deputi bidang pengawasan produk terapetik dan napza

57
Renstra Deputi I 2015-2019 1 LAMPIRAN KEPUTUSAN DEPUTI BIDANG PENGAWASAN PRODUK TERAPETIK DAN NAPZA NOMOR HK.05.02.322.3.05.15.859 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA STRATEGIS DEPUTI BIDANG PENGAWASAN PRODUK TERAPETIK DAN NAPZA TAHUN 2015 - 2019 BAB I PENDAHULUAN I.1. KONDISI UMUM Sesuai amanat Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, perencanaan pembangunan nasional disusun secara periodik meliputi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) untuk jangka waktu 20 tahun, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian/Lembaga untuk jangka waktu 5 tahun, serta Rencana Pembangunan Tahunan yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah (RKP)dan Rencana KerjaKementerian/Lembaga (Renja K/L). Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang ditetapkan melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 memberikan arah sekaligus menjadi acuan bagi seluruh komponen bangsa (pemerintah, masyarakat dan dunia usaha) di dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional. Selanjutnya RPJPN ini dibagi menjadi empat tahapan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), salah satunya adalah RPJMN 2015-2019 yang merupakan tahap ketiga dari pelaksanaan RPJPN 2005-2025. Sebagai kelanjutan RPJMN tahap kedua, RPJMN tahap ketiga ditujukan untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pada pencapaian daya saing kompetitif perekonomian yang berlandaskan keunggulan sumber daya alam, sumber daya manusia berkualitas serta kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus meningkat. Sebagaimana amanat tersebut dan dalam rangka mendukung pencapaian program-program BPOM, maka disusun Rencana Strategis (Renstra) Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan serta program dan kegiatan untuk periode 2015-2019. Penyusunan Renstra Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA ini berpedoman pada Renstra BPOM periode 2015-2019. Proses penyusunan Renstra Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA tahun 2015-2019 dilakukan sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hasil evaluasi pencapaian kinerja tahun 2010-2014. Selanjutnya Renstra Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA periode 2015-2019 diharapkan dapat meningkatkankinerja Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZAdibandingkan dengan pencapaian dari periode sebelumnya sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Adapun kondisi umum Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan

Upload: truonghuong

Post on 31-Dec-2016

227 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

1

LAMPIRAN KEPUTUSAN DEPUTI BIDANG PENGAWASAN PRODUK TERAPETIK DAN NAPZA NOMOR HK.05.02.322.3.05.15.859 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA STRATEGIS DEPUTI BIDANG PENGAWASAN PRODUK TERAPETIK DAN NAPZA TAHUN 2015 - 2019

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. KONDISI UMUM

Sesuai amanat Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional, perencanaan pembangunan nasional

disusun secara periodik meliputi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional

(RPJPN) untuk jangka waktu 20 tahun, Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional (RPJMN) dan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian/Lembaga untuk

jangka waktu 5 tahun, serta Rencana Pembangunan Tahunan yang selanjutnya

disebut Rencana Kerja Pemerintah (RKP)dan Rencana KerjaKementerian/Lembaga

(Renja K/L).

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025

yang ditetapkan melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 memberikan arah

sekaligus menjadi acuan bagi seluruh komponen bangsa (pemerintah, masyarakat

dan dunia usaha) di dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional. Selanjutnya

RPJPN ini dibagi menjadi empat tahapan Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional (RPJMN), salah satunya adalah RPJMN 2015-2019 yang

merupakan tahap ketiga dari pelaksanaan RPJPN 2005-2025. Sebagai kelanjutan

RPJMN tahap kedua, RPJMN tahap ketiga ditujukan untuk lebih memantapkan

pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pada

pencapaian daya saing kompetitif perekonomian yang berlandaskan keunggulan

sumber daya alam, sumber daya manusia berkualitas serta kemampuan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang terus meningkat.

Sebagaimana amanat tersebut dan dalam rangka mendukung pencapaian

program-program BPOM, maka disusun Rencana Strategis (Renstra) Deputi Bidang

Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA yang memuat visi, misi, tujuan, strategi,

kebijakan serta program dan kegiatan untuk periode 2015-2019. Penyusunan

Renstra Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA ini berpedoman

pada Renstra BPOM periode 2015-2019. Proses penyusunan Renstra Deputi

Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA tahun 2015-2019 dilakukan

sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hasil

evaluasi pencapaian kinerja tahun 2010-2014. Selanjutnya Renstra Deputi Bidang

Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA periode 2015-2019 diharapkan dapat

meningkatkankinerja Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan

NAPZAdibandingkan dengan pencapaian dari periode sebelumnya sesuai dengan

tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.

Adapun kondisi umum Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan

Page 2: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

2

NAPZA pada saat ini berdasarkan peran, tupoksi dan pencapaian kinerja adalah

sebagai berikut:

A. Peran Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan

NAPZAberdasarkan Peraturan Perundang-undangan

Deput Bidang Pengawasan ProdukTerapetik dan NAPZA bertugas mengawasi

peredaran obat di wilayah Indonesia. Tugas, fungsi dan kewenangan Deputi Bidang

Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA merupakan unit eselon I di lingkungan

BPOM sebagaimana diatur dalam Keputusan PresidenNomor 103 Tahun 2001

tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata

Kerja Lembaga Pemerintah non Departemen yang telah diubah terakhir kali dengan

Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perubahan Ketujuh atas

Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001. Sesuai dengan Keputusan Kepala

Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.21.4231 tahun 2004, maka

Deputi I mempunyai tugas penyiapan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman,

standar, kriteria, dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis,

dan evaluasi di bidang pengawasan produk terapetik dan NAPZA. Dalam

melaksanakan tugasnya, Deputi I menyelenggarakan tugas dan fungsi sebagai

berikut:

Tugas

Melaksanakan perumusan kebijakan teknis di bidang pengawasan produk terapetik

dan narkotika, psikotropika dan zat adiktif (NAPZA).

Fungsi

Dalam melaksanakan tugas tersebut, Deputi I menyelenggarakan fungsi:

a. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional dan umum di bidang

pengawasan produk terapetik dan NAPZA

b. Penyusunan rencana pengawasan produk terapetik dan NAPZA

c. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan

prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan,

pemberian bimbingan teknis di bidang penilaian obat dan produk biologi.

d. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan

prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan,

pemberian bimbingan teknis di bidang standardisasi produk terapetik dan

PKRT

e. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan

prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan,

pemberian bimbingan teknis di bidang pengawasan produksi produk

terapetik dan PKRT.

f. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan

prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan,

pemberian bimbingan teknis di bidang pengawasan distribusi produk

terapetik dan PKRT.

g. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan

prosedur, pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan,

pemberian bimbingan teknis di bidang pengawasan narkotika, psikotropika,

Page 3: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

3

dan zat adiktif

h. Koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan di bidang

pengawasan produk terapetik dan NAPZA;

i. Evaluasi pelaksanaan kebijakan teknis pengawasan produk terapetik dan

NAPZA;

j. Pelaksanaan tugaslainyang ditetapkan oleh Kepala, sesuai bidang

tugasnya.

Tupoksi Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA ini juga

sangat penting dan strategis dalam kerangka mendorong tercapainya sasaran

strategis Badan POM dan mendukung pencapaian Agenda Prioritas Pembangunan

(Nawa Cita) yang telah dicanangkan oleh Presiden, khususnya pada butir 5:

Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, khususnya di sektor kesehatan;

pada butir 2: Membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif demokratis

dan terpercaya; pada butir 3: Membangun Indonesia dari pinggiran dengan

memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara kesatuan; pada butir

6: Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional; serta

pada butir 7: Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor

strategis ekonomi domestik. Oleh karena itu, perlu perkuatan Deputi Bidang

Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA, baik dari sisi kelembagaan maupun

kualitas sumber daya manusia, serta sarana pendukung lainnya seperti sistem

teknologi dan informasinya,dan lain

sebagainya, untuk mendukung tugas-tugasnya tersebut.

Negara Indonesia ini berbentuk kepulauan yang tentu saja terdapat banyak

pintu masuk produk obat ke wilayah Indonesia. Namun hal ini tidak menjadi

hambatan, bahkan justru menjadi tantangan tersendiri bagi Deputi Bidang

Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA untuk melakukan revitalisasi tehadap

kinerjanya dalam hal mengawasi Obat, baik produksi dalam negeri maupun impor

yang beredar di masyarakat.

Di sisi lain, tuntutan modernisasi suatu bangsa juga berpengaruh pada pola

hidup masyarakatnya. Dengan perkembangan modernisasi tersebut, menjaga pola

hidup sehat juga menjadi semakin sulit untuk dipenuhi oleh masyarakat dalam

pemenuhan kebutuhan hidupnya, terutama pemenuhan standar kesehatan.

B. Struktur Organisasi dan Sumber Daya Manusia

Stuktur Organisasi dan Tata Kerja Deputi Bidang Pengawasan Produk

Terapetik dan NAPZA disusun berdasarkan Keputusan Kepala BPOM Nomor

02001/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan

Pengawas Obat dan Makanan, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan

Kepala BPOM Nomor HK.00.05.21.4231 Tahun 2004. Khusus Organisasi dan Tata

Kerja Balai Besar/Balai POM disusun berdasarkan Keputusan Kepala BPOM Nomor

05018/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana

Teknis di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan sebagaimana telah

beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Kepala BPOM Nomor 14 Tahun

2014.

Sesuai dengan struktur organisasi yang ada pada gambar 1.1, unit-unit kerja

di lingkungan kedeputian Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Narkotika,

Page 4: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

4

Psikotropika dan Zat Adiktif terdiri dari:

1. Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi

2. Direktorat Standardisasi Produk Terapetik dan Perbekalan Kesehatan

Rumah Tangga

3. Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan Perbekalan

Kesehatan Rumah Tangga

4. Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan Perbekalan

Kesehatan Rumah Tangga

5. Direktorat Pengawasan NAPZA

Gambar 1.1.Struktur Organisasi

Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan

Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif

DIREKTORAT STANDARDISASI PRODUK

TERAPETIK DAN PKRT

SUBDIT STANDARDISASI DAN PENGATURAN PT DAN PKRT

SEKSI STANDARDISASI PT DAN PKRT

SEKSI PENGATURAN PT DAN PKRT

SUBDIT BIMBINGAN INDUSTRI FARMASI

SEKSI PENGEMBANGAN EKSPOR

SEKSI PENGEMBANGAN PRODUKSI

SUBDIT STANDARDISASI DAN PENILAIAN BA/BE OBAT

SEKSI STANDARDISASI BA/BE OBAT

SEKSI PENILAIAN BA/BE OBAT

SEKSI TATA OPERASIONAL

Page 5: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

5

DIREKTORAT PENILAIAN OBAT DAN PRODUK BIOLOGI

SUBDIT PENILAIAN OBAT BARU

SEKSI PENILAIAN OBAT BARU JALUR I DAN III

SEKSI PENILAIAN OBAT BARU JALUR III

SUBDIT PENILAIAN OBAT COPY .

SEKSI PENILAIAN OBAT COPY

SEKSI PENILAIAN PRODUK BIOLOGI

SUBDIT EVALUASI PRODUK TERAPETIK PENGGUNAAN

KHUSUS Dra. Farida Anwar, M.Si

SEKSI EVALUASI PRODUK DAN UJI KLINIK

.

SEKSI EVALUASI PRODUK TERAPETIK PENGGUNAAN

KHUSUS Dra. Noverita Pak Pak, Apt.

SEKSI TATA OPERASIONAL

SEKSI REEVALUASI OBAT

DIREKTORAT PENGAWASAN PRODUKSI PRODUK TERAPETIK

DAN PKRT

SUBDIT INSPEKSI DAN SERTIFIKASI PRODUKSI PT DAN

PKRT .

SEKSI INSPEKSI SARANA PRODUKSI PT DAN PKRT

SEKSI SERTIFIKASI SARANA PRODUKSI PT DAN PKRT

SUBDIT PENGAWASAN BAHAN BAKU OBAT DAN ANALISIS CPOB

SEKSI PENGAWASAN BAHAN BAKU OBAT

SEKSI ANALISIS PENERAPAN CPOB

SUBDIT HARGA OBAT DAN FARMAKOEKONOMI

SEKSI PEMANTAUAN DAN ANALISIS HARGA OBAT

SEKSI FARMAKOEKONOMI

SEKSI TATA OPERASIONAL

Page 6: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

6

DIREKTORAT PENGAWASAN DISTRIBUSI PRODUK TERAPETIK

DAN PKRT

SUBDIT INSPEKSI DAN SERTIFIKASI DISTRIBUSI PT DAN

PKRT

SEKSI INSPEKSI SARANA DISTRIBUSI PT DAN PKRT

SEKSI SERTIFIKASI SARANA DISTRIBUSI PT DAN PKRT

SUBDIT PENGAWASAN PROMOSI DAN PENENDAAN

PT DAN PKRT

SEKSI PENGAWASAN PROMOSI PT DAN PKRT

SEKSI PENGAWASAN PENENDAAN PT DAN PKRT

SUBDIT SURVEILAN DAN ANALISIS RISIKO PT DAN PKRT

SEKSI SURVEILAN PT DAN PKRT

SEKSI ANALISIS RISIKO PT DAN PKRT

SEKSI TATA OPERASIONAL

SEKSI PENANGGULANGAN PRODUK ILEGAL

DIREKTORAT PENGAWASAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA

DAN ZAT ADIKTIF

SUBDIT PENGAWASAN NARKOTIKA

SEKSI INSPEKSI NARKOTIKA

SEKSI PENGATURAN DAN SERTIFIKASI

NARKOTIKA

.

SUBDIT PENGAWASAN PSIKOTROPIKA

SUBDIT PENGAWASAN PREKURSOR

SEKSI INSPEKSI PREKURSOR

SEKSI PENGATURAN DAN SERTIFIKASI

PREKURSOR

.

SEKSI TATA OPERASIONAL

SUBDIT PENGAWASAN ROKOK

SEKSI PENGAWASAN PRODUKSI ROKOK

SEKSI PENGAWASAN IKLAN DAN PROMOSI

ROKOK

SEKSI INSPEKSI PSIKOTROPIKA

SEKSI PENGATURAN DAN SERTIFIKASI PSIKOTROPIKA

Page 7: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

7

Untuk mendukung tugas-tugas Deputi Bidang Pengawasan ProdukTerapetik

dan NAPZA sesuai dengan peran dan fungsinya diperlukan sejumlah SDM yang

memiliki keahlian dan kompetensi yang baik. Jumlah SDM yang dimiliki Deputi

Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA untuk melaksanakan tugas dan

fungsi pengawasan obat sampai tahun 2014 adalah sejumlah 220 orang. Adapun

jumlah pegawai Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA

dijelaskan pada tabel 1.1 di bawah ini:

Tabel 1.1

Profil pegawai Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA

berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2014

No Unit Kerja S3

S2

Ap

ote

ke

r

/ P

rofe

si

S1

NO

N

sa

rja

na

Ju

mla

h

1 Direktorat Penialaian Obat dan

Produk Biologi - 14 36 9 5 64

2 Direktorat Standardisasi PT dan

PKRT - 7 13 5 6 31

3 Direktorat Pengawasan Produksi PT

dan PKRT - 6 23 6 8 43

4 Direktorat Pengawasan Distribusi PT

dan PKRT - 8 19 10 9 44

5 Direktorat Pengawasan NAPZA - 6 20 2 8 36

TOTAL - 41 111 32 36 220

Dari Tabel 1.1 di atas dapat diketahui bahwa 16,36% pegawai Deputi Bidang

Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA adalah non sarjana. Dibawah ini

gambar1.2:grafik komposisi persentase SDM Deputi Bidang Pengawasan Produk

Terapetik dan NAPZA menurut pendidikan.

Gambar 1.2

Profil pegawai Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan

NAPZA berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2014

Page 8: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

8

Dari komposisi SDM Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan

NAPZA sampai dengan tahun 2014 sesuai dengan tabel 1.1 dan gambar 1.2 di

atas, dirasakan bahwa untuk menghadapi perubahan lingkungan strategis yang

semakin dinamis,khususnya perubahan lingkungan strategis eksternal, maka perlu

dilakukan peningkatan kuantitas maupun kualitas SDM Deputi Bidang Pengawasan

Produk Terapetik dan NAPZA, agar dapat mengantisipasi perubahan lingkungan

strategis tersebut sehingga bisa mewujudkan tujuan organisasi dalam lima tahun

kedepan.

Pada tahun 2015, Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA belum didukung dengan SDM yang memadai dan masih kekurangan SDM sejumlah 203 orang, dihitung berdasarkan analisis beban kerja, dari target yang ditetapkan. Berikut ini adalah profil kebutuhan pegawai berdasarkan analisa beban kerja.

*) Tahun 2015 s.d. 2019 asumsi tidak ada penambahan pegawai Gambar 1.3 Kebutuhan SDM Direktorat Standardisasi PT dan PKRT Tahun

2015-2019 Berdasarkan Analisa Beban Kerja

C. Hasil Capaian Kinerja Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik

dan NAPZA periode 2010-2014

Sesuai dengan peran dan kewenangannya, Deputi Bidang Pengawasan

Produk Terapetik dan NAPZA mempunyai tugas mengawasi peredaran di wilayah

Indonesia. Dalam rangka menjalankan tugas tersebut, maka terdapat beberapa

tujuan yang akan dicapai dalam Renstra Deputi Bidang Pengawasan Produk

Terapetik dan NAPZA 2010-2014, yaitu: 1) Mewujudkan standar, peraturan dan

regulasi; 2) Rekomendasi dalam rangka perizinan dan sertifikasi industri di bidang

farmasi berdasarkan cara-cara produksi yang baik; 3) Evaluasi produk sebelum

diizinkan beredar; 4) Post-marketing vigilance, pemeriksaan sarana produksi dan

distribusi; 5) Pre-reviu dan pasca-audit iklan dan promosi produk; 6) Riset terhadap

pelaksanaan kebijakan pengawasan Obat; 7) Komunikasi, informasi dan edukasi

publik termasuk peringatan publik.

Page 9: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

9

Adapun pencapaian keberhasilan pelaksanaan tugas dan kewenangan

Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA tersebut dapat dilihat

sesuai dengan pencapaian indikator kinerja utama sesuai sasaran strategis pada

tabel 1.2 di bawah ini.

Tabel 1.2 Capaian Kinerja Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik

dan NAPZA periode 2010-2014

NO Indikator Awal

Target (%) Realisasi (%) Rasio (%)

2010 2011 2012 2013 2014 2010 2011 2012 2013 2014 2010 2011 2012 2013 2014

1. Persentase

kenaikan

Obat yang

memenuhi

standar

94,22

ba

selin

e

0,1 0,2 0,3 0,4

ba

selin

e

4,79 5,21 5,19 6,00

Ba

se

line

4.790 2.605 1.729,82 1.500

Sebagaimana tabel 1.2 terkait pencapaian kinerja pada Renstra tahun 2010-

2014 tersebut di atas, kinerja Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan

NAPZA telah menunjukkan perbaikan yang semakin signifikan. Hal ini bisa dilihat dari

seluruh kinerja Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA sesuai

dengan tugas utamanya melakukan pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA.

Adapun penjelasan pencapaian masing-masing indikator tersebut adalah sebagai

berikut: Untuk indikator kinerja obat yang beredar telah memenuhi syarat tercapai

sebesar 99,43%, Berdasarkan hasil tersebut, pengawasan obat tetap menjadi

mainstreaming di Renstra 2015-2019. Dibawah ini pada gambar 2.2 dapat dilihat

secara grafik pencapaian kinerja Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan

NAPZA dari tahun 2010-2014.

Gambar 1.3 Perbandingan Pencapaian Tahun 2012 - 2014

Page 10: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

10

Berdasarkan capaian kinerja utama Deputi Bidang Pengawasan Produk

Terapetik dan NAPZA sesuai dengan tabel 1.2 dan gambar 2 di atas, terlihat bahwa

kinerja Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA telah

menunjukkan hasil yang baik sesuai dengan tugas dan kewenangannya. Terjadinya

penurunan proporsi obat memenuhi syarat pada tahun 2014 dibandingkan dengan

tahun 2013 karena adanya penajaman terhadap analisis resiko yang dilakukan

sehingga semakin banyak dapat menangkap resiko-resiko lain di peredaran.

Dengan adanya perubahan lingkungan strategis yang sangat dinamis diharapkan

peran Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA pada masa yang

akan datang dapat lebih ditingkatkan. Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik

dan NAPZA diharapkan terus menjaga kinerja yang telah dicapai saat ini sesuai

harapan masyarakat, yaitu agar pengawasan obat terus lebih dimaksimalkan untuk

melindungi kesehatan masyarakat.

I.2. POTENSI DAN PERMASALAHAN

Sejalan dengan dinamika lingkungan strategis, baik nasional maupun global,

permasalahan dan tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia semakin kompleks.

Arus besar globalisasi membawa keleluasaan informasi, fleksibilitas distribusi

barang dan jasa yang berdampak pada munculnya isu-isu yang berdimensi lintas

bidang. Percepatan arus informasi dan modal juga berdampak pada meningkatnya

pemanfaatan berbagai sumber daya alam yang memunculkan isu perubahan iklim

(climate change), ketegangan lintas-batas antar negara, serta percepatan

penyebaran wabah penyakit, mencerminkan rumitnya tantangan yang harus

dihadapi oleh Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA. Hal ini

menuntut peningkatan peran dan kapasitas instansi Deputi Bidang Pengawasan

Produk Terapetik dan NAPZA dalam mengawasi peredaran produk obat.

Konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan

serta kemampuan mengoptimalkan partisipasi masyarakat, akan menjamin

tercapainya penggunaan sumberdaya secara efisien, efektif, berkeadilan dan

berkelanjutan.

Secara garis besar, lingkungan strategis yang bersifat eksternal yang

dihadapi oleh Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA terdiri atas

2 (dua) isu mendasar, yaitu kesehatan dan globalisasi. Isu kesehatan yang akan

diulas disini adalah Sistem Kesehatan Nasional (SKN) dan Sistem Jaminan Sosial

Nasional (SJSN). Sedangkan terkait globalisasi, akan diulas tentang perdagangan

bebas, komitmen internasional, post MDGs 2015, perubahan iklim dan demografi.

Isu-isu tersebut saling terkait satu dengan yang lain. Adapun lingkungan strategis

yang mempengaruhi peran Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan

NAPZA baik internal maupun eskternal adalah sebagai berikut:

1.2.1. Sistem Kesehatan Nasional (SKN)

Sistem Kesehatan Nasional (SKN) merupakan wujud dan sekaligus metode

penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang memadukan berbagai upaya

bangsa Indonesia dalam satu derap langkah guna menjamin tercapainya tujuan

Page 11: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

11

pembangunan kesehatan.

Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat ditentukan oleh dukungan

sistem nilai dan budaya masyarakat yang secara bersama terhimpun dalam

berbagai sistem kemasyarakatan. SKN merupakan bagian dari sistem

kemasyarakatan yang dipergunakan sebagai acuan utama dalam mengembangkan

perilaku dan lingkungan sehat serta menuntut peran aktif masyarakat dalam

berbagai upaya kesehatan tersebut.

Upaya pelayanan kesehatan masyarakat diselenggarakan oleh semua pihak

(pemerintah, pemerintah daerah, swasta dan masyarakat) melalui peningkatan

kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan dan pemulihan kesehatan. Bentuk

pelayanan kesehatan tersebut berupa layanan Rumah Sakit, Puskesmas dan

kegiatan peran serta masyarakat melalui Posyandu.

Di sisi lain, menjamurnya sistem dan model serta klinik-klinik kesehatan

makin menambah beban dan daya jangkau Deputi Bidang Pengawasan Produk

Terapetik dan NAPZA untuk dapat melakukan pengawasan yang lebih

komprehensif.

Semakin banyak pelayanan kesehatan yang disediakan, maka akan

semakin mempengaruhi kebutuhan pelayanan pendukung kepada kesehatan

masyarakat tersebut, yang antara lain tentunya adalah kebutuhan akan obat

semakin meningkat. Penjaminan mutu obat merupakan bagian yang tidak

terpisahkan juga dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Hal ini

merupakan tantangan ke depan yang akan dihadapi oleh Deputi Bidang

Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA dalam penyediaan obat yang aman dan

bermutu.

Di samping itu juga munculnya bibit penyakit baru atau bibit penyakit yang dulu

pernah ada dan sudah langka kasusnya sekarang, namun kini berjangkit kembali.

Penyakit ini, baik menular maupun yang tidak menular sebagai akibat dari adanya

perubahan iklim secara global, fluktuasi ekonomi, model perdagangan bebas dan

kemajuan teknologi maupun transisi dari demografi, juga turut mengubah pola dan

gaya hidup dari masyarakat Indonesia dalam mengkonsumsi obat.

Untuk itu, permasalahan ini menjadi tantangan tersendiri bagi Deputi Bidang

Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA untuk dapat memberikan rasa aman bagi

masyarakat dalam mengkonsumsi obat yang beredar di pasaran. Dalam menciptakan

rasa aman bagi masyarakat, Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan

NAPZA selama ini melakukan kontrol dalam bentuk penilaian sebelum produk beredar

di pasar dan pengawasan secara ketat terhadap produk yang sudah beredar luas di

masyarakat. Selain itu, Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA

juga dapat memberikan informasi dan edukasi pada masyarakat mengenai produk obat

yang aman, bermutu, dan berkhasiat.

1.2.2. Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)

Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) merupakan salah satu bentuk

perlindungan sosial untuk menjamin agar setiap rakyat dapat memenuhi kebutuhan

dasar hidup yang minimal layak menuju terwujudnya kesejahteraan sosial yang

berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sistem ini merupakan program negara

dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui pendekatan sistem. Sistem

ini diharapkan dapat menanggulangi risiko ekonomi karena sakit, PHK, pensiun usia

Page 12: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

12

lanjut dan risiko lainnya dan merupakan cara (means), sekaligus tujuan (ends)

dalam mewujudkan kesejahteraan. Untuk itu, dalam Sistem Jaminan Sosial

Nasional juga diberlakukan penjaminan mutu obat yang merupakan bagian yang

tidak terpisahkan juga dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan.

Dalam SJSN, terdapat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang merupakan

bentuk komitmen pemerintah terhadap pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat

Indonesia seluruhnya. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diselenggarakan dengan

menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib

(mandatory) berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN

dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak

yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya

dibayar oleh Pemerintah melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

(BPJS).

Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 juga menetapkan, Jaminan Sosial

Nasional akan diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri atas BPJS Kesehatan dan

BPJS Ketenagakerjaan. Khusus untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan

diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang implementasinya dimulai 1 Januari

2014. Secara operasional, pelaksanaan JKN dituangkan dalam Peraturan

Pemerintah dan Peraturan Presiden, antara lain: Peraturan Pemerintah No.101

Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI); Peraturan Presiden No. 12

Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan; dan Peta Jalan JKN (Roadmap Jaminan

Kesehatan Nasional).

Implementasi JKN dapat membawa dampak secara langsung dan tidak

langsung terhadap pengawasan obat. Dampak langsung adalah meningkatnya

jumlah permohonan pendaftaran produk obat, baik dari dalam maupun luar negeri

karena perusahaan/industri obat akan berusaha menjadi supplier obat untuk

program pemerintah tersebut. Selain peningkatan jumlah obat yang akan

diregistrasi, jenis obat pun akan sangat bervariasi. Hal ini, disebabkan adanya

peningkatan demand terhadap obat sebagai salah satu produk yang dibutuhkan.

Sementara dampak tidak langsungnya diasumsikan adalah terjadinya peningkatan

konsumsi obat, baik jumlah maupun jenisnya. Selain itu diperkirakan permintaan

sertifikasi dan resertifikasi CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) juga akan

mengalami peningkatan secara signifikan. Dampak tersebut akan menuntut peran

Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA semakin besar, salah

satunya adalah intensifikasi pengawasan obat pasca beredar.

Dengan penerapan JKN, maka akan banyak industri farmasi yang harus

melakukan resertifikasi CPOB yang berlaku 5 (lima) tahun. Sampai dengan tahun

2014, industri farmasi yang melakukan sertifikasi CPOB baru sekitar 207 sarana.

Selain itu, dengan meningkatnya variasi obat sebagai implikasi penerapan JKN,

Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA juga dituntut harus lebih

intensif dalam melaksanakan:

sampling dan pengujian

Page 13: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

13

Menurut UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN menyatakan bahwa obat yang

dijamin dalam BPJS ditetapkan oleh pemerintah. Pengawasan post market

antara lain melalui kegiatan sampling dan pengujian yang bertujuan untuk

mengawasi mutu obat di peredaran dengan prioritas obat yang digunakan dalam

program pemerintah.

serta farmakovigilan, utamanya Monitoring Efek Samping Obat (MESO).

1.2.3. Agenda Sustainable Development Goals (SDGs)

Dengan akan berakhirnya agenda Millennium Development Goals (MDGs)

pada tahun 2015, banyak negara mengakui keberhasilan dari MDGs sebagai

pendorong tindakan-tindakan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan

pembangunan masyarakat. Khususnya dalam bentuk dukungan politik. Kelanjutan

program ini disebut Sustainable Development Goals (SDGs), yang meliputi 17

goals. Dalam bidang kesehatan, faktanya individu yang sehat akan memiliki

kemampuan fisik dan daya pikir yang lebih kuat, sehingga dapat berkontribusi

secara produktif dalam pembangunan masyarakatnya.

Terkait Goal 3.Ensure healthy lives and promote well-being for all at all ages,

salah satu kondisi yang harus tercipta adalah pencapaian JKN, termasuk di

dalamnya akses masyarakat terhadap obat dan vaksin yang aman, efektif, dan

bermutu. Asumsinya, jaminan kesehatan memastikan masyarakat mendapatkan

dan menggunakan hanya obat atau vaksin yang aman, efektif, dan bermutu untuk

upaya kesehatan preventif, promotif, maupun kuratif, sehingga kualitas hidup

masyarakat meningkat. Kontribusi untuk mencapai kondisi ini adalah ketersediaan

Obat yang aman, berkhasiat, dan bermutu di sarana pelayanan kesehatan. Hal ini

bisa tercapai hanya jika Industri Farmasi yang telah diintervensi (diawasi dan dibina

BPOM) mempraktekkan GMP dalam produksi Obat yang aman, berkhasiat, dan

bermutu dan PBF serta rantai distribusi obat menerapkan Good Distribution

Practices untuk mengawal mutu Obat JKN. Tantangan bagi BPOM ke depan adalah

intensifikasi pengawasan pre-market dan post-market, serta pembinaan pelaku

usaha agar secara mandiri menjamin mutu produknya.

1.2.4. Globalisasi, Perdagangan Bebas dan Komitmen Internasional

Globalisasi merupakan suatu perubahan interaksi manusia secara luas,

yang mencakup ekonomi, politik, sosial, budaya, teknologi dan lingkungan. Proses

ini dipicu dan dipercepat dengan berkembangnya teknologi, informasi dan

transportasi yang sangat cepat dan masif akhir-akhir ini dan berkonsekuensi pada

fungsi suatu negara dalam sistem pengelolaannya. Era globalisasi dapat menjadi

peluang sekaligus tantangan bagi pembangunan kesehatan, khususnya dalam

rangka mengurangi dampak yang merugikan, sehingga mengharuskan adanya

suatu antisipasi dengan kebijakan yang responsif.

Dampak dari pengaruh lingkungan eksternal khususnya globalisasi tersebut

telah mengakibatkan Indonesia masuk dalam perjanjian-perjanjian internasional,

khususnya ekonomi yang menghendaki adanya area perdagangan bebas (Free

Trade Area). Ini dimulai dari perjanjian ASEAN-6 (Brunei Darussalam, Indonesia,

Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand), Free Trade Area, ASEAN-China Free

Trade Area, ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP),

ASEAN-Korea Free Trade Agreement (AKFTA), ASEAN-India Free Trade

Page 14: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

14

Agreement (AIFTA) dan ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Agreement

(AANZFTA). Dalam hal ini, memungkinkan negara-negara tersebut membentuk

suatu kawasan bebas perdagangan yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing

ekonomi kawasan regional dan berpeluang besar menjadikan ASEAN sebagai basis

produksi dunia serta menciptakan pasar regional. Hal ini membuka peluang

peningkatan nilai ekonomi sektor barang dan jasa serta memungkinkan sejumlah

produk obat Indonesia akan lebih mudah memasuki pasaran domestik negara-

negara yang tergabung dalam perjanjian pasar regional tersebut. Dalam

menghadapi FTA dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akhir tahun 2015,

diharapkan industri farmasi, obat tradisional, kosmetika, suplemen kesehatan dan

makanan dalam negeri mampu untuk menjaga daya saing terhadap produk luar

negeri.

Dalam kaitan dengan globalisasi dan perjanjian-perjanjian internasional

khususnya di sektor ekonomi tersebut, harusnya yang menjadi dasar pijakan dan

harus ditekankan dari awal adalah soal kedaulatan bangsa, negara dan rakyat kita

dalam menghadapi persaingan dengan perusahaan-perusahaan trans-nasional dan

negara-negara lain tersebut. Dan ini sangat sejalan dengan 9 (sembilan) agenda

prioritas pembangunan (Nawa Cita), khususnya pada butir 1: Menghadirkan kembali

negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada

seluruh warga negara (dengan memperkuat peran dalam kerjasama global dan

regional), juga pada butir 6: Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di

pasar internasional, serta pada butir 7: Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan

menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

Dengan masuknya produk perdagangan bebas tersebut yang antara lain

adalah obat, kosmetik,suplemen kesehatan, dan makanan, termasuk jamu dari

negara lain, merupakan persoalan krusial yang perlu segera diantisipasi. Realitas

menunjukkan bahwa saat ini Indonesia telah menjadi pasar bagi produk obatdari

luar negeri yang belum tentu terjamin keamanan dan mutunya untuk

dikonsumsi.Untuk itu, masyarakat membutuhkan proteksi yang kuat dan rasa aman

dalam mengkonsumsi obat tersebut.

Perdagangan bebas juga membawa dampak tidak hanya terkait isu-isu

ekonomi saja, namun juga merambah pada isu-isu kesehatan. Terkait isu

kesehatan, masalah yang akan muncul adalah menurunnya derajat kesehatan yang

dipicu oleh perubahan gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat tanpa diimbangi

dengan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan kesehatan. Permasalahan

ini akan semakin kompleks dengan sulitnya pemerintah dalam membuka akses

kesehatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat, khususnya untuk masyarakat

yang berada di pelosok desa dan perbatasan. Sebagai contoh, saat ini akses

masyarakat untuk mendapatkan obat legal dari apotek masih terbatas sehingga

menyebabkan harga obat menjadi lebih mahal. Secara nasional, jumlah apotek

yang ada masih kurang, belum semua kecamatan terjangkau dengan layanan

apotek.

Perdagangan bebas membuat kepekaan “berbisnis” menjadi sangat tinggi.

Kebutuhan obat yang tinggi dengan ketersediaan yang rendah ditambah lemahnya

pengawasan dan penegakan hukum membuat masih ditemukan obat yang tidak

memenuhi ijin edar dan mengandung bahan baku yang berbahaya. Hal ini jelas

akan sangat merugikan masyarakat. Berdasarkan data WHO (World Health

Page 15: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

15

Organization), praktik pemalsuan produk obat di dunia rata-rata mencapai 10%, dan

mencapai 20-40% untuk negara berkembang termasuk Indonesia.Tentunya hal ini

menjadi tantangan bagi Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA

pada khususnya dan BPOM pada umumnya.

Menurut data BPOMtahun 2014, jumlah perusahaan farmasi di Indonesia

mencapai 207 perusahaan, sebanyak 39 diantaranya merupakan perusahaan

multinasional. Rata-rata penjualan obat di tingkat nasional selalu tumbuh 12-13%

setiap tahun dan lebih dari 70% total pasar obat di Indonesia merupakan

perusahaan nasional. Namun, ketergantungan impor bahan baku obat masih sangat

tinggi, bahkan 95-96% diimpor dari China, India dan Eropa.

Produksi domestik untuk bahan baku obat juga masih sangat kecil.

Meskipun Indonesia mampu memproduksinya, sampai saat ini kebanyakan masih

belum dapat bersaing dengan produk impor. Jumlah industri farmasi nasional cukup

besar dengan kapasitas produksi sebesar 3% dari kapasitas total dunia. Namun,

disisi lain, pasar farmasi Indonesia relatif kecil yaitu sekitar 0,2% dari total pasar

dunia (Kardono, 2004). Apabila terjadi kenaikan drastis harga obat yang berakibat

menurunnya daya beli masyarakat, hal ini akan membuat masyarakat lebih sulit

untuk mendapatkan obat, yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat kesehatan

masyarakat baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

1.2.5. Perubahan Iklim

Menurut Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan Research Center for

Climate Change Universitas Indonesia (RCCC-UI) tahun 2013,yang melaksanakan

kajian dan pemetaan model kerentanan penyakit infeksi akibat perubahan iklim,

Indonesia merupakan wilayah endemik untuk beberapa penyakit yang

perkembangannya terkait dengan pertumbuhan vektor pada lingkungan, misalnya

Demam Berdarah Dengue dan Malaria. Jadi di Indonesia, terdapat tiga penyakit

yang perlu mendapat perhatian khusus terkait perubahan iklim dan perkembangan

vector yaitu Malaria, Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Diare. Selain dari ketiga

jenis penyakit tersebut, masih ada lagi penyakit yang banyak ditemukan akibat

adanya perubahan iklim seperti, Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA) dan penyakit

batu ginjal.

Dengan adanya potensi permasalahan serta peluang dari proses perubahan

iklim, diperlukan peranan dari BPOM dalam mengawasi peredaran varian produk

obat yang baru dari jenis penyakit tersebut, baik yang diproduksi di dalam negeri,

maupun yang berasal dari luar negeri. Kondisi ini menuntut kerja keras dari BPOM

melakukan pengawasan terhadap perkembangan produksi dan peredaran obat

tersebut.

1.2.6. Perubahan Ekonomi dan Sosial Masyarakat

Kemajuan dari ekonomi Indonesia dapat dilihat dari indikator makro-

ekonomi, yakni pendapatan perkapita sebesar USD 3000 tahun 2010 dan

diproyeksikan pada tahun 2025 mencapai USD 14.250–15.500 (Bappenas; 2012)

dan telah menjadi 10 (sepuluh) besar negara yang mendominasi kekuatan ekonomi

dunia. Indikator ini menunjukan besarnya daya beli yang ada pada masyarakat

Indonesia. Secara teori dan fakta, bahwa semakin tinggi pendapatan maka semakin

besar pula konsumsi masyarakat terhadap obat yang memiliki standar dan

Page 16: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

16

kualitas.Untuk itu, dengan banyaknya konsumsi obat yang dilakukan

masyarakat,maka perlu mendapatkan perhatian dan pengawasan yang serius dari

BPOM.

1.2.7. Demografi dan Perubahan Komposisi Penduduk

Rata-rata laju pertumbuhan penduduk Indonesia menurut sensus penduduk

tahun 2010, dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir sebesar 32,5 juta jiwa (sebesar

1,49% pertahun). Dengan laju pertumbuhan sebesar itu, diperkirakan jumlah

penduduk Indonesia pada tahun 2035 akan mencapai 450 juta jiwa. Dari gambar

5.1 di bawah ini,dapat dilihat bahwa jumlah populasi terbesar berada pada

kelompok umur remaja 15-19 tahun, namun menunjukan tren penurunan.

Sementara usia produktif antara 30-54 tahun justru menunjukan tren meningkat dari

waktu ke waktu. Sedangkan usia 55-64 tahun dan usia di atas 65 tahun menunjukan

tren yang meningkat tetapi dengan jumlah yang berbeda. Semakin meningkat usia

harapan hidup, artinya tingkat kesehatan masyarakat juga semakin meningkat.

Gambar 1.4

Perkembangan Jumlah Penduduk Indonesia Berdasarkan Kelompok Umur

Tahun 2009-2013

Sumber: BPS Proyeksi Penduduk Indonesia Tahun 2000-2013

Indonesia sebagai negara ke-4 dengan populasi lanjut usia tertinggi, yakni

9,079 juta tahun 2010 dan akan naik pada tahun 2020 menjadi 29,047 juta (BPS

Proyeksi Penduduk Indonesia tahun 2010). Maka perubahan pola beban penyakit

untuk kaum lansia dengan beban yang lebih kronik dan membutuhkan layanan

kesehatan pada jangka panjang yang lebih berkualitas. Secara umum, bahwa

transisi demografi juga akan menimbulkan efek pada transisi kesehatan di

masyarakat, sehingga terjadi peningkatan dalam penggunaan layanan kesehatan

baik secara personal, korporat maupun masyarakat luas. Efek ini akan dapat

mempengaruhi besarnya beban fasilitas kesehatan dan sistem jaminan kesehatan

masyarakat Indonesia, dan sekaligus akan menambah beban kerja dari Deputi

Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA sebagai pengawas di bidang

obat.

Page 17: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

17

Berdasarkan pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa semakin

bertambahnya jumlah penduduk Indonesia, maka permintaan terhadap produk obat

juga akan semakin meningkat. Jika permintaan terhadap produk obat semakin

meningkat maka penawaran dari produk obat juga akan meningkat. Adanya potensi

pasar membuat para produsen baik lokal maupun internasional memproduksi obat.

Bertambahnya jumlah produsen ini tentunya menuntut semakin besarnya peran

BPOM dalam proses penilaian dan pengawasannya. Kurangnya pemenuhan GMP

(Good Manufacturing Practice) oleh produsen dalam memproduksi obat menjadi

tantangan Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA dalam

melakukan pengawasan.

Peningkatan jumlah penduduk jika ditata dengan baik akan menjadi potensi

berupa sumber daya manusia bagi pembangunan ekonomi (yaitu dengan adanya

bonus demografi). Kondisi ini menjadi tantangan dan peluang bagi pemerintah untuk

dapat memanfaatkan fase Bonus Demografi di Indonesia untuk menciptakan

aktivitas ekonomi yang sangat besar dan mampu memberikan kontribusi yang besar

juga dalam APBN.

Berdasarkan peta demografi, penduduk Indonesia dalam usia produktif telah

mencapai 80%. Penduduk ini telah memiliki daya beli lebih tinggi ditambah dengan

kenaikan jumlah penduduk kelas menengah (middle class) yang terjadi pada tahun

2040. Laporan Mc Kinsey (2012) menunjukkan bahwa kelompok middle class atau

consuming class Indonesia naik dari waktu ke waktu, yakni tahun 2010 hanya 45

juta orang, maka proyeksi tahun 2020 naik menjadi 85 juta orang dan pada tahun

2030 sudah mencapai 135 juta orang. Kelompok ini akan banyak mempengaruhi

pola konsumsi obatserta gaya hidup masyarakat Indonesia.

Syarat agar Bonus Demografi dapat dimanfaatkan dengan baik adalah

dengan mempersiapkannya dari mulai perencanaan sampai dengan

implementasinya di tingkat lapangan. Persiapan ini antara lain melalui: a)

Peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat termasuk jaminan mutu obat; b)

Peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan; c) Pengendalian jumlah penduduk;

d) Kebijakan ekonomi yang mendukung fleksibilitas tenaga kerja danpasar, serta

keterbukaan perdagangan dan tabungan nasional.

Di samping menyiapkan pemanfaatan Bonus Demografi, juga sudah harus

mulai dipikirkan permasalahan-permasalahan yang timbul pasca berakhirnya masa

Bonus Demografi,dimana jumlah lansia meningkat.

1.2.8. Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Desentralisasi bidang kesehatan dan komitmen pemerintah belum dapat

berjalan sesuai yang diharapkan. Kerjasama lintas sektor dan dukungan peraturan

perundangan merupakan tantangan yang sangat penting dalam mensinergikan

kebijakan kesehatan khususnya dalam pengawasan obat. Desentralisasi di bidang

kesehatan belum dapat berjalan sesuai yang diharapkan sehingga belum secara

optimal memberikan perlindungan bagi masyarakat.

Dengan perubahan paradigma sistem penyelenggaraan pemerintah yang

semula sentralisasi menjadi desentralisasi atau otonomi daerah, maka urusan

kesehatan menjadi salah satu kewenangan yang diselenggarakan secara konkuren

antara pusat dan daerah. Desentralisasi di bidang kesehatan belum berjalan sesuai

dengan yang diharapkan.Untuk itu kerjasama lintas sektor dan dukungan peraturan

Page 18: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

18

perundang-undangan merupakan tantangan yang sangat penting.Hal ini berdampak

pada pengawasan obat yang tetap bersifat sentralistik dan tidak mengenal batas

wilayah (borderless) sehingga perlu adanya one line command (satu komando),

apabila terdapat suatu produk Obat yang tidak memenuhi syarat maka dapat

segera ditindaklanjuti.

Untuk itu, agar tugas pokok dan fungsi Deputi Bidang Pengawasan Produk

Terapetik dan NAPZA berjalan dengan baik, diperlukan komitmen yang tinggi,

dukungan dan kerjasama yang baik dari para pelaku untuk menghasilkan tata

penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang baik (sound governance).

Pembangunan kesehatan harus diselenggarakan dengan menggalang kemitraan

yang dinamis dan harmonis antara pemerintah pusat dan daerah, antara pemerintah

dan masyarakat, termasuk swasta dengan mendayagunakan potensi yang dimiliki

masing-masing. Dengan berlakunya Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintah Daerah, merupakan tantangan bagi BPOM untuk menyiapkan Norma,

Standar, Pedoman dan Kriteria bagi Pemerintah Daerah dalam melaksanakan

kegiatan terkait obat yang dilimpahkan ke daerah.

1.2.9. Perkembangan Teknologi

Pasar sediaan farmasi masih didominasi oleh produksi domestik, namun

penyediaan bahan baku obat yang diperoleh dari impor mencapai 96% dari

kebutuhan. Dengan kemajuan teknologi dan besarnya kebutuhan produk obat,

Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA dapat mendorong

industri farmasi untuk mengoptimalkan penggunaan bahan baku obat dalam negeri.

Selain teknologi produksi juga didukung dengan teknologi transportasi.

Perkembangan industri transportasi baik darat, laut dan udara maupun jasa

pengiriman barang mengalami perkembangan yang cukup pesat. Sehingga

distribusi obat secara masal dapat dilakukan lebih efisien. Untuk itu, dampak

pengawasan atas peredaran obat semakin tinggi, dikarenakan distribusi obat

ketempat tujuan di seluruh wilayah Indonesia semakin cepat, sehingga antipasi

pengawasan obat juga harus sama cepatnya. Hal ini harus menjadi perhatian dan

antisipasi Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA dalam

menghadapi hal tersebut.

1.2.10. Jejaring kerja

Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA menyadari dalam

pengawasan obat tidak dapat menjadi single player. Untuk itu kedeputian I

mengembangkan kerjasama dengan lembaga-lembaga, baik di pusat, daerah,

maupun internasional. Jaringan yang luas ini sangat strategis posisinya dalam

mendukung tugas-tugas Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA

maupun pemangku kepentingan. Beberapa jejaring kerja yang sudah dimiliki

kedeputian I di tingkat regional maupun internasional BPOM memiliki jejaring kerja

dengan World Health Organization (WHO), Forum Kerjasama Asia Pasifik dalam

harmonisasi regulasi bidang obat (RHSC), Pharmaceutical Inspection Convention

and Pharmaceutical Inspection Co-operation Scheme (PIC/S).

Page 19: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

19

1.2.11. Komitmen dalam Pelaksanaan Reformasi Birokrasi

Untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, Deputi Bidang

Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA sebagai salah satu satuan kerja di

lingkungan BPOM, melaksanakan reformasi birokrasi (RB) sesuai PP Nomor 81

Tahun 2010 tentang Grand Design RB 2010-2025. Upaya atau proses RB yang

dilakukan Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA berkontribusi

dalam pencapaian sasaran sebagai hasil yang diharapkan dari pelaksanaan RB di

BPOM. Pola pikir pelaksanaan RB sebagaimana Gambar 1.10 di bawah ini:

P

OL

A P

IKIR

DA

N B

UD

AY

A K

ER

JA

PE

LA

YA

NA

N P

UB

LIK

ME

NIN

GK

AT

NY

A K

AP

AS

ITA

S

DA

N A

KU

NTA

BIL

ITA

S

KIN

ER

JA

BIR

OK

RA

SI

TERWUJUDNYA

PEMERINTAHAN

YANG BERSIH

DAN BEBAS

KORUPSI,

KOLUSI, DAN

NEPOTISME

PENGUNGKIT HASIL

INOVASI & PEMBELAJARAN

PENGAWASAN INTERNAL

PENATAAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN

AKUNTABILITAS KINERJA

MENINGKAT-

NYA

KUALITAS

PELAYANAN

PUBLIK

ORGANISASI

SDMTATA

LAKSANA

Gambar 1.5 Pola Pikir Pelaksanaan RB

Hasil analisa lingkungan strategis baik eksternal maupun internal dirangkum

dalam tabel 1.2 berikut :

Tabel 1.3 Rangkuman Analisis SWOT

KEKUATAN KELEMAHAN

Kompetensi ASN Deputi I yang memadai dalam mendukung pelaksanaan tugas

Jumlah ASN Deputi I yang belum memadai dibandingkan dengan beban kerja

Integritas Pelayanan Publik diakui secara Nasional

Beberapa regulasi dan standar belum lengkap

Networking yang kuat dengan lembaga-lembaga pusat/daerah/internasional

Terbatasnya sarana dan prasarana baik pendukung maupun utama

Pedoman Pengawasan yang jelas Masih kurangnya dukungan IT

Komitmen Pimpinan dan seluruh ASN Deputi I menerapkan Reformasi Birokrasi

Akuntabilitas yang cukup baik

Belum optimalnya struktur organisasi

Adanya informasi dan edukasi pada masyarakat yang programatik

Tugas, fungsi dan kewenangan yang jelas dalam peraturan perundang-undangan

Sistem pengawasan yang komprehensif mencakup pre-market dan post market

Page 20: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

20

PELUANG TANTANGAN

Adanya Program Nasional (JKN dan SKN)

Perubahan iklim dunia

Perkembangan Teknologi Informasi sebagai sarana KIE yang sangat cepat

Penjualan obat ilegal secara online

Jumlah industri obat yang berkembang pesat

Demografi dan Perubahan Komposisi Penduduk

Terjalinnya kerjasama dengan instansi terkait

Perubahan pola hidup masyarakat (sosial dan ekonomi)

Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Dukungan Pemda dalam pengawasan Obat

Globalisasi, Perdagangan Bebas dan Komitmen Internasional

Agenda Sustainable Development Goals (SDGs)

Munculnya (kembali) berbagai penyakit baru

Pertumbuhan signifikan penjualan obat di tingkat nasional

Meningkatnya jumlah permohonan pendaftaran produk obat

Pasar pengobatan tradisional makin besar

Obat sangat bervariasi

Nilai impor obat tinggi Peningkatan konsumsi obat (jumlah dan jenisnya)

Besarnya pendapatan perkapita Resertifikasi CPOB Sulitnya pemerintah dalam membuka

akses kesehatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat

Masih banyaknya jumlah pelanggaran di bidang obat

Lemahnya penegakan hukum Ketergantungan impor bahan baku obat

sangat tinggi

Berdasarkan hasil Analisa SWOT tersebut di atas, maka Deputi Bidang

Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA perlu melakukan penguatan organisasi

dan kelembagaan, agar faktor-faktor lingkungan strategis yang mempengaruhi baik

dari internal maupun eskternal tidak akan menghambat pencapaian tujuan dan

sasaran organisasi BPOM periode 2015-2019. Dilihat dari keseimbangan pengaruh

lingkungan internal antara kekuatan dan kelemahan serta pengaruh lingkungan

eskternal antara peluang dan ancaman, posisi organisasi Deputi Bidang

Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA harusnya melakukan pengembangan

dan perluasan organisasi agar dapat mewujudkan visi, misi dan tujuan organisasi

Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA periode 2015-2019.

Selama periode 2010-2014, pelaksanaan peran dan fungsi Deputi Bidang

Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA tersebut di atas telah diupayakan

secara optimal sesuai dengan target hasil pencapaian kinerjanya. Namun demikian,

upaya tersebut masih menyisakan permasalahan yang belum sepenuhnya sesuai

dengan harapan masyarakat, antara lain:(1) pengawasan obat sebelum beredar

(pre-market) belum optimal (2) pengawasan obat beredar di masyarakat (post-

market) belum optimal dan (3) pemberdayaan masyarakat melalui Komunikasi

Informasi dan Edukasi dalam rangka meningkatkan efektivitas pengawasan obat

yang belum efektif. Dari permasalahan-permasalahan tersebut di atas terdapat

Page 21: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

21

beberapa penyebab yang dianggap sangat krusial dan strategis bagi peran Deputi

Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA dalam melakukan pembenahan

di masa mendatang, sehingga diharapkan pencapaian kinerja berikutnya akan lebih

optimal. Di bawah ini pada gambar 1.4 terdapat diagram yang menunjukkan analisa

permasalahan pokok dan isu-isu strategis sesuai dengan tupoksi dan kewenangan

Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA sebagai berikut:

Gambar 1.6 Diagram permasalahan dan isu strategis, kondisi saat ini dan

dampaknya

Berdasarkan kondisi obyektif yang dipaparkan di atas, kapasitas Deputi

Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA sebagai lembaga pengawasan

obat masih perlu terus dilakukan penguatan, baik secara kelembagaan maupun dari

sisi manajemen sumber daya manusianya, agar pencapaian kinerja di masa datang

semakin membaik dan dapat memastikan berjalannya proses pengawasan obat

yang lebih ketat dalam menjaga keamanan, mutu serta khasiat/manfaat obat

tersebut, yang pada akhirnya diharapkan dapat memberikan kontribusi yang

maksimal bagi pembangunan kesehatan masyarakat.

Untuk itu, ada 3 (tiga) isu strategis dari permasalahan pokok yang dihadapi

Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA sesuai dengan peran dan

kewenangannya agar lebih optimal, yang perlu terus diperkuat dalam peningkatan

kinerja di masa yang akan datang sebagai berikut:

1. Penguatan sistem dalam pengawasan obat,

2. Peningkatan pembinaan dan bimbingan melalui Kerjasama, Komunikasi,

Informasi dan Edukasi Publik dalam rangka mendorong kemandirian pelaku

usaha dalam memberikan jaminan keamanan obat serta mendorong

peningkatan kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan,

3. Penguatan kapasitas kelembagaan Deputi Bidang Pengawasan Produk

Terapetik dan NAPZA, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas

pengelolaan sumber daya.

Untuk memperkuat peran dan kewenangan tersebut secara efektif, Deputi

Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA perlu terus melakukan

perbaikan dan pengembangan secara kelembagaan serta penguatan regulasi,

PENGAWASAN OBAT BELUM OPTIMAL

Sistem pengawasan obat belum optimal

Pembinaan dan bimbingan melalui kerjasama Komunikasi, Informasi dan

Edukasi Publik dalam rangka mendorong kemandirian pelaku usaha dalam

memberikan jaminan keamanan obat serta mendorong peningkatan kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan

belum efektif

Kapasitas kelembagaan Deputi I masih terbatas efektivitas pengelolaan

sumber daya perlu peningkatan

Page 22: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

22

khususnya peraturan perundang-undangan yang menyangkut peran dan tugas

pokok dan fungsinya. Di samping itu, kondisi lingkungan strategis dengan dinamika

perubahan yang sangat cepat, menuntut Deputi Bidang Pengawasan Produk

Terapetik dan NAPZA dapat melakukan evaluasi dan mampu beradaptasi dalam

pelaksanaan peran-perannya secara tepat dan sesuai dengan kebutuhan zaman.

Dengan etos tersebut, diharapkan mampu menjadi katalisator dalam proses

pencapaian tujuan pembangunan kesehatan nasional.

Untuk itu, dalam melaksanakan peran dan kewenangan yang optimal sesuai

dengan peran dan kewenangan BPOM sebagai lembaga yang mengawasi obat,

maka diusulkan penguatan peran dan kewenangan Deputi Bidang Pengawasan

Produk Terapetik dan NAPZA sesuai dengan bisnis proses BPOM untuk periode

2015-2019 sebagaimana pada Tabel 7.1 di bawah ini.

Gambar 1.7 Peran dan Kewenangan Deputi Bidang Pengawasan Produk

Terapetik dan NAPZA sesuai dengan Bisnis Proses

Gambar 1.8

Penjabaran Bisnis Proses Utama kepada Kegiatan Utama Deputi Bidang

Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA

Bisnis Proses Deputi I

Dalam melaksanakan Pengawasan Obat

Standardisasi kebijakan teknis pengawasan obat

SISTEM PENGAWASAN OBAT (REGULATORY SISTEM) KEMANDIRIAN STAKEHOLDEERS

Pengawasan Obat (Pre Market dan Post

Market)

Pembinaan dan Bimbingan kepada

stakeholders

Kegiatan Utama Berdasarkan Bisnis Proses Deputi I

Standardisasi kebijakan teknis pengawasan obat

SISTEM (STANDARDISASI) PENGAWASAN (REGULATORY) KEMANDIRIAN STAKEHOLDEERS

Pre Market Pembinaan dan Bimbingan kepada

stakeholders

Post Market

Penyusunan Kebijakan Teknis Pengawasan Obat

(NSPK)

Pengawasan (penilaian) Obat sesuai Standar

Pengawasan Sarana Produksi dan

Distribusi Sesuai Standar

Pengawasan NAPZA Sesuai Standar

Menentukan peta zona rawan peredaran obat yg tidak sesuai dengan

standar

1 2 3

4

52

Penyebaran informasi bahaya obat yang tidak

memenuhi standar

6

Page 23: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

23

Tabel 1.4 Penguatan Peran Deputi Bidang Pengawasan Produk

Terapetik dan NAPZA Tahun 2015-2019

• Penyusunan Kebijakan Teknis Pengawasan Obat • Pengawasan (penilaian) obat sesuai standar • Pengawasan sarana produksi obat sesuai standar • Pengawasan sarana distribusi obat sesuai standar

Penguatan Sistem

Pengawasan Obat

• Menentukan peta zona rawan peredaran obat yang tidak sesuai dengan standar

• Penyebaran informasi bahaya obat yang tidak memenuhi standar

Kerjasama, Komunikasi,

Informasi dan Edukasi Publik

Page 24: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

24

BAB II

VISI, MISI DAN TUJUAN BPOM

Berdasarkan kondisi umum, potensi, permasalahan dan tantangan yang

dihadapi ke depan sebagaimana telah dijelaskan pada Bab I, maka Deputi Bidang

Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA sebagai unit Eselon I BPOM sesuai

dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai unit eselon I di bidang Pengawasan

Obat dituntut untuk dapat menjamin keamanan, khasiat dan mutu obat sesuai

standar yang telah ditetapkan.

Gambar 2.1 Peta Strategis BPOM Periode2015-2019

II.1. VISI

Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA harus

memberikan kontribusi yang signifikan bagi keberhasilan visi misi BPOM, melalui

penyusunan rencana strategis 2015-2019 dan RKP Tahunan yang berkualitas serta

optimalisasi pengendalian dan monitoring evaluasi atas pelaksanaan pengawasan

Obat secara efektif dan efisien serta pelaksanaan tugas pokok dantugas lainnya.

Kualitas pengawasan Obat dilihat dari: 1) Kualitas kebijakan dalam

penetapan Norma, Standar, Prosedurdan Kriteria terhadap Obat;2) Kualitas

pengawasan Obat, serta 3) Kerjasama dan Komunikasi Publik dalam mendorong

peran serta masyarakat dalam memanfaatkan produk-produk Obat dan Makanan

sesuai standar. Apabila keseluruhan hal tersebut dapat terpenuhi, maka berarti

Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA telah mampu berperan

dalam mendukung pencapaian, target, sasaran, misi dan visi BPOM yang selaras

dengan RPJMN 2015-2019.

Page 25: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

25

Untuk mendukung pencapaian visi dan misi BPOM, maka Deputi Bidang

Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA sesuai dengan tugas dan

kewenangannya sebagai unit eselon I yang bertanggung jawab dalam pengawasan

obat mempunyai Visi yang mengacu pada Visi BPOM 2015-2019 adalah sebagai

berikut:

”Obat dan Makanan Aman Meningkatkan Kesehatan Masyarakat dan

Daya Saing Bangsa”

Penjelasan Visi:

Proses penjaminan pengawasan Obat dan Makanan harus melibatkan

masyarakat dan pemangku kepentingan serta dilaksanakan secara akuntabel serta

diarahkan untuk menyelesaikan permasalahan kesehatan yang lebih baik. Sejalan

dengan itu, maka pengertian kata Aman dan Daya Saing adalah sebagai berikut:

Aman : Kemungkinan risiko yang timbul pada penggunaan Obat dan

Makanan telah melalui analisa dan kajian, sehingga risiko yang

mungkin masih timbul adalah seminimal mungkin/ dapat

ditoleransi/tidak membahayakan saat digunakan pada manusia.

Dapat juga diartikan bahwa khasiat/manfaat Obat dan Makanan

meyakinkan, keamanan memadai, dan mutunya terjamin.

.

Daya Saing : Kemampuan menghasilkan produk barang dan jasa yang telah

memenuhi standar, baik standar nasional maupun

internasional, sehingga adanya kesiapan suatu produk bangsa

untuk interaksi daya saing di masa depan. Agar menjadi

kompetitif, dalam arti ini adalah memiliki peluang untuk menang

bagi sejumlah pemain industri yang menghadapi biaya tinggi.

II.2. MISI

Untuk mewujudkan visi tersebut di atas, diperlukan tindakan nyata sesuai

dengan penguatan peran Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA

sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Bab I terhadap peran Deputi Bidang

Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA. Adapun misi yang akan dilaksanakan

sesuai dengan peran-peran tersebut tetap mengacu pada misi BPOM tersebut

untuk periode 2015-2019, adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan sistem pengawasan Obat dan Makanan berbasis risiko

untuk melindungi masyarakat

Pengawasan Obat merupakan satu-kesatuan fungsi (full spectrum)

standardisasi, penilaian produk sebelum beredar, pemeriksaan sarana produksi

dan distribusi, sampling dan pengujian produk serta penegakan hukum.

Menyadari kompleksnya tugas yang diemban Deputi Bidang Pengawasan

Produk Terapetik dan NAPZA dalam melindungi masyarakat dari produk yang

tidak aman dengan tujuan akhir adalah masyarakat sehat, serta berdaya saing,

maka perlu disusun suatu sasaran strategis khusus yang mampu

mengawalnya. Di satu sisi tantangan dalam pengawasan Obat dan Makanan

semakin tinggi, sementara sumber daya yang dimiliki terbatas, maka perlu

Page 26: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

26

adanya prioritas dalam penyelenggaraan tugas. Untuk itu pengawasan Obat

dan Makanan seharusnya didesain berdasarkan analisis risiko, hal ini untuk

mengoptimalkan seluruh sumber daya yang dimiliki secara proporsional untuk

mencapai tujuan sasaran strategis ini.

2. Mendorong kemandirian pelaku usaha dalam memberikan jaminan

keamanan Obat dan Makanan serta memperkuat kemitraan dengan

pemangku kepentingan.

Sebagai salah satu pilar Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SISPOM),

yaitu pelaku usaha mempunyai peran yang sangat strategis dalam menjamin

produk Obat dan Makanan aman. Pelaku usaha merupakan pemangku

kepentingan yang mampu memberikan jaminan produk yang memenuhi standar

dengan memenuhi ketentuan yang berlaku terkait dengan produksi dan

distribusi Obat dan Makanan.

Sebagai lembaga pengawas, BPOM harus bersikap konsisten terhadap pelaku

usaha, yaitu dengan melaksanakan proses pemeriksaan serta pembinaan

dengan baik. BPOM harus mampu membina dan mendorong pelaku usaha

untuk dapat memberikan produk yang aman, bermanfaat/berkhasiat, dan

bermutu. Dengan pembinaan secara berkelanjutan, ke depan diharapkan

pelaku usaha mempunyai kemandirian dalam memberikan jaminan keamanan

Obat dan Makanan.

Era perdagangan bebas telah dihadapi oleh seluruh negara di dunia, termasuk

Indonesia. Sementara itu, kontribusi industri Obat dan Makanan terhadap

Pendapatan Nasional Bruto (PDB) cukup siginifikan. Industri makanan,

minuman, dan tembakau memiliki kontibusi PDB non migas di tahun 2012

sebesar 36,33 persen, sementara Industri Kimia dan Farmasi sebesar 12,59

persen (sumber: Laporan Kemenperin 2004-2012). Perkembangan industri

makanan, minuman, dan farmasi (obat) dari tahun 2004 sampai dengan 2012

juga mempunyai tren yang meningkat. Hal ini tentunya merupakan suatu

potensi yang luar biasa untuk industri tersebut berkembang lebih pesat.

Kaitannya dengan perdagangan bebas, industri dalam negeri tidak hanya

bersaing di pasar dalam negeri, namun juga pasar di luar negeri. Sebagai

contoh, masih besarnya impor terhadap obat serta besarnya pangsa pasar

dalam negeri dan luar negeri menjadi tantangan industri obat untuk dapat

berkembang. Demikian halnya dengan industri makanan, di mana pasar dalam

negeri dengan besarnya jumlah penduduk Indonesia sangat potensial. Industri

kosmetik, obat tradisional, dan suplemen kesehatanpun mempunyai

karakteristik yang sama. Kemajuan industri Obat dan Makanan secara tidak

langsung juga dipengaruhi dari sistem serta dukungan regulatory yang mampu

diberikan oleh BPOM. Sehingga BPOM berkomitmen untuk mendukung

peningkatan daya saing, yaitu melalui jaminan keamanan, manfaat, dan mutu

Obat dan Makanan.

Masyarakat dalam hal ini sebagai konsumen mempunyai peran yang sangat

strategis untuk dilibatkan dalam pengawasan Obat dan Makanan, utamanya

pada sisi demand. Sebagai salah satu pilar pengawasan Obat dan Makanan,

masyarakat diharapkan tidak hanya menjadi objek upaya peningkatan

kesadaran (awareness) untuk memilih Obat dan Makanan yang memenuhi

Page 27: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

27

standar, tetapi juga diberi kemudahan akses informasi dan komunikasi terkait

Obat dan Makanan sehingga dapat berperan aktif dalam meningkatkan

pengawasan Obat dan Makanan.

Sadar dengan kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat, BPOM melakukan

upaya-upaya yang bertujuan untuk meningkatkan kesadarannya dalam

mendukung pengawasan. Upaya-upaya tersebut salah satunya dilakukan

melalui kegiatan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi kepada masyarakat.

Di sisi lain, arus globalisasi memberi kesempatan masuknya produk yang tidak

memenuhi standar dengan harga murah ke wilayah Indonesia. Pengetahuan

masyarakat yang kurang mengenai syarat keamanan produk Obat dan

Makanan menimbulkan asymmetric information yang dapat dimanfaatkan oleh

produsen nakal untuk menjual produk yang murah namun substandar.

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, BPOM tidak dapat berjalan sendiri,

sehingga diperlukan kerjasama atau kemitraan dengan pihak lainnya. Dalam

era otonomi daerah, khususnya terkait dengan bidang kesehatan, peran daerah

dalam menyusun perencanaan pembangunan serta kebijakan mempunyai

pengaruh yang sangat besar terhadap pencapaian tujuan nasional di bidang

kesehatan. Pengawasan Obat dan Makanan bersifat unik karena

tersentralisasi, yaitu dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Pusat dan

diselenggarakan oleh Balai di seluruh Indonesia. Hal ini tentunya menjadi

tantangan tersendiri dalam pelaksanaan tugas pengawasan, karena kebijakan

yang diambil harus disinkronkan dengan kebijakan dari Pemerintah Daerah.

Untuk itu, dalam melaksanakan tugas pengawasan di daerah, BPOM harus

bersinergi dengan lintas sektor terkait, sehingga pengawasan dapat berjalan

dengan efektif dan efisien dalam upaya mencapai tujuan.

3. Meningkatkan kapasitas kelembagaan BPOM

Untuk mendorong misi pertama dan kedua, diperlukan sumber daya yang

memadai dalam mencapai kapasitas kelembagaan yang kuat. Hal ini

membutuhkan sumber daya yang meliputi 5 M (man, material, money, method,

and machine),yang merupakan modal penggerak organisasi. Sumber daya

dalam hal ini terutama terkait dengan sumber daya manusia dan sarana-

prasarana penunjang kinerja. Ketersediaan sumber daya yang terbatas baik

jumlah dan kualitasnya, maka BPOM harus mampu mengelola sumber daya

tersebut seoptimal mungkin agar dapat mendukung terwujudnya sasaran

program dan kegiatan yang telah ditetapkan. Pada akhirnya, pengelolaan

sumber daya yang efektif dan efisien menjadi sangat penting untuk diperhatikan

oleh seluruh elemen organisasi.

Di samping itu, BPOM sebagai suatu LPNK yang dibentuk pemerintah untuk

melaksanakan tugas tertentu tidak hanya bersifat teknis semata (techno

structure), namun juga melaksanakan fungsi pengaturan (regulating),

pelaksana (executing), dan pemberdayaan (empowering). Untuk itu, diperlukan

penguatan kelembagaan/organisasi. Kelembagaan tersebut meliputi struktur

yang kaya dengan fungsi, proses bisnis yang tertata dan efektif, serta budaya

kerja yang sesuai dengan nilai organisasi.

Misi BPOM merupakan langkah utama yang disesuaikan dengan tugas pokok

dan fungsi BPOM. Pengawasan pre- dan post-market yang berstandar

Page 28: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

28

internasional diterapkan dalam rangka memperkuat BPOM menghadapi

tantangan globalisasi. Dengan penjaminan mutu produk Obat dan Makanan

yang konsisten, yaitu memenuhi standar aman, berkhasiat/bermanfaat dan

bermutu, diharapkan BPOM mampu melindungi masyarakat dengan optimal.

BPOM juga melakukan kemitraan dengan pemangku kepentingan terkait kerja

sama lintas sektor, lintas wilayah, lintas institusi dan sebagainya yang

merupakan potensi yang perlu diperkuat. Semua itu dilakukan untuk

mewujudkan masyarakat yang memiliki kesadaran dan pengetahuan yang baik

terhadap Obat dan Makanan yang beredar di pasaran, sehingga mampu

melindungi diri sendiri dan terhindar dari produk Obat dan Makanan yang

mengandung bahan baku berbahaya dan ilegal.

Dari segi organisasi, perlu meningkatkan kualitas kinerja dengan tetap

mempertahankan sistem manajemen mutu dan prinsip organisasi pembelajar

(learning organization).Untuk mendukung itu, maka BPOM perlu untuk

memperkuat koordinasi internal dan meningkatkan kapasitas sumber daya

manusia serta saling bertukar informasi (knowledge sharing).

II.3. BUDAYA ORGANISASI

Budaya organisasi merupakan nilai-nilai luhur yang diyakini dan harus

dihayati dan diamalkan oleh seluruh anggota organisasi dalam melaksanakan

tugasnya. Nilai-nilai luhur yang hidup dan tumbuh-kembang dalam organisasi

menjadi semangat bagi seluruh anggota organisasi dalam berkarsa dan berkarya.

1. Profesional

Menegakkan profesionalisme dengan integritas, objektivitas, ketekunan dan

komitmen yang tinggi.

2. Integritas

konsistensi dan keteguhan yang tak tergoyahkan dalam menjunjung tinggi nilai-

nilai luhur dan keyakinan

3. Kredibilitas

Dapat dipercaya, dan diakui oleh masyarakat luas, nasional dan internasional.

4. Kerjasama Tim

Mengutamakan keterbukaan, saling percaya dan komunikasi yang baik.

5. Inovatif

Mampu melakukan pembaruan dan inovasi-inovasi sesuai dengan

perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi terkini.

6. Responsif/Cepat Tanggap

Antisipatif dan responsif dalam mengatasi masalah.

II.4. TUJUAN

Dalam rangka pencapaian visi dan misi pengawasan Obat dan Makanan, maka

tujuan yang akan dicapai dalam kurun waktu 2015-2019 adalah sebagai berikut:

1. Meningkatnya jaminan produk Obat dan Makanan aman, berkhasiat/

bermanfaat, dan bermutu dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat;

2. Meningkatnya daya saing Obat dan Makanan di pasar lokal dan global dengan

menjamin mutu dan mendukung inovasi.

Page 29: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

29

Ukuran keberhasilan atau indikator kinerja untuk tujuan tersebut di atas,

diusulkan sebagai berikut:

1. Meningkatnya jaminan Obat dan Makanan aman, bermanfaat, dan bermutu

dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat, dengan indikator:

a. Tingkat kepuasan masyarakat atas jaminan pengawasan BPOM;

2. Meningkatnya daya saing Obat dan Makanan di pasar lokal dan global dengan

menjamin mutu dan mendukung inovasi, dengan indikator:

a. Tingkat kepatuhan pelaku usaha Obat dan Makanan dalam memenuhi

ketentuan;

b. Tingkat kepuasan pelaku usaha terhadap pemberian bimbingan dan

pembinaan pengawasan Obat dan Makanan.

II.5. SASARAN PROGRAM

Sasaran program ini disusun berdasarkan visi dan misi yang ingin dicapai

Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA, dengan

mempertimbangkan tantangan masa depan dan sumber daya serta infrastruktur

yang dimiliki Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA. Dalam

kurun waktu 5 (lima) tahun (2015-2019) kedepan diharapkan Deputi Bidang

Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA akan dapat mencapai sasaran strategis

sebagai berikut:

1. Menguatnya Sistem Pengawasan Obat

Sistem pengawasan obat yang diselenggarakan oleh Deputi Bidang

Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA merupakan suatu proses yang

komprehensif dan bersifat full spectrum, mencakup pengawasan pre-market

dan post-market. Sistem ini antara lain terdiri dari: pertama, standardisasi

yang merupakan fungsi penyusunan standar, regulasi, dan kebijakan terkait

dengan pengawasan obat. Kedua, penilaian (pre-market evaluation) yang

merupakan evaluasi produk sebelum memperoleh nomor ijin edar dan

akhirnya dapat diproduksi dan diedarkan kepada konsumen. Ketiga, adalah

pengawasan setelah beredar (post-market control) yang dilakukan dengan

melakukan sampling produk obat yang beredar, serta pemeriksaan sarana

produksi dan distribusi obat.

Untuk mengukur capaian sasaran strategis ini, maka dibuat indikator sebagai

berikut: “Persentase obat yang memenuhi syarat, dengan target 94% pada

akhir 2019”.

2. Meningkatnya kemandirian pelaku usaha, kemitraan dengan pemangku

kepentingan, dan partisipasi masyarakat

Salah satu pilar pengawasan obat adalah masyarakat sebagai konsumen.

Obat yang diproduksi dan diedarkan di pasaran (masyarakat) masih

berpotensi untuk tidak memenuhi syarat, sehingga masyarakat harus lebih

cerdas dalam memilih dan menggunakan produk obat yang aman, bermanfaat,

dan bermutu. Dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat terkait obat

yang memenuhi syarat, Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan

Page 30: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

30

NAPZA harus memberikan kegiatan pembinaan dan bimbingan melalui

Komunikasi, layanan Informasi, dan Edukasi (KIE).

Di samping itu, pengawasan Obat perlu dilakukan oleh pelaku usaha baik

produsen, distributor, dan pelaku usaha lain. Pengawasan oleh pelaku usaha

sebaiknya dilakukan dari hulu ke hilir, dari sebelum sampai sesudah produk

beredar, salah satunya adalah meliputi pengawasan obat di sarana produksi

dan sarana distribusi. Produsen mempunyai peran dalam memberikan jaminan

produk obat yang memenuhi syarat (aman, khasiat/bermanfaat, dan bermutu)

melalui proses produksi yang sesuai dengan ketentuan. Dari sisi pemerintah,

Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA bertugas dalam

menyusun kebijakan dan regulasi terkait obat yang harus dipenuhi oleh pelaku

usaha.

Paradigma Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA sebagai

lembaga pengawas dan ditakuti oleh pelaku usaha selama ini mulai berubah,

dengan adanya upaya yang dilakukan Deputi Bidang Pengawasan Produk

Terapetik dan NAPZA dalam menjalin hubungan yang lebih harmonis dengan

para pelaku usaha. Tanpa meninggalkan tugas utama pengawasan, Deputi

Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA berupaya memberikan

dukungan kepada pelaku usaha untuk memperoleh kemudahan dalam

usahanya. Salah satunya melalui jaminan kualitas (quality assurance)

pengawasan, melalui pendampingan regulatory (regulatory assistance).

Masing-masing kedeputian di Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik

dan NAPZA mempunyai upaya yang berbeda dalam memberikan dukungan

regulatory, sesuai dengan bidang lingkupnya.

Sasaran strategis ini berupaya untuk mengakomodasi kegiatan yang

mendukung pada peningkatan daya saing, yaitu melalui jaminan mutu

obat.Pelaku usaha di bidang obat harus didukung dalam menghadapi

tantangan perdagangan bebas. Salah satunya adalah dengan memberikan

dukungan regulatory (sistem pengawasan) kepada pelaku usaha dengan

insentif. Sementara terkait dengan faktor lain yang menjadi variabel penentu

dalam meningkatkan kemudahan usaha, adalah daya saing.

Untuk mengukur keberhasilan pencapaian sasaran strategis ini, maka dibuat

indikatornya yaitu „Jumlah industri farmasi yang meningkat kemandiriannya,

dengan target kumulatif 40 industri farmasi sampai dengan akhir tahun 2019‟,

Dalam mendukung pencapaian sasaran strategis BPOM tersebut, Deputi

Bidang Pengawasan Produk terapetik dan NAPZA memiliki visi, misi dan tujuan

yang sama dengan BPOM dan memiliki sasaran kegiatan yang mengacu pada

sasaran strategis dan indikator BPOM. Adapun Tabel 2.1 Visi, Misi, Tujuan,

Sasaran Strategis dan Indikator Kinerja Deputi Bidang Pengawasan Produk

Terapetik dan NAPZA periode 2015-2019, adalah sebagai berikut :

Page 31: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

31

Tabel 2.1 Visi, Misi, Tujuan, Sasaran Strategis, Sasaran Program dan Indikator

Kinerja Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA

periode 2015-2019

VISI MISI TUJUAN SASARAN

STRATEGIS

SASARAN

PROGRAM

INDIKATOR

KINERJA

Obat

dan

Makanan

Aman

Meningk

atkan

Kesehat

an

Masyara

kat dan

Daya

Saing

Bangsa

Meningkatkan

sistem

pengawasan

Obat dan

Makanan

berbasis risiko

untuk

melindungi

masyarakat

Meningkatnya

jaminan

produk Obat

dan Makanan

aman

Menguatnya

Sistem

Pengawasan

Obat dan

Makanan

Menguatnya

Sistem

Pengawasan Obat

Persentase obat

yang memenuhi

syarat *):

Mewujudkan

kemandirian

pelaku usaha

dalam

memberikan

jaminan

keamanan

Obat dan

Makanan

serta

memperkuat

kemitraan

dengan

pemangku

kepentingan.

Meningkatnya

daya saing

Obat dan

Makanan di

pasar lokal

dan global

dengan

menjamin

mutu dan

mendukung

inovasi

Meningkatnya jaminan kualitas pembinaan dan bimbingan dalam mendorong kemandirian pelaku usaha dan kemitraan dengan pemangku kepentingan serta partisipasi masyarakat melalui kerjasama, Komunikasi, Informasi dan Edukasi

Meningkatnya

kemandirian

pelaku usaha,

kemitraan dengan

pemangku

kepentingan, dan

partisipasi

masyarakat

Jumlah industri

farmasi yang

meningkat

tingkat

kemandiriannya

*)

*) : Indikator Kinerja Utama

Page 32: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

32

BAB III

ARAH KEBIJAKAN, STRATEGI, KERANGKA REGULASI

DAN KERANGKA KELEMBAGAAN

III.1. ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI NASIONAL

Sebagaimana visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden periode 2015-2019

pada Bab II di atas, untuk mewujudkan visi dilaksanakan 7 (tujuh) misi

pembangunan yang salah satunya adalah mewujudkan kualitas hidup manusia

Indonesia yang tinggi, maju, dan sejahtera. Visi-misi ini selanjutnya dijabarkan

dalam 9 (sembilan) agenda prioritas pembangunan yang disebut NAWA CITA,

sebagai berikut:

1. Menghadirkan kembali Negara untuk melindungi segenap bangsa dan

memberikan rasa aman pada seluruh warga Negara (Perkuat peran dalam

kerjasama global dan regional),

2. Membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif demokratis dan

terpercaya (membangun transparansi dan akuntabilitas kinerja pemerintah),

3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan

desa dalam kerangka Negara kesatuan (pengurangan ketimpangan antar

kelompok ekonomi masyarakat),

4. Memperkuat kehadiran Negara dalam melakukan reformasi sistem dan

penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya

(pemberantasan narkotika dan psikotropika),

5. Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia (pembangunan kesehatan

khususnya pelaksanaan program Indonesia sehat),

6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional

(peningkatan kapasitas inovasi dan teknologi),

7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan setor-sektor strategis

ekonomi domestik (peningkatan kedaulatan pangan),

8. Melakukan revolusi karakter bangsa, dan

9. Memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia

Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab BPOM pada periode 2015-2019,

maka BPOM utamanya akan mendukung agenda nawacita ke 5 meningkatkan kualitas

hidup manusia Indonesia dengan menunjang Program Indonesia Sehat melalui pengawasan

obat dan makanan. Selain itu juga mendukung 4 (empat) agenda prioritas pembangunan

adalah sebagaimana Tabel dibawah ini.

Page 33: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

33

Tabel 3.1 9 (Sembilan) Agenda Prioritas Pembangunan (NAWACITA)

Dalam Sasaran Pokok RPJMN 2015-2019, BPOM termasuk dalam 2 (dua)

bidang yaitu 1) Bidang Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama - Subbidang

Kesehatan dan Gizi Masyarakat, dan 2) Bidang Ekonomi- Sub bidang UMKM dan

Koperasi.

Fokus pada pembangunan subbidang kesehatan dan SDM, tantangan ke

depan adalah meningkatkan upaya promotif dan preventif; meningkatkan pelayanan

kesehatan ibu anak, perbaikan gizi (spesifik dan sensitif), mengendalikan penyakit

menular maupun tidak menular, meningkatkan pengawasan obat dan makanan,

serta meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan.

Sebagai salah satu aspek pendukung pembangunan manusia di bidang

kesehatan dan gizi masyarakat, pengawasan Obat dan Makanan dihadapkan pada

beberapa tantangan. Beberapa permasalahan dan Isu Strategis terkait pengawasan

Obat dan Makanan tercakup dalam Permasalahan dan Isu Strategis ke-5:

Pemenuhan Ketersediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Pengawasan Obat dan

Makanan. Saat ini persentase obat yang telah memenuhi standar mutu, khasiat dan

keamanan baru mencapai 92 persen. Pada tahun 2014 industri farmasi yang

memenuhi CPOB terkini baru mencapai 83,66 persen.

Sasaran pokok RPJMN 2015-2019 adalah meningkatnya status kesehatan ibu

dan anak, meningkatnya status gizi masyarakat, meningkatnya pengendalian

penyakit menular dan tidak menular, serta meningkatnya penyehatan lingkungan,

meningkatnya pemerataan akses dan mutu pelayanan kesehatan, meningkatnya

perlindungan finansial, meningkatnya ketersediaan, persebaran, dan mutu sumber

daya manusia kesehatan, serta memastikan ketersediaan obat dan mutu Obat dan

Makanan. Sasaran pokok tersebut antara lain tercermin dari indikator yang terkait

Page 34: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

34

BPOM sebagai berikut:

No Indikator Status Awal Target 2019

1 Persentase obat yang memenuhi syarat 92 94

2 Persentase makanan yang memenuhi syarat 87,6 90,1

(Sumber: RPJMN 2015-2019)

Untuk mewujudkan pencapaian sasaran pembangunan bidang Kesehatan

dan Gizi Masyarakat tahun 2015-2019, ditetapkan satu arah kebijakan

pembangunan di bidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat yang terkait dengan

BPOM adalah “Meningkatkan Pengawasan Obat dan Makanan”, melalui:

1. Penguatan sistem pengawasan Obat dan Makanan berbasis risiko;

2. Peningkatan sumber daya manusia pengawas Obat dan Makanan;

3. Penguatan kemitraan pengawasan Obat dan Makanan dengan

pemangku kepentingan;

4. Peningkatan kemandirian pengawasan Obat dan Makanan berbasis

risiko oleh masyarakat dan pelaku usaha;

5. Peningkatan kapasitas dan inovasi pelaku usaha dalam rangka

mendorong peningkatan daya saing produk Obat dan Makanan; dan

6. Penguatan kapasitas dan kapabilitas pengujian Obat dan Makanan.

Pengawasan Obat dan Makanan terkait dengan 1 (satu) dari 5 (lima) strategi

Pembangunan Ekonomi, subbidang UMKM dan Koperasi, yaitu dalam hal

peningkatan nilai tambah produk melalui peningkatan penerapan standardisasi

produk dan sertifikasi halal, keamanan pangan dan obat.

Pada Matriks Bidang Pembangunan Sosial Budaya dan Kehidupan

Beragama, terdapat 2 (dua) program lintas di bawah koordinasi Menko

Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) yang melibatkan Deputi Bidang

Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA yaitu:

1. Program Lintas Peningkatan Promosi Kesehatan dan Pengendalian Penyakit

terdiri atas program Dukungan Manajemen Kemenkes, P2PL, Kepemudaan

dan Olahraga, serta Program Pengawasan Obat dan Makanan yang

dilaksanakan oleh Deputi I melalui 1 (satu) kegiatan dengan ukuran 1 IKP dan

3(tiga) IKK

Kode Program/Kegiatan Indikator

3.4 Program Pengawasan Obat

dan Makanan

Persentase obat yang memenuhi syarat

3.4.1

Pengawasan Narkotika,

Psikotropika,Prekursor, dan

Zat Adiktif

Persentase label dan iklan produk tembakau yang

memenuhi ketentuan

Persentase penyelesaian pemberian sanksi tindak

lanjut tepat waktu terhadap sarana pengelola yang

tidak memenuhi ketentuan

Persentase permohonan rekomendasi Analisa Hasil

Pengawasan (AHP) untuk impor/ekspor Narkotika,

Psikotropika dan Prekursor yang diselesaikan tepat

waktu

Page 35: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

35

2. Program Lintas Peningkatan Perlindungan Sosial Penduduk melalui Kartu

Indonesia Sehat terdiri atas Program Penguatan Pelaksanaan JKN, Program

Pembinaan Upaya Kesehatan, Program PSDMK, dan Pengawasan Obat dan

Makanan yang dilaksanakan oleh Deputi I melalui 4 (empat) kegiatan dengan

ukuran 1 IKP dan 4 (empat) IKK.

Kode Program/Kegiatan Indikator

4.4 Program Pengawasan Obat dan

Makanan

Persentase obat yang memenuhi syarat

4.4.1

Pengawasan Distribusi Obat Persentase peningkatan PBF yang

memenuhi CDOB

Jumlah kajian farmakovigilance obat beredar

yang dikomunikasikan

Jumlah PBF yang diberikan bimbingan

teknis/sosialisasi terkait CDOB

Persentase Iklan dan penandaan obat

beredar yang memenuhi ketentuan

4.4.2

Pengawasan Produksi Obat Persentase hasil inspeksi dengan temuan

kritikal yang ditindaklanjuti tepat waktu

Jumlah industri farmasi yang meningkat

tingkat kemandiriannya

4.4.3

Penilaian Obat Persentase keputusan penilaian obat yang

diselesaikan

4.4.4 Penyusunan Standar Obat Jumlah standar obat yang disusun

III.2. ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI BPOM

Berdasarkan hasil Analisa SWOT tersebut di atas, arah kebijakan dan

strategi untuk mencapai tujuan dan sasaran strategis Deputi Bidang Pengawasan

Produk Teraptik dan NAPZA periode 2015-2019, adalah:

Arah Kebijakan yang akan dilaksanakan:

1) Penguatan Sistem Pengawasan obat berbasis risiko untuk melindungi

masyarakat

2) Peningkatan pembinaan dan bimbingan dalam rangka mendorong kemandirian

pelaku usaha dalam memberikan jaminan keamanan dan daya saing produk

Obat.

3) Peningkatan Kerjasama, Komunikasi, Informasi dan Edukasi publik melalui

kemitraan pemangku kepentingan dan partisipasi masyarakat dalam

pengawasan Obat.

Sedangkan strategi yang akan dilaksanakan mencakup eksternal dan internal.

Eksternal:

1) Penguatan kemitraan dengan lintas sektor terkait pengawasan obat;

2) Peningkatan pembinaan dan bimbingan melalui komunikasi, informasi dan

Edukasi kepada masyarakat dan pelaku usaha di bidang obat;

Page 36: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

36

Internal:

3) Penguatan Regulatory System pengawasan obat berbasis risiko;

4) Membangun Manajemen Kinerja dari Kinerja Lembaga hingga kinerja

individu/pegawai;

5) Mengelola anggaran secara lebih efisien, efektif dan akuntabel serta

diarahkan untuk mendorong peningkatan kinerja lembaga dan pegawai;

6) Meningkatkan kapasitas SDM secara lebih proporsional dan akuntabel;

7) Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pendukung maupun utama

dalam mendukung tugas pengawasan obat.

Untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi sebagai lembaga pengawasan

Obat dan Makanan tersebut, Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan

NAPZA menetapkan program sesuai RPJMN periode 2015-2019, yaitu program

utama (teknis)

Program Pengawasan Obat dan Makanan

Program ini dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas utama Badan

Pengawasan Obat dan Makanan dalam menghasilkan standardisasi dalam

pemenuhan mutu, keamanan dan manfaat Obat dan Makanan melalui

serangkaian kegiatan penetapan standar pengawasan, penilaian Obat dan

Makanan sesuai standar, pengawasan terhadap sarana produksi,

pengawasan terhadap sarana distribusi, sampling dan pengujian Obat dan

Makanan beredar, penegakan hukum, serta pembinaan dan bimbingan

kepada pemangku kepentingan.

Selanjutnya, program-program tersebut dijabarkan dalam kegiatan-kegiatan

prioritas Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA, sebagai berikut:

Kegiatan-kegiatan utama untuk melaksanakan Pengawasan Obat

1) Penyusunan standar obat berupa Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria

(NSPK) pengawasan obat (pre dan post-market);

2) Peningkatan efektivitas evaluasi pre-market melalui penilaian obat;

3) Peningkatan pengawasan sarana produksi dan distribusi obat, sarana

pelayanan kesehatan;

4) Peningkatan pengawasan narkotika, psikotropika, prekursor, dan zat adiktif;

5) Peningkatan Pembinaan dan bimbingan melalui kemitraan dengan

pemangku kepentingan, serta meningkatkan partisipasi masyarakat.

Untuk mewujudkan pencapaian sasaran strategis, maka masing-masing sasaran

strategis Deputi Bidang Pengawasan Produk Teraptik dan NAPZA periode 2015-

2019 dijabarkan kepada sasaran program dan kegiatan berdasarkan logic model

perencanaan. Adapun logic model penjabaran terhadap sasaran program dan

kegiatan Deputi Bidang Pengawasan Produk Teraptik dan NAPZA mengikuti

logic frame Badan POM namun hanya fokus pada komoditi obat saja adalah

sebagai berikut :

Page 37: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

37

Gambar 3.1 Logframe Kedeputian Bidang Pengawasan PT dan NAPZA

Tabel 3.1 Program, Sasaran Strategis, Sasaran Program, Kegiatan

Stategis, Sasaran Kegiatan, dan Indikator di Lingkungan

Kedeputian I

PROGRAM SASARAN

STRATEGIS

SASARAN

PROGRAM

KEGIATAN

STRATEGIS

SASARAN

KEGIATAN INDIKATOR PIC

PROGRAM

PENGAWASAN

OBAT DAN

MAKANAN

Menguatnya

sistem

pengawasan

Obat dan

Makanan

Menguatnya

sistem

pengawasan

Obat

Persentase Obat

yang memenuhi

syarat

Deputi I

Penyusunan

Standar Obat

Tersusunnya

standar obat

dalam rangka

menjamin obat

yang beredar

aman,

berkhasiat dan

bermutu

1. Jumlah standar

obat yang disusun

2. Jumlah

rekomendasi

laporan Uji

Bioekivalensi yang

selesai dievaluasi

Dit.

Standardisasi

PT dan

PKRT

Penilaian

Obat

Tersedianya

obat memenuhi

standar

1. Persentase

Keputusan

Penilaian obat

yang

diselesaikan

Dit. Penilaian

Obat dan

Produk

Biologi

Meningkatnya kemandirian pelaku usaha, kemitraan

dengan pemangku kepentingan, dan

partisipasi masyarakat

LOG FRAME (KEDEPUTIAN BIDANG PENGAWASAN PRODUK TERAPETIK DAN NAPZA)

SS Menguatnya Sistem Pengawasan Obat dan Makanan Meningkatnya kemandirian pelaku usaha, kemitraan

dengan pemangku kepentingan, dan

partisipasi masyarakat

SP Menguatnya Sistem Pengawasan Obat

SK

Ks

Tersusun nya standar obat dalam

rangka menjamin obat yang beredar aman,

berkhasiat dan

bermutu

Tersedia nya obat

memenuhi standar

Meningkat nya mutu sarana

produksi produk

terapetik sesuai CPOB

terkini

Meningkat nya mutu sarana

distribusi dan

keamanan obat

beredar

Menurunnya jumlah sarana

pengelola narkotika,

psikotropika dan prekursor

yang berpotensi melakukan

diversi narkotika,

psikotropika

dan prekursor

Meningkatnya label dan iklan

produk tembakau yang

memenuhi ketentuan

prekursor yang berpotensi melakukan

diversi narkotika,

psikotropika dan

prekursor

Pelaku usaha menjamin mutu obat beredar

Page 38: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

38

PROGRAM SASARAN

STRATEGIS

SASARAN

PROGRAM

KEGIATAN

STRATEGIS

SASARAN

KEGIATAN INDIKATOR PIC

Pengawasan

Produksi Obat

Meningkatnya

mutu sarana

produksi produk

terapetik sesuai

CPOB terkini

1. Persentase hasil

inspeksi dengan

temuan kritikal

yang

ditindaklanjuti

tepat waktu

Dit. Was.

Produksi PT

dan PKRT

Pengawasan

Distribusi

Obat

Meningkatnya

mutu sarana

distribusi dan

keamanan obat

beredar

1. Persentase

peningkatan PBF

yang memenuhi

CDOB

2. Jumlah kajian

farmakovigilans

obat beredar

yang

dikomunikasikan

3. Persentase Iklan

dan penandaan

obat beredar

yang memenuhi

ketentuan

Ditwas

Distribusi PT

dan PKRT

Pengawasan

Narkotika,

Psikotropika,

Prekursor,

dan Zat

Adiktif

Menurunnya

jumlah sarana

pengelola

narkotika,

psikotropika dan

prekursor yang

berpotensi

melakukan

diversi

narkotika,

psikotropika dan

prekursor

1. Prosentase

penyelesaian

pemberian

sanksi tindak

lanjut tepat

waktu terhadap

sarana

pengelola NPP

yang tidak

memenuhi

ketentuan

2. Persentase

permohonan

rekomendasi

Analisa Hasil

Pengawasan

(AHP) untuk

impor/ekspor

narkotika,

psikotropika dan

prekursor yang

diselesaikan

tepat waktu

Dit. Was

NAPZA

Meningkatnya

label dan iklan

produk

tembakau yang

memenuhi

ketentuan

3. Persentase label

dan iklan produk

tembakau yang

memenuhi

ketentuan

Page 39: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

39

PROGRAM SASARAN

STRATEGIS

SASARAN

PROGRAM

KEGIATAN

STRATEGIS

SASARAN

KEGIATAN INDIKATOR PIC

PROGRAM

PENGAWASAN

OBAT DAN

MAKANAN

Meningkatnya

kemandirian

pelaku usaha,

kemitraan

dengan

pemangku

kepentingan,

dan partisipasi

masyarakat

Meningkatnya

kemandirian

pelaku usaha,

kemitraan

dengan

pemangku

kepentingan,

dan partisipasi

masyarakat

Peningkatan

Kemandirian

Pelaku Usaha

Obat

Pelaku usaha

menjamin mutu

obat

1. Jumlah industri

farmasi yang

meningkat

tingkat

kemandiriannya

Dit Was

Produksi PT

dan PKRT

III.3. KERANGKA REGULASI

Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan obat, dibutuhkan adanya

regulasi di kedeputian I guna mendukung sistem pengawasan, tidak hanya regulasi

yang bersifat teknis saja yang harus dipenuhi, melainkan perlu adanya regulasi

yang bersifat adminitratif dan strategis. Pengawasan obat merupakan tugas

pemerintahan yang tidak dapat dilakukan sendiri, dan dalam praktiknya dibutuhkan

kerjasama dengan banyak sektor terkait, baik pemerintah agar sesuai dengan tugas

pengawasan obat

Selama ini, dalam pelaksanaan pengawasan obat dijumpai kendala yang

berkaitan dengan koordinasi dengan pemangku kepentingan. Selain di bidang

kesehatan, dari sisi ekonomi, obat merupakan potensi yang sangat besar bagi

pelaku usaha (produsen dan distributor), sektor industri obat dapat menyediakan

lapangan pekerjaan yang cukup besar berkontribusi pada pengurangan jumlah

pengangguran.

Untuk dapat menyelenggarakan tugas pengawasan obat secara optimal,

maka Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA perlu ditunjang

oleh regulasi atau peraturan perundang-undangan yang kuat dalam lingkup

pengawasan obat.

Untuk itu, diperlukan beberapa regulasi yang penting dan dibutuhkan oleh

Kedeputian I dalam rangka memperkuat sistem pengawasan antara lain:

1. UU Pembinaan, Pengawasan, dan Pengembangan Sediaan Farmasi.

Mengingat RUU Pembinaan, Pengawasan, dan Pengembangan Sediaan

Farmasi merupakan inistiatif DPR, maka dalam hal ini BPOM akan melakukan

koordinasi dengan Panitia Kerja DPR.

2. Peraturan Perundang-undangan terkait pengawasan obat.

Rincian Kerangka Regulasi dapat dilihat pada lampiran 2 Matriks Kerangka

Regulasi Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA 2015-2019

Page 40: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

40

III.4. KERANGKA KELEMBAGAAN

Untuk memperkuat peran dan fungsi Deputi Bidang Pengawasan Produk

Terapetik dan NAPZA dalam melaksanakan mandat Renstra 2015-2019, maka

dilakukan beberapa inisiatif penataan kelembagaan, melalui Sekretariat Utama.

Beberapa aspek kelembagaan yang harus diintegrasikan dan dikoordinasikan agar

lebih efisien dan efektif adalah:

1. Penyempurnaan Struktur Organisasi dan Tata Kerja BPOM sesuai dengan

perubahan lingkungan strategis periode 2015-2019

Penataan dalam kerangka kelembagaan bagi organsiasi induk dilakukan

dengan memperhatikan Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001, Tentang

Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata

Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen.

2. Diperlukan koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait dalam rangka

mewujudkan pencapaian prioritas pembangunan kesehatan khususnya di

bidang pengawasan obat dan makanan;

3. Diperlukan koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait yang memiliki tugas

sama dalam rangka penyidikan hukum yang tergabung dalam aparat

gabungan penegak hukum. Hal ini sangat diperlukan karena peredaran Obat

dan Makanan ilegal merupakan aspek pidana yang masuk dalam sistem

peradilan pidana.

Page 41: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

41

BAB IV

TARGET KINERJA DAN KERANGKA PENDANAAN

IV.1. Target Kinerja

Sebagaimana sasaran strategis Deputi Bidang Pengawasan Produk

Teareptik dan NAPZA sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, maka

target sesuai dengan indikator masing-masing sasaran strategis adalah

sebagai berikut:

Tabel 4.1

Sasaran Program/Kegiatan dan Indikator Kinerja

Sasaran Program/Kegiatan Indikator

Target Kinerja

2015 2016 2017 2018 2019

Menguatnya Sistem

Pengawasan Obat

Persentase obat yang

memenuhi syarat

meningkat

92 92.5 93 93.5 94

Tersusunnya standar

obat dalam rangka

menjamin obat yang

beredar aman,

berkhasiat dan

bermutu

1. Jumlah standar obat

yang disusun

2. Jumlah rekomendasi

laporan Uji

Bioekivalensi yang

selesai dievaluasi

10

40

10

40

10

40

10

40

10

40

Meningkatnya mutu

sarana produksi

produk terapetik

sesuai CPOB terkini

1. Persentase hasil

inspeksi dengan

temuan kritikal yang

ditindaklanjuti tepat

waktu

60 65 75 85 95

Tersedianya obat

memenuhi standar

1. Persentase

keputusan penilaian

obat dan produk

biologi yang

diselesaikan

75 76 77 78 79

Page 42: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

42

Meningkatnya Mutu

Sarana Distribusi dan

keamanan Produk

Terapetik beredar

1. Persentase

peningkatan PBF yang

memenuhi Cara

Distribusi Obat yang

Baik (CDOB)

2. Jumlah Kajian

farmakovigilance

obat beredar yang

dikomunikasikan

3. Presentase iklan dan

penandaan obat

beredar yang

memenuhi ketentuan

78

10

92

80

12

92,5

82

14

93

85

16

93,5

87

18

94

Menurunnya jumlah

sarana pengelola

narkotika, psikotropika

dan prekursor yang

berpotensi melakukan

diversi narkotika,

psikotropika dan

prekursor

1. Persentase

penyelesaian

pemberian sanksi

tindak lanjut tepat

waktu terhadap

sarana pengelola

yang tidak memenuhi

ketentuan

70 73 75 78 80

2. Persentase

permohonan

rekomendasi Analisa

Hasil Pengawasan

(AHP) untuk

impor/ekspor

Narkotika,

Psikotropika dan

Prekursor yang

diselesaikan tepat

waktu

80 81 82 83 85

Meningkatnya label

dan iklan produk

tembakau yang

memenuhi ketentuan

1. Persentase label dan

iklan produk

tembakau yang

memenuhi ketentuan

45 50 55 60 65

Meningkatnya

kemandirian pelaku

usaha, kemitraan

dengan pemangku

kepentingan, dan

partisipasi masyarakat

1. Jumlah industri

farmasi yang

meningkat tingkat

kemandiriannya

0 6 12 12 10

Page 43: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

43

Pelaku usaha

menjamin mutu obat

1. Jumlah industri

farmasi yang

meningkat tingkat

kemandiriannya;

0 6 12 12 10

IV.1.1. Kegiatan dalam Sasaran Program Menguatnya Sistem

Pengawasan Obat

Untuk mencapai Sasaran Program Menguatnya Sistem Pengawasan Obat

dilaksanakan Program Pengawasan obat melalui Kegiatan-Kegiatan:

1. Penyusunan Standar Obat

BPOM diharapkan dapat selalu memutakhirkan regulasi sesuai dengan

perubahan lingkungan strategis. Dalam hal standar mutu tidak ada di

Farmakope Indonesia (FI) maupun kompendia lain, BPOM harus mampu

menyiapkan standar mutu obat yang telah divalidasi sehingga dapat

menguji semua produk yang beredar. Sehubungan dengan agenda

penyusunan standar obat ini, diperlukan peningkatan koordinasi dengan

K/L terkait, misalnya untuk validasi dan penyusunan SOP mengenai

pencantuman standar obat baru ke dalam FI, dan percepatan penetapan

Keputusan Menteri Kesehatan tentang Perubahan Penggolongan Obat.

Pencapaian kegiatan ini diukur dengan indikator Jumlah Standar Obat

yang disusun, dengan target 50 standar sampai dengan tahun 2019.

2. Penilaian Obat

Berlakunya sistem JKN dan rencana peluncuran MEA, mengakibatkan

tingginya tuntutan terhadap kecepatan proses registrasi dengan jumlah

berkas pendaftaran yang semakin banyak. Hal ini meyebabkan Carry

over yang tinggi terhadap berkas pendaftaran (7.060 carry over vs 7.976

berkas baru). Menjawab tantangan ini BPOM akan melakukan efisiensi

proses penilaian melalui program prioritas, diantaranya: intensifikasi

penilaian obat dan produk biologi; penyempurnaan registrasi elektronik;

dan optimalisasi database pre market.

Pencapaian kegiatan ini diukur dengan indikator Persentase keputusan

penilaian obat yang diselesaikan, dengan target 79% pada tahun 2019.

3. Pengawasan Sarana Produksi Obat

Tidak konsistennya Industri Farmasi dalam mengimplementasikan

ketentuan CPOB, disebabkan masih rendahnya tingkat kedewasaan

Industri Farmasi tersebut. Untuk itu BPOM melalui program Peningkatan

Cakupan Inspeksi CPOB, akan memetakan tingkat kedewasaan Industri

Farmasi dan mendorong Industri Farmasi tersebut untuk secara mandiri

memenuhi peraturan yang terkait dengan Pembuatan Obat.

Pencapaian kegiatan ini diukur dengan indicator Persentase hasil

inspeksi dengan temuan kritikal yang ditindaklanjuti tepat waktu, dengan

target 95% pada tahun 2019.

Page 44: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

44

4. Pengawasan Sarana Distribusi Obat.

Dalam rangka pengawasan sarana distribusi obat, dibutuhkan

pemahaman yang sama antara inspektur pusat dan balai serta pelaku

usaha dalam penerapan CDOB. Selain itu juga diperlukan koordinasi

yang optimal antar lembaga anggota satgas. Terkait hal tersebut,

program prioritas yang akan dilaksanakan antara lain bimtek CDOB di

BB/BPOM dan penataan ulang peran dan fungsi satgas dalam

mekanisme koordinasi pusat dan daerah untuk output yang lebih optimal.

Selain itu untuk mengawasi risiko obat beredar yang cenderung

meningkat sebagai dampak JKN, perlu dilakukan intensifikasi

farmakovigilans.

Pencapaian kegiatan ini diukur dengan indikator:

a) Persentase peningkatan Pedagang Besar Farmasi (PBF) yang

memenuhi Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB), dengan target

87% pada tahun 2019.

b) Jumlah kajian farmakovigilans obat beredar yang dikomunikasikan,

dengan target 18% pada tahun 2019.

c) Persentase iklan dan penandaan obat beredar yang memenuhi

ketentuan, dengan target 94% pada tahun 2019.

5. Pengawasan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAPZA)

Adanya potensi penyimpangan penyaluran/penyerahan narkotika,

psikotropika dan prekursor (NPP) pada kegiatan penyaluran antar

propinsi dan apotek yang berperan sebagai penyalur termasuk apotek

panel, menuntut BPOM agar lebih intensif melakukan pengawasan

NPP.Terkait hal tersebut, selain meningkatkan pengawasan terhadap

NPP, BPOM juga melakukan KIE perlunya pengelolaan NPP yang baik

kepada pelaku usaha.Di samping itu juga meningkatkan koordinasi

dengan lintas sektor terkait.

Pencapaian kegiatan ini diukur dengan indikator:

a) Persentase penyelesaian pemberian sanksi TL tepat waktu terhadap

sarana pengelola NPP yang tidak memenuhi ketentuan, dengan

target 80% pada tahun 2019.

b) Persentase permohonan rekomendasi Analisa Hasil Pengawasan

(AHP) untuk impor/ekspor narkotika, psikotropika dan prekursor yang

diselesaikan tepat waktu (persen), dengan target 85% pada tahun

2019;

c) Persentase label dan iklan produk tembakau yang memenuhi

ketentuan, dengan target 65% pada tahun 2019.

.

IV.1.2. Kegiatan dalam Sasaran Program Meningkatnya kemandirian pelaku

usaha, kemitraan dengan pemangku kepentingan, dan partisipasi

masyarakat

Untuk mencapai sasaran program Meningkatnya kemandirian pelaku usaha,

kemitraan dengan pemangku kepentingan, dan partisipasi masyarakat

dilaksanakan Program Pengawasan Obat melalui Kegiatan-Kegiatan:

Page 45: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

45

1. Pengawasan Sarana Produksi Obat/Peningkatan Kemandirian Pelaku

Usaha Obat

Pelaku usaha merupakan pihak yang sepenuhnya mampu menjamin

keamanan, khasiat, dan mutu produk obat yang diproduksi maupun

didistribusikan kepada masyarakat. Untuk itu, BPOM sebagai instansi

pengawas tidak hanya mengawasi namun juga memberikan pembinaan

untuk meningkatkan kemandirian pelaku usaha dalam menjamin mutu

produknyadi bidang obat. Pelaku usaha harus bertanggung jawab

menjalankan kegiatan usahanya sesuai ketentuan untuk memenuhi

standar keamanan, kemanfaatan dan mutu.

Kemandirian pelaku usaha di bidang obat dapat diukur dengan

indikatorJumlah industri farmasi yang meningkat tingkat kemandiriannya,

dengan target 40 sampai dengan tahun 2019.

IV.2. KERANGKA PENDANAAN

Sesuai target kinerja masing-masing indikator kinerja yang telah ditetapkan

maka kerangka pendanaan untuk mendukung pencapaian tujuan dan

sasaran program Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA

periode 2015-2019 adalah sebagai berikut:

Tabel 4.2

Sasaran Program, Indikator Kinerja dan Pendanaan

Sasaran

Program/Kegiat

an

Indikator

Alokasi (Rp Milyar)

PIC 201

5

201

6

201

7

201

8 2019

Menguatnya Sistem

Pengawasan Obat

Persentase obat yang

memenuhi syarat

meningkat

56,0 59,0 63,0 68,0 75,7 Deputi I

Tersusunnya

standar obat

dalam rangka

menjamin

obat yang

beredar aman,

berkhasiat dan

bermutu

1. Jumlah standar

Obat yang

disusun

2. Jumlah

rekomendasi

laporan Uji

Bioekivalensi

yang selesai

dievaluasi

6,2 7,0 7,0 7,0 7,7 Dit

Standardisa

si PT dan

PKRT

Page 46: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

46

Tersedianya obat

memenuhi standar*)

*) Memenuhi standar:

memenuhi persyaratan

khasiat, keamanan dan

mutu sebelum produk

diedarkan

1. Persentase

keputusan

penilaian

obat dan

produk

biologi yang

diselesaikan

15,0 9,0 9,0 9,0 10,0 Dit Lai

Obat dan

Produk

Biologi

Meningkatnya Mutu

Sarana Distribusi dan

keamanan Produk

Terapetik beredar

1. Persentase

peningkatan

PBF yang

memenuhi

Cara

Distribusi

Obat yang

Baik (CDOB)

2. Jumlah Kajian

farmakovigila

nce obat

beredar yang

dikomunikasi

kan

3. Persentase

iklan dan

penandaan

obat beredar

yang

memenuhi

ketentuan

9,8 15,0 17,0 19,0 21,0 Dit Was

Ditribusi

PT dan

PKRT

Page 47: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

47

Menurunnya jumlah

sarana pengelola

narkotika,

psikotropika dan

prekursor yang

berpotensi melakukan

diversi narkotika,

psikotropika dan

prekursor

1. Persentase

penyelesai

an

pemberian

sanksi

tindak

lanjut

tepat

waktu

terhadap

sarana

pengelola

yang tidak

memenuhi

ketentuan

11,5 13,0 14,0 15,0 17,0 Dit Was Napza

2. Persentase

permohon

an

rekomenda

si Analisa

Hasil

Pengawasa

n (AHP)

untuk

impor/eksp

or

Narkotika,

Psikotropik

a dan

Prekursor

yang

diselesaika

n tepat

waktu

Meningkatnya label

dan iklan produk

tembakau yang

memenuhi ketentuan

1. Persentase

Label dan

iklan

produk

tembakau

yang

memenuhi

ketentuan

Page 48: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

48

Meningkatnya mutu

sarana produksi

produk terapetik

sesuai CPOB terkini

1. Persentase

hasil

inspeksi

dengan

temuan

kritikal

yang

ditindaklanj

uti

13,5 15,0 16,0 18,0 20,0 Dit Was

Produksi PT

dan PKRT

Meningkatnya

kemandirian pelaku

usaha, kemitraan

dengan pemangku

kepentingan, dan

partisipasi masyarakat

1. Jumlah

industri

farmasi

yang

meningkat

tingkat

kemandiria

nnya

Ditwas

Produksi PT

dan PKRT

Matrik Kinerja dan Pendanaan Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan

NAPZA per kegiatan sebagaimana pada Lampiran 1. Matrik Kinerja dan Pendanaan

Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA.

Page 49: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

49

BAB V

PENUTUP

Renstra Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA Tahun

2015-2019 adalah panduan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Deputi Bidang

Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA untuk 5 (lima) tahun ke depan.

Keberhasilan pelaksanaan Renstra Tahun 2015-2019 sangat ditentukan oleh

kesiapan kelembagaan, ketatalaksanaan, SDM dan sumber pendanaannya, serta

komitmen semua pimpinan dan staf kedeputian Bidang Pengawasan Produk

Terapetik dan NAPZA. Selain itu, untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan

Renstra Tahun 2015-2019, setiap tahun akan dilakukan evaluasi. Apabila

diperlukan, dapat dilakukan perubahan/revisi muatan Renstra Deputi Bidang

Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA, termasuk indikator-indikator kinerjanya

yang dilaksanakan sesuai dengan mekanisme yang berlaku dan tanpa mengubah

tujuan Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA yaitu

meningkatkan kinerja lembaga dan pegawai dengan mengacu kepada Renstra

Badan POM 2015-2019.

Renstra Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA Tahun

2015-2019 harus dijadikan acuan kerja bagi unit-unit kerja di lingkungan di keputian

Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA sesuai dengan tugas pokok dan

fungsinya masing-masing. Diharapkan semua unit kerja dapat melaksanakannya

dengan akuntabel serta senantiasa berorientasi pada peningkatan kinerja lembaga,

unit kerja dan kinerja pegawai.

Pelaksanaan Renstra diharapkan berkontribusi pada pencapaian Visi Misi

BPOM. Hal ini dimungkinkan karena program dan kegiatan dalam Renstra Deputi

Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA 2015-2019 ini telah dilengkapi

dengan target outcome dan output yang akan dipantau dan dievaluasi secara

berkala setiap tahun, pada pertengahan periode Rencana Strategis/RPJMN sebagai

midterm review, maupun pada akhir RPJMN sebagai impact assessment.

Evaluasi Renstra yang dilaksanakan setiap tahun didasarkan pada Peraturan

Pemerintah No. 39 Tahun 2006 tentang Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan

Rencana Pembangunan Nasional yang dikoordinasikan oleh Kementerian

Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan nasional

(BAPPENAS). Selain sebagai bahan evaluasi seperti tersebut di atas,Renstra juga

menjadi pedoman untuk penyusunan Laporan Kinerja Akuntabilitas Kinerja Instansi

Pemerintah (LAKIP) sesuai dengan Peraturan Presiden tentang Sistem Akuntansi

Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) yang dikoordinasikan oleh Kementerian

Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Page 50: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

50

Dengan demikian, hasil pelaksanaan Renstra Deputi Bidang Pengawasan

Produk Terapetik dan NAPZA Tahun 2015-2019 dapat memberikan kontribusi

terhadap visi, misi dan tujuan BPOM Tahun 2015-2019.

DEPUTI BIDANG PENGAWASAN PRODUK TERAPETIK DAN NAPZA Drs. T. Bahdar J. H. Apt, M. Pharm NIP. 19560807 198603 1 001

Page 51: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

51

Page 52: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

Renstra Deputi I 2015-2019

Page 53: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

KEPUTUSAN DEPUTI BIDANG PENGAWASAN PRODUK TERAPETIK

DAN NAPZA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

REPUBLIK INDONESIA

NOMOR HK.05.02.322.3.05.15.859 TAHUN 2015

TENTANG

RENCANA STRATEGIS DEPUTI BIDANG PENGAWASAN

PRODUK TERAPETIK DAN NAPZA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN TAHUN 2015-2019

DEPUTI BIDANG PENGAWASAN PRODUK TERAPETIK DAN NAPZA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 3

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan

Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Strategis Badan

Pengawas Obat dan Makanan Tahun 2015-2019, perlu

menetapkan Keputusan Deputi Bidang Pengawasan Produk

Terapetik dan NAPZA Badan Pengawas Obat dan Makanan

tentang Rencana Strategis Deputi Bidang Pengawasan

Produk Terapetik dan NAPZA Badan Pengawas Obat dan

Makanan Tahun 2015-2019;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);

2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-

2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007

Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4700);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2006 tentang

Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor

97, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4664);

4. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang

Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan

Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non

Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah

terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun

2013;

Page 54: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

-2-

5. Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 2001 tentang Unit

Organisasi dan Tugas Eselon I Lembaga Pemerintah Non

Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah

terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun

2013;

6. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

Tahun 2015-2019;

7. Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan

Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan

Nasional Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pedoman

Penyusunan dan Penelaahan Rencana Strategis

Kementerian/Lembaga (Renstra K/L) 2015-2019;

8. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan

Nomor 02001/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan

Makanan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor

HK.00.05.21.4231 Tahun 2004;

9. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan

Nomor 14 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pengawas

Obat dan Makanan (Berita Negara Republik Indonesia

Tahun 2014 Nomor 1714);

10. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan

Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Strategis Badan

Pengawas Obat dan Makanan Tahun 2015-2019 (Berita

Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 515);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN DEPUTI BIDANG PENGAWASAN PRODUK

TERAPETIK DAN NAPZA BADAN PENGAWAS OBAT DAN

MAKANAN TENTANG RENCANA STRATEGIS DEPUTI

BIDANG PENGAWASAN PRODUK TERAPETIK DAN NAPZA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN TAHUN 2015-

2019.

Page 55: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

-3-

Pertama : Menetapkan dan mengesahkan Rencana Strategis Deputi

Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA Badan

Pengawas Obat dan Makanan Tahun 2015-2019, yang

selanjutnya disebut Renstra Deputi Bidang Pengawasan

Produk Terapetik dan NAPZA, sebagaimana tercantum dalam

Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari

Keputusan ini.

Kedua : Renstra Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan

NAPZA memuat visi, misi, tujuan, sasaran strategis,

kebijakan, strategi, program, dan kegiatan sesuai dengan

tugas dan fungsi Deputi Bidang Pengawasan Produk

Terapetik dan NAPZA dalam rangka mencapai sasaran

strategis Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Ketiga : Renstra Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan

NAPZA sebagaimana dimaksud pada diktum Kedua berfungsi

sebagai:

a. acuan bagi setiap unit organisasi eselon II di lingkungan

Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA

Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam menyusun

Rencana Strategis Tahun 2015-2019;

b. acuan bagi setiap unit organisasi eselon II di lingkungan

Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA

Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam menyusun

dokumen perencanaan tahunan;

c. dasar penyelenggaraan Sistem Akuntabilitas Kinerja

Instansi Pemerintah di lingkungan Deputi Bidang

Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA Badan

Pengawas Obat dan Makanan.

Keempat : Terhadap pelaksanaan Renstra Deputi Bidang Pengawasan

Produk Terapetik dan NAPZA dilakukan:

a. pemantauan secara berkala; dan

b. evaluasi pada paruh waktu dan tahun terakhir periode

Rencana Strategis;

Page 56: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

-4-

Kelima : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 4 Mei 2015 DEPUTI BIDANG PENGAWASAN PRODUK TERAPETIK DAN NAPZA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Drs, T. Bahdar J. H, Apt, M.Pharm NIP 19560807 198603 1 001

Page 57: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

2015 2016 2017 2018 2019

standar kebutuhan 61 61 61 62 62

yg ada 31 31 31 31 31

pensiun 1 1 1 0 0

Distribusi kebutuhan 130 130 130 130 130

yg ada 56 56 56 56 56

pensiun 0 2 2 3 2

NAPZA kebutuhan 62 64 66 68 70

yg ada 42 42 42 42 42

pensiun 1 3 0 4 0

Penilaian kebutuhan 135 150 155 160 168

yg ada 86 86 86 83 83

pensiun 0 0 0 3 0

Produksi kebutuhan 86 86 86 86 86

yg ada 54 54 54 54 54

pensiun 0 0 0 0 0

2015 2016 2017 2018 2019

Standar

kebutuhan SDM

(berdasarkan

ABK 2015) 474 491 498 506 516

SDM yg tersedia 269 269 269 266 266

SDM Pensiun,

pindah dll 2 6 3 10 2

Kekurangan

SDM 203 216 226 230 248

0100200300400500600

2015 2016 2017 2018 2019

Standar kebutuhan SDM(berdasarkan ABK 2015)

474 491 498 506 516

SDM yg tersedia 269 269 269 266 266

SDM Pensiun, pindah dll 2 6 3 10 2

Kekurangan SDM 203 216 226 230 248