hubungan aspek sosial ekonomi dengan tingkat …

113
HUBUNGAN ASPEK SOSIAL EKONOMI DENGAN TINGKAT ADOPSI PETANI DALAM USAHATANI SAYURAN ORGANIK DI KAMPUNG LIMAN BENAWI KECAMATAN TRIMURJO KABUPATEN LAMPUNG TENGAH (Skripsi) Oleh: DWI NURHAYATI 16210024 SEKOLAH TINGGI ILMU PERTANIAN (STIPER) DHARMA WACANA METRO TAHUN 2020

Upload: others

Post on 03-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

LIMAN BENAWI KECAMATAN TRIMURJO
DHARMA WACANA METRO
LIMAN BENAWI KECAMATAN TRIMURJO
SARJANA PERTANIAN
Jurusan Agribisnis
DHARMA WACANA METRO
LIMAN BENAWI KECAMATAN TRIMURJO KABUPATEN LAMPUNG
TENGAH
Oleh:
sayuran yang tidak memberikan dampak negatif jangka panjang berupa residu
kimia bagi tubuh dan lingkungan. Petani memperoleh keuntungan dengan
mengadopsi teknologi budidaya sayuran organik, karena sebagai produsen petani
dapat menjual produk organik yang dihasilkan dengan harga mahal apabila
dibandingkan dengan harga sayur konvensional. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui hubungan aspek sosial ekonomi (umur, tingkat pendidikan, luas
lahan, pengalaman bertani dan penyuluhan) petani dengan tingkat adopsi petani
dalam usahatani sayuran organik di Kampung Liman Benawi Kecamatan
Trimurjo Kabupaten Lampung Tengah.
Metode penelitian dilakukan dengan metode survei yaitu dilakukan di Kampung
Liman Benawi Kecamatan Trimurjo Kabupaten Lampung Tengah. Penelitian ini
dilakukan pada bulan Oktober-November 2019. Pengambilan sampel dalam
penelitian ini dilakukan dengan metode sampling jenuh. Jumlah sampel yang
diambil dalam penelitian ini adalah 30 anggota KWT Bina Pertani. Analisis data
yang digunakan adalah Korelasi Rank Spearman.
Hasil Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara aspek sosial
ekonomi (luas lahan, Pengalaman berusahatani, penyuluhan) dengan tingkat
adopsi petani dalam usahatani sayuran organik. Sedangkan untuk variabel umur
dan pendidikan tidak berhubungan erat dengan tingkat adopsi petani dalam
usahatani sayuran organik di Kampung Liman Benawi Kecamatan Trimurjo
Kabupaten Lampung Tengah.
HALAMAN PERSETUJUAN
DENGAN TINGKAT ADOPSI PETANI DALAM
USAHATANI SAYURAN ORGANIK DI
KAMPUNG LIMAN BENAWI KECAMATAN
TRIMURJO KABUPATEN LAMPUNG TENGAH
Nama Mahasiswa : Dwi Nurhayati
PENGESAHAN
2. Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Dharma Wacana Metro
Ir. Rakhmiati, M.T.A.
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir pada tanggal 18 November 1998 di Kenangasari, Kecamatan Seputih
Surabaya, Kabupaten Lampung Tengah. Penulis merupakan anak kedua dari
pasangan Bapak Sutoyo dan Ibu Kasmiyatin, S.Pd. Penulis pertama kali masuk
pendidikan Sekolah Dasar Negeri Kenangasari tahun 2004 dan tamat pada tahun
2010. Pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah
Pertama Negeri 1 Seputih Surabaya, dan tamat pada tahun 2013. Pada tahun 2013
penulis melanjutkan pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri 1 Lampung Timur
dan tamat pada tahun 2016.
Tahun 2016 penulis terdaftar sebagai mahasiswa program S1 program studi
Agribisnis di Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIPER) Dharma Wacana Metro.
Pada tahun 2017, penulis melakukan Studi Lapang (SL) selama 7 hari di Bandung
dan Bogor. Pada tahun 2019, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Lapang (KKL)
di Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) Metro Lestari, Metro
Pusat, Kota Metro.
Aku persembahkan Skripsi ini kepada :
1. Kedua orang tua ku Bapak Sutoyo dan Ibu Kasmiyatin, S.Pd. yang telah
memberikan dukungan, motivasi, perjuangan, kasih sayang yang tiada
henti-henti nya dan pengorbanan dalam hidup ini.
2. Kakakku Novi Rahmawati, Amd. Kep., dan Tri Susilo, S.P., keponakanku
tercinta Silvia Aquina Khoirunnisa dan keluarga besar yang telah
memberikan semangat, dukungan, dan selalu perhatian.
3. Bapak Ir. Supriadi, M.P selaku Dosen Pembimbing I, Ibu Ainul
Mardliyah, S.P., M.Si. selaku Dosen Pembimbing II dan Bapak Imron,
S.P., M.Si. selaku Penguji utama dan seluruh Dosen yang telah
memberikan ilmu selama ini.
4. Buat sahabatku Lela Halimatusya’diyah, Zulfa Fauziyah, Meli Rizki Ari
Pandini, Nanda Restuning Sri Ayu, Elisa Mirayana, Dewi Nopita Sari dan
Qolbiyati Hidayatul Ilham terima kasih atas bantuan, nasehat, hiburan dan
motivasi.
dan dukungan serta canda tawa yang sangat mengesankan selama masa
kuliah.
MOTTO
untuk dirinya sendiri”
mengejar berkah dalam satu kegiatan yang bernilai ibadah”
(Dwi Nurhayati)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang
berjudul “Hubungan Aspek Sosial Ekonomi Dengan Tingkat Adopsi Petani
Dalam Usahatani Sayuran Organik Di Kampung Liman Benawi Kecamatan
Trimurjo Kabupaten Lampung Tengah”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua yang selalu memberi nasehat dan dukungan baik moral
maupun material.
2. Ibu Rakhmiati, M.T.A. selaku Ketua STIPER Dharma Wacana Metro
yang telah memberikan dukungan, fasilitas dan kemudahan-kemudahan
dalam kegiatan di STIPER Dharma Wacana Metro.
3. Bapak Ir. Supriadi, MP. selaku pembimbing I, atas segala bimbingan,
bantuan, motivasi dan saran yang sangat berarti hingga selesainya
penulisan skripsi ini.
4. Ibu Ainul Mardliyah, S.P., M.Si. sebagai pembimbing II, atas segala
bimbingan, bantuan, motivasi dan saran yang sangat berarti hingga
selesainya penulisan skripsi ini.
5. Bapak Imron, S.P. M.Si. selaku penelaah, atas segala bimbingan, motivasi
dan saran yang sangat berarti hingga selesainya skripsi ini.
6. Ibu Dr. Ismalia Afriani, S.P., M.Si. selaku Ketua Program Studi Agribisnis
yang telah memberikan dukungan dan kemudahan-kemudahan dalam
kegiatan di STIPER Dharma Wacana Metro.
7. Seluruh Dosen dan karyawan di Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIPER)
Dharma Wacana Metro.
8. Semua pihak dan rekan-rekan yang telah membantu dalam menyelesaikan
skripsi ini.
Semoga amal baik yang telah diberikan akan mendapatkan imbalan yang sesuai
dari Alloh SWT amin. Harapan penulis, Skripsi ini dapat bermanfaat untuk
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang pertanian. Penulis
menyadari masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan dan
penyusunan Skripsi ini. Dengan demikian penulis sudah berusaha dengan
sungguh-sungguh dalam menyusun Skripsi ini, tentu masih banyak kekurangan.
Untuk itu saran masukan dari semua pihak sangat penulis harapkan.
Metro, Februari 2020
DAN HIPOTESIS ...................................................................................... 11
2.1.2 Teori Adopsi ................................................................................ 14
2.1.3 Sayuran Organik .......................................................................... 17
2.2 Penelitian Terdahulu .............................................................................. 22
2.3 Kerangka Pemikiran .............................................................................. 25
2.4 Hipotesis Penelitian ............................................................................... 26
III. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................ 27
3.3 Metode Pengumpulan Data dan Jenis Data ........................................... 30
3.4 Populasi dan Sampel ............................................................................. 31
3.5 Metode Pengolahan Data dan Analisis Data ......................................... 31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 36
4.1 Keadaan Umum Wilayah Penelitian ..................................................... 36
4.1.1 Sejarah Kampung ........................................................................ 36
4.1.3 Demografi .................................................................................... 37
4.2 Hasil Uji Validitas dan Uji Reliabilitas ................................................. 38
4.2.1 Uji Validitas ................................................................................ 38
4.2.2 Uji Reliabilitas ............................................................................. 39
4.3.1 Umur (X1) .................................................................................... 40
4.3.2 Pendidikan (X2) ........................................................................... 41
4.3.5 Penyuluhan (X5) .......................................................................... 44
4.4.1 Persiapan Lahan .......................................................................... 46
4.5 Pengujian Hipotesis ............................................................................... 60
5.1 Kesimpulan ............................................................................................ 64
5.2 Saran ...................................................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 65
Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung ...................................................... 4
2. Luas Panen Tanaman Sayuran Menurut Kecamatan dan Jenis Tanaman
di Kabupaten Lampung Tengah ................................................................ 5
3. Produksi Tanaman Sayuran Menurut Kecamatan dan Jenis Tanaman di
Kabupaten Lampung Tengah .................................................................... 7
5. Mata Pencaharaian Penduduk Kampung Liman Benawi .......................... 38
6. Uji Validitas Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran
Organik ..................................................................................................... 39
Organik ..................................................................................................... 40
9. Persentase Tingkat Pendidikan Responden Anggota Kelompok Wanita
Tani ........................................................................................................... 41
10. Persentase Luas Lahan Responden Anggota Kelompok Wanita Tani ...... 42
11. Persentase Pengalaman Bertani Responden Anggota Kelompok Wanita
Tani ........................................................................................................... 42
13. Kategori Tingkat Adopsi dan Interval Skor Petani Terhadap Usahatani
Sayuran Organik ....................................................................................... 45
15. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Pada Media
Tanam ....................................................................................................... 45
Perbandingan Media Tanam ..................................................................... 46
Penggunaan Polibag .................................................................................. 47
Penyemaian ............................................................................................... 48
19. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Pada Jarak
Tanam Penyemaian ................................................................................... 48
Pemilihan Bibit ......................................................................................... 49
21. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Pada Seleksi
Bibit ........................................................................................................... 50
Penanaman Benih Langusung di Polibag.................................................. 51
23. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Pada Waktu
Pemanenan ................................................................................................ 51
Pemupukan Pupuk Kandang ..................................................................... 52
25. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Pada Dosis
Pupuk Organik .......................................................................................... 52
26. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Pada Waktu
Pemupukan ................................................................................................ 53
27. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Pada Waktu
Penyiraman ............................................................................................... 54
28. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Pada Teknis
Penyiraman ............................................................................................... 54
29. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Pada Kebutuhan
Air Tanaman ............................................................................................. 55
Penggunaan Pestisida Organik .................................................................. 55
31. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Pada Tanaman
Sayuran Yang Sudah Terserang ................................................................ 56
32. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Pada Tanaman
Sayuran Yang Belum Terserang ............................................................... 57
33. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Pada Kualitas
Panen ......................................................................................................... 58
34. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Waktu Panen 59
35. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Pada Pencucian
Sayuran Organik ....................................................................................... 59
36. Hasil Analisis Hubungan Variabel Bebas (X) dengan Variabel Terikat (Y) 61
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Bagan Kerangka Pemikiran.......................................................................... 25
2. Wawancara Dengan Ibu Widarmi (Ketua KWT Bina Pertani) .................... 89
3. Wawancara Dengan Ibu Siti Maesaroh ........................................................ 89
4. Wawancara Dengan Ibu Partini ................................................................... 90
5. Wawancara Dengan Ibu Purwati ................................................................. 90
6. Wawancara Dengan Ibu Lasiani .................................................................. 91
7. Wawancara Dengan Ibu Juniarti .................................................................. 91
8. Wawancara Dengan Ibu Ngatiyem .............................................................. 92
9. Wawancara Dengan Ibu Supraptiyah ........................................................... 92
10. Wawancara Dengan Ibu Martini ................................................................ 93
11. Wawancara Dengan Ibu Sri Lestari ........................................................... 93
12. Wawancara Dengan Ibu Suwarni ............................................................... 94
13. Wawancara Dengan Ibu Wagiyem............................................................. 94
16. Monitoring Dosen Pembimbing ................................................................. 96
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
4. Hasil Turun Lapang Variabel X ................................................................... 82
5. Skor Tingkat Adopsi (Y) .............................................................................. 83
6. Olah Data Variabel X dan Y ........................................................................ 84
7. Nonparametric Correlations ......................................................................... 85
8. Perhitungan t hitung untuk menguji hipotesis terhadap t tabel .................... 86
9. T-tabel .......................................................................................................... 88
organik di Indonesia dimulai pada awal 1980-an yang ditandai dengan
bertambahnya luas lahan pertanian organik, dan jumlah produsen organik
Indonesia dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Statistik Pertanian Organik
Indonesia (SPOI) yang diterbitkan oleh Aliansi Organis Indonesia (AOI) tahun
2012, diketahui bahwa luas total area pertanian organik di Indonesia tahun 2012
adalah 231.687,11 ha. Luas area tersebut meliputi luas lahan yang tersertifikasi,
yaitu 97.351,60 ha (42% dari total luas area pertanian organik di Indonesia) dan
luas lahan yang masih dalam proses sertifikasi (pilot project AOI), yaitu
132.764,85 ha (57% dari total luas area pertanian organic di Indonesia).
Kegiatan usahatani komoditas sayuran khususnya sayuran organik saat ini mulai
banyak dikembangkan, komoditas ini juga sangat potensial dan prospektif untuk
dijalankan karena metode pembudidayaannya sangat mudah dan sederhana.
Strategi pembangunan pertanian organik berwawasan lingkungan diarahkan pada
2
meningkatkan keuntungan dan kesejahteraan. Hal tersebut bisa dicapai melalui
peningkatan produksi pertanian organik baik dari segi kuantitas maupun kualitas,
(Sulaeman, 2009). Saat ini masih banyak petani (produsen) yang belum beralih
dari pertanian konvensional ke pertanian organik salah satu penyebabnya karena
kemungkinan risiko yang dihadapi pertanian organik lebih tinggi sehingga
memicu keuntungan yang diperoleh rendah termasuk perusahaan pertanian
khususnya, sehingga menjadi dilema bagi produsen.
Menurut Widiarta (2011), semakin terbukanya pasar organik ternyata masih
belum membuat Indonesia cukup mampu menjadi produsen utama produk organik
di dunia. Berdasarkan laporan survey bahwa jumlah produsen dan luas lahan
organik di Indonesia semakin rendah disamping itu pertanian konvensional relatif
berkembang. Perbedaan nyata antara teori dan realita praktik pertanian organik di
kalangan produsen (petani) inilah kemudian menimbulkan pertanyaan besar yang
penting diteliti lebih lanjut. Upaya keberhasilan usahatani untuk mengubah
paradigma produsen (petani) menuju organik didukung dengan aspek ekonomi
berupa pendapatan yang menjanjikan dari pertanian organik.
Dalam pemahaman praktis, pertanian organik adalah sekedar cara bertani yang
tidak menggunakan bahan kimia sintetik. Dalam konteks regulasi, pertanian
organik adalah cara berproduksi dan memasarkan hasil produksi sesuai dengan
3
standar yang diatur oleh undang-undang atau kebijakan formal dan akibatnya
memiliki kekuatan hukum. Praktik pertanian organik bukanlah merupakan praktik
yang dapat menjamin bahwa produk bebas sama sekali dari residu, sebab residu
dapat diakibatkan oleh polusi lingkungan yang lebih luas. Tata cara bertani dalam
pertanian organik dapat digunakan untuk meminimalkan polusi udara, polusi
tanah, dan polusi air. Tujuan utama dari pertanian organik adalah untuk
mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas dari komunitas yang saling terkait
satu sama lain di dalam tanah, tanaman, hewan, maupun manusia (Saragih 2010).
Budidaya sayuran organik dalam pemahaman praktis maupun regulasi merupakan
suatu inovasi teknologi untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan
sayuran yang tidak memberikan dampak negatif jangka panjang berupa residu
kimia bagi tubuh dan lingkungan. Inovasi tersebut menjadi penting untuk diadopsi
petani sebagai pelaku budidaya karena terdapat perlakuan-perlakuan berbeda yang
harus dilakukan. Petani memperoleh keuntungan dengan mengadopsi teknologi
budidaya sayuran organik, karena sebagai produsen petani dapat menjual produk
organik yang dihasilkan dengan harga mahal, bahkan 10-50 persen lebih tinggi
dibandingkan harga produk pertanian konvensional (FAO 2002). Saat ini di
berbagai swalayan, harga sayuran organik bahkan bisa lebih tinggi tiga hingga
lima kali lipat apabila dibandingkan dengan harga sayur konvensional. Adopsi
petani terhadap teknologi pertanian sangat ditentukan dengan kebutuhan akan
teknologi tersebut dan kesesuaian teknologi dengan kondisi biofisik dan sosial
budaya. Oleh karena itu, introduksi suatu inovasi teknologi baru harus disesuaikan
dengan kondisi spesifik lokasi. Adopsi adalah keputusan untuk menggunakan
sepenuhnya ide baru sebagai cara bertindak yang paling baik. Keputusan inovasi
4
mengambil keputusan untuk menerima atau menolaknya kemudian
mengukuhkannya (Suprapto dan Fahrianoor, 2004).
Provinsi Lampung memiliki beberapa daerah penghasil sayuran. Di Kabupaten
Lampung Tengah merupakan salah satu Kabupaten yang membudidayakan
sayuran, hal ini dapat terlihat dari tabel sebagai berikut.
Tabel 1. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Tanaman Sayuran Menurut
Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung Tahun 2017
Kabupaten/Kota Luas Panen
2. Tanggamus 2356 10405 4,4
3. Lampung Selatan 2842 36016 12,6
4. Lampung Timur 4229 7381 1,7
5. Lampung Tengah 3897 31376 8,05
6. Lampung Utara 1256 23655 18,8
7. Way Kanan 1560 2226 1,4
8. Tulang Bawang 1746 5337 3,05
9. Pesawaran 1556 16344 10,5
10. Pringsewu 810 2239 2,7
11. Mesuji 1105 17069 15,4
12. Tulang Bawang Barat 776 7469 9,6
13. Pesisir Barat 1078 5515 5,1
14. Bandar Lampung 480 451 0,9
15. Metro 349 3584 10,2
Total 31412 244930 112,6
2017
penghasil sayuran dengan jumlah produksi sayuran sebesar 31.376 ton. Kabupaten
Lampung Tengah memiliki potensi dalam produksi komoditas sayuran yang
cukup besar, hal ini dapat dilihat dari jumlah luas panen sebesar 3.897 Ha. Potensi
tersebut masih perlu dikembangkan karena produktivitas tanaman sayuran
5
Kabupaten Lampung Tengah masih jauh lebih kecil dari Kabupaten yang lainnya
pada data tahun 2017.
Tabel 2. Luas Panen Tanaman Sayuran Menurut Kecamatan dan Jenis Tanaman
(ha) di Kabupaten Lampung Tengah tahun 2018
Kecamatan
Sawi
Tomat/
Rempai
Daun
1. Padang Ratu 4 - 3 8 13 13 8 49
2. Selagai Linggai - - 4 10 6 4 10 34
3. Pubian 7 1 24 57 60 58 19 232
4. Anak Tuha 6 1 - - - - 2 15
5. Anak Ratu Aji 13 1 23 25 15 20 24 150
6. Kalirejo 190
7. Sendang Agung 2 2 5 5 3 - 7 152
8. Bangun Rejo 2
9. Gunung Sugih - 23 30 28 80 74 31 266
10. Bekri 250 7 10 1 - - 9 307
11. Bumi ratu
12. Trimurjo 8 3 9 14 9 11 8 62
13. Punggur 7 11 13 13 22 21 12 101
14. Kota Gajah 3 1 4 2 12 12 1 37
15. Seputih
16. Terbanggi
17. Seputih
18. Way
19. Terusan
20. Seputih
21. Bandar
22. Seputih
23. Way Seputih 3 - 9 - - - 2 18
24. Rumbia 38 18 33 14 22 19 50 210
25. Bumi Nabung 16 18 35 25 16 16 29 160
26. Putra Rumbia 4 2 3 2 - - 6 19
27. Seputih
28. Bandar
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Lampung
Tengah, 2018
Kecocokan daerah untuk berbudidaya sayuran ternyata tidak membuat Kabupaten
Lampung Tengah luas panen tanaman sayuran tinggi seperti yang disajikan pada
tabel 1. Sayuran yang dihasilkan dari Kabupaten Lampung Tengah seperti sawi,
tomat/rempai, bawang daun, pakcoy, caisim, selada, dan kembang kol. Kecamatan
yang ada di Kabupaten Lampung Tengah khususnya Kecamatan Trimurjo tidak
memiliki luas panen yang banyak dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Luas
panen sawi pada tahun 2018 sebesar 8 ha, tomat/rempai 3 ha, daun bawang 9 ha,
pakcoy 14 ha, caisim 9 ha, selada 11 ha dan kembang kol 8 ha. Total keseluruhan
luas panen di Kecamatan Trimurjo sebesar 62 Ha.
Luas lahan petani yang sempit mengharuskan petani melakukan perencanaan
untuk memanfaatkan lahan yang dimiliki sebaik-baiknya agar memperoleh
pendapatan setinggi-tingginya. Minimnya luas lahan yang diusahakan petani
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain pembagian warisan dan alih fungsi
lahan. Pengaturan pola tanam merupakan salah satu upaya yang dapat
dilakukanpetani untuk mengatasi permasalahan sempitnya lahan pertanian. Pola
tanam yang dapat diterapkan petani yaitu baik secara monokultur atau polikultur
seperti tumpangsari dan rotasi (pergiliran) tanaman. Produksi tanman sayuran
menurut Kecamatan di Kabupaten Lampung Tengah disajikan pada tabel 3.
7
Tabel 3. Produksi Tanaman Sayuran Menurut Kecamatan dan jenis Tanaman (ton)
di Kabupaten Lampung Tengah tahun 2018
Kecamatan
Sawi
Tomat/
Rempai
Bawang
1. Padang Ratu 65 - 15 24 28 28 31 191
2. Selagai
3. Pubian 42 9 108 135 66 67 65 526
4. Anak Tuha 69 5 - - - - 3 91
5. Anak Ratu Aji 54 6 95 69 50,4 55 58 470,4
6. Kalirejo 1395 - 138 22 31,1 4 10 1675,1
7. Sendang
8. Bangun Rejo 12 - 43 15 3,2 - 6 92,2
9. Gunung Sugih - 107 93 101 136 133 41 611
10. Bekri 1468 16 25 6 - - 23 1617
11. Bumi ratu
12. Trimurjo 115 12 163 186 60 75 89 700
13. Punggur 25 27 34 32 52 41 21 235
14. Kota Gajah 6 2 18 6 19,3 20 1 76,3
15. Seputih
16. Terbanggi
17. Seputih
18. Way
19. Terusan
20. Seputih
21. Bandar
22. Seputih
23. Way Seputih 16 - 24 - - - 5 53
24. Rumbia 303 52 134 58 87,7 71 108 848,7
25. Bumi
26. Putra
27. Seputih
28. Bandar
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Lampung
Tengah, 2018
Berdasarkan tabel 3 produksi sayuran di Kecamatan Trimurjo yang dihasilkan
yaitu seperti sawi 115 ton, tomat/rempai 12 ton, bawang daun 163 ton, pakcoy
186 ton, caisim 60 ton, selada 75 ton, dan kembang kol 89 ton. Dengan total
keseluruhan produksi sayuran di kecamatan Trimurjo yaitu sebesar 700 ton.
Dengan hasil tersebut terlihat bahwa memang usahatani yang dijalankan oleh
petani sayuran di Kecamatan Trimurjo masih terlihat tinggi dibandingkan dengan
Kecamatan lainnya yang ada di Kabupaten Lampung Tengah.
Budidaya usahatani sayuran organik di Kampung Liman Benawi Kecamatan
Trimurjo dilakukan secara organik dengan memanfaatkan lahan pekarangan
disekitar rumah. Sayuran organik yang dihasilkan dari pertanian bersifat ramah
lingkungan dan lebih mendekatkan konsep alam (back to nature). Sayuran organik
yang dihasilkan yaitu: sawi, cabai besar, cabai rawit, rempai/tomat, kangkung,
bayam, selada, taicin, bawang daun, kembang kol. Mengkonsumsi makanan
organik juga memiliki dampak yang luar biasa baik bagi kesehatan di masa
mendatang. Pertanian organik sebagai suatu sistem produksi pertanian yang
menghindarkan atau mengesampingkan penggunaan senyawa sintetik baik untuk
pupuk, zat tumbuh, maupun pestisida. Masyarakat sebagai konsumen mulai
memperhatikan kesehatan, salah satu caranya yaitu dengan mengkonsumsi
sayuran organik. Prospek ekonomis dari pertanian ini cukup baik seiring dengan
berubahnya pola konsumsi manusia, karena manusia lebih memilih makanan yang
sehat meskipun dengan harga yang lebih mahal.
Kegiatan budidaya sayuran organik memerlukan tingkat adopsi yang tinggi dari
petani untuk mengembangkan usaha taninya. Oleh sebab itu faktor social ekonomi
petani sangat mempengaruhi petani dalam menerapkan inovasi dan informasi
9
tentang budidaya sayuran organik. Maka untuk itu perlu dilakukan penelitian
secara langsung terhadap petani sayuran organik untuk melihat hubungan antara
aspek sosial ekonomi (umur, tingkat pendidikan, luas lahan, pengalaman bertani
dan penyuluhan) petani dengan tingkat adopsi petani dalam usahatani sayuran
organik di Kampung Liman Benawi Kecamatan Trimurjo Kabupaten Lampung
Tengah”.
Berdasarkan pada uraian latar belakang sebelumnya, maka dapat dirumuskan
masalah yaitu “Apakah ada hubungan antara aspek sosial ekonomi (umur, tingkat
pendidikan, luas lahan, pengalaman bertani dan penyuluhan) petani dengan
tingkat adopsi petani dalam usahatani sayuran organik di Kampung Liman
Benawi Kecamatan Trimurjo Kabupaten Lampung Tengah”.
1.3 Tujuan Penelitian
untuk mengetahui hubungan aspek sosial ekonomi (umur, tingkat pendidikan, luas
lahan, pengalaman bertani dan penyuluhan) petani dengan tingkat adopsi petani
dalam usahatani sayuran organik di Kampung Liman Benawi Kecamatan
Trimurjo Kabupaten Lampung Tengah.
1.4 Kegunaan Penelitian
1. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan bagian dari proses belajar sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Sekolah Tinggi
Ilmu Pertanian Dharma wacana Metro.
2. Bagi pemerintah atau instansi, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan
khususnya dalam kegiatan penyuluhan pertanian dan pembangunan secara
keseluruhan.
3. Bagi pihak lain yang memerlukan hasil penelitian ini diharapkan dapat
digunakan sebagai bahan pembanding pada permasalahan yang sama.
4. Bagi petani, penelitian ini dapat dijadikan pengetahuan dalam penerapan
budidaya sayuran organik yang tepat sehingga mampu meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan petani.
HIPOTESIS PENELITIAN
manusia, dan segala sesuatunya yang berhubungan dengan kegiatan
produksi,distribusi dan konsumsi. Sosial ekonomi memiliki artian sebagai segala
sesuatu hal yang berhubungan dengan tindakan pemenuhan kebutuhan
masyarakat. Keadaan dan kondisi sosial ekonomi setiap orang memiliki tingkatan
yang berbeda-beda. Ada yang memiliki kondisi sosial ekonomi rendah, sedang,
dan tinggi. Sosial ekonomi menurut Soerjono Soekanto (2007) adalah posisi
seseorang dalam masyarakat berkaitan dengan orang lain dalam arti lingkungan
pergaulan, prestasinya, dan hak-hak serta kewajibannya dalam berhubungan
dengan sumber daya.
posisi seseorang dalam kelompok manusia yang ditentukan oleh jenis aktivitas
ekonomi, pendapatan, tingkat pendidikan, jenis rumah tinggal, dan jabatan dalam
organisasi.
12
Sosial ekonomi dapat juga diartikan sebagai suatu keadaan atau kedudukan yang
diatur secara sosial dan menetapkan seseorang dalam posisi tertentu dalam
struktur masyarakat. Pemberian posisi ini disertai pula seperangkat hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi sipembawa status misalnya, pendapatan, dan
pekerjaan. Berdasarkan pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan kondisi sosial
ekonomi dalam penelitian ini adalah kedudukan atau posisi seseorang dalam
masyarakat yang berkaitan dengan tingkat pendidikan, tingkat pendapatan,
kepemilikan aset rumah tangga, dan pemenuhan kebutuhan keluarga. Dengan
demikian, keempat hal tersebut mempengaruhi tingkat sosial ekonomi masyarakat
yang juga menentukan tinggi rendahnya status seseorang dalam masyarakat.
Yang meliputi aspek sosial ekonomi yaitu:
a. Umur
Menurut Soekartawi (2003), rata rata petani Indonesia yang cenderung tua dan
sangat berpengaruh pada produktivitas sektor pertanian Indonesia Petani
berusia tua biasanya cenderung sangat konservatif (memelihara) menyikapi
perubahan terhadap inovasi teknologi. Berbeda halnya dengan petani yang
berusia muda. Umur petani adalah salah satu faktor yang berkaitan erat dengan
kemampuan kerja dalam melaksanakan kegiatan usahatani, umur dapat
dijadikan sebagai tolak ukur dalam melihat aktivitas seseorang dalam bekerja
bilamana dengan kondisi umur yang masih produktif maka kemungkinan besar
seseorang dapat bekerja dengan baik dan maksimal (Hasyim,2003).
b. Pendidikan
13
mengakibatkan kemampuan yang lebih besar dalam menghasilkan pendapatan
bagi rumah tangga. Menurut Hasyim (2003), tingkat pendidikan formal yang
dimiliki petani akan menunjukkan tingkat pengetahuan serta wawasan yang
luas untuk petani menerapkan apa yang diperolehnya untuk peningkatan
usahataninya. Mengenai tingkat pendidikan petani, dimana mereka yang
berpendidikan tinggi relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi.
Tingkat pendidikan manusia pada umumnya menunjukkan daya kreatifitas
manusia dalam berfikir dan bertindak. Pendidikan rendah mengakibatkan
kurangnya pengetahuan dalam memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia
(Kartasapoetra,1987).
Menurut Soekartawi (2003), pengalaman seseorang dalam berusahatani
berpengaruh dalam menerima inovasi dari luar. Petani yang sudah lama bertani
akan lebih mudah menerapkan inovasi dari pada petani pemula atau petani
baru. Petani yang sudah lama berusahatani akan lebih mudah menerapkan
anjuran penyuluhan dimikian pula dengan penerapan teknologi. Lamanya
berusahatani untuk setiap orang berbeda beda, oleh karena itu lamanya
berusahatani dapat dijadikan bahan pertimbangan agar tidak melakukan
kesalahan yang sama sehingga dapat melakukan hal hal yang baik untuk waktu
waktu berikutnya (Hasyim, 2003). Petani yang berusia lanjut sekitar 50 tahun
ke atas, biasanya fanatik terhadap tradisi dan sulit untuk diberikan pengertian
yang dapat mengubah cara berfikir, cara kerja, dan cara hidupnya. Mereka ini
bersikap apatis terhadap adanya teknologi baru dan inovasi, semakin muda
14
umur petani, maka semakin tinggi semangatnya mengetahui hal baru, sehingga
dengan demikian mereka berusaha untuk cepat melakukan adopsi walaupun
sebenarnya mereka masih belum berpengalaman soal adopsi tersebut
(Kartasapoetra, 1987).
pekarangan disekitar rumah sebagai salah satu produk yang dihasilkan dari
pertanian bersifat ramah lingkungan dan lebih mendekatkan diri kepada konsep
alam (back to nature), sehingga mampu memberikan jaminan kualitas yang
relatif lebih baik dibandingkan dengan sayuran biasa. Menurut Soekartawi
(2006), semakin luas lahan garapan yang diusahakan, maka akan semakin besar
produksi yang dihasilkan dan pendapatan yang akan diperoleh petani.
2.1.2 Teori Adopsi
Adopsi dalam proses penyuluhan pada hakekatnya dapat diartikan sebagi proses
perubahan perilaku baik yang berupa: pengetahuan (cognitive), sikap (affective),
maupun ketrampilan (psycho-motoric) pada diri seseorang setelah menerima
inovasi yang disampaikan oleh penyuluh kepada masyarakat sasarannya
(Mardikanto, 1996). Adopsi suatu teknologi oleh petani berkaitan erat dengan
perilaku petani sebagi pengelola usahanya. Perilaku petani sebagai pengelola
usahataninya akan dipengaruhi oleh faktor internal dan ekternal yaitu meliputi
faktor sosial antara lain tingkat pendidikan, pengalaman bertani dan jumlah
anggota keluarga (Syafa’at, 1990). Sedang menurut Levis (1996) pengertian
adopsi merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seseorang terhadap
suatu inovasi sejak mengenal, menaruh minat, menilai sampai menerapkan.
15
Tingkat adopsi pada umumnya diukur dengan memerlukan selang waktu tertentu
individu mempunyai tingkat penerapan yang lebih cepat dalam pengambilan
keputusan yang dilakukan untuk mengadopsi suatu inovasi, hal ini selaras dengan
pendapat Rogers, Everett M (1983) mengatakan bahwa tingkat adopsi pada
umumnya diukur dengan memerlukan selang waktu tertentu untuk mengadopsi
suatu inovasi. Oleh karena itu, kita dapat mengetahui tingkat adopsi dari tiap
inovasi atau sistem, lebih daripada seseorang individu sebagai unit analisis.
Inovasi yang dirasakan individu sebagai pemilik terbesar, kesesuaian dan lain-
lain, lebih memiliki tingkat penerapan yang lebih cepat.
Kecepatan adopsi adalah tingkat kecepatan penerimaan inovasi oleh anggota
sistem sosial. Kecepatan ini biasanya diukur dengan jumlah penerima yang
mengadopsi suatu ide baru dalam suatu periode waktu tertentu (Hanafi,1987).
Menurut Mardikanto (1996), kecepatan adopsi dipengaruhi oleh faktor-faktor,
yaitu:
a. Sifat inovasinya sendiri, baik sifat intrinsik (yang melekat pada inovasinya
sendiri) maupun sifat ekstrinsik (menurut atau dipengaruhi oleh keadaan
lingkungannya.
b. Sifat sasarannya Tentang hal ini, Rogers (1971) dalam Mardikanto (1994)
mengemukakan hipotesisnya bahwa setiap kelompok masyarakat terbagi
menjadi 4 kelompok individu berdasarkan tingkat kecepatan mengadopsi
inovasi, yaitu:
16
- 2,5% kelompok orang-orang kolot atau naluri (laggard).
Hanafi (1987) mengatakan bahwa antara adopter yang inovatif dengan yang
kurang inovatif memiliki ciri-ciri sosial ekonomi yang berbeda. Dibandingkan
dengan adopter yang lebih lambat, anggota sistem yang lebih inovatif memiliki
ciri-ciri sebagi berikut:
2. Mempunyai status sosial lebih tinggi. Status sosial ditandai dengan pendapatan,
tingkat kehidupan, kesehatan, prestise/jabatan, pengenalan diri terhadap kelas
sosial tersebut.
3. Mempunyai tingkat mobilitas keatas lebih besar, yakni kecenderungan untuk
lebih meningkatkan lagi status sosialnya.
4. Mempunyai ladang yang lebih luas.
5. Lebih berorientasi pada ekonomi komersial, dimana produk-produk yang
dihasilkan ditujukan untuk dijual bukan semata-mata untuk konsumsi sendiri,
karena barang kali mereka mengadopsi inovasi untuk lebih meningkatkan
produksi.
7. Mempunyai pekerjaan yang spesifik.
Menurut Rogers and Shoemaker (1971) dalam Mardikanto (1996) proses adopsi
pasti melalui tahapan-tahapan sebelum masyarakat mau menerima atau
menerapkan dengan keyakinannya sendiri, tahapan adopsi itu antara lain :
17
1. Tahap awareness atau kesadaran yaitu sasaran mulai sadar tentang adanya
inovasi yang ditawarkan oleh penyuluh.
2. Tahap interest atau tumbuhnya minat yang sering kali ditandai oleh
keinginannya untuk bertanya atau untuk mengetahui lebih banyak, lebih jauh
tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan motivasi yang ditawarkan.
3. Tahap evaluation atau evaluasi yaitu penilaian terhadap baik atau buruk atau
manfaat yang telah diketahui informasinya secara lebih lengkap.
4. Tahap triad, atau mencoba dalam skala kecil untuk lebih meyakinkan
penilaiannya sebelum menerapkan untuk skala yang lebih luas lagi.
5. Tahap adoption atau adopsi menerapkan dengan penuh keyakinan
berdasarkan penilaian dan uji coba yang telah dilakukan sendiri atau
diamatinya sendiri.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa adopsi merupakan perilaku pada diri
seseorang terhadap suatu inovasi sejak mengenal, menaruh minat, menilai sampai
menerapkan inovasi yang ditawarkan dan diupayakan oleh pihak lain (penyuluh)
2.1.3 Sayuran Organik
Sayuran organik adalah salah satu produk yang dihasilkan oleh sistem pertanian
organik. Sayuran ini diproduksi tanpa pestisida dan pupuk dari zat kimia lain yang
tujuannya untuk menjaga kelestarian lingkungan dengan konsep kembali ke alam
(back to nature). Hasil yang didapatkan adalah sayuran yang bebas dari residu
kimia, aman dikonsumsi dan jauh lebih menyehatkan sehingga pada umumnya
harga jual sayuran organik ini lebih mahal daripada sayuran konvensional. Tujuan
utama sayuran organik adalah menyediakan produk pertanian bahan pangan yang
18
aman bagi kesehatan produsen dan konsumen serta tidak merusak lingkungan.
Sayuran organik sebagai bagian dari pertanian yang akrab dengan lingkungan
perlu segera dimasyarakatkan sejalan makin banyaknya dampak negatif terhadap
lingkungan yang terjadi akibat dari penerapan teknologi intensifikasi yang
mengandalkan bahan kimia pertanian (Pracaya, 2002).
Budidaya pertanian yang dilakukan tanpa menggunakan pupuk dan pestisida
kimia. Hal tersebut membuat sayuran organik bebas dari residu kimia sehingga
layak dikonsumsi dan menyehatkan. Menurut Prestilia (2012) dalam tesisnya
menyebutkan bahwa sayuran organik dibudidayakan secara alami maka sayuran
tersebut mengandung berbagai keunggulan dibandingan dengan sayuran non
organik. Salah satu keunggulan dari sayuran organik adalah aman dari residu
bahan kimia, sehingga dapat menunjang kesehatan. Hal ini membuat konsumen
beralih dari sayuran konvensional ke sayuran organik.
Sayuran organik merupakan komoditas sayuran yang banyak diminati untuk
dikembangkan pada saat ini yang dihasilkan dari budidaya pertanian yang
dilakukan tanpa menggunakan pupuk dan pestisida kimia. Keistimewaan dari
sayuran organik adalah mengandung antioksidan 10-50 persen di atas sayuran
anorganik. Zat antioksidan atau biasa dikenal sebagai zat yang membantu dan
dibutuhkan oleh tubuh serta dapat menyembuhkan penyakit yang merupakan zat
kekebalan tubuh. Sayuran dan buah organik diketahui mengandung vitamin C dan
mineral esensial, seperti kalium, fosfor, magnesium, zat besi dan krom, lebih
tinggi dibanding dengan anorganik. Pada umumnya semua tanaman dapat
diusahakan secara organik karena pada mulanya tanaman tumbuh secara alami,
tanpa tambahan (pemupukan) dari luar. Hanya saja, ada tanaman yang peka
19
terhadap hama dan penyakit sehingga perlu pemeliharaan yang intensif. Selain itu,
bila bertanam secara organik diarahkan untuk bisnis, pemilihan jenis tanaman
harus mempertimbangkan jenis yang laku di pasaran, misalnya bawang merah,
wortel, selada, cabai, dan tomat (Pracaya, 2003).
Pemanfaatan Pekarangan untuk Budidaya Sayuran Pekarangan adalah areal tanah
yang biasanya berdekatan dengan sebuah bangunan. Jika bangunan tersebut
rumah maka disebut pekarangan rumah. Pekarangan dapat berada di depan,
belakang atau samping sebuah bangunan, tergantung seberapa luas sisa tanah yang
tersedia setelah dipakai untuk bangunan utamanya. Budidaya sayuran di
pekarangan bukan merupakan hal baru. Praktek pemanfaatan demikian sudah
lama dilakukan terutama di pedesaan. Namun demikian, seiring berjalannya waktu
kebiasaan demikian semakin ditinggalkan, bahkan sekarang ini tidak
mengherankan banyak pekarangan di pedesaan justru tidak dimanfaatkan,
dibiarkan telantar dan gersang. Bertolak belakang dengan kecenderungan di atas,
jumlah penduduk akhir akhir ini terus mengalami peningkatan sehingga
kebutuhan bahan panganpun semakin bertambah.
Pemenuhan kebutuhan pangan tersebut banyak menemui permasalahan, di
antaranya adalah fenomena perubahan iklim global yang berpengaruh pada tingkat
produksi dan distribusi bahan pangan, penyempitan lahan pertanian akibat
penggunaan di bidang non pertanian dan tingginya tingkat degradasi lahan
sehingga menyebabkan berkurangnya hasil panen. Oleh sebab itu, strategi baru
dalam pemenuhan bahan pangan, di antaranya melalui pemanfaatan lahan
pekarangan, perlu dikembangkan. Data statistik menunjukkan bahwa luas lahan
pekarangan di Indonesia saat ini mencapai 10,3 juta hektar. Apabila dimanfaatkan
20
disebutkan di atas, kemungkinan besar dapat dikurangi.Karakteristik dan Strategi
Pemanfaatan Pekarangan Berbeda dengan lahan pertanian secara umum,
pekarangan rumah memiliki luasan yang relatif sempit, bersentuhan langsung
dengan penghuni rumah, serta memiliki peran yang sangat kompleks. Oleh sebab
itu, pemanfaatannya dalam budidaya sayuran harus direncanakan sedemikian rupa
sehingga dapat berfungsi optimal, baik dalam hal tingkat produksi maupun dalam
pemanfaatan lainnya di rumah tangga. Beberapa prasyarat yang harus dipenuhi
dalam berbudidaya sayuran di pekarangan, di antaranya adalah harus memiliki
nilai estetika atau keindahan sehingga selain dapat dimakan juga dapat
mempercantik halaman rumah. Strategi yang dapat dilakukan di antaranya melalui
pengaturan jenis, bentuk dan warna tanaman. Selain itu, model yang digunakan
sebaiknya bersifat mobile atau mudah untuk dipindahkan. Hal ini diperlukan guna
mengantisipasi pemanfaatan dan penataan pekarangan. Model budidaya yang
dapat memenuhi kriteria demikian adalah model budidaya secara vertikal atau
vertikultur dan budidaya dalam pot.
2.1.4 Usahatani
Usahatani menurut Djamali (2000), adalah kesatuan organisasi antara faktor
produksi berupa lahan, tenaga kerja, modal dan managemen yang bertujuan untuk
memproduksi komoditas pertanian. Usahatani sendiri pada dasarnya merupakan
bentuk interaksi antara manusia dan alam dimana terjadi saling mempengaruhi
antara manusia dan alam sekitarnya.
21
alam sekitarnya sebagai modal sehingga memberikan manfaat sebaik-baiknya.
Sebagai ilmu pengetahuan, ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari
cara-cara petani menentukan, mengorganisasikan dan mengkoordinasikan
penggunaan faktor-faktor produksi seefektif dan seefisien mungkin sehingga
usaha tersebut memberikan pendapatan semaksimal mungkin.
Ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang
mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien dan
memanfaatkan sumber daya tersebut untuk memperoleh keuntungan yang
setinggi-tingginya pada waktu tertentu. Dikatakan efektif apabila petani dapat
mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki dengan sebaik-baiknya, dan
dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran
(Soekartawi, 2011).
Usahatani adalah ilmu yang mempelajari tentang cara petani mengelola faktor-
faktor produksi (tanah, tenaga kerja, teknologi, pupuk, benih, dan pestisida)
dengan efektif, efisien dan continue untuk menghasilkan produksi yang tinggi
sehingga pendapatan usahataninya meningkat (Rahim dan Hastuti, 2007). Ditinjua
dari segi pembangunan hal terpenting mengenai usahatani adalah dalam usahatani
hendaknya senantiasa berubah, baik dalam ukuran maupun dalam susunannya,
untuk memanfaatkan periode usahatani yang senantiasa berkembang secara lebih
efisien.
22
Menurut Djarwanto (2009), metode korelasi jenjang ini dikemukakan oleh Carl
Speraman pada tahun 1904. Metode ini diperlukan untuk mengukur keeratan
hubungan antara dua variabel dimana dua variabel itu tidak mempunyai joint
normal distribution dan conditional variance tidak diketahui sama. Korelasi rank
dipergunakan apabila pengukuran kuantitatif secara eksak tidak mungkin/sulit
dilakukan. Misalnya: mengukur tingkat moral, tingkat kesenangan, tingkat
motivasi.
Menurut Sugiyono (2010), korelasi Rank Spearman digunakan untuk mencari
hubungan atau untuk menguji signifikasi hipotesis asosiatif bila masing-masing
variabel yang dihubungkan berbentuk ordinal dan sumber data antar variabel tidak
harus sama.
2. Tidak terkait oleh populasi yang diselidiki harus didistribusi normal.
3. Populasi yang diambil sebagi sampel maksimal 10< n >20 pasang .
4. Data diubah dari data interval/ratio menjadi ordinal.
2.2 Penelitian Terdahulu.
Karakteristik Sosial Ekonomi Petani Kentang Dengan Tingkat Penerapan
Budidaya Tanaman Kentang (Solanum Tuberosum) Di Desa Gumeng Kecamatan
23
karakteristik sosial ekonomi petani, tingkat penerapan budidaya tanaman kentang
dan mengkaji hubungan karakteristik sosial ekonomi petani dengan penerapan
budidaya tanaman kentang yang diterapkan oleh petani di Desa Gumeng
Kecamatan Jenawi Kabupaten Karanganyar. Hasil penelitian menunjukan
sebagian besar umur petani adalah tua (48,65 %), pendidikan formal petani dalam
kategori rendah (48,65%), pendidikan non formal petani dalam kategori tinggi
(45,94%), luas usahatani dalam kategori sempit (40,54 %), pendapatan dalam
kategori tinggi (54,05 %), dan pengalaman dalam kategori tinggi (45,95%).
Sementara pada tingkat penerapan budidaya tanaman kentang menunjukan
persiapan bibit dalam kategori baik (12.05), pengolahan lahan dalam kategori
sangat baik (9.35), pemeliharaan dalam kategori baik (10.65), panen dalam
kategori kurang baik (2.03), dan untuk total keseluruhan tingkat penerapan
budidayanya dalam kategori baik (34.08). Dari uji korelasi Rank Spearman pada
taraf kepercayaan 95% menunjukan adanya hubungan yang tidak signifikan antara
umur, pendidikan formal, luas lahan dan pendapatan dengan tingkat penerapan
budidaya tanaman kentang. Namun, terdapat hubungan yang sangat signifikan
antara pendidikan non formal dan pengalaman dengan tingkat penerapan budidaya
tanaman kentang.
Hasil penelitian Romauli (2012) dengan judul “Tingkat Adopsi Petani Tehadap
Teknologi Pertanian Terpadu Usahatani Padi Organik (studi kasus: Desa Lubuk
Bayas, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai). Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan karakteristik sosial ekonomi (umur, tingkat
pendidikan, total pendapatan, luas lahan dan pengalaman bertani) petani dengan
24
di daerah penelitian, untuk mengikuti tingkat adopsi petani terhadap teknologi
pertanian terpadu usahatani padi organik di daerah penelitian. Dari penelitian
diperoleh hasil yakni tingkat adopsi petani terhadap teknologi pertanian terpadu
usahatani padi organik yaitu tergolong kategori tinggi. Ada hubungan antara
pengalaman bertani dengan tingkat adopsi petani terhadap pertanian terpadu
usahatani padi organik.
Hasil penelitian Ainul Mardliyah dan Putu Arsana (2018), dengan judul skripsi
“Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi Dengan Tingkat Adopsi Petani Padi
Organik Di Kecamatan Seputih Raman Kabupaten Lampung Tengah”. Tujuan
Penelitian ini untuk mengetahui hubungan karakteristik sosial ekonomi (umur,
tingkat pendidikan, luas lahan, pengalaman bertani dan penyuluhan) petani
dengan tingkat adopsi petani dalam usahatani padi organik di Kampung Rejo Asri
Kecamatan Seputih Raman Kabupaten Lampung Tengah. Pengambilan sampel
dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sensus dengan jumlah sampel adalah
20 petani dalam kelompok tani yang ikut budidaya padi organik di Kampung Rejo
Asri Kecamatan Seputih Raman Kabupaten Lampung Tengah. Data Diuji dengan
alat analisis statistik menggunakan Rank Spearman. Dari penelitian ini diperoleh
hasil penelitian bahwa ada hubungan karakteristik sosial ekonomi (umur,
pengalaman bertani, penyuluh) dengan tingkat adopsi petani dalam usahatani padi
organik. Sedangkan untuk variabel pendidikan dan luas lahan tidak berhubungan
erat dengan tingkat adopsi petani dalam usahatani padi organik di Kampung Rejo
Asri, Kecamatan Seputih Raman Kabupaten Lampung Tengah.
25
pekarangan yang diterapkan di kampung liman Benawi Kecamatan Trimurjo
adalah suatu usaha untuk mewujudkan pusat atau sentra produksi sayuran organik
yang dapat berproduksi dan bermutu serta berkesinambungan. Pada
pelaksanaannya diharapkan dapat mendorong kemampuan petani dalam
mengembangkan usaha kelompok dibidang holtikultura serta meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani. Keberhasilan kegiatan program
pengembangan agribisnis itu sendiri tidak lepas dari peran serta petani selaku
sasaran dalam mengadopsi inovasi di setiap kegiatan. Kegiatan budidaya sayuran
organik merupakan suatu inovasi. Maka dari itu untuk mengetahui tingkat adopsi
terhadap kegiatan pengembangan agribisnis budidaya sayuran organik
dilingkungan pekarangan tersebut mencakup persiapan media tanam, pembibitan,
pemupukan, penyiraman, dan pengendalian hama penyakit. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui apa saja aspek-aspek yang mempengaruhi tingkat
adopsi inovasi petani pada Program pengembangan agribisnis holtikultura sayuran
organik. Faktor-faktor sosial ekonomi diduga dapat mempengaruhi adopsi petani
antara lain umur, pendidikan, luas lahan pengalaman bertani dan penyuluhan. Hal
ini perlu dilakukan untuk mengetahui bagaimana masing-masing faktor aspek
sosial ekonomi berpengaruh terhadap tingkat adopsi dalam usahatani sayuran
organik, apakah termasuk kategori tinggi, sedang ataupun tendah.
Dari uraian diatas, maka secara sekema dapat digambarkan sebagai berikut:
26
Gambar 1. Skema kerangka pikir hubungan aspek sosial ekonomi petani dan
tingkat adopsi petani dalam usahatani sayuran organik di Kampung
Liman Benawi Kecamatan Trimurjo Kabupaten Lampung tengah.
2.4 Hipotesis Penelitian
Diduga ada hubungan yang signifikan antara aspek sosial ekonomi petani dengan
tingkat adopsi petani dalam usahatani sayuran organik di Kampung Liman
Benawi Kecamatan Trimurjo Kabupaten Lampung tengah.
Petani Sayuran Organik
Aspek sosial ekonomi
(variabel bebas X)
Uji Korelasi rank Sperman
Definisi operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel-
variabel yang akan diteliti serta penting untuk memperoleh dan menganalisis data
yang berhubungan dengan tujuan penelitian.
1. Variabel Bebas (X)
Aspek sosial ekonomi terdiri dari umur (X1), pendidikan (X2), luas lahan (X3),
pengalaman bertani (X4), penyuluhan (X5).
a. Umur (X1)
Umur petani adalah salah satu faktor yang berkaitan erat dengan
kemampuan kerja dalam melaksanakan kegiatan usahatani, umur dapat
dijadikan sebagai tolak ukur dalam melihat aktivitas seseorang dalam
bekerja bilamana dengan kondisi umur yang masih produktif maka
kemungkinan besar seseorang dapat bekerja dengan baik dan maksimal
(Hasyim,2003).
petani menerapkan apa yang diperolehnya untuk peningkatan
usahataninya. Mengenai tingkat pendidikan petani, dimana mereka yang
28
inovasi.
pekarangan disekitar rumah sebagai salah satu produk yang dihasilkan dari
pertanian bersifat ramah lingkungan dan lebih mendekatkan diri kepada
konsep alam (back to nature), sehingga mampu memberikan jaminan
kualitas yang relatif lebih baik dibandingkan dengan sayuran biasa.
Menurut Soekartawi (2006), semakin luas lahan garapan yang diusahakan,
maka akan semakin besar produksi yang dihasilkan dan pendapatan yang
akan diperoleh petani.
berpengaruh dalam menerima inovasi dari luar. Petani yang sudah lama
bertani akan lebih mudah menerapkan inovasi dari pada petani pemula
atau petani baru. Petani yang sudah lama berusahatani akan lebih mudah
menerapkan anjuran penyuluhan dimikian pula dengan penerapan
teknologi.
informasi kepada petani dan sebaiknya dilakukan 30-40 hari sekali sesuai
dengan kesepakatan kelompok wanita tani. Banyak nya penyuluh
memberikan informasi informasi diklasifikasikan menjadi tiga kelas yaitu
29
penyuluhan yang dilakukan penyuluh.
2. Variabel Terikat (Y)
Tahapan budidaya sayuran organik:
Persiapan lahan yang baik meliputi penggunaan pupuk dasar, olah tanah
yang tepat dan sampai pada persiapan tanam menjadi unsur dalam
penerapan teknologi budidaya sayuran organik.
b. Pembibitan
c. Penanaman
Penanaman adalah usaha penempatan biji atau benih di dalam tanah, pada
kedalaman tertentu atau menanam biji di atas media tanam.
d. Pemupukan
disemprotkan ke daun, diukur dengan skala ordinal.
e. Penyiraman
perakaran yang memenuhi standar, waktu, cara dan jumlah yang tepat,
diukur dengan skala ordinal
Pengendalian hama terpadu adalah unsur penerapan teknologi dalam
pengendalian, yang tentunya dengan menggunakan bahan-bahan organik,
dengan penerapan yang tepat waktu, tepat sasaran.
g. Panen dan pasca panen
Unsur penerapan teknologi yang terakhir adalah panen dan pasca panen
meliputi cara panen yang benar agar tidak mengurangi kehilangan hasil
panen dan penjualan dilakukan dalam keadaan yang masih segar.
3.2 Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian
Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) yaitu di
Kampung Liman Benawi kecamatan Trimurjo Kabupaten Lampung Tengah.
Dengan pertimbangan bahwa kampung Liman Benawi merupakan petani yang
ikut mengadopsi budidaya sayuran organik. Penelitian ini dilaksanakan pada
bulan Oktober sampai November 2019
3.3 Metode Pengumpulan Data dan Jenis Data
Menurut Arikunto (2010) pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan
dengan beberapa metode sebagai berikut:
1. Wawancara
digunakan dengan cara mendatangi responden, melakukan tanya jawab
secara sistematis dan berlandaskan tujuan dengan daftar pertanyaan
(kuisioner)
31
langsung gejala-gejala subyek yang diteliti.
3. Pencatatan
diperoleh dari instansi atau lembaga terkait.
Data yang akan dipakai sebagai bahan analisis dalam penelitian ini adalah data
primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh dari wawancara
dengan narasumber atau responden. Sedangkan data sekunder diperoleh dari
sumber yang memiliki keterkaitan dengan penelitian seperti Badan Pusat Statistik
(BPS) dan Dinas Pertanian Kabupaten Lampung Tengah dan literatur yang
relevan.
3.4 Populasi dan Sampel
Dalam penelitian ini yang dimaksud populasi adalah sejumlah anggota KWT Bina
Pertani yang membudidayakan sayuran organik. Sedangkan sampel adalah bagian
dari anggota populasi yang dipilih, berdasarkan teknik tertentu yang
karakteristiknya mampu menggambarkan populasi. Dalam penelitian ini
pengambilan sampel ditentukan dengan metode sampling jenuh yang artinya
seluruh anggota populasi dijadikan sebagai sampel untuk diambil datanya. Maka
jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah 30 anggota KWT Bina
Pertani di Kampung Liman Benawi Kecamatan Trimurjo Kabupaten Lampung
Tengah.
32
Metode yang digunakan untuk mengetahui tingkat adopsi petani dalam usahatani
sayuran organik diukur dengan menggunakan rumus interval (I) sebagai berikut :
= −
K= Banyaknya kelas/klasifikasi
Untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu kuisioner digunakan uji validitas.
Suatu kuisioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuisioner mampu untuk
mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuisioner tersebut. Untuk
melakukan uji validitas ini menggunakan program SPSS. Teknik pengujian yang
digunakan adalah korelasi Bivariate Pearson (Product Moment Pearson).
Rumus Korelasi Product Moment :
Keterangan:
∑xy = Jumlah perkalian antara variabel X dan Y
∑x2 = Jumlah dari kuadrat nilai X
33
(∑x)2 = Jumlah nilai X kemudian di kuadratkan
(∑y) 2 = jumlah nilai Y kemudian dikuadratkan
Uji Reliabilitas adalah alat untuk mengukur suatu kuisioner yang merupakan
indikator dari peubah atau konstruk. Reliabilitas menunjukkan sejauhmana hasil
pengukuran dari suatu tes tetap konsisten setelah dilakukan berulang-ulang
terhadap subjek dan dalam kondisi yang sama. Pengujian reliabilitas instrumen
dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach karena instrumen penelitian ini
berbentuk angket dan skala bertingkat. Rumus Alpha Cronbach sebagai berikut:
11 = (
n = jumlah item pertanyaan yang di uji
∑ 2 = jumlah varians skor tiap-tiap item
2 = varians total
ekonomi dengan tingkat adopsi petani dalam usahatani sayuran organik di
kampung Liman Benawi dengan Korelasi Rank Sperman (rs). Menurut Siegel
(1994) rumus Korelasi Rank Sperman sebagai berikut :
rs = 1-6 ∑ (di²)
6 : angka konstanta
N : Jumlah responden
di : Selisih atau rangking dari variabel pengamatan
Rumus rs digunakan atas dasar pertimbangan bahwa dalam penelitian ini akan
melihat korelasi (keeratan hubungan) antara variabel-variabel dari peringkat dan
dibagi dalam kalsifikasi tertentu. Hal ini sesuai dengan fungsi rs yang merupakan
ukuran asosiasi dua variabel yang berhubungan, diukur sekurang-kurangnya
dengan skala ordinal (berurutan) sehingga objek atau individu yang dipelajari
dapat diberi peringkat dalam rangkaian berurutan.
Apabila terdapat ranking kembar (>1), maka menggunakan faktor koreksi (T)
yaitu:
√∑ ² .∑ ² 2
∑ ² = 3−
X2 : Jumlah kuadrat variabel x yang dikoreksi
Y2 : Jumlah kuadrat variabel y yang dikoreksi
T : Jumlah berbagai harga T untuk semua kelompok yang berlainan dan
memiliki observasi bernilai sama
n : Jumlah responden
35
Untuk menguji tingkat signifikansi rank sperman (rs) digunakan uji t student
karena sampel yang diambil lebih dari 10 (N>10) dengan rumus sebagai berikut :
thitung = √−2
Rs : Koefisien koreksi rank sperman
N : jumlah sampel
Kriteria pengambilan keputusan pengujian hipotesis adalah sebaga beikut:
1. Jika rumus t hitung > t tabel tolak Ho dan terima Hi pada α = 0,01 atau
0,05 artinya terdapat hubungan nyata antara 2 variabel yang di uji.
2. Jika rumus t hitung ≤ t tabel terima Ho dan tolak Hi pada α = 0,01 atau
0,05, artinya tidak terdapat hubungan nyata antara kedua variabel yang di
uji.
Keterangan:
Ho : Hipotesis nol (tidak ada hubungan nyata antara aspek sosial ekonomi
dengan tingkat adopsi petani dalam usahatani sayuran organik di
Kampung Liman Benawi Kecamatan Trimurjo)
Hi : Hipotesis Alternatif (ada hubungan nyata antara aspek sosial ekonomi
dengan tingkat adopsi petani dalam usahatani sayuran organik di
Kampung Liman Benawi Kecamatan Trimurjo)
36
4.1.1 Sejarah Kampung
Kampung Liman Benawi merupakan salah satu dari 14 kampung yang berada di
wilayah Kecamatan Trimurjo Kabupaten Lampung Tengah. Kampung Liman
Benawi berdiri pada tahun 1953 oleh pemerintah kolonial Belanda dimana seluruh
penduduknya berasal dari pulau jawa sebanyak 250 kepala keluarga yang dibagi
menjadi 6 (enam) bedeng antara lain: Bedeng 6 polos selatan, bedeng 6 polos
utara, bedeng 6b, bedeng 6c, bedeng Girirejo/Poncowati, dan bedeng 6d.
Keenam perdukuan tersebut dibawah kepemerintahan Kepala Kampung yang
bernama M.Ishak dan beberapa tahun kemudian keenam perdukuan tersebut
berganti nama menjadi Liman Benawi, dikarenakan pada waktu itu wilayah ini
merupakan tempat berkumpulnya kawanan gajah dan disini banyak sekali
kubangan gajah. Keenam bedeng berubah nama menjadi Dusun dan pusat
pemerintahan berada di Dusun I yang dulunya bedeng 6 polos selatan.
4.1.2 Letak Geografis dan Keadaan Alam
Kampung Liman Benawi Kecamatan Trimurjo Kabupaten Lampung Tengah
secara geografis dengan ketinggian 74,5 meter dari permukaan laut dengan luas
37
wilayah 423,17 Ha, jarak tempuh dengan pusat pemerintahan kabupaten 38 km
dengan waktu tempuh 1 jam, sedangkan jarak dengan pusat pemerintahan propinsi
43 km dengan waktu tempuh 1,5 jam, dengan batas-batas wilayah yang sudah
ditetapkan dengan peraturan kampung yaitu:
- Sebelah Utara : Kampung Tempuran
- Sebelah Timur : Kelurahan Mulyosari Kota Metro
- Sebelah Selatan : Kelurahan Adipuro
diwilayah Indonesia yaitu musim kemarau dan musim penghujan, hal tersebut
mempunyai pengaruh langsung terhadap pola tanam yang ada di Kampung Liman
Benawi Kecamatan Trimurjo.
4.1.4 Jumlah Penduduk
Kampung Liman Benawi mempunyai jumlah penduduk 3.892 jiwa berdasarkan
data penduduk tahun 2018, yang tersebar dalam 6 dusun dengan perincian pada
tabel 4 sebagai berikut.
Tabel 4. Jumlah Penduduk Kampung Liman Benawi
Dusun I Dusun II Dusun III Dusun IV Dusun V Dusun VI
635 jiwa 702 jiwa 538 jiwa 674 jiwa 713 jiwa 630 jiwa
Sumber: Data Sekunder, 2018
Liman Benawi sebagai berikut:
Petani Pedagang Wiraswasta PNS Buruh
908 jiwa 30 jiwa 130 jiwa 58 jiwa 59 jiwa
Sumber: Data Sekunder, 2018
Pengujian Instrumen bertujuan untuk mengukur sejauh mana instrumen penelitian
berfungsi dengan baik. Adapun uji tersebut adalah sebagai berikut:
4.2.1 Uji Validitas
Kuisioner dikatakan valid jika tiap butir pertanyaan mampu mengungkapkan
sesuatu yang akan diukur oleh peneliti. Pengujian validitas tiap butir digunakan
analisis item, yaitu mengkorelasikan skor tiap butir dengan jumlah skor total yang
merupakan jumlah tiap skor butir. Suatu kuisioner dikatakan valid apabila korelasi
antara butir dengan skor total tersebut positif dan nilainya lebih besar dari 0,300.
Angka tersebut diperoleh dari tabel r dengan signifikansi 5% dengan jumlah
responden sebanyak 30 orang, atau suatu kuisioner dikatakan valid apabila nilai r
hitung lebih besar daripada nilai r tabel. Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui
bahwa instrumen-instrumen pada setiap variabel dalam penelitian ini dikatakan
valid dan dapat dipakai untuk melakuan penelitian atau menguji hipotesis
39
penelitian, karna nilai pada setiap instrumen berada diatas nilai signifikan pada
tabel r product moment yaitu lebih dari 0,300. Berikut ini hasil uji validitas
tingkat adopsi petani dalam usahatani sayuran organik pada tabel 6.
Tabel 6. Uji Validitas Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik
I
t
e
m
Persiapan
Lahan
alian
Hama
dan
Penyakit
Panen
dan
Pasca
Panen
Ket
Sumber: Pengolahan Data Penelitian, 2019
Berdasarkan tabel 6 diatas menunjukkan bahwa hasil uji validitas dari semua
variabel tingkat adopsi petani terhadap usahatani sayuran organik dikatakan valid.
Hal ini karena nilai Corrected Item-Total Correlation dari setiap variabel berada
diatas nilai signifikansi pada tabel r product moment yaitu lebih dari 0,361.
4.2.2 Uji Reliabilitas
Suatu kuisioner dikatakan reliabel jika jawaban seseorang terhadap pertanyaan
adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Untuk uji reliabilitas dilakukan
dengan membandingkan nilai alpha cronbach dengan t-tabel. Jika alpha cronbach
> t-tabel, maka butir atau item tersebut dikatakan reliabel. Uji reliabilitas dapat
pula dilakukan melalui nilai alpha cronbach, yaitu jika lebih besar dari 0,600
maka butir atau item tersebut dikatakan reliabel. Hasil pengujian reliabilitas
dengan menggunakan SPSS 16.0 For Window dapat dilihat pada tabel 7.
40
Tabel 7. Uji Reliabiltas Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik
No. Model Cronbach’s Alpha Keterangan
1 Persiapan Lahan 0,634 Reliabel
2 Pembibitan 0,964 Reliabel
3 Penanaman 0,831 Reliabel
4 Pemupukan 0,631 Reliabel
5 Penyiraman 0,730 Reliabel
Sumber: Pengolahan Data Penelitian, 2019
Berdasarkan tabel 7 menunjukkan bahwa nilai alpha cronbach’s pada semua
variabel lebih besar dari t-tabel yakni lebih dari 0,600 yang berarti dapat dikatakan
bahwa semua variabel dalam penelitian ini reliabel.
4.3 Deskripsi Aspek Sosial Ekonomi Usahatani Sayuran Organik
Responden dalam penelitian ini adalah petani yang menjadi anggota Kelompok
Wanita Tani Bina Pertani, pengambilan sampel sebanyak 30 orang, dengan
menggunakan metode sampling jenuh yaitu semua populasi dijadikan sampel.
4.3.1 Umur (X1)
menjalankan suatu kegiatan. Umur muda biasanya menjadi umur yang produktif
bagi seseorang dalam menjalankan kegiatanya. Umur responden anggota KWT
Bina Pertani di sajikan pada tabel 8.
Tabel 8. Persentase Umur Responden Anggota Kelompok Wanita Tani
Umur (tahun) Klasifikasi Jumlah (orang) Persentase (%)
33-42 Muda 8 26,67
53-62 Tua 8 26,66
41
Berdasarkan tabel 8 terlihat bahwa presentase petani setengah baya (43-52 tahun)
yang bergabung dalam kelompok wanita tani sebesar 46,67% (14 orang). Hal ini
menunjukan bahwa responden masih dalam usia produktif sehingga produksi
yang dihasilkan meningkat dan pendapatan meningkat. Baking dan Manning
(dalam Hermaya Rukka, 2003) mengemukakan bahwa usia produktif untuk
bekerja adalah umur 15-55 tahun. Umur berpengaruh terhadap kemampuan fisik
petani dalam mengelola usahataninya maupun usaha pekerjaan lainnya.
4.3.2 Pendidikan (X2)
Sumber daya manusia dengan tingkat pendidikan yang tinggi biasanya lebih peka
terhadap gagasan atau inovasi-inovasi dalam pengembangan usahanya.
Dibandingkan dengan responden tingkat pendidikan tinggi, responden dengan
tingkat pendidikan rendah biasanya akan lebih sulit dalam memahami suatu
masukan ataupun perubahan yang terjadi disekitar lingkunganya. Tingkat
pendidikan responden anggota kelompok wanita disajikan pada tabel 9.
Tabel 9. Persentase Tingkat Pendidikan Responden Anggota Kelompok Wanita
Tani
6-9 Rendah 19 63,33
10-13 Sedang 10 33,34
14-17 Tinggi 1 3,33
Berdasarkan tabel 9 terlihat bahwa persentase tingkat pendidikan responden yang
terbanyak adalah lulusan SD dan SMP (6-9 tahun) sejumlah 63,33% (19 orang).
42
Walaupun mereka hanya lulusan SD dan SMP tetapi semangat untuk berinovasi
dan mengembangkan budidaya sayuran organik sangat tinggi.
4.3.3 Luas Lahan (X3)
dihasilkan petani. Semakin luas lahan pertanian maka semakin banyak pula
komoditas yang dihasilkan. Kemudian sebaliknya, jika semakin sempit luas lahan
pertanian maka komoditas yang dihasilkan pun juga sedikit.
Tabel 10. Persentase Luas Lahan Responden Anggota Kelompok Wanita Tani
Luas Lahan (m2) Klasifikasi Jumlah (orang) Persentase (%)
12-158 Sempit 28 93,34
159-305 Sedang 1 3,33
306-452 Luas 1 3,33
Berdasarkan tabel 10 terlihat bahwa persentase luas lahan responden untuk
membudidayakan sayuran organik tergolong sempit sebesar 93,34% (12-158 m2)
dengan jumlah 28 orang.
4.3.4 Pengalaman Bertani (X4)
Pengalaman dalam berusahatani bisa dilihat dari berapa lama petani melakukan
usaha tersebut. Semakin lama petani berusahatani maka semakin banyak pula
pengalaman yang di dapatkan. Kemudian sebaliknya, jika petani tersebut belum
lama dalam berusahatani, maka pengalaman serta pengetahuan yang di dapatkan
43
pada tabel 11.
Wanita Tani
(orang)
Persentase(%)
Berdasarkan tabel 11 terlihat bahwa persentase petani yang bergabung dalam
Kelompok Wanita Tani Bina Pertani 6-7 tahun dalam melakukan usahataninya
sebesar 80% (24 orang) yang termasuk dalam klasifikasi tinggi. Melihat kondisi
pengalaman bertani dari tabel diatas pengalaman bertani responden tinggi,
disebabkan petani sudah menerapkan budidaya sayuran organik lebih dari 5 tahun
sehingga pengetahuan petani terhadap budidaya sayuran organik sudah cukup
berpengalaman dan sudah memiliki pengetahuan. Hal ini senada dengan
Soekartawi (2006) dimana pengalaman berusahatani yang cukup lama akan
menjadikan petani lebih berhati-hati dalam proses pengambilan keputusan.
Kegagalan yang ia alami akan menjadikannya lebih berhati-hati dalam proses
pengambilan keputusan. Belajar dengan mengamati pengalaman petani sangat
penting, karena merupakan cara yang lebih baik untuk mengambil keputusan dari
pada melakukan tindakan sendiri. Pengalaman bertani didapatkan dari
keikutsertaan petani dalam kelompok wanita tani dan kegiatan penyuluhan yang
dilakukan oleh instansi terkait.
inovasi adopsi. Penyuluhan responden anggota KWT disajikan pada tabel 12.
Tabel 12. Persentase Penyuluhan Responden Anggota Kelompok Wanita Tani
Penyuluhan (kali) Klasifikasi Jumlah (orang) Persentase (%)
8-9 Rendah 5 16,67
10-11 Sedang 4 13,33
12-13 Tinggi 21 70,00
Sumber: Hasil Penelitian, 2019
Dari tabel 12 diatas dapat diketahui bahwa penyuluhan responden 12-13 kali
dalam setahun yang termasuk dalam klasifikasi tinggi sebesar 70% (21 orang).
Penyuluhan sering dilakukan setiap bulan sekali dan sering dilakukan penyuluhan
saat ada bantuan dari pemerintah untuk pengembangan usahatani sayuran organik.
4.4. Deskripsi Variabel Tingkat Adopsi
Tingkat adopsi usahatani sayuran organik terdiri dari persiapan lahan, pembibitan,
penanaman, pemupukan, penyiraman, pengendalian hama dan penyakit, panen
dan pasca panen. Untuk mengetahui tingkat adopsi petani dalam usahatani
sayuran organik dapat ditentukan dengan cara mencari interval skor yang di
arahkan pada ketentuan berikut:
Jumlah Kategori
Interval = (63-33)/3
Interval = 30/3
Interval = 10
45
Tabel 13. Kategori Tingkat Adopsi dan Interval Skor Petani Terhadap Usahatani
Sayuran Organik
Hasil wawancara dengan petani anggota Kelompok Wanita Tani Bina Pertani
digambarkan dengan tabel penelitian, maka tujuan dari penelitian ini dapat
terjawab bahwa tingkat adopsi petani dalam usahatani sayuran organik tergolong
cukup baik. Untuk lebih jelasnya disajikan pada tabel 14.
Tabel 14. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik
Variabel Skor Tercapai Rata-rata
Persiapan Lahan 227 7,56
Total Skor Persepsi 1.551 51,67
Sumber: Data Primer (diolah), 2019
Berdasarkan tabel 14 tabel diatas terlihat bahwa total skor yang diperoleh dari
sebaran kuisioner ke petani anggota kelompok wanita tani adalah sebesar 1.551,
dan diperoleh juga nilai rata-rata sebesar 51,67 , ini menandakkan bahwa tingkat
adopsi petani dalam usahatani sayuran organik digolongkan dalam kategori cukup
baik. Untuk mengetahui tingkat adopsi petani dalam usahatani sayuran organik
pada masing-masing variabel disajikan pada uraian berikut ini:
46
4.4.1 Persiapan Lahan
A. Media Tanam
Tabel 15. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Pada Media
Tanam
1 Rendah - -
Sumber: Data Primer (diolah), 2019
Berdasarkan tabel 15 terlihat bahwa 73,33% (22 orang) petani memiliki tingkat
adopsi sayuran organik yang tinggi pada penggunaan bahan organik untuk media
tanam. Karna memang budidaya yang diterapkan di KWT Bina Pertani adalah
sayuran organik. Kemudian sisanya sebesar 26,67% (8 orang) petani yang
memiliki tingkat adopsi yang sedang pada penggunaan bahan organik untuk
media tanam. Biasanya mereka menambahkan beberapa bahan-bahan yang
tergolong non-organik pada media tanam yang mereka gunakan.
B. Perbandingan Media Tanam
Tabel 16. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Pada
Perbandingan Media Tanam
1 Rendah - -
Sumber: Data Primer (diolah), 2019
Berdasarkan tabel 16 terlihat bahwa 83,33% (25 orang) petani memiliki tingkat
adopsi kategori yang tinggi dalam perbandingan pembuatan media tanam sayuran
organik. Itu karna yang petani terapkan dalam pembuatan media tanam dengan
47
campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1. Kemudian sisanya
sebesar 16,67% (5 orang) petani yang memiliki tingkat adopsi kategori sedang
yaitu petani kadangkala menggunakan perbandingan dalam pembuatan media
tanam dan kadangkala tidak menggunakan perbandingan.
C. Penggunaan Polibag
Tabel 17. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Pada
Penggunaan Polibag
1 Rendah 15 50,00
Sumber: Data Primer (diolah), 2019
Berdasarkan tabel 17 terlihat bahwa 50%(15 orang) petani yang memiliki kategori
tinggi dan 50% (15 orang) petani yang memiliki kategori rendah dalam
penggunaan polibag. Penggunaan polibag disini adalah polibag dibalik terlebih
dahulu atau tidak sebelum diisi media. 15 orang yang termasuk dalam kategori
tinggi tersebut melakukan pembalikkan pada polibag karna memang sering
emngikuti pelatihan dan juga bertujuan agar polibag dapat berdiri dengan kokoh
dan tidak mudah roboh. Dan 15 orang lainnya dalam kategori rendah karna petani
tersebut tidak melakukan pembalikkan pada polibag.
48
Tabel 18. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Pada
Penyemaian
1 Rendah - -
Sumber: Data Primer (diolah), 2019
Berdasarkan tabel 18 terlihat bahwa 66,67% (20 orang) petani yang termasuk
dalam kategori tinggi pada pembibitan yang harus disemai terlebih dahulu. Karna
memang yang petani dapatkan dari penyuluhan yang mereka ikuti harus disemai
terlebih dahulu. Kemudian sisanya 33,33% (10 orang) petani tidak melakukan
penyemaian terlebih dahulu, petani tersebut langsung menanam benihnya pada
polibag.
B. Jarak Tanam Penyemaian
Tabel 19. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Pada Jarak
Tanam Penyemaian
1 Rendah - -
Sumber: Data Primer (diolah), 2019
Berdasarkan tabel 19 terlihat bahwa 73,33% (22 orang) petani yang memiliki
kategori tinggi dalam pengaturan jarak tanam pada persemaian. Jarak tanam yang
49
petani terapkan dalam penyemaian benih 1-3 cm. Jarak tanam bertujuan agar
benih dapat tumbuh dengan baik. Kemudian sisanya 26,67% (8 orang) yang
termasuk kategori sedang terhadap pengaturan jarak tanam pada persemaian.
Petani tersebut langsung menaburkan benih pada tempat persemaian tanpa
melakukan jarak tanam terlebih dahulu.
C. Pemilihan Bibit
Tabel 20. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Pada
Pemilihan Bibit
1 Rendah - -
Berdasarkan tabel 20 terlihat bahwa tingkat adopsi pemilihan bibit sayuran
70,00% (21 orang) petani. Petani memilih bibit dengan cermat dari tempat
persemaian. Kemudian sisanya 30,00% (9 orang) termasuk dalam kategori
sedang dalam pemilihan bibit sayuran pada persemaian yaitu tidak terlalu cermat
dalm pemilihan.
A. Seleksi Bibit
Tabel 21. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Pada Seleksi
Bibit
1 Rendah - -
Sumber: Data Primer (diolah), 2019
Berdasarkan tabel 21 Terlihat bahwa 70% (21 orang) petani yang termasuk dalam
kategori tinggi pada seleksi bibit sayuran organik. Seleksi bibit sayuran organik
sebelum ditanam pada polibag bertujuan agar bibit yang mereka tanam berkualitas
baik. Kemudian sisanya 30% (9 orang) petani termasuk dalam kategori sedang
dalam seleksi bibit sayuran. Petani tersebut kadang menanam semua bibit yang
tumbuh dipersemaian tanpa memilih dulu. Karna biasanya minimnya bibit yang
ada sedangkan media tanam yang petani disiapkan terlalu banyak.
B. Penanaman Benih Langsung di Polibag
Tabel 22. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Pada
Penanaman Benih Langsung di Polibag
Skor Kategori Tingkat Adopsi Orang Persentase (%)
1 Rendah 14 46,67
51
Berdasarkan tabel 22 terlihat bahwa 53,33% (16 orang) petani yang termasuk
dalam kategori tinggi dalam penanaman benih syauran organik langsung pada
polibag. Penanaman sayuran organik ini adalah benih langsung ditanam pada
polibag 1-2 benih dan diatasnya ditutup kembali dengan tanah. Penutupan dengan
tanah bertujuan agar benih yang ditanam tidak terbawa angin atau pun dimakan
binatang seperti ayam. Kemudian sisanya 46,67% (14 orang) petani yang
termausk dalam ketegori rendah dalam penanaman benih syauran organik
langsung pada polibag. Petani tersebut tidak menutupinya kembali dengan tanah.
C. Waktu penanaman
Tabel 23. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Pada Waktu
Penanaman
1 Rendah 13 43,33
Sumber: Data Primer (diolah), 2019
Berdasarkan tabel 22 terlihat bahwa 56,67% (17 orang) petani yang memiliki
kategori tinggi dalam waktu penanaman sayuran organik. Penanaman sayuran
organik dilakukan sebelum jam 9 pagi/setelah jam 3 sore. Ini bertujuan agar bibit
yang mereka tanam tidak layu dan tidak terpapar sinar matahari yang terlalu terik.
Kemudian sisanya 43,33% (13 orang) petani termasuk dalam kategori rendah
dalam penanaman sayuran organik. Petani tersebut dalam waktu penananam
sebisa mereka jika ada waktu yang senggang.
52
Tabel 24. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Pada
Pemupukan Pupuk Kandang
1 Rendah 14 46,67
Sumber: Data Primer (diolah), 2019
Berdaskan tabel 24 terlihat bahwa 53,33% (16 orang) petani yang termasuk
kategori tinggi dalam tingkat adopsi usahatani sayuran organik pada pemupukan.
Jika tanaman sayuran organik terlihat kurang subur, petani memupuk tanaman
dengan pupuk kompos/pupuk kandang. Kemudian sisanya 46,67% (14 orang)
petani termasuk dalam ketegori rendah pada pemupukan tanaman sayuran organik
dengan pupuk kandang. Petani tersebut tidak mementingkan untuk menambahkan
pupuk kandang jika tanaman terlihat kurang subur.
B. Dosis Pupuk Organik
Tabel 25. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Terhadap
Dosis Pupuk Organik
1 Rendah 6 20,00
53
Berdasarkan tabel 25 terlihat bahwa 80% (24 orang) petani termasuk dalam
kategori tinggi dalam tingkat adopsi pemberian dosis pupuk organik pada tanaman
sayuran organik. Mereka menggunakan pupuk organik hayati sesuai dengan dosis
yang direkomemdasikan. Kemudian sisanya 20% (6 orang) petani termasuk dalam
kategori rendah dalam pemberian dosis pupuk organik hayati pada tanaman
sayuran organik. Biasnya petani ini tidak memahami terlebih dahulu anjuram yang
tertera dalam kemasan, langsung memakai saja tanpa melihat dosis yang telah
direkomendasikan.
C. Waktu Pemupukan
Tabel 26. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Pada Waktu
Pemupukan
1 Rendah 6 20,00
Sumber: Data Primer (diolah), 2019
Berdasarkan tabel 26 terlihat bahwa 80% (24 orang) petani yang termasuk dalam
kategori tinggi terhadap tingkat adopsi usahatani sayuran organik pada waktu
pemupukan. Petani dalam pemupukan tanaman sayuran organik dilakukan dengan
pupuk organik setelah 2 minggu tanam atau 1 minggu sekali. Kemudian sisanya
20% (6 orang) petani termasuk yang termasuk dalam kategori rendah terhadap
tingkat adopsi usahatani sayuran organik pada waktu pemupukan. Petani tersebut
tidak memupuk tanaman sayuran organik dengan pupuk orgnaik. Hanya
menggunakan bahan organik pada saat akan ditanam.
54
A. Waktu Penyiraman
Tabel 27. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Pada Waktu
Penyiraman
1 Rendah -
Sumber: Data Primer (diolah), 2019
Berdasarkan tabel 27 terlihat bahwa 73,33% (22 orang) petani termasuk dalam
kategori tinggi terhadap tingkat adopsi usahatani sayuran organik pada waktu
penyiraman. Penyiraman sayuran organik yang petani lakukan minimal 2 kali
sehari, atau juga melihat kualitas kelembaban tanah pada media tanam. Kemudian
sisanya 26,67% (8 orang) petani termasuk dalam kategori sedang terhadap tingkat
adopsi usahatani sayuran organik pada waktu penyiraman. Petani tersebut
melakukan penyiraman kadang 2 kali sehari bahkan kadang tidak sama sekali
karna saat masih ada kesibukan lainnya. Jadi penyiraman sayuran organik
dilakukan bila ada waktu luang.
B. Teknis Penyiraman
Tabel 28. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Pada Teknis
Penyiraman
1 Rendah 11 36,67
55
Berdasarkan tabel 28 terlihat bahwa 63,33% (19 orang) petani termasuk dalam
kategori tinggi terhadap tingkat adopsi usahatani sayuran organik pada teknis
penyiraman. Teknis penyiraman yang dilakukan sesuai dengan anjuran yang telah
mereka peroleh pada saat ada penyuluhan. Kemudian sisanya 36,67% (11 orang)
petani termasuk dalam kategori rendah terhadap tingkat adopsi usahatani sayuran
organik pada teknis penyiraman. Petani tersebut tidak memperhatikan teknis
penyiraman sayuran organik yang baik, bahkan mungkin memang mereka tidak
mengikuti kegiatan penyuluhan tentang teknis penyiraman.
C. Kebutuhan Air
Tabel 29. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Pada
Kebutuhan Air Tanaman
1 Rendah 7 23,33
Sumber: Data Primer (diolah), 2019
Berdasarkan tabel 29 terlihat bahwa 76,67% (23 orang) petani termasuk dalam
kategori tinggi terhadap tingkat adopsi usahatani sayuran organik pada pemberian
kebutuhan air tanaman sayuran organik. Petani tersebut dalam penyiraman, air
yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan air yang diperlukan tanaman
sayuran organik tersebut. Kemudian sisanya 23,33% (7 orang) petani termasuk
dalam kategori rendah terhadap tingkat adopsi usahatani sayuran organik pada
pemberian kebutuhan air tanaman sayuran organik. Petani tersebut menyiram
tanaman sayuran organik tidak disesuaikan dengan kebutuhan air untuk tanaman.
56
A. Pestisida Organik
Tabel 30. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Pada
Pemakaian Pestisida Organik
1 Rendah - -
Sumber: Data Primer (diolah), 2019
Berdasarkan tabel 30 terlihat bahwa 63,33% (19 orang) petani termasuk dalam
kategori tinggi terhadap tingkat adopsi usahatani sayuran organik pada
penggunaan pestisida organik. Petani tersebut menggunakan pestisida organik
dalam pengendalian hama dan penyakit pada tanaman sayuran organik. Kemudian
sisanya 36,67% (11 orang) petani termasuk dalam kategori sedang terhadap
tingkat adopsi usahatani sayuran organik pada penggunaan pestisida organik.
Petani tersebut tidak pasti dalam penggunaan pestisida organik, kadangkala juga
tidak pernah memakai dan membiarkannya jika tanaman sayuran organik terkena
hama dan penyakit.
Tabel 31. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Pada
Tanaman Sayuran Yang Telah Terserang
Skor Kategori Tingkat Adopsi Orang Persentase (%)
1 Rendah - -
Sumber: Data Primer (diolah), 2019
Berdasarkan tabel 31 terlihat bahwa 76,67% (23 orang) petani termasuk dalam
kategori tinggi terhadap tingkat adopsi petani pada pengendalian hama dan
penyakit yang telah menunjukkan serangan. Pengendalian hama dan penyakit
pada tanaman sayuran organik petani menggunakan pestisida organik. Kemudian
sisanya 23,33% (7 orang) petani termasuk dalam kategori sedang terhadap tingkat
adopsi petani pada pengendalian hama dan penyakit yang telah menunjukkan
serangan. Petani tersebut seringkali tidak menghiraukan keadaan tanaman yang
telah menunjukkan serangan dari hama dan penyakit.
C. Belum Menunjukkan Serangan
Tabel 32. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Pada
Tanaman Sayuran Yang Belum Terserang
Skor Kategori Tingkat Adopsi Orang Persentase (%)
1 Rendah 16 53,33
Sumber: Data Primer (diolah), 2019
Berdasarkan tabel 32 terlihat bahwa 46,67% (14 orang) petani termasuk dalam
kategori tinggi terhadap tingkat adopsi petani pada pengendalian hama dan
penyakit yang belum menunjukkan serangan. Pengendalian hama dan penyakit
pada tanaman sayuran organik petani menggunakan pestisida organik,
mengantisipasi supaya kerugian yang terjadi akibat hama dan penyakit tanmana
sayuran organik tidak terjadi. Kemudian sisanya 53,33% (16 orang) petani
termasuk dalam kategori rendah terhadap tingkat adopsi petani pada pengendalian
58
hama dan penyakit yang belum menunjukkan serangan. Petani tersebut seringkali
tidak menghiraukan keadaan tanaman yang belum menunjukkan serangan dari
hama dan penyakit. Karna yang mereka anggap jika tanaman sudah tumbuh subur
berarti tanaman tersebut itu tidak terkena hama dan penyakit.
4.4.7 Panen dan Pasca Panen
A. Kualias Panen
Tabel 33. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Pada Kualitas
Panen
1 Rendah - -
Sumber: Data Primer (diolah), 2019
Berdasarkan tabel 33 terlihat bahwa 73,33% (22 orang) petani termasuk dalam
kategori tinggi terhadap tingkat adopsi sayuran organik pada kualitas panen.
Petani melakukan pemanenan sayuran organik memilih yang telah memenuhi
standar kualitas masa panen. Kemudian sisanya 26,67 (8 orang) petani termasuk
dalam kategori sedang terhadap tingkat adopsi sayuran organik pada kualitas
panen. Petani tersebut kadang tidak memperhatikan standar kualitas masa panen
sayuran.
59
B. Waktu Pemanenan
Tabel 34. Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Sayuran Organik Pada Waktu
Pemanenan
1 Rendah - -
Sumber: Data Primer (diolah), 2019
Berdasarkan tabel 34 terlihat bahwa 73,33% (22 orang) petani