data dasar aspek sosial -...

148

Upload: dangngoc

Post on 07-Mar-2019

252 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,
Page 2: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

DATA DASAR ASPEK SOSIAL

TERUMBU KARANG INDONESIA

Desa Duara, Resun dan Teluk, Kecamatan Lingga Utara Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau

Oleh Augustina Situmorang

Sri Sunarti Purwaningsih

COREMAP – LIPI PUSAT PENELITIAN KEPENDUDUKAN

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (PPK-LIPI)

2006 LIPILIPI

Page 3: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

iii

KATA PENGANTAR

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Luasan terumbu karang di Indonesia mencapai 16 persen dari keseluruhan terumbu karang dunia. Terumbu karang mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Saat ini, kondisi terumbu karang semakin memburuk, karena faktor alam maupun ulah manusia. Upaya untuk melindungi, merehabilitasi, dan memanfaatkan secara lestari terumbu karang dilakukan melalui Program Coremap yang pada saat ini telah memasuki fase II. Tujuan Program Coremap fase II ini adalah 1) Menguatkan kapasitas nasional dan daerah dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang, dan 2) merehabilitasi dan melakukan pengelolaan ekosistem terumbu karang berbasis masyarakat di daerah-daerah prioritas, melalui peningkatan pendapatan dan standar hidup masyarakat pesisir.

Salah satu lokasi Program Coremap fase II di Kabupaten Lingga adalah Desa Duara, Desa Resun dan Desa Teluk. Sebagai persiapan pelaksanaan program tersebut diperlukan studi data dasar analisis aspek sosial terumbu karang yang diperlukan untuk perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan. Terkait dengan ini, laporan ini berisi tentang data dasar dan kajian mengenai kondisi demografi dan sosial ekonomi yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Penelitian ini dilakukan oleh Pusat Penelitian Kependudukan-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPK-LIPI) bekerja sama dengan COREMAP-LIPI dan Departemen Perikanan dan Kelautan (DKP).

Terlaksananya kegiatan penelitian dan penulisan laporan ini melibatkan berbagai pihak. Kepada para informan (nelayan, penampung, tokoh masyarakat dan jajaran pimpinan formal) di lokasi penelitian kami mengucapkan terima kasih atas semua bantuannya. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya juga kami tujukan kepada semua narasumber dari beberapa instansi di Kabupaten Lingga dan Provinsi Kepulauan Riau, antara lain Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Sumber Daya Alam, Bappeda dan instansi pemerintah lain yang telah memberikan data dan informasi.

Page 4: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

iv

Pada akhirnya, kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, meskipun tim peneliti telah berusaha sebaik mungkin. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi penyempurnaan laporan ini.

Jakarta, September, 2006

Dr. Ir Aswatini, MA

Page 5: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

v

RINGKASAN

Indonesia merupakan negara bahari yang memiliki berbagai sumber daya laut yang bernilai tinggi, khususnya terumbu karang. Terumbu karang yang dimiliki oleh Indonesia mencakup sekitar 16 persen luasan terumbu karang dunia. Terumbu karang berperan penting dalam menjaga ekosistem laut. Hal ini terlihat dari manfaat terumbu terumbu karang yang merupakan tempat berlindung dan mencari makan bagi berjuta-juta ikan dan biota laut lainnya. Oleh karena itu, terumbu karang juga merupakan tempat bergantungnya bagi jutaan nelayan. Selain itu, terumbu karang yang masih bagus juga dapat dijadikan objek wisata yang kemudian dapat menyumbangkan devisa bagi negara. Namun kondisi terumbu karang di Indonesia dewasa ini cukup memprihatinkan. Berbagai faktor ikut mempengaruhi kondisi terumbu karang tersebut. Selain faktor alam, kegiatan yang dilakukan oleh manusia seperti eksploitasi yang berlebihan dan penggunaan alat tangkap yang merusak seperti bom, pukat harimau dan sianida/racun ikut mengancam kelestarian terumbu karang di Indonesia.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk melindungi dan menyelamatkan terumbu karang, antara lain melalui COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program). Ada berbagai kegiatan COREMAP diantaranya adalah (1) membangun dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap peranan penting terumbu karang (2) melakukan pengembangan berbagai alternatif sehingga tekanan terhadap terumbu karang akan berkurang. Tujuan akhir dari program tersebut adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Pada saat ini program COREMAP telah memasuki fase II. Sebelum kegiatan COREMAP fase II dilaksanakan, diperlukan data dasar sosial yang terkait dengan pengelolaan terumbu karang.

Sehubungan dengan pelaksanaan Coremap tahap II, berdasarkan usulan dari pemerintah setempat, dipilih beberapa desa di Kecamatan Lingga Utara sebagai lokasi penelitian. Pada awalnya, desa-desa yang terpilih antara lain adalah Desa Sekanah, Desa Duara dan Desa Resun. Berhubung Desa Sekanah sudah merupakan lokasi kegiatan COREMAP tahap I, maka Desa Sekanah tidak lagi dijadikan sebagai lokasi penelitian, meskipun desa tersebut juga dikunjungi pada saat penelitian ini dilakukan. Kemudian berdasarkan masukan dari pemerintah setempat, baik tingkat kabupaten maupun tingkat kecamatan yang mengatakan bahwa Desa Teluk, telah lama

Page 6: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

vi

diusulkan sebagai salah satu lokasi COREMAP tahap II, maka Desa Teluk dimasukkan sebagai salah satu lokasi penelitian. Desa ini merupakan desa terluar dari Kecamatan Lingga Utara yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan dimana sebagian besar penduduknya adalah nelayan. Selain itu, diperoleh informasi dari beberapa narasumber bahwa di daerah ini banyak dikunjungi nelayan luar yang menggunakan alat tangkap yang merusak seperti bom, pukat/trawl dan sianida. Hal lain yang juga menarik untuk dikaji di daerah ini adalah kebiasaan penduduk yang beralih pekerjaan menjadi penebang pohon bakau pada saat musim angin kencang, dimana sebagian besar nelayan tidak bisa melaut. Desa Teluk juga mempunyai sumber daya alam dan sumber daya laut yang sangat potensial untuk dikembangkan menjadi obyek wisata bahari.

Studi ini bertujuan untuk mengumpulkan dan menganalisa data dasar tentang kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Hasil studi ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam merancang, melaksanakan dan memantau program COREMAP. Selain itu, studi ini juga diharapkan dapat dipakai sebagai acuan dalam mengevaluasi keberhasilan program COREMAP, khususnya dari perspektif sosial.

Studi ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan mengadakan survai terhadap 150 rumah tangga (50 rumah tangga setiap desa) yang dipilih secara acak dengan menggunakan metoda sistematic random sampling. Data yang dikumpulkan mencakup aspek sosial demografi anggota rumah tangga dan kondisi ekonomi rumah tangga terpilih. Selain data rumah tangga, dalam survai ini juga dikumpulkan data untuk tingkat individu dengan responden adalah anggota dari rumah tangga terpilih yang sudah berusia 15 tahun ke atas dan dipilih secara acak. Adapun informasi yang dikumpulkan meliputi pengetahuan dan sikap responden tentang terumbu karang, pengetahuan dan sikap tentang alat tangkap yang merusak, serta pengetahuan dan sikap responden tentang peraturan-peraturan pemerintah yang berkaitan dengan kelestarian sumber daya laut. Survai ini dilakukan dengan bantuan 15 orang tenaga pewawancara yang berasal dari penduduk setempat. Sementara data kualitatif, dikumpulkan dengan menggunakan kombinasi beberapa tehnik pengumpulan data yaitu observasi, wawancara terbuka dan diskusi kelompok terfokus (focus group discussion/FGD) dengan nelayan. Pengumpulan data kualitatif dilakukan langsung oleh dua orang peneliti dengan menggunakan panduan wawancara.

Sebagian besar penduduk di ketiga desa penelitian bekerja di sektor perikanan. Oleh karena itu ketergantungan penduduk terhadap sumber daya

Page 7: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

vii

laut, khususnya terumbu karang sangat tinggi. Potensi yang sumber daya laut yang ada di ketiga desa penelitian yang utama adalah ketam, cumi-cumi (sotong) dan ikan bilis (ikan teri). Khusus untuk Desa Teluk, terdapat berbagai jenis ikan permukaan seperti ikan sengarat, tengiri dan ikan putih dan ikan karang seperti kerapu, lobster dll. Selain itu, terdapat berbagai jenis kerang-kerangan seperti lola, lokan, gonggong dan siput batu meskipun kuantitasnya cenderung menurun.

Kondisi sosial ekonomi rumah tangga penduduk, sebagaimana umumnya masyarakat nelayan adalah termasuk rumah tangga menengah ke bawah. Hal ini terlihat dari tingkat pendidikan sebagian besar anggota rumah tangga terpilih adalah sekolah menengah pertama. Sementara jenis ketrampilan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut adalah ketrampilan membuat bubu ketam dan budidaya ikan kerapu yang dimulai pada awal tahun 2000. Pendapatan rata-rata rumah tangga per bulan pada musim teduh/ banyak ikan adalah sekitar Rp. 800.000. Pada musim-musim peralihan atau musim pancaroba, pendapatan rumah tangga ini cenderung menurun sejalan dengan menurunnya hasil tangkap yang mereka peroleh.

Selain tingkat pendidikan dan pendapatan, rendahnya kondisi sosial ekonomi masyarakat di Desa Duara, Resun dan Teluk juga tercermin dari aset rumah tangga yang mereka miliki, baik yang berupa sarana produksi dan sarana non produksi, maupun kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan. Sarana produksi yang digunakan oleh masyarakat di ketiga desa penelitian dalam memanfaatkan sumber daya laut cenderung sangat sederhana. Meskipun ada beberapa penduduk yang memilki pukat trawl, kebanyakan perahu yang digunakan untuk mencari ikan adalah perahu motor dengan kapasitas mesin yang sangat rendah antara 1 – 3 GT. Alat tangkap yang digunakan juga masih tradisional seperti bubu, jaring dan pancing. Sebagian nelayan juga memiliki alat tangkap kelong (bagan tancap/apung). Namun karena biaya untuk membuat kelong cukup mahal, berkisar antara 4 – 6 juta per kelong, hanya sebagian kecil nelayan yang mampu memiliki alat tangkap ini. Kelong yang digunakan penduduk terutama di Desa Duara dan Desa Resun adalah untuk menangkap ikan bilis, sementara bagan apung yang digunakan oleh nelayan Desa Teluk adalah untuk menangkap ikan sengarat, udang dan ikan putih.

Sebagaimana umumnya masyarakat nelayan yang berinteraksi langsung dengan terumbu karang, hampir semua responden mengetahui dengan baik manfaat terumbu karang, khususnya manfaat ekologis. Pengetahuan bahwa terumbu karang merupakan tempat ikan hidup, bertelur dan mencari makan diketahui oleh seluruh responden di Desa Resun dan Teluk. Pengetahuan responden tentang manfaat ekonomi dari terumbu karang relatif cukup baik.

Page 8: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

viii

Manfaat ekonomi terumbu karang yang diketahui responden umumnya sangat berkaitan dengan pengetahuan mereka tentang fungsi terumbu karang sebagai tempat ikan hidup berkembang.

Adanya degradasi SDL, khususnya terumbu karang diakui oleh sebagian besar responden. Hal ini terlihat dari pendapat sebagian besar responden yang mengatakan bahwa kondisi terumbu karang di sekitar mereka sudah rusak dan perlu diperbaiki. Hanya sekitar 16 persen responden yang mengatakan kondisi terumbu karang di wilayah mereka masih bagus. Masyarakat di desa penelitian juga mengetahui jenis-jenis alat tangkap yang dapat merusak SDL seperti bom, sianida/racun atau tuba serta trawl/pukat harimau atau lampara dasar.

Sebagian besar masyarakat di lokasi penelitian masih menggunakan alat tangkap tradisional seperti pancing dan bubu. Alat tangkap ini dapat dikatakan relatif ramah lingkungan. Namun beberapa tahun belakangan ini penggunaan alat tangkap yang merusak, khususnya pukat/trawl semakin banyak digunakan, khususnya oleh nelayan yang memiliki modal yang cukup besar. Pukat yang banyak digunakan oleh masyrakat setempat biasanya menggunakan armada tangkap berkekuatan 5-10 GT.

Sebagian besar nelayan di desa penelitian, khususnya di Desa Resun dan Desa Teluk merupakan nelayan ‘terikat’, dalam arti mereka mempunyai ikatan tidak tertulis dengan seorang pedagang besar atau pengumpul untuk menjual hasil tangkap mereka. Hal ini dilakukan karena umumnya nelayan di kedua desa tersebut mempunyai modal yang terbatas, sehingga untuk keperluan operasional maupun keperluan hidup sehari-hari mereka terpaksa meminjam modal dari pengumpul atau tauke. Sebagi konsekuensi, nelayan yang bersangkutan mempunyai kewajiban untuk menjual semua hasil tangkapnya kepada pedagang/pengumpul yang telah meminjamkan modal tersebut.

Produksi sumber daya laut yang paling banyak ditangkap oleh masyarakat di daerah penelitian adalah ikan bilis (ikan teri), ketam (rajungan), cumi (sotong). Pada dasarnya keberadaan ketiga SDL ini ada tidak mengenal musim, namun karena keterbatasan alat dan armada tangkap yang dimiliki, produksi yang dihasilkan nelayan sangat tergantung pada musim. Bila sedang musim teduh/ musim ikan, dengan menggunakan alat tangkap bubu yang khusus untuk ketam dapat diperoleh 7-8 ekor ketam dalam satu malam. Seorang nelayan biasanya memiliki rata-rata 20 bubu ketam. Dengan demikian dalam satu malam seorang nelayan dapat memperoleh sekitar 120-160 ekor ketam. Ikan bilis umumnya dijual dalam keadaan kering. Alat tangkap yang digunakan nelayan pada umumnya untuk ikan bilis adalah

Page 9: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

ix

kelong atau bagan tancap. Pada waktu musim ikan, dalam satu malam dari seorang nelayan dapat dihasilkan sekitar 50 kintau atau sekitar 150 kg ikan bilis basah (satu kintau sekitar 3 kg ikan bilis basah). Sotong atau cumi biasanya ditangkap dengan menggunakan alat tangkap comek. Oleh karena itu kegiatan mencari sotong dinamai nyomek. Hasil tangkap yang diperoleh nelayan dalam sekali menyomek sekitar 50-100 ekor cumi dari berbagai ukuran. Namun pada musim angin kencang dan musim pancaroba, jumlah ini jauh berkurang, bahkan adakalanya tidak dapat menghasilkan sama sekali.

Rantai pemasaran ikan bilis dan sotong di ketiga desa penelitian relatif sangat pendek. Untuk nelayan di Desa Duara dan Resun, karena letaknya yang sangat dekat dengan pedagang besar di Pancur, umumnya mereka langsung memasarkan hasil tangkapnya yang sudah dikeringkan ke pedagang besar. Para pedagang besar ini kemudian memasarkan sebagian ikan kering tersebut lansung ke masyarakat di sekitarnya dengan menjual langsung di tokonya. Selain itu ikan kering tersebut juga dikirim ke pedagang besar lainnya di Batam, Tanjung Pinang atau Riau, bahkan tidak jarang sampai ke luar negeri seperti Singapura dan Malaysia.

Dibanding dengan ikan bilis dan sotong, rantai pemasaran ketam lebih panjang. Meskipun ketam bisa dipasarkan langsung dalam keadaan hidup ke masyarakat, sebagian besar nelayan memilih menjual hasil tangkapnya ke pedagang pengumpul yang kemudian merebusnya terlebih dahulu sebelum dijual ke supliyer perusahaan besar. Supliyer tersebut kemudian mengirimkan ketam yang sudah dikupas dan di sortir sesuai dengan klasifikasinya ke perusahaan pengalengan, setelah dikalengkan, barulah ketam tersebut dipasarkan langsung ke masyarakat atau restoran-restoran besar di dalam dan luar negeri.

Pada beberapa tahun belakangan ini, nelayan di ketiga desa penelitian mulai merasakan dampak kerusakan SDL di sekitar mereka. Hal ini dirasakan dengan semakin sedikitnya hasil tangkap yang mereka peroleh dari tahun-ketahun. Selain itu jenis ikan yang dulu banyak ditemui di perairan disekitar mereka, sekarang sudah mulai langka. Menurut penuturan beberapa nelayan baik di Desa Duara, Desa Resun maupun Desa Teluk, pada masa sekitar sepuluh tahun yang lalu, gong-gong dan ketam banyak bertebaran di perairan disekitar mereka. Pada masa itu tidak diperlukan jauh-jauh pergi ke laut untuk mendapatkan hasil laut gong-gong dan ketam, namun pada masa sekarang hal itu tidak dapat lagi dilakukan.

Kerusakan SDL di lokasi penelitian antara lain disebabkan oleh adanya eksploitasi yang berlebihan dan penggunaan alat tangkap yang merusak.

Page 10: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

x

Salah satu jenis SDL yang dianggap sudah dieksploitasi secara berlebihan adalah ketam. Kalau pada masa lalu ketam yang ditangkap oleh nelayan terbatas pada ketam yang besar-besar, pada masa sekarang ini, bahkan ‘bayi-bayi’ ikanpun turut ditangkap. Hal ini antara lain karena adanya permintaan pasar yang sangat tinggi sehingga dapat memotivasi penduduk untuk mengeksploitasi SDL tersebut secara besar-besaran. Di Dusun Pancur setidaknya ada tiga pabrik ketam yang menampung hasil yang didapat nelayan tanpa batas. Kehadiran para pedagang besar tersebut disatu pihak sangat membantu perekonomian para nelayan, karena dengan demikian mereka tidak perlu lagi kuwatir akan pemasaran hasil tangkap mereka. Selain itu karena jumlah pedagang besar di daerah mereka lebih dari satu, menyebabkan harga ketam di tingkat nelayan relatif stabil karena persaingan harga antar pedagang.

Dilain pihak, kehadiran pabrik ketam yang lebih dari satu tersebut dapat juga menimbulkan degradasi terhadap sumber daya laut. Banyaknya pabrik ketam berarti tingginya permintaan yang kemudian juga akan memotivasi nelayan untuk menangkap hasil sebanyak-banyaknya. Lama kelamaan populasi sumber daya tersebut akan semakin sedikit, apalagi seperti telah disinggung sebelumnya bahkan bayi ketam pun turut ditangkap. Keadaan ini kalau tidak cepat diatasi akan menimbulkan kerusakan sumberdaya laut yang semakin parah. Bukan tidak mungkin populasi ketam suatu waktu nanti akan punah diperairan sekitar Kepulaun Riau.

Hal yang sama juga terjadi dengan penebangan pohon bakau di Desa Teluk. Kegiatan ini disebabkan tingginya permintaan terhadap kayu pohon bakau yang kemudian diolah menjadi arang. Tingginya permintaan ini dipicu oleh kehadiran perusahaan arang atau dapur arang di Desa Teluk. Kehadiran pabrik arang di desa mereka telah memotivasi masyarakat setempat untuk bekerja di pabrik tersebut sebagai penebang pohon bakau untuk dijadikan arang, khususnya ketika sedang tidak dapat melaut.

Hal lain yang menyebabkan degradasi SDL adalah benggunaan alat tangkap pukat/trawl banyak dilakukan oleh nelayan yang berada di Dusun Pasir Lulun, Desa Resun dan Dusun Pancur, Desa Duara. Dalam peng-operasiaannya alat tangkap ini dapat merusak sumber daya laut karena bentuk jaringnya yang sangat halus mengakibatkan ikan-ikan kecil juga turut terjaring. Penggunaan Bom untuk menangkap ikan banyak terjadi tahun 90-an sampai awal tahun 2000. Menurut nelayan di ketiga desa penelitian, pada masa-masa tersebut banyak kapal-kapal luar yang datang ke wilayah mereka menggunakan bom untuk menangkap ikan. Pada dasarnya kedatangan nelayan luar yang menggunakan bom tersebut tidak dirasa menggangu oleh sebagian nelayan. Karena biasanya nelayan tradisional

Page 11: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

xi

akan ikut mendapat hasilnya. Setelah melakukan pengeboman untuk menghindari aparat, biasanya kapal tersebut akan dengan cepat mengumpulkan hasil tangkap mereka dan buru-buru meninggalkan lokasi pengobam. Pada waktu itulah nelayan tradisional ke lokasi pengeboman dan mengutip ikan yang tidak sempat dikumpulkan kapal pengebom tersebut.

Selain pukat, alat tangkap bubu yang banyak dimiliki masyrakat tradisional juga pada dasarnya dapat merusak terumbu karang. Hal ini disebabkan karena umumnya bubu diletakkan di dasar laut disekitar terumbu karang, karena di daerah inilah yang banyak ikannya. Alat ini akan bergeser terbawa gelombang dan merusak terumbu karang. Dampak kerusakan yang dihasilkan alat tangkap ini tampaknya belum disadari masyarakat di daerah penelitian.

Kerusakan sumber daya laut juga dipengaruhi oleh faktor struktural seperti keberadaan kebijakan dan program yang mengatur pengelolaan sumber daya laut. Pada dasarnya pemerintah ditingkat pusat telah membuat peraturan berupa perundang-undangan yang mengatur kondisi lingkungan hidup, termsuk sumber daya laut di Indonesia. Namun tampaknya keberadaan undang-undang dan peraturan tersebut belum dilaksanakan dengan konsisten. Hal ini terlihat dari pengakuan sebagian besar responden, yang mengaku mengetahui adanya pelarangan, namun hanya sebagian kecil yang mengaku tahu tentang sanksi hukum terhadap pelanggaran peraturan-peraturan tersebut. Meskipun mereka melihat banyak nelayan yang melanggar peraturan tersebut, belum ada yang terkena sanksi.

Kondisi sosial politik ditingkat nasional dan lokal tampaknya juga berpengaruh terhadap pengelolaan sumber daya laut di Kepulauan Riau. Adanya otonomi daerah dan pemisahan Kepulauan Riau dari Propinsi Riau dan menjadi propinsi sendiri berpengruh terhadap pelaksanaan program pelestarian sumber daya laut. Selain keberadaan propinsi yang baru, Kabupaten Lingga dan Kecamatan Lingga Utara juga merupakan daerah administratif yang baru. Satu pihak kondisi ini dapat memberi dampak yang positif terhadap pengelolaan sumber daya laut, bila sumber daya manusia yang terkait didalamnya menyadari akan pentingnya pelestarian sumber daya laut. Dengan demikian diharapkan kebijakan dan program yang disusun akan mengutamakan pelestarian SDL. Namun dilain pihak, kondisi daerah yang masih baru juga mengakibat sumber daya di dalamnya relatif masih baru, sehingga ada kemungkinan kurang memahami fungsinya. Hal ini dapat menimbulkan kesalahan pengelolaan sumber daya laut.

Kendala lain yang sangat umum dihadapi dalam penegakan hukum adalah kendala teknis dilapangan seperti luasnya wilayah laut yang harus diawasi

Page 12: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

xii

dengan sumber daya manusia dan peralatan yang sangat terbatas. Minimnya sarana transportasi dan jumlah aparat penegak hukum di wilayah Kecamatan Lingga Utara ditambah dengan kondisi alam yang kurang bersahabat mengakibatkan sulitnya melakukan pengawasan.

Untuk mengatasi kendala teknis yang dihadapi oleh aparat penegak hukum, salah satu cara yang cukup efektif adalah dengan mengikutsertakan masyarakat untuk ikut mengawasi wilayah laut mereka. Namun masyarakat tampaknya enggan untuk melakukannya. Selain karena armada tangkap yang mereka miliki kalah jauh dari nelayan pendatang, seringkali pelanggaran tersebut dilakukan oleh nelayan dari desa mereka sendiri atau nelayan dari desa tetangga yang juga mereka kenal. Untuk menghindari konflik antar sesama nelayan, mereka lebih berharap aparat keamananlah yang melakukan pengawasan.

Konflik terbuka antar sesama nelayan lokal di ketiga desa penelitian belum pernah terjadi. Namun dari wawancara terbuka dan diskusi kelompok dengan masyarakat nelayan diperoleh kesan, ada isu yang potensial menjadi bibit konflik diantara sesama nelayan lokal. Kesenjangan tehnologi tangkap antara nelayan tradisional yang umumnya memiliki modal yang terbatas dengan nelayan modern yang memiliki modal yang cukup tinggi dapat menimbulkan permasalahan. Penggunaan alat tangkap trawl oleh sebagian nelayan local yang memiliki modal yang besar, dituding oleh nelayan tradisional sebagai penyebab berkurangnya jumlah ikan yang mereka peroleh dan hilangnya bubu yang mereka sebar di laut. Usaha pemerintah desa, seperti yang dilakukan di Desa Resun, yaitu mengatur waktu tangkap untuk pukat, tampaknya belum sepenuhnya didukung oleh nelayan. Oleh karena itu, untuk mengatisipasi hal-hal yang tidak diinginkan semakin berkembang, perlu adanya peraturan yang tegas dan konsisten dari pemerintah setempat terhadap penggunaan alat tangkap yang merusak, khususnya trawl.

Page 13: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

xiii

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR iii RINGKASAN v DAFTAR ISI xiii DAFTAR TABEL xv DAFTAR PETA xvii DAFTAR GAMBAR xix I PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1 1.2. Tujuan dan Sasaran Penelitian 4 1.3. Metodologi 5 1.4. Organisasi Penulisan 10

II KONDISI LOKASI PENELITIAN 13

2.1. Kedaan Geografis 13 2.2. Kondisi Sumber Daya Alam 17 2.3. Sarana, Prasarana dan Aksesibilitas 19 2.4. Kelembagaan Sosial- Ekonomi 24 2.5. Kondisi Penduduk 27

III POTRET PENDUDUK DESA DUARA, RESUN DAN TELUK 33

3.1. Jumlah dan komposisi 33 3.2. Kualitas SDM 36

3.2.1. Pendidikan dan Keterampilan 36 3.2.2. Kesehatan 38 3.2.3. Pekerjaan 40

3.3. Kesejahteraan 46 3.3.1. Pendapatan 46 3.3.2. Pengeluaran 52 3.3.3. Strategi dalam pengelolaan keuangan 56 3.3.4. Pemilikan Asset Rumah Tangga 3.3.5. Kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan 63

Page 14: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

xiv

IV. PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAUT 67 4.1 Pengetahuan, Kesadaran dan Kepedulian terhadap

Penyelamatan Terumbu Karang 68 4.2 Wilayah Pengelolaan 81 4.3 Teknologi Penangkapan 84 4.4 Stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan SDL 88 4.5 Hubungan Kerja 90

V. PRODUKSI DAN PEMANFAATAN SDL 95

5.1. Produksi 95 5.2. Pengolahan 100 5.3. Pemasaran 105

VI DEGRADASI SDL DAN FAKTOR-FAKTOR YG BERPENGARUH 109

6.1. Kerusakan SDL 109 6.2. Faktor internal yang berpengaruh thd kerusakan SDL 111 6.3. Faktor eksternal 115 6.4 Faktor struktural 116

VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 121

7.1. Kesimpulan 121 7.2. Rekomendasi 127

DAFTAR PUSTAKA 129

Page 15: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

xv

DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Jenis pekerjaan di tiga desa lokasi penelitian 27

Tabel 2.2. Jenis Pekerjaan di Desa Duara, Rusun dan Teluk, 2006 29

Tabel 3.1 Komposisi Anggota Rumah Tangga Responden Desa Duara, Resun dan Teluk berdasarkan kelompok umur 35

Tabel 3.2 Komposisi ART Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan 37

Tabel 3.3 Distribusi Penduduk menurut lapangan Pekerjaan Utama Di Desa Duara, Resun dan Teluk, 2006 41

Tabel 3.4 Komposisi ART Responden Menurut Jenis Pekerjaan Utama 42

Tabel 3.5 Komposisi ART Responden Menurut Status Pekerjaan Utama 43

Tabel 3.6 Komposisi Penduduk Berdasarkan Lapangan Pekerjaan Tambahan di Desa Duara, Resun dan Teluk, 2006 44

Tabel 3.7 Komposisi ART Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tambahan 45

Tabel 3.8 Pendapatan, Desa Duara, Resun dan Teluk, Kabupaten Lingga, 2006 48

Tabel 3.9 Distribusi Rumah Tangga Terpilih Menurut Besar Pendapatan, Desa Duara, Resun dan Teluk, Kabupaten Lingga, 2006 49

Tabel 3.10 Pendapatan Rumah Tangga terpilih dari Kegiatan Kenelayanan Menurut Musim Desa Duara, Resun dan Teluk, Kabupaten Lingga, 2006 49

Tabel 3.11 Distribusi Rumah Tangga Terpilih Menurut Besar Pendapatan di Musim Gelombang Kuat, Pancaroba dan Musim Gelombang Tenang, Desa Duara, Resun dan Teluk, Kabupaten Lingga, 2006 (persentase) 51

Tabel 3.12 Pengeluaran Desa Duara, Resun dan Teluk, Kabupaten Lingga, 2006 53

Page 16: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

xvi

Tabel 3.13 Distribusi Rumah Tangga Terpilih 55

Tabel 3.14 Distribusi rumah tangga berdasarkan Jenis Kesulitan Keuangan Desa Duara, Resun, dan Teluk, 2006 57

Tabel 3.15 Distribusi rumah tangga berdasarkan Upaya yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan keuangan, Desa Duara, Resun, dan Teluk, 2006 58

Tabel 3.16 Jumlah Aset rumah tangga yang dimiliki rumah tangga sample di Desa Duara, Resun dan Teluk, 2006. 62

Tabel 4.1 Pengetahuan Responden mengenai terumbu karang di Desa Resun, Duara dan Teluk 69

Tabel 4.2 Pengetahuan responden tentang manfaat terumbu karang 70

Tabel 4.3 Pengetahuan dan sikap responden tentang kondisi terumbu karang 72

Tabel 4.4 Pengetahuan responden tentang alat tangkap yang dapat merusak SDL 74

Tabel 4.5 Sikap responden terhadap pengelolaan terumbu karang 76

Tabel 4.6 Pengetahuan dan sikap responden terhadap penggunaan bom 78

Tabel 4.7 Pengetahuan dan sikap responden terhadap penggunaan pukat/trawl 79

Tabel 4.8 Pengetahuan dan sikap responden terhadap penggunaan Sianida/racun 80

Tabel 4.9 Jenis Alat tangkap yang digunakan masyarakat nelayan di Desa Duara, Desa Resun dan Desa Teluk 85

Table 5.1 Harga ketam yang ditentukan oleh perusahaan Philip, Bulan April 2006 107

Page 17: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

xvii

DAFTAR PETA Peta 2.1 Peta Desa Limbung Kelurahan Senayang, Kecamatan Lingga 14

Peta 2.2 Peta Desa Duara, Kecamatan Lingga Utara 15 Peta 4.1. Peta Lokasi Wilayah Tangkap Masyarakat Desa Resun 82 Peta 4.2. Peta Lokasi Wilayah Tangkap Masyarakat Desa Teluk 83

Page 18: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

xviii

Page 19: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

xix

DAFTAR GAMBAR Gambar 4.1 Bubu ketam buatan Thailand 86 Gambar 4.2 Bubu ketam buatan local di Desa Resun 86 Gambar 4.3 Bubu ketam buatan local di Desa Duara 86 Gambar 4.4 Bubu ketam buatan local di Desa Teluk 86 Gambar 5.1 Alat tangkap Pinto 97 Gambar 5.2 Hasil tanggap nelayan di Desa Teluk 99 Gambar 5.3 Kintau, alat meniriskan ikan bilis setelah direbus 100 Gambar 5.4 Kajang, alat untuk menjemur ikan bilis 100 Gambar 5.5 Proses penjemuran sotong berbagai tipe 102 Gambar 5.6 Ketam tipe B yang telah direbus 103 Gambar 5.7 Ketam yang sudah dikemas dan siap dikirim ke pabrik (jenis Jb. Lump) 104 Gambar 5.8 Ketam yang sudah dikemas dan siap dikirim ke pabrik (jenis Bf/Blackfin) 104

Page 20: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sebagai negara kepulauan, 63 persen wilayah Indonesia merupakan wilayah perairan yang sangat kaya akan sumber daya laut. Secara keseluruhan, terdapat sekitar 17.508 pulau besar dan kecil dan garis pantai terpanjang di dunia yang meliputi 81.000 kilometer. Oleh karena itu tidak mengherankan bila Indonesia telah menjadi pusat keanekaragaman hayati dunia, termasuk terumbu karang. Luas sebaran terumbu karang di Indonesia diperkirakan sekitar 75.000 kilometer persegi yang berarti sekitar 15 persen dari sebaran terumbu karang dunia. Terumbu karang merupakan sebuah ekosistem yang mempunyai keanekaragaman hayati sangat tinggi. Di terumbu karang yang tersebar di wilayah perairan Indonesia, setidaknya hidup 2500 jenis moluska, 2334 jenis ikan, 1512 jenis krusyase, 850 jenis spona, 745 jenis skinodermata, 38 jenis reptilian laut dan 30 jenis mamalia (Nontji, 2001).

Pada dekade belakangan ini, kondisi terumbu karang, khususnya di Indonesia semakin memprihatinkan. Berdasarkan penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P3O–LIPI) tahun 1994, tingkat kerusakan terumbu karang di Indonesia sudah sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan. Hanya 6 persen terumbu karang dalam keadaan sangat baik dan 23 persen dalam keadaan baik, sedangkan sebagian besar (71 persen) sudah dalam keaadaan rusak, bahkan 40 persen diantaranya dalam keaadaan sangat buruk (Suharsono, 2000). Kerusakan terbesar terdapat di wilayah Indonesia bagian barat, dimana lebih dari 80 persen terumbu karang dalam keadaan rusak. Sedangkan di wilayah Indonesia bagian timur, sekitar 41 persen terumbu karang masih dalam keadaan baik, terutama di wilayah konservasi dan wilayah terpencil yang belum tersentuh kegiatan ekonomi. Ketidakseimbangan pembangunan antara wilayah barat dan timur Indonesia diduga berpengaruh terhadap perbedaan kondisi terumbu karang. Tekanan sumber daya alam seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan perkembangan pembangunan yang cepat ditengarai sebagai faktor yang menyebabkan tinggnya kerusakan terumbu karang, khususnya di wilayah barat Indonesia (Hidayati dan Rachmawati, 2002: 2).

Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi kondisi terumbu karang. Faktor-faktor terebut dapat dikelompokkan menjadi faktor alam dan faktor

Page 21: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

2

yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Kerusakan yang disebabkan oleh faktor alam antara lain adanya bencana alam seperti gempa, badai dan ombak yang sangat besar, dan perubahan iklim. Selain faktor alam tersebut, kelestarian terumbu karang juga dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang merusak. Eksploitasi terumbu karang yang berlebihan dan penggunaan alat tangkap yang merusak telah mengakibatkan keberadaan terumbu karang semakin terancam. Faduru Rosniane (2005:2) mengungkapkan dalam beberapa tahun terakhir kondisi terumbu karang di Indonesia cenderung terus menurun karena kegiatan yang dilakukan oleh manusia seperti:

- Penangkapan ikan dan biota laut yang terus menerus dan dalam jumlah yang berlebihan

- Penggunaan racun dan bahan peledak untuk menangkap sumber daya karang.

- Pengambilan dan penambangan karang yang digunakan untuk bahan dasar kapur dan bahan bangunan serta diperdagangkan untuk perhiasan.

Kondisi terumbu karang yang cenderung merosot ini telah menjadi perhatian pemerintah untuk menyelematkannya. Beberapa upaya yang telah dilakukan antara lain adalah kegiatan COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program). COREMAP merupakan strategy jangka panjang (15 tahun) untuk menjaga terumbu karang Indonesia dan penduduk masyarakat pesisir yang kehidupan dan kesejahteraannya tergantung pada terumbu karang dan ekosistem laut yang terkait. Konsep dari COREMAP adalah kegiatan konservasi dan pengembangan yang dilakukan oleh masyarakat lokal bersama dengan pemerintah dan stakeholder lainnya. Tujuan utamanya adalah untuk melindungi dan menggunakan terumbu karang dan sumber daya lainnya secara berkelanjutan (ADB, 2002). Dengan adanya kegiatan COREMAP ini diharapkan dapat menumbuhkan dan meningkatkan pengelolaan serta rehabilitasi ekosistem terumbu karang yang kemudian dapat dimanfaatkan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkesinambungan.

Salah satu kegiatan COREMAP yang bertujuan mengurangi tekanan terhadap terumbu karang dan sekaligus peningkatan kesejahteraan masyarakatnya adalah pengelolaan berbasis masyarakat. Dalam hal ini masyarakat setempat diharapkan dapat berpartisipasi aktif dalam setiap tahapan pengelolaan. Dengan kegiatan yang berbasis pada masyarakat ini, masyarakat setempat mempunyai peranan yang cukup penting terutama dalam hal kesadaran akan pentingnya peranan terumbu karang sebagai habitat berjuta hewan dan tumbuhan di laut.

Page 22: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

3

Pada saat ini, COREMAP telah memasuki fase II yang menitik beratkan pada peningkatkan pendapatan masyarakat. Sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan COREMAP fase II tersebut, diperlukan informasi tentang program dan intervensi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Adapun informasi tersebut meliputi potensi sumber daya laut, kondisi sosial-ekonomi dan budaya masyarakat setempat, faktor-faktor penyebab kerusakan, dan pelaku ekploitasi. Data lain yang diperlukan untuk menunjang kegiatan COREMAP adalah data yang terkait dengan permasalahan-permasalahan pemanfaatan sumber daya laut, kendala-kendala dalam pemanfaatan tersebut serta aspirasi masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut.

Untuk kegiatan tersebut, Provinsi Kepulauan Riau bekerjasama dengan Departemen Kelautan dan Perikanan, telah memilih Kabupaten Lingga sebagai salah satu lokasi intervensi program COREMAP fase II. Adapun lokasi yang dipilih dari Kabupaten Lingga adalah Kecamatan Lingga Utara, khususnya kawasan terumbu karang Limbung dan Sekanah. Di kawasan sekanah terdapat tiga desa yaitu Desa Sekanah, Desa Duara, dan Desa Resun. Namun mengingat Desa Sekanah telah menjadi lokasi intervensi COREMAP fase I, maka pada saat penelitian ini Desa Sekanah tidak lagi dijadikan lokasi penelitian meskipun desa tersebut juga dikunjungi.

Kemudian dalam perkembangannya, dari hasil diskusi dengan beberapa narasumber termasuk Kepala Sumber Daya Alam, Kelautan dan Perikanan, Kabupaten Lingga, Camat Lingga Utara, dan kepala Desa Teluk, akhirnya diputuskan selain Desa Duara dan Desa Resun, lokasi penelitian ditambah dengan Desa Teluk meskipun secara geografis termasuk dalam kawasan terumbu karang Limbung. Hal ini dilakukan karena menurut informasi dari pemerintah daerah setempat, Desa Teluk telah lama diusulkan sebagai salah satu desa untuk lokasi intervensi COREMAP II. Desa ini menarik untuk diteliti, karena menurut beberapa narasumber, wilayah ini memiliki sebaran terumbu karang yang luas, dan banyak dikunjungi oleh nelayan pendatang yang menggunakan alat tangkap yang merusak seperti bom, kapal pukat dan sianida/racun. Selain itu, sebagian besar penduduk Desa Teluk merupakan nelayan tradisional yang tidak dapat melaut pada musim ombak besar. Pada saat tidak dapat melaut, sebagian besar nelayan beralih pekerjaan sebagai penebang pohon bakau untuk dijual ke perusahaan arang yang terdapat di desa mereka. Bila tidak segera ditangani, kegiatan ini tentu saja akan merusak kelestarian hutan bakau yang kemudian juga akan berpengaruh terhadap kondisi SDL di wilayah ini.

Page 23: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

4

1.2. Tujuan dan sasaran penelitian

Secara umum studi ini bertujuan untuk mengumpulkan dan menganalisa data dasar mengenai kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para pengambil keputusan dalam merancang, melaksanakan dan memantau program COREMAP. Adapun tujuan khusus dari studi ini adalah untuk:

Mendiskripsikan kondisi geografis dan sosial ekonomi Desa Duara, Resun dan Teluk untuk memberikan gambaran umum tentang potensi sumber daya alam, sarana dan prasarana serta kelembagaan sosial dan budaya yang dapat mendukung dan /atau menghambat pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan.

Mendiskripsikan kondisi sumber daya manusia dan memotret tingkat kesejahteraan masyarakat yang dilihat antara lain dari pendidikan, pendapatan, pengeluaran, strategi pengelolaan keuangan, pemilikan aset rumah tangga, dan kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan. Selain itu, studi ini juga mengidentifikasi kegiatan-kegiatan mata pencaharian alternatif yang dapat dilakukan oleh masyarakat yang sesuai dengan kondisi sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada.

Menggambarkan kondisi sumber daya laut, khususnya terumbu karang dan ekosistemnya termasuk di dalamnya potensi, pola pemanfaatan, teknologi yang dipakai, permodalan, pemasaran serta pengetahuan dan perilaku masyarakat berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaannya.

Mengidentifikasi stakeholders dan menganalisa kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut yang mengancam kelestarian terumbu karang maupun yang berpotensi untuk mengelola. Di samping itu, studi ini juga mengidentifikasi potensi konflik antar stakeholders yang dapat berpengaruh negatif terhadap pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan.

Sasaran penelitian adalah tersedianya data dasar tentang aspek sosial terumbu karang yang dapat digunakan oleh para perencana, pengelola dan pelaksana untuk merancang, melaksanakan dan memantau program COREMAP. Selain itu, tersedianya data tentang aspek sosial terumbu karang dapat digunakan oleh stakeholders (users) sebagai bahan pembelajaran dalam pemanfaatan sumber daya laut, khususnya terumbu karang secara berkelanjutan.

Page 24: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

5

1.3. Metodologi

Pemilihan lokasi

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, untuk keperluan studi data dasar aspek sosial terumbu karang di Kecamatan Lingga Utara dipilih tiga desa pantai yang mayoritas penduduknya terlibat kegiatan pengelolaan sumber daya laut (SDL), yaitu Desa Duara, Desa Resun dan Desa Teluk. Meskipun Desa Teluk tidak termasuk dalam kawasan Sekanah dan terletak cukup jauh dari Desa Duara dan Resun, Desa Teluk tetap diambil sebagai lokasi survai karena selain berdasarkan pada alasan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Desa Teluk memiliki perbedaan yang cukup tajam dengan kedua desa lainnya, baik secara geografis maupun aktivitas penduduk dalam pengelolaan sumber daya laut. Lokasi Desa Duara berada di pusat pemerintahan dan pusat perdagangan Kecamatan Lingga Utara dengan masyarakat yang sangat heterogen baik dari segi suku bangsa, agama maupun aktivitas ekonominya termasuk nelayan dan pedagang. Desa Duara terdiri dari empat dusun, satu dusun di antaranya yaitu dusun Kuet mayoritas penduduknya bekerja sebagai nelayan.

Lokasi Desa Resun relatif dekat dengan Desa Duara, dapat ditempuh sekitar 30 menit dengan perahu nelayan (pompong). Penduduk di Desa ini tersebar di tiga dusun, di. Nelayan di berdekatan, ada perbedaan alat tangkap nelayan di Desa Resun. Khususnya Dusun mana dua di antaranya merupakan dusun nelayan, yaitu Dusun Dusun Pasirlulun dan Tanjung Bungsu. Sebagian dari nelayan Dusun Pasirlulun adalah nelayan budidaya ikan kerapu, sementara nelayan di Dusun Tanjung Bungsu adalah nelayan tangkap. Meskipun letaknya berdekatan, ada perbedaan alat tangkap di Desa Resun, khususnya Dusun Tanjung Bungsu dengan Desa Duara. Nelayan di Dusun Tanjung Bungsu relatif lebih tradisional dibanding dengan nelayan di Desa Duara.

Desa Teluk merupakan desa terluar dari Kecamatan Lingga Utara. Sekitar tujuh jam perjalanan dengan menggunkan pompong dari Desa Duara. Desa Teluk terdiri dari dua dusun di mana salah satu dusunnya mempunyai penduduk yang hampir seluruhnya bekerja sebagai nelayan. Walaupun sama-sama nelayan, hasil tangkapan di Desa Teluk berbeda dengan kedua desa lainnya.

Berdasarkan pada karakter masing-masing desa tersebut, maka lokasi penelitian ini dilakukan di empat dusun dari tiga desa. Di Desa Duara survai dilakukan di Dusun Kuet yang mayoritas penduduknya adalah nelayan. Sementara di Desa Resun, survai dilakukan di Dusun Pasirlulun dan Dusun Tanjung Bungsu. Kedua dusun ini berada dalam satu desa yaitu Desa Resun,

Page 25: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

6

namun mempunyai potensi sumber daya laut yang berbeda begitu pula alat tangkap yang digunakan oleh para nelayannya. Sedangkan di Desa Teluk, survai terhadap 50 KK dilakukan di Dusun II yang meliputi kampung Lansik, Belungkur Air Sesap, Ujung Batu dan Dungun.

Pengumpulan data

Studi ini menggunakan dua pendekatan dalam mengumpulkan data, pendekatan kuantatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan metode survai terhadap penduduk (rumah tangga) di desa terpilih, dengan menggunakan kuesioner berstruktur (wawancara tertutup). Masing-masing desa dipilih 50 rumah tangga sehingga secara keseluruhan ada 150 rumah tangga yang merupakan sampel dalam penelitian ini. Pemilihan rumah tangga dilakukan dengan cara acak. Pada awalnya, dari masing-masing desa dipilih dusun yang mayoritas penduduknya adalah nelayan. Setelah itu, semua rumah tangga dari masing-masing dusun terpilih dicatat (dibuat list) secara berurutan berdasarkan nomor rumah tangga masing-masing. Dari list tersebut kemudian dipilih masing-masing 50 rumah tangga secara proporsional. Misalnya, bila di dalam satu dusun terdapat 200 rumah tangga, maka pemilihan rumah tangga berselang empat. Penentuan nomor urutan pertama dilakukan dengan cara undian. Seorang pewawancara mengambil salah satu gulungan kertas yang telah ditulis nomor 1 sampai dengan 4 (tergantung dari jumlah rumah tangga masing-masing dusun). Nomor yang keluar kemudian digunakan sebagai urutan pertama dari rumah tangga responden, kemudian nomor berikutnya tinggal diurutkan dan berselang sesuai jumlah rumah tangga yang ada.

Data yang digali melalui kuesioner terdiri dari dua kategori yaitu rumah tangga dan individu. Data rumah tangga yang dikumpulkan meliputi karakteristik demografi anggota rumah tangga dan keadaan ekonomi rumah tangga. Data karakteristik rumah tangga mencakup jumlah, umur, jenis kelamin, pndidikan dan pekerjaan anggota rumah tangga. Sedangkan data kondisi ekonomi rumah tangga meliputi pendapatan, pengeluaran, tabungan dan data mengenai kepemilikan aset rumah tangga seperti alat produksi dan perumahan. Sementara data yang dikategorikan sebagai data individu diperoleh dari salah satu dari anggota rumah tangga berumur 15 tahun keatas yang dipilih secara acak. Adapun informasi yang digali dari individu tersebut adalah tentang pengetahuan dan sikap terhadap pengelolaan terumbu karang.

Page 26: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

7

Untuk pelaksanaan survai, di masing-masing desa, peneliti dibantu oleh 5 orang pewawancara yang dipilih dari masyarakat setempat. Para pewawancara tersebut pada umumnya berpendidikan SMP dan SMU, beberapa orang berprofesi sebagai perangkat desa dan sebagaian adalah nelayan. Dengan menggunakan tenaga lokal yang cukup berpendidikan diharapkan dapat memperlancar dalam berkomunikasi dan memudahkan dalam menyampaikan dan mengisi pertanyaan-pertanyaan yang ada di kuesioner. Sebelum pelaksanaan survai, para pewawancara mendapat latihan selama 1 hari dari peneliti. Kemudian dilakukan uji coba wawancara terhadap 1-2 orang penduduk, sehingga mereka benar-benar memahami daftar pertanyaan, termasuk cara bertanya dengan menggunakan bahasa setempat. Semua kuesioner yang sudah terisi dikoreksi oleh peneliti untuk melihat kelengkapan data, akurasi dan konsistensi jawabannya. Seorang pewawancara terpaksa digantikan oleh orang lain karena mengalami kesulitan dalam wawancara dan diragukan akurasinya.

Pengumpulan data dengan pendekatan kualitatif dilakukan sendiri oleh dua orang peneliti PPK-LIPI melalui wawancara terbuka (open-ended interviews), observasi, diskusi kelompok terfokus (focus group discussion), dan metode PRA (Participatory Rural Appraisal). Wawancara terbuka dilakukan terhadap beberapa informan kunci yang terkait dengan subyek penelitian, antara lain tokoh masyarakat, aparat desa, guru, pedagang pengumpul, nelayan, non-nelayan, ibu-ibu dan pedagang. Wawancara terbuka juga dilakukan dengan stakehoders terkait di tingkat kecamatan seperti aparat kecamatan, petugas Puskesmas, pemilki perusahaan ketam, serta taoke. Sedangkan di tingkat kabupaten, wawancara dilakukan terhadap kepala Dinas Sumber daya alam, perikanan dan kelautan, Untuk memperoleh konfirmasi permasalahan pemilihan dan pengembangan narasumber dilakukan dengan cara ‘bola salju’ (snow balling).

Pengumpulan data kualitatif ditujukan untuk menggali lebih dalam dan memberikan nuansa dari berbagai informasi yang didapatkan dari hasil survai. Selain itu, dengan mengumpulkan data secara kualitif dapat diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif mengenai berbagai aspek kehidupan masyarakat di Desa Duara, Resun dan Teluk terutama yang terkait dengan pengelolaan sumber daya laut, khususnya terumbu karang.

Untuk lebih mendapatkan gambaran yang utuh dan pemahaman lebih komprehensif tentang lingkungan alam dan lingkungan sosial di ketiga desa penelitian serta permasalahan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya laut, khususnya terumbu karang, dilakukan juga obervasi lapangan. Observasi dilakukan baik di daratan maupun di perairan sekitar lokasi penelitian, melihat secara langsung kegiatan sehari-hari masyarakat di lokasi

Page 27: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

8

permukiman, pasar, penampungan ikan, dan di perusahaan pengolahan ketam.

Pendekatan PRA dilakukan untuk memahami permasalahan yang berkaitan dengan kegiatan nelayan di laut serta alternatif penyelesaian permasalahan sesuai dengan potensi yang dimiliki dan keinginan masyarakat. Metode PRA dilakukan bersamaan dengan diskusi terfokus (FGD) dengan peserta nelayan laki-laki antara 6-8 orang di masing-masing desa. Untuk metode PRA dilaksanakan dengan bantuan peta lokasi dan beberapa spidol berwarna, untuk memudahkan peserta dalam memahami subyek yang didiskusikan. Dengan metode ini setiap peserta diberi kesempatan untuk aktif dalam mengemukakan pendapat dan keinginannya sesuai dengan pengalaman sehari-hari berkaitan dengan kegiatannya di laut. Dalam diskusi terfokus tersebut, penekanan diskusi terutama yang berkaitan dengan potensi laut, lokasi dan kondisi terumbu karang karang dan alternatif pemecahan masalah.

Selain data primer, dalam penelitian ini juga dikumpulkan data sekunder Data sekunder yang diperoleh dari berbagai instansi terkait antara lain pemerintah daerah setempat, Dinas Sumber daya Alam, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lingga, Kecamatan Lingga Utara dan Kantor desa-kantor desa lokasi penelitian. Data sekunder yang diperoleh antara lain berupa kecamatan dalam angka, monografi desa, rencana umum tata ruang Kabupaten Lingga.

Dalam melalukan pengumpulan data, baik data kuantitatif (survai) maupun data kualitatif tidak ditemui kendala yang cukup berarti. Meskipun harus mengumpulkan data di tiga desa yang berbeda namun semuanya dapat dilakukan dengan lancar. Lokasi Desa Teluk yang cukup jauh dan terpencil tidak mengurangi semangat peneliti untuk mengumpulkan data tersebut. Bantuan dari pimpinan dan staf Kecamatan Lingga Utara dalam menghubungi perangkat Desa Teluk memperlancar jalannya penelitian karena dengan waktu yang terbatas penelitian di tiga lokasi dapat terlaksana sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Selain itu, para pewawancara yang membantu mengumpulkan data kuantitatif sangat kooperatif dan memahami dengan baik maksud dari penelitian dan pertanyaan yang harus diajukan kepada para responden. Hal ini dimungkinkan karena pewawancara berasal dari masyarakat setempat dan memahami sekali kondisi masyarakatnya.

Wawancara biasanya dilakukan pada sore dan malam hari, karena pada siang hari kebanyakan para responden bekerja. Dalam melakukan wawancara, para pewawancara mendatangi rumah masing-masing responden. Hasil pengisian kuesioner tersebut kemudian diperiksa oleh

Page 28: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

9

peneliti. Bila ada isian jawaban yang dianggap tidak konsisten maka pewawancara diminta untuk kembali kepada responden yang didatangi. Selain mengembalikan kuesioner yang telah diisi, para pewawancara tersebut seringkali memberikan informasi-informasi yang cukup menarik berkaitan dengan pemanfaatan terumbu karang. Informasi ini selain menambah pemahaman bagi peneliti juga memberikan masukan untuk menggali lebih dalam terhadap aspek terkait. Kelancaran penelitian juga tidak terlepas dari faktor masyarakat di ketiga desa penelitian. Sebelum wawancara, para perangkat desa menyebarkan informasi kepada penduduk setempat tentang akan adanya penelitian yang berkaitan dengan pemanfaatan terumbu karang. Mereka juga diberi informasi bahwa hanya 50 rumah tangga di masing-masing desa yang akan terpilih dan akan didatangi oleh pewawancara. Informasi seputar pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan juga diberikan. Cara pemilihan rumah tangga secara acak juga disampaikan kepada warga untuk menghindari terjadinya kesalah pahaman di antara mereka.

Penelitian ini dilakukan selama 14 hari pada bulan April 2006. Bulan April merupakan waktu yang dianggap baik karena kondisi laut pada waktu itu cukup tenang sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan penelitian di tiga desa. Mengingat lokasi penelitian sebagian besar harus melalui jalur laut, faktor ombak cukup berpengaruh terhadap jalannya penelitian. Bila ombak keras seperti pada bulan Januari – Maret, kondisi laut tidak stabil dan sangat berbahaya untuk melakukan perjalanan, apalagi ke Desa Teluk. Pada saat penelitian ini, untuk menuju Desa Teluk, peneliti diantar pegawai kecamatan dengan menyewa perahu kayu bermesin speed. Lama perjalanan adalah sekitar dua jam. Pada saat kembali ke Pancur, dari Desa Teluk peneliti menyewa perahu pompong dengan mesin ‘donfeng 1015’. Perjalanan dari Desa Teluk ke Pancur memakan waktu sekitar tujuh jam.

Analisa data

Analisa data menekankan pada analisa deskripsi (descriptive analysis) yang menggabungkan data kuantitaif dan kualitatif. Data dari hasil survai dianalisa dengan menggunakan tabulasi silang untuk melihat hubungan antara variabel-variabel yang diteliti. Sedangkan data kualitatif yang dikumpulkan melalui berbagai cara, dianalisa dengan teknik analisa isi (content analysis). Informasi yang diperoleh dari berbagai narasumber ini digunakan untuk menjelaskan isu pokok penelitian, serta memberikan nuansa dari data yang diperoleh melalui survai. Dengan demikian, diperoleh hasil analisa yang utuh dan komprehensif.

Page 29: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

10

1.4 Organisasi Penulisan

Buku ini merupakan hasil kajian tentang aspek sosial terumbu karang yang menggambarkan kehidupan masyarakat di tiga desa di Kecamatan Lingga Utara. Ada tujuh bab yang akan dituliskan dalam buku ini. Bab pertama merupakan pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang studi ini, tujuan dan metodologi yang dipakai dalam penelitian ini serta analisa data yang digunakan.

Bab II menguraikan tentang kondisi lokasi penelitian secara umum, sebagai bagian dari in-situ kegiatan COREMAP. Uraian pada bab ini akan memberikan gambaran beberapa aspek penting yang diharapkan dapat memberikan tentang isu-isu yang terkait dengan pengelolaan terumbu karang di lokasi penelitian. Adapun yang diuraikan dalam bab ini mencakup tentang keadaan geografis, kondisi sumber daya alam, sarana dan prasarana yang ada di lokasi penelitian tersebut, keberadaan lembaga sosial eknomi, dan kondisi kependudukan yang meliputi kualitas sumber daya manusia yang dilihat dari pendidikan dan kesehatan, serta mata pencaharian.

Pada Bab III uraian lebih berfokus pada deskripsi potret penduduk di lokasi penelitian, khususnya rumah tangga sample. Selain deskripsi tentang aspek kependudukan seperti jumlah dan komposisi penduduk serta kualitas SDM, bab ini juga membahas tentang kesejahteraan penduduk. Adapun aspek yang diungkapkan meliputi pendapatan, pengeluaran dan pemilikan aset rumah tangga. Selain itu akan diuraikan pula mengenai strategi yang dilakukan oleh rumah tangga-rumah tangga tersebut apabila mereka mengalami kesulitan keuangan.

Pengelolaan sumber daya laut disajikan di Bab IV. Bab ini antara lain menguraikan tentang keterlibatan stakeholders dalam pengelolaan sumber daya laut yang meliputi wilayah pengelolaan, teknologi pengelolaan dan hubungan kerja antara mereka yang terlibat dalam pengelolaan. Selain itu, diuraikan pula tentang pengetahuan dan sikap penduduk setempat terhadap pengelolaan sumber daya laut.

Bab V dalam buku ini menyajikan tentang produksi dan pengelolaan sumber daya laut. Adapun yang menjadi fokus tulisan adalah mengenai besar hasil produksi sumber daya laut yang dikaitkan dengan teknologi penangkapan, pemanfaatan hasil produksi serta rantai pemasaran dari hasil produksi tersebut.

Page 30: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

11

Bab VI mengemukakan tentang dampak pengelolaan terhadap kualitas sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Selain itu, dijelaskan tentang faktor-faktor yang berpengaruh. Pembahasan dalam bab ini lebih dititikberatkan pada permasalahan degradasi sumber daya laut dikaitkan dengan faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi kondisi tersebut.

Bagian akhir dalam buku ini merupakan diskusi dan kesimpulan dari hasil studi yang mencakup juga masukan-masukan yang dapat dipertimbangkan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan kegiatan COREMAP.

Page 31: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

12

Page 32: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

13

BAB II KONDISI LOKASI PENELITIAN

2.1 Keadaan Geografis

Kecamatan Lingga Utara merupakan kecamatan baru yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Riau Nomor 1 Tahun 2003. Secara administratif Kecamatan Lingga Utara masuk kedalam wilayah Kabupaten Lingga, yang juga merupakan kabupaten baru. Kabupaten Lingga yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Kepulauan Riau dibentuk berdasarkan Undang Undang RI nomor 31 tahun 2003.

Secara geografis wilayah Kabupaten Lingga dibatasi oleh koordinat 0o 00" -1o00" Lintang Selatan dan 103o30" – 105o00" Bujur Timur. Luas wilayah Kabupaten Lingga sekitar 211.772 kilometer persegi. Kabupaten ini terdiri dari 377 pulau besar dan kecil, dan pulau yang dihuni hanya sekitar 94 pulau (RUTR Kabupaten Linga, 2003). Kecamatan Lingga Utara terletak di Pulau Lingga, berdekatan dengan Kecamatan Lingga dan Kecamatan Senayang. Luas wilayah Kecamatan Lingga Utara sebagian besar adalah daratan, sekitar 283.21 kilometer persegi. Kecamatan Lingga Utara terdiri dari enam desa, yaitu Desa Duara, Sekanah, Resun, Limbung, Bukit Harapan dan Teluk.

Kondisi topografis Kecamatan Lingga Utara hampir sama dengan Kecamatan Lingga yang mempunyai wilayah berbukit-bukit sampai bergunung-gunung. Adapun kemiringan lereng bervariasi antara 0-3 persen, 3 – 15 persen dan lebih dari 40 persen. Sebagian lahan masih berupa hutan yang belum dikelola secara produktif. Sebagian wilayah di Kecamatan Lingga Utara, merupakan daerah yang cocok untuk pertanian lahan kering seperti di Desa Resun (RUTR Kabupaten Lingga, 2003).

Desa-desa yang berada di wilayah kecamatan ini merupakan desa pantai, antara desa satu dengan desa yang lain dibatasi dengan laut. Perairan di Kecamatan Lingga Utara merupakan perairan dangkal, dengan kedalaman laut termasuk dangkal, antara 5 – 10 meter. Kondisi pantai termasuk datar dengan tanah berpasir. Beberapa pulau terdapat di sekitar Kecamatan Lingga Utara, antara lain adalah Pulau Mentulat, Pulau Lleuh, Pulau Alut, Pulau Ujung Betung dan Pulau Ponguk.

Page 33: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

14

Bila dilihat dari iklimnya, terdapat musim kemarau dari Januari sampai Juni dan musim basah cenderung tidak teratur sampai akhir tahun. Keadaan iklim di wilayah ini sangat dipengaruhi oleh gelombang laut. Pada musim gelombang kuat biasanya jatuh pada bulan Agustus - Desember, angin datang dari arah timur dan seringkali mempengaruhi keadaan pasang surut. Kuatnya gelombang laut ini cukup mengganggu transportasi melalui jalur laut. Sementara dilihat dari temperaturnya, tidak ada data khusus untuk Kecamatan Lingga Utara, namun kemungkinan besar sama dengan kondisi Kabupaten Lingga secara keseluruhan yaitu antara 25C – 27C dengan curah hujan rata-rata per tahun mencapai 7,6mm – 1.000 mm (RURT Kabupaten Lingga, 2003).

Secara umum perkembangan musim yang ada di ketiga lokasi penelitian dapat digambarkan sebagai berikut: pada bulan 1 – 5 adalah musim pancaroba, ulan 5 – 8 merupakan musim ombak lemah, sedangkan musim ombak kuat adalah ada bulan 9 – 12.

Peta 2.1

Seperti telah disebutkan sebelumnya, lokasi penelitian di Kecamatan Lingga Utara mencakup tiga desa, yaitu Desa Duara, Desa Resun dan Desa Teluk. Desa Duara merupakan ibukota kecamatan Lingga

Page 34: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

15

Utara. Luas desa ini sekitar 59,55 kilometer persegi, terletak sekitar dua kilometer dari pusat pemerintah Kecamatan Lingga Utara dan sekitar 16 kilometer dari ibukota Kabupaten Lingga yang terletak di Kecamatan Daik. Secara geografis, Desa Duara merupakan desa yang terletak di pinggir pantai yang cukup datar. Di tengah Desa Duara terdapat sebauh sungai besar yang disebut dengan Sungai Besar. Perairan di sungai ini cukup ramai karena dapat dilalui oleh berbagai kendaraan perahu motor yang akan menuju ke pasar Pancur yang terletak di dekat Pelabuhan Pancur. Di Desa Duara terdapat sebuah tanjung yang dikenal dengan Tanjung Mana. Di sebelah barat tanjung tersebut terdapat Pulau Mentulat yang sering didatangi oleh para nelayan karena di sekitar pulau tersebut terdapat banyak ketam. Di sebelah utara Tanjung Mana terdapat gugusan terumbu karang yang disebut dengan terumbu air lang.

Peta 2.2

Sedangkan Desa Resun, merupakan sebuah desa pesisir yang tidak begitu luas, wilayahnya hanya sekitar 0.4 kilometer persegi. Desa ini terletak di sebelah selatan Desa Duara. Desa Resun terletak sekitar 10 kilometer dari pusat pemerintah Kecamatan Lingga Utara dan sekitar 13 kilometer dari Daik. Desa Resun merupakan desa pesisir dengan ketinggian tanah sekitar 500 meter dari permukaan air laut. Wilayah Desa Resun terbagi menjadi tiga dusun, di mana salah satu dusunnya (Dusun Pasirlulun) terletak terpisah oleh laut. Dari tiga dusun yang ada di Desa Resun, dua di antaranya (Dusun Tanjung Bungsu dan Dusun Pasirlulun) adalah desa nelayan. Di Desa Resun

Page 35: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

16

terdapat dua buah sungai yaitu Sungai Kasar Bantu dan Sungai Lukut. Selain sungai, di desa ini terdapat dua buah buah tanjung yang disebut dengan Tanjung Asu dan Tanjung Tagur, terletak di Dusun Pasirlulun. Di dekat Tanjung Tagur terdapat gugusan karang, yaitu karang malang kilah. Di perarian sekitar Dusun Pasirlulun ini juga terdapat gugusan karang hidup yaitu karang puakak mati dan karang kasar yang terletak di dekat karang makilah. Di sebelah timur agak jauh dari karang kasar tersebut terdapat karang hidup yang terletak di dekat Pulau Alut. Di peraiaran antara Dusun Tanjung Bungsu dan Dusun Pasirlulun terdapat gugusan karang, yang dikenal dengan sebutan karang porong.

Sementara desa ketiga adalah Desa Teluk yang terletak sekitar 93 kilometer atau 26,56 mil dari pusat pemerintahan kecamatan. Dibandingkan dengan jarak ke pusat pemerintahan kecamatan, lokasi desa ini relatif lebih dekat ke pusat pemerintahan kabupaten (sekitar 82 kilometer). Meskipun secara geografis Desa Teluk terletak dekat dengan pusat pemerintahan kabupaten, namun desa ini cukup terpencil dengan segala keterbatasan sarana dan prasarana.

Desa Teluk merupakan desa yang dikelilingi oleh lautan dan berbatasan langsung dengan laut Cina Selatan. Desa Teluk dilalui oleh beberapa sungai yaitu Sungai Liang, Sungai Tebing, Sungai Dungun dan Sungai Cansil. Di sebelah timur laut teluk terdapat sebuah tanjung, yaitu Tanjung Kriting. Di sekitar wilayah Desa Teluk terdapat beberapa pulau yaitu Pulau Kojong, Pulau Hantu, Pulau Sunsar, Pulau Batu Sadai, Pulau Sayak dan Pulau Kukar. Selain itu, terdapat juga beberapa busung (gundukan pasir yang meninggi) yang terletak di dekat Pulau Sayak. Masyarakat setempat menyebutnya busung ketam karena di tempat itu terdapat banyak ketam (rajungan). Desa Teluk juga memiliki beberapa gugusan karang, antara lain karang segompel, karang itir, dan karang semulan.

Kondisi perairan di sekitar Desa Teluk sangat dipengaruhi oleh Laut Cina Selatan. Pada musim angin utara, angin bertiup sangat kencang sehingga tidak memungkinkan masyarakat untuk pergi melaut. Begitu kencangnya angin di musim utara seringkali menyebabkan tumbangnya bagan apung tempat mereka mencari ikan.

Secara administratif, Desa Teluk terdiri dari dua dusun, yaitu Dusun I dan Dusun II dan terbagi dalam 8 RT (rukun tetangga). Meskipun berada dalam satu desa kedua dusun yang berada dalam wilayah Desa Teluk mempunyai karakter yang berbeda. Dusun I merupakan daerah pertanian di mana sebagian besar penduduknya adalah petani, terutama petani kebun sagu.

Page 36: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

17

Sementara Dusun II adalah dusun nelayan karena hampir semua pendudunya mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan.

2.2. Kondisi Sumber Daya Alam

Seperti halnya Kabupaten Lingga secara keseluruhan yang mempunyai sumber daya alam dan sumber daya laut yang sangat potensial, sumber daya alam yang terkenal di Kecamatan Lingga Utara adalah hutan dan perkebunan, selain sumber daya kelautan.

Demikian halnya di ketiga desa penelitian, terdapat sumber daya alam dan sumber daya laut yang cukup potensial. Potensi sumber daya laut di ketiga lokasi penelitian cukup variatif, masing-masing berbeda sesuai dengan potensi wilayahnya. Desa Duara mempunyai potensi sumber daya alam dan sumber daya laut. Sumber daya alam yang ada di desa ini didominasi oleh sumber daya berupa kehutanan dan perkebunan. Desa Duara yang mempunyai banyak wilayah perbukitan yang sangat berpotensi untuk ditanami cokelat. Selain itu, di sektor kehutanan yang paling menonjol adalah kayu hutan. Kayu hutan telah dikelola oleh beberapa perusahaan untuk dibuat papan yang menyerap banyak tenaga kerja setempat. Oleh penduduk setempat perusahaan tersebut dikenal dengan sebutan perusahaan kilang papan. Di samping sumber daya hutan yang kayu, Desa Duara juga memiliki sumber daya perkebunan utamanya sagu yang luasnya mencapai 39 hektar dan dan perkebunan kelapa sawit seluas 30 hektar (Monografi Desa Duara, 2006).

Sementara sumber daya laut yang banyak terdapat di perairan sekitar Desa Duara adalah ketam bakau (rajungan) dan berbagai jenis ikan seperti ikan sunu, ikan dingkis, ikan kembung, ikan bilis (teri). Ketam bakau sangat potensial dan melimpah karena tidak mengenal musim. Harga ketam bakau juga termasuk tinggi. Untuk ketam tipe A satu kilo berharga sekitar Rp. 60,000. Di Desa Duara ada empat perusahaan yang mengolah ketam. Perusahan tersebut tidak hanya mengolah ketam yang diperoleh nelayan setempat saja, tetapi juga menerima ketam dari para nelayan dari desa lain. Penduduk Desa Duara memanfaatkan sumber daya perikanan yang ada dengan membuat kelong (bagan tancap) dan pukat ikan.

Sementara untuk Desa Resun, sumber daya alam yang ada berupa pertanian buah-buahan, kehutanan dan perkebunan, salah satunya adalah perkebunan sahang (lada). Sementara sumber daya laut yang menjadi andalan Desa Resun cukup variatif. Meskipun merupakan satu wilayah desa, sumber daya laut andalan dari masing-masing dusun nelayan di Desa Resun berbeda. Ikan

Page 37: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

18

kerapu yang dibudidayakan merupakan salah satu andalan para nelayan Dusun Pasirlulun. Di Dusun Pasirlulun ini ikan kerapu sunu dapat dibudidayakan dengan baik dan hasilnyapun cukup tinggi. Selain kerapu sunu, cumi-cumi juga merupakan sumber daya laut yang cukup potensial di Dusun Pasirlulun. Sementara itu, Dusun Tanjung Bungsu yang juga merupakan bagian dari Desa Resun, memiliki sumber daya laut berupa ketam bangka dan ikan bilis. Selain ketam bakau, ikan kerapu sunu merupakan andalan dari Desa Resun. Salah satu dusun di Desa Resun, yaitu Dusun Pasirlulun mempunyai potensi yang cukup tinggi dalam pengembangan budidaya ikan kerapu yang memiliki pangsa lokal (Batam dan Tanjung Pinang) maupun tujuan ekspor terutama ke Singapura.

Seperti halnya di kedua desa sebelumnya, Desa Teluk juga memiliki sumber daya alam dan sumber daya laut. Di Desa ini terdapat hutan sagu yang cukup luas. Perkebunan sagu yang telah dikelola oleh penduduk setempat seluas kurang lebih 40 hektar (Monografi Desa Teluk, 2006). Saat ini perkebunan sagu tersebut masih dikelola secara tradisional. Dalam hal ini hasil produksi sagu selain merupakan sumber makanan pokok untuk penduduk Desa Teluk, sebagaian sagu dijual ke Daik. Pada saat penelitian harga sagu basah satu ton sekitar Rp. 650.000. Kalau dijual per kiloan harga sagu mencapai Rp. 9000 per kilogram. Harga tersebut adalah harga yang dibayarkan kepada petani bila sagunya dijual ke pedagang pengumpul di Lubuk. Sementara bila sagu dijual pada penampung dari Batam yang datang ke Desa Teluk (tiga kali dalam seminggu), harga sagu dapat mencapai Rp. 12000 per kilogram. Meskipun harganya jual saqgu lebih tinggi bila dijual kepada penampung dari Batam, namun karena, para petani sagu di Desa Teluk sudah terlanjur terikat dengan taoke di dusun Lubuk maka mereka cenderung menjual kepada toke tersebut meskipun dengan harga yang relatif lebih murah.

Selain perkebunan sagu, Desa Teluk terkenal dengan sumber daya laut baik yang berupa perikanan maupun terumbu karang yang masih bagus. Dibandingkan dengan Deas Duara dan Desa Resun, sumber daya laut yang ada di Desa Teluk lebih bervariasi. Di sekitar Desa Teluk terdapat berbagai macam jenis ikan, ketam, dan udang. Selain itu, berbagai jenis kerang-kerangan seperti lola, gonggong, lokan dan siput batu juga terdapat di desa ini. Di sekitar Desa Teluk, tepatnya di Pulau Labuah Ujung, terdapat tempat berkembang biaknya penyu. Di sekitar pulau tersebut banyak sekali dijumpai telur-telur penyu. Selain itu, di Desa Teluk juga terdapat hutan bakau namun saat ini kondisinya dikawatirkan mulai rusak karena adanya penebangan bakau untuk dijadikan arang.

Page 38: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

19

Selain potensi dari sumber daya hutan sagu dan hutan bakau, Desa Teluk juga memiliki potensi wisata bahari yang cukup indah untuk dikembangkan. Pemandangan alam di sekitar Desa Teluk sangat bagus, merupakan perpaduan antara laut dan perbukitan. Desa Teluk juga mempunyai sebuah pulau (Pulau Hantu) yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai lokasi wisata bahari. Di pulau tersebut masih terdapat berbagai macam jenis burung, yang paling banyak adalah burung punai. Di sekitar Desa Teluk juga terdapat kawasan pasir putih (kuarsa) yang sangat indah. Namun, pasir tersebut sudah mulai ditambang sebagai bahan pembuat kaca.

Informasi yang diperoleh dari nara sumber di lapangan menunjukkan bahwa sumber daya alam yang ada di Desa Teluk direncanakan akan segera dikembangkan. Salah satu usaha yang direncanakan adalah mengembangkan Desa Teluk sebagai lokasi pariwisata. Desa Teluk merupakan salah satu kawasan yang diusulkan dalam program Konservasi Kawasan Laut Daerah (KKLD). Salah satu program yang diusulkan adalah pengembangan budidaya ikan. Dengan adanya budidaya ikan aktivitas penangkapan ikan diharapkan akan berkurang sehingga selain dapat menjaga kelestarian lingkungan laut juga dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan. Hal ini diusulkan berdasarkan kenyataan bahwa pekerjaan nelayan tangkap hasilnya tidak dapat diprediksikan karena dalam satu tahun hanya beberapa bulan saja yang sangat efektif. Bila musim ombak kuat seperti musim utara yang seringkali terjadi pada bulan Januari – Maret, nelayan Desa Teluk praktis tidak dapat melaut. Bagan-bagan apung merekapun banyak yang tumbang.

2.3. Sarana, Prasarana dan Aksesibilitas

Dilihat dari aksesibilitas terhadap transportasi, di antara ketiga desa yang merupakan lokasi penelitian, Desa Duara merupakan desa yang paling mudah dijangkau karena merupakan ibukota Kecamatan Lingga Utara dan mempunyai dusun Pancur yang merupakan pusat kegiatan ekonomi dari Kecamatan Lingga Utara. Dusun Pancur memiliki sebuah pelabuhan yang digunakan sebagai tempat berlabuh baik kapal penumpang maupun kapal kargo. Kapal penumpang yang berupa feri dengan kapasitas penumpang sekitar 65 orang dan sebuah speedboat siap mengangkut penumpang setiap hari untuk tujuan Pancur – Tanjung Pinang dan sebaliknya. Pancur – Tanjung Pinang dan sebaliknya dapat ditempuh dengan kapal feri biasa sekitar enam jam. Namun, bila menggunakan speedboat hanya memerlukan waktu sekitar dua - tiga jam. Speedboat tersebut mulai beroperasi awal tahun 2005.

Page 39: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

20

Setelah Kabupaten Lingga yang beribukota di Daik dibentuk, lalulintas pelabuhan Pancur menjadi semakin ramai. Hal ini dikarenakan orang-orang yang akan bepergian dari Daik ke Tanjung Pinang dan sebaliknya dapat melalui Pancur dengan menggunakan speedboat. Sebetulnya ada juga kapal dari dan ke Daik - Tanjung Pinang namun waktu tempuh lebih lama karena menggunakan super jet tujuan Dabo, kemudian turun di dermaga Jago. Dari dermaga Jago kemudian pindah ke kapal kecil ke dermaga Tanjung Buton yang memakan waktu sekitar 30 menit. Sebailknya, bila mau ke Tanjung Pinang melalui Pancur, dibutuhkan waktu yang relatif singkat karena dari Daik ke Pancur hanya membutuhkan waktu 30 menit dengan menggunakan speedboat, kemudian dari Pancur dapat langsung ke tanjung Pinang dengan naik speedboat selama 2 jam. Dengan demikian perjalanan dari Daik ke Tanjung Pinang melalui Pancur dapat menghemat waktu tempuh sekitar satu jam.

Dari ketiga desa lokasi penelitian, Desa Teluk merupakan desa yang mempunyai akses transportasi relatif terbatas. Untuk mencapai Desa Teluk dari Pancur diperlukan waktu dua jam dengan menggunakan kapal bermesin speed, sementara bila menggunakan pompong dengan mesin berkapasitas sekitar 15 PK, diperlukan waktu sekitar enam jam. Dari Pancur, tidak ada transportasi umum untuk menuju Desa Teluk. Bila tidak mempunyai pompong, untuk mencapai Desa Teluk pada umumnya masyarakat setempat harus mencarter pompong dengan ongkos sewa sekitar Rp. 200.000 – Rp. 300,000. Sewa tersebut akan lebih mahal bila menggunakan kapal dengan mesin berkapasitas lebih tinggi. Pada saat penelitian ini berlangsung, peneliti harus membayar Rp. 1.000.000 untuk menyewa perahu dengan mesin speed dari Pancur ke Desa Teluk. Mahalnya ongkos sewa perahu ini juga dirasakan oleh penduduk Desa Teluk, terutama pedagang yang bepergian ke Pancur. Menurut informasi seorang pedagang, dalam satu trip ke Pancur untuk menjual hasil, dia harus mengeluarkan biaya sekitar Rp. 500.000 – Rp. 600.000 per trip. Selain dengan kapal, Desa Teluk dapat dicapai melalui jalan darat dari Daik atau dari Desa Resun. Dari pancur ke Desa Resun, dapat menggunakan pompong sewaan dengan ongkos sekitar Rp. 70.000, setelah itu naik ojek dari Desa Resun ke Desa Teluk dengan ongkos sekitar Rp. 30.000 sekali jalan. Sementara dari Daik, untuk menuju Desa Teluk dapat menggunakan kendaraan bermotor roda empat. Namun bila hujan, jalanan menjadi sangat licin. Kendaraan yang digunakan adalah kendaraan bermotor roda dua, dan jika harus menyewa ojek, ongkosnya sekitar Rp. 50.000 sekali jalan dengan lama perjalanan sekitar satu jam. Selain kapal-kapal milik nelayan, ojek merupakan sarana transportasi yang tersedia di Desa Teluk, untuk menghubungkan antara Desa Teluk dengan desa-desa lainnya ataupun untuk menuju Daik. Ongkos ojek relatif mahal,

Page 40: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

21

namun karena tidak ada pilihan lain, masyarakat tetap menggunakan alat transportasi tersebut.

Minimnya sarana transportasi di Desa Teluk mengakibatkan masyarakat nelayan kesulitan dalam menjual hasil tangkapannya. Dengan pertimbangan menghemat biaya untuk menuju ke pasar yang lebih besar (Pancur), pada umumnya nelayan Desa Teluk menjual hasil tangkapan di sekitar desa saja dengan harga yang relative lebih murah bila dibandingkan dengan harga yang ada di Pancur. Selain itu, harga-harga kebutuhan sehari-hari menjadi lebih mahal bila dibandingkan dengan daerah lain yang mempunyai sarana transportasi cukup memadai.

Sementara itu, akses masyarakat terhadap informasi dan komunikasi di Desa Duara cukup memadai, sedangkan di Desa Resun dan Teluk relatif terbatas. Meskipun terbatas, di Desa Duara sudah ada jaringan listrik PLN, sehingga masyarakat memilki televisi, radio ataupun parabola. Oleh karena itu, masyarakat di Desa Duara relatif lebih mudah mengakses informasi. Demikian halnya dengan sarana untuk komunikasi, kebanyakan masyarakat setempat sudah dapat menggunakan sarana telepon seluler dengan signal yang cukup bagus. Selain itu, di Desa Duara juga terdapat beberapa warung telepon umum (wartel) yang dapat digunakan dengan membayar sesuai dengan lama pembicaraan. Sebaliknya, sarana informasi seperti media cetak dan elektronik tidak memadai. Kalaupun ada televisi atau radio pada umumnya mereka gunakan untuk memperoleh hiburan. Sementara sarana komunikasi dilakukan dengan menggunakan telepon seluler meskipun dengan sangat terbatas. Di Desa Teluk bahkan signal untuk telepon selulerpun tidak dapat diperoleh sehingga komunikasi cukup sulit. Untuk berkomunikasi mereka menggunakan sarana handy talkie. Di Desa Teluk hanya tersedia dua set handy talkie yang sering digunakan kepala desa setempat untuk berkomunikasi dengan pihak kecamatan maupun kabupaten. Handy talkie tersebut merupakan sumbangan dari Bupati Lingga. Ketersediaan handy talkie tersebut sangat membantu penduduk setempat terutama jika ada informasi dari kecamatan atau desa-desa lain yang harus segera disampaikan.

Fasilitas listrik dan air bersih baru dinikmati oleh penduduk Desa Duara. PLN mulai masuk ke Desa Duara sejak akhir tahun 1990an, namun listrik hanya menyala dari jam 6 sore – 6 pagi. Sebagian masyarakat mendapatkan energi listrik baik untuk penerangan maupun menyalakan televisi dan radio dengan menggunakan generator. Sedangkan fasilitas air bersih baru tersedia sekitar tahun 2004 yang dikelola oleh pihak swasta. Air dialirkan ke rumah-rumah penduduk secara bergilirian setiap dua hari sekali. Untuk Desa Resun

Page 41: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

22

dan Desa Teluk, fasilitas listrik sangat terbatas. Penduduk memdapatkan penerangan listrik dari generator yang dinyalakan setalah pukul 18.00.

Di ketiga desa lokasi penelitian terdapat sarana prasarana social ekonomi terutama sekolah. Namun demikian, hanya Desa Duara yang memiliki sarana sekolah setingkat SMU. Sementara Desa Resun dan Desa Teluk hanya memiliki sekolah dasar dengan kondisi yang cukup sederhana. Apabila ada warga masyarakat dari dua desa tersebut ingin melanjutkan sekolah yang lebih tinggi maka mereka harus pergi ke Pancur. Sejak dua tahun yang lalu, pemerintah Kecamatan Pancur telah mengusakan dua pompong sebagai sarana transportasi antar jemput bagi pelajar yang akan bersekoah di Pancur. Sebagai imbalannya, seorang pelajar diwajibkan untuk membayar ongkos Rp. 1000 untuk berangkat dan pulang. Tersedianya fasilitas kendaraan laut untuk jemputan bagi anak-anak sekolah desa pulau tersebut merupakan suatu usaha yang cukup baik karena memberikan kemudahan bagi anak-anak yang ingin menuntut pendidikan tingkat SLTP. Bagi anak-anak Desa Teluk, pada umumnya mereka melanjutkan sekolah tingkat SLTP di Daik atau beberapa di antara mereka mengambil sekolah SLTP terbuka yang ada di Desa Teluk sendiri. Menurut informasi yang diperoleh di lapangan, tinginya biaya transportasi dari Desa Teluk menyebabkan mereka memilih untuk indekost di daik dengan biaya yang cukup mahal. Sedangkan mereka yang kurang mampu terpaksa harus puas dengan menempuh pendidikannya di SLTP terbuka di desanya.

Sementara fasilitas kesehatan seperti pusat kesehatan masyarakat, hanya Desa Duara memiliki fasilitas yang cukup lengkap. Selain puskesmas, Desa Duara juga memiliki balai-balai pengobatan yang dikelola oleh kelompok keagamaan. Di Desa Duara juga terdapat sekitar 5 buah posyandu. Sedangkan fasilitas kesehatan di Desa Resun dan Desa Teluk cukup terbatas. Di dua desa tersebut hanya ada puskesmas pembantu yang dilayani oleh seorang perawat. Di Desa Teluk terdapat sebuah pos klinik keluarga berencana (KB) dan 3 buah posyandu.

Fasilitas kesehatan Desa Teluk cukup memprihatinkan. Meskipun telah dibangun sebuah pondok bersalin desa (polindes) namun bangunan tersebut sudah rusak dan kosong karena bidan desa jarang berada di tempat. Untuk pelayanan kesehatan, masyarakat desa Teluk dilayani oleh seorang mantri kesehatan. Mengingat lokasi desa yang sangat terpencil, fasilitas kesehatan sangat diperlukan terutama bila memerlukan pertolongan yang sifatnya gawat darurat. Minimnya fasilitas kesehatan yang ada cukup mengkawatirkan penduduk setempat, seperti disampaikan oleh seorang ibu di desa ini.

Page 42: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

23

Pada tahun pertengahan 2005, anak perempuan Ibu Tenung sedang mengandung 7 bulan. Ibu hamil tersebut mengeluarkan air terus menerus selama beberapa hari. Bu Tenung mengira air ketuban anak perempuannya sudah pecah sebagai pertanda bahwa anaknya akan segera melahirkan. Ibu muda tersebut diperiksakan ke seorang mantri kesehatan dan hanya diberi obat. Pada saat kandungan menginjak usia 8 bulan, si ibu akhirnya melahirkan dengan pertolongan seorang dukun bayi. Ternyata bayi yang dilahirkan sudah meninggal dan si ibu mengalami pendarahan yang cukup serius karena plasenta tidak dapat keluar. Dukun yang menolong kelahiran tidak dapat berbuat banyak padahal kondisi si ibu semakin kritis. Akhirnya dengan pertolongan kerabat yang tinggal di Daik ibu muda tersebut dilarikan ke RSUD Daik dengan mencarter perahu speed karena tidak adanya transportasi umum untuk menuju ke Daik yang merupakan ibukota Kabupaten Lingga. Setelah dirawat selama 10 hari barulah ibu muda tersebut diperbolehkan pulang.

Cerita di atas hanyalah salah satu contoh yang menggambarkan betapa sulitnya masalah pelayanan kesehatan di desa Teluk. Kejadian-kejadian lain yang serupa seperti ibu hamil yang meninggal karena komplikasi masih terdengar di desa ini. Mengingat lokasi yang cukup terpencil, sudah seharusnya desa ini dilengkapi dengan fasilitas kesehatan yang cukup memadai. Saat penelitian ini berlangsung, selain seorang mantri kesehatan dan seorang bidan, ada lima orang dukun bayi dan tiga orang dukun yang menyediakan pelayanan di Desa Teluk.

Sementara fasilitas ekonomi seperti pasar, hanya terdapat di Desa Duara yang berpusat di Pancur. Selain pasar tradional, di Pancur terdapat banyak toko baik yang menjual antara lain barang kelontong, sembako, alat-alat perkantoran, baju-baju, peralatan rumah tangga, alat-alat bangunan, dan obat-obatan. Selain itu, terdapat juga beberapa warung telekomunikasi (wartel) yang menyediakan pelayanan sambungan jarak jauh (SLJJ). Pancur merupakan pusat kegiatan ekonomi Kecamatan Lingga Utara yang tidak saja didatangi oleh para pembeli dan penjual dari lingkungan kecamatan saja, tetapi juga pedagang dari luar wilayah seperti dari Tanjung Pinang dan Jambi. Di Pancur saja, terdapat empat taoke besar yang merupakan pedangang ikan dengan omset yang cukup besar dan dengan jaringan dagang yang cukup luas, tidak saja di sekitar Pancur saja tetapi sampai ke Batam dan bahkan Singapura. Dengan adanya pusat niaga Pancur yang

Page 43: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

24

terletak di Desa Duara ini tentu saja berimplikasi pada adanya kesejangan sarana prasarana sosial ekonomi antara Desa Duara dengan desa-desa lainnya di wilayah Kecamatan Lingga Utara.

Fasilitas ekonomi di Desa Resun dan Desa Teluk sangat terbatas. Di Desa Resun, hanya ada beberapa toko kecil yang menyediakan kebutuhan sehari-hari. Khusus untuk permukiman nelayan, Dusun Tanjung Bungsu, ada pedagang dari dusun lain yang menjual sayur-sayuran secara berkeliling. Pedagang tersebut datang ke Dusun Tanjung Bungsu seminggu dua kali untuk menjual sayur-sayuran dan bumbu-bumbu dapur, sekalian membeli ikan dari nelayan Tanjung Bungsu untuk dijual ke dusun-dusun yang lain.

Keterbatasan sarana dan prasarana ekonomi seperti pasar atau pertokoan sangat berpengaruh terhadap tingginya harga-harga yang dijual di desa tersebut. Di Desa Teluk misalnya, harga-harga kebutuhan sehari-hari jauh di atas harga yang ada di Desa Duara. Untuk barang-barang kebutuhan sehari-hari seperti gula, selisih harga antara Desa Teluk dan Pancur mencapai Rp. 1000 per kilogramnya. Pada saat penelitian ini berlangsung (April 2006), harga 1 kilogram gula pasir mencapai Rp. 8000, harga beras Rp. 5000 per kilogram, harga kopi Rp. 2500 sebungkus kecil (50 gram) dan harga minyak tanah sekitar Rp. 4000 per botol kecap (0.63 liter). Solar per gia (5 liter) dijual Rp. 28.000. Sedangkan harga satu bungkus rokok yang paling murah adalah Rp. 3000. Tingginya harga-harga ini dirasakan sangat menyulitkan bagi kehidupan masyarakat, khususnya nelayan. Padahal, para nelayan ini biasanya adalah para perokok dan peminum kopi. Menurut informasi dari seorang ibu isteri nelayan, dalam satu hari suaminya menghabiskan rata-rata 2 bungkus rokok.

2.4 Kelembagaan sosial ekonomi

Secara umum terdapat beberapa kelembagaan sosial kemasyarakatan yang ada di desa-desa lokasi penelitian. Kelembagaan yang ada di setiap desa terutama adalah Badan Perwakilan Desa (BPD), PKK, dan majelis taklim. Kegiatan BPD pada umumnya adalah melakukan sosialisasi mengenai kebijakan dan program-program dari pemerintah. Keanggotaan BPD dipilih langsung oleh masyarakat. Para anggota BPD adalah orang-orang yang dianggap dapat mewakili masyarakat untuk memberi masukan kepada perangkat desa dalam mengambil suatu keputusan desa. Sementara kegiatan PKK, seperti pada umumnya adalah berkaitan dengan kegiatan ibu-ibu. Kegiatan yang dilakukan adalah berkaitan dengan masalah keluarga sesuai dengan program-program pokoknya termasuk pendidikan, kesehatan dan tata laksana keluarga. Pertemuan-pertemuan PKK biasanya diadakan setiap

Page 44: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

25

bulan. Selain perkumpulan-perkumpulan tersebut, di desa penelitian terdapat perkumpulan yang bersifat keagamaan dalam wadah majelis taklim. Majelis taklim ini merupakan kelembagaan sosial keagamaan yang mempunyai kegiatan utama pengajian. Kelompok pengajian ini terdiri dari kelompok ibu-ibu dan kelompok bapak-bapak. Sementara kelembagaan social yang ada di kalangan remaja adalah perkumpulan remaja masjid.

Berdasarkan data dari Monografi Desa tahun 2005, di Desa Duara terdapat kelembagaan BPD dengan jumlah pengurus sebanyak 13 orang. Anggota BPD di Desa Duara cukup aktif. Selain BPD, kelembagaan yang ada di tingkat desa adalah PKK dengan jumlah tim penggerak PKK sebanyak 28 orang. Sementara majelis taklim terdiri dari 13 kelompok dengan anggota mencapai 130 orang, Selain itu di Desa Duara terdapat 13 kelompok remaja masjid dengan anggota sebanyak 260 orang dan 1 kelompok remaja gereja dengan jumlah anggota 20 orang. Sementara kelembagaan sosial ekonomi yang ada di Desa Resun meliputi Pramuka Gudep sebanyak 1 kelompok, 1 kelompok karang taruna, 1 kelompok PKK dan 8 kelompok Dasa Wisma. Adapun majelis taklim sebanyak 3 kelompok dengan anggota sebanyak 75 orang dan 4 kelompok remaja masjid dengan anggota 45 orang. Desa Teluk memiliki majelis taklim sebanyak 4 kelompok dengan anggota 110 orang dan dasa wisma sebanyak 4 kelompok.

Kelembagaan-kelembagaan sosial yang ada di ketiga desa penelitian, baik yang berbentuk seperti dasa wisma maupun kelompok-kelompok pengajian cukup potensial bila digunakan untuk mendukung program COREMAP. Hal ini dikarenakan pertemuan-pertemuan yang diadakan sebagai bentuk kegiatan lembaga tersebut cukup intens. Selain itu, kelembagaan ini juga melibatkan remaja dan orang rua, baik laki-laki maupun perempuan. Kelembagaan ini bila dikembangkan kemungkinan akan dapat mendukung program COREMAP. Dengan menggunakan kelembagaan yang sudah ada di masyarakat akan lebih efektif daripada harus membentuk lembaga baru. Namun demikian, memanfaatkan lembaga yang sudah ada di masyarakat tidak selalu menjamin bahwa program akan berjalan dengan baik. Banyak faktor yang turut berpengaruh terhadap kelangsungan suatu program. Kasus Desa Sekanah misalnya. Pada awal-awal pembentukan kelompok-kelompok masyarakat untuk pelaksanaan program COREMAP berjalan dengan baik. Wawancara dengan perangkat desa dan mantan pengurus COREMAP di Desa Sekanah diperoleh informasi bahwa program COREMAP yang sempat berhasil dilaksanakan di desa tersebut sulit dilaksanakan untuk fase II tanpa adanya perbaikan-perbaikan di beberapa hal. Program COREMAP selama ini dipandang hanya berfokus pada masalah sosialisasi saja. Payung hukum untuk pelaksanaan kegiatan dianggap belum jelas, meskipun sudah ada

Page 45: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

26

peraturan desa yang mengatur namun hal ini dianggap malah memicu terjadinya benturan-benturan. Menurut informasi yang diperoleh di lapangan, kesalahan yang sebaiknya tidak diulang apabila akan melaksanakan program COREMAP adalah keterbukaan dari pihak-pihak yang terlibat di dalam kelompok-kelompok masyarakat (pokmas-pokmas) untuk kegiatan COREMAP.

Menurut beberapa informan di Desa Sekanah, kekurangan yang ada di masa lalu berkaitan dengan pelaksanaan program Coremap adalah kurangnya keterbukaan Field Fasilitator maupun para anggota Pokmas yang terlibat. Kegiatan COREMAP dianggap hanya menguntungkan sebagian masyarakat saja. Dalam pertemuan dengan perangkat desa dan beberapa mantan anggota Pokmas COREMAP, ada 8 butir masukan seandainya COREMAP tahap II akan dilaksanakan. Kedelapan butir masukan tersebut adalah sebaagi berikut:

• Sepakat fase II sebaiknya melibatkan semua masyarakat, tidak hanya perwakilan-perwakilan tertentu saja

• Perlu dibuat MPA ( mata pencaharian alternatif) • Bantuan langsung tidak perlu berupa uang tetapi lebih berupa alat

untuk produksi • Kepada petugas lapangan diberikan insentif (uang saku) • Pertanggung jawaban pengurus fase I dilakukan sebelum

dilaksanakan fase II • Diadakan pelatihan-pelatihan yang dapat memberikan manfaat

pada kelompokk-kelompok masyarakat • Perlu bantuan kelembagaan seperti simpan pinjam dengan cara

pengembaliannya yang tidak terlalu membebankan masyarakat • Fase II tidak hanya difokuskan pada salah satu dusun saja.

Uraian di atas sebetulnya tidak terkait langsung dengan bahasan tentang kelembagaan sosial ekonomi. Namun demikian, hal ini perlu disampaikan agar menjadi pertimbangan apabila program COREMAP akan dilaksanakan. Hal ini disampaikan untuk menjaga kelansungan program. Jangan sampai program-program yang pada awalnya berlangsung dengan bagus namun akhirnya terhenti. Oleh karena itu, identifikasi kelembagaan yang sekiranya dapat dilaksanakan untuk pelaksanaan program COREMAP tahap II memang diperlukan.

Page 46: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

27

2.5 Kependudukan

Bagian ini akan menguraikan tentang potensi sumber daya manusia (SDM) yang ada di Kecamatan Lingga Utara, khususnya di tiga desa penelitian. Dalam bagian ini akan dideskripsikan tentang jumlah dan komposisi penduduk serta kualitas SDM yang mencakup tingkat pendidikan dan ketrampilan penduduk. Namun sebelum membahas lebih detail tentang masalah kependudukan di ketiga desa penelitian, perlu disampaikan bahwa ada keterbatasan data statistik baik di tingkat kecamatan maupun desa. Salah satu alasannya adalah, Kecamatan Lingga Utara merupakan kecamatan yang relatif baru (akhir 2003), yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Lingga. Meskipun demikian, tulisan ini diusahakan dapat memaksimalkan data-data yang ada.

2.5.1 Jumlah dan Komposisi Penduduk

Berdasarkan data dari Monografi Kecamatan Lingga Utara, pada tahun 2005 jumlah penduduk Kecamatan Lingga Utara sebanyak 10.546 orang yang terdiri dari 5.336 laki-laki dan 5.210 perempuan (Tabel 2.1). Dengan demikian rasio jenis kelamin untuk Kecamatan Lingga Utara adalah 102. Hal ini berarti terdapat 102 laki-laki setiap 100 perempuan. Adapun jumlah kepala keluarga (KK) sebanyak 2,808 yang berarti setiap keluarga terdiri antara 3-4 anggota keluarga. Dengan luas wilayah sekitar 283, 21 kilometer persegi, maka kepadatan penduduk Kecamatan Lingga Utara adalah sekitar 26 jiwa per kilometer persegi.

Tabel 2.1

Distribusi Penduduk di Kecamatan Lingga Utara, 2006.

Nama Desa Jumlah Kepala

Keluarga

Laki – laki

Perempuan Laki – laki dan

perempuan Duara 1.004 2.086 2.069 4.155 Resun 341 672 633 1.305 Limbung 198 370 366 736 Teluk 274 535 524 1.059 Bukit Harapan 178 346 382 728 Jumlah 2.808 5.336 5.210 10.546

Sumber: Kecamatan Lingga Utara dalam Angka, 2005

Page 47: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

28

Dari jumlah penduduk Kecamatan Lingga Utara sebesar 10,456 jiwa tersebut, sekitar 40 persennya merupakan penduduk Desa Duara (4.155 orang). Desa Resun memiliki penduduk sebanyak 1,305 orang (672 laki-laki dan 633 perempuan). Sedangkan Desa teluk berpenduduk sebanyak 1.059 orang yang terdiri dari 535 laki-laki dan 524 perempuan.

Seperti halnya masyarakat Kabupaten Lingga pada umumnya, penduduk di ketiga desa penelitian sebagian besar berasal dari suku bangsa Melayu. Bahasa yang mereka gunakan sehari-hari adalah juga bahasa Melayu. Dari segi agama, sebagian besar adalah pemeluk agama Islam. Khusus untuk `penduduk Desa Duara, selain berasal dari suku Melayu sebagian penduduk berasal dari berbagai suku seperti Suku Melayu, Suku Tionghoa, Minang, dan Suku Laut. Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat Desa Duara memiliki heterogenitas suku bangsa. Hal ini kemungkinan besar karena Desa Duara lebih terbuka dan aksesibilitas transportasi yang cukup memadai sehingga memungkinkan banyak penduduk dari luar daerah untuk tinggal dan mencari nafkah di desa tersebut. Demikian halnya bila penduduk dikelompokkan berdasarkan agama, ada penganut agama Islam, Budha, Kristen dan Khong Ho Chu. Sementara untuk Penduduk Desa Resun dan Desa Teluk cukup homogen dengan mayoritas penduduk adalah suku Melayu. Hampir semua penduduk di Desa Resun dan Desa Teluk menganut agama Islam.

Apabila dilihat dari sisi pekerjaan, penduduk di ketiga desa tersebut cukup beragam. Tabel 2.2 menunjukkan bahwa jenis pekerjaan yang banyak dilakukan oleh penduduk di ketiga desa adalah nelayan. Khusus Desa Duara, bekerja sebagai karyawan proporsinya lebih besar dibandingkan dengan penduduk di dua desa lainnya. Mereka ini pada umumnya bekerja di kilang papan, yaitu pengolahan kayu untuk dibuat papan. Selain itu, beberapa orang bekerja di perusahaan ketam yang ada di Desa Duara. Ada tiga perusahaan ketam yang terdapat di desa ini. Lainnya, adalah karyawan penjaga warung telepon atau penjaga toko yang banyak terdapat di Pancur. Selain nelayan dan karyawan, petani merupakan jenis pekerjaan yang juga banyak dilakukan oleh penduduk di Desa Duara. Mereka ini kebanyakan adalah petani kebun yang mengusahakan tanaman lada (sahang).

Page 48: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

29

Tabel 2.2

Jenis pekerjaan di Desa Duara, Resun dan Teluk, 2006

Jenis pekerjaan Desa Duara Desa Resun Desa Teluk Karyawan 285 - 34 Wiraswasta 84 - 9 Pensiunan 5 1 2 Pertukangan 39 20 8 Petani 210 - 37 Nelayan 387 96 152 Buruh tani - - 2 Tenaga jasa - 50 5 Jumlah 1010 167 249

Sumber: Monografi Desa Duara, Desa Resun, Desa Teluk, 2006.

Meskipun sebagian besar penduduk di tiga desa penelitian bekerja sebagai nelayan, diversifikasi pekerjaan relatif banyak terlihat dari jenis tangkapan para nelayan tersebut. Nelayan di Desa Duara misalnya, pada umumnya adalah nelayan pencari ketam bakau dan bila musim sotong, terutama pada musim teduh pada hari 10-20 hari bulan, mereka akan mencari sotong. Sebagian nelayan juga mencari ikan segar dan udang.

Sedangkan nelayan dari Desa Resun selain juga sebagai nelayan pencari ketam, mereka juga merupakan nelayan kelong (bagan tancap) dengan target tangkapan adalah ikan bilis (teri). Mereka mencari ikan tidak terlalu jauh dari desanya. Selain itu, mereka juga mencari sotong dan udang. Sebagian bu-ibu di Desa Resun juga terlibat dalam mencari ketam. Mereka menanam bubu di perairan sekitar pemukiman. Sebagian nelayan di Desa Resun, khususnya di Dusun Pasir Lulun merupakan nelayan budidaya ikan kerapu sunu. Lain halnya dengan nelayan Desa Teluk, pada musim angin utara mereka adalah pencari ikan hidup seperti ikan putih, ikan sengarat, udang, dll. Para nelayan ini sebagian adalah nelayan kelong ikan dengan target tangkapan ikan segar dan udang. Pada saat musim badai, musim selatan, mereka bagan ini hancur, sehingga nelayan harus mencari alternatif lain. Bagi nelayan yang memiliki armada tangkap yang memadai, mereka berpindah menjadi nelayan bagan.

Nelayan yang ada di Desa Duara, Desa Resun dan Desa Teluk dapat dibedakan berdasarkan alat tangkap dan jenis ikan yang ditangkap. Berdasarkan alat tangkap nelayan dibagi menjadi nelayan pancing, jaring, sero dan nelayan kelong (bagan tancap). Nelayan pancing biasa menangkap ikan hidup dan ikan karang. Sedangkan nelayan jaring menangkap ketam.

Page 49: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

30

Nelayan sero adalah nelayan nyomek yang menangkap cumi-cumi atau sotong. Nelayan kelong pada umumnya menangkap ikan teri.

Sebagai nelayan, ketergantungan penduduk terhadap laut sangat tinggi. Padahal, kondisi laut yang kadang-kadang tidak menentu karena pengaruh cuaca sangat mempengaruhi hasil tangkapan mereka. Bila cuaca buruk atau bila gelombang laut sangat kuat, nelayan cenderung tidak dapat melaut. Meskipun kondisi ini sering mereka hadapi, namun nampaknya sulit bagi mereka untuk beralih pekerjaan sebagi petani misalnya, walaupun tanah di desa cukup subur. Hal ini kemungkinan disebabkan pertanian membutuhkan waktu untuk memanen hasil, sementara bila bekerja sebagai nelayan, mereka dapat memetik hasil secara langsung.

2.5.2 Kualitas Sumber Daya Manusia

Pendidikan dan Ketrampilan

Apabila dilihat dari sisi kualitas (tingkat pendidikan yang ditamatkan), rata-rata penduduk di ketiga desa penelitian berpendidikan sekolah menengah pertama (SLTP) dan (SLTA). Hal ini terungkap dari hasil wawancara mendalam dengan beberapa informan kunci di masing-masing desa yang bersangkutan. Namun sayang, dari monografi yang ada tidak ada data sercara rinci mengenai tingkat pendidikan warga di ketiga desa tersebut.

Di samping pendidikan formal, penduduk desa setempat mempunyai ketrampilan untuk meningkatkan pencapaian mereka dalam penangkapan sumber daya laut. Salah satu ketrampilan yang mereka miliki adalah pembuatan bubu untuk menangkap ikan. Bila pada awalnya mereka menggunakan bubu buatan Thailand yang dibeli dengan harga relatif mahal (harga satu bagan dapat mencapai Rp. 50.0000), masyarakat nelayan di desa penelitian mulai membuat bubu sendiri dengan biaya yang relatif murah.

Selain ketrampilan dalam membuat bagan, masyarakat nelayan khususnya di Dusun Pasirlulun, Desa Resun mempunyai ketrampilan dalam hal budidaya ikan kerapu yang diperoleh dengan cara belajar langsung dari nelayan desa tetangga. Pada tahun 2002 lima orang nelayan dari Dusun Pasirlulun tersebut mendapatkan bantuan modal dari Pemerintah Kabupaten Riau untuk mengembangkan usaha budidaya. Usaha budidaya ini nampaknya cukup berhasil. Ketrampilan mengembangkan budidaya ikan kerapu ini kemudian diikuti oleh beberapa nelayan lain di Dusun Pasirlulun. Saat ini nelayan Pasirlulun merupakan pemasok ikan kerapu hidup terbesar di Kecamatan Lingga Utara.

Page 50: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

31

2.5.3 Mobilitas Penduduk

Seperti halnya telah disinggung pada bagian sebelumnya, sebagian besar penduduk Kecamatan Lingga Utara, khususnya Desa Duara, Desa Resun dan Desa Teluk adalah berasal dari Suku Melayu. Bila dikaitkan dengan sejarah Kabupaten Lingga secara keseluruhan, dapat diketahui bahwa pada mula awal abad 17 sampai 19, terdapat dua kerajaan melayu yang berkuasa, yaitu kerajaan Riau Lingga yang berpusat di Daik dan Kerajaan Melayu Riau dengan pusat kerajaan di Pulau Bintan. Kedua kerajaan pernah dilebur menjadi satu (sebelum Treaty of London) menjadi sebuah kerajaan yang kuat dengan pusat kerajaan di Pulau Penyengat RUTR Kabupaten Lingga, tahun 2003). Orang-orang keturunan dari Suku Melayu ini kemudian tinggal menyebar di wilayah kepulauan Riau.

Selain Suku Melayu, di Kecamatan Lingga Utara, khususnya Desa Duara terdapat sekelompok suku yang telah tinggal secara turun temurun di desa tersebut. Sejak jaman nenek moyangnya, suku laut adalah nelayan pencari ikan yang hidup di perahu-perahu. Pada awalnya, mereka ini sangat ‘nomaden’, bermukim di tempat-tempat yang dianggap banyak ikan karena kehidupan mereka sebagai nelayan. Pada umumnya, nelayan Suku Laut adalah nelayan tradisional armada perahu tanpa motor dan alat tangkap pancing. Sekitar puluhan tahun yang lalu, orang-orang Suku Laut ini kemudian ‘dimukimkan’ di Desa Duara dan akhirnya menetap di desa tersebut.

Pada sekitar tahun 1900an mulai berdatanglah orang-orang dari negeri Cina. Pada mulanya mereka disebut sebagai manusia perahu karena menurut ceritanya, mereka datang dari negeri Cina dengan menuju Desa Duara dengan naik perahu. Beberapa orang keturunan Cina ini ada yang menikah dengan orang-orang keturunan Suku Laut. Keturunan mereka ini dikenal dengan sebutan ‘Citam/Cina hitam’. Sebutan ini diberikan karena pada umumnya kulit mereka adalah kehitam-hitaman tidak selayaknya keturunan warga Tionghoa yang berkulit putih. Perpaduan antara Tionghoa dan Suku Laut ini menghasilkan keturunan campuran orang Cina Hitam. Pekerjaan mereka pada umumnya adalah nelayan, berbeda dengan orang-orang Tionghoa yang asli yang tinggal di Desa Duara biasanya bekerja sebagai pedagang.

Mobilitas penduduk di Desa Duara cukup tinggi, baik yang masuk maupun keluar. Banyak penduduk Desa Duara, khususnya kaum muda, yang bekerja maupun melanjutkan pendidikannya di luar desa, misalnya ke Tanjung Pinang atau ke Batam. Demikian halnya dengan migran yang masuk ke Desa Duara khususnya di Dusun Pancur. Mereka kebanyakan adalah

Page 51: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

32

pedagang yang membeli maupun menjual hasil ke Pancur. Seperti telah disinggung pada uraian sebelumnya, bahwa Pancur merupakan pusat kegiatan ekonomi Kecamatan Lingga Utara. Selain itu, tersedianya fasilitas transportasi yang cukup memadai dari dan ke Pancur memungkinan mobilitas penduduk terjadi cukup intens.

Desa Resun dan Desa Teluk pada umumnya adalah merupakan keturunan suku Melayu yang sudah menetap di daerah tersebut sejak puluhan tahun yang lalu. Penduduk kedua desa ini cukup homogen. Meskipun demikian, di Desa Teluk terdapat beberapa orang Bugis yang dating ke desa tersebut sekitar tahun 1980an. Orang-orang Bugis ini sebagian besar bekerja sebagai nelayan. Dari orang-orang Bugis inilah sebagian orang Desa Teluk belajar mengenai alat penangkapan ikan. Salah satu contohnya adalah bubu ikan.

Page 52: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

33

BAB III POTRET PENDUDUK DESA DUARA,

DESA RESUN DAN DESA TELUK

Bagian ini akan menguraikan tentang kondisi sosial ekonomi penduduk Desa Duara, Resun dan Teluk. Adapun aspek yang akan diuraikan dalam bab ini meliputi jumlah dan komposisi penduduk, kualitas sumber daya manusia (SDM) terutama dilihat dari tingkat pendidikan dan kesehatan serta mata pencaharian penduduk. Selain itu, dalam bab ini akan dibahas pula tentang kesejahteraan penduduk., yang meliputi pendapatan dan pengeluaran rumah tangga, strategi dalam pengelolaan keuangan, pengelolaan aset rumah tangga serta kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan. Tiap aspek yang akan dibahas akan dilihat kaitannya dengan aspek pengelolaan sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Informasi tentang kondisi social ekonomi penduduk dalam bagian ini utamanya ini diperoleh dari survai terhadap 150 rumah tangga (masing-masing 50 KK) yang dipilih secara acak.

Dengan adanya gambaran yang lengkap tentang penduduk dan tingkat kesejahteraannya diharapkan kajian yang menyangkut hubungan sosial antara penduduk dan pemanfaatan sumber daya laut dapat diletakkan dalam suatu konteks yang lebih komprehensif.

3.1 Jumlah dan Komposisi Penduduk

Berdasarkan data survai yang dilakukan terhadap 150 rumah tangga terpilih di tiga lokasi penelitian, jumlah anggota rumah tangga terpilih secara keseluruhan adalah 595 jiwa. Hal menunjukkan bahwa dalam setiap rumah tangga terdiri dari sekitar 4 jiwa. Tipe keluarga dari rumah tangga rumah tangga terpilih adalah keluarga inti, satu keluarga terdiri dari suami isteri dan rata-rata dengandua orang anak. Jika diilihat dari jenis kelaminnya, jumlah penduduk dari rumah tangga responden secara keseluruhan terdiri dari 301 laki-laki dan 294 perempuan. Rasio jenis kelamin adalah 102 yang berarti terdapat 102 orang laki-laki pada setiap 100 perempuan. Rasio ini sama dengan rasio jenis kelamin untuk Kecamatan Lingga Utara secara keseluruhan.

Jika penyebaran penduduk dibedakan per desa penelitian, dengan jumlah rumah tangga yang sama (50 rumah tangga), Desa Duara mempunyai

Page 53: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

34

jumlah anggota rumah tangga yang lebih banyak dibandingkan dengan kedua desa lainnya. Anggora rumah tangga terpilih di Desa Duara sebanyak 221 jiwa, 113 laki-laki dan 108 perempuan. Hal ini berarti bahwa dalam satu rumah tangga terdiri lebih dari 4 jiwa. Jumlah anggota rumah tangga terpilih di Desa Resun sebanyak 195 jiwa yang terdiri dari 102 laki-laki dan 93 perempuan. Sedangkan di Desa Teluk anggota rumah tangga sebanyak 179 jiwa (laki-laki 86 orang dan perempuan 93 orang). Khusus Desa Teluk, jumlah anggota rumah tangga laki-laki lebih banyak daripada perempuan.

Bila jumlah penduduk dari rumah tangga sampel tersebut dikelompokkan berdasarkan kelompok umur, terlihat bahwa persentase penduduk seperti kecenderungan pada umumnya yatiu semakin mengecil pada kelompok umur semakin tua. Namun untuk kasus di ketiga desa penelitian ini, terjadi sedikit pengecualian di mana kelompok umur 35 – 39 dan 40 – 44 tahun, persentasenya lebih besar dibandingkan pada kelompok umur sebelumnya (Tabel 3.1). Persentase terbesar adalah penduduk yang berumur di bawah 24 tahun (50 persen). Sedangkan penduduk yang termasuk dalam kelompok umur di atas 65 tahun sekitar 5 persen. Dengan demikian maka struktur penduduk yang dari rumah tangga responden adalah penduduk muda. Dari observasi lapangan juga terlihat kelompok umur muda lebih banyak daripada penduduk yang termasuk dalam kategori penduduk lanjut usia. Anak-anak usia bawah lima tahun (balita) sebanyak 10 persen dari keseluruhan penduduk. Keadaan ini mengindikasikan bahwa jumlah kelahiran masih relatif tinggi. Namun, persentase penduduk di kelompok umur 5 – 9 tahun lebih kecil dibandingkan dengan kelompok umur di bawah maupun di atasnya. Tidak ada informasi yang jelas mengenai hal ini, namun kemungkinannya adalah adanya kasus-kasus kematian bayi yang cukup tinggi pada tahun akhir tahun 1990 an seperti yang dituturkan oleh seorang ibu dari Desa Teluk.

Angka beban ketergantungan (jumlah anak-anak usia 0 - 14 tahun ditambah jumlah penduduk usia 65 tahun ke atas dibagi jumlah penduduk usia 15 – 64 tahun) di ketiga lokasi penelitian mencapai 47 persen. Hal ini berarti bahwa setiap 100 orang usia produktif harus menanggung beban sebanyak 47 anak-anak dan orang tua.

Secara terinci jumlah dan komposisi penduduk rumah tangga responden yang tersebar di Desa Duara, Resun dan Teluk adalah sebagai berikut:

Page 54: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

35

Tabel 3.1 Komposisi Anggota Rumah Tangga Responden Desa Duara, Resun dan

Teluk berdasarkan kelompok umur

Kelompok umur (tahun)

Duara N=221

Resun N=195

Teluk N=179

Tiga desa N=595

0-4 10,4 10,3 10,1 10,3 5-9 7,4 7,1 8,9 7,7

10-14 11,4 11,5 10,1 10,9 15-19 11,8 11,3 9,6 10,9 20-24 12,7 8,7 9,5 10,4 25-29 10,5 7,3 7,2 8,4 30-34 6,4 3,6 5,6 5,9 35-39 5,1 6,6 8,4 6,7 40-44 9,1 9,7 7,3 8,7 45-49 4,2 7,7 7,3 6,2 50-54 5,0 5,1 5,5 5,2 55-59 2,4 4,1 4,5 3,5 60-64 1,9 2,5 1,8 2,0

65 keatas 2,4 2,5 4,6 3,0 Jumlah 100 100 100 100

Sumber : Survai Data Dasar Aspek Sosial Ekonomi Terumbu Karang, PPK-LIPI, 2006

Sementara bila jumlah penduduk dikelompokkan berdasarkan etnis atau suku bangsanya, terlihat bahwa di tiga desa penelitian, etnis melayu merupakan suku bangsa yang dominan. Dari 150 responden rumah tangga terpilih, hampir semuanya (91 persen) merupakan suku bangsa Melayu. Sisanya merupakan penduduk pendatang dari suku bangsa lain dengan persentase yang relatif kecil. Suku-suku tersebut adalah suku bangsa Buton, Bugis dan suku Laut yang masing-masing berjumlah sekitar 2 persen, sementara suku Jawa sekitar 1.3 persen, Betawi, Batak, Flores masing-masing hanya 0.7 persen. Dibandingkan dengan Desa Resun dan Desa Teluk, penduduk Desa Duara cenderung lebih heterogen, berbagai macam

Page 55: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

36

suku ada di Desa Duara. Hal ini kemungkinan dikarenakan Pancur yang berada di Desa Duara merupakan pusat perekonomian untuk Kecamatan Lingga Utara yang menarik banyak pendatang. Penduduk Desa Resun dan Teluk, hampir semuanya adalah suku Melayu. Di DesaTeluk ada sebagian kecil penduduk dari suku Bugis yang mulai menetap di desa tersebut sekitar tahun 1980an. Pada awalnya orang Bugis tersebut adalah nelayan yang mencari ikan di Desa Duara. Kemudian mereka menetap di Desa Teluk karena mereka menikah dengan perempuan dari Desa Teluk. Mereka hidup sebagai nelayan dan memperkenalkan alat tangkap.

3.2 Kualitas SDM

3.2.1 Pendidikan dan Ketrampilan

Dalam pengembangan intervensi program, data mengenai tingkat pendidikan perlu untuk diperhatikan. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan dapat digunakan untuk mengukur tingkat pengetahuan suatu masyarakat. Dalam survai ini, tingkat pendidikan yang dimaksudkan adalah tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh masing-masing individu. Berdasarkan pada hasil survai pada 150 rumah tangga terpilih terlihat bahwa tingkat pendidikan penduduk relatif rendah. Hal ini terlihat dari tingginya persentase (lebih dari 80 persen) penduduk usia 7 tahun ke atas yang berpendidikan Sekolah Dasar (SD) ke bawah, kemungkinan karena sebagian besar di antara mereka masih belum menamatkan pendidikannya (masih duduk di bangku sekolah). Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka memang tidak dapat menamatkan pendidikannya di tingkat SD. Jika dilihat persentase mereka yang tidak sekolah saja, angkanya mencapai hampir 17 persen, suatu jumlah yang cukup besar. Sedangkan penduduk yang menamatkan pendidikannya sampai sekolah menengah (SLTP) keatas sekitar hanya 16 persen penduduk.

Berdasarkan jenis kelamin, terdapat kesenjangan antara tingkat pendidikan laki-laki dan perempuan. Tingkat pendidikan laki-laki lebih tinggi dibandingkan tingkat pendidikan perempuan. Pada tingkat pendidikan yang rendah (SD tidak tamat dan tidak sekolah), persentase penduduk perempuan lebih besar (58 persen) dibandingkan dengan laki-laki (58 persen). Sebaliknya, pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi persentase perempuan lebih rendah (14 persen) daripada laki-laki (17 persen) pada tingkatan pendidikan yang sama.

Page 56: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

37

Jika tingkat pendidikan penduduk dibedakan antara masing-masing desa, terdapat perbedaan yang cukup mencolok. Tabel 3.2 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan anggota rumah tangga terpilih Desa Teluk lebih rendah bila dibandingkan dengan tingkat pendidikan anggota rumah tangga terpilih Desa Duara dan Resun. Pada tingkat pendidikan rendah, persentase penduduk Desa Teluk lebih besar dibandingkan dengan Desa Duara dan Resun. Hampir semua anggota rumah tangga terpilih Teluk (95 persen) berpendidikan SD ke bawah. Sebaliknya, pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, persentase anggota rumah tangga terpilih di Desa Teluk lebih rendah jika dibandingkan dengan penduduk di dua desa lainnya. Berbagai faktor diduga ikut berpengaruh terhadap rendahnya tinggat pendidikan di Desa Teluk. Salah satu faktornya adalah keterbatasan sarana pendidikan di desa tersebut. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, tingkat sekolah menengah pertama hanya ada sekolah menengah terbuka yang dibuka sekitar 3 tahun yang lalu, Bila ingin melanjutkan pendidikan sekolah menengah, penduduk Desa Teluk harus ke Daik atau Pancur. Sekolah menengah yang terdekat ada di Daik. Mengingat keterbatasan sarana transportasi, anak-anak yang sekolah di Daik tidak mungkin harus pulang hari. Mereka biasanya tinggal di Daik (menyewa kamar atau indekos), dengan biaya yang relatif tinggi. Selain faktor keterbatasan sarana pendidikan dan transportasi, motivasi orang tua untuk menyekolahkan anaknya juga mempengaruhi tingkat pendidikan anak-anak yang bersangkutan. Mudahnya mencari uang bagi nelayan, kemungkinan mendorong anak anak untuk lebih senang melaut daripada sekolah.

Tabel 3.2

Komposisi ART Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan

Pendidikan yang ditamatkan

Duara N=190

Resun N=170

Teluk N=158

Tiga desa

Belum/tidak sekolah

14,7 15,9 19,6 16.6

SD tidak tamat 33,2 40,0 42,4 38.2 SD Tamat 27,4 28,8 31,6 29.2 SLTP tamat 15,8 11,8 5,7 11.4 SLTA + 8,9 3,5 0,6 4.6 Total 100 100 100 100

Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Ekonomi Terumbu Karang, PPK-LIPI, 2006.

Page 57: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

38

3.2.2 Kesehatan

Kondisi kesehatan penduduk di ketiga lokasi penelitian ini pada umumnya cukup baik. Menurut petugas pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) Kecamatan Lingga Utara, penyakit yang diderita oleh penduduk pada umumnya adalah penyakit yang tidak terlalu serius dan masih dapat ditanggulangi oleh Puskesmas Kecamatan Linga Utara atau mantri praktek swasta di Desa Duara. Tidak ada angka pasti mengenai kasus-kasus penyakit khusus untuk penduduk desa pantai, namun menurut informasi yang diperoleh dari petugas Puskesmas Kecamatan Lingga Utara tersebut, jenis penyakit yang biasanya diderita oleh penduduk salah satunya adalah malaria. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh banyaknya naymuk-nyamuk anopeles penyebar penyakit malaria. Tingginya populasi nyamuk diduga karena masih banyaknya hutan, selain masih banyaknya genangan-genangan air di sekitar permukiman penduduk yang merupakan tempat berkembang biaknya nyamuk.

Selain penyakit malaria, jenis penyakit yang umum dijumpai pada masyarakat adalah sakit pernapasan (ISPA). Hal ini diperkirakan karena banyaknya debu di sekitar permukiman, mengingat desa-desa ini adalah desa pesisir. Selain ISPA, penyakit TBC juga banyak dilaporkan juga diderita oleh sebagian nelayan. Hal ini kemungkinan karena kebiasaan merokok yang sangat kuat di antara para nelayan. Seorang nelayan mengatakan bahwa dalam satu hari dia dapat menghabiskan lebih dari satu bungkus rokok, apalagi waktu melaut jumlah rokok yang dihisap jauh lebih banyak. Observasi di lapangan juga menunjukkan bahwa kebiasaan merokok sangat kuat di kalangan penduduk, tidak saja dilakukan oleh para laki-laki dewasa tetapi juga remaja-remaja muda. Dalam acara pertemuan di kecamatanpun mereka tetap merokok. Selain karena merokok, kebiasaan melaut para nelayan di malam hari dan kuatnya angin malam yang menerpa tubuh mereka kemungkinan mempertinggi kemungkinan terkena penyakit paru-paru. Penyakit lain yang juga sering dilaporkan diderita oleh nelayan adalah diare, terutama bila musim kemarau. Penyebab dari sakit diare ini diduga karena sanitasi lingkungan yang kurang memadai selain keterbatasan sumber air bersih. Selain itu, rasa nyeri sendi (artitis) dan hypertensi juga merupakan jenis penyakit yang cukup banyak diderita oleh para nelayan.

Sementara sakit telinga (pekak) yang timbul sebagai akibat dari pekerjaannya sebagai nelayan (pengebom) juga tidak terdengar. Demikian juga sakit yang menyebabkan kerusakan anggota tubuh/cacat karena ledakan bom ikan tidak ditemukan di antara penduduk Desa Duara, Resun dan Teluk. Hal ini kemungkinan dikarenakan nelayan Desa Duara, Resun dan

Page 58: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

39

Teluk adalah nelayan tradisional dengan alat tangkap jaring dan tidak mengunakan bom untuk menangkap ikan.

Jenis penyakit yang dilaporkan diderita oleh anak-anak menurut keterangan dari petugas kesehatan Kecamatan Lingga Utara, adalah gizi buruk (ada dua kasus, tetapi di Desa Sekanah). Menurut petugas tersebut, hal ini dikarenakan oleh keadaan orang tua yang sangat miskin sehingga tidak dapat memenuhi standar minimal 3 dari 4 sehat yaitu, sayur, lauk dan nasi.

Bila ada keluhan sakit biasanya masyarakat mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan modern seperti puskesmas atau matri/bidan praktek. Pusat pelayanan kesehatan yang ada adalah Puskesmas yang ada di ibukota kecamatan (di Pancur). Di Teluk ada seorang bidan desa selain menolong persalinan penduduk setempat juga melayani pengobatan umum untuk penyakit-penyakit ringan.

Wawancara mendalam dengan beberapa penduduk diperoleh informasi bahwa karena minimnya fasilitas kesehatan menyulitkan penduduk apabila mereka memerlukan pertolongan emergensi. Padahal, bila seseorang memerlukan pertolongan darurat kalau harus pergi ke Pancur atau ke Daik, selain membutuhkan waktu yang lama juga transportasi ke tempat tersebut cukup mahal, apalagi kalau harus menyewa kendaraan darat untuk ke Daik atau transportasi laut kalau harus dibawa ke Pancur.

Mengenai konsumsi ikan, hasil wawancara maupun pengamatan langsung diperoleh informasi bahwa konsumsi ikan di kalangan penduduk cukup tinggi, terutama penduduk Desa Resun dan Teluk. Penduduk Desa Teluk, khususnya nelayan cenderung banyak mengkonsumsi ikan segar karena ikan-ikan tersebut mudah diperoleh. Observasi di lapangan menunjukkan bahwa para nelayan menyisakan hasil tangkapannya untuk dibawa pulang sebagai lauk makan keluarganya. Selain itu, hasil wawancara mengindikasikan bahwa dengan mengkonsumsi ikan segar tidak memerlukan bumbu yang cukup banyak mengingat harga bumbu cukup mahal di desa tersebut. Pada umumnya ikan segar tersebut hanya dibakar/digoreng atau dikukus saja. Jenis ikan yang sering mereka konsumsi adalah ikan putih atau ikan sengarat, ikan bawal tergantung dari perolehan pada hari itu. Selain ikan, mereka juga banyak mengkonsumsi ketam (rajungan) yang banyak ditemukan daerah tersebut. Sementara konsumsi jenis kerang-kerangan agak berkurang sejalan dengan berkurangnya populasi kerang-kerangan seperi gonggong dan lola.

Meskipun pada umumnya penduduk Desa Teluk mengkonsumsi ikan segar, namun demikian masih ada pantangan bagi orang-orang tertentu, terutama ibu habis melahirkan tidak diperbolehkan mengkonsumsi ikan segar.

Page 59: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

40

Menurut kebiasaan masyarakat setempat, selama 44 hari seorang ibu yang habis melahirkan dipantangkan untuk makan ikan segar terutama ikan putih. Pola makan untuk ibu habis melahirkan kebanyakan hanya nasi, kecap dan lada hitam. Tidak ada alasan pasti mengapa hanya makanan itu saja yang boleh disantap oleh ibu habis melahirkan. Beberapa ibu menuturkan bahwa larangan untuk makan ikan segar pada ibu habis melahirkan dimaksudkan untuk melindungi agar si bayi tidak terkena serangan penyakit tertentu, misalnya sakit perut/mencret. Meskipun pantangan tersebut cenderung berkurang, namun sebagian penduduk meyakini bahwa pantangan tersebut dianggap masih perlu untuk dilakukan.

Penduduk di ketiga desa penelitian, khususnya Desa Resun dan Teluk termasuk jarang mengkonsumsi sayuran. Kemungkinan hal ini dikarenakan sayur-sayuran tidak dapat tumbuh di lahan mereka, sementara pasokan dari luar juga terbatas. Pada umumnya, penduduk makan sayur kalau ada pedagang keliling dari dusun lain yang menjual dagangannya ke permukiman nelayan tersebut. Khusus di Desa Teluk, Biasanya seminggu sekali ada pedagang dari pemukiman transmigrasi di Kranden (dekat Daik) (SP I ) yang datang berjualan sayur ke perkampungan nelayan tersebut.

3.2.3 Pekerjaan

Dalam survai ditanyakan tentang kegiatan utama seluruh anggota rumah tangga yang berusia 10 tahun ke atas. Berdasarkan pada hasil survai tersebut terungkap bahwa sekitar 40 persen dari 595 anggota rumah tangga adalah bekerja. Selebihnya adalah mereka yang masih sekolah, mengurus rumah tangga, menganggur dan sedang mencari pekerjaan.

Dari mereka yang masuk kategori bekerja, sebanyak 66 persen anggota rumah tangga menyatakan bahwa mereka bekerja di sektor perikanan laut (lihat Tabel 3.3). Hal ini dikarenakan survai ini memang dipilih di desa yang mayoritas penduduknya adalah penduduk yang menggantungkan hidupnya dengan memanfaatkan sumber daya laut. Adapun mereka yang bekerja di sektor jasa, termasuk guru dan perangkat desa sebanyak 15 persen. Sedangkan mereka yang bekerja di sektor pertanian, persentasenya cukup kecil, kurang dari empat persen. Mereka yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang mengerjakan tanah kebun yang ditanami tanaman keras seperti sagu.

Berdasarkan jenis kelaminnya, lebih dari 70 persen penduduk yang bekerja di sector perikanan adalah laki-laki. Perempuan cenderung untuk bekerja di sektor pengolahan atau di sector jasa. Pada umumnya mereka yang bekerja

Page 60: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

41

di sektor pengolahan adalah perempuan pekerja kilang papan atau karyawan perusahaan ketam. Sementara perempuan yang bekerja di sector jasa kebanyakan adalah menjadi guru atau karyawan toko.

Bila dilihat dari masing-masing desa, terlihat kecenderungan yang berbeda. Tabel 3.3 menunjukkan bahwa persentase penduduk Desa Duara yang bekerja di sektor perikanan laut lebih rendah dibandingkan dengan Desa Resun dan Desa Teluk. Sebaliknya, mereka yang bekerja di sektor jasa persentasenya jauh lebih tinggi.. Hal ini dapat dimengerti karena kesempatan kerja yang lebih variatif terdapat di Desa Duara. Di Desa Duara terdapat ada kantor pemerintah, beberapa perusahaan seperti kilang papan, industri ketam, pabrik es maupun toko-toko yang banyak menyerap tenaga kerja. Sementara pekerjaan yang khusus di bidang perikanan budidaya hanya dilaksanakan di Desa Resun, dengan persentase yang ckup kecil. Mereka yang termasuk dalam kategori ini adalah nelayan di Dusun Pasirlulun yang membudidayakan ikan kerapu sunu. Di Desa Teluk, persentase terbanyak kedua setelah sektor perikanan laut adalah di bidang industri pengolahan. Yang termasukdalam kelompok ini kemungkinan besar adalah mereka yang bekerja di industri pembuatan arang.

Tabel 3.3 Distribusi Penduduk menurut lapangan Pekerjaan Utama

Di Desa Duara, Resun dan Teluk, 2006

Lapangan pekerjaan utama Duara N=74

Resun N=69

Teluk N=69

Tiga desa

Perikanan laut 52.7 72,5 73,9 66.0

Perikanan budidaya - 1,4 - 0.5 Pertanian pangan - - 1,4 0.5 Pertanian tanaman keras 1,4 5,8 - 3.8 Perdagangan 2,7 1,4 7,2 3.8 Jasa, guru, staf desa 25,7 15,9 0 14.2 Industri pengolahan 13,5 1,4 8,7 8.0 Lainnya:transportasi, Bangunan, pariwisata

4,1 1,4 - 1.9

Perikanan laut+ budidaya - - 4,3 1.4 Total 100 100 100 100.0

Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Ekonomi Terumbu Karang, PPK-LIPI, 2006.

Page 61: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

42

Dilihat dari jenis pekerjaan, sesuai dengan lapangan pekerjaan yang banyak dilakukan penduduk yaitu di sektor perikanan, sebagian besar (66 persen) anggota rumah tangga (ART) sampel adalah sebagai nelayan (Tabel 3.4). Pada umumnya mereka adalah nelayan tangkap dengan wilayah tangkap yang relatif dekat di sekitar perairan Kecamatan Lingga Utara. Selain sektor perikanan, lapangan pekerjaan di bidang jasa juga juga banyak menyerap tenaga kerja.

Berdasarkan pada jenis kelamin, secara keseluruhan terlihat bahwa lebih dari 75 persen nelayan adalah laki-laki. Persentase perempuan yang bekerja sebagai nelayan kecil sekali (7 persen). Mereka yang termasuk dalam kategori ini adalah perempuan yang bekerja sebagai pencari udang atau nelayan bubu ketam seperti yang banyak ditemui di Dusun Tanjung Bungsu, Desa Resun. Jenis pekerjaan yang banyak dilakukan oleh perempuan di ketiga desa penelitian selain karyawan perusahaan, adalah sebagai petani kebun.

Jika dibedakan per masing masing desa, terlihat adanya perbedaan kecenderungan di ketiga desa penelitian. Di Desa Duara misalnya, meskipun pekerjaan sebagai nelayan merupakan pekerjaan yang paling banyak dilakukan, namun jenis pekerjaan sebagai tenaga jasa dan tenaga industri persentasenya lebih tinggi dibandingkan dengan Desa Resun dan Teluk (Tabel 3.4). Kebanyakan mereka yang termasuk dalam kelompok ini adalah para karyawan baik pegawai negeri maupun karyawan perusahaan dan toko. Situasi yang berbeda terlihat di Desa Resun, meskipun mayoritas penduduk adalah nelayan, namun ada juga yang bekerja sebagai tenaga kasar dan tenaga jasa. Mereka yang bekerja sebagai tenaga kasar adalah pekerja serabutan dan buruh-buruh bangunan, sementara yang bekerja sebagai tenaga jasa kebanyakan adalah tukang ojek.

Tabel 3.4 Komposisi ART Responden Menurut Jenis Pekerjaan Utama

Jenis pekerjaan utama Duara N=74

Resun N=70

Teluk N=69

Tiga desa N=213

Nelayan 51,4 68,6 78,3 65.7 Petani 1,4 4,3 4,3 3.3 Pedagang 2,7 4,3 5,8 4.2 Tenaga jasa 24,3 8,6 1,4 11.7 Tenaga industri 13,5 2,9 8,7 8,5 Tenaga kasar 6,8 11,4 1,4 6,6 Total 100 100 100 100.0

Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Ekonomi Terumbu Karang, PPK-LIPI, 2006.

Page 62: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

43

Sementara jika dilihat dari status pekerjaan utama, Tabel 3.5 menunjukkan bahwa sebagian besar para angora rumah tangga terpilih adalah berusaha sendiri (65.3 persen). Hal ini kemungkinan besar terkait dengan pekerjaan mereka sebagai nelayan perorangan. Pada umumnya mereka ini adalah nelayan pancing atau jaring yang melakukan penangkapan ikan dengan armada tangkap milik sendiri. Mereka ini adalah nelayan dengan kapal-kapal yang berkapasitas kecil dan bekerja untuk perseorangan. Sementara itu, persentase mereka yang bekerja sebagai buruh juga cukup tinggi yaitu 30 persen. Mereka yang termasuk dalam kategori ini kemungkinan besar adalah mereka yang bekerja sebagai karyawan, baik sebagai pegawai pemerintah maupun perusahaan di kilang papan, dapur arang maupun perusahaan pengolahan ketam.

Di antara tiga desa penelitian, persentase penduduk yang bekerja dengan berusaha sendiri paling banyak ditemui di Desa Teluk (75 persen). Seperti yang telah disinggung pada uraian sebelumnya karena mereka pada umumnya adalah nelayan. Sementara mereka yang berkerja dengan status sebagai buruh banyak ditemui di Desa Duara. Hal ini dikarenakan jenis pekerjaan yang banyak dilakukan oleh penduduk adalah sebagai karyawan. Hanya sedikit sekali penduduk yang bekerja dengan dibantu anggota rumah tangganya. Seperti terlihat pada Tabel 3.5, hanya 7 persen penduduk Resun bekerja bersama-sama dengan keluarga. Kemungkinan besar mereka adalah nelayan budidaya. Dalam melakukan pekerjaannya, mereka cenderung dibantu oleh anak atau isteri, misalnya untuk memberi makan ikan. Selain itu, mereka yang termasuk dalam kategori ini adalah nelayan comek (pencari sotong) yang biasanya dibantu isterinya dalam mengeringkan sotong tersebut. Ada semacam pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga nelayan pencari sotong. Laki-laki mencari sotong dan kemudian membelahnya. Sementara tugas untuk menjemur sotong tersebut adalah tanggung jawab isteri.

Tabel 3.5

Komposisi ART Responden Menurut Status Pekerjaan Utama

Status pekerjaan utama Duara N=74

Resun N=70

Teluk N=69

Tiga desa N=213

Berusaha sendiri 54,1 67,1 75,4 65.3 Berusaha dengan ART 4,1 7,1 - 3.8 Buruh 41,9 25,7 23,2 30.5 Berusaha dengan buruh tetap - - 1,4 0.5 Total 100 100 100 100.0

Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Ekonomi Terumbu Karang, PK-LIPI, 2006.

Page 63: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

44

Nelayan Desa Duara, Resun dan Teluk memiliki banyak diversifikasi pekerjaan. Selain pekerjaan utama, sebagian penduduk mempunyai pekerjaan tambahan meskipun persentasenya relatif kecil (hanya sekitar 30 persen). Pada saat musim banyak badai, sebagian besar nelayan tidak melaut. Sebagian di antara mereka mengerjakan pekerjaan tambahan yaitu sebagai petani atau buruh kasar. Di Desa Teluk misalnya, sebagian nelayan bila tidak melaut mereka bekerja sebagai buruh bangunan atau sebagai buruh di dapur arang. Sebagai buruh di dapur arang dalam sehari akan diberi upah sebesar Rp. 20.000. Pekerjaan tambahan yang banyak dilakukan oleh penduduk di ketiga desa penelitian hampir menyebar di semua lapangan pekerjaan, meskipun persentase terbesar (27 persen) tetap di sektor perikanan laut. Untuk informasi yang lebih mendetail tentang jumlah penduduk yang melakukan pekerjaan tambahan dapat dilihat pada table berikut ini.

Tabel 3.6

Komposisi Penduduk Berdasarkan Lapangan Pekerjaan Tambahan di Desa Duara, Resun dan Teluk, 2006

Lapangan pekerjaan utama Duara N=12

Resun N=36

Teluk N=27

Tiga desa

N=75 Perikanan laut 58,3 25,0 18,5 28.0 Perikanan budidaya - 22,2 7,4 13.3 Perikanan pangan - 2,8 3,7 2.7 Pertanian tanaman keras 8,3 11,1 18,5 13.3 Perdagangan - 11,1 3,7 6.7 Jasa, guru, staf desa 33,3 11,1 14,8 16.0 Industri pengolahan - 2,8 14,8 6.7 Lainnya:transportasi, Bangunan, pariwisata

- 13,9 18,5 13.3

Total 100 100 100 100.0 Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Ekonomi Terumbu Karang, PPK-LIPI, 2006.

Apabila dibedakan pada masing-masing desa, Tabel 3.7 menunjukkan bahwa persentase penduduk Desa Duara yang mempunyai pekerjaan tambahan kecil sekali, hanya sekitar 16 persen (12 dari 74 orang yang

Page 64: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

45

bekerja). Pekerjaan tambahan yang mereka lakukan adalah di bidang perikanan laut dan jasa. Berbeda halnya dengan penduduk Desa Resun, lebih dari separo penduduk Resun mempunyai pekerjaan tambahan. Pada umumnya pekerjaan tambahan yang mereka lakukan adalah di semua bidang meskipun paling banyak tetap di perikanan laut.

Jenis pekerjaan tambahan yang banyak dilakukan oleh penduduk di ketiga desa, khususnya Desa Resun kebanyakan juga sebagai nelayan, seperti terlihat pada Tabel 3.7. Misalnya, jika pekerjaan utamanya adalah nelayan pancing atau jaring, mereka juga mempunyai kelong (bagan tancap) sebagai pekerjaan tambahan. Meskipun hasil yang diperoleh dari kelong tancap ini cukup besar, namun karena sifat pekerjaan tidak dilakukan secara terus menerus, mereka menganggapnya sebagai pekerjaan tambahan. Sementara jenis pekerjaan sebagai buruh bangunan atau buruh kasar juga banyak dilakukan oleh penduduk Desa Resun dan Desa Teluk. Bekerja sebagai tukang ojek juga merupakan altenatif pekerjaan tambahan yang banyak dilakukan oleh penduduk di kedua desa. Selain melakukan pekerjaan utamanya, mengolah lahan pertanian sendiri atau menjadi buruh tani juga banyak dilakukan oleh penduduk di ketiga desa penelitian untuk memperoleh tambahan pendapatan. Membuat tikar dari daun nipah seperti di Desa Resun juga merupakan jenis pekerjaan yang banyak dilakukan oleh penduduk, khususnya kaum perempuan.

Tabel 3.7

Komposisi ART Responden Menurut Jenis Pekerjaan Tambahan

Jenis pekerjaan utama Duara N=12

Resun N=36

Teluk N=27

Tiga desa N=75

Nelayan 58,3 50,0 25,9 42,7 Petani 8,3 11,1 14,8 12,0 Pedagang - 11,1 3,7 6,7 Tenaga jasa 16,7 5,6 14,8 10,7 Tenaga industri - 2,8 14,8 6,7 Tenaga kasar 16,7 19,4 25,9 21,3 Total 100 100 100 100.0

Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Ekonomi Terumbu Karang, PPK-LIPI, 2006.

Page 65: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

46

Sementara bila dilihat dari status pekerjaan tambahan yang dimiliki oleh ART di ketiga desa, sebagian besar (hampir 70 persen) adalah berusha sendiri. Meskipun demikian, statusnya sebagai buruh paling tinggi adalah di Desa Teluk yang mencapai 37 persen. Hal ini dikarenakan pekerjaan tambahan adalah pekerja atau buruh di dapur arang atau di perkebunan sagu.

3.3. Kesejahteraan

3.3.1. Pendapatan

Seperti dikemukakan sebelumnya, nelayan di Desa Duara, Resun dan Teluk pada umumnya bekerja secara tradisional, baik peralatan maupun waktu kerjanya. Keadaan ini dipengaruhi juga oleh faktor musim, yang menyebabkan penghasilan dari perolehan SDL juga tidak menentu, sesuai dengan musim dan kegiatan mereka ke laut. Hal ini menyebabkan nelayan pada umumnya sulit memperkirakan hasil yang diperoleh keluarga dalam waktu tertentu, baik karena faktor kelemahan SDM, maupun sifat pekerjaannya yang tidak menentu. Dalam survai yang dilakukan terhadap 150 rumah tangga, jumlah pendapatan dan pengeluaran keluarga dalam sebulan terakhir, diperkirakan oleh responden melalui pertanyaan: ‘Jumlah pendapatan semua anggota rumah tangga yang bekerja dalam satu bulan terakhir’.

Informasi yang cukup akurat tentang pendapatan rumah tangga bukanlah pekerjaan yang mudah diperoleh. Ada beberapa hal yang berpengaruh terhadap perolehan data yang cukup akurat, antara lain faktor personal pewawancara maupun ingatan responden, serta teknik pertanyaannya. Perkiraan pendapatan rumah tangga dalam penelitian ini meliputi semua pendapatan dari pekerjaan utama dan tambahan yang diperoleh dari semua anggota rumah tangga yang bekerja (termasuk isteri dan anak-anak), dalam satu bulan terakhir. Hal ini tentunya memerlukan ingatan yang kuat dari anggota rumah tangga yang bersangkutan. Perkiraan penghasilan bagi nelayan umumnya merupakan perkiraan kasar yaitu perkalian dari penghasilan rata-rata sekali melaut, meskipun penghasilan tersebut sangat bervariasi dalam sebulan. Meskipun ada beberapa kelemahan namun perkiraan pendapatan ini paling tidak dapat memberikan gambaran tentang keadaan ekonomi masyarakat.

Hasil survai terhadap 150 rumah tangga di Desa Duara, Resun dan Teluk memperlihatkan bahwa rata-rata pendapatan rumah tangga dalam sebulan terakhir adalah Rp. 812.300. Kondisi riil barangkali lebih memprihatinkan

Page 66: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

47

karena variasi pendapatan rumah tangga yang cukup tinggi. Pendapatan rumah tangga terendah sekitar Rp. 41.600, sedangkan pendapatan tertinggi mencapai Rp. 4.600.000 per bulan (lihat Tabel 8). Kesenjangan pendapatan ini terjadi karena beberapa pedagang pengumpul dan pemilik perusahaan ketam terjaring dalam pemilihan sampel. Selain itu, kesenjangan pendapatan tersebut karena jenis pekerjaan dikarenakan adanya perbedaan jenis pekerjaan.

Pendapatan rata-rata per bulan penduduk Desa Resun relative lebih tinggi dibandingkan dengan Desa Duara dan Teluk (Tabel 3.8). Rata-rata pendapatan per bulan mencapai sekitar Rp. 850.000. Meskipun bila dibandingkan dengan upah minimum regional (UMR) Kabupaten Lingga, kemungkinan pendapatan ini lebih besar. Namun demikian, kondisi riil barangkali cukup memprihatinkan karena kesejangan pendapatan yang cukup tinggi di Desa Resun. Pendapatan terendah dalam sebulan hanya sekitar Rp. 30.000 sementara pendapatan tertinggi adalah Rp. 4.600.000. Hal ini kemungkinan karena dimasukkannya pedagang pengumpul dan nelayan budidaya dalam rumah tangga sample. Table 3.8 juga menunjukkan bahwa meskipun pendapatan rata-rata penduduk Desa Teluk lebih rendah dari pendapatan penduduk Desa Resun, namun pendapatan terendah penduduk Desa Teluk jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan Desa Resun. Hal ini kemungkinan mayoritas rumah tangga terpilih di Desa Teluk adalah nelayan dengan target tangkapan yang berbeda dengan nelayan Desa Resun.

Sementara bila dilihat dari pendapatan per kapita, rata-rata pendapatan per kapita di ketiga desa penelitian besarannya hampir sama, sekitar Rp. 200.000 per bulan. Apabila menggunakan kriteria keluarga miskin dari BPS, maka di ketiga desa penelitian sebanyak 37 rumah tangga (24,8 persen) masuk dalam kategori rumah tangga miskin. Banyaknya keluarga yang menerima bantuan langsung tunai juga mengindikasikan banyaknya penduduk yang termasuk dalam kategori miskin. Di Desa Duara misalnya, dari seluruh penduduk desa di wilayah tersebut, terdapat 176 orang yang mendapatkan BLT dan 48 orang mendapatkan beras miskin (raskin).

Page 67: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

48

Tabel 3.8

Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga, Desa Duara, Resun dan Teluk, Kabupaten Lingga, 2006

Pendapatan Duara N=45

Resun N=50

Teluk N=45

Tiga desa N=140

(Rupiah)

Per kapita 205.795 232.615 204.205 216.556

Rata-rata Rumah Tangga 814.462 853.318 721.823 812.322

Minimum 50.000 30.000 100.000 41.666

Maksimum 2.200.000 4.600.000 2.098.000 4.600.000 Sumber: Data Primer, Survey Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2006

Apabila pendapatan rumah tangga tersebut dikelompokkan, terlihat bahwa hampir 40 persen penduduk di ketiga desa penelitian memiliki pendapatan yang kurang dari Rp. Rp. 500.000 (Tabel 3.9). Sementara mereka yang berpenghasilan di atas Rp. 2.500.000 hanya beberapa (3 orang). Mereka yang termasuk dalam kategori ini antara lain adalah pemilik perusahaan ketam, seorang pedagang pengumpul dan seorang taoke. Penghasilan mereka relative stabil, tidak terpengaruh oleh adanya musim.

Sementara itu, apabila pendapatan rumah tangga dibedakan per kelompok pendapatan, terlihat bahwa dua pertiga (75 persen) rumah tangga di ketiga desa penelitian berpenghasilan kurang dari Rp. 1000.000 per bulan. Apabila dirinci lebih jauh, kelihatan bahwa sebagian besar (38 persen) rumah tangga responden mempunyai penghasilan di bawah Rp. 500 ribu. Persentase yang hampir sama juga ditemui pada mereka yang berpenghasilan antara Rp. 500.000 - Rp. 1.000.000. Sedangkan yang mempunyai pendapatan diatas RP. 1.000.000 sebanyak 25 persen (15 persen antara Rp 1 – Rp. 1,5 juta dan hanya 1 persen mempunyai pendapatan sekitar Rp. 5 juta) (Tabel 3.9). Tabel 3.9 juga menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga untuk Desa Resun sangat bervariatif, meskipun persentase terbesar adalah rumah tangga yang berpenghasilan kurang dari Rp. 500.000. Hal ini kemungkinan karena rumah tangga yang dijadikan sampel juga bervariasi, dari buruh sampai pengusaha, pedagang pengmpul maupun pemilik keramba budidaya ikan kerapu.

Page 68: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

49

Tabel 3.9 Distribusi Rumah Tangga Menurut Kelompok Pendapatan, Desa Duara, Resun dan Teluk,

Kabupaten Lingga, 2006

Kelompok Pendapatan (Ribu Rupiah)

Duara N=51

Resun N=50

Teluk N=48

Tiga desa

Kurang dari 500 27,5 44,0 43,8 38.0 500 – 999 45,1 34,0 33,3 37.3 1.000 – 1.499 25,5 8,0 12,5 15.3 1.500 – 1.999 - 4,0 8,3 4.7 2.000 – 2.499 2,0 4,0 2,1 2.7 2.500 – 2.999 - 2,0 - 0.7 3.000 – 3.499 - 2,0 - 0.7 5000 ke atas - 2,0 - 0.7 Jumlah 100 100 100 100

Sumber: Data Primer, Survey Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2006

Khusus untuk rumah tangga nelayan, besar kecilnya pendapatan rumah tangga sangat dipengaruhi oleh musim. Apabila musim ombak besar atau gelombang kuat maka dapat diperkirakan bahwa pengahsilan nelayan cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan penghasilan yang mereka peroleh pada saat musim tenang. Berdasarkan hasil survai dari 150 rumah tangga, diketahui bahwa pada saat musim gelombang kuat rata-rata pendapatan per rumah tangga adalah sekitar Rp. 480.000. Perbedaan antara batas minimum dan maksimum untuk musim ini cukup mencolok (Tabel 3.10). Sementara pada saat musim tenang, pendapatan rata-rata rumah tangga nelayan mencapai sekitar Rp. 1000.000. Terdapat kesenjangan yang cukup tinggi antara pendapatan maksimum dan minimum. Pendapatan tertinggi yang diperoleh pada saat musim gelombang tenang mencapai Rp. 7.500.000.

Tabel 3.10

Pendapatan Rata-rata Rumah Tangga dari Kegiatan Kenelayanan Menurut Musim Desa Duara, Resun dan Teluk, Kabupaten Lingga, 2006

Musim Gelombang kuat

Pendapatan Duara Resun Teluk Tiga desa

Rata-rata 680.000 406.475 295.696 487.437

Minimun 120.000 31.500 40.000 31.500

Maksimum 1.300.000 3.750.000 1.350.000 4.550.000

Page 69: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

50

Musim Pancaroba

Pendapatan Duara Resun Teluk Tiga desa

Rata-rata 538.906 579.112 550.329 553.551

Minimun 150.000 20.000 70.000 20.000

Maksimum 1.040.000 7.000.000 2.980.000 7.000.000

Musim Gelombang tenang

Pendapatan Duara Resun Teluk Tiga desa

Rata-rata 853.030 1.073.841 1.078.761 1.014.406

Minimun 150.000 120.000 180.000 120.000

Maksimum 2.080.000 7.500.000 3.520.000 7.500.000

Sumber: Data Primer, Survey Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2006

Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa faktor musim sangat berpengaruh terhadap pendapatan rumah tangga nelayan. Hal ini terlihat jelas dari rata-rata pendapatan yang diperoleh oleh rumah tangga nelayan per musim tersebut. Tabel 3.11 menunjukkan bahwa bila musim gelombang kuat dan musim pancaroba, sebagian besar (65 persen) rumah tangga nelayan mempunyai pendapatan di bawah Rp. 500.000. Persentase tersebut menurun seiring dengan datangnya musim gelombang tenang. Pada musim ini penghasilan nelayan relative membaik, yaitu di atas Rp. 1.000.000 Hal ini diindikasikan dari persentase rumah tangga yang memperoleh pendapatan antara Rp. 1.000.000 – Rp. 1.500.000. Rumah tangga nelayan yang mempunyai penghasilan di atas Rp. 3.000.000 per bulan pada setiap musim persentasenya tetap kecil, yaitu kurang dari satu persen.

Page 70: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

51

Tabel 3.11 Distribusi Rumah Tangga Terpilih Menurut Besar Pendapatan di Musim

Gelombang Kuat, Pancaroba dan Musim Gelombang Tenang, Desa Duara, Resun dan Teluk, Kabupaten Lingga, 2006 (persentase)

Kelompok Pendapatan

(Ribu Rupiah)

Duara N=29

Resun N=41

Teluk N=33

Tiga desa N=104

Kurang dari 500 27,6 78,0 81,8 64,4 500 – 999 51,7 17,1 12,1 25,0

1.000 – 1.499 20,7 - 6,1 7,7 1.500 – 1.999 - 2,4 - 1,0

2.000 – 2.499 - - - -

2.500 – 2.999 - - - -

3.000 – 3.499 - - - -

3.500 – 3.999 - 2,4 - 1,0 4.000 – 4.499 - - - -

4.500 – 4.999 - - - 1.0

5000 ke atas - - - -

Jumlah 100 100 100 100 Musim Pancaroba

Kelompok Pendapatan

(Ribu Rupiah)

Duara N=32

Resun N=40

Teluk N=37

Tiga desa N=110

Kurang dari 500 53,1 67,5 67,6 63,6 500 – 999 37,5 27,5 18,9 27,3 1.000 – 1.499 9,4 - 2,7 3,6 1.500 – 1.999 - - 5,4 1,8 2.000 – 2.499 - - 2,7 0.9 2.500 – 2.999 - - 2,7 0.9 3.000 – 3.499 - - - - 3.500 – 3.999 - 2,5 - 0.9 4.000 – 4.499 - - - - 4.500 – 4.999 - - - - 5000 ke atas - 2,5 - 0.9 Jumlah 100 100 100 100

Page 71: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

52

Musim tenang

Kelompok Pendapatan

(Ribu Rupiah)

Duara N=33

Resun N=41

Teluk N=42

Tiga desa N=117

Kurang dari 500 21,2 31,7 21,4 24,8 500 – 999 39,4 31,7 33,3 34,2 1.000 – 1.499 27,3 29,3 23,8 27,4 1.500 – 1.999 9,1 - 7,1 5,1 2.000 – 2.499 3,0 - 4,8 2,6 2.500 – 2.999 - - 4,8 1,7 3.000 – 3.499 - - 2,4 0.9 3.500 – 3.999 - - 2,4 0.9 4.000 – 4.499 - 2,4 - 0.9 4.500 – 4.999 - - - 0.9 5000 ke atas - 4,9 - 1.7 Jumlah 100 100 100 100

Sumber: Data Primer, Survey Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2006

3.3.2 Pengeluaran

Selain perkiraan pendapatan, survai juga menanyakan jumlah pengeluaran rumah tangga responden dalam sebulan terakhir, yang diperinci untuk pengeluaran pangan maupun non-pangan. Pengeluaran pangan meliputi pengeluaran untuk makanan pokok, lauk-pauk, minyak goreng dan bumbu, serta gula, teh, kopi dan jajan makanan. Sedang pengeluaran non-pangan meliputi semua pengeluaran rumah tangga selain untuk pangan, antara lain untuk kebutuhan sehari-hari, pendidikan, kesehatan, keperluan sosial, listrik, air, telpon dan rokok, tembakau serta transportasi. Seperti pada data pendapatan, perkiraan pengeluaran rumah tangga responden selama waktu tertentu, juga mengandung banyak kelemahan. Hal ini cenderung disebabkan oleh karena teknik pertanyaannya maupun kelemahan SDM (responden dan pewawancara).

Data mengenai pengeluaran rumah tangga juga diperoleh dari hasil survai terhadap 150 rumah tangga. Dari hasil survai tercatat bahwa rata-rata pengeluaran rumah tangga dalam satu bulan terakhir di Desa Duara, Resun dan Teluk sekitar Rp. 820.000. Bila dibedakan antara pengeluaran pangan dan non pangan, rata-rata setiap rumah tangga mengeluarkan sekitar Rp.

Page 72: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

53

559.000 untuk membeli keperluan pangan dan Rp. 293.00 untuk keperluan non pangan (lihat Tabel 3.12).

Tabel 3.12 Pengeluaran Rata-rata Rmah Tangga Desa Duara, Resun dan Teluk,

Kabupaten Lingga, 2006

Pengeluaran Duara N=50 (Rp.)

Resun N=50 (Rp.)

Teluk N=48 (Rp.)

Tiga Desa

(Rp.) Per Kapita 243.709 210.814 207.304 220.943 Rata-rata Rumah Tangga

1.001.817 787.068 661.177 820.017

Rata-rata Pangan 704.418 483.454 485.928 559.955 Rata-rata Non Pangan 338.835 303.614 235.989 293.884

Sumber: Data Primer, Survey Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2006

Apabila pengeluaran rumah tangga dalam sebulan terakhir dikelompokan, maka terlihat bahwa pengeluaran pangan di bawah Rp. 500,000 dikemukakan oleh sekitar 52 persen rumah tangga terpilih, dengan persentase terbesar mengeluarkan antar Rp. 400.000 - Rp. 500.000. Hanya sebagian kecil rumah tangga (7 persen) yang mempunyai pengeluaran di atas Rp. 1.000.000 untuk keperluan pangan saja. Sedangkan untuk keperluan non-pangan, mayoritas rumah tangga (sekitar 86 persen) mengeluarkan uang rata-rata kurang dari Rp. 500.000 per bulan untuk memenuhi kebutuhan di luar pangan. Hanya 14 persen responden yang mempunyai pengeluaran non-pangan di atas Rp. 500.000 (Tabel 3.13).

Berdasarkan pengamatan di lapangan, masyarakat umumnya mempunyai kebiasaan mengkonsumsi pangan secara sederhana dan kurang bervariasi. Untuk Desa Teluk, makanan pokok mereka adalah sagu. Adapun lauk pauk yang sering mereka makan adalah ikan segar digoreng atau dibakar. Mereka jarang mengkonsumsi lauk-pauk seperti tahu, tempe, atau daging. Demikian halnya dengan sayur mayur dan buah-buahan, sangat terbatas. Mereka makan buah bila kebetulan ada yang menjual ke dusun tersebut atau bila ada buah yang masak. Seperti pada saat penelitian ini berlangsung, banyak pohon mangga yang masak. Oleh karena pohon-pohon tersebut berbuah lebat, maka mereka saling memberi kepada tetangga. Kecuali membeli makanan pokok, pengeluaran pangan yang banyak adalah untuk membeli gula dan kopi serta rokok relatif besar. Hasil wawancara mendalam dengan beberapa ibu rumah tangga diperoleh informasi bahwa untuk keperluan kopi sekitar Rp. 16,000 per minggu sedangkan untuk beli rokok habis sekitar Rp. 40,000 per minggu.

Page 73: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

54

Pengeluaran rumah tangga untuk keperluan lain seperti pendidikan relatif kecil, karena pada umumnya anak-anak masih bersekolah di tingkat SD. Dengan adanya program pemerintah yang berupa BOS (Bantuan Operasional Sekolah) sangat membantu penduduk karena mereka tidak perlu mengeluarkan dana untuk pendidikan.

Sedangkan untuk kesehatan, hampir tidak ada pengeluaran yang berarti, karena mereka ke Puskesmas bila bagi penduduk Desa Duara atau ke mantri seperti yang terjadi di Desa Teluk. Bila tidak berobat ke puskesmas, biasanya penduduk setempat mendatangi praktek mantri dengan biaya sekitar Rp. 20,000 sudah termasuk obat. Pengeluaran keluarga untuk keperluan non-pangan relatif besar terutama pada musim-musim tertentu kalau ada tetangga atau saudara yang sedang mengadakan hajatan. Selain itu, itu pengeluaran untuk hiburan juga cukup banyak. Di Desa Teluk ada kecenderungan untuk mencari hiburan dengan berkaraoke (satu lagu harus membayar Rp. 2.500). Minimnya sarana hiburan di Desa Teluk membuat usaha karaoke menjadi salah satu hiburan yang banyak dinikmati oleh penduduk setempat.

Page 74: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

55

Tabel 3.13

Distribusi Rumah Tangga Menurut Besar Kelompok Pengeluaran, Desa Duara, Resun dan Teluk,

Kabupaten Lingga, 2006

Total Pengeluaran (ribu rupiah)

Duara N=50

Resun N=50

Teluk N=48

Tiga desa

Pangan Non Pangan

Pangan Non Pangan

Pangan Non Pangan

Pangan Non Pangan

< 100.000 5,9 7,8 - 20,0 12,5 31,3 6,0 19,5 100.000 - 199.000 2,0 15,7 2,0 18,0 6,3 25,0 3,4 19,5 200.000 – 299.000 2,0 39,2 10,0 24,0 8,3 16,7 6,7 26,8 300.000 - 399.000 7,8 9,8 18,0 16,0 8,3 6,3 11,4 10,7 400.000 – 499.000 13,7 11,8 30,0 12,0 31,3 6,3 24,8 10,1 500.000 - 599.000 11,8 2,0 12,0 - 20,8 8,3 14,8 3,4 600.000 - 699.000 13,7 3,9 20,0 4,0 - 4,2 11,4 4,0 700.000 - 799.000 11,8 2,0 2,0 - 4,2 - 6,0 0,7 800.000 - 899.000 2,0 3,9 4,0 - 4,2 - 3,4 1,3 900.000 - 999.000 11,8 2,0 - 2,0 2,1 2,1 4,7 2,0 1000.000 ke atas 17,6 2,0 2,0 4,0 2,1 - 7,4 2,0 Jumlah 100 100 100 100 100 100 100 100

Sumber: Data Primer, Survey Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2006

Page 75: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

56

3.3.3 Strategi dalam pengelolaan keuangan

Jika dilihat dari pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan yang dilakukannya, sebetulnya pendapatan nelayan cukup tinggi. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa pada saat tidak ada badai yang kuat, nelayan mempunyai penghasilan rata-rata sekitar Rp. 800.000 per bulan. Pendapatan sebanyak itu harus digunakan untuk hidup sekeluarga dengan sekitar 4 anggota rumah tangga. Namun demikian, mengingat pekerjaan sebagai nelayan adalah tidak menentu, apabila penghasilan tersebut tidak dikelola dengan baik, maka akan ada persoalan pada saat musim badai yang tidak memungkinkan bagi mereka untuk melaut. Apabila pada saat mereka mempunyai pendapatan yang berlebih dan kelebihan uang tersebut ditabung, tentu akan sangat membantu apabila mereka menghadapi kesulitan keuangan.

Namun karena kurangnya fasilitas perbankan dan rendahnya kebiasaan menabung di kalangan nelayan penhasilan tersebut tidak dapat dikelola dengan baik. Di Desa Teluk misalnya, penghasilan nelayan yang cukup tinggi namun karena pengeluaran mereka juga cukup tinggi maka uang yang harus ditabung tidak ada. Pengeluaran sehari-hari yang cukup tinggi terutama karena minimnya fasilitas di Desa Teluk menyebabkan harga kebutuhan sehari-hari di desa tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan desa lainnya. Tidak adanya fasilitas perbankan menyebabkan ketergantungan terhadap tengkulak cukup tinggi. Hal inilah yang barangkali menyebabkan rendahnya kebiasaan menabung. Hasil survai yang telah dilakukan pada 150 rumah tangga terpilih, memperlihatkan bahwa hanya sekitar 22 persen yang memiliki tabungan. Dari rumah tangga yang mempunyai tabungan, hampir 80 persen melaporkan bahwa mereka berupa uang. Sebagian rumah tangga menabung dalam bentuk ternak (15,6 persen) dan sebagian kecil menabung dalam bentuk emas (6,3 persen). Menurut informasi dari beberapa responden, dengan menabung uang akan dengan mudah untuk digunakan apabila mereka menghadapi kesulitan keuangan. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh minimnya fasilitas perbankan dan lembaga keuangan yang ada di desa-desa lokasi penelitian.

Dalam pengelolaan keuangan rumah tangga, pada saat nelayan mendapatkan penghasilan berlebih, mereka tidak biasa menabung. Padahal, penghasilan yangn diperoleh nelayan merupakan pendapatan yang tidak tetap karena penghasilan merekla sangat tergantung pada musim. Jika pada saat musim-musim ikan mereka mendapatkan penghasilan yang berlimpah, namun ketika saat musim badai di mana para nelayan tidak dapat melaut sama

Page 76: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

57

sekali mereka tidak mempunyai penghasilan. Dengan tidak mempunyai tabungan hal ini tentunya mereka akan kesulitan jika kebetulan mereka sedang membutuhkan uang padahal mereka tidak melaut.

Mayoritas rumah tangga sample (80 persen) pernah mengalami kesulitan keuangan dalam setahun terakhir. Adapun jenis kesulitan keuangan yang pernah dihadapi paling banyak adalah untuk memenuhi kebutuhan bahan makanan, sebanyak 48,3 persen (Tabel 3.14). Sementara untuk penyediaan sarana produksi 15 persen. Lainnya, kesulitan keuangan dalam rangka penyediaan biaya pendidikan sebanyak 12 persen. Kesulitan lain yang juga dihadapi oleh nelayan adalah untuk biaya kesehatan meskipun persentasenya sangat kecil.

Tabel 3.14

Distribusi rumah tangga berdasarkan Jenis Kesulitan Keuangan

Desa Duara, Resun, dan Teluk, 2006

Jenis kesulitan Duara N=47 (%)

Resun N=41 (%)

Teluk N=28 (%)

Tiga Desa N=116

(%) Penyediaan sarana produksi

21,3 19,5 17,9 19,8

Biaya produksi 14,9 4,9 - 7,8 Bahan makanan 38,3 48,8 64,3 48.3 Biaya pendidikan 14,9 24,4 10,7 17,2 Biaya kesehatan 8,5 2,4 - 4,3 Lainnya 2,1 - 7,2 2,6 Total 100 100 100 100

Sumber: Data Primer, Survey Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2006

Ada berbagai upaya yang dilakukan oleh rumah tangga-rumah tangga nelayan pada saat mereka sedang menghadapi kesulitan keuangan. Upaya yang paling banyak dilakukan oleh para nelayan pada saat mereka menghadi masalah kesulitan adalah pinjam ke tauke 32 persen, seperti terlihat pada tebl 3.15. Taoke merupakan tumpuan harapan bagi para nelayan. Hubungan saling membutuhkan antara taoke dengan nelayan ini membawa konsekuensi pada masing-masing pihak. Di pihak nelayan, karena jika ada kesusahan, mereka ‘lari’ ke taoke. Konsekuensinya, para nelayan yang dibantu tersebut pada akhirnya ‘ada kewajiban moral’ untuk menjual hasil tangkapannya kepada taoke. Padahal, harga yang diberikan oleh taoke

Page 77: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

58

cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan pembeli lain. Namun karena sudah terikat, mereka tetap menjualnya kepada taoke. Sebagai contoh, nelayan Teluk, menjual hasil tangkapannya (ikan sengarat, udang, dan lain-lain) ke seorang pengumpul di Lubuk, Desa Teluk dengan harga di bawah harga pembeli di Pancur, namun karena mahalnya ongkos yang harus dikeluarkan apabila mereka harus menjual hasil ke Pancur.

Tabel 3.15

Distribusi rumah tangga berdasarkan Upaya yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan keuangan, Desa Duara, Resun, dan Teluk, 2006

Upaya yang dilakukan Duara N=47 (%)

Resun N=40 (%)

Teluk N=27 (%)

Tiga Desa (%)

Menjual simpanan - 5,0 11,1 4,4 Menggadaikan barang 6,4 - 3,7 3,5 Pinjam ke punggawa/bos/taoke

42,6 32,5 59,3 43,0

Pinjam ke warung/tetangga/saudara

14,9 37,5 14,8 22,8

Pinjam ke koperasi/bank 6,4 2,5 - 3,5 Minta bantuan ke saudara/tetangga secara Cuma-Cuma

27,7 22,5 11,1 21,9

Lain-lain 2,1 - - 0.9 Total 100 100 100 100

Sumber: Data Primer, Survey Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2006

Selain mencari pertolongan kepada punggawa atau taoke jika ada kesulitan keuangan, para nelayan cenderung minta bantuan ke warung/tetangga/ saudara sebanyak 17 persen. Sudah menjadi kecenderungan di kalangan masyarakat nelayan kalau mereka sedang membutuhkan sesuatu pada saat mereka tidak mempunyai penghasilan maka pinjam ke warung merupakan salah satu alternatif. Hal ini tentunya juga membawa konsekuensi, di mana nelayan harus membayar dengan harga yang lebih tinggi. Wawancara mendalam dengan salah seorang pedagang di Desa Teluk diperoleh informasi bahwa dirinya tidak dapat menolak jika ada nelayan yang mengambil barang ; bayar belakang’ (hutang) barang dagangnya.

Page 78: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

59

‘Sebagai seorang pedagang sebetulnya rugi kalau barang dagangan dihutang terus karena uang jadi ‘macet’ tidak dapat berputar. Padahal, saya membutuhkan dana untuk membeli barang dagangan untuk dijual. Namun sebagai seorang nelayan saya bisa merasakan bahwa kalau memang tidak bisa memperoleh hasil karena musim gelombang kuat, bagaimana harus menghidupi keluarga. Saya juga dibantu taoke di Pancur, jadi saya harus bantu juga para nelayan di sini’

Sebagian kecil responden menjual simpanan dan atau menggaidaikan barang apabila mereka menghadapi kesulitan keuangan. Mereka yang meminjam dari lembaga keuangan seperti koperasi atau perbankan hanya dalam persentase yang sangat kecil. Apabila lembaga keuangan seperti koperasi atau perbankan ini tersedia di setiap desa, kemungkinan situasi yang ada akan berbeda karena masyarakat dapat menggunakan fasilitas tersebut baik untuk menabung atau meminjam pada saat mereka dalam kesulitan keuangan.

3.3.4 Pemilikan aset rumah tangga

Uraian mengenai aset rumah tangga dibedakan antara aset rumah tangga produktif dan tidak produktif. Aset rumah tangga produktif adalah aset yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi produktif seperti armada dan alat tangkap, serta lahan/tanah. Sementara aset yang tidak produktif antara lain adalah rumah, pekarangan dan kebun, barang-barang elektronik, ternak, dan aset lainnya. Tidak ada informasi yang akurat mengenai nilai ekonomis masing-masing aset rumah tangga. Namun dengan uraian yang ada diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kondisi ekonomi rumah tangga penduduk berdasar dari pemilikian aset rumah tangga.

1). Perahu dan alat tangkap.

Sebagian besar rumah tangga di ketiga desa penelitian mempunyai armada untuk menangkap ikan baik yang berupa perahu motor maupun perahu tanpa motor, serta alat penangkap sumber daya laut. Dari 50 rumah tangga sampel di masing-masing desa, hampir lebih dari separo memiliki perahu motor. Perahu motor yang banyak dimiliki oleh rumah tangga nelayan adalah perahu pompong dengan mesin jenis donfeng 1015 - 1195 yang berkapasitas antara 10 – 40 PK. Khusus untuk Desa Teluk, terdapat sebanyak 52 buah perahu motor tipe donfeng 1015. Di Desa Duara dan Resun beberapa nelayan memiliki pukat trawl yang berukuran kecil. Di Dusun Pasirlulun, Desa Resun saja ada sekitar 12 buah pukat, namun hanya 7 yang beroperasi.

Page 79: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

60

Di Desa Duara ada empat orang yang memiliki pukat trawl. Selain itu, beberapa nelayan juga memiliki pukat kecil, namun semenjak kenaikan harga BBM pada bulan Oktober 2005, banyak pukat yang tidak beroperasi lagi.Selain memiliki perahu motor, rumah tangga nelayan juga memiliki perahu tanpa motor (sampan). Hasil wawancara di lapangan diperoleh informasi bahwa biasanya di setiap rumah tangga nelayan memiliki perahu tanpa motor yang biasa digunakan oleh kaum ibu untuk membantu suaminya meletakkan bubu-bubu ketam. Sedangkan alat tangkap sumber daya laut yang dianggap merupakan aset rumah tangga yang paling berharga antara lain adalah kelong, keramba, bubu jaring, dan pancing.

Kelong (bagan tancap)

Kelong merupakan salah satu alat tangkap yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi. Harga kelong ini cukup mahal, sekitar Rp. 5 – 6 juta. Besar kecilnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pembuatan kelong ini tergantung dari mutu kelong tersebut, salah satunya adalah panjang pendeknya kayu tongkat yang dibutuhkan. Biaya ini diperlukan untuk membeli bahan-bahan dalam pembuatan kelong. Bahan-bahan yang diperlukan antara lain 60 batang tongkat untuk kelong dengan kedalaman 10 meter. Selain tongkat, diperlukan 3 lampu stromking, tangkul, tali atom, kawat lingkar, daun rumbia untuk atap, papan untuk laintai, jaring dan kayu engkol. Selain bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat bagan tancap tersebut, sebuah kelong juga masih harus dilengkapi dengan kintauw (semacam nampan terbuat dari daun nipah), wajan tembaga sebesar 32 inchi dan kajang yang digunakan untuk menjemur teri. Harga sebuah kintauw sekitar Rp. 5000 sementara harga sebuah wajan sekitar Rp. 50,000.

Keramba

Keramba merupakan sarana produksi yang banyak dimiliki oleh nelayan terutama yang tinggal di Dusun Pasirlulun, Desa Resun. Keramba digunakan untuk menggemukan ikan kerapu, sunun, sengarat serta ikan ungu. Modal yang digunakan untuk menggemukan ikan dalam keramba ini memerlukan modal yang cukup. Pada awalnya, keramba hanya diusahakan oleh lima orang dari Dusun Pasirlulun yang membentuk kelompok nelayan dengan sebutan kelompok Usaha Baru. Kelompok mendapat pinjaman modal dari sebuah yayasan di Kepulauan Riau sebesar Rp. 100 juta. Usaha ini terus berkembang dan dapat memberikan hasil yang cukup lumayan. Pembuatan satu keramba menghabiskan dana sekitar Rp. 600.000, untuk

Page 80: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

61

pembelian kain, kayu dan benang. Keramba ini dapat bertahan selama 5 tahun. Satu keramba dapat menampung sekitar 20 kilogram bibit ikan kerapu. Harga bibit ikan per kilogramnya mencapai Rp. 85,000. Sementara harga pakan per kilogramnya sekitar Rp. 2000. Untuk 20 kilogram bibit diperlukan pakan sebanyak 5 kilogram. Dalam tempo 6 bulan ikan-ikan tersebut sudah dapat dipanen. Satu kilogram bibit dapat menghasilkan sekitar 5 – 6 kilogram ikan. Harga ikan kerapu untuk ukuran ideal (4 – 9 ons) dijual dengan harga Rp. 165.000 per kilogram. Bila ukurannya melebihi ukuran ideal (oversize) maka harga ikan akan turun, karena hanya Rp. 80.000 per kilogramnya. Dengan mempunyai dua keramba saja, setiap 6 bulan dapat panen sekitar 40 kilogram ikan.

Bubu

Bubu merupakan alat tangkap yang banyak dimiliki oleh nelayan di ketiga desa penelitian. Ada dua macam bubu yang digunakan oleh masyarakat nelayan, yaitu bubu ketam dan bubu ikan. Bubu ketam digunakan untuk menangkap ketam (rajungan), seperti yang banyak dijumpai di Desa Duara dan Resun. Sedangkan bubu ikan banyak dipakai untuk menangkap ikan oleh kebanyakan nelayan di Desa Teluk. Menurut informasi dari seorang narasumber, di Desa Resun saja ada sekitar 1000 bubu khususnya bubu untuk menangkap ketam (rajungan). Harga setiap bubu ini bervariasi tergantung pada jenisnya. Bubu buatan Thailand yang terbuat dari kawat dijual seharga Rp. 50.000. Apabila membuat sendiri, sebuah bubu memerlukan biaya sekitar Rp. 25.000.

Menurut hasil survai rumah tangga, setiap rumah tangga nelayan memiliki bubu lebih dari satu buah. Di Desa Duara misalnya, setiap nelayan memiliki bubu sekitar 8 – 25 buah. Bahkan ada empat orang nelayan Desa Duara yang masing-masing memiliki bubu sebanyak 30-40 buah. Sedangkan di Desa Resun, jumlah bubu yang dimiliki oleh nelayan dari rumah tangga yang menjadi sampel penelitian jumlahnya cukup banyak. Dari 50 rumah tangga, 24 rumah tangga di antaranya memiliki bubu dengan jumlah antara 10 – 70 per rumah tangga. Sementara di Desa Teluk, hanya 18 rumah tangga sampel yang memiliki bubu dengan jumlah antara 1-20 buah.

Page 81: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

62

Tabel 3.16

Jumlah Aset rumah tangga yang dimiliki rumah tangga sample di Desa Duara, Resun dan Teluk, 2006.

Jenis asset Duara Resun Teluk Aset produktif Perahu motor 19 23 24 Perahu tanpa motor 9 31 25 Keramba 4 13 9 Kelong 4 70 27 Bubu 186 951 207 Lahan 4 - 28 Aset non produktif Rumah dan pekarangan 40 47 45 TV 22 10 10 VCD player 18 5 10 Parabola 14 6 4 Perhiasan 36 34 102 Kendaraan bermotor 8 1 8 Ternak - 30 136

Sumber: Data Primer, Survey Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2006

2), Rumah dan pekarangan

Aset lain yang dimiliki oleh rumah tangga-rumah tangga terpilih adalah rumah dan pekarangan. Hampir semua rumah tangga tersebut memiliki rumah. Beberapa rumah tangga tidak memiliki rumah sendiri karena beberapa diantara mereka masih menumpang di rumah orang tua dan sebagian menyewa rumah.

3). Perhiasan

Perhiasan merupakan barang berharga yang banyak dimiliki oleh rumah tangga-rumah tangga yang menjadi sample dalam penelitian ini. Meskipun dalam melaporkan harta yang berupa perhiasan ini masih terjadi kesimpang siuran, karena ada yang melaporkan unit emas yang mereka miliki, namun ada juga yang melaporkan berat perhiasan yang dimiliki. Apapun ukuran

Page 82: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

63

yang digunakan, perhiasan yang berupa emas sering dijadikan sebagai barang simpanan yang sewaktu-waktu dapat dijual apabila mereka menghadapi kesulitan keuangan. Menurut penuturan beberapa responden, bila mereka ada kelebihan uang diusahakan untuk dibelikan emas karena selain dapat digunakan sebagai perhiasan apabila sedang menghadiri hajatan, emas juga merupakan tabungan yang sewaktu-waktu dapat digunakan apabila mereka memerlukannya.

4) Barang elektronik

Barang elektronik seperti TV, VCD player dan radio merupakan harta yang dimiliki oleh sebagian rumah tangga-rumah tangga sample. Jumlah TV maupun VCD player lebih banyak dijumpai di Desa Duara daripada Desa Resun dan Teluk. Alasan utamanya adalah fasilitas listrik di Desa Duara relative lebih stabil dibandingkan kedua desa lainnya. Seperti Desa Teluk, pemilikian TV sangat terbatas, karena di desa ini belum ada listrik. Untuk penerangan mereka menggunakan tenaga diesel dan juga accu yang banyak dimiliki oleh perseorangan. Selain TV, penduduk juga memiliki antenna parabola. Barang ini banyak dimilki oleh penduduk yang memiliki TV untuk menangkap siaran-siaran televisi. Seperti halnya dengan pemilikan televise, antenna parabola banyak dimiliki oleh rumah tangga -rumah tangga yang memiliki televise di Desa Duara.

3.3.5 Kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan

Di tiga desa penelitian, rumah-rumah pada umumnya merupakan rumah semi permanen. Di Desa resun, rumah-rumah permanen hanya sebanyak 7 buah dan semi permanen 10 buah, sementara rumah non permanen ratusan buah. Jumlah rumah non permanen di Desa Teluk lebih banyak lagi, mencapai 256 buah, padahal rumah permanen hanya 7 dan rumah semi permanen hanya 6 buah (Monografi Desa Teluk dan Monografi Desa Resun, 2005). Beberapa rumah masih terbuat dari bambu dengan atap rumbia. Sementara pola pemukiman penduduk cenderung untuk mengelompok, seperti yang ada di Desa Duara, permukiman penduduk cenderung padat.

Sementara jika dilihat dari sanitasi lingkungan, pada umumnya di tiga desa penelitian masih belum memadai. Fasilitas untuk buang air besar masih belum tersedia di setiap rumah. Kondisi sanitasi lingkungan Desa Teluk sangat memprihatinkan. Di permukiman nelayan, pada umumnya belum tersedia fasilitas untuk buang air besar. Kebanyakan rumah tangga membuat jamban setengah terbuka dan tidak ada penampung tinja secara tertutup.

Page 83: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

64

Tempat pembuangan tinja (WC) biasanya berupa gubuk kecil yang terbuat dari bambu dan terletak di kebun belakang rumah. Kotoran langsung dibuang ke tanah tanpa menggunakan suatu penampung. Kondisi semacam ini tentunya sangat rentan terhadap penyebaran suatu penyakit karena selain mengundang lalat juga menyebarkan bau yang sangat tidak sedap. Permasalahan ini bertambah parah dengan keterbatasan air untuk menyentor kotoran tersebut.

Masalah utama yang dihadapi penduduk, selain fasilitas pembuangan tinja adalah keterbatasan sumber air bersih. Untuk memenuhi kebutuhan Pada umumnya masyarakat setempat menampung air hujan di drum-drum untuk persediaan air guna pemenuhan keperluan mandi maupun buang air besar. Bila tidak turun hujan, kondisi ini lebih memprihatinkan lagi. Mereka harus mengambil air di mata air dekat hutan yang berjarak sekitar 1 kilometer dari pemukiman. Kondisi airnyapun tidak cukup jernih. Sebelumnya di Desa Teluk sudah ada fasilitas air bersih dengan dana dari subsidi PKPSBBM (Program Pengurangan Pemberian Subsidi Bahan Bakar Minyak). Fasilitas tersebut bak penampung air lengkap dengan pipa-pipa yang rencananya akan disalurkan langsung ke dusun sehingga masyarakat setempat dapat secara langsung mengambil air bersih di dekat tangki air tersebut. Pada saat penelitian ini berlangsung pembangunan bak penampung air tersebut sudah selesai dikerjakan namun karena ada kesalahan teknis maka bak tersebut belum dapat dioperasikan. Padahal, pada waktu itu hujan sudah mulai jarang turun sehingga air sangat terbatas. Sebenarnya, Desa Teluk memiliki sumber air yang potensial apabila dikelola dengan baik akan dapat membantu masyarakat memenuhi kebutuhan akan air bersih.

Kondisi di Desa Resun tidak jauh berbeda. Untuk buang air besar, masyarakat harus pergi ke pinggir pantai, Sumber air sangat terbatas, Situasi yang lebih baik ada di Desa Duara. Masyarakat setempat dapat memperoleh air dari sumber air yang dialirkan ke rumah-rumah penduduk meskipun secara bergiliran setiap dua hari sekali. Untuk pembuangan tinja, masyarakat membuat wc di rumahnya tanpa menggunakan septi tank. Biasanya mereka yang tinggal di rumah papan yang berdiri di atas pantai, mempunyai ‘wc cemplung’ berbentuk lubang tanpa penampung tinja. Tinja tersebut langsung jatuh di air laut. Selama tidak surut, tidak begitu nenjadi salah, namun kalau air surut akan nampak pemandangan yang cukup menjijikkan dan bau yang tidak sedap. Kondisi semacam ini cukup berpotensi untuk menimbulkan penyakit seperti kholera mengingat kemungkinan adanya lalat yang berkeliaran.

Page 84: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

65

Selain masalah fasilitas pembuangan air besar. Masalah pembuangan sampah dan air limbah juga cukup memprihatinkan. Ada kecenderungan di antara masyarakat yang tinggal di pinggir pantai untuk membuang sampah langsung ke pantai. Tidak mengherankan jika kadang-kadang pada pagi hari saat air laut agak surut, sampah-sampah tersebut nampak mengapung. Apabila kebiasaan seperti ini terus berlangsung, tentunya dapat diduga dampak apa yang akan muncul. Sementara di pemukiman penduduk yang relatif jauh dari pantai, kecenderungan masyarakat adalah membakar sampah-sampah tersebut.

Page 85: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

66

Page 86: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

67

BAB IV PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAUT

Masyarakat, khususnya yang tinggal di daerah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengelola Sumber Daya Laut (SDL). Masyarakatlah yang secara langsung dan terus menerus berinteraksi dengan laut dan mengelolanya untuk kelangsungan kehidupan perekonomian mereka. Seperti yang telah dibahas pada bagian sebelumnya, sebagian besar masyarakat yang tinggal di Desa Resun, Duara dan Desa Teluk bekerja sebagai nelayan. Oleh karena itu pengetahuan, kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap SDL, khususnya terumbu karang menjadi sangat penting.

Selain masyarakat, pemerintah dan pengusaha atau pedagang juga mempunyai peranan yang tidak kalah penting dalam pengelolaan SDL. Sebagai pembuat kebijakan, pengelolaan SDL yang dilakukan oleh pemerintah terwujud dalam bentuk peraturan perundang-undangan seperti larangan penangkapan ikan dengan alat tertentu yang dianggap dapat merusak SDL, pengaturan wilayah tangkap serta berbagai bentuk peraturan wilayah laut lainnya. Sedangkan peranan pengusaha atau pedagang dalam mengelola SDL dilakukan melalui permintaan dan penentuan jenis dan harga komoditas yang dihasilkan oleh masyarakat. Hal ini biasanya disertai dengan memberikan bantuan modal maupun alat tangkap kepada nelayan.

Pada bagian ini akan dibahas secara khusus tentang pengelolaan SDL di Desa Duara, Resun dan Teluk. Bagian pertama akan membahas mengenai pengetahuan dan kepedulian masyarakat terhadap penyelamatan terumbu karang, kemudian diikuti dengan diskusi mengenai wilayah pengelolaan SDL dan teknologi penangkapan ikan. Pada bagian akhir akan dibahas mengenai stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan SDL dan hubungan kerja antar stakeholder.

Informasi mengenai pengelolaan sumber daya laut yang dilakukan di ketiga lokasi penelitian diperoleh melalui pendekatan kuantitaif dan kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dengan melakukan wawancara tertutup terhadap salah satu anggota rumah tangga terpilih yang berusia 15 tahun ke atas, yang dipilih secara acak. Sedangkan data kualitatif diperoleh dengan cara melakukan wawancara terbuka terhadap beberapa narasumber,- termasuk nelayan, pedagang pengumpul, pedagang besar, aparat kecamatan/desa dan tokoh masyarakat-, diskusi kelompok terfokus dengan nelayan dan observasi terhadap aktifitas nelayan yang berkaitan dengan pengelolaan SDL.

Page 87: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

68

4.1 Pengetahuan, kesadaran dan kepedulian terhadap penyelamatan terumbu karang

4.1.1 Pengetahuan dan sikap tentang terumbu karang.

Masyarakat di Desa Resun, Duara dan Teluk umumnya mengenal terumbu karang dengan sebutan lokal ‘karang’ atau ‘bunga karang’. Namun dari wawancara mendalam ditemukan bahwa ada juga nelayan yang membedakan antara ‘terumbu karang’, yaitu karang buatan pemerintah dan ‘karang’ yaitu karang asli. Seperti yang diungkapkan oleh seorang nelayan yang juga perangkat Desa Duara, berusia sekitar 55 tahun:

Terumbu karang adalah karang yang dibikin pemerintah, dibuat dari ban-ban bekas yang kemudian di semen. Sedangkan yang disebut karang adalah karang asli, karang yang hidup, ada bunyinya tek’ tek’ gitu! Kalau karang mati, karang yang tidak ada bunyinya.

Pendapat ini tampaknya dipengaruhi oleh kegiatan Coremap yang pernah dilakukan di daerah Sekanah dan Senayang, yang mana kegiatannya antara lain adalah pembuatan terumbu karang yang berasal dari ban-ban bekas.

Secara umum hampir semua masyarakat di ketiga desa penelitian mengetahui apa yang disebut dengan karang. Namun pengetahuan yang lebih mendalam seperti ‘apakah karang merupakan mahluk hidup’ atau ‘termasuk jenis mahluk hidup apakah karang tersebut’ hanya diketahui oleh sebagian masyarakat. Tabel 4. 1 menunjukkan lebih dari sepertiga responden di ketiga desa penelitian tidak mengetahui bahwa terumbu karang adalah mahluk hidup. Bila dibandingkan dengan responden di dua desa lainnya, pengetahuan responden di Desa Teluk mengenai terumbu karang lebih rendah. Separuh dari keseluruhan responden tidak mengetahui bahwa terumbu karang adalah mahluk hidup. Diantara mereka yang mengetahui bahwa karang adalah mahluk hidup, sebagian besar beranggapan bahwa mahluk ini merupakan tumbuh-tumbuhan. Hal ini mungkin disebabkan oleh nama lain terumbu karang yang sering juga disebut sebagai bunga karang. Hanya seperempat diantara responden yang mengatakan bahwa karang adalah mahluk hidup, mengetahui dengan benar bahwa terumbu karang termasuk jenis tumbuhan dan sekaligus juga hewan.

Page 88: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

69

Tabel 4.1

Pengetahuan Responden mengenai terumbu karang di Desa Resun, Duara dan Teluk

Pengetahuan tentang terumbu karang Desa Duara (%)

Desa Resun

(%)

Desa Teluk (%)

Ketiga Desa (%)

Terumbu karang merupakan mahluk hidup

N=50 N=50 N=50 N=150

Ya 66 76 50 64

Tidak 6 4 16 9 Tidak Tahu 28 20 34 27

Terumbu karang termasuk mahluk hidup jenis

N=33 N=38 N=25 N=96

Hewan 3 3 2 3

Tumbuhan 37 55 76 54 Hewan dan Tumbuhan 30 37 8 25

Tidak tahu 30 10 12 18

Jumlah 100 100 100 100 Sumber: Survai Data dasar aspek social terumbu karang Indonesia, PPK-LIPI, 2006

Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang terumbu karang, selain karena rendahnya tingkat pendidikan mereka, tampaknya juga dipengaruhi oleh belum adanya informasi atau sosialisasi tentang terumbu karang di desa mereka. Hal ini cukup memprihatinkan mengingat sejak tahun (1999-2003) program COREMAP telah masuk ke Desa Sekanah yang hanya berjarak sekitar 1 jam perjalanan dari Desa Duara dan Desa Resun dengan perahu nelayan (pom-pong). Dari hasil wawancara informal dengan beberapa penduduk di Desa Duara, meskipun mereka pernah mendengar tentang program COREMAP, mereka mengaku tidak mengetahui dengan jelas apa kegiatan program tersebut.

• Manfaat terumbu karang

Manfaat terumbu karang dapat dibedakan menjadi manfaat ekologi dan manfaat ekonomi. Manfaat ekologi berkaitan dengan fungsi terumbu karang

Page 89: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

70

sebagai penyeimbang ekosistem laut, sedangkan manfaat ekonomi berkaitan dengan fungsinya sebagai sumber pendapatan masyarakat.

Berbeda dengan pengetahuan responden tentang klasifikasi terumbu karang, hampir semua responden mengetahui dengan baik manfaat terumbu karang, khususnya manfaat ekologis. Pengetahuan bahwa terumbu karang merupakan tempat ikan hidup, bertelur dan mencari makan diketahui oleh seluruh responden di Desa Resun dan Teluk (lihat table 4.2). Hal ini tidak mengherankan, karena responden yang pada umumnya adalah nelayan, melihat dalam kehidupan mereka sehari-hari pada waktu melaut bahwa pada tempat-tempat dimana ada terumbu karang, maka dapat dipastikan akan banyak ditemui ikan dari berbagai jenis, termasuk ikan-ikan kecil. Namun fungsi ekologis terumbu karang sebagai pelindung pantai dari ombak, tampaknya kurang dipahami oleh sebagian responden, khususnya yang berada di Desa Teluk. Hal ini mungkin karena pada umumnya terumbu karang yang ada di wilayah mereka berada agak jauh di laut dalam dan agak jauh dari pantai tempat pemukiman nelayan, sehingga mereka tidak melihat secara langsung manfaat tersebut.

Tabel 4.2

Pengetahuan responden tentang manfaat terumbu karang

Responden yang mengetahui (%) Manfaat Terumbu Karang Duara N=50

Resun N=50

Teluk N=50

Di tiga desa

Manfaat Ekologi Tempat ikan hidup,bertelur dan cari makan

98 100 100 99

Melindungi keragaman ikan/biota laut 98 100 84 94 Melindungi pantai dari ombak dan badai

88 94 78 86

Manfaat Ekonomi Sumber bahan baku untuk keperluan sendiri

68 64 70 64

Sumber pendapatan masyarakat 84 84 86 84 Tempat wisata 52 22 58 44

Sumber: Survai data dasar aspek sosial terumbu karang Indonesia, PPK-LIPI, 2006

Page 90: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

71

Selain manfaat ekologi, responden juga mengetahui manfaat ekonomi dari terumbu karang. Manfaat ekonomi terumbu karang yang diketahui responden umumnya sangat berkaitan dengan pengetahuan mereka tentang fungsi terumbu karang sebagai tempat ikan hidup berkembang. Lebih dari 80 per sen responden mengatakan karang merupakan sumber pendapatan masyarakat, karena ditempat inilah biasanya mereka mencari ikan. Dengan kata lain, masyarakat di ketiga desa penelitian sangat menyadari bahwa kelangsungan perekonomian mereka sangat tergantung kepada kondisi terumbu karang yang ada di wilayah sekitar mereka. Manfaat terumbu karang sebagai bahan baku untuk keperluan sendiri juga diketahui oleh sebagian masyarakat. Dari hasil survai dan wawancara dengan beberapa masyarakat diketahui bahwa pengambilan karang mati untuk sarana umum seperti pembangunan lapangan olah raga, jalan atau membangun tempat ibadah bukan merupakan hal yang langka.

Manfaat terumbu karang sebagai tempat wisata juga diketahui oleh lebih dari separuh responden di Desa Duara dan Desa Teluk. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya rencana pemerintah daerah untuk menjadikan daerah ini, khususnya Desa Teluk sebagai wisata bahari (hasil wawancara dengan kepala desa dan kepala SDA Kabupaten Lingga), sehingga informasi mengenai terumbu karang merupakan salah satu daya tarik wisata mulai tersebar.

• Pemahaman masyarakat tentang kondisi terumbu karang

Sebagian besar responden di ketiga daerah penelitian mengaku mengetahui kondisi terumbu karang di wilayah perairan sekitar mereka, khususnya responden di Desa Resun dan Teluk. Menurut sebagian besar responden kondisi terumbu karang di sekitar mereka sudah rusak dan perlu diperbaiki. Hanya sekitar 16 persen responden yang mengatakan kondisi terumbu karang di wilayah mereka baik. Namun proporsi penduduk yang mengaku tidak mengetahui kondisi terumbu karang di laut disekitar mereka juga cukup tinggi, khususnya di Desa Duara. Hampir separuh (46 per sen) dari keseluruhan responden mengaku tidak mengetahui kondisi terumbu karang di wilayah mereka. Hal ini mungkin karena pekerjaan responden di Desa Duara relatif lebih heterogen dibanding di dua desa lainnya, yang hampir seluruhnya adalah nelayan. Selain itu, nelayan di ketiga desa penelitian tidak mempunyai kebiasaan menyelam, sehingga interaksi mereka dengan terumbu karang tidak secara langsung. Kebiasaan ini tentu saja juga erat kaitannya dengan jenis ikan yang umumnya ditangkap di daerah tersebut yang pada umumnya adalah jenis ikan permukaan, sehingga tidak

Page 91: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

72

diperlukan penyelaman untuk memperolehnya. Karakteristik terumbu karang di ketiga desa penelitian yang umumnya terletak di laut dalam ditengarai turut juga mempengaruhi pengetahuan responden. Berbeda dengan karakteristik karang di daerah Indonesia timur yang umumnya merupakan karang timbul, karakteristik karang di wilayah Kabupaten Lingga umumnya adalah karang laut dalam sehingga tidak terlihat dari permukaan.

Tabel 4.3

Pengetahuan dan sikap responden tentang kondisi terumbu karang

Desa Duara (%)

N=50

Desa Resun

(%) N=50

Desa Teluk (%)

N=50

Di tiga desa (%)

N=150

Kondisi Terumbu karang di sekitar mereka

Baik 24 14 12 16 Kurang Baik 18 22 10 17 Rusak 10 20 36 22 Sangat Rusak 2 6 6 5 Tidak Tahu 46 38 36 40

Kondisi terumbu karang perlu diperbaiki

Ya 70 80 76 75 Tidak - 6 6 4 Tidak Tahu 30 14 18 21

Sumber: Survai Data dasar aspek social terumbu karang Indonesia, PPK-LIPI, 2006

Sejalan dengan pendapat responden yang mengatakan bahwa kondisi terumbu karang di wilayah mereka sudah kurang baik atau rusak, lebih dari dua pertiga responden mengatakan bahwa terumbu karang di wilayah mereka perlu diperbaiki. Beberapa nelayan yang diwawancarai mengatakan bahwa berkurangnya hasil tangkap yang mereka peroleh beberapa tahun belakangan ini, antara lain juga disebabkan karena kondisi terumbu karang yang sudah semakin rusak. Menurut nelayan setempat, kerusakan terumbu karang diwilayah mereka utamanya disebabkan oleh alat tangkap yang merusak seperti bom dan pukat/trawl. Beberapa narasumber diketiga daerah

Page 92: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

73

penelitian mengatakan bahwa sebelum tahun 2000 daerah mereka sering didatangi oleh kapal besar penangkap ikan yang menggunakan bom sebagai alat tangkap. Namun pada masa sekarang kegiatan tersebut sudah jarang terdengar. Sementara penggunaan pukat trawl dalam lima tahun belakangan ini semakin marak dilakukan.

4.1.2 Pengetahuan tentang alat tangkap yang merusak

Pada umumnya masyarakat di daerah penelitian mengetahui dengan benar beberapa jenis alat tangkap yang dapat merusak sumber daya laut. Alat tangkap seperti bom, sianida/racun atau tuba serta trawl/pukat harimau atau lampara dasar diketahui oleh hampir semua responden sebagai alat tangkap yang dapat merusak kelangsungan hidup terumbu karang. Seperti dapat dilihat dari tabel 4.4 hampir semua responden mengatakan bom dan trawl atau pukat harimau dapat merusak terumbu karang dan SDL lainnya. Sedangkan sianida, meskipun tidak sepopuler bom dan pukat trawl, juga diketahui oleh sebagian besar responden sebagai alat tangkap yang merusak.

Penggunaan ketiga alat tangkap tersebut memang dapat dipastikan akan menimbulkan degradasi sumber daya laut. Ledakan yang ditimbulkan oleh bom mengakibatkan kerusakan pada terumbu karang dan mematikan ikan-ikan kecil dan biota laut lainnya disekitarnya. Demikian juga dengan penggunaan sianida/potas atau racun untuk menangkap ikan akan merusak terumbu karang dan ikan-ikan kecil serta biota laut yang hidup disekitarnya. Sianida atau racun lainnya biasanya digunakan dengan cara menaburkannya disekitar terumbu karang untuk menangkap ikan-ikan yang bersembunyi dibaliknya. Sedangkan pukat harimau atau trwal dipastikan akan merusak ekosistem sumber daya laut karena menggunakan jaring yang sangat halus sehingga ikan-ikan kecil juga ikut terjaring. Selain itu, pada umumnya pukat harimau menebarkan jaring sampai kelaut dalam, sehingga pada waktu menarik jaring tersebut, besar kemungkinan terumbu karang yang ada disekitarnya ikut terbawa.

Dibanding dengan alat tangkap bom dan trawl, menangkap ikan dengan menggunakan racun/sianida tampaknya tidak lagi popular di daerah Kepulauan Riau. Dari wawancara mendalam diketahui bahwa hampir tidak ada nelayan yang mengetahui ada rekan mereka yang menggunakan racun untuk menangkap ikan. Menurut beberapa informan di ketiga desa penelitian, pada masa sekitar dua puluh tahun yang lalu, alat tangkap racun pernah digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan. Namun dengan mulai dikenalnya alat tangkap lain seperti bubu, nelayan tidak lagi menggunakan racun sebagai alat tangkap. Masyarakat nelayan di daerah

Page 93: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

74

penelitian juga tidak mengenal jenis racun yang dapat diproduksi secara tradisional dari akar tanaman tertentu seperti yang banyak ditemui di wilayah Indonesia bagian timur (Augustina dkk., 2002:88).

Tabel 4.4

Pengetahuan responden tentang alat tangkap yang dapat merusak SDL

Responden yang mengatakan dapat merusak SDL (%)

Jenis alat tangkap

Duara N=50

Resun N=50

Teluk N=50

Di tiga desa

N=150 Bom 100 100 96 99

Bagan Tancap 12 2 4 6

Bagan Apung 8 12 12 11

Sianida/racun/tuba 96 80 60 79

Bubu perangkap ikan 6 10 4 7

Trawl/pukat harimau/lampara dasar 100 98 96 98

Jaring apung 4 8 0 4

Pancing 2 4 2 3

Tombak/panah 14 6 10 10

Jaring Ketam 0 0 0 0

Jaring ikan 0 0 0 0

Sumber: Survai Data dasar aspek social terumbu karang Indonesia, PPK-LIPI, 2006

Alat tangkap yang dianggap responden merupakan alat tangkap yang sama sekali tidak merusak SDL adalah jaring ketam dan jaring ikan. Tidak satupun responden yang mengatakan bahwa jaring ketam dan jaring ikan dapat merusak terumbu karang. Kedua alat tangkap ini merupakan alat tangkap yang paling banyak ditemui di daerah penelitian. Selain itu, alat tangkap yang juga dianggap relatif aman adalah bagan tancap, bubu ikan, jaring apung, dan pancing. Dilihat dari cara penggunaannya, sebenarnya bubu ikan juga berpotensi merusak terumbu karang, khususnya bila diletakkan di wilayah yang banyak terumbu karangnya. Mengingat bahwa

Page 94: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

75

justru di wilayah tersebutlah yang banyak ikan, maka besar kemungkinan nelayan akan memilih daerah tersebut untuk meletakkan perangkap ikannya.

4.1.3 Pengetahuan dan sikap tentang peraturan dan larangan terkait dengan pemanfaatan sumber daya laut.

Untuk menjaga kelestarian sumber daya laut, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan pengambilan terumbu karang dan penggunaan alat tangkap yang merusak seperti bom, sianida/racun dan trawl/pukat harimau/lamparan dasar. Kebijakan tersebut antara lain berupa undang-undang, peraturan pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah lokal dan peraturan adat yang dibuat masyarakat, yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup dan ekosistemnya. Bagian ini membahas pengetahuan dan sikap responden terhadap peraturan dan larangan yang berhubungan dengan pengambilan terumbu karang dan penggunaan ketiga alat tangkap yang sangat merusak tersebut.

• Larangan terhadap pengambilan terumbu karang

Hampir semua reponden berpendapat bahwa karang hidup tidak boleh diambil. Hal ini sesuai dengan pengetahuan mereka yang sangat memahami fungsi ekologis terumbu karang sebagai tempat ikan berkembang biak dan berlindung. Namun pengambilan terumbu karang yang sudah mati dianggap sebagai hal yang tidak merusak. Tabel 4.5 memperlihatkan sikap responden terhadap isu yang berkaitan dengan pengelolaan terumbu karang. Lebih dari separuh responden di Desa Resun beranggapan bahwa pengambilan karang mati bukan merupakan pelanggaran. Hal ini menurut mereka karena karang-karang tersebut sudah mati dan terdampar dipantai, sehingga tidak lagi bermanfaat sebagai tempat ikan hidup atau mencari makan. Selain itu karang mati juga dapat digunakan sebagai fondasi bangunan atau jalanan.

Beberapa responden mengatakan bahwa mereka pernah mengambil karang mati dalam satu tahun terakhir. Pengambilan karang tersebut pada umumnya digunakan untuk kepentingan umum, seperti untuk pembangunan sarana olah raga (lapangan volley) atau membangun rumah ibadah. Hanya satu orang responden yang mengaku mengambil karang mati untuk keperluan sendiri yang digunakannya untuk fondasi bangunan pada waktu membangun rumah.

Sebagian besar responden, khususnya di Desa Resun dan Duara mengetahui adanya larangan tentang pengambilan terumbu karang. Hal ini mungkin karena letak desa mereka yang relatif dekat dengan Desa Sekanah yang telah

Page 95: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

76

mempunyai program Coremap sebelumnya. Berbeda dengan Desa Teluk yang secara geografis cukup jauh dari kedua desa tersebut (sekitar 5 jam dengan menggunakan pom-pong), di desa ini hanya 22 persen responden yang mengaku mengetahui adanya larangan pengambilan karang.

Tabel 4.5

Sikap responden terhadap pengelolaan terumbu karang

Duara (%)

N=50

Resun (%)

N=50

Teluk (%)

N=50

Di tiga desa (%)

N=150 Setuju terhadap pengambilan karang hidup

4 4 10 6

Setuju terhadap pengambilan karang mati

30 58 18 35

Tahu ada larangan pengambilan karang

64 54 22 47

Setuju terhadap larangan pengambilan karang

36 50 16 34

Tahu adanya sanksi trhdp pelanggaran larangan

18 26 8 17

Pernah mengambil karang hidup setahun terkhir

2 2 0 1

Pernah mengambil karang mati setahun terakhir

6 12 2 7

Sumber: Survai data dasar aspek sosial terumbu karang Indonesia, PPK-LIPI, 2006

Meskipun cukup banyak responden yang mengetahui adanya larangan pengambilan karang, namun tidak sedikit diantara mereka yang tidak setuju dengan larangan tersebut. Menurut mereka, larangan pengambilan karang sebaiknya dibatasi pada pengambilan karang hidup saja, sedangkan pengambilan karang yang sudah mati sebaiknya dibebaskan saja. Pengambilan karang yang sudah mati dianggap tidak mengganggu kelangsungan hidup ikan atau biota laut lainnya. Hal ini mungkin berkaitan dengan kurangnya pengetahuan pemahaman masyarakat tentang fungsi terumbu karang sebagai pelindung pantai dari ombak dan badai.

Pengetahuan terhadap adanya larangan pengambilan karang tersebut tampaknya tidak disertai dengan pengetahuan tentang sanksi hukum yang menyertainya. Seperti ditunjukkan oleh table 4.5, kurang dari seperempat

Page 96: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

77

responden di ketiga daerah penelitian yang mengaku mengetahui adanya sanksi terhadap orang yang melanggar peraturan tersebut. Hal ini dapat dimaklumi karena sumber pengetahuan tentang pelarangan tersebut umumnya diperoleh dari teman mereka sesama nelayan, yang seringkali kurang lengkap. Selain itu langkanya orang yang ditangkap dan dihukum dengan tegas karena pelanggaran larangan tersebut, membuat masyarakat kurang memahami dampak hukum dari bentuk pelanggaran tersebut.

• Larangan terhadap penggunaan alat tangkap bom

Tabel 4.6 menunjukkan pengetahuan dan sikap responden tentang penggunaan bom untuk menangkap ikan. Menarik untuk dikaji, meskipun hampir semua responden mengatakan bahwa menangkap ikan dengan menggunakan bom merusak sumber daya laut, tidak semua mengetahui adanya larangan penggunaan bom. Di Desa Teluk misalnya, hanya 56 persen responden yang mengaku mengetahui adanya larangan penggunaan bom. Namun diantara mereka yang mengetahui larangan tersebut, tidak semua menyetujuinya. Dari hasil wawancara terbuka dengan penduduk diperoleh informasi bahwa sebagian masyarakat setuju dengan penggunaan bom untuk mendapat ikan kalau dilakukan di laut bebas atau di daerah perairan yang jauh dari tempat dimana nelayan tradisional mencari ikan. Meskipun jumlahnya tidak signifikan, namun ada responden di ketiga desa penelitian yang mengaku pernah menggunakan bom untuk menangkap ikan pada satu tahun terakhir. Pada kenyataannya jumlah mereka yang pernah menggunakan bom bisa jadi lebih tinggi dari jumlah yang tertangkap di dalam survai ini, terutama bila mengingat jumlah responden yang tidak setuju dengan pelarangan penggunaan bom cukup tinggi. Biasanya nelayan lokal yang terlibat dalam kegiatan pemgebom-an bekerja sebagai ABK di kapal-kapal nelayan besar yang umumnya berasal dari luar. Seorang informan yang mengaku pernah menjadi ABK kapal yang menggunakan bom sebagai alat tangkap, mengatakan bahwa sampai awal tahun 2000-an, kegiatan pengeboman masih sering dilakukan.

Seperti diperkirakan, jumlah mereka yang mengetahui adanya sanksi terhadap orang yang melanggar peraturan larangan menggunakan bom lebih sedikit lagi. Hanya sepertiga (34 per sen) dari keselurahan responden di ketiga desa penelitian yang mengaku mengetahui tentang sanksi terhadap pelanggaran penggunaan bom. Bahkan dalam wawancara terbuka dengan beberapa nelayan yang juga merangkap sebagai perangkat desa, hampir semua mengaku tidak mengetahui dengan pasti bentuk sanksi tersebut. Hal

Page 97: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

78

ini dapat dipahami mengingat mereka belum pernah melihat orang yang melakukan pelanggaran mendapat hukuman.

Tabel 4.6

Pengetahuan dan sikap responden terhadap penggunaan bom

Duara (%)

Resun (%)

Teluk (%)

Di tiga desa (%)

Mengetahui adanya larangan penggunaan bom

84 82 56 73

Setuju teradap larangan penggunaan bom

56 74 30 53

Mengetahui adanya sanksi terhadap pelanggaran larangan penggunaan bom

36 42 24 34

Mengetahui orang lain menggunakan bom dlm setahun terahir

6 0 12 6

Pernah menggunakan bom dalam setahun terakhir

2 2 6 3

Sumber: Survai Data dasar aspek social terumbu karang Indonesia, PPK-LIPI, 2006

• Larangan terhadap penggunaan alat tangkap Pukat harimau/Trawl

Sebagian besar responden, khususnya di Desa Duara (74 per sen) dan Desa Resun (78 per sen) mengakui mengetahui adanya larangan terhadap penggunaan pukat trawl untuk menangkap ikan. Namun hanya sebagian masyarakat kecil responden (40 persen) di Desa Duara dan hanya sepertiga responden di Desa Teluk yang setuju dengan adanya pelarangan tesebut. Hal ini mungkin disebabkan banyaknya nelayan di ketiga desa yang diteliti yang menggunakan pukat sebagai alat tangkap.

Dari wawancara dan diskusi kelompok dengan nelayan di Resun dan Duara, diperoleh keterangan bahwa para nelayan yang mempunyai modal besar umumnya menangkap ikan dengan menggunakan pukat. Armada dan alat tangkap tersebut umumnya diperoleh dengan menyewa atau bekerja sebagai ABK pada kapal tauke yang tinggal di Desa Duara. Tabel 4.7 menunjukkan bahwa dua pertiga responden di Desa Resun mengatakan mengetahui orang lain menggunakan pukat untuk menangkap ikan. Menurut mereka, nelayan yang tinggal di Dusun Pancur di Desa Duara dan Dusun Pasirlulun di Desa

Page 98: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

79

Resun banyak yang menggunakan pukat. Sebaliknya tidak satupun nelayan yang tinggal di Desa Teluk dan Dusun Tanjung Bungsu di Desa Resun yang memiliki atau bekerja sebagai ABK di kapal pukat. Dilihat dari latar belakang ekonominya, nelayan di Pancur dan Pasirlulun memang lebih mapan dibanding dengan nelayan di Desa Teluk dan Dusun Tanjung Bungsu.

Penggunanaan pukat ini kalau tidak diatur dengan segera ditengarai dapat menimbulkan konflik diantara nelayan lokal. Benih-benih konflik tersebut sudah dapat dirasakan pada waktu penelitiaan berlangsung. Kelompok nelayan yang tidak memiliki alat tangkap moderen dan hanya tergantung kepada alat tangkap tradisional mulai mengeluh bahwa hasil tangkap mereka sudah mulai berkurang sejak semakin banyaknya nelayan yang menggunakan trawl. Selain menangkap ikan-ikan kecil, jaring pukat juga dianggap dapat merusak bubu atau perangkap ikan yang disebar oleh nelayan tradisional di laut disekitar mereka.

Tabel 4.7

Pengetahuan dan sikap responden terhadap penggunaan pukat/trawl

Duara (%)

Resun (%)

Teluk (%)

Di tiga desa (%)

Mengetahui adanya larangan penggunaan pukat

74 78 56 70

Setuju teradap larangan penggunaan pukat 40 64 36 47 Mengetahui adanya sanksi terhadap pelanggaran larangan penggunaan pukat

16 22 12 17

Mengetahui orang lain menggunakan pukat dlm setahun terahir

6 66 20 31

Pernah menggunakan pukat dalam setahun terakhir

2 8 0 3

Sumber: Survai Data dasar aspek social terumbu karang Indonesia, PPK-LIPI, 2006

Untuk mengurangi dampak negatif penggunaan trawl, sejak tahun 2002 berdasarkan kesepakatan masyarakat dengan babinsa (Bintara Pembina Desa) Desa Resun, kepala desa mengeluarkan peraturan desa yang membatasi waktu pengoperasian pukat di wilayah laut desa mereka. Berdasarkan peraturan tersebut pengeporasian pukat hanya boleh digunakan selama 12 hari dalam sebulan, yaitu pada 8 hari bulan sampai 20 hari bulan. Namun menurut nelayan setempat, khususnya mereka yang hanya memiliki

Page 99: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

80

alat tangkap tradisional, peraturan tersebut sering dilanggar, terutama oleh nelayan yang berasal dari desa lain.

• Larangan terhadap penggunaan alat tangkap Sianida/Racun/Potas

Penggunaan Sianida/racun atau potas di ketiga daerah penelitian tampaknya kurang banyak dikenal masyarakat. Data yang diperoleh dari hasil survai menunjukkan bahwa kurang dari 50 per sen penduduk yang mengetahui adanya larangan terhadap penggunaan sianida (Tabel 4.8). Hal ini tidak mengherankan, karena jenis ikan yang ditangkap oleh masyarakat di Desa Resun, Duara dan Teluk bukanlah jenis ikan yang banyak bersembunyi di karang. Selain itu kegiatan menyelam tampaknya tidak popular di antara nelayan di ketiga desa yang diteliti. Oleh karena itu, penggunaan sianida/racun yang memerlukan keahlian menyelam kurang diminati oleh sebagian besar nelayan. Meskipun demikian, dari wawancara dengan masyarakat setempat, khususnya nelayan di desa Teluk, diperoleh informasi bahwa mereka mengetahui bahwa nelayan luar yang datang ketempat mereka sering menggunakan racun untuk menangkap ikan. Menurut nelayan setempat, ikan yang ditangkap oleh para pendatang tersebut adalah jenis ikan karang seperti ikan kerapu dan lobster. Pada umumnya para nelayan luar tersebut menggunakan kapal besar dan menyelam dengan menggunakan kompresor.

Tabel 4.8

Pengetahuan dan sikap responden terhadap penggunaan Sianida/racun

Duara (%)

Resun (%)

Teluk (%)

Di tiga desa (%)

Mengetahui adanya larangan penggunaan racun

66 52 26 48

Setuju teradap larangan penggunaan racun

30 40 12 27

Mengetahui adanya sanksi terhadap pelanggaran larangan penggunaan racun

12 18 10 13

Mengetahui orang lain menggunakan racun dlm setahun terahir

4 0 2 2

Pernah menggunakan racun dalam setahun terakhir

0 0 2 1

Sumber: Survai Data dasar aspek sosial terumbu karang Indonesia, PPK-LIPI, 2006

Page 100: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

81

Menarik untuk dikaji, meskipun sebagian besar responden berpendapat bahwa racun dapat merusak SDL, hanya sebagian kecil responden yang mengatakan setuju terhadap pelarangan penggunaan racun. Sebagaimana halnya dengan pelarangan penggunaan alat tangkap yang merusak lainnya, proporsi nelayan yang mengatakan mengetahui adanya sanksi terhadap larangan menggunakan racun sangat sedikit. Hal ini dapat dipahami mengingat alat tangkap ini tidak banyak diminati oleh nelayan di ketiga desa penelitian.

4.2 Wilayah Pengelolaan

Berhubung aramada tangkap yang dimiliki oleh sebagian besar nelayan masih terbatas, wilayah tangkap nelayan tradisional di ketiga desa penelitian relatif tidak terlalu jauh dari pantai. Pembagian wilayah tangkap tampaknya kurang dikenal oleh masyarakat nelayan di kepulauan Riau. Meskipun pada umumnya nelayan mengetahui batas laut antara satu desa dengan desa lainnya, namun menurut mereka tidak ada larangan untuk mencari ikan di daerah tertentu. Nelayan yang berasal dari Desa Resun dan Desa Duara misalnya, biasa mencari ikan di kawasan laut di Kecamatan Senayang. Hal ini disebabkan di daerah tersebut masih banyak karang hidup. Selain itu dibanding dengan Senayang, kawasan laut kecamatan Lingga Utara relatif lebih kecil. Mencari ikan di luar batas wilayah desa merupakan hal yang umum di ketiga desa penelitian. Seorang nelayan diperbolehkan menangkap ikan dengan menggunakan pancing, jaring, pintur atau comek ke daerah-daerah yang dianggap banyak ikannya, sepanjang dimungkinkan oleh armada tangkapnya.

Namun kebebasan mencari ikan tersebut tidak berlaku untuk alat tangkap bubu dan kelong/bagan apung. Hal ini bisa dimaklumi mengingat penggunaan alat tangkap ini memerlukan lahan khusus untuk menangkap ikan. Meskipun tidak ada peraturan tertulis, pemasangan kedua alat tangkap tersebut biasanya hanya diperkenankan di wilayah perairan desa/dusun nelayan yang bersangkutan. Tidak ada pembagian lahan yang jelas, menurut seorang nelayan, pada umumnya masyarakat sudah mengetahui lokasi atau jarak tertentu untuk meletakkan atau membangun kelong baru. Dari diskusi dengan beberapa kelompok nelayan, diperoleh informasi bahwa sampai sejauh ini belum pernah ada konflik serius yang dipicu oleh peletakan bubu atau pembangunan kelong/bagan apung di desa mereka.

Page 101: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

82

Gambar 1 adalah peta lokasi tangkap masyarakat nelayan di Desa Resun. Peta tersebut merupakan peta yang digambar oleh sekelompok nelayan di Desa Resun. Pada waktu mereka menggambar lokasi tangkap tersebut, terdapat diskusi yang menarik antar nelayan ketika menggambarkan lokasi-lokasi karang dan kondisi karang di sekitar mereka. Dari diskusi tersebut terlihat dengan jelas, bahwa para nelayan tersebut mengetahui dengan jelas pembagian wilayah perairan desa dan kecamatan secara admistratif. Hal yang menarik lainnya adalah kelompok nelayan tersebut juga dapat memperkirakan jumlah bubu yang sedang dipasang dan siapa pemiliknya serta jumlah bagan atau kelong di dusun mereka.

Peta 4.1.

Peta Lokasi Wilayah Tangkap Masyarakat Desa Resun

Antusias yang besar juga diperlihatkan oleh kelompok nelayan di Desa Teluk ketika diminta untuk menggambarkan wilayah tangkap dan kondisi karang di perairan laut disekitar mereka. Gambar 2 adalah peta lokasi tangkap masyarakat nelayan di Desa Teluk yang digambar oleh nelayan yang berpartisipasi dalam diskusi kelompok. Dari gambar terlihat dengan jelas, lokasi-lokasi dimana masyarakat meletakkan bubu, menangkap ikan

Page 102: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

83

dengan pancing, jalur kapal pukat dan wilayah yang banyak karang dan kondisi karangnya.

Peta 4.2.

Peta Lokasi Wilayah Tangkap Masyarakat Desa Teluk

Page 103: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

84

Dari diskusi dengan beberapa kelompok nelayan di ketiga desa penelitian, diperoleh informasi bahwa sejak sekitar sepuluh tahun terakhir, telah ada perubahan wilayah tangkap di wilayah mereka. Perubahan tersebut disebabkan karena semakin berkurangnya ikan di lokasi sekitar mereka. Menurut nelayan, kalau pada masa lalu mereka dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dengan hanya melaut disekitar desa, atau mengumpulkan gong-gong pada waktu air surut, sekarang ini mereka harus melaut ke wilayah yang lebih jauh lagi.

Selain karena berkurangnya ikan, perubahan wilayah tangkap tersebut juga ditengarai disebabkan oleh perubahan alat tangkap dan armada tangkap nelayan. Kalau pada masa lalu sebagian besar nelayan hanya menggunakan pancing sederhana dan sampan sebagai alat tangkap dan armada tangkapnya, maka pada masa sekarang alat tangkap tersebut sudah lebih bervariasi dan armada tangkapnya pun sudah menggunakan motor. Perubahan armada tangkap ini memungkinkan nelayan untuk melaut lebih jauh dan lebih lama.

Selain tidak mengenal pembagian wilayah tangkap yang jelas, masyarakat nelayan di ketiga desa penelitian juga tidak mengenal aturan-aturan tradisional atau kearifan lokal dalam mengelola SDL. Tidak seorangpun responden yang diwawacarai baik melalui wawancara tertutup maupun wawancara terbuka yang mengetahui adanya larangan atau aturan-aturan adat dalam pengelolaan SDL. Kebiasaan yang banyak dilakukan yang berhubungan dengan pelolaan SDL umumnya terbatas pada acara-acara kenduri kecil ketika mereka baru selesai membuat kelong/bagan apung. Namun menurut masyarakat setempat, tidak ada aturan-aturan tertentu yang harus dilakukan dalam melakukan kenduri tersebut.

4.3 Teknologi Penangkapan

Teknologi penangkapan dalam bagian ini diartikan sebagai alat-alat yang digunakan oleh nelayan di daerah penelitian untuk mengeksploitasi sumber daya laut. Alat tersebut dapat dikelompok sebagai: alat tangkap dan alat bantu tangkap. Alat tangkap adalah alat yang dipakai secara langsung untuk menangkap sumber daya laut seperti pancing, jaring, bubu, bagan dan lainnya. Alat bantu tangkap adalah alat yang digunakan untuk membantu mengoptimalkan alat tangkap seperti perahu motor, perahu tanpa motor dan lainnya.

Dilihat dari cara peng-operasiannya, sebagian besar alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di ketiga desa penelitian dapat dikatakan relatif

Page 104: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

85

ramah lingkungan. Tabel 4.9 memperlihatkan jenis-jenis alat tangkap yang diperoleh dari hasil wawancara terbuka dan diskusi kelompok dengan nelayan di ketiga desa penelitian. Dari daftar tesebut hanya pukat atau trawl yang dapat dikatakan merusak SDL, sedangkan bubu hanya merusak bila diletakkan di atas karang hidup.

Tabel 4.9 Jenis Alat tangkap yang digunakan masyarakat nelayan di Desa Duara,

Desa Resun dan Desa Teluk Jenis alat tangkap Duara Resun Teluk Hasil tangkap

Bubu ikan - - X Segala jenis ikan

Bubu ketam X X X Rajungan (ketam)

Jaring X X X Segala jenis ikan, udang

Pinto X X - Rajungan (ketam)

Tangkul X X - Rajungan (ketam)

Pancing X X X Ikan-ikan besar

Rawai (pancing bermata banyak)

X X X Ikan-ikan besar

Comek X X X Cumi-cumi (sotong)

Jala udang X X X Udang

Tombak (nyuluh udang) - X - Udang

Kelong X X X Ikan bilis

Pukat/trawl kecil X X - Segala biota laut

Sumber: Survai Data dasar aspek sosial terumbu karang Indonesia, PPK-LIPI, 2006

Dilihat dari penggunaannya, alat tangkap yang paling banyak dimiliki oleh nelayan di ketiga desa penelitian adalah bubu, baik bubu ketam maupun bubu ikan. Bubu ketam berbentuk lebih kecil di banding dengan bubu ikan. Menurut seorang narasumber di Desa teluk, bubu mulai dikenal di wilayah Lingga Utara sekitar pertengahan tahun 80-an. Alat ini diperkenalkan oleh nelayan pendatang yang berasal dari Bugis. Penggunaan alat tangkap ini seperti perangkap ikan/ketam dengan menggunakan timah sebagai alat pemberat dan gabus atau botol bekas air mineral yang diikat dengan tali senar sebagai ‘pelampung’.

Berdasarkan pembuatannya, nelayan di Desa Resun dan Duara mengenal dua jenis bubu ketam; bubu buatan Thailand dan bubu buatan lokal yang biasa diproduksi masyarakat setempat. Bubu buatan Thailand bentuknya

Page 105: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

86

sedikit lebih besar dan lebih kokoh dengan menggunakan kerangka besi (gambar 4.1), sedangkan buatan lokal bentuknya lebih kecil dengan menggunakan kerangka rotan (gambar 4.2). Harga bubu buatan Thailand sekitar Rp. 50.000 sedangkan buatan lokal lebih murah sekitar Rp. 25.000.

Bubu biasanya diletakkan satu malam atau lebih di perairan di wilayah desa/dusun dengan memberi tanda khusus pada pelampung. Dengan demikian setiap nelayan dapat mengenali dengan jelas bubu masing-masing. Seorang nelayan umumnya memiliki setidaknya 20-30 buah bubu yang ditebar bersamaan. Bila dalam kondisi normal, bubu buatan Thailand dapat bertahan sampai 3 tahunan, sedangkan bubu buatan lokal hanya dapat bertahan sekitar satu tahun. Namun pada waktu musim angin kencang, tidak jarang nelayan kehilangan beberapa bubu karena terbawa arus. Selain itu bubu juga dapat hilang bila pelampung atau talinya putus terbawa kapal pukat yang banyak beroperasi diwilayah mereka.

Gambar: 4.1 Bubu ketam buatan Thailand

Gambar: 4.2 Bubu ketam buatan lokal di Desa Resun

Gambar: 4.3 Bubu ketam buatan lokal di Desa Duara

Gambar: 4.4 Bubu ikan buatan lokal di Desa Teluk

Page 106: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

87

Selain alat tangkap bubu, alat tangkap yang juga sangat populer di ketiga desa penelitian adalah comek. Alat tangkap ini khusus digunakan untuk menangkap sotong (cumi-cumi). Sesuai dengan nama alat tangkapnya, kegiatan mencari cumi dengan menggunakan comek dikenal masyarakat setempat dengan nyomek. Menurut nelayan nyomek banyak dilakukan pada malam hari dan hanya dilakukan pada musim teduh. Hal ini disebabkan lokasi nyomek cukup jauh sehingga bila musim angin kencang, sebagian besar nelayan tidak dapat melaut.

Alat tangkap yang dimiliki atau hampir semua nelayan di ketiga desa penelitian adalah pancing, baik yang bermata satu atau yang bermata banyak (rawai). Jenis ikan yang ditangkap dengan alat tangkap ini biasanya adalah ikan-ikan berjenis besar seperti ikan kerapu, tenggiri, tongkol, kakap, sengarat, pari dan lainnya. Kegiatan memancing biasa dilakukan pada malam atau siang hari. Memancing di siang hari dikenal oleh masyarakat di Desa Teluk dengan sebutan moden.

Kelong/bagan tancap/bagan apung juga banyak diminati nelayan di ketiga desa penelitian. Namun karena biaya pembuatannya cukup mahal, alat tangkap ini hanya dimiliki oleh sebagian kecil nelayan. Dalam kondisi normal, sebuah kelong dapat bertahan sampai sekitar tiga tahun, namun hal ini tidak berlaku untuk Desa Teluk. Di daerah ini kelong hanya dapat bertahan pada waktu musim teduh dan musim pancaroba, sedangkan pada musim angin kuat, tidak satupun kelong nelayan yang dapat bertahan. Masyarakat nelayan di Desa Teluk pada umumnya membuat kelong atau bagan apung untuk menangkap ikan besar. Sedangkan nelayan di Desa Duara dan Desa Resun biasanya memiliki bagan tancap yang biasanya digunakan untuk menangkap ikan teri/ikan bilis.

Alat tangkap yang cukup populer dikalangan nelayan di wilayah Lingga Utara adalah trawl atau pukat kecil atau sering juga disebut jaring pari. Hampir semua jenis biota laut dapat ditangkap oleh alat ini. Alat tangkap ini dikenal sebagai alat tangkap yang dapat merusak karena bentuk jaringnya yang sangat halus, sehingga ikan-ikan kecilpun ikut tertangkap. Menurut seorang nelayan yang menjadi ABK pada sebuah pukat trawl milik salah seorang tauke di Dusun Pancur, ikan-ikan kecil yang ikut tertangkap biasanya digunakan sebagai bibit untuk dibudidayakan di keramba atau dijadikan sebagai makanan ikan di keramba.

Alat tangkap pukat banyak dimiliki oleh nelayan di Dusun Pancur Desa Duara dan Dusun Pasir Lulun, Desa Resun. Menurut seorang narasumber, di Dusun Pasir Lulun ada sekitar 12 keluarga yang memiliki Pukat, namun berhubung karena harga bahan bakar yang cukup mahal, pada waktu

Page 107: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

88

penelitian berlangsung hanya sekitar 8 kapal yang beroperasi. Tidak ada data yang pasti tentang kepemilikan pukat di Dusun Pancur, namun menurut nelayan setempat jumlah kapal pukat di Dusun Duara jauh lebih banyak daripada di Dusun Pasir Lulun. Sekali beroperasi, kapal pukat biasanya memakan waktu sekitar satu minggu dengan menggunakan awak kapal sekitar 5-10 orang.

Alat bantu tangkap atau armada tangkap yang digunakan oleh nelayan sangat tergantung kepada alat tangkap yang digunakan. Untuk alat tangkap pinto, pancing, kelong, bubu dan suluh udang armada tangkap yang digunakan biasanya adalah sampan atau perahu tanpa motor. Armada tangkap ini digerakkan dengan menggunakan dayung. Sedangkan untuk alat tangkap comek, jaring atau bubu yang berada agak jauh dari pemukiman biasanya digunakan perahu bermotor bermerek ‘dompeng’ dengan kekuatan 1-3 GT yang dikenal dengan nama pom-pong. Alat tangkap pukat biasanya menggunakan armada tangkap berkekuatan 5-10 GT.

4.4. Stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan SDL

Stakeholder atau pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan SDL dapat dibedakan kedalam tiga kelompok; stakeholder langsung/utama, stakeholder tidak langsung dan pembuat kebijakan. Stakeholder langsung atau stakeholder utama adalah mereka yang secara langsung mengeksploitasi atau berinteraksi dengan sumber daya laut seperti nelayan dan penyelam. Sedangkan stakeholder tidak langsung adalah mereka yang bekerja sebagai penampung atau pembeli sumber daya laut yang dieksploitasi oleh nelayan seperti pengumpul, pedagang atau pengusaha. Sedangkan pembuat kebijakan adalah pemerintah daerah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dari mulai kabupaten, kecamatan sampai pada tingkat desa. Masyarakat madani yang mempunyai perhatian terhadap pelestarian sumber daya laut juga termasuk dalam kelompok pembuat kebijakan.

Sebagaimana umumnya masyarakat nelayan, hampir setiap hari, khususnya pada musim teduh, nelayan di ketiga desa penelitian mengeksploitasi sumber daya laut. Kegiatan melaut pada umumnya dilakukan seorang diri tanpa membawa orang lain sebagai ABK. Hal ini dapat dimaklumi mengingat armada tangkap yang mereka gunakan yang relatif kecil. Sebagian besar nelayan di desa penelitian, khususnya di Desa Resun dan Desa Teluk merupakan nelayan ‘terikat’, dalam arti mereka mempunyai ikatan tidak tertulis dengan seorang pedagang besar atau pengumpul untuk menjual hasil tangkap mereka. Hal ini dilakukan karena umumnya nelayan

Page 108: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

89

di kedua desa tersebut mempunyai modal yang terbatas, sehingga untuk keperluan operasional maupun keperluan hidup sehari-hari mereka terpaksa meminjam modal dari pengumpul atau tauke. Sebagi konsekuensi, nelayan yang bersangkutan mempunyai kewajiban untuk menjual semua hasil tangkapnya kepada pedagang/pengumpul yang telah meminjamkan modal tersebut.

Selain nelayan tangkap, di ketiga desa penelitian juga ada kelompok nelayan budidaya. Hasil laut yang dibudidayakan biasanya adalah ikan kerapu. Salah satu kelompok budidaya ikan kerapu yang mendapat bantuan dari program pemerintah terdapat di Desun Pasir Lulun, Desa Resun. Menurut salah satu anggota kelompok tersebut, usaha budidaya yang mereka lakukan dimulai pada tahun 2002. Pada waktu itu ada program memberikan pinjaman modal untuk budidaya. Bantuan tersebut hanya diberikan kepada kelompok, oleh karena itu beberapa petani atas saran dari perangkat desa membentuk kelompok nelayan yang beranggotakan 5 orang. Masing-masing anggota mengajukan jumlah uang yang dibutuhkan. Pinjaman disetujui, mereka mendapat bantuan 100 juta rupiah yang dibagi kepada anggota kelompok masing-masing sekitar 18 juta, kecuali seorang anggota yang mendapat 28 juta. Sesuai persyaratan, pinjaman tersebut harus dikembalikan dalam waktu 5 tahun yang dapat dicicil sekitar 1,8 juta per enam bulan. Menurut salah satu anggota kelompok, sejak mereka mendapat bantuan uang tersebut tidak ada bantuan atau bimbingan dari pemerintah mengenai cara-cara melakukan budidaya. Pada mulanya budidaya mereka berjalan lancar dan dalam satu tahun bisa panen 3 kali dengan hasil panen rata-rata 10 kg sekali panen. Namun pada akhir-akhir ini para nelayan budidaya tersebut mengaku agak berat, selain karena saingan sudah semakin banyak, ikan-ikan di keramba sering terkena penyakit yang mereka sebut sebagai penyakit insang putih. Menurut seorang nelayan, bila sudah terkena penyakit ini, maka ikan dikeramba tersebut sudah pasti mati. Sampai sekarang belum ada yang mengetahui bagaimana cara pengobatan atau menghindar dari penyakit tersebut. Tidak sedikit nelayan budidaya yang terpaksa menghentikan usaha karena berkali-kali gagal panen. Olehkarena itu, masyarakat sangat mengharapkan adanya bantuan penyuluhan atau bimbingan dari pemerintah untuk membantu usaha budidaya mereka.

Meskipun tidak mengelola SDL secara langsung, pengumpul atau pedagang memiliki peranan yang tidak kalah penting dalam mengelola SDL. Hal ini dilakukan dengan cara hanya membeli jenis SDL tertentu atau memberikan harga yang tinggi terhadap jenis SDL tertentu. Dengan sendirinya nelayan akan berlomba-lomba mencari jenis SDL tersebut sebanyak banyaknya dengan harapan mendapat keuntungan sebasar mungkin. Dengan demikian

Page 109: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

90

sudah dapat dipastikan SDL tersebut akan dieksploitasi secara berlebihan (over fishing).

Pedagang pengumpul atau pedagang besar banyak ditemukan di Desa Duara, khususnya di Dusun Pancur. Hal ini karena di dusun inilah pusat pemerintahan dan perdagangan Kecamatan Lingga Utara. Hampir semua pengumpul yang tersebar di sekitar lingga utara menjual hasil tangkapnya kepada pedagang besar yang berdomisili di dusun ini. Setidaknya ada empat pedagang besar di Pancur yang mengirim SDL yang mereka tampung kesegala penjuru baik di dalam maupun ke luar negeri, khususnya Singapura dan Malaysia. Pengiriman ke luar negeri, khususnya Singapura biasanya dilakukan melalui kapal cargo yang sender di Kecamatan Senayang sebanyak tiga kali dalam satu minggu.

Pemerintah, baik pusat maupun daerah juga mempunyai peranan yang penting dalam pengelolaan SDL. Melalui pembuatan undang-undang dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan SDL, pemerintah dapat menjaga kelestarian SDL dari kegiatan yang merusak seperti penggunaan alat tangkap yang merusak dan peng-eksploitasian yang berlebihan. Sebagai daerah yang relatif baru, kabupaten Kepulauan Riau, belum mempunyai perda atau kebijakan khusus yang berkaitan dengan pengelolaan terumbu karang. Pada masa sekarang, kebijakan dan program yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya laut sifatnya masih meneruskan kebijakan yang dilakukan sebelumnya. Sebagian besar program pengelolaan sumber daya alam masih berasal dari kebijakan pemerintah pusat.

Pada waktu penelitian, belum ada kelompok masyarakat madani atau lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dibidang pelestarian SDL di Kecamatan Lingga Utara. Hal ini mungkin disebabkan masih rendahnya tingkat pendidikan rata-rata masyarakat setempat, sedangkan pendatang yang datang ketempat ini biasanya bertujuan untuk melakukan perdagangan.

4.5. Hubungan Kerja

Hubungan kerja yang dimaksud dalam bagian ini adalah hubungan kerja nelayan dengan sesama nelayan maupun dengan stakeholder lain yang terlibat dalam proses penangkapan ikan hingga pemasarannya. Termasuk didalamnya adalah hubungan antara nelayan dengan nelayan lain, hubungan nelayan dengan pengumpul atau pedagan besar, hubungan pedagang pengumpul dengan tauke atau pedagang besar, hubungan nelayan dengan

Page 110: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

91

pemerintah atau pembuat kebijakan dan hubungan pedagang pengumpul/pedagang besar dengan pembuat kebijakan.

Dalam menangkap ikan, sebagian besar nelayan di daerah penelitian bekerja sendiri, kecuali nelayan yang menggunakan alat tangkap pukat. Oleh karena itu hubungan antar sesama nelayan lebih banyak berupa hubungan sosial daripada hubungan kerja. Pembentukan kelompok nelayan tampaknya belum banyak diminati para nelayan. Meskipun pembentukan kelompok nelayan budidaya sudah pernah dilakukan di Desa Resun, namun kerjasama tersebut hanya terbatas dalam peminjaman modal. Sedangkan dalam kegiatan budidaya, para nelayan masih bekerja sendiri-sendiri. Hal ini dapat dimaklumi mengingat tidak adanya bimbingan khusus dari pemberi program kepada kelompok nelayan tersebut. Kebiasaan melaut seorang diri tampaknya juga mempengaruhi kemandirian para nelayan, sehingga agak sulit untuk bekerja sama dalam kelompok. Selain itu, tingkat pendidikan rata-rata nelayan yang relatif rendah juga membuat mereka sulit memahami dinamika hubungan kerja dalam kelompok. Dibutuhkan seorang fasilitator yang mempunyai pemahaman yang dalam tentang kehidupan nelayan, bila masyarakat ingin membentuk kelompok nelayan.

Hubungan kerja yang paling intens adalah hubungan nelayan dengan pedagang pengumpul atau tauke yang membeli hasil tangkap mereka. Hubungan kerja tersebut biasanya dimulai sebelum melaut, dengan memberi pinjaman modal berupa bahan bakar dan uang secukupnya untuk bekal selama proses penangkapan. Bentuk hubungan ini biasanya berjalan secara informal dan berdasarkan saling percaya tanpa ada perjanjian tertulis. Tauke atau pedagang pengumpul cukup mencatat jumlah pinjaman dan jumlah cicilan yang diberikan kepada seorang nelayan dan memperlihatkan catatan tersebut kepada nelayan yang bersangkutan. Sebagian nelayan mempunyai catatan yang sama, namun tidak sedikit nelayan yang tidak mempunyai catatan sama sekali, dan hanya mengandalkan catatan si pemberi pinjaman. Dalam hubungan kerja yang seperti ini, maka nelayan harus menjual semua hasil tangkapnya ke tauke atau penampung yang memberi pinjaman dengan mengikuti harga yang ditentukan oleh tauke atau penampung tersebut. Hubungan kerja seperti disatu sisi dapat menguntungkan nelayan, karena mereka tidak perlu memikirkan proses pemasaran hasil tangkap mereka. Namun disisi lain nelayan tidak mempunyai kekuatan untuk menentukan harga hasil tangkapnya.

Ketergantungan nelayan terhadap penampung juga disebabkan oleh letak desa mereka yang cukup jauh dari pusat perdagangan, seperti yang dialami oleh nelayan di Desa Teluk. Hampir semua nelayan menjual hasil tangkap mereka ke pengumpul yang berdomisi di desa Mereka. Pada waktu

Page 111: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

92

penelitian ada dua pedagang pengumpul di Desa Teluk. Menurut beberapa nelayan yang diwawancara secara terbuka, tanpa kehadiran pedagang pengumpul yang memberi pinjaman modal untuk melaut, akan sangat sulit bagi nelayan untuk melakukan kegiatannya. Harga bahan bakar yang akhir-akhir ini terus meningkat merupakan kendala yang sangat umum dikalangan nelayan.

Bagi nelayan yang mempunyai modal yang cukup, mereka dapat menjadi nelayan lepas dan menjual hasil langsung ke pasar atau ke tauke yang menawarkan harga jual tertinggi. Hal ini banyak dilakukan oleh nelayan yang di Desa Duara, khususnya Dusun Pancur. Sebagai pusat perdagangan, di Pancur terdapat pasar yang aktifitasnya cukup ramai dan beroperasi setiap hari. Selain itu pola pemukiman masyarakat di Dusun Pancur yang berdekatan dengan pasar juga memungkin sebagian nelayan dapat langsung menjual hasil tangkap ke masyarakat dengan hanya menggelarnya di depan rumah.

Selain mempunyai hubungan kerja dengan nelayan, seorang pengumpul juga mempunyai hubungan kerja dengan pedagang besar/tauke. Meskipun umumnya tetap tidak ada kontrak kerja tertulis, hubungan penampung dan tauke tampaknya lebih resmi dibandingkan dengan hubungan nelayan dan tauke atau hubungan nelayan dengan pengumpul. Hal ini disebabkan umumnya seorang penampung diberi modal yang jauh lebih besar dari pada pinjaman yang diberikan kepada nelayan secara perorangan. Modal yang diberikan seorang tauke atau pedagang besar kepada penampung biasanya sekali dalam satu tahun atau enam bulan sekali. Modal tersebut kemudian dapat dicicil, sesuai dengan pendapatan mereka. Selain pinjaman modal, seorang tauke biasanya juga memberikan pinjaman peralatan seperti kotak es dan kotak pendingin. Seorang tauke biasanyan mempunyai 3-6 pengumpul, sedangkan seorang pengumpul biasanya mengumpulkan hasil tangkap dari 10-20 nelayan.

Modal yang dipinjamkan kepada penampung biasanya untuk memberi pinjaman kepada nelayan yang kemudian akan menjual hasil tangkapnya kepada penampung tersebut. Seorang penampung biasanya juga mempunyai toko yang menjual bahan bakar dan bahan makanan pokok. Hal ini perlu, karena pada saat musim angin ribut, ketika nelayan tidak dapat melaut, biasanya mereka memerlukan pinjaman untuk membeli bahan makanan pokok. Semua pembayaran pinjaman tersebut baru akan dicicil pada waktu nelayan mulai melaut dengan menjual hasil tangkap mereka kepada penampung. Dalam hubungan seperti ini, maka harga jual dan penimbangan ditentukan oleh penampung. Harga jual nelayan ke pengumpul tentu saja lebih rendah daripada harga jual langsung ke tauke atau ke pasar. Namun

Page 112: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

93

berhubung pedagang besar hanya ada di Pancur, untuk nelayan yang bertempat tinggal jauh dari pusat perdagangan, harga tersebut tidak dipersoalkan. Menurut nelayan, bila mereka membawa sendiri hasil tangkapnya ke Pancur akan membutuhkan biaya yang lebih tinggi. Selain bahan bakar untuk transportasi, nelayan juga harus menyediakan es dan kotak pendingin untuk menjaga kesegaran hasil tangkap mereka.

Hubungan kerja antara nelayan dengan pemerintah biasanya berkaitan dengan program-progaram pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat nelayan dan pesisir. Hubungan tersebut biasanya diwujudkan dalam bentuk sosialisasi dan bantuan modal yang diberikan kepada kelompok nelayan tertentu. Selain itu, kepala desa sebagai wakil pemerintah dapat bekerja sama dengan masyarakat setempat membuat peraturan desa yang berhubungan dengan pengelolaan SDL. Sebagai contoh yang telah dibuat di Desa Resun adalah dikeluarkannya peraturan desa yang mengatur waktu tangkap kapal pukat. Sebagai pembuat peraturan, tentu saja pemerintah diharapkan dapat menegakkan peraturan yang dibuatnya dan memberikan sanksi terhadap orang yang melanggar peraturan. Dengan demikian akan timbul efek jera terhadap orang yang melanggar.

Hubungan pemerintah dengan tauke atau pedagang pengumpul umumnya bersifat formal. Bentuk hubungan tersebut biasanya terbatas pada pemberiaan ijin terhadap usaha yang mereka lakukan. Selain hal tersebut, pedagang besar juga adakalanya memerlukan bantuan berupa kebijakan dari pemerintah lokal, khususnya yang berhubungan dengan pengadaan bahan bakar. Hal ini menjadi sangat penting, karena seorang pedagang besar harus menyediakan bahan bakar yang akan didistribusikan kepada semua pedagang pengumpul dan nelayan yang mempunyai hubungan kerja dengan mereka.

Pengetahuan dan kesadaran penduduk tentang manfaat dan fungsi terumbu karang di ketiga desa penelitian tampaknya sudah relatif memadai. Sebagian besar responden menyadari bahwa kondisi perekonomian rumah tangga mereka sangat tergantung kepada kondisi sumber daya laut di wilayah mereka. Namun pengetahuan mengenai pentingnya melestarikan SDL tidak disertai kesadaran dan perilaku yang ramah lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya masyarakat, khususnya di Dusun Pasirlulun dan Dusun Pancur yang menggunakan alat tangkap pukat. Keinginan untuk mendapatkan hasil tangkap sebanyak mungkin tampaknya membuat masyarakat setempat kurang menghiraukan larangan atau peraturan yang telah dibuat bersama.

Page 113: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

94

Page 114: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

95

BAB V PRODUKSI DAN PEMANFAATAN SDL

Kawasan Kepulauan Riau, khususnya Kecamatan Lingga Utara sangat kaya akan sumber daya laut (SDL). Hampir segala jenis ikan dan biota laut lainnya dapat ditemui di daerah ini. Selain itu hutan bakau juga masih banyak terlihat di sekitar pantai dikawasan ini, khususnya di daerah Desa Teluk. Pasir laut, meskipun pengelolaannya masih di perdebatkan, juga merupakan salah satu SDL yang banyak dihasilkan oleh daerah ini. Kekayaan SDL tersebut banyak dimanfaatkan oleh masyararakat disekitarnya maupun masyarakat pendatang untuk kelangsungan hidup mereka.

Dilihat dari hasil tangkapan, jenis SDL yang banyak ditangkap oleh nelayan di ketiga desa penelitian sedikit berbeda. Perbedaan tersebut utamanya disebakan jenis ikan yang hidup di wilayah mereka dan juga perbedaan teknologi tangkap yang digunakan. Nelayan yang menggunakan pukat sebagai alat tangkap dan perahu motor sebagai armada tangkap misalnya, akan mendapatkan hasil dan jenis tangkap yang berbeda dengan nelayan yang hanya mengandalkan pancing dan sampan sebagai alat tangkap dan armada tangkapnya.

Bagian ini akan membahas masalah yang berhubungan dengan produksi dan sumber daya laut yang ada di Desa Resun, Duara dan Desa Teluk. Bagian pertama akan membahas jenis dan produksi sumber daya laut yang banyak dimanfaatkan oleh penduduk. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan yang berkaitan dengan pengolahan dan pemasaran hasil produksi SDL yang banyak ditangkap masyarakat setempat. Pembahasan akan difokuskan pada tiga sumber daya laut yang dominan, yaitu yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan banyak diproduksi masyarakat serta mempunyai peranan yang signifikan terhadap pendapatan masyarakat nelayan.

5.1. Produksi

Produksi sumber daya laut yang paling banyak dihasilkan di daerah penelitian adalah ikan. Oleh karena itu jenis dan jumlah produksi SDL yang dihasilkan oleh nelayan sangat dipengaruhi oleh wilayah tangkap, alat tangkap dan armada tangkap yang digunakan. Karena letaknya yang

Page 115: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

96

berdekatan, wilayah tangkap nelayan tradisional di Desa Duara dan Desa Resun tidak jauh berbeda, sehingga hasil tangkapnya juga relatif sama. Jenis ikan yang biasanya diperoleh adalah ikan bilis, ketam (rajungan), cumi (sotong), udang dan gong-gong. Hasil tangkap nelayan di Desa Teluk lebih banyak jenisnya. Di daerah ini selain gong-gong, cumi dan ketam, nelayan di Desa Teluk juga banyak menangkap ikan-ikan besar seperti ikan karang (Kerapu, Sunu, Lobster) ikan pari, tenggiri, kakap dan ikan jenis besar lainnya.

Perbedaan hasil tangkap juga dipengaruhi oleh alat dan armada yang digunakan. Hasil tangkap yang diperoleh nelayan yang menggunakan alat tangkap pukat lebih banyak jenisnya dibandingkan dengan nelayan yang hanya menggunakan bubu atau pancing. Menurut seorang nelayan yang menggunakan alat tangkap pukat, hampir semua jenis biota laut masuk ke dalam jaring mereka. Pada musim gelombang biasanya hasil tangkap mereka termasuk kuda laut dan teripang. Harga kedua hasil laut ini sangat mahal. Menurut seorang informan, 1 kg kuda laut kering dapat dijual dengan harga berkisar Rp. 520.000, sedangkan harga 1 kg teripang kering mencapai Rp. 1.000.000,-.

Jumlah produksi yang dihasilkan oleh nelayan sangat dipengaruhi oleh alat tangkap dan musim. Bila sedang musim ikan, dengan hanya menggunakan alat tangkap tradisional pinto dapat dihasilkan sekitar 30-40 ekor ketam dalam satu malam. Satu pinto biasanya dapat menangkap 2-3 ketam sekali tarik, sedangkan dalam satu malam bisa 10-11 kali tarik. Penggunaan pinto sama seperti penggunaan pancing, namun tidak menggunakan mata kail. Umpan yang berupa ikan kecil-kecil hanya diikat dan diletakkan didalam pinto. Gambar 5.1 memperlihatkan seorang nelayan di Desa resun memperagakan cara penggunaan alat tangkap pinto.

Page 116: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

97

Gambar 5.1 Alat tangkap Pinto

Selain menggunakan alat tangkap pinto, ketam juga diperoleh nelayan dengan menggunakan alat tangkap bubu yang khusus untuk ketam. Seorang nelayan biasanya memiliki lebih dari 10 bubu ketam yang diletakkan di wilayah laut desa mereka. Pada waktu musim ikan dalam satu bubu dapat diperoleh sekitar7-8 ekor ketam dalam satu malam.

Pada dasarnya ketam merupakan salah satu hasil laut yang tidak mengenal musim. Namun kualitas ketam pada waktu musim teduh biasanya lebih baik dan ukurannya lebih besar. Dari penuturan seorang pedagang besar yang memiliki pabrik pengolahan ketam di Desa Duara, setiap harinya dia membeli sekitar 100 sampai 110 kg ketam yang sudah direbus dari satu orang pengumpul, kadang-kadang bahkan bisa mencapai 300 kg per hari. Dalam satu hari biasanya dia menerima hasil dari 2 orang pengumpul. Berdasarkan besarnya, ketam dikelompokkan kedalam tiga tipe yaitu tipe A (ukuran besar), tipe B (ukuran sedang) dan tipe C (ukuran kecil). Harga ketam dari nelayan dalam keadaan mentah adalah Rp. 25.000 per kg untuk ukuran besar, Rp. 19.000 per kg untuk ukuran sedang dan Rp. 10.000 per kg untuk ukuran kecil. Sedangkan harga dari pedagang pengumpul setelah

Page 117: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

98

direbus dibeli seharga Rp. 50.000 untuk tipe A, Rp. 38.000 untuk tipe B dan Rp. 20.000 untuk tipe C.

Selain ketam, ikan bilis juga banyak diproduksi oleh nelayan di ketiga desa penelitian. Ikan ini umumnya dijual dalam keadaan kering. Alat tangkap yang digunakan nelayan pada umumnya untuk ikan bilis adalah kelong atau bagan tancap. Nelayan biasanya ke bagan sekitar pukul 4 sore, kemudian pukul 6 sore mulai memasang jaring. Pengangkatan jaring biasa dilakukan dua kali, yaitu sekitar pukul 12 malam dan pagi sekitar pukul 5. Pada waktu musim ikan, dalam satu malam dapat dihasilkan sekitar 50 kintau atau sekitar 150 kg ikan bilis basah (satu kintau sekitar 3 kg ikan bilis basah). Dari sekitar 8 kg ikan bilis basah akan menghasilkan sekitar 3 kg ikan bilis kering. Harga ikan bilis kering yang sudah dibersihkan sekitar Rp. 25.000/kg.

Hasil SDL yang juga banyak diproduksi nelayan di ketiga desa penelitian adalah sotong atau cumi-cumi. Sotong biasanya ditangkap dengan menggunakan alat tangkap comek. Oleh karena kegiatan mencari sotong dinamai nyomek. Menurut nelayan, sotong tidak mengenal musim, selalu ada sepanjang tahun. Namum karena keterbatasan armada tangkap, pada musim gelombang kuat, kegiatan nyomek terpaksa dihentikan. Sotong biasanya dijual dalam keadaan kering. Menurut beberapa nelayan yang diwawancarai, nyomek harus dilakukan pada malam hari, karena pada siang hari, sotong masih berkeliaran. Oleh karena itu menyomek biasanya memerlukan waktu paling sedikit dua hari satu malam. Hasil tangkap yang diperoleh nelayan dalam sekali menyomek sekitar 50-100 ekor cumi dari berbagai ukuran. Berdasarkan besar kecilnya, ada 3 tipe sotong, Tipe A, Tipe B dan Tipe C. Sotong Tipe A berjumlah sekitar 25 ekor basah menjadi sekitar 1 kg dalam bentuk kering; Tipe B berjumlah sekitar 50 ekor basah, menjadi 1 kg sotong kering dan Tipe C berjumlah sekitar 75 ekor basah, menjadi 1 kg sotong kering. Harga sotong dalam keadaan kering jauh lebih mahal dari pada sotong basah. Sebagai contoh, harga sotong basah dari nelayan type A berkisar Rp. 18.000/ kg, sedangkan bila dijual dalam bentuk kering bisa mencapai Rp. 80.000/kg.

Berdasarkan wawancara mendalam dengan beberapa narasumber, diperoleh informasi bahwa hasil laut yang paling banyak ditangkap oleh nelayan di daerah penelitian adalah: ketam, cumi/sotong dan ikan bilis. Hal ini mungkin juga dipengaruhi oleh permintaan pasar yang cukup tinggi terhadap tiga hasil laut tersebut. Di Pancur paling tidak ada tiga pedagang besar yang mengolah ketam, dua diantaranya juga membeli segala jenis hasil tangkap nelayan, termasuk sotong dan ikan bilis. Selain itu ketam dan sotong tidak mengenal musim, sehingga dapat diperoleh sepanjang tahun.

Page 118: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

99

Sedangkan produksi ikan bilis tergantung pada musim. Pada masa musim gelombang besar, biasanya ikan bilis sulit diperoleh. Namun dalam musim teduh, dengan menggunakan alat tangkap kelong, dalam satu malam dapat diperoleh sekitar 150 kg ikan bilis basah.

Selain ketiga hasil SDL yang dominan tersebut, hasil laut yang juga banyak di tangkap di daerah penelitian adalah udang, gong-gong dan berbagai macam jenis ikan karang. Bila sedang musim, sekali melaut seorang nelayan dapat menghasilkan sekitar 20 kg udang. Sedangkan bila sedang tidak musim, seperti pada saat penelitian berlangsung, sekali melaut hanya mendapat hasil sekitar 2 kg. Nelayan di Dusun Tanjung Bungsu, Desa Resun biasanya menyuluh udang dengan menggunakan tombak. Kegiatan ini biasa dilakukan oleh wanita dan laki-laki dengan menggunakan sampan. Sama halnya dengan ketam, gong-gong juga tidak mengenal musim, dengan kata lain selalu ada disepanjang tahun. Bila air sedang surut, gong-gong biasanya diambil oleh kaum wanita dan anak-anak, sedangkan bila air pasang kegiatan tersebut dilakukan oleh kaum laki-laki.

Ikan-ikan besar banyak dihasilkan oleh nelayan di Desa Teluk. Ikan tersebut biasanya ditangkap dengan memancing atau dengan bubu ikan. Ikan besar biasanya dijual dalam keadaan mati dan dijual dalam bentuk basah. Gambar 5.2 menunjukkan hasil tangkap seorang nelayan di tempat pengumpul di Desa Teluk. Hasil ini diperoleh dalam waktu satu malam dengan menggunakan alat tangkap pancing dan armada tangkap sampan.

Gambar 5.2

Hasil tangkap nelayan di Desa Teluk

Page 119: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

100

Selain ikan, sumber daya laut yang juga banyak diproduksi oleh nelayan, khususnya nelayan di Desa Teluk adalah kayu bakar yang diperoleh dari hutan bakau. Pada saat musim gelombang kuat, dimana melaut tidak memungkinkan sebagian besar nelayan di desa Teluk beralih pekerjaan menjadi penebang kayu. Kayu akan diolah menjadi arang tersebut diambil dari hutan bakau yang banyak tumbuh disekitar pantai. Kayu tersebut kemudian dijual ke perusahaan arang atau yang disebut sebagai dapur arang yang beroperasi di Desa Teluk. Dalam sehari seorang penebang kayu biasanya dapat menghasilkan sekitar 5 batang kayu yang kemudian dijual seharga Rp. 27.000 per batang. Kegiatan menebang biasanya dilakukan sebanyak 2-3 kali dalam seminggu. Dengan demikian, dalam satu minggu seorang penebang kayu sedikitnya menebang 10-15 pohon bakau. Tentu saja jumlah ini bukan jumlah yang sedikit. Bila kegiatan ini tidak segera dikontrol, besar kemungkinan pada suatu nanti hutan-hutan bakau yang banyak mengelilingi pemukiman penduduk akan habis.

5.2. Pengolahan

Proses pengolahan hasil tangkap sangat ditentukan oleh jenisnya. Proses pengolahan ikan bilis akan berbeda dengan proses pengolahan ketam atau sotong. Selain jenis, proses pengolahan juga sangat tergantung dalam bentuk apa SDL tersebut dipasarkan. Jenis ikan bilis dan sotong biasanya sudah terlebih dahulu dikeringkan sebelum di jual ke pedagang. Sedangkan ketam dan ikan besar lainnya dijual ke pedagang pengumpul atau toke dalam keadaan segar. Pada bagian ini proses pengolahan SDL yang didiskusikan terbatas pada proses pengolahan 3 sumber daya laut utama yang dihasilkan

Gambar 5.3. Kintau, alat untuk meniriskan ikan

bilis setelah direbus.

Gambar 5.4. Kajang, alat untuk menjemur ikan

bilis.

Page 120: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

101

oleh nelayan di ketiga desa penelitian yaitu; ikan bilis (ikan teri), sotong (cumi-cumi) dan ketam (rajungan).

5.2.1 Proses pengolahan ikan bilis

Proses pengolahan ikan bilis dimulai sesaat setelah diangkat dari jaring. Proses ini dilakukan di atas bagan. Oleh karena itu setiap bagan/kelong biasanya diperlangkapi dengan satu kuali rebus berukuran sekitar 32 inci, 20 buah kintau (alat untuk meniriskan ikan bilis setelah direbus), kayu bakar untuk seminggu sekitar 100 potong, minyak tanah 1 gia (5 liter), Garam 2 kg/malam, kaos lampu petromaks untuk penerangan 1 lusin/bulan.

Sebelum jaring diangkat, terlebih dahulu air yang telah dicampur garam direbus sampai mendidih kemudian ikan bilis dimasukan dan direbus selama 3-5 menit dan langsung ditiriskan kedalam kintau. Proses perebusan ini tidak boleh terlalu lama, karena akan menyebabkan ikan hancur, sedangkan bila terlalu cepat dapat membuat ikan menjadi busuk dan berbau. Setelah selesai menarik jaring dan merebus hasil tangkap yang kedua, ikan bilis yang sudah direbus dibawa ke pantai dan kemudian di jemur diatas kajang. Ikan tersebut harus langsung dijemur. Bila matahari sedang cerah, biasanya ikan bilis sudah kering dalam setengah hari. Namun bila cuaca sedang tidak terlalu cerah biasanya dibutuhkan waktu yang lebih lama. Menurut seorang nelayan, untuk mendapatkan hasil pengeringan yang baik, ikan tersebut harus kering dalam sehari dan selama dijemur harus dibalik secara teratur. Penjemuran ikan bilis harus dilakukan berhati-hati, bila proses tersebut tidak benar, maka ikan bilis yang dihasilkan akan berwarna kemerah-merahan dan akan menurunkan harga jual. Setelah kering ikan bilis disortir dan dibersihkan. Harga ikan bilis bersih dijual oleh nelayan langsung ke pedagang seharga Rp. 25,000 per kg.

5.2.2. Proses pengolahan Sotong

Proses pengolahan sotong lebih sederhana dan biasanya dilakukan di daratan. Satu jam setelah mendarat, sotong harus dicuci dengan air laut, dibelah lebar dan kemudian dijemur (lihat gambar 5.5). Proses pengeringan ini sebaiknya tidak lebih dari satu hari, karena bila terlalu lama, sotong yang hasilkan akan keras.

Page 121: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

102

Gambar 5.5. Proses penjemuran sotong berbagai tipe

Untuk mendapatkan hasil yang baik, maka sotong harus di bolak-balik secara teratur, dengan demikian proses penengeringan akan merata. Umumnya nelayan di daerah lebih memilih menjual sotong kering, selain harga jualnya jauh lebih tinggi, sebagian besar nelayan tidak memiliki termos pendingin, dengan menjual dalam keadaan kering resiko rusak atau busuk dapat dihindari.

5.3.3 Proses pengolahan Ketam

Proses pengolahan ketam biasanya dilakukan oleh pedagang pengumpul yang kemudian menyetorkan ketam yang sudah setengah diolah ke pabrik ketam (supliyer). Setelah dikupas dan dikemas sesuai dengan klasifikasinya, ketam tersebut kemudian dijual oleh supliyer ke exportir. Proses pengolahan ketam dimulai dengan merebus ketam dengan menggunakan temperatur tertentu. Proses perebusan ini harus menggunakan teknologi tertentu, untuk menghindari agar ketam tidak terlalu masak atau sebaliknya kurang masak. Bila kurang masak, ketam akan cepat busuk, sedangkan bila terlalu masak maka ketika dikupas daging ketam akan cepat hancur. Para pedagang pengumpul biasanya mendapat pelatihan dalam merebus ketam sebelumnya. Pelatihan tersebut diselenggarakan oleh suplier. Selain itu pabrik juga menyediakan alat perebus ketam kepada para pedagang pengumpul yang mempunyai hubungan kerja dengannya. Setelah direbus, ketam dipilah-pilah sesuai dengan tipenya. Selain dipilah-pilah berdasarkan tipenya, ketam dari pengumpulnya juga disortir sesuai dengan proses perebusannya. Ketam yang terlalu lama atau terlalu cepat direbus akan ditolak. Setelah lolos dari

Page 122: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

103

seleksi pedagang besar, maka ketam ditimbang berdasarkan tipenya dan diserahkan kepada pedagang besar. Gambar 5.6 menunjukkan ketam tipe B yang telah direbus dan lolos seleksi oleh pedagang besar (supliyer).

Gambar 5.6. Ketam tipe B yang telah direbus.

Setelah sampai di supliyer, ketam dikopek (dikupas) untuk mengeluarkan dagingnya. Proses pengupasan ini memerlukan keahlian khusus. Seorang suplier di Desa Duara mempekerjakan paling sedikit 50 karyawan yang dikontrak secara borongan untuk mengupas dan mengepas ketam sebelum dikirim ke perusahaan induknya. Para pekerja tersebut dibagi menjadi tukang kopek, tukang ngambil dan tukang sortir. Seorang tukang kopek diberi upah sebesar Rp. 20,000 perhari, tukang ngambil Rp. 22,500 dan tukang sortir Rp. 25,000. Selain itu disetiap meja dipilih seorang kepala meja yang diupah sebesar Rp. 10,000 sebagai penanggung jawab.

Sebelum dipekerjakan seorang karyawan diberi pelatihan terlebih dahulu selama kurang lebih dua hari. Pembagian tugas dimulai dengan pekerjaan yang paling mudah, yaitu tukang susun. Pada waktu senggang karyawan baru tersebut diberi pelatihan untuk mengupas. Setelah kurang lebih 2 minggu baru kemudian karyawan tersebut pindah meja untuk mengupas bagian ketam yang paling mudah dikupas (special dan claw meat). Setelah dianggap mahir baru kemudian pindah ke meja berikutnya yang mempunyai tingkat kesulitan yang lebih tinggi.

Proses pengopekan harus dilakukan secara hati-hati agar daging ketam dapat diperoleh seutuh mungkin. Selain itu tingkat kebersihan juga harus sangat diperhatikan. Semua tempat kerja harus bersih dan semua pekerja harus

Page 123: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

104

menggunakan baju steril, sarung tangan steril dan masker. Hal ini dilakukan agar ketam yang diproses tidak terkontaminasi bakteri. Setelah dikupas, daging ketam dikelopokkan kedalam 9 tipe dengan harga yang berbeda-beda (lihat table 5.1). Setelah disortir ketam dimasukkan kedalam kemasan, disimpan di dalam lemari pendingin dan siap dikirim ke induk perusahaan untuk dikalengkan (lihat Gambar 5.7 dan Gambar 5.8).

Agar ketam tidak terkontaminasi bakteri dan tidak rusak, proses pengolahan ketam harus dilakukan dalam waktu yang relatif singkat. Ketam yang diperoleh dari nelayan harus segera direbus dalam keadaan hidup. Setelah direbus, paling lama 2 hari ketam harus sudah disetorkan ke pedagang besar untuk dikupas. Kemudian dalam waktu 2 hari harus sudah selesai dikopek dan dikemas. Setelah itu harus langsung dikirim ke perusahaan exportir. Menurut seorang supliyer jarak waktu antara memasak dan pengiriman ke exportir untuk dikalengkan tidak boleh lebih dari empat hari. Bila dimasak tanggal 8 maka paling lama tanggal 11 harus sudah dikirimkan.

Setelah sampai di perusahaan induk, ketam yang sudah dikemas akan disortir kembali. Bila kualitas dan tingkat kebersihannya diragukan, maka sampel ketam akan diuji dilaboratorium. Hanya ketam yang lolos sortil-lah yang kemudian akan dibeli oleh perusahaan induk. Setelah itu ketam dimasukkan kedalam pabrik untuk dikalengkan dan kemudian siap dijual ke dalam maupun ke luar negeri. Namun karena harganya yang relatif mahal, biasanya ketam yang berkualitas bagus langsung dieksport, sebagian besar ke Amerika, Eropa dan Jepang.

Dari 1 kg daging ketam matang yang besar akan dihasilkan sekitar 2,8 ons daging tipe collosal. Ongkos produksi untuk 100 kg daging jadi sekitar 13

Gambar 5.7. Ketam yang sudah dikemas dan siap dikirim ke pabrik

(jenis Jb. Lump)

Gambar 5.8. Ketam yang sudah dikemas dan siap dikirim ke pabrik

(jenis Bf/ Backfin)

Page 124: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

105

juta rupiah. Pengeluaran tersebut sudah termasuk pembelian dari pengumpul, proses pengupasan dan pengepakan dan ongkos kirim sampai ke Tanjung Pinang. Dari tanjung Pinang sampai ke pabrik pengalengan biasanya sudah merupakan tanggung jawab perusahaan. Namun tidak selalu semua daging yang dikirim diterima oleh perusahaan. Bila ada yang di tolak (reject) maka pengiriman menjadi tanggung jawab supplier.

5.3. Pemasaran Sumber Daya Laut

5.3.1 Pemasaran ikan Bilis dan Sotong.

Rantai pemasaran ikan bilis dan sotong di ketiga desa penelitian relatif sangat pendek. Untuk nelayan di Desa Duara dan Resun, karena letaknya yang sangat dekat dengan pedagang besar di Pancur, umumnya mereka langsung memasarkan hasil tangkapnya yang sudah dikeringkan ke pedagang besar. Para pedagang besar ini kemudian memasarkan sebagian ikan kering tersebut lansung ke masyarakat di sekitarnya dengan menjual langsung di tokonya. Selain itu ikan kering tersebut juga dikirim ke pedagang besar lainnya di Batam, Tanjung Pinang atau Riau. Selain ke daerah lain beberapa pedagang besar juga menjual ikan tersebut ke Singapura dan Malaysia.

Proses pengiriman juga tidak terlalu rumit. Para pedagang di Pancur cukup mengepak barang dagangannya dan mengirimkannya dengan menggunakan kapal barang. Sesampai di daerah tujuan, orang kapal akan mengirimkannya ke darat ke tempat tujuan. Ongkos kirim ikan kering biasanya dihitung per kilogram. Ongkos kirim ikan kering dari Pancur ke Tanjung Pinang biasanya seharga Rp. 500 per kg. Sedangkan ikan basah dihitung per kotak (terbuat dari fiber). Ongkos kirim 1 kotak fiber ikan basah ke Tanjung Pinang adalah Rp. 60.000.

Pengiriman ikan ke Singapura dilakukan melalui Senayang. Setiap tiga kali seminggu ada kapal cargo yang berangkat ke Singapura melalui pelabuhan tersebut. Setelah sampai di Singapura akan diurus oleh pedagang singapura yang sudah dihubungi terlebih dahulu. Pengiriman sotong biasanya dilakukan dalam 2 atau 3 hari dengan jumlah pengiriman sekitar 100 kg sotong dalam keadaan kering.

Ikan bilis lebih banyak dijual di dalam negeri seperti Jambi dan Tanjung Pinang. Harga ikan bilis kering di jual oleh pedagang besar bervariasi, tergantung musim. Hal ini karena produksi ikan bilis sangat tergantung pada musim. Pada waktu musim teduh, Ikan bilis yang halus (teri nasi) dan berkualitas bagus dijual seharga Rp. 26.000 sampai Rp. 27.000 per kg,

Page 125: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

106

sedangkan yang berkualitas kurang bagus di jual kurang lebih seharga Rp. 20.000 per kg. Ikan bilis besar harganya lebih murah yaitu sekitar Rp. 18.000 sampai Rp. 19.000 per kg. Sedangkan harga ikan bilis besar yang sudah dikopek berkisar antara Rp. 32.000 sampai Rp. 35.000 per kg.

5.3.2. Pemasaran Ketam (Rajungan)

Dibanding dengan ikan bilis dan sotong, rantai pemasaran ketam lebih panjang. Meskipun ketam bisa dipasarkan langsung dalam keadaan hidup ke masyarakat, sebagian besar nelayan memilih menjual hasil tangkapnya ke pedagang pengumpul yang bekerja untuk supliyer perusahaan besar. Hal ini disebabkan selain pada umumnya nelayan mendapat bantuan modal dari pedagang pengumpul, harga yang di berikan oleh pedagang pengumpul juga tidak jauh berbeda dengan harga di pasar.

Berikut adalah rantai pemasaran yang lakukan oleh seorang suplier perusahaan Philip Sea food. Perusahaan berpusat di Malang, Jawa Timur dan memiliki cabang di Medan, Lampung dan Kalimantan. Namum laboratoriumnya hanya terdapat di kota Malang. Untuk kepulauan Riau ada tiga orang suplier yang tersebar di Lingga Utara (Pancur), Batam (Kasu) dan Natuna (Pulau Juju). Suplier di Pancur memiliki lima orang pedagang pengumpul yang tersebar di Kabuten Lingga Utara yaitu di Tanjung Keliat satu orang; Tanjung Bungsu dua orang; Daek dua orang dan Desa Teluk satu orang. Masing-masing pengumpul biasanya mempunyai nelayan yang rutin menjual hasil tangkapnya antara 20 sampai 40 orang nelayan. Agar tidak terjadi penumpukan ketam di suplier, setiap harinya diatur dua orang suplier per hari. Jumlah ketam yang di setor tidak dibatasi, semua ketam yang lolos seleksi akan ditampung. Setelah melalui pengolahan di pabrik yang dikelola oleh suplier, ketam dikirim ke Perusahaan Philip di Lampung atau Medan. Tanggung jawab suplier dalam proses pengiriman hanya sampai ke kapal yang membawa ke Tanjung Pinang, setelah sampai di Tanjung Pinang, pengiriman menjadi tanggung jawab perusahaan. Dari Tanjung Pinang biasanya dibawa ke Batam lalu dikirim melalui pesawat ke Medan. Hal ini dilakukan supaya ketam bisa langsung dikalengkan. Setelah melalui proses pengalengan, barulah ketam dipasarkan ke masyarakat. Ketam berkualitas terbaik biasanya di eksport ke luar negeri.

Harga ketam baik dari nelayan ke pengumpul dan pengumpul ke suplier biasanya ditentukan oleh suplier. Sedangkan harga dari suplier ke perusahaan ditentukan oleh perusahaan sesuai dengan harga pasar yang berlaku. Tabel 5.1 merupakan harga ketam yang ditentukan oleh suplier perusahaan Philip yang berada di Desa Duara.

Page 126: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

107

Table 5.1

Harga ketam yang ditentukan oleh perusahaan Philip, Bulan April 2006

Suplier (kemasan plastik)

Type Dari nelayan (mentah)/kg

Pengumpul (matang)/kg

Tipe Harga/kg

A (6-7 ekor/kg) Rp.25 000 Rp. 50.000 Jb:Collosal 230.000

B (10-13 ekor/ kg) Rp. 19.000 Rp. 38.000 Jb: Lump 170.000

C (18-20 ekor/ kg) Rp. 10.000 Rp. 20.000 Bf: Backfin 125.000

Sl: Spc Lump

125.000

Sp: Special 125.000

Cm: claw meat

30.000

CF: claw finger

30.000

Sp: Flower 110.000

JB: lower size

110.000

Sumber: Survei Data dasar aspek social terumbu karang Indonesia, PPK-LIPI, 2006

Namun dari hasil wawancara dengan beberapa nelayan di Dusun Tanjung Bungsu, Desa Resun diperoleh harga yang sedikit berbeda. Menurut nelayan mereka menjual ketam ke pedagang pengumpul; tipe A seharga Rp. 24.000/kg, tipe B seharga Rp. 18.000/kg dan tipe C seharga Rp. 8.000/kg. Hal ini bisa disebabkan karena nelayan tersebut menjual hasil tangkapnya ke pengumpul yang bukan dari perusahaan Philip, namun bisa juga karena pengumpul memberikan harga yang berbeda dari yang ditetapkan suplier.

Dilihat dari proses pengolahan dan rantai pemasaran hasil tangkap mereka, nelayan di wilayah Kecamatan Lingga Utara tidak menghadapi kesulitan yang berarti. Keberadaan penampung dan pedagang besar di wilayah ini membuat nelayan tidak perlu kuatir kemana harus menjual hasil tangkap mereka. Permasalahan yang umum dihadapi nelayan adalah mahalnya ongkos produksi, terutama harga bahan bakar yang akhir-akhir ini melonjak

Page 127: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

108

tinggi. Selain itu banyaknya kapal pukat yang umumnya dimiliki oleh sekelompok nelayan bermodal relatif besar, mulai menimbulkan keresahan dikalangan nelayan tradisional yang umumnya bermodal kecil. Menurut nelayan tradisional, berkurangnya hasil tangkap mereka antara lain disebabkan karena banyaknya kapal pukat yang beroperasi.

Page 128: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

109

BAB VI DEGRADASI SUMBER DAYA LAUT DAN

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH

Kerusakan sumber daya laut di perairan Indonesia telah menjadi perhatian pemerintah maupun masyarakat dunia. Berbagai usaha telah ditempuh demi untuk menyelamatkannya, namun usaha tersebut tampaknya belumlah mendapatkan hasil yang diharapkan. Dari tahun-ketahun tampaknya sumber daya laut Indonesia terus mengalami degradasi. Kerusakan tersebut terjadi bukan hanya karena faktor alam seperti gempa dan Tsunami, tetapi lebih sering disebakan karena faktor manusia yang mengeksploitasi SDL secara berlebihan.

Bagian ini akan membahas kondisi sumber daya laut di Kepulauan Riau, khususnya di Desa Duara, Desa Resun dan Desa Teluk. Pada bagian pertama digambarkan kondisi sumber daya laut di wilayah perairan ketiga desa tersebut. Kemudian pada bagian kedua dibahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi degradasi sumber daya laut di wilayah ini. Faktor-faktor tersebut dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu; faktor internal, faktor eksternal dan faktor struktural. Faktor yang bersifat internal meliputi eksploitasi yang berlebihan, penggunaan alat tangkap yang merusak dan pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap pelestarian sumber daya alam. Faktor yang bersifat eksternal, antara lain permintaan pasar terhadap sumber daya laut tertentu. Sedangkan faktor struktural antara lain mencakup peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya laut, penegakan hukum dan konflik kepentingan antar stakeholder.

6.1. Kerusakan Sumber Daya Laut

Sebagai daerah kepulauan, wilayah perairan di Kecamatan Lingga Utara sangat kaya akan sumber daya laut. Menurut nelayan setempat, di perairan disekitar mereka banyak ditemui terumbu karang baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Selain terumbu karang, wilayah ini juga kaya akan biota laut lainnya. Hampir segala jenis ikan dan kerang-kerangan dapat diperoleh ditempat ini. Namun menurut nelayan setempat, hasil laut di sekitar mereka sudah jauh berkurang sejak lima sampai sepuluh tahun belakangan.

Page 129: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

110

Berkurangnya jumlah dan jenis hasil tangkap nelayan menunjukkan adanya degradasi SDL yang signifikan di wilayah ini. Sebagian besar masyarakat nelayan yang diwawancarai melalui wawancara terbuka maupun wawancara tertutup (survai) di ketiga desa yang diteliti mengatakan bahwa kondisi terumbu karang disekitar mereka sudah kurang baik, rusak dan sangat rusak. Lebih dari dua pertiga responden yang disurvai mengatakan bahwa terumbu karang di perairan di sekitar mereka perlu diperbaiki.

Pada dasarnya dampak terbesar dari kerusakan sumber daya laut dirasakan oleh masyarakat yang hidup disekitarnya. Hal ini dirasakan dengan semakin sedikitnya hasil tangkap yang mereka peroleh dari tahun-ketahun. Selain itu jenis ikan yang dulu banyak ditemui di perairan disekitar mereka, sekarang sudah mulai langka. Menurut penuturan beberapa nelayan baik di Desa Duara, Desa Resun maupun Desa Teluk, pada masa sekitar sepuluh tahun yang lalu, gong-gong dan ketam banyak bertebaran di perairan disekitar mereka. Pada masa itu tidak diperlukan jauh-jauh pergi ke laut untuk mendapatkan hasil laut gong-gong dan ketam.

Seorang narasumber yang berumur 22 tahun dan bekerja di kantor kecamatan mengatakan, meskipun dia tidak pernah melaut, pada waktu masih kecil, dia dan kawan-kawannya sering bermain dipantai ketika air surut sambil mengumpulkan gong-gong. Gong-gong yang mereka hasilkan cukup banyak sehingga dapat digunakan sebagai lauk pauk seluruh keluarga, bahkan kadangkala karena jumlahnya yang cukup banyak bisa dijual. Pada masa itu, karena begitu mudahnya mendapatkan gonggong, harga jualnya juga sangat murah. Sekarang ini hal tersebut tidak dapat lagi dilakukan. Untuk mencari gong-gong, nelayan harus pergi ke laut yang lebih dalam dan menyelam untuk mendapatkannya.

Hal yang sama juga terjadi pada hasil laut lain seperti ketam. Menurut beberapa orang nelayan yang diwawancarai secara terbuka di ketiga desa penelitian, pada masa lalu mereka tidak perlu melaut jauh-jauh untuk mencari ketam. Untuk mencari ketam, mereka cukup pergi ke teluk-teluk disekitar desa mereka. Pada masa lalu nelayan hanya menangkap ketam yang berukuran besar saja, namun pada masa sekarang sebagian besar ketam yang dijual ke pedagang pengumpul adalah ketam yang berukuran kecil. Sekarang ini untuk mendapatkan hasil yang memadai, nelayan terpaksa harus melaut lebih jauh.

Kerusakan sumber daya laut lain yang dapat dilihat dengan kasat mata adalah berkurangnya pohon bakau, disekitar pemukiman penduduk di Desa Resun, Desa Duara dan Desa Teluk. Berkurangnya pohon bakau ini telah mengakibatkan abrasi pantai. Dalam diskusi kelompok dengan masyarakat

Page 130: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

111

nelayan di Desa Teluk diperoleh informasi bahwa lima sampai sepuluh tahun belakangan ini, masyarakat merasakan air pasang dan ombak semakin tinggi dan lebih mendekat ke pemukiman penduduk. Menurut mereka hal ini bias jadi karena semakin berkurangnya hutan bakau yang antara lain juga berfungsi untuk menahan abrasi pantai.

Daerah perairan Kepulauan Riau juga kaya akan pasir putih. Dalam perjalanan dari Desa Duara ke Desa Teluk, pada salah satu pulau terlihat dengan jelas penumpukan pasir putih di sepanjang garis pantainya. Menurut seorang narasumber yang menyertai peneliti, pasir tersebut akan dijual ke Singapura. Penambangan pasir di wilayah Kepulauan Riau biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang mempunyai skala besar. Penambangan pasir laut dalam skala besar tentu saja akan menggangu keseimbangan SDL, karena dapat menyebabkan sedimentasi yang dapat menutupi terumbu karang.

6.2. Faktor internal yang berpengaruh terhadap kerusakan SDL

Seperti telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, degradasi sumber daya laut sebagian besar dilakukan oleh manusia; misalnya dengan melakukan over fishing dan menggunakan teknologi tangkap yang dapat merusak seperti bom, pukat/trwal dan racun. Selain itu juga kegiatan yang merusak lainnya seperti penebangan pohon bakau dan penambangan pasir laut dengan jumlah besar.

6.2.1. Eksploitasi yang berlebihan

• Ketam

Penangkapan hasil laut yang berlebihan dapat merusak ekosistem sumber daya laut. Sumber daya laut yang dianggap telah ditangkap secara berlebihan di Kepulauan Riau antara lain adalah ketam dan gong-gong. Menurut seorang narasumber, pada masa lalu, hanya ketam yang besar-besar yang ditangkap, namun pada akhir-akhir ini ketam kecilpun yang biasa disebut ‘bayi ketam’ banyak dijual nelayan. Pada masa sekarang ini hampir semua nelayan berlomba-lomba mencari ketam untuk dijual ke perusahaan-perusahaan ketam yang terdapat di Dusun Pancur. Hal ini bisa dilihat dari jumlah dan jenis alat tangkap yang dimiliki oleh nelayan khusus digunakan untuk menangkap ketam seperti bubu ketam, pinto dan tangkul.

Sebagai contoh, dari wawancara terbuka dengan seorang nelayan di Desa Resun diperoleh keterangan bahwa dalam satu malam dari sebuah bubu

Page 131: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

112

ketam dapat dihasilkan sekitar 7-8 ekor ketam, sedangkan seorang nelayan umumnya memiliki lebih dari 10 buah bubu, bahkan ada yang memiliki 40 buah bubu. Dengan demikian dalam satu malam, sedikitnya 100-200 ekor ketam dapat dihasilkan oleh seorang nelayan hanya dengan menggunakan alat tangkap bubu. Sedangkan dengan alat tangkap pinto, dalam satu malam sedikitnya dapat dihasilkan 30-40 ekor ketam. Bila jumlah ini dikalikan dengan jumlah nelayan yang ada di ketiga desa penelitian, tentu jumlah ketam yang diproduksi dalam satu malam mencapai jumlah yang sangat tinggi.

• Gong-gong

Pada waktu penelitian berlangsung, produksi gong-gong di ketiga desa penelitian sudah jauh menurun. Bahkan ketika dilakukan pengamatan di pasar ikan di Dusun Pancur, tidak ditemukan gong-gong. Menurut seorang penduduk wanita di Dusun Pancur, sekarang ini sudah sulit mendapatkan gong-gong yang berkualitas bagus. Hal yang sama juga dikemukakan oleh penduduk di Desa Teluk. Seorang ibu rumah tangga di Desa teluk mengatakan, sekarang ini bila ingin mengkonsumsi gong-gong harus membelinya ke pedagang pengumpul. Hal ini tentu saja sangat berbeda dengan kondisi sekitar sepuluh tahun yang lalu, dimana anak-anak dapat mengumpulkan gong-gong dalam jumlah yang cukup besar sambil bermain-main. Berkurangnya produksi gong-gong yang sangat drastis akhir-akhir ini menurut penduduk setempat antara lain juga disebabkan eksploitasi yang berlebihan.

• Penebangan Hutan Bakau

Penebangan hutan bakau untuk dijadikan arang, banyak dilakukan oleh nelayan di Desa teluk, khususnya pada waktu musim gelombang kuat. Pada musim ini, menurut nelayan setempat hampir tidak mungkin melaut, bahkan semua alat tangkap bagan dan keramba yang mereka miliki akan hancur dihantam gelombang. Letak Desa Teluk yang berbatasan langsung dengan laut bebas, membuat nelayan di daerah ini tidak dapat melaut sepanjang tahun. Oleh karena itu pada waktu nelayan tidak dapat melaut, mereka beralih profesi menjadi penebang kayu.

Aktifitas penduduk ini memberi andil yang tidak sedikit terhadap proses degradasi sumber daya laut di Desa Teluk. Meskipun secara umum mereka mengetahui bahwa hutan bakau diperlukan untuk menahan abrasi pantai, hal tersebut tidak menghalangi aktifitas mereka. Hal ini disebabkan nilai ekonomi yang menjanjikan dari kegiatan tersebut, khususnya pada saat

Page 132: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

113

mereka tidak mendapatkan hasil dari melaut. Menurut nelayan setempat menebang pohon bakau adalah satu-satunya kegiatan yang mereka lakukan untuk menambah penghasilan pada waktu tidak dapat melaut.

Sebenarnya masyarakat di Desa Teluk pada umumnya memiliki lahan perkebunan yang dapat ditanami berbagai macam jenis tanaman, namun karena banyaknya hama, lahan tersebut tidak dapat dikelola. Letak lahan perkebunan mereka yang berbatasan dengan hutan liar, menyebabkan tanaman pertanian mereka selalu dirusak berbagai jenis binatang liar seperti babi, musang, monyet dan binatang liar lainnya. Seorang nelayan yang berasal Natuna mengatakan dia pernah menanam cabe di lahan perkebunannya seluas satu hektar. Pada bulan pertama sampai ketiga dia menunggui lahan tersebut, khususnya pada malam hari, sehingga bebas dari binatang liar. Pada bulan ketiga, ia terpaksa harus kelaut untuk mendapatkan memenuhi keperluan rumah tangga, dan tidak ada yang menunggui kebunnya. Karena letak pertaniaannya yang jauh dari pemukiman, istri dan anaknya yang masih belum dewasa tidak dapat menggantikannya menjaga kebun. Alhasil, sebulan sebelum cabe layak panen, dia mendapati semua tanamannya dirusak oleh binatang liar. Cerita yang sama juga disampaikan oleh masyarakat lain yang mencoba berkebun dilahan pekarangan di belakang rumahnya. Mekipun mereka telah memagari lahan untuk menghalau babi liar, pagar tersebut dapat dilewati dengan mudahnya oleh kera-kera liar dan musang yang juga banyak berkeliaran diwilayah mereka. Ketiga berdiskusi tentang bagaimana cara agar dapat mengolah lahan perkebunan mereka, tampak keputusasaan di wajah mereka. Berbagai cara telah dicoba, namun belum ada yang pernah berhasil sampai panen, kecuali bila ditunggui terus menerus. Suatu hal yang tidak mungkin bagi seorang nelayan yang suatu waktu harus ke laut untuk mencari makan.

6.2.2. Penggunaan alat tangkap yang merusak

• Penggunaan Pukat/trawl/jaring pari

Penggunaan alat tangkap pukat/trawl banyak dilakukan oleh nelayan yang berada di Dusun Pasir Lulun, Desa Resun dan Dusun Pancur, Desa Duara. Dalam peng-operasiaannya alat tangkap ini dapat merusak sumber daya laut karena bentuk jaringnya yang sangat halus mengakibatkan ikan-ikan kecil juga turut terjaring. Selain itu karena ditebar didasar laut, jaring-jaring tersebut juga dapat merusak terumbu karang dan biota laut lainnya yang hidup disekelilingnya. Menurut nelayan tradisional, sejak mulai banyaknya pukat beroperasi di daerah perairan mereka, hasil tangkapan mereka menjadi jauh berkurang.

Page 133: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

114

Pada dasarnya para nelayan di daerah tersebut, termasuk mereka yang menggunakan pukat mengetahui kerusakan yang ditimbulkan oleh alat tangkap tersebut. Namun berhubung hasil yang didapatkan sangat menjanjikan, mereka tetap menggunakannya. Menurut seorang narasumber, di Dusun Pasir Lulun ada sekitar 12 keluarga yang memiliki kapal dan pukat, namun karena harga bahan bakar yang melonjak tinggi akhir-akhir ini, hanya sekitar 8 buah yang beroperasi. Jumlah pukat di Pancur, menurut penuturan nelayan di Pasir Lulun lebih banyak lagi. Pukat tersebut bukan hanya dimiliki oleh nelayan tapi juga oleh tauke-tauke yang menyewakan kapal dan alat tangkap tersebut kepada nelayan tradisional dengan cara bagi hasil.

Tidak satupun nelayan di Desa Teluk yang mengaku memiliki alat tangkap pukat. Namun mereka mengatakan banyak kapal pukat yang mencari ikan di wilayah tangkap Desa Teluk. Para nelayan pukat tersebut biasanya adalah nelayan luar yang datang dari Kijang dan Tanjung Pinang. Menurut nelayan di Desa Teluk, nelayan luar yang datang ke wilayah mereka biasanya sudah menggunakan alat yang canggih untuk mendeteksi tempat ikan. Tidak jarang mereka membawa peralatan menyelam untuk mencari ikan-ikan karang, khususnya ikan kerapu dan lobster. Bukan hal yang mustahil bila nelayan pendatang tersebut juga menggunakan racun untuk membius ikan.

• Penggunaan Bom

Penggunaan Bom untuk menangkap ikan banyak terjadi tahun 90-an sampai awal tahun 2000. Menurut nelayan di ketiga desa penelitian, pada masa-masa tersebut banyak kapal-kapal luar yang datang ke wilayah mereka menggunakan bom untuk menangkap ikan. Pada dasarnya kedatangan nelayan luar yang menggunakan bom tersebut tidak dirasa menggangu oleh sebagian nelayan. Karena biasanya nelayan tradisional akan ikut mendapat hasilnya. Setelah melakukan pengeboman untuk menghindari aparat, biasanya kapal tersebut akan dengan cepat mengumpulkan hasil tangkap mereka dan buru-buru meninggalkan lokasi pengobam. Pada waktu itulah nelayan tradisional ke lokasi pengeboman dan mengutip ikan yang tidak sempat dikumpulkan kapal pengebom tersebut.

Ketika diminta untuk menggambar lokasi tangkap dan daerah-daerah yang pernah di bom, hampir semua kelompok nelayan di Desa Resun dan Desa Teluk dapat menggambarkannya dengan mudah. Menurut nelayan, keadaan terumbu karang di lokasi-lokasi pengeboman tersebut sudah rusak berat.

Page 134: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

115

• Penggunaan alat tangkap bubu ikan

Selain pukat, alat tangkap bubu yang banyak dimiliki masyrakat tradisional juga pada dasarnya dapat merusak terumbu karang. Hal ini disebabkan karena umumnya bubu diletakkan di dasar laut disekitar terumbu karang, karena di daerah inilah yang banyak ikannya. Alat ini akan bergeser terbawa gelombang dan merusak terumbu karang. Dampak kerusakan yang dihasilkan alat tangkap ini tampaknya belum disadari masyarakat di daerah penelitian. Hampir semua responden di ketiga desa penelitian beranggapan bahwa bubu tidak merusak karang (lihat Bab IV).

6.3. Faktor eksternal

Kondisi sumber daya laut juga dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi pengelolaan SDL. Salah satu faktor eksternal tersebut adalah permintaan pasar. Permintaan akan sumber daya laut tertentu dalam jumlah besar dan dengan harga tinggi dapat memotivasi penduduk untuk mengeksploitasi SDL tersebut secara besar-besaran.

Seperti telah disinggung sebelumnya, salah satu hasil laut yang memiliki permintaan pasar yang tinggi di daerah Kepulauan Riau adalah ketam. Di Dusun Pancur setidaknya ada tiga pabrik ketam yang menampung hasil yang didapat nelayan tanpa batas. Kehadiran para pedagang besar tersebut disatu pihak sangat membantu perekonomian para nelayan, karena dengan demikian mereka tidak perlu lagi kuwatir akan pemasaran hasil tangkap mereka. Selain itu karena jumlah pedagang besar di daerah mereka lebih dari satu, menyebabkan harga ketam di tingkat nelayan relatif stabil karena persaingan harga antar pedagang.

Dilain pihak, kehadiran pabrik ketam yang lebih dari satu tersebut dapat juga menimbulkan degradasi terhadap sumber daya laut. Banyaknya pabrik ketam berarti tingginya permintaan yang kemudian juga akan memotivasi nelayan untuk menangkap hasil sebanyak-banyaknya. Lama kelamaan populasi sumber daya tersebut akan semakin sedikit, apalagi seperti telah disinggung sebelumnya bahkan bayi ketam pun turut ditangkap. Keadaan ini kalau tidak cepat diatasi akan menimbulkan kerusakan sumberdaya laut yang semakin parah. Bukan tidak mungkin populasi ketam suatu waktu nanti akan punah diperairan sekitar Kepulaun Riau.

Selain ketam, kegiatan yang akhir-akhir ini banyak dilakukan nelayan di Desa teluk adalah penebangan pohon bakau. Kegiatan ini disebabkan tingginya permintaan terhadap kayu pohon bakau yang kemudian diolah

Page 135: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

116

menjadi arang. Tingginya permintaan ini dipicu oleh kehadiran perusahaan arang atau dapur arang di Desa Teluk. Kehadiran pabrik arang di desa mereka telah memotivasi masyarakat setempat untuk bekerja di pabrik tersebut sebagai penebang pohon bakau untuk dijadikan arang, khususnya ketika sedang tidak dapat melaut.

6.4. Faktor struktural

Faktor struktural juga mempunyai peranan yang tidak kalah penting dalam menjaga kelestarian SDL. Keberadaan kebijakan dan program yang mengatur pengelolaan SDL, penegakan hokum dan adanya konflik kepentingan antar stakeholder, merupakan factor structural yang turut menentukan kondisi SDL.

6.4.1. Kebijakan/peraturan dan program yang berhubungan dengan pengelolaan SDL

Kerusakan sumber daya laut juga dipengaruhi oleh faktor struktural seperti keberadaan kebijakan dan program yang mengatur pengelolaan sumber daya laut. Pada dasarnya pemerintah ditingkat pusat telah membuat peraturan berupa perundang-undangan yang mengatur kondisi lingkungan hidup, termsuk sumber daya laut di Indonesia. Namun tampaknya keberadaan undang-undang dan peraturan tersebut masih kurang disosialisasikan sehingga kurang dipahami oleh masyarakat yang bersentuhan langsung dengan sumber daya tersebut. Hal ini terlihat dari rendahnya pengetahuan masyrakat tentang peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pengambilan terumbu karang dan penggunaan alat tangkap yang merusak (lihat bab IV).

Acuan yang digunakan dalam pengelolaan dan pemanfaatan terumbu karang di wilayah perairan Indonesia adalah Undang-Undang perikanan (UU No. 9/1985), Undang-undang No.5 tahun 1995 tentang konservasi sumber daya hayati dan undang-undang no 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup (Tunggal, 2001). Peraturan-peraturan tersebut pada dasarnya berlaku untuk semua wilayah baik tingkat pemerintah pusat, propinsi, kabupaten bahkan sampai tingkat desa. Namun karena kurangnya sosialisasi dan tidak adanya petunjuk pelaksana yang secara rinci yang dapat digunakan sebagai pedoman pelaksanaan di tingkat desa, membuat keberadaan undang-undang tersebut efektif.

Page 136: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

117

Kondisi sosial politik ditingkat nasional dan lokal tampaknya juga berpengaruh terhadap pengelolaan sumber daya laut di Kepulauan Riau. Adanya otonomi daerah dan pemisahan Kepulauan Riau dari Propinsi Riau dan menjadi propinsi sendiri berpengruh terhadap pelaksanaan program pelestarian sumber daya laut. Selain keberadaan propinsi yang baru, Kabupaten Lingga dan Kecamatan Lingga Utara juga merupakan daerah administratif yang baru. Satu pihak kondisi ini dapat memberi pihak yang positif terhadap pengelolaan sumber daya laut, bila sumber daya manusia yang terkait didalamnya menyadari akan pentingnya pelestarian sumber daya laut. Dengan demikian diharapkan kebijakan dan program yang disusun akan mengutamakan pelestarian SDL. Namun dilain pihak, kondisi daerah yang masih baru juga mengakibat sumber daya di dalamnya relatif masih baru, sehingga ada kemungkinan kurang memahami fungsinya. Hal ini dapat menimbulkan kesalahan pengelolaan sumber daya laut.

6.4.2 Penegakan Hukum

Berbagai peraturan dan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah tersebut pada dasarnya bertujuan untuk menjaga kelestarian sumber daya laut. Untuk mencapai tujuan tersebut tentu saja diperlukan penegakan hukum berupa pengawasan dan pemberian sanksi terhadap pihak-pihak yang melakukan pelanggaran. Namun dalam pelaksanaan di lapangan hal tersebut tampaknya tidak mudah dilakukan. Hal ini antara lain disebabkan belum adanya petunjuk yang jelas sampai di tingkat desa, masalah tumpang tindih kewenangan dan sulitnya melakukan pengawasan.

Peraturan mengenai wewenang penyidikan dan pelanggaran yang dilakukan di laut masih kurang jelas. Ada tumpang tindih antara kewenangan antara polisi, pegawai negeri sipil dan angkatan laut. Hal ini dikarenakan dalam peraturan undang-undang perikanan disebutkan bahwa yang mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan adalah pegawai negeri sipil atau angkatan laut. Hal ini tidak sesuai dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia dimana yang mempunyai kewenangan melakukan penyidikan adalah polisi. Sesuai dengan sistem tersebut, maka penyidikan yang dilakukan oleh pegawai negeri sipil atau angkatan laut belum dapat ditindaklanjuti oleh jaksa.

Kendala lain yang sangat umum dihadapi dalam penegakan hukum adalah kendala teknis dilapangan seperti luasnya wilayah laut yang harus diawasi dengan sumber daya manusia dan peralatan yang sangat terbatas. Minimnya sarana transportasi dan jumlah aparat penegak hukum di wilayah kecamatan

Page 137: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

118

lingga utara ditambah dengan kondisi alam yang kurang bersahabat mengakibatkan sulitnya melakukan pengawasan.

Untuk mengatasi kendala teknis yang dihadapi oleh aparat penegak hukum, salah satu cara yang cukup efektif adalah dengan mengikutsertakan masyrakat untuk ikut mengawasi wilayah laut mereka. Ketika hal ini disampaikan dalam diskusi kelompok dengan nelayan di ketiga desa yang diteliti, masyarakat tampaknya enggan untuk melakukannya. Selain karena armada tangkap yang mereka miliki kalah jauh dari nelayan pendatang, seringkali pelanggaran tersebut dilakukan oleh nelayan dari desa mereka sendiri atau nelayan dari desa tetangga yang juga mereka kenal. Untuk menghindari konflik antar sesama nelayan, mereka lebih berharap aparat keamananlah yang melakukan pengawasan.

6.4.3 Konflik kepentingan antar stakeholder

Seperti yang telah dibahas pada bagian sebelumnya, setidaknya ada tiga pihak yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya laut: yaitu masyarakat nelayan, pengusaha dan pemerintah terkait. Masing-masing pihak tersebut adakalanya memiliki pandangan yang berbeda terhadap lingkungan wilayah laut, sehingga menimbulkan konflik antar stakeholder yang pada akhirnya berdampak pada degradasi sumber daya laut.

• Konflik antar sesama nelayan lokal

Konflik terbuka antar sesama nelayan lokal di ketiga desa penelitian belum pernah terjadi. Namun dari wawancara terbuka dan diskusi kelompok dengan masyarakat nelayan diperoleh kesan, ada isu yang potensial menjadi bibit konflik diantara sesame nelayan lokal. Kesenjangan tehnologi tangkap antara nelayan tradisional yang umumnya memiliki modal yang terbatas dengan nelayan modern yang memiliki modal yang cukup tinggi dapat menimbulkan permasalahan. Penggunaan alat tangkap trawl oleh sebagian nelayan local yang memiliki modal yang besar, dituding oleh nelayan tradisional sebagai penyebab berkurangnya jumlah ikan yang mereka peroleh dan hilangnya bubu yang mereka sebar di laut. Usaha pemerintah desa, seperti yang dilakukan di Desa Resun tampaknya belum sepenuhnya didukung oleh nelayan.

Page 138: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

119

• Konflik antara nelayan dan pemerintah

Konflik antara pemerintah dengan masyarakat ditandai dengan ketidaktaatan masyarakat terhadap aturan-ataran yang dikeluarkan pemerintah. Hal ini bisa disebabkan karena kurangnya sosialisasi tapi juga karena ketidak konsistenan pemerintah dalam memberikan sanksi terhadap mereka yang melanggar peraturan. Sebagai contoh adalah banyaknya nelayan yang mengabaikan adanya pelarangan menggunakan trawl dalam waktu-waktu tertentu dan larangan mencari ikan diwilayah yang menjadi daerah konservasi. Dalam wawancara terbuka, seorang nelayan mengungkapkan ketidak setujuannya terhadap pelarangan tersebut, dia mengatakan:

Seharusnya tidak ada pelarangan dalam mencari ikan. Pemerintah jangan seenaknya saja bikin peraturan, pegawai enak punya gaji, tapi nelayan perlu mencari ikan untuk makan.

Hal lain yang juga dipertanyakan oleh nelayan di Desa Resun adalah kebijakan baru pemerintah daerah yang akan membuka lahan kelapa sawit di Desa Limbung yang berdekatan dengan desa mereka. Para nelayan tersebut kuwatir bahwa pupuk dan pembasmi hama yang digunakan pada perkebunan tersebut akan berdampak pada kehidupan ikan-ikan di wilayah mereka. Menurut mereka karena letaknya yang berdekatan, bila musim hujan tiba limbah dari perkebunan tersebut akan terbawa ke wilayah perairan disekitar pemukiman mereka. Hal ini terlihat dengan perubahan warna air di perairan di sekitar mereka, sejak dibukanya perkebunan tersebut. Meskipun belum dapat dibuktikan bahwa limbah tersebut telah mengakibatkan ikan-ikan mati, namun mereka kuwatir akan dampaknya dimasa mendatang. Oleh karena itu para nelayan tersebut berharap diadakan penelitian khusus mengenai dampak lingkungan dari proyek tersebut dan hasilnya disosialisakan kepada masyrakat.

• Konflik antar pengusaha dan pemerintah

Konflik yang terjadi antara pemerintah dapat terjadi karena perbedaan kepentingan. Pemerintah dengan cara mengeluarkan beberapa peraturan bertujuan untuk melestarikan sumber daya laut, sementara pengusaha yang bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan usaha mereka berusaha mengeksploitasi sumber daya laut sebanyak mungkin. Seorang kepala desa mengatakan dia pernah manganjurkan kepada seorang pedagang besar supaya tidak menerima ‘bayi bayi’ ketam dari nelayan. Namun pedagang

Page 139: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

120

tersebut berdalih bahwa dia tidak tega menolak hasil yang dijual nelayan, karena mereka membutuhkan uang untuk keperluan rumah tangganya.

Berdirinya pabrik ketam dan dapur arang di daerah penelitian, suatu pihak dapat meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, namun dilain pihak dapat menimbulkan degradasi sumber daya laut. Pada saat pemerintah daerah belum memberlakukan kebijakan yang mengatur jumlah dan jenis sumberdaya laut yang boleh dieksploitasi. Oleh karena itu belum ada konflik yang berarti antara pemerintah dan pengusaha dalam mengelola sumber daya laut di Kecamatan Lingga Utara.

Page 140: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

121

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

7.1 Kesimpulan

Kecamatan Lingga Utara merupakan kecamatan baru yang baru dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Riau Nomor 1 Tahun 2003. Secara geografis, Kecamatan Lingga Utara merupakan daerah kepulauan, yang sangat kaya akan sumber daya laut. Hampir semua jenis ikan dan biota laut lainnya dapat ditemui di daerah ini. Sebagian besar penduduk di wilayah ini bekerja sebagai nelayan. Oleh karena itu ketergantungan masyarakat terhadap kondisi SDL, khususnya terumbu karang sangat tinggi.

Arti penting dan manfaat sumber daya laut, khususnya terumbu karang untuk kelangsungan kehidupan perekonomian mereka sangat disadari oleh sebagian besar masyarakat di ketiga lokasi penelitian yaitu Desa Duara, Desa Resun dan Desa Teluk. Hampir semua responden mengetahui dengan baik manfaat ekologi maupun manfaat ekonomis terumbu karang. Pengetahuan bahwa terumbu karang merupakan tempat ikan bertelur dan mencari makan diketahui oleh seluruh responden di Desa Resun dan Desa Teluk. Manfaat ekonomi yang diketahui responden umumnya sangat berkaitan dengan pengetahuan mereka tentang fungsi ekologi terumbu karang. Lebih dari 80 per sen responden mengatakan bahwa karang merupakan sumber pendapatan masyarakat, karena ditempat inilah biasanya mereka mencari ikan. Dengan kata lain, masyarakat di ketiga desa penelitian sangat menyadari bahwa kelangsungan perekonomian mereka sangat tergantung kepada kondisi terumbu karang yang ada di wilayah sekitar mereka. Namun karena kebutuhan perekonomian yang mendesak, sebagian nelayan masih menggunakan alat tangkap yang merusak seperti pukat/trawl dan melakukan penangkapan yang berlebihan terhadap jenis SDL tertentu, khususnya ketam.

Pada umumnya nelayan di daerah penelitian adalah nelayan tradisional yang berlatar belakang sosial ekonomi relatif rendah. Hal ini tercermin dari tingkat pendidikan yang mereka miliki, tingkat pendapatan rata-rata per bulan ataupun asset rumah tangga dan aset produksi yang mereka punyai. Dari hasil survai terhadap 150 rumah tangga terpilih (masing-masing 50 rumah tangga per desa) di ketiga desa penelitian, terlihat bahwa sebagian

Page 141: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

122

besar anggota rumah tangga terpilih hanya berpendidikan sekolah dasar ke bawah. Sementara, pendapatan rata-rata rumah tangga pada waktu musim teduh atau musim banyak ikan adalah sekitar Rp. 800.000 per bulan. Meskipun jumlah rata-rata pendapatan tersebut relatif besar, namun sebegian besar rumah tangga responden memiliki pendapatan di bawah Rp. 500.000. Pada waktu musim gelombang kuat, dimana sebagian besar nelayan tidak dapat melaut, penghasilan rata-rata jauh lebih kecil, yaitu sekitar Rp. 487.000, bahkan khusus di Desa Teluk, rata-rata penghasilan rumah tangga nelayan kurang dari Rp. 300.000. Keterbatasan armada tangkap yang mereka miliki membuat nelayan tidak dapat melaut pada waktu musim ombak besar. Pada musim ini hanya sebagian kecil nelayan, yaitu mereka yang mempunyai perahu motor dengan kapasitas mesin cukup besar yang dapat melaut. Sedangkan nelayan yang tidak memiliki armada tangkap yang memadai, cenderung beralih pekerjaan menjadi tukang ojek, penebang pohon bakau, bekerja sebagai buruh di dapur arang atau mengolah lahan pertanian. Penebangan hutan bakau untuk dijadikan arang, banyak dilakukan oleh nelayan di Desa teluk, khususnya pada waktu musim gelombang kuat. Aktifitas ini tentu saja dapat mengakibatkan degradasi SDL yang tidak sedikit.

Sebagai nelayan yang banyak berinteraksi dengan terumbu karang, sebagian besar responden mengetahui dengan baik kondisi terumbu karang diwilayah perairan sekitar mereka. Umumnya responden berpendapat bahwa kondisi terumbu karang di sekitar mereka sudah rusak dan perlu diperbaiki. Hanya sekitar 16 persen responden yang mengatakan kondisi terumbu karang di wilayah mereka masih bagus.

Kerusakan SDL di sekitar mereka mulai dirasakan oleh nelayan setempat pada sekitar lima tahun belakangan ini. Hal ini dirasakan dengan semakin sedikitnya hasil tangkap yang mereka peroleh dari tahun-ketahun. Selain itu jenis ikan yang dulu banyak ditemui di perairan disekitar mereka, sekarang sudah mulai langka. Jenis SDL yang sudah semakin langka adalah jenis kerang-kerangan dan gong-gong, sedangkan jenis SDL yang semakin sedikit dan sulit didapat adalah ketam. Menurut penuturan beberapa nelayan baik di Desa Duara, Desa Resun maupun Desa Teluk, pada masa sekitar sepuluh tahun yang lalu, gong-gong dan ketam banyak bertebaran di perairan disekitar mereka. Pada masa itu tidak diperlukan jauh-jauh pergi ke laut untuk mendapatkan hasil laut gong-gong dan ketam, namun pada masa sekarang hal itu tidak lagi dapat dilakukan.

Page 142: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

123

Dalam melaut, masyarakat nelayan di Kepulauan Riau, umumnya tidak mengenal pembatasan wilayah tangkap. Setiap nelayan bebas memancing atau menyomek ke wilayah manapun, sepanjang dimungkinkan oleh armada tangkapnya. Namun kebebasan mencari ikan tersebut tidak berlaku untuk alat tangkap bubu dan kelong/bagan apung. Hal ini bisa dimaklumi mengingat penggunaan alat tangkap ini memerlukan ‘lahan’ khusus untuk menangkap ikan. Meskipun tidak ada peraturan tertulis, pemasangan kedua alat tangkap tersebut biasanya hanya diperkenankan di wilayah perairan desa/dusun nelayan yang bersangkutan.

Sebagian besar nelayan di desa penelitian, khususnya di Desa Resun dan Desa Teluk merupakan nelayan ‘terikat’, dalam arti mereka mempunyai ikatan tidak tertulis dengan seorang pedagang besar atau pengumpul untuk menjual hasil tangkap mereka. Hal ini dilakukan karena umumnya nelayan di kedua desa tersebut mempunyai modal yang terbatas, sehingga untuk keperluan operasional maupun keperluan hidup sehari-hari mereka terpaksa meminjam modal dari pengumpul atau tauke. Sebagai konsekuensi, nelayan yang bersangkutan mempunyai kewajiban untuk menjual semua hasil tangkapnya kepada pedagang/pengumpul yang telah meminjamkan modal tersebut. Dalam hubungan seperti ini tentu saja harga ditentukan oleh pengumpul atau tauke yang umumnya lebih murah dari harga yang berlaku di pasar.

Produksi sumber daya laut yang paling banyak dihasilkan di daerah penelitian adalah ikan bilis (ikan teri), ketam (rajungan), cumi (sotong). Jumlah produksi yang dihasilkan oleh nelayan sangat dipengaruhi oleh alat tangkap dan musim. Bila sedang musim teduh/ musim ikan, dengan menggunakan alat tangkap bubu yang khusus untuk ketam dapat diperoleh 7-8 ekor ketam dalam satu malam. Seorang nelayan biasanya memiliki rata-rata 20 bubu ketam. Dengan demikian dalam satu malam seorang nelayan dapat memperoleh sekitar 120-160 ekor ketam. Ikan bilis umumnya dijual dalam keadaan kering. Alat tangkap yang digunakan nelayan pada umumnya untuk ikan bilis adalah kelong atau bagan tancap. Pada waktu musim ikan, dalam satu malam dari seorang nelayan dapat dihasilkan sekitar 50 kintau atau sekitar 150 kg ikan bilis basah (satu kintau sekitar 3 kg ikan bilis basah). Sotong atau cumi biasanya ditangkap dengan menggunakan alat tangkap comek. Hasil tangkap yang diperoleh nelayan dalam sekali menyomek sekitar 50-100 ekor cumi dari berbagai ukuran.

Dilihat dari proses pengolahan dan rantai pemasaran hasil tangkap mereka, nelayan di wilayah Kecamatan Lingga Utara tidak menghadapi kesulitan yang berarti. Keberadaan penampung dan pedagang besar di wilayah ini membuat nelayan tidak perlu kuatir kemana harus menjual hasil tangkap

Page 143: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

124

mereka. Ikan bilis dan sotong biasanya di jual ke pedagang pengumpul atau tauke dalam keadaan kering. Proses pengeringan sangat sederhana dan hanya mengandalkan panas matahari. Disatu pihak hal ini sangat menguntungkan nelayan, karena mengurangi ongkos produksi, namun bila sedang musim hujan, maka proses pengeringan menjadi kurang sempurna, sehingga dapat mengurangi nilai produksi.

Rantai pemasaran ikan bilis dan sotong di ketiga desa penelitian relatif sangat pendek. Untuk nelayan di Desa Duara dan Resun, karena letaknya yang sangat dekat dengan pedagang besar di Pancur, umumnya mereka langsung memasarkan hasil tangkapnya yang sudah dikeringkan ke pedagang besar. Para pedagang besar ini kemudian memasarkan sebagian ikan kering tersebut langsung ke masyarakat di sekitarnya dengan menjual langsung di tokonya atau ke pedagang besar lainnya di Batam, Tanjung Pinang, Riau bahkan sampai ke luar negeri seperti ke Singapura dan Malaysia.

Rantai pemasaran ketam lebih panjang, sebagian besar nelayan menjual hasil tangkapnya dalam keadaan hidup ke pedangang pengumpul, yang kemudian menjualnya ke pedagang besar/supplier di Dusun Pancur setelah terlebih dahulu merebusnya. Suplier tersebut kemudian mengirimkan ketam yang sudah dikupas dan di sortir sesuai dengan klasifikasinya ke perusahaan pengalengan, setelah dikalengkan, barulah ketam tersebut dipasarkan langsung ke masyarakat atau restoran-restoran besar di dalam dan luar negeri.

Kehadiran para pedagang besar di Dusun Pancur disatu pihak sangat membantu perekonomian para nelayan, karena dengan demikian mereka tidak perlu lagi kuwatir akan pemasaran hasil tangkap mereka. Selain itu karena jumlah pedagang besar di daerah mereka lebih dari satu, menyebabkan harga ketam di tingkat nelayan relatif stabil karena persaingan harga antar pedagang. Namun dilain pihak, bila tidak dikelola dengan baik, kehadiran pabrik ketam yang lebih dari satu tersebut dapat juga menimbulkan degradasi terhadap sumber daya laut. Banyaknya pabrik ketam berarti tingginya permintaan yang kemudian juga akan memotivasi nelayan untuk menangkap hasil sebanyak-banyaknya. Lama kelamaan populasi sumber daya tersebut akan semakin sedikit, apalagi seperti telah disinggung sebelumnya bahkan bayi ketam pun turut ditangkap. Keadaan ini kalau tidak cepat diatasi akan menimbulkan kerusakan sumberdaya laut yang semakin parah. Bukan tidak mungkin populasi ketam suatu waktu nanti akan punah diperairan sekitar Kepulaun Riau.

Page 144: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

125

Hal yang sama juga terjadi dengan penebangan pohon bakau di Desa Teluk. Kegiatan yang dapat menimbulkan degradasi SDL ini semakin intensif dalam beberapa tahun belakangan ini disebabkan tingginya permintaan terhadap kayu pohon bakau yang kemudian diolah menjadi arang. Hal ini disebabkan kehadiran perusahaan arang atau dapur arang yang beroperasi di daerah ini. Kehadiran pabrik arang tersebut memotivasi masyarakat setempat untuk penebang pohon bakau, khususnya ketika sedang tidak dapat melaut.

Selain eksploitasi yang berlebihan, penyebab degradasi di daerah Kepulauan Lingga, khususnya Kecamatan Lingga Utara adalah penggunaan alat tangkap bom yang banyak dilakukan pada awal tahun 2000-an dan penggunaan pukat/trawl yang beberapa tahun belakangan ini semakin marak digunakan. Penggunaan Bom untuk menangkap biasanya banyak dilakukan kapal-kapal luar. Kegiatan ini, meskipun disadari oleh masyarakat dapat merusak SDL disekirat mereka, namun juga dirasa memberikan keuntungan yang tidak sedikit pada sebagian nelayan lokal. Karena biasanya nelayan tradisional akan ikut mendapat hasilnya. Setelah melakukan pengeboman, untuk menghindari aparat biasanya kapal tersebut akan dengan cepat mengumpulkan hasil tangkap dan buru-buru meninggalkan lokasi pengeboman. Pada waktu itulah nelayan tradisional ke lokasi pengeboman dan mengutip ikan yang tidak sempat dikumpulkan kapal pengebom tersebut.

Penggunaan alat tangkap pukat/trawl banyak dilakukan oleh nelayan yang berada di Dusun Pasir Lulun, Desa Resun dan Dusun Pancur, Desa Duara. Selain pukat, alat tangkap bubu yang banyak dimiliki masyrakat tradisional juga pada dasarnya dapat merusak terumbu karang. Hal ini disebabkan karena umumnya bubu diletakkan di dasar laut disekitar terumbu karang, karena di daerah inilah yang banyak ikannya. Alat ini akan bergeser terbawa gelombang dan merusak terumbu karang. Dampak kerusakan yang dihasilkan alat tangkap ini tampaknya belum disadari masyarakat di daerah penelitian.

Kerusakan sumber daya laut juga dipengaruhi oleh faktor struktural seperti keberadaan kebijakan dan program yang mengatur pengelolaan sumber daya laut. Pada dasarnya pemerintah ditingkat pusat telah membuat peraturan berupa perundang-undangan yang mengatur kondisi lingkungan hidup, termasuk sumber daya laut di Indonesia. Namun tampaknya keberadaan undang-undang dan peraturan tersebut belum dilaksanakan dengan konsisten. Hal ini terlihat dari pengakuan sebagian besar responden, yang mengaku mengetahui adanya pelarangan, namun hanya sebagian kecil yang mengaku tahu tentang sanksi hukum terhadap pelanggaran peraturan-

Page 145: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

126

peraturan tersebut. Meskipun mereka melihat banyak nelayan yang melanggar peraturan tersebut, belum ada yang terkena sanksi.

Kondisi sosial politik ditingkat nasional dan lokal tampaknya juga berpengaruh terhadap pengelolaan sumber daya laut di Kepulauan Riau. Adanya otonomi daerah dan pemisahan Kepulauan Riau dari Propinsi Riau dan menjadi propinsi sendiri berpengruh terhadap pelaksanaan program pelestarian sumber daya laut. Selain keberadaan propinsi yang baru, Kabupaten Lingga dan Kecamatan Lingga Utara juga merupakan daerah administratif yang baru. Satu pihak kondisi ini dapat memberi dampak yang positif terhadap pengelolaan sumber daya laut, bila sumber daya manusia yang terkait didalamnya menyadari akan pentingnya pelestarian sumber daya laut. Dengan demikian diharapkan kebijakan dan program yang disusun akan mengutamakan pelestarian SDL. Namun dilain pihak, kondisi daerah yang masih baru juga mengakibat sumber daya di dalamnya relatif masih baru, sehingga ada kemungkinan kurang memahami fungsinya. Hal ini dapat menimbulkan kesalahan pengelolaan sumber daya laut.

Kendala lain yang sangat umum dihadapi dalam penegakan hukum adalah kendala teknis dilapangan seperti luasnya wilayah laut yang harus diawasi dengan sumber daya manusia dan peralatan yang sangat terbatas. Minimnya sarana transportasi dan jumlah aparat penegak hukum di wilayah Kecamatan Lingga Utara ditambah dengan kondisi alam yang kurang bersahabat mengakibatkan sulitnya melakukan pengawasan.

Konflik terbuka antar sesama nelayan lokal di ketiga desa penelitian belum pernah terjadi. Namun dari wawancara terbuka dan diskusi kelompok dengan masyarakat nelayan diperoleh kesan, ada isu yang potensial menjadi bibit konflik diantara sesama nelayan lokal. Kesenjangan tehnologi tangkap antara nelayan tradisional yang umumnya memiliki modal yang terbatas dengan nelayan modern yang memiliki modal yang cukup tinggi dapat menimbulkan permasalahan. Penggunaan alat tangkap trawl oleh sebagian nelayan lokal yang memiliki modal yang besar, dituding oleh nelayan tradisional sebagai penyebab berkurangnya jumlah ikan yang mereka peroleh dan hilangnya bubu yang mereka sebar di laut.

Dari hasil penelitian di tiga desa lokasi penelitian, ada beberapa isu pokok yang dapat digarisbawahi sehubungan dengan pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan. Isu pokok tersebut antara lain adalah:

• Ketiadaan lembaga keuangan seperti koperasi simpan pinjam atau perbankan, mendorong masyarakat nelayan untuk bergantung kepada tauke. Konsekuensinya, mereka harus menjual hasil produksi ke tauke tersebut meskipun dengan harga yang cenderung di bawah harga pasar.

Page 146: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

127

• Kehidupan masyarakat nelayan sangat tergantung kepada laut. Namun adanya degradasi SDL yang disebabkan oleh eksploitasi yang berlebihan, khususnya ketam dan hutan bakau, serta penggunaan alat tangkap yang merusak seperti bom dan trawl, telah menyebabkan berkurangnya hasil tangkap masyarakat.

• Terbatasnya kesempatan kerja yang ada, khususnya pada musim angin kencang mendorong masyarakat nelayan untuk beralih pekerjaan menjadi penebang kayu bakau untuk dijual ke dapur arang. Apabila hal ini tidak diatasi, niscaya kelestarian hutan bakau akan terancam.

• Penggunaan bahan peledak dan pukat trawl cukup marak dilakukan di Desa Teluk, pelakunya diduga adalah nelayan dari luar (dari Batam, Tanjung Pinang, dll). Nelayan Desa Teluk tidak mampu mengejar karena kapasitas mesin mereka jauh di bawah mesin perahu nelayan luar tersebut.

• Keterbatasan sarana transportasi dan mahalnya biaya transportasi mengakibatkan tingginya harga bahan kebutuhan pokok di Desa Teluk. Tingginya biaya transport juga mengakibatkan nelayan di Desa Teluk terpaksa harus menjual hasil tangkapannya yang berupa ikan sengarat, tengiri, tuna ke pedagang pengumpul terdekat.

• Proses pengolahan ikan dan biota laut lainnya masih dilakukan secara sederhana. Proses pengolahan paska tangkap masih minim, terutama untuk cumi-cumi (sotong), keadaan ini mengakibatkan permasalahan bila musim hujan. Mereka harus mengeringkannya dengan lampu dengan hasil yang kurang begitu bagus sehingga harga jual produksi juga menurun.

7.2 Rekomendasi

Berdasarkan pada pengalaman kehidupan masyarakat Desa Duara, Resun dan Teluk dalam pengelolaan sumber daya laut, ada beberapa saran yang dapat diangkat dari studi ini guna bahan pertimbangan dalam membuat rumusan kebijakan untuk mengelola sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Saran tersebut adalah:

• Perlu adanya peraturan dan penegakan hukum yang tegas terhadap penggunaan alat tangkap yang merusak seperti pukat/trawl. Bila hal ini tidak dilakukan dengan segera, bukan tidak mungkin akan terjadi

Page 147: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

128

ketegangan yang dapat menjadi benih konflik antara nelayan tradisional dengan nelayan pengguna pukat. Selain itu, besarnya jumlah tangkapan yang dihasilkan oleh nelayan pukat, dapat memotivasi nelayan tradisional untuk beralih menggunakan pukat baik sebagai ABK maupun pemilik.

• Perlu dibentuk lembaga keuangan seperti koperasi simpan pinjam yang dapat digunakan oleh masyarakat nelayan untuk menyimpan uang mereka pada waktu musim ikan dan meminjam uang pada waktu musim ombak besar, dimana mereka tidak dapat melaut.

• Perlu peningkatan budi daya ikan, khususnya kerapu dan lobster yang sangat potensial di daerah ini dengan memberikan bantuan modal dengan disertai bimbingan lapangan. Pemberian bimbingan lapangan sama penting dengan bantuan modal. Tanpa bimbingan lapangan, nelayan tidak dapat mengantisipasi agar budidaya yang mereka kelola tidak tersaring penyakit.

• Perlu dibuat peraturan tentang tentang pengelolaan hutan bakau, hal ini sangat urgen mengingat pada saat sekarang ini sedang terjadi eksploitasi yang cukup besar, khususnya di Desa Teluk.

• Untuk menjaga agar tidak terjadi eksploitasi yang berlebihan terhadap SDL, khususnya ketam, perlu dibuat peraturan yang mengatur besarnya ketam yang boleh ditangkap. Hal ini untuk menghindari ‘bayi-bayi’ ketam ikut dijual.

Page 148: DATA DASAR ASPEK SOSIAL - coremap.or.idcoremap.or.id/downloads/BaseLine_Sosek_Ds-Duara_Lingga_2006.pdf · DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Duara, Resun dan Teluk,

129

DAFTAR PUSTAKA

AMSAT, Ltd, 2002.Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP). ADB Phase II, Project Design Report.

Augustina, IGP Antariksa, Titik Handayani. 2002. “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia; Studi Kasus: Kampung Yenkawir, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua. COREMAP LIPI, Jakarta.

Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Lingga. 2005. “Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten Lingga”. Laporan Kompilasi Data, 2005.

Bulletin Faduru Ros Naine, Media Jembatan Pengelolaan Berbasi Masyarakat , 2005. Kehidupan Terumbu Karang Terncam, hal 1-3. Edisi I: November- Desember 2005.

Bulletin Faduru Ros Naine, Media Jembatan Pengelolaan Berbasi Masyarakat , 2005. Mengenal Lebih Dekat Dengan COREMAP, hal 4-9. Edisi I: November- Desember 2005.

Hidayati, Deni dan Laksmi Rachmawati, 2002. Data dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia. Studi Kasus Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. Laporan Penelitian PPK-LIPI

Kantor Kepala Desa Duara. 2005. Monografi Desa Duara, Kecamatan Lingga Utara, Kabupaten Lingga.

Purwaningsih, Sri Sunarti dan Gutomo Bayu Aji. 2005. “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia; Desa Kedai Gadang, Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah”. Laporan Penelitian PPK-LIPI

Suharsono, 2003. CRITC (Coral Reef Information and Training Centre). Paper dipresentasikan pada Workshop Socialization of Coremap Phase I and Design of Coremap Phase II.

Tunggal, Arif Djohan, 2001. Peraturan Perundang-undangan Lingkungan Hidup. Buku V. Harvarindo, Jakarta.