depresi postpartum-khusnul amra

Upload: ardhuha

Post on 29-Oct-2015

22 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

tulisan

TRANSCRIPT

DEPRESI POSTPARTUMGol Penyakit SKDI : 3A

1. DEFINISI

Depresi postpartum merupakan istilah yang digunakan pada pasien yang mengalami berbagai gangguan emosional yang timbul setelah melahirkan. Pasien akan mengalami gejala afektif selama periode postpartum. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM-IV), sebuah depresi dipertimbangkan sebagai postpartum jika dimulai selama empat minggu setelah kelahiran. Pola gejala pada wanita dengan depresi postpartum sama pada wanita yang mengalami masa depresi selama tidak hamil (Joy, 2012; Wisner, Parry dan Piontek, 2002).

2. INSIDENSIHampir 85% wanita mengalami gangguan mood selama periode postpartum; AAP mengestimasikan bahwa terdapat 400.000 bayi yang lahir dari ibu yang mengalami depresi. Kebanyakan wanita mengalami gangguan mood yang bersifat sementara dan ringan, 10-15% wanita mengalami gangguan mood dalam waktu yang lebih lama dan menetap menjadi depresi, dan sekitar 0,1-0,2% wanita mengalami postpartum psychosis (Joy, 2012).Penelitian kejadian depresi postpartum di Amerika Serikat menunjukkan bahwa ada sekitar 13% perempuan primipara mengalami depresi postpartum pada periode tahun pertama postpartum. Penelitian serupa yang dilakukan di Taiwan menunjukkan bahwa tingkat kejadian depresi postpartum ringan sampai berat adalah sebesar 40%. Penelitian lain menemukan bahwa 18 perempuan menderita depresi dari 40 partisipan yang diteliti. Berdasarkan hasil penelitian di berbagai negara, terdapat 50%-80% perempuan primipara mengalami postpartum blues, sedangkan depresi postpartum sedang atau berat atau gangguan bipolar berkisar 30 sampai 200 per 1000 kelahiran hidup. Insiden gangguan psikosis ringan berkisar 1 setiap 1000 kelahiran hidup. Hasil penelitian yang dilakukan di RS Hasan Sadikin Bandung mencatat 33% ibu yang bersalin mengalami depresi postpartum dan di RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta mencatat bahwa terdapat 37,3% perempuan yang bersalin mengalami depresi (Nazara, 2009).

3. FAKTOR RISIKOPenurunan kadar hormon reproduksi secara cepat yang terjadi setelah melahirkan diyakini memberikan kontribusi terhadap perkembangan depresi pada wanita rentan. Meskipun kejadian depresi portpartum dipengaruhi oleh keadaan hormonal, ada beberapa faktor risiko lain yang mempengaruhi terjadinya keadaan ini, seperti riwayat depresi pribadi, riwayat depresi postpartum pada kehamilan sebelumnya, depresi selama masa kehamilan. Riwayat depresi pribadi dapat terjadi karena tekanan yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, seperti mengasuh anak, kurangnya dukungan sosial (khususnya dari pasangan) dan status keuangan rumah tangga (Joy, 2012; Wisner, Parry dan Piontek, 2002).Terdapat beberapa tingkatan faktor risiko berkaitan dengan kejadian depresi postpartum. Faktor risiko tinggi akan terjadinya depresi postpartum adalah riwayat depresi pribadi, depresi selama masa kehamilan, depresi postpartum pada kehamilan sebelumnya, stres karena peristiwa kehidupan yang terakhir dan dukungan sosial yang rendah. Faktor risiko sedang meliputi tekanan karena mengasuh anak, harga diri yang rendah, neurositisme ibu yang rendah dan perilaku anak yang sulit diatur. Faktor risiko rendah termasuk status perkawinan tunggal, komplikasi kebidanan dan kehamilan, hubungan yang buruk dengan pasangan dan status sosial ekonomi yang rendah termasuk pendapatan (Stewart et al., 2003).

4. MANIFESTASI KLINISGejala depresi postpartum meliputi gangguan emosional, perilaku dan fisik. Gangguan emosional meliputi mudah tersinggung, perasaan sedih, hilang harapan, tidak berdaya, mood swings, ingin menyakiti orang lain (termasuk bayinya, suami dan diri sendiri), merasa bersalah dan takut sendirian. Gangguan perilaku yang dapat terjadi berupa kurang peduli terhadap bayinya sendiri atau sebaliknya, kurang merawat dirinya sendiri, enggan melakukan aktivitas yang menyenangkan, motivasi menurun, enggan bersosialisasi dan sulit mengambil keputusan. Gangguan fisik yang biasanya muncul antara lain cepat merasa lelah, mengalami gangguan tidur dan selera makan, sesak napas, mual dan muntah, dan jantung berdebar cepat (National Mental Health Association, 2003).

5. DIAGNOSISKriteria yang digunakan dalam menegakkan diagnosis berdasarkan pada riwayat dan gejala-gejala mengikuti Diagnostic And Statisctical Manual of Mental Disorders, edisi keempat (DSM-IV). Sebagai penunjang untuk menegakkan diagnosis, digunakan juga uji Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS).

6. DIAGNOSIS BANDINGMeskipun depresi postpartum adalah gangguan afektif postpartum yang sering terjadi, terdapat beberpa gangguan afektif lainnya yang juga dapat terjadi selama periode postpartum. Gangguan afektif postpartum yang paling berat yang dapat terjadi adalah psikosis postpartum. Jika hal tersebut terjadi, seorang ibu yang sedang berada dalam masa postpartum dapat mengalami pikiran-pikiran psikotik yang berbahaya bagi dirinya dan bayinya. Seseorang baru akan didiagnosis mengalami psikosis postpartum apabila mengalami halusinasi (pendengaran dan atau penglihatan), delusi dan agitasi. Psikosis postpartum mempunyai onset yang cepat dan biasanya lebih sering terjadi pada wanita yang mempunyai riwayat gangguan bipolar sebelumnya (Mehta dan Sheth, 2006).

7. PENATALAKSANAANSecara umum, dalam menatalaksanaan ibu dengan depresi postpartum diberikan dengan farmakologis, psikoterapi, terapi hormonal dan terapi profilaksis. a. Farmakologis Antidepresan merupakan terapi farmakologis lini pertama. Beberapa data tedahulu menunjukkan bahwa pemberian estrogen secara tunggal atau dalam bentuk kombinasi dengan antidepresan juga bermanfaat terhadap perbaikan kondisi pasien. Biasanya, gejala mulai berkurang dalam waktu 2-4 minggu dan penyembuhan total berlangsung selama beberapa bulan. Jika ini adalah episode pertama depresi postpartum, 6-12 bulan pengobatan dianjurkan. Pada sebagian besar pasien, peningkatan dosis obat dapat membantu penyembuhan. Untuk wanita dengan depresi berat berulang, pengobatan jangka panjang dengan antidepresan diindikasikan. Agen anxiolytic seperti lorazepam dan clonazepam mungkin berguna sebagai pengobatan tambahan pada pasien dengan kecemasan dan gangguan tidur (Joy, 2012).Berikut beberapa antidepresan yang dianjurkan untuk digunakan pada depresi postpartum (Joy, 2012).1. SSRISelective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) adalah agen lini pertama dan efektif pada wanita dengan depresi postpartum. Gunakan dosis antidepresan standar (misalnya, fluoxetine [Prozac] 10-60mg/hari, sertraline [Zoloft] 50-200mg/hari, paroxetine [Paxil] 20-60mg/hari, citalopram [Celexa] 20-60mg/hari, atau escitalopram [Lexapro] 10-20mg/hari). Efek samping dari kategori obat ini termasuk insomnia, jitteriness, mual, penekanan nafsu makan, sakit kepala dan disfungsi seksual.2. SNRIsSerotonin / Norepinefrin Reuptake Inhibitor (SNRIs) seperti venlafaxine (Effexor) 75-300mg/hari atau duloxetine (Cymbalta) 40-60mg/hari. Obat jenis ini juga sangat efektif untuk mengelola depresi dan kecemasan. Efek samping dari SNRIs sama halnya dengan efek samping yang timbul akibat penggunaan obat jenis SSRI serta gangguan tidur, sembelit dan gangguan penglihatan.3. TCAAntidepresan trisiklik (TCA) (misalnya, nortriptyline 50-150mg/day) mungkin berguna untuk wanita dengan gangguan tidur, meskipun beberapa studi menunjukkan bahwa perempuan merespon lebih baik untuk kategori obat SSRI. Efek samping dari TCA termasuk sedasi, berat badan, mulut kering, konstipasi dan disfungsi seksual.

b. PsikoterapiStrategi pengobatan nonfarmakologis seperti psikoterapi sangat berguna untuk wanita dengan gejala depresi ringan sampai sedang. Psikoterapi dapat berupa psikoterapi secara individual atau dalam bentuk kelompok. Modalitas terapi seperti ini mungkin sangat menarik bagi ibu yang menyusui dan yang ingin menghindari minum obat (Joy, 2012).Dalam studi yang melibatkan 120 wanita yang baru saja melahirkan, psikoterapi interpersonal, pengobatan 12-sesi yang berfokus pada perubahan peran dan pentingnya suatu hubungan, efektif untuk menghilangkan gejala depresi dan perbaikan fungsi psikososial. Psikoterapi interpersonal yang dilakukan pada sekelompok orang selama masa kehamilan terbukti dapat mencegah depresi postpartum (Wisner, Parry dan Piontek, 2002).

c. Terapi HormonalEstradiol telah terbukti dapat digunakan sebagai pengobatan untuk depresi postpartum. Dalam sebuah penelitian yang membandingkan transdermal 17-estradiol (200 mg per hari) dengan plasebo, kelompok partisipan yang diobati dengan estradiol mengalami penurunan yang signifikan dalam skor depresi selama bulan pertama. Namun, hampir setengah wanita juga diobati dengan antidepresan, sehingga efek dari estradiol dalam bentuk tunggal masih belum jelas. Pemberian profilaksis progestogen setelah melahirkan meningkatkan risiko depresi postpartum dibandingkan dengan plasebo (Wisner, Parry dan Piontek, 2002).

d. Terapi ProfilaksisWanita yang mempunyai riwayat depresi sebelum kehamilan dan atau selama masa kehamilannya dapat beresiko menjadi depresi postpartum setelah melahirkan. Terapi preventif setelah melahirkan harus dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat depresi sebelumnya. Obat yang direspon pasien sebelumnya dengan selective-serotonin-reuptake ( SSRIs ) inhibitor adalah pilihan rasional. Perlu dilakukan penanganan depresi postpartum termasuk pengawasan akan terjadinya kekambuhan, dengan sebuah rencana intervensi cepat jika ada indikasi (Wisner, Parry dan Piontek, 2002).

8. KOMPLIKASIDepresi postpartum yang tidak ditangani dengan baik dapat membawa efek buruk dalam jangka waktu yang lama. Bagi ibu, episode depresi postpartum yang tidak ditangani dapat berubah menjadi depresi kronik atau depresi berulang dan tentu saja dapat mengganggu fungsi kehidupannya. Keadaan ibu yang sedang mengalami depresi berkontribusi langsung terhadap emosi, perilaku, kognitif dan masalah interpersonal bayinya dikehidupan yang akan datang (Stewart et al., 2003).9. PROGNOSIS Depresi postpartum dengan gejala-gejala yang ringan biasanya hilang dengan terapi farmakologi dan psikoterapi. Prognosis pasien yang mengalami depresi postpartum berat masih belum diketahui pasti. Kebanyakan dari pasien tersebut mengalami episode depresi postpartum berulang atau bahkan menetap menjadi depresi kronik.

10. PENCEGAHAN Beberapa tindakan yang dapat dilakukan guna menghindari depresi postpartum antara lain dengan a). Menghindarkan ibu dari perubahan besar atau mendadak dalam hidupnya, b). Menyarankan ibu untuk melakukan aktivitas jasmani secara rutin, c). Membantu ibu dalam mempersiapkan makan bergizi dan seimbang, d). Membantu ibu membuat janji konsultasi dengan tenaga medis secara berkala (National Mental Health Association, 2003).

REFERENSI

Joy, S., 2012. Postpartum Depression. [online] Available at http://emedicine.medscape.com/article/271662-overview [Diakses pada tanggal 13 April 2013].

Mehta , A. dan Sheth, S., 2006. Postpartum Depression: How to Recognize and Treat This Common Condition. Medscape Psychiatry and Mental Health, 11 (1).

National Mental Health Association, 2003. Recognizing Postpartum Depression. [online] Available at www. nmha.org [Diakses pada tanggal 13 April 2013].

Nazara, Y., 2009. Efektivitas Psikoedukasi Terhadap Pencegahan Depresi Pascasalin (Penelitian Di Pelayanan Kesehatan Kabupaten Nias, Sumatera Utara). Maj Obstet Ginekol Indones, [online] 33 (4), pp. 216-223. Available at http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/IJOG/article/download/956/954 [Diakses pada tanggal 13 April 2013].

Stewart, D. E. Robertson, E. Dennis, C. L. Grace, S. L. dan Wallington, T., 2003. Postpartum Depression: Literature Review of Risk Factors And Interventions. University Health Network. Toronto.

Wisner, K. L. Parry, B. L. dan , Piontek, C. M., 2002. Postpartum Depression. The New England Journal of Medicine, [online], pp. 194-199. Available at www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMcp011542 [Diakses pada tanggal 13 April 2013].