demam tifoid pada anak

28

Click here to load reader

Upload: rostikawaty-azizah

Post on 12-Aug-2015

707 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

demam tifoid pada anak

TRANSCRIPT

Page 1: demam tifoid pada anak

TUGAS PRESENTASI KASUS

“Demam tifoid pada anak”

Tutor:

Dr. Nur Faizah, SP.A

Disusun Oleh:

Rostikawaty Azizah

G1A009022

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NASIONAL

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN LAIN

JURUSAN KEDOKTERAN

PURWOKERTO

2012

Page 2: demam tifoid pada anak

I.PENDAHULUAN

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena

penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World

Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus

demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara

berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95%

merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih

besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan

pada semua umur, tetapi yang paling sering pada anak besar,umur 5- 9 tahun. Sehingga masih

diperlukan adanya pengkajian mengenai demam tifoid

Page 3: demam tifoid pada anak

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Demam tifoid atau typhus abdominalis merupakan penyakit infeksi sistemik

terutama mengenai sistem retikuloendotelial, jaringan limfoid intestinal, dan kantung

empedu, yang disebabkan oleh kuman basil gram negatif Salmonella typhi maupun

Salmonella paratyphi.

Demam tifoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh

Salmonella typhi (Widoyo, 2008).

Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Demam tifoid adalah

penyakit demam sistemik akut generalisata yang disebabkan oleh Salmonella typhi,

biasanya menyebar melalui ingesti makanan dan air yang terkontaminasi, ditandai dengan

bakteremia berkepanjangan serta invasi oleh patogen dan multifikasinya dalam sel-sel

fagosit mononuklear pada hati, limpa, kelenjar getah bening, dan plak Peyeri di ileum

(Sudoyo, dkk. 2006).

B. Etiologi dan predisposisi

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram negatif,

mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob.

Mempunyai antigen somatic (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang

terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai

makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel

dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R

yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik. Bakteri Salmonella typhi

mempunyai beberapa komponen antigen yaitu :

1. Antigen dinding sel (o) merupakan polisakarida dan bersifat spesifik grup

2. Antigen flagella (H) yg merupakan kompnen protein berada dlm flagella,bersifat

spesifik spesies.

3. Antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida,berada di kapsul.Berhubungan dengan

daya invasif bakteri dan efektifitas vaksin. Endotoksin merupakan bagian terluar

dinding sel terdiri dari :

a. antigen O yg sdh dilepaskan

Page 4: demam tifoid pada anak

b. lipopolisakarida

c. lipid A.

Ke tiga antigen tadi di tubuh akan membentuk antibodi aglutinin.

4. Outer Membran Protein :

a. Antigen ini merupakan bagian dari dinding sel terluar

b. Fungsinya sebagai barier fisik yg mengendalikan masuknya zat dan cairan ke dlm

membran sitoplasma

c. Sebagai reseptor untuk bakteriofag & bakteriosid

C. Patofisiologi

Masuknya kuman Salmonella typhi (S. Typhi) dan Salmonella paratyphi (S.

Paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman.

Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan

selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (Ig A) usus kurang

baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke

lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit

terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan

selanjutnya dibawa ke plague Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening

mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam

makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteriemia pertama yang

simtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan

limpa. Di organ-organ ini, kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang

biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi

mengakibatkan bakteriemia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala

penyakit infeksi sistemik.

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan

bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam lumen usus. Sebagian

kuman dikeluarkan melaui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah

menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah

teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan

beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi

Page 5: demam tifoid pada anak

sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular,

gangguan mental, dan koagulasi.

Di dalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia

jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,

hyperplasia jaringan, dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat

erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan

hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologi

jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat

mengakibatkan perforasi.

Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya

komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan

organ lainnya.

D. Penegakan Diagnosis1. Anamnesis

Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibandingkan

dengan penderita dewasa. Mas tunas rata-rata 10-20 hari. Yang tersingkat 4 hari jika

infeksi terjadi melalui makanan,sedangkan yang terlamasampai 30 hari jika infeksi

melalui minuman. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodormal, yaitu

perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat.

Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :

a. Demam

Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten

dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-

angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi

pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam

keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu badan berangsur-angsur turun dan

normal kembali pada kahir minggu ketiga

b. Gangguan saluran pencernaan

Pada mulut terdapat nafas berbau tak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah

(ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung tepinya kemerahan, jarang

disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung. Hati

Page 6: demam tifoid pada anak

dan limfa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi,

akan tetapi mungkin pula normal, bahkan dapat terjadi diare.

c. Gangguan kesadaran

Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis

sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma dan gelisah.

2. Pemeriksaan Fisik

Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5–40 hari dengan rata-rata

antara 10–40 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, hal tersebut dapat

terjadi disebabkan oleh faktor galur Salmonella, status nutrisi dan imunologik

penjamu, serta lama sakit di rumahnya. Penampilan demam pada kasus demam tifoid

mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart yang ditandai dengan

demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai

titik tertinggi pada akhir minggu pertama. Setelah itu demam akan bertahan tinggi.

Pada minggu ke-4, demam turun perlahan secara lisis. Demam lebih tinggi saat sore

dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya.

Pada minggu pertama, gejala klinisnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri

otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi/diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan

epistaksis.Dalam minggu ke-2, gejala telah lebih jelas, yaitu berupa demam,

bradikardia relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti dengan peningkatan denyut

nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput, hepatomegali, splenomegali,

meteroismus, ganguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, dan psikosis.

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid

dibagi dalam empat kelompok, yaitu (Prasetyo., Ismoedijanto, 2010) :

a. Pemeriksaan darah tepi

Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa

menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis

biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia

dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa

ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap

darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai perkiraan yang

Page 7: demam tifoid pada anak

cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau

bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat

diagnosis demam tifoid.

b. Identifikasi kuman mekakui isolasi / biakan

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi

dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari

rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah

ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada

stadium berikutnya di dalam urine dan feses. Hasil biakan yang positif memastikan

demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena

hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil

biakan meliputi

(1) jumlah darah yang diambil

(2) perbandingan volume darah dari media empedu

(3) waktu pengambilan darah.

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil

dibutuhkan. 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk

kultur hanya sekitar 0.5-1mL.Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit

dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat

menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila

dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.

Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media

empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan

positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada

media tersebut Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat

pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah

positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif

10-50% pada akhir minggu ketiga.4,9 Sensitivitasnya akan menurun pada sampel

penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume

darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai.6 Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%)

dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan

sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas

Page 8: demam tifoid pada anak

paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap

positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan.

Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat

invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu

dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan

memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena

adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak

menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir

sama dengan kultur sumsum tulang.

Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media

yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat

minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu

pengambilan spesimen yang tidak tepat. Walaupun spesifisitasnya tinggi,

pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala

berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk

dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita

c. Identifikasi kuman melalui uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid

dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun

mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis

ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan..

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting

dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya

variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S.

typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa,

teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan

dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium

dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)

Berikut adalah macam-macam uji serologis yang dapat membantu menegakan

diagnosis demam tifoid :

1) Uji Widal

Page 9: demam tifoid pada anak

Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak

tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin

dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap

antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama

sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan

aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Teknik aglutinasi ini dapat

dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test).

Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur

penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi

dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan. Penelitian pada anak oleh

Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar

89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai

prediksi negatif sebesar 99.2%.14 Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid

anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal

sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%. Interpretasi dari uji Widal ini harus

memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium

penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat

mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat

setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen

yang digunakan. Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas

serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam

penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan

memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi).3 Saat

ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih

diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai

standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya

ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada

daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan

H pada anak-anak sehat. Antigen O

Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman. Struktur

kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap pemanasan 100°C

selama 2–5 jam, alkohol dan asam yang ence1.

a. Antigen H

Page 10: demam tifoid pada anak

Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili S. typhi dan

berstruktur kimia protein. S. typhi mempunyai antigen H phase-1 tunggal yang juga

dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan di atas

suhu 60°C dan pada pemberian alkohol atau asam.

b. Antigen Vi

Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. Typhi (kapsul) yang melindungi kuman dari

fagositosisn dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak biladipanaskan selama 1

jam pada suhu 60°C, dengan pemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakan

untuk mengetahui adanya karier.

c. OuterMembrane Protein (OMP)

Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar membran

sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap lingkungan

sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan protein nonporin.

Porin merupakan komponen utama OMP, terdiri atas protein OMP C, OMP D, OMP

F dan merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan BM <

6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu 85–100°C.

Protein nonporin terdiri atas protein OMP A, protein a dan lipoprotein, bersifat

sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya masih belum diketahui dengan jelas.

Beberapa peneliti menemukan antigen OMP S typhi yang sangat spesifik yaitu

antigen protein 50 kDa/52 kDa.

2) Tes TUBEX

Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang

sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang

berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan

menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada

Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena

hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam

waktu beberapa menit. Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes

TUBEX® ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini

mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.4

Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas

100%.15 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas

sebesar 89%.9 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk

Page 11: demam tifoid pada anak

pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara

berkembang.

3) Metode Enzim Immuniassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM

dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan

fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG

menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis

dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi

peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus

akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan

modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen

terhadap Ig M spesifik.

Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid

bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji

Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna

tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M ini dapat

menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan

diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.

Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan

spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang

dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran

nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat

digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan

sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa

antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok

dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil

didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.

4) Metode Enzime-Linked Immunirbent Assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak

antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen

flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering

dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah

double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas

Page 12: demam tifoid pada anak

uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada

sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji

ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan

dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh Fadeel

dkk (2004) terhadap sampel. urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas

uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen. Vi serta masing-masing 44% pada deteksi

antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih

memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan,

terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga

perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.

5) DIPSTIK

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana

dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan

menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita

pendeteksi dan antibodi IgM antihuman immobilized sebagai reagen kontrol.

Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan

alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas

laboratorium yang lengkap. Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan

sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang

dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9%

dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002)

terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90%

dan spesifisitas sebesar 96%.21 Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata

sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang

menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid.22 Uji ini terbukti

mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar

manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil

kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia

perangkat pemeriksaan kultur secara luas.

d. Identifikasi kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi

DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik

hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction

Page 13: demam tifoid pada anak

(PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi. Penelitian oleh

Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100% dengan sensitivitas

yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5

bakteri/mL darah. Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas

sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%).

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis

tidak 10 dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa

menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta

bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis

yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum

memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas

dalam laboratorium penelitian

4. Gold Standart Diagnosis

Diagnosis pasti demam tifoid ditegakkan dengan ditemukannya kuman Salmonella

typhi dari biakan darah, urin, tinja, sumsum tulang atau dari aspirat duodenum. Tetapi

pemeriksaan tersebut membutuhkan waktu yang lama sehingga secara klinik tidak

menjadi patokan untuk memberikan terapi. Dengan demikian secara praktis diagnosis

klinis demam tifoid telah dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan

darah tepi, dan pemeriksaan serologis. Macam-macam spesimen yang digunakan

untuk kultur :

a. Kultur & Identifikasi S.typhi dalam darah

1) Baku emas (mahal, waktu lama)

2) Waktu pengambilan: mg I demam

3) Prosedur pem à isolasi kuman, identifikasi dgn biokimia, tes serologik

4) (-) palsu : waktu tdk tepat, pemakaian antimikroba, spesimen sedikit

b. Kultur Kultur & Identifikasi S.typhi dalam tinja

1) Waktu pengambilan: mg II & III demam

2) Spesimen : tinja segar, tdk tercampur urin, wadah steril, px < 2 jam

3) Prosedur pem à isolasi kuman, identifikasi dgn biokimia, tes serologik

4) Hasil (+) à mendukung dx jika gejala klinis (+)

c. Kultur & Identifikasi S.typhi dalam urin

1) Waktu pengambilan: mg II & III demam

Page 14: demam tifoid pada anak

2) Spesimen : urin porsi tengah, pagi, wadah steril

3) Prosedur pem à isolasi kuman, identifikasi dgn biokimia, tes serologik

E. Panatalaksanaan

1. Medikamentosa

Indikasi rawat

Klinis ringan dapat dirawat jalan dengan control poli teratur. Jika klinis disertai

hiperpireksia, muntah-muntah, intake tidak adekuat, dehidrasi, keadaan umum lemah,

maka harus di rawat inapkan.

Perawatan

Penderita harus tirah baring 5-7 hari bebas panas, kemudian secara bertahap mulai

mobilisasi.

Diet

Pemberian diet tahap awal pada penderita demam tifoid harus mengutamakan lunak,

mudah dicerna, tidak merangsang, bebas serat, dan tidak menimbulkan gas.

Pemberian makan dalam porsi kecil tetapi sering. Biasanya disajikan dalam bentuk

bubur saring.

Medikamentosa

Obat terpilih untuk penderita demam tifoid adalah kloramphenikol dengan

dosis 50-100 mg/kgBb/ hari maksimal 2 gr/hari. Obat diberikan sampai 7 hari bebas

panas, minimal diberikan selama 10 hari. Bila dalam 10 hari pemberian

kloramphenikol panas tidak turun maka obat diganti ampicilin 200mg/kgBb/hari

diberkan secara Iv selama 10-14 hari. Demikian juga bila ditemukan Hb<8 g/dl, dan

atau leukosit <2000/mm3 obat diganti dengan ampicilin.

Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 80 mg/kg BB/kali dan

diberikan sekali sehari, intravena, selama 5-7 hari.

Pada ensefalopati tifoid diberikan juga dexamethason dengan dosis awal 3

mg/kgBB/kali, dilanjutkan 1 mg/kgBB/6 jam, sebanyak 8 kali (selama 48 jam), lalu di

stop tanpa tapering off, reduksi cairan 4/5 kebutuhan, lakukan pemeriksaan elektrolit,

dan dilakukan Lumbal Punksi bila tidak terdapat kontraindikasi.

Page 15: demam tifoid pada anak

2. Non medikamentosa

Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan

khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan

sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi

demam tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah).

Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau

dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi. Pemutusan rantai transmisi juga penting

yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling) minuman/makanan.

Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah vaksin

yang diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi. Yang kedua

adalah vaksin yang dilemahkan (attenuated) yang diberikan secara oral. Ada beberapa

orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau harus menunggu. Yang tidak

boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi (per injeksi) adalah orang yang memiliki

reaksi yang berbahaya saat diberi dosis vaksin sebelumnya, maka ia tidak boleh

mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya. Orang yang tidak boleh mendapatkan

vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) adalah : orang yang mengalami reaksi

berbahaya saat diberi vaksin sebelumnya maka tidak boleh mendapatkan dosis

lainnya, orang yang memiliki sistem imunitas yang lemah maka tidak boleh

mendapatkan vaksin ini, mereka hanya boleh mendapatkan vaksin tifoid yang

diinaktifasi, diantara mereka adalah penderita HIV/AIDS atau penyakit lain yang

menyerang sistem imunitas, orang yang sedang mengalami pengobatan dengan obat-

obatan yang mempengaruhi sistem imunitas tubuh semisal steroid selama 2 minggu

atau lebih, penderita kanker dan orang yang mendapatkan perawatan kanker dengan

sinar X atau obat-obatan. Vaksin tifoid oral tidak boleh diberikan dalam waktu 24 jam

bersamaan dengan pemberian antibiotik.

Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan problem

serius seperti reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang menyebabkan

bahaya serius atau kematian sangatlah jarang terjadi. Problem serius dari kedua jenis

vaksin tifoid sangatlah jarang. Pada vaksin tifoid yang diinaktivasi, reaksi ringan yang

dapat terjadi adalah : demam (sekitar 1 orang per 100), sakit kepada (sekitar 3 orang

per 100) kemerahan atau pembengkakan pada lokasi injeksi (sekitar 7 orang per 100).

Pada vaksin tifoid yang dilemahkan, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah demam

atau sakit kepada (5 orang per 100), perut tidak enak

F. Prognosis

Page 16: demam tifoid pada anak

Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh,

jumlah dan virulensi Salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian

pada anak-anak adalah 2,6% dan pada orang dewasa adalah 7,4 %. Sehingga rata-ratanya

adalah 5,7%.

G. Komplikasi

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam :

Komplikasi intestinal

1. Perdarahan usus

2. Perforasi usus

3. Ileus paralitik

Komplikasi ekstraintetstinal

1. Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan/sepsis), miokarditis,

trombosis dan tromboflebitis.

2. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi

intravaskular diseminata dan sindrom uremia hemoltilik.

3. Komplikasi paru: penuomonia, empiema dan peluritis.

4. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.

5. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.

6. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.

7. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, mengingismus, meningitis, polineuritis perifer,

sindrim Guillain-Barre, psikosis dan sindrom katatonia

Pada anak-anaka dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi.

Komplikasi lebih sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum, bila

perawatan pasien kurang sempurna.

Page 17: demam tifoid pada anak

III. KESIMPULAN

1. Demam tifoid atau typhus abdominalis merupakan penyakit infeksi sistemik terutama mengenai sistem retikuloendotelial, jaringan limfoid intestinal, dan kantung empedu, yang disebabkan oleh kuman basil gram negatif Salmonella typhi maupun Salmonella paratyphi.

2. Utama dari manifetasi klinik demam tifoid adalah : adanya demam lebih dari 7 hari, gangguan gastrointestinal dan gangguan kesadaran

3. Penegakan diagnosis dari demam tifoid adalah didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

4. Gold standar dalam penegakan diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan kultur.5. Penatalaksanaan kasus demam tifoid memerlukan upaya medikamentosa dan non medika

mentosa6. Komplikasi demam tifoid dibagi menjadi 2, komplikasi intestinal dan ekstraintestinal.

Page 18: demam tifoid pada anak

IV.DAFTAR PUSTAKA

Dorland. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 25. Jakarta: EGC.

Ganong, WF. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Jakarta: EGC.

Garna Herry, dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Ilmu

Kesehatan Anak FKUI.

Gunawan, SG, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI.

Mansjoer, Arif, dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius

FKUI.

Nasronudin, dkk. 2007. Penyakit Infeksi di Indonesia: Solusi Kini dan Mendatang. Jakarta: Airlangga

University Press.

Staf Pengajar FKUI. 1994. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Bina Rupa Aksara.

Sudoyo, AW, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi 4. Jakarta: FKUI.

Prasetyo, Risky Vitria., Ismoedijanto. 2010. Metode diagnostik demam tifoid pada anak.

Divisi tropik dan penyakit infeksi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/ RSU

dr.Soetomo Surabaya

Siswandari, wahyu. 2012. Lecture : Pemeriksaan laboratorium pada infeksi bakteri.Blok

TROPMED

Wardhani, puspa., Prihatani., Probohusodo, M.Y. 2005. Kemampuan uji tabung widal

menggunakan antigen import dan antigen lokal. ndonesian Journal of Clinical

Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 1, Nov 2005: 31-37