delirium
TRANSCRIPT
DELIRIUM
I. PENDAHULUAN
Delirium yang dikenal juga dengan sebutan acute confusionalstate adalah
sebuah gangguan yang umum, serius, tetapi secara potensial dapat dicegah.
Delirium merupakan sumber morbiditas dan mortalitas di antara pasien-pasien
geriatri yang dirawat. Hal ini penting karena pada pasien berusia di atas 65 tahun,
kejadian delirium menghabiskan 48% seluruh hari perawatan di rumah sakit.
Insiden delirium juga meningkat sejalan dengan pertambahan usia populasi.
Delirium adalah sebuah sindrom neuropsikiatrik yang kompleks dengan onset
yang akut dan berfluktuasi. Sindrom ini mempengaruhi kesadaran dan fungsi
kognitif yang mungkin diikuti oleh peningkatan aktivitas psikomotor. Selain itu,
delirium juga mempengaruhi atensi dan beberapa pasien ada yang mengalami
gangguan persepsi.
Delirium biasanya bersifat reversible jika penyebab yang mendasarinya
teridentifikasi. Sayangnya, delirium terkadang tidak terdeteksi pada pasien geriatri
yang dirawat di rumah sakit, walaupun prevalensinya sekitar 10-16%. Pasien
geriatric juga menjadi rentan karena pada beberapa kasus terdapat hendaya dalam
fungsi kognitif dan angka kejadian delirium pada populasi ini cukup tinggi.
II. DEFINISI
Kata “delirium” berasal dari bahasa latin yang artinya lepas jalur. Sindrom
ini pernah dilaporkan pada masa Hippocrates dan pada tahun 1813 Sutton
mendeskripsikan sebagai delirium tremens, kemudian Wernicke menyebutnya
sebagai Encephalopathy Wernicke.
Delirium adalah diagnosis klinis, gangguan otak difus yang dikarasteristikkan
dengan variasi kognitif dan gangguan tingkah laku. Delirium ditandai oleh
gangguan kesadaran, biasanya terlihat bersamaan dengan fungsi gangguan
kognitif secara global. Kelainan mood, persepsi dan perilaku adalah gejala
psikiatrik yang umum; tremor, asteriksis, nistagmus, inkoordinasi dan
inkontinensia urin merupakan gejala neurologis yang umum.
Biasanya delirium mempunyai onset yang mendadak (beberapa jam atau
hari), perjalanan singkat dan berfluktuasi dan perbaikan yang cepat jika factor
penyebab diidentifikasi dan dihilangkan. Tetapi masing-masing ciri karakteristik
tersebut dapat bervariasi pada pasien individual. Delirium dapat terjadi pada
berbagai tingkat usia namun tersering pada usia diatas 60 tahun. Menggigau
merupakan gejala sementara dan dapat berfluktuasi intensitasnya, kebanyakan
kasus dapat sembuh dalam waktu 4 minggu atau kurang. Akan tetapi jika delirium
dengan fluktuasi yang menetap lebih dari 6 bulan sangat jarang dan dapat menjadi
progresif kearah dementia.
III. EPIDEMIOLOGI
Delirium merupakan kelainan yang sering pada :
- sekitar 10 sampai 15 persen adalah pasien bedah dan 15 sampai 25 persen
pasien perawatan medis di rumah sakit. Sekitar 30 persen pasien dirawat di
ICU bedah dan ICU jantung. 40 sampai 50 pasien yang dalam masa
penyembuhan dari tindakan bedah pinggul memiliki episode delirium.
- Penyebab dari pasca operasi delirium termasuk stress dari pembedahan, sakit
pasca operasi, pengobatan anti nyeri, ketidakseimbangan elektrolit, infeksi,
demam, dan kehilangan darah.
- Sekitar 20% pasien dengan luka bakar berat dan 30-40 % pasien dengan
sindrom imunodefisiensi didapat (AIDS)
- Usia lanjut merupakan faktor resiko dari terjadinya delirium, sekitar 30 – 40
persen dari pasien yang dirawat berusia 65 tahun dan memiliki episode
delirium.
IV. ETIOLOGI
Delirium mempunyai berbagai macam penyebab. Semuanya mempunyai pola
gejala serupa yang berhubungan dengan tingkat kesadaran dan kognitif pasien.
Penyebab utama dapat berasal dari penyakit susunan saraf pusat, penyakit
sistemik, dan intoksikasi atau reaksi putus obat maupun zat toksik. Penyebab
delirium terbanyak terletak diluar system saraf pusat, misalnya gagal ginjal dan
hati.
Neurotransmitter yang dianggap berperan adalah asetilkolin, serotonin, serta
glutamate. Area yang terutama terkena adalah formatio retikularis.
Factor predisposisi terjadinya delirium antara lain:
Usia
Kerusakan Otak
Riwayat delirium
Ketergantungan alcohol
Diabetes
Kanker
Gangguan panca indra
Malnutrisi
V. PATOFISIOLOGI
Tanda dan gejala delirium merupakan manifestasi dari gangguan neuronal,
biasanya melibatkan area di korteks serebri dan reticular activating sistem. Dua
mekanisme yang terlibat langsung dalam terjadinya delirium adalah pelepasan
neurotransmiter yang berlebihan (kolinergik muskarinik dan dopamin) serta
jalannya impuls yang abnormal. Aktivitas yang berlebih dari neuron kolinergik
muskarinik pada reticular activating sistem, korteks, dan hipokampus berperan
pada gangguan fungsi kognisi (disorientasi, berpikir konkrit, dan inattention)
dalam delirium. Peningkatan pelepasan dopamin serta pengambilan kembali
dopamin yang berkurang misalnya pada peningkatan stress metabolik. Adanya
peningkatan dopamin yang abnormal ini dapat bersifat neurotoksik melalui
produksi oksiradikal dan pelepasan glutamat, suatu neurotransmiter eksitasi.
Adanya gangguan neurotransmiter ini menyebabkan hiperpolarisasi membran
yang akan menyebabkan penyebaran depresi membran.
Berdasarkan tingkat kesadarannya, delirium dapat dibagi tiga:
1. Delirium hiperaktif
Ditemukan pada pasien dalam keadaan penghentian alkohol yang tiba-
tiba, intoksikasi Phencyclidine (PCP), amfetamin, dan asam lisergic
dietilamid (LSD)
2. Delirium hipoaktif
Ditemukan pada pasien Hepatic Encefalopathy dan hiperkapnia
3. Delirium campuran
Mekanisme delirium belum sepenuhnya dimengerti. Delirium dapat
disebabkan oleh gangguan struktural dan fisiologis. Hipotesis utama adalah
adanya gangguan yang irreversibel terhadap metabolisme oksidatif otak dan
adanya kelainan multipel neurotransmiter.
Asetilkolin
Obat-obat anti kolinergik diketahui sebagai penyebab keadaan acute
confusional states dan pada pasien dengan gangguan transmisi kolinergik
seperti pada penyakit Alzheimer. Pada pasien dengan post-operative
delirium, aktivitas serum anticholonergic meningkat.
Dopamin
Diotak terdapat hubungan reciprocal antara aktivitas kolinergic dan
dopaminergic. Pada delirium, terjadi peningkatan aktivitas dopaminergic
Neurotransmitter lain
Serotonin: ditemukan peningkatan serotonin pada pasien hepatic
encephalopathy dan sepsis delirium. Agen serotoninergic seperti LSD
dapat pula menyebabkan delirium. Cortisol dan beta-endorphins: pada
delirium yang disebabkan glukokortikoid eksogen terjadi gangguan pada
ritme circadian dan beta-endorphin.
Mekanisme inflamasi
Mekanisme inflamasi turut berperan pada patofisiologi delirium, yaitu
karena keterlibatan sitokoin seperti intereukin-1 dan interleukin-6, Stress
psychososial dan angguan tisur berperan dalam onset delirium
Mekanisme struktural
Formatio retikularis batang otak adalah daerah utama yang mengatur
perhatian kesadaran dan jalur utama yang berperan dalam delirium adalah
jalur tegmental dorsalis yang keluar dari formatio reticularis
mesencephalic ke tegmentum dan thalamus. Adanya gangguan metabolik
(hepatic encephalopathy) dan gangguan struktural (stroke, trauma kepala)
yang mengganggu jalur anatomis tersebut dapat menyebabkan delirium.
VI. DIAGNOSIS
Kriteria diagnostic delirium berdasar DSM IV :
Untuk Delirium karena kondisi medis umum:
1. Gangguan kesadaran disertai berkurangnya kemampuan untuk
memusatkan perhatian, mempertahankan perhatian, atau perubahan atensi.
2. Perubahan kognisi atau gangguan persepsi, yang tidak terkait demensia.
3. Gangguan yang berkembang dalam periode yang pendek (jam ke hari),
dan berfluktuasi sepanjang hari.
4. Adanya bukti-bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau temuan
laboratorium bahwa gangguan disebabkan oleh pengobatan umum, atau
obat-obatan, atau gejala putus obat.
Untuk Delirium Intoksikasi Zat:
1. Gangguan kesadaran disertai berkurangnya kemampuan untuk
memusatkan perhatian, mempertahankan perhatian, atau perubahan atensi.
2. Perubahan kognisi atau gangguan persepsi, yang tidak terkait demensia.
3. Gangguan yang berkembang dalam periode yang pendek (jam ke hari),
dan berfluktuasi sepanjang hari.
4. Adanya bukti-bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau temuan
laboratorium (A) atau (B)
A. Gejala dalam kriteria 1 dan 2 berkembang selama
intoksikasi zat
B. Pemakaian medikasi secara etiologi berhubungan dengan
gangguan.
Untuk Delirium Putus Zat :
1. Gangguan kesadaran disertai berkurangnya kemampuan untuk
memusatkan perhatian, mempertahankan perhatian, atau perubahan atensi.
2. Perubahan kognisi atau gangguan persepsi, yang tidak terkait demensia.
3. Gangguan yang berkembang dalam periode yang pendek (jam ke hari),
dan berfluktuasi sepanjang hari.
4. Adanya bukti-bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau temuan
laboratorium bahwa gejala dalam kriteria (1) dan (2) berkembang selama ,
atau segera setelah suatu sindroma putus
Untuk Delirium Karena Penyebab Multiple:
1. Gangguan kesadaran disertai berkurangnya kemampuan untuk
memusatkan perhatian, mempertahankan perhatian, atau perubahan atensi.
2. Perubahan kognisi atau gangguan persepsi, yang tidak terkait demensia.
3. Gangguan yang berkembang dalam periode yang pendek (jam ke hari),
dan berfluktuasi sepanjang hari.
4. Adanya bukti-bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau temuan
laboratorium bahwa delirium telah memiliki lebih dari satu penyebab
(misalnya lebih dari satu penyebab kondisi medis umum, suatu kondisi
medis umum ditambah intoksikasi zat atau efek samping medikasi).
Untuk Delirium Yang Tidak Ditentukan:
Kategori ini harus digunakan untuk mendiagnosis suatu delirium yang tidak
memenuhi kriteria salah satu tipe delirium yang dijelaskan pada bagian ini.
VII.GEJALA KLINIS
Kunci utama dari delirium adalah suatu gangguan kesadaran, yang dalam
DSM IV digambarkan sebagai “penurunan kejernihan kesadaran terhadap
lingkungan” dengan penurunan kemampuan untuk memusatkan,
mempertahankan, atau mengalihkan perhatian. Keadaan delirium mungkin
didahului selama beberapa hari oleh perkembangan kecemasan, mengantuk,
insomnia, halusinasi transien, mimpi menakutkan di malam hari dan kegelisahan.
Tampaknya gejala tersebut pada seorang pasien yang berada dalam resiko
delirium harus mengarahkan dokter untuk mengikuti pasien secara cermat.
A. Kesadaran
Dua pola umum kelainan kesadaran telah ditemukan pada pasien dengan
delirium. Satu pola ditandai oleh hiperaktivitas yang berhubungan dengan
peningkatan kesiagaan. Pola lain ditandai oleh penurunan kesiagaan. Pasien
delirium yang berhubungan dengan putus zat seringkali mempunyai delirium
hiperaktif yang juga dapat disertai dengan tanda otonomik, seperti kemerahan
kulit, pucat, berkeringat, takikardia, pupil dilatasi, mual, muntah, dan hipertermia.
Pasien dengan gejala hipoaktif kadang-kadang diklasifikasikan sebagai sedang
depresi, katatonik, atau mengalami demensia.
B. Orientasi
Orientasi terhadap waktu seringkali hilang, bahkan pada kasus delirium yang
ringan. Orientasi terhadap tempat dan kemampuan untuk mengenali orang lain
(sebagai contohnya dokter, anggota keluarga) mungkin juga terganggu pada kasus
yang berat. Pasien delirium jarang kehilangan orientasi terhadap dirinya sendiri.
C. Bahasa dan kognisi
Pasien dengan delirium seringkali mempunyai kelainan dalam bahasa seperti
melantur, tidak relevan, atau membingungkan (inkoheren) dan gangguan
kemampuan untuk mengerti pembicaraan. Tetapi DSM IV tidak lagi memerlukan
adanya kelainan bahasa untuk diagnosis, karena kelainan tersebut tidak mungkin
untuk mendiagnosis pasien yang bisu.
Fungsi kognitif lainnya yang mungkin terganggu pada pasien delirium adalah
fungsi ingatan dan kognitif umum. Kemampuan untuk menyusun,
mempertahankan, dan mengingat kenangan mungkin terganggu, walaupun
kenangan yang jauh mungkin dipertahankan. Pasien delirium juga mempunyai
gangguan kemampuan memecahkan masalah dan mungkin mempunyai waham
yang tidak sistematik, kadang-kadang paranoid.
D. Persepsi
Pasien dengan delirium seringkali mempunyai ketidakmampuan umum untuk
membedakan stimuli sensorik dan untuk mengintegrasikan persepsi sekarang
dengan pengalaman masa lalu mereka. Dengan demikian, pasien seringkali
tertarik oleh stimuli yang tidak relevan atau menjadi teragitasi jika dihadapkan
oleh informasi baru. Halusinasi juga relatif sering pada pasien delirium.
Halusinasi paling sering adalah visual atau auditoris, walaupun halusinasi juga
dapat taktil atau olfaktoris. Ilusi visual dan auditoris adalah sering pada delirium.
E. Mood
Pasien dengan delirium juga mempunyai kelainan dalam pengaturan mood.
Gejala yang paling sering adalah kemarahan, kegusaran, dan rasa takut yang tidak
beralasan. Kelainan mood lain yang sering ditemukan pada pasien delirium adalah
apati, depresi, dan euforia. Beberapa pasien dengan cepat berpindah-pindah di
antara emosi tersebut dalam perjalanan sehari.
F. Gejala Penyerta
Gangguan tidur bangun. Tidur pada pasien delirium secara karakteristik
terganggu. Pasien seringkali mengantuk selama siang hari dan dapat ditemukan
tidur sekejap di tempat tidunya atau di ruang keluarga. Tetapi tidur pada pasien
delirium hampir selalu singkat dan terputus-putus. Seringkali keseluruhan siklus
tidur bangun pasien dengan delirium semata-mata terbalik. Pasien seringkali
mengalami eksaserbasi gejala delirium tepat sebelu tidur, situasi klinis yang
dikenal luas sebagai sundowning. Kadang-kadang mimpi menakutkan di malam
hari dan mimpi yang mengganggu pada pasien delirium terus berlangsung ke
keadaan terjaga sebagai pengalaman halusinasi.
G. Gejala Neurologis
Pasien dengan delirium seringkali mempunyai gejala neurologis yang
menyertai, termasuk disfasia, tremor, asteriksis, inkordinasi dan inkontinesia urin.
Tanda neurologis fokal juga ditemukan sebagai bagian pola gejala pasien dengan
delirium.
VIII. DEFERENSIAL DIAGNOSIS
Banyak gejala yang menyerupai delirium. Demensia dan depresi sering
menunjukkan gejala yang mirip delirium; bahkan kedua penyakit/ kondisi tersebut
acap kali terdapat bersamaan dengan sindrom delirium. Pada keadaan tersebut
informasi dari keluarga dan pelaku rawat menjadi sangat berarti pada anamnesis.
a. Delirium versus demensia
Yang paling nyata perbedaannya adalah mengenai awitannya, yaitu delirium
awitannya tiba-tiba, sedangkan pada demensia berjalan perlahan. Meskipun kedua
kondisi tersebut mengalami gangguan kognitif, tetapi pada demensia lebih stabil,
sedangkan pada delirium berfluktuasi.
Perbandingan Delirium dan Demensia
Gambaran Klinis Delirium Dementia
Gangguan daya ingat + + + + + +
Gangguan proses berpikir + + + + + +
Gangguan daya nilai + + + + + +
Kesadaran berkabut + + + -
Major attention deficits + + + +
Fluktuasi perjalanan penyakit (1 hari) + + + +
Disorientasi + + + + +
Gangguan persepsi jelas + + -
Inkoherensi + + +
Gangguan siklus tidur - bangun + + +
Eksaserbasi nocturnal + + +
Insight/tilikan + + +
Awitan akut/subakut + + -
b. Delirium versus skizofrenia dan depresi
Sindrom delirium dengan gejala yang hiperaktif sering keliru dianggap
sebagai pasien yang cemas (anxietas), sedangkan hipoaktif keliru dianggap
sebagai depresi. Keduanya dapat dibedakan dengan pengamatan yang cermat.
Pada depresi terdapat perubahan yang bertahap dalam beberapa hari atau minggu
sedangkan pada delirium biasanya gejala berkembang dalam beberapa jam.
Beberapa pasien dengan skizofrenia atau episode manik mungkin pada satu
keadaan menunjukkan perilaku yang sangat kacau yang sulit dibedakan dengan
delirium. Secara umum, halusinasi dan waham pada pasien skizofrenia lebih
konstan dan lebih terorganisasi dibandingkan dengan kondisi pasien delirium.
IX. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan delirium tentunya tidak terpisah dari penyebabnya.
Identifikasi penyakit yang mendasari serta pengobatannya secara tepat perlu
dilakukan. Pasien dengan gangguan medis umum yang disertai dengan delirium
akan menjalani masa tinggal rumah sakit yang lebih lama daripada yang tidak
mengalami delirium. Delirium sendiri dapat menimbulkan komplikasi lain yang
banyak terjadi pada pasien, misalnya geriatri seperti jatuh dan infeksi. Pasien
dengan delirium juga biasanya lebih membutuhkan perawatan di institusi.
Penggunaan benzodiazepin seharusnya dihindari, kecuali bila sumber
deliriumnya adalah reaksi putus zat alcohol atau sedatif atau ketika agitasi yang
berat tidak dapat dikontrol oleh obat neuroleptik. Hal ini disebabkan karena
benzodiazepin dapat menyebabkan reaksi berkebalikan yang memperburuk
delirium. Reaksi berkebalikan yang diakibatkan oleh benzodiazepin adalah sedasi
yang berlebihan yang dapat menyulitkan penilaian status kesadaran pasien itu
sendiri.
Pada beberapa penelitian penggunaan obat neuroleptik, obat yang sering
dipakai pada kasus delirium adalah Haloperidol. Haloperidol digunakan karena
profil efek sampingnya yang lebih disukai dan dapat diberikan secara aman
melalu jalur oral maupun parenteral. Dosis yang biasa diberikan adalah 0,5 - 1,0
mg per oral (PO) atau intra muscular maupun intra vena (IM/IV); titrasi dapat
dilakukan 2 sampai 5 mg tiap satu jam sampai total kebutuhan sehari sebesar 10
mg terpenuhi. Setelah pasien lebih baik kesadarannya atau sudah mampu menelan
obat oral maka haloperidol dapat diberikan per oral dengan dosis terbagi 2-3 kali
perhari sampai kondisi deliriumnya teratasi. Haloperidol intravena lebih sedikit
menyebabkan gejala ekstrapiramidal daripada penggunaan oral.
Antipsikotik yang lebih baru, misalnya risperidon, olanzapin dan quetiapin
juga membantu dalam penatalaksanaan delirium. Namun penelitian dan bukti
yang mendukung penggunaan antipsikotik atipikal pada delirium belum terbukti
jelas sehingga obat-obat tersebut tidak dapat digunakan sebagai terapi lini
pertama. Akan tetapi, obatobatan ini dihubungkan dengan lebih sedikitnya
gangguan pergerakan akibat obat dibandingkan penggunaan haloperidol. Oleh
karena itu, antipsikotik atipikal mungkin merupakan obat pilihan untuk pasien
dengan penyakit Parkinson dan gangguan neuromuskular yang berhubungan, serta
pasien dengan riwayat adanya gejala ektrapiramidal pada penggunaan antipsikotik
lama.
Dosis awal olanzapin adalah 5 mg per oral setiap hari, setelah satu minggu,
dosis dapat ditingkatkan menjadi 10 mg sehari dan dititrasi menjadi 20mg sehari.
Quetiapin diberikan 25 mg per oral dua kali sehari yang dapat ditingkatkan
menjadi 25-50mg per dosis tiap 2 sampai 3 hari sampai tercapai target 300-400
mg perhari yang terbagi dalam 2-3 dosis. Risperidon diberikan 1-2 mg per oral
pada malam hari dan secara gradual ditingkatkan 1 mg tiap 2-3 harus sampai dosis
efektif tercapai (4-6 mg per oral). Quetiapin adalah obat antipsikotik baru yang
paling menimbulkan sedasi dan paling aplikatif dalam pengobatan delirium yang
agitasi.
Beberapa penanganan secara psikososial dapat dilihat di bawah ini:
a. Penyediaan bantuan suportif dan orientasi:
- Berkomunikasi secara jelas dan tegas; berikan pengulangan secara verbal
tentang hari, tanggal, lokasi dan identitas kunci orang-orang yang
bermakna, misalnya anggota tim medis dan saudara.
- Sediakan beberapa petanda seperti jam, kalender dan jadwal harian di
dekat pasien.
- Bawalah barang-barang yang cukup akrab bagi pasien dari rumah untuk
ditaruh di sekitar pasien.
- Sediakan televisi dan radio untuk relaksasi dan membantu pasien untuk
mempertahankan kontak terhadap dunia luar.
- Libatkan keluarga dan pengasuh dalam meningkatkan perasaan aman dan
orientasi pasien.
b. Penyediaan lingkungan yang tidak ambigu:
- Sederhanakanlah ruang dengan memindahkan objek-objek yang tidak
perlu untuk mempertahankan ruang yang cukup luas di kamar tidur.
- Pertimbangkan untuk mengambil ruang yang tunggal untuk membantu
istirahat dan menghindari pengalaman sensori yang berlebihan.
- Hindari penggunaan istilah-istilah medis di tengahtengah keberadaan
pasien karena hal itu dapat menimbulkan paranoid.
- Gunakan penerangan yang adekuat, gunakan lampu antara 40-60 Watt
untuk mengurangi salah persepsi.
- Atur sumber suara (baik dari staf medis, paralatan, ataupun pengunjung),
setara tidak lebih dari 45 desibel di waktu siang dan 20 desibel di waktu
malam.
- Jaga temperatur ruangan tetap di antara 21,1oC sampai 23,8oC
c. Pertahankan kemampuan pasien
- Identifikasi dan perbaiki kesalahan sensorik, jamin keberadaan kacamata,
alat bantu dengar atau gigi palsu untuk membantu pasien. Bila ada
kesulitan dalam bahasa, pertimbangkan jasa penerjemah.
- Berikan dukungan untuk perawatan mandiri dan partisipasi dalam
pengobatan.
- Pengobatan dilakukan untuk memperoleh tidur yang tidak tertunda.
- Pertahankan akitivitas fisik: bagi pasien yang dapat bergerak lakukan jalan
kaki tiga kali dalam sehari, bagi yang tidak dapat berpindah tempat
berikan pergerakan selama 15 menit tiga kali sehari.
X. PROGNOSIS
Setelah identifikasi dan menghilangkan faktor penyebab, gejala delirium
biasanya menghilang dalam periode 3-7 hari, walaupun beberapa gejala mungkin
membutuhkan waktu sampai 2 minggu untuk menghilang secara lengkap.
Semakin lanjut usia pasien dan semakin lama pasien mengalami delirium semakin
lama waktu yang diperlukan bagi delirium untuk menghilang. Ingatan tentang apa
yang dialami selama delirium, jika delirium telah berlalu, biasanya hilang timbul,
dan pasien mungkin menganggapnya sebagai mimpi buruk, sebagai pengalaman
yang mengerikan yang hanya diingat secara samar-samar.
XI. KESIMPULAN
Sindrom delirium sering tidak terdiagnosis dengan baik karena berbagai
sebab. Keterlambatan diagnosis memperpanjang masa rawat dan meningkatkan
mortalitas. Defisiensi asetilkolin yang berhubungan dengan beberapa factor
predisposisi dan factor pencetus merupkana mekanisme dasar yang harus selalu
diingat. Pencetus tersering adalah pneumonia dan infeksi saluran kemih.
Gangguan kognitif global, perubahan aktivitas psikomotor, perubahan siklus
tidur, serta perubahan kesadaran yang terjadi akut dan berfluktuatif merupakan
gejala yang sering ditemukan. Beberapa peneliti menggolongkan delirium ke
dalam beberapa tipe. Kriteria diagnosis baku menggunakan DSM-IV; instrument
baku yang digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis.
Beberapa penyakit mempunyai gejala dan tanda mirip sehingga diperlukan
kewaspadaan serta pemikiran kemungkinan diferensial diagnosis. Pengelolaan
pasien terutama ditujukan untuk mengidentifikasi serta menatalaksana factor
predisposisi dan pencetus. Penatalaksanaan non-farmakologik dan farmakologik
sama pentignnya dan diperlukan kerjasama dengan psikiater geriatric terutama
dalam pengelolaan pasien yang gelisah.