dasar teori stabilitas

15
LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA STABILITAS GOLONGAN II KELOMPOK I I Putu Wijaya Kusuma 1308505039 I Putu Surya Trisna Lova 1308505041 I Gst. Agung Gd. Minanjaya 1308505043 Dyah Aryani Sartika 1308505044 Vevy Auryn Setiawan 1308505045 I Made Arya Wiraguna 1308505046

Upload: vevy-ajaa

Post on 06-Feb-2016

59 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

a

TRANSCRIPT

Page 1: Dasar Teori Stabilitas

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA

STABILITAS

GOLONGAN II

KELOMPOK I

I Putu Wijaya Kusuma 1308505039

I Putu Surya Trisna Lova 1308505041

I Gst. Agung Gd. Minanjaya 1308505043

Dyah Aryani Sartika 1308505044

Vevy Auryn Setiawan 1308505045

I Made Arya Wiraguna 1308505046

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA

2015

Page 2: Dasar Teori Stabilitas

I. LATAR BELAKANG

Stabilitas obat adalah derajat degradasi suatu obat dipandang dari segi

kimia. Stabilitas obat dapat diketahui dari ada tidaknya penurunan kadar selama

penyimpanan ( Connors,et al.,1992).

Kestabilan suatu zat merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam

membuat formulasi suatu sediaan farmasi. Hal ini penting mengingat suatu

sediaan biasanya diproduksi dalam jumlah besar dan memerlukan waktu yang

lama untuk sampai ke tangan pasien yang membutuhkan. Obat yang disimpan

dalam jangka waktu yang lama dapat mengalami penguraian dan mengakibatkan

dosis yang diterima pasien berkurang. Adakalanya hasil urai zat tersebut bersifat

toksik sehingga dapat membahayakan jiwa pasien. Oleh karena itu perlu diketahui

faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan suatu zat sehingga dapat dipilih

kondisi yang tepat untuk untuk pembuatan sediaan sehingga kestabilan dari suatu

obat dapat terjaga (Ansel, 1989).

Pengujian stabilitas merupakan pengujian yang dirancang untuk

mendapatkan informasi mengenai stabilitas farmasi dalam rangka menetapkan

masa edar dan periode penggunaan dalam kondisi penyimpanan tertentu

(Manurung, 2007).

Pada pembuatan obat harus diketahui waktu paro suatu obat. Waktu paro

suatu obat dapat memberikan gambaran stabilitas obat, yaitu gambaran kecepatan

terurainya obat atau kecepatan degradasi kimiawinya. Panas, asam-asam, alkali-

alkali, oksigen, cahaya, kelembaban dan faktor-faktor lain dapat menyebabkan

rusaknya obat. Mekanisme degradasi dapat disebabkan oleh pecahnya suatu

ikatan, pergantian spesies, atau perpindahan atom-atom dan ion-ion jika dua

molekul bertabrakan dalam tabung reaksi (Moechtar, 1989).

Uji stabilitas memberikan cara untuk membandingkan berbagai pilihan

formulasi, bahan kemasan, atau proses pembuatan dalam eksperimen jangka

pendek. Setelah formulasi akhir dan proses pembuatan ditetapkan, pabrik obat

dapat segera melakukan rangkaian uji stabilitas dipercepat sehingga

memungkinkan pabrik obat untuk memperkirakan stabilitas produk obat, serta

menentukan masa edar dan kondisi penyimpanan. Uji stabilitas jangka panjang

1

Page 3: Dasar Teori Stabilitas

harus dimulai pada waktu yang sama untuk tujuan pembuktian. Badan pengawas

obat akan meminta pabrik obat untuk menyerahkan informasi stabilitas produk

yang diperoleh dari pengujian sediaan jadi obat dalam wadah dan kemasan akhir.

Data yang diserahkan diperoleh dari uji stabilitas dipercepat dan uji stabilitas

jangka panjang (Manurung, 2007).

II. RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam laporan praktikum

ini antara lain :

II.1Apa saja yang dapat mempengaruhi kestabilan suatu zat?

II.2Bagaimana pengaruh lama penyimpanan produk terhadap kestabilan suatu zat?

III. TUJUAN

Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu untuk :III.1Menerangkan pengaruh suhu terhadap kestabilan zat.

III.2Menentukan waktu kadaluarsa vitamin C

III.3Menghitung kecepatan reaksi

IV. DASAR TEORI

2.1 Stabilitas

Stabilitas didefinisikan sebagai kemampuan suatu produk obat atau

kosmetik untuk bertahan dalam batas spesifikasi yang ditetapkan sepanjang

periode penyimpanan dan penggunaan untuk menjamin identitas, kekuatan,

kualitas dan kemurnian produk tersebut (Joshita, 2008).

Ada dua hal yang menyebabkan ketidakstabilan obat, yang pertama adalah

labilitas dari bahan obat dan bahan pembantu, termasuk struktur kimia masing-

masing bahan dan sifat kimia fisika dari masing-masing bahan. Yang kedua

adalah faktor-faktor luar, seperti suhu, cahaya, kelembaban, dan udara, yang

mampu menginduksi atau mempercepat reaksi degradasi bahan. Skala kualitas

yang penting untuk menilai kestabilan suatu bahan obat adalah kandungan bahan

2

Page 4: Dasar Teori Stabilitas

aktif, keadaan galenik, termasuk sifat yang terlihat secara sensorik, secara

miktobiologis, toksikologis, dan aktivitas terapetis bahan itu sendiri. Skala

perubahan yang diijinkan ditetapkan untuk obat yang terdaftar dalam farmakope.

Kandungan bahan aktif yang bersangkutan secara internasional ditolerir suatu

penurunan sebanyak 10% dari kandungan sebenarnya (Voight, 1994).

Sediaan yang stabil adalah suatu sediaan yang masih berada dalam batas

yang dapat diterima selama periode penyimpanan dan penggunaan, dimana sifat

dan karakteristiknya sama dengan yang dimilikinya pada saat dibuat (Joshita,

2008). Uji stabilitas yang umum dikenal adalah stabilitas fisika, kimia,

mikrobiologi, terapi dan toksikologi. Stabilitas kimia adalah mempertahankan

keutuhan kimiawi dan potensi zat aktif yang tertera dalam etiket batasan

spesifikasi. Stabilitas fisika adalah mempertahankan sifat fisika awal dari suatu

sediaan yang meliputi penampilan, kesesuaian, keragaman, disolusi, disintegrasi,

kekerasan, kemampuan disuspensikan. Stabilitas mikrobiologi adalah sterilisasi

atau resistensi terhadap pertumbuhan mikroba dipertahankan sesuai dengan

persyaratan yang dinyatakan. Efek terapi tidak berubah selama penyimpanan dan

tidak terjadi peningkatan toksisitas yang bermakna merupakan stabilitas terapi dan

toksikologi. (Joshita, 2008)

Kestabilan kimia dari zat obat juga dipengaruhi oleh stuktur dan konstituen

kimia yang beraneka ragam. Proses kerusakan kimia yang paling sering meliputi

hidrolisis dan oksidasi. Selain itu, proses destruktif yang dapat terjadi adalah

polimerisasi, dekarboksilasi kimia, dan deaminasi dapat terjadi dalam preparat-

preparat farmasi (Ansel, 1989).

Untuk mendeteksi perbandingan stabilitas maka dapat digunakan dua

metode yaitu dengan tes daya tahan-waktu panjang dan tes daya tahan dipercepat.

a. Tes daya tahan-waktu panjang

Pada tes ini obat selama waktu tertentu disimpan dibawah persyaratan

penyimpanan (suhu, cahaya,udara dan kelembaban) yang diharapkan di

simpan dalam lemari pendingin atau ruang pendingin. Dalam jarak waktu

tertentu pada akhir percobaan dikontrol/dianalisis kandungan bahan obat,

3

Page 5: Dasar Teori Stabilitas

sifat mikrobiologis, sifat sensoris dan keadaan galentik yang dapat dideteksi

dengan metode kimia fisika (Voight, 1994).

b. Tes daya tahan dipercepat

Cara ini dapat digunakan untuk penetapan kinetika reaksi dan penguraian

yang dipelajari dengan menggunakan suhu tinggi (suhu diatas suhu ruangan)

yang kemudian diekstrapolasi pada suhu penyimpanan. Metode ini di awali

dengan tes tekanan dibawah persyartan isothermik yaitu obat disimpan pada

suhu tinggi yang bervariasi dalam interval waktu tertentu dan ditentukan

konsentrasi dari kecepatan penguraian serta pengaruh suhu terhadap

kecepatan reaksinya. Selanjutnya dilakukan tes tekanan dibawah persyaratan

tidak isothermik yaitu obat disimpan pada suhu yang secara teratur suhunya

ditinggikan.Obat yang di ujikan harus dalam bentuk larutan (Voight, 1994).

Untuk menjaga kestabilan obat perlu diperhatikan pula faktor-faktor yang

mempengaruhi kestabilan suatu zat, yaitu panas, cahaya, kelembaban, oksigen,

pH, mikroorganisme dan bahan-bahan tambahan yang digunakan dalam formula

sediaan obat. Kestabilan suatu obat dapat dipercepat dengan meningkatkan

suhunya. Setiap kenaikan suhu 100C akan mempercepat laju reaksi 2-3 kali,

dimana laju reaksi adalah pengurangan konsentrasi reaktan atau penambahan

konsentrasi produk per satuan waktu (Joshita, 2008). Pengaruh temperatur

terhadap laju ini diberikan dengan persamaan yang pertama kali dikemukakan

oleh Arrhenius :

k = A e-Ea/RT

Tujuan utama uji stabilitas obat antara lain untuk memilih formulasi dan

sistem penutupan wadah yang sesuai (berdasarkan stabilitas), untuk menentukan

masa edar dan kondisi penyimpanan, untuk menegaskan masa edar yang telah

ditetapkan, dan untuk membuktikan bahwa tidak ada perubahan yang terjadi

dalam formulasi atau proses pembuatan yang dapat memberikan efek merugikan

pada stabilitas obat (Manurung, 2007).

Ada beberapa kriteria yang digunakan sebagai rancangan studi stabilitas,

yaitu :

1. Wadah dan penutup

4

Page 6: Dasar Teori Stabilitas

Dalam stabilitas harus dikembangkan setiap jenis hubungan antara

wadah dan penutup yang diusulkan untuk pemasaran obat yang berbeda-beda

dalam komposisi atau desainnya (misalnya ketebalan dinding, jumlah uliran

dalam penutup), termasuk penutup yang sifatnya tahan terhadap gangguan

anak dan tahan terhadap perubahan sekitar tanpa memperhatikan kemiripan

tutup. Perhatian khusus harus diberikan kepada semua ukuran wadah sediaan

dosis ganda, seperti aerosol dan preparat parenteral. Apabila integritas

penutupan wadah kemasan perlu diuji, maka kelembaban relatif yang lebih

tinggi dari 75% masih dimungkinkan dan masih cukup memadai untuk

memastikan kelekatannya pada suhu 37°C (misalnya pada unit blister dan

kemasan strip).

2. Fluktuasi suhu yang ekstrim

Studi tentang efek fluktuasi suhu yang sesuai dengan kondisi

pengangkutan dan penyimpanan suatu produk harus dipertimbangkan dalam

hal ini, obat yang dikemas harus diperlakukan pada semua kondisi suhu yang

menyerupai fluktuasi yang mungkin dihadapi pada saat berada di jalur

distribusi. Studi ini terutama ditujukan pada preparat cair, seperti injeksi,

larutan, suspensi dan preparat setengah padat (cream, salep dan pasta) diberi

perlakuan suhu beku paling tidak selama 7 hari dan hasil pengamatan harus

digunakan untuk penandaan kondisi penyimpanan yang cocok atau untuk

kepentingan pemberian tabel peringatan.

3. Suhu penyimpanan

Suhu penyimpanan yang benar digunakan selama penentuan studi

stabilitas harus dicantumkan.

4. Efek pembukaan dan penutupan wadah

Efek stabilitas yang diakibatkan oleh pembukaan dan penutupan wadah

harus dinilai dan diperbandingkan dengan stabilitas yang dikembangkan dari

studi yang telah dilakukan pada kemasan tak dibuka. Efek penutupan dan

pembukaan wadah disimulasikan dengan sampling menggunakan wadah yang

sama pada seluruh periode uji yang dijadwalkan sepanjang isinya

5

Page 7: Dasar Teori Stabilitas

memungkinkan dan bukannya dilakukan dengan hanya sekedar pengambilan

sampling kemasan tertutup pada masing-masing periode uji.

5. Kualitas mikrobial

Produk obat yang mengandung pengawet harus dipantau kandungan

pengawetnya dalam interval waktu tertentu selama periode tanggal kadaluarsa

produk yang diproyeksikan. Ini dapat dilakukan dengan menyelenggarakan

microbial challenge test (misalnya, uji efektivitas pengawet antimikrobia dari

USP, ini berlaku untuk wadah tak dibuka) dan dengan penyelenggaraan

penetapan kadar secara kimiawi untuk pengawet. Apabila kuantitas minimal

dari pengawet yang dipakai untuk mencapai pengendalian efektivitas mikroba

telah ditentukan, maka penetapan secara kimiawi mungkin cukup memadai

sebagai penampil uji pencegahan secara periodik. Hal ini terutama penting

untuk mempertimbangkan cukup tidaknya suatu sistem pengawet pada

kondisi penggunaan vial dosis ganda.

6. Degradasi produk

Jika degradasi produk diidentifikasi, informasi yang harus dicantumkan

meliputi:

- Struktur kimia

- Referensi silang terhadap setiap informasi yang ada tentang efek biologis

dan efek lain yang bermakna, pada konsentrasi berapa perlu

diperhitungkan,

- Prosedur isolasi dan pemurnian,

- Mekanisme pembentukan, termasuk orde reaksi,

- Sifat-sifat fisika dan kimia,

- Spesifikasi dan petunjuk uji keberadaan pada tingkat konsentasi yang

disyaratkan harus ada,

- Indikasi ada tidaknya aksi farmakologi.

(Connors, 1992).

2.2 Titrasi Iodometri

Iodometri merupakan titrasi tidak langsung dan digunakan untuk

menetapkan senyawa-senyawa yang mempunyai potensial oksidasi yang lebih

6

Page 8: Dasar Teori Stabilitas

besar daripada sistem iodium-iodida atau senyawa-senyawa yang bersifat

oksidator seperti CuSO4.5H2O. Pada iodometri, sampel yang bersifat oksidator

direduksi dengan kalium iodida berlebihan dan akan menghasilkan iodium yang

selanjutnya dititrasi dengan larutan baku natrium tiosulfat. Banyaknya volume

natrium tiosulfat yang digunakan sebagai titran setara dengan iodium yang

dihasilkan dan setara dengan banyaknya sampel.Sebagai contoh adalah penentuan

kandungan klorin (CI2) dalam agen pemutih. Klorin akan mengoksidasi iodida

untuk menghasilkan iodium. Rekasi yang terjadi adalah sebagai berikut:

CI2 + 2I- 2CI- + I2

Selanjutnya iodium yang dibebaskan dititrasi dengan larutan baku natrium

tiosulfat menurut reaksi:

2S2O32- + I2 S4O6

2- + 2I-

(Gandjar dan Rohman, 2007)

2.3 Asam Askorbat (Vitamin C)

Vitamin C yang disebut juga dengan asam askorbat memiliki rumus

molekul C6H8O6. Berikut adalah struktur asam askorbat:

Gambar 1. Struktur asam askorbat (Depkes RI, 1995)

Asam askorbat mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari

100,5% C6H8O6. Asam askorbat memiliki bobot molekul 176,13 gram/mol.

Pemeriannya hablur atau serbuk putih atau agak kuning. Oleh pengaruh cahaya

lambat laun menjadi berwarna gelap. Dalam keadaan kering stabil diudara, dalam

larutan cepat teroksidasi. Melebur pada suhu lebih kurang 190o. Vitamin C mudah

larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol, tidak larut dalam kloroform, dalam

eter dan dalam benzene (Depkes RI, 1995). Vitamin C merupakan senyawa yang

7

Page 9: Dasar Teori Stabilitas

mempunyai sifat pereduksi kuat dan dalam larutan, vitamin C mudah rusak akibat

oksidasi oksigen dari udara (Safaryani dkk., 2007).

8

Page 10: Dasar Teori Stabilitas

DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Keempat.

Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen

Kesehatan Republik Indonesia.

Gandjar, I. G. dan A. Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Joshita. 2008. Kestabilan Obat. Jakarta: Program S2 Ilmu Kefarmasian

Departemen Farmasi Universitas Indonesia.

Manurung, J.. 2007. Pemastian Mutu Obat Kompendium Pedoman dan

Bahan-Bahan Terkait. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Moechtar. 1989. Farmasi Fisika. Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press.

Safaryani, N., S. Haryanti, dan E. D. Hastuti. 2007. Pengaruh Suhu dan

Lama Penyimpanan terhadap Penurunan Kadar Vitamin C Brokoli

(Brassica oleracea L). Buletin Anatomi dan Fisiologi. Vol. XV(2).

Voight, R.. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta: Penerbit

Gadjah Mada University Press.

Connors, K. A., G.L. Amidon, V. J. Stella. 1992. Stabilitas Kimiawi

Sediaan Farmasi : Buku Pegangan bagi Tenaga Farmasi. Edisi. 2,

Semarang: IKIP Semarang Press.

9