definisi

39
DEFINISI Crush injury didefinisikan sebagai kompresi dari ekstremitas atau bagian lain dari tubuh yang menyebabkan pembengkakan otot dan/atau gangguan saraf di area tubuhyang terkena. Biasanya area tubuh yang terkena adalah ekstremitas bawah (74%), ekstremitas atas (10%), dan badan (9%). Crush syndrome merupakan lokalisasi crush injury dengan manifestasi sistemik. Efek sistemik disebabkan oleh trauma rhabdomyolysis (Pemecahan otot) dan pelepasan komponen sel otot yang berbahaya dan elektrolit kesistem peredaran darah. Crush syndrome dapat menyebabkan cedera jaringan lokal, disfungsi organ, dan kelainan metabolik, termasuk asidosis, hiperkalemia, dan hypocalcemia. 1 Pada pengalaman sebelumnya, saat gempa bumi yang menimbulkan kerusakan yang parah menunjukkan bahwa insiden crush syndrome adalah sebesar 2-15% dengan sekitar 50% dari angka tersebut berkembang menjadi gagal ginjal akut dan lebih dari 50% yang perlu dilakukan tindakan fasiotomi. Dari mereka dengan gagal ginjal, 50% harus dilaksanakan dialisis. 1 PATOFISIOLOGI Mekanisme Cedera Sel Otot Patofisiologi crush injury dimulai dengan cedera otot dan kematian sel otot. Pada awalnya, ada tiga mekanisme yang bertanggung jawab atas kematian sel otot 2 : 1. Immediate Cell Disruption : Kekuatan lokal yang menghancurkan sel menyebabkanImmediate Cell Disruption (lisis). Walaupun memiliki efek immediate, mungkin inilah mekanisme yang paling tidak penting dibandingkan dengan kedua mekanisme yang lain. 2. Direct pressure on muscle cell : Tekanan langsung dari crush injury menyebabkan sel otot menjadi iskemik. Sel-sel kemudian beralih ke metabolisme anaerobik, menghasilkan sejumlah besar asam laktat. Iskemia berkepanjangan kemudian menyebabkan selmembran bocor.Proses ini terjadi selama satu jam pertama setelah crush injury. 3. Vascular compromise : Kekuatan crush injury menekan pembuluh darah utama mengakibatkan hilangnya suplai darah ke jaringan otot. Biasanya, otot bisa bertahan sekitar 4 jam tanpa aliran darah (warm ischemia time) sebelum kematian sel terjadi. Setelah waktu ini, sel-sel mulai mati sebagai akibat dari kompromais vaskular. Pelepasan Substansi Dari Otot Yang Cedera Mekanisme yang tercantum di atas menyebabkan jaringan otot yang terluka untuk menghasilkan dan melepaskan sejumlah substansi yang dapat menjadi racun dalam sirkulasi. Mekanisme tekanan padacrush injury sebenarnya berfungsi sebagai mekanisme perlindungan, mencegah racun mencapai sirkulasi pusat. 2 Setelah pasien terbebaskan dan tekanan dilepaskan, racun bebas masuk dalam sirkulasi dan berefek sistemik. Mereka dapat mempengaruhi organ yang jauh dari lokasi crush injury. Kebocoran racun dapat berlangsung selama 60 jam setelah crush injury terbebaskan. Beberapa substansi dan efeknya adalah sebagai berikut 2 : Asam amino dan asam organik lainnya berkontribusi terhadap asidosis, aciduria, dandysrhythmia. Creatine phosphokinase (CPK) dan enzim intraseluler lain berfungsi sebagai penanda dalam laboratorium untuk crush injury. Free radicals, superoxides, peroxides

Upload: wizri-suhariani

Post on 06-Dec-2015

221 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

---

TRANSCRIPT

Page 1: DEFINISI

DEFINISI

Crush injury didefinisikan sebagai kompresi dari ekstremitas atau bagian lain dari tubuh yang

menyebabkan pembengkakan otot dan/atau gangguan saraf di area tubuhyang terkena.

Biasanya area tubuh yang terkena adalah ekstremitas bawah (74%), ekstremitas atas (10%),

dan badan (9%). Crush syndrome merupakan lokalisasi crush injury dengan manifestasi

sistemik. Efek sistemik disebabkan oleh trauma rhabdomyolysis (Pemecahan otot) dan

pelepasan komponen sel otot yang berbahaya dan elektrolit kesistem peredaran darah. Crush

syndrome dapat menyebabkan cedera jaringan lokal, disfungsi organ, dan kelainan

metabolik, termasuk asidosis, hiperkalemia, dan hypocalcemia.1

Pada pengalaman sebelumnya, saat gempa bumi yang menimbulkan kerusakan yang parah

menunjukkan bahwa insiden crush syndrome adalah sebesar 2-15% dengan sekitar 50% dari

angka tersebut berkembang menjadi gagal ginjal akut dan lebih dari 50% yang perlu

dilakukan tindakan fasiotomi. Dari mereka dengan gagal ginjal, 50% harus dilaksanakan

dialisis.1

PATOFISIOLOGI

Mekanisme Cedera Sel Otot

Patofisiologi crush injury dimulai dengan cedera otot dan kematian sel otot. Pada awalnya,

ada tiga mekanisme yang bertanggung jawab atas kematian sel otot2:

1. Immediate Cell Disruption             : Kekuatan lokal yang menghancurkan sel

menyebabkanImmediate Cell Disruption (lisis). Walaupun memiliki efek immediate, mungkin

inilah mekanisme yang paling tidak penting dibandingkan dengan kedua mekanisme yang

lain.

2. Direct pressure on muscle cell            : Tekanan langsung dari crush injury menyebabkan sel

otot menjadi iskemik. Sel-sel kemudian beralih ke metabolisme anaerobik, menghasilkan

sejumlah besar asam laktat. Iskemia berkepanjangan kemudian menyebabkan selmembran

bocor.Proses ini terjadi selama satu jam pertama setelah crush injury.

3. Vascular compromise                   : Kekuatan crush injury menekan pembuluh darah utama

mengakibatkan hilangnya suplai darah ke jaringan otot. Biasanya, otot bisa bertahan sekitar

4 jam tanpa aliran darah (warm ischemia time) sebelum kematian sel terjadi. Setelah waktu

ini, sel-sel mulai mati sebagai akibat dari kompromais vaskular.

Pelepasan Substansi Dari Otot Yang Cedera

Mekanisme yang tercantum di atas menyebabkan jaringan otot yang terluka untuk

menghasilkan dan melepaskan sejumlah substansi yang dapat menjadi racun dalam sirkulasi.

Mekanisme tekanan padacrush injury sebenarnya berfungsi sebagai mekanisme

perlindungan, mencegah racun mencapai sirkulasi pusat.2

Setelah pasien terbebaskan dan tekanan dilepaskan, racun bebas masuk dalam sirkulasi dan

berefek sistemik. Mereka dapat mempengaruhi organ yang jauh dari lokasi crush injury.

Kebocoran racun dapat berlangsung selama 60 jam setelah crush injury terbebaskan.

Beberapa substansi dan efeknya adalah sebagai berikut2:

Asam amino dan asam organik lainnya

berkontribusi terhadap asidosis, aciduria, dandysrhythmia.

Creatine phosphokinase (CPK) dan enzim intraseluler lain

berfungsi sebagai penanda dalam laboratorium untuk crush injury.

Free radicals, superoxides, peroxides

terbentuk ketika oksigen kembali pada jaringan iskemik, menyebabkan kerusakan jaringan

lebih lanjut.

Histamin

vasodilatasi, bronkokonstriksi.

Page 2: DEFINISI

Asam laktat

berperan besar terhadap terjadinya asidosis dan disritmia.

Leukotrienes

cedera paru (ARDS), dan hepatic injury.

Lysozymes

enzim pencernaan sel yang menyebabkan cedera selularlebih lanjut.

Mioglobin

presipitat dalam tubulus ginjal, khususnya dalam pengaturan asidosis denganpH urin rendah,

mengarah ke gagal ginjal.

Nitratoksida

menyebabkanvasodilatasi, yangmemperburukhemodinamik.

Fosfat

hyperphosphatemia menyebabkan pengendapan kalsium serum, yang mengarah

kehypocalcemia dan disritmia.

Kalium

hiperkalemia menyebabkan disritmia, terutama bila dikaitkan dengan asidosis dan

hypocalcemia.

Prostaglandin

vasodilatasi, cedera paru.

Purin(asam urat)

dapa tmenyebabkan kerusakan ginjal lebih lanjut (nefrotoksik).

Thromboplastin

koagulasi intravaskuler diseminata(DIC).

Tidak ada hubungan antar atingkat zat beracun seperti potasium atau myoglobin dengan

tingkat keparahan dari crush injury atau lamanya waktuyang pasien terjebak.

Konsekuensi Reperfusi

Ruang Ketiga. Kebocoran membran sel dan kapiler menyebabkan cairan intravaskuler

terakumulasi ke jaringan yang cedera. Hal ini menyebabkan hipovolemia yang signifikan dan

akhirnya hipovolemik shock. Kehilangan kalsium ke dalam jaringan yang cedera juga

berkontribusi untuk hypocalcemia.2

Sindrom Kompartemen. Kelompok otot yang dikelilingi oleh lapisan keras dari fasia

jaringan membentuk kompartemen jaringan. Ketika jaringan otot dalam kompartemen

membengkak, tekanan dalam kompartemen juga meningkat. Hal ini menyebabkan iskemia

yang memburuknya dan selanjutnya terjadi kerusakanotot. Selain itu, pembuluh darah atau

saraf yang berjalan melalui kompartemen juga akan cedera.2

PENILAIAN

Pasien dengan crush injury memiliki sedikit tanda dan gejala. Kita harus waspada mungkin

terlalu terlambat untuk hasil optimal pengobatan jika intervensi kita tertunda karena

menunggu tanda-tanda dan gejala crush injury muncul. Crush syndrome harus diantisipasi.2

Crush syndrome harus dicurigai pada pasien dengan pola cedera tertentu. Kebanyakan

pasien dengancrush syndrome memiliki area cedera tubuh yang luas sepertiekstremitas

bawah dan/atau panggul.Crush syndrome dapat berkembang setelah 1 jam dalam situasi

yang parah, tetapi biasanya membutuhkan 4 sampai 6 jam untuk proses-prosesnya.2

TANDA DAN GEJALA

Crush injury memiliki beberapa tanda dan gejala yang dikelompokkan menjadi tiga, yaitu1:

Hipotensi

Page 3: DEFINISI

Munculnya ruang ketiga yang masif, memerlukan penggantian cairan yang cukup dalam 24

jam pertama; terjadinya penumpukan cairan pada ruang ketiga ini mencapai > 12 L selama

periode 48-jam

Ruang ketiga dapat mengakibatkan komplikasi sekunder seperti sindrom kompartemen, yang

merupakan pembengkakan dalam ruang anatomi tertutup; yang seringkali membutuhkan

fasiotomi

Hipotensi juga berperan dalam insidensi gagal ginjal

Kegagalan Ginjal

Rhabdomyolysis melepaskan mioglobin, kalium, fosfor, dan kreatinin ke sirkulasi

Myoglobinuria dapat mengakibatkan nekrosis tubular ginjal jika tidak ditangani

Pelepasan elektrolit dari otot yang iskemik menyebabkan kelainan metabolic

Kelainan Metabolic

Kalsium mengalir ke dalam sel otot melalui membran yang bocor, menyebabkan

hypocalcemia sistemik

Kalium dilepaskan dari otot iskemik ke dalam sirkulasi sistemik, menyebabkan hyperkalemia

Asam laktat dilepaskan dari otot iskemik ke dalam sirkulasi sistemik, menyebabkan asidosis

metabolic

Ketidakseimbangan kalium dan kalsium dapat menyebabkan aritmia jantung yang

mengancam jiwa, termasuk cardiac arrest; dan asidosis metabolik dapat memperburuk

kondisi pasien ini

Secara umum, ada beberapa tanda dan gejala lain yang mungkin hadir2:

Cedera Kulit

Bengkak

Kelumpuhan –> menyebabkan seringkali crush injury keliru diartikan sebagai cedera sumsum

tulang belakang.

Parestesia, mati rasa à dapat menutupi derajat cedera (masking effect).

Nyeri –> seringkali memberat pada pembebasan crush injury.

Nadi –> pulsasi distal mungkin ada atau tidak ada.

Myoglobinuria –> urin dapat menjadi berwarna merah tua atau coklat, menunjukkan adanya

myoglobin.

Beberapa tanda dan gejala yang cukup signifikan yaitu2:

Hiperkalemia

Seperti disebutkan sebelumnya, hiperkalemia sering hadir pada pasien dengan crush injury.

Dengan tidak adanya analisis laboratorium, tingkat hiperkalemia dapat diperkirakan secara

kasar dengan elektrokardiogram (EKG).Lebih baik dilaksanakan EKG serial.Perubahan

elektrokardiografi adalah sebagai berikut:

1. Hiperkalemia ringan (5,5-6,5 mEq/L)

Gelombang T meninggi.

1. Hiperkalemia Sedang (6,5-7,5 mEq/L)

PR interval memanjang, penurunan amplitudogelombang P, depresi atau elevasi segmen ST,

sedikit pelebaran QRS kompleks.

1. Hiperkalemia berat (7,5-8,5 mEq/L)

Pelebaran lebih lanjut dari QRS karena blok pada bundel cabang atau intraventricular,

gelombang P yang datar dan lebar.

1. Mengancam kehidupan hiperkalemia (> 8,5 mEq/L)

Hilangnya gelombang P; blok AV; disritmia ventrikel; pelebaran lebih lanjut dari kompleks

QRS, akhirnya membentuk pola sinusoid.

Sindrom Kompartemen

Page 4: DEFINISI

Seperti disebutkan pada patofisiologi, sindrom kompartemen dapat terjadi bersamaan

dengan crush injury. Tanda dan gejala yang berhubungan dengan ini meliputi:

Nyeri yang berat pada ekstremitas yang terlibat.

Nyeri pada peregangan pasif otot-otot yang terlibat.

Penurunan sensasi pada saraf tepi yang terlibat.

Peningkatan tekanan intracompartmental pada direct manometry.

MANAJEMEN

Pra-Rumah Sakit:

Masukkan infus cairan sebelum melepas bagian tubuh yang hancur. (Langkah ini terutama

penting dalam kasus crush injury berkepanjangan (> 4 jam), namun, crush injurydapat terjadi

dalam <1 jam)

Jika prosedur ini tidak dapat dilaksanakan, sebaiknya gunakan tourniquet pada anggota tubuh

yang terlibat sampaihidrasi intravena (IV) dapat dimulai.1 Namun penggunaan tourniquet ini

masih menjadi perdebatan.2

Rumah Sakit

Hipotensi:

Memulai (atau melanjutkan) hidrasi IV sampai dengan 1,5 L/jam1àcairan yang mengandung

kalium (misalnya, laktat Ringer’s) harus dihindari. Normal salin adalah pilihan awal yang

baik.2

Kegagalan Ginjal

Mencegah gagal ginjal dengan hidrasi yang sesuai, dengan menggunakan cairan IV dan

manitol untuk mempertahankan diuresis minimal 300 cc/jam1 –> penggunaan kateter Foley,

dan formula cairan yang dapat digunakan2: 12 L/d (500 ml/h)Normal Saline Solution (NSS)

dengan 50 mEq natrium bikarbonat per liter cairan, ditambah 120 gram manitol harian untuk

mempertahankan output urine. Rejimen lain adalah2: 12 L/d  ditambah natrium, 110 mmol/L;

klorida 70 mmol/L; bikarbonat 40 mmol/L; dan manitol 10 gm/L

Triase untuk penentuan diperlukannya hemodialisis

Kelainan Metabolic

Asidosis: Alkalinization urin sangat penting; masukkan natrium bikarbonat IV sampai pH urin

mencapai 6,5 untuk mencegah mioglobin dan endapan asam urat di ginjal 1 –> Natrium

bikarbonat memiliki beberapa manfaat pada pasien dengan crush injury. Natrium bikarbonat

akan membalikkan asidosis yang sudah ada dan juga sebagai salah satu langkah awal dalam

mengobati hiperkalemia. Hal ini juga akan meningkatkan pH urin, sehingga menurunkan

jumlahmioglobin endapan di ginjal. Disarankan bahwa 50 sampai 100 mEq bikarbonat,

tergantung pada beratnya cedera.2 Pilihan lain adalah dopamin pada 2-5 µg/kg/menit dan

furosemide di 1 mg/kg. Asetazolamide, 250-500 mg, dapat digunakan jika pasien menjadi

terlalu alkalotic.2

Hiperkalemia/Hypocalcemia: Pertimbangkan untuk (dosis dewasa) sebagai berikut: kalsium

glukonat 10% 10cc atau kalsium klorida 10% 5cc IV dalam 2 menit; natrium bikarbonat 1

meq/kg IV bolus lambat; insulin 5-10 U dan D5O bolus IV 1-2 ampul; kayexalate 25-50g

dengan sorbitol 20% 100ml PO atau PR, atau dialysis untuk gagal jantung akut.2

Jantung Aritmia: Monitor untuk aritmia jantung dan serangan jantung.

Komplikasi sekunder

Monitor sindrom kompartemen; memonitor tekanan kompartemen jika peralatan tersedia;

mempertimbangkan fasiotomi darurat untuk sindrom kompartemen –> penanganan dengan

mannitol cukup bermanfaat. Mannitol melindungi ginjal dari efek rhabdomyolysis,

peningkatan volume cairan ekstraselular, dan meningkatkan kontraktilitas jantung. Selain itu,

administrasi intravena manitol selama 40 menit bermakna terkait dengan sindrom

Page 5: DEFINISI

kompartemen, menghilangkan gejala dan mengurangi bengkak. Manitol dapat diberikan

dalam dosis 1 gm/kg atau ditambahkan ke cairan intravena pasien sebagai infus kontinu.

Dosis maksimum adalah 200 gm/d; dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan gagal ginjal.

Manitol hanya diberikan bila produksi urin stabil dengan cairan IV.

Pada luka terbuka dirawat luka (clean, debride, covered sterile), dan posisikan area yang

terlibat sejajar dengan jantung untuk membatasi edema dan mempertahankan perfusi.

Pemberian antibiotic juga bermanfaat, begitu juga toksoid tetanus.2

Gunakan es untuk area luka dan monitor pada 5 P: pain, pallor, parasthesias, pain with

passive movement,dan pulselessness

Perhatikan semua luka korban, bahkan yang terlihat baik-baik saja

Keterlambatanhidrasi > 12 jam dapat meningkatkan kejadian gagal ginjal

DISPOSISI

Pasien dengan gagal ginjal akut mungkin memerlukan hingga 60 hari pengobatan dialisis;

kecuali adanya sepsis,fungsi ginjal pasien cenderung kembali normal.

Beberapa manajemen crush injury yang dapat dilakukan2:

Oksigen Hiperbarik

Ada sejumlah bukti bahwa oksigen hiperbarik meningkatkan hasil korban crush injury.

Penggunaan modalitas ini akan terbatas dalam situasi bencana karena sulitnya fasilitas ruang

hiperbarik.

Amputasi

Amputasi di lapangan merupakan pilihan terakhir. Merupakan strategi penyelamatan untuk

pasien yang hidupnya dalam bahaya langsung dari crush injury tetapi sangat meningkatkan

risiko pasien infeksi dan perdarahan.

Fasiotomi

Fasiotomi juga merupakan prosedur yang kontroversial, yang selanjutnya dapat mengekspos

pasien terhadap risiko infeksi dan bleeding. Mengkonversi cedera tertutup menjadi terbuka,

beresiko infeksi dan sepsis. Beberapa studi menunjukkan hasil yang buruk dengan

dilakukannya fasiotomi. Beberapa pengecualian untuk kasus pada ekstremitas viable

namun pulseless dan berpotensi terjadi peningkatan tekanan intrakompartemen

...........................

Page 6: DEFINISI
Page 7: DEFINISI
Page 8: DEFINISI

SEPSIS DAN SIRS

I.                   Pendahuluan

            Terdapat beberapa hal yang menjadi pertanyaan mengenai keadaan fisik pasien-pasien bedah dengan keadaan yang sakit parah. Pasien tersebut menunjukkan pola gejala-gejala klinis takipnea, takikardi, demam, diaforesis dan lekositosis yang biasanya berhubungan dengan infeksi lokal yang parah, bakteriemia, diseminasi produk sel mikroba (endotoksin) atau kombinasi dari keadaan tersebut. Pasien-pasien tersebut umumnya kita hubungkan dengan suatu diagnosis “sepsis” atau “septikemia”. Istilah ini secara tradisional memberikan pengertian suatu manifestasi klinis yang menggambarkan infeksi invasif yang tidak terkendali yang akibatnya menjadi suatu manifestasi sistemik penyakit tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa proses infeksi yang terjadi mengalami perubahan dari lokal menjadi sistemik. Bukti-bukti telah menunjukkan bahwa reaksi sistemik sepsis bukan merupakan reaksi spesifik atas suatu jenis mikroba tetapi merupakan reaksi non-spesifikhost (pasien). Bakteri, jamur maupun virus dapat mendatangkan respon sistemis yang sama pada host.            Reaksi inflamasi yang bersifat non-spesifik menjadi dasar atas semua peristiwa ini. Dengan demikian setiap peristiwa yang dapat membangkitkan reaksi inflamasi, walaupun secara lokal (seperti trauma tumpul, luka bakar) bila terjadi secara hebat, dapat mengaktifkan reaksi sistemik yang menunjukkan suatu kumpulan gejala klinis “sepsis”, tanpa ditemukannya mikroba patogen sebagai penyebab. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa “sepsis” yang disebabkan infeksi mikroba dan aseptik “sepsis” yang disebabkan stimulus lain memberikan gambaran klinis yang serupa yaitu suatu respons sistemik host terhadap reaksi inflamasi sistemik.

Page 9: DEFINISI

            Kata “sepsis” pertama kali digunakan oleh Hippocrates, lebih dari dua milenium yang lalu, untuk menggambarkan proses penguraian jaringan dengan hasil akhir penyakit, bau yang tidak sedap dan kematian. Sepsis merupakan lawan dari “pepsis” yang berarti proses penguraian jaringan yang memberikan kehidupan yang berhubungan dengan pencernaan makanan atau fermentasi anggur untuk menghasilkan wine. Dengan berhasil diidentifikasikannya mikroorganisme sebagai penyebab infeksi, kata sepsis lalu mempunyai pengertian infeksi mikroba yang berat, sementara septikemia mempunyai arti keberadaan atau invasi bakteri di dalam sirkulasi.            Dalam tahun-tahun terakhir ini, banyak kemajuan besar telah dibuat dalam membangun pengertian kita tentang respon sepsis, baik baik tentang asal mediator, efek maupun konsekuensinya.

II.                Epidemiologi

            Dari studi epidemiologis yang dilakukan Martin et al (2003), menunjukan bahwa di Amerika Serikat dari tahun 1979 sampai dengan tahun 2000 (22 tahun) dilaporkan terdapat 10.319.418 kasus sepsis (merupakan 1.3% dari semua kasus rawat inap). Jumlah pasien sepsis yang dirawat setiap tahun meningkat dari 164.072 pada tahun 1979 menjadi 659.935 pada tahun 2000 (meningkat 13,7% per tahun). Karakteristik demografi dan kondisi yang menyertai pada populasi pasien sepsis dari masing-masing subperiode dapat dilihat dari tabel 1 dibawah ini. Usia rata-rata pasien sepsis meningkat dari 57, 4 tahun pada subperiode pertama menjadi 60,8 tahun pada subperiode terakhir. Usia rata-rata pasien wanita yang terkena sepsis adalah 62,1 tahun sedangkan pada pria adalah 56,9 tahun.            Dari penelitian ini juga diketahui bahwa dari tahun 1979 sampai 1987, bakteri penyebab sepsis yang dominan adalah bakteri Gram negatif, sedangkan pada subperiode berikutnya adalah bakteri Gram positif. Diantara mikroba yang menyebabkan sepsis pada tahun 2000, bakteri Gram positif merupakan 52,1% kasus, sedangkan bakteri Gram negatif 37,6%, infeksi polimikroba 4,7%, anaerob 1% dan infeksi jamur 4,6%.            Selama penelitian tersebut, didapat angka kematian akibat sepsis rata-rata adalah 27,8% pada subperiode pertama dan menurun menjadi 17,9% pada subperiode terakhir. Proprosi pasien sepsis yang mengalami kegagalan organ, suatu petanda keparahan sepsis, meningkat dari 19,1% pada 11 tahun pertama menjadi 30,2% pada tahun-tahun terakhir. Kegagalan organ terjadi pada 33,6% pasien selama subperiode terakhir (1995 – 2000). Kegagalan organ juga mempengaruhi angka mortalitas: kurang lebih 15% pasien tanpa kegagalan organ meninggal dunia, sementara 70% pasien dengan kegagalan 3 organ atau lebih meninggal dunia. Organ yang paling sering mengalami kegagalan adalah paru-paru (18%) dan ginjal (15%); sedangkan yang lebih jarang adalah kegagalan kardiovaskular (7%), kegagalan hematologis (7%), kegagalan metabolik (7%) dan kegagalan neurologis (2%).Tabel 1. Karakteristik pasien sepsis

III.             Definisi dan Terminologi

            Terminologi mengenai sepsis yang banyak dipakai saat ini adalah hasil konferensiAmerican Collage of Chest Physician/Society of Critical Care Medicine pada tahun 1992, yang menghasilkan suatu konsensus :

Infeksi merupakan suatu fenomena mikrobiologi yang ditandai dengan adanya invasi terhadap jaringan normal/sehat/steril oleh mikroorganisme atau hasil produk dari mikroorganisme tersebut (toksin).Bakteriemia berarti terdapatnya bakteri dalam aliran darah, akibat suatu fokus infeksi yang disertai dengan adanya bakteri yang terlepas / lolos ke dalam sistem sirkulasi.

Page 10: DEFINISI

SIRS (Sistemic Inflamatory Response Syndrome) adalah respon inflamasi sistemik yang dapat dicetuskan oleh berbagai insult klinis yang berat. Respon ini ditandai dengan dua atau lebih dari gejala-gejala berikut :  demam (suhu tubuh > 38  oC) atau hipotermia (< 36 oC)  takhikardi (denyut nadi > 90 x/menit)  takhipneu (frekuensi respirasi > 20 x/menit) atau Pa CO2 <32 torr (< 4.3 kPa)  leukositosis (jumlah leukosit >12000/mm3 ) atau leukopenia (jumlah leukosit < 4000/mm3) atau adanya bentuk leukosit yang immature > 10%.Sepsis adalah suatu SIRS yang disertai oleh suatu proses infeksi.Sepsis Berat (Severe Sepsis) adalah bentuk sepsis yang disertai disfungsi organ, hipoperfusi jaringan (dapat disertai ataupun tidak disertai keadaan asidosis laktat, oliguria, gangguan status mental/kesadaran) atau hipotensi.Syok Septik diartikan sebagai sepsis yang disertai dengan hipotensi dan tanda-tanda perfusi jaringan yang tidak adekuat walaupun telah dilakukan resusitasi cairan (asidosis laktat, oliguria, gangguan status mental/kesadaran).Hipotensi adalah suatu keadaan yang ditandai dengan tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau adanya penurunan > 40 mmHg dari tekanan darah dasarnya.MODS (Multiple Organ Dysfunction Syndrome) adalah keadaan perubahan fungsi organ dengan ditandai keadaan homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa adanya intervensi terapi.MOSF (Multiple Organ System Failure) adalah keadaan terganggunya sistem organ sistemik pada keadaan akut walaupun telah dilakukan tindakan stabilisasi homeostasis.

Gambar 1. Hubungan Sepsis, SIRS dan Infeksi

IV.             Patogenesis

Inflamasi yang merupakan respon tubuh proteksi yaitu melokalisir area yang cedera atau destruksi jaringan yang bertujuan merusak, mengencerkan, atau membatasi penyebab trauma dan kerusakan jaringan tersebut. Pada tahap awal reaksi inflamasi, apapun pemicunya (pemicu yang berbeda) selalu melibatkan aktivasi sinyal-sinyal intraseluler (genes expressing cytokines intraseluler dan mediator-producing enzymes). Respon inflamasi ditandai dengan :

-          aktivasi sistem kaskade inflamasi : komplemen, koagulasi, kinin, fibrinolisis-          respon dari efektor sel-sel radang : sel endotel, lekosit, monosis, makrofag, sel mast. Tipe sel efektor

yang pertama kali diaktivasi sangat tergantung pada tipe pemicu cedera (perdarahan, iskemia, kontaminasi bakteri). Sel efektor melepaskan mediator dan sitokin : oxygen radicals, histamin, eicosanoid, faktor koagulasi.            Seluruh proses saling terkait satu sama lain melalui mekanisme peningkatan (up-regulatory mechanism) atau penurunan reaksi inflamasi (down-regulatory mechanism) yang sangat komplek. Walaupun pemicunya berbeda, tetapi patofisiologinya tidak lepas dari penyebabnya adalah infeksi atau non-infeksi dan bentuk akhirnya adalah sama. Oleh karena itu saat ini mekanisme seperti itu disebut sebagai common pathway of inflamatory respons.

Infeksi lokal pada lokasi anatomi tertentu didefinisikan sebagai aktivasi lokal respon inflamasi tubuh, akibat proliferasi bakteri patogen di jaringan tersebut. Intensitas dari respon inflamasi tersebut merupakan refleksi biologik yang bergantung pada hebat serta intensitas trauma yang terjadi atau berat-ringannya infeksi yang menyebabkannya. Suatu trauma atau infeksi ringan menyebabkan respon inflamasi lokal terbatas atau LIRS (Local Inflamatory Respon Syndrome). Namun apabila luka traumatik tersebut luas dan berat atau infeksi yang masif maka akan terjadi respon inflamasi sistemik atau Sistemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS). Respon inflamasi hebat yang disertai dengan terjadi LIRS pada organ jauh (remote organ) akibat dilepaskannya zat kemokin ke dalam sirkulasi sistemik akan mengakibatkan terjadinya MODS (Multiple Organ Dysfunction Syndrome).

Page 11: DEFINISI

Terdapatnya SIRS menggambarkan terjadi kegagalan kemampuan organ melokalisir suatu proses inflamasi lokal. Hal ini dapat terjadi akibat :

(1)    Kuman patogen merusak/menembus pertahanan lokal dan berhasil masuk ke sirkulasi sistemik.(2)    Terlepasnya endotoksin/eksotoksin hasil kuman patogen berhasil masuk ke dalam sirkulasi sistemik

walaupun mikroorganisme terlokalisir.(3)    Inflamasi lokal berhasil mengeradikasi mikroorganisme/produk tetapi intensitas respon lokal sangat

hebat mengakibatkan terlepas dan terdistribusi sinyal-sinyal mediator inflamasi ke sirkulasi sistemik (sitokin kemoatraktan (chemokines), sitokin pro-inflamasi : TNF, interleukin 1,6,8,12,18, interferon-, sitokin antiinflamatory : interleukin 4,10; komplemen, cell-derived mediator : sel mast, lekosit (PMNs), makrofag, reactive oxygen species (ROS), nitrit oxide (NO), eicosanoids, platelet actvating factor (PAF)).

Reaksi inflamasi dipicu oleh berbagai injury events (activators), yaitu :1.      Mikroorganisme

Mekanisme pertahanan normal tubuh terhadap infeksi terdiri dari pertahanan fisik (kulit-membran mukosa), pertahanan kimia, sistem fagosit (PMNs, makrofag, monosit), humoral immunity (sistem antibodi, komplemen) dan cellular immunity.Faktor-faktor penentu dapat atau tidak terinfeksi oleh mikroorganisme pada individu adalah patogenitas mikroorganisme, status pertahanan tubuh host, lingkungan dan benda asing.

2.      Endotoksin dan eksotoksinEndotoksin berasal dari bagian dinding sel bakteri gram-negatif, yang terdiri dari lapisan membran dalam dan luar. Pada lapisan luar terdapat lipopolisakarida (LPS), suatu protein yang mempunyai efek toksik langsung dan tidak langsung pada berbagai jenis sel efektor, seperti pemicu lepasnya mediator endogen dari berbagai sel efektor (mediator primer). Target sel utama atau efektor utama yang dipicu endotoksin adalah sel endotel dari pembuluh darah.Endotoksin merupakan stimulan makrofag yang sangat kuat secara langsung atau melalui aktivasi bioaktif fosfolipid. LPS berinteraksi dengan membran sel sel makrofag melalui terjadinya reaksi reseptor-antigen yang menyebabkan terangsangnya sekresi bermacam-macam sitokin.

3.      Jaringan nekrotik-          Merupakan aktivator untuk aktifnya makrofag-          Memberikan lingkungan baik bagi pertumbuhan maupun invasi kuman4.      Trauma jaringan lunak-     Inisiator inflamasi akan teraktivasi sehingga terjadi perluasan pelepasan mediator sekunder atau

sinyal pada sel efektor.5.      Ischaemic-reperfusion-          Terjadi iskemia akibat hipoperfusi dan hipotensi jaringan sehingga oksigenisasi jaringan akan

berkurang, yang berakibat timbulnya perubahan dari metabolisme aerob menjadi anaerob di tingkat seluler.

-          Terjadi reperfusi akibat membaiknya kembali hipoperfusi-hipotensi disertai dengan oksigenisasi yang baik pada sel/jaringan pasca iskemia.Aktivator-aktivator tersebut akan memicu aktivasi 5 inisiator inflamasi. Inisiator tersebut akan memicu pula pelepasan mediator atau merupakan sinyal pada efektor sekunder yang bertanggung jawab sebagai elemen-elemen dari komponen respon inflamasi. Kelima inisiator tersebut akan saling mempengaruhi dan saling meningkatkan respon fisiologik yang spesifik dalam bentuk berbagai elemen komponen inflamasi, yaitu :1.                  Aktivasi protein koagulasi (coagulation protein).            Merupakan prinsip, bahkan yang terpenting sebagai inisiator inflamasi. Cedera pada jaringan dan pembuluh darah kecil akan merangsang terjadinya kaskade pembekuan(coagulation cascade) untuk mencapai hemostasis lokal, tetapi aktivasi protein koagulasi akan menghasilkan produk yang dapat merangsang terjadinya reaksi inflamasi. Faktor XII(juga dikenal sebagai Faktor Hageman) yang aktif adalah suatu mediator penting untuk terjadinya perubahan mikrosirkulasi pada

Page 12: DEFINISI

luka. Walaupun efek langsungnya minimal, namun faktor ini sangat berpengaruh dalam stimulasi dan penguatan inisiator yang lain.2.                  Platelet aktif.            Platelet seperti layaknya kaskade pembekuan, biasanya diasosiasikan dengan proses trombosis dan hemostasis. Platelet yang aktif akan melepaskan enzim yang merangsang respon inflamasi. Larutan platelet yang lisis merupakan aktivator inflamasi yang poten bila disuntikkan pada jaringan hewan percobaan. Peran vasoaktif produk platelet telah diketahui, terutama tromboxan A2 sebagai vasokonstriktor yang poten.3.                  Sel mast            Mast sel yang distimulasi oleh faktor XII aktif dan produk platelet merangsang dilepaskannya histamin dan produk vasoaktif yang lain. Histamin yang khas dari mast sel akan segera merelaksasi otot polos pembuluh darah dan merangsang vasodilatasi mikrosirkulasi pada jaringan disekitar luka. Vasodilatasi ini akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas vaskuler, peningkatan aliran darah dan penurunan kecepatan aliran darah.4.                  Contact activating system.            Pre-kalikrein adalah serum protein yang ada dimana-mana dan menunggu aktivasi oleh stimulus yang tepat. Keberadaan faktor XII yang aktif akan menyebabkan konversi prekalikrein menjadi kalikrein. Kalikrein ini kemudian berperan sebagai katalisator pembentukan bradikinin dari kininogen berat molekul tinggi. Bradikinin adalah kode yang poten yang akan terikat pada endotel reseptor dan merangsang pembentukan nitrit oksida pada sel tersebut. Nitrit oksida ini akan berdifusi ke otot polos pembuluh darah dan akan menyebabkan relaksasi. Efek yang terjadi sama dengan histamin, yaitu vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas mikrovaskuler tetapi dengan mekanisme yang unik dan berbeda dengan histamin.5.                  Kaskade komplemen (complement cascade).            Aktivasi komplemen dapat terjadi melalui dua cara, yaitu cara konvensional dan cara alternative. Aktivasi ini akan menghasilkan suatu bentukan protein yang akan melarutkan sel patogen. Lebih penting lagi, aktivasi kaskade komplemen oleh inflamasi akan menghasilkan produk yang berperan penting dalam fungsi vasoaktif dan chemoattractant. Hal yang menarik adalah aktivasi protein komplemen akan juga mengaktivasi protein koagulasi, platelet, mast sel dan secara tidak langsung produksi bradikinin.

            Dengan demikian dapat terlihat bahwa aktivasi dari salah satu inisiator akan mengaktivasi inisiator yang lain. Efek yang dihasilkan adalah : peningkatan permeabilitas mikrovaskuler, peningkatan aliran mikrovaskuler, penurunan kecepatan aliran dan pembentukan edema jaringan lunak. Yang terpenting, semua produk hasil pemecahan dan enzim protein yang dihasilkan dalam aktivasi inisiator ini menciptakan situasi lokal disekitar trauma yang kaya akan chemoattracttant.            Menurut teori henti mikrosirkulasi (microcirculatory arrest) tentang terjadinya MOF (Multiple Organ Failure), setiap proses biologi dalam luka trauma sederhana atau infeksi jaringan lunak yang tampak tenang diperankan oleh mediator dan efektor yang sama untuk terjadinya SIRS maupun sekuele-nya.Berikut ini adalah 10 langkah dalam hipotesis tersebut :1.                  Aktivasi reaksi inflamasi.            Rangsang biologis yang sama pada luka yang tenang dapat merangsang reaksi inflamasi sistemik, meskipun infeksi berat tetap merupakan faktor risiko terpenting terhadap terjadinya SIRS. Pada infeksi yang berat ini, insult terus terjadi dengan adanya proliferasi mikroba yang terus menerus mendorong berlangsungnya reaksi kaskade inflamasi. Tidak seperti pada trauma, proses infeksi adalah proses yang berlangsung terus menerus hingga mempunyai kemungkinan besar pada suatu saat akan melewati batas ambang yang menyebabkan terjadinya reaksi sistemik. Namun perlu digarisbawahi bahwa penyebaran kuman pathogen atau produk kuman tersebut bukan merupakan syarat untuk terjadinya reaksi sistemik.

Page 13: DEFINISI

            Aktivasi inflamasi sistemik biasanya bukan karena insult tunggal, biasanya disebut“two-hit” hipotesis dari gagal organ. Hipotesis ini menyebutkan dibutuhkannya dua pencetus sebelum terjadinya reaksi inflamasi sistemik. Insult inisial seperti perdarahan, trauma berat atau operasi besar akan menimbulkan reaksi inflamasi yang bila diikuti oleh aktivator kedua (seperti infeksi, perdarahan ulang, operasi ulang) dalam jangka waktu yang pendek akan mengakibatkan SIRS.2.                  Aktivasi inisiator            Aktivasi kaskade pembekuan (Coagulation Cascade) akan mengakibatkan DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) tanpa tanda klinis perdarahan. Pasien akan mengalami pemanjangan PT (Prothrombine Time) dan APTT (Activated Partial Thromboplastin Time) sebagai akibat penggunaan protein koagulasi. Biasanyan juga terjadi trombositopenia. Juga terjadi aktivasi protein komplemen. Efek bradikinin dan histamin akan terlihat jelas pada fase ketiga.3.                  Konsekuensi sistemik fase pertama            Mediator yang dihasilkan pada fase pertama, seperti bradikinin dan histamin akan mengakibatkan vasodilatasi pada mikrosirkulasi, baik arteri maupun vena, dengan akibat menurunnya tahanan vaskuler sistemik dan meningkatnya kapasitas vaskuler. Bila tidak ada dukungan preload yang cukup maka pasien akan mengalami hipotensi karena hipovolemia relative. Bila ada dukungan preload yang cukup maka akan terjadi peningkatan Cardiac Index. Perubahan ini juga menghasilkan peningkatan permeabilitas mikrosirkulasi dengan akibat terjadinya edema sistemik.4.                  Distribusi sistemik chemoattracttant dan kode Sitokin Proinflamasi(Proinflamatory cytokine).            Aktivasi inisiator akan mengakibatkan didistribusikannya chemoattracttant secara sistemik. Produk hasil penguraian protein dan enzim sel yang biasanya hanya ada pada jaringan lunak didistribusikan secara sistemik. Chemoattracttant ini akan menempel pada netrofil dan akan memberikan kode pada seluruh sel endotel maupun monosit. Monosit ini menjadi diliputi oleh chemoattracttant dan tidak bergerak ke daerah trauma namun menghasilkan sitokin proinflamasi yang disekresi ke cairan ekstrasel.5.                  Penempelan netrofil.            Distribusi sistemik chemoattracttant mengakibatkan aktivasi proses adhesi sel endotel dengan netrofil. Proses ini bias terjadi pada seluruh mikrosirkulasi namun nampak lebih banyak terjadi pada sirkulasi viseral daripada sirkulasi sistemik. Sistem organ yang menjadi target MODS (yaitu paru, hati, usus) nampak mempunyai tingkat penempelan netrofil yang terbesar.6.                  Aktivasi penuh penempelan netrofil oleh chemoattracttant.            Seperti disebutkan diatas, pada luka yang normal, netrofil seharusnya berperan sebagai proses fagositosis, tetapi rangsangan sitokin proinflamasi seperti TNF mengakibatkan kekacauan perilaku fagositosis termasuk pelepasan zat reaktif oksigen dan enzim lisosom. Zat beracun ini segera dikeluarkan di luar dinding pembuluh darah, peroksidase lemak dan “self-digestion” mulai terjadi.7.                  Trauma dan vasokonstriksi pada mikrosirkulasi.            Pelepasan zat toksik lisosom dari netrofil yang terstimulasi trauma pada sel endotel dan merupakan tambahan rangsang bagi kaskade inflamasi. Trauma pada sel endotel mengakibatkan hilangnya regulasi otot polos pembuluh darah. Reaksi pembekuan teraktivasi dan agregasi platelet terjadi pada tempat trauma kimiawi oleh zat reaktif oksigen dan enzim toksik lisosom yang lain. Respon yang dihasilkan adalah vasokonstriksi yang mungkin disebabkan oleh thromboxane A2. Terbentuk juga trombus lokal pada tempat trauma endotel di dalam mikrosirkulasi.8.                  Terhentinya mikrosirkulasi.            Efek gabungan dari vasokonstriksi dan pembentukan trombus pada mikrosirkulasi adalah penurunan yang drastic atau bahkan penghentian aliran darah pada mikrosirkulasi. Walaupun trombosis total dan vasokonstriksi merupakan strategi yang normal dalam melokalisir trauma dan infeksi, trombosis dan vasokonstriksi ini dapat menjadi dasar terjadinya gangguan fungsi suatu organ.9.                  Nekrosis fokal.

Page 14: DEFINISI

            Akibat proses trombosis dan vasokonstriksi adalah hilangnya perfusi efektif dengan akibat nekrosis fokal. Nekrosis fokal ini terjadi karena jumlah netrofil yang jauh lebih kecil dari jumlah sel endotel, namun seiring dengan berlangsungnya reaksi inflamasi yang akan terus memproduksi netrofil dengan akibat makin banyak jaringan fungsioanl yang mengalami nekrosis sehingga proses disfungsi pada MODS terus berlangsung.

Page 15: DEFINISI

10.              Proses “self-energizing” dan “self-recycling”            Hipotesis berhentinya mikrosirkulasi ini nampak sederhana, dengan dihilangkannya rangsang atau aktivator, maka seharusnya produksi chemoattracttant akan berhenti dan seluruh proses juga akan menurun. Namun pada kenyataannya proses inflamasi sistemik ini menghasilkan trauma pada jaringan dan nekrosis yang juga mengakibatkan inflamasi sistemik. Dengan demikian lesi pada suatu end-organ juga merupakan aktivator baru terhadap reaksi inflamasi.

            Sejalan dengan patofisiologi diatas, maka mediator reaksi inflamasi dapat diidentifikasi dan dapat digunakan untuk mengetahui adanya reaksi sepsis. Peningkatan beberapa kadar sitokin seperti TNF-  (Tumor nekrosis Faktor - ), Interleukin (IL-6, IL-8 dan IL-10) memang terlihat pada pasien sepsis dan biasanya berhubungan dengan outcome yang jelek. Interleukin-6 biasanya digunakan sebagai indicator dalam penelitian pengobatan sepsis.            Pertanda biologis lain yang paling terkenal dan paling umum dipakai adalah CRP (C-reactive Protein). CRP adalah protein yang diproduksi di hati pada fase akut, kadarnya dalam plasma meningkat dalam keadaan infeksi sebagai respon adanya sitokin dalam plasma. CRP disebut sebagai pertanda yang sangat berguna pada sepsis dan lebih peka dibandingkan lekosit dan suhu tubuh.            Prokalsitonin, precursor kalsitonin juga disebut sebagai salah satu pertanda sepsis. Kadar plasma prokalsitonin digunakan untuk membedakan infeksi dari proses inflamasi yang lain, juga dilaporkan mempunyai nilai prediksi yang lebih baik dibandingkan CRP maupun IL-6. Peneli lain melaporkan prokalsitonin mempunyai spesifisitas dan sensitivitas yang lebih baik dibandingkan dengan CRP, leukosit maupun suhu tubuh pada peningkatan kadar TNF dan IL-6. Pertanda yang lain adalah neopterin, elastase dan fosfolipase A2.

V.                Gejala klinis            Dalam suatu penelitian yang melibatkan sejumlah besar pasien dengan respon septik (yaitu SIRS), Siegel et al. mengidentifikasi adanya empat tahap perubahan patofisiologi hemodinamik dan metabolik. Walaupun laporan ini terutama menyoroti respon pasien terhadap sepsis, namun data ini bias, dianggap sebagai prototipe SIRS. Interpretasi data ini dengan teliti menunjukkan bahwa SIRS adalah suatu yang berkelanjutan tergantung respon pasien terhadap suatu rangsang dan kemampuan cadangan fisiologis pasien dalam menghadapi perubahan fisiologis umum yang terjadi.

Keempat tahap tersebut adalah :1.                  Tahap A (Fase Respon SIRS Transien)            Menggambarkan terjadinya respon normal terhadap stress seperti operasi berat, trauma atau penyakit. Fase ini ditandai dengan penurunan ringan tahanan vaskuler sistemik dan peningkatan COP yang sepadan. Perbedaan kadar oksigen arteri dan vena tetap sama seperti keadaan normal.            Peningkatan Cardiac index ini menunjukkan adanya peningkatan kebutuhan oksigen yang sesuai dengan respon hipermetabolik terhadap stress dengan kadar laktat yang masih normal. Hal ini merupakan respon normal yang terjadi pada setiap pasien yang mengalami trauma berat atau operasi besar.            Bila tidak terjadi komplikasi, respon SIRS singkat ini menggambarkan efek sistemik dari reaksi inflamasi. Reaksi ini akan kembali pada keadaan fisiologis seiring dengan penyembuhan penyakit.2.                  Tahap B (Fase MODS)            Menunjukkan respon terhadap stress yang berlebihan dimana terjadi penurunan tajam dari tahanan vaskuler sistemik yang akan merangsang jantung untuk meningkatkan COP. Akibat dari keadaan tersebut, maka dibutuhkan ekspansi cairan untuk mencukupi tekanan preload jantung (sebaiknya dengan cairan kristaloid). Bila hal ini tidak tercapai maka pasien akan mengalami hipotensi. Sementara itu selisih antara kadar oksigen arteri dan vena mulai menyempit, yang diikuti dengan meningkatnya kadar laktat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa telah terjadi gangguan pemanfaatan oksigen oleh jaringan karena abnormalitas enzim metabolisme sel.

Page 16: DEFINISI

            Pada tahap ini mulai tampak tanda-tanda awal MODS. Serum laktat meningkat dan terjadi desaturasi darah arteri. Kadar bilirubin serum mulai meningkat diatas nilai normal. Pada masa sebelum penggunaan metoda pencegahan stress ulcer gastric mukosa, aspirasi dari pipa lambung menunjukkan cairan yang berwarna kehitaman atau bahkan berdarah. Kadar serum kreatinin mulai naik diatas 1,0 mg/dL.3.                  Tahap C (Fase Dekompensasi)            Penurunan tahanan vaskuler sistemik menjadi nyata sementara kemampuan kompensasi jantung tidak mampu lagi mempertahankan tekanan arteri karena penurunan tekanan afterload yang sangat drastis. Cardiac output dapat normal atau sedikit meninggi tetapi pada keadaan tekanan afterload yang sangat rendah, tekanan arteri tidak dapat dipertahankan lagi. Hipotensi akan terjadi meskipun tekanan preload mencukupi. Keadaan hipotensi ini yang biasanya disebut septik syok atau keadaan syok yang berasal dari sepsis. Secara klinis pasien ini menunjukkan suatu kontraindikasi, meskipun dalam keadaan hipotensi namun tetap teraba hangat.4.                  Tahap D (Fase Terminal)            Merupakan gambaran hemodinamik pasien SIRS pada fase pre terminal. Keadaan sirkulasi menjadi hipodinamik dengan cardiac output yang rendah, dimana hal ini akan menyebabkan respon vasokonstriksi otonom sebagai reaksi tubuh untuk mempertahankan tekanan darah, tahanan vaskuler sistemik meningkat jauh diatas normal. Konsumsi oksigen sistemik juga sangat rendah sebagai akibat gangguan pemanfaatan oksigen oleh jaringan perifer, cardiac output yang tidak adekuat dan vasokonstriksi perifer yang ekstrim. Kadar laktat menjadi sangat tinggi. Sebagian besar pasien akan mengalami kematian akibat fase ini.

Page 17: DEFINISI

Tabel 2. Tahapan SIRS

Fase COP SVR LaktatTransien ↑ ↓ NMODS ↑↑↑ ↓↓ ↑Dekompensasi N ↓↓↓ ↑↑Terminal ↓↓↓ ↑↑↑ ↑↑

            Sejalan dengan pembagian diatas, berdasarkan pemantauan keadaan klinis pasien dengan sepsis, pasien biasanya berada dalam keadaan hiperdinamik (juga biasa disebut sindrom sepsis) atau dalam keadaan hipodinamik (yang juga biasa disebut syok septik).

Tabel 3. Perbandingan sepsis hiperdinamik (sindrom sepsis) dan hipodinamik (Syok septik)

Hiperdinamik Hipodinamik

Klinis

Suhu ↑, Menggigil ↑ / ↓Kulit Kering, hangat DinginJantung Takikardi TakikardiParu Takipneu TakipneuTekanan darah ↓ ↓Status mental Berubah ObtudansiProduksi urin Variabel Oliguri

Laboratorium

Lekosit ↑ ↑ / ↓, geser ke kiriKeasaman Asidosis metabolik Asidosis metabolikGula darah Hiper/HipoglikemiaLaktat 1,5 – 2,0 mM/L > 2,0 mM/LTrombosit TrombositopeniaVO2 ↑ ↓(A-V) O2 Normal / ↓ ↓Tekanan baji Normal / ↓ Bervariasi

Fisiologi

COP ↑ Tidak adekuat

SVR ↓ ↑

Mikrovaskuler Kerusakan lokal Kerusakan lokal

            Pada tahap awal, pasien akan jatuh dalam keadaan hiperdinamik (terjadi sindrom sepsis). Meskipun dalam keadaan hiperdinamik, pada saat itu juga terjadi ketidakstabilan hemodinamik, yang membutuhkan penambahan cairan infus dan zat inotropik untuk mempertahankan DO2 dan tekanan perfusi yang adekuat. Cardiac output meningkat 1,5 sampai 2 kali nilai normal yang diiringi dengan penurunan tahanan vaskuler yang disebabkan oleh produk  dan β agonist. Hal ini akan mengakibatkan hipotensi dan gangguan fungsi jantung. Asidosis laktat ringan mulai terjadi. Bila gangguan aliran darah tidak dapat terkoreksi, penurunan fungsi ke organ vital akan mengakibatkan kerusakan jaringan. Perubahan status neurologis juga terjadi dimana pasien menjadi letargi.            Bila proses inflamasi terus berlangsung, sementara volume tidak dapat dipertahankan dan terjadi penurunan fungsi jantung, pasien akan jatuh pada keadaan hipodinamik syok (syok septik) dan keadaan ini mempunyai angka mortalitas yang tinggi yaitu 50-80%.            Pengenalan timbulnya MOF secara dini merupakan hal yang esensial sehubungan dengan tingginya mortalitas MOF. Semua gejala dan tanda yang mengarah kepada terganggunya fungsi organ harus segera dikenali, demikian pula kemungkinan terdapatnya sumber-sumber infeksi.

Page 18: DEFINISI

Dengan demikian penanganan yang cepat dapat segera diberikan dan progresifitas kerusakan organ dapat segera dihentikan.

Page 19: DEFINISI

Tabel 4. Gejala awal MOF

ORGAN EFEK TANDA KLINIK

Paru

Tahanan vaskuler pulmoner ↑ Takipneu, hipoksiaARDS akut Takipneu, hipokarbiaAtelektasis Alkalosis respiratorikEmboli paru TakipneuPneumonia Takipneu, suhu tinggi

HatiHipoalbuminemia Gangguan koagulasiBilirubinemia IkterusAsam amino ↑ Hepatomegali

Saluran cerna

Tukak lambung Hematemesis/melenaGastritis hemoragik Nyeri perut, syokKolesistitis akut Nyeri perut, suhu ↑Trombosis v.mesenterika Nyeri perut, syok

GinjalKreatinin ↑ Oligouria / anuriaNitrogen ↑ Retensi cairanOsmolaritas urin ↓ Edema

KardiovaskulerCO ↑, gagal, atau ↓ SyokTahanan vaskuler Asidosis metabolik

Koagulasi

Trombositopenia Ekimosis

Fibrinogen ↑ (dini), ↓ (lanjut) Perdarahan difus

PT ↑

VI.             Penatalaksanaan

            Terapi yang dilakukan dapat bervariasi tergantung lamanya waktu setelah insult dan tahapan klinis sepsis. Hal yang sangat penting adalah meminimalkan trauma langsung terhadap sel serta mengoptimalkan perfusi dan membatasi iskemia. Dibutuhkan perencanaan terapi yang terintegrasi untuk mencapai hal tersebut. Sebagai pedoman dalam perencanaan, pendekatan terapi dapat ditujukan untuk mencapai tiga sasaran :1. Memperbaiki dan memperthankan perfusi yang adekuat2. Mengontrol respon pasien terhadap trauma3. Menghindari terjadinya penyakit iatrogenik

1. Memperbaiki dan mempertahankan perfusi yang adekuat            Hal ini merupakan faktor kunci untuk meminimalkan trauma iskemia inisial dan mengurangi iskemia akibat yang terjadi karena respon terhadap stress.Berikut ini adalah tindakan untuk memperbaiki perfusi :a.                  Mempertahankan saturasi oksigen arteri            Dilema yang sering terjadi adalah bagaimana mempertahankan saturasi oksigen yang adekuat tanpa memberikan efek barotrauma maupun toksik terhadap paru-paru. Tekanan oksigen arterial sebesar 75 mmHg atau diatasnya akan memberikan saturasi oksigen yang cukup (> 90%).b.                  Ekspansi cairan            Ekspansi cairan merupakan terapi inisial terpilih untuk semua fase sepsis. Peningkatan tekanan pengisian akan memberikan tekanan cardiac output dan membuka kembali mikrosirkulasi yang hipoperfusi merupakan pendekatan resusitasi primer, dimana saturasi oksigen harus dipertahankan diatas 90%. Cairan inisial yang dipakai adalah cairan kristaloid isotonik, yang diberikan

Page 20: DEFINISI

secara cepat sebanyak 3 liter, kemudian dilanjutkan pemberian cairan koloid. Albumin juga berperan penting untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma, juga sebagai antioksidan, pengikat asam lemak bebas, endotoksin amupun obat-obatan. Oleh karena itu kadar albumin harus tetap dipertahankan diatas 2,5 g/dL.c.                   Inotropik            Zat inotropik hanya diberikan untuk mempertahankan keadaan hiperdinamik bila ekspansi cairan tidak cukup untuk memperbaiki perfusi. Dopamin dosis rendah akan mencukupi sebagai pilihan awal, karena biasanya terjadi penurunan perfusi ginjal dan splanknik walaupun pada keadaan parameter perfusi umum yang mencukupi. Dopamin dipakai untuk meningkatkan cardiac indeks pada tekanan baji yang normal (14-16 mmHg), sementara dobutamin digunakan pada tekanan baji lebih dari 16 mmHg.d.                  Transfusi darah            Kadar hemoglobin untuk menjamin perfusi harus ditinjau kembali. Pada pasien yang muda, stabil dan sehat, kadar hemoglobin 8 g/dL akan mencukupi. Pasien dengan MOD membutuhkan kadar hemoglobin sampai 10 g/dL karena pada pasien ini terjadi gangguan pembentukan sel darah merah.e.                   Vasodilator            Penggunaan vasodilator dapat memberikan keuntungan, terutama bila terjadi peningkatan tahanan vaskuler sistemik karena peningkatan tekanan darah sistemik. Cairan salin hipertonik dapat meningkatkan aliran darah mikrovaskuler. Sedangkan obat yang biasa dipakai adalah golongan nitroprusid.f.                    Vasokonstriktor            Penambahan zat -agonist hanya diperlukan bila tekanan sistolik lebih rendah dari 90 mmHg atau MAP lebih rendah dari 70 mmHg dengan keadaan tekanan pengisian yang cukup tinggi dan cardiac indeks lebih dari 4 L/menit/m2. Penambahan dopamin sampai norepinefrin atau fenilefrin dalam dosis rendah nampak dapat melindungi sirkulasi ginjal dan splanknik dari pengaruh vasokonstriksi zat -agonist. Vasokonstriktor diindikasikan hanya untuk hipotensi yang refrakter dan hanya digunakan dalam waktu yang terbatas. Terapi yang ideal adalah dengan mengontrol reaksi yang berlebihan dari vasodilator.

2. Mengontrol respon pasien terhadap traumaHal ini dapat dicapai dengan :a.                  Mongontrol fokus lokal inflamasi sistemik            Harus dimulai sejak awal perawatan pasien. Tujuan tindakan bedah adalah :1.                  Meminimalkan trauma lebih lanjut2.                  Debridemen yang agresif3.                  Drainase dini (misalnya : pus, hematom)4.                  “second-look procedure”Tindakan ini harus dikerjakan secepatnya sebelum timbulnya respon hiperdinamik yang menunjukkan telah terjadinya reaksi inflamasi sistemik. Pemberian antibiotika spektrum luas secara empirik harus segera dimulai sementara menunggu hasil tes kultur dan resistensi.b.                  Modifikasi respon stress hormonal            Peningkatan kadar hormon katekolamin, kortisol dan glukagon berperan penting dalam terjadinya gangguan metabolisme yaitu peningkatan glukoneogenesis dan proteolisis yang merupakan karakteristik dari fase hiperdinamik. Reaksi ini akan meningkatkan kebutuhan metabolik dan dapat mengakibatkan kardiomiopati. Penggunaan zat β-antagonist dalam dosis sedang dapat menurunkan kerja jantung dan kebutuhan metabolik, khususnya pada pasien cedera kepala.c.                   Mencegah reaksi inflamasi yang berlebihan            Semua fokus infeksi yang belum terangkat dalam fase resusitasi inisial harus secepatnya diangkat, sebelum terjadi respon dari tubuh pasien.

Page 21: DEFINISI

            Insult sekunder harus dihindari. Insult sekunder ini biasanya berasal dari infeksi nosokomial (biasanya dari kateter pembuluh darah, pneumonia), hipovolemia (sering pada operasi kedua), pankreatitis atau komplikasi intraabdomen yang lain, dan endotoksin atau bakteri yang tidak diketahui asalnya seperti dari usus.            Translokasi bakteri dan endotoksin yang dapat keluar melalui barier usus yang terganggu dapat diusahakan untuk dicegah. Pendekatan pertama adalah dengan mendeteksi iskemia splanknik. Teknik gastric tonometri telah banyak digunakan namun validitasnya untuk mendeteksi iskemia usus belum jelas dilaporkan.            Tidak adanya nutrisi enteral akan menyebabkan atrofi mukosa, terutama pada saat respon stress dan pemberian nutrisi enteral yang dini dinilai efektif untuk mempertahankan barier mukosa. Beberapa studi klinis juga membuktikan penurunan kejadian MOD sekunder pada pasien bedah dengan pemberian nutrisi enteral dini, khususnya pada pasien multitrauma.

3. Menghindari terjadinya penyakit iatrogenic            Setiap tambahan insult pada fase inisial atau disfungsi organ sekunder akan memperberat proses penyakit. Komplikasi yang paling perlu diperhatikan adalah infeksi nosokomial.Komplikasi iatrogenik yang sering terjadi adalah :

Organ KomplikasiParu-paru ARDS karena infeksi nosokomial

Pneumonia nosokomialBarotraumaKeracunan O2

HipervolemiaUsus Cedera karena infeksi / endotoksin

MalnutrisiKeracunan obatKolitis pseudomembranHipovolemia

Hati Cedera karena infeksi / endotoksinOverfeedingKeracunan obat

Ginjal Cedera karena infeksi / endotoksinKeracunan obatHipovolemia

Sistemik MalnutrisiPenggunaan cairan / nutrient yang tidak tepat

Modalitas Terapi Baru            Antibodi anti-endotoksin adalah yang pertama kali dicoba. Meskipun terapi ini berhasil memperbaiki angka survival namun penggunaannya terbentur pada ketidakstabilan cairan injeksi, kesulitan menentukan dosis dan resiko penularan penyakit dari serum asal antibodi tersebut. Dengan rekayasa genetika akhirnya dapat dibuat E5, suatu antibodi Lipid A IgM, namun terapi ini terutama hanya memberi hasil untuk pasien yang terinfeksi kuman gram negatif. Obat ini terutama dapat memberikan perbaikan yang bermakna pada disfungsi organ. Juga berhasil ditemukan anti-endotoksin monoclonal IgM (HA-1A) nemun masih perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk penggunaan obat ini.                       Penelitian juga dilakukan terhadap antibodi TNF monoclonal. Produk ini dinilai mampu memberikan efek proteksi terhadap sistem kardiovaskuler, meredakan syok septik karena endotoksin. Juga tampak mampu menaikkan tekanan darah arteri dan parameter hemodinamik yang lain. Namun penggunaan obat ini juga masih membutuhkan studi lebih lanjut.

Page 22: DEFINISI

            Strategi lain yang dicoba adalah mencegah kontak antara mediator dengan reseptor pada sel target. Dengan melalui rekayasa genetika berhasil didapatkan IL-1 ra atauantagonis IL-1. Obat ini berhasil menurunkan angka kematian dengan tergantung dosis. Studi lebih lanjut masih dilakukan.                       Untuk antagonis PAF (Platelet Activating Factor), dipakai BN 52021, Lexipafant dan PAF asetilhidrolase. Sementara Ibuprofen dipakai untuk antagonis prostaglandin. Antagonis bradikinin sampai saat ini masih diteliti. Untuk mengurangi produksi NO (Nitrit Oksida) dipakai NMMA (N-monomethyl arginine) yang dapat menghambat enzim NO-sintase. Bahaya obat ini adalah dapat mengakibatkan hipertensi pulmonal dan komplikasi jantung.            Strategi terakhir yang dikembangkan adalah dengan eliminasi semua mediator menggunakan cara plasmapheresis (PE).

Konsep Baru Pengobatan Sepsis

Activated Protein C (APC), adalah suatu antikoagulan yang berbentuk rekombinan Protein C teraktivasi. Merupakan agen antiinflamasi pertama yang terbukti efektif pada pengobatan sepsis. APC menginaktivasi faktor Va dan VIIIa, sehingga mencegah pembentukan thrombin. Inhibisi pembentukan thrombn oleh APC menurunkan proses inflamasi melalui inhibisi aktivasi platelet, penarikan netrofil dan degranulasi sel mast. APC juga memiliki efek ininflamasi langsung, termasuk menghambat produksi sitokin oleh monosit dan menghambat adhesi sel. Walaupun demikian, masih terdapat perdebatan mengenai penggunaan APC terutama berhubungan dengan efek sampingnya, yaitu perdarahan. Saat ini, APC diberikan hanya pada pasien sepsis berat dengan trombosit > 30.000/mm3 yang mengalami ancaman kegagalan organ berat dan mempunyai kemungkinan kematian yang tinggi.

Terapi insulin intensif pada hiperglikemia, penelitian Van den Berghe et al, menunjukkan bahwa pemberian terapi insulin intesif  yang mempertahankan kadar glukosa darah pada 80 – 110 mg/dL menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pasien-pasien kritis daripada terapi konvensional yang mempertahankan kadar glukosa darah pada 180 – 200 mg/dL.Terapi insulin mengurangi angka kematian akibat kegagalan multi organ pada pasien sepsis, tanpa memandang riwayat diabetes melitus pasien tersebut. Mekanisme protektif insulin pada sepsis masih belum diketahui. Fungsi fagositosis netrofil yang terganggu oleh keadaan hiperglikemia ternyata dapat diperbaiki oleh koreksi hiperglikemia. Insulin juga mencegah apoptosis sel-sel mati akibat berbagai sebab melalui aktivasi jalur phosphatidylinositol 2-kinase-akt.

Resusitasi volume cairan dini yang agresif, penelitian early goal-directed   therapy oleh Rivers et al menunjukkan bahwa terapi cairan dini yang agresif yang mengoptimalkan preload, afterload dan kontraktilitas jantung pada pasien sepsis berat dan syok septik meningkatkan survival pasien. Penelitian ini menggunakan infus cairan koloid dan kristaloid, agen vasoaktif, dan tranfusi darah untuk meningkatkan pengantaran oksigen. Pasien –pasien dalam penelitian ini mendapat lebih banyak cairan, inotropik dan transfusi daripada pasien kontrol yang mendapat terapi standar pada 6 jam pertama penanganan sepsis. Selama periode 7 sampai 72 jam setelah penanganan, pasien pada kelompok penelitian ini memiliki konsentrasi oksigen vena sentral yang lebih tinggi, kadar laktat yang lebih rendah dan defisit basa yang lebih rendah dibandingkan pasien pada kelompok kontrol.

Kortikosteroid dosis fisiologis, pemberian kortikosteroid dosis tinggi (misalnya: metilprednisolon 30mg/ kg berat badan) terbukti tidak meningkatkan survival diantara pasien-pasien sepsis dan dapat memperburuk keadaan karena meningkatnya kejadian infeksi sekunder. Penelitian oleh Annane menunjukkan bahwa pasien sepsis yang mengalami syok persisten yang membutuhkan vasopresor dan ventilasi mekanik mendapat perbaikan klinis karena pemberian kortikosteroid dengan dosis fisiologis. Hal ini mungkin karena desensitasi respon kortikosteroid melalui down-regulation reseptor

Page 23: DEFINISI

adrenergik. Katekolamin meningkatkan tekanan arteri melalui efek reseptor adrenergik di vaskular; kortikosteroid meningkatkan ekspresi reseptor adrenergik. Diperlukan uji untuk mengetahui pasien dengan keadaan insufisiensi adrenal relatif.

.......................................................

Syok saat pendarahan ?, kok bisa ?Posted by indri sugiantari | Labels: FISIOLOGHI

undefined/undefined/undefined

Langkah pertama untuk bisa menanggulangi syok adalah harus bisa mengenal gejala syok. Tidak ada tes laboratorium yang bisa mendiagnosa syok dengan segera. Diagnosa dibuat berdasarkan pemahaman klinik tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Langkah kedua dalam menanggulangi syok adalah berusaha mengetahui kemungkinan penyebab syok. Pada pasien trauma, pengenalan syok berhubungan langsung dengan mekanisme terjadinya trauma. Semua jenis syok dapat terjadi pada pasien trauma dan yang tersering adalah syok hipovolemik karena perdarahan. Syok kardiogenik juga bisa terjadi pada pasien-pasien yang mengalami trauma di atas diafragma dan syok neurogenik dapat disebabkan oleh trauma pada sistem saraf pusat serta medula spinalis. Syok septik juga harus dipertimbangkan pada pasien-pasien trauma yang datang terlambat untuk mendapatkan pertolongan. DefinisiSyok dapat didefinisikan sebagai gangguan sistem sirkulasi yang menyebabkan tidak adekuatnya perfusi dan oksigenasi jaringan. Bahaya syok adalah tidak adekuatnya perfusi ke jaringan atau tidak adekuatnya aliran darah ke jaringan. Jaringan akan kekurangan oksigen dan bisa cedera. 

Penyebab SyokTiga faktor yang dapat mempertahankan tekanan darah normal: a. Pompa jantung. Jantung harus berkontraksi secara efisien. b. Volume sirkulasi darah. Darah akan dipompa oleh jantung ke dalam arteri dan kapiler-kapiler jaringan. Setelah oksigen dan zat nutrisi diambil oleh jaringan, sistem vena akan mengumpulkan darah dari jaringan dan mengalirkan kembali

Page 24: DEFINISI

ke jantung. Apabila volume sirkulasi berkurang maka dapat terjadi syok. c. Tahanan pembuluh darah perifer. Yang dimaksud adalah pembuluh darah kecil, yaitu arteriole-arteriole dan kapiler-kapiler. Bila tahanan pembuluh darah perifer meningkat, artinya terjadi vasokonstriksi pembuluh darah kecil. Bila tahanan pembuluh darah perifer rendah, berarti terjadi vasodilatasi. Rendahnya tahanan pembuluh darah perifer dapat mengakibatkan penurunan tekanan darah. Darah akan berkumpul pada pembuluh darah yang mengalami dilatasi sehingga aliran darah balik ke jantung menjadi berkurang dan tekanan darah akan turun. Penyebab syok dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Syok kardiogenik (kegagalan kerja jantungnya sendiri):(a) Penyakit jantung iskemik, seperti infark; (b) Obat-obat yang mendepresi jantung; dan(c) Gangguan irama jantung. b. Syok hipovolemik (berkurangnya volume sirkulasi darah): (a) Kehilangan darah, misalnya perdarahan; (b) Kehilangan plasma, misalnya luka bakar; dan(c) Dehidrasi: cairan yang masuk kurang (misalnya puasa lama), cairan keluar yang banyak (misalnya diare, muntah-muntah, fistula, obstruksi usus dengan penumpukan cairan di lumen usus). c. Syok obstruktif (gangguan kontraksi jantung akibat di luar jantung):(a) Tamponade jantung;(b) Pneumotorak; dan (c) Emboli paru. d. Syok distributif (berkurangnya tahanan pembuluh darah perifer):(a) Syok neurogenik;(b) Cedera medula spinalis atau batang otak;(c) Syok anafilaksis;(d) Obat-obatan;(e) Syok septik; serta (f) Kombinasi, misalnya pada sepsis bisa gagal jantung, hipovolemia, dan rendahnya tahanan pembuluh darah perifer. 

Tanda dan Gejala Syok

Page 25: DEFINISI

Sistem Kardiovaskuler • Gangguan sirkulasi perifer - pucat, ekstremitas dingin. Kurangnya pengisian vena perifer lebih bermakna dibandingkan penurunan tekanan darah.• Nadi cepat dan halus. • Tekanan darah rendah. Hal ini kurang bisa menjadi pegangan, karena adanya mekanisme kompensasi sampai terjadi kehilangan 1/3 dari volume sirkulasi darah.• Vena perifer kolaps. Vena leher merupakan penilaian yang paling baik. 

Sistem Respirasi Pernapasan cepat dan dangkal. Sistem saraf pusat Perubahan mental pasien syok sangat bervariasi. Bila tekanan darah rendah sampai menyebabkan hipoksia otak, pasien menjadi gelisah sampai tidak sadar. Obat sedatif dan analgetika jangan diberikan sampai yakin bahwa gelisahnya pasien memang karena kesakitan. Sistem Saluran Cerna Bisa terjadi mual dan muntah. Sistem Saluran Kencing Produksi urin berkurang. Normal rata-rata produksi urin pasien dewasa adalah 60 ml/jam (1/5--1 ml/kg/jam).

Penanggulangan SyokPenanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang bertujuan untuk memperbaiki perfusi jaringan; memperbaiki oksigenasi tubuh; dan mempertahankan suhu tubuh. Tindakan ini tidak bergantung pada penyebab syok. Diagnosis harus segera ditegakkan sehingga dapat diberikan pengobatan kausal. Segera berikan pertolongan pertama sesuai dengan prinsip resusitasi ABC. Jalan nafas (A = air way) harus bebas kalau perlu dengan pemasangan pipa endotrakeal. Pernafasan (B = breathing) harus terjamin, kalau perlu dengan memberikan ventilasi buatan dan pemberian oksigen 100%. Defisit volume peredaran darah (C = circulation) pada syok hipovolemik sejati atau hipovolemia relatif (syok septik, syok neurogenik, dan syok anafilaktik) harus diatasi dengan pemberian cairan intravena dan bila perlu pemberian obat-

Page 26: DEFINISI

obatan inotropik untuk mempertahankan fungsi jantung atau obat vasokonstriktor untuk mengatasi vasodilatasi perifer. Segera menghentikan perdarahan yang terlihat dan mengatasi nyeri yang hebat, yang juga bisa merupakan penyebab syok. Pada syok septik, sumber sepsis harus dicari dan ditanggulangi. Langkah-langkah yang perlu dilakukan sebagai pertolongan pertama dalam menghadapi syok: Posisi Tubuh 1. Posisi tubuh penderita diletakkan berdasarkan letak luka. Secara umum posisi penderita dibaringkan telentang dengan tujuan meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital. 2. Apabila terdapat trauma pada leher dan tulang belakang, penderita jangan digerakkan sampai persiapan transportasi selesai, kecuali untuk menghindari terjadinya luka yang lebih parah atau untuk memberikan pertolongan pertama seperti pertolongan untuk membebaskan jalan napas. 3. Penderita yang mengalami luka parah pada bagian bawah muka, atau penderita tidak sadar, harus dibaringkan pada salah satu sisi tubuh (berbaring miring) untuk memudahkan cairan keluar dari rongga mulut dan untuk menghindari sumbatan jalan nafas oleh muntah atau darah. Penanganan yang sangat penting adalah meyakinkan bahwa saluran nafas tetap terbuka untuk menghindari terjadinya asfiksia. 4. Penderita dengan luka pada kepala dapat dibaringkan telentang datar atau kepala agak ditinggikan. Tidak dibenarkan posisi kepala lebih rendah dari bagian tubuh lainnya. 5. Kalau masih ragu tentang posisi luka penderita, sebaiknya penderita dibaringkan dengan posisi telentang datar. 6. Pada penderita-penderita syok hipovolemik, baringkan penderita telentang dengan kaki ditinggikan 30 cm sehingga aliran darah balik ke jantung lebih besar dan tekanan darah menjadi meningkat. Tetapi bila penderita menjadi lebih sukar bernafas atau penderita menjadi kesakitan segera turunkan kakinya kembali. Pertahankan Respirasi 1. Bebaskan jalan napas. Lakukan penghisapan, bila ada sekresi atau muntah. 2. Tengadah kepala-topang dagu, kalau perlu pasang alat bantu jalan nafas (Gudel/oropharingeal airway). 

Page 27: DEFINISI

3. Berikan oksigen 6 liter/menit 4. Bila pernapasan/ventilasi tidak adekuat, berikan oksigen dengan pompa sungkup (Ambu bag) atau ETT. Pertahankan Sirkulasi Segera pasang infus intravena. Bisa lebih dari satu infus. Pantau nadi, tekanan darah, warna kulit, isi vena, produksi urin, dan (CVP). 

Macam-macam Syok

Syok Hipovolemik Perdarahan merupakan penyebab tersering dari syok pada pasien-pasien trauma, baik oleh karena perdarahan yang terlihat maupun perdarahan yang tidak terlihat. Perdarahan yang terlihat, perdarahan dari luka, atau hematemesis dari tukak lambung. Perdarahan yang tidak terlihat, misalnya perdarahan dari saluran cerna, seperti tukak duodenum, cedera limpa, kehamilan di luar uterus, patah tulang pelvis, dan patah tulang besar atau majemuk. Syok hipovolemik juga dapat terjadi karena kehilangan cairan tubuh yang lain. Pada luka bakar yang luas, terjadi kehilangan cairan melalui permukaan kulit yang hangus atau di dalam lepuh. Muntah hebat atau diare juga dapat mengakibatkan kehilangan banyak cairan intravaskuler. Pada obstruksi, ileus dapat terkumpul beberapa liter cairan di dalam usus. Pada dibetes atau penggunaan diuretik kuat, dapat terjadi kehilangan cairan karena diuresis yang berlebihan. Kehilangan cairan juga dapat ditemukan pada sepsis berat, pankreatitis akut, atau peritonitis purulenta difus. Pada syok hipovolemik, jantung akan tetap sehat dan kuat, kecuali jika miokard sudah mengalami hipoksia karena perfusi yang sangat berkurang. Respons tubuh terhadap perdarahan bergantung pada volume, kecepatan, dan lama perdarahan. Bila volume intravaskular berkurang, tubuh akan selalu berusaha untuk mempertahankan perfusi organ-organ vital (jantung dan otak) dengan mengorbankan perfusi organ lain seperti ginjal, hati, dan kulit. Akan terjadi perubahan-perubahan hormonal melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron, sistem ADH, dan sistem saraf simpatis. Cairan interstitial akan masuk ke dalam pembuluh darah untuk

Page 28: DEFINISI

mengembalikan volume intravaskular, dengan akibat terjadi hemodilusi (dilusi plasma protein dan hematokrit) dan dehidrasi interstitial. Dengan demikain, tujuan utama dalam mengatasi syok perdarahan adalah menormalkan kembali volume intravaskular dan interstitial. Bila defisit volume intravaskular hanya dikoreksi dengan memberikan darah maka masih tetap terjadi defisit interstitial, dengan akibat tanda-tanda vital yang masih belum stabil dan produksi urin yang kurang. Pengembalian volume plasma dan interstitial ini hanya mungkin bila diberikan kombinasi cairan koloid (darah, plasma, dextran, dsb) dan cairan garam seimbang. Penanggulangan Pasang satu atau lebih jalur infus intravena no. 18/16. Infus dengan cepat larutan kristaloid atau kombinasi larutan kristaloid dan koloid sampai vena (v. jugularis) yang kolaps terisi. Sementara, bila diduga syok karena perdarahan, ambil contoh darah dan mintakan darah. Bila telah jelas ada peningkatan isi nadi dan tekanan darah, infus harus dilambatkan. Bahaya infus yang cepat adalah udem paru, terutama pasien tua. Perhatian harus ditujukan agar jangan sampai terjadi kelebihan cairan. 

Syok Kardiogenik Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan fungsi pompa jantung yang mengakibatkan curah jantung menjadi berkurang atau berhenti sama sekali. Syok kardiogenik dapat didiagnosa dengan mengetahui adanya tanda-tanda syok dan dijumpainya adanya penyakit jantung, seperti infark miokard yang luas, gangguan irama jantung, rasa nyeri daerah torak, atau adanya emboli paru, tamponade jantung, kelainan katub atau sekat jantung. Masalah yang ada adalah kurangnya kemampuan jantung untuk berkontraksi. Tujuan utama pengobatan adalah meningkatkan curah jantung. Penanggulangan Bila mungkin pasang CVP. Dopamin 10--20 µg/kg/menit, meningkatkan kekuatan, dan kecepatan kontraksi jantung serta meningkatkan aliran darah ginjal.

Page 29: DEFINISI

Syok Neurogenik Syok neurogenik juga disebut sinkop. Syok neurogenik terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan yang mengakibatkan terjadinya vasodilatasi menyeluruh di daerah splangnikus sehingga aliran darah ke otak berkurang. Reaksi vasovagal umumnya disebabkan oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut, atau nyeri hebat. Penderita merasa pusing dan biasanya jatuh pingsan. Setelah penderita dibaringkan, umumnya keadaan berubah menjadi baik kembali secara spontan. Trauma kepala yang terisolasi tidak akan menyebabkan syok. Adanya syok pada trauma kepala harus dicari penyebab yang lain. Trauma pada medula spinalis akan menyebabkan hipotensi akibat hilangnya tonus simpatis. Gambaran klasik dari syok neurogenik adalah hipotensi tanpa takikardi atau vasokonstriksi perifer. Penanggulangan Pasien-pasien yang diketahui/diduga mengalami syok neurogenik harus diterapi sebagai hipovolemia. Pemasangan kateter untuk mengukur tekanan vena sentral akan sangat membantu pada kasus-kasus syok yang meragukan. 

Syok Septik Merupakan syok yang disertai adanya infeksi (sumber infeksi). Pada pasien trauma, syok septik bisa terjadi bila pasien datang terlambat beberapa jam ke rumah sakit. Syok septik terutama terjadi pada pasien-pasien dengan luka tembus abdomen dan kontaminasi rongga peritonium dengan isi usus. Infeksi sistemik yang terjadi biasanya karena kuman Gram negatif yang menyebabkan kolaps kardiovaskuler. Endotoksin basil Gram negatif ini menyebabkan vasodilatasi kapiler dan terbukanya hubungan pintas arteriovena perifer. Selain itu, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan kapasitas vaskuler karena vasodilatasi perifer menyebabkan terjadinya hipovolemia relatif, sedangkan peningkatan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan kehilangan cairan intravaskuler ke intertisial yang terlihat sebagai udem. Pada syok septik hipoksia, sel yang terjadi tidak disebabkan oleh penurunan perfusi jaringan melainkan karena ketidakmampuan sel untuk

Page 30: DEFINISI

menggunakan oksigen karena toksin kuman. Gejala syok septik yang mengalami hipovolemia sukar dibedakan dengan syok hipovolemia (takikardia, vasokonstriksi perifer, produksi urin < 0.5 cc/kg/jam, tekanan darah sistolik turun dan menyempitnya tekanan nadi). Pasien-pasien sepsis dengan volume intravaskuler normal atau hampir normal, mempunyai gejala takikaridia, kulit hangat, tekanan sistolik hampir normal, dan tekanan nadi yang melebar. Penanggulangan -Optimalisasi volume intravaskuler -Pemberian antibiotik, Dopamin, dan Vasopresor Syok Anafilaktik Jika seseorang sensitif terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi kontak lagi terhadap antigen tersebut, akan timbul reaksi hipersensitivitas. Antigen yang bersangkutan terikat pada antibodi dipermukaan sel mast sehingga terjadi degranulasi, pengeluaran histamin, dan zat vasoaktif lain. Keadaan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas dan dilatasi kapiler menyeluruh. Terjadi hipovolemia relatif karena vasodilatasi yang mengakibatkan syok, sedangkan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan udem. Pada syok anafilaktik, bisa terjadi bronkospasme yang menurunkan ventilasi. Syok anafilaktik sering disebabkan oleh obat, terutama yang diberikan intravena seperti antibiotik atau media kontras. Sengatan serangga seperti lebah juga dapat menyebabkan syok pada orang yang rentan. Penanggulangan Penanggulangan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab penderita berada pada keadaan gawat. Sebenarnya, pengobatan syok anafilaktik tidaklah sulit, asal tersedia obat-obat emerjensi dan alat bantu resusitasi gawat darurat serta dilakukan secepat mungkin. Hal ini diperlukan karena kita berpacu dengan waktu yang singkat agar tidak terjadi kematian atau cacat organ tubuh menetap. Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan obat atau zat kimia, baik peroral maupun parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah: 1. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah. 2. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu: A. Airway 'penilaian jalan napas'. Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk

Page 31: DEFINISI

penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. B. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi. C. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar. Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup dasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi jantung paru. 3. Segera berikan adrenalin 0.3--0.5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita dewasa atau 0.01 mk/kg untuk penderita anak-anak, intramuskular. Pemberian ini dapat diulang tiap 15 menit sampai keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2--4 ug/menit. 4. Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang memberi respons, dapat ditambahkan aminofilin 5--6 mg/kgBB intravena dosis awal yang diteruskan 0.4--0.9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus. 5. Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau deksametason 5--10 mg intravena sebagai terapi penunjang untuk mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik atau syok yang membandel. 6. Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3--4

Page 32: DEFINISI

kali dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20--40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan histamin. 7. Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung. 8. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diawasi/diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam. Sedangkan penderita yang telah mendapat terapi adrenalin lebih dari 2--3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit semalam untuk observasi. Pencegahan Syok Anafilaktik Pencegahan syok anafilaktik merupakan langkah terpenting dalam setiap pemberian obat, tetapi ternyata tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan, antara lain: 1. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat. 2. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat, mempunyai risiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik. 3. Penting menyadari bahwa tes kulit negatif, pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaktik. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1--3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif. 4. Yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik atau anafilaktoid serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Mempertahankan Suhu Tubuh Suhu tubuh dipertahankan dengan memakaikan selimut pada penderita untuk mencegah kedinginan dan mencegah

Page 33: DEFINISI

kehilangan panas. Jangan sekali-kali memanaskan tubuh penderita karena akan sangat berbahaya. Pemberian Cairan 1. Jangan memberikan minum kepada penderita yang tidak sadar, mual-mual, muntah, atau kejang karena bahaya terjadinya aspirasi cairan ke dalam paru. 2. Jangan memberi minum kepada penderita yang akan dioperasi atau dibius dan yang mendapat trauma pada perut serta kepala (otak). 3. Penderita hanya boleh minum bila penderita sadar betul dan tidak ada indikasi kontra. Pemberian minum harus dihentikan bila penderita menjadi mual atau muntah. 4. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler. 5. Pada syok hipovolemik, jumlah cairan yang diberikan harus seimbang dengan jumlah cairan yang hilang. Sedapat mungkin diberikan jenis cairan yang sama dengan cairan yang hilang, darah pada perdarahan, plasma pada luka bakar. Kehilangan air harus diganti dengan larutan hipotonik. Kehilangan cairan berupa air dan elektrolit harus diganti dengan larutan isotonik. Penggantian volume intra vaskuler dengan cairan kristaloid memerlukan volume 3--4 kali volume perdarahan yang hilang, sedang bila menggunakan larutan koloid memerlukan jumlah yang sama dengan jumlah perdarahan yang hilang. Telah diketahui bahwa transfusi eritrosit konsentrat yang dikombinasi dengan larutan ringer laktat sama efektifnya dengan darah lengkap. 6. Pemantauan tekanan vena sentral penting untuk mencegah pemberian cairan yang berlebihan. 7. Pada penanggulangan syok kardiogenik harus dicegah pemberian cairan berlebihan yang akan membebani jantung. Harus diperhatikan oksigenasi darah dan tindakan untuk menghilangkan nyeri. 8. Pemberian cairan pada syok septik harus dalam pemantauan ketat, mengingat pada syok septik biasanya terdapat gangguan organ majemuk (Multiple Organ Disfunction). Diperlukan pemantauan alat canggih berupa pemasangan CVP, "Swan Ganz" kateter, dan pemeriksaan analisa gas darah. Kesimpulan Berhasil tidaknya penanggulangan syok tergantung dari kemampuan mengenal gejala-gejala syok, mengetahui, dan

Page 34: DEFINISI

mengantisipasi penyebab syok serta efektivitas dan efisiensi kerja kita pada saat-saat/menit-menit pertama penderita mengalami syok.