deteksi dan interpretasi target di dasar laut … · menggunakan instrumen side scan sonar soetjie...
TRANSCRIPT
DETEKSI DAN INTERPRETASI TARGET DI DASAR LAUT MENGGUNAKAN INSTRUMEN SIDE SCAN SONAR
SOETJIE POERNAMA SARI
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTANFAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR2009
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
DETEKSI DAN INTERPRETASI TARGET DI DASAR LAUT MENGGUNAKAN INSTRUMEN SIDE SCAN SONAR
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir Skripsi ini.
Bogor, November 2009
Soetjie Poernama SariC54050630
ABSTRACT
Research on detection and interpretation of the target on the ocean floor
using side scan sonar instrument was conducted in waters of East Aceh,
Lhokseumawe. The results showed that the value of the reflected signal from pipe
and the unknown object are 1- 2.5 Voltage/Div, silty sand of 0.5 - 1 Voltage/Div,
and mud is 0-0.5 Voltage/Div. Using FFT calculation the amplitude spectrum, the
value of the pipe is higher than other objects, its about 1412 Volt/dB. The value
of amplitude unknown object, mud and silty sand are 834.0728 Volt/dB, 106.2367
Volt/dB, and 238.9427 Volt/dB. The reflection coefficient of pipe respectively
larger than the other detected targets.
RINGKASAN
SOETJIE POERNAMA SARI. Deteksi dan Interpretasi Target Di Dasar Laut Menggunakan Instrumen Side Scan Sonar. Dibimbing oleh HENRY M. MANIK.
Dasar laut adalah sebagian dari bumi yang wilayahnya belum terjelajahi secara keseluruhan, baik luas, kedalaman, maupun potensinya. Salah satu cara untuk mendapatkan informasi tentang berbagai aspek dari dasar laut adalah dengan sistem akustik bawah air seperti side scan sonar. Side scan sonar mampu membedakan besar kecil partikel penyusun permukaan dasar laut, seperti batuan, lumpur, pasir, kerikil, atau tipe-tipe dasar perairan lainnya. Instrumen ini mampu menangkap gelombang pasir atau riak-riak kecil yang tingginya beberapa sentimeter serta mampu memberikan informasi dengan rinci tentang kondisi topografi dasar. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeteksi dan menginterpretasikan target di dasar laut menggunakan instrumen side scan sonar.
Pengambilan data akustik dilakukan pada tanggal 19-20 November 2008 menggunakan instrumen C-Max Side Scan Sonar dengan frekuensi 325 kHz. Pengolahan dan analisis data dilakukan pada bulan Februari 2009 dan berakhir hingga bulan Oktober 2009 menggunakan Software MaxView dan Matlab 7.0.1. Pengolahannya berdasarkan nilai pantulan sinyal, koefisien refleksi, perhitungan dimensi dari masing-masing target yang terdeteksi, dan jenis substrat yang mendominasi di daerah yang diteliti.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, ada empat target yang terdeteksi yaitu pipa, substrat lumpur dan lumpur berpasir, serta objek yang tidak diketahui. Dari hasil perhitungan, didapat bahwa nilai pipa dan objek yang tidak diketahui memiliki nilai pantulan sinyal yang paling tinggi (1-2.5 Voltage/Div) dibandingkan dengan target lainnya. Dari hasil pengambilan contoh substrat di lokasi penelitian ditemukan bahwa jenis substrat yang mendominasi di lokasi penelitian adalah lumpur dan lumpur berpasir. Pada analisis Fast Fourier Transform (FFT), nilai pipa lebih tinggi dibandingkan dengan target lainnya, yaitu sebesar 1412 Volt/dB. Nilai amplitude spectrum pada unknown objek, lumpur dan lumpur berpasir adalah 834.0728 Volt/dB, 106,2367 Volt/dB, dan 238.9427 Volt/dB. Nilai koefisien refleksi yang terhitung, menyatakan bahwa nilai koefisien refleksi pipa yang dihasilkan adalah 0.8649 lebih besar dibandingkan dengan target yang terdeteksi lainnya. Hasil perhitungan backscattering strength(SS) dari lumpur adalah sebesar -6.5913 dB dan untuk lumpur berpasir sebesar -4.0129 dB.
© Hak cipta milik Soetjie Poernama Sari, tahun 2009Hak cipta dilindungi
Dilarang mengurangi dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm, dan sebagainya.
DETEKSI DAN INTERPRETASI TARGET DI DASAR LAUT MENGGUNAKAN INSTRUMEN SIDE SCAN SONAR
Oleh:
SOETJIE POERNAMA SARI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan
Ilmu kelautan
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTANFAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR2009
LEMBARAN PENGESAHAN
Judul : DETEKSI DAN INTERPRETASI TARGET DI DASAR LAUT MENGGUNAKAN INSTRUMEN SIDE SCAN SONAR
Nama : Soetjie Poernama Sari
NRP : C54050630
Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan
Menyetujui
Dosen Pembimbing,
Dr. Ir Henry M. Manik, M.TNIP. 19701229 199703 1 008
MengetahuiKetua Departemen,
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.ScNIP. 19580909 198303 1 003
Tanggal lulus : 30 November 2009
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT, atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan, dukungan,
dan doa dari berbagai pihak. Terima kasih dengan tulus penulis ucapkan,
terutama kepada:
1. Keluarga tercinta, papa, mama, dan adik atas segala dukungan, doa dan kasih
sayangnya.
2. Bapak Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T selaku pembimbing yang telah sudi
meluangkan waktu, tenaga, pikiran, dan bimbingannya selama penyusunan
skripsi.
3. Dr. Ir. Sri Pujiyati, M.Si selaku penguji dari perwakilan komisi pendidikan
pada ujian akhir penulis yang telah memberikan saran dan masukan.
4. Dr. Ir. Totok Hestirianoto, M.Sc selaku penguji tamu yang telah memberikan
saran dan masukan dalam penyelesaian skripsi.
5. Letda (Arh) Hendro Ramadani, yang telah memberikan dukungan, doa, kasih
sayang, saran, kritik, dan motivasi selama penyusunan skripsi
6. Kolonel Laut (E) Sugianto beserta staf, yang telah memberikan bimbingan dan
bantuan baik secara moril dan materiil selama penyusunan skripsi.
7. Letkol Laut (E) Yudhi, Letkol Laut (E) Wisnu, Letkol Laut (E) Nurriyadi, dan
Mayor Laut (E) Tunggul Puliwarna, yang telah banyak membantu dalam
penyusunan skripsi.
8. Mayor Laut (E) Nuryadi, Mayor laut (E) Pittor Tampubolon beserta anggota
survei HIDROS yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti survei
lapangan.
9. Rekan-rekan Dikspespa HIDROS angkatan VII 2009 yang telah membantu
selama survei.
10. Rekan-rekan ITK 42 yang telah banyak membantu dan memberikan saran
dalam penyusunan skripsi.
11. Teman-teman ISCER dan Ar-Riyadh, terima kasih buat kebersamaannya.
12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu
dan memberikan bimbingan dalam pengolahan data dan penyusunan skripsi.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Penulis
berharap, skripsi ini dapat memberikan kontribusi informasi dan wawasan yang
berguna bagi penulis dan pihak yang membacanya.
Bogor, November 2009
Soetjie Poernama Sari
DAFTAR ISI
HalamanDAFTAR TABEL ....................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xv
1. PENDAHULUAN ................................................................................. 11.1 Latar Belakang ................................................................................ 11.2 Tujuan ............................................................................................. 2
2. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 32.1 Sonar ............................................................................................... 32.2 Side Scan Sonar ............................................................................... 42.3 Instalasi Side Scan Sonar ................................................................. 62.4 Prinsip Kerja Side Scan Sonar.......................................................... 82.5 Interpretasi Citra Side Scan Sonar.................................................... 92.6 Sedimen Dasar laut .......................................................................... 102.7 Kecepatan Suara .............................................................................. 12
3. METODOLOGI .................................................................................... 153.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................................... 153.2 Alat dan Bahan ................................................................................ 153.3 Sistem Kerja Side Scan Sonar .......................................................... 163.4 Pengambilan Data ............................................................................ 193.5 Pemrosesan Data .............................................................................. 213.6 Analisis Data.................................................................................... 23
4. Hasil dan Pembahasan ......................................................................... 314.1 Hasil Pengambilan Contoh Dasar..................................................... 314.2 Pantulan Sinyal Target ..................................................................... 324.3 Analisis FFT (Fast Fourier Transform) ........................................... 434.4 Akustik Impedansi dan Backscattering strength (SS) ....................... 494.5 Dimensi Target Terdeteksi ............................................................... 51
5. Kesimpulan dan Saran ......................................................................... 545.1 Kesimpulan...................................................................................... 545.2 Saran ............................................................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 55
LAMPIRAN ................................................................................................ 57
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .................................................................... 105
DAFTAR TABEL
Halaman1. Ukuran Partikel Sedimen......................................................................... 122. Hasil pengukuran rata-rata dan perhitungan elastic konstan pada
berbagai jenis sedimen ............................................................................ 143. Hasil Perhitungan Akustik Impedansi dan Koefisien Refleksi ................. 504. Hasil Perhitungan Dimensi Target Terdeteksi.......................................... 53
DAFTAR GAMBAR
Halaman1. Diagram Side Scan Sonar dan citra Side Scan Sonar ............................. 62. Blok Diagram Prinsip Kerja Side Scan Sonar......................................... 83. Peta Lokasi Penelitian............................................................................ 154. Sistem Kerja Side Scan Sonar................................................................ 185. Skema Pengambilan Data Side Scan Sonar Tampak Samping................ 196. Diagram alir pengambilan Data Side Scan Sonar ................................... 207. Diagram alir pemrosesan data akustik.................................................... 218. Diagram Segitiga Shephard ................................................................... 229. Contoh Kualitas Data Side Scan Sonar .................................................. 2410. Contoh Citra Side Scan Sonar Berdasarkan Rona Terang,
Rona Sedang, dan Rona Gelap............................................................... 2511. Skema perhitungan slant range correction............................................. 2612. Skema perhitungan layback correction .................................................. 2713. Skema perhitungan layback correction .................................................. 2714. Skema perhitungan tinggi objek............................................................. 2815. Pantulan Sinyal...................................................................................... 2916. Lokasi Bottom Sampling dan Pipa ......................................................... 3117. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Alur 1 .............. 3318. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Alur 2 .............. 3319. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Alur 3 .............. 3420. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Alur 4 .............. 3421. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Alur 5 .............. 3522. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Kolam 1........... 35 23. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Kolam 2........... 3624. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Kolam 3........... 3625. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Kolam 4........... 3726. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Kolam 5........... 3727. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Kolam 6........... 3828. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Kolam 7........... 3829. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Kolam 8........... 3930. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Lajur 174......... 3931. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Lajur 176......... 4032. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Lajur 177......... 4033. Nilai Rata-rata Pantulan Sinyal Dari Masing-masing Target .................. 4334. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 0 – 100 Hz pada Alur 1........ 4435. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 100 – 200 Hz pada Alur 1.... 4536. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 200 – 300 Hz pada Alur 1.... 4537. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 300 – 400 Hz pada Alur 1.... 4638. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 400 – 500 Hz pada Alur 1.... 4639. Nilai Rata-rata FFT dari Masing-masing Target..................................... 48
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman1. Sketsa Area Survei .................................................................................. 572. Spesifikasi C-Max Side Scan Sonar......................................................... 583. Bottom Sampling dan Jenis Substratnya.................................................. 614. Contoh Perhitungan Akustik Impedansi dan Backscattering strength ...... 635. Contoh Perhitungan Dimensi Target yang Terdeteksi .............................. 656. Hasil Analisis Fast Fourier Transform..................................................... 67
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dasar laut adalah bagian dari bumi yang wilayahnya belum terjelajahi
secara keseluruhan, baik luas, kedalaman, maupun potensinya. Di dasar laut
terdapat sumber daya alam yang penting bagi kehidupan manusia. Sumber daya
yang paling dikenal dari dasar laut adalah sumber daya yang bernilai ekonomis
seperti minyak dan gas bumi serta mineral. Sumber daya lain seperti biota laut
dalam yang sangat potensial masih sulit untuk dimanfaatkan. Berbagai kegiatan
yang dilakukan untuk menggali potensi sumber daya laut tersebut diantaranya
dengan melakukan penelitian, pendeteksian dan penyapuan, serta menentukan
objek-objek yang berada di dasar laut .
Salah satu cara untuk mendapatkan informasi tentang berbagai aspek dari
dasar laut adalah dengan sistem akustik bawah air seperti side scan sonar.
Instrumen side scan sonar merupakan perkembangan sonar yang mempunyai
kemampuan menggandakan beam yang diarahkan pada satu sisi ke sisi lainnya
sehingga mampu memetakan area penelitian secara efektif.
Penelitian tentang dasar laut dengan menggunakan side scan sonar yang
telah dilakukan, seperti: (1) Interpretasi citra side scan sonar pada survei
peletakan pipa di Panaran – P. Pemping (Tobing, 2000), (2) Pemetaan struktur
dasar dengan menggunakan sub bottom profiler dan side scan sonar (Lie, 2007),
(3) Interpretasi side scan sonar untuk perencanaan peletakan kabel laut di perairan
Kepulauan Seribu (Laswono, 2007). Penelitian yang telah dilakukan di daerah
Lhokeseumawe, juga menggunakan instrumen side scan sonar dimana bertujuan
untuk pengecekan posisi pipa dan objek yang terdeteksi di dasar laut. Hal ini
dilakukan agar penempatan target yang terrdeteksi tidak membahayakan bagi jalur
pelayaran atau navigasi. Dalam pengecekan posisi pipa dan target yang terdeteksi
yang diletakkan di dasar laut, informasi di sepanjang jalur yang dilewati perlu
diketahui. Dalam hal ini informasi yang penting diperlukan adalah informasi
tentang keadaan lingkungan, kondisi topografi, dan kedalaman. Setelah diketahui
informasi yang didapat maka dilakukan interpretasi berdasarkan kualitas data,
identifikasi objek, koreksi, dan perhitungan dimensi.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah mendeteksi dan menginterpretasikan
target di dasar laut menggunakan instrumen side scan sonar.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sonar
Sonar merupakan alat pendeteksian bawah air yang menggunakan
gelombang suara untuk mendeteksi kedalaman serta benda-benda di dasar laut
(http://id.wikipedia.org/wiki/Sonar, 2 April 2009). Berdasarkan sistemnya, ada
dua macam tipe sonar, yaitu sonar pasif dan sonar aktif. Sonar pasif hanya
mendeteksi suara yang datang melalui hidrofon untuk mengubah energi suara
menjadi energi listrik. Sonar pasif menggunakan frekuensi rendah yaitu 20 Hz-
1000 Hz. Sonar aktif dapat mengirimkan sinyal dari sumber suara atau sensor
serta dapat menerima kembali sinyal tersebut setelah dipantulkan oleh objek atau
dasar laut melalui sensor yang sama (http://id.wikipedia.org/wiki/Sonar, 2 April
2009).
Pada sonar aktif, energi listrik diubah menjadi energi suara oleh
magnetostritif di transduser kemudian dipancarkan. Sinyal suara yang
dipancarkan akan diterima kembali oleh transduser setelah dipantulkan oleh objek
atau dasar laut. Pantulan suara tersebut diterima oleh transduser dan dirubah
kembali menjadi energi listrik.
2.2 Side Scan Sonar
Side scan sonar merupakan instrumen single beam yang mampu
menunjukkan gambar dua dimensional permukaan dasar laut dengan kondisi
kontur, topografi, dan target secara bersamaan. Secara umum side scan sonar
terdiri dari tiga bagian besar yaitu recorder yang berada di atas kapal survei,
towfish yang ditarik dibelakang kapal, dan tow cable yang menghubungkan
recorder dan towfish.
Side Scan Sonar mempunyai kemampuan menggandakan beam yang
diarahkan pada satu sisi ke sisi lainnya. Sehingga kita bisa melihat ke kedua sisi,
memetakan semua area penelitian secara efektif dan menghemat waktu penelitian.
SSS menggunakan narrow beam pada bidang horizontal untuk mendapatkan
resolusi tinggi di sepanjang lintasan dasar laut (Klein Associates Inc, 1985).
SSS menggunakan prinsip backscatter akustik dalam mengindikasikan
atau membedakan kenampakan bentuk dasar laut atau objek di dasar laut (Russel,
2001 dalam Edi, 2009). Material seperti besi, bongkahan, kerikil atau batuan
vulkanik sangat efisien dalam merefleksikan pulsa akustik. Sedimen halus seperti
tanah liat, lumpur tidak merefleksikan pulsa suara dengan baik (backscatter
lemah). Reflektor kuat akan menghasilkan pantulan backscatter yang kuat
sedangkan reflektor lemah menghailkan backscatter yang lemah. Dengan
pengetahuan akan karakteritik ini, pengguna SSS dapat menguji komposisi dasar
laut atau objek dengan mengamati pengembalian kekuatan akustik (Tritech
International Limited, 2008).
Gelombang suara yang digunakan dalam teknologi side scan sonar
biasanya mempunyai frekuensi antara 100 dan 500 kHz. Pulsa gelombang
dipancarkan dalam pola sudut yang lebar mengarah ke dasar laut, dan gemanya
diterima kembali oleh receiver dalam hitungan detik. Perekaman perlu mengikuti
pola lintasan survei tertentu dengan menggunakan peralatan penentu posisi GPS
dan video plotter.
Energi suara yang dilepas oleh side scan sonar sebagian diserap oleh dasar
perairan, sebagian lagi dipantulkan atau tersebar dengan kekuatan yang berbeda.
Perbedaan kekuatan pantulan ini menyebabkan terjadinya perbedaan tampilan dari
objek yang memantulkan energi suara tersebut (http://en.wikipedia.org/wiki/Side-
scan_sonar, 3 Februari 2009). Contohnya batu dan logam akan memantulkan
energi yang lebih kuat sehingga menghasilkan gambaran yang lebih jelas dari
pada lumpur yang cenderung menyerap energi sehingga menciptakan pantulan
yang lemah dan gambaran yang kurang jelas (Gambar 1).
Side scan sonar mampu membedakan besar kecil partikel penyusun
permukaan dasar laut seperti batuan, lumpur, pasir, kerikil, atau tipe-tipe dasar
perairan lainnya. Instrumen ini mampu menangkap gelombang pasir atau riak-
riak kecil yang tingginya beberapa sentimeter serta mampu memberikan informasi
dengan rinci tentang kondisi topografi dasar tidak hanya pada posos persis di
bawah towfish namun juga pada kedua sisinya dengan baik.
Dalam survei hidrografi, side scan sonar mempunyai empat fungsi utama,
yaitu mendeteksi kapal karam dan bahaya navigasi, mendeteksi keberadaan dasar
laut, mendeteksi gerakan-gerakan dasar laut, dan mendapatkan kumpulan data
tekstur laut yang dapat dikombinasikan dengan contoh-contoh dasar laut (bottom
sampling) yang berguna untuk operasi kapal selam dan operasi ranjau.
Gambar 1. (a) Diagram Side Scan Sonar dan (b) Citra Side Scan Sonar
Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Side-scan_sonar.
2.3 Instalasi Side Scan Sonar
2.3.1 Ketinggian towfish
Ketinggian towfish merupakan posisi towfish terhadap permukaan dan
dasar laut. Jika towfish dioperasikan dekat permukaan air maka surface return
terekam lebih dekat terhadap output pulsa dibandingkan dengan bottom return dan
begitu sebaliknya. Saat towfish dioperasikan jauh dari permukaan air maka
surface return terekam menjauhi terhadap output pulsa dibandingkan dengan
bottom return.
Ketinggian towfish di atas dasar laut merupakan salah satu faktor penting
yang dapat mempengaruhi tampilan sonar. Melayangnya towfish yang terlalu
tinggi dari dasar laut mengakibatkan hilangnya gambar yang bagus karena adanya
celah diantara side lobes. Towfish yang terlalu rendah akan mengurangi jarak
akibatnya hanya tepi bagian main beam yang mencapainya,
Cara memberikan bayangan kontak yang baik, diperlukan keseimbangan
antara jarak dan syarat-syarat keselamatan. Umumnya towfish harus berjarak dari
dasar 10-20% dari jarak yang digunakan. Sebagai contoh, jika jaraknya 300
meter, maka towfish harus berjarak 30-50 meter dari dasar laut.
2.3.2 Jarak horizontal towfish
Pada saat perekaman, sounding boat bergerak sejajar mengikuti arah atau
haluan dari objek yang terdeteksi. Pada saat perekaman, harus ada dilakukan
koreksi jarak horizontal dari antena sampai ke towfish. Jarak towfish terhadap
objek akan mempengaruhi interpretasi rekaman akibat adanya slant range. Hal
tersebut akan menimbulkan suatu kompresi atau distorsi, kemudian
mempengaruhi objek dan posisi objek.
2.3.3 Pemakaian range scale
Pengaturan range scale yang tepat berfungsi untuk menghindari terjadinya
second sweep return. Sebagai contoh range scale di set 150 meter berarti
rekaman sonar maksimum di kertas adalah berjarak 150 meter di bagian kanan
dan kiri.
Jarak tersebut tidak menjamin bahwa towfish tidak menerima pulse return
dari objek di luar jarak 150 meter. Misalkan ada objek pada jarak 170 meter dan
termasuk klarifikasi strong objek dimana range scale yang dipakai 150 meter,
maka objek akan terekam pada jarak 20 meter.
2.4 Prinsip Kerja Side Scan Sonar
Secara umum prinsip kerja side scan sonar digambarkan sesuai dengan
Gambar 2. Pulsa listrik yang dihasilkan oleh recorder dikirim ke towfish melalui
towcable. Pulsa-pulsa listrik tersebut diubah menjadi energi mekanik. Hasil
perubahan tersebut berupa sinyal ultrasonic yang kemudian dipancarkan ke dasar
laut. Kemudian sinyal ultrasonic tersebut dipantulkan kembali oleh dasar laut dan
diterima towfish. Interval waktu dari pengembalian sinyal tesebut tergantung dari
jarak antara towfish dengan titik pemantulannya. Selain itu besarnya amplitudo
dan frekuensi sinyal ultrasonic, juga berbeda sesuai dengan jenis objek yang
memantulkan sinyal ultrasonic tersebut.
Sinyal ultrasonic yang diterima oleh towfish dirubah kembali menjadi
pulsa-pulsa listrik dan diteruskan ke recorder, selanjutnya direkam pada kertas
recorder yang terdapat di dalamnya. Hasil rekaman yang terdapat pada kertas
recorder kemudian diinterpretasikan jenis objek di dasar laut atau keadaan
topografi dasar laut.
Gambar 2. Blok Diagram Prinsip Kerja Side Scan Sonar
2.5 Interpretasi Citra Side Scan Sonar
Pengolahan citra Side Scan Sonar terdiri dari dua tahapan, yaitu real time
processing dan post processing. Tujuan real time processing adalah untuk
memberikan koreksi selama pencitraan berlangsung sedangkan tujuan post
processing adalah meningkatkan pemahaman akan suatu objek melalui
interprestasi (Mahyuddin, 2008 dalam Edi, 2009). Interpretasi pada post
processing dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Interpretasi
secara kualitatif dilakukan untuk mendapatkan sifat fisik material dan bentuk
objek, baik dengan mengetahui derajat kehitaman (hue saturation), bentuk
(shape) maupun ukuran (size) dari objek atau target. Secara umum, berdasarkan
bentuk eksternalnya, target dapat dibedakan menjadi buatan manusia (man made
targets) atau objek alam (natural targets). Pada umunya, objek buatan manusia
memiliki bentuk yang tidak beraturan (Klein Associates Inc, 1985).
Interprestasi secara kuantitatif bertujuan untuk mendefinisikan hubungan
antara posisi kapal, posisi towfish dan posisi objek sehingga diperoleh besaran
horisontal dan besaran vertikal. Besaran horisontal meliputi nilai posisi objek
ketika lintasan towfish sejajar dengan lintasan kapal maupun ketika lintasan
dengan towfish membentuk sudut. Besaran vertikal meliputi tinggi objek dari asar
laut serta kedalaman objek (Mahyuddin, 2008).
Pada dasarnya, prinsip penginterpretasian ini sama dengan
penginterpretasian pada penginderaan jarak jauh, yaitu dengan menggunakan
kunci-kunci interpretasi. Kunci-kunci interpretasi yang dapat digunakan adalah
bentuk (shape), ukuran (size), bayangan (shadow), derajat kehitaman (tone),
tekstur, dan pola (pattern). Kesempurnaan interpretasi citra side scan sonar
ditentukan oleh tiga faktor yaitu tuning recorder (light or dark), towing operation,
dan operator skill. Ketiga faktor tersebut sangat berpengaruh terhadap
penginterpretasian citra side scan sonar. Human skill ikut menentukan hasil
analisa rekaman side scan sonar. Sebagai contoh, operator/surveyor mampu
membedakan projection dan depression. Projection adalah objek yang timbul
dari dasar laut, sedangkan depression adalah cekungan yang berada di dasar laut.
2.6 Sedimen Dasar Laut
Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui
suatu proses hidrologi dari suatu tempat ke tempat lain, baik secara vertikal
maupun secara horizontal. Proses sedimentasi diperairan meliputi rangkaian
pelepasan (detachment), pengangkutan (transportation), dan pengendapan
(deposition) dari partikel-partikel sedimen. Proses pengangkutan meliputi empat
cara yaitu butiran dalam bentuk tersuspensi (suspension), melompat (saltation),
berputar (rolling), dan menggelinding (slidding). Selanjutnya butiran-butiran
tersebut mengendap akibat aliran air tidak dapat mempertahankan geraknya
(Friedman dan Sanders, 1978). Ukuran partikel-partikel sedimen sangat
ditentukan oleh sifat-sidat fisik mereka dan akibatnya sedimen yang terdapat
diberbagai tempat di dunia mempunyai sifat yang sangat berbeda satu dengan
lainnya. Contohnya sebagian besar dasar laut yang dalam ditutupi oleh jenis-jenis
partikel yang berbutir halus yang terdiri dari sedimen halus, sedangkan hamper
semua pantai ditutupi oleh jenis partikel yang berbutir kasar yang terdiri dari
sedimen kasar (Hutabarat dan Evans, 2000).
Ukuran-ukuran partikel sedimen merupakan suatu cara yang mudah untuk
menentukan klasifikasi sedimen. Menurut Wentworth (1992), sedimen berukuran
besar yang berdiameter 256 mm diklasifikasikan ke dalam boulder (batu
berukuran besar yang berasal dari kikisan arus air), sand (pasir) adalah partikel
yang berukuran diameter 0.063-2 mm, silt (lanau) partikel yang berdiameter
0.063-0.004 mm dan clay (lempung) adalah partikel yang berdiameter lebih kecil
dari 0.004 mm. Berikut klasifikasi sedimen berdasarkan ukuran partikelnya (Tabel
1).
Sedimen dapat diklasifikasikan menurut asal dan ukuran partikelnya.
Menurut asalnya sedimen dapat digolongkan menjadi tiga bagian yaitu
lithogenous, biogenous, dan hydrogenous (Gross, 1993). Sedimen yang berasal
dari batuan (lithogenous) umumnya berupa mineral silikat yang berasal dari
hancuran batuan. Sedimen yang berasal dari organisme (biogenous) berupa sisa-
sia tulang, gigi, atau cangkang organisme yang dapat digolongkan kedalam dua
tipe utama yaitu tipe calcareous dan siliceous, dan sedimen yang dibentuk dari
hasil reaksi kimia yang terjadi di laut (hydrogenous).
Ukuran partikel dapat digunakan untuk menjelaskan cara pengangkutan
dan seberapa jauh partikel tersebut terbawa aliran sebelum diendapkan. Partikel
yang berukuran besar akan diendapkan di daerah dekat pantai, sedangkan partikel
yang lebih halus akan diendapkan pada daerah yang lebih jauh karena adanya
aktivitas arus dan gelombang. Partikel halus yang terdiri dari lanau dan lempung
akan terbawa ke arah laut dan diendapkan pada kedalaman dimana aktifitas
gelombang tidak cukup kuat untuk mengaduk atau mengikis dasar perairan
(Gross, 1993). Nybakken (1992) menambahkan bahwa substrat berpasir
umumnya dijumpai didaerah estuaria yang pengaruh arusnya kuat, karena hanya
partikel yang berukuran besar yang akan lebih cepat mengendap sedangkan
partikel yang berukuran kecil akan dipertahankan dalam suspense dan terbawa
ketempat lain mengikuti arus dan gelombang.
Tabel 1. Ukuran partikel Sedimen Skala Wentworth (1992) dalam Stowie (1943)Fraksi Sedimen Partikel Sedimen Diameter (mm)
Boulder 256Cobble 64Pebble 4Granule 2
Sand
Very coarse sand 1Coarse sand ½Medium Sand ¼Fine Sand 1/8Very fine sand 1/16
Silt
Coarse Silt 1/32Medium Silt 1/64Fine Silt 1/128Very Fine silt 1/256
Clay
Coarse clay 1/640Medium clay 1/1024Fine Clay 1/2360Very Fine clay 1/4096
2.7 Kecepatan Suara
Kecepatan suara adalah istilah yang digunakan untuk menyebut kecepatan
gelombang suara yang melalui medium elastis. Kecepatan ini dapat berbeda
tergantung medium yang dilewati (misalnya suara lebih cepat melalui udara
daripada air), sifat-sifat medium tersebut, dan suhu. Namun, istilah ini lebih
banyak dipakai untuk kecepatan suara di udara. Pada ketinggian air laut, dengan
suhu 21 °C dan kondisi atmosfer normal, kecepatan suara adalah 344 m/detik atau
1238 km/jam (http://id.wikipedia.org/wiki/Kecepatan_suara, 2 November 2009).
Kemampuan dasar laut dalam mendukung suatu objek tergantung pada
elastisitasnya, yaitu bulk modulus E dan modulus of rigity G. Hal ini terkait
dengan kompresi dan kecepatan gelombang c dan cs, dimana ρ adalah densitas.
Kecepatan suara pada sedimen bergantung pada tekanan dan suhu ( Hamilton,
1963 dalam Clay dan Medwin, 1977). Dengan asusmsi sederhana, dimana
kecepatan suara di dalam sedimen dan air pada kedalaman z, suhu in situ dan
salinitas adalah c(z) dan cw(z); kecepatan suara pada tekanan 1 atm, salinitas in
situ, dan suhu referensi c(0) dan cw(0). Pengukuran c(0) dan cw(0) dilakukan
dengan mentransmisikan ultrasonic ping melalui beberapa centimeter pada
sample. Menurut Horton (1974), ketergantungan c(z) pada frekuensi akan
diabaikan.
(1)
Nilai porositas n, densitas ρ dan compressional velocity c dari berbagai
jenis sedimen dapat dilihat pada tabel 2 (Hamilton, 1971a dalam Clay dan
Medwin, 1977). Pengukuran ini dilakukan di laboratorium menggunakan suhu 23̊̊
C dan tekanan 1 atm.
Target yang diduga pipa memiliki nilai densitas ρ dan compressional
velocity c yang tinggi, yaitu sebesar 8030 kg/cm3 dan 2580 m/s (AK Steel
Corporation, 2007).
Tabel 2. Hasil Pengukuran Rata-rata dan Perhitungan Elastik Konstan pada berbagai jenis Sedimen
JenisHasil Pengukuran Hasil Perhitungan
n ρ c E Σ G cs
Continental Terace (shelf and slope) Sand Coarse 38.6 2.03 1836 6.6859 0.491 0.1289 250 Sand Fine 43.9 1.98 1742 5.6877 0.469 0.3212 382 Sand Very Fine 47.4 1.91 1711 5.1182 0.453 0.5035 503 Silty Sand 52.8 1.83 1677 4.6812 0.457 0.3926 457
Sandy silt 68.3 1.56 1552 3.4152 0.461 0.2809 379 Sandy-silt-clay 67.5 1.58 1578 3.5781 0.463 0.2731 409 Calyey silt 75.0 1.43 1535 3.1720 0.478 0.1427 364 Silt claye 76.0 1.42 1519 3.1476 0.480 0.1323 287Abyssal plain (turbidite) Clayey silt 78.6 1.38 1535 3.0561 0.477 0.1435 312 Silty clay 85.8 1.24 1521 2.7772 0.486 0.0773 240 Clay 85.8 1.26 1505 2.7805 0.491 0.0483 196Abyssal plain (pelagic) Clayey silt 76.4 1.41 1531 3.1213 0.478 0.1408 312 Silty clay 79.4 1.37 1507 3.0316 0.487 0.0795 232 Clay 77.5 1.42 1491 3.0781 0.491 0.0544 195Sumber : Hamilton (1971a) dalam Clay dan Medwin (1977)
Keterangan:
n = porositas (%)
ρ = densitas (g/cm3; Mg/m3, dimana M = 106)
c = compressional wave (sound) velocity (m/s)
E = bulk Modulus (GN/m2, dimana G = 109)
σ = Rasio Poisson, dimana σ = (3E - ρc2)/( 3E + ρc2)
G = Rigity Modulus, dimana G = [(ρc2-E)3]/4 (GN/m2)
cs = shear wave velocity, dimana cs = (G/ρ)1/2 (m/s)
3. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Pengambilan data dengan menggunakan side scan sonar dilakukan selama
dua hari, yaitu pada 19-20 November 2008 di perairan Aceh, Lhokseumawe
(Gambar 3). Sesuai dengan rencana survei, daerah yang dianggap memiliki target
awalnya pada area I (luas area ABCD) berskala 1:5000 dan area II (luas area
EFGH) berskala 1:1000 (Lampiran 1). Untuk mendapatkan target berupa pipa,
maka dibuat area tambahan (AB’C’D).
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian
3.2 Alat dan Bahan
Beikut merupakan software yang digunakan dalam pengolahan data side
scan sonar adalah sebagai berikut :
1. Softwarev Max View, merupakan perangkat lunak yang digunakan untuk
mengekstrak data side scan sonar.
2. Software Matlab, digunakan untuk menghasilkan data-data dalam bentuk
grafik,baik itu berupa nilai pantulan signal pada objek maupun data FFT.
3. Surfer versi 8.0 (Golden Software Inc) dan Arc View 3.2 GIS, digunakan
untuk membuat titik stasiun area survei.
4. Laptop, digunakan untuk menyimpan dan mengolah data penelitian.
5. Data yang digunakan merupakan data Dishidros TNI-AL.
Alat yang digunakan dalam pengambilan data kenampakan dasar laut
adalah C-Max Side Scan Sonar dengan menggunakan frekuensi 325 kHz. Survei
ini dilakukan mengunakan kapal nelayan setempat (15 GT). Penempatan C-Max
Side Scan Sonar dan laptop harus berada pada tempat yang aman dan mudah
dioperasikan, yaitu di daerah ruang kemudi.
3.3 Sistem Kerja Side Scan Sonar
Menjelaskan blok diagram (Gambar 4) sistem side scan sonar
menggunakan kabel multi konduktor, komponen yang dipilih dilukiskan dalam
dot. Unit kontrol/display (recorder) berisi elektronik-elektronik kontrol untuk
pewaktuan pulsa sonar yang dipancarkan. Power dan trigger pulsa dipancarkan
turun melalui tow cable. Jika menggunakan slip ring dan/atau sebuah winch,
maka harus menggunakan penghubung “deck cable” yang digunakan antara
recorder dan slip ring. Dalam towfish, firing elektronik menyebabkan transducer
memancarkan pulsa sonar. Pengembalian echo dari pulsa tersebut diterima
melalui transduser yang sama dan dikirimkan ke elektronik penerima. Sinyal
dikuatkan dan diaplikasikan pada kurva waktu penguatan yang divariasikan.
Sinyal tersebut kemudian dipancarkan sepanjang konduktor dan dikembalikan ke
recorder.
Pada bagian ini sinyal didigitasikan dan diproses untuk dikoreksi.
Kemudian dikirimkan ke printer atau video display. Data dari recorder tersebut
dapat dikumpulkan pada magnetic tape atau komputer. Side scan sonar dikenal
sebagai alat citra akustik yang digunakan untuk mencitrakan dasar laut. Sistem
ini terdiri dari peralatan perekaman (recorder), sensor bawah air (transducer), dan
kabel untuk menghubungkan keduanya.
Muatan kapasitor side scan sonar recorder pada towfish diteruskan melalui
towcable. Atas perintah dari recorder, power yang dikumpulkan ini ditumpukkan
ke transducer, dimana pancaran pulsa akustik merupakan propagasi langsung ke
air. Kemudian dengan periode waktu yang sangat pendek, penerimaan echo dari
dasar laut diterima melalui tranducer kemudian dikuatkan dengan satu kali
variasi kurva penguatan dan dikirim ke recorder melalui towcable. Pada bagian
recorder, sinyal-sinyal yang diterima diproses lebih jauh, kemudian diubah
menjadi data digital dan dihitung posisi yang sebenarnya dalam rekaman akhir
berupa piksel per piksel kemudian echo-echo ini dicetak diatas electrosensitive
atau kertas thermal.
Gambar 4. Sistem Kerja Side Scan Sonar(Sumber : Fish P. John dan Carr Arnold H, 1990)
3.4 Pengambilan Data
3.4.1 Pengambilan Data Side Scan Sonar
Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan instrumen CM (C-Max)
Side Scan Sonar yang ditarik di belakang kapal dan biasanya menggunakan
towfish atau tow vehicle. Instrumen ini menggunakan pulsa gelombang akustik
yang memancar secara horizontal ke arah sisi kapal dan menyapu permukaan
dasar laut pada kedua sisinya tersebut. C-Max Side Scan Sonar ini dapat
dioperasikan dengan menggunakan dua buah frekuensi tinggi,yaitu frekuensi
tinggi (500 kHz) dan frekuensi rendah (100 kHz) serta mempunyai transducer
yang memancarkan sonar dari kedua sisinya (Gambar 5).
Pada saat pengambilan data ditentukan posisi target yang dicurigai dan
disesuaikan dengan kondisi perairannya. Metode pengukuran posisi yang akurat
diperlukan untuk mendapatkan ketelitian posisi yang baik, yaitu dengan
menggunakan alat GPS receiver dengan metode Diferensial, dimana posisi yang
diukur akan dikoreksikan terhadap suatu titik di darat yang mana posisinya sudah
diketahui dengan pasti dari hasil pengukuruan dengan ketelitian yang tinggi.
Gambar 5. Skema Pengambilan Data Side Scan Sonar Tampak Samping
Setelah posisi target yang terdeteksi ditentukan, maka dilakukan
penyapuan data dengan menggunakan instrumen CM (C-Max) Side Scan Sonar
untuk mendapatkan hasil gambaran objek di dasar laut. Untuk menghasilkan
gambaran yang baik sesuai dengan apa yang diinginkan, maka perlu dilakukan
pengontrolan terhadap recorder, tow cable, maupun towfish. Berikut diagram alir
pengambilan data side scan sonar (Gambar 6).
Gambar 6. Diagram alir pengambilan Data Side Scan Sonar
3.4.2 Pengambilan Data Substrat
Pengambilan data substrat ini dilakukan untuk mengetahui jenis substrat
yang mendominasi pada area yang diteliti. Contoh substrat diambil pada dua area
sesuai dengan rencana operasi. Pada area pertama atau daerah kolam (skala
1:1000), pengambilan data substrat di lakukan pada 41 titik, dan area kedua (skala
1:5000), pengambilan data substrat dilakukan pada 19 titik. Pengambilan contoh
ini dilakukan secara acak sesuai dengan titik yang telah ditentukan dengan
menggunakan Van veen grab dengan luas bukaan sebesar 20 x 20 cm2. Contoh
substrat/sedimen yang diambil dimasukkan ke dalam kantung plastik yang
selanjutnya dianalisis dengan metode ayakan bertingkat.
3.5 Pemrosesan Data
3.5.1 Pemrosesan Data Akustik
Data citra side scan sonar yang di dapat kemudian di olah di software
MaxView untuk melihat hasil gambaran yang didapat. Pengolahan pada software
MaxView dilakukan setiap lima detik, dan ini dilakukan selama proses perekaman
berlangsung. Hasil gambaran yang diperoleh berupa nilai-nilai pantulan sinyal
dari target/objek yang terekam selama penyapuan. Nilai-nilai pantulan sinyal ini
kemudian diolah lagi, sehingga didapat hasil dalam bentuk Discrete Fourier
Transform (DFT) dan Fast Fourier Transform (FFT). Hasil perekaman berupa
citra side scan sonar, diidentifikasi untuk melihat apakah ada objek atau target
yang dicurigai. Target yang terdeteksi kemudian dihitung nilai akustik impedansi
dan koefisien refleksinya. Proses selanjutnya adalah, objek atau target tersebut
dihitung dimensinya, baik itu berupa tinggi, lebar, maupun panjang objek itu
sendiri. Berikut diagram alir pemrosesan data akustik (Gambar 7).
Gambar 7. Diagram alir pemrosesan data akustik
3.5.2 Pemrosesan Data Substrat/Sedimen
Pengolahan data fisik sedimen dilakukan dengan metode ayak basah
menggunakan ayakan bertingkat untuk memisahkan butiran sedimen berdasarkan
fraksi ukuran butiran. Fraksi-fraksi ditentukan berdasarkan segitiga Shephard
(1954), tiap fraksi dibagi atas:
1. Fraksi kerikil (gravel), merupakan gabungan material ukuran kerikil dan
kerakal.
2. Fraksi pasir (sand), merupakan gabungan material ukuran pasir halus sampai
kasar.
3. Fraksi lumpur (mud), merupakan gabungan material lempung dan lanau.
Segitiga Shepard yang digunakan dalam klasifikasi jenis sedimen
merupakan pembagian atas tiga jenis sedimen, yaitu pasir, lanau, dan lempung.
Metode segitiga Shephard lebih sesuai digunakan untuk klasifikasi pada sampel
dengan ukuran butiran yang cenderung kecil dibandingkan dengan metode
segitiga Folk. Skema Segitiga Shepard dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Diagram Segitiga Shepard(Sumber: Shepard 1954)
3.6 Analisis Data
3.6.1 Kualitas Data
Kualitas data side scan sonar sangat bergantung pada saat pengambilan
data itu sendiri. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi dalam pengambilan
data, antara lain kesalahan surveyor, kesalahan alat, dan lingkungan sekitar/alam.
Faktor lingkungan yang menyebabkan citra side scan sonar kurang baik adalah
sebagai berikut:
a. Noise yang ditimbulkan oleh buih akibat perputaran propeller sounding boat
dan propeller kapal lain yang melintas disekitar area survei.
b. Kondisi perairan yang dangkal sehingga towfish terlalu dekat dengan dasar
laut.
c. Penarikan dan penguluran towcable.
d. Salinitas, velocity, dan temperatur di sekitar perairan daerah yang di survei
dapat mempengaruhi perambatan gelombang akustik.
e. Pengaruh cuaca disekitar area survei. Cuaca ini dapat mempengaruhi
kestabilan kapal pada saat sounding. Hal ini akan mempengaruhi
penangkapan gelombang akustik hasil pantulan dari dasar laut atau objek yang
dikenai dan berpengaruh terhadap besaran objek.
Pada Gambar 9 terlihat data side scan sonar yang kurang baik, karena
objek yang terdeteksi tidak terdefinisikan dengan baik.
Gambar 9. Contoh Kualitas Data Side Scan Sonar
3.6.2 Identifikasi Objek
Berdasarkan sebaran rona yang dihasilkan dari perbedaan kekuatan
pantulan gelombang akustik (Gambar 10) dari objek di dasar laut yang di dasar
laut yang berhubungan dengan jenis material dari sedimen penutup, maka
rekaman side scan sonar daerah survei dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu
sebagai berikut.
(1) Rona Terang (Low Sonar Reflectivity)
Rona terang ditafsirkan sebagai objek dasar laut yang bersifat homogen,
lunak, dan relatif datar. Rona terang tersebut diduga sebagai dasar laut yang
dialasi oleh lapisan sedimen berbutir halus (lanau, lumpur, atau pasir)
(2) Rona Sedang (Moderate Sonar Reflectivity)
Rona sedang ditafsirkan sebagai objek dasar laut yang agak keras. Rona
sedang dapat berupa lapisan sedimen berbutir lebih kasar dengan sebaran
(pecahan) terumbu karang kecil.
(3) Rona Gelap (High Sonar Reflectivity)
Rona gelap diperkirakan sebagai material dasar laut yang keras baik itu
berupa jatuhan benda logam, beton, dan singkapan terumbu karang tua yang
dicirikan dengan rona yang sangat gelap dan terlihat kontras dengan lingkungan
sekitarnya.
Gambar 10. Contoh Citra Side Scan Sonar Berdasarkan Rona Terang, Rona Sedang, dan Rona Gelap
3.6.3 Koreksi
Dalam menentukan posisi suatu objek yang sudah teridentifikasi di dasar
laut yang berupa material jatuhan logam, beton, dan pecahan karang kita harus
melakukan koreksi terlebih dahulu, karena posisi objek terdapat di belakang kapal
dan juga di bagian kanan atau kiri towfish. Dalam hal ini untuk ketelitian posisi
suatu objek tergantung dari skala peta yang diinginkan. Koreksi dalam
menentukan posisi objek terbagi dua yaitu slant range corection dan layback
correction (Laswono, 2007).
(1) Slant Range Correction
Slant range adalah jarak antara suatu objek di dasar laut dengan towfish,
sedangkan slant range correction adalah jarak horizontal suatu objek di dasar laut
dengan titik dasar laut di bawah towfish. Pada koreksi ini suatu objek
diumpamakan terletak di sebelah kiri atau kanan towfish, sehingga untuk
mendapatkan slant range correction dapat dihitung dengan menggunakan rumus
phytagoras sebagai berikut (Gambar 11).
Gambar 11. Skema perhitungan slant range correction
(2)
Dimana: a = Slant range correction
b = Tinggi towfish terhadap dasar laut
c = Slant range
(2) Layback Correction
Layback correction adalah jarak mendatar dari antena GPS terhadap posisi
towfish di belakang kapal. Tujuan penghitungan ini adalah untuk menentukan
posisi towfish sebenarnya. Seperti halnya slant range correction, perhitungan
layback correction (Gambar 12) juga dihitung dengan menggunakan rumus
phytagoras sebagai berikut:
Gambar 12. Skema perhitungan layback correction
(3)
Dimana D = kedalaman laut.
a = Jarak mendatar dari buritan kapal ke towfish.
b = Kedalaman towfish dari permukaan laut
c = Panjang towcable.
d = Tinggi towfish dari dasar laut.
e = Jarak horizontal dari antena GPS ke buritan kapal.
Jika jarak horizontal dari antena sampai buritan diketahui, maka koreksi
jarak horizontal dari antena sampai towfish dapat dicari, yaitu dengan cara
menambahkan jarak horizontal dari buritan ke towfish dengan jarak antena dengan
buritan (gambar 13).
Gambar 13. Skema perhitungan layback correction3.6.4 Perhitungan Dimensi
(1) Perhitungan Panjang Objek
Perhitungan panjang dimaksudkan untuk mengetahui seberapa panjang
suatu objek yang berada di dasar laut yang terlihat dari hasil citra side scan sonar.
Caranya yaitu membandingkan panjang suatu objek dan jarak antar fix di citra
side scan sonar dengan jarak antar fix dilapangan.
(4)
Dimana S1 = Jarak antar fiks di lapangan (meter)
S2 = Jarak antar fiks di citra side scan sonar (meter)
s1 = Panjang objek di lapangan
s2 = Panjang objek di citra
(2) Perhitungan Lebar Objek
Perhitungan lebar dimaksudkan untuk mengetahui seberapa lebar suatu
objek dilapangan. Caranya sama dengan untuk mencari panjang objek.
(5)
Dimana L1 = lebar antar fix di lapangan (meter)
L2 = lebar antar fix di citra side scan sonar (meter)
l1 = lebar objek di lapangan
l2 = lebar objek di citra
(3) Perhitungan Tinggi Objek
Perhitungan tinggi dimaksudkan untuk mengetahui tinggi suatu objek di
lapangan. Pada perhitungan tinggi objek (Gambar 14) caranya hampir sama
dengan perhitungan untuk mencari panjang atau lebar suatu objek tetapi.
Gambar 14. Skema perhitungan tinggi objek
(6)
Dimana A = tinggi towfish (meter)
B = slant range (meter)
C = tinggi objek (meter)
D = panjang bayangan (meter)
3.6.5 Akustik Impedansi dan Backscattering strength
Gambar 15 menggambarkan bagaimana suatu target memancarkan sinyal
kemudian memantulkannya kembali. Akustik impedansi Z dan koefisien refleksi
R digunakan untuk menentukan seberapa besar/kuat nilai dari pantulan suatu
objek .
Gambar 15. Pantulan Sinyal
(7)
(8)
Keterangan:
ρ1 = densitas medium 1 (kg/m3)
c1 = kecepatan gelombang kompresi medium 1 (m/s)
ρ2 = densitas medium 2 (kg/m3)
c2 = kecepatan gelombang kompresi medium 2 (m/s)
R = Koefisien refleksi (kg/m2s)
Backscattering strength dasar perairan merupakan fungsi dari hamburan
yang dihasilkan oleh permukaan dan volume sedimen. Pada penelitian ini, nilai
backscattering strength diukur berdasarkan perbandingan nilai pantulan yang
sudah dihasilkan oleh parameter objek itu sendiri. Berikut merupakan persamaan
(Persamaan 9) yang digunakan untuk menghitung nilai backscattering strength
lumpur dan lumpur berpasir.
(9)
Keterangan:
SS = Backscattering strength (dB)
Ir = Intensitas sinyal yang dipantulkan (Voltage/div)
Ii = Intensitas sinyal yang diterima (Voltage/div)
A = Luasan area
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengambilan Contoh Dasar
Gambar 16 merupakan hasil dari plot bottom sampling dari beberapa titik
yang dilakukan secara acak untuk mengetahui dimana posisi target yang dicurigai.
Sumber: Lampiran 3. Bottom Sampling dan Jenis SubstratGambar 16. Lokasi Bottom Sampling dan Pipa
Pada umumnya tipe substrat dasar perairan hasil survei berupa lumpur dan
lumpur berpasir (Lampiran 3). Sebagian besar sedimen permukaan dasar laut
yang ditemukan pada tiap titik atau stasiun yang diambil secara acak di lokasi
penelitian berupa lumpur dan lumpur berpasir.
Proses pengambilan contoh sedimen dilakukan menggunakan Van Veen
Grab dengan luas bukaan 20x20 cm2. Sesuai dengan rencana operasi
pengambilan substrat ini dilakukan pada dua area, yaitu pada skala 1:1000 diambil
41 titik secara acak dan pada skala 1:5000 diambil 19 titik, dan ini juga dilakukan
secara acak.
Sedimen fraksi lumpur sangat mudah terbawa arus dan mudah teraduk
apabila terjadi upwelling atau proses turbulensi. Pengendapan fraksi lumpur
sangat lambat, sehingga posisi lumpur selalu di atas dari lapisan permukaan dasar
laut. Pada Gambar 33 terlihat penyebaran fraksi lumpur secara merata di lokasi
penelitian. Semakin ke arah laut terlihat penyebarannya semakin besar
dibandingkan dengan lumpur berpasir. Salah satu penyebabnya adalah berupa
arus dan gelombang, dimana perairan yang berada jauh dari pantai akan sedikit
mendapat pengaruh gelombang dibandingkan dengan daerah pantai, sehingga di
daerah dekat pantai lumpur akan sulit mengendap karena ukurannya yang
mikroskopis dan mudah terbawa oleh air laut.
Pemplotan pipa dilakukan untuk mengetahui dimana keberadaan pipa yang
ada di dasar laut. Posisi fiks yang didapat, kemudian diplotkan kedalam gambar.
Pada gambar 33, dapat dilihat bahwa pipa terletak pada 5. 230 LU – 5.260 LU dan
97.070 BT – 97.0750 BT.
4.2 Pantulan Sinyal Taregt
Gambar dibawah ini (Gambar 17-32), merupakan hasil dari pengolahan
data nilai pantulan sinyal objek atau target yang dicurigai. Adapun objek atau
target yang dicurigai yaitu berupa pipa, substrat (lumpur dan lumpur berpasir),
dan objek keras lainnya. Nilai pantulan sinyal ini diolah di perangkat lunak
MaxView. Pengolahan data pada MaxView dilakukan setiap lima detik selama
proses perekaman berlangsung.
Gambar 17. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Alur 1
Gambar 18. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Alur 2
Gambar 19. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Alur 3
Gambar 20. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Alur 4
Gambar 21. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Alur 5
Gambar 22. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Kolam 1
Gambar 23. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Kolam 2
Gambar 24. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Kolam 3
Gambar 25. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Kolam 4
Gambar 26. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Kolam 5
Gambar 27. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Kolam 6
Gambar 28. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Kolam 7
Gambar 29. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Kolam 8
Gambar 30. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Lajur 174
Gambar 31. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada Lajur 176
Gambar 32. Hubungan Nilai Pantulan Sinyal Terhadap Waktu Pada lajur 177
Penelitian tentang Deteksi dan Interpretasi Target di Dasar Laut
menggunakan Side Scan Sonar ini dilakukan di perairan Aceh Timur,
Lhokseumawe. Jenis Side Scan Sonar (SSS) yang digunakan adalah C- Max Side
Scan Sonar dengan frekuensi 325 kHz dan range 100 meter.
Kualitas perekaman side scan sonar sangat ditentukan oleh kondisi
lapangan seperti kedalaman perairan, kekuatan arus, serta kemampuan towfish
dalam mengirim dan memantulkan kembali sinyal yang dipancarkan. Secara
umum, side scan sonar ini penafsirannya didasarkan pada kemampuan towfish
dalam menerima perbedaan dari kekuatan pantulan gelombang akustik dari variasi
material di dasar laut. Hasil perekaman citra yang didapat dari instrumen SSS ini,
mendapatkan empat target yang dicurigai yaitu pipa, substrat dasar laut berupa
lumpur dan lumpur berpasir, serta objek keras lainnya. Target yang dideteksi ini
diinterpretasikan berdasarkan rona, yaitu rona gelap, rona sedang, dan rona terang.
Semakin gelap suatu rona dari target yang dicurigai maka nilai pantulannya akan
semakin tinggi.
Hasil dari perekaman citra SSS, kemudian diolah dengan menggunakan
perangkat lunak MaxView untuk mendapatkan hasil nilai pantulan sinyalnya.
Pengambilan data untuk proses pengolahan dilakukan setiap lima detik. Nilai
pantulan sinyal ini didasarkan dari objek yang terdeteksi. Dari hasil pengolahan
tersebut didapat bahwa nilai pantulan sinyal pipa, lumpur, lumpur berpasir, dan
objek keras lainnya adalah 0-2.5 Voltage/Div, 0-0.5 Voltage/Div, 0.5-1
Voltage/Div, dan 0-2.5 Voltage/Div. Hasil yang didapat kemudian diolah lagi
untuk mendapatkan suatu bentukan grafik sinyal. Pengolahan ini dilakukan
dengan menggunakan perangkat lunak Matlab 7.0.1.
Hasil perhitungan sinyal tadi dapat dijelaskan sebagai berikut. Dimisalkan
area yang diambil adalah lajur 177, dimana target yang dicurigai berupa pipa,
lumpur, lumpur berpasir, dan objek keras lainnya. Disini, objek keras yang
dimaksud adalah selain pipa, misalnya batu-batuan besar, puing-puing, atau objek
yang tidak dapat didefinisikan karena adanya distorsi pada saat perekaman.
Setelah diketahui target yang dicurigai, maka dilakukan pembacaan sinyal dari
masing-masing target. Setiap lima detik, proses pembacaan dilakukan sampai
proses perekaman selesai. Apabila proses pembacaan selesai, maka nilai-nilai
dari pantulan sinyal yang terekam diplotkan dalam satu grafik untuk
mempermudah dalam penginterpretasian. Pada lajur 177 ini diketahui bahwa
nilai pipa lebih tinggi dibandingkan dengan nilai lumpur, lumpur berpasir, dan
objek keras lainnya. Ini dikarenakan pipa pada saat perekaman, hasil yang
didapat ronanya lebih gelap, komposisi materialnya lebih padat sehingga, pada
saat perekaman, nilai pantulan sinyal yang diberikan oleh alat dipantulkan
kembali tanpa ada penyebaran atau penerusan sinyal oleh objek yang terdeteksi.
Atau jika penerimaan sinyal yang diterima oleh suatu target yaitu pipa tepat pada
titik pusatnya, maka hasil dari nilai yang dipantulkan akan sama besarnya. Lain
halnya dengan substrat, nilai pantulannya lebih rendah dibandingkan dengan pipa
dan objek keras lainnya.
Substrat berlumpur (rona terang), komposisi partikelnya tidak tersusun
kompak, sehingga pada saat alat memancarkan sinyal, maka sinyal yang diterima
oleh substrat lumpur sebagian besar tersebar, sehingga pemantulannya sinyalnya
akan lebih rendah, berbeda dengan pantulan sinyal yang diberikan oleh substrat
lumpur berpasir. Hal ini juga dapat dilihat dari kekasaran dan kekerasan dari
substrat yang terdeteksi. Pada frekuensi rendah, dimana panjang gelombang
akustik lebih besar dari skala kekasaran dasar laut, maka dasar laut akan tampak
lembut. Dalam hal ini pemantulan sinyal yang di dilakukan oleh dasar laut akan
didominasi oleh penyebaran dasar laut. Jika menggunakan frekuensi tinggi
dimana panjang gelombang akustik lebih kecil dari skala penyebaran kekasaran
dasar laut, maka penyebaran kekasaran dapat mendominasi sinyal yang
dikembalikan sehingga dianggap kasar.
Gambar 33, merupakan hasil dari pembacaan sinyal pada software
MaxView secara keseluruhan. Nilai pipa dan objek keras memiliki nilai pantulan
yang sama besar yaitu 2.5 Voltage/Div, sedangkan substrat lumpur memiliki nilai
pantulan yang lebih kecil (0.5 Voltage/Div) dibandingkan dengan target lainnya.
Gambar 33. Nilai rata-rata pantulan sinyal dari target
4.3 Analisis Fast Fourier Transform (FFT)
Pada Gambar 34-38, merupakan salah satu hasil dari analisis spektral
akustik yang dilakukan untuk mentransformasikan suatu pergerakan sinyal dari
domain waktu menjadi domain frekuensi dan hasil analisis spectral akustik
lainnnya dapat dilihat pada Lampiran 6. Pengolahan data dibagi menjadi 5 bagian
frekuensi yaitu 0-100 Hz, 100-200 Hz, 200-300 Hz, 300-400 Hz, dan 400-500 Hz.
Sumbu x merupakan nilai dari frekuensi (Hz), sedangkan sumbu y merupakan
hasil dari perhitungan spectrum energi menggunakan perangkat lunak Matlab
7.0.1 dimana variabel pada sumbu y diubah kedalam bentuk logaritma. Berikut
hasil dari analisis spektral akustik yang dilakukan dengan menggunakan
perangkat lunak Matlab 7.0.1.
Gambar 34. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 0 – 100 Hz pada Alur 1
Gambar 35. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 100 – 200 Hz pada Alur 1
Gambar 36. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 200 – 300 Hz pada Alur 1
Gambar 37. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 300 – 400 Hz pada Alur 1
Gambar 38. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 400 – 500 Hz pada Alur 1
FFT merupakan suatu algoritma untuk memghitung Discrete Fourier
Transform (DFT) dengan substansi waktu yang tersimpan lebih dari metode
konvensional. FFT ini mentransformasikan suatu sinyal dari domain waktu ke
domain frekuensi. FFT berfungsi untuk melihat seberapa signifikan energi yang
dihasilkan dari suatu data berdasarkan frekuensi (Hz). Pada proses pengolahan
FFT, banyaknya sampel yang diambil sesuai dengan data yang diperoleh. Jumlah
banyaknya data sebesar 2n. Setelah itu, dilakukan proses pengolahan berdasarkan
syntax sederhana pada software Matlab 7.0.1. Proses pengolahan sebelum
menghasilkan data dalam FFT, dilakukan proses pengolahan dalam hasil DFT.
Hasil yang didapat kemudian diolah lagi untuk mendapatkan hasil bentukan dalam
domain frekuensi.
Dari hasil pengolahan sinyal domain waktu yang diolah dengan perangkat
lunak Matlab 7.0.1, sinyal yang dihasilkan kemudian diubah menjadi domain
frekuensi, didapat hasilnya bahwa pipa memiliki nilai spektrum yang paling tinggi
dibandingkan dengan objek keras dan substrat (pasir dan pasir berlumpur). Akan
tetapi ada di satu area, nilai objek keras lebih signifikan dibandingkan dengan
target lainnya, dan untuk substrat, nilai yang signifikan terdapat pada substrat
lumpur berpasir. Hal ini ada kaitannya dengan nilai akustik impedansi dari target
yang dicurigai. Semakin keras objek yang terdeteksi maka impedansi akustiknya
juga semakin tinggi. Akan tetapi tidak selamanya objek keras memiliki nilai
pantulan yang sangat tinggi, mungkin saja pada saat perekaman letak dari posisi
alat terlalu dekat dengan target, atau terjadinya distorsi pada saat perekaman
berlangsung. Jika hal ini terjadi, maka akan dapat mengganggu proses
pengolahan data pada tahap selanjutnya.
Pada gambar 34-38, dapat dilihat masing-masing target memperlihatkan
puncak tertinggi dari hasil pengolahan perangkat lunak Matlab 7.0.1. Pada
frekuensi 0-100 Hz, target yang diduga pipa hanya memiliki dua puncak, yaitu
pada frekuensi 30 Hz dan 80 Hz. Pada objek yang tidak diketahui (unknown
objek), target ini memiliki 3 puncak dari hasil pengolahan menggunakan
perangkat lunak Matlab 7.0.1, yaitu pada frekuensi 15 Hz, 45 Hz, dan 75 Hz.
Target berupa lumpur dan lumpur berpasir pada frekuensi 0-100 Hz, tidak
memperlihatkan puncak tertingginya, dan akan kelihatan pada saat pengolahan
dengan frekuensi 100-500Hz.
Gambar 39. Nilai rata-rata analisis FFT dari target
Gambar 39 dilakukan plot data secara keseluruhan dari hasil pengolahan
FFT. Dapat dilihat bahwa pipa memiliki nilai yang paling signifikan
dibandingkan dengan target lainnya yaitu sebesar 1412 Volt/dB, sedangkan
substrat lumpur memiliki nilai yang paling kecil yaitu sebesar 106.2367 Volt/dB.
Gambar 39 ini merupakan hasil pengolahan syntax sederhana menggunakan
perangkat lunak Matlab 7.0.1, dimana sumbu y masih dalam bentuk linier dan
belum diubah dalam bentuk logaritma.
4.4 Akustik Impedansi dan Backscattering Strength (SS)
Berikut merupakan hasil perhitungan akustik impedansi dan koefisien
refleksi berdasarkan nilai densitas ρ dan kecepatan gelombang kompresi c serta
perhitungan nilai backscattering strength dari masing-masing target. Akustik
impedansi ini menggambarkan seberapa besar nilai pantulan sinyal dari suatu
objek berdasarkan kekompakan material atau keras lunaknya objek.
Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa nilai impedansi akustik dari pipa
lebih tinggi dibandingkan dengan substrat lumpur dan lumpur berpasir.
Impedansi akustik ini dihitung berdasarkan nilai densitas ρ dan kecepatan
gelombang kompresi c. Masing-masing target memiliki ρ dan c yang berbeda.
Seperti lumpur ρ adalah 1420 kg/m3 dan c adalah 1519 m/s, lumpur berpasir nilai
ρ dan c adalah 1830 kg/m3 dan 1677 m/s (Hamilton, 1971a dalam Clay dan
Medwin, 1977), sedangkan pada pipa nilai ρ dan c adalah 8030 kg/m3 dan 2580
m/s (AK Steel Corporation, 2007). Setelah diketahui nilai masing-masing
densitas dan kecepatan gelombang kompresinya, maka nilai dari masing-masing
akustik impedansi Z dapat dihitung, dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3. Jadi
dapat dikatakan nilai akustik impedansi ini bergantung pada kecepatan gelombang
kompresi.
Semakin tinggi nilai kecepatan gelombang kompresi maka, nilai Z akan
semakin tinggi pula. Apabila kecepatan yang dimiliki oleh target semakin tinggi,
maka nilai sinyal pantulan yang dikembalikan oleh target ke receiver juga tinggi
dan ini juga bergantung pada kekerasan dan kekasaran dari objek yang terdeteksi.
Tabel 3. Hasil Perhitungan Akustik Impedansi dan Koefisien Refleksi
TargetAkustik
Impedansi
Koefisien
Refleksi
Koefisien
Refleksi
Backscattering
Strength
(dB) (dB)
Lumpur 2.1569 x 106 0.1896 -7.4557 -6.5913
Lumpur Berpasir 3.0689 x 106 0.3433 -4.6421 -4.0129
Pipa 2.0717 x 107 0.8649 -0.6299 0
Sumber: Hasil Pengolahan Lampiran 4
Hasil dari perhitungan impedansi akustik Z ini, dapat dihitung pula nilai
koefisien refleksi. Nilai koefisien refleksi atau yang lebih dikenal dengan R
dihitung berdasarkan nilai perbandingan antara medium 1 dan medium 2, dalam
hal ini yang dimaksud dengan medium 1 adalah air dan medium 2 adalah target
yang dicurigai. Sebelum dilakukan proses perhitungan nilai koefisien refleksi,
perlu diketahui nilai densitas ρ dan kecepatan gelombang kompresi c yang
terdapat pada air, dalam hal ini adalah air laut. Nilai densitas dan kecepatan
gelombang kompresi yang dipakai adalah 1000 kg/m3 dan 1500 m/s (Clay dan
Medwin, 1977). Setelah diketahui nilai dari masing-masing variabel maka nilai
impedansi akustik dari air itu sendiri adalah 1.5 x 106 Kg/m2s. Kemudian,
dilakukan proses perhitungan nilai koefisien refleksi. Dari hasil perhitungan
didapat bahwa nilai koefisien refleksi berkisar antara 0 dan 1. Jika nilai koefisien
refleksi yang didapat diubah kedalam decibel (dB), maka didapat nilai koefisien
refleksinya sebesar -7.4557 dB, -4.6421 dB, dan -0.6299 dB. Semakin tinggi nilai
koefisien refleksi maka akan semakin tinggi nilai pantulan sinyal dari objek yang
terdeteksi. Akan tetapi jika nilai koefisien refleksi lebih dari 1, maka akan terjadi
penguatan, hal ini dikarenakan jarak antara objek dan alat yang digunakan terlalu
dekat, sehingga pengembalian sinyal yang dipantulkan juga semakin besar dan
pengambilan datanya dilakukan di daerah yang dangkal. Jika hal ini terjadi, maka
akan dilakukan proses perhitungan selanjutnya terhadap kedalaman suatu perairan
dari daerah yang diteliti.
Setelah dilakukan perhitungan akustik impedansi dan koefisien refleksi,
maka dapat dengan mudah dilakukan pengolahan backscattering strength (SS).
Pipa yang merupakan pemantul sempurna dijadikan sebagai referensi dalam
perhitungan SS lumpur dan lumpur berpasir. Dari hasil pengolahan didapat nilai
backscattering strength lumpur adalah -6.5913 dB dan lumpur berpasir -4.0129
dB. Pada Tabel 3 dilhat nilai backscattering strength dari pipa adalah nol. Ini
dikarenakan pipa sebagai pemnatul sempurna. Apabila dilakukan perhitungannya
dimana pipa dijadikan referensi, maka hasilnya adalah 1. Setelah itu, nilai satu
tersebut kita ubah kedalam bentuk logaritma untuk mendapatkan hasil
backscattering strength. Logaritma dari satu adalah nol. Suatu bentuk perkalian
jika dikalikan dengan nol maka hasilnya tetap nol, karena itu nilai backscaterring
strength pipa adalah nol.
4.5 Dimensi Target Terdeteksi
Pada Tabel 4 dapat dilihat hasil perhitungan dimensi dari target yang
terdeteksi. Perhitungan dimensi ini dilakukan berdasarkan objek yang terekam.
Dari hasil rekaman dapat dilihat banyak sekali gambaran objek yang terdeteksi,
hanya saja penulis tidak menghitung semua dimensi yang terekam, ini
dikarenakan hasil gambar dari rekaman side scan sonar tersebut, ada yang
merupakan hasil distorsi akibat propeller kapal, dan menyebabkan hasil gambaran
yang didapat tidak terekam dengan baik.
Perhitungan yang dilakukan secara manual menggunakan teorema
phytagoras. Dari hasil perhitungan ini, maka didapatlah nilai dari panjang dan
lebar dari objek yang terdeteksi (Tabel 4). Ada dari beberapa objek yang
terdeteksi memiliki bayangan, jika bayangan dari objek yang terdeteksi diketahui,
maka dapat dihitung tinggi dari objek tersebut. Semakin lebar/besar bayangan
dari objek yang terdeteksi, maka dapat dikatakan bahwa objek yang teredeteksi ini
memiliki tinggi yang relatif besar. Perhitungan dimensi ini biasanya ditujukan
untuk berbahaya atau tidaknya bagi jalur pelayaran dan juga untuk mengetahui
posisi fiks dari suatu objek.
Tabel 4 merupakan hasil dari perhitungan dimensi target yang terdeteksi, dimana perhitungan ini dilakukan secara manual. Perhitungan ini dimaksudkan untuk mengetahui dimensi dari target yang terdeteksi.
Tabel 4. Hasil Perhitungan Dimensi Target Terdeteksi
Jalur
Jarak fixDi
lapangan (m)
Jarak Fixdi
kertas (cm)
Tinggi towfish
(m)
Slant range(m)
Slant range
bayangan (m)
Panjang Objek
di kertas (cm)
Lebar objek
di kertas (cm)
PanjangBayangan
(m)
Jarak mendatar
objek(m)
Ukuran Dimensi
Panjang (m)
Lebar(m)
Tinggi(m)
Kolam 1
25 1.5 7.5 10.6 - 0.8 0.6 - 7.4907 13.3333 10 -
25 1.5 7.4 10.3 - 0.5 0.4 - 7.1645 8.3333 6.6667 -
25 1.5 7.4 10.3 - 1 0.4 - 7.1645 16.6667 6.6667 -
25 1.5 7.5 8.4 - 1.1 0.3 - 3.7829 18.3333 5 -
25 1.5 6.6 7.8 - 1.3 0.2 - 4.1569 21.6667 3.3333 -
Kolam 8
25 1.5 8 43.1 - 1.3 0.3 - 42.3510 21.6667 5 -
25 1.5 7.6 13.1 - 5.8 0.5 - 10.6701 96.6667 8.3333 -
25 1.5 8.4 13.4 38.1 3.25 0.5 5.6 10.4403 54.16667 8.3333 1.2347Sumber: Hasil Pengolahan Lampiran 5
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Hasil dari pengambilan substrat dasar, diketahui bahwa jenis substrat yang
terdapat di area survei adalah lumpur dan lumpur berpasir. Nilai pantulan pipa
dan objek keras berkisar antara 1-2.5 Voltage/div, nilai pantul substrat lumpur
berpasir berkisar antara 0.5-1 Voltage/div, dan nilai pantulan sinyal pada substrat
lumpur adalah 0.0-0.5 Voltage/div.
Dari hasil analisis Fast Fourier Transform (FFT), nilai pipa lebih tinggi
dibandingkan dengan objek lainnya, yaitu sebesar 1412 Volt/dB. Sedangkan pada
unknown objek, lumpur dan lumpur berpasir adalah 834.0728 Volt/dB, 106,2367
Volt/dB, dan 238.9427 Volt/dB. Nilai koefisien refleksi yang terhitung
menyatakan bahwa nilai koefisien refleksi pipa sebesar 0.8649 lebih besar
dibandingkan dengan target yang terdeteksi lainnya.
Hasil perhitungan backscattering strength (SS) dari lumpur adalah sebesar
-6.5913 dB dan untuk lumpur berpasir sebesar -4.0129 dB.
5.2 Saran
Penulis menyarankan agar pengolahan data sinyal dari instrumen side scan
sonar menggunakan perangkat lunak MaxView dapat diolah secara digital.
DAFTAR PUSTAKA
AK Steel Corporation. 2007. Data sheet steel stainless steel. West Chester. http://www.aksteel.com (2 November 2009).
Clay, C. S. dan H. Medwin. 1977. Acoustical Oceanography: Principles and Applications. John Wiley & Sons. New York.
Edi, B.P. 2009. Aplikasi Instrumen Akustik Multibeam dan Side Scan Sonar Di Perairan Sekitar Teluk Mandar dan Selat Makasar. Skripsi (tidak dipublikasikan). Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Fish, P. J. dan H. A. Carr. 1990. Sound Under Water Images. American Underwater Search and Survey. Ltd. Orleans.
Friedman, R. L. 1978. Principles of Sedimentology. Mc Graw Hill Book Company. New York.
Gross, G. M. 1993. Oceanography. A view of The Earth. Prentice Hall Inc. New Jersey.
Hutabarat, S dan M. E. Stewart. 2000. Pengantar Oseanografi. UI Press. Jakarta.
Klein Associates, Inc. 1985. Side Scan Sonar Record Interpretation. New Hampshire. USA.
Laswono, D. 2007. Interpretasi side scan sonar untuk perencanaan peletakan kabel laut di perairan Kepulauan Seribu. Skripsi (tidak dipublikasikan). Komando Pendidikan Angkatan Laut, Sekolah Tinggi Angkatan Laut. Jakarta.
Lie, B. K. 2007. Pemetaan Struktur Dasar Laut dengan Menggunakan Sub Bottom Profiller dan Side scan Sonar. Skripsi (tidak dipublikasikan). Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Mahyuddin, M. F. 2008. Penggunaan Perangkat Lunak Sonar Pro Untuk Pengolahan Data Side Scan Sonar. Tugas Akhir. Bandung. Institut Teknologi Bandung. Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika.
Russel, I. 2001. Basic Principles Of Hydrographic Surveying. Hydrographic Awarness. Seminar and Course: The Importance of Hydrographic Survey for Management and Development of The Coastal Zone; Jakarta, 24-27 April 2001.
Sewell. 1974. Depth Sounding, Sonar Sweeping, and Side Scan Sonar. US Naval Oceanographic Cooperation Training Course.
Shepard, E. P. 1954. Nomenclature based on sand silt clay ratios. Jour. Sed. Petrology. 24: 151-158.
Stowie, K. 1943. Essentials of Ocean Science. California Polytechnic. State University. New York-Chiester-Brisbane-Toronto. Singapore. Chapter 3.
Suprianto, J. 2002. Interpretasi Citra Side Scan Sonar Untuk Pengecekan Posisi Pipa Gas di Perairan Blang Lancang Aceh Timur. Skripsi (tidak dipublikasikan). Komando Pendidikan Angkatan Laut, Sekolah Tinggi Angkatan Laut. Jakarta.
Tritech International Limited. 2008. Side Scan Sonar. http://www.starfishsonar.com/technology/sidescan-sonar (28 Juni 2009)
Tobing, C. L. 2000. Interpretasi citra side scan sonar pada survei peletakan pipa di Panaran – P. Pemping. Skripsi (tidak dipublikasikan). Komando Pendidikan Angkatan Laut, Sekolah Tinggi Angkatan Laut. Jakarta.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kecepatan_suara (2 November 2009).
http://en.wikipedia.org/wiki/Side-scan_sonar (3 Februari 2009).
http://id.wikipedia.org/wiki/Sonar (2 April 2009).
Lampiran 1. SKETSA AREA SURVEI
Area I Sekala 1 : 5.000 (sesuai RO) Area I Sekala 1 : 5.000 (tambahan)
A. 05 º 16' 30" U – 97º 00' 00" T A. 05 º 16' 30" U – 97º 00' 00" TB. 05 º 16' 30" U – 97º 04' 18" T B’. 05 º 16' 30" U – 97º 04' 30" TC. 05 º 13' 48" U – 97º 04' 18" T C’. 05 º 13' 48" U – 97º 04' 30" TD. 05 º 13' 48" U – 97º 00' 00" T D. 05 º 13' 48" U – 97º 00' 00" T
Area II Sekala 1 : 1000
E. 05 º 15' 12" U – 97º 01' 42" TF. 05 º 15' 12" U – 97º 02' 30" TG. 05 º 14' 11" U – 97º 02' 30" TH. 05 º 14' 11" U – 97º 01' 42" T
A B B’
C C’D
E F
GH
Area I Sekala 1 : 5000
Area II Sekala1 : 1000
Lampiran 2. Spesifikasi C-Max Side Scan SonarTowfish Spesifikasi Parameter
Operating Depth 0-2500 meter
Acoustic frequencies 100 kHz – LF
325 kHz – HF (compatible with industry “500 kHz” specs)
780 kHz – EF
Range (port and starboard) 100 m, 150 m, 200 m, 300 m, 400 m, 500 m – LF;
25 m, 50 m, 75 m, 100 m, 150 m – HF;
12.5 m, 25 m - EF
Operating Speed 1 – 6 knots
Maximum towing speed 12 knots
Acoustic pulse rates 500/ (selected range-limit), e.g. 10 scans/second @ 50 m
Pulse power and length 217 dB re 1 micropascal @ 1 m;
range-dependent length, e.g 53 microseconds @50 m
Array length and beamwidths (2-way 3dB points)
0.41m -HF & LF; 0.3m –EF; 0.3º horiz., 40º vert. asymmetric –HF; 1.0º horiz., 50º vert. –LF; 0.2º horiz., 50º vert. –EF
Lateral resolution 39mm-EF, 78mm-HF, 156mm-LF
Beam depression (of maximum sensitivity axis)
10º or 20º, adjustable without tools
Bottom-tracking (altitude) measurement and resolution
Automatic altimeter, from integral echo sounder; 78mm altitude resolution
Safety features Weak link, breaks to give tail-first towing
Sensor options Heading, pitch & roll; depth, 0-200m (other depth ranges available)
Construction Stainless steel; no aluminium
Towfish dimensions and weights
1.24m length; 17.9kg in air, 12.1kg in seawater –DF; 17.1kg in air, 11.3kg in seawater –EDF
Towfish temperature range -10 to +45ºC operating; -20 to +50ºC non-operating
STR Specifications
USB1 interface Digital echo data plus control and status (contact C-MAX for protocol)
Analog interface (early units only)
L, R and TRIG phono outputs (outputs in real time and in replay)
Lampiran 2 Lanjutan. Spesifikasi C-Max Side Scan SonarDimensions (mm) and weight
297W x 204D x 62H, 2.2kg
Power 10-18V DC, 3A max, <2A typical at 12V, optional 24V DC, 2A max, <1A typical (BNC version) 10-28V DC, (MIL-C-5015 version) 100-240V AC via external power adapter
Environment 0 to +45ºC; 10 to 80% RH; 5G, operating
-10 to +55ºC; 2 to 90% RH; 40G, non-operating, IP64
C-Shell Specifications
Interfaces Tow cable, USB, DC power
Dimensions (mm) and weight, including STR
406W x 330D x 174H, 6.4kg
Power, single voltage version (with BNC tow cable socket)
12V (10-18V) DC, 3A max, <2A typical @ 12V
optional 24V (20-28V) DC, 2A max, <1A typical @ 24V
100-240V AC via external power adapter
Power, wide range voltage version (with MIL-C-5015 tow cable socket)
12-24V (10-28V) DC, 3A max, <2A typical @ 12V; 2A max, <1A typical @ 24V
100-240V AC via external power adapter
Environment 0 to +45ºC; 10 to 80% RH; 5G, operating
-10 to +55ºC; 2 to 90% RH; 40G, non-op, IP67
C-Case 2 Specifications
CPU 1GHz, 256MB RAM, 40GB HDD
Interfaces Tow cable, navigation, counting pulley, parallel printer, USB (for post-survei data export) AC & DC power (either may be used)
Dimensions (mm) and weight
620W x 495D x 225H, 13kg
Power 115/230V, 50-60Hz, 100W max, 80W typical
24V DC option, 4A max, 3A typical
Environment 0 to +45ºC; 10 to 80% RH; 5G, operating
-10 to +55ºC; 2 to 90% RH; 40G, non-op, IP64 operating, IP67 closed
C-Case SE Specifications
PC Ruggedized laptop (Panasonic Toughbook recommended)
External interfaces Tow cable, navigation, counting pulley, AC & DC power (either may be used)
Lampiran 2 Lanjutan. Spesifikasi C-Max Side Scan SonarDimensions (mm) and weight
620W x 495D x 225H, 13kg (without PC)
Power 115/230V, 50-60Hz, 150W max, 100W typical
24V DC option, 5A max, 4A typical
Environment 0 to +45ºC; 10 to 80% RH; 5G, operating
-10 to +55ºC; 2 to 90% RH; 40G, non-op, IP65 operating, IP67 closed
Tow Cable Specifications
Tow cable, types available
Coaxial or twisted pair; circuit resistance 200ohm max.
Tow cable diameter options
11.4, 8.2, 6.4 or 4.7mm, stainless steel armoured
8mm "soft", polyamide reinforced, PU sheathed
Custom cables also available; also suits some "legacy" cables
Tow cable terminator weak link (breakable washer)
75kgf nominal actuation tension, actuates to reverse-tow the towfish
Lampiran 3. Bottom Sampling dan Jenis Substratnya
Area Berskala 1 : 1.000
NO. POSISI JENISLINTANG ( U ) BUJUR ( T )
1. 5° 15’ 05,09” 97° 02’ 05,00” Lumpur 2. 5° 15’ 04,98” 97° 02’ 10,02” Lumpur 3. 5° 15’ 00,03” 97° 02’ 10,05” Lumpur4. 5° 15’ 00,00” 97° 02’ 05,01” Lumpur5. 5° 15’ 14,56” 97° 02’ 00,03” Lumpur6. 5° 14’ 55,01” 97° 02’ 09,97” Lumpur7. 5° 14’ 50,04” 97° 01’ 59,96” Lumpur 8. 5° 14’ 50,06” 97° 02’ 05,02” Lumpur9. 5° 14’ 50,05” 97° 01’ 49,98” Lumpur
10. 5° 14’ 45,02” 97° 01’ 45,01” Lumpur11. 5° 14’ 39,97” 97° 01’ 49,96” Lumpur12. 5° 14’ 45,03” 97° 01’ 49,97” Lumpur13. 5° 14’ 40,02” 97° 01’ 45,02” Lumpur pasir14. 5° 14’ 39,98” 97° 01’ 49,98” Lumpur pasir15. 5° 14’ 45,02” 97° 01’ 55,01” Lumpur pasir16. 5° 14’ 39,97” 97° 01’ 54,97” Lumpur pasir17. 5° 14’ 25,02” 97° 02’ 20,02” Lumpur pasir18. 5° 14’ 25,03” 97° 02’ 14,98” Lumpur pasir19. 5° 14’ 25,01” 97° 02’ 09,98” Lumpur pasir20. 5° 14’ 25,02” 97° 02’ 05,02” Lumpur pasir21. 5° 14’ 25,06” 97° 02’ 00,00” Lumpur pasir22. 5° 14’ 19,93” 97° 02’ 10,04” Lumpur pasir23. 5° 14’ 20,06” 97° 02’ 14,97” Lumpur Pasir 24. 5° 14’ 20,03” 97° 02’ 20,02” Lumpur Pasir 25. 5° 14’ 19,97” 97° 02’ 25,01” Lumpur Pasir26. 5° 14’ 41,07” 97° 02’ 00,02” Lumpur pasir27. 5° 14’ 41,06” 97° 02’ 05,01” Lumpur pasir28. 5° 14’ 41,07” 97° 02’ 09,97” Lumpur pasir29. 5° 14’ 39,97” 97° 02’ 00,02” Lumpur pasir30. 5° 14’ 40,04” 97° 02’ 05,03” Lumpur31. 5° 14’ 40,08” 97° 02’ 14,98” Lumpur32. 5° 14’ 40,04” 97° 02’ 19,98” Lumpur33. 5° 14’ 35,08” 97° 02’ 19,94” Lumpur34. 5° 14’ 35,04” 97° 02’ 14,93” Lumpur35. 5° 14’ 35,00” 97° 02’ 09,97” Lumpur pasir36. 5° 14’ 35,03” 97° 02’ 00,01” Lumpur pasir37. 5° 14’ 31,04” 97° 02’ 00,02” Lumpur38. 5° 14’ 30,02” 97° 02’ 01,05” Lumpur39. 5° 14’ 30,04” 97° 02’ 09,90” Lumpur40. 5° 14’ 30,03” 97° 02’ 15,03” Lumpur41. 5° 14’ 25,02” 97° 02’ 20,02” Lumpur
Lampiran 3 Lanjutan. Bottom Sampling dan Jenis Substratnya
AREA SEKALA 1 : 5.000
NO. POSISI JENISLINTANG ( U ) BUJUR ( T )
1. 5° 14’ 41,66” 97° 03’ 16,34” Lumpur Pasir2. 5° 14’ 57,81” 97° 03’ 11,19” Lumpur Pasir3. 5° 15’ 03,50” 97° 02’ 53,79” Lumpur Pasir4. 5° 14’ 46,63” 97° 02’ 57,88” Lumpur Pasir5. 5° 15’ 10,95” 97° 03’ 08,17” Lumpur Pasir6. 5° 15’ 08,11” 97° 02’ 39,41” Lumpur Pasir7. 5° 15’ 31,01” 97° 03’ 10,66” Lumpur8. 5° 15’ 35,45” 97° 02’ 49,18” Lumpur 9. 5° 15’ 10,42” 97° 02’ 22,90” Lumpur Pasir
10. 5° 15’ 37,05” 97° 02’ 27,87” Lumpur11. 5° 15’ 22,67” 97° 02’ 30,71” Lumpur 12. 5° 15’ 29,24” 97° 01’ 41,71” Lumpur 13. 5° 15’ 37,49” 97° 01’ 23,60” Lumpur14. 5° 15’ 28,35” 97° 02’ 06,57” Lumpur 15. 5° 15’ 20,54” 97° 02’ 48,64” Lumpur16. 5° 15’ 25,69” 97° 01’ 21,65 Lumpur Pasir17. 5° 15’ 37,58” 97° 01’ 49,88” Lumpur18. 5° 15’ 17,34” 97° 01’ 47,75” Lumpur pasir19. 5° 15’ 12,55” 97° 02’ 05,50” Lumpur
Lampiran 4. Contoh Perhitungan Akustik Impedansi dan Backscattering Strength (SS)
Diketahui:ρair = 1 g/cm3 = 1000 kg/m3
ρlumpur = 1.42 g/cm3 = 1420 kg/m3
ρlumpur berpasir = 1.83 g/cm3 = 1830 kg/m3
ρpipa = 8.03 g/cm3 = 8030 kg/m3
cair = 1500 m/sclumpur = 1519 m/sclumpur berpasir = 1677 m/scpipa = 2580 m/s
ditanya: Impedansi Akustik Z , Koefisien Refleksi R dan Backscattering Strength (SS)
Dijawab:
Impedansi Akustik Air:
Impedansi Akustik Pipa:
Koefisien refleksi Pipa
Koefisien refleksi diubah dalam bentuk decibel (dB)
Lampiran 4 lanjutan. Contoh Perhitungan Akustik Impedansi dan Backscattering Strength (SS)
Backscattering Strength (SS) Lumpur
Backscattering Strength (SS) Lumpur berpasir
Lampiran 5. Contoh Perhitungan Dimensi Target Yang
Terdeteksi
Kolam 1
Posisi :5º14.6600N, 97º02.3334E dan 5º14.6640N, 97º02.3198E
Diketahui:
Jarak antar fix dilapangan 25 m
Jarak antar fix dikertas 1.5 cm
Tinggi towfish 7.4 m
Slant range 10.3 m
Panjang objek dikertas 0.5 cm
Lebar objek dikertas 0.4 cm
Ditanya: (a) Jarak mendatar objek terhadap dasar laut dibawah towfish, (b)
panjang objek dilapangan, dan (c) lebar objek dilapangan.
Dijawab:
(a) Jarak mendatar objek terhadap dasar laut di bawah towfish
(b) Panjang objek di Lapangan
(c) Lebar objek di Lapangan
Kolam 8
Posisi :5º14.4220N, 97º02.1141E dan 5º14.4168N, 97º02.1420E
Lampiran 5 lanjutan. Contoh Perhitungan Dimensi Target Yang
Terdeteksi
Diketahui:
Jarak antar fix dilapangan 25 m
Jarak antar fix dikertas 1.5 cm
Tinggi towfish 8.4 m
Slant range 13.4 m
Slant range bayangan 38.1 m
Panjang bayangan 5.6 m
Panjang objek dikertas 3.25 cm
Lebar objek dikertas 0.5 cm
Ditanya: (a) Jarak mendatar objek terhadap dasar laut dibawah towfish, (b)
panjang objek dilapangan, (c) lebar objek dilapangan, dan (d) tinggi objek
Dijawab:
(a) Jarak mendatar objek terhadap dasar laut di bawah towfish
(b) Panjang objek di Lapangan
(c) Lebar objek di Lapangan
(d) Tinggi objek
Lampiran 6. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 1. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 0 – 100 Hz pada Alur 2
Gambar 2. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 100 – 200 Hz pada Alur 2
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 3. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 200 – 300 Hz pada Alur 2
Gambar 4. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 300 – 400 Hz pada Alur 2
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 5. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 400 – 500 Hz pada Alur 2
Gambar 6. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 0 – 100 Hz pada Alur 3
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 7. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 100 – 200 Hz pada Alur 3
Gambar 8. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 200 – 300 Hz pada Alur 3
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 9. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 300 – 400 Hz pada Alur 3
Gambar 10. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 400 – 500 Hz pada Alur 3
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 11. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 0 – 100 Hz pada Alur 4
Gambar 12. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 100 – 200 Hz pada Alur 4
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 13. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 200 – 300 Hz pada Alur 4
Gambar 14. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 300 – 400 Hz pada Alur 4
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 15. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 400 – 500 Hz pada Alur 4
Gambar 16. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 0 – 100 Hz pada Alur 5
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 17. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 100 – 200 Hz pada Alur 5
Gambar 18. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 200 – 300 Hz pada Alur 5
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 19. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 300 – 400 Hz pada Alur 5
Gambar 20. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 400 – 500 Hz pada Alur 5
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 21. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 0–100 Hz pada Kolam 1
Gambar 22. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 100–200 Hz pada Kolam 1
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 23. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 200–300 Hz pada Kolam 1
Gambar 24. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 300–400 Hz pada Kolam 1
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 25. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 400–500 Hz pada Kolam 1
Gambar 26. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 0–100 Hz pada Kolam 2
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 27. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 100–200 Hz pada Kolam 2
Gambar 28. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 200–300 Hz pada Kolam 2
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 29. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 300–400 Hz pada Kolam 2
Gambar 30. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 400–500 Hz pada Kolam 2
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 31. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 0–100 Hz pada Kolam 3
Gambar 32. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 100–200 Hz pada Kolam 3
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 33. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 200–300 Hz pada Kolam 3
Gambar 34. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 300–400 Hz pada Kolam 3
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 35. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 400–500 Hz pada Kolam 3
Gambar 36. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 0–100 Hz pada Kolam 4
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 37. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 100–200 Hz pada Kolam 4
Gambar 38. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 200–300 Hz pada Kolam 4
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 39. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 300–400 Hz pada Kolam 4
Gambar 40. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 400–500 Hz pada Kolam 4
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 41. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 0–100 Hz pada Kolam 5
Gambar 42. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 100–200 Hz pada Kolam 5
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 43. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 200–300 Hz pada Kolam 5
Gambar 44. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 300–400 Hz pada Kolam 5
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 45. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 400–500 Hz pada Kolam 5
Gambar 46. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 0–100 Hz pada Kolam 6
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 47. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 100–200 Hz pada Kolam 6
Gambar 48. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 200–300 Hz pada Kolam 6
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 49. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 300–400 Hz pada Kolam 6
Gambar 50. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 400–500 Hz pada Kolam 6
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 51. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 0–100 Hz pada Kolam 7
Gambar 52. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 100–200 Hz pada Kolam 7
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 53. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 200–300 Hz pada Kolam 7
Gambar 54. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 300–400 Hz pada Kolam 7
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 55. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 400–500 Hz pada Kolam 7
Gambar 56. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 0–100 Hz pada Kolam 8
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 57. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 100–200 Hz pada Kolam 8
Gambar 58. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 200–300 Hz pada Kolam 8
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 59. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 300–400 Hz pada Kolam 8
Gambar 60. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 400–500 Hz pada Kolam 8
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 61. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 0–100 Hz pada Lajur 174
Gambar 62. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 100–200 Hz pada Lajur 174
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 63. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 200–300 Hz pada Lajur 174
Gambar 64. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 300–400 Hz pada Lajur 174
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 65. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 400–500 Hz pada Lajur 174
Gambar 66. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 0–100 Hz pada Lajur 176
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 67. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 100–200 Hz pada Lajur 176
Gambar 68. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 200–300 Hz pada Lajur 176
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 69. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 300–400 Hz pada Lajur 176
Gambar 70. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 400–500 Hz pada Lajur 176
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 71. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 0–100 Hz pada Lajur 177
Gambar 72. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 100–200 Hz pada Lajur 177
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 73. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 200–300 Hz pada Lajur 177
Gambar 74. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 300–400 Hz pada Lajur 177
Lampiran 6 Lanjutan. Hasil Analisis Fast Fourier Transform
Gambar 75. Fast Fourier Transform dengan Frekuensi 400–500 Hz pada Lajur 177