demensia

23
BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia terus meningkat jumlahnya bahkan pada tahun 2005-2010 diperkirakan menyamai jumlah usia bayi di bawah lima tahun (balita) yaitu sebesar 8,5% dari jumlah seluruh penduduk atau sekitar 19 juta jiwa. Kondisi ini adalah tantangan karena masalah degeratif akibat proses penuaan yang sering menyertai para lansia. Gangguan kognitif merupakan masalah yang cukup serius untuk para usia lanjut, karena dapat mengganggu aktivitas hidup sehari-hari dan kemandirian. Kondisi ini adalah tantangan karena masalah penyakit degeneratif akibat proses penuaan yang sering menyertai para lansia. Kondisi gangguan kognitif ini bervariasi antara ringan, sedang, dan berat. Proses penuaan otak merupakan bagian dari proses degenerasi yang dapat menimbulkan gangguan neuropsikologis, salah satunya yang paling umum terjadi pada lansia adalah demensia. Demensia beresiko tinggi pada kelompok usia diatas 65 tahun dan tidak bergantung pada budaya, suku, kebudayaan, dan status ekonomi. Jumlah

Upload: febiena

Post on 12-Jan-2016

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Demensia

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia terus meningkat jumlahnya

bahkan pada tahun 2005-2010 diperkirakan menyamai jumlah usia bayi di

bawah lima tahun (balita) yaitu sebesar 8,5% dari jumlah seluruh penduduk

atau sekitar 19 juta jiwa. Kondisi ini adalah tantangan karena masalah degeratif

akibat proses penuaan yang sering menyertai para lansia.

Gangguan kognitif merupakan masalah yang cukup serius untuk para

usia lanjut, karena dapat mengganggu aktivitas hidup sehari-hari dan

kemandirian. Kondisi ini adalah tantangan karena masalah penyakit degeneratif

akibat proses penuaan yang sering menyertai para lansia. Kondisi gangguan

kognitif ini bervariasi antara ringan, sedang, dan berat. Proses penuaan otak

merupakan bagian dari proses degenerasi yang dapat menimbulkan gangguan

neuropsikologis, salah satunya yang paling umum terjadi pada lansia adalah

demensia.

Demensia beresiko tinggi pada kelompok usia diatas 65 tahun dan tidak

bergantung pada budaya, suku, kebudayaan, dan status ekonomi. Jumlah

penderita demensia dari tahun ke tahun terus meningkat karena prevalensi

demensia yang meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Menurut data

Badan Kesehatan Dunia tahun 2000 dari 580 juta lansia di dunia sekitar 40 juta

diantaranya mengalami demensia.

Berdasarkan data Deklarasi Kyoto, tingkat prevalensi dan insidensi

demensia di Indonesia menempati urutan keempat setelah China, India, dan

Jepang. Pada tahun 2000 prevalensi demensia sebanyak 606.100 orang dan

insidensi sebanyak 314.100 orang, dan pada tahun 2050 prevalensi demensia

meningkat menjadi 3.042.000 orang dengan insidensi sebanyak 932.000 orang.

Page 2: Demensia

Peningkatan insiden dan prevalensi demensia merupakan tantangan bagi

pemberi pelayanan kesehatan di Indonesia khususnya, karena dampak demesia

yang dapat menimbulkan perubahan perilaku pada lansia. Kondisi ini

menyebabkan lansia demensia memerlukan perhatian dan perawatan yang

khusus dari keluarganya.

Perawatan lansia demensia dapat menimbulkan dampak pada keluarga

berupa beban yang terjadi karena lansia demensia memerlukan pendampingan

yang terus menerus. Hal ini dapat menimbulkan Burden seperti yang

diungkapkan oleh Zarit.

Kondisi ini tentu menarik untuk dikaji dalam kaitannya dengan masalah

demensia. Betapa besar beban yang harus ditanggung oleh negara atau

keluarga jika masalah demensia tidak disikapi secar tepat dan serius,

sehubungan dengan dampak yang ditimbulkannya. Mengingat bahwa masalah

demensia merupakan masalah masa depan yang mau tidak mau akan dihadapi

orang Indonesia dan memerlukan pendekatan holistik karena umumnya lanjut

usia (lansia) mengalami gangguan berbagai fungsi orggan dan mental, maka

masalah demensia memerlukan penanganan lintas profesi yang melibatkan :

Internist, Neurologist, Psikiater, Spesialist Gizi, Spesialist Medis dan Psikolog

Klinis.

Page 3: Demensia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang

disebabkan oleh penyakit otak, yang tidak berhubungan dengan gangguan

tingkat kesadaran. Pasien dengan demensia harus mempunyai gangguan

memori selain kemampuan mental lain seperti berpikir abstrak, penilaian,

kepribadian, bahasa praksis dan visuospasial. Defisit yang terjadi harus cukup

berat sehingga mempengaruhi aktivitas kerja dan sosial secara bermakna.

2.2 EPIDEMIOLOGI

Jumlah lansia pada tahun 1995 lebih kurang 13,2 juta jiwa dan pada

tahun 2000 meningkat menjadi 15,3 juta jiwa. Kemudian pada tahun 2005

diperkirakan meningkat menjadi 19,9 juta jiwa atau 8,48% dari jumlah

penduduk. Smentara jumlah lansia terlantar berjumlah 2.848.854 jiwa

(berdasarkan data Pusdatin Kesos Tahun 2002).

Data terakhir pada tahun 2009 menunjukan penduduk lansia di Indonesia

berjumlah 20.547.541 jiwa. Diperkirakan jumlah penduduk lansia di

Indonesia pada tahun 2020 akan mencapai 28,8 juta jiwa atau sekitar 11%

dari total penduduk indonesia. Pada tahun 2021 usia lanjut di Indonesia

diperkirakan mencapai 30,1 juta jiwa yang merupakan urutan keempat di

dunia sesudah China, India, dan Amerika Serikat.

Menjelang tahun 2050 jumlahnya diperkirakan meningkat menjadi lebih

dari 50 juta jiwa. Peningkatan angka kejadian kasus demensia berbanding

lurus dengan meningkatnya harapan hidup suatu populasi. Kira-kira 5% usia

lanjut 65-70 tahun menderita demensia dan meningkat dua kali lipat setiap 5

tahun mencapai lebih 45% pada usia diatas 85 tahun. Pada negara industri

Page 4: Demensia

kasus demensia 0,5-1,0% dan di Amerika jumlah demensia pada usia lanjut

10-15% atau sekitar 3-4 juta orang.

Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia.

Prevalensi demensia sedang hingga berat bervariasi pada tiap kelompok usia.

Pada kelompok usia diatas 65 tahun prevalensi demensia sedang hinga berat

mencapai 5%, sedangkan pada kelompok usia diatas 85 tahun prevalensinya

mencapai 20-40%.

Dari seluruh pasien yang menderita demensia, 50-60% diantaranya

menderita jenis demensia yang paling sering dijumpai, yaitu demensia tipe

Alzheimer (Alzheimer’s Diseases). Prevalensi demesiia tipe Alzheimer

meningkat seiring bertambahnya usia. Untuk seseorang yang berusia 65 tahun

prevalensinya adalah 0,6% pada pria dan 0,8% pada wanita. Pada usia 90

tahun, prevalensinya mencapai 21%. Pasien dengan demensia tipe Alzheimer

membutuhkan lebih dari 50% perawatan rumah (Nursing Home Bed).

Jenis demensia yang paling lazim ditemui berikutnya adalah demesia

vaskuler, yang secara kausatif dikaitkan dengan penyakit serebrovaskular.

Hipertensi merupakan faktor predisposisi bagi seseorang untuk menderita

demensia. Demensia vaskuler paling sering ditemui pada seseorang yang

berusia antara 60-70 tahun dan lebih sering pada laki-laki daripada wanita.

Sekitar 10-15% pasien menderita kedua jenis demensia tersebut.

Penyebab demensia paling sering lainnya, masing-masing mencerminkan

1-5% kasus adalah trauma kepala, demensia yang berhubungan dengan

alkohol, dan berbagai jenis demensia yang berhubungan dengan gangguan

pergerakan, misalnya penyakit Huntington dan penyakit Parkinson. Karena

demensia adalah suatu sindrom yang umum, dan mempunyai banyak

penyebab, dokter harus melakukan pemeriksaan klinis dengan cermat pada

seorang pasien dengan demensia untuk menegakkan penyebab demensia pada

pasien tertentu.

Page 5: Demensia

2.3 KORMOBIDITAS

Demensia adalah bukan hanya masalah memori. Masalah mental dan

perilaku. Tambahan sering mempemngaruhi norang-orang yang telah

demesia, dan dapat mempengaruhi kualitas hidup, perawat, dan kebutuhan

untuk pelembagaan.

Depresi mempengaruhi 20-30% dari orang yang memiliki demesia, dan

sekitar 20% mengalami kecemasan. Psikosis (sering delusi penganiayaan) dan

agitasi/ agreasi juga sering menyertai demensia. Masing-masing perlu dinilai

dan diperlakukan independen dari demensia yang mendasarinya.

2.4 ETIOLOGI

Penyebab demensia yang paling sering pada individu yang berusia diatas

65 tahun adalah (1) penyakit Alzheimer, (2) demensia vaskuler, dan (3)

campuran antara keduanya. Ada juga penyebab lain yang mencapai kira-kira

10% diantaranya adalah demensia Lewy Body, penyakit Pick, demensia

frontotemporal, hidrosefalus tekanan normal, demensia alkoholik, demensia

infeksiosa (misalnya HIV atau sifilis) dan penyakit Parkinson. Banyak jenis

demensia yang melalui evaluasi dan penatalaksanaan klinis berhubungan

dengan penyebab yang reversibel seperti kelainan metabolik (misalnya

hipotiroidisme), defisiensi nutrisi (misalnya defisiensi vitamin B12 atau

defisiensi asam folat), atau sindrom demensia akibat depresi.

Dalam sebuah literatur disebutkan bahwa penyakit yang dapat

menyebabkan timbulnya gejala demensia ada sejumlah tujuh puluh lima.

Beberapa penyakit dapat disembuhkan sementara sebagian besar tidak dapat

disembuhkan. Berikut ini jenis dan penyebab demensia pada usia lanjut :

1. Keadaan yang secara potensial reversibel atau bisa dihentikan, yaitu :

Intoksikasi (obat, termasuk alkohol, dan lain-lain)

Infeksi susunan saraf pusat

Gangguan metabolic

Gangguan nutrisi

Gangguan vaskuler (demensia multi-infark, dll)

Page 6: Demensia

Lesi desak ruang

Hidrosefalus

Depresi

2. Penyakit degenerative progresif, yaitu :

- Tanpa gejala neurologik penting, seperti :

Penyakit Alzheimer

Penyakit Pick

- Dengan gangguan neurologic lain yang prominen, seperti :

Penyakit Parkinson

Penyakit Huntington

Kelumpuhan supranuklear progresif

Penyakit degeneratif yang jarang didapat

Sebagian besar peneliti dalam risetnya sepakat bahwa penyebab utama

dari gejala demensi adalah penyakit Alzheimer yaitu sekitar 50-60%.

Alzheimer adalah kondisi dimana sel syaraf pada otak mati sehingga

membuat signal dari otak tidak dapat ditransmisikan sebagimana mestinya.

Penderita Alzheimer mengalami gangguan memori, kemampuan membuat

keputusan dan juga penurunan proses berpikir.

2.5 KLASIFIKASI

1. Demensia Ireversibel

a. Demensia Tipe Alzheimer

- Awitan sulit ditentukan karena timbul secara perlahan-lahan, tetapi

berkisar antara awal usia 50an (awitan dini) sampai 80 tahun

(awitan lambat).

- Pedoamn diagnostik : tampak gelisah, menghindari kegiatan sosial,

tidak ada bukti klinis yang menyatakan bahwa adanya penyakit otak

atau sistemik, tidak ada gejala neurologik kerusakan otak fokal.

Page 7: Demensia

b. Korea Huntington

- Termasuk penyakit yang diturunkan secara autosomal dominan

akibat defek dari kromosom 4.

- Pedoman diagnostik : adanya hubungan antara gerakan koreiform,

demensia, dan riwayat keluarga dengan penyakit Huntington; gejala

demensia ditandai dengan gangguan fungsi lobus frontalis.

c. Penyakit Parkinson

- Lesi terletak di ganglia basalis. Pada beberapa kasus ditemukan

gejala depresi dan atau demensia.

d. Lain-lain

- Penyakit pick, penyakit creutzfeldt-jacob, ensefalitis herpes

simpleks, multiple sclerosis, HIV, dan trauma kepala.

2. Demensia Reversibel

a. Demensia vaskular

- Ciri khas: awitan timbul timbul secara mendadak, dapat pula

bertahap, disertai dengan adanya gejala neurologis fokal.

b. Normal-pressure hydrocephalus

- Tekanan cairan serebri-spinal normal, tetapi pada MRI ditemukan

pembesaran ventrikel

- Ciri khas: gejala ataksia, inkontinensia, dan demensia progresif.

3. Demensia Terinduksi Zat

a. Intoksikasi obat

Umumnya terjadi pada usia lanjut. Obat-obat yang sering

menyebabkan intoksikasi : tranquilizer mayor dan minor, analgesik

(terutama fenasetin), digoksin, primidon, fenasemid, metildopa.

b. Tumor otak

Demensia diakibatkan terutama tumor metastatik dan meningioma.

Dapat ditemukan tanda fokal, kecuali tumor ada di lobus frontal.

Page 8: Demensia

c. Trauma otak

Dapat timbul dengan atau tanpa riwayat trauma (misalnya hematoma

subdural yang terjadi pada usia lanjut). Gejala berupa demensia, sakit

kepala, dan mengantuk.

d. Infeksi

Abses otak, sifilis SSP, meningitis tuberkulosis, dan meningitis

kriptokokus.

e. Gangguan metabolik

Hipotiroidisme, hipertiroidisme, gangguan elektrolit, sindrom

cushing, hipoglikemia, hipoparatiroidisme, daan hiperparatiroidisme.

f. Gangguan jantung, paru, hati, dan ginjal

Antara lain gagal jantung kronis, aritmia, hipoksia kronis,

hiperkapnia, ensefalopati hepatikum, uremia, demensia dialisis, serta

defisiensi vitamin B12 dan asam folat.

2.6 MANIFESTASI KLINIS

Tidak jauh berbeda dengan gejala klinis namun beberapa hal yang

menarik dari gejala penderita demensia adalah adanya perubahan kepribadian

dan tingkah laku sehingga mempengaruhi aktivitas sehari-hari. Penderita

yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah lansia dengan usia 65 tahun

keatas. Lansia penderita demensia tidak memperlihatkan gejala yang

menonjol pada tahap awal, mereka sebagaimana lansia pada umumnya

mengalami proses penuaan dan degeneratif. Kejanggalan awal dirasakan oleh

penderita itu sendiri, mereka sulit mengingat nama cucu mereka atau lupa

meletakkan suatu barang.

Mereka sering kali menutupi hal tersebut dan meyakinkan diri sendiri

bahwa itu adalah hal yang biasa pada usia mereka. Kejanggalan berikutnya

mulai dirasakan oleh orang-ornag terdekat yang tinggal bersama, mereka

merasa khawatir terhadap penurunan daya ingat yang semakin menjadi,

namun sekali lagi keluarga merasa bahwa mungkin lansia kelelahan dan perlu

Page 9: Demensia

banyak istirahat. Mereka belum mencurigai adanya sebuah masalah besar di

balik penurunan daya ingat yang dialami oleh orang tua mereka.

Gejala demensia berikutnya yang muncul biasanya berupa depresi pada

lansia, mereka menjaga jarak dengan lingkungan dan lebih sensitif. Kondisi

seperti ini dapat saja diikuti oleh munculnya penyakit lain dan biasanya akan

memperparah kondisi lansia. Pada saat ini mungkin saja lansia menjadi sangat

ketakutan bahkan sampai berhalusinasi. Di sinilah keluarga membawa lansia

penderita demensia ke rumah sakit dimana demensia bukanlah menajdi hal

utama fokus pemeriksaan.

Seringkali demensia luput dari pemeriksaan dan tidak terkaji oleh tim

kesehatan. Tidak semua tenaga kesehatan memiliki kemampuan untuk dapat

mengkaji dan mengenali gejala demensia. Mengkaji dan mendiagnosa

demensia bukanlah hal yang mudah dan cepat, perlu waktu yang panjang

sebelum memastikan seseorang positif menderita demensia. Setidaknya ada 5

jenis pemeriksaan penting yang harus dilakukan, mulai dari pengkajian latar

belakang individu, pemeriksaan fisik, pengkajian syaraf, pengkajian status

mental dan sebagai penunjang perlu dilakukan juga tes laboratorium.

Pada tahap lanjut demensia menmunculkan perubahan tingkah laku yang

semakin mengkhawatirkan, sehingga perlu sekali bagi keluarga memahami

dengan baik perubahan tingkh laku yang dialami oleh lansia penderita

demensia. Pemahaman perubahan tingkah laku pada demensia dapat

memunculkan sikap empati yang sangat dibutuhkan oleh para anggota

keluarga yang harus dengan sabar merawat mereka. Perubahan tingkah laku

(behavioral symptom) yang dapat terjadi pada lansia penderita demensia di

antaranya adalah delusi, halunsinasi, depresi, kerusakan fungsi tubuh, cemas,

disorientasi spasial, ketidakmampuan melakukan tindakan yang berarti, tidak

dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri, melawan, marah,

agitasi, apatios, dan kabur dari tempat tinggal.

Secara umum tanda dan gejala demensia adalah sebgaia berikut :

1. Menurunnya daya ingat yang terus terjadi. Pada penderita demensia,

“lupa” menjadi bagian keseharian yang tidak bisa lepas.

Page 10: Demensia

2. Gangguan orientasi waktu dan tempat, misalnya : lupa hari, minggu,

bulan, tahun, tempat penderita demensia berada

3. Penurunan dan ketidakmampuan menyusun data menjadi kalimat

yang benar, emnggunankan kata yang tidak tepat untuk sebuh

kondisi, mengulang kata atau cerita yang sama berkali-kali

4. Ekspresi yang berlebihan, misalnya menangis berlebihan saat melihat

sebuah drama televisi, marah besar pada kesalahan kecil yang

dilakukan orang lain, rasa takut dan gugup yang tidak beralasan.

Penderita kadang tidak mengerti mengapa perasaan-perasaan tersebut

muncul.

5. Adanya perubahan perilaku, seperti: acuh tak acuh, menarik diri dan

gelisah.

2.7 PENEGAKKAN DIAGNOSA

Penegakkan diagnosis yang tepat antara jenis demensia (kortikal dan

subkortikal) akan memerlukan, dirujukan setidaknya, ke dokter spesialis,

misalnya seorang internist geriatrik, psikiater, ahli saraf geriatri,

neuropsikolog atau geropsychologist. Namun, terdapat beberapa test singkat

(5-15 menit) yang memiliki keandalan yang masuk akal dan dapat digunakan

di kantor atau pengaturan lain untuk layar status kognitif untuk defisit yang

dianggap patologis. Contoh tes tersebut termasuk milai tes disingkat mental

(AMTS), negara mini pemeriksaan mental (MMSE), modified mini-mental

state examination (3ms), yang kognitif kemampuan instrumen screening

(CASI), dan uji gambar jam.

Sebuah AMTS skor kurang dari 6 (dari skor kemungkinan sepuluh) dan

skor MMSE di bawah 24 (dari skor kemungkinan 30) menunjukkan

kebutuhan untuk evaluasi lebih lanjut. Skor harus ditafsirkan dalam konteks

latar belakang pendidikan seseorang dan lainnya. Dan keadaan tertentu,

misalnya, seseorang yang sangat tertekan atau sangat kesakitan tidak akan

diharapkan utnuk melakukan dengan baik pada banyak tes kemampuan

mental.

Page 11: Demensia

1. Mini-mental state pemeriksaan

AS preventive services task force (USPSTF) tes ditelaah untuk

penurunan kognitif dan menyimpulkan :

MMSE -> sensitivitas 71%- 92%, spesifisitas 56-96%

2. Modifikasi mini-mental state pemeriksaan (3ms)

Salinan 3ms yang sedang online. Sebuah meta-analisis disimpulkan

bahwa modifikasi mini-mental state (3ms) pemeriksaan memiliki

sensitivitas 83-93,5% dan spesifitas 85-90%.

3. Disingkat skor tes mental

Sebuah meta-analisis menyimpulkan : termasuk uji jam-gambar.

Meskipun beberapa mungkin muncul sebagai alternatif yang lebih

baik untuk MMSE tersebut, saat ini MMSE adalah terbaik dipelajari.

Namun, akses ke MMSE sekarang dibatasi oleh penegakan hak

ciptanya.

Pendekatan lain untuk skrining untuk demensia adalah untuk

meminta suatu (pendukung relatif atau lainnya) informan untuk

mengisi kuesioner tentang fungsi sehari-hari kognitif seseorang.

Koesioner informan memberikan informasi tambahan untuk tes

kognitif singkat. Mungkin koesioner paling dikenal semacam ini

adalah koesioner informan pada penurunan kognitif lansia.

4. Tes laboratorium

Tes darah rutin juga biasanya dilakukan untuk menyingkirkan

penyebab diobati. Tes-tes ini termasuk B12, asam folat, thyroid-

stimulating hormones (TSH), p[rotein C-reaktif, hitung darah

lengkap, elektrolit, kalsium, fungsi ginjal, dn enzim hati. Kelainan

mungkin menyarankan kekurangan vitamin, infeksi atau masalah

lainnya yang sering menyebabkan kebingungan atau disorientasi pada

orang tua. Masalahnya rumit oleh fakta bahwa kebingungan ini

menyebabkan lebih sering pada orang yang memiliki demensia dini,

Page 12: Demensia

sehingga “pembalikan” dari masalah tersebut pada ahkirnya mungkin

hanya bersifat sementara.

5. Imaging

CT scan atau MRI umumnya dilakukan, walaupun modalitas ini tidak

memiliki kepekaan optimal untuk perubahan metabolik menyebar

berhubungan dengan demensia pada pasien yang menunujukkan tidak

ada masalah neurologis kotor (seperti kelumpuhan atau kelemahan)

pada ujian neurologis. CT atau MRI mungkin menyarankan

hidrosefalus takanan normal, penyebab berpotensi demensia

reversibel, dan dapat menghasilkan informasi yang relevan dengan

jenis lain demensia, seperti infark (stroke) yang akan menunjuk pada

jenis demensia vaskuler.

Modalitas neuroimaging fungsionalPET SPECT dan lebih berguna

dalam menilai disfungsi kognitif lama, karena mereka telah

menunjukkan kemampuan serupa untuk mendiagnosis demensia

sebagai ujian klinis. Kemampuan SPECT untuk membedakan

penyebab pembuluh darah dari penyebab penyakit alzheimer dari

demensia, tampaknya lebih unggul diferensiasi oleh ujian klinis.

Penelitian terbaru telah menetapkan nilai pencitraan PET

menggunakan karbon-11 B. Senyawa Pittsburgh sebagai media

kontras (PIB-PET) dalam mendiagnosis prediksi dari berbagai jenis

demensia, khususnya dalam penyakit alzheimer’s studi dari australia

telah menemukan PIB-PET menjadi 86% akurat dalam memprediksi

mana pasien dengan gangguan kognitif ringan akan mengembangkan

penyakit alzheimer dalam waktu 2 tahun. Dalam studi lain, dilakukan

dengan menggunakan 66 pasien terlihat di university of michigan,

studi PET baik menggunakan PIB atau agen lain. Sebaliknya, karbon-

11 dihydrotetrabenazine (DTBZ), menyebabkan diagnosis yang lebih

Page 13: Demensia

akurat selama lebih dari sepermpat pasien dengan penurunan kognitif

ringan atau demensia ringan.

2.8 PENATALAKSANAAN

1. Terapi suportif

Perawatan fisik dan dukungan keluarga.

2. Terapi simptomatik

Ansietas akut, gelisah, agresi, atau agitasi : haloperidol 3x0,5mg

atau risperidon 1x1mg (terapi dihentikan setelah 4-6 minggu).

Ansietas non-psikotik : diazepam 2x2mg per oral (terapi

dihentikan setelah 4-6 minggu).

Agitasi kronis : fluoksetin 10-20mg/hari per oral, atau buspiron

2x15mg per oral.

Depresi : desipramin 1x75-100mg/hari per oral.

3. Terapi khusus

Tata laksana kondisi yang masih dapat diterapi

Untuk demensia alzheimer, dapat dipertimbangkan pemberian

asetilkolin esterase inhibitor.

2.9 DIAGNOSIS BANDING

1. Demensia alzheimer

Untuk membedakan anatr demensia vaskular dengan demensia

alzheimer adalah jarang terjadinya gejala neurologis fokal dan tidak

adanya faktor resiko cerebrovaskular pada demensia alzheimer.

2. Delirium

Untuk membedaknnya adalah ada delirium, onsetnya cepat, durasinya

singkat, terjadinya kerusakan kognitif yang tidak menetap sepanjang

hari, gejala sering pada malam hari, ditandai dengan adanya gangguan

dalam tidur, dan gangguan dalam perhatian dan persepsi.

Page 14: Demensia

3. Depresi

Untuk membedakan adalah pada depresi lebih menonjol gejala-gejala

depresinya dan sering terdapat riwayat episode depresif.

4. Skizofrenia

Untuk membedakam adalah pada skizofrenia, gangguan fungsi kognitif

tidak terlalu menonjol dan gejalanya merupakan gejala-gejala psikosis.

Page 15: Demensia

BAB III

DAFTAR PUSTAKA

Buku ajar psikiatri. 2010. Jakarta: FKUI

Kapita selekta kedokteran jilid II. Christanto dkk. 2014. Jakarta : media

aesculapius.

Dikot Y, Ong PA, 2007. Diagnosis dini dan penatalaksanaan demensia.

Jakarta: PERDOSSI

Mardjono M, Sidharta P. 2004. Neurologi Klinis dasar. Jakarta : dian

rakyat

Maslim R. Diagnosis gangguan jiwa, rujukan ringkas PPDGJ-III, bagian

ilmu kedokteran jiwa FK unika atmajaya. 2001