak tahun-tahun sebelumnya.
Selain itu ada pula keuntungan yang diperoleh Pemerintah Kota Malang, yaitu
obyek pajak yang sebelumnya tidak bertuan dan apabila wajib pajaknya
mengikuti program ini maka akan diketahui siapa pemiliknya. Hal ini sangat
menguntungkan karena akan menambah basis data Pajak Bumi dan Bangunan
Perkotaan di Kota Malang. Selain kegiatan sunset policy tersebut untuk
merangsang investasi terkait perhotelan, dan juga restoran maka Sedangkan
karakteristik kebijakan terkait Pajak Bumi dan Perkotaan di Kota Malang apabila
diliht dari Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2015 tentang Perubahan Peraturan
Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan
maka dapat diketahui adanya tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota
Malang yang justru turun pada NJOP yang tinggi. Tarif untuk NJOP sampai
dengan Rp. 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah) ditetapkan
sebesar 0,055 % (nol koma nol lima puluh lima persen) per tahun, untuk NJOP
Rp. 1.500.000.001,00 (satu milyar lima ratus juta satu rupiah) sampai dengan Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,112 % (nol koma
seratus dua belas persen) per tahun, untuk NJOP Rp.5.000.000.001,00 (lima
milyar satu rupiah) sampai dengan Rp. 100.000.000.000,00 (seratus milyar
rupiah) ditetapkan sebesar 0,145 % (nol koma seratus empat puluh lima persen)
per tahun, dan untuk NJOP diatas Rp. 100.000.000.000,00 (seratus milyar
rupiah) ditetapkan sebesar 0,113 % (nol koma seratus tiga belas persen) per
tahun. Penurunan tarif Pajak Bumi dan Bangunan di Kota Malang ini dilakukan
karena semakin berkembangnya usaha perhotelan di Kota Malang dimana
terdapat banyak dibangunnya hotel baru di Kota Malang. Dengan diturunkannya
tarif untuk NJOP diatas Rp 100.000.000.000,00 diharapkan akan semakin
144
meningkatkan investasi di bidang perhotelan di Kota Malang. Peningkatan
investasi ini akan berdampak pada kenaikan pendapatan dari sektor pajak
daerah di Kota Malang khususnya Pajak Bumi dan Bangunan Perotaan di Kota
Malang.
Sedangkan dari sisi pelayanan yaitu Pelayanan on The Spot, Badan
Pelayanan Pajak Daerah menyelenggarakan acara Tax Go To Kampung yang
dilaksanakan selama Bulan November 2017. Acara ini selain untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak juga untuk
melakukan pelayanan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan melalui
Pelayanan On The Spot. Bukti pembayaran pajak tersebut dapat digunakan
untuk memperoleh kupon undian jalan sehat dengan memberikan hadiah yang
menarik seperti sepeda gunung, televisi, lemari es, dan hadiah menarik lainnya.
Selain itu yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Malang untuk menaikkan
jumlah penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan adalah menaikkan Nilai Jual
Obyek Pajak di Kota Malang. Nilai Jual Obyek Pajak ini tergantung dari nilai
obyek pajak itu sendiri. Sedangkan nilai dari obyek pajak tersebut tergantung dari
lokasi, peruntukan (untuk rumah tinggal, tempat usaha, daerah
industri,pendidikan yang diselenggarakan swasta dan sebagainya), lebar jalan di
depan obyek pajak, harga pasar dari obyek pajak yang sejenis dan lain-lain yang
biasanya disebut dengan Zona Nilai Tanah. Penentuan Nilai Jual Obyek Pajak ini
hanya dapat dilakukan oleh penilai yang bersertifikat. Sedangkan untuk
menentukan Luas Tanah sebagai dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan
Perkotaan maka wajib pajak harus menyertakan IMB dari obyek pajak. Hal ini
tidak berlaku untuk tanah dan/atau bangunan yang bukan
merupakan obyek pajak seperti yang digunakan oleh pemerintah untuk
145
penyelenggaraan pemerintahan, digunakan semata-mata untuk melayani
kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan
kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk emperoleh
keuntungan,digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis
dengan itu, merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman
nasional dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.
Sedangan untuk mengatasi penunggak Pajak Bumi dan Bangunan
Perkotaan adalah dengan melakukan penagihan dan untuk wajib pajak yang
tidak menyampaikan SPOP adalah petugas akan melakukan pendataan sendiri
dengan terjun ke lokasi dan kemudian melakukan penetapan besarnya pajak
dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah dan menyerahkannya
kepada wajib pajak, apabila wajib pajak tidak membayar sampai batas waktu
yang ditentukan maka petugas akan melakukan penagihan. Selain itu apabila
apabila telah dilakukan pendataan obyek pajak dan disangka adanya
kecurangan atau penyampaian data dalam SPOP terindikasi tidak benar maka
petugas akan melakukan pemeriksaan dengan cara menghimpun dan mengolah
data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan
profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan/atau untuk tujuan lain dalam
rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
daerah. Apabila dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa memang terjadi
kecurangan maka langkah selanjutnya adalah melakukan penyidikan yaitu
tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan
daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian yang telah dilakukan antara lain:
1. Hasil penelitian yang telah dilakukan ini menunjukkan bahwa terdapat
hubungan positif secara parsial antara variabel sanksi, persepsi tentang
pelayanan on the spot, dan reputasi petugas pajak dengan variabel
kemauan membayar pajak. Hal ini berarti apabila variabel sanksi meningkat
maka kemauan membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota
Malang akan meningkat, demikian juga yang terjadi terhadap persepsi
tentang pelayanan on the spot dan reputasi petugas pajak. Sedangkan
persepsi terhadap pelayanan on the spot termasuk dalam ruang lingkup
pelayanan publik dan reputasi petugas pajak termasuk ke dalam ruang
lingkup etika administrasi publik.
2. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan ini diketahui bahwa terdapat
hubungan positif antara variabel sanksi, persepsi tentang pelayanan on the
spot, dan reputasi petugas pajak secara simultan dengan variabel kemauan
membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang. Secara
simultan ketiga variabel independen tersebut berkontribusi sebesar 88,3%
terhadap kemauan membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota
Malang.Sedangkan 11,7% kemauan membayar Pajak Bumi dan Bangunan
Perkotaan di Kota Malang berhubungan dengan variabel lain yang tidak
diteliti dalam penelitian ini. Apabila dilihat dari nilai koefisien masing-masing
variabel, maka dapat diketahui bahwa variabel yang memiliki hubungan
terbesar terhadap kemauan membayar Pajak Bumi dan Bangunan
146
147
Perkotaan di Kota Malang adalah variabel sanksi. Variabel yang
berhubungan pada posisi ke dua terhadap kemauan membayar Pajak Bumi
dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang adalah variabel persepsi tentang
pelayanan on the spot. Setelah itu, variabel yang hubungannya berada pada
posisi ketiga atau yang berhubungan paling kecil adalah reputasi petugas
pajak. Dengan peningkatan kemauan membayar Pajak Bumi dan Bangunan
Perkotaan ini maka penerimaan yang berasal dari Pajak Bumi dan
Bangunan Perkotaan akan meningkat, dan akan meningkatkan jumlah
Pendapatan Asli Daerah yang merupakan sumber pembiayaan
pembangunan daerah. Apabila Pendapatan Asli Daerah meningkat maka
pembangunan yang menjadi prioritas daerah akan lebih mudah terlaksana.
Hal ini dikarenakan adanya diskresi bagi daerah untuk dapat menggunakan
Pendapatan Asli Daerah untuk membiayai pembangunan daerah itu sendiri.
Selain itu, dengan meningkatnya Pendapatan Asli Daerah berarti daerah
memiliki kemampuan untuk menggali sumber keuangan sendiri dan juga
dapat mengurangi ketergantungan daerah terhadap sumber pembiayaan
yang berasal dari dana perimbangan antara pemerintah pusat dan daerah
serta antara propinsi dengan kabupaten.
6.2 Saran
6.2.1 Saran Bagi Pemerintah Kota Malang
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka penulis menyarankan beberapa
hal untuk dapat dilakukan oleh Pemerintah Kota Malang, antara lain:
1. Dalam rangka meningkatkan kemauan membayar Pajak Bumi dan
Bangunan Perkotaan di Kota Malang, hasil penelitian yang telah dilakukan
148
menunjukkan bahwa sanksi berhubungan secara positif dengan kemauan
membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang, maka hal
pertama yang harus dilakukan oleh Pemerintah Kota Malang adalah
melakukan pendataan ulang semua wajib Pajak Bumi dan Bangunan
Perkotaan di Kota Malang. Setelah melakukan pendataan ulang, maka
hendaknya Pemerintah Kota Malang benar-benar menerapkan sanksi sesuai
dengan peraturan yang berlaku terutama untuk wajib pajak yang dengan
sengaja melaporkan obyek pajaknya dengan tidak benar atau
menyembunyikan obyek pajaknya, yaitu dengan memberikan sanksi pidana.
Dengan memberikan sanksi yang tegas maka wajib pajak akan berpikir dua
kali untuk melakukan tindakan yang tidak sesuai aturan perpajakan yang
berlaku. Dengan demikian maka kemauan untuk membayar Pajak Bumi dan
Bangunan Perkotaan di Kota Malang akan meningkat. Dengan semakin
meningkatnya kemauan membayar pajak maka jumlah wajib pajak yang
menunggak akan berkurang atau bahkan tidak ada. Apabila kondisi tersebut
terjadi maka jumlah penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan akan
meningkat. Uang yang diterima dari hasil pajak tersebut dapat dipergunakan
oleh Pemerintah Kota Malang untuk membiayai pembangunan Kota Malang
demi kesejahteraan masyarakat Kota Malang sendiri.
2. Dalam rangka peningkatan pelayanan terutama pelayanan pembayaran
Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang, dimana berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang positif antara pelayanan on the spot dengan kemauan membayar Pajak
Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota Malang. Pelayanan on the spot ini
dianggap baik karena dapat menghemat biaya dan waktu dari wajib pajak.
149
Hal ini terjadi karena sebelum Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan menjadi
pajak daerah pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan di Kota
Malang dapat dilakukan di semua kantor kelurahan, sedangkan setelah
menjadi Pajak Daerah Kota Malang tidak semua kelurahan menjadi tempat
pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan. Dengan hubungan yang
positif ini maka berarti apabila pelayanan on the spot ini ditingkatkan, yaitu
dengan membuat kebijakan jangka pendek yaitu menyediakan pelayanan
yang terjadwal atau rutin dan pasti di semua kelurahan di Kota Malang
terkait pelayanan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan.
Dengan demikian maka kemauan membayar Pajak Bumi dan Bangunan
Perkotaan menjadi meningkat. Selain itu perlu ditambahkannya mobil pajak
keliling yang saat ini masih tersedia 1 unit. Sedangkan untuk jangka panjang
hendaknya disediakan tempat pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan
Perkotaan di semua Kelurahan di Kota Malang agar setiap saat masyarakat
dapat membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan.
3. Terkait dengan reputasi petugas pajak, hasil penelitian yang telah dilakukan
ini juga menunjukkan bahwa reputasi petugas pajak berhubungan positif
signifikan terhadap kemauan membayar pajak. Hal ini berarti bahwa dan
petugas pajak haruslah benar-benar orang yang berkompeten di bidang
perpajakan, adil serta jujur dalam melaksanakan tugasnya. Berdasarkan
kondisi tersebut maka program dan kegiatan dalam rangka peningkatan
kapasitas pegawai hendaknya dilaksanakan dan ditingkatkan lagi terutama
bagi para petugas pajak yang langsung berhubungan dengan wajib pajak.
Dengan pelaksanaan program dan kegiatan tersebut maka kemampuan
petugas pajak akan meningkat, pengetahuan terkait peraturan perpajakan
150
terbaru juga akan dimiliki sehingga apabila ada wajib pajak yang
membutuhkan informasi atau pelayanan yang membutuhkan kompetensi
perpajakan, maka petugas pajak dapat memenuhinya. Apabila petugas
pajak memiliki kompetensi atau sesuai dengan harapan wajib pajak, maka
petugas pajak dinilai memiliki reputasi yang baik oleh wajib pajak. Reputasi
yang baik ini akan dapat meningkatkan kemauan membayar pajak.
Sebaiknya Badan Pelayanan Pajak Daerah Kota Malang bekerjasama
dengan perguruan tinggi untuk menyelenggarakan diklat bagi para petugas
pajak.
6.2.2 Saran Bagi Peneliti Selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya penulis menyarankan:
1. Sebaiknya peneliti selanjutnya menggunakan sampel dengan jumlah yang
lebih banyak daripada penelitian yang telah dilakukan ini agar hasil
penelitian nantinya memiliki daya generalisasi yang lebih kuat.
2. Sebaiknya peneliti selanjutnya menambahkan variabel lain untuk diteliti lebih
lanjut.
6.3 Keterbatasan Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian ini memiliki beberapa keterbatan, yang
antara lain:
1. Terbatasnya waktu penelitian menyebabkan jumlah populasi yang dijadikan
sampel hanya 100 responden.
151
2. Penelitian hanya menggunakan 3 variabel yang mempengaruhi kemauan
membayar Pajak Bumi dan Bangunan di Kota Malang, yang kemungkinan
masih ada variabel-variabel lain yang berpengaruh.
152
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, Rahardjo, 2014. Pengelolaan Pendapatan dan Anggaran Daerah.Yogyakarta: Graha Ilmu.
Ali, Merima dan Fjeldstad, Odd-Helge dan Sjursen, Ingrid Hoem , 2014. “To Payor not to Pay? Citizens’ Attitude Toward Taxation in Kenya, Tanzania,Uganda and South Africa”. In World Development Vol. 64. Pp. 828-842.2014
Burton, Richard, 2009. Kajian Aktual Perpajakan. Jakarta: Salemba Empat
Darmawan, Deni, 2013. Metode Penelitian Kuantitatif. Bandung: PT RemajaRosdakarya.
Davey, Kenneth, 1988. Pembiayaan Pemerintah Daerah. Diterjemahkan olehBiro Bahasa Alkemis. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Gangl, Katharina dan Muehlbacher, Stephan dan Groot, Manon de SjoerdGoslinga dan Hofmann, Eva dan Kogler,Christoph dan Antonides,Gerritdan Kirchler, Erich, 2013. “How can I help you?’’ Perceived ServiceOrientationof Tax Authorities and Tax Compliance”. In FinanzArchiv 69(2013), 487--510
Ghozali, Imam, 2013. Aplikasi Analisis Multivariete dengan Program IBM SPSS23. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Halim, Abdul, 2004. Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Unit Penerbitdan Percetakan (UPP) AMP YKPN.
Hardiningsih, Pancawati, 2011. “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi KemauanMembayar Pajak”. Dalam Dinamika Keuangan dan Perbankan,Nopember 2011, Hal: 126 - 142 Vol. 3, No. 1ISSN :1979-4878
Idowu, Atilola Moses dan Kamarudin, Norhaya dan Achu, Kamalahasa danSolomon, Ibisola Abayomi, 2016. “A Review of Valuation Impact onProperty tax”. In Sains Humanika 8:4-3(2016) 17-23.
James and Vazque, Jorge Martinez, 2009. “Russian Attitudes Toward PayingTaxes – Before, During, and After the Transition”. In InternationalJournal of social Economics Vol. 33 No. 12, pp. 832-857. 2006.
Khusaini, Mohammad, 2006. Ekonomi Publik, Desentralisasi Fiskal danPembangunan Daerah. Malang: Badan Penerbit Fakultas EkonomiUniversitas Brawijaya.
Kuncoro, Mudrajad, 2012. Perencanaan Daerah, Bagaimana MembangunEkonomi Lokal, Kota, dan Kawasan. Jakarta: Salemba Empat.
153
Luttmen , Erzo F.P. dan Singhal, Monica, 2014. “Tax Morale”. In Journal ofEconomic Perspectives Volume 28, Number 4 fall 2014 pages 149-168.
Mahmudi, 2010. Manajemen Keuangan Daerah. Jakarta: Erlangga.
Mardiasmo, 2004. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Andi
Ortega, Daniel dan Ronconi, Lucas dan Sanguinetti, Pablo ,2016. “Reciprocityand Willingness to Pay Taxes: Evidence from a Survey Experiment inLatin America”. In Business And Economics--Domestic Commerce, Vol.6, 55-87
Pasolong, Harbani, 2016. Teori Administrasi Publik.Bandung: Alfabeta.
Rahayu, Siti Kurnia dan Ely Suhayati, 2010. Perpajakan. Yogyakarta: GrahaIlmu.
Rahayu, Siti Kurnia, 2010. Perpajakan Indonesia.Yogyakarta: Graha Ilmu.
Resmi, Siti, 2016. Perpajakan Teori dan Kasus. Jakarta: Salemba Empat.
Robbins, Stephen P, 2002. Perlaku Organisasi. Diterjemahkan oleh Halida danDewi Sartika. Jakarta: Erlangga.
Rosdiana, Haula dan Irianto, Edi Slamet, 2014. Pengantar Ilmu Pajak. Jakarta:Rajagrafindo Persada.
Sanusi, Anwar, 2003. Sumber Dana Pembangunan Daerah. Malang: BuntaraMedia.
Siahaan, Marihot P., 2005. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Singarimbun, Masri dan Sofian, Effendi, (eds.),1989. Metode Penelitian Survai.Jakarta: LP3ES
Sugiyono, 2013. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:Alfabeta.
Suharsono, Agus, 2015. Ketentuan Umum Perpajakan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sukmadinata, Nana Syaodi, 2015. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PTRemaja Rosdakarya
Sumarsan, Thomas, 2013. Perpajakan Indonesia. Jakarta Barat: PT Indeks.
Todaro, Michael P dan Smith, Stephen C, 2006. Pembangunan Ekonomi.Diterjemahkan oleh Haris Munandar. Jakarta: Erlangga.
Zain, Mohammad, 2007. Manajemen Perpajakan. Jakarta: Salemba Empat.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Undang-Undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
154
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antaraPemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan KeuanganDaerah.
Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 7 Tahun 2015 tentang Perubahan atasPeraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi danBangunan Perkotaan, Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan.
Renstra Badan Pelayanan Pajak Daerah Kota Malang Tahun 2017.
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Dinas Pendapatan Daerah Kota Malang Tahun 2016