delirium

23
DELIRIUM Delirium (acute confusional state) merupakan kondisi kegawatdaruratan yang sering ditemui dan berpotensi menimbulkan morbiditas dan mortalitas. Diagnosis delirium seringkali sulit ditegakan, karena kondisi ini berada dalam kesadaran penuh (awake) dan stupor. Defenisi delirium adalah awitan akut dari hendaya kognitif dan gangguan kesadaran yang berfluktuasi. Delirium umumnya terjadi pada usia lanjut dan memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Pada lanjut usia sangat rentang terhadap delirium bahkan dalam perjalanan penyakit fisik ringan atau sebagai efek samping obat. 1 Kejadian delirium pada lanjut usia 4x lebih tinggi dibandingkan dewasa muda. Delirium akan mencapai angka tertinggi pada usia atas 70 tahun. Masalah ini menjadi fokus perhatian karena meningkatkan biaya perawatan serta dampak yang sangat besar terhadap penderita delirium. Selain itu delirium juga menjadi masalah kesehatan di masyarakat yang cukup signifikan, karena berhubungan dengan adanya penurunan kognitif dan fungsional bagi penderita, komplikasi penyakit medis yang dialami, serta meningkatkan penggunaan sumber dana, tenaga maupun risiko kematian. Pada tahun 2004 bahwa pasien lanjut usia yang pernah mengalami delirium menunjukan angka kematian dua kali lebih besar, dibandingkan yang tidak mengalami delirium. 2,3 Hal ini mendorong minat saya untuk membuat refraat mengenai delirum. 1

Upload: arv-ira

Post on 28-Dec-2015

192 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

delirium

TRANSCRIPT

Page 1: delirium

DELIRIUM

Delirium (acute confusional state) merupakan kondisi kegawatdaruratan yang sering

ditemui dan berpotensi menimbulkan morbiditas dan mortalitas. Diagnosis delirium

seringkali sulit ditegakan, karena kondisi ini berada dalam kesadaran penuh (awake) dan

stupor. Defenisi delirium adalah awitan akut dari hendaya kognitif dan gangguan

kesadaran yang berfluktuasi. Delirium umumnya terjadi pada usia lanjut dan memiliki

morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Pada lanjut usia sangat rentang terhadap delirium

bahkan dalam perjalanan penyakit fisik ringan atau sebagai efek samping obat.1

Kejadian delirium pada lanjut usia 4x lebih tinggi dibandingkan dewasa muda.

Delirium akan mencapai angka tertinggi pada usia atas 70 tahun. Masalah ini menjadi

fokus perhatian karena meningkatkan biaya perawatan serta dampak yang sangat besar

terhadap penderita delirium. Selain itu delirium juga menjadi masalah kesehatan di

masyarakat yang cukup signifikan, karena berhubungan dengan adanya penurunan

kognitif dan fungsional bagi penderita, komplikasi penyakit medis yang dialami, serta

meningkatkan penggunaan sumber dana, tenaga maupun risiko kematian. Pada tahun 2004

bahwa pasien lanjut usia yang pernah mengalami delirium menunjukan angka kematian

dua kali lebih besar, dibandingkan yang tidak mengalami delirium.2,3 Hal ini mendorong

minat saya untuk membuat refraat mengenai delirum.

A. Definisi

Delirium di sebut juga sebagai brain syndrome, acute brain syndrome, acute brain

failure, dan acute confusional episode. Delirium didefinisikan sebagai suatu sindrom yang

etiologinya tidak khas. Ditandai dengan gangguan kesadaran disertai dengan gangguan

atensi, kognitif, persepsi, daya ingat, perilaku psikomotor, emosi dan ganguan siklus tidur

yang terjadi secara akut dan fluktuatif. Gejala utama dari delirium adalah gangguan

kesadaran dan bingun mendadak yang terjadi bersama-sama dengan perubahan kognitif

yang berkembang dengan periode yang sangat singkat biasanya dalam beberapa jam

hingga hari dan cenderung berfluktatif dalam periode satu hari.3,4,5,6

1

Page 2: delirium

B. Epidemiologi

Antara 10% dan 16% dari pasien lansia mengalami delirium pada saat masuk ke

rumah sakit Delirium terjadi pada 10% sampai 15% dari pasien bedah umum yang lebih

tua, 30% dari pasien operasi jantung terbuka dan lebih dari 50% pasien dengan fraktur

pinggul. Faktor risiko demensia, penyakit otak kronis, usia lanjut, gangguan fungsi fisik

dan kekurangan gizi. Faktor risiko terjadi delirium yaitu demensia yang mendasari,

penyakit otak kronis (termasuk Parkinson penyakit dan penyakit jiwa), penyakit infeksi,

gangguan cairan/elektrolit dan gangguan metabolik lainnya. Selain itu stoke, sistem saraf

pusat infeksi, trauma dan epilepsi dapat menyebabkan terjadinya delirium.7

C. Etiologi

Delirium biasanya memiliki etiologi multifaktorial.8 Yaitu terdiri dari :

a. Penyebab penyebab delirium yang umumnya reversibel

Hipoksia

Hipoglikemi

Hepernatremi

Delirium antikolinergik

b. Penyebab lain

Infeksi

Gangguan metabolik

Lesi struktural otak

Pasca operasi

Intoksikasi

o Antikolinergik

o Narkotik (meperidin)

o Hipnotik sedatif

o Histamin 2 (H-2) blocker (simetidine)

o Kostikosteroid

o Antihipertensi sentral

c. Demensia merupakan salah satu faktor risiko yang paling besar. Faktor risiko

demensia pada pasien delirium sebesar 25-50%. Adanya demensia

meningkatkan risiko delirium 2-3 kali

2

Page 3: delirium

d. Delirium yang berhubungan dengan operasi:

Praoperatif (demensia, polifarmasi, putus obat, gangguan elektrolit dan

cairan)

Intraoperatif (meperidin, benzodiazepine long–acting, dan anti

kolinergik seperti atropin)

Pasca operasi (hipoksia dan hipotensi)

Telah dilaporkan bahwa 90% dari pasien dengan delirium memiliki 3-4 faktor

gangguan etiologi dapat diidentifikasi, 24% memiliki dua faktor,dan hanya 16% memiliki

satu faktor etiologi dapat diidentifikasi. Etiologi delirium adalah kompleks dan

multifaktorial dengan interaksi faktor pencetus pada pasien rentan dengan kondisi

predisposisi. Delirium dibagi menjadi beberapa subtipe menurut faktor etiologi:9

a. Delirium karena kondisi medis umum yaitu delirium yang dilihat dari riwayat

dahulu, pemeriksaan fisik, atau laboratotium yang gangguannya disebabkan

langsung oleh gangguan fisiologi

b. Delirium karena intoksikasi

c. Delirium karena putus obat yaitu delirium yang diakibatkan karena penarikan

substansi obat.

d. Delirium karena etiologi yang multiple yaitu delirium yang dilihat dari

riwayat penyakit dahulu, pemeriksaan fisik atau laboratotium yang

deliriumnya memiliki lebih dari satu etiologi.

e. Delirium yang tidak terklasifikasikan

D. Faktor predisposisi

Faktor predisposisi adalah pasien yang rentan terjadinya delirium antara lain

usia lanjut, gangguan neurologi, jenis kelamin laki-laki, gangguan sensorik, depresi,

imobilitas, patah tulang pinggul.10

a. Umur

Salah satu faktor predisposisi yang paling penting adalah usia. Baik geriatri dan

populasi pediatrik berada pada risiko terjadinya delirium. Orang tua yang lebih

rentan untuk terjadinya delirium delirium karena berkurangnya cadangan kolinergik

yang diperlukan untuk memori, belajar, dan perhatian. Sedangkan pada usia anak-

3

Page 4: delirium

anak delirium diakibatkan karena perkembangan otak struktural belum matang dan

berkembang.

b. Gangguan neurologis

Demensia merupakan faktor predisposisi utama untuk delirium, meta-analisis

menunjukkan relatif risiko. Pasien lansia dengan demensia memiliki risiko tinggi

terjadinya delirium bukan hanya diakibatkan karena penurunan asetikolin, tetapi

diakibatkan karena kematian sel-sel kolinergik pada nukleus basalis maynert sebagai

akibat dari proses penyakit.

c. Hip fraktur

Pasien patah tulang pinggul berada pada peningkatan risiko terjadinya delirium

karena trauma yang terkait dengan cedera dan perkembangan yang cepat untuk

rawat inap dan operasi, selain rasa sakit dan hilangnya fungsi. Yang paling umum

dari delirium pada pasien patah tulang pinggul dilaporkan akibat obat yang memiliki

efek sistem saraf pusat, infeksi, gangguan cairan elektrolit, metabolisme/gangguan

endokrin, proses intrakranial, kompromi cardiopulmonar dan/atau penarikan obat

dan penyebab sensorik/lingkungan.

d. Jenis Kelamin

Pada beberapa penelitian mengungkapkan bahwa laki-laki lebih banyak terkena

delirium dibandingkan dengan perempuan.

E. Faktor Pencetus

a. Bedah

Insiden delirium pasca operasi berkisar antara 5% sampai 15%. Faktor-faktor yang

meningkatkan risiko delirium pada pasien bedah termasuk gangguan elektrolit,

peningkatan usia, demensia, perioperatif hipotensi, hipoksia pasca operasi, dan

penggunaan obat-obatan antikolinergik.10

b. Obat

Delirium ditandai dengan disfungsi otak global yang mengakibatkan

penurunan metabolisme oksidatif otak dan ketidakseimbangan beberapa

neurotransmiter di otak. Setiap obat yang mengganggu sistem neurotransmitter

atau penggunaan substrat untuk metabolisme sistem saraf pusat dapat

menyebabkan delirium.10 Obat-obat yang menyebabkan terjadinya delirium :

Obat antikolinergik

4

Page 5: delirium

Hubungan penyebab obat untuk delirium pada obat antikolinergik dengan

afinitas reseptor muscarine. Anthistamin, antipsikotik, trisiklik antidepresan,

digoxin, furosemid, isosorbid dinitrat, warfarin, dipyridamole, codeine dan

captopril. Obat yang paling banyak digunakan memiliki efek primer maupun

sekunder antikolinergik yang berkontribusi terhadap terjadinya delirium.

Umumnya obat-obat yang digunakan terutama pada usia lanjut yaitu obat-obat

untuk penyakit jantung atau inkontinensia urine yang memiliki sifat

antikolinergik

Opioid

Delirium telah dilaporkan terkait dengan penggunaan opioid. Asosiasi delirium

dengan opioid berhubungan dengan dosis. Pada penggunaan opioid pada dosis

lebih besar dari 54mg/hr.

Antidepresan

Semua antidepresan trisiklik memiliki efek antikolinergik, dengan

amitryptiline memiliki terkuat dan terlemah nortriptyline. Delirium telah

dilaporkan

mengembangkan setelah penghentian mendadak fluoxetine.

Obat lain

Benzodiazepin, antipsikotik dengan efek antikolinergik yang kuat (misalnya

clozapine), obat antiparkinson (yaitu levodopa).

F. Patogenesis

Patofisiologi delirium masih kurang dipahami. Namun faktor risiko yang

dijelaskan di atasdapat menjelaskan bahwa delirium akibat ketidakseimbangan antara

neurotransmiter.4,11

a. Defisiensi kolinergik

Neuron kolinergik memainkan peran penting dalam kognisi dan memori.

Bukti dari studi elektroensefalografik dan farmakologis mendukung peran

defisiensi kolinergik dalam genesis delirium. Penelitian menunjukkan

elektroensefalografik delirium yang berhubungan dengan oksipital melambat , daya

puncak dan penurunan alpha, delta dan meningkatkan daya theta dan lambat

peningkatan rasio gelombang selama keadaan mengigau aktif. Jalur thalamo-kortikal

5

Page 6: delirium

kolinergik bertanggung jawab untuk perhatian, kewaspadaan dan regulasi

kewaspadaan memodulasi dasar EEG alpha ritme. Di pusat bertindak antikolinergik

menghasilkan pola yang sangat mirip dengan yang elektroensefalografik temuan

dalam. Pada penelitian farmakologi telah menunjukan ada hubungan anatara delirium

dan obat antikolinergik.

b. Sistem neurotransmitter monoamine

Sistem neurotransmitter lain yang memiliki peran dalam patogenesis delirium adalah

sistem monoamine neurotransmitter dopamin , norepinefrin dan serotonin telah peran

dalam gairah dan siklus tidur-bangun, ketiganya memodulasi respon fisiologis

terhadap rangsangan dan memiliki peran balancing untuk kolinergik.

c. Cedera saraf, inflamasi, dan respon stress

Delirium diduga hasil dari peningkatan pelepasan proinflamasi sitokin dalam kasus-

kasus trauma, infeksi atau pembedahan. Sitokin proinflamasi dapat mempengaruhi

sintesis atau pelepasan asetilkolin, dopamin, noradrenalin dan serotonin, dan dengan

demikian meningkatkan risiko delirium..

G. Gambaran Klinik

Kondisi delirium mengakibatkan kesadaran menjadi berkabut dan kesulitan untuk

memberikan perhatian serta berkonsentrasi, berhalusinasi atau menjadi paranoid dialami oleh

beberapa orang, disebabkan karena kesulitan untuk melakukan interpertasi lingkungan.

Gejala delirium lainya, dapat dialami dalam bentuk bicara melantur dan pikiran yang kacau.

Gejala tersebut cenderung berfluktatif selama satu periode sepanjang hari. Kebingunan yang

terjadi adalah kebingunan terhadap kejadian atau peristiwa sehari-hari yang merupakan

rutinitas bagi dirinya. Bahkan pada delirium dapat terjadi suatu perubahan kepribadian.

Individu dapat menjadi tenang atau menarik diri, sedangkan diwaktu lain bisa menjadi sangat

agitasi. Gangguan ini juga terjadi pada pola tidur dan makan penderita delirium. Delirium

dibagi menjadi 2 subtipe yaitu tipe hiperaktif dan hipoaktif.14

Tabel 1.1. Gambaran Klinik Hiperaktif delirium dan Hipoaktif delirium.14

6

Page 7: delirium

Tipe Delirium Hiperaktif Delirium Hipoaktif

Gejala Halusinasi

Delusi

Hiperaroural

Tidur

Menarik diri

Lambat

Patogenesis Peningkatan atau normal

metabolisme cerebral

Pada gambaran EEG

terlihat normal atau cepat

Penurunan aktivitas sistem

GABA

Penurunan metabolisme

cerebral secara global

EEG diffus tambat

Overstimulasi pada

sistem GABA

H. Diagnosis

Diagnosis delirium dibuat secara klinis menggunakan kriteria. Ada beberapa kondisi

lain yang harus dipertimbangkan dalam diagnosis diferensial yaitu demensia, skizofrenia,

depresi dengan fitur psikotik dan singkat psikosis reaktif. Masalah demensia agak rumit,

karena orang dengan demensia dapat mengembangkan seperti delirium. Oleh karena itu,

sangat penting untuk membangun tingkat dasar kognisi, fungsi dan perilaku. Sebuah alat

skrining yang dapat membantu untuk memeriksa kognitif adalah Mini-Mental State

Examination (MMSE). Confusion Assessment Method (CAM) adalah mengindentifikasi

delirium dengan cepat dan akurat. Sembilan butir dari gambaran klinis delirium yang

dianggap memiliki kepentingan diagnostik besar. Gambaran klinik yang terindentifikasi

adalah awitan akut dan berflukuatif, inatensi, pikiran tidak tertata, perubahan tingkat

kesadaran, disorientasi, hendaya memori, gangguan persepsi, meningkat atau menurunnya

aktivitas psikomotor, dan gangguan siklus tidur. Alogritma CAM adalah diagnosis utama

untuk delirium, di bawah ini adalah kriteria diagnostik delirium berdasarkan DSM IV-TR;

keempat kriteria ini harus dipenuhi untuk menegakkan diagnosis delirium.:7

Tabel 1.2. Kriteria Diagnostik Delirium13

A. Gangguan kesadaran (berkurangnya kewaspadaan terhadap lingkungan) dengan penurunan

kemampuan untuk memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian

7

Page 8: delirium

B. Perubahan kognisi (kemunduran ingatan, disorientasi, gangguan berbahasa) atau adanya

gangguan persepsi yang tidak dapat dimasukan ke dalam pre-demensia, demensia yang

sudah ada atau demensia yang sedang muncul.

C. Gangguan berlangsung dalam waktu yang singkat (biasanya jam sampai beberapa hari) dan

cenderung untuk berfluktuasi selama berlangsungnya.

D. Adanya bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan penemuan pemeriksaan

laboratorium yang mengindikasikan bahwa gangguan ini

CAM diagnosis delirium membutuhkan kehadiran kedua kriteria pertama dan kedua,

dan baik kriteria ketiga atau keempat, dengan sensitivitas 94% sampai 100% dan spesifisitas

90% sampai 95%. Setelah diagnosis delirium telah dibuat, pencarian harus mulai untuk

mendasari etiologi. Hal ini dimulai dengan riwayat, yang harus mencakup riwayat jaminan dari

keluarga dan teman-teman, serta catatan keperawatan jika pasien dirawat di rumah sakit.

Dokter harus meminta spesifik pertanyaan tentang obat pasien, terutama apakah obat telah

baru-baru ini dihentikan atau dimulai. melokalisir fitur penyakit akut juga harus dicari.

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari bukti infeksi, kondisi sistemik lain dan status

volume. Penekanan ditempatkan pada pemeriksaan neurologis untuk mencari tanda-tanda fokal

mendukung stroke, trauma (subdural hematoma), atau infeksi. Investigasi harus diperoleh

untuk membantu menentukan etiologi dari delirium. 7

H. Diagnosis Banding13

8

Page 9: delirium

Delirium Demensia Depresi Skizofernia

Awitan

Periode waktu

Revensibilitas

Tingkat kesadaran

atensi dan memori

Halusinasi

Delusi

Akut

Fluktuasi

Selalu

Terganggu

inatensi

dengan poor

memory

Selalu visual,

dapat juga

pendengaran,

pengecapan,

dan pembauan

Fragmented,

persekutorik

Insidious

Progresif

Tidak selalu

terjadi

Poor memory

tanpa inatensi

Bisa penglihatan

atau

pendengaran

Paranoid dan

biasanya

menetap

Bervariasi

Variasi diurnal

Selalu namun

dapat rekurens

Tidak terganggu

problem atensi

ringan

inkonsisten,

memori intak

Biasanya

pendengaran

yang terganggu

Kompleks

dengan mood

yang sesuai

Bervariasi

Bervariasi

Tidak, tapi dapat

ekserbasi

Tidak terganggu,

atensi

buruk,inkonsisten,

memori intak

Biasanya

pendengaran

Kompleks dan

sistemik sering

paranoid

I. Pengobatan

Perawatan delirium memerlukan perawatan yang mendasari penyebab penyebab

delirium. Pengobatan delirium meliputi:

a. Diagnosis tepat (delirium hipoaktif atau hiperaktif).

b. Pengelolaan manifestasi dan gejala perilaku dan kejiwaannya.

c. Identifikasi faktor-faktor penyebab.

d. Pengobatan yang mendasari.

e. Gejala seperti perilaku yang tidak terkontrol (agitasi dan psikosis).

f. Pilihan yang sesuai, dosis, dan agen antipsikotik.

Tujuan penanganan ICU delirium adalah untuk meningkatkan status kognitif

pasien dan mengurangi risiko yang merugikan seperti aspirasi, imobilitas berkepanjangan,

9

Page 10: delirium

meningkatnya waktu perawatan akut, institusionalisasi, dan kematian. Pengobatan

delirium dapat dilakukan dengan 2 cara nonfarmakologi dan farmakologi.

a. Nonfarmakologi

Strategi intervensi yang dilakukan pada pengobatan nonfarmakologi meliputi:

Reorientasi ulang pasien.

Tentukan kegiatan untuk merangsang kognitif pasien.

Tidur/ istirahat sebagai bagian dari prosedur nonfarmakologi.

Melakukan kegiatan mobilisasi dini, dengan mengajarkan pasien melakukan

latihan dengan berbagai gerakan.

Mencabut kateter tepat pada waktunya untuk mengatasi hambatan fisik pasien.

Penggunaan kacamata dan lensa pembesar

Penggunaan alat bantu pendengaran

Koreksi ada tidaknya dehidrasi.

b. Farmakologi

Langkah pertama dalam pengobatan delirium adalah menilai penggunaan obat-

obatan yang dapat menyebabkan atau memperburuk delirium.

Hindari menggunakan GABAergic (benzodiazepine) untuk mengontrol agitasi.

Penggunaan benzodiazepin seharusnya dihindari, kecuali bila sumber

deliriumnya adalah reaksi putus zat alkohol atau sedatif atau ketika agitasi

yang berat tidak dapat dikontrol oleh obat neuroleptik. Hal ini disebabkan

karena benzodiazepin dapat menyebabkan reaksi berkebalikan yang

memperburuk delirium. Reaksi berkebalikan yang diakibatkan oleh

benzodiazepin adalah sedasi yang berlebihan yang dapat menyulitkan

penilaian status kesadaran pasien itu sendiri.

Mengobati rasa sakit.

Hindari penggunaan opioid untuk mengontrol perilaku agitasi.

Untuk pengelolaan farmakologi delirium menggunakan :

o Acetylcholinesterase inhibitor (rivastigmine, donepezil, physostigmine,

rivastigmine) untuk koreksi antikolinergik sentral syndrome.

o Serotonin antagonis (ondansetron) untuk mengontrol peningkatan racun

dari 5-HT biasanya berhubungan dengan delirium.

o Melatonin atau melatonin agonis (ramelteon) untuk tidur.

10

Page 11: delirium

o Dopamin agonis untuk memberikan pemulihan hippocampal putatif fungsi

yang berfungsi untuk memori jangka pendek dan untuk gangguan otak

regional (agitasi, psikosis, refleks primitif) serta melindungi neuro

terhadap stress hipoksia dan cedera.

o Alpha-2 agonis (dexmedetomidine, clonidine), untuk perlindungan

terhadap NE akut terhadap hipoksia atau iskemia yang menyebabkan

cedera neuronal lebih lanjut dan memperburuk delirium.

o NMDA resepto -blocking agen, untuk meminimalkan glutamin diinduksi

cedera saraf (amantadine, memantine).

Dalam kasus delirium hiperaktif :

o Gunakan haloperidol dosis rendah sampai sedang (<1mg/24hr), jika

kondisi jantung pasien memungkinkan dan tidak ada yang signifikan

kelainan elektrolit.

o Jika pasien kontraindikasi terhadap haloperidol, antipsikotik atipikal harus

dipertimbangkan :

- Rekomendasi : risperidone, quetiapine.

- Data terbatas untuk : olanzepine, aripripazole, perospirone.

- Hindari : clozapine, ziprasidone.

Dalam kasus delirium hipoaktif :

o Bukti menunjukkan bahwa DA antagonis mungkin masih memiliki tempat

diberi kelebihan teori DA.

- Dapat menggunakan haloperidol, dosis yang direkomendasi adalah

dosis yang sangat rendah (0,25-1mg/24 jam).

- Obat Atipikal, mempertimbangkan agen dengan sedasi rendah

(risperidone), kecuali agen obat penenang diperlukan untuk

memulihkan siklus tidur.

Dalam kasus retardasi psikomotor yang ekstrim atau fitur katatonik,

dengan tidak adanya agitasi atau psikosis, pertimbangkan penggunaan agen psikostimulan

(methylphenidate, dextroamphetamine, modafini) atau dopamin agonis konvensional

(bromokriptin, amantadine, memantine)

11

Page 12: delirium

Tabel 1.3. Pengobatan Delirium

12

Page 13: delirium

J. Prognosis

Delirium dapat menyebabkan kematian pada 1 bulan pertama sekitar (14%), dan

pada enam bulan (22%), meskipun efek delirium pada kematian akut kemungkinan lebih

rendah bila faktor penyebab jangka pendek dapat diperbaiki.

Pasien dengan delirium memiliki panjang rata-rata tinggal di rumah sakit (9-21 hari)

dan tingkat yang lebih tinggi dari perawatan institusional yaitu sekitar 1 bulan. Meskipun

bersifat sementara, banyak pasien mengalami defisit kognitif persisten pada saat

dikeluarkan rumah sakit dan kehilangan sebagian memori setalahnya memori. Dalam

sebuah penelitian, hanya 40% pasien memiliki pemulihan lengkap gejala

pada saat dikeluarkan dari hospital. Dalam studi lain, kognitif dan defisit perilaku

neurologi dapat bertahan dalam mayoritas pasien pada tiga dan enam bulan setelah keluar

dari rumah sakit.

Delirium juga memiliki efek pada morbiditas jangka panjang dan kematian. Selain

itu delerium menyebabkan hampir dua kali lipat risiko kematian, Beberapa penulis

mengatakan bahwa delirium langsung menyebabkan ireversibel kerusakan otak. Selain itu

pendapat lain mengatakan delirium yang dapat menyebabkan penurunan fungsional tidak

langsung melalui berkepanjangan rawat inap.

13

Page 14: delirium

KESIMPULAN

Delirium adalah suatu sindrom yang etiologinya tidak khas. Ditandai dengan

gangguan kesadaran disertai dengan gangguan atensi, kognitif, persepsi, daya ingat, perilaku

psikomotor, emosi dan ganguan siklus tidur yang terjadi secara akut dan fluktuatif. Gejala

utama dari delirium adalah gangguan kedsadaran dan bingun mendadak yang terjadi

bersama-sama dengan perubahan kognitif yang berkembang dengan periode yang sangat

singkat biasanya dalam beberapa jam hingga hari dan cenderung berfluktatif dalam periode

satu hari. Delerium memiliki penyebab yang multifaktor diantaranya adalah akibat

intoksikasi obat, infeksi, pasca operaso, lesi struktural pada otak dan gangguan metabolik.

Pengobatan delirium menggunakan haloperidol karena lebih sedikit menyebabkan gejala

ekstrapiramidal. Biasanya pasien dengan delerium mempunyai prognosa yang kurang baik

dimana akan menyebabkan terjadinya gangguan kognitif dan dapat juga menyebabkan

kematian jika tidak diatasinya penyebab dari delirium.

14

Page 15: delirium

DAFTAR PUSTAKA

1. Yudofsky SC. The Americam Psychiatric Pusblishing Textbook of Neuropsychiatry

and behavioral Neurosciences. The American Psychiatric : 2008

2. Inooye Sharon. The Confusion Assesment (CAM). A New Methode For Detecting

Delerium. An Inter : 1999. P.27

3. Grover Sandeep, Kate Natasha. World Journal of Psychiatry. Assessment scales for

delirium: A review. 2012

4. Fricchione LG, Nejad HS, Esses AS, Cumming JT, Querques John, Cassem, et al.

Delirium. July 2008

5. Thomas St. Clinical Guideline The Prevention, Recognition and Management of

Delirium in Adult In-Patients yang autsralia. 2013

6. Satyanegara. Ilmu bedah saraf. Edisi IV : Gramedia Pustaka Utama : 2012 : Jakarta

7. Darren Burback Delirium: A Condition of All Ages. The Canadian Journal of

CME .October 2001

8. Dewanto George, Suwono J Wita, Riyanto Budi. Panduan praktis diagnosis dan

tatalaksana penyakit saraf. Jakarta 2009 : EGC

9. Wass Suzanne, Webster Penelope, Nair R Balakrishnan. Delirium in the Elderly: A

Review. [online 2008 Mei]. [Cited 2014 feb 05]. Avaible from : URL : HYPERLINK:

http://www.omjournal.org/ReviewArticle/PDF/200807/Delirium%20in%20the

%20Elderly.pdf

10. Kocabasoglu Nese, Karacetin Gul, Bayar Reha, Demi. A Review of the Etiology

Delirium. 2012

11. Inouye K Sharon. Delirium in Older Persons. The new england journal of medicine.

2006;354:1157-65.

12. Rodrigo Chaturaka, Rajapakse Senaka, Rajapakse Anoja. Delirium: pathophysiology,

symptomatology, diagnosis and management 2012

13. Andri, Damping E Charles. Peranan Psikiatri Geriatri dalam Penanganan Delirium

Pasien Geriatri Kedokteran Indonesia. Juli 2007

14. An Australia Goverment Initiative. Delerium in Older People. 2005

15. Neurological. Confusion:Delirium and Dementia.

15

Page 16: delirium

16. Maldonado JR. Delirium in the Acute Care Setting: Characteristics, Diagnosis and

Treatment. Departments of Psychiatry and Medicine, Stanford University School of

Medicine, 401 Quarry Road, Suite 2317, Stanford, CA 94305, USA. 2008

17. World Journal of Psychiatry. Assessment scales for delirium: A review. 2012

18. A summary of selected new evidence relevant to NICE clinical guideline 103

‘Delirium: diagnosis, prevention and management 2012

19. Vietara Widiastuti dian. Uji Kesalihan dan Keandalan Alogritma Confusion

Assesment Methode Sebagai Instrumen Penapis Delerium Lanjut Usia di Instlasi

Gawat Darurat RSUPN dr. Ciptomangukusomo : Universitas Indonesia : Jakarta :

2012

20. DeBellis Ronald, Smith S Brian, Choi Susan and Malloy Michael. Management of

Delirium Tremens. Online 2005

16