dengue hemorrhagic fever

20
Dengue Hemorrhagic Fever Pengertian Demam berdarah dengue atau DHF adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh empat serotipe virus dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4)dan ditandai dengan empat gejala klinis utama yaitu demam yang tinggi, manifestasi perdarahan (ptekiae, gusi berdarah, perdarahan subkonjungtiva, perdarahan saluran cerna), hepatomegali, dan tanda-tanda kegagalan sirkulasi sampai timbulnya syok (sindroma syok dengue) sebagai akibat dari kebocoran plasma yang dapat menyebabkan kematian (Soe soegijanto, 2002). Puncak kasus DBD terjadi pada musim hujan yaitu bulan Desember sampai dengan Maret. Epidemiologi DHF Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan suatu spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), dengue fever, dengur hemorrhagic fever (DHF) dan dengue shock syndrome (DSS); yang terakhir dengan mortalitas tinggi yang disebabkan syok dan perdarahan hebat (FK UI, 1985). Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini dapat disamakan dengan sebuah gunung es. DHF dan DSS sebagai kasus-kasus yang dirawat di rumah sakit merupakan puncak gunung es yang kelihatan diatas permukaan laut, sedangkan kasus-kasus dengue ringan (demam dengue dan silent dengue infection) merupakan dasar gunung es. Diperkirakan untuk setiap kasus renjatan yang dijumpai di rumah sakit, telah terjadi 150 – 200 kasus silent dengue infection. Dalam kurun waktu 4 tahun yaitu pada tahun 2007-2010, kasus DBD di Indonesia meningkat tiap tahunnya. Terdapat dua

Upload: rarasrachmandiar

Post on 22-Dec-2015

46 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Dengue Hemorrhagic Fever

TRANSCRIPT

Dengue Hemorrhagic Fever

PengertianDemam berdarah dengue atau DHF adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh empat serotipe virus dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4)dan ditandai dengan empat gejala klinis utama yaitu demam yang tinggi, manifestasi perdarahan (ptekiae, gusi berdarah, perdarahan subkonjungtiva, perdarahan saluran cerna), hepatomegali, dan tanda-tanda kegagalan sirkulasi sampai timbulnya syok (sindroma syok dengue) sebagai akibat dari kebocoran plasma yang dapat menyebabkan kematian (Soe soegijanto, 2002). Puncak kasus DBD terjadi pada musim hujan yaitu bulan Desember sampai dengan Maret.

Epidemiologi DHFInfeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan suatu spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), dengue fever, dengur hemorrhagic fever (DHF) dan dengue shock syndrome (DSS); yang terakhir dengan mortalitas tinggi yang disebabkan syok dan perdarahan hebat (FK UI, 1985). Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini dapat disamakan dengan sebuah gunung es. DHF dan DSS sebagai kasus-kasus yang dirawat di rumah sakit merupakan puncak gunung es yang kelihatan diatas permukaan laut, sedangkan kasus-kasus dengue ringan (demam dengue dan silent dengue infection) merupakan dasar gunung es. Diperkirakan untuk setiap kasus renjatan yang dijumpai di rumah sakit, telah terjadi 150 – 200 kasus silent dengue infection.

Dalam kurun waktu 4 tahun yaitu pada tahun 2007-2010, kasus DBD di Indonesia meningkat tiap tahunnya. Terdapat dua puncak epidemik di tahun 2007 terdapat 158.115 kasus dan 2009 terdapat sekitar 158.912 kasus. Pada tahun 2008 terdapat 137.469 kasus (Insiden Rate = 59,02 per 100.000 penduduk) dan tahun 2010 mencapai sekitar 140.000 kasus.

Provinsi Jawa Tengah dapat dikatakan sebagai provinsi yang endemis untuk penyakit DBD. Berdasarkan data dari profil kesehatan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007 terdapat sebanyak 20.565 kasus, tahun 2008 sebanyak 19.307 kasus, tahun 2009 kasus turun menjadi 18.728 kasus dan pada tahun 2010 sekitar 17.000 kasus DBD.

Di beberapa negara penularan virus dengue dipengaruhi oleh adanya musim, jumlah kasus biasanya meningkat bersamaan dengan peningkatan curah hujan. Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu jelas, akan tetapi secara garis besar dapat dikemukakan bahwa jumlah penderita meningkat antara bulan September sampai

Februari dan mencapai puncaknya pada bulan Januari. Di daerah urban yang berpenduduk padat puncak penderita adalah bulan Juni-Juli hal ini bertepatan dengan awal musim kemarau. Dari pengamatan di Surabaya antara tahun 1987-1991 menunjukkan bahwa distribusinya berubah-ubah dan puncaknya mengikuti pola perubahan kejadian musim hujan ke musim panas atau sebaliknya.

Walaupun DHF bisa mengenai semua kelompok umur, namun terbanyak pada anak dibawah umur 15 tahun. Di Indonesia, Suroso (1997) mengemukakan bahwa penderita demam berdarah dengue terbanyak umur 5-14 tahun.

Manifestasi klinis demam berdarah dengue (WHO, 1999):a. Demam, atau riwayat demam akut, berlangsung 2-7 hari kadang bifasik.b. Kecenderungan perdarahan, dibuktikan sedikitnya dengan satu hal berikut:

a. Tes tourniket positifb. Petekie, ekimosis atau purpurac. Perdarahan dari mukosa, saluran gastrointestinal, tempat injeksi atau lokasi lain.d. Hematemesis dan melena

c. Trombositopenia (100.000 sel per mm3 atau kurang).d. Adanya rembesan plasma karena peningkatan permeabilitas vaskular,

dimanifestasikan oleh sedikitnya hal berikut:a. Peningkatan hematokrit sama atau lebih besar dari 20% diatas rata-rata usia, jenis

kelamin, dan populasi.b. Penurunan hematokrit setelah tindakan penggantian volume sama dengan atau

lebih besar dari 20% data dasar.c. Tanda-tanda rembesan plasma seperti efusi pleural, asites, dan hipoproteinemia.

Patofisiologi DHFVirus dengue akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypti dan kemudian akan bereaksi dengan antibodi dan terbentuklah kompleks virus antibody, dalam sirkulasi akan mengaktivasi sistem komplement. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a, dua peptida yang berdaya untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat sebagai faktor meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangkan plasma melalui endotel dinding itu.

Terjadinya trombositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor koagulasi (protrombin, faktor V, VII, IX, X dan fibrinogen) merupakan faktor penyebab terjadinya perdarahan hebat, terutama perdarahan saluran gastrointestinal pada DHF.Yang menentukan beratnya penyakit adalah meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunya volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia dan

diatesis homoragik. Syok terjadi secara akut. Nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan hilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Dan dengan hilangnya plasma klien mengalami hipovolemik. Apabila tidak diatasi bisa terjadi anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian.

Temuan laboratorium pada DHFTrombositopenia dan hemokonsentrasi adalah temuan tetap pada DHF (WHO, 1999). Penurunan pada jumlah trombosit sampai dibawah 100.000 per mm3 biasanya ditemukan antara hari ketiga dan kedelapan, sering sebelum atau bersamaan dengan perubahan hematokrit. Peningkatan kadar hematokrit, yang menunjukkan rembesan plasma, selalu terjadi, bahkan pada kasus non-syok, tetapi lebih menonjol pada kasus syok. Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit 20% atau lebih dianggap menjadi bukti definitif adanya peningkatan permeabilitas vaskular dan rembesan plasma. Harus diperhatikan bawha kadar hematokrit dapat dipengaruhi baik pada penggantian dini volume atau oleh perdarahan. Hubungan perjalanan waktu antara penurunan jumlah trombosit dan peningkatan cepat hematokrit tampak menjadi unik pada DHF; baik perubahan terjadi sebelum penurunan suhu dan sebelum awitan syok.

Pada DHF, jumlah sel darah putih mungkin bervariasi pada awitan penyakit, berkisar dari leukopenia sampai leukositosis ringan, tetapi penurunan jumlah sel darah putih total karena penurunan pada jumlah neutrofil secara nyata selalu terlihat mendekati akhir fase demam. Limfositosis relatif, dengan adanya limfositis atipikal, adalah temuan umum sebelum penurunan suhu atau syok. Albuminuria ringan transien kadang terjadi, dan darah samar sering ditemukan dalam feses. Pada kebanyakan kasus, asai koagulasi atau faktor fibrinolitik menunjukkan penurunan fibrinogen, protombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. Reduksi pada antiplasmin-α (inhibitor α-plasmin) telah ditemukan pada beberapa kasus. Pada kasus berat dengan disfungsi hepar nyata, reduksi terlihat pada kadar faktor protrombin yang adalah vitamin K dependen, seperti pada faktor V, VII, IX, dan X. Masa tromboplastin parsial dan masa protrombin memanjang pada kira-kira setengah dan sepertigapasien DHF, secara berurutan. Masa trombin memanjang pada kasus berat. Fungsi trombosit juga telah terganggu. Kadar komplemen serum, terutama C3, berkurang.

Temuan umum lain adalah hipoproteinemia (karena kehilangan albumin), hiponatremia, dan peningkatan kadar aminotransferase aspartat serum. Asidosis metabolik sering terjadi pada syok lama. Nitrogen urea darah meningkat pada tahap akhir syok. Pemeriksaan rontgen dada menunjukkan efusi pleural, kebanyakan pada sisi kanan, sebagai temuan tetap, dan efusi pleural luas dihubungkan dengan beratnya penyakit. Pada syok, efusi plerural bilateral adalah temuan umum.

Komplikasi dan manifestasi takunumDengan makin umumnya infeksi dengue, peningkatan jumlah kasus DF atau penyakit seperti DHF telah dihubungkan dengan manifestasi takumum (WHO, 1999). Manifestasi ini termasuk fenomena sistem saraf pusat seperti kejang, spastisitas, perubahan kesadaran dan paresis transien. Bentuk kejang halus kadang terjadi selama fase demam pada bayi. Kejang ini mungkin hanya kejang demam sederhana, karena cairan serebrospinal ditemukan normal pada kasus ini. Intoksikasi air akibat dari pemberian cairan isotonik berlebihan untuk mengatasi pasien DHF/DSS dengan hiponatremia dapat menimbulkan ensefalopati. Pasien dengan ensefalopati sebagai komplikasi dari koagulasi intravaskular diseminata juga telah dilaporkan.

Perawatan sangat hati-hati harus dilakukan untuk mencegah komplikasi iatrogenik dalam pengobatan DHF/DSS, untuk mengenalinya dengan cepat bila terjadi dan untuk tidak keliru terhadap komplikasi iatrogenik yang dapat dicegah dan diatasi dengan temuan DHF/DSS normal. Komplikasi ini termasuk sepsis, pneumonia, infeksi luka, dan hidrasi berlebihan. Penggunaan jalur intravena terkontaminasi dapat mengakibatkan sepsis Gram-negatif yang disertai dengan demam, syok dan perdarahan berat; pneumonia dan infeksi lain dapat menyebabkan demam dan menyulitkan pemulihan. Hidrasi berlebihan dapat menyebabkan gagal jantung atau pernapasan, yang mungkin dianggap keliru dengan syok.

Gagal hepar telah dihubungkan dengan DHF/DSS, terutama selama epidemik di Indonesia pada tahun 1970-an dan epidemik di Thailand pada tahun 1987. Gagal hepar ini mungkin karena kompensasi resusitasi pasien dengan gagal sirkulasi berat, atau karena tropisme hepar akibat strain viral tertentu. Serotipe virus dengue 1, 2, dan 3 telah diisolasi dari pasien yang meninggal karena gagal hati, dengan infeksi dengue primer maupun sekunder. Hepatosit nekrosis ditemukan meluas pada beberapa kasus ini. Antigen dengue terdeteksi pada hepatosis, pada sel-sel Kupffer dan kadang pada sel inflamasi akut. Temuan histopatologis dibedakan dari temuan yang terlihat pada sindrom Reye. Apakah cedera hepar karena efek langsung infeksi dengue atau respons penjamu terhadap infeksi, masih diselidiki. Ensefalopati yang berhubungan dengan gagal hepar akut umum terjadi, dan gagal ginjal adalah kejadian akhir yang umum.

Manifestasi takumum lain yang dilaporkan mencakup gagal ginjal dan sindrom uraemik hemolitik, kadang pada pasien dengan kondisi dasar mis, defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) dan hemoglobinopati. Infeksi bersamaan seperti leptospirosis, hepatitis-B virus, demam tifoid, cacar dan melioidosis, telah dilaporkan dan dapat memperberat manifestasi takumum dari DHF/DSS.

Pertahapan keparahan demam berdarah dengue

DHF diklasifikasikan menjadi empat tingkatan keparahan, dimana derajat III dan IV dianggap DSS (WHO, 1999). Adanya trombositopenia dengan disertai hemokonsentrasi membedakan derajat I dan II DHF dari DF. WHO (1999) mengklasifikasikan menjadi empat tingkatan yaitu :- Derajat I : Demam disertai dengan gejala konstitusional non-spesifik; satu-satunya

manifestasi perdarahan adalah tes tourniket positif dan/atau mudah memar.- Derajat II : Perdarahan spontan selain manifestasi pasien pada Derajat I, biasanya

pada bentuk perdarahan kulit atau perdarahan lain.- Derajat III : Gagal sirkulasi dimanifestasikan dengan nadi cepat dan lemah serta

penyempitan tekanan nadi atau hipotensi, dengan adanya kulit dingin dan lembab serta gelisah.

- Derajat IV : Syok hebat dengan tekanan darah atau nadi tidak terdeteksi.

Pentahapan keparahan penyakit pada waktu pemulangan telah menunjukkan manfaat secara klinis dan epidemilogis pada epidemik DHF pada anak-anak di Wilayah WHO Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat, dan pengalaman di Kuba, Puerto Riko dan Venezuela menunjukkan bahwa pentahapan juga bermanfaat untuk kasus orang dewasa

(WHO, 1999).

CAMPAK

Pengertian Campak

Penyakit Campak dikenal juga dengan istilah morbili dalam bahasa latin dan measles dalam bahasa Inggris. Campak, pada masa lalu dianggap sebagai suatu hal yang harus dialami oleh setiap anak, mereka beranggapan, bahwa penyakit Campak dapat sembuh sendiri bila ruam sudah keluar, sehingga anak yang sakit Campak tidak perlu diobati. Ada anggapan bahwa semakin banyak ruam keluar semakin baik. Bahkan ada upaya dari masyarakat untuk mempercepat keluarnya ruam, dan ada pula kepercayaan bahwa penyakit Campak akan berbahaya bila ruam tidak keluar pada kulit sebab ruam akan muncul dirongga tubuh lain seperti dalam tenggorokan, paru-paru, perut atau usus. Hal ini diyakini akan menyebabkan sesak napas atau diare yang dapat menyebabkan kematian.12,13

Penyakit Campak sangat potensial untuk menimbulkan wabah, penyakit ini dapat dicegah dengan pemberian imunisasi Campak. Tanpa imunisasi, 90% dari mereka yang mencapai usia 20 tahun pernah menderita Campak. Dengan cakupan Campak yang mencapai lebih dari 90% dan merata sampai ke tingkat desa diharapkan jumlah kasus Campak akan menurun oleh karena terbentuknya kekebalan kelompok (herd immunity).14

Penyebab Penyakit Campak

Penyakit Campak disebabkan oleh virus Campak yang termasuk golongan paramyxovirus. Virus ini berbentuk bulat dengan tepi yang kasar dan begaris tengah 140 mm, dibungkus oleh selubung luar yang terdiri dari lemak dan protein, didalamnya terdapat nukleokapsid yang bulat lonjong terdiri dari bagian protein yang mengelilingi asam nukleat (RNA), merupakan sruktur heliks nukleoprotein yang berada dari myxovirus. Selubung luar sering menunjukkan tonjolan pendek, satu protein yang berada di selubung luar muncul sebagai hemaglutinin.13

Gambar 1. Virus Campak

Sifat VirusVirus Campak adalah organisme yang tidak memiliki daya tahan yang kuat, apabila berada diluar tubuh manusia virus Campak akan mati. Pada temperatur kamar virus Campak kehilangan 60% sifat infektisitasnya selama 3 – 5 hari. Tanpa media protein virus Campak hanya dapat hidup selama 2 minggu dan hancur oleh sinar ultraviolet. Virus Campak termasuk mikroorganisme yang bersifat ether labile karena selubungnya terdiri dari lemak, pada suhu kamar dapat mati dalam 20% ether selama 10 menit, dan 50% aseton dalam 30 menit.13

Cara Penularan Penyakit Campak Virus Campak ditularkan dari orang ke orang, manusia merupakan satu-satunya reservoir penyakit Campak . Virus Campak berada disekret nasoparing dan di dalam darah minimal selama masa tunas dan dalam waktu yang singkat setelah timbulnya ruam. Penularan terjadi melalui udara, kontak langsung dengan sekresi hidung atau tenggorokan dan jarang terjadi oleh kontak dengan benda-benda yang terkontaminasi dengan sekresi hidung dan tenggorokan.16

Penularan dapat terjadi antara 1 – 2 hari sebelumnya timbulnya gejala klinis sampai 4 hari setelah timbul ruam. Penularan virus Campak sangat efektif sehingga dengan virus yang sedikit sudah dapat menimbulkan infeksi pada seseorang.13

Masa Inkubasi Penyakit CampakMasa inkubasi berkisar antara 8 – 13 hari atau rata-rata 10 hari.14

Epidemiologi Penyakit Campak Distribusi Frekuensi Penyakit Campak

1. HostCampak adalah penyakit menular yang dapat menginfeksi anak-anak pada usia dibawah 15 bulan, anak usia sekolah atau remaja. Penyebaran penyakit Campak berdasarkan umur berbeda dari satu daerah dengan daerah lain, tergantung dari kepadatan penduduknya, terisolasi atau tidaknya daerah tersebut. Pada daerah urban yang berpenduduk padat transmisi virus Campak sangat tinggi.16

2. TempatBerdasarkan tempat penyebaran penyakit Campak berbeda, dimana daerah perkotaan siklus epidemi Campak terjadi setiap 2-4 tahun sekali, sedangkan di daerah pedesaan penyakit Campak jarang terjadi, tetapi bila sewaktu-waktu terdapat penyakit Campak maka serangan dapat bersifat wabah dan menyerang kelompok umur yang rentan.12

Berdasarkan profil kesehatan tahun 2008 terdapat jumlah kasus Campak yaitu 3424 kasus di Jawa barat, di Banten 1552 kasus, di Jawa tengah 1001 kasus.17

3. WaktuDari hasil penelitian retrospektif oleh Jusak di rumah sakit umum daerah Dr. Sutomo Surabaya pada tahun 1989, ditemukan Campak di Indonesia sepanjang tahun, dimana peningkatan kasus terjadi pada bulan Maret dan mencapai puncak pada bulan Mei, Agustus, September dan oktober.13

Determinan Penyakit Campak Faktor-faktor yang menyebabkan tingginya kasus Campak pada balita di suatu daerah adalah :1. Faktor Host

- Status imunisasiBalita yang tidak mendapat imunisasi Campak kemungkinan kena penyakit Campak sangat besar. Dari hasil penyelikan tim Ditjen PPM & PLP dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tentang KLB penyakit Campak di Desa Cinta Manis Kecamatan Banyuasin Sumatera Selatan (1996) dengan desain cross sectional, ditemukan balita yang tidak mendapat imunisasi Campak mempunyai risiko 5 kali lebih besar untuk terkena campak di banding balita yang mendapat Imunisasi.

- Status giziBalita dengan status gizi kurang mempunyai resiko lebih tinggi untuk terkena penyakit Campak dari pada balita dengan gizi baik.11 Menurut penelitian Siregar (2003) di Bogor, anak berumur 9 bulan sampai dengan 6 tahun yang status gizinya kurang mempunyai risiko 4,6 kali untuk terserang Campak disbanding dengan anak yang status gizinya baik.19

2. Environment - Keterjangkauan Pelayanan Kesehatan

Desa terpencil, pedalaman, daerah sulit, daerah yang tidak terjangkau pelayanan kesehatan khususnya imunisasi, daerah ini merupakan daerah rawan terhadap penularan penyakit Campak.

Gejala Klinis Penyakit Campak

Penyakit campak dibagi dalam tiga stadium20

Stadium Kataral atau Prodromal Biasanya berlangsung 4-5 hari, ditandai dengan panas, lesu, batuk-batuk dan mata merah. Pada akhir stadium, kadang-kadang timbul bercak Koplik`s (Koplik spot) pada mukosa pipi/daerah mulut, tetapi gejala khas ini tidak selalu dijumpai. Bercak Koplik ini berupa bercak putih kelabu, besarnya seujung jarum pentul yang dikelilingi daerah kemerahan. Koplik spot ini menentukan suatu diagnose pasti terhadap penyakit campak.

Stadium ErupsiBatuk pilek bertambah, suhu badan meningkat oleh karena panas tinggi, kadan-kadang anak kejang-kejang, disusul timbulnya rash (bercak merah yang spesifik), timbul setelah 3 – 7 hari demam. Rash timbul secara khusus yaitu mulai timbul di daerah belakang telinga, tengkuk, kemudian pipi, menjalar keseluruh muka, dan akhirnya ke badan. Timbul rasa gatal dan muka bengkak.

Gambar 2. Gejala Campak

Stadium Konvalensi atau penyembuhan

Erupsi (bercak-bercak) berkurang, meninggalkan bekas kecoklatan yang disebut hiperpigmentation, tetapi lama-lama akan hilang sendiri. panas badan menurun sampai normal bila tidak terjadi komplikasi.

Perbedaan Campak dan Rubella

Komplikasi Penyakit Campak 20, 21

Adapun komplikasi yang terjadi disebabkan oleh adanya penurunan daya tahan tubuh secara umum sehingga mudah terjadi infeksi tumpangan. Hal yang tidak diinginkan adalah terjadinya komplikasi karena dapat mengakibatkan kematian pada balita, keadaan inilah yang menyebabkan mudahnya terjadi komplikasi sekunder seperti : Otitis media akut, Ensefalitis, Bronchopneumonia, dan Enteritis.

BronchopneumoniaBronchopneumonia dapat terjadi apabila virus Campak menyerang epitel saluran pernafasan sehingga terjadi peradangan disebut radang paru-paru atau Pneumonia. Bronchopneumonia dapat disebabkan virus Campak sendiri atau oleh Pneumococcus, Streptococcus, dan Staphylococcus yang menyerang epitel pada

saluran pernafasan maka Bronchopneumonia ini dapat menyebabkan kematian bayi yang masih muda, anak dengan kurang kalori protein.

Otitis media akutOtitis media akut dapat disebabkan invasi virus Campak ke dalam telinga tengah. Gendang telinga biasanya hyperemia pada fase prodormal dan stadium erupsi. Jika terjadi invasi bakteri pada lapisan sel mukosa yang rusak karena invasi virus terjadi otitis media purulenta.

EnsefalitisEnsefalitis adalah komplikasi neurologic yang paling jarang terjadi, biasanya terjadi pada hari ke 4 – 7 setelah terjadinya ruam. Kejadian ensefalitis sekitar 1 dalam 1.000 kasus Campak, dengan CFR berkisar antara 30 – 40%. Terjadinya Ensefalitis dapat melalui mekanisme imunologik maupun melalui invasi langsung virus Campak ke dalam otak.

EnteritisEnteritis terdapat pada beberapa anak yang menderita Campak, penderita mengalami muntah mencret pada fase prodormal. Keadaan ini akibat invasi virus ke dalam sel mukosa usus.

Pencegahan dan Penanggulangan Campak 13, 22

Pencegahan Campak Pencegahan PrimordialPencegahan primordial dilakukan dalam mencegah munculnya faktor predisposisi/resiko terhadap penyakit Campak. Sasaran dari pencegahan primordial adalah anak-anak yang masih sehat dan belum memiliki resiko yang tinggi agar tidak memiliki faktor resiko yang tinggi untuk penyakit Campak. Edukasi kepada orang tua anak sangat penting peranannya dalam upaya pencegahan primordial. Tindakan yang perlu dilakukan seperti penyuluhan mengenai pendidikan kesehatan, konselling nutrisi dan penataan rumah yang baik.

Pencegahan PrimerSasaran dari pencegahan primer adalah orang-orang yang termasuk kelompok beresiko, yakni anak yang belum terkena Campak, tetapi berpotensi untuk terkena penyakit Campak. Pada pencegahan primer ini harus mengenal faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya Campak dan upaya untuk mengeliminasi factor-faktor tersebut.

ImunisasiDi Indonesia sampai saat ini pencegahan penyakit campak dilakukan dengan vaksinasi Campak secara rutin yaitu diberikan pada bayi berumur 9 – 15 bulan. Vaksin yang digunakan adalah Schwarz vaccine yaitu vaksin hidup yang dioleh menjadi lemah. Vaksin ini diberikan secara subkutan sebanyak 0,5 ml. vaksin campak tidak boleh diberikan pada wanita hamil, anak dengan TBC yang tidak diobati, penderita leukemia.Vaksin Campak dapat diberikan sebagai vaksin monovalen atau polivalen yaitu vaksin measles-mumps-rubella (MMR). vaksin monovalen diberikan pada bayi usia 9 bulan, sedangkan vaksin polivalen diberikan pada anak usia 15 bulan. Penting diperhatikan penyimpanan dan transportasi vaksin harus pada temperatur antara 2ºC - 8ºC atau ± 4ºC, vaksin tersebut harus dihindarkan dari sinar matahari. Mudah rusak oleh zat pengawet atau bahan kimia dan setelah dibuka hanya tahan 4 jam.

Diagnosa Penyakit Campak

Diagnosa dapat ditegakkan dengan anamnese, gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium.23,24

Kasus Campak KlinisKasus Campak klinis adalah kasus dengan gejala bercak kemerahan di tubuh berbentuk macula popular selama tiga hari atau lebih disertai panas badan 38ºC atau lebih (terasa panas) dan disertai salah satu gejala bentuk pilek atau mata merah (WHO).

Kasus Campak KonfirmasiKasus Campak konfirmasi adalah kasus Campak klinis disertai salah satu kriteria yaitu :

Pemeriksaaan laboratorium serologis (IgM positif atau kenaikan titer antibodi 4 kali) dan atau isolasi virus Campak positif.Kasus Campak yg mempunyai kontak langsung dengan kasus konfirmasi, dalam periode waktu 1 – 2 minggu.

Pengobatan penyakit campak

Penderita Campak tanpa komplikasi dapat berobat jalan. Tidak ada obat yang secara langsung dapat bekerja pada virus Campak. Anak memerlukan istirahat di tempat tidur, kompres dengan air hangat bila demam tinggi. Anak harus diberi cukup cairan dan kalori, sedangkan pasien perlu diperhatikan dengan memperbaiki kebutuhan cairan, diet

disesuaikan dengan kebutuhan penderita dan berikan vitamin A 100.000 IU per oral satu kali. Apabila terdapat malnutrisi pemberian vitamin A ditambah dengan 1500 IU tiap hari. Dan bila terdapat komplikasi, maka dilakukan pengobatan untuk mengatasi komplikasi yang timbul.

Word Health Organisation (WHO) mencanangkan beberapa tahapan dalam upaya eradikasi (pemberantasan) penyakit Campak dengan tekanan strategi yang berbedabeda pada setiap tahap yaitu : 13

a. Tahap ReduksiTahap ini dibagi dalam 2 tahap :

a. Tahap Pengendalian Campak Pada tahap ini ditandai dengan upaya peningkatan cakupan imunisasi Campak rutin dan upaya imunisasi tambahan di daerah dengan morbitas Campak yang tinggi. Daerah ini masih merupakan daerah endemis Campak, tetapi telah terjadi penurunan insiden dan kematian, dengan pola epidemiologi kasus Campak menunjukkan 2 puncak setiap tahun.

b. Tahap Pencegahan KLBCakupan imunisasi dapat dipertahankan tinggi ≥ 80% dan merata, terjadi penurunan tajam kasus dan kematian, insidens Campak telah bergeser kepada umur yang lebih tua, dengan interval KLB antara 4-8 tahun.

b. Tahap EliminasiCakupan imunisasi sangat tinggi ≥ 95% dan daerah-daerah dengan cakupan imunisasi rendah sudah sangat kecil jumlahnya, kasus Campak sudah sangat jarang dan KLB hampir tidak pernah terjadi. Anak-anak yang dicurigai rentan (tidak terlindung) harus diselidiki dan diberikan imunisasi Campak.

c. Tahap EradikasiCakupan imunisasi sangat tinggi dan merata, serta kasus Campak sudah tidak ditemukan. Pada sidang The World Health Assambley (WHA) tahun 1998, menetapkan kesepakatan Eradikasi Polio (ERAPO), Eliminasi Tetanus Noenatorum (ETN) dan Reduksi Campak (RECAM). Kemudian pada Technical Consultative Groups (TGC) Meeting di Dakka Bangladesh tahun 1999, menetapkan bahwa reduksi campak di Indonesia berada pada tahap reduksi dengan pencegahan Kejadian Luar Biasa (KLB). Strategi operasional yang dilakukan ditingkat Puskesmas untuk mencapai reduksi Campak tersebut adalah :

- Imunisasi rutin pada bayi 9 – 11 bulan (UCI Desa ≥ 80%)- Imunisasi tambahan (suplemen)- Surveilans (surveilan rutin, system kewaspadaan dini dan respon kejadian luar biasa). - Penyelidikan dan penanggulangan kejadian luar biasa