dasar ilmu anesthesi

356
1 BAB 1 Fisiologi kardiovaskular: 1. Sangat berbeda dengan aksi potensial pada saraf, aksi potensial pada jantung spike diikuti dengan fase plateau selama 0.2 – 0.3 detik. Pada otot dan saraf aksi potensial terjadi oleh karena pembukaan kanal cepat natrium di membran sel. Pada otot jantung ini terjadi karena pembukaan kanal cepat sodium (spike) dan kanal lebih lambat kalsium (plateau). 2. Halotan, enfluran dan isofluran menekan nodus sinoatrial (SA) secara automatis. Obat-obat ini hanya memiliki efek langsung, sedang pada nodus atrioventrikular (AV), efeknya memanjangkan masa konduksi dan meningkatkan masa refrakter. Efek kombinasi ini dapat menjelaskan mengapa sering timbul junctional tachycardia bilamana suatu antikolinergik diberikan untuk sinus bradikardia selama anestesia inhalasi; junctional pacemakers lebih ditingkatkan daripada SA. 3. Studi-studi menunjukkan bahwa semua anestetik uap menekan kontraktilitas jantung dengan menurunkan masuknya ion Ca ke dalam sel selama depolarisasi. (mengenai kanal Ca tipe T dan L), mengubah kinetik pelepasan dan ambilan ke dalam retikulum endoplasma, dan menurunkan sensitivitas protein- protein kontraktil terhadap kalsium. 4. Oleh karena indeks jantung (CI) memiliki rentang lebar, relatif tidak sensitif sebagai ukuran untuk menilai fungsi ventrikular. Nilai CI yang abmormal biasanya menunjukkan gangguan ventrikular secara umum. 5. Bila tidak ada anemia berat atau hipoksia, pengukuran tekanan oksigen

Upload: josua-sinambela

Post on 21-Oct-2015

365 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

Beberapa hal mengenai ilmu anesthesi dasar

TRANSCRIPT

Page 1: Dasar ilmu Anesthesi

1

BAB 1

Fisiologi kardiovaskular:

1. Sangat berbeda dengan aksi potensial

pada saraf, aksi potensial pada jantung

spike diikuti dengan fase plateau

selama 0.2 – 0.3 detik. Pada otot dan

saraf aksi potensial terjadi oleh karena

pembukaan kanal cepat natrium di

membran sel. Pada otot jantung ini

terjadi karena pembukaan kanal cepat

sodium (spike) dan kanal lebih lambat

kalsium (plateau).

2. Halotan, enfluran dan isofluran

menekan nodus sinoatrial (SA) secara

automatis. Obat-obat ini hanya memiliki efek

langsung, sedang pada nodus atrioventrikular

(AV), efeknya memanjangkan masa konduksi

dan meningkatkan masa refrakter. Efek

kombinasi ini dapat menjelaskan mengapa

sering timbul junctional tachycardia bilamana

suatu antikolinergik diberikan untuk sinus

bradikardia selama anestesia inhalasi;

junctional pacemakers lebih ditingkatkan

daripada SA.

3. Studi-studi menunjukkan bahwa

semua anestetik uap menekan

kontraktilitas jantung dengan

menurunkan masuknya ion Ca ke

dalam sel selama depolarisasi.

(mengenai kanal Ca tipe T dan L),

mengubah kinetik pelepasan dan

ambilan ke dalam retikulum

endoplasma, dan menurunkan

sensitivitas protein-protein kontraktil

terhadap kalsium.

4. Oleh karena indeks jantung (CI)

memiliki rentang lebar, relatif tidak

sensitif sebagai ukuran untuk menilai

fungsi ventrikular. Nilai CI yang

abmormal biasanya menunjukkan

gangguan ventrikular secara umum.

5. Bila tidak ada anemia berat atau

hipoksia, pengukuran tekanan oksigen

vena campur atau saturasi merupakan

cara terbaik untuk menilai adekuat

tidaknya curah jantung.

6. Oleh karena peran atrium dalam

pengisian ventrikular penting dalam

mempertahankan low mean

ventricular diastolic pressures, pasien-

pasien dengan penurunan

kekembangan ventrikular sangat

terpengaruh oleh gangguan pada sistol

atrial.

7. Curah jantung pada pasien dengan

gangguan yang jelas pada ventrikel

kanan atau kiri sangat sensitif terhadap

peninggian pascabeban.

8. Fraksi ejeksi ventrikular (EF) adalah

fraksi volume ventrikular diastolik

akhir yang dipompakan ke luar,

merupakan penilaian ukuran fungsi

sistolik yang paling umum dipakai

dalam klinik.

9. Fungsi diastolik ventrikel kiri dapat

dinilai secara klinis dengan

ekokardiografi Doppler, pemeriksaan

secara transtorasik atau transesofageal.

10. Oleh karena endokardium merupakan

bagian intramural yang paling tertekan

selama sistol, ini cenderung

Page 2: Dasar ilmu Anesthesi

2

merupakan bagian yang mudah rusak

oleh akibat iskemia pada waktu terjadi

penurunan tekanan perfusi koroner.

11. Pada gagal jantung ketergantungan

pada katekolamin meningkat.

Penghentian tiba-tiba simpatetik atau

penurunan kadar katekolamin dalam

sirkulasi, seperti terjadi sesudah

induksi anestesia, bisa menyebabkan

dekompensasi jantung akut.

Fisiologi sistem respirasi

1. Anestesia umum menurunkan

konsumsi O2 dan produksi CO2 kira

kira 15%. Tambahan penurunan sering

terjadi pada hipotermia. Penurunan

tertinggi konsumsi O2 terjadi di otak

dan jantung.

2. Pada akhir ekspirasi, tekanan

intrapleural normal rata-rata – 5 sm

H2O dan karena tekanan alveolar

adalah nol (tidak ada aliran), tekanan

transpulmoner adalah +5smH2O.

3. Volume paru pada akhir ekshalasi

normal disebut kapasitas residual

fungsional (FRC). Pada volume ini,

rekoil elastik masuk paru kira-kira

sama dengan rekoil elastik keluar dada

(termasuk tonus diafragma yang

istirahat).

4. Kapasitas penutupan normal lebih

rendah dari FRC, tetapi meningkat

sesuai dengan peningkatan usia.

Peningkatan ini mungkin yang

menyebabkan penurunan PaO2 terkait

dengan peningkatan umur.

5. Induksi anestesia secara konsisten

menurunkan FRC 15-40% (400ml

pada hampir semua pasien), di luar

yang terjadi akibat posisi telentang.

6. Pada volume ekspiratori paksa detik

pertama (FEV1) dan kapasitas vital

paksa (FVC) ada upaya yang terikat,

aliran ekspiratori tengah paksa

(FEF25-75%) adalah upaya yang

bebas dan mungkin lebih handal untuk

menilai obstruksi.

7. Faktor-faktor lokal lebih penting

daripada sistem autonom dalam

mempengaruhi tonus vaskular paru.

Hipoksia adalah rangsangan kuat

untuk vasokonstriksi pulmoner

(kebalikan efek sistemik).

8. Oleh karena ventilasi alveolar kira-

kira 4 liter/menit dan curah jantung 5

liter/menit, maka V/Q rasio

keseluruhan adalah 0.8

9. Pintasan menunjukkan proses di mana

desaturasi, vena campur dari jantung

kanan kembali ke jantung kiri tanpa

mengalami resaturasi O2 di paru. Efek

keseluruhan pintasan adalah

menurunkan (dilusi) kandungan O2:

jenis pintasan ini adalah pintasan

kanan ke kiri.

10. Anestesia umum biasanya

meningkatkan percampuran vena

sampai 5-10%, mungkin sebagai

akibat atelektasis dan kolaps jalan

nafas di area bergantung pada paru.

11. Peningkatan PaCO2(>75mmHg) pada

udara kamar akan menimbulkan

hipoksia (PaO2<60mmHg) tetapi tidak

bilamana menghirup oksigen

konsentrasi tinggi.

Page 3: Dasar ilmu Anesthesi

3

12. Ikatan O2 pada hemoglobin

merupakan faktor prinsip transfer O2

dari gas alveolus ke darah.

13. Makin besar pintasan, makin kecil

kemungkinan peningkatan FiO2

(fraksi O2 inspirasi) akan dapat

mencegah hipoksemia.

14. Pergeseran ke kanan kurva dissosiasi

oksigen, menurunkan afinitas O2,

menggeser tempat O2 dari

hemoglobin, dan membuat O2 lebih

banyak terkirim ke jaringan;

pergeseran ke kiri meningkatkan

afinitas O2, menurunkan

ketersediaannya di jaringan.

15. Bikarbonat merupakan bagian terbesar

fraksi CO2 dalam darah.

16. Kemoreseptor sentral terletak di

permukaan anterolateral medula dan

berespons utamanya terhadap

perubahan ion H dalam cairan

serebrospinal. Mekanisme ini efektif

dalam pengaturan PaCO2 sebab sawar

darah otak (BBB) permeabel terhadap

CO2 terlarut tetapi tidak terhadap

bikarbonat.

17. Dengan makin dalamnya anestesia,

grafik PaCO2/ventilasi semenit

menurun dan ambang apnea

meningkat.(?)

Fisiologi sistem saraf

1. Tekanan perfusi serebral (CPP) adalah

perbedaan antara tekanan arterial rata-

rata (MAP) dengan tekanan

intrakranial (ICP). (atau tekanan vena

sentral (CVP), mana yang lebih besar)

2. Kurva autoregulasi serebral bergeser

ke kanan pada pasien-pasien dengan

hipertensi arterial kronik.

3. Faktor ekstrinsik terbesar yang

mempengaruhi aliran darah serebral

(CBF) adalah tekanan gas darah

terutama PaCO2. CBF secara

langsung berbanding lurus dengan

PaCO2 antara 20-80mmHg. Aliran

darah berubah 1-2ml/100g/menit per

mmHg perubahan PaCO2.

4. CBF berubah 5 -7 % per 1 derajat

perubahan temperatur. Hipotermia

menurunkan laju metabolik serebral

dan CBF, sementara pireksia

mempunyai efek kebalikannya.

5. Perpindahan substansi menembus

BBB ditentukan oleh ukuran, muatan

listrik, kelarutan dalam lemak, dan

derajat ikatan dengan protein.

6. BBB bisa rusak oleh hipertensi,

tumor, trauma, strok, infeksi,

hiperkapnia berat, hipoksia, dan

kejang terus menerus.

7. Tengkorak kepala merupakan struktur

dengan volume total yang tetap, terdiri

dari otak (80%), darah (12%), cairan

serebrospinal (8%). Setiap

peningkatan satu komponen harus

dikompensasikan dengan penurunan

komponen yang lain agar mencegah

peningkatan tekanan intrakranial.

8. Dengan perkecualian ketamine, semua

obat anestetik intravena memiliki efek

ringan atau menurunkan laju

metabolik serebral dan CBF.

Page 4: Dasar ilmu Anesthesi

4

9. Pada autoregulasi yang normal dan

BBB yang utuh, vasopresor

meningkatkan CBF hanya apabila

MAP di bawah 50-60mmHg atau di

atas 150-160mmHg.

10. Otak sangat mudah terancam rusak

akibat cedera oleh iskemia oleh karena

konsumsi oksigen yang relatif tinggi

dan hampir semuanya bergantung

pada metabolisme glukose aerobik.

11. Hipotermia merupakan cara yang

paling efektif untuk proteksi otak

selama iskemia fokal atau global.

12. Barbiturat efektif untuk perlindungan

otak pada iskemia fokal pada manusia

dan binatang.

Fisiologi sistem renal

1. Aliran darah ke dua ginjal normal

adalah 20-25% curah jantung

2. Autoregulasi aliran darah ginjal

normal terjadi antara MAP 80-

180mmHg.

3. Sintesis vasodilator prostaglandin

(PGD2, PGE2, PGI2) penting sebagai

mekanisme proteksi selama periode

hipotensi sistemik dan iskemia ginjal.

4. Dopamin dan fenoldopam melebarkan

aferen arteriol dan eferen melalui

aktivasi reseptor D-1. Infusi

fenoldopam dan dosis kecil dopamin

paling tidak dapat melawan sebagian

vasokonstriksi renal karena

norepinefrin.

5. Penurunan aliran darah, laju filtrasi

glomerular, aliran uriner, dan ekskresi

sodium reversibel terjadi selama

analgesia regional maupun umum.

Efek ini paling tidak dapat diatasi

dengan mempertahankan volume

intravaskular yang adekuat dan

tekanan darah normal.

6. Respons endokrin terhadap

pembedahan dan anestesia mungkin

paling tidak menimbulkan retensi

cairan sementara pascabedah; terjadi

pada banyak pasien.

7. Metoksifluran dikaitkan dengan gagal

ginjal poliuria. Nefrotoksiknya

bergantung pada dosis dan sebagai

akibat pelepasan ion fluorida hasil

metabolismenya.

8. Kadar tinggi fluorida setelah anestesia

dengan enfluran bisa terjadi pada

pasien obesitas dan mereka yang

mendapat isoniazid

9. Compound A , hasil pemecahan

sevofluran yang terbentuk pada aliran

rendah, dapat menyebabkan kerusakan

ginjal pada binatang percobaan. Studi

klinis pada pasien tidak menunjukkan

cedera renal yang berarti.

10. Beberapa prosedur bedah secara

bermakna mengganggu fisiologi

ginjal. Pneumoperitoneum selama

prosedur laparoskopi menimbulkan

dampak seperti sindroma

kompartemen abdominal. Peningkatan

tekanan intra-abdominal dapat

menimbulkan oliguria, seperti juga

pada prosedur pintasan jantung paru

dan penjepitan aorta.

Page 5: Dasar ilmu Anesthesi

5

BAB II

Neurophysiologi dan Anestesia

Tekanan Perfusi Cerebral (CPP = Cerebral Perfution Pressure) adalah perbedaan antara Mean Arterial Pressure (MAP) dan Intra Cranial Pressure (ICP) atau Central Venous Pressure (CVP) atau mana yang lebih besar. Kurva Autoregulasi cerebral akan bergeser kekanan pada pasien dengan Hipertensi Arteri Kronik (Chronic arterial hypertension). Pengaruh luar yang sangat penting terhadap Cerebral Blood Flow (CBF) adalah Tekanan dari gas Resipasi terutama PaCO2. CBF sama dengan PaCO2 (20 – 80 mm Hg). Aliran darah akan berubah sekitar 1-2 ml/ 100g/ min dari setiap perubahan per mm Hg PaCO2. CBF berubah 5 - 7% pada setiap perubahan suhu 1º C. Hypothermia menurunkan Cerebral Metabolic Rate (CMR) dan CBF. Sedangkan Pyrexia akan menyebabkan sebaliknya. Perpindahan zat melalui Blood-Brain Barrier ditentukan oleh Ukurannya, Berat/Isi, kelarutan dalam lemak, dan derajat Protein Binding dalam darah. Blood Brain Barrier dapat berubah oleh Hipertensi berat, Tumor, Trauma, stroke, infeksi, Hypercapnia, hypoxia dan Kejang yang terus menerus. Rongga kranial mempunyai struktur yang rigid dengan total volume yang tetap, terdiri

dari otak (80%), darah (12%), dan cairan cerebrospinal (8%). Setiap peningkatan dari satu komponent harus diikuti dengan penurunan dari komponen yang lainnya untuk mencegah timbulnya peningkatan tekanan intrakranial. Kecuali ketamin, semua obat intra vena mempunyai sedikit efek atau penurunan terhadap CMR dan CBF. Pada autoregulasi yang normal dan Blood-brain Barrier yang baik, Vasopressor meningkatkan CBF hanya jika MAP dibawah 50 – 60 mmHg. Atau diatas 150 – 160 mmHg. Otak sangat rentan terhadap trauma iskemik karena konsumsi oksigen yang cukup tinggi dan ketergantungan juga tinggi pada metabolisme glukosa. Hypotermia merupakan metoda protektif yang sangat efektif terhadap otak yang mengalami iskemi lokal atau menyeluruh. Dari data penelitian pada binatang dan manusia memperlihatkan bahwa barbiturat efektif untuk proteksi otak yang mengalami iskemik lokal.

METABOLISME CEREBRAL

Secara normal, otak bertanggung jawab terhadap 20% dari total kebutuhan oksigen tubuh.

Sebagian besar penggunaan oksigen cerebral (60%) untuk menghasilkan ATP untuk aktivitas listrik dari sel neuron dan sisanya (40%) untuk mempertahankan integritas seluler.

Cerebral Metabolic Rate (CMR) dinyatakan dengan oxygen consumption (CMRO2) à 3 - 3,8 mL/100 g/min (50 mL/min) pada orang dewasa.

CMRO2 terbanyak pada substantia gracia dari cortex cerebral.

Akibat penggunaan oksigen yang relatif tinggi dan tidak adanya cadangan oksigen yang signifikan, terhentinya perfusi cerebral biasanya menyebabkan

Jika aliran darah tidak kembali dalam beberapa menit (3-8’ di bawah kondisi pada umumnya), ATP yang tersimpan akan dilepaskan dan terjadi cedera seluler yang irreversibel.

Hippocampus dan cerebellum sangat sensitif terhadap cedera yang menyebabkan hipoksia.

Penggunaan glukosa oleh otak 5mg/100g/menit, 90% dimetabolisme secara aerob.

Secara normal CMRO2 sebanding dengan penggunaan glukosa.

Walaupun otak juga mengambil dan memetabolisme laktat, fungsi cerebral secara normal tergantung pada cadangan glukosa yang berkesinambungan.

Page 6: Dasar ilmu Anesthesi

6

ketidaksadaran dalam 10”, di mana tekanan O2 turun secara cepat di bawah 30 mmHg

Hipoglikemia akut yang terus menerus sama dengan penghancuran yang mengakibatkan hipoksia.

Sebaliknya, hiperglikemia dapat memperburuk cedera otak yang hipoksia secara luas dengan mempercepat asidosis dan cedera seluler; pengaruhnya terhadap iskemia fokal cerebral masih belum jelas.

CBF berubah tergantung pada aktivitas metabolik.

Diukur dengan suatu isotop gamma-emitting yaitu Xenon (133Xe) melalui injeksi sistemik, detektor diletakkan di sekitar otak untuk mengukur kecepatan kerusakan radioaktif, yang secara langsung sebanding dengan CBF.

Teknik baru : PET (Positron Emitting Tomography) juga mengukur CMR (untuk glukosa dan oksigen).

Penelitian : konfirmasi bahwa CBF regional sebanding dengan aktivitas metabolik dan dapat berubah dari 10 sampai 300 mL/100 g/min.

Meskipun CBF total 50 mL/100 g/min, pada substansia grasia didapatkan 80 mL/100 g/min,

sedangkan pada substansia alba diperkirakan 20 mL/100 g/min.

CEREBRAL BLOOD FLOW  CBF total pada dewasa 750 mL/100

g/min (15-20% dari cardiac output) Laju aliran rata-rata di bawah 20-25

mL/100 g/min biasanya berhubungan dengan kerusakan cerebral (tampak pada gambaran EEG).

CBF 15 dan 20 mL/100 g/min menghasilkan gambaran flat (isoelectric), sedangkan nilai CBF < 10 mL/100 g/min biasanya berhubungan dengan kerusakan otak yang irreversibel.

REGULATION OF CEREBRAL BLOOD FLOW1.      Cerebral Perfusion Pressure

CPP adalah perbedaan antara MAP dan ICP (atau CVP, yang nilainya lebih besar). 

CPP dinyatakan dengan persamaan : CPP = MAP – ICP 

CPP normal 80-100 mmHg, CPP < 10 mmHg sangat tergantung pada MAP

Peningkatan sedang sampai berat ICP (>30 mmHg) dapat membahayakan CPP dan CBF, meskipun MAP normal. 

CPP < 50 mmHg menunjukkan perlambatan EEG,  CPP antara 25-40 mmHg menunjukkan gambaran flat, 

tekanan perfusi terus menerus < 25 mmHg menyebabkan kerusakan otak irreversibel.

2.      Autoregulasi (1) Seperti pada jantung dan ginjal, otak

juga mempunyai kemampuan menghadapi perubahan tekanan darah dengan melakukan perubahan kecil pada aliran darah.

Vaskularisasi cerebral secara cepat (10-60”) menyesuaikan diri terhadap perubahan pada CPP, tetapi perubahan yang tiba-tiba pada MAP dapat menyebabkan perubahan sementara pada CBF meskipun autoregulasi intak.

Penurunan CPP menyebabkan vasodilatasi, peningkatan CPP menyebabkan vasokonstriksi, normal CBF konstan pada MAP 60 dan 160 mmHg.

Tekanan < 150-160 mmHg dapat merusak blood brain barrier  dan menyebabkan edema dan perdarahan cerebral. 

Terapi antihipertensi jangka panjang dapat memulihkan autoregulasi cerebral mendekati batas normal

Respons intrinsik sel otot polos dalam arteriol cerebral mengubah MAP

Kebutuhan metabolik cerebral menentukan tonus arteriol, saat

Page 7: Dasar ilmu Anesthesi

7

kebutuhan jaringan melebihi aliran darah, pelepasan metabolit jaringan menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan aliran.

3.      Mekanisme extrinsika.      Tekanan Gas Respirasi

Faktor ekstrinsik yang paling penting mempengaruhi CBF adalah tekanan gas respirasi, terutama PaCO2. 

CBF berbanding langsung dengan PaCO2 antara tekanan 20 dan 80 mmHg  

Perubahan tekanan darah sekitar 1-2 mL/100 g/min per mmHg perubahan pada PaCO2 

Ion-ion tidak dapat melewati blood brain barrier secara baik, kecuali CO2, perubahan akut pada PaCO2  (bukan HCO3-) mempengaruhi CBF 

Hiperventilasi (PaCO2 < 20 mmHg) ditandai dengan bergesernya kurva disosiasi oksigen – hemoglobin ke kiri, dan perubahan CBF menyebabkan perubahan EEG. 

Perubahan PaO2 mengubah CBF ; Hyperoxia : penurunan minimal CBF (-10%),

Hypoxemia berat : PaO2< 50 mmHg meningkatkan CBF

a.      Temperatur Perubahan CBF 5-7% per 1oC,

hipotermia menurunkan CMR dan CBF, sedangkan pireksia mempunyai efek kebalikannya

Pada 20oC gambaran EEG tampak isoelektrik, > 42oC aktivitas oksigen mulai menurun dan terjadi kerusakan sel.

b.      Viskositas Faktor yang paling penting

menentukan adalah hematokrit. Penurunan hematokrit akan

menurunkan viskositas dan memperbaiki CBF, yang juga menurunkan kapasitas pengikatan oksigen.

Peningkatan hematokrit à polisitemia à mengurangi CBF 

Pengangkutan oksigen cerebral yang optimal dapat terjadi pada hematokrit 30-34%

c.       Pengaruh otonom Saraf intrakranial diinnervasi

oleh simpatis (vasokonstriksi), parasimpatis (vasodilatasi), serabut nonkolinergik nonadrenergik ; serotonin dan peptida intestinal vasoaktif yang menjadi neurotransmitter

Stimulasi simpatis yang intens dapat menyebabkan vasokonstriksi , yang membatasi CBF.  

Innervasi otonom memegang peranan penting dalam spasme pembuluh darah cerebral mengiringi cedera otak dan stroke.

BLOOD BRAIN BARRIER Pembuluh darah cerebral merupakan

struktur yang khas dalam hubungan antara sel-sel endothelial vaskuler yang berdekatan; jarak antara lubang-lubang yang berdekatan tersebut yang dimaksud blood brain barrier.

Barrier lipid menyebabkan pengangkutan zat-zat yang larut dalam lemak, tetapi mengurangi pergerakan ion-ion atau berat molekul yang lebih besar.

Perubahan yang cepat dalam konsentrasi elektrolit plasma (dan osmolalitas) menghasilkan gradien osmotik sementara antara plasma dan otak.

Hipertonisitas plasma akut menyebabkan pergerakan air ke luar otak, hipotonisitas menyebabkan air masuk ke dalam otak; efek ini berlangsung sebentar dan ditandai oleh pergeseran cairan yang cepat dalam otak. 

Page 8: Dasar ilmu Anesthesi

8

Mannitol merupakan suatu larutan osmotik aktif yang tidak dapat melewati blood brain barrier, menyebabkan penurunan terus menerus kadar air dalam otak dan sering digunakan untuk menurunkan volume otak.

Pada kondisi tertentu, pergerakan air melewati blood brain barrier tergantung pada tekanan hidrostatik daripada gradien osmotik.

CEREBROSPINAL FLUID CSF terdapat dalam ventrikel, sisterna,

dan ruang subarachnoid di sekitar otak dan spinal cord.

Fungsi utama CSF : melindungi CNS terhadap trauma.

Sebagian besar dibentuk oleh plexus choroideus (terutama di ventrikel lateral), sebagian kecil dibentuk secara langsung oleh sel ependimal yang terdapat di lapisan ventrikel dan sejumlah kecil dari bocornya cairan ke dalam rongga perivaskuler sekeliling pembuluh cerebral (kebocoran pada blood brain barrier). 

Dewasa : produksi total CSF ± 21 mL/h (500 mL/d), volume total 150 mL. 

Aliran CSF : ventrikel lateral ventrikel ketiga (melalui foramen

interventrikuler / Monro) ventrikel keempat (aquaductus Sylvius), sisterna cerebellomedullary (sisterna magna) melalui foramen Magendie (median) dan foramen Luschka (lateral)   ruang subarachnoid Sirkulasi sekitar otak dan spinal cord sebelum diabsorbsi 

Pembentukan CSF melibatkan sekresi aktif Na dalam plexuis choroideus dan menghasilkan cairan isotonis dengan plasma 

Carbonic anhydrase inhibitors (Acetazolamide), kortikosteroid, spironolakton, furosemide, isoflurane, dan vasokonstriktor menurunkan produksi CSF. 

Absorpsi CSF melibatkan translokasi cairan dari granulasi arachnoid menuju sinus venosus cerebral, terutama oleh perivaskuler dan protein interstitial yang kembali ke dalam darah.gambar

INTRACRANIAL PRESSURE Ruangan cranial merupakan struktur

yang rigid dengan volume total yang tetap, terdiri dari otak (80%), darah (12%), dan CSF (8%)

ICP : tekanan supratentorial CSF yang diukur dalam ventrikel lateral atau melalui cortex cerebral (normal : <= 10 mmHg)

Terdapat sedikit variasi tergantung pada tempat pengukuran, tetapi pada

posisi berbaring lateral, tekanan CSF lumbal secara normal mendekati tekanan supratentorial. 

Intracranial compliance ditentukan dengan mengukur perubahan dalam ICP sebagai respons terhadap perubahan dalam volume intracranial 

Mekanisme kompensasi utama :

1.      Perpindahan awal CSF dari kompartemen cranial menuju spinal

2.      Peningkatan absorpsi CSF3.      Penurunan produksi CSF4.      Penurunan total CBV (terutama di vena)

Peningkatan tekanan darah dapat menurunkan CBV karena autoregulasi menyebabkan vasokonstriksi yang bertujuan mempertahankan CBF, dan sebaliknya. 

CBV diperkirakan meningkat 0.05 mL/100 g otak per 1 mmHg peningkatan PaCO2 

Peningkatan ICP secara terus menerus dapat mengakibatkan herniasi katastrofik otak, dan herniasi dapat terjadi di :

1.      Cingulate gyrus di bawah falx cerebri2.      Uncinate gyrus melalui tentorium cerebelli3.      Cerebellar tonsils melalui foramen magnum 4.      Area yang lain di bawah defek pada skull

(transcalvarial)

PENGARUH OBAT ANESTESI TERHADAP FISIOLOGI CEREBRAL

Page 9: Dasar ilmu Anesthesi

9

Pada umumnya obat anestesi mempunyai efek yang baik terhadap CNS dengan mengurangi aktivitas elektrik, metabolisme karbohidrat menurun, sedangkan penyimpanan energi dalam bentuk ATP, ADP, dan phosphokreatin meningkat.Penentuan efek obat-obat tersebut cukup sulit seiring dengan pemberian obat lain, stimulasi pembedahan, intracranial compliance, tekanan darah, dan tekanan CO2, contoh : hipokapnia atau pemberian Thiopental bolus sebelumnya dapat meningkatkan CBF dan ICP dimana hal ini biasa terjadi pada penggunaan Ketamine dan obat volatil.

PENGARUH OBAT INHALASI1. Obat Anestesi Volatil

a.      Cerebral Metabolic Rate alothane, enflurane,

desflurane, sevoflurane, dan isoflurane menyebabkan penurunan CMR (tergantung dosis).

soflurane dan enflurane menyebabkan penurunan terbesar (50%), sedangkan halothane 25%.

enurunan CMR tidak sama di seluruh bagian otak, isoflurane menurunkan CMR terutama di neocortex, enflurane dapat meningkatkan CMR pada aktivitas kejang yang nyata.

b.      Cerebral Blood Flow & Volume erjadi vasodilatasi cerebral dan

gangguan autoregulasi tergantung pada dosis yang diberikan.

Halothane mempunyai pengaruh yang terbesar pada CBF, pada konsentrasi > 1% hampir meniadakan autoregulasi cerebral.

Pada keadaan yang equivalent antara MAC dan tekanan darah, halothane meningkatkan CBF sampai 200%, enflurane 40%, dan isofluran 20%; isoflurane meningkatkan aliran darah terutama di area subkortikal dan otak belakang.

Peningkatan CBV (10-12%) sebanding dengan peningkatan CBF, tetapi hubungan ini tidak bersifat linier.

Penambahan CBV dapat ditandai dengan meningkatnya ICP pada pasien dengan intracranial compliance yang menurun.

Hipokapnia mengurangi  CBV selama anestesi dengan isoflurane.

c.       Perubahan Cerebral Metabolic rate & Blood Flow

Luxury perfusion : gabungan antara penurunan kebutuhan metabolik neuronal dengan peningkatan CBF (metabolic supply), digunakan pada teknik hipotensi dengan isoflurane.

Circulatory steal phenomenon

Volatil meningkatkan aliran darah pada daerah normal otak, tetapi tidak pada area iskemik, di mana arteriole mengalami vasodilatasi maksimal.

Hasil akhir : redistribusi aliran darah dari area iskemik ke daerah yang normal.

d.      Perubahan Cairan Cerebrospinal Volatil mempengaruhi

pembentukan dan absorbsi CSF. Enflurane : meningkatkan

pembentukan CSF dan memperlambat absorbsi.

Halothane : menghalangi absorbsi CSF tetapi hanya minimal memperlambat pembentukan CSF.

Isoflurane : memfasilitasi absorbsi dan merupakan volatil yang berefek baik terhadap CSF.

e.      Tekanan intracranial

Page 10: Dasar ilmu Anesthesi

10

Pengaruh volatil terhadap ICP merupakan hasil perubahan yang cepat pada CBV, perubahan lambat pada gerakan CSF, dan tekanan arteriol CO2.

Isoflurane merupakan volatil pilihan pada pasien dengan penurunan intracranial compliance

f.        Aktivitas kejang Pada dosis 1.5 – 2 MAC,

enflurane menyebabkan gambaran kejang (aktivitas spike & wave) pada EEG.

Stimulasi auditory disebut memicu aktivitas tersebut.

Meskipun aktivitas spike juga terjadi sehubungan dengan pemberian isoflurane sebelum penghilangan elektrik, namun hal ini tidak mempercepat kejang

2. Nitrous Oxide

Pada umumnya berefek ringan dan mudah dikendalikan dengan obat lain atau perubahan tekanan CO2.

Kombinasi dengan obat intravena mempunyai efek yang minimal terhadap CBF, laju metabolisme, dan ICP.

Penambahan volatil meningkatkan CBF lebih besar, sedangkan pemberian tunggal menyebabkan vasodilatasi cerebral ringan dan cenderung meningkatkan ICP.

3. Obat Intravena

Obat Induksi Kecuali Ketamine, semua obat

intravena mempunyai efek yang kecil terhadap atau mengurangi CMR dan CBF.

Perubahan aliran darah pada umumnya sebanding dengan perubahan laju metabolisme.

Autoregulasi cerebral dan CO2 dipertahankan oleh semua obat secara bergantian.

Yaitu :

•  Barbiturat.•  Opioid.•  Etomidat.•  Propofol.•  Benzodiazepin.•  Ketamin.

Barbiturat Mempunyai 4

cara kerja utama :

1. Hipnosis

2. Depresi CMR

3. Mengurangi CBF dengan meningkatkan CVR

4. Antikonvulsan

Thiopental lebih sering digunakan sebagai obat induksi pada neuroanestesi.

Menurunkan CMR dan CBF sampai gambaran EEG isoelektrik (penurunan hampir 50%).

Merangsang vasokonstriksi cerebral yang terjadi di area normal, cenderung me-redistribusi aliran darah dari daerah normal ke daerah iskemik otak (Robinhood / reverse steal phenomenon).

Page 11: Dasar ilmu Anesthesi

11

Vaskularisasi cerebral pada area iskemik yang tersisa mengalami dilatasi maksimal dan hal ini tidak terpengaruh oleh barbiturat oleh karena terjadi paralisa vasomotor iskemik.

Mempermudah absorbsi CSF.

Resultan penurunan CSF volume, penurunan CBF dan CBV, sangat efektif pada ICP yang rendah.

Efek antikonvulsan menguntungkan pada pasien neurosurgical yang mempunyai resiko tinggi kejang.

Menghambat Na channels, mengurangi masuknya Ca intraselluler,

membuang atau menekan pembentukan radikal bebas dan memperlambat edema cerebri akibat cedera otak iskemik.

Pemberian profilaksis efektif dalam mencegah cedera otak selama iskemik fokal.

Opioids Mempunyai efek

yang minimal terhadap CBF, CMR, ICP,

Bila PaCO2  meningkat (akibat depresi respirasi sekunder) CBF, CMR, ICP meningkat.

Peningkatan ICP pada pasien dengan tumor intrakranial setelah pemberian sulfentanil

Penurunan tekanan darah

signifikan dapat mempengaruhi CPP tanpa tergantung jenis opiodnya.

Dosis kecil alfentanil (< 50 µg/kg) menyebabkan fokus kejang pada pasien epilepsi.

Morphin mempunyai kelarutan yang rendah dalam lemak, penetrasi yang lambat, dan efek sedasi yang lebih panjang.

Akumulasi yang potensial terjadi pada normoperidine dan depresi jantung membatasi penggunaan meperidin.

Etomidate Menurunkan

CMR, CBF, dan ICP seperti Thiopental.

Page 12: Dasar ilmu Anesthesi

12

Penurunan CMR lebih banyak di cortex daripada brainstem; menurunkan produksi CSF dan meningkatkan absorbsinya.

Insidens yang tinggi terjadinya mioklonik saat induksi.

Pada dosis kecil dapat memicu fokus kejang pada pasien dengan epilepsi.

Propofol Mengurangi CBF

dan CMR seperti barbiturat dan etomidat, bermanfaat untuk menurunkan ICP.

Berhubungan dengan dystonia dan gerakan menyerupai chorea,

Signifikan sebagai antikonvulsan.

Waktu paruh eliminasi yang pendek, bermanfaat sebagai obat yang digunakan dalam neuroanestesi

Hipotensi dan depresi jantung yang berlebihan pada pasien geriatri atau yang tidak stabil, dapat membahayakan CPP.

Benzodiazepines Menurunkan CBF

dan CMR tetapi tidak lebih rendah dari barbiturat, etomidate, dan propofol.

Bermanfaat sebagai antikonvulsan.

Midazolam merupakan pilihan karena waktu paruhnya yang pendek.

Induksi dengan Midazolam menurunkan CPP

pada pasien geriatri dan yang tidak stabil, dan memperpanjang kegawatan.

Ketamine Menyebabkan

dilatasi pada pembuluh darah cerebral, dan meningkatkan CBF (50-60%).

Menghambat absorbsi CSF tanpa mempengaruhi pembentukannya.

Peningkatan CBF, CBV, dan volume CSF dapat meningkatkan ICP pada pasien yang mengalami penurunan intracranial compliance.

4. Anestetik Tambahan

Lidocaine intravena menurunkan CMR, CBF, dan ICP; menurunkan CBF (dengan meningkatkan CVR)

Page 13: Dasar ilmu Anesthesi

13

tanpa menyebabkan efek hemodinamik lainnya yang signifikan.

Droperidol sangat kecil atau tidak menimbulkan efek pada metabolisme cerebral dan mengurangi aliran darah minimal.

Droperidol dan opioid digunakan sebagai teknik neuroleptik, droperidol dapat menimbulkan efek sedasi yang lebih lama.

Reverse opioid atau benzodiazepine dengan naloxone atau flumazenil dapat mengembalikan penurunan CBF dan CMR.

5. Vasapresor

Meningkatkan CBF bila MAP di bawah 50-60 mmHg atau di atas 150-160 mmHg, dengan autoregulasi normal dan blood brain barrier yang intak.

Bila tidak ada autoregulasi, vasopressor meningkatkan CBF dengan mempengaruhi CPP.

β-Adrenergik, β1-receptor, β-adrenergik blokers, α2-adrenergik agonis

Peningkatan tekanan darah oleh obat-obatan dapat merusak blood brain barrier.

6. Vasodilator

Menyebabkan vasodilatasi cerebral dan meningkatkan CBF bila tidak terjadi hipotensi.

Trimetaphan tidak menimbulkan efek pada CBF dan CBV, tetapi menyebabkan konstriksi pupil, sehingga mengganggu pemeriksaan neurologis.

7. Neuromuscular Blocking Agents

Hipertensi dan pelepasan histamin pada vasodilatasi cerebral meningkatkan ICP, sedangkan hipotensi sistemik (dari pelepasan histamin atau blokade ganglion) menurunkan CPP.

Suksinilkolin meningkatkan ICP, namun minimal bila dosis Thiopental yang diberikan adequat dan dilakukan hiperventilasi saat induksi.

Pancuronium pada dosis tinggi takikardi dan hipertensi.

Peningkatan ICP setelah pemberian obat pelemas otot merupakan respon hipertensif akibat anestesia ringan selama laringoskopi dan intubasi endotracheal.

Peningkatan akut ICP juga tampak bila terjadi hiperkapnia atau hipoksemia akibat apnea yang lama.

PATOFISIOLOGI ISKEMIA CEREBRAL Otak merupakan organ yang mudah

mengalami iskemik karena kebutuhan oksigen yang relatif tinggi dan sangat tergantung pada metabolisme aerobik glukosa.

Bila tekanan oksigen normal, aliran darah, dan suplai glukosa tidak dilanjutkan dalam 3-8 menit, penyimpanan ATP akan dilepaskan dan terjadi cedera neuronal yang irreversibel.

Selama iskemia,  penurunan K+ intraseluler  dan peningkatan Na+ intraseluler.

Peningkatan Ca++ intrasel yang terus menerus mengaktivasi lipase dan protease, yang dapat menyebabkan kerusakan struktur neuron.

Peningkatan FFA, siklooksigenase, dan lipoxygenase menyebabkan pembentukan prostaglandin dan leukotrien, yang merupakan mediator untuk terjadinya kerusakan sel.

STRATEGI MELINDUNGI OTAKIskemia

Iskemia pada otak : fokal (incomplete) dan global (complete).

Page 14: Dasar ilmu Anesthesi

14

Iskemia global : berhentinya sirkulasi secara menyeluruh seperti pada hipoksia global, penghentian perfusi akibat henti jantung, sedangkan hipoksia global akibat gagal napas berat, tenggelam, dan asfiksia.

Iskemia fokal : stroke embolik, hemoragik, dan atherosklerotic, seperti pada trauma tumpul, penetrasi, dan surgikal.

Usaha-usaha yang bertujuan untuk mencegah atau membatasi kerusakan jaringan neuron pada iskemia global dan fokal pada dasarnya sama.

Tujuan : mengoptimalisasikan CPP, menurunkan metabolisme (basal dan elektrik), dan menghambat mediator pada cedera seluler.

Hipotermia Menurunkan kebutuhan basal dan

elektrik di semua bagian otak. Hipotermia yang berlangsung sampai

1 jam saat terjadi  henti sirkulasi total dapat menyebabkan kerusakan saraf.

Hipotermia ringan  (33-35oC) mempunyai efek protektif.

Obat-obat Anestesi Barbiturat, etomidat, propofol, dan

isofluran dapat menyebabkan aktivitas elektrik yang rendah pada otak.

Barbiturat dapat menyebabkan inverse steal, mengurangi edema cerebri dan masuknya calsium, menghambat pembentukan radikal bebas, dan menghambat sodium channel, sehingga efektif sebagai pelindung otak pada iskemia fokal.

Tidak ada obat anestesi yang dapat melindungi otak secara konsisten terhadap iskemia global.

Obat-obat Tambahan Khusus Calcium channel bloker, nimodipine

dan nicardipin bermanfaat dalam mengurangi cedera neuronal akibat stroke iskemik maupun hemoragik, karena kemampuan vasodilatasi-nya sehingga dapat memperbaiki CBF, tetapi tidak klinis neurologisnya.

Methylprednisolon dapat mengurangi defisit neurologis setelah cedera spinal cord, jika diberikan dalam 8 jam.

Non glucocorticoid steroid, tirilazad : memperbaiki status neurologis setelah perdarahan subarachnoid.

Acadesine : adenosine modulating agent, dapat menurunkan insidens stroke setelah operasi arteri koroner.

Magnesium, dexmedetomidine, dextromethorphan, NBQX, dan vitamin E juga terbukti bermanfaat

Pengukuran Umum Mempertahankan CPP yang optimal

sangat penting, tekanan darah arterial diusahakan normal atau meningkat ringan; peningkatan tekanan vena dan ICP harus dihindari.

Kapasitas pembawa oksigen dipertahankan dengan hematokrit minimal 30-34% dan tekanan oksigen arteri normal.

Hiperglikemia memperburuk cedera neurologis baik iskemia fokal maupun global, harus dihindari bila >180mg/dL.

Normokarbia dipertahankan karena hipokarbia menyebabkan vasokonstriksi cerebral yang memperburuk iskemia, sedangkan hiperkarbia menyebabkan steal phenomena (dengan fokal iskemia) atau asidosis intraseluler yang lebih buruk.

PENGARUH ANESTESI PADA MONITORING ELEKTROFISIOLOGI

1.  Monitoring Elektrofisiologi digunakan untuk menilai integritas fungsional dari CNS.

Monitoring EEG bermanfaat untuk menyimpulkan perfusi cerebral selama carotid endarterectomy dan mengawasi hipotensi seperti halnya kedalaman anestesi.

Page 15: Dasar ilmu Anesthesi

15

Aktivasi EEG : frekuensi tinggi dan voltase rendah anestesi ringan dan stimulasi surgikal.

Depresi EEG : frekuensi rendah dan voltase tinggi anestesi dalam atau bahaya cerebral.

Obat anestesi menghasilkan pattern biphasic.     

a.  Obat Anestesi Inhalasi Halothane menghasilkan pattern

biphasic, isoflurane : gambaran isoelektrik pada dosis klinis yang tinggi (1-2 MAC), desflurane dan enflurane : gambaran supresi yang mendadak pada dosis tinggi (> 1.2 dan > 1.5 MAC).

Gambaran spike dapat dilihat pada enfluran.

b.  Obat Intravena Benzodiazepine, barbiturat, etomidat,

dan propofol menghasilkan gambaran biphasic; opioid menghasilkan gambaran monophasic; Ketamin menghasilkan gambaran ritmik dengan amplitudo tinggi.

2.  Alat monitor yang sering digunakan pada Neurosurgery adalah EEG dan Evoked Potential

Somatosensory evoked potentials (SSEPs) merupakan tes integritas columna spinal dorsalis  dan cortex sensoris, yang bermanfaat selama reseksi tumor spinal, instrumentasi pada spinal, carotid endarterectomy, dan pembedahan aorta. 

Perfusi adekuat pada spinal cord selama pembedahan aorta mungkin lebih baik disimpulkan dengan motor evoked potentials.

Brainstem auditorik  EP : integritas N VIII dan lintasan auditorik di atas pons.

Visual EP : monitor nervus optikus dan brainstem atas selama reseksi tumor pituitary yang besar.

Interpretasi evoked potentials lebih kompleks daripada EEG.

a.  Obat Anestesi Inhalasi

Volatil menghasilkan efek yang paling besar pada evoked potentials, menyebabkan penurunan amplitudo gelombang dan meningkatkan aksi potensial.

Untuk memperkecil perubahan akibat obat anestesi, direkomendasikan pembatasan konsentrasi isoflurane dan enflurane sampai 0.5 MAC dan halothane sampai 1 MAC.

b.  Obat Anestesi Intravena Mempunyai efek yang lebih rendah

dari volatil pada evoke potential, namun pada dosis tinggi juga menurunkan amplitudo dan meningkatkan aksi potensial.

Barbiturat melindungi evoked potentials karena menghasilkan gambaran isoelektrik.

Etomidate dan Ketamin meningkatkan SSEP.

Opioid meningkatkan SSEP dan menurunkan amplitudo gelombang, sedangkan meperidine meningkatkan amplitudo

Page 16: Dasar ilmu Anesthesi

16

Fisiologi Pernafasan dan Anestesi

FISIOLOGI PERNAPASAN : EFEK ANESTESIAFisiologi pernapasan sangat penting dalam praktek anestesi karena anestetik yang paling sering digunakan– inhalation agents – bergantung pada kerja paru-paru untuk diuptake dan dieliminasi. Lebih lanjut nanti, paralisis otot, posisi yang tidak biasa selama operasi dan teknik seperti anestesia dengan satu paru - paru serta

cardiopulmonary by pass juga mempengaruhi fisiologis pulmonal.

Respirasi Seluler Fungsi Utama Paru: Pertukaran gas

antara darah & udara inspirasi hasil langsung dari metabolisme aerob sel yg menghasilkan kebutuhan konstan uptake O2 & eliminasi CO2Metabolisme Aerob

C6H12O6 + 6O2 à 6CO2 + 6H2O + Energi

Energi yg dihasilkan disimpan dalam bentuk ATP dan digunakan u/ pompa ion, kontraksi otot, sintesa protein, sekresi sel

Dihasilkan 38 ATP

Metabolisme Anaerob Menghasilkan ATP yg lebih terbatas ATP diproduksi dari konversi glukosa

dari pyruvat ke asam laktat

Tiap molekul glukosa menghasilkan 2 ATP

Efek Anestesia Pada Metabolisme Sel GA à menurunkan produksi CO2 &

konsumsi O2 sampai 15% Reduksi terbesar pada konsumsi O2 di

otak dan jantung

Rongga Thorax & Otot2 Respirasi Terdiri atas 2 paru-paru yg dilapisi

pleura. Apex dada kecil, entry dari

trakea, esophagus dan pembuluh darah, dasar dibentuk diafragma.

Kontraksi diafragma à dasar thorax turun 1,5-7 cm, paru2 mengembang

Inspirasi à diapragma dan otot-otot intercostal eksternal

expirasi à pasif

Tracheobronchial• Fungsi membawa aliran gas dari dan ke alveoliPembagian dikotom dimulai dari trakea dan berakhir pada kantung alveolar, diperkirakan melibatkan 23 divisi atau generasi. Tiap kantung alveolar terdiri atas 17 alveoli. Kira2 300 juta alveoli luas permukaan membran u/ pertukaran gas pd org dewasa.Peredaran Darah Paru-paru & Limfatik

Paru2 terdiri dari 2 sirkulasi pulmonal & bronkial sirkulasi bronkial berasal dari jantung dan mempertahankan kebutuhan-kebutuhan metabolik trakeobronkial sampai bronkiplus pulmonal

Sirkulasi pulmonal menerima darah dari jantung kanan melalui arteri pulmonal terbagi menjadi cabang kiri & kanan melalui arteri pulmonal

Darah teroksigenasi melalui kapiler pulmonal dimana O2 diambil & CO2 dibuang

Inervasi Diafragma di inervasi saraf phrenic yg

berasal dari cabang saraf C3-C5

Page 17: Dasar ilmu Anesthesi

17

Nervus vagus mempersarafi sensoris pd trakeobrokial

Aktivitas vagal à bronkokontriksi & peringatan sekresi bronkial Aktivitas simpatetik à bronkodilatasi & menurunkan sekresi B2 reseptor

FUNCTIONAL RESPIRATORY ANATOMY

Rib Cage & Otot Pernapasan o Rib Cage terdiri dari paru-

paru, dan masing-masing dikelilingi pleura.

o Konstraksi diafragma – prinsip otot pernapasan – mengakibatkan rongga dada mengecil dan paru-paru membesar.

Pulmonary Circulation & Lymphatics

o Suplai paru didapatkan dari sirkulasi pulmonar dan brochial.

o Total aliran lymph pulmonar = 20mL/h

Tracheobronchial Tree

o Berfungsi untuk menyalurkan udara ke dan dari alveoli.

Innervation

o Saraf-saraf vagus menyediakan sensor innervation untuk tracheobronchial tree.

BASIC MECHANISM OF BREATHING Spontaneous Ventilation.

Tekanan didalam alveoli selalu lebih besar dibanding sekelilingnya (intrathoracic) kecuali alveoli tidak berfungsi.

Mechanical Ventilation.

Kebanyakan mechanical ventilation menerapkan positive airway pressure secara intermittent pada upper airway. Efek anesthesi pada pola pernapasan sangatlah kompleks dan berkaitan erat dengan perubahan posisi dan agen anesthesi yang digunakan.

Mekanisme Dasar Pernafasan• Perubahan periodik gas alveolar dgn gas segar dari jalan nafas atas mereoksigenasi darah dan membuang CO2.

Ventilasi Spontan Tekanan dlm alveoli selalu lebih besar

dr sekitarnya kecuali bila alveoli kolapas

Tekanan alveolar adalah pd akhir inspirasi & ekspirasi.

Sesuai dengan fisiologi pulmonal, tekanan pleural digunakan sbg alat pengukuran tekanan intrathoracic, dirumuskan sbg brkt:

            P transpulmonal = P alveolar - P intrapleural

Pada Akhir ekspirasi tekanan intrapleural kira 2 -5cm H2O

Dan karena tekanan aveolar 0, tekanan transpulmonal adalah + 5cm H2O

Aktivitas otot diagframa dan intercostal selama inspirasi memperluar rongga torak & menurunkan tekanan intraplueral dari -5cm H2O menjadi -8 cm H2O, hasilnya tekanan alveolar menurun (-3 dan -4cm H2O)

Dan gradien jalan nafas atas alveolar terbentuk, gas mengalir dari jalan nafas atas ke alveoli. Pada akhir inspirasi tekanan alveolar kembali ke 0. Tekanan transpulmonal yg baru mempertahankan pengembangan paru.

Selama ekspirasi relaksasi diagframa mengembalikan tekanan intapleural menjadi -5cm H2O, gas mengalir keluar dr alveoli volume paru diisi kembali

Ventilasi Mekanik Kebanyakan ventilasi mekanik

intermiten menerpkan tekanan jln nafas positif pd jln nafas atas

Selama inspirasi gas mengalir ke alveoli sampai tekanan alveolar mencapai jln nafas atas

Page 18: Dasar ilmu Anesthesi

18

Selama fase ekspirasi tekanan jln nafas positif diturunkan; gradien dibalikan gas mengalir keluar alveoli.

Efek Anastesi pada Pola Respirasi Efek anastesi pada pernafasan

berkaitan degan posisi & bahan anastesi

Bila pasien posisi terlentang dari posisi berdiri / duduk proporsi nafas dari rongga torak berkurang, lebih dominan pernafasan abdomen.

Berkaitan dgn bahan yang digunakan, anastesi ringan sering menyebabkan pola nafas ireguler paling sering menahan nafas.

Nafas menjadi reguler dgn level anastesi yg lebih dalam.

Induksi pd anastesi sering mengaktifkan otot ekspirator.

Pada anastesi yang lebih dalam aktifitas otot diturunkan.

MEKANISME VENTILASI• Elastic ResistanceThe elastic recoil dari paru-paru selain berkaitan dengan tingginya serabut elastin, juga kekuatan tekanan permukaan yang mempengaruhi interface dari udara-cairan di alveoli.• Volume Paru-paru Kemampuan maksimal untuk dapat memompa

• Nonelastic Resistance

Mencakup :1. Airway Resistance to Gas Flow2. Tissue Resistance

ELASTIC RESISTANCE• Surface Tension ForcesMemiliki kecenderungan mengurangi area interface dan mengempisnya alveolar.

Hukum Laplace dapat digunakan untuk mengukur kekuatan ini :

  

• ComplianceElastic recoil dapat pula diukur dengan compliance, yang didefinisikan sebagai perubahan dalam volume dibagi perubahan dalam tekanan distensi.

Lung Compliance dilukiskan dengan :

Normal CL = 150-200mL/cmH2O

 Normal chest wall compliance = 200mL/cmH2O

Total Compliance = 100 mL/cmH2O

VOLUME PARU

Functional Residual Capacity :Volume paru-paru diakhir ekshalasi, dipengaruhi oleh :

1. 1. Body habitus 

2. 2. Jenis kelamin 

3. 3. Postur 

4. 4. Penyakit paru-paru

5. 5. Fungsi Diafragma

Closing Capacity : Volume paru-paru pada saat saluran udara mulai menutup di bagian bawah. Closing capacity biasanya dibawah FRC, namun semakin meningkat seiring pertambahan umur.

Vital Capacity : Jumlah maksimum dari volume udara yang dapat dikeluarkan diikuti dengan inspirasi maksimal.

Page 19: Dasar ilmu Anesthesi

19

NONELASTIC RESISTANCE Airway Resistance to Gas Flow :

Aliran udara di paru-paru yang merupakan gabungan dari aliran laminar dan turbulent. Akibat utama hambatan ini termasuk bronchospasm, sekresi, dan pembekakan mukosa.

a. Volume-Related Airway Collapseb. Flow-Related Airway Collapsec. Forced Vital Capacity

Tissue Resistance : Terutama pada hambatan jaringan viscoelastic kepada aliran gas/udara

Efek Anesthesi pada Mekanisme Pulmonar Pada Volume Paru-paru &

Compliance

Induksi anesthesi menambah penurunan FRC hingga 15% atau sekitar 400mL pada pasien, melebihi dengan yang terjadi ketika posisi terlentang sekalipun.

Pada Hambatan Saluran Udara

Penurunan FRC yang berkaitan dengan general anesthesia meningkatkan hambatan pada saluran udara.

Pada Kerja Pernapasan

Meningkatnya kerja pernapasan dibawah pengaruh anesthesi merupakan sebab kedua terjadinya penurunan pada compliance paru-paru dan dinding dada apalagi terhadap hambatan saluran udara.

VENTILATION / PERFUSION RELATIONSHIPVENTILASI. 

Diukur dari jumlah gas yang dikeluarkan dalam 1 menit (V).Bagian dari VT yang tidak ikut dalam pertukaran gas di alveolar dikenal sebagai dead space. Dead space itu sendiri sebenarnya terdiri dari gas-gas didalam saluran udara nonrespiratory dan alveoli yang tidak terperfusi.1. Distribusi Ventilasi Dengan mengabaikan posisi tubuh, ventilasi alveolar didistribusikan secara tidak merata dalam paru-paru. Bagian kanan menerima lebih banyak (53%) daripada kiri (47%); dan bagian bawah terventilasi lebih baik daripada bagian atas karena gravitasi.2. Waktu Konstan (τ)Bernapas cepat dan pendek membalikkan distribusi normal ventilasi, dengan mengutamakan bagian atas dibandingkan bagian bawah paru-paru.

PERFUSI PULMONAR. Hampir 5L/min darah dialirkan melalui paru-paru, hanya sekitar 70-100 mL satu kali sekali terjadi pertukaran gas dalam pulmonary capillaries. Dan di membran capillary-alveolar , jumlah yang sedikit ini membentuk 50-100m2 darah hampir setebal satu sel merah. 1. Perbandingan Ventilasi/Perfusi Normal Rasio V / Q adalah 0.82. Distribusi Perfusi Pulmonar Dengan mengabaikan posisi tubuh, bagian bawah dari paru-paru menerima aliran darah lebih banyak daripada bagian atas. Pola ini sebagai hasil dari gradien gravitasi untuk 1 cm H2O/cm tinggi paru-paru.

Page 20: Dasar ilmu Anesthesi

20

3. ShuntsProses desaturated, dimana darah pembuluh vena yang sudah tercampur (venous admixture) dari jantung kanan kembali ke jantung kiri tanpa tercampur dengan O2 di paru-paru.

Efek Anesthesi pada Pertukaran GasPada umumnya general anesthetics meningkatkan venous admixture hingga 5-10%, kemungkinan dikarenakan atelectasis dan tidak berfungsinya saluran udara pada area dependen paru-paru.

TEKANAN GAS PADA ALVEOLAR, ARTERIAL DAN VENAOKSIGEN• Tekanan Oksigen Alveolar Campuran gas yang dihirup dilembabkan di upper airway pada suhu 37oC, sehingga tekanan oksigen berkurang dengan adanya uap air. • Tekanan Oksigen Pulmonary End-CapillaryKapasitas difusi paru-paru mencerminkan tidak saja kapasitas dan permeabilitas dari membran alveolar-capillary tetapi juga alirah darah paru-paru.• Tekanan Oksigen ArterialSemakin baik kerja shunt, semakin kecil kemungkinan meningkatnya FIO2 yang akan mencegah hypoxemia.• Tekanan Oksigen Mix Vena ( PvO2 ) Normal PvO2 = 40 mm Hg menggambarkan keseluruhan keseimbangan antara konsumsi dan distribusi O2.

TEKANAN GAS PADA ALVEOLAR,

ARTERIAL DAN VENAKARBON DIOKSIDA

  KARBTekanan Karbon Dioksida Mix Vena (PvCO2)

Normal PvCO2 = 46 mm Hg merupakan hasil akhir pencampuran darah dari berbagai aktifitas metabolik jaringan.

Tekanan Karbon Dioksida Alveolar (PACO2)

PACO2 secara umum mencerminkan keseimbangan total produksi CO2 dengan ventilasi alveolar (eliminasi).

Tekanan Karbon Dioksida Pulmonary End-Capillary

Kecepatan difusi CO2 melalui membran alveolar-capillary 20 kali lebih cepat dibanding O2.

Tekanan Karbon Dioksida Arterial (PaCO2) 

           Normal PaCO2 adalah 38 ± 4 mm Hg (5.1 ± 0.5kPa); Prakteknya = 40 mm Hg.

Tekanan Karbon Dioksida End–Tidal (PETCO2)

Secara klinis, PETCO2 digunakan sebagai perkiraan nilai PaCO2.

TRANSPORTASI GAS-GAS PERNAPASAN DALAM DARAHOKSIGEN

Larutan Oksigen : Jumlah O2 yang tidak larut dalam darah sangat sedikit jumlahnya dibandingkan yang sudah terikat dengan hemoglobin.

Hemoglobin (Hb) : Hb merupakan molekul kompleks yang terdiri dari 4 heme & 4 subunit protein.

Secara teoritis, Hb dapat membawa 1.39 mL O2.

Kurva Disosiasi Hemoglobin 

           Ketika saturasi 90%, penurunan persediaan O2 meratakan kurva hingga saturasi penuh tercapai.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kurva Disosiasi Hemoglobin

Pergerakan ke kanan pada kurva disosiasi oksigen-hemoglobin menurunkan daya campur O2, memisahkan O2 dari Hb, dan menyediakan lebih banyak O2 untuk jaringan, dan sebaliknya dengan pergerakan ke kiri dari kurva.

Pergerakan ke kanan pada kurva disosiasi oksigen-hemoglobin menurunkan daya campur O2, memisahkan O2 dari Hb, dan menyediakan lebih banyak O2 untuk jaringan, dan sebaliknya dengan pergerakan ke kiri dari kurva.

Page 21: Dasar ilmu Anesthesi

21

Abnormal Ligands & Bentuk Abnormal Hemoglobin

Abnormalitas Hb dapat pula timbul dari komposisi subunit protein yang bervariasi. Setiap varian memiliki karakteristik saturasi O2 nya masing-masing

Kandungan Oksigen

Total kandungan O2 dalam darah adalah seluruh yang terdapat pada cairan ditambah dengan yang dibawa oleh Hemoglobin.

Transport Oksigen

Transport O2 bergantung pada fungsi pernapasan dan sirkulasi nya. Kekurangan hantaran O2 kemungkinan disebabkan oleh rendahnya PaO2, konsentrasi Hb, dan cardiac output yang kurang.

Persediaan Oksigen

Ketika cairan O2 normal terganggu apnea, persediaan O2 yang ada akan digunakan untuk metabolisme sel; apabila persediaan O2 kurang, maka akan terjadi hypoxia yang diikuti kematian sel.

TRANSPORTASI GAS-GAS PERNAPASAN DALAM DARAHKARBON DIOKSIDA

Larutan Karbon Dioksida

CO2 lebih larut dalam darah dibandingkan dengan O2, dengan koefisien solubilitas sebesar 0.031 mmol/L/Hg pada suhu 37oC.

Bicarbonate

Merupakan bagian terbesar dari CO2 dalam darah.

Senyawa Carbamino

Karbon dioksida dapat bereaksi terhadap sekumpulan amino dalam protein. Meburut physiological pH, hanya sebagian kecil CO2 yang terbawa dalam bentuk ini, sebagai carbamino-hemoglobin.

Efek dari Hemoglobin sebagai Buffer Transport Karbon Dioksida

Pemisahan O2 dari Hb meningkatkan kandungan CO2 yang dibawa vena sebagai Bicarbonate.

Kurva Disosiasi Karbon Dioksida

Kurva Disosiasi CO2 dapat dibuat dengan memasangkan kandungan total CO2 terhadap PCO2.

Persediaan Karbon Dioksida

Persediaan CO2 dalam tubuh sangat besar (hingga 120L untuk dewasa) dan terutama dalam bentuk larutan CO2 dan bicarbonate. Karena kapasitasnya yang besar, peningkatan tekanan CO2 arterial lebih lambat dibandingkan penurunannya diikuti perubahan ventilasi acute.

KONTROL PERNAPASAN Pusat Sentral Pernapasan

Dua kelompok medullary neurons : kelompok pernapasan dorsal, aktif selama inspirasi; dan kelompok pernapasan ventral, aktif pada saat ekspirasi.

Sensor Pusat

Pusat Chemoreceptor, diyakini berada pada permukaan anterolateral medulla, yang merespon perubahan dalam konsentrasi ion hidrogen dan cairan cerebrospinal (CSF). Mekanisme ini efektif dalam mengatur PaCO2.

Sensor Peripheral

Kebalikan dari sensor pusat, chemoreceptor peripheral lebih merespon terhadap PaO2 .

Reseptor Paru-paru

Page 22: Dasar ilmu Anesthesi

22

Impuls dari reseptor ini dibawa oleh saraf vagus. Stretch receptor biasanya memiliki peranan yang kecil pada manusia.

Reseptor lainnya

Meliputi berbagai macam otot dan reseptor gabungan pada otot paru-paru dan dinding dada.

Efek Anesthesi terhadap Kontrol Pernapasan

Efek terpenting dalam general anesthetics terhadap pernapasan adalah terjadinya hypoventilation. Dengan peningkatan kedalaman anesthesia, kemiringan PaCO2 /min dari kurva ventilasi semakin menurun dan fase apneic semakin meningkat.

FUNGSI NONRESPIRATORI DARI PARU-PARU

Fungsi Filtrasi & Reservois

Poisisi unik dari kapiler - kapiler paru-paru dalam fungsi sirkulasi memudahkannya untuk menyaring debris pada pembuluh darah.

Metabolisme

Paru-paru adalah organ yang secara metabolis sangat aktif

Endothelium paru-paru memetabolisme berbagai senyawa vasoactive, termasuk norepinephrine, serotonin, bradykinin, dan berbagai prostaglandins dan leukotrien.

Fisiologi Kardiovaskuler dan Anestesia

KONSEP DASAR

Dibandingkan dengan potensial aksi pada serabut saraf, puncak dari potensial aksi pada jantung diikuti oleh adanya fase plateau yang berlangsung sekitar 0,2-0,3 detik. Jika pada potensial aksi otot skelet dan saraf ditandai oleh terbukanya fast sodium channel pada membran sel, pada otot jantung ditandai tidak hanya oleh terbukanya fast sodium channel (spike) saja tapi juga oleh pembukaan slow sodium channel (plateau)

Halotan, enflurane, dan isoflurane menekan otomatisitas dari simpul sinoatrial (SA).Obat-obat tersebut juga memberikan pengaruh secara langsung pada simpul atrioventrikuler (AV),

memperpanjang masa konduksi dan masa refrakter. Kombinasi efek semacam inidapat menjelaskan sering terjadinya takikardia pada pemberian antikolinergik untuk pasiendengan sinus bradikardia selama pemberian anestesi inhalasi dimana perjalanan impuls dari pacemakers lebih banyak dipercepat pada simpul SA.

Hasil studi menduga bahwa seluruh anestesi volatile dapat menekan kontraktilitas jantung dengan menekan masuknya ion Ca 2+ ke dalam sel selama depolarisasi (lebih seringterjadi pada tipe T dan L pada kalsium channel), mempengaruhi pergerakan dari ion Ca 2+, kemudian membawanya ke Retikulum Sarkoplasma, juga dapat menekan sensitivitas dari protein kontraktil ke kalsium.

Karena Cardiac Indeks (CI) yang normal mempunyai range yang luas, maka hal ini secara relatif tidak sensitif untuk mengetahui ukuran ventrikel. Meski demikian kelainan pada CI sebagian besar menggambarkan kelainan pada ventrikel.

Tekanan oksigen pada vena (saturasi) adalah cara pengukuran yang tepat untuk mengetahui

Page 23: Dasar ilmu Anesthesi

23

besarnya curah jantung, terutama pada hipoksia dan anemia berat.

Karena peranan dari atrium pada pengisian ventrikel penting untuk menjaga tekanan diastolik ventrikel yang lambat, maka pada pasien yang mengalami penurunan komplians dari ventrikel akan cenderung mengalami waktu sistole atrium yang tidak normal.

Curah jantung pada pasien dengan gagal ventrikel kanan atau kiri sensitif terhadap peningkatan curah jantung secara akut pada afterload.

Fraksi ejeksi ventrikel, fraksi dari volume akhir diastolik ventrikel banyak digunakan diklinik untuk mengetahui fungsi sistolik.

Fungsi diastolik pada ventrikel kiri dapat diketahui secara klinis dengan menggunakan Elekrokardiografi Doppler secara transthoracic atau transesophageal.

Karena endocardium mempunyai peranan paling penting untuk menjaga tekanan didalam otot selama sistole, maka sangatlah penting untuk menjaga agar tidak terjadi iskemia pada saat terjadi penurunan tekanan perfusi pada arteri koroner.

Gagal jantung dapat meningkat tergantung sirkulasi katekolamin. Hal ini terlihat pada pengaruh saraf simpatis atau penurunan sirkulasi katekolamin yang terjadi setelah induksianestesi dimana hal tersebut dapat menyebabkan decompensasi kordis akut.

PENDAHULUAN Seorang ahli anestesi harus memahami fisiologi kardiovaskuler untuk mengetahui secara spesifik dasar sains dari pemberian anestesi dan prakteknya pada penatalaksanaan modern anestesi. Disiini akan membahas ulang faal jantung dan sistem sirkulasi sistemik serta patofisiologi dari gagal jantung. Sistem sirkulasi terdiri dari jantung, pembuluh darah dan darah itu sendiri. Fungsinya untuk menyediakan oksigen dan nutrisi jaringan dan mengeluarkannya sebagai produk metabolisme. Jantung mengalirkan darah melalui dua sistem pembuluh darah yang tersusun secara seri. Pada sirkulasi pulmonal, aliran darah melalui membran kapiler alveoler, membawa oksigen dan mengeluarkan karbondioksida. Pada sistem sirkulasi sistemik, oksigen darah akan dipompa ke jaringan metabolik dan keluar sebagai produk metabolisme untuk dibawa keluar melalui paru, ginjal dan

hati.

JANTUNG  Meskipun secara anatomis jantung hanya sebuah organ, tapi secara fungsional jantung dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian kiri dan bagian kanan yang mana setiap bagian terdiri dari sebuah atrium dan sebuah ventrikel. Atrium merupakan saluran dan pompa pertama keventrikel, sementara ventrikel sendiri berfungsi sebagai pompa utama. Ventrikel kanan menerima darah dari vena sistemik (yang miskin oksigen) dan memompanya ke sirkulasi pulmonal, sementara ventrikel kiri menerima darah dari vena pulmonal (yang kaya oksigen) dan memompanya ke sirkulasi sistemik. Katup-katup jantung mengalirkan darah secara langsung ke tiap-tiap bagian jantung. Kerja dari pompa jantung adalah kesatuan kerja yang berlangsung secara elektrik dan mekanik.

Jantung terdiri dari otot-otot stria yang secara khusus dilindungi oleh jaringan konektif dan tulang. Otot-otot jantung dibagi menjadi atrium, ventrikel dan pacemaker serta sel-sel konduktif. Rangsangan secara alamiah dari otot-otot jantung itu sendiri serta struktur yang unik membuat jantung berfungsi sebagai pompa yang sangat efisien. Resistensi yang lambat terjadi berturut-turut (antar disk) antara sel-sel otot jantung itu sendiri yang kemudian menjadi cepat dan menghantarkan aktifitas listrik pada setiap bagian jantung. Aktifitas listrik jantung

Page 24: Dasar ilmu Anesthesi

24

mulai dihantarkan dari sebuah atrium ke atrium yang lain dan dari satu ventrikel keventrikel yang lain melalui sebuah jalur konduksi spesifik. Tidak adanya hubungan langsung antara atrium dan ventrikel kecuali melalui simpul Atrioventrikuler (AV) memperlambat konduksi dan membuat kontraksi atrium lebih dahulu terjadi daripada ventrikel.Potensial Aksi JantungMembran sel otot-otot jantung secara normal permeabel untuk K + tapi relatif impermeabel untuk Na+. Sebuah membran mengandung Na+- K+ Adenosine Triphosphate (ATP) yang mengandung K+

dengan konsentrasi di dalam sel lebih tinggi dan melakukan pertukaran dengan Na+ yang lebih banyak berada di luar sel. Konsentrasi sodium dalam sel dijaga agar tetap rendah, sedang konsentrasi potassium di dalam sel dijaga agar tetap tinggi dibandingkan pada ruang ekstraseluler. Impermeabilitas relatif dari membran untuk kalsium juga dijaga agar tetap tinggi diruang ekstrasel untuk ke sitoplasma. Perpindahan K+ keluar sel dan penurunan konsentrasinya dalam sel membuat keadaan dalam sel menjadi kurang positif. Sebuah potensial aksi listrik terjadi melintasi membran, dimana keadaan dalam sel menjadi lebih negatif d iband ing keadaan d i l ua r se l , ka rena ke luarnya an ion K +. Sehingga, potensial istirahat membran menggambarkan keseimbangan antara dua ruang tersebut dimana perpindahan K+ menurunkan

konsentrasi K + dalam sel dan aktifitas listrik yang negatif dari ruang intraseluler menjadi positif hanya dengan ion potassium. 

Potensial istirahat dari membran sel-sel ventrikel secara normal adalah -80 sampai dengan -90 mV. Dibanding dengan jaringan yang lain (otot skelet dan saraf) ketika potensial membran sel menjadi negatif dan menghasilkan nilai yang rendah, sebuah potensial aksi yang lebih karakteristik (depolarisasi) terjadi. (Tabel 1 dan Gambar 1) Potensial aksi yang segera terjadi pada membran sel otot-otot jantung menjadi + 20 mV.Dibandingkan dengan potensial aksi pada serabut saraf, puncak dari potensial aksi pada jantung diikuti oleh adanya fase plateau yang berlangsung sekitar 0,2-0,3 detik. Jika pada potensial aksi otot skelet dan saraf ditandai oleh terbukanya fast sodium channel pada membran sel, pada otot jantung ditandai tidak hanya oleh terbukanya fast sodium channel (spike) saja tapi juga oleh pembukaan slow sodium channel (plateau).Depolarisasi juga terjadi melalui penurunan yang cepat pada permeabilitas potassium. Dengan mengembalikan permeabilitas potassium pada keadaan normal dan menutup sodiumserta kalsium channel maka hal tersebut dapat membuat keadaan potensial membran sel menjadi normal kembali.

Tabel 1. Potensial Aksi Jantung

 

Page 25: Dasar ilmu Anesthesi

25

Gambar 1. Aksi potensial jantung. A: Karakteristik aksi potensial dari bagian yang berbeda pada jantung, B: Sel-sel pacemaker pada simpul SA dalam fase yang sama pada atrium dan ventrikel dan tampak adanya penonjolan pada depolarisasi diastolik spontan. Lihat tabel 1. Untuk penjelasan tentang fase-fase pada potensial aksi. (Modified and reproduced, with permission, from Ganong WF: Review of Medical Physiology, 20th ed.McGraw-Hill, 2001.)

Setelah depolarisasi, sel-sel secara tipikal menjadi refrakter sehingga normal kembali lewat perangsangan depolarisasi sampai fase 4. Masa refrakter yang efektif adalah waktu minimum diantara 2 impuls depolarisasi yang terjadi pada konduksi cepat otot-otot jantung, periode ini secara umum tidak berhubungan dengan lamanya aksi potensial. Sebaliknya, masare frakter yang efektif pada konduksi lambat sel otot jantung dapat menyebabkan berakhirnyadurasi

dari potensial aksi.Tabel 2 berisi tipe-tipe dari ion channel pada membran otot jantung. Beberapa diantaranya diaktivasi dari tegangan listrik membran sel yang berubah-ubah, sementara yang lainnya karena ligand. Voltase-gate dari Na Channel mempunyai pintu luar (m) yang membuka pada -60 sampai dengan -70 mV dan pintu dalam yang menutup pada -30 mV. Tipe T (transient) voltase- gate kalsium channel berada pada fase 0 depolarisasi. Selama fase plateau (fase2), masuknya kalsium terjadi melalui tipe L, voltase-gate kalsium channel. Tiga tipe utama dari K+ channel bertanggung jawab terhadap repolarisasi. Hasilnya adalah pertama keluarnya potassium, kedua bertanggung jawab untuk reaktivasi pendek (IKr) dan ketiga memproduksi reaktivasi aktin secara lambat sehingga menyebabkan potensial membran sel menjadi normal kembali.

Tabel  2. Ion Channel Jantung

ATP = Adenosine Triphosphate

Inisiasi Dan Konduksi Dari Impuls JantungImpuls jantung secara normal berasal dari simpul atrioventrikuler, sekelompok sel-sel pacemaker yang berada pada sulkus terminalis, di sebelah posterior dari saluran yang menghubungkan antara atrium kanan dan vena cava superior. Sel-sel ini mirip dengan lapisan luar membran yang rendah sodium (dan mungkin juga kalsium). Masuknya sodium secaralambat membuat keadaan menjadi lebih negatif, membran potensial istirahat (-50 s/d -60 mV) mempunyai tiga

Page 26: Dasar ilmu Anesthesi

26

konsekuensi penting ; inaktivasi konstan dari sodium channel dengan cepat, pada aksi potensial dengan nilai ambang -40 mV secara primer dapat melintasi kalsium channeldengan lambat dan terjadi depolarisasi spontan yang teratur. Selama siklus ini, pengeluaransodium dari membran sel secara progressif membuat keadaan menjadi negatif, ketika nilaiambang potensial telah dapat dicapai, kalsium channel akan terbuka, permeabilitas potassium menurun dan mulailah aksi potensial. Untuk mengembalikan permeabilitas potassium ke nilai normal pada simpul SA adalah membuat keadaan menjadi seperti pada membran potensial istirahat.Rangsangan menyeluruh pada simpul SA secara normal berlangsung dengan cepat melintasi atrium dan menuju ke simpul AV. Serabut otot-otot atrium secara khusus berhubungan dengan cepat ke atrium kiri dan simpul AV. Simpul AV, berlokasi pada dinding septum, dari atrium kanan sebelah anterior menuju ke sinus koronaria yang terbuka dan berpindah ke septum dari katup trikuspid, yang terdiri dari 3 area yang berhubungan; regio atas (AN), regio tengah (N) dan regio bawah (NH). Meskipun regio atas tidak mendapat aktifitas intrinsik secara spontan (otomatisitas) tapi regio lain mendapatkan nya. Normalnya, nilai terendah dari depolarisasi spontan pada area simpul AV rata-rata 40-60 x/menit setelah kerja dari simpul SA untuk mengontrol denyut

jantung. Banyak faktor yang dapat menurunkan depolarisasi dari simpul SA atau meningkatkan otomatisitas dari area AV setelah area SA yang berfungsi sebagai pacemaker untuk jantung.Impuls-impuls yang berasal dari simpul SA pada keadaan normal berlanjut ke simpul AV setelah sekitar 0,04 detik kemudian berlanjut setelah 0,51 detik. Perlambatan ini menghasilkan konduksi yang lambat pada serabut-serabut kecil dari otot jantung pada simpul AV dimana hal ini bergantung pada terbukanya slow kalsium channel pada potensial aksi.Sebaliknya, konduksi dari impuls diantara sel-sel pada atrium dan ventrikel secara primer akan mengaktifkan atau menginaktifkan fast sodium channel. Serabut-serabut bawah dari simpul AV bergabung membentuk berkas HIS. Kelompok khusus dari serabut-serabut ini melintasi sekat antar ventrikel sebelum terbagi menjadi cabang kiri dan kanan membentuk kesatuan jaringan kerja yang disebut serabut Purkinje yang akan mendepolarisasi kedua ventrikel. Sebaliknya pada jaringan simpul AV, serabut HIS-Purkinje memiliki kecepatan konduksi yang cepat dari jantung, menghasilkan depolarisasi simultan yang berdekatan dari endokardium pada kedua ventrikel (secara normal sekitar 0,03 detik). Perjalanan impuls dari endokardium ke epikardium melalui otot-otot ventrikel berlangsung 0,03 detik. Walaupun demikian, impuls yang berasal dari simpul SA, normalnya kurang dari

0,2 detik untuk mendepolarisasi jantung.Halothane, enflurane, dan isoflurane menekan otomatisitas dari simpul sinoatrial (SA). Obat-obat tersebut juga memberikan pengaruh secara langsung pada simpul atrioventrikuler (AV), memperpanjang masa konduksi dan masa refrakter. Kombinasi efek semacam ini dapat menjelaskan sering terjadinya takikardia pada pemberian antikolinergik untuk pasien dengan sinus bradikardia selama pemberian anestesi inhalasi dimana perjalanan impuls dari pacemakers lebih banyak dipercepat padasimpul SA.Efek elektrofisiologik komponen obat-obat anestesi volatile dari otot-otot ventrikel bekerjasama secara otonom dengan kompleks. Keduanya baik antiaritmia maupun antiaritmogenik dapat digambarkan. Bentuknya dapat mengarah pada penekanan secara langsung dari masuknya ion Ca2+, setelah itu terjadi penekanan potensiasi dari katekolamin. Efek aritmogenik dapat mengaktifkan reseptor α dan β-adrenergik. Obat-obatinduksi intravena memiliki efek elektrofisiologik yang terbatas dalam penggunaan dosisnya diklinik. Opiat, khususnya fentanyl dan sufentanil, dapat menekan konduksi jantung, meningkatkan konduksi pada simpul AV dan masa refrakter dengan memperpanjang lamanya aksi potensial dari serabut purkinje. Anestesi lokal mempunyai pengaruh elektrofisiologik yang penting pada

Page 27: Dasar ilmu Anesthesi

27

jantung terutama pada konsentrasi darah dan secara umum berhubungan dengan toksisitas sistemik. Pada kasus lidocaine, efek elektrofisiologik pada konsentrasi rendah dalam darah dapat berfungsi terapeutik. Pada konsentrasi tinggi, lidocaine dapat juga menekan simpul SA. Obat anestesi lokal yang memiliki potensiasi terbesar - bupivacaine dan potensiasi yang terkecil–etidocaine dan rapivacain memiliki efek yang terbesar pada jantung, khususnya pada serabut purkinje dan otot-otot jantung. Bupivacaine yang terikat dalam darah dapat menginaktifkan sodium channel dengan cepat dan disosiasinya akan menurun. Hal ini dapat memicu terjadinya sinus bradikardia dan henti jantung pada simpul sinus seperti halnya pada aritmia ventrikel yang berat. Penghambat kalsium channel adalah komponen organik yang dapat memblok masuknya kalsium melalui tipe L tapi tidak melalui tipe T channel. Penghambat dihydropyridine seperti nifedipine secara sederhana dapat menutup channel, sementara obat-obat yang lain seperti verapamil dan derivat yang lain, diltiazem secara khusus terikat pada channel dalam menginaktifkan fase depolarisasi (penggunaannya tergantung blokade).

Mekanisme Kontraksi Kontraksi dari sel-sel otot jantung adalah hasil interaksi dari dua overlapping protein kontraktil yang kaku, aktin dan miosin. Protein-protein ini terikat pada

posisinya masing-masing dimana setiap sel berperan pada saat kontraksi maupun relaksasi. Sel-sel memendek terjadi ketika dua protein berinteraksi secara penuh dan menutupi satu sama lain. (Gambar 2) Interaksi ini secara normal dicegah oleh dua regulasi protein, troponin dan tropomiosin; troponin terdiri dari 3 subunit, tropinin I, troponin C dan troponin T. Troponin mempengaruhikerja aktin pada interval yang teratur, sedangkan tropomiosin mempengaruhi pusat dari struktur aktin. Peningkatan konsentrasi kalsium dalam sel (dari 10-7 menjadi 10-5 mol/L), meningkatkankontraksi ion kalsium yang terikat pada troponin C. Hasil perubahan yang sesuai dalam regulasi protein ini mengeluarkan bagian aktif dari aktin yang menyertai interaksi dari jembatan miosin (terjadi overlapping). Bagian aktif dari fungsi miosin sebagai magnesium yang bergantung pada ATP-ase dimana aktifitasnya meningkat melalui peningkatan konsentrasi kalsium dalam sel. Waktu terjadinya berlangsung secara berturut-turut dan terjadi pelepasan pada jembatan miosin melalui bagian aktif pada aktin. Adenosin Triphosphate (ATP) digunakan selama waktu tersebut. Relaksasi terjadi jika kalsium secara aktif dipompa kembalike dalam Retikulum Sarkoplasma melalui Ca2+ - Mg2+ ATPase, hasilnya akan menurunkan konsentrasi kalsium dalam sel bersamaan dengan kompleks Troponin-

Tropomiosin untuk mencegah interaksi antara aktin dan miosin. 

 

Gambar 2. Rangkaian eksitasi-kontraksi dan interaksi antara aktin dan myosin. A: depolarisasi dari membran sel bersamaan

Page 28: Dasar ilmu Anesthesi

28

dengan masuknya kalsium ke dalam sel dan pelepasan kalsium dari penyimpanannya dalam Retikulum Sarkoplasma. B: Struktur Kompleks Aktin-Miosin. C: Kalsium terikat troponin bersamaan dengan interaksi antara aktin dan myosin (Modified and reproduced, from Katz AM,Smith VE : Horp Pract 1969, and from Braunwald E: The Myocardium Failure and Infarction, HPPublishing, 1974)

Rangkaian Eksitasi-Kontraksi Sejumlah kalsium dapat memicu kontraksi dimana kalsium masuk ke dalam sel melalui slow channel selama fase 2. Sejumlah kecil kalsium yang memasuki slow channel memicu pelepasan kalsium dalam jumlah yang besar dari tempat penyimpanannya dalam sel (Calcium dependent - calcium release) dalam sisterna Retikulum Sarkoplasma. Aksi potensial dari depolarisasi sel-sel otot dari T system memperluas tubulus dari membran sel yang melintang pada sel dalam perkiraan yang sempit. Untuk serat-serat otot, melalui reseptor dihydropyridine (voltage-gated channel). Permulaan potensial aksi ini akan meningkatkan Ca2+pada keadaan dimana sejumlah besar kalsium masuk melalui reseptor Tyanodine, sebuah kalsium channel yang tidak bergantung voltage, dalam retikulum sarkoplasma. Kekuatan kontraksi ini secara langsung bergantung pada besarnya masukan awal dari kalsium. Selama relaksasi, ketika slow

channel menutup, sebuah membran yang terikat ATP mengaktifkan masuknya kembali kalsium ke dalam Retikulum Sarkoplasma. Kalsium juga dikeluarkan dari ruang ekstraseluler melalui pertukaran kalsium intrasel keekstra sel yang mengandung banyak sodium melalui enzim ATPase pada membran sel. Jadi, relaksasi jantung juga bergantung pada ATP. Kuantitas dari kalsium intrasel, transport dan hal-hal yang mempengaruhi perpindahan ion kalsium, tekanan maksimum yang dihasilkan, jumlah yang dapat menghasilkan kontraksi dan jumlah yang dapat menghasilkan relaksasi penting untuk diperhatikan. Stimulasi simpatis meningkatkan sejumlah kontraksi melalui peningkatan konsentrasi kalsium pada peningkatan konsentrasi di reseptor β-1 adrenergik dalam siklusadenosine Monophosphate (cAMP) dalam sel melalui kerja dari perangsangan G-protein . Peningkatan cAMP dapat segera membuka kalsium channel. Terlebih lagi, agonis adrenergik meningkatkan relaksasi melalui peningkatan kalsium yang dibawa melalui Retikulum sarkoplasma. Penghambat phosphatesterase, seperti teofilin, amrinone, amilrinone, memproduksi efek yang serupa dengan jalan mencegah menurunnya cAMP dalamsel. Digitalis meningkatkan konsentrasi kalsium dalam sel dengan jalan menghambat ikatan membran dengan Na+- K+ ATPase; hasilnya adalah peningkatan kecil Na+

intrasel bersama dengan masuknya Ca2+ melalui mekanisme pertukaran Na+- Ca2+. Glukagon meningkatkan kontraktilitas melalui peningkatan level cAMP dengan jalan mengaktivasi reseptor spesifik noradrenergik. Sebaliknya, pelepasan dari Acetylcholine diikuti oleh stimulasi vagal yang menekan kontraktilitas melalui peningkatan siklus guanosine Monophosphate (cGMP) dan menghambat adenylcyclase ; efek ini dimediasi oleh penghambat G-protein. Asidofil memblok slow calsium channel dan hal ini juga akan menurunkan kontraktilitas jantung dengan mengubah kinetik dari kalsium transeluler.Hasil studi menduga bahwa seluruh anestesi volatile dapat menekan kontrak tilitas jantung dengan menekan masuknya ion Ca2+ ke dalam sel selama depolarisasi (lebih sering terjadi pada tipe T dan L pada kalsium channel), mempengaruhi pergerakan dari ion Ca2+, kemudian membawanya ke Retikulum Sarkoplasma, juga dapat menekan sensitivitas dari protein kontraktil ke kalsium. Halothane dan enflurane menekan kontraktilitas lebih besar dari pada isoflurane, sevoflurane dan desflurane. Induksi anestesi menekan potensiasi jantung dalam keadaan hipokalsemia; menghambat β-1 adrenergik dan menghambat Ca channel. Dosis nitrous oksida juga bergantung pada penurunan kontraktilitas karena adanya penurunan Ca2+ intrasel pada

Page 29: Dasar ilmu Anesthesi

29

saat kontraksi. Mekanisme kontraksi yang diperoleh dari anestesi intravena secara langsung belum dapat dibuktikan dengan baik. Cara kerjanya hampir mirip. Seluruh obat-obat induksi intravena yang utama, seperti Ketamin secara langsung memberikan efek pada kontraktilitas. Obat-obatanestesi lokal juga menurunkan kontraktilitas jantung melalui masuknya ion kalsium dan pelepasan dosis biasa. Bupivacaine, tetracaine dan ropivacaine menyebabkan penekanan yang besar terhadap lidocaine dan chloroprocaine.Innervasi Jantung Serabut saraf parasimpatis mempersarafi atrium dan jaringan konduksi. Acetylcholine bekerja pada reseptor spesifik pada jantung yaitu Reseptor Muskarinik (M2) untuk memproduksi efek kronotropik negatif, dromotropik dan inotropik. Sebaliknya, serat saraf simpatis berasal dari chorda spinalis Thoracic (T1-T4) dan berjalan ke jantung melalui gangliacervicalis (stellata) kemudian berjalan kembali sebagai saraf-saraf jantung. Pelepasan norepinefrin menyebabkan efek kronotropik positif, dromotropik dan inotropik secara primer melalui pengaktifan dari reseptor β1-adrenergik. Reseptor β1-adrenergik berada pada jumlahyang stabil dan sebagian besar ditemukan pada atrium, aktivasinya meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas. Reseptor β1-adrenergik mempunyai efek kronotropik positif.Sistem persarafan otonom memiliki sisi yang jelas karena simpatis kanan dan

nervus vagus kanan secara primer mempengaruhi simpul SA sementara simpatis kiri dan nervus vagus mempengaruhi simpul AV. Refleks vagal sering terjadi karena onset dan resolusi yang sangat cepat, sementara simpatis mempengaruhi secara umum karena onset lebih cepat dan disipasi secara berangsur-angsur. Sinus aritmia adalah variasi siklik pada denyut jantung yang berhubungan dengan pernafasan (meningkat selama inspirasi dan menurun selama ekspirasi) berhubungan dengan perubahan secara siklik pada vagal.Siklus JantungSiklus jantung didefenisikan sebagai hasil kesatuan kerja elektrik dan mekanik.(Gambar 3). Sistole mengacu kepada kontraksi, sedang diastole mengacu kepada relaksasi.Pengisian terbesar pada masa diastolik terjadi secara pasif sebelum kontraksi atrium. Kontraksi atrium secara normal hanya berperan 20-30 % pada pengisian ventrikel.Tiga gelombang secara umum diidentifikasi sebagai gambaran pada tekanan atrium (Gambar 3). Gelombang a mengikuti systole atrium, gelombang c mengikuti kontraksi ventrikel dan dapat dikatakan menyebabkan penonjolan katup AV ke dalam atrium. Gelombang v mengacu pada tekanan yang dibuat oleh aliran balik vena sebelum katup AV membuka kembali. Penurunan x adalah penurunan pada tekanan diantara gelombang c dan v dan dapat dikatakan mengisi atrium melalui kontraksi ventrikel.

Inkompetensi dari katup AV pada bagian lain dari jantung mengakhiri penurunan x pada sisi tersebut, menghasilkan penonjolan gelombang CV. Penurunan y mengikuti gelombang v dan tampak menurun pada tekanan atrium sebagai pembukaan katup AV. Simpul AV, pada akhir tekanan aorta berbentuk insisura dan menggambarkan aliran balik segera ke dalam ventrikel kiri sebelum katup aorta menutup.

Page 30: Dasar ilmu Anesthesi

30

Gambar 3. Siklus Normal Jantung. Catatan bahwa terjadi korespondensi antara kerja elektrik dan mekanik. (Modified and reproduced, with permission, From Ganong WF ; Revie of Medical Phsiology,McGraw-Hill, 2001).

 Hal-Hal yang Menentukan Keadaan Ventrikel Diskusi tentang fungsi ventrikel biasanya mengacu kepada ventrikel kiri, beberapa konsep digunakan juga untuk ventrikel kanan. Meskipun ventrikel kiri dan kanan fungsinya seringkali dibicarakan secara terpisah, namun keduanya tidak saling terpisah satu sama lain.Bagai manapun, faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi sistolik dan diastolik dapat dibedakan.Fungsi sistolik meliputi ejeksi ventrikel, sementara fungsi diastolik berhubungan dengan pengisian ventrikel. Fungsi sistolik ventrikel berhubungan erat dengan curah jantung yang dapat didefenisikan sebagai jumlah darah yang dipompakan oleh jantung per menit. Disamping fungsi kedua ventrikel secara berurutan, keluaran ventrikel secara normal juga seimbang.Curah jantung dapat digambarkan sebagai berikut :

 Dimana SV adalah stroke volume atau isi sekuncup (volume yang dipompakan oleh

jantung pada saat kontraksi) dan HR adalah denyut jantung. Untuk mengkompensasi variasi ini menurut ukuran tubuh kita, curah jantung digambarkan dengan total permukaan tubuh :

Dimana CI adalah Cardiac Indeks dan BSA adalah total dari permukaan tubuh. BSA biasanya digunakan berdasarkan BB dan TB. (Gambar 4) Normal CI adalah 2,5-4,2 liter/menit/m2. Karena Cardiac Indeks (CI) yang normal mempunyai range yang luas, maka hal ini secara relatif tidak sensitif untuk mengetahui ukuran ventrikel. Meski demikian kelainan pada CI sebagian besar menggambarkan kelainan pada ventrikel

Gambar 4.Nomogram untuk mengukur area permukaan tubuh pada dewasa (A) dan anak (B) (From the formula of Du Bois and Du Bois: Arch Intern Med 1916;17:863. Copyright 1916, AmericanMedical Association. Reprinted with permission.) Ukuran yang akurat dapat digunakan jika respon dari curah jantung untuk latihan dapat dievaluasi. Dalam kondisi seperti ini, jika terjadi gagal jantung, kita meningkatkan dan menjaga saturasi oksigen. Penurunan dari saturasi oksigen divena-vena memberikan respon dengan meningkatnya kebutuhan dimana hal ini biasanya menggambarkan perfusi jaringan yang tidak adekuat. Jadi pada keadaan dimana terjadi hipoksia atau anemia, tekanan oksigen vena-vena (saturasi oksigen) adalah pengukuran yang tepat untuk menggambarkan keadaan curah jantung yang adekuat.

Denyut Jantung Curah jantung secara umum berhubungan secara langsung dengan denyut jantung (gambar 5). Denyut jantung adalah fungsi intrinsik dari sinyal AV (depolarisasi spontan),dimodifikasi dari faktor otonom, humoral dan lokal. Nilai normal intrinsik dari simpul SA pada orang dewasa muda adalah 90-100

Page 31: Dasar ilmu Anesthesi

31

kali/menit, tapi menurun seiring dengan pertambahan usia mengikuti rumus :

Gambar 5. Hubungan antara denyut jantung dan Cardiac Indeks.

(Reproduced, with permission, from Wetsel RC: Critical Care: State of the Art 1981. Society of Critical Care Medicine, 1981) Terjadinya aktifitas vagal memperlambat denyut jantung dengan jalan merangsang reseptor kolinergik Mc, sementara aktifitas simpatis meningkatkan denyut jantung utamanya melalui aktivasi reseptor β-1 adrenergik dan reseptor β-2 adrenergik. (lihat diatas).

Isi SekuncupIsi sekuncup secara normal ditentukan oleh tiga faktor utama yaitu preload, afterload dan kontraktilitas. Analisa ini analog dengan hasil observasi laboratorium pada preparat otot skelet. Preload adalah panjang otot terutama

pada saat kontraksi, sedangkan afterload adalah tekanan yang berlawanan dengan otot yang seharusnya berkontraksi. Kontraktilitas adalah suatu keadaan intrinsik pada otot yang berhubungan dengan kemampuan untuk berkontraksi tapi tidak bergantung pada keduanya baik preload maupun afterload. Sejak diketahui bahwa jantung terdiri dari tiga dimensi dengan banyak ruang untuk pompa, keduanya baik bentuk geometrik ventrikel dan disfungsi ventrikel juga dapat mempengaruhi isi sekuncup (Tabel 3).

Tabel 3. Faktor-faktor utama yang mempengaruhi isi sekuncup jantung

PreloadPreload adalah volume akhir diastolik, dimana secara umum bergantung pada pengisian ventrikel. Hubungan antara curah jantung dan volume akhir diastolik ventrikel kiridikenal dengan Hukum Starling pada Jantung (gambar 19-6). Sebagai catatan bahwa denyut jantung adalah konstan, maka curah jantung secara langsung langsung proporsinya berhubungan dengan preload, dibawah volume akhir diastolik dimana

jangkauannya terlaluluas. Sementara itu, curah jantung tidak mengalami perubahan-atau mungkin malah mengalami penurunan. Pemanjangan yang berlebihan dari ventrikel yang lain menyebabkan dilatasi berlebihan dan inkompetensi dari katup-katup AV.

Gambar 6. Hukum Starling Pada Jantung

Hal-Hal yang Berhubungan Dengan Pengisian Ventrikel Pengisian ventrikel dapat dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor (Tabel 4) dimana faktor yang paling penting adalah aliran balik vena. Karena sebagian besar faktor-faktor lain yang mempengaruhi aliran balik vena besarnya konstan, maka tekanan vena adalah faktor yang paling utama. Peningkatan aktifitas metabolik

Page 32: Dasar ilmu Anesthesi

32

mempengaruhi tekanan vena, jadi aliran balik vena meningkatkan sebagian volume dari kapasitansi vena yang menurun.Perubahan dari volume darah dan aliran balik vena penting karena dalam operasi maupun setelah operasi terjadi perubahan dalam pengisian ventrikel dan curah jantung. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan pengisian ventrikel dan curah jantung secara normal dapat menjamin gradient pada vena-vena kecil untuk memberikan aliran darah balik ke jantung yang mempengaruhi pengisian jantung. Beberapa faktor yang mengalami perubahan termasuk didalamnya adalah tekanan intrathorakal, postur (perubahan posisi selama operasi) dan tekanan pericardial (pada penyakit-penyakit perikardial).

Tabel  4. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi Preload ventrikel

Hal-hal yang paling penting terutama yang berperan pada preload ventrikel kananadalah aliran balik vena. Pada keadaan dimana aliran berkurang pada paru adalahdisfungsi ventrikel kanan, aliran balik vena juga adalah faktor utama yang berperan pada preload ventrikel.Secara normal, volume akhir diastolik yang dihasilkan dari keduaventrikel hampir sama.Baik denyut jantung maupun irama jantung dapat mempengaruhi preload ventrikel. Peningkatan denyut jantung berhubungan dengan jumlah terbesar penurunan pada diastole atausistole. Pengisian ventrikel disini secara progresif mengalami penurunan pada peningkatan denyut jantung (lebih dari 120 kali/menit pada orang dewasa). Menurunnya pengisian ventrikel (atrial fibrillasi), tidak efektifnya kontraksi atrium (atrial flutter), lamanya kontraksi jantung (aritmia lambat atau irama konduksi) dapat juga menurunkan pengisian ventrikel sebanyak 20-30 %. Karena peranan atrium pada pengisian ventrikel adalah penting untuk menjaga tekanan diastolik ventrikel tetap rendah, pasien dengan komplians ventrikel yang menurun lebih banyak dipengaruhi oleh kehilangan waktu sistole yang normal.

Fungsi Diastolik dan Komplians Ventrikel Volume akhir diastolik ventrikel sulit

didefenisikan secara klinis. Beberapa alat dua dimensi Transesophageal Echocardiography (TEE), Radionucleotide imaging dan contrast ventriculography hanya dapat mengukur taksiran dari volume. Left Ventriculer End-diastolic Pressure (LVEDP) atau tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dapat digunakan untuk pengukuran volume dan tekanan ventrikel (komplians ventrikel) yang konstan. Sayangnya, komplians ventrikel secara normal tidak berbentuk garis lurus (nonlinear) (gambar 7). Walaupun demikian, karena peningkatan fungsi diastolik menurunkan komplians ventrikel, LVEDP yang sama menggambarkan penurunan preload. Beberapa faktor telah diketahui mempengaruhi fungsi diastolik ventrikel dan komplians. Sehingga, pengukuran LVEDP (seperti pada tekanan kapiler pulmonal) mengembalikan sebagian besar jumlah dari preload ventrikel. Tekanan vena sentral juga dapat digunakan sebagai indeks dari preload ventrikel kanan sebagai mana halnya preload ventrikel kiri pada sebagian besar individu yang normal.

Page 33: Dasar ilmu Anesthesi

33

Gambar 7. Komplians Ventrikel normal dan abnormal

...................Faktor-faktor yang mempengaruhi komplians ventrikel dapat dibagi berdasarkan hubungannya dengan relaksasi (komplians awal diastolik) dan kekakuan pasif dari ventrikel (komplians lambat diastolik). Hipertropi, iskemia dan penurunan komplians awal yang tidak sinkron, hipertrofi dan fibrosis menurunkan komplians lambat.Faktor-faktor ekstrinsik (seperti penyakit-penyakit perikardial, pemanjangan yang berlebihan dari ventrikel kontralateral, meningkatkan jalan nafas atau tekanan pleura, tumor dan kompressi bedah) dapat meurunkan komplians ventrikel. Karena secara normal dinding ventrikel kanan lebih tipis, maka komplians dari ventrikel kanan lebih besar dari ventrikel

kiri.

Afterload Afterload untuk jantung yang intak pada keadaan biasa diseimbangkan oleh tekanan pada dinding ventrikel selama sistole. Tekanan pada dinding ventrikel dapat didefenisikan sebagai tekanan dari ventrikel yang didapat melalui penurunan kavitas. Jika ventrikeldigambarkan menurut hukum laplace :

Dimana P adalah tekanan dalam ventrikel, R adalah jari-jari ventrikel dan H adalah tebal dinding ventrikel. Meskipun normalnya ventrikel biasanya berbentuk ellips, hubungan ini masih sering digunakan. Peningkatan jari-jari ventrikel, peningkatan tekanan pada dinding ventrikel dapat meningkatkan tekanan ventrikel. Jadi, penebalan dinding ventrikel menurunkan tekanan pada dinding ventrikel.Tekanan sistolik dalam ventrikel bergantung pada sejumlah kontraksi ventrikel; viskoelastisitas dari aorta, cabang-cabang proksimal dan darah (viskositas dan densitas) serta Systemic Vascular Resistance (SVR). Faktor arteriole adalah penentu utama pada SVR. Karena viskoelastisitas aorta secara umum adalah konstan pada beberapa pasien, afterload dari ventrikel biasanya diketahui secara klinis dengan SVR, yang dihitung dengan persamaan

sebagai berikut:

 Dimana MAP adalah tekanan arteri rata-rata dalam milimeter merkuri, CVP adalah tekanan vena sentral dalam milimeter merkuri dan CO adalah curah jantung dalam liter per menit. Normal SVR adalah 900 – 1500 dynes.detik.cm-5. Tekanan darah systole dapat digunakan sebagai taksiran dari overload ventrikel kiri pada keadaan perubahan secara kronik dalam ukuran, bentuk atau penebalan dinding ventrikel atau perubahan secara akut padaresistensi vaskuler sistemik. Beberapa ahli klinik menggunakan CI. CO dihitung dalam Indeks Resistensi Vaskuler Sistemik (SVRI), jadi SVRI = SVR x BSA.

Afterload ventrikel kanan sebagian besar bergantung pada resistensi pada pulmonumdigambarkan dengan persamaan:

Page 34: Dasar ilmu Anesthesi

34

Dimana PAP adalah tekanan rata-rata arteri pulmonal dan LAP adalah tekanan atriumkiri. Dalam prakteknya, PCWP biasanya digunakan untuk memperkirakan LAP. Normal PVR adalah 50-150 dyne.sec.cm-5.Curah jantung berhubungan dengan afterload (gambar 7). Ventrikel kanan lebih sensitif mengalami perubahan pada keadaan afterload dibanding ventrikel kiri karena bentuk dindingnya lebih tipis.Curah jantung pada pasien dengan gagal ventrikel kanan atau kiri sensitif terhadap peningkatan curah jantung secara akut pada afterload. (Gambar 8) Hal tersebutsecara khusus terlihat dari penurunan tekanan pada myocardium (sering terjadi pada pemberian anestesi).

 

Gambar 8. Hubungan antara curah jantung dan afterload. A: Efek dari peningkatan afterload pada Cardiac Index. B: Sebagai catatan bahwa disfungsi miocard dapat menyebabkan

peningkatan yang lebih sensitif pada afterload.

Kontraktilitas Kontraktilitas jantung (efek inotropik) adalah aktifitas intrinsik myocardium pada keadaan-keadaan dimana terjadi perubahan pada preload atau afterload). Kontraktilitas berhubungan dengan pemendekan dari sejumlah otot-otot jantung dan hal tersebut bergantung pada konsentrasi kalsium dalam sel selama sistole. Peningkatan dari denyut jantung dapat meningkatkan kontraktilitas pada beberapa kondisi, karena adanya peningkatan dari kalsium intrasel. Kontraktilitas dapat berubah dengan adanya faktor humoral, neural dan farmakologik. Aktifitas saraf-saraf simpatis secara normal memiliki efek yang sangat penting pada kontraktilitas. Serat saraf simpatis mempersarafi otot-otot atrium dalam ventrikel seperti simpai jaringan. Sebagai tambahan pada keadaan kronotropik positif, pengeluaran norepinefrin meningkatkan kontraktilitas melalui aktivasi reseptor β-1. Reseptor-reseptor adrenergik bukan hanya didapatkan pada myocardium tapi terdapat juga sejumlah kecil pengaruh inotropik positif atau pengaruh efek kronotropik. Obat-obat simpatomimetik dan sekresi epinefrin serta glandula adrenal cara kerjanya serupa yaitu untuk meningkatkan kontraktilitas melalui aktivasireseptor β-1. Kontraktilitas jantung dapat ditekan pada

keadaan anoksia, asidosis berkurangnya katekolamin dari tempat penyimpanan dari reseptor di jantung dan hilangnya fungsi dari massa otot yang menyebabkan terjadinya iskemia atau infark. Obat-obat anestesi dan obat-obat antibiotik kebanyakan berefek inotropik negatif (misalnya, dapat meningkatkan kontraktilitas).

Abnormalitas Dinding JantungAbnormalitas regional dari dinding jantung dapat menyebabkan kegagalan jantung(lihat analogi preparat jantung yang normal dan otot skelet). Abnormalitas ini terjadi oleh karena adanya iskemia, jaringan parut, hipertrofi, atau perubahan konduksi). Jika kavum ventrikel tidak mengalami pengerutan secara simetris atau tidak terisi secara penuh, ventrikelyang kosong kemudian mengalami kerusakan. Hipokinesia (menurunnya kontraksi), akinesia (gagal berkontraksi) dan dyskinesis (penonjolan paradoks) selama keadaan sistole mencerminkan peningkatan derajat dari kontraksi yang abnormal. Meskipun kontraktilitas dapat normal pada beberapa area, area abnormal lain dari ventrikel dapat mengalami kerusakan pada keadaan kosong dan menurunkan volume sekuncup. Beratnya kerusakan ini bergantung pada ukuran dan jumlah area yang berkontraksi secara abnormal.

Disfungsi Katup Disfungsi katup pada jantung yang terdiri

Page 35: Dasar ilmu Anesthesi

35

dari empat katup dan dapat disebabkan olehstenosis, regurgitasi (inkompetensi), atau keduanya. Stenosis dari katup AV (trikuspid ataumitral) menurunkan volume sekuncup secara primer melalui penurunan preload ventrikel,sementara stenosis dari semilunar (pulmonal atau aorta) menurunkan volume melalui peningkatan afterload ventrikel. Sebaliknya, regurgitasi katup-katup jantungdapat menurunkan volume sekuncup tanpa perubahan pada preload, afterload atau kontraktilitas dan tanpa kerusakan pada dinding jantung . Volume sekuncup yang efektif diturunkan oleh volume regurgitasi pada setiap kontraksi. Ketika katup atrioventrikuler menjadi inkompeten, bagian penting dari volume akhir diastolik ventrikel dapat mengalir kembali ke dalam atrium selama sistole. Serupa dengan itu, ketika katup semilunar mengalami inkompetensi, bagian dari volume akhir diastolik mengalir kembali ke dalam ventrikel selama diastole.

Penilaian Fungsi VentrikelKurva Fungsi Ventrikel Penilaian Fungsi Ventrikel untuk melihat curah jantung atau isi sekuncup dibanding preload dalam penggunaannya untuk mengevaluasi keadaan patologik dan memahami terapi obat-obatan. Kurva fungsi ventrikel kanan dan kiri ditunjukkan pada gambar 9.

Gambar 9. Kurva fungsi dari ventrikel kanan dan kiri.

Diagram volume-tekanan ventrikel lebih banyak digunakan karena dissosiasi kontraktilitas dari preload dan afterload. Dua titik yang diidentifikasi pada diagram; titik akhir sistolik (End sistolik point/ESP) dan titik akhir diastolik (EDP).(gambar 19-10) Bentuk ini mencerminkan fungsi sistole sedang yang lainnya lebih mencerminkan fungsi diastole. Untuk beberapa keadaan yang diberikan kontraktilitas, setelah ESP berada pada garis yang sama, contohnya, hubungan antara End-Sistole Volume dan End Sistolic pressure adalah konstan.

Gambar 10. Diagram Tekanan-Volume Ventrikel. A: Kontraksi tunggal ventrikel. Sebagai catatan bahwaisi sekuncup menggambarkan perubahan volume pada axis x (perbedaan antara volume sistolik akhir danvolume diastolik akhir). Dapat juga kita lihat bahwa area external yang dibatasi bekerja pada ventrikel. B: Peningkatan preload dengan kontraktilitas dan afterload yang konstan. C: Peningkatan afterload dengan preloaddan kontraktilitas yang konstan. D: Peningkatan kontraktilitas dengan preload dan afterload yang konstan. ESP= end sistolic point. EDP = End diastolic point.

Penilaian Fungsi Diastolik  

Perubahan pada tekanan ventrikel selama sistole (dP/dt) didefenisikan sebagai derivat pertama dari kurva tekanan ventrikel dan seringkali digunakan sebagai pengukuran untuk kontraktilitas. Kontraktilitas secara langsung proportional untuk dP/dt, tapi pengukuran yang akurat dan nilai ini dibuktikan dengan kateter ventrikel yang mempunyai nilai akurasi tinggi.Meskipun nilai tekana arteri menyimpang dari puncak pembuluh darah, nilai awal darimunculnya tekanan (kemiringan) dapat diguanakan sebagai perkiraan kasar ; lebih proportionaldari kateter pada cabang-cabang arteri, maka kita mendapatkan ekstrapolasi yang akurat.Penggunaan dari dP/dt juga terbatas karena dipengaruhi oleh preload, afterload dan curah jantung. Variasi faktor-faktor koreksi dapat digunakan untuk kesuksesan yang terbatas.

Fraksi Ejeksi  Fraksi ejeksi ventrikel, fraksi dari volume akhir diastolik ventrikel banyak digunakan diklinik untuk mengetahui fungsi sistolik. EF dapat dihitung dengan rumus berikut :

Dimana EDV adalah volume diastolik ventrikel kiri dan ESV adalah volume akhir sistolik. EF yang normal diperkirakan 0,67 ± 0,08. Pengukuran ini dapat dibuat pada saat preoperatif dari kateterisasi jantung, studi radionukleotide

Page 36: Dasar ilmu Anesthesi

36

atau transthoracic (TEE). Kateter arteri pulmonal dengan pengukuran cepat berupa respon suhu disertai pengukuran EF ventrikelkanan. Sayangnya, peningkatan resistensi arteri pulmonal, menurunkan EF pada ventrikel kanan, dapat mencerminkan afteload dari pada kontraktilitas.

Penilaian Fungsi Diastolik Fungsi diastolik ventrikel kiri dapat diukur secara klinis dengan menggunakan ekokardiografi Doppler melalui transthoracic atau transesophageal. Kecepatan aliran diukur melalui katup mitral selama diastole. Pola-pola ini menggambarkan disfungsi secara umum berdasarkan pada waktu relaksasi sistemik, rasio dari puncak akhir diastolik (E) ke puncak akhir sistolik (A) dan lamanya waktu dari E (DTE) (gambar 11)

 

Gambar 11. Elektrokardiografi Doppler dari aliran diastolik melalui katup mitral. A-D (dari kiri ke kanan) menggambarkan peningkatan disfungsi diastolik berat.

Sirkulasi Sistemik  Pembuluh darah dibagi secara fungsional ke dalam arteri, arteriole, kapiler dan vena. Arteri merupakan saluran yang

memiliki tekanan yang tinggi yang menyuplai berbagai macam organ. Arteriole adalah pembuluh darah yang kecil yang secara langsung mengontrol aliran darah melalui Capillary bed. Kapiler adalah pembuluh darah yang berdinding tipistempat terjadinya pertukaran nutrisi untuk darah dan jaringan. Vena mengembalikan darah dari Capillary bed kembali ke jantung.Aliran darah dari berbagai komponen dari sistem sirkulasi ditunjukkan pada Tabel 5. Sebagai catatan bahwa sebagian besar volume darah berada dalam sistem sirkulasi sistemik secara spesifik dalam arteri-arteri sistemik. Perubahan vena sistemik disertai perubahan fungsi ventrikel sebagai reservoir darah. Berdasarkan kehilangan darah atau cairansecara spesifik, sistem simpatis dalam vena menurunakan kaliber dari pembuluh darah ini yangmembuat darah terdesak ke bagian lain dari sistem pembuluh darah. Dengan demikian, dilatasivena disertai pembuluh darah ini meningkatkan volume darah. Sistem simpatis pada pembuluh darah vena merupakan faktor yang penting dalam menentukan aliran balik ke jantung.Kehilangan volume ini pada induksi anestesi sering terjadi yang meneyebabkan terjadinya hipotensi Tabel 5. Distribusi normal dari volume darah

 

Faktor-faktor yang multipel mempengarhi aliran darah pada sistem pembuluh darah.Hal ini meliputi mekanisme lokal dan metabolik, faktor derivat endothel, sistem saraf otonomdan sirkulasi hormonal.

Autoregulasi Sebagian besar jaringan meregulasi aliran darahnya sendiri (autoregulasi). Arteriolesecara umum berdilatasi dalam responnya menurunkan tekanan perfusi atau meningkatkantekanan dan menurunkan kebutuhan jaringan. Fenomena ini mirip dengan respon intrinsik pada otot-otot polos yang dapat memanjang dan akumulasi dari vasodilator metabolik oleh produk-produknya. Selanjutnya K+, H+, CO2, adenosine dan laktat masuk.

Faktor Derivat Endothel Endotel vaskuler adalah metabolit aktif yang merupakan kolaborasi atau modifikasisubstansi yang secara langsung atau tidak langsung memainkan peranan utama dalammengontrol aliran dan tekanan pembuluh darah. Hal ini meliputi vasodilator (misalnya nitricoxyde,

Page 37: Dasar ilmu Anesthesi

37

prostacycline (PGI2), vasokonstriksi (misalnya endothelin, Thromboxan A2), antikoagulan (misalnya thrombomodulin, protein C), fibrinolitik (tissue plasminogen aktivator) dan faktor-faktor yang menghambat aggregasi platelet (nitricoxyde dan PGI2). Nitric oxidedisintesis dari arginin melalui sintesis nitric oxyde. Substansi ini memiliki sejumlah fungsi. Pada sistem sirkulasi, hal ini memiliki vasodilator yang poten mengeluarkansekret secara teratur pada ikatan guanilate cyclase, peningkatan level cGMP dan memproduksivasodilator. Vasokonstriksi derivat endothel, endothel yang dikeluarkan bertanggung jawab pada pengeluaran thrombin dan epinefrin.

Kontrol Otonom dari Pembuluh Darah Sistemik  Meskipun sistem simpatis dan parasimpatis merupakan faktor yang paling berpengaruh pada sistem sirkulais, kontrol otonom pada pembuluh darah secara primer dipengaruhi oleh simpatis. Aliran simpatis pada sirkulasi ini keluar dari chorda simpatis pada thoraks dan pada dua segmen pertama dari vertebra lumbal. Serat-serat ini mencapai pembuluh darah melalui saraf otonom yang spesifik atau melalui perjalanan sepanjang saraf spinal. Seratsaraf simpatis mempersarafi seluruh bagian dari pembuluh darah kecuali kapiler. Fungsi prinsipnya adalah meregulasi pembuluh darah. Variasi dari irama

pembuluh darah arteri melayani regulasi tekanan darah atau distribusi aliran darah ke berbagai macam jaringansementara variasi dari pembuluh vena meningkatkan aliran balik ke jantung.Pembuluh darah mempunyai efek vasokonstriksi simpatis dan vasodilator, tapi bentuknya secara fisiologis penting pada sebagian besar jaringan. Simpatis memicu terjadinya vasokonstriksi (melalui reseptor α1-adrenergik) yang bisa poten pada otot-otot skelet, ginjal,usus dan kurang aktif pada otak dan jantung. Serat vasodilator yang sangat penting adalah otot-otot skelet yang memediasi peningkatan aliran darah (melalui reseptor β1-adrenergik) dalam respon pada saat latihan. Depresi pada pembuluh darah (vasovagal) syncope, dapat terjadi jika terjadi tekanan emosional yang berhubungan dengan peningkatan aktifitas simpatis, yang dihasilkan dari aktivasi refleks baik dari vagal dan serat vasodilator simpatis.Simpatis dan sistem otonom mempengaruhi jantung dengan jalan mengontrol pusatvasomotor pada formatio retikularis dari medulla dan pons bagian bawah. Area vasokonstriktor dan vasodilator dapat dimodifikasi. Vasokonstriktor dimediasi dari area dibawah pons dandiatas medulla. Sel-sel adrenergik pada area ini difokuskan pada kolumna intermediate. Hal ini juga bertanggung jawab terhadap sekresi adrenal dari katekolamin yang akanmeningkatkan automatisitas jantung

dan kontraksi. Area vasodilator, yang berlokasi pada bagian atas medulla, juga adrenergik tapi berfungsi sebagai saraf penghambat yang beradadiatas area vasokonstriktor. Kelaurnya vasomotor dimodifikasi dari impuls melalui sistem saraf pusat, dan area lainnya dari batang otak. Area dipostlateral medulla menerima input dari vagaldan nervus glossopharingeus dan memainkan peranan penting dalam memediasi berbagaimacam refleks sirkulasi. Sistem simpatis secara normal menjaga beberapa vasokonstriksi pembuluh darah. Hal ini akan hilang jika terjadi pada simpatektomi yang sering menyebabkan terjadinya hipotensi perioperatif.

TEKANAN DARAH ARTERI Aliran darah sistemik adalah pulsatil pada arteri-arteri besar karena aktifitas siklik jantung. Hal ini akan meningkatkan kapiler seistemik, aliran yang kontinyu (laminar). Rata-ratatekanan pada arteri besar, normal adalah 95 mmHg, dapat jatuh hampir mendekati nol padavena sistemik besar yang akan mengalirkan darah kembali ke jantung. Tekanan akan drop, mendekati 50 %, melalui arteriole-arteriole yang dihitung pada sebagian besar SVR. MAP adalah pengukuran yang dihasilkan dari SVR x CO. Hubungan ini berdasar kananalogi dari hukum ohm yang diaplikasikan pada sirkulasi :

Page 38: Dasar ilmu Anesthesi

38

Karena CVP secara normal lebih kecil dibandingkan dengan MAP, bentuknya biasanya tidak akurat. Dari hubungan ini, terjadinya hipotensi adalah hasil dari penurunan SVR, CO atau kedua-duanya. Dalam menjaga tekanan arteri, harus diturunkan salah satunya sebagai kompensasi melalui peningkatan yang lain. MAP dapat diukur sebagai integrasi rata-rata dari gelombang tekanan arteri. Sebagai alternatif, MAP dapat dihitung berdasarkan rumus berikut :

Dimana tekanan nadi adalah perbedaan antara tekanan sistolik dan tekanan distolik.Tekanan nadi arteri secara langsung berhubungan dengan isi sekuncup tapi berlawanan secara proporsional dengan komplians dari percabangan arteri. Dengan demikian, penurunan tekanan nadi dapat juga mengacu pada penurunan volume sekuncup, peningkatan SVR atau keduanya.Transmisi gelombang arteri dari arteri besar ke arteri kecil di perifer lebih cepat dari pada kecepatan aliran darah, perjalanan gelombang tersebut berkisar 15 x kecepatan darah pada aorta. Bagaimanpun, gambaran dari gelombang tekanan nadi yang dipancarkan pada dinding arteri yang luas sebelum gelombang pulsa secara

lengkap mengecil pada arteri-arteri kecil.

Kontrol dari tekanan darah arteri Tekanan darah arteri diregulasi berturut-turut dari immediate, intermediate dan pengaturan jangka panjang yang ditingkatkan oleh kompleks neural, humoral dan mekanisme renal.

Kontrol immediateTekanan darah dikontrol dari menit ke menit secara primer berfungsi pada refleks SSO. Perubahan pada tekanan darah dirasakan secara sentral (pada area hipothalamus dan batang otak) dan secara perifer oleh sensor khusus (baroreseptor). Penurunan pada tekanan darah arterial meningkat pada aktifitas simpatis, meningkatkan sekresi adrenal atau epinefrin dan menekan aktifitas vagal. Hasil dari vasokonstriksi sistemik, peningkatan denyut jantung dan meningkatkan kontraktilitas jantung adalah peningkatan tekanan darah. Sebaliknya hipotensi menurunkan aktifitas simpatis dan meningkatkan aktifitas vagal.Baroreseptor yang berlokasi pada bifurcatio dari arteri karotid dan arcus aorta. Peningkatan tekanan darah meningkatkan rangsangan baroreseptor, menghambat vasokonstriksi sistemik dan menurunkan aktifitas vagal. Baroreseptor karotis mengirim sinyal afferent ke pusat sirkulasi dibatang otak melalui nervus Hering (cabang dari nervus glossopharingeal) sementara sinyal

afferent baroreseptor aorta berjalan sepanjang nervus vagus. Dari dua sensor perifer, baroreseptor karotis secara fisiologis lebih penting dan secara primer bertanggung jawab untuk meminimalkan tekanan darah yang dapat menyebabkan kejadian akut,seperti perubahan posisi. Sensitifitas baroreseptor karotis terhadap MAP sangat efektif diantara tekanan 80 mmHg dan 160 mmHg. Adapatasi perubahan tekanan darah yang akut terjadi ± 1-2 hari dan menjadi tidak efektif untuk kontrol tekanan darah jangka panjang. Seluruh anestesi volatile menurunkan respon baroreseptor yang normal, tapi isoflurane dan desflurane memiliki efek yang kecil. Reseptor kardiopulmonal yang berlokasi di atrium, ventrikel kiri dan sirkulasi pulmonal dapat menyebabkan efek yang serupa.

Kontrol Intermediate Pada waktu yang singkat, penurunan tekanan arteri bersama dengan peningkatansimpatis dapat mengaktifkan sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron, peningkatan sekresi Arginin Vasopressin (AVP) dan peningkatan normal perubahan aliran kapiler. Baik Angiotensin II dan AVP adalah vasokonstriktor arteri yang poten. Aliran intermediate inimeningkatkan SVR. Berlawanan dengan formasi angiotensin II, yang sering ditandai dengan hipotensi adalah bukti bahwa cukupnya sekresi AVP adalah menghasilkan keadaan vasokonstriksi. Angiotensin

Page 39: Dasar ilmu Anesthesi

39

mengkonstriksi arteriole melalui reseptor AT1. AVP memediasi vasokonstriksi melalui reseptor V1 dan menghasilkan antidiuretik reseptor V2.Perubahan pada tekanan darah arteri dapat juga meningkatkan pertukaran cairan dijaringan melalui efek sekunder pada tekanan kapiler. Hipertensi meningkatkan pergerakan cairan interstitiel dari intravaskular, sedang hipotensi meningkatkan reabsorpsi cairan interstitiel. Perubahan kompensatory dalam volume intravaskular dapat menyebabkan penurunan fluktuasi pada tekanan darah. Secara khusus pada keadaan tidak adekuatnya fungsi ginjal (lihat berikut ini).

Kontrol Jangka Panjang Efek dari mekaniisme renal yang lambat mejadi cepat dalam beberapa jam dariadanya perubahan pada tekanan arteri. Hasilnya, ginjal meningkatkan total sodium tubuh dan keseimbangan cairan, dimana hal tersebut dapat mengembalikan tekanan darah menjadi normal. Hipotensi menghasilkan retensi sodium (dan air), sedang hipertensi secara umummeningkatkan ekskresi sodium pada individu yang normal.

ANATIMI DAN FISIOLOGI DARI SIRKULASI KORONERAnatomiSuplai darah otot-otot jantung diperleh dari arteri koroner kiri dan kanan. (gambar 12). Darah mengalir dari

pembuluh darah epicardial ke endocardial. Setelah perfusi miokard,darah kembali ke atrium kanan melalui sinus koronaria dan vena anterior jantung. Sejumlahkecil aliran darah yang kembali secara langsung masuk ke dalam ruang-ruang jantung melalui vena Thebessy.Arteri koroner kanan (RCA) secara normal menyuplai arteri kanan, sebagian besar ventrikel kanan dan dalam jumla bervariasi pada ventrikel kiri (dinding inferior). Pada 85 % penduduk, RCA ke arteri descent posterior (PDA), yang mensuplai septum interventrikuler sedang pada 15 % orang-orang, PDA adalah cabang dari arteri koroner kiri dimana sirkulasi dikiri lebih dominan.

Gambar 12. Anatomi dari arteri koroner pada pasien dengan sirkulasi pulmonal yang dominan. A: Posisi anterior oblique kanan. B: Posisi anterior oblique kiri.

Arteri koroner kiri secara normal mensuplai atrium kiri dan sebagian besar septuminterventrikuler dari ventrikel kiri (septum anterior dan dinding lateral). Setelah perjalanan pendek dari bifurcatio arteri koroner utama kiri ke dalam arteri descent anterior kiri (LAD) danarteri sirkumfleksi (CX); bentuk ini menyuplai septum dan dinding anterior. Pada sirkulasi diminan kri, CX sepanjang AV

dan berlanjut kembali sebagai PDA untuk mensuplai juga sebagian besar septum posterior dari dinding anterior.Arteri menyuplai simpul AV yang dapat berasal dari RCA (60 % dari individu atau yang lainnya (sisanya 40 %). Simpul AV biasanya melalui RCA (85 %-90 %, atau sering tidak ada, dari derivat PDA dan LAD. Dinding anterior dari katup mitral juga memiliki daerah yang ganda yang memberikan suplai melalui cabang diagonal dari LAD dan berasal dari cabang CX. Sebaliknya, postkapiler dari katup mitral biasanya disuplai dari PDA sangat banyak memiliki disfungsi iskemik daerah-daerah yang berharga.

Hal - Hal yang Menentukan Perfusi Koroner Perfusi koroner sifatnya unik, intermitten dibanding kontinu, pada beberapa organ lain, selama kontraksi, tekanan dalam otot jantung pada dinding kiri mendekati tekanan arterisistemik. Sejumlah kontraksi ventrikel hampir lengkap menutup bagian dalam jantung dariarteri koroner ; pada aliran darah yang dapat sementara berlawanan dengan vena epicardial. Selama beberapa saat setelah diastole, tekanan ventrikel kiri seringkali meningkatkan tekanan vena-vena (atrium kanan) sehingga tekanan perifer koroner biasanya ditentukan olehperbedaan antara tekanan aorta atau tekanan ventrikel dan perfusi ventrikel kiri lebih besar masuk selama sistole. Sebaliknya ventrikel kanan diperfusi selama sistole

Page 40: Dasar ilmu Anesthesi

40

dan diastole (gambar 13). Sehingga tekanan diastole arteri adalah faktor penting untuk menentukan aliran darah miocard dari pada tekanan rata-rata arteri.

Tekanan perfusi koroner = tekanan diastolik arteri – LVED

Gambar 13. Aliran darah koroner selama siklus jantung. (Modified and reproduced, with permission, from Berne RM, Levy MD : Cardiovascular Physiology 2end, Mosby, 1972)

Penurunan tekanan aorta atau peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel dapat menurunkan tekanan perfusi koroner. Peningkatan denyut jantung juga menurunkan perfusi koroner. Secara disproportional induksi lebih besar pada saat diastolik seperti meningkatkan denyut jantung (gambar 14) Karena endocardium adalah subjek yang paling besar pada tekanan intramural selama sistole, maka sangat penting untuk menjaga agar tidak terjadi iskemia pada saat terjadi penurunan tekanan perfusi pada koroner.

Gambar 14. Hubungan antara waktu distole dan denyut jantung.

Kontrol dari aliran darah koroner Aliran darah koroner secara normal paralel dengan permintaan metabolik myocard. Rata-rata orang dewasa, aliran darah diperkirakan 250 mL/menit pada saat istirahat. Myocard meregulasi aliran darahnya sendiri secara tertutup diantara tekanan perfusi dari 50 mmHg dan 120 mmHg. Diantara range ini, aliran darah menjadi meningkat bergantung pada tekanan.Dibawah kondisi normal, perubahan aliran darah bervariasi pada arteri koranaria (resistensi) dalam responnya terhadap kebutuhan metabolik. Hipoksia secara langsung atautidak langsung melalui pelepasan adenosine- menyebabkan vasodilatasi koroner. Otonom mempengaruhi secara umum penurunan ini. Baik reseptor α1 dan β2 berada pada arteri koronaria. Reseptor α1 secara primer berlokasi pada area epicard yang lebih besar sedangreseptor β2 lebih banyak ditemukan pada daerah yang lebih kecil pada intramuscular dansubendocardial. Stimulasi simpatis secara umum meningkatkan aliran darah miocard. Karena peningkatan kebutuhan metabolik dan aktivasi predominan reseptor β2. Efek parasimpatis dari pembuluh darah koroner secara umum kecil dan menurunkan vasodilatasi.

Keseimbangan Oksigen Otot Jantung 

Kebutuhan oksigen otot jantung secara normal adalah faktor yang paling menentukan dari aliran darah miocard. Kontribusinya pada kebutuhan oksigen meliputi kebutuhan basal (20%), aktifitas listrik (1%), volume kerja (15 %), dan tekanan kerja (64%). Miocard secara normal membutuhkan 65 % oksigen pada pembuluh darah arteri dibanding organ yang lainnya. Saturasi oksigen sinus koronaria secara normal 30 %. Jadi miocard dan jaringan lainnya tidak dapat mengkompensasi reduksi aliran darah melalui ekstraksi lebih banyak oksigen dari hemoglobin. Peningkatan pada kebutuhan metabolisme miocardium dapatdijumpai melalui peningkatan aliran darah koronaria. Tabel 6 berisi faktor-faktor yang lebih penting dalam penyediaan dan kebutuhan oksigen miocard. Sebagai catatan bahwa denyut jantung dan faktor lain, tekanan akhir diastolik ventrikel adalah faktor-faktor yang paling penting dari penyediaan kebutuhan tersebut.

 Tabel 6. Faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan suplai dan kebutuhanoksigen otot jantung

Efek-efek obat-obat anestesi Hampir semua obat-obat anestesi volatile adalah vasodilator arteri koronaria. Efeknya pada aliran koroner bervariasi

Page 41: Dasar ilmu Anesthesi

41

sebagai efek vasodilatasi obat-obat tersebut, menurunkankebutuhan metabolik miocard (dan secara sekunder menurunkan autoregulasi), dan efeknya pada tekanan darah arteri. Meskipun mekanismenya tidak jelas, tapi dapat mengaktivasi ATP-sensitif K+ channel dan menstimulasi reseptor adenosine. Halothan dan isofluran efeknya paling besar; secara primer bentuknya mempengaruhi pembuluh darah koroner yang besar. Sedangefeknya yang lebih besar lebih banyak pada pembuluh darah yang kecil. Vasodilatasi lebih banyak diakibatkan oleh desflurane yang mendekati secara primer secara otonom, dimana sevoflurane menyebabkan vasodilatasi arteri koronaria.Untuk mengakhiri pembeian obat, dosistergantung dari otoregulasi yang lebih besar pada isoflaurane. Dipercayai bahwa anestesi volatil menyebabkan fenomena steal koronaria pada manusia menjadi berkurang.Komponen obat-obat volatile memiliki efek yang menguntungkan dalam terjadinyaiskemia miocard dan infark. Obat-obat ini tidak hanya menurunkan kebutuhan oksigen tapi juga memproteksi terhadap jejas reperfusi ; efek ini dimediasi oleh pengaktifan ATP-sensitif K+ channel. Beberapa kepercayaan juga menduga bahwa anestesi volatile meningkatkan pemulihan «stunned» miocard. Selebihnya pada beberapa kejadian, obat-obat ini menurunkan kontraktilitas miocard, obat-obat tersebut

secara potensial mempunyai keuntungan pada pasien dengan gagal jantung karena dapat menurunkan preload dan afterload.

PATOFISIOLOGI GAGAL JANTUNG

Gagal jantung terjadi karena kegagalan jantung untuk memompa sejumlah darahsesuai dengan kebutuhan metabolik yang diperlukan diseluruh tubuh. Manifestasi klinisnya biasanya mencerminkan efek dari penurunan curah jantung pada jaringan (misalnya lelah, kekurangan oksigen, oksidasi), peningkatan tekanan darah disertai gagal ventrikel (terjadikongesti vena sistemik atau pulmonal) atau keduanya. Ventrikel kiri paling sering mengalamikegagalan, biasanya juga terjadi sebagai efek sekunder dari kegagalan pada ventrikel kanan. Gagal ventrikel kanan dapat terjadi pada keadaan penyakit-penyakit parenkim paru atau pemuluh darah paru. Gagal ventrikel kiri biasanya terjadi karena disfungsi miocard (biasanya dari penyakit arteri koranaria) tapi juga dapat berasal dari disfungsi katup, aritmia atau penyakit jantung.Disfungsi diastolik dapat menyebabkan gejala-gejala gagal jantung sebagai hasil darihipertensi arteri (gambar 15). Penyebabnya meliputi hipertensi, Penyakit arteri koroner kardiomiopati hipertropik, dan penyakit perikardial. Disfungsi diastolik dapat memberikangejala-gejala gagal jantung yang terjadi dari fungsi sistolik normal,

fungsi sistolik dan diastolik keduanya berhubungan. Curah jantung menurun pada sebagian besar gagal jantung. Oksigentidak adekuat untuk disuplai ke jaringan yang mencerminkan tekanan oksigen vena yanglambat dan peningkatan dari oksigen arteri vena mengalami perbedaan. Pada kompensasi akibat gagal jantung, Perbedaan arteriole-vena normal dalam keadaan istirahat, tapi menjadi cepat jika terjadi stress atau aktifitas.

Gambar 15. Volume tekanan ventrikel dalam hubungannya dengan isolated sistolik dan disfungsi diastolik (Modified and reproduced, with permission, from Zile MR : Mod Concepts Cardiovasc Disc 1990: 59: 1)Gagal jantung menurun berhubungan dengan peningkatan curah jantung. Bentuk dari gagal jantung biasanya terjadi sepsis atau keadaan hipermetabolik lainnya yang secara tipikal berhubungan dengan SVR.

MEKANISME kOMPENSASIMekanisme kompensasi utama secara umum terjadi pada pasien dengan gagal jantungyang meliputi peningkatan preload, peningkatan aktifitas simpatis, aktivasi dari sistem renin-Angiotensin-Aldosterone, pengeluaran AVP, dan hipertropi ventrikel. Meskipun mekanisme inidapat secara awal berkompensasi untuk keadaan ringan sampai sedang

Page 42: Dasar ilmu Anesthesi

42

dari disfungsi miocard, disertai peningkatan keadaan disfungsi menjadi berat hal ini secara aktual dapat berkontribusi pada keadaan gagal jantung.

Peningkatan preload Peningkatan ukuran ventrikel tidak hanya mencerminkan keadaan ketidakmampuanaliran balik vena tapi juag penyediaan secara maksimal isi sekuncup melalui peningkatan kurvastarling pada jantung. (lihat gambar 6). Keadaan dimana EF mengalami penurunan, peningkatan dari volume akhir diastolik dapat menjaga isi sekuncup tetap normal. Konegstivena dapat disebabkan oleh bendungan dari darah yang dapat menyertai gagal ventrikel dan peningkatan dilatasi ventrikel secara cepat pada memburuknya keadaan klinis. Gagal ventrikelkiri dapat terjadi dari kongesti vena pulmonal dan transudasi progressif dari cairan, pertamamasuk ke dalam intersitiel paru, kemudian ke alveoli (edema paru). Gagal ventrikel kananterjadi pada keadaan hipertensi vena, yang terjadi dari edema perifer, kongesti dan disfungsihepar dan asites. Dilatasi dari annulus katup AV lainnya menyebabkan regurgitasi katup, yang mempengaruhi keadaan ventrikel yang buruk.

Peningkatan aktifitas simpatis Aktivasi simpatis meningkatkan

pelepasan norepinefrin dari akhiran sarah di jantung dan sekresi epinefrin dari adrenal ke dalam sirkulasi. Level katekolamin plasma umumnya secara langsung proposional terhadap tingkat disfungsi dari ventrikel kiri. Meskipun peningkatan aliran simpatis dapat diawali dengan menjaga curah jantung melalui peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas, jika terjadi penurunan fungsi dari ventrikel menyebabkan peningkatan derjat vasokonstriksi dalam upaya menjaga tekanan darah arteri. Hubungannya dengan peningkatan afterload, menurunkan curah jantung dan menyebabkan meluasnya kegagalan ventrikel.Aktivasi kronis simpatis pada pasien dengan gagal jantung sering menurunkan respon reseptor adrenergik (menurunnya regulasi jumlah reseptor dan cadangan katekolamin jantung). Gagal jantung dapat meningkat bergantung pada sirkulasi katekolamin. Halini terlihat pada pengaruh saraf simpatis atau penurunan pada sirkulasi katekolaminyang terjadi setelah induksi anestesi sehingga hal ini dapat menyebabkan decompensasikordis akut. Bagaimanapun, gagal jantung meningkat bergantung pada sirkulasikatekolamin. Pengambilan kembali pada aliran simpatis atau penurunan level sirkulasikatekolamin seperti pada keadaan-keadaan berikut pada induksi anestesia dapat menyebabkan dekompensasi akut pada jantung. Penurunan densitas dari

reseptor M2 juga menurunkan pengaruh parasimpatis pada jantung.Aktivasi simpatis meredistribusi kembali aliran darah sistemik melalui kulit, usus, ginjal dan otot skelet ke jantung dan otak. Peningkatan perfusi ginjal bersamaan dengan aktivasi dari reseptor β1 adrenergik pada apparatus jukstaglomerular yang mengaktivasi sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron yang menyebabkan retensi sodium daerah interstitial. Sehingga, vasokonstriksi sekunder dalam meningkatkan level Angiotensin II dapat pula meningkatkan afterload dari ventrikel kiri menyebabkan penurunan dari fungsi sistolik yang dapat dihitung untuk enzym inhibitor angiotensin pada gagal jantung. Simpatis jugameningkat pada beberapa pasien dengan blokade reseptor β-adrenergik.Level sirkulasi AVP kadang dua kali lebih normal pada gagal jantung yang berat.Peningkatan AVP meningkatkan afterload ventrikel dan bertanggung jawab pada defek pembersihan air melalui hubungannya dengan hiponatremia.Atrial Natriuretic Peptide ditemukan predominan pada atrium. Hormon ini dilepaskan pada keadaan distensi atrium dan memperbaiki keadaan gagal jantung. Komponen ini adalah vasodilator yang poten dan memiliki efek angiotensin, aldosteron dan AV.

Hipertropi Ventrikel

Page 43: Dasar ilmu Anesthesi

43

Hipertropi ventrikel dapat terjadi dengan atau tanpa dilatasi, bergantung pada tipe stress pada ventrikel. Ketika jantung melakukan tekanan atau terjadi volume yang berlebihan, respon awalnya dalh meningkatkan pemanjangan sarkomer dan secara optimal terjadi overlapping antara aktin dan miosin. Seiring dengan itu, massa otot ventrikel dapat meningkatkan respon terhadap stress abnormal.Pada volume berlebihan dari ventrikel kemungkinan adalah peningkatan pada stess dinding sistolik. Peningkatan massa otot ventrikel hanya kompensasi dalam peningkatan diameter. Rasio dari jari-jari ventrikel pada perubahan penebalan dinding tidak mengalami perubahan. Pemanjangan sarkomer untuk indikasinya, hasilnya adalah hipertropi eksenstrik meskipun EF ventrikel tertekan, peningkatan volume akhir diastolik dapat menjaga curah jantung tetap normal (dan curah jantung).Masalah pada tekanan ventrikel yang berlebih atau peningkatan stress pada dinding sistole sarkomer dalam kasus ini umumnya bereplikasi secara paralel, hasilnya adalah hipertropi konsentrik. Hipertropi adalah rasio dari penebalan dinding ventrikel dengan jari-jari ventrikel. Dapat kita lihat pada hukum Laplace, dinding ventrikel dapat menjadi normal. Hipertropi ventrikel khususnya dapat disebabkan oleh tekanan yang berlebihan biasanya menyebabkan disfungsi progressif diastolik.

-----------------------------------------------------------------------

Diskusi Kasus Pasien dengan interval P-R yang pendek

Seorang laki-laki umur 38 tahun dijadualkan untuk bedah sinus endoskopik karenakeluhan sakit kepala. Dari anamnesis didapatkan sakit kepala dialami setiap kali selama keluhan ini. Pada EKG preoperatif didapatkan keadaan normal, kecuali interval P-R 0.116 detik dengan gelombang P normal.

Apa Signifikansi dari pendeknya interval P-R ? Interval P-R adalah pengukuran yang didapatkan dari permulaan depolarisasi atrium (gelombang P) ke permulaan depolarisasi ventrikel (kompleks QRS) normalnya terlihat dariwaktu depolarisasi keduanya, atrium dan simpul atrioventrikuler (AV) dan serabut His-Purkinya. Meskipun interval P-R dapat bervariasi pada denyut jantung, normal durasinya adalah 0,2 detik. Pada keadaan abnormal, pendeknya interval P-R dapat terlihat dari lambatnya atrium (untuk konduksi AV) irama atau fenomena preeksitasi. Dua yang biasanya berbeda dari morfologi gelombang P; dapat menurunkan irama atrium dan depolarisasi atau retrograde hasilnya adalah peningkatan gelombang P diikuti II, III dan avF dengan

preeksitasi ,gelombang P normal selama sinus ritme. Jika pacemaker berasal dari fokus konduksi AV bawah, gelombang P dapat hilang pada kompleks QRS atau mengikuti QRS.

Apa itu preeksitasi ? Preeksitasi biasanya mengarah ke depolarisasi awal dari ventrikel melalui jalur konduksi abnormal dari atrium. Sangat jarang, lebih dari satu jalur diketemukan. Sebagian besar preeksitasi berasal dari keadaan jalur akesoris (bundle of Kent) yang menghubungkan antara satu atrium dengan satu ventrikel. Hubungan abnormal ini antara atrium dan ventrikel diikuti oleh impuls melalui simpul AV bypass (karena itu istilahnya adalah saluran bypass). Kemampuan konduksi impuls dapat intermitten atau kadang dependent. Saluran bypass dapat menghubungkan secara langsung keduanya, hanya retrograde (ventrikel ke atrium) atau sangat jarang hanya anterograde (atrium ke ventrikel). Nama Wolf-Parkinsin-White (WPW) sindrome sering digunakan untuk preeksitasi ventrikel yang berhubungan dengan takiaritmia.

Bagaimana preeksitasi dapat memendek pada interval P-R ? Pada pasien dengan preeksitasi, impuls normal jantung berasal dari simpul sinoatrial (SA) yang menghubungkan secara simultan melalui simpul AV yang normal dan jalur yang menyimpang dari

Page 44: Dasar ilmu Anesthesi

44

biasanya (traktus bypass). Karena konduksi lebih cepat pada jalur lain dari pada jalur simpul AV, impuls jantung meningkat lebih cepat dan depolarisasi dari ventrikeldapat digambarkan dengan pemendekan dari interval P-R dan awal turunnya defleksi(gelombang delta) pada kompleks QRS. Penyebaran impuls lainnya ke keadaan istirahat ventrikel akan lambat karena harus dihubungkan melalui otot ventrikel, tidak melalui system purkinye yang lebih cepat. Sisa dari ventrikel atau terdepolarisasinya impuls normal dari sinyal AV sebagai pegangan untuk preeksitasi. Meskipun interval P-R memendek, hasil QRS adalah dapat memanjang dan dilihat dari penggabungan kompleks depolarisasi normal dan abnormal ventrikel.Interval P-R pada pasien dengan preeksitasi bergantung pada waktu konduksi relative antara jalur simpul AV dan jalur bypass. Jika konduksi yang melalui bentuk ini cepat; preeksitasi (dan gelombang delta) kurang menonjol, dan QRS secara relative akan normal. Jika konduksi melambat pada jalur simpul AV, preeksitasi lebih menonjol dan ventrikel kiri akanlebih terdepolarisasi melalui konduksi impuls abnormal. Ketika jalur simpul AV telah terblok secara lengkap, ventrikel selanjutnya akan mengalami depolarisasi melalui jalur bypass, hasilnya adalah interval P-R yang lebih pendek, penonjolan gelombang delta dan kompleks QRS. Faktor-faktor lain dapat mempengaruhi derajat preeksitasi

meliputi waktu konduksi antar atrium, jarak dari akhir atrium dari tratus bypass dari simpul SA dari irama otonom. Interval P-R seringkali normal atau hanya memendek dengan traktus bypass lateral kiri (sebagian besar lokasinya bersama). Preeksitasi dapat lebih jelas terlihat pada denyut jantung yang cepat karenakonduksi yang lambat melalui simpul AV dengan peningkatan denyut jantung. Segmen sekunder dan perubahan gelombang T juga karena depolarisasi abnormal ventrikel.

Apa gejala klinis yang signifikan dari preeksitasi? Preeksitasi terjadi diperkirakan 0,3 % dari populasi secara umum. Diperkirakan 20-50% pada orang-orang yang dipengaruhi meningkatkan paroksismal takiaritmia, secara typikal paroksismal supraventrikel takikardia (PSPT). Meskipun sebagian besar pasien normal, preeksitasi dapat dihubungkan dengan anomali jantung yang lain, meskipun anomali Ebstein, prolaps katup mitral dan kardiomiopati. Bergantung pada konduksinya, traktus bypass pada beberapa pasien dapat menjadi predisposisi untuk terjadinya takiaritmia dan kematian secaramendadak. Takiaritmia meliputi PSVT, atrial fibrilasi dan penurunan, atrial flutter. Fibrilasiventrikel dapat menjadi preeksitasi melalui waktu, rute kritis atrial prematur berjalan ke bawahtraktus bypass dan ventrikel pada priode yang penting. Aternatifnya, konduksi impuls

yanglebih cepat ke ventrikel melalui traktus bypass selama fibrilasi atrial dapat lebih cepat untuk iskemia otot jantung, hipoperfusi dan hipoksia dan mencapai puncak pada fibrilasi ventrikel.Pengenalan dari fenomena preeksitasi juga penting karena morfologi QRS pada penurunanECG dapat memperlihatkan blokade bundle branch, hipertropi ventrikel kanan, iskemia, infark miokard dan takikardia ventrikel (selama atrial fibrilasi).

Apa yang menjadi signifikansi dari riwayat sinkope pada pasien ini ?Pasien seharusnya dievaluasi preoperatif melalui ahli kardiologi untuk kemungkinan studi elektrofisiologik, ablasi radiofrekuensi kuratif dari traktus bypass dan kebutuhan untuk terapi preoperatif. Beberapa study mengidentifikasi lokasi dari traktus bypass, beralasan untuk memprediksi potensial untuk atrium berat melalui program yang cepat danmengukur efikasi dari terapi antiaritmik jika ablasi kuratif tidak mungkin; ablasi dilaporkan menjadi kuratif pada lebih dari 90 % pasien. Riwayat sincope dapat menyimpang karena hal inidapat berindikasi mampu untuk menghubungkan impuls lebih cepat melalui traktus bypass, menyebabkan hipoperfusi sistemik dan kadang sebagai predisposisi untuk kematian mendadak. Pasien dengan hanya kadang-kadang tidak bergejala takiaritmia secara umum dibuktikan dengan investigasi dan terapi

Page 45: Dasar ilmu Anesthesi

45

profilaksis. Episode frekuensi dengan gejala signifikan untuk terapi dan evalusi tertutup.

Bagaimana takiaritmia secara umum dapat terjadi ?Takiaritmia dapat terjadi sebagai hasil dari formasi impuls atau normal atau propagasi impuls abnormal (reentry). Impuls abnormal dapat berasal dari peningkatan automatisitas, otomatisitas abnormal atau peningkatan aktifitas. Secara normal, hanya impulsdari simpul AV, khususnya konduksi jalur atrial, area konduksi simpul AV dan depolarisa sisistem His-Purkinye secara spontan. Karena repolarisasi diastolik (fase 4) lebih cepat pada simpul SA, otomatisitas daerah ini tertekan.Peningkatan otomatisitas abnormal pada area, bagaimanapun dapat mengambilalih fungsi prematur dari simpul SA dan menyebabkan takiaritmia. Puncak aktifitas adalahhasil dari depolarisasi lebih awal dari depolarisasi (fase 2 atau 3) atau repolarisasi atrial lambat (setelah fase 3). Hal ini terjadi dari depolarisasi amplitudo dapat diikuti potensial aksi pada beberapa kondisi di atrium, ventrikel dan alur His-Purkinye jika setelah depolarisasi inimeningkatkan potensial aksi ; hal tersebut dapat menyebabkan ekstrasistole atau menyokong kembali untuk terjadinya takiaritmia. Faktor yang dpat meningkatkan bentuk impuls abnormal meliputi peningkatan level katekolamin,

kelainan elektrolit seperti hipokalemia, hiperkalemia, hipercalcemia, hipokasemia, hipoksia, stress mekanik dan keracunan obat (khususnya digoksin).

Gambar 16. Mekanisme reentry (lihat deskripsi berikut).

Mekanisme utama untuk terjadinya aritmia adalah reentry. Empat kondisi yang diperlukan adalah permulaan dan reentry (gambar 16); (1) dua area pada myocardium berbeda konduktivitasnya atau refrakrenya dan dapat menyebabkan rangkaian tertutup. (2) Jalur yang berhubungan secara tidak langsung (gambar 16 A dan 16 B) Konduksi yang lambat atau cepat pada sirkuit dapat memulihkan blok konduksi pada jalur (gambar 19-16C) daneksitasi dari awal blockade jalur untuk rangkaian komplit (gambar 16 D) Reentry biasanya dipresipitasi dari impuls premature jantung.

Apa mekanisme dari PSVT pasien dengan WPW syndrome?Jika traktus bypass mengalami masa refrakter selama fase konduksi dari impuls jantung, secara kritis waktu kontraksi prematur dari atrium dan impuls dihubungkan dengan konduksi dari simpul AV dan impuls yang serupa dihubungkan secara retrograde dari ventrikel kembali ke dalam atrium melalui traktus bypass. Impuls retrograde dapat

mendepolarisi atrium dan berjalan ke bawah jalur simpul AV kembali, meningkatkan sirkuit kontinyu kembali (perpindahan sirkuit). Impuls yang terjadi antara jalur simpul AV dan traktus bypass. Istilah konduksi yang tersembunyi digunakan karena hilangnya preeksitasi selama aritmia dengan hasil QRS yang normal dengan gelombang delta.Perpindahan sirkus meningkatkan konduksi anterograde melalui traktus by pass dankonduksi retrograde melalui jalur simpul AV. Pada keadaan lain; QRS memiliki gelombang delta dan secara komplit abnormal ; arimia dapat hilang untuk takikardia ventrikuler.

Apa mekanisme lain yang bertanggungjawab pada PSVT ?Pada keadaan WPW sindrome, PSVT dapat digunakan melalui reentry takikardia, simpul AV rentri takikardia dan simpul AV serta atrium reentrant takikardia. Pasien dengan reentrant takikardia mempunyai ekstranodal melalui traktus bypass ke WPW syndome, tapi traktus bypass menghubungkan hanya retrograde; preeksitasi dan gelombang delta hilang. PSVT dapat diawali melalui APC atau kontraksi premur ventrikel (VPC). Retrograde gelombang P biasanya dilihat dari depolarisasi atrial yang selalu mengikuti depolarisasi ventrikel.Fungsi yang berbeda pada konduksi dan refrakter dapat terjadi dengan simpul AV,

Page 46: Dasar ilmu Anesthesi

46

simpul SA atau atrium; traktus bypass yang berlebihan tidak diperlukan. Jadi pergerakansirkus dapat terjadi melalui skala yang kecil dengan simpul AV, simpul SA atau atrium. PSVT selalu meliputi induksi selama reentry simpul AV melalui APC dengan pemanjangan interval P-R ; retrograde gelombang P yang hilang atau menjalar ke kompleks QRS. APC yang laindapat mengakhir takiaritmia.PSVT berhubungan dengan simpul SA atau reentry atrium yang selalu meningkat melalui APC. Gelombang P biasanya terlihat dan mengalami pemanjangan awal dari interval P-R. Morfologinya normal dengan reentry simpul SA dan abnormal dengan reentry atrial.

Bagaimana atrial fibrilasi pada pasien dengan WPW syndrome berbeda dari aritmiapada pasien yang lain ?Atrial fibrilasi dapat terjadi ketika impuls jantung ihubungkan dengan cepat secara retrograde ke dalam atrium dan tiba untuk mendapatkan bagian yang berbeda dari atrium kefase pemulihan dari impuls. Sekali atrial fibrilasi meningkat, konduksi ke dalam ventrikel sebagian besar terjadi melalui traktus bypass karena jalur aksesory dapat berhubungan dengan cepat (tidak seperti pada jalur simpul AV), angka ventrikel secara tipikal sangat cepat (180-300 x/menit). Sebagian besar kompleks QRS adalah ganjil, tapi konduksi periodic sebuah impuls melalui

jalur simpul AV nmenghasilkan kompleks QRS yang normal. Sehingga, impuls selama atrial fibrilasi dapat dihubungkan secara garis besar melalui jalur simpul AV (yangmenghasilkan sebagian besar kompleks QRS yang normal) atau melaui kedua traktus bypass atau jalur simpuls AV (menghasilkan gabungan dari normal, fusi dan kompleks QRS). Sebagai tahap awal, atrial fibrilasi pada pasien dengan WPW syndrome adalah aritmia yang sangat berbahaya.

Apa obat anestesi yang aman digunakan pada pasien dengan preeksitasi ?Sejumlah kecil data membandingkan penggunaan komponen anestesi yang berbeda atauteknik pada pasien dengan preeksitasi. Hampir sebagian besar obat intravena dapat digunakandengan baik. Anestesi volatile meningkatkan refrakter anterograde pada keadaan normal dan jalur aksesori (enflurane lebih besar isoflurane lebih besar dari halothane) dan meningkatkaninterval coupling (pengukuran dari kemampuan dari ekstrasistole untuk menginduksitakikardia. Propofol, opiod dan benzodiazepine mempunyai efek elektrofisiologik yang kecil.Faktor yang dapat menyebabkan stimulasi simpatis dan meningkatkan otomatisitas jantungadalah tidak diinginkan. Premedikasi dengan benzodiazepin menurunkan aktivitas simpatis preoperative. Komponen ini

meningkatkan aktifitas simpatis seperti ketamin dan kadang pankuronium dengan dosis bolus yang lebar, seharusnya secara umum dapat dicegah.Antikolinergik digunakan untuk sebab-sebab tertentu; glicopyrolate dapat menjadi penggantiatropine. Intubasi endotrakeal seharusnya dilakukan dengan anestesi dalam. Sebelum pengobatan dengan penghambat β-adrenergik seperti esmolol dapatdigunakan. Pemberian anesthesia, hiperkapnia, asidosis dan hipoksia transient akanmengaktivasi system simpatis. Ekstubasi yang yang dalam dan posisi yang baik selamaanalgesia (dengan asidosis respiratorik) dapat mencegah onset aritmia. Ketika pasien dengan preeksitasi teranestesi untuk study fsiolok dan bedah ablasi, diberikan propofol dan benzodiazepine dapat menyebabkan karakteristik konduksi yang meningkat.

Apa obat-obat antiaritmia yang selektif untuk takiaritmia?Sebagian besar obat antiaritmia bekerja melalui peningkatan konduksi otot jantung (fase 0), repolarisasi (fase 3) atau otomatisitas (fase 4). Pemanjangan dari repolarisasimeningkatkan rekfrakter dari sel. Banyak obat antiaritmia dapat berpengaruh secara langsung atau tidak langsung. Ketika obat antiaritmia secara umum diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerja atau efek elektrofisiologik (table 7). Sebagian besar

Page 47: Dasar ilmu Anesthesi

47

system klasifikasi digunakan tidak sempurna karena beberapa macam obat memiliki lebih dari satu mekanisme kerja. Selebihnya, obat-obat yang baru mempunyai cara kerja yang spesifik dan unik; sebagai contoh, kerja defotilide pada kalsium channel dapat melambat.

Tabel 7. Klasifikasi obat-obat antiaritmia

Vmax = kecepatan maksimum; ADP = action potential duration (lamanya aksi potensial) ; NR = Not recommended (tidak direkomendasikan) ; NA = not available for IV use (cara pemberian tidak dapat secara intravena)1 Mempunyai efek antimuskarinik (aktifitas vagolitik)2 Blokade reseptor α-adrenergik 3 Memperpanjang repolarisasi4 Terikat fast sodium channel yang terinaktivasi5 Dapat menyebabkan blokade nonkompetitif reseptor α dan  β6 Blokade slow calcium channel7 Pelepasan cadangan katekolamin dari akhiran saraf 8 Mempunyai aktifitas blok nonselektif β-adrenergik

Obat-obat yang selektif untuk antiaritmia secara umum bergantung pada aritmia dariventrikel atau supraventrikuler dan

mengontrol secara akut atau kronik terapinya. Obat-obatintravena biasanya digunakan untuk penatalaksanaan aritmia, dimana obat-obat oral digunakanuntuk terapi kronis. (Tabel-8)

Tabel 8. Farmakologi klinik dari obat-obat antiaritmia.

 Obat-obat apa yang biasa digunakan untuk takiaritmia pada pasien dengan WPW syndrome? Kardioversion adalah pilihan pengobatan pada pasien denganhemodinamik yang baik. Adenosine adalah obat pilihan untuk PSVT karena durasinya singkat. Sejumlah kecil dosis dari fenilepinefrin (100 µg) bersama dengan maneuver vagal (pengurutan carotid) membantu meningkatkan tekanan darah dan mengakhiri aritmia. Penggunaan obat-obat farmakologik seperti kelas 1 a khususnya procainamide. Obat-obat ini meningkatkan waktu refrakter dan menurunkan konduksi dari jalur aksesoris. Selebihnya, kelas Ia sering mengakhiri dan dapat menekan rekurensi PSVT dan fibrilasi atrium. Kelas Ia dan amiodarone juga digunakan karena konduksi yang lambat dan pemanjangan masa refrakter pada simpul AV serta jalur aksesori. Obat-obat penghambat β-adrenergik juga digunakan khususnya untuk mengontrol nilai ventrikel sekali terjadi peningkatan ritme. Verapamil dan

digoksin adalah kontraindikasi selama atrial fibrilasi atau flutter pada pasien ini karena obat-obat ini berbahaya untuk mengakselerasi respon ventrikel. Kedua tipe obat-obat tersebut menurunkan konduksi melalui simpul AV, mempersiapkan konduksi impuls ke bawah melalui jalur aksesori. Traktus bypass dapat diguakan untuk konduksi impuls ke ventrikel lebih cepat dari pada jalur simpul AV. Digoksin juga meningkatkan respon ventrikel melalui pemendekan masa refrakter dan meningkatkan konduksi pada jalur aksesori. Meskipun verapamil dapat mengakhiri PSVT, dapat juga digunakan untuk mensetting dapat berbahaya karena pasien dengan atrial fibrilasi tidak dapat dibedakan dari takikardia ventrikel pada pasien jika takikardia dengan QRS melebar. Prokainamide dapat dipersiapkan seperti lidokaine karena bentuknya secara umum efektif pada aritmia.

Page 48: Dasar ilmu Anesthesi

48

BAB III

KEY NOTES (Morgan)

1.Bila teknik memegang sungkup muka tidak benar, balon reservoar anestesia tidak akan mengembang , walaupun adjustable pressure limiting (APL) katup tertutup, biasanya disebabkan oleh kebocoran sekitar sungkup muka. Keadaan yang kontras bilamana terjadi peningkatan tekanan di sirkuit nafas disertai sedikit gerakan dada dan bunyi nafas berarti ada obstruksi jalan nafas.

2. LMA melindungi laring dari ekskresi faring (tetapi tidak terhadap regurgitasi lambung), dan harus dipertahankan sampai ada refleks-refleks jalan nafas.

3.Seteleh insersi pipa endotrakeal (ETT), kaf dikembangkan dengan sedikit udara cukup untuk menghindari kebocoran selama ventilasi tekanan positif untuk menghindari penyebab tekanan ke mukosa trakea.

4.Walaupun deteksi CO2 secara persisten dengan kapnograf merupakan cara konfirmasi terbaik penempatan ETT, ini tidak mendeteksi kemungkinan terjadi intubasi endobronkial. Manifestasi paling dini terjadi intubasi endobronkial adalah peningkatan tekanan puncak jalan nafas.

5.Sesudah intubasi kaf ETT tidak boleh terletak setinggi di atas kartilago krikoid, sebab penempatan di intralaring yang lama akan menimbulkan suara serak dan risiko tercabut.

6.Pencegahan intubasi esofageal bergantung pada visualisasi langsung ujung ETT yang masuk di antara pita suara, auskultasi bunyi nafas sama kedua paru kiri kanan, tidak ada bunyi gargling di lambung. Dan cara paling handal adalah adanya CO2 pada udara ekshalasi, pemeriksaan foto toraks, penggunaan bronkoskop serat optik.

7.Cara menegakkan diagnosis intubasi endobronkial : bunyi nafas unilateral, hipoksia yang tidak diduga (oksimetri pulsa) dengan oksigen inspirasi tinggi dan penurunan kekembangan balon pernafasan

8.Tekanan negatif intratoraks yang besar yang ditimbulkan oleh upaya keras pasien untuk bernafas karena spasme laring dapat menimbulkan edema paru tekanan negatif, bahkan pada pasien sehat sekalipun.

9. Pemasangan LMA tidak dilakukan pada lambung penuh

10.Isi kaf pipa endotrakeal tidak boleh terlalu besar

11.Pemantauan ETCO2 (sebaiknya dengan kapnograf bukan kapnometer) dapat memastikan intubasi esofageal

12.SpO2 dapat menunjukkan kemungkinan intubasi endobronkial

Page 49: Dasar ilmu Anesthesi

49

13.Bila saat tindakan intubasi, terjadi desaturasi Hb, hentikan dulu upaya intubasi, berikan oksigen dulu, sampai saturasi Hb meningkat kembali. Lanjutkan upaya intubasi.

14.Algoritma jalan nafas sulit harus selalu tersedia untuk jadi pedoman guna menghadapi kesulitan intubasi yang tidak diperkirakan sebelumnya.

Penatalaksanaan jalan nafas

Mempertahankan jalan nafas atas agar tetap bebas merupakan syarat mutlak selama tindakan anestesia umum maupun regional. Pasien yang tidak sadar dapat mengalami sumbatan jalan nafas atas parsial atau total. Tanda-tanda sumbatan ini harus dapat dikenali secara dini. Sumbatan parsial ditandai dengan adanya bunyi berisik saat inspirasi seperti ngorok, atau melengking, pengurangan aliran udara keluar masuk paru, saat inspirasi terjadi retraksi pada suprasternal, supraklavikular, interkostal dan epigastrium, mungkin ada gerakan dada paradoksal. Pada sumbatan total jalan nafas gejala tersebut akan terlihat makin berat, tetapi justru tidak terdengar bunyi nafas, sehingga bila tidak diatasi dengan baik dapat membahayakan pasien, karena dapat menimbulkan desaturasi yang mengancam

nyawa. Pemantauan saturasi sangat bermanfaat untuk deteksi dini terjadinya desaturasi oksigen.

Bagaimana melakukan pembebasan jalan nafas atas?

Peserta didik harus melakukan latihan pada manikin lebih dulu sampai mahir sebelum melakukannya pada pasien. Tanpa alat: melakukan ekstensi kepala, angkat dagu atau dengan manuver tripel. Dengan alat: memasang pipa orofaring, pipa nasofaring, LMA dan pipa endotrakeal., melakukan krikotirotomi serta trakeostomi.

Prosedur pemasangan LMA pada dewasa

1. Periksa kelengkapan alat (untuk dewasa umumnya LMA no 3 atau 4)

2. Berikan obat premedikasi atau penenang dan opioid (sebaiknya fentanil atau sufentanil)

3. Lakukan induksi anestesia4. Yakinkan pasien sudah tidak sadar.

Jaga jalan nafas5. Masukkan LMA dengan kaf kosong

atau separuh terisi udara.6. Basahi bagian dorsal atau punggung

LMA(yang tidak menghadap laring) dengan NaCl atau lubrikans/pelicin untuk memudahkan dan mencegah trauma pada palatum saat insersi

7. LMA dimasukkan dengan bagian dorsal dengan cara menelusuri palatum durum sampai bagian kaf

LMA mencapai laring. Isi kaf LMA dengan udara sesuai anjuran (umumnya 30 ml)

8. Kendala saat memasukkan atau insersi LMA adalah terhalang lidah. Dapat diatasi dengan menarik lidah keluar saat insersi posisi.

9. LMA dianggap tepat pada tempatnya bila terasa udara keluar masuk secara bebas, ada gerakan kembang kempis pada kantong reservoar anestesia

10. Obstruksi setelah insersi biasanya oleh karena epiglotis terlipat ke bawah atau spasme laring ringan.

11. Lakukan fiksasi dengan baik.

Mempertahankan jalan nafas pada neonatus pada dasarnya sama dengan dewasa tetapi harus dilakukan dengan cara lebih hati-hati atau lembut ( lihat modul anestesia pediatrik)

Prosedur intubasi endotrakeal yang lazim dilakukan dengan anestesia umum

1. Periksa kesiapan alat dan obat yang diperlukan.

2. Bila premedikasi diberikan di kamar operasi, tunggu sampai obat premedikasi bekerja.

3. Berikan obat induksi, sambil berikan oksigen, sampai pasien tidak sadar.

4. Berikat obat pelumpuh otot, tunggu sampai obat bekerja pada otot

Page 50: Dasar ilmu Anesthesi

50

pernafasan yang ditandai dengan apnea.

5. Berikan nafas buatan dengan oksigen 100% selama 2-3 menit

6. Lakukan laringoskopi dengan laringoskop bilah (daun) bengkok

7. Pegang gagang laringoskop dengan tangan kiri

8. Pastikan cahaya lampu laringoskop cukup terang

9. Buka mulut pasien dan masukkan daun dari sudut kanan mulut

10. Geser lidah ke arah kiri sambil meneruskan masuk daun ke dalam rongga mulut menelusuri pinggir kanan lidah menuju laring. Perhatikan sampai tampak epiglotis.

11. Tempatkan ujung daun pada valekula12. Angkat epiglotis dengan ujung gagang

ke depan (tidak diungkit). Gagang harus dipegang dengan tangan kiri

13. Bila epiglotis terangkat dengan baik akan tampak rima glotis, dan tampak pita suara warna putih, bentuk V terbalik

14. Masukkan dengan hati-hati pipa endotrakeal ke dalam trakea melalui rima glotis dengan tangan kanan.

15. Tempatkan ujung pipa endotrakeal kira-kira 3 sm di atas karina (tidak masuk bronkus). Auskultasi bunyi nafas paru kanan dan kiri sama.

16. Kendala saat insersi pipa endotrakeal adalah kesulitan memaparkan rima glotis dengan jelas dan lengkung pipa endotrakeal yang tidak selalu sesuai.

Penatalaksanaan jalan nafas pada anak-anak dan neonatus pada prinsipnya sama dengan dewasa. Neonatus lebih rentan terhadap trauma, sehingga harus dilakukan secara hati-hati. Proporsi kepala bayi atau anak relatif lebih besar daripada orang dewasa, sehingga posisi tidak stabil dan menimbulkan kesulitan fiksasi saat dilakukan intubasi endotrakeal. Pipa endotrakeal neonatus tanpa kaf, nomor 2.5 atau 3. Pipa endotrakeal untuk anak-anak sampai usia 6-8 thn hendaknya juga tanpa kaf. Penatalaksanaan jalan nafas pada neonatus dan anak dapat dilihat pada modul anestesia pediatrik.

Algoritma jalan nafas sulit

1. Periksa kemungkinan kondisi klinis yang akan merupakan problema dasar:

A. Ventilasi sulit

B. Intubasi sulit

C. Kesulitan dengan kerja sama atau persetujuan pasien

D. Trakeostomi sulit.

2. Secara terus menerus dan aktif memberikan oksigen selama proses

penatalaksanaan jalan nafas sulit berlangsung.

3. Pertimbangkan manfaat dan kemungkinan-kemungkinan pilihan

A. Intubasi sadar vs upaya intubasi setelah induksi anestesia

B. Intubasi noninvasif vs intubasi invasif

C. Nafas spontan vs nafas tidak spontan (apnea)

4. Buatlah strategi primer dan alternatif lain (ASA 2003)  

Page 51: Dasar ilmu Anesthesi

51

BAB IV

Resusitasi pada Pediatri

A. Bantuan hidup dasar. Kebutuhan untuk RJP pada pediatri setelah masa neonatus jarang. Henti jantung pada pediatri biasanya karena hipoksemia terkait dengan gagal nafas atau obstruksi jalan nafas. Pediatri meliputi bayi (usia 1 bulan sampai 1 tahun), anak-anak (1 sampai 8 tahun). Untuk anak-anak lebih tua

dari 8 tahun, resusitasi sama dengan dewasa. Perbedaan resusitasi pada anak-anak dan dewasa:

1. Jalan nafas dan pernafasan. Tindakan menjaga jalan nafas sama dengan dewasa. Pada anak-anak kurang dari 1 tahun, hentakan abdominal tidak digunakan karena mudah merusak saluran cerna. Hiperekstensi kepala leher neonatus (head tilt/chin lift) dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas. Kompresi submental saat angkat dagu dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas karena lidah terdorong ke dalam faring. Ventilasi harus diberikan secara pelan dengan tekanan jalan nafas rendah guna mencegah distensi gaster dan harus diberikan volume ventilasi yang baik

2.Sirkulasi. Pada bayi arteri brakialis dan arteri femoralis dipakai untuk menilai denyut, karena arteri karotis sulit diraba. Bila tidak ada denyut, kompresi dada dimulai dengan rasio kompresi/relaksasi 1:1 dengan dua ujung jari atau dengan kedua ujung ibu jari sembari kedua tangan melingkari dada. Tempat

tumpuan kompresi adalah di sternum satu jari di bawah garis interpapiler. Pada anak lebih besar tempat tumpuan sama dengan dewasa, kompresi dilakukan hanya dengan satu tangan menekan sternum sedalam 1/3 sampai ½ kedalaman anterior posterior toraks. Untuk satu penolong rasio kompresi/ventilasi 30:2. Untuk dua penolong 15:2. Ventilasi diberikan 8 sampai 10 kali per menit, dan kompresi dada diberikan dengan kecepatan 100 x per menit.

B. Pediatric advanced life suppot. Kebanyakan henti jantung pediatrik lebih sering menunjukkan gambaran EKG asistol atau bradikardia daripada aritmia ventrikular. Pada anak kurang dari 1 tahun, etiologinya adalah idiopatik atau pernafasan. Karena perbedaan anatomi dan fisiologi dengan dewasa, pada anak-anak dipakai dosis defibrilasi dan obat berdasarkan berat badan.

1.Intubasi. Ukuran ETT berdasarkan usia pasien (= 4 + usia/4) untuk anak-anak di atas 2 tahun. Gunakan ukuran ½ lebih kecil untuk ETT dengan kaf. Atropin, epinefrin, lidokain, atau nalokson dapat diberikan melalui ETT sebelum ada akses vena.

2. Defibrilasi. Padel defibrilator untuk bayi berdiameter 4,5 sm dan untuk anak lebih besar 8 sm. Untuk alat monofasik dan bifasik

Page 52: Dasar ilmu Anesthesi

52

level energi 2 J/kg dosis awal dan dosis ulang 4 J/kg. Hipoksemia, asidosis dan hipotermia harus dipertimbangkan sebagai penyebab henti jantung yang perlu diatasi bila upaya defibrilasi tidak berhasil. Untuk kardioversi mulai dengan energi 0,2 J/kg, dinaikkan sampai 1 J/kg bila diperlukan.

3. Akses intravena. Akses vena sentral lebih disukai, tetapi bila ada, jalur IV perifer harus segera dipakai, jangan ditunda-tunda. Vena femoralis masih bisa dipakai dengan kateter khusus yang cukup panjang. Akses intraoseus dapat dipakai pada anak-anak, dengan jarum khusus ditusukkan ke bagian spongiosa tibia, hindari epifisis tibia, mencapai akses sinus vena sumsum tulang. Bila tak satupun di atas tersedia, dapat diberikan melalui ETT dengan pengenceran 2 – 5 ml NaCl 0,9%.

4.Medikasi. Semua obat yang dipakai pada ACLS dewasa dapat diberikan pada anak-anak (PALS), disesuaikan dengan berat badan anak.

Resusitasi Neonatus. Neonatus adalah usia 28 hari pertama kehidupan. Seseorang yang sudah mahir dalam resusitasi neonatus hendaknya hadir pada setiap persalinan. Resusitasi dibagi dalam 4 fase: rangsangan

dan isap, ventilasi, kompresi dada dan pemberian obat dan cairan resusitasi. Resusitasi sering diperlukan pada operasi sesarea darurat atas indikasi gawat janin. Anestetis harus mengambil alih terapi bayi baru lahir sampai spesialis anak tiba.

A. Penilaian. Resusitasi segera pada neonatus merupakan hal yang sulit bila hipoksemia berat mudah terjadi dengan cepat dan menyebabkan asidosis respiratori, sirkulasi fetal resisten dan pintasan kanan ke kiri. Neonatus yang membutuhkan resusitasi pada umumnya menderita pintasan kanan ke kiri.

1. Skor Apgar merupakan penilaian obyektif kondisi fisiologis bayi baru lahir pada 1 dan 5 menit sesudah lahir.

2. Skor Apgar 0-2 harus dilakukan RJP. Skor 3-4 memerlukan balon resusitator dan sungkup dan mungkin memerlukan resusitasi lebih lanjut. Suplemen oksigen dan rangsangan secara normal cukup untuk bayi dengan skor 5 – 7. Aktivitas respirasi harus dinilai dengan mengamati gerakan dada dan auskultasi. HR diperiksa dengan auskultasi atau perabaan pembuluh umbilikalis.

1. Rangsangan dan pengisapan. Tempatkan neonatus dalam lingkungan hangat untuk menghindari kehilangan panas dan asidosis kambuhan. Letakkan neonatus pada posisi

Trendelenberg dengan posisi mendongak untuk membuka jalan nafas dan memudahkan drainase sekresi. Mulut dan hidung harus diisap (dengan alat khusus) untuk mengeluarkan darah, mukus, mekonium. Pengisapan paling lama 10 detik, dan oksigen diberikan antara 2 upaya isap. Selama pengisapan, denyut jantung harus dipantau untuk kemungkinan timbulnya bradikardia akibat hipoksemia, refleks vagal atau rangsangan faring. Pengisapan dan ”mengeringkan” merupakan rangsangan pernafasan yang adekuat. Cara lain adalah secara lembut menggosok punggung atau menepuk telapak tumit kaki. Bila ada mekonium dalam air ketuban, spesialis obstetri sering melakukan pengisapan jalan nafas saat kepala lahir tetapi toraks belum lahir (intrapartum isap). Akan tetapi, cara ini secara rutin tidak memberikan hasil lebih baik terhadap risiko aspirasi, karena itu sudah tidak dianjurkan lagi. Pengisapan melalui ETT tak bermanfaat untuk bayi yang usaha nafas kuat, tonus otot bagus, HR >100 kali/menit. Pengisapan melalui ETT harus dilakukan segera setelah lahir pada bayi dengan mekonium dan diulangi sampai trakea bersih. Tiap upaya isap harus singkat untuk mencegah bradikardia.

2. Ventilasi. Sesudah rangsangan dan stabilisasi, bayi yang bernafas spontan dan HR > 100 x/menit tetapi tampak sianosis

Page 53: Dasar ilmu Anesthesi

53

sentral (wajah, tubuh dan membran mukosa), harus diberi suplemen oksigen. Sianosis akral (hanya di kaki dan tangan) biasanya normal dan tidak handal sebagai indikator hipoksemia. Beri ventilasi tekanan positif dengan oksigen 100% bila apnea, sianosis dan HR < 100 x/menit. Balon resusitator dan sungkup muka harus diupayakan segera. Nafas awal bisa memerlukan tekanan jalan nafas 30-40 sm H2O yang dipertahankan selama 2 detik. Tekanan jalan nafas harus dijaga serendah mungkin (pastikan paru mengembang dan cegah distensi lambung). Lakukan terus ventilasi bantu sampai timbul ventilasi spontan adekuat dan HR >100 x/menit. ETT dipasang bilamana ventilasi dengan sungkup muka tidak efektif, diperlukan pengisapan melalui ETT (aspirasi mekonium), atau diperlukan ventilasi berkepanjangan.

3. Kompresi dada. Untuk HR < 100, harus dievaluasi setelah pemberian ventilasi adekuat dengan oksigen 100% selama 30 detik. Bila HR < 60 kompresi dada harus juga dilakukan di samping bantuan nafas. Dilakukan pada sepertiga bawah dari sternum, dan kompresi dada sedalam 1/3 kedalaman antero-posterior. Kompresi dan ventilasi harus dikoordinasikan dengan rasio 3:1, dengan 90 kompresi dan 30 nafas sehingga dalam 1 menit diperoleh 120 kali upaya. Kompresi dihentikan seiap 30 detik untuk menilai ulang respirasi, HR,

warna dan harus dilanjutkan terus sampai HR spontan > 60 x/menit

4. Pemberian obat-obat dan cairan resusitasi . Obat-obat resusitasi harus diberikan bila HR masih < 60 x/menit kalaupun ventilasi sudah adekuat dengan oksigen 100% dan kompresi dada. Vena umbilikalis, terbesar dan tertipis di antara 3 pembuluh darah dalam tali pusat, merupakan akses vaskular untuk resusitasi neonatus. Bila tak ada akses vaskular, epinefrin, atropin, lidokain, nalokson dibilas dengan larutan NaCl 0,9% 5 mL dapat diberikan melalui ETT.

5. Dosis obat dan cairan

a. Suplemen oksigen harus diberikan pada waktu ventilasi tekanan positif. Berikan oksigen bila nafas spontan, tetapi ada sianosis sentral. Dianjurkan untuk tidak memberikan oksigen 100% dalam waktu lama.

b. Epinefrin. Efek β-adrenergik dari epinefrin meningkatkan HR selama resusitasi neonatus. Indikasi pada asistol dan bradikardia < 60 x/menit sekalipun sudah dengan ventilasi tekanan positif dan kompresi dada. Dosis 0,01-0.03 mg/kg larutan 1:10.000 IV. Melalui ETT 0,1 mg/kg. Dosis dapat diulang setiap 3-5 menit, sesuai kebutuhan.

c.Nalokson adalah antagonis spesifik untuk opiat diberikan bila ada depresi nafas pada neonatus sekunder karena pemberian narkotik pada ibunya. Dosis 0.1 mg/kg. Harus selalu diobservasi akan timbulnya ulang depresi atau terjadi reaksi withdrawal.

d. Pemberian sodium bikarbonat secara rutin tidak dianjurkan. Dapat dipertimbangkan selama henti jantung yang berkepanjangan untuk mengatasi depresi fungsi miokard dan penurunan kerja katekolamin yang ditimbulkan oleh asidosis. Perdarahan intraventrikular pada bayi prematur terjadi karena beban osmolar yang terjadi karena pemberian Na-bikarbonat. Preparat untuk neonatus 4,2% atau 0,5 mEq/mL dapat menghindarkan efek samping di atas. Dosis awal 1 mEq/kg intavena diberikan selama 2menit. Selanjutnya 0,5 mEq/kg diberikan setiap 10 menit dan pH dan PaCO2 harus selalu diperiksa.

e. Atropin, kalsium, glukosa tidak dianjurkan pada resusitasi neonatus kecuali dengan indikasi khusus.

f. Cairan. Hipovolemia harus dipertimbangkan pada perdarahan peripartum atau bila hipotensi, nadi lemah, tetap pucat sekalipun sudah dilakukan oksigenasi dan kompresi dada. Cairan yang digunakan kristaloid 10 ml/kg dan diulang bila perlu.

Page 54: Dasar ilmu Anesthesi

54

Pemberian volume ekspander seperti albumin secara cepat dapat menimbulkan perdarahan intraventrikular.

Penilaian kapasitas fungsional pasien

Pasien yang akan menjalani operasi dan anestesia wajib dikunjungi oleh seorang anestesiolog. Hal-hal yang harus dilakukan adalah :

Riwayat anestesia Melakukan pemeriksaan fisis yang

sesuai. Melakukan evaluasi hasil pemeriksaan

laboratorium Anestesiolog sebaiknya

membiarkankan pasien untuk mengajukan pertanyaan.

Mencatat kegelisahan pasien Menginformasikan rencana pembiusan

Perhatian khusus harus diberikan pada hal-hal berikut yang ditemukan pada anamnesis

1. Riwayat penyakit terdahulu, operasi dan pembiusan sebelumnya.

2. Terapi obat-obatan seperti kortikosteroid, insulin,

obat antihipertensi, transquillizers, antidepresan trisiklik, antikoagulan, barbiturat, diuretik dan alergi obat.

3. Gejala-gejala yang berhubungan dengan sistem respirasi, seperti batuk, sputum, bronkospasme, kemampuan untuk mengeluarkan lendir.

4. Sistem kardiovaskular : toleransi latihan, nyeri angina, Gagal jantung, hipertensi yang tidak diterapi.

5. Kecenderungan untuk muntah. Pilihan obat dan tindakan anestesia untuk mengurangi mual muntah pascabedah

6. Riwayat kehamilan dan menstruasi.

7. Kebiasaan pasien ; merokok, minum alkohol, adiksi obat.

Penilaian preoperatif seringkali kurang daripada yang seharusnya, dan terkadang adanya kurang komunikasi antara dokter bedah dan anestesiolog.

Page 55: Dasar ilmu Anesthesi

55

BAB V

Pada pasien seharusnya dilakukan pemeriksaan klinis yang lengkap, terutama

1. Tanda-tanda penyakit pernafasan : pola dan karakter pernafasan seperti dispneu, adanya suara tambahan pada auskultasi, jari tabuh, sianosis. Gejala-gejala tambahan yang perlu didiskusikan lagi pada kondisi-kondisi tertentu, seperti :

Nyeri tulang atau kelemahan otot pada keganasan.

Kelemahan umum, demam atau kehilangan berat badan pada TBC

Semua pasien harus ditanyakan mengenai kebiasaan merokok.

Pemeriksaan fisis

Warna dan kualitas suara harus dicatat

Mengi yang terdengar harus bisa dideteksi

Dispneu Perhatian secara khusus harus

berikan pada pola, ekskursi dan simetrisitas dari gerakan pernafasan.

Adanya suara tambahan pada pasien yang tidak memiliki penyakit pernafasan (ronki)

memberikan peringatan bahwa kaliber bronkus abnormal.

Rales atau crackles disebabkan oleh penutupan mendadak atau kolaps dari jalan nafas. Keadaan ini terjadi di awal inspirasi pada pasien dengan obstruksi jalan nafas dan pada akhir pernafasan jika berhubungan dengan penyakit paru restriktif.

Beberapa manifestasi penyakit paru dapat dideteksi, seperti : penggunaan otot-otot tambahan dan trakeal tug adalah manifestasi dispneu berat, kecemasan dan kegelisahan dapat disebabkan oleh hipoksia, hipertensi, berkeringat, vasodilatasi perifer dan kebingungan dapat terjadi pada pasien dengan retensi CO2 akut.

Tes-tes yang tidak memerlukan peralatan

Tes-tes ini hanya menyediakan informasi yang minimal tentang fungsi pernafasan dan terkadang direkomendasikan sebagai tes skrining untuk menentukan ” fit untuk operasi”. Tes sederhana yang dapat dilakukandalam klinik adalah :

a. Tes tahan nafas Sabrasez : pasien dalam keadaan istirahat diminta untuk menarik nafas dalam dan selanjutnya menahan

Page 56: Dasar ilmu Anesthesi

56

nafasnya. Apabila dapat menahan nafas selama 25-30 detik pasien dapat dianggap normal. Pasien yang hanya bisa menahan nafas kurang dari 15 detik mengindikasikan kurangnya cadangan kardiorespirasi.

b. Tes Snider : kemampuan untuk meniup korek api pada jarak 6 inci dari depan mulut. Ketidakmampuan melakukan tes Snider mengindikasikan forced expiratory volume dalam satu detik kurang dari satu liter.

2. Tanda-tanda penyakit jantung.

Penyakit jantung yang serius hampir selalu berhubungan dengan gejala dan tanda yang jelas seperti nyeri dada sewaktu aktivitas, dispneu, hemoptisis, sinkop, palpitasi dan edema. Tetapi iskemik miokardium akut dapat terjadi tanpa gejala yang jelas.

Pemeriksaan fisis

Sianosis adalah warna kebiruan pada kulit akibat adanya desaturasi hemoglobin pada pembuluh darah kapiler.

Sianosis perifer berhubungan dengan peningkatan ekstraksi oksigen pada jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah kapiler pada kulit. Hal ini terjadi saat curah jantung menurun ; pada pasien yang normal ; berhubungan

vasokonstriksi perifer saat terpapar dingin.Pada sianosis sentral, kulit tetap hangat dan perubahan warna juga terlihat pada lidah akibat tercampurnya darah yang mengalami desaturasi dan yang mengalami oksigenasi pada jantung, pembuluh darah besar atau paru-paru.

Frekuensi nadi dan irama dapat dinilai dari palpasi arteri radialis, akan tetapi volume dan karakter gelombang nadi hanya dapat dinilai secara akurat melalui arteri karotis.

Impuls jantung (apeks jantung) secara normal ditemukan pada ruangan interkostal 5 sesuai dengan linea midklavikularis. Posisinya mungkin dapat berubah akibat pembesaran jantung atau faktor ekstrakardiak lain. Penyebab apapun pergeseran tersebut lebih penting dibanding dengan mencari lokasi yang pasti dari impuls tersebut.

Langkah penting pada auskultasi adalah identifikasi secara benar dari suara jantung pertama dan kedua. Pulsasi arteri karotis harusnya diraba selama auskultasi.

Murmur adalah bunyi yang dihasilkan akibat turbulensi aliran darah pada titik tertentu pada sirkulasi dan secara normal terjadi pada tempat-tempat tertentu. Diastolik murmur merupakan bukti yang jelas adanya penyakit jantung. Murmur sistolik dengan tanpa adanya interval dengan bunyi jantung kedua biasanya berhubungan dengan penyakit organik.

Adanya thrill mengindikasikan adanya penyakit jantung organik.

3. Status Gizi : obesitas atau malnutrisi

4. Warna kulit, terutama pucat, sianosis, kuning atau pigmentasi.

5 Status psikologis pasien, derajat kecemasan.

6. Jalan nafas,

Nilai kesulitan saat mempertahankan jalan nafas dan laringoskopi.

Nilai gigi-geligi seperti gigi yang menonjol atau ompong, tambalan atau mahkota gigi terutama pada bagian depan.

Adanya hal-hal tersebut di atas perlu dicatat dan pasien biasanya diperingatkan adanya kemungkinan untuk rusak

6. Kemudahan untuk kanulasi.

Investigasi

Secara umum diterima bahwa riwayat klinis dan pemeriksaan fisis adalah metode terbaik untuk skrining yang terbaik untuk menentukan adanya suatu penyakit. Sebelum meminta suatu pemeriksaan yang lebih lanjut,

Page 57: Dasar ilmu Anesthesi

57

seorang anestesiolog harus bertanya pada dirinya sendiri, pertanyaan-pertanyaan di bawah ini :

Apakah investigasi ini menyedialan informasi yang tidak bisa disingkap oleh pemeriksaan fisis ?

Apakah hasil dari pemeriksaan akan mengubah penatalaksanaan pasien ?

Perlu dicatat bahwa hal-hal ini hanya merupakan panduan dan dapat dimodifikasi sesuai dengan penilaian yang diperoleh dari anamnesis dan pemeriksaan klinis.

Anestesiolog disarankan untuk tidak menerima pasien pembedahan elektif sampai investigasi yang sesuai tersedia. Tes sederhana yang diindikasikan adalah sebagai berikut :

1. Tes urin, terutama gula, keton dan protein1. Kadar hemoglobin, hitung jenis, waktu

perdarahan dan pembekuan (BT/CT) dan golongan darah.

2. Kadar ureum dan elektrolit tidak dibutuhkan secara rutin pada pasien kurang dari 50 tahun, akan tetapi harus diambil pada keadaan-keadaan berikut :

Jika terdapat riwayat diare, muntah, atau penyakit metabolik

Adanya penyakit ginjal atau hepar, diabetes, atau status nutrisi yang abnormal

Pada pasien yang mendapat medisasi diuretik, digoksin, antihipertensi, steroid, atau obat hipoglikemik.

3. Tes fungsi liver diperlukan hanya pada pasien dengan :

Penyakit hepar Status nutrisi abnormal atau

penyakit metabolik Riwayat konsumsi alkohol

dalam jumlah yang banyak (>80 g/ hari)

4. Konsentrasi gula darah

Pengukuran gula darah diperlukan pada pasien yang mempunyai penyakit diabetes atau penyakit vaskular atau sedang mendapat terapi kortikosteroid.

5. Status sickle

Pasien dengan asal etnik atau riwayat keluarga dengan kecurigaan adanya hemoglobinopathy hendaknya dilakukan pengukuran konsentrasi hemoglobin dan elektroforesis hemoglobin

6. Analisa gas darah

Analisa gas darah arteri diperlukan pada semua pasien dengan dispneu saat istirahat dan pada pasien dengan rencana akan dilakukan toraksotomi elektif

7. Foto toraks

Foto toraks tidak diperlukan secara rutin pada pasien di bawah usia 60 tahun tetapi harus dilakukan pada situasi :

1. Jika terdapat riwayat atau tanda-tanda fisis penyakit jantung atau penyakit respirasi.

2. Jika terdapat kemungkinan metastasis dari karsinoma

3. Sebelum operasi toraks4. Pada imigran yang baru,

dalam 12 bulan terakhir dari negara-negara dengan endemik TBC

Foto toraks umumnya dilakukan sebagai pemeriksaan rutin pada semua pasien dengan penyakit paru. Hal-hal yang penting adalah apakah terdapat deviasi trakea atau distorsi, apakah terdapat deformitas pada dinding toraks, dan apakah terdapat kelainan lokal pada paru atau pleura yang mungkin terlewatkan pada pemeriksaan fisis.

Page 58: Dasar ilmu Anesthesi

58

Foto toraks seringkali kurang memperlihatkan adanya kelainan fungsi paru

9. Fungsi paru

Tes fungsi paru dilakukan sebagai tambahan, bukan sebagai pengganti penilaian klinis. Tes ini diindikasikan ketika diperlukan :

1. Melihat asal/ penyebab kelainan pulmoner, terutama pada sekitar di mana beberapa kelainan mungkin berkontribusi pada diasabilitas

2. Untuk menilai berapa besar derajat kelainan yang sering sebagai dasar untuk terapi

3. Untuk mengerti lebih lanjut mengenai patologi fisiologi Tes fungsi paru yang sederhana, seperti forced expiratory volume dalam satu detik (FEV 1.0), forced vital capacity (FVC) dan peak expiratory flow rate dapat langsung dilakukan di tempat tidur pasien menggunakan spirometer berukuran paket dan Wright peak flowmeter.

Rasio FEV1.0 : FVC menurun pada penyakit paru obstruktif dan normal pada penyakit restriktif.

Investigasi Fuller meliputi pemeriksaan FRC, RV dan TLC.

10. Elektrokardiogram

EKG 12 lead hendaknya diperiksa pada situasi-situasi berikut :

a. Jika terdapat riwayat atau tanda-tanda fisis penyakit penyakit jantung

b. Adanya penyakit hipertensic. Pada semua pasien dengan usia

di atas 40 tahun.

11. Bedside pulse oxymeter

Pengukuran saturasi oksigen arterial udara nafas dan konsentrasi oksigen tinggi memberikan indeks pertukaran gas pulmoner yang cepat dan berguna

12. Echogardiogram

Ini merupakan tes noninvasif yang sangat berguna yang memperlihatkan abnormalitas anatomi dari jantung, menilai fungsi ventrikular dan gradien tekanan yang melalui katup yang mengalami stenosis, dan mendeteksi adanya regurgitasi valvular. Ini dapat

dilakukan di tempat tidur pasien, tetapi memerlukan perlengkapan yang mahal dan operator yang terlatih.

13. Pemeriksaan khusus yang lain yang mungkin diperlukan ketika diindikasikan

Penilaian status fisis

ASA mengklasifikasikan pasien ke dalam beberapa tingkatan berdasarkan kondisi pasien :

ASA I : Pasien tidak memiliki kelainan organik, fisiologik, biokimia atau gangguan psikiatri.

ASA II : Gangguan sistemik ringan sampai sedang yang disebabkan oleh kondisi yang akan diterapi dengan pembedahan atau oleh proses patofisiologi lainnya. Misalnya : penyakit organik ringan pada jantung, diabetes, hipertensi ringan, anemia, kegemukan, bronkitis kronis ringan. ASA III : keterbatasan melakukan aktivitas; pasien dengan gangguan sistemik berat atau karena penyakit apapun penyebabnya, walaupun mungkin belum bisa dinilai derajat

Page 59: Dasar ilmu Anesthesi

59

kemampuannya, misalnya angina, diabetes berat, dan gagal jantung.

ASA IV : Penderita dengan kelainan sistemik berat yang mengancam nyawa, tidak selalu dikoreksi dengan operasi, misalnya insufisiensi jantung, angina persisten, insufisiensi renal atau hepatik.

ASA V : Penderita yang diperkirakan tidak akan selamat dalam 24 jam, dengan atau tanpa operasi.

ASA VI : Penderita mati batang otak yang organ-organnya dapat digunakan untuk donor.

Klasifikasi E merupakan penjelasan untuk operasi darurat (darurat)

Klasifiksai ASA merupakan sistem yang secara umum sering digunakan untuk menilai status fisis pasien, walaupun ahli anestesia yang lain tidak selalu setuju dengan klasifikasi ini. Klasifikasi ini tidak dapat dipakai untuk pasien tanpa gejala, misalnya penderita dengan penyakit jantung koroner berat.

Penilaian risiko

Penilaian preoperatif mengenai risiko harus dititikberatkan pada 2 hal:

1. Apakah pasien dalam keadaan optimal untuk dianestesia?

2. Apakah keuntungan pembedahan lebih besar dari risiko anestesia dan pembedahan akibat penyakit yang ada ?

Apabila terdapat beberapa keadaan medis yang mungkin dapat diperbaiki ( misalnya, penyakit paru, hipertensi, gagal jantung), pembedahan sebaiknya ditunda, dan diberikan terapi yang sesuai.

Terdapat hubungan antara menilai faktor-faktor preoperatif dan perkembangan morbiditas dan mortalitas pascabedah. Mungkin pada beberapa pasien dapat diukur secara tepat, tetapi tidak dapat diterapkan secara tepat untuk masing-masing individu. Keputusan untuk meneruskan penatalaksanaan hanya dapat dibuat setelah adanya diskusi antara ahli bedah dan anestesiolognya

Pada studi mortalitas dalam skala besar, umumnya, faktor-faktoir yang memberikan kontribusi pada mortalitas anestesia meliputi :

1. Penilaian yang tidak adekuat selama periode preoperatif.

2. Supervisi dan pemantauan yang tidak adekuat selama periode intraoperatif.

3. Penatalaksanaan dan supervisi pascabedah yang tidak adekuat.

1.Kebiasaan pasien

Merokok

Efek yang merusak dari merokok meliputi penyakit vaskular perifer, sirkulasi koroner dan serebral, karsinoma paru dan bronkitis kronik. Merokok harus dihentikan 6 pekan sebelum operasi untuk meminimalisasi komplikasi paru selama pembedahan, termasuk di antaranya infeksi, laringospasme dan bronkospasme. Penghentian selama 12 jam sebelumnya mencegah efek samping dari CO dan nikotin pada pasokan dan kebutuhan oksigen otot jantung. Berhenti selama beberapa hari akan memperbaiki aktivitas siliar. Merokok juga dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Pada anak-anak yang secara pasif terpapar dengan rokok, terjadi peningkatan insiden komplikasi jalan nafas, jika dilakukan pembiusan.

Page 60: Dasar ilmu Anesthesi

60

Alkoholisme

Pada pasien dengan alkoholisme kronik, dapat terjadi toleransi dengan beberapa obat anestetik seperti eter, terjadi resistensi terhadap obat-obatan anestesia.

Alkohol dieliminasi dengan oksidasi di hati tetapi juga dapat menginduksi enzim-enzim yang memetabolisme obat-obatan, sehingga respons terhadap obat tidak dapat diperkirakan.

Dapat terjadi vasodilatasi perifer, kardiomiopati, sirosis dan perioperatif withdrawal crisis (delirium tremens)

Alkohol sebaiknya tidak dihentikan saat menunggu operasi. Analgesia regional sebaiknya dipertimbangkan namun fungsi koagulasi mungkin abnormal.

Untuk mencegah gejala withdrawal, pemberian alkohol 8-10% dalam NaCl 0,9% 500 ml dalam beberapa jam dapat menolong.

To prevent withdrawal symptoms 8 – 10 % alcohol in salin 500 ml i.v. for over several hours may be helpful.

Kebergantung padaan Obat (Narkotik)

Pasien-pasien ini dapat memanipulasi gejala-gejalanya untuk mendapatkan pembedahan dan narkotik pascabedah, atau mengganggu proses penyembuhan luka untuk memperpanjang lama perawatan di rumah sakit.

Tromboflebitis dan abses multipel dapat timbul akibat penyuntikan obat yang tidak higienis, sehingga terapi intravena melalui vena sentral.

Sepsis, tbc, endokarditis, hepatitis B dan HIV / AIDS, lazim ditemukan.

Penderita dapat resisten terhadap semua obat sedatif/ narkotik.

Hipotensi umumnya terjadi selama operasi berlangsung. Gejala withdrawal narkotik termasuk kram, muntah dan diare, dan dapat menyerupai obstruksi intestinal.

Adiksi obat (lainnya)

9-tetrahidronnabinol, dari kanabis, menyebabkan takikardia, hipertensi, dan eksaserbasi oleh atropin atau analgetik lokal yang mengandung adrenalin. Kokain dapat menyebabkan iskemia miokard dan kardiomiopati. Adiksi amfetamin dapat meningkatkan dosis anestetik yang diperlukan.

Page 61: Dasar ilmu Anesthesi

61

BAB VI

1. Sebelum memulai melakukan setiap tindakan anestesia harus selalu diperiksa

kelayakan mesin anestesia: sistem perpipaan gas dan udara tekan rumah sakit

(bila ada), tabung gas portabel, flow meter, vaporizer, Fresh Gas Flow,

sirkuit nafas, katup inspirasi, katup ekspirasi, pop-off valve, reservoir bag.

2. Harus selalu dipikirkan untuk kemungkinan timbul problema jalan nafas sulit

sehingga persiapan alat-alat penatalaksanaan jalan nafas dasar dan lanjut dan

jalan nafas sulit selalu siap pakai.

3. Alat untuk akses vaskular perifer dan sentral, alat-alat infusi, pompa semprit,

infusion pump dipersiapkan sesuai kebutuhan.

4. Alat monitor fungsi vital respirasi, kardiovaskular, suhu, merupakan

pemantauan baku yang harus tersedia.

5. Kesiapan alat-alat dan obat-obat untuk darurat resusitasi harus selalu dicek

secara rutin dalam keadaan siap pakai

6. Alat dan obat-obat untuk penanggulangan nyeri.

Pada pasien trauma pertama kali yang dilakukan adalah penilaian survey primer ABCDE, dan pembebasan jalan nafas. Bila ada dugaan trauma leher, tindakan inline position. Lakukan pemberian oksigenasi dan ventilasi bila perlu. Pasang akses vena dengan jarum 16-14 G, dan resusitasi cairan kristaloid hangat. Selanjutnya adalah menghentikan perdarahan eksternal bila ada.

Setelah ABC aman, lakukan survei sekunder meliputi pemeriksaan fisis kepala sampai ekstremitas. Pasang pemantauan, bila kondisi stabil lakukan pemeriksaan foto toraks, abdomen, pelvis, C-spine bila perlu ultrasonografi (USG) untuk menegakkan

Page 62: Dasar ilmu Anesthesi

62

diagnosis adanya trauma dada, fraktur iga, pneumotoraks tension, flail chest, hemotoraks, kontusio paru, aspirasi kontusio miokard, trauma abdomen luka penetrasi, non penetrasi, nyeri abdomen , penyebab tidak jelas. Pemeriksaan CT scan dilakukan bila ada indikasi seperti trauma kepala. Pemeriksaan DPL, hematologi, golongan darah dan permintaan komponen darah bila diperlukan.

Pasien trauma yang menjalani anestesia harus dilakukan penatalaksanaan preoperatif ; anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang, informed consent dan lakukan persiapan anestesia (puasa, rencana premedikasi). Pasien dewasa elektif dipuasakan 6 – 8 jam, anak 2, 4, 6, 8 jam. Dilakukan penetapan status fisis ASA. Persiapan anestesia meliputi statics, obat, mesin anestesia sesuai dengan tindakan anestesia yang dipilih. Setelah semua persiapan alat dan obat lengkap, pastikan ada asisten yang membantu tindakan anestesia. Lakukan anestesia umum sesuai modul pada anestesia umum atau analgesia regional sesuai modul analgesia regional untuk pasien bedah digestif. Premedikasi dapat diberikan secara intravena atau intramuskular. Lakukan pemantauan fungsi vital oksigenasi, saturasi Hb (SpO2), tekanan darah, nadi, EKG, suhu, aliran cairan infusi, ventilasi dengan ETCO2 kalau

ada, produksi urin, jumlah perdarahan. Bila diperlukan pemasangan kateter vena sentral dan jalur intra arterial. Atur kebutuhan obat untuk pertahankan sedasi, analgesia dan relaksasi. Untuk beberapa kasus dibutuhkan pemasangan NGT.

Akhir operasi yakinkan pasien bernafas spontan dan volume nafas adekuat (kecuali bila direncanakan untuk melanjutkan bantuan nafas pascabedah). Bila perlu berikan antidotum obat-obat yang menyebabkan apnea berkepanjangan atau hipoventilasi . Lakukan pengakhiran anestesia dengan mulus, dan mengawasi masa siuman. Lakukan pengawasan terhadap komplikasi pascabedah dan penanggulangan terhadap mual muntah, nyeri, obstruksi jalan nafas, gangguan oksigenasi, bradipnea, apnea, gangguan tekanan darah, dan lama pulih sadar. Mortalitas dapat terjadi bergantung pada kondisi awal, ASA, atau penyakit penyerta. Untuk kasus dan kondisi pasien tertentu memerlukan perawatan ICU pascabedah.

Langkah-langkah penanganan pasien trauma

Asesmen pertama pada pasien trauma dapat dibagi menjadi pemeriksaan primer, sekunder dan tertier (primary, secondary

and tertiatry survey). Primary survey akan berlangsung 2 – 5 menit dan terdiri dari urutan ABCDE trauma: Jalan nafas. Breathing , Circulation , Disability dan Exposure. Jika fungsi tiga sistem pertama terganggu, resusitasi harus segera dilakukan secepatnya. Pada pasien kritis, resusitasi dan asesmen berlangsung simultan oleh tim pelaksana penangulangan trauma. Pemantauan dasar mencakup, EKG, tekanan darah noninvasif dan oksimeter pulsa dapat diprakarsai dari tempat kejadian dan diteruskan selama perteolongan. Prinsip-prinsip resusitasi Jantung – Paru dapat dilihat dalam Modul 3: Keterampilan Anestesiologi III. Resusitasi trauma terdiri dari 2 langkah : menghentikan perdarahan dan memperbaiki cedera definitif. Primary survey akan diikuti oleh secondary dan teriary survey yanhg lebih komprehensif.

Primary survey

Jalan nafas

Menentukan dan mempertahankan jalan nafas selalu meruipakan perioritas pertama. Jika pasien dapat berbicara, jalan nafas selalu bersih; pasien yang tidak sadar akan selalu membutuhkan bantuan jalan nafas

Page 63: Dasar ilmu Anesthesi

63

dan ventilasi. Gejala penting obstruksi jalan termasuk, dengkur (snoring), stridor dan gerakan dada paradoksal. Pada pasien yang tidak sadar sebaiknya dipertimbangkan kemungkinan adanya benda asing. Menejemen jalan nafas lanjut (seperti intubasi endotrakeal, krikotirotomi, atau trakestomi) menjadi indikasi jika terjadi apnea, obstruksi persisten, cedera kepala berat, trauma maksilofasial, luka tembus leher hematom besar dan cedera dada berat.

Cedera tulang leher tidak mungkin pada pasien yang alert tanpa nyeri leher. Lima kriteria dapat meningkatkan risiko yang berpotensi ketidakstabilan tulang servikal yaitu: 1) nyeri leher, 2) nyeri yang sangat mengganggu, 3) adanya tanda atau gejala neurologik, 4) intoksikasi, 5) gangguan kesadaran. Fraktur servikal harus diduga jika terdapat salah satu kriteria tersebut; walaupun dengan kriteria ini kejadian fraktur trauma servikal mendekati 2 %. Angka kejadian ketidakstabilan tulang servikal meningkat sampai 10 % jika terjadi cedera kepala berat. Hindarkan hiperekstensi leher; jaw-thrust maneuver lebih baik untuk mempertahankan keutuhan jalan nafas. Jalan nafas oral atau nasal dapat menolong mempertahankan jalan nafas. Pasien tidak sadar dengan trauma berat mempunyai risiko tinggi aspirasi, karena itu jalan nafas harus segera

diamankan dengan pipa endotrakeal atau trakeostomi. Hiperekstensi leher dan traksi aksial berlebihan harus dicegah dan immobilisasi manual kepala dan leher oleh asisten harus dilakukan untuk menstabilkan tulang servikal selama laringoskopi (“manual in-line stabilization” atau MILS). Asisten menempatkan kedua tangan pada salahsatu sisi kepala, menahan bawah osiput dan mencegah rotasi kepala. Studi-studi telah mendemonstrasikan, pergerakan leher terjadi terutama di daerah C1 dan C2 selama ventilasi dengan sungkup muka dan laringoskopi langsung yang memerlukan upaya stabilisasi (misalnya dengan: MILS, traksi aksial, bantal pasir, fiksasi kepala, kollare lunak atau kollar keras). Dari emua teknik ini, MILS mungkin sangat efektif, tetapi juga mengakibatkan laringoskopi menjadi lebih sulit. Karena alasan ini, beberapa ahli lebih menyukai intubasi nasal (buta atau serat optik) poada pasien yang bernafasspontan dengan kecurigaan cedera tulang servikal, walaupun teknik ini mempunyai risiko untuk aspirasi paru. Kebanyakan praktisi sangat terbiasa dengan intubasi oral dilakukan pada pasien apne yang memmerlukan intubasi segera. Intubasi nasal seharusnya dihindarkan untuk pasien dengan cedera muka tengah (midface) atau fraktur tulang dasar tengkorak.

Trauma laring menyebabkan situasi lebih kompleks dan buruk. Cedera terbuka dapat berkaitan dengan perdarahan dari pembuluh darah besar di leher, obstruksi jalan nafas karena hematom atau edema. Cedera tertutup laring kurang membahayakan tetapi dapat berdampak kripitasi leher, hematoma, disfagi, hemoptisis atau hilang suara. Intubasi sadar dengan pipa endotrakeal kecil mempergunakan laringoskop direk atau brokoskop serat optik dan analgesia topikal, dapat diupayakan jika laring dapat dilihat dengan baik. Jika cedera muka dan leher tidak memungkinkan untuk dilakukan intubasi sebaiknya dipertimbangkan trakeostomi dengan analgesia lokal.Obstruksi jalan nafas akut mungkin memerlukan krikotomi darurat atau trakeostomi perkutan atau bedah.

Breathing

Asesmen ventilasi dicapai dengan baik sekali dengan cara melihat, mendengar dan merasakan. Melihat untuk sianosis, penggunaan otot nafas asesories, flail chest, luka tembus toraks. Mendengar untuk ada atau tidak ada atau penurunan bunyi nafas. Merasakan untuk emfesa subkutan, pergeseran trakea, iga patah. Adanya

Page 64: Dasar ilmu Anesthesi

64

tension pneumothorax dan hemothorax harus dapat dicurigai gangguan pernafasan sebelum dilakukan foto toraks. Kebanyakan pasien trauma yang kritis membutuhkan nafas bantu kalau tidak nafas kendali. Bag-valve devices (misalnya, self inflating bag dengan one way valve) dapat dipergunakan untuk ventilasi yang adekuat segera setelah intubasi selama transportasi pasien. Oksigen 100 % diberikan sampai gas darah arteri dapat dinilai.

Circulation

Sirkulasi yang adekuat berdasarkan laju nadi, kekuatan nadi, tekanan darah dan tanda-tanda perfusi perifer. Gejala sirkulasi tidak adekuat mencakup, takikardia, pulsa perifer lemah atau tidak teraba, hipotensi, pucat, dingin atau ekstrimitas sianosis. Perioritas pertama adalah menghentikan perdarahan, kalau terlihat dari luar tekan langsung; kedua, menggantikan cairan intravaskular melalui kanul besar agar infusi dapat diberikan cepat. Contoh darah harus diambil

Perdarahan

Pertolongan pertama perdarahan adalah menekan dari luar, hati-hati kalau mempergunakan turnike karena dapat menyebabkan cedera reperfusi. Derajat hipotensi pasien saat sampai di ruang darurat dan kamar operasi sangat menentukan mortalitas pasien. Respons fisiologik perdarahan bervariasi yaitu, takikardia, perfusi kapiler buruk, penurunan tekanan nadi pada hipotensi, takipne dan delerium. (Tabel)

Table . Clinical Classification of Shock.

  Pathophysiology

Clinical Manifestations

Mild (< 20% of blood volume lost)

Decreased peripheral perfusion only of organs able to withstand prolonged iskemia (skin, fat, muscle, and bone). Arterial pH normal.

Patient complains of feeling cold. Postural hypotension and tachycardia. Cool pale moist skin; collapsed neck veins; concentrated

  Pathophysiology

Clinical Manifestations

urin.

Moderate (20–40% of blood volume lost)

Decreased central perfusion of organs able to tolerate only brief iskemia (liver, gut, kidneys). Metabolic acidosis present.

Thirst. Supine hypotension and tachycar-dia (variable). Oliguria and anuria.

Severe (> 40% of blood volume lost)

Decreased perfusion of heart and brain. Severe metabolic acidosis. Respiratory acidosis possibly present.

Agitation, confusion, or obtundation. Supine hypotension and tachycardia invariably present. Rapid, deep respirasion.

1Modified and reprinted, with permission, from Ho MT, Saunders CE: Current Emergency Diagnosis & Treatment, 4th ed. Appleton & Lange,

Page 65: Dasar ilmu Anesthesi

65

1992.

2These clinical findings are most consistently observed in hemorrhagic shock but apply to other types of shock as well.

Terapi cairan

Perdarahan masif memerlukan transfusi sel darah merah (SDM) yang sesuai. SDM gol. O yang tidak dicocok silang, dicadangkan untuk perdarahan yang mengancam nyawa dan tidak dapat lagi diganti dengan cairan lain. Transfusi SDM diberikan jika Hb < 7 gr / dl.

Cairan kristaloid yang diberikan akan memerlukan volume yang besar, karena tidak lama bertahan dalam sirkulasi. Larutan ringer laktat lebih mudah menghasilkan asidosis kloremik dibandingkan NaCl normal. Ringer laktat merupakan caiaran yang sedikit hipotonik, tetapi pemberian yang berlebihan akan berdampak edema serebri. Cairan hipertonik seperti NaCL 3 – 7,5 % efektif untuk resusitasi cairan karena kurang mengakibat edema serebri dibandingkan ringer laktat atau NaCl normal. Tetapi hati-hati memberikan cairan hipertonik karena mudah memberi dampak

hipernatremia. Cairan yang mengandung dekstrosa berlebihan mudah menyebabkan eksaserbasi iskemia otak. Cairan koloid lebih efektif sebagai pengisi volume intravaskular karena lebih lama bertahan dalam sirkulasi; tetapi harga jauh lebih mahal. Cairan apapun yang dipilih, harus dihangatkan dulu sebelum diberikan. Infusii cepat yang mempergunakan kanul besar (14- 16 gauge) dan cairan hangat sangat baik untuk transfusi masif. Selimut hangat atau humidifier hangat juga sangat penting untuk mempertahankan suhu tubuh. Hipotermia akan memperburuk gangguan asam-basa, koagulopati, dan fungsi miokard.(Tabel)

Table. Deleterious Effects of Hypothermia.

Cardiac arrhythmias and ischemia

Increased peripheral vascular resistance

Left shift of the hemoglobin–oxygen saturation curve

Reversibel coagulopathy (platelet dysfunction)

Postoperative protein catabolism and stress response

Altered mental status

Impaired renal function

Decreased drug metabolism

Poor wound healing

Increased incidence of infection

Hipotermia juga akan menggeser kurva oksigen–hemoglobin ke kiri dan menurunkan metabolisme laktat, sitrat dan beberapa obat anestetik. Jumlah pemberian cairan berdasarkan perbaikan gejala klinis terutama tekanan darah, tekanan nadi (pulse preessure), dan laju nadi. Pengukuran CVP dan jumlah urin juga menjadi indikasi pemulihan perfusi organ vital.

Perfusi organ yang tidak adekuat akan mengganggu metabolisme aerobik dan menghasilkan asam laktat dan asisdosis metabolik. Na bikarbonat yang berdisosiasi menjadi ion bikarbonat dan CO2, dapat memperburuk asidosis intrasel karena membran sel relatif sulit larut bikarbonat dibandingkan dengan

Page 66: Dasar ilmu Anesthesi

66

CO2. Ketidakseimbangan asam – basa, akhirnya diperbaiki dengan hidrasi dan pemulihan perfusi organ. Laktat akan dimetabolisme di hati dan ion H akan diekskresi melalui ginjal.

Hipotensi pada pasien syok hipovolemik akan diatasi cairan intravena dan produk darah, bukan oleh vasopresor ; kecuali hipotensi berat yang tidak respons terhadap terapi cairan, syok kardiogenik atau henti jantung.

Disability

Upaya ini dilakukan untuk mengevaluasi neurologik dengan cepat, besar pupil, reaksi cahaya, skala Glasgow Coma Scale (GCS), pergerakan spontan kaki dan tangan atau respons terhadap rangsangan.

Table 26–1. Glasgow Coma Scale.

Category Skor

Eye opening  

Spontaneous 4

  To speech 3

  To pain 2

  Nil 1

Best motor responsse  

  To verbal command  

    Obeys 6

  To pain  

    Localizes 5

    Withdraws 4

    Decorticate flexion 3

    Extensor responsse 2

    Nil 1

Best verbal responsse  

  Oriented 5

  Confused conversation 4

Category Skor

  Inappropriate words 3

  Incomprehensible sounds 2

  Nil 1

Exposure

Seluruh pasien dilepascan agar dapat memeriksan semua cedera yang ada. Mobilisasi in – line harus dipergunakan untuk cedera lehr dan tulang belakang

Page 67: Dasar ilmu Anesthesi

67

BAB VII

Anestesia adalah hilangnya sensasi sakit. Pada anestesia umum hilangnya rasa nyeri terjadi pada seluruh tubuh disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel. Anestesia dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu anestesia umum dan analgesia lokal. Pada analgesia lokal hilangnya rasa nyeri hanya pada sebagian tubuh dan tidak disertai hilangnya kesadaran.

Anestesia umum dapat diberikan secara inhalasi, intravena, intramuskular, subkutan, per-oral, per-rektal. Analgesia lokal dapat diberikan secara topikal, infiltrasi, field block, blok saraf tepi, intravena (Bier’s technique), cadual, epidural dan spinal analgesia.

Obat anestetik inhalasi dapat berbentuk gas misalnya N2O, siklopropan dan etilen. Yang berbentuk cair melalui alat penguap akan diubah menjadi gas. Obat

anestetik inhalasi yang berbentuk cair dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu golongan halogen hidrokarbon misalnya halotan dan halogen eter yang contohnya adalah eter, enfluran, isofluran, desfluran, dan sevofluran. Teknik anestesia umum inhalasi bisa dilakukan dengan nafas spontan dengan sungkup muka, nafas spontan diintubasi, nafas spontan dengan LM, nafas spontan dengan COPA (Kafed Orofaringeal Jalan nafas) atau nafas kendali diintubasi.

Obat anestetik intravena antara lain : tiopental, propofol, ketamin, etomidat, midazolam, diazepam, dan sebagainya. Obat anestetik yang dapat diberikan secara intramuskular adalah ketamin, diazepam, midazolam. Yang dapat diberikan per-rektal adalah eter oil, ketamin, tiopental.

Anestesia umum didefinisikan sebagai hilangnya rasa nyeri diseluruh tubuh yang disertai hilangnya kesadaran yang reversibel akibat pemberian obat anestetik. Pada anestesia umum ada penekanan Susunan Saraf Pusat (SSP) yang menurun secara ireguler. Anestesia umum dapat didefinisikan lebih jauh sebagai suatu keadaan yang mana sistem fisiologi tertentu dari tubuh di bawah kendali pengaturan luar oleh obat-obat anestetik. Urut-urutan SSP yang terdepresi selama anestesia umum adalah corteks dan pusat

Page 68: Dasar ilmu Anesthesi

68

psikis, basal ganglia dan serebelum, medula spinalis dan terakhir medula oblongata

Anestesia umum dapat diberikan secara inhalasi, intravena, intra muskular, per oral dan per-rektal. Yang paling sering dipakai adalah pemberian secara inhalasi dan intravena. Agak jarang yang diberikan secara intramuskular dan lebih jarang lagi yang diberikan secara per-rektal atau per-oral.

Obat anestetik yang diberikan secara inhalasi adalah eter, halotan, enfluran, isofluran, sevofluran dan desfluran. Yang dapat diberikan secara intravena adalah tiopental, ketamin, propofol, etomidat, diazepam, midazolam. Yang diberikan secara intramuskular adalah ketamin. Contoh yang dapat diberikan per rektal adalah diazepam, eter oil. Yang dapat diberikan secara oral adalah ketamin dan midazolam.

Dengan ditemukannya obat-obat anestetik yang baru maka definisi anestesia umum tidak sesederhana sebagai suatu “depresi SSP yang menurun”. Kemampuan untuk memberikan keadaan tidur terpisah dari keadaan analgesia dan relaksasai otot menyebabkan dikenalnya keadaan yang disebut anestesia seimbang (balans anesthesia) yaitu masing-masing obat untuk setiap komponen anestesia umum.

Komponen Anestesia Umum

Pada anestesia umum terdapat trias anestesia yaitu hipnotik (hilang kesadaran), analgetik dan relaksasi. Hipnotik dapat dilakukan dengan hambatan mental, analgetik dapat dilakukan dengan hambatan sensori dan relaksasi dengan hambatan refleks dan hambatan motorik.

Analgesia :

Terjadi hambatan sensori, di sini rangsangan nyeri dihambat secara sentral sehingga tidak dapat diartikan di korteks serebri. Analgesia bisa terjadi dalam berbagai tingkatan dimulai dengan light analgesia (stadium I) sampai true analgesia di mana semua sensasi hilang.

Relaksasi:

Bisa terjadi karena adanya hambatan motorik dan hambatan refleks. Pada hambatan motorik terjadi depresi area motorik di otak dan hambatan impuls efferent, sehingga terjadi relaksasi otot skelet. Efek depresi motorik ini bergantung pada ke dalaman anestesia, di mana otot pernafasan / diafragma yang paling akhir ditekan.

Pada hambatan refleks, terjadi penekanan refleks misalnya ada sistem respirasi untuk mencegah brokospasme, laringospasme, pembentukan mukus. Pada sirkulasi untuk

mencegah terjadinya aritmia dan pada gastrointestinal untuk mencegah mual, muntah.

Hipnotik:

Terjadi hambatan mental. Ada beberapa tingkatan dimulai dari tenang, sedasi, light sleep atau hipnosis, deep sleep atau narkosis, complete anaesthesia, dan terakhir terjadi depresi medula oblongata.

Indikasi anestesia umum adalah :

1. Bayi dan anak-anak.2. Operasi yang luas.3. Pasien dengan kelainan mental.4. Bila pasien menolak analgesia lokal.5. Operasi yang lama.6. Operasi di mana dengan analgesia lokal

tidak praktis dan tidak menguntungkan.7. Pasien dalam terapi antikoagulan.8. Pasien yang alergi terhadap obat analgetik

lokal.

Pada anestesia umum terjadi trias anestesia, yaitu : - hipnotik, analgetik, relaxasi

Pada anestesia umum inhalasi atau intravena, trias anestesia dapat diperoleh dengan dosis besar satu macam obat anestetik inhalasi atau intravena, tetapi akan disertai adanya efek

Page 69: Dasar ilmu Anesthesi

69

samping. Misalnya dengan pentothal saja atau dengan halotan saja.

Untuk mencegah adanya efek samping tersebut, maka anestesia umum dilakukan dengan konsep anestesia seimbang di mana pasien diberikan obat untuk setiap komponen anestesia, yaitu hipnotik, analgetik dan relaksasi.

Contoh obat anestetik seimbang

Anestesia inhalasi

Anestesia intravena

Hipnotik N2O, halotan, enfluran, isofluran, sevofluran.

Tiopental, Propofol, Diazepam, Midazolam, Ketamin.

Analgetik Narkotik analgetik (Petidin,

Narkotik analgetik.

Morfin, Fentanil, Sufentanil, Alfentanil).

Relaksasi Semua obat pelumpuh otot (Suksinilkolin, Rokuronium, Vekuronium, Atrakurium)

Semua obat pelumpuh otot.

Untuk terjadinya trias ini, maka pada anestesia umum inhalasi terjadi blok sensori, blok motorik, blok refleks dan blok mental.

Blok sensori:

Rangsangan pada organ akhir diblok secara sentral dan rangsangan tidak masuk ke dalam korteks

tingkatan bervariasi, dari stadium I sampai dengan stadium III di mana semua sensasi hilang

yang ditekan adalah korteks, hipotalamus, subkortikal talamik nuklei, semua sel sensori kranial.

Blok motorik

Yang ditekan adalah premotor dan motor korteks subkortical dan ekstrapiramidall. Yang terakhir dipengaruhi adalah otot pernafasan. Mula-mula pada otot

interkostal bawah, lalu otot interkostal atas, dan kemudian otot diafragma.

Blok refleks:

Refleks yang tidak menyenangkan harus diblok, misalnya pada sistem respirasi adalah pembentukan mukus, spasme laring, spasme bronkus. Pada sistem kardiovaskular adanya aritmia, dan pada sistem gastrointestinal adanya salivasi dan muntah.

Blok mental :

Untuk mencapai tidur ada beberapa tahapan :

1. Tenang.2. Sedasi (ngantuk).3. Hipnosis (light sleep).4. Narkosis (deep sleep).5. Anestesia penuh (complete

anesthesia).6. Paralisis pada medula (medulary

paralysis).Pada pemberian anestesia umum inhalasi, urutan bagian SSP yang terdepresi adalah :

1. Cortex cerebri dan pusat psikis.2. Basal ganglia dan serebelum.3. Medula spinalis.4. Medula oblongata.

Teori terjadinya anestesia umum belum jelas benar sehingga terdapat bermacam-macam teori anestesia antara lain :

1. Colloid Theory (1875).2. Lipid Solubility Theory (1899).

Page 70: Dasar ilmu Anesthesi

70

3. Surface Tension atau Adsorpsion Theory (1904).

4. Cell Permeability Theory (1907).5. Biochemical Theories (1952).6. Neurophysiologic Theories (1952).7. Physical Theories (1961).8. Multiple Mechanistic Theories

(1967).

II. Ambilan dan Distribusi

Untuk pengambilan gas anestesia dari paru penyebarannya ke dalam jaringan ada 4 faktor utama, yaitu : a. Faktor Respirasi

b. Faktor Sirkulasi

c. Faktor Gas Anestesia

d. Faktor Jaringan

a. Faktor Respirasi

Faktor Pulmoner :

Ada dua faktor yang menentukan kecepatan zat anestesia sehingga kadar zat anestesia dalam alveolus meningkat, yaitu konsentrasi inspirasi dan ventilasi alveolus.

Kedua faktor ini disebut concentrasion effect.

Konsentrasi Inspirasi :

Semakin tinggi konsentrasi gas inspirasi, akan menyebabkan peninggian yang lebih cepat dari konsentrasi alveolar.

Second Gas Effect :

Jika gas kedua diberikan bersama, misalnya pada N2O/O2 diberikan halotan, maka peninggian halotan di alveolus akan lebih cepat. Hal ini terjadi karena cepatnya N2O masuk ke dalam tubuh melalui paru, maka unsur lainnya yang ada dalam udara inspirasi termasuk gas dan uap anestesia lainnya akan ikut masuk dengan cepat.

Efek Ventilasi :

Jika ventilasi lebih besar, maka konsentrasi gas alveolar akan lebih cepat meningkat.

b. Faktor Sirkulasi

Fase Sirkulasi :

Bergantung pada koefisien partisi (kelarutan), curah jantung dan perbedaan tekanan gas pada alveolus dan vena.

Kelarutan :

Kelarutan suatu gas selalu konstan. Istilah kelarutan adalah partition coefficient (p.c.), misalnya blood/gas p.c., tissue/gas p.c., oil/gas p.c. Contoh : blood/gas p.c. = 2, artinya volume gas pada

tekanan parsial gas yang sama di kedua fase perbandingannya adalah 2:1.

Pada tekanan parsial yang sama, volume gas anestesia dalam alveolus adalah 1 vol%. Sedangkan pada darah adalah 2 vol%. Partition coefficient blood/gas adalah 2/1 =2.

Table : Partition coefficients of uap anesthetics at 37oC

Agent Blood/Gas Brain/Blood

N2O

Halotan

Metoksifluran

Enflurae

Isofluran

Desfluran

Sevofluran

0.47

2.40

12.00

1.90

1.40

0.42

0.59

1.1

2.9

2.0

1.5

2.6

1.3

1.7

Curah jantung :

Darah membawa gas dari paru, maka bila curah jantung meningkat, ambilan juga meningkat. Pada keadaan curah jantung yang menurun terjadi penurunan gradien tekanan gas dalam alveolus dengan tekanan gas dalam vena dan makin rendahnya kelarutan gas anestesia, maka pengeluaran zat anestesia akan menurun.

Page 71: Dasar ilmu Anesthesi

71

Perbedaan tekanan parsial gas dalam alveolus dan vena :

-.Obat anestetik inhalasi menimbulkan kedalaman anestesia bergantung pada tekanan parsial gas di otak.

-.Bila tekanan parsial gas lebih tinggi di darah daripada di otak, gas akan pindah dari darah ke otak. Demikian pula sebaliknya.

-.Tekanan parsial gas di otak selalu mencoba ekuilibrium dengan tekanan gas di dalam darah.

c. Faktor Gas Anestesia

Minimal Alveolar Concentrasion (MAC) :

Dosis obat pada umumnya ditentukan oleh berat badan. Misalnya : mg/kgBB atau

mcg/kgBB, tetapi dosis obat anestetik inhalasi ditentukan oleh MAC.

Ada beberapa istilah yang harus difahami :

MAC50, atau lebih sering disebut MAC saja, adalah konsentrasi minimal gas anestesia di dalam alveolus pada tekanan 1 atmosfir di mana 50% penderita tidak bergerak bila diberikan noxious rangsangan. Ada istilah lain, yaitu MAC95, MACEI50, MACEI95, MACBAR50, MACBAR95, dan MACAWAKE.

95 artinya 95% penderita. EI adalah singkatan dari Endotrakeal Intubation, dan BAR adalah singkatan dari blockade adreno receptor.

MAC95 adalah konsentrasi minimal gas anestesia di dalam alveolus pada tekanan 1 atmosfir di mana 95% penderita tidak

bergerak bila diberikan noxious rangsangan.

MACEI50 adalah konsentrasi minimal gas anestesia di dalam alveolus pada tekanan 1 atmosfir di mana 50% penderita tidak bergerak bila dilakukan laringoskopi dan intubasi endotrakeal.

MACEI95 adalah konsentrasi minimal gas anestesia di dalam alveolus pada tekanan 1 atmosfir di mana 95% penderita tidak bergerak bila dilakukan laringoskopi dan intubasi endotrakeal.

MACBAR50 adalah konsentrasi minimal gas anestesia di dalam alveolus pada tekanan 1 atmosfir di mana 50% penderita tidak memberikan respons adrenergik bila diberikan noxious rangsangan.

Page 72: Dasar ilmu Anesthesi

72

MACBAR95 adalah konsentrasi minimal gas anestesia di dalam alveolus pada tekanan 1 atmosfir di mana 95% penderita tidak memberikan respons adrenergik bila diberikan noxious rangsangan.

MAC SADAR(MACAWAKE50) adalah konsentrasi minimal gas anestesia di dalam alveolus pada tekanan 1 atmosfir di mana 50% penderita membuka mata bila dipanggil.

Di bawah ini dapat kita lihat perbedaan MAC obat anestetik inhalasi.

MAC Compared with Anesthetic Concentrasion

Agent MAC Induction Concentrasion (Vol%)

Rumatan Concentrasion (Vol%)

Methoxyflurane

Halotan

Isofluran

Enflurane

Eter

Cyclopropane

Nitrous oxide

0.16

0.76

1.12

1.68

1.92

9.2

105.0

Up to 3

2-4

2-4

2-5

10-30

20-50

Up to 80

0.2-1.0

0.5-2.0

1.0-3.0

1.5-3.0

4-15

10-20

Up to 80

Page 73: Dasar ilmu Anesthesi

73

Concentrasion of halotan and enflurane required to prevent responsses to certain stimuly (comparison of MAC, MACEI and MACBAR).

Halotan Enflurane

MAC50 1.0 MAC (0.74 0.03%) 1.0 MAC (1.68 0.04%)

MACEI50 1.3 MAC 1.4 MAC

MACBAR50 1.5 MAC 1.6 MAC

MAC95 1.2 MAC 1.1 MAC

MACEI95 1.7 MAC 1.9 MAC

MACBAR95 2.1 MAC 2.6 MAC

These values have been age-adjusted.

MACEI = Concentrtation of uap agent permiting laringoscopy and intubation without untoward movement.

MACBAR = Concentrasion of uap agent required to block adrenergic responsse to skin incision.

50 and 95 = Percentages of individuals in whom above responsses are blocked at concentrasions stated.

Nilai MAC tidak selalu konstan, tetapi berubah-ubah bergantung pada beberapa keadaan seperti yang tertera pada tabel di bawah ini.

Page 74: Dasar ilmu Anesthesi

74

Factors Influencing or Not Influencing Anesthetic Requirements (MAC)

MAC Decreased MAC Unchanged MAC Increased

Increasing Age

CNS depressants

Alcohol (acute intake)

Barbiturates

Benzodiazepines

Bromide ion

Lidokain (sistematically)

Narcotic analgetics

Nitrous oxide and other anesthetics

Phenothiazines (with sedative actions)

-9-tetrahydrocannabinol

Drugs decreasing CNS catecholamines (e.g.,

Durasion of anesthesia

Circardian rhythm

Gender

Species

Hypertension

Propanolol

Hyperkalemia

Hypocarbia

Metabolic acidosis

or alkalosis

Alcoholism (chronic abuse)

Drugs increasing CNS catecholamines

Cocaine

Dextroamphetamine

Ephedrine

Hypernatremia and other factors increasing brain sodium

Hyperthermia >42oC

Hypercarbia (PaCO2 > 95 torr, CSF pH < 7.1)

Hipoksia (PaO2 < 38 torr)

Anemia (Arterial O2 content < 4.3 ml/dl)

Page 75: Dasar ilmu Anesthesi

75

reserpine, -methyldopa)

pankuronium

Kolinesterase inhibitors

Pregnancy

Hypercalcemia

Hypotension

Hypothermia

d. Faktor Jaringan

Jaringan dibagi atas 4 kelompok :

a. Kelompok jaringan kaya pembuluh darah :

otak, jantung, hepar, ginjal dan kelenjar endokrin.

Organ-organ ini beratnya < 7%BB, tetapi menerima 75% curah jantung. Jaringan ini menerima zat anestesia dalam jumlah banyak sejak awal induksi.

b. Kelompok intermediat (menengah) :

otot, skelet, dan kulit. Perfusi jaringan rendah ( < 3ml darah/100mg jaringan/menit).

c. Lemak merupakan depo yang efektif untuk penimbunan zat anestesia. Walaupun perfusinya lebih rendah dari kelompok otot, tetapi mempunyai kemampuan besar dalam pengambilan zat anestesia. Hal ini dapat melambatkan induksi maupun pemulihan pada pasien yang gemuk.

d. Kelompok jaringan sedikit pembuluh darah :

ligamen dan tendo. Jaringan ini hampir tidak mengambil zat anestesia.

Pada pasien yang gemuk (obesitas) bisa terjadi reanestesia karena banyaknya obat anestetik pada jaringan lemak (terutama yang larut dalam lemak).

III. Induksi Anestesia

Induksi adalah untuk menghantarkan penderita ke stadium operasi. Untuk melakukan induksi dapat dilakukan dengan obat anestetik intravena, intramuskular, atau langsung dengan obat anestetik inhalasi. Bila dilakukan dengan anestesia inhalasi bergantung pada jenis obat anestetik inhalasi yang diberikan, maka teknik induksinya akan berbeda.

Bila penderita tidak sadar, maka problema utama adalah jalan nafas, karena dapat terjadi sumbatan jalan nafas yang bisa parsial atau total. Tanda-tanda sumbatan parsial adalah adanya dengkuran (snoring), keadaan tercekik (crowing), bunyi kumur-kumur (gargling), atau wheezing, adanya retraksi dada dan sianosis. Bunyi itu

Page 76: Dasar ilmu Anesthesi

76

bergantung pada lokasi sumbatannya, misalnya snoring adalah akibat pangkal lidah jatuh ke belakang, crowing adalah sumbatan pada daerah laring, dan whezing adalah sumbatan pada bronkus. Pada sumbatan total tidak terdengar atau terasa aliran udara dari mulut / hidung, adanya retraksi supraklavikular, retraksi interkostal, dada tidak mengembang bila dilakukan ventilasi / inflasi paru, dan juga sianosis.

Problema lain selama induksi anestesia adalah sungkup muka (face mask) yang tidak rapat (misalnya karena hidung terlalu mancung, pasien ompong, atau jenggotnya sangat lebat), depresi nafas, batuk, spasme laring, adanya mukus dan saliva, atau juga muntah. Semuanya harus segera ditanggulangi. Cara penanggulangannya adalah dengan membebaskan jalan nafas, misalnya dengan Manuver tripel Safar (ekstensi kepala, tarik angulus mandibula, buka mulut), pengisapan lendir / saliva / muntahan, pasang pipa orofaring (mayo), intubasi endotrakeal, bahkan kalau tetap tidak bisa membebaskan jalan nafas, bisa dilakukan krikotirotomi atau trakeostomi

IV. Stadium Anestesia

Untuk menentukan kapan penderita bisa dioperasi, kita harus mengetahui stadium anestesia.

Apabila menggunakan anestesia seimbang dengan N2O/O2 disertai halotan, enfluran, isofluran, atau sevofluran serta narkotik sebagai analgetik, maka stadium anestesia hanyalah berdasarkan skoring klinis yang disebut PRST SCORING.

PRST adalah singkatan P = Pressure (systolic arterial pressure) R = Rate (HR) S = Sweat, T = Tears atau Lacrimation.

V. Teknik Anestesia Umum Inhalasi

1. Open drop2. Insuflasi3. Ayre T Sistem4. Sistem dengan valve non-rebreathing5. Teknik semi closed6. Closed sistem

VI. Obat anestetik Inhalasi

Suatu anestetik inhalasi disebut ideal bila memenuhi persyaratan sebagai berikut: baunya menyenangkan dan tidak mengiritasi jalan nafas, kelarutan rendah, tidak toksik pada organ, efek samping kardiovaskular dan respirasi minimal, efek pada SSP reversibel tanpa efek stimulan, efektif pada oksigen konsentrasi tinggi, dapat digunakan dengan vaporizer standard.

Nitrous Oxide = N2O :

Pertama kali dibuat oleh Priestley pada tahun 1776; berbentuk gas, tidak berwarna, dan tidak merangsang. Senyawa ini 1,5 kali lebih berat dari udara; merupakan obat anestetik lemah. Pemakaiannya harus selalu dicampur dengan oksigen 100% untuk mencegah hipoksia; induksi-dan-pemulihan cepat, serta tidak menyebabkan iritasi; analgesia kuat tetapi bisa menyebabkan mual-muntah; tidak ada relaksasi otot. Bisa menyebabkan terjadinya agranulositosis, displasia sumsum tulang, maupun teratogenik bila dipakai dalam jangka waktu lama. Maka dari itu hati-hati bila operasi lebih dari 7 jam.

Halotan:

Halotan dibuat pertama kali oleh C.W. Suckling di tahun 1951; merupakan zat anestesia yang sangat poten dan tidak berwarna; dapat meningkatkan tekanan intra kranial serta dapat menyebabkan relaksasi uterus. Halotan dapat menimbulkan terjadinya halotan hepatitis, terutama bila obat ini diberikan dalam jangka waktu pendek (pemberian berkali-kali dalam jangka waktu pendek). Induksi dan pemulihan cepat; tidak menyebabkan iritasi; tidak mengakibatkan mual, dan berefek bronodilator. Menekan jantung; menyebabkan vasodilatasi, aritmia, mengiritasi miokard bila ada epineprin. Obat

Page 77: Dasar ilmu Anesthesi

77

ini dimetabolisme di hepar sebanyak 20-45%. Hasil metabolismenya berupa Br-, F-, Cl-, asam trifluorasetat, gas klorodifluoroetilen serta klorotrifluoroetilen.

Enfluran / Etran :

Dibuat pertama kali oleh Terrel pada tahun 1963; merupakan obat anestetik poten. Dapat menimbulkan eksitasi SSP terutama bila ada hipokapnia. Induksi dan pemulihan cepat. Tidak menimbulkan hipersekresi; bersifat bronkodilator, non-emetik, compatible dengan epineprin; menyebabkan penurunan tekanan darah akibat depresi miokard dan vasodilatasi perifer; dimetabolisme sebanyak 2,4%, dan 80% dikeluarkan dalam bentuk utuh melalui paru.

Isofluran :

Isofluran suatu obat anestetik uap yang induksinya cepat dan pemulihannya cepat, tidak iritasi dan tidak menimbulkan sekresi. Seperti halnya halotan dan enfluran, Isofluran berefek bronkodilator, tidak menimbulkan mual-muntah, dan bersifat kompatibel dengan epineprin. Efek penurunan tekanan darah sama besarnya dengan halotan, hanya berbeda dalam mekanisme kerjanya. Halotan menurunkan tekanan darah, terutama dengan menekan miokardium dan sedikit vasodilatasi. Etrane menurunkan tekanan darah dengan menekan miokardium dan vasodilatasi perifer.

Isofluran menurunkan tekanan darah terutama dengan vasodilatasi perifer dan hampir tidak menekan miokardium.

Sevofluran

Sevofluran adalah suatu obat anestetik umum inhalasi derivat eter dengan kelarutan dalam darah yang lebih rendah dari halotan, enfluran dan isofluran. Rendahnya kelarutan serta tidak adanya bau yang menyengat menyebabkan induksi inhalasi berjalan dengan cepat dan mulus, juga kelarutan dalam darah yang rendah menyebabkan pemulihan berjalan dengan cepat. Dibandingkan dengan Desfluran, Sevofluran mempunyai MAC yang lebih rendah (2,05). Desfluran mempunyai kelarutan yang lebih rendah, akan tetapi, iritasi jalan nafas lebih besar dengan Desfluran, maka obat anestetik inhalasi yang paling cocok untuk teknik VIMA adalah Sevofluran.

Tidak ada iritasi saluran nafas, sehingga induksi berjalan lancar. Kejadian iritasi saluran nafas serta kelarutan lebih rendah daripada halotan, sehingga induksi inhalasi (baik untuk pediatri atau dewasa) akan lebih cepat dengan sevofluran daripada dengan halotan. Pada induksi inhalasi kejadian batuk, menahan nafas, spasme laring, eksitasi lebih rendah daripada halotan, sehingga VIMA dengan Sevofluran akan lebih menyenangkan daripada dengan halotan.

Bangun dari anestesia, pemulihan fungsi psikomotor, kognitif, orientasi lebih cepat dengan sevofluran daripada dengan halotan.

Sevofluran menekan SSP, kardiovaskular dan respirasi paralel dengan isofluran. Sevofluran didegradasi oleh soda lime membentuk suatu haloalken yang bersifat toksik pada ginjal tikus, tetapi efek tersebut tidak terlihat pada manusia.

Aman digunakan untuk operasi bedah saraf, pasien dengan kelainan serebral, bedah Caesar, CABG, pasien dengan risiko miokardial iskemia, penyakit hepar, penyakit ginjal.

VII. Obat anestetik Intravena

Obat anestetik intravena yang tersedia adalah Tiopental, Propofol, Etomidat, Midazolam, Diazepam

Obat anestetik intravena disebut ideal bila memenuhi persyaratan larut dalam air, tidak iritasi pada vena, tidak mempunyai efek anti analgesik, induksi cepat dan lancar, stabil kardiovaskular pada dosis klinis, dan lama kerja pendek sehingga pemulihan cepat.

Thiopentone

Page 78: Dasar ilmu Anesthesi

78

Tiopental mempunyai efek menurunkan tekanan darah, denyut jantung dapat menurun atau meningkat bergantung pada fungsi jantung, dilatasi perifer, menekan kontraksi jantung, spasme laring, spasme bronkus, depresi nafas sampai terjadi henti nafas,. Dosis tiopental adalah 4-6 mg/kg BB.

Indikasi-kontra relatif tiopental adalah asma bronkial, penyakit jantung berat, penyakit ginjal berat, anemia berat, hipotensi dan syok.

Ketamin

Ketamin merupakan suatu dissociative anesthetic yang menimbulkan terjadinya delirium dan halusinasi. Meningkatkan tekanan darah sistlik 23% dar nilai awal, meningkattkan denyut jantung, dapat terjadi aritmia, hipersekresi.

Dosisnya 1-3 mg/kg I.v atau 9-11 mg/kg I.m

Indikasi penggunaan ketamin adalah untuk operasi yang berlangsung singkat, akan tetapi dengan dosis rendah dapat dipakai sebagai analgetik intraoperatif dan pascabedah. Karena efek pada sistem kardivaskular maka indikasi-kontra penggunaan ketamin adalah bila tekanan sistolik > 160 mmHg, aritmia, gagal jantung. Karena refleks jalan nafas masih dipertahankan dan juga menimbulkan hipersekresi maka operasi faring dan laring

tanpa dilakukan intubasi merupakan indikasi-kontra.

Propofol

Merupakan suatu obat anestetik intravena baru, dengan mula kerja yang berat, lama kerja singkat, akumulasi minimal, pemulihan cepat, metabolisme ceapat. Tidak ada komplikasi pada tempat suntikan. Dosisnya 2-2.5 mg/kg BW.

VIII. Pelumpuh Otot

Sangat berguna dalam anestesia umum misalnya laringoskopi dan intubasi jadi lebih mudah serta menghindari cedera, digunakan selama operasi dengan ventilasi kendali.

Disebut Pelumpuh otot yang ideal bila termasuk golongan non depolarisasi, mula kerjacepat, mula kerja singkat, pemulihan cepat, potensi tinggi, tidak kumulatif, metabolitnya tidak aktif, tidak ada efek kardiovaskular, tidak ada pelepasan histamin, dapat dilawam dengan antikolinesterase.

Terminologi dalam pelumpuh otot adalah :

ED 50 : dosis yang dapat melumpuhkan 50% kekuatan otot.

ED 90 : dosis yang dapat melumpuhkan 90% kekuatan otot.

Mula kerja: interval antara mulai penyuntikan sampai efek maksimal.

Obat pelumpuh otot Nondepolarisasi tidak menyenimbulkan fasikulasi, efeknya menurun dengan obat antikolinesterase, obat pelumpuh otot golongan depolarisasi, penurunan suhu tubuh, epinefrin, asetilkolin. Efeknya meningkat dengan obat pelumpuh otot non-depolarisasi, anestetik uap.

Obat pelumpuh otot golongan depolarisasi menyebabkan faskiculasi otot. Efeknya meningkat dengan antikolinesterase. , asetilkolin, hipotermia. Efeknya menurun dengan pelumpuh otot non-depolarizing relax, anestetik inhalasi. Dosis suksinilkolin : 1 mg/kg BB

IX. Narkotik Analgetik

Narcotic analgesiac disebut ideal bila mempunyai Wide margin of safety yang lebar,

Page 79: Dasar ilmu Anesthesi

79

onsetnya cepat, lama kerja singkat, pengendalian analgesia mudah, analgesia kuat, tidak ada pelepasan histamin, tidak mempunyai metabolit aktif.

Opiat dalam anestesia digunakan untuk premedikasi, induksi, anestesia berbasiskan narkotik, bagian dalam komponen anestesia seimbang, adjuvan dalam analgesia regional, neurolep anestesia, penanganan nyeri pascabedah.

Efek dari narkotik dapat menimbulkan

v Bradikardia akibat efek vagotonik sentral dan depresi nodus SA & AV .

v Depresi nafas : frekuensi, irama, respons CO2, volume semenit, volume tidal

v Kekakuan ototv Mual muntah yang disebabkan

rangsangan CTZ, mobilitas saluran cerna, penurunan mobilitas lambung, peningkatan volume lambung.

Laringoskopi dan intubasi endotrakeal.

1. Laringoskopi :

Dalam praktek anestesia, laringoskop digunakan untuk melihat laring dan struktur disekitarnya dengan tujuan utama untuk memasukkan pipa endotrakeal melalui glotis ke dalam trakea.

Laringoskop berbentuk huruf L, peganggannya disebut "gagang" yang berisi batu batere dan yang melengkungnya disebut "daun". Daun ada yang lurus, ada juga yang melengkung. Puncak dari daun, pada saat melakukan laringoskopi, akan menyentuh epiglotis atau vallecula (sudut yang dibentuk oleh lidah dan epiglotis) yang secara langsung atau tidak langsung akan menaikkan epiglotis, sehingga pita suara akan terlihat.

Teknik melakukan laringoskopi adalah :

-.pengaturan posisi kepala.

-.insersi daun laringoskop.

-.visualisasi epiglotis.

-.mengangkat epiglotis.

-.melihat laring dan struktur sekitarnya.

Posisi kepala :

Kepala diganjal dengan bantal setebal 5sm.

Insersi daun :

Gagang dipegang tangan kiri, jari-jari tangan kanan membuka mulut, masukkan daun laringoskop, lidah didorong ke kiri sehingga kita melihat melalui sisi kanan mulut.

Visualisasi epiglotis :

Daun didorong ke dalam sampai epiglotis terlihat.

Mengangkat epiglotis :

Ada 2 teknik :

a) Cara pertama. Untuk daun yang lurus, dimasukkan di bawah epiglotis, yang bila ujungnya diangkat pita suara akan terlihat.

b) Cara kedua. Untuk daun yang lengkung ujung daun diletakkan pada valekula. Dengan mengangkat dasar lidah, epiglotis juga akan terangkat dan glotis akan terlihat.

Bagian superior epiglotis dipersarafi oleh N IX (glosofaringeal) dan bagian inferior (posterior) oleh N. laringeal. Jadi, disebabkan karena bagian inferior epiglotis tidak disentuh dan tidak dirangsangan, daun yang lengkung dapat dipergunakan pada "light anestesia" tanpa menimbulkan spasme laring.

Page 80: Dasar ilmu Anesthesi

80

Selama laringoskopi, laringoskop harus diangkat naik-turun, jangan digunakan sebagai pengungkit dengan gigi atas sebagai titik tumpu, karena bisa menimbulkan patahnya gigi.

Komplikasi selama laringoskopi :

1) dapat terjadi aberasi, robekan / luka dari mulut, bibir faring, laring dan esofagus, kerusakan gigi, gusi, ataupun gigi palsu.

2) perubahan tekanan darah dan irama jantung. Oksigensi sebelumnya, laringoskopi yang cepat dan tidak traumatik akan mengurangi kemungkinan perubahan-perubahan itu.

2. intubasi endotrakeal :

Ada istilah yang disebut anestesia endotrakeal, artinya adalah memasukkan gas anestesia ke dalam trakea melalui pipa yang dimasukkan melalui laring (atau trakeostoma) ke dalam trakea.

Memasukkan pipa tersebut dapat melalui mulut (orotrakeal), hidung (nasotrakeal) atau trakeal stoma.

Indikasi intubasi endotrakeal adalah :

-.operasi kepala dan leher, misalnya kraniotomi, struma.

-.operasi intratorakal.

-.laparotomi.

-.operasi dengan posisi lateral (miring) atau telungkup (tengkurap).

-.bila diperkirakan akan sulit membebaskan jalan nafas dengan metoda sederhana (ekstensi kepala, orofaringeal jalan nafas).

-.pasien yang tidak dipuasakan (lambung penuh).

-.prosedur operasi di mana anestetis harus jauh dari pasien.

-.operasi dengan kemungkinan perdarahan yang banyak.

-.pasien dengan keadaan umum yang buruk.

-.teknik anestesia yang khusus : anestesia hipotensi, anestesia hipotermia.

-.pasien pediatrik.

-.bila perlu IPPB (Intermitent Positive Pressure Breathing).

-.non-operatif (resusitasi).

Keuntungan intubasi endotrakeal.

-.Jalan nafas dijamin lancar.

-.dead space anatomi (normal 75ml) berkurang menjadi 25 ml.

-.ventilasi dapat dikendalikan tanpa masuknya gas ke dalam lambung dan usus.

-.risiko aspirasi sekret, darah, muntahan dapat dikurangi secara drastis.

-.ventilasi dapat dikendalikan pada pasien dengan posisi telungkup, miring atau posisi lain yang tidak umum (bukan posisi terlentang).

-.respirasi dapat dikendalikan, bila kita memakai obat pelumpuh otot.

-.mudah melakukan pengisapan sekret dari paru.

Kerugian intubasi endotrakeal.

-.dapat meningkatkan resistensi respirasi. Supaya peningkatan resistensi minimal, pakailah pipa sebesar mungkin yang bisa masuk ke dalam trakea.

-.trauma pada bibir, gigi, tenggorokan, maupun laring yang menimbulkan suara serak, nyeri, atau juga sakit saat menelan. Bila terjadi aberasi

Page 81: Dasar ilmu Anesthesi

81

mukosa, dapat timbul emfisema. Bila terjadi perforasi membran dapat terjadi mediastinitis.

Alat-alat yang dipakai :

a). pipa endotrakeal (ETT ) :

-.Bahan dapat dibuat dari karet sintetis, polietilen, atau PVC (polyvinil chloride).

-.Tipe ETT bisa yang non-kingking (spiral) yang dibuat dari spiral koil nilon atau kawat yang ditanam di dalam lateks. Yang king-king tentu tanpa spiral.

-.Bentuknya bisa single lumen atau double lumen.

-.ETT, untuk pasien pediatrik umumnya tanpa balon (kaf). Kaf ini harus diperiksa dahulu sebelum digunakan, apakah bocor atau tidak. Setelah intubasi, kaf diisi udara kira-kira 5-10ml, tapi hanya sampai tidak terdengar suara kebocoran bila diventilasi.

-.Yang paling umum dan sering digunakan adalah dari bahan PVC karena :

==.Pipanya lunak, dengan suhu tubuh akan menyesuaikan diri dengan anatomi saluran nafas, sehingga kurang mengiritasi trakea.

==.Kecenderungan untuk terjadi kingking lebih rendah daripada pipa karet.

-.Nomor ETT adalah ukuran diameter interna dalam mm. Misalnya ETT no.8, artinya diameter internalnya 8mm.

b). Stilet.

Stilet harus dilubrikasi sebelum dimasukkan ke dalam ETT. Ujung stilet tidak boleh keluar melewati ujung ETT, sebab ada risiko cedera pada fosa piriformis, membran krikotiroid, membran krikofaringeal dengan akibat terjadinya eemfisema subkutis, mediastinitis, pneumotoraks.

c). Jalan nafas orofaringeal :

Pemasangan saat induksi anestesia adalah untuk mencegah obstruksi jalan nafas akibat jatuhnya pangkal lidah disebabkan karena rileksnya lidah dan jaringan lunak faring. Setelah dilakukan intubasi berguna untuk mencegah tergigitnya pipa endotrakeal pada saat bangun dari anestesia dan memudahkan pengisapan lendir.

Pemasangan jalan nafas orofaringeal tidak bebas dari komplikasi :

-.pemasangan yang tidak betul akan mendorong lidah pada hipofaring sehingga terjadi obstruksi jalan nafas .

-.lepasnya gigi karena pasien menggigit jalan nafas orofaringeal.

-.bila terlalu panjang, ujungnya akan menyentuh epiglotis atau pita suara, sehingga bisa terjadi batuk-batuk atau spasme laring.

-. bila terlalu panjang, pada operasi yang lama bisa menimbulkan edema faring, sakit menelan.

d). Tampon faringeal

Tampon faringeal dipakai bila tidak menggunakan ETT dengan kaf; dipasang pada kedua sisi ETT sampai cukup menyumbat faring untuk mencegah terjadinya aspirasi. Ujungnya harus keluar dari mulut agar kita tidak lupa mengeluarkannya sebelum melakukan ekstubasi.

e). Lubrikans.

Lubrikans dipakai untuk melicinkan ETT bila akan melakukan intubasi nasotrakeal, untuk melicinkan stilet yang akan dimasukkan ke dalam ETT atau untuk melicinkan pipa nasogastrik atau maag slang (NGT )

f).Analgesia lokal semprot.

Analgesia lokal semprot digunakan untuk analgesia lokal faring dan laring.

g). Kateter isap.

Page 82: Dasar ilmu Anesthesi

82

Kateter isap harus disediakan dalam berbagai ukuran untuk mengisap lendir di faring, laring, trakea dan bronkus.

3. Teknik intubasi endotrakeal.

Trakea bisa diintubasi melalui mulut, hidung, atau stoma trakeal.

Intubasi bisa dilakukan dalam anestesia ringan dengan obat pelumpuh otot atau dalam keadaan sadar.

Setelah melalui pita suara, kaf diisi dengan udara secukupnya sampai tidak terdengar kebocoran udara saat diventilasi (tekanan dalam kaf < 25 mmHg). Kaf tersebut harus ada di sebelah distal pita suara. Bila ETT tidak mempunyai kaf, harus dimasukkan sampai 3-4 sm distal pita suara (pada dewasa), atau 1-2 sm distal pita suara (pada anak-anak).

Intubasi nasotrakeal dilakukan bila ada indikasi sebagai berikut :

Operasi di daerah rongga mulut. Operasi maksilofasial Keadaan-keadaan di mana tidak

mungkin dilakukan intubasi orotrakeal.

Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan dengan bantuan anestesia umum atau analgesia lokal (awake).

4. Ekstubasi

Ekstubasi dilakukan bila operasi telah selesai, nafas adekuat. Pemakaian pipa dilakukan saat pasien inspirasi maksimal. Tidak boleh ada kateter isap dalam pipa saat penarikan pipa karena akan menurunkan PO2

dalam paru-paru. Bila ekstubasi dilakukan pada light anaesthesia bisa terjadi komplikasi batuk-batuk, spasme laring dan spasme bronkus.

5. Komplikasi intubasi endotrakeal

Terdapat bermacam-macam komplikasi intubasi endotrakeal, yaitu :

a. Trauma selama Intubasi

pada intubasi nasotrakeal terjadi pendarahan dari hidung.

ETT atau stilet dapat menimbulkan injuri mukosa mulut, faring atau laring.

b. intubasi endotrakeal

Bila pipa dimasukkan terlalu dalam bisa masuk ke bronkus primer kanan sehingga bisa terjadi obstruksi, atelektasis, kolaps dari paru kiri dan lobus atas paru kanan. Maka setiap kali telah melakukan intubasi harus diperiksa supaya ventilasi pada kedua paru sama, dengan cara :

melihat pergerakan dada, harus sama kanan dan kiri.

dengan auskultasi. dengan melihat monitor saturasi

O2, karena intubasi endotrakeal akan menurunkan saturasi O2.

c. Intubasi esofageal

d. Laringitis, suara serak, nyeri tenggorokan (sore throat)

e. Trakeal stenosis.

f. Granuloma laring.

TIVA dengan Tiopental

Pada saat ini obat-obat anestetik yang tersedia di Rumah Sakit Kabupaten, umumnya adalah eter dengan alat EMO, ketamin, tiopental untuk induksi anestesia dan alat serta obat untuk regional analgesia. Tanpa mengurangi arti dan efektivitas eter yang diketahui sebagai obat anestetik dengan margin of safety yang luas, murah serta mudah diperoleh, kita ketahui juga bahwa pemakaian eter adalah terbatas dan tidak semua penderita dapat dilakukan anestesia dengan eter terlebih-lebih pasien dengan kenaikan ICP, tidak boleh dianestesia dengan eter. Juga frekuensi mual-muntah pascabedah tinggi serta penderita lama untuk sadar. Faktor lain yang

Page 83: Dasar ilmu Anesthesi

83

merugikan eter adalah sifatnya yang menimbulkan polusi.

Demikian pula penggunaan ketamin tidak dapat dilakukan untuk semua penderita. Ketamin diketahui mempunyai efek halusinasi, mual-muntah pascabedah, menaikan tekanan darah dan ICP, serta mimpi buruk yang bisa terjadi sampai 24 jam pascabedah.

Karena itu perlu diketahui suatu teknik anestesia yang dapat dilakukan dengan peralatan yang sangat sederhana, obatnya murah serta mudah didapat, penggunaannya mudah serta cukup menyenangkan untuk penderitanya. Untuk itu dipikirkan teknik TIVA (Total Intra Venous Anaesthesia) dengan memakai Tiopental.

TIVA adalah suatu teknik anestesia yang menguntungkan, bukan saja untuk pasien tetapi juga untuk dokter dan perawat yang mengelola pasien tersebut di kamar operasi dan ruang pemulihan. Tetapi sayangnya hanya dilakukan oleh sebagian kecil anestetis. Mengapa ? Ada beberapa alasan, salah satunya adalah anestetis takut tidak mendapatkan anestesia yang adekuat, pasien bergerak-gerak, awareness dan operator tidak puas.

TIVA adalah teknik anestesia seimbang di mana terdapat trias anestesia,

yaitu hipnotik, analgetik dan relaksasi. Hipnotik dapat diperoleh dengan obat anestetik intravena tiopental, propofol, ketamin, midazolam. Analgetik dengan petidin, morfin, fentanil, alfentanil atau sufentanil. Relaksasi dengan pankuronium, vekuronium atau atrakurium.

Syarat obat yang ideal untuk TIVA adalah :

- larut dalam air

- larutan yang stabil, tidak berubah bila kena cahaya

- tidak diserap oleh selang plastik dari infusi set

- tidak merusak vena (sakit waktu suntikan, plebitis atau trombosis) atau kerusakan jaringan bila ada ekstravasasi atau suntikan intraarteri

- tidur dalam satu waktu lengan-otak

- lama kerjanya pendek

- metabolitnya in-aktif, non-toksik dan larut dalam air

- efek pada kardiovaskular dan respirasi minimal

Indikasi anestesia intravena :

- sebagai alternatif lain dari anestesia inhalasi

- sedasi pada analgesia regional

- untuk one-day-surgery diperlukan pemulihan yang cepat dan lengkap

- situasi di mana sulit memberikan anestesia inhalasi karena tidak adanya N2O

- dalam keadaan tertentu di mana pemberian N2O tidak menguntungkan

- mencegah awareness selama cardio pulmonary by pass, untuk proteksi otak pada periode iskemia otak

Pemilihan obat bergantung pada sifat farmakologi obat tersebut.

Ada hal-hal yang tidak menguntungkan dalam pemakaian TIVA, misalnya :

- kesulitan keadekuatan anestesia terutama pada pasien yang paralisis, sehingga kemungkinan terjadi awareness

- adanya depresi nafas pada periode pascabedah akibat efek narkotik

- memerlukan venous line yang berbeda

- memerlukan infusion pump

- pengontrolan kedalaman anestesia tidak

Page 84: Dasar ilmu Anesthesi

84

mudah seperti anestesia inhalasi

Komplikasi dan efek samping seperti mual-muntah, rasa nyeri hebat, lama bangun, maupun pusing akan memperlambat pasien tinggal di ruang pemulihan, maka pemilihan obat anestetik menjadi faktor penting untuk menghilangkan komplikasi ini.

TIVA dapat diberikan secara bolus, intermiten atau kontinyu. Teknik pemberian kontinyu mempunyai efek samping yang lebih kecil dan pemulihan yang lebih cepat daripada pemberian secara intermiten (White, 1983; White dkk 1986). Tetapi manakah yang lebih baik antara TIVA dengan anestesia inhalasi untuk pasien bedah rawat jalan sampai sekarang masih kontroversial.

Anestesia intravena paling sering digunakan untuk induksi karena cara pemberiannya mudah, onsetnya cepat dan keberhasilannya tinggi. Pemeliharaan anestesianya dengan N2O/O2 + uap anestetik.

Obat anestetik intravena yang ideal adalah :

- harus non-iritant pada jaringan,

- mula kerja cepat, lama kerja pendek,

- tanpa efek eksitatori,

- tidak menekan kardiovaskular,

- punya efek amnesia dan analgesia,

- menghasilkan kondisi operasi yang baik,

- pemulihan yang cepat dan penuh,

- tanpa efek samping,

- tidak menyebabkan mual-muntah

Walaupun obat anestetik yang ideal belum ada, tetapi beberapa obat tetap masih bisa digunakan, bergantung pada tujuannya. Misalnya :

Untuk operasi pasien yang ICP-nya tinggi dapat dipakai TIVA dengan Tiopental + Norkuron + Fentanil.

Untuk bedah rawat jalan dengan :

Tiopental 5mg/kg + Ketamin 1 mg/kg

Propofol 2,5 mg/kg + fentanil 3 ug/kg

Propofol 2,5 mg/kg + Ketamin 1 mg/kg.

Untuk sedasi pada regional anestesia dapat dengan Midazolam, Propofol atau Ketamin.

Tiopental seperti halnya golongan barbiturat lainnya yaitu metoheksiton dan pentobarbiton merupakan suatu obat hipnotik yang pada dosis tertentu dapat bekerja sebagai obat anestesia. Tetapi kebanyakan obat ini mempunyai mula kerja yang lambat dan lama

kerja yang lama, karena itu mempunyai nilai yang kecil untuk praktek anestesia. Untuk tujuan praktek anestesia, hanya tiopental dan metoheksiton dapat dipertimbangkan.

Brooks dkk (1948), menunjukkan bahwa fase pertama adalah adanya redistribusi yang sangat cepat kepada jaringan bukan neuron. Kembalinya kesadaran setelah tiopental anestesia terutama disebabkan karena adanya redistribusi ke jaringan lain di luar jaringan otak, bukan disebabkan karena obat tersebut dimetabolisme.

Tiopental, walaupun tidak seideal yang dipersyaratkan, mempunyai beberapa keuntungan tertentu yaitu onsetnya yang cepat, selalu bekerja, induksi mulus, larut dalam air, kejadian alergi sangat rendah, dan pada pemberian yang hati-hati depresi nafas tidak merupakan problema terutama bila penderita tidak dipremedikasi.

Kerugiannya adalah larutannya tidak stabil, pH-nya tinggi dan iritan bila terjadi ekstravasasi, hiperalgesi pada dosis rendah, tidak mempunyai efek analgesik pada dosis klinis, tidak menimbulkan relaksasi otot pada dosis yang aman dan bersifat forfirogenik, serta kumulatif efek.

TIVA adalah merupakan anestesia seimbang di mana sebagai analgesik kita berikan narkotik atau regional analgesia dan

Page 85: Dasar ilmu Anesthesi

85

untuk relaksasi otot kita berikan obat pelumpuh otot. Untuk mencapai kadar anestetik dalam darah maka dapat dilakukan dengan memberikan tiopental secara bolus, intermiten atau kontinyu.

Tiopental kontinyu dapat dilakukan dengan :

- melarutkan tiopental pada cairan infusi dalam botol infusi dan diberikan secara tetes dengan kecepatan tertentu.

- atau dilarutkan di dalam semprit kemudian diberikan ke pasien dengan kecepatan tertentu melalui pompa semprit.

- melalui komputer, dengan cara ini diperoleh hasil pemberian dosis yang betul-betul sesuai dengan kebutuhan.

Karena adanya efek kumulatif, tiopental tidak disukai untuk dipakai pada TIVA karena menimbulkan efek eksesif somnolen. Tetapi keadaan ini dapat dikurangi dengan cara mengatur dosis dan tiopental dihentikan 30 menit sebelum operasi selesai.

Seperti halnya etomidat, yang menimbulkan mual-muntah sampai 30 - 40% kasus, maka tiopental dan etomidat jarang digunakan untuk TIVA. Tetapi bila karena keadaan, di mana kita tidak mempunyai obat lain kecuali tiopental, ketamin dan eter, maka pemilihan TIVA dengan tiopental akan lebih

menyenangkan pasien daripada dengan menggunakan eter dan ketamin. Sekarang ini, TIVA dengan tiopental hanya digunakan untuk anestesia bedah saraf. Bila tidak mempunyai pompa semprit atau pompa infusi, kita bisa mengatur tetesan secara biasa, dengan mencocokkan jumlah tetesan per menit.

Keuntungan TIVA dengan tiopental adalah :

- obatnya murah serta mudah didapat.

- alat yang dipakai tidak banyak, hanya perlu infusi set dan bellow atau ambu bag dan oksigen.

- polusi kamar bedah dapat dikurangi.

- dibanding eter dan ketamin, anestesia dengan tiopental lebih menyenangkan bagi penderita.

PLASMA KONSENTRASI SETELAH PEMBERIAN BOLUS

Setelah suatu dosis tunggal intravena, plasma konsentrasi obat ini akan meningkat dengan cepat, mencapai puncak dalam waktu 1 menit. Kemudian plasma konsentrasi menurun, mula-mula sangat cepat kemudian melambat.

Setelah suatu suntikan tiopental,

dengan dosis 400 mg, penderita akan bangun dalam waktu 15 menit. Keadaan ini bukan karena obat tersebut dimetabolisme, tetapi terjadi redistribusi ke organ-organ lain seperti jaringan otot dan lemak.

PEMANTAUAN

Alat monitor yang dipasang adalah standard monitor di OK. Yang disebut standard monitor untuk anestesia adalah tekanan darah noninvasif, oksimeter pulsa (untuk mengukur O2 saturasi dan denyut nadi), EKG, stimulator saraf (untuk mengukur TOF = Train of Four), kaponograf. Karena kita tidak punya alat-alat monitor tersebut, maka kita gunakan tensimeter yang biasa saja.

TOTAL INTRAVENOUS ANAESTHESIA (TIVA)

Teknik pemberian TIVA dengan tiopental dapat dilakukan secara bolus, intermiten dan kontinyu.

1. TIVA secara Intermiten :

Persiapan pasien adalah seperti biasa, dipasang venous line 1 buah sesuai dengan kebutuhan. Kanul vena yang

Page 86: Dasar ilmu Anesthesi

86

dipakai adalah kanul vena yang mempunyai lubang untuk memasukkan obat, misal dengan teflon, atau memasang konektor 3 cabang.

Selalu dipersiapkan larutan tiopental 2,5%. Induksi dilakukan dengan fentanil 1-2ug/kgBB atau petidin 1 mg/kgBB. Setelah mula kerja narkotik-analgetik tercapai lalu berikan tiopental 4-5 mg/kgBB, fasilitas intubasi dengan obat pelumpuh otot non depolarisasi seperti pankuronium (Pavulon) atau vekuronium (norkuron) dengan dosis 0,1 mg/kgBB. Karena efek maksimal pankuronium tercapai sekitar 2,5 menit dan vekuronium 1,5 menit setelah penyuntikan, maka sebelum dilakukan laringoskopi dan intubasi diberikan lagi tiopental 2-2,5 mg/kgBB, untuk mengurangi atau menghilangkan pengaruh laringoskopi dan intubasi terhadap hemodinamik, serta mengurangi kejadian awareness.

Pemberian tiopental yang berikutnya adalah pada 30 menit pertama setiap 10 menit dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB. Setelah itu interval pemberian adalah setiap 30 menit. Ventilasi diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien, untuk pasien yang diinginkan PaCO2nya turun tentu harus dilakukan hiperventilasi, tetapi bila ingin PaCO2 dalam batas normal dilakukan normoventilasi. Kebutuhan analgetik dan

pelumpuh otot disesuaikan dengan kebutuhan pasien. Selesai operasi, bergantung pada apakah sisa obat pelumpuh otot masih ada atau tidak, diberikan antagonis prostigmin yang sebelummnya diberikan sulfas atropin dulu.

Karena tiopental mempunyai efek depresi miokard, maka harus selalu dilakukan pengukuran tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum kita memberikan dosis ulangan tiopental.

Tiopental mempunyai sifat segera didistribusikan ke dalam jaringan di luar jaringan otak, maka tiopental akan ada di dalam otot dan jaringan lemak dan bekerja sebagai depot. Untuk mencegah eksesif somnolen pascabedah, maka sebagai patokan pemberian tiopental dihentikan sekitar 30 menit sebelum operasi selesai. Pada operasi otak yang lama pemberian tiopental intermiten atau kontinyu dihentikan 30-60 menit sebelum operasi selesai, bila diperlukan evaluasi status neurologis segera setelah operasi selesai.

2. TIVA secara kontinyu :

Persiapan pasien seperti biasa, dipasang kanul vena dengan konektor 3 cabang. Kalau pada teknik intermiten,

cabang yang ketiga dihubungkan dengan semprit yang berisi tiopental 2,5% sekarang cabang yang ketiga ini dihubungkan dengan botol infusi yang berisi larutan tiopental atau dengan larutan tiopental dalam semprit pada pompa semprit.

Teknik anestesianya sebagai berikut :

a). Induksi dengan fentanil 1-2 mcg/kgBB atau petidin 1 mg/kgBB lalu berikan tiopental bolus 4-5 mg/kgBB dan pankuronium 0,1 mg/kgBB. Sesaat sebelum laringoskopi dan intubasi berikan lagi dosis ulangan tiopental 2-2,5 mg/kgBB. Rumatan anestesia diperoleh dengan memberikan tiopental 1-3 mg/kgBB/jam. Kalau berat badan penderita sekitar 60 kg, maka dosisnya adalah 150 mg/jam atau 2,5 mg/menit. Jadi untuk rumatan anestesia diberikan tiopental tetes sebanyak 2,5 mg/menit. Tadi disebutkan bahwa cabang yang ketiga dihubungkan dengan larutan dekstrosa 5% yang berisi tiopental. Supaya kita tidak memberikan tetesan / cairan yang terlalu banyak terutama pada penderita-penderita tertentu, maka kita buat larutan tiopental 1%, berarti 10 mg/ml. Tetesan pada infusi set dewasa diperkirakan 1 ml adalah 20 tetes. Untuk mencapai dosis 2,5 mg/menit maka kita berikan 5 tetes per menit larutan

Page 87: Dasar ilmu Anesthesi

87

tiopental 1%. Untuk pengaturan kecepatan, kita bisa menggunakan pompa infusi.

b).Cara lain adalah berikan fentanil 1-2g/kgBB, lalu teteskan larutan tiopental 0,1-0,2% sebanyak 80-180 tetes/menit, sampai penderita tidur. Untuk rumatan anestesia diberikan 60-80 tetes/menit.

Atau : buat larutan 1000 mg tiopental dalam 500ml dekstrosa 5%. Beri tiopental 4-5mg/kgBB secara bolus, setelah pasien tidur, beri suksinilkolin 1mg/kgBB, ventilasi, intubasi, beri tiopental 60 tetes/menit dan untuk rumatan beri tiopental 20-30 tetes/menit (2-3mg/menit). Analgetik dengan petidin 1 mg/kgBB, pelumpuh otot dengan pankuronium 0,08 mg/kgBB.

c).Tiopental kontinyu yang lebih akurat lagi adalah dengan memberikan tiopental melalui pompa semprit. Teknik induksinya seperti tadi. Untuk rumatan anestesia, tiopental diberikan kepada pasien dengan dosis 1-3 mg/kgbb/jam.

Kita buat larutan tiopental 2,5% di dalam semprit dan diberikan kepada pasien dengan dosis 1-3mg/kgBB/jam. Misalnya berat badan pasien 60 kg, maka dosis tiopental adalah 150 mg/jam. Larutan tiopental yang kita buat adalah 2,5% berarti 25 mg/ml, jadi berikan dengan kecepatan 6 ml/jam. Kita tinggal memutar angka pada pompa semprit ke angka 6, yang berarti kecepatannya adalah 6 ml/jam.

d).Pengaturan dosis dengan komputer :

Seperti halnya vaporizer yang memberikan plasma level tertentu untuk obat anestetik inhalasi maka komputer dapat membantu infusi memberikan level plasma tertentu untuk obat anestetik intravena. Selanjutnya, mendapatkan level obat dalam plasma untuk mencegah pergerakan terhadap rangsangan bedah, kenaikan tekanan darah atau takikardia, jadi analog dengan MAC pada obat anestetik inhalasi. Obat yang berbeda memerlukan program komputer yang berbeda, misalnya pemberian 3 macam obat (tiopental,

pankuronium dan petidin) yang dilakukan melalui program komputer akan memerlukan 3 buah komputer. Komputer akan membantu mencegah tercapainya konsentrasi puncak dari obat seperti halnya pada pemberian bolus atau intermiten.

Berdasarkan perhitungan komputer tadi, kita bisa mengadaptasikannya kepada kecepatan dan dosis dengan menggunakan pompa semprit.

Konsentrasi tiopental 10 mcg/ml dalam darah arteri cukup adekuat untuk anestesia. Dosis induksi dewasa, coba dengan 50 mg, lalu sisanya adalah 2,5 mg/kg LBM, kemudian kecepatan pemberian ikuti tabel di bawah ini.

Dosis lebih berdasarkan pada LBM (Lean Body Mass) daripada berat badan total. LBM diperkirakan dengan metoda yang dilaporkan oleh James dengan menggunakan Berat Badan (kg) dan Tinggi Badan (sm), yakni sebagai berikut :

LBM (laki-laki) = [1,10 x (BB total)] - [128 x (BB total/TB)2]

LBM (perempuan) = [1,07 x (BB total)] - [148 x (BB total/TB)2]

Page 88: Dasar ilmu Anesthesi

88

BAB VIII

1. Hampir semua obat analgetik lokal memblok terowongan Na dari sisi sebelah dalam sel, mencegah aktivasi terowongan dan terjadi Na influks secara selintas yang banyak dan dihubungkan dengan depolarisasi membran. Konduksi impuls melambat, kecepatan peningkatan dan besarnya aksi potensial menurun, dam ambang untuk eksitasi meningkat dengan cepat sampai aksi potensial yang dihasilkan tidak lebih lama dan perambatan impuls berakhir.

2. Tidak semua serabut saraf dipengaruhi obat analgetik lokal dengan akibat yang sama. Sensitivitas terhadap blokade ditentukan oleh diameter akson, tebalnya meilinisasi, dan berbagai faktor anatomi dan fisiologis lain.

3. Potensi berkorelasi dengan kelarutan dalam lemak, itu adalah kemampuan molekul obat analgetik lokal untuk menembus membran, yang merupakan lingkungan yang hidrofobik.

4. Mula kerja bergantung pada banyak faktor, termasuk kelarutan dalam lemak dan konsentrasi relatif bentuk non-ion yang larut dalam lemak (B) dan bentuk ion yang larut dalam air (BH+), yang ditunjukkan dengan pKa. Obat analgetik lokal dengan nilai pKa hampir sama dengan pH fisiologis, mempunyai konsentrasi basa

Page 89: Dasar ilmu Anesthesi

89

non-ion yang lebih tinggi yang dapat menembus membran sel saraf, dan umumnya mempunyai mula kerjayang lebih cepat.

5. Lama kerja umumnya berkorelasi dengan kelarutan dalam lemak. Lebih tinggi kelarutan obat analgetik lokal dalam lemak lebih panjang lama kerjanya, kemungkinan disebabkan karena sedikit diambil oleh aliran darah.

6. Disebabkan karena obat analgetik lokal disuntikkan sangat dekat ke site of action, gambaran farmakokinetik umumnya lebih penting ditentukan oleh eliminasi dan toksisitas daripada efek klinis.

7. Kecepatan absorbsi sistemik adalah sebanding dengan vaskularisasi tempat suntikan: intravena > trakeal > interkostal > kaudal > paraservikal > epidural > flekus brakialis > skiatik > subkutan.

8. Obat analgetik lokal golongan ester terutama dimetabolisme oleh pseudokolinesterase. Obat analgetik lokal golongan amid dimetabolisme (N-dealkilasi dan hidroksilasi) oleh enzim mikrogramsomal P-450 dalam hepar.

9. Susunan saraf pusat tempat dari tanda permulaan dari overdosis pada pasien yang sadar. Tanda dini adalah rasa baal, parestesi lidah, dan pusing. Keluhan perasaan berupa tinitus, dan pandangan kabur. Gejala eksitatori (misalnya gelisah, agitasi, cemas, paranoid) sering mendahuli

depresi SSP (misalnya bicara seperti menelan, ngantuk, dan tidak sadar). Twitching otot merupakan petanda akan terjadinya kejang tonik-klonik.

10. Toksisitas kardiovaskular yang berat umumnya memerlukan 3 kali konsentrasi dalam darah yang menimbulkan kejang. Aritmia jantung atau kolaps sirkulasi merupakan tanda yang biasa pada overdosis obat analgetik lokal selama anestesia umum.

11. Suntikan intravaskular yang tidak disengaja dari bupivakain selama analgesia regional menimbulkan reaksi kardiotoksik yang berat, termasuk hipotensi, AV blok, irama idioventrikular, dan aritmia yang mengancam nyawa seperti ventrikular takikardia dan fibrilasi.

12. Reaksi hipersensitivitas yang betul-betul disebabkan oleh obat analgetik lokal—seperti dari toksisitas sistemik yang disebabkan karena konsentrasi plasma yang besar—adalah jarang terjadi. Golongan ester lebih sering menimbulkan reaksi alergi disebabkan karena golongan ester merupakan derivat asam para aminobenzoik yang diketahui merupakan suatu alergen.

13. Blok spinal, epidural dan kaudal juga disebut sebagai neuroaksial anestesia. Setiap blok ini dapat dilakukan dengan suntikan tunggal atau dengan kateter

sehingga dapat dilakukan pemberian secara intermiten atau kontinyu.

14. Melakukan tusukan lumbal (subarahnoid) harus di bawah L1 pada dewasa (L3 pada anak) untuk menghindari kemungkinan trauma oleh jarum pada medula spinalis.

15. Tempat kerja utama blok neuroaksial adalah pada radiks saraf.

16. Terdapat perbedaan blokade pada blokade simpatis (sensitivitas temperatur) 2 segmen lebih tinggi dari blok sensori (nyeri, raba halus), dan 2 segmen lebih tinggi daripada blokade motorik. Sensori 2 segmen lebih tinggi dari motorik.

17. Interupsi transmisi eferen autonom pada radiks saraf spinalis dapat menimbulkan blokade simpatis dan parasimpatis.

18. Blokade neuroaksial dapat menurunkan tekanan darah yang disertai penurunan denyut jantung dan kontraksi jantung.

19. Efek kardiovaskular yang berbahaya harus diantisipasi untuk mengurangi derajat hipotensi. Pengisian volume 10-20 ml/kg intravena pada pasien sehat untuk mengkompensasi pooling vena.

Page 90: Dasar ilmu Anesthesi

90

20. Bradikardia harus diterapi dengan sulfas atropin, dan hipotensi diterapi dengan vasopresor.

PROSEDUR ANESTESIA SUBARAHNOID

1 Periksa kesiapan alat dan obat yang

diperlukan

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk

asepsis dan antisepsis

3 Pasang monitor Standard pada pasien

dan amati tanda vital pasien

4 Pasang jalur intravena pada pasien

5 Posisikan pasien lateral dekubitus atau

duduk, ganjal bahu dan kepala pasien bila

diposisikan lateral dekubitus.

6 Tentukan penunjuk anatomi celah

antara L2-3, L3-4 atau L4-5. Celah antara

L3-4 atau prosesus spinosus L4 tegak lurus

dari spina iliaka anterior superior.

7 Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis

pada penunjuk anatomi yang ditentukan.

8 Berikan analgesia lokal pada celah

yang akan dilakukan penusukan jarum spinal.

9 Lakukan penusukan jarum spinal

(atau introduser) pada celah yang telah diberi

analgesia lokal. Penusukan jarum harus

sejajar dengan prosesus spinosus atau

sedikit membentuk sudut kearah sefalad,

dengan arah bevel ke lateral atau sefalad.

10

Dorong jarum sampai melewati resistensi

ligamentum flavum dan dura, terasa kehilangan

tahanan pada rongga subarahnoid.

11

Cabut mandren jarum, dan pastikan posisi

jarum sudah tepat yang ditandai dengan

mengalir keluar cairan serebrospinal yang

bening. Jarum dapat dirotasikan 90°

untuk memastikan kelancaran likuor yang

keluar. Penusukkan harus diulang bila

likuor tidak keluar atau keluar darah.

12

Sambungkan jarum dengan spuit berisi

Page 91: Dasar ilmu Anesthesi

91

obat analgetik lokal yang sudah

dipersiapkan. Aspirasi sedikit likuor,

bila lancar suntikan obat analgetik lokal

secara perlahan. Lakukan aspirasi ulang

untuk memastikan ujung jarum tetap pada

posisi yang tepat dan suntikan kembali obat.

13

Setelah selesai cabut jarum dan kembalikan

posisi pasien sesuai dengan yang

diinginkan.

Cara penyuntikkan paramedian pada

dasarnya sama seperti di atas, hanya

jarum spinal disuntikkan pada 1,5 sm

lateral dan 1sm kaudal dari celah

penyuntikan yang dituju.

DURANTE ANESTESIA

SUBARAHNOID

1 Monitor ABC dan ketinggian blok

2 Amati perubahan fisiologis yang terjadi ,

pencegahan dan penatalaksanaannya

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan dan

penatalaksanaannya

4 Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat

PASCABEDAH

1 Monitor ABC di ruang pulih

2 Pasien dikembalikan ke ruang rawat

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan dan

penatalaksanaan

PROSEDUR ANALGESIA REGIONAL INTRAVENA

1 Periksa kesiapan alat dan obat yang

diperlukan dan cek kesiapan alat

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk

asepsis dan antisepsis

3 Pasang monitor Standard pada pasien dan

amati tanda vital pasien

4 Pasang jalur intravena pada ekstremitas lain

yang tidak diblok

5 Premedikasi bila perlu

6 Posisikan pasien dengan ekstremitas yang

akan diblok dielevasi selama 1-2 menit

7 Lengan dibalut dengan vellband dan turnike

Page 92: Dasar ilmu Anesthesi

92

kaf ganda dipasang pada bagian proksimal ekstremitas yang diblok

8 Kateter intravena 22 G dipasang pada

dorsum manus atau dorsum pedis pada

lengan/kaki yang akan diblok

9 Elevasi ekstremitas 1 menit untuk

Eksanguinasi

10 Pembalut Esmarch dipasang dengan baik

secara sistematis dari ujung jari sampai kaf

distal

11 Inflasikan kaf distal sampai 300 mmHg

12 Inflasikan kaf proksimal sampai 300 mmHg

13 Deflasikan kaf distal

14 Pembalut Esmarch dilepascan

15 Cek ekstremitas untuk warna (pucat) dan

oklusi arteri (tidak ada denyut arteri)

16 Ekstremitas diturunkan, obat analgetik

lokal disuntikkan melalui kateter

intravena pada ekstremitas yang akan

diblok

DURANTE ANALGESIA REGIONAL INTRAVENA

Page 93: Dasar ilmu Anesthesi

93

1 Monitor ABC

2 Penatalaksanaan rasa tidak nyaman

pasien selama analgesia regional intravena

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan dan

penatalaksanaannya

4 Penatalaksanaan bila durasi blok akan

Habis

PASCABEDAH

1 Lepascan turnike pelan dan bertahap

2 Monitor ABC di ruang pulih

3 Pasien dikembalikan ke ruang rawat

I. Mekanisme Kerja

Seperti telah diketahui bahwa sel-sel saraf dalam keadaan rehat (rehat). Begitu ada rangsangan terhadap perubahan permeabilitas dari membran sel, sehingga dinding sel relatif lebih permeabel terhadap ion Na daripada ion K, maka terjadi influx Na ke dalam sel, kemudian diikuti dengan keluarnya ion K. Jadi pada waktu Na masuk ke dalam sel, maka di dalam sel relatif lebih positif, sedangkan di luar lebih negatif, maka terjadi depolarisasi.

Pada waktu pemulihan, terjadi pergerakan ion-ion yang sebaliknya, dan kembali kepada keadaan rehat, selanjutnya siap untuk menerima rangsang kembali dalam beberapa mili-detik. Pemberian obat analgetik lokal mencegah terjadinya

migrasi ion-ion ini (membran sel stabil dalam keadaan rehat) dengan akibat terjadinya hambatan impuls saraf.

Ada beberapa teori analgesia lokal terhadap membran saraf :

1. Molekul-molekul lokal anestesia berikatan dengan membran sel sehingga dapat memblokir pori-pori tempat migrasi ion-ion.

2. Pelepasan ikatan kalsium pada membran sel saraf pada waktu transmisi impuls dicegah oleh obat analgetik lokal, sehingga kalsium lebih banyak terikat pada membran sel saraf.

3. Kompetisi obat analgetik lokal dan asetilkolin yang selalu diproduksi oleh sel-sel saraf yang terkena rangsang terhadap reseptor site.

II. Farmakologi

Komponen kimia yang menunjukkan aktivitas lokal anestesia umumnya mempunyai ujung aromatik, ujung amine, dan rantai

intermediet. Obat analgetik lokal dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu amino-ester dan amino-amid.

Obat analgetik lokal dengan suatu rantai ester di antara bagian aromatik dan rantai intermediet disebut amino-ester, misalnya prokain, kloroprokain, dan tetrakain. Obat analgetik lokal dengan rantai amid antara ujung aromatik dan rantai intermediet disebut amino-amid, misalnya lidokain, mepivakain, prilokain, bupivakain dan etidokain. Perbedaan dasar antara golongan ester dan amid adalah dalam cara metabolisme obat dan potensial alerginya. Golongan ester dihidrolisa di plasma oleh enzim di hati. Metabolit hasil hidrolisa golongan ester adalah asam paraaminobenzoik yang dapat menimbulkan reaksi alergi. Metabolisme golongan amid tidak menghasilkan asam paraaminobenzoik dan laporan adanya reaksi dengan obat golongan ini sangat jarang.

Gambaran anestesia dari suatu komponen kimia bergantung pada :

1) Lipid solubility

Page 94: Dasar ilmu Anesthesi

94

2) Protein binding

3) pKa

4) Non-nervous tissue diffusibility

5) Intrinsic vasodilator activity

Gambaran tersebut terlihat pada tabel berikut ini.

1) Lipid solubility :

Kelarutan dalam lemak menggambarkan potensi intrinsik obat analgetik lokal tersebut. Makin tinggi kelarutannya dalam lemak, semakin poten obat tersebut. Lipid solubility prokain kurang dari satu, dan obat ini paling kecil potensinya. Sebaliknya koefisien partisi/kelarutan bupivakain, tetrakain dan etidokain bervariasi dari 30-140, menunjukkan lipid solubility yang tinggi. Obat ini menunjukkan blokade konduksi pada konsentrasi yang sangat rendah karena potensi intrinsik anestesianya 30 kali lebih besar dari prokain. Hubungan antara lipid solubility dan potensi intrinsik anestesia selalu konsisten dengan komposisi lipoprotein dari membran saraf (ada 3 lapisan membran saraf terdiri dari protein-lipid-protein). Kira-kira 90% aksolemma terdiri dari lemak. Karena itu obat analgetik lokal yang kelarutan lemaknya tinggi dapat menembus membran saraf dengan lebih mudah, yang direfleksikan sebagai peningkatan potensi.

2) Protein binding :

Kekhasan protein binding adalah mempengaruhi lama kerja obat analgetik lokal tersebut. Prokain, pengikatan oleh proteinnya buruk, maka lama kerjanya pendek. Sebaliknya, tetrakain, bupivakain, etidokain protein binding nya tinggi, maka lama kerjanya panjang. Hubungan antara protein binding obat analgetik lokal dan lama kerjanya adalah konsisten dengan struktur dasar membran saraf. Protein membran saraf 10%. Karena itu obat yang menembus aksolemma dan diikat pada protein membran bertendensi untuk memperpanjang lama aktivitas obat.

3) pKa :

pKa komponen kimia didefinisikan sebagai pH di mana bentuk ion dan non-ion ada dalam keseimbangan. Obat analgetik lokal yang tidak berubah bentuk, bertanggungjawab untuk difusi menembus selubung saraf. Mula kerja secara langsung berhubungan dengan kecepatan menembus epineurium, yang kolerasi dengan jumlah obat dalam bentuk dasar. Persentase dari obat analgetik lokal dalam bentuk dasar bila disuntikkan ke dalam jaringan yang mempunyai pH 7,4 adalah sebaliknya proporsional pada pKa obat tersebut. Sebagai contoh, lidokain yang mempunyai pKa 7,74 adalah 65% dalam bentuk ion dan 35% dalam bentuk non-ion pada pH jaringan 7,4. Dari penelitian invivo dan invitro telah dikonfirmasikan bahwa obat analgetik lokal yang mempunyai pKa hampir mendekati pH jaringan mempunyai mula kerja yang lebih cepat

daripada obat analgetik lokal dengan pKa yang tinggi.

4) Non-nervous tissue diffusion :

Mula kerja berhubungan dengan kecepatan difusi melalui perineurium. Lapisan pembungkus serabut saraf dari dalam keluar adalah endoneurium, perineurium, dan epineurium. Lapisan ini terdiri dari jaringan pengikat kolagen dan elastis. Pada invivo, obat analgetik lokal harus menembus jaringan pengikat yang bukan jaringan saraf. Ada perbedaan kecepatan menembus jaringan yang bukan saraf. Sebagai contoh, prokain dan kloroprokain mempunyai pKa yang sama dan mula kerjayang sama pada saraf yang diisolasi (invitro), tetapi invivo, mula kerja kloroprokain lebih pendek daripada prokain, ini menunjukkan bahwa kloroprokain lebih cepat menembus jaringan yang bukan jaringan saraf.

5) Intrinsic vasodilator activity :

Page 95: Dasar ilmu Anesthesi

95

Faktor ini akan mempengaruhi potensi dan lama kerja obat analgetik lokal. Tingkatan dan lamanya blokade saraf dihubungkan dengan jumlah obat analgetik lokal yang menembus ke reseptor pada membran saraf. Setelah suntikan obat analgetik lokal sebagian obat akan diambil jaringan saraf dan beberapa bagian akan diabsorbsi ke dalam sistem sirkulasi. Derajat absorbsi vaskular berhubungan dengan aliran darah ke daerah di mana disuntikkan obat analgetik lokal. Semua obat analgetik lokal, kecuali kokain, bersifat vasodilator, tetapi derajat vasodilatasi yang ditimbulkan oleh setiap obat berbeda-beda. Pada penelitian invitro telah ditunjukkan bahwa potensi intrinsik obat anestetik lidokain lebih besar

daripada mepivakain, tetapi invivo, mepivakain mempunyai potensi yang sama dan lama kerja yang lebih panjang dari pada lidokain. Perbedaan antara invivo dengan invitro adalah akibat lebih besarnya vasodilator activity dari lidokain sehingga absorbsi lidokain lebih besar dan obat yang tersisa untuk memblokade saraf tinggal sedikit.

III. Toksisitas Obat analgetik lokal

Obat analgetik lokal relatif bebas dari efek samping bila diberikan dalam dosis yang tepat dan

lokasi anatomis yang tepat. Reaksi toksis yang cepat umumnya bila terjadi suntikan intravaskular atau dosis besar subarahnoid. Pemberian dosis yang besar tetapi lokasi anatomisnya tepat dapat membawa ke arah toksisitas sistemik setelah absorbsi vaskular obat analgetik lokal tersebut.

Pengaruh toksisitas bergantung pada kadar obat analgetik lokal dalam plasma. Bila kadarnya 6g/ml gejalanya adalah gangguan penglihatan, disorientasi dan ngantuk. Bila kadarnya 10g/ml gejalanya adalah tidak sadar, twitching otot, tremor (muka, ujung ekstrimitas). Bila kadarnya 12g/ml timbul kejang-kejang, dan bila kadarnya 20g/ml terjadi henti nafas.

Tabel : Toksisitas Obat analgetik lokal

(1) Susunan Saraf Pusat

Eksitasi

Depresi

(2) Sistem Kardiovaskular

Hipertensi

Hipotensi

Iritasi Lokal(1) Kerusakan serabut saraf(2) Kerusakan otot skelet

Lain-lain

(1) Alergi(2) Metemoglobinemia (prilokain)(3) Kecanduan (Kokain)

Toksisitas Sistemik :

Toksisitas sistemik obat analgetik lokal secara primer umumnya mengenai SSP dan sistem kardiovaskular. Pada umumnya SSP lebih dahulu terkena daripada sistem kardiovaskular. Penelitian pada anjing dan biri-biri menunjukkan bahwa diperlukan dosis dan kadar obat analgetik lokal yang lebih kecil untuk menimbulkan toksisitas SSP daripada toksisitas kardiovaskular.

Tabel : Signs and symptoms of local anesthetic related CNS toxicity

CNS excitation

Page 96: Dasar ilmu Anesthesi

96

Tinnitus

Lightheadedness

Confusion

Circumoral numbness

Tonic-clonic konvulsions

Drowsiness

Unconciousness

Respiratory arrest

Toksisitas Susunan Saraf Pusat :

Toksisitas SSP berhubungan dengan :

1. Potensi obat: bupivakain 8 kali lebih poten daripada prilokain; toksisitasnya juga jauh lebih berat.

2. Kadar CO2: bila kadar CO2 darah meningkat, ambang konvulsi menurun.

3. pH darah: bila pH darah menurun, ambang konvulsi menurun

Pada sukarelawan yang diinfusi obat analgetik lokal merasakan adanya perasaan melayang, pening, diikuti gangguan penglihatan dan pendengaran (seperti kesulitan memfokuskan pandangan dan tinnitus) serta adanya disorientasi dan mual. Tanda-tanda lain adalah adanya eksitasi, menggigil, twitching otot dan tremor pada otot-otot muka dan bagian distal ekstrimitas dan terjadi kejang-kejang yang menyeluruh. Bila dosis besar diberikan secara sistemik, gejala pertama SSP eksitasi segera diikuti oleh SSP depresi, depresi nafas dan henti nafas. Perbandingan relatif

toksisitas SSP dari bupivakain, etidokain dan lidokain adalah 4:2:1.

Toksisitas Kardiovaskular :

Obat analgetik lokal dapat menyebabkan pengaruh yang besar terhadap sistem kardiovaskular. Pemberian secara sistemis dapat mempengaruhi otot jantung dan otot polos dinding pembuluh darah.

Obat-obat analgetik lokal.

Lidokain :

Lidokain biasanya digunakan untuk terapi aritmia (ventricular extrasystole). Efek primer dari lidokain adalah menurunkan kecepatan maksimal dari depolarisasi. Bupivakain dapat mempresipitasi timbulnya aritmia jantung, yaitu adanya blok unilateral dan suatu aritmia jantung tipe reentrant. Bergantung pada dosisnya, obat analgetik lokal bisa bersifat inotropik negatif. Makin poten obat analgetik lokal tersebut, semakin kuat menekan jantung.

Lidokain :

Onsetnya lebih cepat dan lama kerja lebih lama dari prokain.

Efek topikalnya baik. Sering dipakai sebagai anti aritmia. Dipakai untuk menumpulkan

rangsangan akibat laringoskopi-intubasi yang menimbulkan kenaikkan tekanan darah dan frekuensi nadi dengan dosis 1-1,5 mg/kg BB intravena.

Obat analgetik lokal yang paling banyak dipakai dan sebagai pembanding obat analgetik lokal lainnya.

Konsentrasi untuk pemberian infiltrasi 0,5-1%, epidural 1-2%, blok saraf 1-1,5%, topikal 4%, spinal 5%.

Onsetnya cepat, durasi 60-120 menit. Dosis maksimalnya 300mg tanpa

epinefrin, 500mg bila dicampur dengan epinefrin.

Dosis rata-ratanya 7-8mg/kgBB.

Bupivakain :

Potensinya lebih kuat. Durasinya lebih lama. Toksisitasnya hampir sama dengan

tetrakain, 4-5 kali lebih besar dari lidokain.

Page 97: Dasar ilmu Anesthesi

97

Motor blockade lebih lemah daripada lidokain.

Onset-nya lebih lama daripada lidokain. Banyak dipakai pada nyeri pascabedah

dan analgesia pada persalinan. Konsentrasi infiltrasinya 0,25-0,5%, blok

saraf 0,25-0,5%, epidural 0,5-0,75%, spinal 0,5.

Onset-nya lambat, durasi 180-300 menit. Single dose maksimumnya 175mg. Dosis rata-ratanya 3-4mg/kgBB.

IV. Persiapan Anestesia

Bergantung pada jenis teknik analgesia lokal apa yang akan digunakan. Secara umum pasien harus diberitahu bahwa untuk yang bersangkutan anestesia terbaik adalah analgesia lokal. Bila perlu bisa juga sedikit dijelaskan tentang cara melakukan tindakan analgesia lokal tersebut. Pasien tetap dianjurkan puasa untuk mencegah muntah bila diperlukan kombinasi dengan anestesia umum. Diperiksa tempat yang akan disuntik, apakah memungkinkan dilakukan tindakan analgesia lokal. Diberikan premedikasi sedatif dan analgetik kalau perlu. Contoh premedikasi misalnya dengan diazepam atau lorazepam. Pada keadaan-keadaan tertentu lebih baik tidak dilakukan analgesia lokal, misalnya pasien tidak kooperatif, ditemukan penyakit saraf, anemia berat, ataupun infeksi kulit.

VII. Spinal Anestesia

Disebut juga spinal analgesia atau subarahnoid nerve block, terjadi karena deposit obat analgetik lokal di dalam ruangan subarahnoid. Terjadi blok saraf yang reversibel pada radiks anterior dan posterior, radiks ganglion posterior dan sebagian medula spinalis yang akan menyebabkan hilangnya aktivitas sensori, motorik dan autonom.

Berbagai fungsi yang dibawa saraf-saraf medula spinalis misalnya temperatur, sakit, aktivitas autonom, rabaan, tekanan, lokalisasi rabaan, fungsi motorik dan proprioseptif. Secara umum fungsi-fungsi tersebut dibawa oleh serabut saraf yang berbeda dalam ketahanannya terhadap obat analgetik lokal. Oleh sebab itu ada obat analgetik lokal yang lebih mempengaruhi sensori daripada motorik. Blokade dari medula spinalis dimulai kaudal dan kemudian naik ke arah sefalad.

Serabut saraf yang bermielin tebal (fungsi motorik dan propioseptif) paling resisten dan kembalinya fungsi normal paling cepat, sehingga diperlukan konsentrasi tinggi obat analgetik lokal untuk memblokade saraf tersebut.

Level blokade autonom 2 atau lebih dermatom ke arah sefalik daripada level analgesia kulit, sedangkan blokade motorik 2 sampai 3 segmen ke arah kaudal dari level analgesia.

Indikasi Analgesia spinal:

1. Operasi ekstremitas bawah, baik operasi jaringan lunak, tulang atau pembuluh darah.

2. Operasi di daerah perineal : anal, rektum bagian bawah, vagina, dan urologi.

3. Abdomen bagian bawah : hernia, usus halus bagian distal, apendiks, rektosigmoid, kandung kencing, ureter distal, dan ginekologis

4. Abdomen bagian atas : kolesistektomi, gaster, kolostomi transversum. Tetapi analgesia spinaluntuk abdomen bagian atas tidak dapat dilakukan pada semua pasien sebab dapat menimbulkan perubahan fisiologis yang hebat.

5. Seksio sesarea (Caesarean Seksion).

6. Prosedur diagnostik yang sakit, misalnya anoskopi, dan sistoskopi.

Indikasi-kontra Absolut :

1. Gangguan pembekuan darah, karena bila ujung jarum spinal menusuk pembuluh darah, terjadi perdarahan hebat dan darah akan menekan medula spinalis.

2. Sepsis, karena bisa terjadi meningitis.

3. Tekanan intrakranial yang meningkat, karena bisa terjadi pergeseran otak bila terjadi kehilangan cairan serebrospinal.

4. Bila pasien menolak.

Page 98: Dasar ilmu Anesthesi

98

5. Adanya dermatitis kronis atau infeksi kulit di daerah yang akan ditusuk jarum spinal.

6. Penyakit sistemis dengan sequele neurologis misalnya anemia pernikiosa, neurosifilis, dan porfiria.

7. Hipotensi.

Indikasi-kontra Relatif :

1. Pasien dengan perdarahan.

2. Problem di tulang belakang.

3. Anak-anak.

4. Pasien tidak kooperatif, psikosis.

Anatomi :

Terdapat 33 ruas tulang vertebra, yaitu 7 servikal, 12 toraksal, 5 lumbal, 5 sakral dan 4 koksigeal. Medula spinalis berakhir di vertebra L2, karena ditakutkan menusuk medula spinalis saat penyuntikan, maka analgesia spinalumumnya dilakukan setinggi L4-L5, L3-L4, L2-L3. Ruangan epidural berakhir di vertebra S2.

Ligamen-ligamen yang memegang kolumna vertebralis dan melindungi medula spinalis, dari luar ke dalam adalah sebagai berikut :

1. Ligamentum supraspinosum.

2. Ligamentum interspinosum.3. Ligamentum flavum.4. Ligamentum longitudinal posterior.5. Ligamentum longitudinal anterior.

Teknik Analgesia spinal:

1. Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan ketika kita visite pre-operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda kemungkinan adanya kesulitan dalam penusukan, maka pasien tidak perlu dipersiapkan untuk spinal anestesia.

2. Posisi pasien :

a) Posisi Lateral.

Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10sm, lutut dan paha fleksi mendekati perut, kepala ke arah dada.

b) Posisi duduk.

Dengan posisi ini lebih mudah melihat kolumna vertebralis, tetapi pada pasien-pasien yang telah mendapat premedikasi mungkin akan pusing dan diperlukan seorang asisten untuk memegang pasien supaya tidak jatuh. Posisi ini digunakan terutama bila diinginkan sadle block.

c) Posisi Prone.

Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah menginginkan posisi Jack Knife atau prone.

3. Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadin, alkohol, kemudian kulit ditutupi dengan “doek” bolong steril.

4. Cara penusukan.

Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin besar nomor jarum, semakin kecil diameter jarum tersebut, sehingga untuk mengurangi komplikasi sakit kepala (PSH=post spinal headache), dianjurkan dipakai jarum kecil. Penarikan stilet dari jarum spinal akan menyebabkan keluarnya likuor bila ujung jarum ada di ruangan subarahnoid. Bila likuor keruh, likuor harus diperiksa dan spinal analgesia dibatalkan. Bila keluar darah, tarik jarum beberapa mili meter sampai yang keluar adalah likuor yang jernih. Bila masih merah, masukkan lagi stilet-nya, lalu ditunggu 1 menit, bila jernih, masukkan obat analgetik lokal, tetapi bila masih merah, pindahkan tempat tusukan. Darah yang mewarnai likuor harus dikeluarkan sebelum menyuntik obat analgetik lokal karena dapat menimbulkan reaksi benda asing (Meningismus).

Obat-obat yang dipakai :

Obat analgetik lokal yang biasa dipakai untuk analgesia spinaladalah lidokain, bupivakain, levobupivakain, prokain, dan tetrakain. Lidokain adalah suatu obat analgetik lokal yang poten, yang dapat

Page 99: Dasar ilmu Anesthesi

99

memblokade autonom, sensori dan motorik. Lidokain berupa larutan 5% dalam 7,5% dekstrosa, merupakan larutan yang hiperbarik. Mula kerjanya 2 menit dan lama kerjanya 1,5 jam. Dosis rata-rata 40-50mg untuk persalinan, 75-100mg untuk operasi ekstrimitas bawah dan abdomen bagian bawah, 100-150mg untuk spinal analgesia tinggi.

Lama analgesia prokain < 1 jam, lidokain 1-1,5 jam, tetrakain 2 jam lebih.

Pengaturan Level Analgesia:

Level anestesia yang terlihat dengan analgesia spinaladalah sebagai berikut : level segmental untuk paralisis motorik adalah 2-3 segmen di bawah level analgesia kulit, sedangkan blokade autonom adalah 2-6 segmen sefalik dari zone sensori. Untuk keperluan klinis, level anestesia dibagi atas :

--. Sadle block anesthesia : zona sensori anestesia kulit pada segmen lumbal bawah dan sakral.

--. Low spinal anesthesia : level anestesia kulit sekitar umbilikus (T10) dan termasuk segmen toraksal bawah, lumbal dan sakral.

--. Mid spinal anesthesia : blok sensori setinggi T6 dan zona anestesia termasuk segmen toraksal, lumbal, dan sacral.

--. High spinal anesthesia : blok sensori setinggi T4 dan zona anestesia termasuk segmen toraksal 4-12, lumbal, dan sacral.

Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor, motorik dan hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin mungkin terjadi.

Level anestesia bergantung pada volume obat, konsentrasi obat, barbotase, kecepatan suntikan, valsava, tempat suntikan, peningkatan tekanan intra-abdomen, tinggi pasien, dan gravitas larutan. Makin besar volume obat, akan semakin besar penyebarannya, dan level anestesia juga akan semakin tinggi. Barbotase adalah pengulangan aspirasi dari suntikan obat analgetik lokal. Bila kita mengaspirasi 0,1ml likuor sebelum menyuntikkan obat; dan mengaspirasi 0,1ml setelah semua obat analgetik lokal disuntikkan, akan menjamin bahwa ujung jarum masih ada di ruangan subarahnoid. Penyuntikan yang lambat akan mengurangi penyebaran obat sehingga akan menghasilkan low spinal anesthesia, sedangkan suntikan yang terlalu cepat akan menyebabkan turbulensi dalam likuor dan menghasilkan level anestesia yang lebih tinggi. Kecepatan yang dianjurkan adalah 1ml per 3 detik.

Berdasarkan berat jenis obat analgetik lokal yang dibandingkan dengan berat jenis likuor, maka dibedakan 3 jenis obat analgetik lokal, yaitu hiperbarik, isobarik dan hipobarik. Berat jenis likuor

serebrospinal adalah 1,003-1,006. Larutan hiperbarik : 1,023-1,035, sedangkan hipobarik 1,001-1,002.

Perawatan Selama pembedahan.

1. Posisi yang enak untuk pasien.

2. Kalau perlu berikan obat penenang.

3. Operator harus tenang, manipulasi tidak kasar.

4. Ukur tekanan darah, frekuensi nadi dan respirasi.

5. Perhatikan kesulitan penderita dalam pernafasan, adanya mual dan pusing.

6. Berikan oksigen per nasal.

Perawatan Pascabedah.

1. Posisi terlentang, jangan bangun / duduk sampai 24 jam pascabedah.

2. Minum banyak, 3 lt/hari.

3. Cegah trauma pada daerah analgesia.

4. Periksa kembalinya aktifitas motorik.

5. Yakinkan bahwa perasaan yang hilang dan kaki yang berat akan pulih.

6. Cegah sakit kepala, mual-muntah.

7. Perhatikan tekanan darah dan frekuensi nadi karena ada kemungkinan penurunan tekanan darah dan frekuensi nadi.

Page 100: Dasar ilmu Anesthesi

100

Komplikasi / Problema Analgesia spinal :

1. Sistem Kardiovaskular :

a) Penurunan resistensi perifer :

--. Vasodilatasi arteriol dan arteri terjadi pada daerah yang diblokade akibat penurunan tonus vasokonstriksi simpatis.

--. Venodilatasi akan menyebabkan peningkatan kapasitas vena dan venous return.

--. Proksimal dari daerah yang diblokade akan terjadi mekanisme kompensasi, yakni terjadinya vasokonstriksi.

b) Penurunan Tekanan Sistolik dan Tekanan Arteri Rata-rata

Penurunan tekanan darah bergantung pada tingginya blokade simpatis. Bila tekanan darah turun rendah sekali, terjadi risiko penurunan aliran darah otak. Bila terjadi iskemia medula oblongata terlihat adanya gejala mual-muntah. Tekanan darah jarang turun > 15 mmHg dari tekanan darah asal. Tekanan darah dapat dipertahankan dengan pemberian cairan dan atau obat vasokonstriktor. Duapuluh menit sebelum dilakukan analgesia spinaldiberikan cairan RL atau NaCl 10-15 ml/kgBB.

Vasokonstriktor yang biasa digunakan adalah efedrin. Dosis efedrin 25-50 mg i.m. atau 15-20 mg i.v. Mula kerja-nya 2-4 menit pada pemberian intravena, dan 10-20menit pada pemberian intramuskular. Lama kerja-nya 1 jam.

c) Penurunan denyut jantung.

Bradikardia umumnya terjadi karena penurunan pengisian jantung yang akan mempengaruhi myocardial chronotropic stretch receptor, blokade anestesia pada serabut saraf cardiac amlelerator simpatis (T1-4). Pemberian sulfas atropin dapat meningkatkan denyut jantung dan mungkin juga tekanan darah.

2. Sistem Respirasi

Bisa terjadi apnea yang biasanya disebabkan karena hipotensi yang berat sehingga terjadi iskemia medula oblongata. Terapinya : berikan ventilasi, cairan dan vasopresor. Jarang disebabkan karena terjadi blokade motorik yang tinggi (pada radiks n.frenikus C3-5). Kadang-kadang bisa terjadi batuk-batuk kering, maupun kesulitan bicara.

3. Sistem Gastrointestinal :

Diperlihatkan dengan adanya mual muntah yang disebabkan karena hipotensi, hipoksia, pasien sangat cemas, pemberian narkotik, over-

aktivitas parasimpatis dan traction reflex (misalnya dokter bedah manipulasi traktus gastrointestinal).

4. Headache (PSH=Post Spinal Headache)

Sakit kepala pascaanalgesia spinalmungkin disebabkan karena adanya kebocoran likuor serebrospinal. Makin besar jarum spinal yang dipakai, semakin besar kebocoran yang terjadi, dan semakin tinggi kemungkinan terjadinya sakit kepala pascaspinal anestesia. Bila duramater terbuka bisa terjadi kebocoran cairan serebrospinal sampai 1-2pekan. Kehilangan CSF sebanyak 20ml dapat menimbulkan terjadinya sakit kepala. PSH ini pada 90% pasien terlihat dalam 3 hari postspinal, dan pada 80% kasus akan menghilang dalam 4 hari. Supaya tidak terjadi PSH dapat dilakukan pencegahan dengan :

--. Memakai jarum spinal sekecil mungkin (misalnya no. 25,27,29).

--. Menusukkan jarum paralel pada serabut longitudinal duramater sehingga jarum tidak merobek dura tetapi menyisihkan duramater.

--. Hidrasi adekuat, dapat diperoleh dengan minum 3lt/hari selama 3 hari, hal ini akan menambah produksi CSF sebagai pengganti yang hilang.

Bila sudah terjadi sakit kepala dapat diterapi dengan :

Page 101: Dasar ilmu Anesthesi

101

--. Memakai abdominal binder.

--. Epidural blood patch : suntikkan 10ml darah pasien itu sendiri di ruang epidural tempat kebocoran.

--. Berikan hidrasi dengan minum sampai 4lt/hari.

Kejadian PSH 10-20% pada umur 20-40 tahun; > 10% bila dipakai jarum besar (no. 20 ke bawah); 9% bila dipakai jarum no.22 ke atas. Wanita lebih banyak yang mengalami sakit kepala daripada laki-laki.

5. Backache

Sakit punggung merupakan problema setelah suntikan di daerah lumbal untuk spinal anestesia.

6. Retensi urin

Penyebab retensi urin mungkin karena hal-hal sebagai berikut : operasi di daerah perineum pada struktur genitourinaria, pemberian narkotik di ruang subarahnoid, setelah anestesia fungsi kandung kemih merupakan yang terakhir pulih.

7. Komplikasi Neurologis Permanen

Jarang sekali terjadi komplikasi neurologis permanen. Hal-hal yang menurunkan kejadiannya adalah karena : dilakukan sterilisasi panas pada ampul gelas, memakai semprit dan jarum yang disposibel, analgesia spinaldihindari pada pasien dengan penyakit sistemik, serta penerapan teknik antiseptik.

8. Chronic Adhesive Arahnoiditis

Suatu reaksi proliferasi arahnoid yang akan menyebabkan fibrosis, distorsi serta obliterasi dari ruangan subarahnoid. Biasanya terjadi bila ada benda asing yang masuk ke ruang subarahnoid.

Page 102: Dasar ilmu Anesthesi

102

BAB IX

1. Spinal, epidural dan kaudal blok juga disebut sebagai Neuroaksial anestesia. Setiap blok ini dapat dilakukan dengan suntikan tunggal atau dengan kateter sehingga dapat dilakukan pemberian secara intermiten atau kontinyu.

2. Melakukan tusukan lumbal (subarahnoid) harus di bawah L1 pada dewasa (L3 pada anak) untuk menghindari kemungkinan trauma oleh jarum pada medula spinalis.

3. Tempat kerja utama blok neuroaksial adalah pada radiks saraf.

4. Terdapat perbedaan blokade pada blokade simpatis (sensitivitas temperatur) 2 segmen lebih tinggi dari blok sensori (nyeri, raba halus), dan 2 segmen lebih tinggi daripada blokade motorik. Sensori 2 segmen lebih tinggi dari motorik.

5. Interupsi transmisi eferen autonom pada radiks saraf spinalis dapat menimbulkan blokade simpatis dan parasimpatis.

6. Blokade neuroaksial dapat menurunkan tekanan darah yang disertai penurunan denyut jantung dan kontraksi jantung.

7. Efek kardiovaskular yang berbahaya harus diantisipasi untuk mengurangi derajat hipotensi. Pengisian dengan volume 10-20 ml/kg intravena pada pasien sehat untuk mengkompensasi pooling vena.

8. Bradikardia harus diterapi dengan sulfas atropin, dan hipotensi diterapi dengan vasopresor.

9. Indikasi-kontra neuroaksial blokade adalah pasien menolak, gangguan perdarahan, hipovolemia berat, peningkatan tekanan intrakranial, infeksi di tempat suntikan, penyakit katup jantung stenosis berat atau obstruksi outflow ventricular.

10. Untuk anestesia epidural, hilangnya tahanan yang tiba-tiba menunjukkan jarum masuk rongga epidural. Untuk analgesia spinalditandai dengan keluarnya likuor serebrospinalis.

11. Epidural anestesia adalah suatu teknik neuroaksial yang tempat pemasangannya mempunyai rentang yang lebih luas daripada Spinal Anestesia. Epidural blok dapat dilakukan pada level lumbal, toraksal, servikal.

12. Epidural teknik digunakan secara luas untuk anestesia operasi, obstetri analgesia, penatalaksanaan nyeri pascabedah, penatalaksanaan nyeri kronis.

13. Mula kerjaepidural anestesia lebih lambat (10-20 menit), dan kurang dalam dibandingkan dengan spinal anestesia.

14. Kuantitas (volume dan konsentrasi) obat analgetik lokal yang diperlukan untuk epidural anestesia lebih banyak dibandingkan dengan spinal anestesia. Toksisitas yang nyata dapat terjadi bila jumlah tersebut disuntikan intratekal atau intravena. Panduan yang aman adalah gunakan test dose dan berikan secara incremental.

15. Epidural kaudal anestesia adalah salah satu teknik regional anestesia yang sering digunakan pada pasien pediatrik.

PROSEDUR ANESTESIA EPIDURAL

1 Periksa kesiapan alat (epidural,

Page 103: Dasar ilmu Anesthesi

103

resusitasi) dan obat (epidural, resusitasi)

yang diperlukan

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis

dan antisepsis

3 Pasang monitor Standard pada pasien dan

amati tanda vital pasien

4 Pasang jalur intravena pada pasien,

premedikasi bila perlu

5 Posisikan pasien lateral dekubitus atau

duduk, ganjal bahu dan kepala pasien bila

diposisikan lateral dekubitus.

6 Tentukan penunjuk anatomi celah antara

L2-3, L3-4 atau L4-5. Celah antara L3-4

atau prosesus spinosus L4 tegak lurus dari

spina iliaka anterior superior.

7 Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis

pada penunjuk anatomi yang ditentukan.

8 Berikan analgesia lokal pada celah yang akan

dilakukan penusukan jarum Tuohy

9 Lakukan penusukan jarum Tuohy pada

celah yang telah diberi analgesia lokal

sampai jarum Tuohy terfiksasi di ligamentum

. Penusukan jarum harus sejajar dengan

prosesus spinosus atau sedikit

membentuk sudut kearah sefalad,

dengan arah bevel ke lateral atau

sefalad. Cabut stilet dan hubungkan

jarum dengan semprit yang berisi

NaCl 0,9%.

10 Dengan tangan nondominan menahan

jarum pada punggung pasien, tangan

dominan mendorong maju jarum Tuohy

pelan sambil menekan plunger semprit

sampai ujung distal jarum epidural

sampai di ruang epidural yang ditandai

dengan adanya loss of resistance.

11 Cabut semprit dan kateter epidural

dimasukkan sampai ujung kateter

melewati ujung jarum epidural

10 Cabut jarum epidural sambil mendorong

Page 104: Dasar ilmu Anesthesi

104

kateter epidural sedemikian sehingga

kateter tidak ikut tercabut

11 Pastikan kateter epidural yang masuk ke

ruang epidural sepanjang lebih kurang 4 sm (fiksasi di kulit : kedalaman ruang epidural + 4 sm)

12 Sambungkan kateter dengan filter

yang sudah diisi NaCl0,9%. .

Aspirasi untuk memastikan kateter

tidak masuk ruang subarahnoid. Fiksasi

kateter, tutup dengan kasa steril/ tegaderm.

13 Lakukan test dose untuk memastikan

ujung kateter tidak terletak di ruang

subarahnoid atau intravaskular

14 Masukkan analgesia lokal dengan pelan

dan aspirasi sering

15 Cara penyuntikkan paramedian pada

dasarnya sama seperti di atas, hanya

jarum Tuohyl disuntikkan pada 1,5 sm

lateral dan 1sm kaudal dari celah

penyuntikkan yang dituju.

Cara hanging drop pada dasarnya

sama dengan teknik loss of resistance

hanya identifikasi ruang epidural

dilakukan dengan cara mengamati

tertariknya tetesan Nacl o,9% pada hub

jarum Tuohy oleh tekanan negatif ruang

epidural

DURANTE ANESTESIA EPIDURAL

1 Monitor ABC, ketinggian blok, intensitas

Blok

2 Amati perubahan fisiologis yang terjadi,

pencegahan dan penatalaksanaannya

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan dan

penatalaksanaannya

4 Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat

5 Topping-up dose bila pembedahan

berlangsung lama

6 Monitor kenyamanan pasien dan

penatalaksanaan rasa tidak nyaman pasien

PASCABEDAH

1 Monitor ABC , intensitas blok di ruang pulih

2 Pasien dikembalikan ke ruang rawat

Page 105: Dasar ilmu Anesthesi

105

3 Pencabutan kateter epidural

Page 106: Dasar ilmu Anesthesi

106

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan dan

penatalaksanaan

PROSEDUR BLOK KAUDAL

1 Periksa kesiapan alat (blok kaudal,

resusitasi) dan obat yang diperlukan

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk

asepsis dan antisepsis

3 Pasang monitor Standard pada pasien

dan amati tanda vital pasien

4 Pasang jalur intravena pada pasien,

premedikasi bila perlu

5 Posisikan pasien pada posisi Sims

6 Identifikasi kornu sakralis dan SIPS

7 Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis

pada penunjuk anatomi yang ditentukan.

8 Berikan analgesia lokal pada kulit di atas

kornu sakralis

9 Lakukan penusukan jarum kateter

intravena / Tuohy dengan sudut 45

derajat dengan sakrum di antara kedua

kornu sakralis, setelah jarum dirasakan melalui membran sakrakoksigeal atau kontak dengan bagian ventral kanalis sakralis,

jarum ditarik beberapa mm dari

periosteum, diturunkan 5 sampai

15 derajat, dan kateter diteruskan

masuk beberapa mm (bayi/anak )

atau sm (dewasa). Perhatikan ujung

jarum tidak melewati garis imajiner yang menghubungkan kedua SIPS

10 Cabut stilet jarum kateter intravena/

Tuohy

11 Hubungkan semprit berisi NaCl0,9%

dengan hub kateter/ Tuohy, aspirasi ,

bila negatif, injeksikan sambil

merasakan loss of resistance ruang

epidural dan meraba tidak adanya

penyuntikan intramuskular/ subkutan

13 Lakukan test dose untuk memastikan

ujung jarum tidak terletak di ruang

subarahnoid atau intravaskular

14 Masukkan analgesia lokal dengan pelan dan aspirasi sering sambil tangan non dominan

Page 107: Dasar ilmu Anesthesi

107

meraba regio sakrum

DURANTE BLOK KAUDAL

1 Monitor ABC, ketinggian blok, intensitas

blok

2 Amati perubahan fisiologis yang terjadi,

pencegahan dan penatalaksanaannya

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan dan

penatalaksanaannya

4 Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat

5 Penatalaksanaan ketidaknyamanan pasien

bila ada

PASCABEDAH

1 Monitor ABC di ruang pulih

2 Pasien dikembalikan ke ruang rawat

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan dan

Penatalaksanaan

PROSEDUR BLOK INTERSKALENUS

1 Periksa kesiapan alat (blok perifer,

resusitasi) dan obat (blok perifer,

resusitasi)

yang diperlukan dan cek kesiapan alat

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis

dan antisepsis

3 Pasang monitor Standard pada pasien dan

amati tanda vital pasien

4 Pasang jalur intravena pada ekstremitas lain

yang tidak diblok

5 Premedikasi bila perlu

6 Posisikan pasien dengan kepala pasien

miring ke arah sisi yang tidak diblok

7 Gambar penunjuk anatomi blok interskalenus : bagian posterior otot sternokleidomastoideus pars klavikularis,

vena jugularis eksterna,dan klavikula.

Raba otot skalenus anterior dan medial

di bagian posterior otot

sternokleidomastoideus pars klavikula,

di dekat vena jugularis eksterna

8 A dan antisepsis daerah penyuntikan

9 Analgesia lokal daerah penyuntikan

10

Jarum simulator 2 inci dihubungkan

Page 108: Dasar ilmu Anesthesi

108

dengan nerve stimulator, dengan

arus 1,5 mA, disuntikkan pada daerah

antara otot skalenus anterior dan

medial dengan arah sedikit kaudal dan

posterior. Perhatikan jarum jangan

masuk lebih dari 2sm

11

Amati adanya respons positif berupa

twitch otot deltoid, lengan atas ,

lengan bawah atau tangan.

Kecilkan arus sampai didapat twitch

adekuat dengan arus 0,2 -0,4 mA.

Sesuaikan posisi jarum bila perlu.

12

Hubungkan semprit berisi analgesia

lokal dengan jarum simulator.

Aspirasi dan injeksikan analgesia

lokal secara pelan dan aspirasi sering

DURANTE BLOK INTERSKALENUS PLEKSUS BRAKIALIS

1 Monitor ABC, intensitas blok dan

dermatom, osteotom, miotom yang

terblok

2 Penatalaksanaan rasa tidak nyaman

pasien selama blok interskalenus

pleksus brakialis

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan dan

Penatalaksanaannya

4 Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat

PASCABEDAH

1 Monitor ABC di ruang pulih

2 Pasien dikembalikan ke ruang rawat

3 Komplikasi dan penatalaksanaan komplikasi

PROSEDUR BLOK INTERSKALENUS

1 Periksa kesiapan alat (blok perifer ,

resusitasi)dan obat yang diperlukan dan

cek kesiapan alat

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk

asepsis dan antisepsis

3 Pasang monitor Standard pada pasien dan

amati tanda vital pasien

4 Pasang jalur intravena pada ekstremitas

Page 109: Dasar ilmu Anesthesi

109

lain yang tidak diblok

5 Premedikasi bila perlu

6 Posisikan pasien dengan kepala pasien

miring ke arah sisi yang tidak diblok, dan

lengan yang akan diblok abduksi dan

fleksi di sendi siku sehingga aksila terekspos

7 Raba denyut arteri aksilaris pada lengan

yang akan diblok

8 A dan antisepsis daerah penyuntikan

9 Analgesia lokal daerah penyuntikan

10

Jarum simulator 2 inch dihubungkan

dengan nerve stimulator, dengan

arus 1,5 mA, disuntikkan pada daerah

di atas denyut arteri aksilaris

11

Amati adanya respons twitch tangan.

Kecilkan arus sampai didapat twitch

adekuat dengan arus 0,2 -0,4 mA.

Sesuaikan posisi jarum bila perlu.

12

Hubungkan sempri tberisi analgesia

lokal dengan jarum simulator.

Aspirasi dan injeksikan analgesia lokal

secara pelan dan aspirasi sering

13

Bila perlu dapat dicari respons motorik

nervus medianus, ulnaris, radialis satu persatu.

DURANTE BLOK AKSILARIS

PLEKSUS BRAKIALIS

1 Monitor ABC , intensitas dan

dermatom, osteotom , miotom yang

terblok

2 Penatalaksanaan rasa tidak nyaman

pasien selama blok interskalenus

pleksus brakialis

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan

dan penatalaksanaannya

4 Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat

PASCABEDAH

1 Monitor ABC di ruang pulih

2 Pasien dikembalikan ke ruang rawat

3 Komplikasi dan penatalaksanaan

komplikasi

Page 110: Dasar ilmu Anesthesi

110

PROSEDUR BLOK SIATIK PLEKSUS SAKRALIS

1 Periksa kesiapan alat (blok perifer,

resusitasi)dan obat yang diperlukan dan

cek kesiapan alat

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk

asepsis dan antisepsis

3 Pasang monitor Standard pada pasien

dan amati tanda vital pasien

4 Pasang jalur intravena pada ekstremitas

lain yang tidak diblok

5 Premedikasi bila perlu

6 Posisikan pasien dengan posisi lateral

sedikit jatuh ke ventral dengan tungkai yang

akan diblok di sebelah atas, dengan fleksi

sendi panggul dan lutut

7 Gambar penunjuk anatomi blok siatik : 4 sm

dari pertengahan garis yang menghubungkan

SIPS dan trokanter mayor

8 A dan antisepsis daerah penyuntikan

9 Analgesia lokal daerah penyuntikan

1 Jarum simulator 4 inch dihubungkan

0

dengan nerve stimulator, dengan arus 1,5 mA,

disuntikkan dengan arah tegak lurus semua

plana.

11

Amati adanya respons twitch otot

hamstring, betis atau kaki. Kecilkan arus

sampai didapat twitch adekuat dengan arus

0,2 -0,4 mA. Sesuaikan posisi jarum bila perlu.

12

Hubungkan semprit berisi analgesia lokal

dengan jarum simulator. Aspirasi dan

injeksikan analgesia lokal secara pelan dan

aspirasi sering

DURANTE BLOK SIATIK

PLEKSUS SAKRALIS

1 Monitor ABC , intensitas dan dermatom,

osteotom , miotom yang terblok

2 Penatalaksanaan rasa tidak nyaman

pasien selama blok

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan

dan penatalaksanaannya

4 Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat

Page 111: Dasar ilmu Anesthesi

111

PASCABEDAH

1 Monitor ABC di ruang pulih

2 Pasien dikembalikan ke ruang rawat

3 Komplikasi dan penatalaksanaan komplikasi

PROSEDUR BLOK FEMORALIS PLEKSUS LUMBALIS

1 Periksa kesiapan alat (blok perifer,

resusitasi) dan obat yang diperlukan dan

cek kesiapan alat

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk

asepsis dan antisepsis

3 Pasang monitor Standard pada pasien dan

amati tanda vital pasien

4 Pasang jalur intravena pada ekstremitas

lain yang tidak diblok

5 Premedikasi bila perlu

6 Posisikan pasien supine

7 Gambar penunjuk anatomi blok

femoralis : lipatan inguinal dan denyut

arteri femoralis

8 A dan antisepsis daerah penyuntikan

9 Analgesia lokal daerah penyuntikan

10

Jarum simulator 2 inci dihubungkan

dengan nerve stimulator, dengan arus

1,5 mA, disuntikkan dengan arah

hampir tegak lurus tepat di sebelah

denyut arteri femoralis

11

Amati adanya respons twitch otot

kuadriseps femoris .Kecilkan arus

sampai didapat twitch adekuat dengan

arus 0,2 -0,4 mA. Sesuaikan posisi jarum

bila perlu.

12

Hubungkan semprit berisi analgesia

lokal dengan jarum stimulator.

Aspirasi

dan injeksikan analgesia lokal secara pelan dan aspirasi sering

DURANTE BLOK FEMORALIS

PLEKSUS LUMBALIS

1 Monitor ABC , intensitas dan dermatom,

Page 112: Dasar ilmu Anesthesi

112

osteotom , miotom yang terblok

2 Penatalaksanaan rasa tidak nyaman pasien

selama blok

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan dan

penatalaksanaannya

4 Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat

PASCABEDAH

1 Monitor ABC di ruang pulih

2 Pasien dikembalikan ke ruang rawat

3 Komplikasi dan penatalaksanaan komplikasi

PROSEDUR BLOK POPLITEA

PLEKSUS SAKRALIS

1 Periksa kesiapan alat (blok perifer, resusitasi)

dan obat yang diperlukan dan cek kesiapan alat

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis

dan antisepsis

3 Pasang monitor Standard pada pasien

dan amati tanda vital pasien

4 Pasang jalur intravena pada ekstremitas lain yang tidak diblok

5 Premedikasi bila perlu

6 Posisikan pasien dengan posisi prone

7 Gambar penunjuk anatomi blok poplitea

: 8 sm dari lipatan poplitea ke arah kaudal

di pertengahan tendon otot semi

membranosus dan otot biseps femoris

8 A dan antisepsis daerah penyuntikan

9 Analgesia lokal daerah penyuntikan

10

Jarum simulator 4 inch dihubungkan

dengan nerve stimulator, dengan arus

1,5 mA, disuntikkan dengan arah tegak

lurus

11

Amati adanya respons twitch otot kaki.

Kecilkan arus sampai didapat twitch

adekuat dengan arus 0,2 -0,4 mA.

Sesuaikan posisi jarum bila perlu.

12

Hubungkan semprit berisi analgesia

lokal dengan jarum simulator.

Aspirasi dan injeksikan analgesia lokal secara pelan dan aspirasi sering

DURANTE BLOK POPLITEA

Page 113: Dasar ilmu Anesthesi

113

PLEKSUS SAKRALIS

1 Monitor ABC, intensitas dan dermatom,

osteotom, miotom yang terblok

2 Penatalaksanaan rasa tidak nyaman pasien

selama blok

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan dan

penatalaksanaannya

4 Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat

PASCABEDAH

1 Monitor ABC di ruang pulih

2 Pasien dikembalikan ke ruang rawat

3 Komplikasi dan penatalaksanaan

komplikasi

Lumbal Epidural Anestesia

Dapat dilakukan dengan menyuntikkan obat analgetik lokal di ruangan epidural di daerah lumbal. Penusukan dapat dilakukan di daerah toraksal. Tetapi umumnya di bawah L2, mengingat pada L2 adalah akhir medula spinalis. Hal ini untuk mengurangi risiko kesalahan penusukan yang terlalu dalam sehingga menembus medula spinalis.

Indikasi dan indikasi-kontra :

Sama seperti spinal anestesia. Bila dibandingkan keuntungan dan kerugian epidural anestesia dibandingkan dengan spinal anestesia, maka :

Keuntungan Analgesia spinaladalah :

a) Obat analgetik lokal yang dipakai lebih sedikit.

b) Waktu yang diperlukan untuk mendapatkan blokade yang adekuat lebih singkat.

c) Level anestesia lebih pasti.

d) Teknik lebih mudah.

Keuntungan Epidural Anestesia adalah :

a) Bisa anestesia segmental.

b) Tidak terjadi sakit kepala pascabedah.

c) Hipotensi lambat terjadinya.

d) Efek motorik lebih rendah.

e) Dapat dipertahankan untuk 1-2 hari dengan memakai kateter untuk terapi sakit pascabedah.

Kerugian Epidural Anestesia dibandingkan dengan Analgesia spinal:

a) Teknik epidural anestesia lebih sulit daripada spinal anestesia.

b) Karena ruangan epidural sangat vaskular dan diperlukan obat analgetik lokal yang lebih banyak, maka kemungkinan reaksi sistemis akibat absorbsi vaskular lebih besar.

c) Bila ada kesalahan menusuk dura dan jarum masuk ke ruangan subarahnoid, lalu diberikan jumlah besar obat anestetik yang bisa menyebabkan henti nafas, hilangnya kesadaran, mungkin juga blokade simpatis yang menyeluruh.

d) Diperlukan 5-10 kali lebih banyak obat untuk mencapai level anestesia yang diinginkan.

Keuntungan Epidural Anestesia dibandingkan dengan Anestesia Umum :

Page 114: Dasar ilmu Anesthesi

114

a) Sedikit mempengaruhi respirasi, maka epidural anestesia sangat menguntungkan untuk pasien-pasien dengan asma, bronkhitis, atau emfysema.

b) Bisa diperoleh analgesia, relaksasi otot, dan usus.

c) Dapat diberikan pada pasien yang tidak dapat menerima pelumpuh otot (misalnya miastenia gravis).

Anatomi :

Duramater berakhir di ujung foramen magnum. Hal ini menguntungkan karena dapat mencegah masuknya obat analgetik lokal dari ruangan peridural ke ruangan otak. Kantong dura berakhir di S2, kira-kira 1sm di bawah dan medial dari level spina iliaka posterior superior. Ruangan epidural dibatasi oleh duramater di sebelah dalam, ligamentum flavum dan periosteum di sebelah luar.

Ruangan epidural meluas mulai dari dasar kepala (foramen magnum) di mana terjadi fusi duramater dengan periosteum sampai koksigeus (membran sakrokoksigeal). Diameternya 0,5sm dan paling lebar di daerah L2. Jarak rata-rata antara kulit dengan ruangan epidural adalah 4-5sm. Ruangan epidural berisi jaringan pengikat, lemak, vena dan arteri serta pembuluh limfe dan saraf. Vena di sini berhubungan dengan vena di pelvis dan vena intrakranial, karena itu obat analgetik lokal atau udara yang disuntikkan ke fleksus

venosus ini dapat langsung naik ke otak. Vena menjadi distensi pada keadaan batuk, mengedan atau gravida aterm, sehingga ruangan epidural ini mengecil pada gravida aterm.

Dosis obat analgetik lokal yang diperlukan untuk mencapai level tertentu dari obat berbeda-beda karena :

--. Variasi ukuran ruangan epidural.

--. Foramen intervertebralis libih permeabel pada orang muda daripada usia tua, maka pada pemberian dosis yang sama dapat menyebabkan blokade yang lebih tinggi pada orang tua.

Metode untuk menentukan ruangan epidural :

1. Metoda loss of resistance.

2. Metoda hanging drop.

Pada metode loss of resistance, digunakan semprit yang diisi udara atau NaCl atau obat analgetik lokal. Ketika jarum menusuk ligamentum flavum, dirasakan ada tahanan; dan ketika menembus ligamentum flavum dan masuk ke ruangan epidural, kita akan merasakan sekonyong-konyong kehilangan tahanan. Bila digunakan udara, maka udara yang masuk ke ruangan epidural jangan melebihi 3ml. Dengan metoda hanging drop, maka tetesan air akan terisap ke ruangan epidural akibat tekanan negatif dalam ruangan epidural.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran obat anetestik lokal dalam ruangan epidural adalah volume dan konsentrasi obat analgetik lokal. Untuk memblokade 4 segmen biasanya cukup dengan 10-15ml. Penambahan epinefrin 1/200.000 akan meningkatkan lama kerja obat. Kecepatan suntikan, posisi pasien sedikit mempengaruhi penyebaran obat, sedangkan berat jenis obat analgetik lokal tidak memegang peranan.

Cara-cara melakukan epidural anestesia :

a) Seperti untuk spinal anestesia, posisi pasien bisa duduk atau miring.

b) Tentukan land mark.

c) Setelah tindakan a dan antiseptik, pada tempat yang akan disuntik beri lokal anestesia, misalnya dengan lidokain 1% sebanyak 2ml.

d) Suntikkan jarum epidural; dan setelah menembus ligamen interspinal, cabut touchy-nya, dan pasang semprit10ml yang telah diisi udara / NaCl / obat analgetik lokal.

e) Tentukan loss of resistance.

f) Masukkan kateter epidural 1-2sm dan fiksasi kateternya.

g) Aspirasi, bila tidak ada darah atau likuor, masukkan obat analgetik lokal.

Test dose 3ml (10% dari dosis total), tunggu selama 5 menit untuk melihat apakah ada blokade

Page 115: Dasar ilmu Anesthesi

115

subarahnoid. Kecepatan penyuntikan 1ml/detik dengan jumlah total obat analgetik lokal tidak melebihi 20ml.

Komplikasi :

1. Duramater tertusuk.

--. Bisa terjadi high atau total analgesia spinalbila disuntikkan lebih dari 7ml obat analgetik lokal.

--. Post spinal headache yang terjadi sekunder akibat kebocoran cairan serebrospinal.

2. Reaksi sistemik karena absorbsi yang cepat dari obat analgetik lokal dan epinefrin.

Pasien mungkin mengeluh rasa pahit di lidah, sakit kepala berat, mendenging, iritabilitas, kejang-kejang, hipotensi, dan hilangnya kesadaran. Overdosis epinefrin bisa menyebabkan takikardia, tremor, hipertensi dan iskemia lokal pada medula spinalis.

Kaudal Anestesia

Kaudal anestesia dapat diperoleh dengan menyuntikkan obat analgetik lokal melalui hiatus sakralis ke dalam ruangan epidural pada kanalis sakralis.

Indikasi Kaudal Anestesia :

Indikasi dilakukan kaudal anestesia untuk operasi-operasi daerah perineal seperti haemoroid, fistula ani, dan kista bartolini

Indikasi-kontra Kaudal Anestesia :

Sama dengan epidural anestesia.

Kaudal Anestesia tidak memerlukan jarum khusus seperti spinal atau epidural lumbal. Kita bisa memakai semprit 20ml, 10ml, atau 5ml dengan jarum no. 21 atau 22. Pasien dalam posisi lateral atau telungkup dengan diganjal di daerah pubis. Cari penunjuk anatomi dengan meraba kornu sakralis kanan kiri, dan di antaranya adalah membran sakrokoksigeal

Kerugian Kaudal Anestesia adalah :

--. Sulit mencapai level anestesia yang tinggi.

--. Masih bisa terjadi reaksi sistemik.

--. Karena kelainan anatomi, kegagalannya bisa mencapai 5-10%.

--. Komplikasi sama dengan epidural lumbal

BAB X

Anestesi dan Masalah Paru

ASMAWilliam R.Fuman,M.DAsma didefinisikan sebagai obstruksi saluran

nafas bawah yang rekuren, episodik dan reversible. Diantara episode-episode itu, fungsi paru pasien normal (atau agak normal). Diketahui pencetus dari reaksi saluran nafas pada pasien adalah allergen, proses infeksi atau stimulus fisik. Gejala pada pasien sangat bervariasi tetapi umumnya terjadi batuk, wheezing, nafas yang pendek dan exercional dyspnea.

Evaluasi klinis dimulai dengan menilai fungsi jalan nafas diantara episode-episode asma. Menentukan ada tidaknya gejala-gejala dan menentukan regimen pengobatan dibutuhkan untuk mencapai hasil ini. Jika pasien tidak bebas dari gejala-gejala, pikirkan kemungkinan bahwa pengobatan pada pasien asma tidak adekuat atau adanya keterlibatan proses lain (misalnya emfisema atau bronchitis kronik). Spirometer pre dan post penggunaan bronkodilator dapat dilakukan jika tersedia.

Putuskan, berdasarkan riwayat dan pemeriksaan fisik apakah pasien berada dalam keadaan dibawah standar. Jika pasien berada dalam keadaan standar, putuskan apakah keadaannya baik atau dapat berubah dengan farmakoterapi yang agresif.

Putuskan apakah pembedahan merupakan pilihan utama atau dapat ditunda dan dilakukan evaluasi serta terapi.

Pertama digunakan beta-adrenergic agonis dan kortikosteroid sistemik.

Page 116: Dasar ilmu Anesthesi

116

Jika pasien tidak dapat menerimanya maka digunakan Albuterol inhaler dan Prednison oral selama 3-5 hari dengan dosis berangsur-angsur dikurangi. Penggunaan Theophyllin masih kontroversi dan sekarang tidak lagi digunakan untuk asma akut. Ipratropium bromida merupakan bahan inhalasi pilihan kedua yang kadang-kadang ditambahkan pada pengobatan dengan Albuterol. Reseptor antagonis leukotrien (misalnya Zafirlukast) adalah obat baru yang digunakan untuk terapi preventif pada penanganan asma. Jika terdapat infeksi paru atau bronkus maka digunakan antibiotika.

Jika prosedur mendesak dan gawat, albuterol secara nebulation dengan atau tanpa ipratropium merupakan pilihan terbaik untuk memperbaiki mekanisme pernapasan dan pertukaran udara. Pengobatan dimulai dengan penggunaan steroid intra vena sedini mungkin.

Bahan induksi yang paling disenangi untuk anstesi umum adalah propofol, ketamin intramuskular atau intravenosa, atau inhalasi halotan atau sevofluran. Bahan analgetik yang menyebabkan pelepasan histamin, induksi dan pelumpuh otot hasilnya tidak jelek dan lebih aman. Bahan anestetik volatile mengurangi bronkospasme dan biasanya merupakan bahan utama untuk maintenance pada anestesi umum serta

pengobatan bronkospasme intraoperatif. Nitrogen oksida dihindari pemakaiannya (atau digunakan dengan konsentrasi lebih kurang 50%) jika diperkirakan terdapat obstruksi di daerah paru-paru. Jika diperlukan relaksan otot, pertimbangkan penggunaan anticholinesterase.. Obat antagonis muskarinik dapat menyebabkan bronkospasme.

Intubasi endotrakheal merupakan masalah pada asma. Kedalaman anestesi yang inadekuat dapat memperburuk bronkospasme, terutama jika terdapat rangsangan pada trakhea, carina atau bronkus oleh tube endotrakheal atau karena dingin, inhalasi gas kering. Efeknya dihambat oleh lidokain IV (1,5 mg/kg) pada saat anestesi yang dalam. Bahan lain adalah penggunaan lidokain spray topikal sebelum intubasi dan penggunaan atropin untuk memblok nervus vagus. Jangan lakukan hiperventilasi pada pasien; hal tersebut tidak diperlukan karena dapat menyebabkan barotrauma. Hipokarbia dapat menyebabkan bronkokonstriksi. Ekstubasi merupakan pilihan tetapi hal ini biasanya tidak dibutuhkan.

Untuk menghindari penggunaan alat pada trachea, penggunaan anestesi umum dengan mask atau dengan laryngeal mask airway (LMA), anestesi lokal dan anesetsi regional perlu dipertimbangkan. Pemberian

sedativ aman pada pasien asma, cocok digunakan secara IV dan neuraxial narcotik untuk mengobati nyeri.

 PERIOPERATIV PADA WHEEZINGDeborah K. Rasch, M.d.Ellen B. Duncan, M.D.Wheezing (diambil dari kata Old Norse yang berarti “bunyi mendesis”) merupakan tanda yang kompleks yang dihadapi pada saat perawatan pasien perioperatif. Saat terjadi bronkospasme, wheezing akan menyertai terjadinya konstriksi bronkus (dan meningkat pada pasien yang di intubasi). Meskipun predominan terjadi pada saat ekspirasi, mungkin juga terdapat bunyi nafas yang pendek selama inspirasi. Bising pernafasan mirip dengan wheezing dan dapat dihubungkan dengan gangguan lain.

Wheezing pada saat preoperative, mengindikasikan satu atau lebih hal-hal dibawah ini : penyakit-penyakit brokospastik (asma, COPD, cystic fibrosis), penyakit jantung (Congestif Heart Failure [CHF], congenital heart disease dengan pembesaran arteri pulmonal dimana menyebabkan kompresi bronkus utama, vascular ring disekitar trachea); aspirasi; penyakit inflamasi atau infeksi (bronchitis kronis, pneumonia, infeksi virus pada anak). Wheezing bisa terjadi pada pasien dengan edema laring atau bagian lain pada bronkus dan jarang pada emboli paru. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis (gejala

Page 117: Dasar ilmu Anesthesi

117

penekanan saluran nafas, toleransi terhadap exercise, respon terhadap bronkodilator, irama cardiac gallop, penggunaan diuretic guna penggolongan penyakit. Studi diagnostik masih diperlukan. Optimalkan fungsi kardiopulmonal, bronkodilator dan perbaikannpulmonary toilet pada penyakit bronkospastik ; penatalaksanaan medikasi dan diuretic pada CHF; dan penundaan tindakan elektiv sampai proses infeksi dihilangkan) sebelum pembedahan elektif.

Pengelolaan anestesi pada pasien asma termasuk intubasi (dan ekstubasi) sampai terjadi anestesi yang dalam (untuk menurunkan stimulasi vagal dan bronkokonstriksi). Pada pasien asma, oksibarbiturat kurang disukai karena menyebabkan pelepasan histamin dibandingkan barbiturat.Meskipun halothane lebih disenangi oleh beberapa ahli anestesi, semua bahan

inhalasi secara kasar sama dengan bronkodilator. Bronkodilator ketamin sangat membantu.

Pengelolaan individual pada pasien jantung sesuai dengan lesi. Wheezing, walaupun pengelolaan hemodinamik tepat, dapat terjadi bronkospasme.

Pada pasien dimana tidak mendapatkan preoperative wheezing dan kemudian terjadi fase perpanjanga ekspirasi dan wheezing sesudah intubasi merupakan masalah diagnostik yang akut. Sekresi yang banyak pada saluran pernapasan atau tube endotrakheal dapat menyebabkan bising pada pernapasan dan dapat dihilangkan dengan suction.

Bronkospasme intraoperativ dapat disebabkan oleh pelepasan histamin karena obat (thiopental, curare, succinylcholine, morphine), anesthesia ringan, stimulasi parasimpatomimetik (adanya tube endotrakheal, rangsangan operasi), aspirasi, anafilaksis aktivitas

obat beta-bloker. Anafilaksis menyebabkan hipotensi, vasodilatasi dan edema periorbital dan dapat disebabkan oleh beberapa obat tertentu. Pengobatan anafilaksis dengan g/kg IV; dan methylprednisolondipenhydramin, 2 mg/kg; epinefrin, 3-5 1-2 mg/kg IV.

Tebutaline 0,01 mg/kg subkutan; albuterol 0,1 mg/kg inhalasi; terbutaline 0,1 mg/kg inhalasi atau metaproterenol 5 mcg/kg inhalasi telah digunakan dan memberikan hasil yang memuaskan. Jika terjadi bronkospasme, dapat diberikan aminofilin 5-6 mg/kg IV, 20-30 menit, dan dimulai dengan infus aminofilin 0,4-0,9 mg/kg/jam (lihat table 1). Perhatikan disritmia ventricular. Jika pasien tidak respon terhadap pengobatan awal, dapat diberikan epinefrin IV.

Tabel 1. Penggunaan obat pada bronkospasme intraoperativ

Page 118: Dasar ilmu Anesthesi

118

  CHRONIC OBSTRUCTION PULMONARY DISEASE (COPD)Michael A. Lyew, M.D.Diane M. Peters-Koren, M.D.COPD ditandai dengan kurangnya aliran udara ekspirasi yang persisten dengan meningkatnya residual volume dan function residual capacity. Resiko anestesi adalah : hipoksemia, hiperkarbia, bronkospasme dan peningkatan insiden Postoperative Pulmonary Complication (PPC), termasuk atelektasis, pneumonia dan gagal nafas.

Merokok adalah faktor predisposisi yang besar yang menyebabkan COPD, dimana sebagian besar diklasifikasikan dalam bronchitis kronis dan emfisema. Gabungan dari keduanya dapat terjadi. Penyebab minor dari emfisema adalah defisiensi homozygot a-1 antitripsin,

dimana hal tersebut juga berperan sebagai penyebab sirhosis. Merokok lebih dari 20 pak/tahun, usia lanjut, obesitas, status ASA yang tinggi, serta operasi thorax dan upper abdominal merupakan co-faktor COPD untuk PPC. COPD dini dengan atau tanpa gejala, tes fungsi paru rutin (PFTs) tidak diperlukan, kecuali sebelum reseksi paru. Dispnu (terutama pada saat istirahat), batuk dan produksi sputum menandakan perlunya persiapan yang intensif, termasuk PFTs dasar dan pengukuran gas darah arteri.

Perbandingan FEV1/FVC menunjukkan beratnya COPD. Resiko PPC meningkat setelah pembedahan upper abdominal, jika pada preoperative nilai dari FEV1/FVC < 70%, FEV25-75%/FVC < 50%, FVC < 75%, dan MVV < 50%. Gagal nafas

sering terjadi jika FEV1/FVC < 50% dan PaCO2 > 50 mmHg. Retensi CO2 sering terjadi jika FEV1/FVC < 35%. Perbaikan nilai aliran ekspirasi dan PaCO2 setelah pemberian bronkodilator menurunkan resiko PPC. Malnutrisi dan gangguan elektrolit perlu diperhatikan karena keduanya menyebabkan penurunan fungsi otot pernapasan. Selanjutnya dapat terjadi hipoksemia dan hiperkarbia menunjukan adanya polisitemia, hipertensi pulmonal dan cor-pulmonal. Pada COPD dini, foto thorax normal, tetapi dapat terlihat pembesaran paru pada emfisema dan blood diversion pada lobus atas serta kardiomegali pada bronchitis kronik.

Sebelum operasi elektif, fungsi paru harus optimal. Merokok harus dihentikan pada yang berat; untuk

Page 119: Dasar ilmu Anesthesi

119

menurunkan level carboxyhemoglobin dibutuhkan 12-18 jam. Pengobatan penuh pada infeksi saluran nafas akut dan dilanjutkan dengan inhalasi bronkodilator serta obat anticholinergik. Jaga atau tingkatkan terapi steroid. Koreksi hipokalemi, tunjang gizi dan manuver ventilasi untuk meningkatkan cadangan nafas. Sediakan cadangan oksigen (O2) untuk memperbaiki hipertensi pulmonal. Pengobatan right ventricular failure dengan digoksin, diuretik dan vasodilator. Waktu yang inadekuat untuk mengoptimalkan keadaan sebelum operasi meningkatkan resiko PPC dan merupakan operasi yang emergensi.

Jenis pembedahan dan status fisik menentukan teknik anestesi dan tingkat monitoring. Blok spinal dan epidural lebih tinggi dari T6 menurunkan volume cadangan ekspirasi dan refleks batuk serta menghilangkan sekresi. Penggunaan sedative dibatasi karena efeknya terhadap depresi pernafasan. Bronkospasme saat dilakukan anestesi umum pada pasien dapat disebabkan oleh intubasi endotrakheal, rangsang nyeri dan pelepasan histamin karena obat. Nitrogen oksida dihindari jika terdapat bulla atau hipertensi pulmonal. Jaga pH normal arteri, tetapi tidak PaCO2 , pada pasien dengan retensi CO2 preoperative untuk menjaga kompensasi metabolik.

Gradien antara CO2 tidal dan CO2 arteri bisa meningkat. CVP menggambarkan fungsi ventrikel kanan lebih baik daripada volume intravaskuler jika terdapat hipertensi pulmonal.

Hindari atau minimalkan bronkospasme selama keadaan gawat extubasi dalam keadaan tidak sadar atau sadar setelah profilaksis dengan lidokain IV atau inhalasi bronkodilator. Pasien-pasien seperti ini memiliki level PaCO2 yang rendah dan desaturasi oksigen pada analgesia epidural kemudian kontrol nyeri dengan opioid parenteral. Pengaturan FiO2 tergantung ventilasi pada hipoksia. Mobilisasi dini dan manuver ventilator merupakan anjuran. Hindari hidrasi yang berlebihan. CO2 yang berlebihan pada sepsis atau intake kalori yang berlebihan membutuhkan bantuan ventilasi. Kontrol ventilasi juga diperlukan pada tindakn di daerah thorax dan upper abdominal sampai fungsi paru diperbaiki.

 CIGARETTE SMOKINGJames Gilbert, M.D.Kathryn R. Hamilton, M.D.Diketahui, riwayat merokok meningkatkan insiden komplikasi pernapasan postoperative. Efek merokok adalah rusaknya mukosiliar, hipersekresi mucous, dan obstruksi jalan nafas. Hal ini meningkatkan sensitivitas

bronchiolar sehingga terjadi bronkokonstriksi dan peningkatan resistensi jalan nafas dan pengurangan dinamik. Efek akut dari mengisap asam rokok adalah peningkatan level karbonmonoksida dan disosiasi kurva oxyhemoglobin pada leftward shift. Carboxyhemoglobin (CoHb) dapat meningkat sampai 8-10% pada perokok berat, yang berarti mengurangi kapasitas oksigen pembawa. Nikotin adalah agonis adrenergik yang meningkatkan heart rate, BP dan resistensi vaskuler perifer.

Adanya batuk produktif, sputum purulen atau penurunan FEV1 menandakan peningkatan resiko terhadap komplikasi pulmonal. Adanya beberapa faktor resiko atau kemungkinan adanya batuk pada intraoperatif atau postoperative dapat mengganggu jalannya operasi (misalnya operasi mata dan herniorrhaphy) memerlukan evaluasi yang lebih sebelum pembedahan.

Studi fungsi paru yang sederhana menyatakan adanya penurunan FEV1 dan peningkatan closing volume. Studi fungsi paru dilakukan dengan atau tanpa bronkodilator untuk mengevaluasi efek obat selama persiapan preoperative pada pasien. Diperlukan adanya ABGs, foto thorax dan EKG. Apabila beberapa tes hasilnya abnormal, jika lama operasi diperkirakan lebih dari 3 ½ jam atau jika lokasi operasi pada daerah upper abdominal atau thorax, pertimbangkan penundaan tindakan elektif untuk

Page 120: Dasar ilmu Anesthesi

120

persiapan akan adanya efek pada paru yang luas.

Merokok harus dihentikan minimal 6-8 minggu sebelum operasi untuk mengurangi angka kesakitan pada postoperative pulmonal dan memperbaiki fungsi imun serta penyakit saluran nafas yang reversible. Merokok 48 jam sebelum operasi berdampak pulmonary toilet yang agresif, meskipun demikian, berhenti merokok lebih cepat sebelum operasi masih kontroversi. Namun, walaupun hanya beberapa hari tidak merokok, terjadi aktivitas perbaikan cilia dan 1-2 minggu tidak merokok secara signifikan menurunkan volume sputum dan reaktivitas saluran nafas. Waktu paruh yang singkat dari CoHb menurun setelah 12 jam tidak merokok.

Infiltasi lokal sebagai syarat untuk sedativ IV atau anestesi regional diperlukan, tetapi untuk anestesi umum tidak digunakan, hal ini penting untuk mempertahankan kelembaban yang adekuat, mempertahankan FRC dan cukup bermanfaat pada anestesi yang dalam untuk mengurangi reaktivitas jalan nafas. Preoperativ dengan menggunakan antikolinergik tidak bermanfaat. Pulmonary toilet yang aktif, termasuk perkusi dan vibrasi, diperlukan setelah extubasi, diikuti dengan tindakan suction pada jalan nafas selama tindakan operasi.

Pengurangan FRC terjadi pada semua pasien yang dianestesi tetapi lebih banyak pada perokok. Walaupun penurunan SaO2 pada perokok memperlihatkan gejala yang asimptomatik, selama periode postoperative suplemen O2 harus ditransportasikan dan dipertahankan.

Siapkan analgetik postoperative dengan cara blok saraf atau analgetik epidural jika memungkinkan. Jika hal ini tidak mungkin atau kecil kemungkinannya untuk dilakukan, dosis analgetik IV secara titrasi yang berulangkali akan memberikan efek yang diinginkan; Hindari kombinasi beberapa obat sedatif kerja lama atau fenotiazin. Juga baik memilih analgetik yang kurang mengandung antitusive (misalnya obat nonsteroid antiinflamasi). Terapi preoperative pulmonal dilanjutkan sampai periode postoperative. Pertahankan hidrasi dan terapi O2 yang adekuat. Spirometer atau terapi fisik pada thorax (jika terjadi atelektasis atau infiltrat pada daerah tertentu), terapi bronkodilator dan mobilisasi dini untuk mengurangi komplikasi postoperative pulmonal.

 INFEKSI SALURAN NAFAS ATASAlan R. Tait, Ph.D.Paul R. Knight, M.D., Ph.D.Resiko tindak anestesi pada pasien infeksi saluran nafas atas yang akut (ISPA) masih

kontroversial. Studi menunjukkan bahwa hal tersebut kurang jelas. Walaupun beberapa studi mengatakan bahwa tindakan anestesi pada pasien dengan ISPA memiliki resiko terjadinya laringospasme, bronkospasme dan desaturasi pada postoperative, pendapat lain mengatakan bahwa pasien ISPA akut dan carries ISPA tanpa komplikasi, tidak menurunkan angka kesakitan.

Riwayat dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk menentukan apakah pasien sedang mengidap suatu proses infeksi atau tidak. Evaluasi pasien akan adanya demam, batuk, produksi sputum, dispnu dan letargi. Tentukan apakah gejala tersebut terjadi secara akut atau musiman. Shreiner dan kawan-kawan mengatakan bahwa sangat penting untuk memprediksikan kemungkinan yang akan terjadi. Thorax foto harus dipertimbangkan jika dipikirkan bahwa saluran nafas bawah ikut terlibat.

Perkiraan pembedahan yang urgency. Pembedahan yang nonurgency dengan adanya asma telah dinyatakan sebagai faktor yang paling sering mempengaruhi keputusan para ahli anestesi untuk menunda operasi elektif pada pasien dengan ISPA. Jika pembedahan urgent, pertimbangan tekhnik regional untuk menghindari manipulasi jalan nafas. Jika hal ini gagal atau tidak dapat dilakukan, alihkan pada anestesi umum dengan mempertimbangkan lamanya pasien

Page 121: Dasar ilmu Anesthesi

121

puasa. Kelembaban dan hidrasi dapat menolong mobilisasi sekresi.

Jika pembedahan elektif, perkirakan kemungkinan infeksi. Dengan waktu yang singkat, hal ini tidaklah mudah; walaupun demikian, informasi bisa didapatkan dari data tentang riwayat dan pemeriksaan fisik pasien. Walaupun 95% pasien dengan gejala ISPA mendapatkan infeksi virus, beberapa pasien memperlihatkan sekresi atau sputum yang mukopurulen, demam, atau sepsis. Jika diduga infeksi bakteri, pasien harus diberikan antibiotik dan pembedahan harus ditunda paling kurang 4 minggu. Pasien dengan nasofaringitis berat, wheezing, demam lebih dari 38oC, batuk yang produktif atau flu atau gejala batuk yang disertai sesak nafas harus dijadwal ulang. Pasien tanpa infeksi, alergi, rhinitis vasomotor kronis atau penyakit-penyakit tingkatan sedang, tidak berkomplikasi, gejala “cold” akut dimana tidak terdapat sekresi dapat dilakukan pembedahan. Jika pasien – pasien ini akan dioperasi, pertimbangkan resiko dan keuntungan tindak operasi (misalnya operasi yang telah berulangkali ditunda, dan tidak diperlukannya pembedahan yang menambah resiko komplikasi pada pasien dengan ISPA). Jika perbandingan resiko dan keuntungan baik, operasi dapat dilakukan; jika

tidak baik atau ragu-ragu, operasi ditunda paling kurang 4 minggu.

Jika tekhnik regional cocok, operasi dapat dilakukan. Jika dilakukan anestesi umum, gunakan mask jika memungkinkan. Jika biasa menggunakan Laryngeal Mask Airway (LMA), pertimbangkan penggunaannya untuk tindakan yang normalnya memerlukan intubasi tracheal. Antisialogoque dapat digunakan pada anak-anak untuk mengurangi stimulasi vagal pada manupulasi jalan nafas. Gunakan pulse oxymetri pada semua pasien.

Jika pasien telah diintubasi, suction trachea sebelum dilakukan extubasi. Lanjutkan pulse oxymetri selama pemindahan pasien dan dalam ruang pemulihan. Pasien dengan ISPA memperlihatkan tingkat saturasi terbesar selama masa pemulihan. Diperlukan penggunaan oksigen dengan menggunakan facemask.

 TUBERCULOSIS ATAU SUSPEK TUBERCULOSIS  Susan M. Ryan, Ph.D., M.D.Peningkatan Tuberkulosa (TB) dan peningkatan resistensi terhadap antibiotik mendapat perhatian besar dalam kesehatan masyarakat. TB menyebar melalui inhalasi droplet nuclei; aerosol partikel kering, sisa-sisa yang ada diudara. Konsultasikan dengan spesialis penyakit infeksi untuk membantu

diagnosa, pengobatan dan waktu operasi. Pegawai Rumah Sakit Departemen Kesehatan, National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH), dan Center for Disease Control and Prevention (CDC) bermanfaat sebagai sumber informasi.

TB adalah penyakit paru primer. Diperlukan data tentang diagnosa, riwayat pengobatan dan gejala pada paru-paru, serta keterlibatan ekstrapulmonal (limfatik, CNS, ginjal dan sum-sum tulang). TB yang dini biasanya asimptomatik atau timbul dengan gejala yang tidak spesifik (anoreksia, fatique, kehilangan beratbadan, berkeringat pada malam hari). Selanjutnya dapat terjadi batuk yang produktif, hemoptisis dan nyeri pada dada. Takipnu, ronkhi, dan melemahnya bunyi pernafasan bisa terjadi. Jika ekstrapulmonal terlibat maka gejala yang paling sering terlihat adalah limfadenopati. Penemuan pada foto thorax tergantung pada tingkat dan kronisitas penyakit – Jika foto thorax abnormal maka dilihat foto sebelumnya. Pada TB primer terlihat infiltrat di lobus atas atau seperti infiltrat halus yang multiple. Limfadenopatui hilar atau efusi pleura bisa terjadi. Pada TB kronik, bisa terdapat bintik atau nodul pada apikal dan subapikal. Dahulu, pengobatan TB dimana terdapat granuloma adalah dengan apical scarring. Perhatikan adanya peningkatan leukosit dan anemia normositik normokrom. Pada

Page 122: Dasar ilmu Anesthesi

122

TB pulmonal dapat terjadi hiponatremia dan meningitis TB disebabkan oleh syndrome of inappropriate secretion on antidiuretic hormone (SIADH).

Hilangkan infeksi TB yang aktif sebelum pembedahan yang tidak mendesak. Observasi penyebab TB jika ada dugaan adanya TB aktif. Jika foto thorax normal atau ada sedikit perubahan pada pasien yang asimptomatik, tidak ada tes yang direkomendasikan. Jika pada foto thorax diduga adanya TB aktif atau secara klinik diduga kuat pengobatan tidak adekuat, ambil tiga contoh sputum untuk smear basil tahan asam (BTA) dan kultur TB. Satu smear positif membantu diagnosa. Apabila BTA negatif, tindakan pencegahan dan pembedahan tergantung pada tingkatan penyakit dan kecurigaan TB yang tidak diobati. Jika BTA negatif, TB aktif tidak dapat disingkirkan (pasien dengan resiko tinggi atau pasien yang memberikan gejala) dan dilakukan pengobatan serta penundaan tindakan pembedahan. PPD yang positif (tes penyaringan yang baik tetapi tidak pasti) dapat dicurigai adanya TB, tetapi PPD negatif (walaupun dengan kontrol) tidak dapat menyingkirkan adanya TB; Foto thorax dan analisa sputum lebih dipercaya. Pada pasien dengan HIV positif cenderung mendapatkan penyakit paru aktif dan melibatkan ekstrapulmonal. Pada

pasien-pasien tersebut, tes PPD positif dengan ukuran 5 mm. Pada pasien dengan HIV positif yang berat, foto thorax bisa negatif untuk beberapa hari saat pasien terinfeksi dengan TB. Sebagai tambahan, BTA positif dihasilkan oleh beberapa mycobacteria; namun tetap diobati sebagai TB sampai hasil kultur didapatkan.

Pasien dengan HIV positif dan diduga TB adalah penduduk atau imigran dari daerah dengan prevalensi tinggi, penyalahguna obat, kontak TB, tunawisma, malnutrisi. Pikirkan diagnosa TB jika terjadi pneumonia pada pasien dengan resiko tinggi atau pasien yang tidak respon terhadap antibiotik atau adanya kontak pada kasus yang aktif.

Observasi pernafasan sebagai pencegahan termasuk pasien yang diintubasi. Ruang khusus dengan tekanan ventilasi negatif dan 6-10 kali/jam perubahan udara, pencegahan gejala pada saluran nafas yang membahayakan dan masker atau alat bantu nafas untuk setiap orang yang masuk dalam ruangan. Tipe masker berguna untuk kesehatan kerja (HCW) dan alat bantu pernafasan yang diakui oleh NIOSH : fitted air-filtering mask, powered air purifying respirators (PAPR), atau respirator tekanan positif dengan tambahan udara. Selama pemindahan pasien ketempat lain,

gunakan masker pada pasien. Jika pasien diintubasi dan dilakukan ventilasi, gunakan masker selama pemindahan pasien.

Jika pasien dengan BTA positif, dilakukan penundaan untuk pembedahan elektif dan tindak pengobatan selama 2 minggu dan tiga kali sputum negatif. Jika pasien BTA negatif tetapi kultur positif atau pasien dengan resiko tinggi, pasien dengan gejala TB, tindak pengobatan dilanjutkan minimal satu minggu sampai terjadi perubahan pada kondisi pasien. Kasus yang gawat memerlukan keputusan klinik, pengobatan yang memungkinkan selama sebelum pembedahan, dan tindak pencegahan di ruangan operasi.

TB diobati dengan kombinasi obat selama 6 bulan sampai 1 tahun atau lebih. Masalah yang besar adalah terjadinya resistensi, dan terapi obat harus dilakukan secara hati-hati dan disesuaikan dengan sensitivitas. Respon terhadap terapi ditandai dengan berkurangnya bakteri, sputum dengan BTA negatif dan perubahan secara klinik. Pasien diperkirakan masih infeksius selama 2-3 minggu setelah pengobatan.

Ventilasi yang adekuat diruang operasi sangat penting. Dapat digunakan ventilator dengan tekanan negatif. Peralatan anestesi : gunakan alat-alat

Page 123: Dasar ilmu Anesthesi

123

sekali pakai. Letakkan penyaring bakteri pada lubang pernafasan atau dengan menggunakan tube endotrakheal (ET) untuk mencegah kontaminasi. Atur tube ET dan kateter suction dengan cermat. Bersihkan mesin dan peralatan anestesi menggunakan larutan tuberkulosidal dan sterilkan jika memungkinkan. Ahli anestesi dan yang lainnya : menggunakan masker seperti biasanya, lindungi daerah steril. Sebagai tambahan perhatikan dan gunakan alat pelindung pernafasan untuk mencegah infeksi dari droplet. Satu masker dapat disiapkan . Respirator dengan katup ekshalasi, PAPR, respirator tekanan positif tidak melindungi daerah yang steril. Pembedahan dan prosedurnya : terdapat resiko tinggi terhadap kontaminasi selama dilakukan tindakan dimana cairan tubuh yang terinfeksi keluar (trakheostomi, thorakotomi, bipso paru terbuka, bronkoskopi, kauterisasi jaringan yang terinfeksi) dan selama perawatan tube ET. Hindari atau minimalkan tindakan suction pada ET. Pemulihan : PACU harus tersendiri dan terdapat standar pencegahan TB. Jika tidak, pemulihan pasien dilakukan diruang operasi atau ICU. Tenaga kesehatan harus menggunakan pelindung pernafasan.

 RESTRICTIVE LUNG DISEASEA. Sue Carlisle, M.D., Ph.D.

Restrictive Lung Disease (RLD) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kumpulan gejala fisiologis yang ditandai dengan menurunnya kapasitats total dari paru-paru. RLD dapat disebabkan oleh bermacam-macam sebab intrinsik dimana daya pengembangan parenkhim paru menurun atau oleh faktor ekstrinsik yang berdampak pada dinding dada, pleura dan abdomen. Keadaan ini dapat disebabkan secara sendiri-sendiri atau bersamaan menghasilkan restrictive fisiologis. Perubahan instrinsik bisa permanen, seperti terjadinya fibrosis paru atau reversible seperti terjadinya edema paru atau pneumonia. Perubahan ekstrinsik dapat terjadi secara sekunder pada bermacam-macam keadaan termasuk kelemahan otot pernafasan, penebalan pleura, kiposkoliosis, chest wall scarring dan kegemukan. Sebagai tambahan beberapa tindakan seperti laparoskopik dimana dibutuhkan penurunan tekanan dalam cavum peritoneum, secara temporal dapat menyebabkan restrictive fisiologis. RLD juga sering terjadi obstructive lung disease (OLD) dan kombinasi keduanya dapat mempersulit diagnosa dan pengobatan.

Riwayat pasien yang diduga mengalami RLD harus ditanyakan dimana akan menyebabkan adanya penyakit paru instrinsik, penyakit neuromuskular dan penyakit tulang termasuk kiphoskoliosis, infeksi paru dan congestive heart failure. Gejalanya adalah penurunan toleransi kerja, dispnu saat bekerja, batuk atau kesukaran bernafas dalam. Evaluasi dini pada pasien RLD adalah observasi

pola pernafasan. Pasien-pasien ini cenderung memiliki penurunan tidak volum dan peningkatan respiratory rate karena pola bernafas yang kurang baik serta perluasan system noncompliant. Pasien dengan deformitas skeletal, weaknesss, rales dan ronkhi harus ditindaki secara hati-hati. Obesitas adalah hal yang paling penting yang dapat menyebabkan RLD yang berat. Besarnya gejala dan tingkat toleransi terhatap latihan dapat menjadi acuan untuk evaluasi preoperative yang lebih lanjut.

Radiografi pada thorax berguna untuk evaluasi pada beberapa kasus RLD yang dalam pengobatan seperti edema paru, pneumonia dan pneumonia interstisial. Fungsi paru dapat dievaluasi dengan spirometer untuk mendeteksi penurunan volume paru dan adanya obstruksi serta restriktif fisiologis. Pada beberapa kasus, dalam beberapa studi tentang fungsi paru, kurva volume aliran udara diperlukan untuk menilai berat tidaknya RLD (lihat bagan). Total lung capacity dan diffusing capacity juga diperlukan. Pada beberapa kasus, nilai ABG preoperative berguna untuk prognosis postoperative apakah dibutuhkan tambahan ventilator setelah operasi. Pada kasus yang berat echo jantung atau kateterisasi jantung kanan preoperative berguna untuk mengevaluasi hipertensi pulmonal atau kegagalan ventrikel. Komponen

Page 124: Dasar ilmu Anesthesi

124

reversible harus diobati sebelum tindakan pembedahan elektif.

Jika memungkinkan, pilihlah tekhnik anestesi yang tidak memerlukan sedasi yang luas atau ventilasi mekanik. Tekhnik regional dapat digunakan jika otot pernafasan tidak dapat dijamin. Pada beberapa kasus, diperlukan anestesi umum dan ventilasi mekanis. Monitoring intraoperative dilakukan dengan pulse oximeter dan arterial line untuk monitoring tekanan darah dan contoh gas darah. Pada kasus-kasus yang berat, adanya hipertensi pulmonal dan ventricular failure dilakukan pemasangan kateter pada arteri pulmonal (PA) atau transesopharingeal echo (TEE) untuk melihat perubahan pada tekanan arteri pulmonal dan fungsi ventrikel. Ventilasi pada beberapa ruang operasi tidak cukup untuk mempertahankan tekanan dan aliran ventilasi yang adekuat bagi pasien dengan compliance yang kurang. Jenis ventilator ICU dibutuhkan. Atur ventilator untuk menurunkan tidal volume dan meningkatkan frekwensi compliance pada pasien dengan daya compliance yang rendah. Tindakan ini atau tindakan dengan menggunakan ventilasi dengan tekanan yang dikontrol dapat menghindarkan masalah tekanan yang tinggi seperti barotrauma dan hemodinamik yang membahayakan. Hemodinamik yang

membahayakan bisa terjadi karena cardiac output dan tekanan darah menurun atau menurunnya ventilasi.

Setelah operasi, pada pasien dapat diberikan pH normal dan oksigenasi yang adekuat untuk mempertahankan kemampuan tubuh. Jika dilakukan intubasi trachea, perhatikan meticulous uantuk mengontrol nyeri. Efeknya minimal terhadap alat pernafasan (mekanisme kompensasi pada pasien) dan lebih menguntungkan. Jika pasien tidak dapat mentoleransi ekstubasi, ventilasi, volume yang optimal, serta pulmonary toilet dan nutrisi yang baik, lakukan ventilasi non-infasif seperti tekanan udara positif bilevel.

Page 125: Dasar ilmu Anesthesi

125

BAB XII

Anestesi dan Posisi Pasien

POSISI SUPINE

Posisi Supine Hilangnya tonus otot pada pemberian induksi anestesi dapat mengakibatkan kompresi vena cava inferior mengakibatkan berkurangnya venous return dan menurunnya cardiac output, dapat terjadi pada pasien dengan distensi abdomen hebat disebabkan oleh tumor atau ascites atau pada ibu hamil.

Resiko terjadinya obstruksi jalan napas dapat terjadi pada bayi prematur dengan disproporsi ukuran kepala yang besar dan pada anak dengan makrocephal atau hydrocephalus obstruktiva dengan posisi supine.

Variasi Posisi Supine

Pada posisi supine tradisional, pasien berbaring terlentang dan kepala disokong dengan bantal. Lengan diletakkan disamping tubuh atau diregangkan pada papan lengan. Tumpuan berat badan berada pada oksiput, pundak dan scapula, sacrum, betis, dan tumit. Pada posisi ini lordosis

lumbal yang normal dapat hilang, yang bisa mengakibatkan nyeri punggung post operasi. Insidens terjadinya keluhan nyeri post op ini dihubungkan dengan lamanya operasi.

Pada posisi supine dengan kontur / Lawn Chair, panggul dan lutut sedikit fleksi mirip dalam posisi anatomi alami sendi yang diasumsikan sama dengan posisi istirahat pada kursi malas. Posisi ini termasuk pada posisi yang lebih alami, khususnya pada prosedur operasi yang lama, karena sendi ekstremitas bawah tidak terlalu terekstensi, tidak sama halnya dengan posisi supine tradisional. Dengan bantal dibawah bahu, kepala dinaikkan diatas posisi atrium, sehingga dapat mengurangi tekanan vena serebri. Posisi tubuh seperti ini lebih baik dibanding posisi supine tradisional untuk pasien orang tua dan anak-anak yang lebih besar (Gambar 1). Posisi supine kontur ini harus selalu diawasi supaya venous return dari ekstremitas bawah tidak mengalami obstruksi.

Posisi supine frogleg (kaki kodok) dilakukan dengan fleksi yang bersamaan dari panggul dan lutut, dimana panggul berotasi keluar, menjadikan tumit berada pada posisi midline. Posisi paha selanjutnya dirotasi eksterna dari panggul. Bantalan diletakkan dibawah lutut, pada bagian lateral paha dan bagian kaki yang rendah (Gambar 2). Posisi tubuh seperti ini dapat digunakan pada prosedur operasi di medial paha, genitalia, dan perineum. Posisi supine dengan kaki tergantung

(the Supine-Hanging leg position) dipakai pada operasi yang melibatkan sendi lutut. Pada posisi ini pasien ditempatkan pada ujung meja operasi, sehingga lutut tergantung di ujung meja.

Pengaruh Fisiologis Pada Posisi Supine

Efek hidrostatik yang normal akibat gravitasi pada venous return tidak berpengaruh pada posisi supine. Sebagai hasilnya, perubahan postur tubuh dari posisi berdiri ke posisi supine awalnya menyebabkan peningkatan venous return dengan kenaikan perfusi paru secara bertahap serta peningkatan cardiac output dan tekanan arteri. Perubahan ini tidak menetap karena terdapat mekanisme kompensasi (melalui baroreseptor arterial pada dinding aorta dan arteri karotis) yang ditandai dengan menurunnya heart rate, stroke volume, resistensi perifer, tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure), dan kontraktilitas miokard. Sirkulasi pulmoner regional yang utamanya didistribusikan oleh paru-paru di bagian bawah atrium kanan. Preferential perfusi tergantung dari lokasi paru yang dependent cenderung tidak berubah pada pasien yang sadar dan pasien yang teranestesi . Terjadilah ventilasi bergantung yang reversal pada pasien sadar akibat peningkatan ventilasi terhadap bagian paru yang nondependent dari pasien yang teranestesi, menyebabkan kenaikan ventilasi perfusi (V/Q) yang tidak sesuai sehingga dapat hipoksemia.

Page 126: Dasar ilmu Anesthesi

126

Gambar 1. Posisi Lawn-Chair. Keuntungan dari posisi ini terletak pada kenyamanan baik pasien sadar maupun tersedasi karena berat badan lebih terdistribusikan, dan mengurangi tegangan pada panggul dan sendi lutut.

Pengaruh gravitasi secara fisiologis sangat mempengaruhi posisi supine, dengan perubahan pada mekanisme respirasi, ventilasi dan perfusi. Pada keadaan berdiri, posisi diafragma ditentukan oleh keseimbangan tekanan antara dorongan cephalic terhadap kekuatan elastisitas rekoil paru-paru dan dorongan kaudal dari berat isi abdomen. Diafragma berubah posisi lebih condong kearah cephalic akibat kombinasi tekanan dan kekuatan dari elastisitas rekoil paru dan tekanan hidrostatik dari isi abdomen. Selama pernapasan tenang pada pasien sadar atau pernapasan spontan pada pasien teranestesi, hanya terdapat sedikit pergeseran ke arah cephalic dari diafragma. Sehingga, pada pasien-pasien yang teranestesi

dan yang terparalisis menunjukkan desakan cephalic yang lebih besar pada bagian dorsal diafragma yang sangat bermakna.

Penelitian pada populasi pediatrik menunjukkan perubahan respiratoris yang serupa pada perubahan posisi. Pada anak yang sehat, fungsi kapasitas residual (FRC) dari posisi supine lebih rendah dibanding FRC posisi duduk sekitar 25-30%.2 Hipoksemia dapat timbul jika FRC kurang dari volume penutupan dan penutupan jalan napas yang kecil selama ekspirasi. Jalur napas yang sedikit ini akan tertutup melalui siklus respiratoris, menyebabkan menurunnya komplians paru. Volume akhir lebih rendah pada neonatus disebabkan berkurangnya elastisitas jaringan paru. Konsekuensi yang terjadi pada bayi, alveoli terminal yang kecil pada daerah paru dependent sangat tertutup sehingga terjadi atelektasis pada tiap kali akhir pernapasan. Pada bayi yang sehat dapat terjadi hal seperti ini melalui aktivitas dan menangis yang konstan. Sama halnya dengan orang dewasa, induksi anestesi dikaitkan dengan reduksi bermakna dalam FRC. Computed Tomography (CT) menunjukkan terjadinya atelektasis yang terjadi pada induksi anestesi pasien anak-anak.3 Anestesi dengan pernapasan spontan menaikkan volume atelektasis, dimana anestesi dengan ventilasi mekanik secara signifikan menurunkan volume atelektasis pada akhir ekspirasi. Pada pasien dewasa sehat yang mengalami paralysis-anestesi,

jumlah atelektasis pada regio dependent paru dapat mencapai 16-20% dari jaringan aerasi normal paru seperti yang nampak pada CT spiral. Penyebaran atelektasis bersifat tidak homogen, dengan porsi atelektasis lebih besar mendekati daerah diafragma serta kurang pada bagian apex paru. Sehingga diperlukan adanya relaksasi dan dorongan ke arah kranial dari diafragma, yang mengkompresi bagian dependent dari paru, yang bertanggung jawab untuk pembentukan regio atelektasis ini.4

Gambar 2. Posisi Frogleg supine mem-berikan paparan pembedahan yang baik terhadap daerah perineum dan inguinal. Dengan menyanggah bagian lateral kaki akan meminimalkan penggunaan atau peregangan yang berlebihan dari sendi panggul.

Atelektasis merupakan penyebab utama dari ketidakseimbangan pertukaran gas selama proses anestesi umum yang menyebabkan pulmonary shunting dan rendahnya rasio ventilasi-perfusi regio paru. Pulmonary shunt mengalami peningkatan sampai 12% dan terletak pada daerah dependent paru yang mempengaruhi area atelektasis. Perkembangan atelektasis mencapai 0.6-7% pada area intratorakal. Peningkatan tidal volume akan menghilangkan reduksi FRC dan meminimalkan derajat

Page 127: Dasar ilmu Anesthesi

127

atelektasis. Ekspansi berulang di regio atelektasis melalui penggunaan PEEP telah menunjukkan keefektifannya dalam mengembalikan atelektasis serta memperbaiki oksigenasi arterial.5

Penggunaan pelumpuh otot dan tekanan ventilasi positif yang intermitten menyebabkan ventilasi pada daerah paru nondependent. Obat-obat anestesi dapat memainkan peranan penting terhadap perubahan volume paru. Misalnya saja, pada suatu penelitian, FRC tidak mengalami perubahan selama induksi anestesi dengan ketamin pada anak yang bernapas spontan.6

Hampir sama dengan orang dewasa, komplians respirasi total menurun setelah induksi anestesi spinal pada bayi yang bernapas spontan. Hal ini dapat dicegah dengan meningkatkan tidal volume pada anak yang terparalisis untuk menyamakan tidal volume pada bayi ini selama periode tersedasi.7,8

Komplikasi Posisi Supine

Beberapa permukaan kulit beresiko terjadinya trauma dari tekanan langsung (Gambar 3). Penurunan aliran darah kulit dapat menimbulkan bulla dan nekrosis kulit.

Pada bayi kecil dan anak-anak, kepala mereka beresiko selama anestesi yang memanjang dengan posisi supine. Sebagian besar area oksipital merupakan tumpuan penuh dari berat kepala, yang berpotensi menimbulkan iskemik akibat tekanan dan kerontokan rambut. Alopesia

(kebotakan sirkular) dapat terjadi dalam beberapa hari atau minggu setelah operasi. Bahkan tumpuan yang adekuat tidak dapat mencegah terjadinya trauma selama prosedur operasi yang lama. Pengangkatan kepala dan pijatan kulit kepala ringan atau menolehkan kepala dalam interval waktu yang teratur dapat mencegah masalah tersebut diatas.

Gambar 3. Daerah yang beresiko terhadap tauma yang berhubungan dengan regangan pada posisi supine : A, kulit kepala pada occipital. B, condylar groove. C, kulit pada sakrum. D, daerah pada tendoachiles dan kaki.

Pleksus brachialis mempunyai resiko terjadinya iskemik akibat tekanan dan trauma akibat regangan. Bentuk yang paling sering dari trauma pleksus brachialis pada anestesi umum disebabkan oleh peregangan saraf-saraf yang berlebihan. Lengan pasien sering mengalami abduksi dan dirotasikan keluar untuk memudahkan akses monitoring dan intravena. Dengan posisi lengan yang terabduksi konstan, fleksi leher ke daerah kontralateral menyebabkan pleksus brachialis tertekanan oleh caput humerus sebagai titik pivot dari regangan sehingga neuropraksia dapat terjadi. Modifikasi dari posisi supine dengan lengan yang

berada dibawah kepala dapat menimbulkan trauma akibat regangan dari pleksus brachialis bila dilakukan abduksi berlebihan atau jika dilakukan pada fleksi anterior lengan, dan khususnya jika dikombinasikan dengan rotasi leher kontralateral. Seorang ahli anestesi harus mewaspadai adanya pergerakan berlebihan selama prosedur pembedahan untuk meminimalkan resiko neuropathy perioperatif. Pada pasien dewasa, trauma pleksus brachialis menduduki tempat kedua sebagai tempat yang mengalami trauma pada anestesi berdasarkan data dari American Society of Anestesiologists Closed Claims Project Database (20% dari 4183 keluhan).9

Trauma pleksus brachialis dapat terjadi pada post-op hari pertama dengan gejala nyeri pada leher dan lengan atas disertai anestesi fungsi sensorik dan hilangnya fungsi motorik. Umumnya, hanya cabang atas (C5 – C7, Erb’s palsy) yang melibatkan lengan atas dan daerah aksilla. Kerusakan yang mengenai cabang pleksus brachialis bagian bawah (C8 sampai Th.1) jarang terjadi. Pemulihan sepenuhnya diharapkan jika terjadi lesi yang inkomplit, meskipun regenerasi baru terjadi dalam waktu 3 sampai 6 bulan. Jika ada beberapa bukti hilangnya aktivitas, trauma akibat regangan bisa berprognosis jelek, sebab tidak hanya akson yang mengalami trauma, akan tetapi tubular conduit yang menyebabkan regenerasi juga mengalami kerusakan. Pencegahan yang dianjurkan adalah dengan

Page 128: Dasar ilmu Anesthesi

128

menghindari trauma pleksus yang terangkum pada Tabel

Putaran abduksi lengan atas harus dibatasi maksimum hingga 90o.

Kepala dan leher harus berada posisi netral.

Ekstensi dan abduksi lengan diatas kepala harus dihindari.

Hindari penyanggah bahu. Jika memang sangat diperlukan, penyanggah harus dalam posisi yang benar serta sanggahan harus berada di atas acromion dan tidak boleh diletakkan dibawah leher.

Putaran aksillar harus berada pada posisi lateral untuk membebaskan bagian bawah aksilla sehingga pleksus brachialis tidak tertekan diantara caput humerus dan costa. Pastikan bahwa putaran pada aksilla tidak berlebihan untuk menghindari kompresi langsung pada pleksus. Hiperabduksi pada bagian atas lengan harus dihindari.

------------------------------------------------------------------------------------------------------Trauma nervus ulnaris termasuk sepertiga dari jumlah keseluruhan trauma saraf yang berhubungan dengan anestesi dan merupakan neuropathy yang paling umum berkaitan dengan anestesi. Trauma karena traksi terjadi akibat ekstensi dan pergeseran leher kearah lateral, yang menyebabkan peningkatan traksi pada bagian kontralateral pleksus brachialis, atau juga pada

saat lengan mengalami abduksi lebih dari 90o

disertai pergeseran ke arah posterior, yang meningkatkan tekanan terhadap nervus ulnaris ipsilateral. Pada siku, n. ulnaris secara superficial berada di belakang epikondilus medial dari humerus (condylar groove) dan pada lokasi ini secara langsung, kompresi lama dapat mencetuskan iskemik saraf dan terjadinya neurapraksia. Posisi lengan dan dorsal pergelangan tangan serta posisi ekstensi dapat mengamankan letak kateter arterial. Trauma n. ulnaris menyebabkan ketidakmampuan tangan untuk bergerak sehingga otot-otot kecil tangan mengalami paralysis. Vigilance dapat menjaga agar siku dan lengan berada pada posisi yang sesuai selama prosedur operasi. Sayangnya, terapi disabilitas dari lesi mempunyai hasil yang beragam.10

Pada pasien dengan posisi supine, trauma n. sciatic jarang terjadi; akan tetapi trauma saraf ini dapat terjadi akibat peregangan langsung atau kompresi sekunder dari strangulasi suplai darah ke saraf. Komplikasi ini dapat menyebabkan sindrom compartment. Posisi panggul yang melampaui ujung meja operasi, atau penempatan beanbags untuk menaikkan dan menstabilisasi posisi kaki selama arthroscopy dapat menimbulkan trauma kompresi n. sciatic. N. peroneal yang merupakan cabang dari n. sciatic, dapat rusak akibat penekanan langsung disekitar columna fibula. Nervus ini adalah saraf yang paling sering terkena trauma. Semua otot dibawah lutut terparalisis dan pasien akan

mengalami footdrop. Ditandai juga dengan hilangnya sensasi di bawah lutut, kecuali pada area yang disuplai dari bagian medial n. saphenus.

Posisi yang tidak tepat dari kepala dan leher pada pasien tertentu, contohnya pada pasien-pasien dengan sindrom down, akondroplasia, sindrom Morquio-Brailsford (mukopolisakaridosis), atau instabilitas servikal, merupakan faktor predisposisi dari komplikasi cord servikal. Batas pergerakan untuk fleksi, ekstensi, dan lateral fleksi harus ditentukan sebelum anestesi terutama untuk fleksi dan ekstensi, harus dihindari. Posisi ekstrim (rotasi, lateral fleksi) serta perawatan yang tidak tepat dari pergerakan pasien juga dapat beresiko mengenai spina servikalis. Pada saat pemindahan anestesi pasien, penting untuk kepala dipindahkan bersamaan dengan seluruh badan secara serentak, karena trauma whiplash dapat terjadi jika bagian ekstremitas pindah lebih cepat dibanding kepala dan leher. Hiperekstensi lutut dapat menyebabkan peregangan ligament dan nyeri dari kapsul sendi posterior. Sindrom compartment dari ekstremitas bagian bawah merupakan komplikasi yang sangat jarang terjadi pada pasien-pasien dengan posisi supine. Komplikasi ini dapat terjadi, pada saat betis berada pada posisi hard cushion untuk mempertahankan fleksi lutut selama prosedur operasi.11

Fisiologi Head-Up / Posisi Reverse Trendelenburg

Page 129: Dasar ilmu Anesthesi

129

Perubahan pada mekanisme sistem respirasi relatif kecil pada subjek sehat yang sadar disebabkan adanya kemampuan adaptasi terhadap perubahan mekanik dinding dada secara total. Perubahan posisi dari supine ke head-up 30o

menghasilkan penurunan yang tidak bermakna pada dinding dada dan elastisitas paru dan memperbaiki komplians tetapi menyebabkan peningkatan FRC hingga mendekati 20%. Pada orang dewasa sehat yang dianestesi, head-up menyebabkan pengurangan CO yang signifikan dan MAP hingga 40% dibandingkan dengan posisi supine. Denyut jantung dan resistensi vaskuler perifer mengalami sedikit peningkatan karena tekanan pengisian berkurang secara signifikan. Echocardiografi menunjukkan preload yang diukur dengan end-diastolic ventrikel kiri, juga menurun, mengalami perubahan yang sama seperti yang ditunjukkan oleh tekanan pengisian. Secara respektif, hal ini berhubungan dengan penurunan volume darah intratorakal dan pulmonal, sekitar 14 dan 17%. Penurunan ini mungkin disebabkan adanya perpindahan volume darah melalui kompartemen ekstratorakal, terutama ekstremitas bawah yang dependent.

Terjadinya pneumoperitoneum selama operasi laparoskopi pada viscera abdominal atas, dilaporkan terjadi pengurangan CO sebanyak 13% pada pasien yang dianestesi dengan paralisis dengan posisi reverse Trendelenburg 20o. Efek CO2

pneumoperitoneum menyebabkan pengurangan cardiac index (CI) sebesar 3%, stroke volume 10%,

dan peningkatan baik pada denyut jantung dan MAP sebesar 7% dan 16%. Head-up 20o dapat menurunkan cardiac output sebesar 11%, dan stroke volume 22%, dimana denyut jantung meningkat hingga 14% dan MAP 19%. Mekanisme yang dihasilkan oleh perubahan hemodinamik ini bersifat kompleks dan termasuk efek-efek mekanikal secara langsung, respon-respon neurohumoral dan CO2 yang diabsorbsi.

Efek terhadap sistem respirasi didokumentasikan dengan baik. Total komplians paru dapat berkurang hingga 48% disebabkan adanya pergeseran dari diafragma ke arah cephal akibat insuflasi gas. Insuflasi gas ini tidak meningkatkan distribusi ventilasi dan perfusi intrapulmoner secara signifikan.18 Walaupun posisi reverse Trendelenburg meningkatkan FRC, komplians paru, namun oksigenasi tidak terlalu meningkat.19

Hal ini kemungkinan disebabkan oleh penurunan cardiac output, yang terjadi pada head-up, dengan mengesampingkan efek positif dari posisi ini pada distribusi ventilasi. Terdapat beberapa data mengenai efek posisi reverse Trendelenburg pada pediatrik. Dari suatu laporan terbaru, 25 anak yang berusia 1-14 tahun yang menjalani laparoskopi fundoplikasi menunjukkan bahwa pada tiga pasien terjadi hipotensi atau bradikardi yang terjadi selama insuflasi peritoneal. Hipotensi yang sementara mungkin berhubungan dengan hipovolemi. Suatu episode intubasi bronchial terjadi akibat perubahan posisi dan terjadinya pneumoperitoneum.

Komplikasi Posisi Kepala yang Dielevasikan

Komplikasi yang berhubungan dengan posisi prone dengan kepala yang dielevasi atau posisi supine dengan kepala yang dielevasi hampir sama dengan posisi prone dan supine tradisional. Disamping komplikasi yang mungkin muncul sebagai hasil dari perubahan fisiologis akibat reposisi, pada posisi prone dengan kepala yang dielevasi ditakutkan terjadinya komplikasi opthalmika berupa kompresi pada mata.

Penempatan penyanggah yang tepat pada bagian bawah bokong harus digunakan untuk mencegah pasien meluncur jatuh dari meja yang diekstensikan. Penyanggah seharusnya diposisikan antara caput femoralis dan krista iliaka untuk menghindari kompresi pada persilangan pembuluh darah dari persendian panggul dan dapat menyebabkan nekrosis iskemik caput femoralis.

Jika kepala dielevasi di atas posisi jantung dapat timbul resiko terjadinya emboli udara, walaupun secara signifikan kurang bila dibandingkan dengan posisi duduk klasik. Monitoring yang baik seharusnya dilakukan.

POSISI TRENDELENBURG

Page 130: Dasar ilmu Anesthesi

130

Friedrich Trendelenburg mempopulerkan posisi operasi dengan head down 45o sekitar tahun 1870an dengan tujuan meningkatkan akses menuju pelvis disebabkan isi abdomen akan bergeser ke arah cephal mengikuti gravitasi. Istilah “ Trendelenburg ”sekarang ini mencakup setiap derajat head down, tanpa memperhitungkan apakah pasien berbaring supine, lateral atau prone. Semua posisi head down sekarang dikenal, meskipun , secara potensial berbahaya pada penyakit jantung, paru, okular, dan penyakit susunan saraf pusat, dan secara esensial tidak berguna untuk resusitasi volume vaskuler.

Fisiologi Posisi Trendelenburg

Walter Cannon menegaskan manfaat dari posisi Trendelenburg pada penanganan syok pada awal tahun 1900-an. Kepercayaan itu menyatakan bahwa setiap posisi head-down meningkatkan venous return dan memperbaiki aliran darah serebral. Memposisikan pasien dewasa pada posisi Trendelenburg ringan 150 hanya menghasilkan 1,8% perubahan total volume sentral; perubahan yang kecil seperti ini tidak memiliki efek klinis yang penting. Beberapa penelitian setelahnya juga mempertanyakan validitas dari posisi ini pada penanganan syok dimana pasien yang hipotensi nengalami perubahan hemodinamik yang bertambah buruk dan peningkatan mortalitas ketika mereka

diposisikan pada posisi Trendelenburg. Pada sukarelawan dan pasien yang sehat normotensi, posisi head-down tilt menghasilkan peningkatan tekanan pengisian jantung, tidak terdapat perubahan atau sedikit peningkatan pada cardiac output, dan tidak terdapat perubahan yang signifikan pada tekanan arteri karena baroreseptor aorta dan karotis memicu vasodilatasi sistemik dan sedikit penurunan pada denyut nadi. Peningkatan cardiac output , jika ditemukan, terjadi akibat dari peningkatan stroke volume dari peningkatan awal venous return, tetapi efek ini hanya berlangsung sementara dan akan menghilang dalam waktu sepuluh menit. Cardiac output dapat meningkat atau lebih sering menurun jika pasien hipotensi diposisikan head down. Penurunan yang berarti pada tekanan arteri dapat dilihat ketika cardiac output bervariasi dari + 52 % hingga – 14 % pada kelompok pasien hipotensi yang diposisikan Trendelenburg 10o . Tidak ada perkembangan yang berarti pada transport oksigen atau rasio ekstraksi oksigen pada pasien kritis yang mengalami hipotensi yang diposisikan pada posisi Trendelenburg. Adanya sedikit peningkatan pada tekanan darah tidak berhubungan dengan peningkatan pada aliran darah atau oksigenasi jaringan.

Pada pasien yang tidak dianastesi, tidak ditemukan adanya perubahan pada cardiac output, MAP, resistensi vaskuler sistemik, dan oksigenasi jika pasien diposisikan Trendelenburg 10o atau 30 o . Sebagian besar penelitian

mengkonfirmasi pasien sehat yang dianastesi tidak mengalami perubahan hemodinamik yang menetap. Insuflasi peritoneal dengan karbondioksida menghasilkan peningkatan yang signifikan pada resistensi vaskuler sistemik juga penurunan cardiac index dan ejeksi fraksi yang signifikan , dibandingkan dengan standar. Posisi Trendelenburg ringan sering digunakan pada insersi infus vena sentral, dikarenakan vena jugularis kurang kolaps akibat peningkatan tekanan intaravakuler. Diameter vena jugularis interna mengalami peningkatan dengan posisi head-down, tetapi maneuver ini kurang efektif bila dibandingkan dengan abdominal binder atau penggunaan manuver Valsava. Posisi head-down lebih dari 20o tidak meningkatan area persilangan vena jugularis interna, meskipun kompresi hepatik dilakukan atau tidak. Kompresi hepatik dan Valsava inspirasi positif efektif mendilatasi vena jugularis interna, yang memfasilitasi kanulasi vena pada pasien supine, jika posisi Trendelenburg tidak dianjurkan atau tidak mungkin dilakukan.

Efek posisi Trendelenburg yang paling nyata pada sistem respirasi adalah adanya interfensi mekanik pada gerakan dada dan pembatasan ekspansi paru. Dengan kepala dan dada yang berada pada tingkat yang lebih rendah dari abdomen, maka berat organ viscera abdomen akan menggangu pergerakan diafragma dan mengurangi volume paru. Posisi head-down 10o menyebabkan penurunan tidal volume sebesar 3%, dimana posisi Trendelenburg 20o atau 30o menyebabkan pengurangan sebesar 12%. Adanya peningkatan

Page 131: Dasar ilmu Anesthesi

131

yang berarti pada dead space fisiologis dapat dilihat pada pasien yang diposisikan Trendelenburg 20o. Gradient end tidal darah CO2

arteri mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan posisi supine. Perubahan pada gas intapulmonar dan distribusi darah pulmonal mungkin berhubungan dengan dead space fisiologis dan perbedaan gradien CO2.

Sebuah penelitian pada 10 anak yang dianestesi dengan paralisis, yang berusia antara 1-15 tahun, yang menjalani operasi laparaskopi, ditemukan bahwa posisi head-down menginduksi penurunan komplians paru rata-rata 17%, yang kemudian akan menurun hingga 27% dari normalnya selama insuflasi CO2 intraabdominal. Secara respektif terdapat peningkatan yang concomitant pada peak inspiratory pressure ( PIP) sekitar 19% dan 32% selama posisi Trendelenburg dan insuflasi peritoneum. Perubahan komplians paru dan PIP kembali ke nilai standar setelah CO2 dikeluarkan dari kavum peritoneal dan pasien dikembalikan ke posisi supine. Respirasi sebaiknya dikontrol ketika anak diposisikan head-down karena kerja pernapasan selama napas spontan diperkirakan meningkat dan pengurangan pada volume paru menpredisposisi paru untuk mengalami atelektasis. Ini lebih sering terjadi pada anak kecil. Kekuatan diafragma dan otot abdominal memberi kontribusi yang utama pada tekanan negatif intrapleural. Tekanan hidrostatik yang dipengaruhi oleh isi abdomen pada diafragma akan menyulitkan pergerakan dan menyebabkan kerja pernapasan yang lebih besar. Sebagai

tambahan, pada neonatus dan infant, peningkatan komplians dinding dada mengurangi volume paru istirahat, membuat FRC semakin sulit dipertahankan. Volume tertutup biasanya lebih tinggi pada neonatus dan infant bila dibandingkan dengan orang dewasa karena adanya penurunan jaringan elastis. Teknik pernapasan spontan pada infant yang dianestesi menyebabkan shunting dan hipoksemia, dimana pengurangan volume paru akan menghasilkan pernapasan tidal yang kurang bila dibandingkan volume penutupan dan berkembangnya penutupan alveoli. Itulah sebabnya, pasien pediatrik seharusnya dikontol pernapasannya pada posisi head-down untuk memastikan oksigenasi dan ventilasi yang optimal.

Perfusi serebral dapat dipengaruhi karena tekanan vena serebral mengalami peningkatan akibat efek gravitasi. Perpindahan cairan serebrospinalis dari kanalis spinalis ke kranial dapat mempredisposisi untuk terjadinya peningkatan tekanan intrakranial pada pasien. Pasien sehat yang diposisikan Trendelenburg 30o

tidak mengalami perubahan yang berarti atau hanya sedikit penurunan pada aliran darah arteri serebral media yang mengakibatkan penurunan tekanan perfusi serebral ( CPP ). Penurunan CPP mungkin merupakan hasil dari penurunan CO dan MAP dan peningkatan tekanan vena sentralis. Selama tekanan darah dipertahankan, autoregulasi serebral terpelihara dan oksigenasi serebral terjamin. Peningkatan tekanan vena jugularis interna yang terjadi pada posisi head-down bersifat sementara, yang berlangsung

kurang dari 10 menit. Walaupun penurunan yang tidak berarti pada perfusi serebral dan pengisian vena serebral yang sementara tidak memberikan efek samping pada sisrkulasi serebral pada pasien dengan autoregulasi serebral yang normal, sedangkan pada pasien dengan penyakit intrakranial dapat mengalami hipertensi intrakranial. Perubahan tekanan intraranial ( ICP ) yang dihasilkan pada posisi head-down 45o pada kelinci yang mengalami anestesi dengan paralisis mendekati 200% dan secepat mungkin diposisikan Trendelenburg. Munculnya hipotensi, baik yang disengaja maupun tidak dengan posisi head-down, sebaiknya dianggap beresiko pada setiap pasien karena CPP dapat lebih rendah dibawah batas autoregulasi dan menghasilkan iskemia serebral. Setiap proses yang meningkatkan tekanan intratorakal seperti penggunaan manuver ventilasi yang berlebihan ( seperti PEEP ) juga dapat meningkatkan pengisian vena serebral yang dapat menuju ke edema cerebral.

Komplikasi Posisi Head-Down

Regurgutasi atau muntah, dan aspirasi isi lambung, merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang penting pada anestesi. Secara umum dapat diterima bahwa sfingter bawah esofagus merupakan mekanisme proteksi utama dalam pencegahan regurgitasi. Kecenderungan untuk mengalami regurgitasi dilawan oleh barier tekanan

Page 132: Dasar ilmu Anesthesi

132

antara esofagus bagian bawah dan tekanan lambung. Efek head-down 15o

dan 30o pada pasien sehat yang berada di bawah pengaruh anestesi umum menunjukkan peningkatan tekanan lambung dan esofagus bagian bawah sehingga barier tekanan tidak mengalami perubahan yang berarti. Penggunaan posisi Trendelenburg tidak menpredisposisi untuk terjadi regurgitasi gastroesofageal. Meskipun demikian, pasien dengan riwayar refluks gastroesofageal memiliki resiko tinggi untuk regurgitasi ketika diposisikan Trendelenburg. Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa babi dengan tekanan sfingter esofagus bawah yang rendah sebelum induksi anestesi mengalami regurgitasi jika diposisikan head-down dengan pneumopeitoneum 15 mmHg.

Trauma pleksus brakhialis ( tingkat insidens 0,16% ) dilaporkan terjadi pada penggunaan penyanggah bahu ketika lengan pasien diekstensikan 90o. Peregangan atau kompresi bundle neurovaskuler retrolavikular dipercaya bertanggungjawab terhadap terjadinya defist neurologis. Sanggahan oleh kaki selama posisi head-down ditambah posisi litotomi dibuat seadekuat mungkin untuk mencegah penekanan pada nervus peroneal komunis.

Jika posisi ini akan diakhiri, posisi ETT sebaiknya dikonfirmasi untuk menghindari intubasi bronkhial yang disebabkan oleh pergeseran mediastinum kearah cephal dan pergeseran carina. Resiko malposisi

trakea pada pasien pediatrik biasanya lebih tinggi karena jarak antara korda vokalis dan carina lebih pendek. Bahkan fleksi dan ekstensi leher sederhana dapat menyebabkan pergeseran ETT yang berarti, yang dapat menuju ke intubasi bronkhial atau ekstubasi yang tidak disengaja.

Peningkatan tekanan vena serebral dan tekanan intraokular dan intrakranial dapat dipresipitasi oleh posisi Trendelenburg.

               POSISI LATERAL DEKUBITUS Pengertian Umum                                                                              Posisi lateral dekubitus ada dasarnya tidak stabil dan penyanggah harus tersedia untuk mempertahankan postur pasien pada posisi ini. Stabilitas pasien dapat dipertahankan dengan menggunakan penyanggah, sabuk, atau plester perekat. Tergantung pada kondisi klinisnya, direkomendasikan untuk menggunakan dua penyanggah; penyanggah yang berada di atas diletakkan di bagian kaudal aksila, digunakan untuk menghindari penekanan pada bundle neurovaskuler brakhialis, dan penyanggah yang berada di bagian bawah diletakkan di bawah panggul, di bawah krista iliaka. Penyanggah harus diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak menghambat pergerakan dada pada saat inspirasi dan abdomen dapat bergerak dengan bebas, sehingga meminimasi penekanan pada sistem

respirasi. Pertahankan kepala dan leher pada posisi netral dengan bantal, dan penyanggah juga penting untuk menghindari trauma akibat regangan pada pleksus brakhialis. Lengan bagian bawah biasanya diletakkan diantara bantal sehingga menyanggah kepala. Sebuah penyanggah aksila diletakkan di bagian kaudal aksila untuk meminimalkan penekanan pada aksila yang bersangkutan. Penempatan penyanggah aksila secara tepat penting untuk menghindari kompresi pada aksila bagian bawah dan dengan demikian meminimalkan resiko trauma pleksus brakhialis akibat kompresi nervus di antara kaput humerus dan kosta. Terdapat kemungkinan kompresi langsung pleksus brakhialis oleh penyanggah aksila ketika diletakkan di aksila; oleh sebab itu sebaiknya dipastikan bahwa penyanggah ditempatkan dibawah dada bagian atas. Metode lain yang telah berhasil digunakan, seperti beanbag “vacu-pac”. Merupakan sebuah penyanggah yang mudah dibentuk yang diisi dengan ribuan butiran-butiran plastik yang kecil. Ketika pasien diposisikan pada saat operasi, digunakan vacum untuk mengeluarkan semua udara yang ada di dalam vacu-pac melalui sebuah katup. Proses ini membuat bantalan menjadi lebih ketat dan membentuk bantalan sepanjang kontur pasien, memberikan sanggahan yang sama seperti plaster cast. Alat ini menawarkan keuntungan yang lebih dibandingkan penyanggah yang lain dan bantalan yang dapat digunakan pada pasien pediatrik. Keuntungan tambahan termasuk distribusi berat

Page 133: Dasar ilmu Anesthesi

133

badan yang lebih baik dan berkurangnya resiko trauma akibat penekanan. Ketika posisi lateral dekubitus telah dilakukan, meja operasi difleksikan setingkat atau ke arah cephal dari krista iliaka untuk menstabilkan posisi ginjal. Harus diperhatikan agar tidak menaikkan kidney rest ( titik fleksi meja ) meskipun berada sejajar atau dibagian bawah kosta pasien. Jika ditempatkan dengan tepat, akan nampak sedikit interferensi pada paru yang bersangkutan dan obstruksi pada vena kava inferior dapat dihindari. Ketika diposisikan kaki akan ditempatkan sedemikian rupa, dan stocking elatis yang kompresif sebaiknya digunakan untuk meminimalkan pengisian vena. Pada anak yang lebih kecil atau infant, sebuah penyanggah dengan ukuran yang sesuai sebaiknya diletakkan pada titik fleksi ( lihat gambar). Modifikasi posisi lateral dekubitus yang sering digunakan adalah posisi lateral kiri atau posisi semiprone. Serupa dengan posisi Sims. Dapat digunakan pada prosedur ginekologik dan sering digunakan sebagai posisi pemulihan setelah anestesi. Kaki bagian atas pada posisi semiprone difleksikan pada lutut dan panggul sementara kaki bagian bawah tetap diekstensikan. Badan dapat beputar mengikuti gravitasi. Lengan bagian bawah diletakkan dibawah bantal utuk menyanggah kepala untuk memfasilitasi pernapasan dengan meluruskan jalan napas.

Fisiologi Posisi lateral Dekubitus

Posisi lateral dapat ditoleransi dengan baik oleh sebagian besar pasien dan memiliki efek yang minimal pada tubuh. Beberapa penelitian menggambarkan efek hemodinamik pada perubahan posisi dari supine ke posisi lateral. Perubahan akan lebih sering pada posisi lateral yang lebih dari biasanya dengan posisi rest kidney, dimana pengisian vena pada ekstremitas yang bersangkutan nampak lebih nyata. Venous return dapat berkurang karena kinking vena kava inferior. Dekatnya vena kava inferior ke bagian kanan memudahkan penekanan oleh ginjal. Hal ini dapat menyebabkan penurunan tekanan darah yang lebih besar daripada posisi lateral kiri. Penelitian echocardiografi mencatat adanya peningkatan diameter end diastolic ventrikel kanan pada posisi kiri dan penurunan diameter pada posisi kanan. Preload dan fungsi jantung yang lebih baik pada posisi dekubitus kiri ditunjang oleh adanya peningkatan level peptide natriuretik atrium, bila dibandingkan dengan posisi supine. Volume end diastolic ventrikel kanan menurun hampir 10% pada posisi dekubitus kanan, dan dihubungkan dengan penurunan jumlah peptide natriuretik atrium meskipun cardiac index cenderung tidak berubah.

Gambar 4. Posisi ginjal dengan kidney rest dibagian bawah krista iliaka untuk meminimalkan interferensi pada pergerakan diafragma bagian bawah. Kidney rest, penghalang meja yang dielevasikan, digunakan untuk

semakin memisahkan krista iliaka dari tepi lateral kosta.

Seperti semua posisi yang lain, hubungan posisi secara mekanik dengan terbatasnnya gerakan dada sehingga membatasi pengembangan paru dan menyebabkan berkurangnya volume paru. Pada subjek sehat yang sadar, kapasitas vital pada posisi lateral menurun hingga 10% jika dibandingkan dengan posisi duduk. Penurunan yang lebih besar dapat dilihat pada penggunaan posisi ginjal, dimana fleksi truncal dapat menyebabkan penurunan kapasitas vital hingga 15%. Penurunan ini disebabkan terbatasnya pergerakan dinding dada dan gangguan pergerakan hemidiafragma ipsilateral. Tidal volume dapat berkurang hingga 14%. Pada orang dewasa yang sadar, penurunan FRC yang hampir sebesar 16% dapat dilihat ketika subjek berubah posisi dari posisi duduk ke posisi lateral. Penurunan ini hampir sama besar dengan posisi prone tetapi kurang bila dibandingkan dengan penurunan FRC pada posisi supine (28% ). Penelitian radiografik menunjukkan bahwa paru yang dependen menjadi subjek dari efek penekanan hemidfiafragma bagian bawah kearah kranial, dimana diafragma yang non dependent sama sekali tidak akan bergerak ke atas. Meskipun demikian, penurunan FRC yang lebih kecil dapat disebabkan oleh adanya perubahan posisi hanya pada satu diafragma ( yang dependent ). Perubahan yang serupa juga nampak pada populasi pediatrik. FRC pada anak yang

Page 134: Dasar ilmu Anesthesi

134

teranestesi pada posisi supine diprediksi sekitar 60% nilainya ketika sadar dan meningkat 19% jika anak tersebut diubah ke posisi lateral dekubitus kanan.

Gambar 5. Pada anak yang lebih kecil roll lebih sering digunakan, daripada fleksi meja operasi, untuk menaikkan krista iliaka non dependent sehingga krista iliaka terpisah dari tepi lateral kosta di bagian bawah krista iliaka.

Pada sebuah kelompok pasien dewasa yang dianestesi yang mendapat ventilasi mekanik pada posisi lateral, 34% ventilasi didistribusikan ke paru yang dependent dan 66% ke paru nondependent. Dinamika komplians paru dan dead space menjadi lebih rendah dan resistensi paru lebih tinggi pada paru yang dependent dibanding yang nondependent. Meskipun begitu dinamika komplians total paru berkurang dan pengurangan terjadi meskipun pernapasan terkontrol atau spontan. Penurunan ini bersifat progresif dan mungkin disebabkan oleh timbulnya atelektasis pada paru dependent dan overdistensi dari paru yang nondependent. Tidak seperti orang dewasa, ventilasi biasanya lebih terdistribusi pada paru bagian atas pada infant dan anak-anak pada posisi lateral kebalikan dari pola yang terdapat pada

orang dewasa. Pola ventilasi regional pada anak-anak diperiksa dengan menggunakan scan ventilasi paru dengan radionuklida krypton 81m pada posisi supine, dekubitus kanan, dan kiri pada 43 anak yang berusia 2-10 tahun. Fraksi ventilasi rata-rata paru kanan pada posisi supine sebesar 46%; nilai ini menurun hingga 36% pada posisi dependent dan meningkat 56% pada posisi nondependent. Redistribusi ventilasi dari paru dependent ke paru bagian atas dapat dilihat pada semua anak-anak. Pada anak berusia 10-18 tahun, fraksi ventilasi rata-rata paru kanan sekitar 57% ( supine ), 48% ( dependent ), dan 63% ( nondependent ). Perubahan ini dapat disebabkan adanya perbedaan pada tekanan pleura, yang mendekati tekanan atmosfir pada infant, dan tertutupnya aliran udara perifer pada area paru yang dependent. Dengan demikian, ventilasi didistribusikan kearah paru nondependent. Sebagai tambahan, sepertinya terdapat sedikit perbedaan kontraktilitas antara hemidiafragma dependent dan nondependent pada orang muda karena abdomen lebih dekat. Karena preload yang berhubungan dengan abdominal nilainya sama, maka terdapat sedikit perbedaan fraksi ventilasi antara kedua paru.

Komplikasi Posisi Lateral Dekubitus

Harus diperhatikan bahwa telinga bagian bawah ditempatkan dengan baik untuk menghindari penekanan yang lama dan menimbulkan nekrosis.

Mata bagian bawah beresiko mengalami penekanan dan trombosis arteri retina bila diposisikan berlawanan dengan penempatan kepala yang tepat. Penyanggah yang tepat dan lembut dan perhatian yang lebih diperlukan untuk mencegah trauma pada mata, telinga dan nervus fascialis bagian bawah.

Kulit yang berada pada daerah penonjolan tulang pada ekstremitas bawah, khususnya kaki yang terletak di bawah, beresiko mengalami nekrosis akibat penekanan selama penggunaan posisi dalam waktu lama. Sanggahan yang adekuat sebaiknya diberikan di bawah pasien dan di antara kaki.

Kepala dan leher sebaiknya dielevasikan pada posisi netral secara adekuat untuk menghindari tekanan dan regangan otot yang dapat menyebabkan nyeri leher postoperative.

Perubahan letak ETT yang signifikan yang disebabkan oleh fleksi dan ekstensi leher dilaporkan dalam sebuah penelitian pada anak-anak yang menggunakan bronkoskopi fiberoptic pada usia 16-19 bulan. Ujung dari ETT berpindah sekitar 0,9 cm ke arah carina pada fleksi leher dan 1,7 cm menuju plika vokalis dengan ekstensi. Intubasi bronkial dan ekstubasi yang tidak direncanakan dapat terjadi setelah perubahan posisi kepala yang signifikan pada anak-anak kecil. Efek yang sama juga diamati pada trakeal tube yang dimasukkan lewat nasal.

Page 135: Dasar ilmu Anesthesi

135

Trauma peregangan dapat mengakibatkan kerusakan mayoritas pada pleksus brakhialis, kompresi merupakan penyebab utama dari trauma saraf pada posisi lateral. Hal ini dapat terjadi ketika bahu bagian bawah serta lengan bersandar pada dada dan menekan aksila pada posisi lateral tanpa putaran aksila. Kebalikannya, putaran aksila yang tidak tepat dapat mengkompresi aksila. Deformitas cervical rib merupakan predisposisi trauma kompresi pleksus brakhialis. Peregangan yang berlebih dapat menyebabkan trauma pleksus brakhialis lengan atas pada saat fleksi lateral leher yang berlebihan. Keadaan ini sering terjadi akibat dari ketidakstabilan posisi dari manipulasi operasi selama pembedahan.

Nervus supra skapularis dapat teregang melingkari lengan melewati thoraks ketika pasien dengan posisi lateral diubah menjadi posisi semi supine. Trauma yang sama juga terjadi pada nervus di lengan bagian bawah ketika pasien dengan posisi lateral diubah menjadi semi prone dan lengan terjepit di bawah dada.

Nervus thoracicus longus dapat mengalami trauma pada saat kepala dan leher pasien fleksi ke arah lateral dari bahu bagian atas.

Nervus peroneal communis merupakan salah satu dari nervus yang paling sering mengalami trauma pada pasien dengan posisi lateral. Kompresi dari saraf di ujung fibula muncul pada saat pasien diposisikan dengan bantalan yang tidak

adekuat di antara sisi kaki dan meja operasi.

Nervus sciatik inferior dapat terkompresi di antara meja operasi dan ramus ischiopubik serta nervus sciatik superior dapat terkompresi oleh penyanggah yang ditempatkan di panggul.

POSISI PRONE Deskripsi dan Penempatan Pasien

Variasi dari posisi prone :

Prone horisontal, Prone dengan kepala yang dielevasikan

( posisi concorde ),

Prone ”sea lion”,

Prone thoracica,

Prone jackknife

Prone duduk.

Posisi paling umum adalah pasien dengan kepala tertelungkup dimana :

Ditempatkan penyanggah di antara bahu dan pada krista iliaka, supaya pergerakan abdomen dan ekspansi dada bebas. Hal ini untuk mengurangi kompresi abdomen dan memperbaiki fungsi pernapasan dan stabilitas kardiovaskuler.

Bantalan busa atau jelly donut dapat digunakan untuk memproteksi mata dan telinga.

P asien-pasien pediatrik, kain operasi yang digulung dengan kuat sehingga membentuk bantalan yang berbentuk silinder bebas kerutan untuk menyanggah torso, pembebasan abdomen dari permukaan meja operasi serta menstabilisasi pasien.

Gambar. Gulungan kain dapat ditempatkan di atas panggul dan kaki bagian bawah pada anak kecil yang ditempatkan pada posisi prone agar tidak mengganggu pergerakan torakoabdominal dan meminimalkan penekanan pada pergelangan kaki

Pada pasien-pasien yang lebih besar atau prosedur pembedahan khusus, Wilson, Relton-Hall dan Andrew menggunakan prosedur kerangka.

Gambar. Kerangka Relton-Hall merupakan kerangka dengan empat sadel untuk memudahkan kontrol derajat lordosis lumbal dengan variasi posisi sadel.

Evaluasi Preanestesi

Jika posisi prone dibutuhkan, maka

Page 136: Dasar ilmu Anesthesi

136

R iwayat trauma leher, artritis cervical, atau riwayat operasi vertebra cervical sebelumnya harus dicatat serta perkiraan pergerakan dari kepala dan leher harus dinilai.

Sindrom pediatrik tertentu ( misalnya sindrom Down dan Morquio-Brailsford ) dihubungkan dengan anomali cervical rib dan pada pasien-pasien yang beresiko untuk terjadinya trauma medula spinalis. Stabilitas dari vertebra servikalis harus dinilai dan semua kekurangan harus dicatat pada penilaian preoperasi. Adanya anomali cervical rib harus dikesampingkan, sebab hal ini merupakan faktor predisposisi terjadinya trauma pleksus brakhialis pada saat lengan terabduksi selama pembedahan.

Adanya obesitas harus dicatat sebab ukuran dada dapat mempengaruhi landasan pengangkatan, mencegah terjadinya kompresi serta menjaga kestabilan posisi.

Semua pergerakan ekstremitas harus diperiksa.siku, lengan, dan kaki harus bisa difleksikan serta lengan harus dapat terangkat sampai atas kepala tanpa menyebabkan cedera apapun.

Fisiologi Posisi Prone Dalam keadaan normal yang sadar,

pergerakan diafragma meningkatkan tekanan intraabdominal namun menurunkan tekanan intratorakal. Gradiasi tekanan ini memfasilitasi aliran darah balik vena melalui jantung.

Pembatasn dari pergerakan diafragma atau pun tekanan ventilasi positif yang intermiten mempersulit aliran balik vena sehingga konsekuensinya mempengaruhi cardiac output.

Aliran balik vena yang berkurang ini dapat menyebabkan kompresi vena kava inferior dan vena femoralis akibat penempatan sokongan yang tidak tepat maupun akibat dari pngaruh gravitasi. Pada saat vena-vena ini terkompresi atau ekspansi abdominal terbatas, aliran darah dari bagian distal tubuh akan menuju pleksus vena perivertebra ( vena-vena Batson ). Vena-vena ini tidak mempunyai katup sehingga terjadilah sistem tekanan yang sangat rendah. Akibatnya terjadinya pengisian pada pleksus vena vertebra selama operasi spinal, sehingga dapat meningkatkan kehilangan darah.

Hubungan antara tipe-tipe posisi prone dan tekanan vena kava inferior telah didiskusikan baru-baru ini. Pengurangan signifikan sekitar 50% dati tekanan vena kava inferior rata-rata timbul pada pasien dengan posisi kerangka Relton-Hall, jika dibandingkan dengan posisi prone dengan penyangga konvensional. Hubungan antara peningkatan tekanan vena sentral ( CVP ) dan kehilangan jumlah darah yang besar intraoperatif telah diteliti; namun peneliti tidak menemukan adanya kejadian yang mendukung hipotesa bahwa CVP berguna untuk menntukan posisi prone yang ideal pada pasien-pasien dengan laminektomi lumbal. Pasien-pasien yang diberikan anetesi

halotan dan pelumpuh otot yang diposisikan pada prone datar, tidak menunjukkan adanya perubahan bermakna dari variabel hemodinamik. Namun kenaikan dari posisi kerangka menyebabkan reduksi signifikan dari cardiac output ( 20% ) dan stroke volume dengan peningkatan resistensi vaskuler perifer. Penurunan cardiac output dipercaya sebagai penyebab kedua terjadinya penurunan venous return. Penelitian efek kardiovaskuler dari empat posisi prone yang berbeda ini ( pasien dengan bantalan, matras yang dapat dievakuasi, kerangka Relton-Hall, posisi dada-lutut/prone duduk ) ditemukan bahwa penggunaan bantal ( 1 buah di bawah thoraks, dan yang lain di bawah pelvis ) kurang impairment pada knee-chest position atau pada kerangka Relton-Hall.

Kaitan antara ruang interkostal dengan pergerakan diafragma dapat menyebabkan penurunan kapasitas vital dan tidal volume pada saat pasien diposisikan prone. Jika dibandingkan dengan posisi duduk, FRC posisi prone berkurang sekitar 10%. Hampir sama dengan keadaan sadar, reduksi dari FRC pada pasien dengan keadaan yang dianestesi dengan paralisis pada posisi prone lebih kecil jumlahnya dibanding pada posisi supine. Peningkatan resistensi airway paru dan komplians paru berkurang pada pasien sadar ketika posisi mereka diubah dari duduk menjadi prone. Pada saat pulmonary shunting tidak berubah pada pasien teranestesi dengan posisi prone dibandingkan dengan nilai normal pada

Page 137: Dasar ilmu Anesthesi

137

orang sadar, terjadi peningkatan gradien antara konsentrasi CO2 arteri dan diluar (Pa CO2-PET CO2). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa posisi prone memperbaiki oksigenasi arterial. Perbaikan oksigenasi ini terjadi baik pada pasien anak maupun dewasa dengan penyakit respirasi akut begitu juga halnya pada pasien-pasien posisi prone dengan anestesi umum. Beberapa mekanisme telah diajukan untuk menjelaskan fenomena ini termasuk diantaranya peningkatan volume paru ( seperti FRC ) dan perbaikan ventilasi perfusi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa redistribusi perfusi menghasilkan ventilasi alveoli serta perfusi kapiler yang lebih baik. Kenaikan ventilasi paru regional dengan perbaikan paru yang kolaps tanpa perubahan perfusi juga dapat memperbaiki oksigenasi. Perbaikan ventilasi perfusi yang berhubungan dengan peningkatan ventilasi dan distribusi perfusi nongravitasional terhadap regio non dependent paru pada posisi prone juga dapat memperbaiki oksigenasi. Terdapat juga postulat yang menyatakan adanya hubungan dari perbedan resistensi vaskuler regio paru dan tidak berhubungan terhadap gravitasi. Terdapat beberapa bukti bahwa resistensi vaskuler paru (PVR) secara instrinsik lebih rendah pada regio paru bagian bawah, sehingga distribusi darah yang seimbang dapat terjadi pada posisi prone. Data dari mekanisme paru pada pasien pediatrik dengan posisi prone selama anestesi masih kurang. Penggunaan metode rebreathing gas argon inert dipakai pada pasien neonatus untuk

mengukur FRC, dimana tidak ada perbedaan FRC ditemukan pada bayi-bayi yang tidak teranestesi baik pada posisi prone, supine, atau dekubitus kanan. Efek dari posisi prone terhadap mekanisme pulmoner pada pernapasan spontan bayi prematur yang sehat, dengan usia kehamilan 32 minggu, menunjukkan bahwa respiratory rate, tidal volume, ventilasi semenit, resistensi pulmoner, atau dinamika komplians paru hampir sama sifatnya antara posisi supine dan prone. Iskemik serebral yang bergantung pada posisi dapat disebabkan akibat ketidakseimbangan aliran darah pada pembuluh darah besar di leher ( arteri karotis dan arteri vertebralis ) yang ditandai dengan pergerakan dari leher dan kepala. Pada bayi-bayi, rotasi maupun ekstensi kepala yang berlebihan pada posisi prone berbaring dapat menyumbat satu atau dua arteri vertebra dan mungkin merupakan faktor resiko yang penting dari kasus-kasus kematian mendadak pada bayi. Rotasi kepala tidak lazim pada saat posisi pasien dalam keadaan prone, karena hal ini merupakan predisposisi dari iskemik batang otak apabila arteri vertebralis tersumbat. Resiko hipoksemi serebral yang bergantung pada posisi lebih besar pada rotasi leher dan dorsofleksi kepala. Tidak ada kompresi arteri vertebralis yang terjadi pada saat leher berada pada posisi netral. Adanya jeda dari aliran darah yang tersedia dari arteri vertebralis komunikata yang asimetris merupakan predisposisi dari iskemik batang otak pada bayi jika satu atau kedua arteri vertebralis tersumbat akibat rotasi atau ekstensi kepala.

Komplikasi Posisi Prone

Jalan napas sebaiknya diamankan sebelum merubah posisi. Resiko yang harus dihadapi ketika posisi pasien diubah dari posisi supine ke prone adalah terjadinya ekstubasi yang tidak diinginkan.

Kabel monitor sebaiknya ditempatkan sedemikian rupa sehingga tidak tersangkut. Diskoneksi merupakan cara yang paling aman dan menghindari komplikasi.

Akses intravaskuler , seperti kateter arteri dan vena sentral yang invasif , harus diperhatikan sebaik-baiknya sebelum dan selama merubah posisi untuk mencegah dislokasi dari kateter yang tidak diinginkan.

Lengan pasien sebaiknya ditempatkan disepanjang badan selama perubahan posisi, di sebelah kiri pada posisi ini atau di abduksikan pada posisi akhir.

Mayoritas kontak kulit pada lutut, krista iliaka, dan pergelangan tangan dapat beresiko mengalami nekrosis jika pasien berada pada posisi ini dalam jangka waktu yang lama. Sebuah bantal atau penyanggah yang lembut dapat diletakkan dibawah area ini.

Pada pasien perempuan, perhatian khusus diberikan pada payudara, dan khususnya pada puting susu untuk mencegah

Page 138: Dasar ilmu Anesthesi

138

kerusakan dan nyeri akibat kompresi post operatif.

Mata sebaiknya diplester dengan erat diberi saline atau salep mata untuk mencegah abrasi kornea. Abrasi kornea dapat timbul segera setelah pulih dari anestesi dengan nyeri yang hebat pada mata.. Iskemia retina yang dapat menuju pada kebutaan dapat terjadi.

Pada beberapa tahun terakhir, penyebab kehilangan penglihatan postoperatif yang paling sering dilaporkan adalah ischemic optic neuropathy ( ION ). Hal ini biasanya berhubungan dengan hipotensi dan anemia. Emboli lemak atau udara merupakan faktor etiologi yang potensial. Pada populasi yang lebih tua, faktor resiko arteriosklerotik seperti hipertensi, diabetes, dan merokok merupakan faktor resiko yang penting. Tekanan perfusi pada diskus nervus optikus ditentukan oleh perbedaan tekanan perfusi antara arteri siliaris posterior dan tekanan intra okular ( IOP ). Faktor yang menurunkan tekanan arteri siliaris posterior, seperti hipotensi sistemik yang berkepanjangan atau adanya peningkatan IOP, akan menurunkan tekanan perfusi dan meningkatkan resiko ION. Posisi supine yang berkepanjangan dengan kepala yang dependent, posisi down tilt dapat dihubungkan dengan penurunan aliran vena yang meningkatkan statis lokal capillary bed. Sebagai hasil dari peningkatan CVP atau obstruksi vena, IOP akan meningkat yang disertai dengan penurunan yang sejalan pada aliran darah

koroidal, yang dapat memicu terjadinya ION. Penempatan kepala yang sesuai dapat meminimalkan resiko terjadinya komplikasi pada mata.

Berat kepala sebaiknya disanggah oleh dahi dan arkus zigomatikus, dimana mata dan hidung pasien sebaiknya diposisikan tidak jauh dari konka. Kepala sebaiknya berada pada posisi netral untuk menghindari rotasi pada leher. Tumpuan berat yang langsung pada wajah atau dahi dapat menyebabkan leher menjadi hiperekstensi dan menyebabkan nyeri myofascial pada masa post operatif.

Makroglossia adalah komplikasi yang jarang dan pernah ditemukan setelah operasi fossa posterior dengan posisi prone. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh kongesti vaskuler akibat fleksi leher yang ekstrim.

Cedera saraf pada pasien pediatri terjadi pada 1% dari semua klaim pasien pediatri.

Cedera saraf perifer berjumlah 16% dari seluruh klaim pada anestesi

POSISI LITOTOMI

Pemahaman Umum

Beberapa tipe posisi litotomi telah digunakan dan perbedaan utamanya terletak pada derajat elevasi kaki, abduksi paha, dan penggunaan head down tilt. Pada pasien pediatrik, variasi penggunaan biasanya dibatasi oleh tipe penyanggah kaki yang tersedia. Bagian kaki pada meja operasi biasanya dipindahkan dan penyanggah kaki difiksasi pada kedua sisi meja.

Pada saat pasien dipindahkan hingga ke ujung meja untuk posisi litotomi setelah induksi anestesi, sebaiknya disediakan sirkuit pernapasan dan kabel monitoring dengan panjang yang adekuat.

Panggul pasien sebaiknya diposisikan dekat dengan penyanggah kaki dan kaki yang diabduksi, lutut difleksikan dan dielevasi pada derajat yang sesuai dengan prosedur operasi.

Lengan pasien sebaiknya difleksi pada dada, atau lebih sering pada pasien yang lebih besar, disanggah dengan papan lengan lateral pada sisi meja operasi. Sebuah penyanggah yang berupa gulungan kain dapat digunakan untuk menghindari paparan pada perineum.

Ketersediaan penyanggah kaki yang tepat biasanya menentukan bagaimana kaki diangkat nantinya. Tanpa memperhatikan tipe yang digunakan, kaki harus diistirahatkan pada posisi netral tanpa regangan atau tekanan pada persendian manapun. Untuk anak yang sangat muda, tidak ada penyanggah kaki yang cocok dan penyanggah yang diimprovisasi berupa

Page 139: Dasar ilmu Anesthesi

139

gulungan kain dapat digunakan untuk menyanggah kaki. Untuk anak yang lebih besar, variasi penyanggah kaki untuk posisi litotomi tersedia. Setiap penyanggah dihubungkan oleh sebuah besi tipis yang dilekatkan disisi meja operasi. Kaki dapat diangkat pada daerah pergelangan ( ”candy cane”, boot kaki ) atau disanggah pada fossa poplitea ( ”knee critch” ) atau pada betis ( penyanggah betis ). Penyanggah biasanya diposisikan sesuai dengan tinggi, berat badan, dan usia pasien, dan perkiraan panjang lutut ke pergelangan kaki dan panjang kaki. Penggunaan penyanggah kaki dapat menyebabkan kompresi pada betis, merupakan predisposisi untuk berkembangnya sindrom compartment, khususnya dalam jangka waktu yang lama. Walaupun tidak ada tipe tertentu ( skids, stirrups, boot ) yang penting dalam kaitannya dengan perkembangan komplikasi, penggunaan penyanggah kaki stirrups) direkomendasikan karena tekanan dari penyanggah yang terkonsentrasi pada tumit.

Ikatan melingkar yang digunakan untuk mengamankan kaki pada tempat atau membungkusnya untuk mencegah pengisian vena potensial berbahaya dan tidak pernah direkomendasikan.

Fisiologi Posisi Litotomi

Elevasi kaki meningkatkan venous return ke jantung dan mengaktivasi baroreseptor untuk mengakomodasi perpindahan volume melalui vasodilatasi. Terdapat peningkatan yuang bersifat sementara pada tekanan pengisian jantung, cardiac output, dan aliran darah arteri serebral. Mekanisme kompensasi kardiovaskuler yang normal cenderung mengembalikan hemodinamik hingga ke level normal secara cepat pada pasien sehat. Posisi litotomi diketahui dapat menurunkan aliran darah pada ekstremitas bawah. Terdapat penurunan yang signifikan pada perfusi kaki dari 103 mmHg ke 21 mmHg setelah 25 menit berada pada posisi litotomi. Hal ini juga dihubungkan dengan pengurangan saturasi oksigen pada otot grastrocnemius media dari 68% ke 58%. Posisi low litotomi dilaporkan menyebabkan pengurangan tekanan sistolik sekitar 16% pada kaki bagian bawah dibawah dimana posisi litotomi yang buruk dihubungkan dengan penurunan tekanan sekitar 40% pada kaki bagian bawah jika dibandingkan dengan data pada posisi supine. Jika ditambah dengan posisi head down 15o, penurunan tekanan pada kaki bagian bawah akan lebih signifikan. MAP pada level ini dihubungkan dengan perkembangan sindrom compartment, terutama pada pasien yang berada pada posisi litotomi selama 5 jam atau lebih. Sebagai tambahan, perubahan ini dieksaserbasi pada pasien dengan penyakit aliran darah pembuluh darah perifer, memprovokasi iskemia pada ekstremitas bawah dan predisposisi untuk terjadinya trombosis vena ekstremitas bawah.

Posisi litotomi membatasi pergerakan respirasi akibat kompresi pada viscera abdominal. Hal ini mengurangi kapasitas normal dari pasien yang sadar sekitar 18% sebagai hasil dari pembatasan gerakan abdomen. FRC dan tidal volume biasanya dipengaruhi minimal pada pasien yang sadar. Meskipun begitu, dianjurkan bahwa pengangkatan kaki nampaknya memiliki pengaruh yang kecil pada elastisitas dan resistensi respirasi. Selama respirasi spontan pada pasien yang teranestesi yang diposisikan litotomi, nampak pengurangan 3% pada tidal volume dan posisi head down 10o menyebabkan penurunan sekitar 14%. Pasien yang berada pada posisi head down yang difleksikan, yang dibandingkan dengan posisi supine, berkembang suatu penurunan yang signifikan pada tekanan oksigen arteri (14%) dan peningkatan yang signifikan pada tekanan karbondioksida (23%) dan fraksi shunt (78%).

Komplikasi Yang Berhubungan Dengan Posisi Litotomi

Walaupun beberapa komplikasi telah dilaporkan, termasuk rasa terbakar pada jari, low back pain (14%) pada pasien post operasi, rhabdomiolisis, dan peningkatan kreatinin kinase akibat kompresi otot betis dan iskemia, tidak ada satupun yang ditemukan pada anak-anak.

Sindrom compartment, sangat jarang tetapi merupakan komplikasi yang mengancam jiwa, terjadi setelah prosedur yang cukup lama pada kelompok usia

Page 140: Dasar ilmu Anesthesi

140

pediatrik. Fasciotomi diperlukan untuk pemulihan sindrom compartment,

Untuk prosedur yang cukup lama, penggunaan penyangga kaki yang ditempatkan pada fossa poplitea atau betis sebaiknya dihindari.

Hipotensi sistemik sebaiknya dihindari dan resiko pemberian zat-zat vasokonstriktor yang menurunkan aliran darah perifer sebaiknya harus diperhatikan.

Rehidrasi yang adekuat dan alkalinisasi urine adalah hal terpenting pada terapi gagal ginjal akut.

Neuropati persisten dilaporkan terjadi pada 1 per 3608 populasi pada pasien-pasien bedah yang teranestesi. Pada pasien yang kurus dengan BMI lebih dari 20, diabetes mellitus dan penyakit vaskular perifer pada perokok merupakan predisposisi pada pasien untuk berkembangnya neuropati ektremitas bawah. Prosedur yang lama (lebih dari 4 jam) menunjukkan hubungan yang difinitif. Setiap jam pada posisi lithotomi meningkatkan resiko neuropati motorik 100 kali.

40% neuropati sciatik yang diisolasi berhubungan dengan operasi yang menggunakan posisi litotomi. cedera nervus sciatik dapat terjadi melakui prosedur yang singkat. Mekanisme perkembangan dari neuropraksia termasuk perubahan iskemik sindrom

compartment atau kompresi langsung pada saraf. Nervus sciatik dapat terkena kekuatan regangan yang eksesif. Nervus peroneus communis dan cabang distalnya adalah nervus motorik utama yang pada ekstremitas bawah paling umum terkena pada posisi litotomi. Nervus peroneus communis dapat terkompresi oleh bagian atas penyangga besi kaki ketika melewati kaput fibula pada saat kaki ditempatkan pada sanggahan besi. Hal ini dapat ditambah dari tekanan yang diberikan asisten bedah yang bersandar pada lutut pasien. Nervus saphenus dapat terkompresi karena nervus ini berada pada bagian superfisial dekat dari malleolus media pada saat kaki diletakkan.

Neuropati femoral dilaporkan dan diduga merupakan hasil dari abduksi yang berlebihan dari paha dengan rotasi eksternal pada panggul sehingga menyebabkan iskemik pada nervus femoralis karena terlipat pada ligamentum inguinal.

TIRAH BARING LAMA DAN PEMINDAHAN PASIEN

Tirah baring yang lama dapat menyebabkan perubahan fisiologis yang terjadi akibat perubahan posisi. Perubahan dari plasma dan volume darah (10-16%) serta respon vasomotor yang meningkat setelah 2-6 minggu dengan tirah baring head down ringan 6o.

Penyebab lainnya mungkin disebabkan dari penghambatan sintesis dan pelepasan norepinefrin. Perubahan-perubahan ini mencetuskan intoleransi orthostatik dengan penurunan tekanan darah ketika subjek didudukkan tegak. Down regulation sistem transport oksigen kardiovaskuler nampak pada tirah baring lama. Stroke volume, cardiac output, dan level hemoglobin lebih rendah setelah suatu periode yang tidak aktif. Hal ini diiringi oleh penurunan pengiriman oksigen hingga 40% pada saat istirahat, dan konsumsi oksigen juga menurun hingga 16%. Pengurangan yang sama sekitar 13% pada konsumsi oksigen maksimal juga dilaporkan pada anak-anak usia 7-11 tahun setelah tirah baring selama 9 minggu dengan penyakit yang berbeda.

Prosedur tirah baring yang lama menyebabkan perubahan pada otot dan tulang terutama pada ekstremitas inferior. Perubahan yang dramatis terjadi pada massa otot pada tirah baring selama 4 – 6 minggu, yang dihubungkan dengan pengurangan kekuatan otot sebesar 40%. Bahkan pada pelajar muda, tirah baring selama 10 hari dapat menyebabkan penurunan kekuatan dan massa otot. Kekuatan otot isometrik menurun baik pada otot non-antigravitasi maupun antigravitasi, walaupun kecepatan perubahan tidak berkorelasi dengan perubahan yang ada pada massa otot. Adanya penurunan pada fungsi neuromuskular mungkin mengkontribusi

Page 141: Dasar ilmu Anesthesi

141

penurunan pada kekuatan volunter maksimum dimana terjadi penurunan pada jumlah sintesis protein otot baik dari massa otot rangka maupun di seluruh tubuh.

Idealnya, pasien sebaiknya dipindahkan ke tempat tidur dari ruang rawat inap ke ruang operasi. Pada pasien yang telah berada di tempat tidur dalam jangka waktu yang lama, penyesuaian fisiologis dapat memprovokasi pusing dan mual, mungkin juga hipotensi.

Semua pasien sebaiknya diperiksa sebelum induksi anestesi karena komplikasi potensial yang dapat timbul sehubungan dengan ketidakstabilan pemindahan dapat dicegah. Pemindahan pasien ke meja operasi sebaiknya dilakukan sehalus mungkin. Perencanaan yang baik sebaiknya dilakukan sebelum memposisikan pasien.

BAB XIII

Anestesi Inhalasi

PENDAHULUANNitrous oksida (N2O), kloroform, dan

eter adalah agen pembiusan umum pertama

yang diterima secara universal. Etil klorida,

etilen, dan siklopropan kemudian menyusul,

dengan zat yang terakhir cukup digemari pada

saat itu karena induksinya yang singkat dan

pemulihannya yang cepat tanpa disertai

delirium. Sayang sekali sebagian besar agen-

agen anestetik yang telah disebutkan tadi telah

ditarik dari pasaran.

Sebagai contoh, eter sudah tidak

digunakan secara luas karena mudah tersulut

api dan berisiko mengakibatkan kerusakan

hepar. Di samping itu, eter juga mempunyai

beberapa kerugian yang tidak disenangi para

anestetis seperti berbau menyengat dan

menimbulkan sekresi bronkus berlebih.

Kloroform juga kini dihindari karena toksik

terhadap jantung dan hepar. Etil klorida,

etilen, dan siklopropan pun tidak lagi

digunakan sebagai anestetik, baik karena

toksik ataupun mudah terbakar.

Metoksifluran dan enfluran termasuk

agen anestetik generasi baru yang sempat

digunakan bertahun-tahun tetapi jarang

digunakan lagi karena toksisitas dan

efikasinya. Metoksifluran adalah anestetik

inhalasi yang paling poten, tetapi induksi dan

pemulihannya relatif lambat. Lebih lanjut,

sebagian metoksifluran dimetabolisme oleh

sitokrom P-450 menghasilkan florida bebas

(F–), asam oksalat, dan bebrapa komponen lain

yang bersifat nefrotoksik. Sementara itu,

enfluran mengurangi kontraksi myokardial dan

meningkatkan sekresi likuor serebrospinal

(CSF). Selama anestesia, enfluran

menginduksi perubahan elektroensefalograf

yang dapat berprogresi pada pola spike-and-

wave yang biasa ditemukan pada kejang tonik-

klonik. Oleh karena itulah, dewasa ini baik

metoksifluran maupun enfluran

penggunaannya telah dibatasi.

Dengan ditariknya berbagai zat anestetik

dari peredaran seperti yang dikemukakan di

atas, kini terdapat lima agen inhalasi yang

masih digunakan dalam praktik anestesi yakni

nitrous oksida, halotan, isofluran, desfluran,

dan sevofluran. Anestetik inhalasi paling

banyak dipakai untuk induksi pada pediatri

yang mana sulit dimulai dengan jalur

intravena. Di sisi lain, bagi pasien dewasa

biasanya dokter anestesi lebih menyukai

induksi cepat dengan agen intravena.

Meskipun demikian, sevofluran masih menjadi

Page 142: Dasar ilmu Anesthesi

142

obat induksi pilihan untuk pasien dewasa,

mengingat baunya tidak menyengat dan

onsetnya segera. Selain induksi, agen inhalasi

juga sering digunakan dalam praktik

anestesiologi untuk rumatan.

Studi mengenai kaitan antara dosis obat,

konsentrasi jaringan, dan waktu kerja obat

disebut sebagai farmakokinetik (bagaimana

tubuh memengaruhi obat); sedangkan studi

mengenai mekanisme aksi obat, termasuk

respons toksik, disebut farmakodinamik

(bagaimana obat memengaruhi tubuh). Setelah

penjelasan secara umum tentang

farmakokinetik dan dinamik anestetik inhalasi,

akan dibahas farmakologi klinis dari masing-

masing agen.

 A.   Farmakokinetik Anestesi Inhalasi

Meskipun mekanisme aksi anestetik

inhalasi masih belum diketahui secara pasti,

para ahli mengasumsikan bahwa efek

anestesia diperoleh dari konsentrasi terapetik

di sistem saraf pusat. Sesuai dengan gambar

berikut, terdapat beberapa langkah yang

diperlukan zat anestetik inhalasi mulai dari

vaporisasi di mesin anestesi hingga terdeposisi

di jaringan otak.

Gambar 1. Perjalanan gas anestetik inhalasi

dari mesin anestesia ke otak

Faktor-faktor yang Memengaruhi

Konsentrasi Inspiratori (FI)

Gas segar yang keluar dari mesin

anestesia bercampur dengan gas di sirkuit

pernapasan sebelum dihirup oleh pasien. Oleh

karena itu, pasien tidak serta-merta

mendapatkan konsentrasi yang sesuai dengan

pengaturan di vaporiser. Komposisi aktual

campuran gas yang diinspirasi dipengaruhi

oleh laju aliran gas segar, volume dalam

sirkuit pernapasan, dan absorpsi mesin

anestesia. Agen inhalasi yang terhirup akan

semakin dekat dengan konsentrasi yang keluar

dari mesin anestesia apabila laju aliran gas

segar tinggi, volume sirkuit napas sedikit, dan

absorpsi mesin rendah. Secara klinis, atribut-

atribut demikian ditampilkan sebagai

kecepatan induksi dan pemulihan.

Faktor-faktor yang Memengaruhi

Konsentrasi Alveolar (FA)

Terdapat tiga faktor yang menentukan

konsentrasi alveolar, yakni ambilan, ventilasi,

dan konsentrasi.

Ambilan. Jika tidak ada ambilan

(uptake) zat anestetik oleh tubuh, konsentrasi

alveolar (FA) akan segera mencapai

konsentrasi inspiratori (FI). Karena agen

inhalasi diambil oleh sirkulasi pulmoner

selama induksi, konsentrasi alveolar berkisar

di bawah konsentrasi inspiratori (FA/FI < 1).

Semakin besar ambilan, semakin lambat

peningkatan konsentrasi alveolar dan semakin

rendah pula rasio FA:FI.

Karena konsentrasi suatu gas sebanding

dengan tekanan parsialnya, maka tekanan

parsial gas anestetik di alveolus juga lambat

peningkatannya. Tekanan parsial alveolar ini

penting karena turut menentukan tekanan

parsial agen anestetik tersebut di darah dan

lebih lanjut di otak. Kembali lagi, tekanan

parsial gas anestetik di otak secara langsung

memengaruhi konsentrasi zat di jaringan otak,

Page 143: Dasar ilmu Anesthesi

143

yang menentukan efek klinis pada pasien. Jadi,

semakin besar ambilan agen anestetik,

semakin besar pula perbedaan antara

konsentrasi alveolar dengan konsentrasi

inspiratori, dan semakin lambat kecepatan

induksi.

Terdapat tiga hal yang dapat

memengaruhi ambilan anestetik: solubilitas

dalam darah, aliran darah alveolar, dan

perbedaan tekanan parsial antara udara

alveolar dan darah vena.

Zat yang insolubel seperti nitrous oksida

diambil oleh darah lebih lambat daripada zat

yang solubel seperti halotan. Akibatnya,

konsentrasi alveolar nitrous oksida meningkat

lebih cepat daripada halotan, dan induksinya

lebih cepat. Solubilitas relatif dari anestetik

dalam udara, darah, dan jaringan

diekspresikan dalam koefisien partisi, seperti

tampak pada tabel di atas. Masing-masing

koefisien adalah rasio konsentrasi gas

anestetik di dua medium saat terjadi

kesetimbangan.

       Tabel 1. Koefisien parsial anestetik inhalasi pada 37°C

Anestetik Darah/Udara Otak/Darah Otot/Darah Lemak/Darah

Nitrous oksida 0.47 1.1 1.2 2.3

Halotan 2.4 2.9 3.5 60

Isofluran 1.4 2.6 4.0 45

Desfluran 0.42 1.3 2.0 27

Sevofluran 0.65 1.7 3.1 48

Faktor lain yang ikut memengaruhi

ambilan adalah aliran darah alveolar, yang

kurang lebih sama dengan curah jantung.

Seiring dengan meningkatnya curah jantung,

ambilan anestetik turut meningkat, dan

peningkatan tekanan parsial alveolar semakin

melambat, dan induksi menjadi lebih lambat.

Pengaruh mengubah curah jantung kurang

bermakna untuk anestetik insolubel,

mengingat yang dapat terdifusi ke darah

alveolar memang sedikit, baik aliran darah di

sana lebih deras ataupun lebih tenang.

Keadaan curah jantung yang sedikit

merupakan berisiko mengakibatkan overdosis

dengan anestetik sobulel, karena peningkatan

konsentrasi alveolar yang terlalu cepat.

Bahkan halotan, yang mempunyai efek depresi

myokardial, apabila kadar alveolarnya lebih

dari yang diharapkan akan semakin

menurunkan curah jantung dan menciptakan

umpan balik positif yang membahayakan

pasien.

Satu faktor lagi yang memengaruhi

ambilan anestetik oleh sirkulasi pulmoner

adalah perbedaan tekanan parsial antara gas

alveolar dan darah vena. Gradien ini

bergantung pada ambilan oleh jaringan.

Transfer anestetik dari darah ke jaringan

ditentukan oleh tiga faktor yang analog dengan

Page 144: Dasar ilmu Anesthesi

144

ambilan sistemik, yakni solubilitas agen di

jaringan (koefisien partisi jaringan/darah

seperti pada tabel halaman sebelumnya), aliran

darah jaringan, dan perbedaan tekanan parsial

antara darah arterial dengan jaringan.

Jaringan dapat digolongkan menjadi

empat grup berdasarkan perfusi dan solubili-

tasnya. Grup tinggi vaskularisasi (otak,

jantung, liver, ginjal, dan organ endokrin)

adalah yang pertama mengambil anestetik

dalam jumlah yang signifikan. Grup otot (kulit

dan otot) tidak mempunyai perfusi sebaik grup

yang pertama, sehingga ambilannya lebih

pelan. Kapasitasnya pun lebih besar; ambilan

oleh grup kedua ini berlangsung dalam

beberapa jam. Berlanjut ke grup berikutnya,

perfusi di grup lemak kurang lebih sama

dengan grup otot; tetapi solubilitas anestetik

pada grup lemak yang luar biasa sekaligus

volume jaringan yang relatif besar

menghasilkan kapasitas total yang

memerlukan beberapa hari untuk diisi. Grup

terakhir beranggotakan jaringan perfusi

minimal dengan vaskularisasi rendah (tulang,

ligamen, gigi, rambut, dan kartilago) hampir

tidak memberi kontribusi terhadap ambilan

anestetik.

 Tabel 2. Klasifikasi jaringan berdasarkan perfusi dan solubilitas

Karakteristik Vessel Rich Otot Lemak Vessel Poor

Persentase berat badan 10 50 20 20

Persentase curah jantung 75 19 6 0

Perfusi (mL/min/100 g) 75 3 3 0

Solubilitas relatif 1 1 20 0

 Diagram 1. Laju peningkatan konsentrasi alveolar anestetik inhalasi

Ambilan anestesi meng-hasilkan kurva

konsentrasi alveolar per waktu yang khas

untuk masing-masing anestetik (diagram 1).

Bentuk dari setiap grafik tersebut ditentukan

oleh ambilan jaringan sesuai dengan grupnya

(diagram 2). Mula-mula konsentrasi alveolar

meningkat tajam oleh karena pengisian

alveolar melalui ventilasi. Peningkatan

tersebut kemudian melambat seiring dengan

ambilan jaringan, terutama oleh grup kaya

vaskuler dan grup otot, hingga mencapai

kapasitas totalnya.

 

Diagram 2. Pengaruh ambilan jaringan

terhadap peningkatan tekanan parsial alveolar

Ventilasi. Penurunan tekanan parsial

alveolar oleh ambilan jaringan, seperti tampak

pada diagram 2, dapat kembali ditingkatkan

dengan ventilasi. Dengan kata lain,

memberikan anestetik secara konstan dapat

menstabilisasi konsentrasi alveolar.

Page 145: Dasar ilmu Anesthesi

145

Meningkatkan ventilasi secara langsung akan

meningkatkan rasio FA:FI untuk anestetik

solubel. Berlawanan dengan agen inhalasi

yang mendepresi curah jantung, anestetik yang

mendepresi ventilasi (misalnya halotan) akan

menurunkan laju peningkatan konsentrasi

alveolar dan justru menghasilkan umpan balik

negatif.

Konsentrasi. Efek ambilan juga dapat

dikurangi dengan peningkatan konsentrasi

inspirasi (FI). Menariknya, meningkatkan

konsentrasi inspirasi tidak hanya

meningkatkan konsentrasi alveolar, tetapi juga

laju peningkatan tersebut (dengan kata lain

meningkatkan FA:FI). Secara khusus,

konsentrasi membawa dua fenomena yang

disebut efek konsentrasi (concentration effect).

Mungkin agak membingungkan, fenomena

yang pertama adalah efek pengonsentrasian

(concentrating effect). Misalkan 50% dari gas

anestetik diambil oleh sirkulasi pulmoner,

maka konsentrasi inspiratori sebesar 20% (20

bagian anestetik per 100 bagian gas) akan

menghasilkan konsentrasi alveolar sebesar

11% (10 bagian anestetik tersisa dari total 90

bagian gas). Di sisi lain, jika konsentrasi

inspirasi ditingkatkan menjadi 80% (80 bagian

anestetik per 100 bagian gas), konsentrasi

alveolar menjadi 67% (40 bagian anestetik

tersisa dari volume 60 bagian gas). Melihat

dua sampel tersebut, konsentrasi inspiratori

yang lebih tinggi akan menghasilkan

konsentrasi alveolar yang lebih tinggi secara

disproporsional. Di contoh tadi, peningkatan 4

kali konsentrasi inspiratori akan menghasilkan

6 kali konsentrasi alveolar.

Fenomena yang kedua adalah efek aliran

teraugmentasi (augmented inflow effect).

Meneruskan contoh di atas, untuk mencegah

kolapsnya alveoli, 10 bagian anestetik yang

diabsorpsi oleh sirkulasi pulmoner harus

digantikan oleh gas campuran dengan

konsentrasi inspirasi 20%. Dengan demikian,

konsentrasi alveolar menjadi 12% (10+2

bagian anestetik dari total 100 bagian gas).

Lebih kontras, setelah absorpsi 50% anestetik

dari gas 80% yang diinspirasi, perlu

penggantian sebanyak 40 bagian

menggunakan gas 80% pula. Dalam kasus ini

akan diperoleh konsentrasi alveolar meningkat

dari 67% menjadi 72% (40+32 bagian

anestetik dari total volume 100 bagian gas).

Kedua fenomena yang termasuk efek

konsentrasi di atas lebih dirasakan pada

penggunaan nitrous oksida daripada agen

inhalasi lainnya, karena anestetik tersebut

dapat digunakan dalam konsentrasi yang jauh

lebih tinggi. Sebagai tambahan, konsentrasi

nitrous oksida yang tinggi akan teraugmentasi

tidak hanya dipengaruhi oleh ambilan agen itu

sendiri, melainkan juga oleh konsentrasi

anestetik inhalasi lainnya. Fenomena yang satu

ini disebut efek gas kedua (second gas effect)

yang secara klinis tidak terlalu bermakna.

Faktor-faktor yang Memengaruhi

Konsentrasi Arterial (Fa)

Hanya terdapat satu faktor yang

memengaruhi konsentrasi arterial secara

bermakna, yakni ketidakseimbangan

ventilasi-perfusi. Normalnya, tekanan parsial

anestetik di alveoli diasumsikan sama dengan

darah arteri. Akan tetapi kenyataannya tekanan

parsial arterial secara konstan kurang dari

yang diperkirakan. Alasan di balik

Page 146: Dasar ilmu Anesthesi

146

kejanggalan ini adalah pencampuran di darah

vena, ruang rugi alveolar, dan distribusi gas di

alveoli yang tidak merata. Lebih lanjut, adanya

ketidakseimbangan ventilasi-perfusi akan

semakin meningkatkan perbedaan konsentrasi

alveolar dengan arterial. Ketidakseimbangan

ini dapat diasumsikan sebagai restriksi:

meningkatkan tekanan di depan restriksi,

menurunkan tekanan di belakang restriksi, dan

mengurangi aliran di restriksi itu sendiri.

Faktor-faktor yang Memengaruhi

Eleminasi

Pemulihan pascaanestesia bergantung

pada penurunan konsentrasi anestetik di

jaringan otak. Anestetik dapat dieleminasi

dengan biotransformasi, kehilangan

transkutaneus, atau ekshalasi.

Biotransformasi biasanya tidak terlalu

berkontribusi terhadap penurunan tekanan

parsial alveolar. Pengaruh terbesar metode ini

adalah pada eleminasi anestetik solubel yang

mengalami metabolisme ekstensif seperti

metoksifluran. Biotransformasi halotan yang

lebih tinggi daripada isofluran mengakibatkan

eleminasi halotan lebih cepat daripada

isofluran. Beberapa isoenzim sitokrom P-450

terutama CYP 2EI tampak memegang peran

penting dalam eleminasi beberapa agen

anestetik inhalasi. Sementara itu, difusi

transkutaneus juga terhitung tidak terlalu

signifikan.

Rute terpenting dalam eleminasi

anestetik inhalasi adalah ekshalasi melalui

alveolus. Banyak faktor yang mempercepat

induksi rupanya juga mempercepat eleminasi:

rebreathing, tingginya aliran gas segar,

rendahnya volume sirkuit, rendahnya absorpsi

oleh sirkuit dan mesin anestesia, rendahnya

solubilitas, tingginya aliran darah serebral, dan

besarnya ventilasi. Eleminasi nitrous oksida

sangat cepat sedemikian sehingga oksigen dan

CO2 alveolar menjadi terdilusi; akibatnya

terjadi hipoksia difusi. Risiko demikian

dicegah dengan administrasi oksigen 100%

selama 5–10 menit setelah menghentikan

nitrous oksida. Laju pemulihan biasanya lebih

cepat daripada induksi karena jaringan yang

belum mencapai kesetimbangan akan terus

mengambil anestetik dari darah hingga

tekanan parsial alveolar menjadi lebih rendah

daripada tekanan parsial jaringan. Lebih

konkret, jaringan lemak akan terus mengambil

anestetik dan mempercepat pemulihan hingga

tekanan parsial di sana sama atau lebih tinggi

daripada di alveoli. Redistribusi demikian

tidak terjadi setelah anestesia yang sudah

berlangsung lama; jadi kecepatan pemulihan

juga dipengaruhi oleh durasi anestesia.

B.   Farmakodinamik Anestesi InhalasiTeori-teori mengenai Mekanisme Kerja

Anestetik Inhalasi

Anestesia umum adalah keadaan

fisiologis yang sengaja disimpangkan, ditandai

dengan kehilangan kesadaran secara

reversibel, analgesia seluruh tubuh, amnesia,

dan sedikit relaksasi otot. Zat-zat yang dapat

menghasilkan keadaan anestesia umum sangat

beragam mulai dari elemen inert (xenon),

substansi organik sederhana (nitrous oksida),

hidrokarbon terhalogenasi (halotan), dan

struktur irganik kompleks (barbiturat). Teori

yang dapat menyatukan mekanisme kerja

anestetik harus dapat mengakomodasi

diversitas struktur yang telah tergambarkan

Page 147: Dasar ilmu Anesthesi

147

tadi. Pada kenyataannya, berbagai agen

mungkin menghasilkan anestesia melalui

metodenya masing-masing.

Diduga kuat tidak terdapat satu situs aksi

makroskopik bersama antara semua agen

inhalasi. Area spesifik otak dipengaruhi oleh

berbagai macam anestetik termasuk reticular

activating system (RAS), korteks serebral,

nukleus kaudatus, korteks olfaktorius, dan

hipokampus. Anestetik juga menekan

transmisi eksitatori pada medula spinalis,

terutama di interneuron kornu dorsalis yang

berperan dalam menyampaikan impuls nyeri.

Aspek anestesia yang berbeda mungkin

dilatarbelakangi oleh mekanisme yang berbeda

pula. Misalnya, ketidaksadaran dan amnesia

mungkin dimediasi oleh aksi anestetik di

korteks, sementara supresi nyeri mungkin

berkaitan dengan struktur subkortikal seperti

medula spinalis atau batang otak. Suatu studi

mencit bahkan menunjukkan bahwa

pengangkatan korteks serebral tidak mengubah

potensi anestetik!

Pada level mikroskopik, transmisi

sinaptik lebih sensitif terhadap anestesia

umum daripada konduksi aksonal. Hipotesis

ini beranggapan bahwa semua agen inhalasi

mempunyai suatu mekanisme yang sama di

tingkat molekuler. Hal ini didukung oleh

observasi di mana potensi agen-agen inhalasi

berkorelasi secara langsung dengan

solubilitasnya dalam lemak (aturan Meyer–

Overton). Implikasinya, anestesia dihasilkan

oleh kinerja molekul anestetik di suatu situs

lipofilik tertentu. Relasi antara potensi

anestetik dan solubilitasnya dalam lemak

secara kasar dapat dilihat pada diagram 3.

 

Diagram 3. Relasi potensi anestetik inhalasi

dengan solubilitasnya dalam lemak

Membran neuron mengandung situs

hidrofobik beragam di bilayer fosfolipidnya.

Ikatan anestetik di situs tersebut dapat

memperluas bilayer melebihi jumlah kritisnya

dan mengganggu fungsi membran; hal ini

tertuang sebagai hipotesis volume kritis.

Meskipun tampaknya terlalu

disimplifikasikan, teori ini dapat menjelaskan

fenomena reversal anestesia akibat

peningkatan tekanan: laboratorium mencit

yang terekspos tekanan hidrostatik yang

meningkat ternyata resisten terhadap anestetik.

Kemungkinan tekanan tersebut menggantikan

sejumlah molekul di membran neuron,

sehingga meningkatkan jumlah anestetik yang

diperlukan untuk memberikan efek. Anestesia

umum dapat muncul akibat alterasi satu atau

beberapa sistem seluler seperti kanal ion,

fungsi perantau kedua, atau reseptor

neurotransmiter terutama GABA.

Page 148: Dasar ilmu Anesthesi

148

Konsentrasi Alveolar Minimum

Agen MAC%

Nitrous oksida 105

Halotan 0.75

Isofluran 1.2

Desfluran 6.0

Sevofluran 2.0

Konsentrasi alveolar minimum atau

minimum alveolar concentration (MAC)

anestetik inhalasi adalah konsentrasi alveolar

yang dapat menghambat gerakan pada 50%

pasien terhadap stimulus standar seperti insisi

bedah. MAC merupakan ukuran yang berguna

karena merefleksikan tekanan parsial anestetik

di otak, sehingga dapat membandingkan

secara langsung potensi setiap anestetik

sekaligus memberikan standar baku untuk

penelitian. Meskipun demikian, nilai MAC

tetap saja hanya merupakan angka statistikal

belaka pada saat menangani pasien; masing-

masing pasien merupakan individu yang unik

dan oleh karena itu memerlukan pendekatan

yang bersifat individual pula, misalnya pada

saat menentukan dosis induksi.

C.   Farmakologi Klinik Anestesi Inhalasi

Nitrous Oksida (N2O)

Merupakan gas yang tidak berbau, tidak

berwarna, tidak berasa, lebih berat dari udara,

serta tidak mudah terbakar dan meledak

(kecuali jika dikombinasikan dengan zat

anestetik yang mudah terbakar seperti eter).

Gas ini dapat disimpan dalam bentuk cair

dalam tekanan tertentu, serta relatif lebih

murah dibanding agen anestetik inhalasi lain.

Efek terhadap Sistem Organ

Efek terhadap kardiovaskular dapat

dijelaskan melalui tendensinya dalam

menstimulasi sistem simpatis. Meski secara in

vitro gas ini mendepresikan kontraktilitas otot

jantung, namun secara in vivo tekanan darah

arteri, curah jantung, serta frekuensi nadi tidak

mengalami perubahan atau hanya terjadi

sedikit peningkatan karena adanya stimulasi

katekolamin, sehingga peredaran darah tidak

terganggu (kecuali pada pasien dengan

penyakit jantung koroner atau hipovolemik

berat).

Efek terhadap respirasi dari gas ini

adalah peningkatan laju napas (takipnea) dan

penurunan volume tidal akibat stimulasi

Sistem Saraf Pusat (SSP). N2O dapat

menyebabkan berkurangnya respons

pernapasan terhadap CO2 meski hanya

Page 149: Dasar ilmu Anesthesi

149

diberikan dalam jumlah kecil, sehingga dapat

berdampak serius di ruang pemulihan (pasien

jadi lebih lama dalam keadaan tidak sadar).

Efek terhadap SSP adalah peningkatan

aliran darah serebral yang berakibat pada

sedikit peningkatan tekanan intrakranial

(TIK). N2O juga meningkatkan konsumsi

oksigen serebral. Efek terhadap

neuromuskular tidak seperti agen anestetik

inhalasi lain, di mana N2O tidak menghasilkan

efek relaksasi otot, malah dalam konsentrasi

tinggi pada ruangan hiperbarik, N2O

menyebabkan rigiditas otot skeletal.

Efek terhadap ginjal adalah penurunan

aliran darah renal (dengan meningkatkan

resistensi vaskular renal) yang berujung pada

penurunan laju filtrasi glomerulus dan jumlah

urin. Efek terhadap hepar adalah penurunan

aliran darah hepatik (namun dalam jumlah

yang lebih ringan dibandingkan dengan agen

inhalasi lain). Efek terhadap gastrointestinal

adalah adalanya mual muntah pascaoperasi,

yang diduga akibat aktivasi dari

chemoreceptor trigger zone dan pusat muntah

di medula. Efek ini dapat muncul pada

anestesi yang lama.

Biotransformasi dan Toksisitas

N2O sukar larut dalam darah, dan

merupakan anestetik yang kurang kuat

sehingga kini hanya dipakai sebagai adjuvan

atau pembawa anestetik inhalasi lain karena

kesukarlarutannya ini berguna dalam

meningkatkan tekanan parsial sehingga

induksi dapat lebih cepat (setelah induksi

dicapai, tekanan parsial diturunkan untuk

mempertahankan anestesia). Dengan

perbandingan N2O:O2 = 85:15, induksi cepat

dicapai tapi tidak boleh terlalu lama karena

bisa mengakibatkan hipoksia (bisa dicegah

dengan pemberian O2 100% setelah N2O

dihentikan). Efek relaksasi otot yang

dihasilkan kurang baik sehingga dibutuhkan

obat pelumpuh otot. N2O dieksresikan dalam

bentuk utuh melalui paru-[aru dan sebagian

kecil melalui kulit.

Dengan secara ireversibel mengoksidasi

atom kobalt pada vitamin B12, N2O

menginhibisi enzim yang tergantung pada

vitamin B12, seperti metionin sintetase yang

penting untuk pembentukan myelin, serta

thimidilar sintetase yang penting untuk sintesis

DNA. Pemberian yang lama dari gas ini akan

menghasilkan depresi sumsum tulang (anemia

megaloblastik) bahkan defisiensi neurologis

(neuropati perifer). Oleh karena efek

teratogeniknya, N2O tidak diberikan untuk

pasien yang sedang hamil (terbukti pada

hewan coba, belum diketahui efeknya pada

manusia).

Interaksi Obat

Kombinasinya dengan agen anestetik

inhalasi lain dapat menurunkan MAC agen

inhalasi tersebut sampai 50%, contohnya

halotan dari 0,75% menjadi 0,29% atau

enfluran dari 1,68% menjadi 0,6%.

Halotan

Merupakan alkana terhalogenisasi

dengan ikatan karbon-florida sehingga bersifat

tidak mudah terbakar atau meledak (meski

dicampur oksigen). Halotan berbentuk cairan

tidak berwarna dan berbau enak. Botol

berwarna amber dan pengawet timol berguna

untuk menghambat dekomposisi oksidatif

Page 150: Dasar ilmu Anesthesi

150

spontan. Halotan merupakan anestetik kuat

dengan efek analgesia lemah, di mana induksi

dan tahapan anestesia dilalui dengan mulus,

bahkan pasien akan segera bangun setelah

anestetik dihentikan. Gas ini merupakan agen

anestestik inhalasi paling murah, dan karena

keamanannya hingga kini tetap digunakan di

dunia.

Efek terhadap Sistem Organ

2 MAC dari halotan menghasilkan 50%

penurunan tekanan darah dan curah jantung.

Halotan dapat secara langsung menghambat

otot jantung dan otot polos pembuluh darah

serta menurunkan aktivitas saraf simpatis.

Penurunan tekanan darah terjadi akibat depresi

langsung pada miokard dan penghambatan

refleks baroreseptor terhadap hipotensi, meski

respons simpatoadrenal tidak dihambat oleh

halotan (sehingga peningkatan PCO2 atau

rangsangan pembedahan tetap memicu respons

simpatis). Makin dalam anestesia, makin jelas

turunnya kontraksi miokard, curah jantung,

tekanan darah, dan resistensi perifer. Efek

bradikardi disebabkan aktivitas vagal yang

meningkat. Automatisitas miokard akibat

halotan diperkuat oleh pemberian agonis

adrenergik (epinefrin) yang menyebabkan

aritmia jantung. Efek vasodilatasi yang

dihasilkan pada pembuluh darah otot rangka

dan otak dapat meningkatkan aliran darah.

Efek terhadap respirasi adalah

pernapasan cepat dan dangkal. Peningkatan

laju napas ini tidak cukup untuk mengimbangi

penurunan volume tidal, sehingga ventilasi

alveolar turun dan PaCO2. Depresi napas ini

diduga akibat depresi medula (sentral) dan

disfungsi otot interkostal (perifer). Halotan

diduga juga sebagai bronkodilator poten, di

mana dapat mencegah bronkospasme pada

asma, menghambat salivasi dan fungsi

mukosiliar, dengan relaksasi otot maseter yang

cukup baik (sehingga intubasi mudah

dilakukan), namun dapat mengakibatkan

hipoksia pascaoperasi dan atelektasis. Efek

bronkodilatasi ini bahkan tidak dihambat oleh

propanolol.

Dengan mendilatasi pembuluh darah

serebral, halotan menurunkan resistensi

vaskular serebral dan meningkatkan aliran

darah otak, sehingga ICP meningkat, namun

aktivitas serebrum berkurang (gambaran EEG

melambat dan kebutuhan O2 yang berkurang).

Efek terhadap neuromuskular adalah relaksasi

otot skeletal dan meningkatkan kemampuan

agen pelumpuh otot nondepolarisasi, serta

memicu hipertermia malignan.

Efek terhadap ginjal adalah menurunkan

aliran darah renal, laju filtrasi glomerulus, dan

jumlah urin, semua ini diakibatkan oleh

penurunan tekanan darah arteri dan curah

jantung. Efek terhadap hati adalah penurunan

aliran darah hepatik, bahkan dapat

menyebabkan vasospasme arteri hepatik.

Selain itu, metabolisme dan klirens dari

beberapa obat (fentanil, fenitoin, verapamil)

jadi terganggu.

Biotransformasi dan Toksisitas

Eksresi halotan utamanya melalui paru,

hanya 20% yang dimetabolisme dalam tubuh

untuk dibuang melalui urin dalam bentuk asam

trifluoroasetat, trifluoroetanol, dan bromida.

Halotan dioksidasi di hati oleh isozim

sitokrom P-450 menjadi metabolit utamanya,

asam trifluoroasetat. Metabolisme ini dapat

dihambat dengan pemberian disulfiram.

Page 151: Dasar ilmu Anesthesi

151

Bromida, metabolit oksidatif lain, diduga

menjadi penyebab perubahan status mental

pascaanestesi. Disfungsi hepatik pascaoperasi

dapat disebabkan oleh: hepatitis viral, perfusi

hepatik yang terganggu, penyakit hati yang

mendasari, hipoksia hepatosit, dan sebagainya.

Penggunaan berulang dari halotan dapat

menyebabkan nekrosis hati sentrolobular

dengan gejala anoreksia, mual muntah, kadang

kemerahan pada kulit disertai eosinofilia.

Kontraindikasi dan Interaksi Obat

Halotan dikontraindikasikan pada pasien

dengan disfungsi hati, atau pernah mendapat

halotan sebelumnya. Halotan sebaiknya

digunakan secara hati-hati pada pasien dengan

massa intrakranial (kemungkinan adanya

peningkatan TIK). Efek depresi miokard oleh

halotan dapat dieksaserbasi oleh agen

penghambat adrenergik (seperti propanolol)

dan agen penghambat kanal ion kalsium

(seperti verapamil). Penggunaannya bersama

dengan antidepresan dan inhibitor monoamin

oksidase (MAO-I) dihubungkan dengan

fluktuasi tekanan darah dan aritmia.

Kombinasi halotan dan aminofilin berakibat

aritmia ventrikel.

Isofluran

Merupakan eter berhalogen yang tidak

mudah terbakar. Memiliki struktur kimia yang

mirip dengan enfluran, isofluran berbeda

secara farmakologis dengan enfluran.

Isofluran berbau tajam, kadar obat yang tinggi

dalam udara inspirasi menyebabkan pasien

menahan napas dan batuk. Setelah

premedikasi, induksi dicapai dalam kurang

dari 10 menit, di mana umumnya digunakan

barbiturat intravena untuk mempercepat

induksi. Tanda untuk mengamati kedalaman

anestesia adalah penurunan tekanan darah,

volume dan frekuensi napas, serta peningkatan

frekuensi denyut jantung.

Efek terhadap Sistem Organ

Secara in vivo, isofluran menyebabkan

depresi kardiak minimal, curah jantung dijaga

dengan peningkatan frekuensi nadi. Stimulasi

adrenergik meningkatkan aliran darah otot,

menurunkan resistensi vaskular sistemik,dan

menurunkan tekanan darah arteri (karena

vasodilatasi). Dilatasi juga terjadi pada

pembuluh darah koroner sehingga dipandang

lebih aman untuk pasien dengan penyakit

jantung (dibanding halotan atau enfluran),

namun ternyata dapat menyebabkan iskemia

miokard akibat coronary steal (pemindahan

aliran darah dari area dengan perfusi buruk ke

area yang perfusinya baik).

Efek terhadap respirasi serupa dengan

semua agen anestetik inhalasi lain, yakni

depresi napas dan menekan respons ventilasi

terhadap hipoksia, selain itu juga berperan

sebagai bronkodilator. Isofluran juga memicu

refleks saluran napas yang menyebabkan

hipersekresi, batuk, dan spasme laring yang

lebih kuat dibanding enfluran. Isofluran juga

mengganggu fungsi mukosilia sehingga

dengan anestesi lama dapat menyebabkan

penumpukan mukus di saluran napas.

Efek terhadap SSP adalah saat

konsentrasi lebih besar dari 1 MAC, isofluran

dapat meningkatkan TIK, namun menurunkan

kebutuhan oksigen. Efek terhadap

neuromuskular adalah merelaksasi otot

skeletal serta meningkatkan efek pelumpuh

Page 152: Dasar ilmu Anesthesi

152

otot depolarisasi maupun nondepolarisasi lebih

baik dibandingkan enfluran. Efek terhadap

ginjal adalah menurunkan aliran darah renal,

laju filtrasi glomerulus, dan jumlah urin. Efek

terhadap hati adalah menurunkan aliran darah

hepatik total (arteri hepatik dan vena porta),

fungsi hati tidak terganggu.

Biotransformasi dan Toksisitas

Isofluran dimetabolisme menjadi asam

trifluoroasetat, dan meski kadar fluorida serum

meningkat, kadarnya masih di bawah batas

yang merusak sel. Belum pernah dilaporkan

adanya gangguan fungsi ginjal dan hati

sesudah penggunaan isofluran.

Penggunaannya tidak dianjurkan untuk wanita

hamil karena dapat merelaksasi otot polos

uterus (perdarahan persalinan). Penurunan

kewaspadaan mental terjadi 2-3 jam sesudah

anestesia, tapi tidak terjadi mual muntah

pascaoperasi.

Desfluran

Merupakan cairan yang mudah terbakar

tapi tidak mudah meledak, bersifat absorben

dan tidak korosif untuk logam. Karena sukar

menguap, dibutuhkan vaporiser khusus untuk

desfluran. Dengan struktur yang mirip

isofluran, hanya saja atom klorin pada

isofluran diganti oleh fluorin pada desfluran,

sehingga kelarutan desfluran lebih rendah

(mendekati N2O) dengan potensi yang juga

lebih rendah sehingga memberikan induksi

dan pemulihan yang lebih cepat dibandingkan

isofluran (5-10 menit setelah obat dihentikan,

pasien sudah respons terhadap rangsang

verbal). Desfluran lebih digunakan untuk

prosedur bedah singkat atau bedah rawat jalan.

Desfluran bersifat iritatif sehingga

menimbulkan batuk, spasme laring, sesak

napas, sehingga tidak digunakan untuk

induksi. Desfluran bersifat ¼ kali lebih poten

dibanding agen anestetik inhalasi lain, tapi 17

kali lebih poten dibanding N2O.

Efek terhadap Sistem Organ

Efek terhadap kardiovaskular desfluran

mirip dengan isofluran, hanya saja tidak

seperti isofluran, desfluran tidak

meningkatkan aliran darah arteri koroner. Efek

terhadap respirasi adalah penurunan volume

tidak dan peningkatan laju napas. Secara

keseluruhan terdapat penurunan ventilasi

alveolar sehingga terjadi peningkatan PaCO2.

Efek terhadap SSP adalah vasodilatasi

pembuluh darah serebral, sehingga terjadi

peningkatan TIK, serta penurunan konsumsi

oksigen oleh otak. Tidak ada laporan

nefrotoksik akibat desfluran, begitu juga

dengan fungsi hati.

Kontraindikasi dan Interaksi Obat

Desfluran memiliki kontraindikasi

berupa hipovolemik berat, hipertermia

malignan, dan hipertensi intrakranial.

Desfluran juga dapat meningkatkan kerja obat

pelumpuh otot nondepolarisasi sama halnya

seperti isofluran.

Sevofluran

Sama halnya dengan desfluran,

sevofluran terhalogenisasi dengan fluorin.

Peningkatan kadar alveolar yang cepat

membuatnya menajdi pilihan yang tepat untuk

induksi inhalasi yang cepat dan mulus untuk

pasien anak maupun dewasa. Induksi inhalasi

4-8% sevofluran dalam 50% kombinasi N2O

dan oksigen dapat dicapai dalam 1-3 menit.

Page 153: Dasar ilmu Anesthesi

153

Efek terhadap Sistem Organ

Sevofluran dapat menurunkan

kontraktilitas miokard, namun bersifat ringan.

Resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah

arterial secara ringan juga mengalami

penurunan, namun lebih sedikit dibandingkan

isofluran atau desfluran. Belum ada laporan

mengenai coronary steal oleh karena

sevofluran. Agen inhalasi ini dapat

mengakibatkan depresi napas, serta bersifat

bronkodilator. Efek terhadap SSP adalah

peningkatan TIK, meski beberapa riset

menunjukkan adanya penurunan aliran darah

serebral. Kebutuhan otak akan oksigen juga

mengalami penurunan. Efeknya terhadap

neuromuskular adalah relaksasi otot yang

adekuat sehingga membantu dilakukannya

intubasi pada anak setelah induksi inhalasi.

Terhadap ginjal, sevofluran menurunkan aliran

darah renal dalam jumlah sedikit, sedangkan

terhadap hati, sevofluran menurunkan aliran

vena porta tapi meningkatkan aliran arteri

hepatik, sehingga menjaga aliran darah dan

oksigen untuk hati.

Biotransformasi dan Toksisitas

Enzim P-450 memetabolisme

sevofluran. Soda lime dapat mendegradasi

sevofluran menjadi produk akhir yang

nefrotoksik. Meski kebanyakan riset tidak

menghubungkan sevofluran dengan gangguan

fungsi ginjal pascaoperasi, beberapa ahli tidak

menyarankan pemberian sevofluran pada

pasien dengan disfungsi ginjal. Sevofluran

juga dapat didegradasi menjadi hidrogen

fluorida oleh logam pada peralatan pabrik,

proses pemaketannya dalam botol kaca, dan

faktor lingkungan, di mana hidrogen fluorida

ini dapat menyebabkan luka bakar akibat asam

jika terkontak dengan mukosa respiratori.

Untuk meminimalisasi hal ini, ditambahkan air

dalam proses pengolahan sevofluran dan

pemaketannya menggunakan kontainer plastik

khusus.

Kontraindikasi dan Interaksi Obat

Sevofluran dikontraindikasikan pada

hipovolemik berat, hipertermia maligna, dan

hipertensi intrakranial. Sevofluran juga sama

seperti agen anestetik inhalasi lainnya, dapat

meningkatkan kerja pelumpuh otot.

Page 154: Dasar ilmu Anesthesi

154

BAB XIV

Anestesi Pada Bedah Rawat Jalan

Pendahuluan Teknik bedah rawat jalan dilakukan secara terpisah pertama kali tahun 1970 di Amerika Serikat. Dengan berkembangnya bidang anestesi dan pembedahan maka bedah rawat jalan juga mengalami kemajuan yang pesat, termasuk bedah rawat jalan pasien dewasa. Jumlah operasi yang dilakukan dengan teknik

bedah rawat jalan juga terus meningkat. Pada tahun 1994, sekitar 66% operasi elektif di Amerika Serikat dilakukan dengan bedah rawat jalan. Saat ini, Sekitar 70% pembedahan di Amerika Serikat telah dilakukan dengan bedah rawat jalan.

Tujuan utama bedah rawat jalan adalah terlaksananya prosedur pembedahan yang lebih efektif dan lebih ekonomis sehingga memberi keuntungan terhadap pasien, rumah sakit serta pihak yang membayar (third party payrs). Faktor utama pemilihan teknik bedah rawat jalan adalah penekanan biaya tetapi tetap mempertahankan kualitas pengobatan, sehingga morbiditas akibat prosedur pembedahan ataupun karena penyakit sebelumnya tidak lebih besar dibandingkan dengan pasien rawat inap. Keuntungan bagi pasien dengan teknik bedah rawat jalan ini adalah mengurangi biaya, mengurangi waktu rawat sehingga waktu berpisah dengan keluarga dan lingkungan menjadi lebih singkat, mengurangi waktu tunggu untuk pembedahan, mengurangi resiko infeksi nosokomial rumah sakit, tidak bergantung pada jumlah tempat tidur yang tersedia di rumah sakit sehingga pasien lebih fleksibel dalam memilih jadwal operasi. Dibandingkan dengan pasien rawat inap, pemeriksaan laboratorium berkurang serta mengurangi kebutuhan obat pascabedah.

Hasil yang diharapkan pada penatalaksanaan anestesi (Value-based anesthesia care)

Meningkatnya keinginan untuk mewujudkan peningkatan outcome pasien, efektifitas biaya, dan pembatasan sumberdaya memaksa ahli anestesi untuk terus melakukan penilaian dan evaluasi terhadap cost-to-benefit ratio pada setiap proses dalam tindakan anestesi. Menurut Orkin, para konsumen layanan kesehatan mencari pelayanan yang berdasarkan nilai, dimana outcome pasien yang terbaik dapat dicapai dengan biaya yang rasional. Evaluasi yang objektif pada setiap proses dalam anestesi (evaluasi prabedah, skrining laboratorium, pemilihan teknik dan agen anestesi, efek pada outcome pasien, efek pada perawatan pascabedah, dan pengaruh secara keseluruhan terhadap pelayanan kesehatan) harus selalu dilakukan secara terintegrasi bila penyedia jasa kesehatan tetap ingin mempertahankan nilai ekonomis dalam pelayanannya.

Pemilihan pasienKeputusan untuk menentukan apakah pasien layak untuk menjalani bedah rawat jalan harus berdasarkan penilaian individual masing-masing pasien, yang ditentukan oleh kombinasi dari beberapa faktor termasuk patient consideration, prosedur pembedahan, teknik anestesi, dan tingkat kemampuan dan kenyamanan ahli anestesi. Lamanya operasi bukan suatu kriteria untuk bedah rawat jalan, sebab hanya ada sedikit hubungan antara lamanya anestesi dengan cepatnya pemulihan. Penyelesaiannya adalah operasi yang lama harus diacarakan untuk operasi yang paling pagi.

Page 155: Dasar ilmu Anesthesi

155

 Penekanan pada pertimbangan biaya dalam pembedahan menyebabkan peralihan dari bedah rawat inap menjadi bedah rawat jalan meningkat tajam. Hal ini juga berdampak pada perubahan dalam kriteria seleksi pasien bedah rawat jalan dan dimasukkannya pasien dengan kondisi medis yang kompleks, dimana pada masa lalu dinyatakan tidak fit untuk bedah rawat jalan. Isu mengenai seleksi pasien makin membesar karena hanya sedikit data dan penelitian mengenai kriteria dalam seleksi pasien ini. Pada awal diperkenalkannya bedah rawat jalan hanya pasien dengan status ASA I dan ASA II yang dipilih untuk prosedur bedah rawat jalan. Saat ini, pasien yang digolongkan pada status ASA III dan ASA IV juga merupakan calon operasi bedah rawat jalan asalkan penyakit sistemiknya dalam keadaan stabil. Penelitian yang dilakukan Friedman tahun 2004 untuk menilai metode pemilihan pasien pada bedah rawat jalan terkini serta mengidentifikasi kriteria pemilihan pasien untuk bedah rawat jalan menunjukkan bahwa tingkat keparahan kondisi medis masih berhubungan dengan opini ahli anestesi untuk menerima atau menolak prosedur bedah rawat jalan. Dalam penelitian tersebut tidak ditentukan jenis operasi khusus yang akan dilakukan. Pada kasus dimana terdapat gangguan jantung bedah rawat jalan dapat dilakukan pada pasien dengan angina pectoris class II, CHF class I dan infark miokard yang lebih dari 6 bulan,

dengan catatan dalam keadaan gejala ringan atau terkontrol. Begitu juga dengan kelainan katup yang asimtomatis, dapat dilakukan bedah rawat jalan. IDDM dan Morbidly Obesity (MO) tanpa penyakit sistemik bukan kontraindikasi untuk bedah rawat jalan. Dalam survey ini juga didapatkan fakta bahwa sebagian besar ahli anestesi setuju untuk melakukan bedah rawat jalan pada kasus suspek Malignant Hyperthermia. Kasus yang ditolak oleh ahli anestesi untuk bedah rawat jalan dalam survey tersebut termasuk Angina Pektoris class IV, CHF class IV dan severe MO dengan co-morbidities. Pasien dengan Miokard Infark dalam 1-6 bulan sebelum operasi, CHF class III, MO dengan BMI 35-44 kg per meter persegi dengan penyakit sistemik tidak termasuk kriteria pasien bedah rawat jalan. Sleep apneu dengan anestesi regional serta sleep apneu dengan anestesi umum tanpa pemberian narkotik pascabedah dapat diterima sebagai calon bedah rawat jalan, kecuali sleep apneu dengan anestesi regional dan anestesi umum yang disertai dengan pemberian narkotik pascabedah. Pasien yang tidak ditemani orang dewasa yang mendampingi tidak disetujui untuk bedah rawat jalan. University of Chicago Hospitals telah memisahkan beberapa kelompok pasien yang tidak dapat dijadikan calon untuk bedah rawat jalan:

Pasien dengan status fisik ASA III dan ASA IV yang unstable. Pasien dengan kondisi ini diskrining pada saat

evaluasi prabedah oleh ahli anestesi, kemudian dirujuk kepada konsultan medis terkait dan bersama dengan penatalaksanaan oleh ahli bedah, setelah itu baru direncanakan untuk operasi setelah kondisinya stabil.

Malignant Hyperpyrexia. Termasuk pasien dengan riwayat malignant hyperpyrexia ataupun suspek malignant hyperpyrexia. Tetapi sebagian rumah sakit tetap melakukan bedah rawat jalan pada kondisi ini.

Terapi Monoamine Oxidase Inhibitors (MAO). Karena instabilitas hemodinamik yang berhubungan dengan tatalaksana anestesi pada pasien yang sedang dalam terapi MAO, obat tersebut dihentikan minimal 2 minggu sebelum operasi.

Obesitas Morbid kompleks / Sleep Apneu kompleks. Walaupun pasien dengan riwayat sleep apneu atau dengan morbidly obese tanpa penyakit sistemik merupakan calon bedah rawat jalan, rawat inap dan observasi pascabedah dilakukan pada pasien morbidly obese dengan disertai gangguan jantung, paru-paru, hepar, atau ginjal serta pasien dengan riwayat sleep apneu kompleks.

Ketagihan obat-obatan akut. Karena peningkatan respon kardiovaskular ketika agen anestetik diberikan pada seseorang yang ketergantungan obat-obatan.

Page 156: Dasar ilmu Anesthesi

156

Kesulitan psikososial. Pasien yang menolak untuk dilakukan operasi dengan teknik bedah rawat jalan tidak dapat dipaksa. Pasien yang telah menjalani pembedahan rawat jalan harus dalam pengawasan orang dewasa yang bertanggung jawab terhadapnya.

Evaluasi prabedah Setiap fasilitas bedah rawat jalan harus mengembangkan metode skrining prabedah sebelum hari operasi. Dalam bedah rawat jalan ahli anestesi adalah orang yang terlibat langsung pada perawatan dan tatalaksana pasien, meyakinkan pasien diskrining dan dievaluasi secara tepat. Juga harus mengingatkan pasien tentang jadwal datang ke rumah sakit, restriksi makanan (puasa), pakaian yang harus dipakai, transportasi ke rumah sakit, maupun kebutuhan perawatan anggota keluarga lain yang ditinggalkan serta harus ada orang dewasa yang mengantar pulang ke rumah dari rumah sakit setelah selesai operasi. Disamping untuk mengurangi rasa cemas pasien, evaluasi prabedah yang dilakukan ahli anestesi juga bertujuan untuk mengidentifikasi potensi masalah medis, mencari etiologinya, dan bila perlu melakukan koreksi yang tepat. Dengan demikian dapat mengurangi pembatalan serta komplikasi bedah rawat jalan.1

Saat ini terdapat berbagai cara untuk melakukan evaluasi dan skrining pasien bedah rawat jalan, seperti:

1. Pasien datang ke fasilitas bedah rawat jalan sebelum hari operasi.

2. Pasien datang ke kantor ahli anestesi sebelum hari operasi

3. Wawancara melalui telepon.

4. Meneliti hasil pemeriksaan medis/data medis pasien

5. Visite dan pemeriksaan prabedah pada pagi hari sebelum pembedahan

6. Pengumpulan informasi pasien dengan bantuan komputer (computer assisted information gathering).

Pasien yang diskrining secara adekuat serta dengan persiapan prabedah yang baik akan lebih efisien dalam biaya pada bedah rawat jalan.

Computer Assisted Information GatheringSaat ini telah banyak tersedia tools dan media komputer yang bermanfaat untuk evaluasi prabedah yang sangat membantu ahli anestesi dalam melakukan evaluasi prabedah. HealthQuiz Plus 2 adalah sebuah program komputer yang simpel dengan koneksi internet atau telepon untuk evaluasi prabedah. Program ini dikembangkan oleh Michael F. Roizen, MD di University of Chicago. Program ini hanya terdiri 4 pilihan (yes, no, not sure, dan next question). Pertanyaan-pertanyaan dalam program HelathQuiz Plus 2 ditampilkan dalam format yang sederhana dan mudah dimengerti.

Pasien diberikan sebuah nomor rahasia (PIN) yang hanya diketahui oleh dokter dan pasien bersangkutan. Data yang telah disimpan hanya dapat diakses oleh dokter yang telah memiliki PIN khusus, dan dapat ditransfer langsung ke komputer utama, di fax atau email ke komputer bagian penjadwalan kamar operasi atau ke ahli bedah. Dengan demikian kebutuhan kertas untuk menyimpan data tidak lagi dibutuhkan. Dan jika dokter telah menggunakan sistem komputerisasi dalam penyimpanan data maka kebutuhan sekretaris untuk menginput data dapat ditiadakan. Sistem ini dapat dihubungkan dengan printer. Untuk keperluan tertentu dokter dapat mencetak data yang penting seperti alergi terhadap bahan tertentu, kesulitan atau permasalahan pada tindakan anestesi sebelumnya, gejala-gejala pasien, serta saran untuk pemeriksaan laboratorium prabedah. Rekomendasi untuk pemeriksaan prabedah tersedia setelah semua pertanyaan dalam HealthQuiz Plus 2 dijawab oleh pasien. Keuntungan lain adalah pasien dapat menerima sistem ini, pasien lebih antusias berpartisipasi dalam menilai kesehatannya, dan hasil dapat dicetak serta dipegang oleh pasien bersangkutan sebagai bahan informasi bagi mereka. Program HealthQuiz Plus 2 dapat diakses melalui internet dengan sistem small pay per use, atau melalui jaringan telepon, atau dengan lisensi pada fasilitas rumah sakit. 

Page 157: Dasar ilmu Anesthesi

157

Evaluasi prabedah pada Thomas Jefferson University Hospital di Philadelphia saat ini juga telah dilakukan dengan sistem komputer. Sistem yang dikembangkan disini bernama JeffSprint. Dalam sistem ini bebas dipilih cara drop-down list, check boxes, dan mouse-click. Pemakaian teknologi ini telah meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya rumah sakit, sehingga lebih banyak pasien yang bisa dikelola tiap harinya. Walter Maurer dan Raymond Borkowski dari Cleveland Clinic telah merintis penggunaan HealthQuest System pada Cleveland Clinic dan beberapa fasilitas jaringannya. Sistem skrining dan evaluasi prabedah ini dapat digunakan diberbagai tempat, termasuk rumah sakit, pusat bedah rawat jalan, dan juga kantor ahli bedah. Implementasi serta penerimaan yang luas dari sistem ini telah meningkatkan efisiensi evaluasi prabedah serta kepuasan pasien secara dramatis. Selama periode 3 tahun hampir sebagian pasien tidak perlu mengunjungi klinik sebelum tindakan pembedahan. Prosedur yang tidak perlu dalam evaluasi dan skrining prabedah juga dapat dihilangkan. Hal ini dapat mengurangi biaya yang harus dikeluarkan pasien.

Persiapan pasienPersiapan pasien yang matang dalam bedah rawat jalan perlu dilakukan agar tercapai kondisi yang optimal bagi pasien yang akan menjalani operasi. Restriksi makanan dan minuman sebelum operasi bedah rawat jalan:

1. Untuk menurunkan risiko pneumonitis dan obstruksi jalan napas akibat

aspirasi isi lambung, pasien secara rutin diminta tidak makan makanan padat 6-8 jam sebelum operasi. Atau puasa setelah tengah malam (bila operasi dilakukan pagi hari) yang harus disampaikan secara lisan dan tertulis.

2. Kebutuhan untuk melarang minum cairan pada periode prabedah (sampai 2 jam sebelum induksi anestesi) masih dievaluasi, karena:

a. Minum cairan jernih tidak meningkatkan volume cairan lambung pada saat induksi anestesi.b. Aman minum air sampai 150 ml pada saat minum obat.c. Salah satu keuntungan mengizinkan minum kopi pada peminum kopi adalah menurunnya     kejadian sakit kepala setelah operasi.

Pemberian obat-obatan yang biasa dipakai pasien sebelum operasi:

Obat-obat anti hipertensi tetap diminum sampai hari operasi. Obat-obat untuk merubah perasaan seperti fluoxetin, trisiklik anti depresan, mono-amine oxidase inhibitor, dan lithium dapat terus diberikan tetapi harus diwaspadai untuk kemungkinan terjadinya interaksi obat-obatan. Pemberian aspirin dapat terus dilakukan terutama bila resiko perdarahan pada operasi minimal. Pada operasi besar/risiko perdarahan besar aspirin dihentikan mulai 7 hari prabedah.

Pemeriksaan EKG perlu dilakukan pada pasien umur lebih dari 40 tahun atau bila ada indikasi.

Bila pada pemeriksaan ditemukan masalah medis, sebaiknya operasi ditangguhkan dan pasien dievaluasi kembali.

Persiapan pada hari operasiPasien harus diperiksa ulang oleh ahli anestesi karena bisa terjadi perubahan-perubahan yang mendadak misalnya infeksi saluran napas bagian atas atau apakah pasien melaksanakan semua instruksi untuk puasa, adanya teman yang mengantar dan menerangkan prosedur anestesi serta penandatanganan surat izin operasi. Kanula intravena dipasang untuk pemberian obat anestesi nantinya serta pemberian cairan bila diperlukan. Premedikasi pasien bedah rawat jalan tidak jauh berbeda dengan pasien yang dirawat sehingga tetap diberikan obat-obat premedikasi untuk anti cemas, nyeri pascabedah, mual muntah serta untuk menurunkan risiko pneumonitis bila terjadi aspirasi isi lambung selama pembedahan. Kebanyakan obat premedikasi tidak memperlambat pemulihan bila diberikan dalam dosis yang tepat. Benzodiazepin adalah obat yang paling sering digunakan untuk menurunkan kecemasan dan memberikan sedasi untuk pasien bedah rawat jalan. Adanya amnesia setelah premedikasi dengan benzodiazepin harus diperhatikan walaupun

Page 158: Dasar ilmu Anesthesi

158

tidak ada penelitian yang melaporkan adanya amnesia retrograd. Opioid mungkin digunakan prabedah untuk menimbulkan efek sedasi, mengendalikan hipertensi selama intubasi, dan untuk menurunkan nyeri setelah operasi. Keefektifan opioid dalam menghilangkan kecemasan masih kontroversi. Masalah yang dihubungkan dengan penggunaan opioid adalah hipoventilasi, gatal-gatal, mual dan muntah, yang sangat tidak diinginkan pada pasien bedah rawat jalan. Propofol kadang-kadang digunakan untuk sedasi sebelum induksi anestesi dengan dosis 0,7 mg/kgbb intravena. Kehilangan cairan akibat puasa 6-8 jam tidak menjadi masalah, sehingga tidak perlu dilakukan koreksi cairan yang hilang akibat puasa. Pemasangan kateter intravena hanya untuk pemberian obat-obatan saja. Kebutuhan untuk pemberian cairan operasi pasien bedah rawat jalan masih kontrovesial. Untuk operasi yang sangat singkat seperti miringotomi mungkin tidak diperlukan pemberian cairan dengan pengecualian bila puasanya lama atau tidak mampu minum segera setelah operasi selesai dan bangun penuh. Pasien yang akan menjalani bedah rawat jalan mungkin mempunyai risiko aspirasi isi lambung, walaupun risiko ini tidak lebih besar daripada pasien yang dirawat. Bisa dipertimbangkan pemberian obat-obat profilaksis untuk pasien-pasien tertentu misalnya dengan hiatus hernia, obesitas, atau

parturien. Obat-obat profilaksis untuk mencegah aspirasi adalah:

H2 receptor antagonist: cimetidin, ranitidin, famotidin, nizatidin

Substitusi benzimidazol: omeprazol

Antasida non partikel: sodium sitrat

Obat-obat gastrokinetik: metoclopramid

Pemeriksaan laboratorium sebagai skriningKepercayaan yang salah sebelumnya mengenai pemeriksaan laboratorium untuk skrining prabedah adalah “shotgun labs” merupakan yang terbaik untuk pasien dan dokter. Namun saat ini program bedah rawat jalan secara kontinyu memperbaiki substansi pemeriksaan laboratorium untuk skrining pasien. Kebanyakan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan tidak memberikan kontribusi yang menguntungkan terhadap tatalaksana perioperatif pasien. Walaupun pemeriksaan laboratorium dapat membantu optimalisasi kondisi prabedah pasien ketika suatu penyakit terdeteksi, tetapi terdapat beberapa hal yang yang merupakan kekurangannya, yaitu:

1. Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut sering kali tidak bisa mengungkap kondisi patologi penyakit

2. Nilai abnormal yang kadang terungkap tidak penting dalam memperbaiki pengelolaan serta outcome pasien.

3. Tidak efisien untuk skrining suatu penyakit yang tidak terdeteksi pada

anamnesa dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan baik dan tepat.

4. Nilai abnormal yang didapatkan melalui pemeriksaan laboratorium sering tidak di follow up dengan tepat

5. Nilai false positif pemeriksaan laboratorium akan meningkatkan kecemasan pasien, meningkatkan penundaan operasi serta biaya, dilakukannya pemeriksaan-pemeriksaan serta terapi yang lebih invasiv yang bersifat traumatik pada pasien.

 Blue Cross/Blue Shield memperkirakan sekitar 30 triliun dolar telah dikeluarkan untuk pemeriksaan prabedah di Amerika Serikat tahun 1984, mereka yakin sekitar 12-18 triliun dolar tiap tahun dapat disimpan bila hanya pemeriksaan prabedah yang tepat yang dilakukan. Banyak fasilitas saat ini membatasi pemeriksaan-pemeriksaan prabedah berdasarkan tindakan operasi dan usia pasien, terdapatnya penyakit penyerta, serta riwayat pengobatan. Roizen menyarankan untuk dilakukan seminimal mungkin pemeriksaan laboratorium skrining prabedah pada pasien sehat, tetapi pada pasien dengan baseline disease yang signifikan (hipertensi, CAD, diabetes) memerlukan pemeriksaan lanjutan (EKG, elektrolit, rontgen torak). Pertimbangan usia tidak mengharuskan dilakukan pemeriksaan tambahan lanjutan. Hasil

Page 159: Dasar ilmu Anesthesi

159

penelitian Schein dan kawan-kawan pada pasien geriatri yang akan dilakukan operasi katarak dengan lokal anestesi dan sedasi tidak didapatkan perbedaan yang signifikan terhadap safety pembedahan antara kelompok yang dilakukan pemeriksaan prabedah rutin geriatri (EKG, elektrolit, BUN, kreatinin, glukosa) dan kelompok yang tidak dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan tersebut. Sampai saat ini, Illinois Ambulatory Surgical Treatment Act menyarankan pemeriksaan standar hemoglobin atau hematokrit dan urinalisis pada semua pasien yang akan dilakukan bedah rawat jalan.

Pemilihan teknik anestesiPemilihan suatu teknik anestesi didasarkan pada kondisi kesehatan pasien, prosedur pembedahan serta keinginan dan permintaan pasien, bila memungkinkan. Dalam bedah rawat jalan terdapat beberapa teknik anestesi yang dapat dipilih:

1. Anestesi umum2. Anestesi regional, dengan atau tanpa

sedasi

3. Monitored Anestesi Care (MAC), anestesi lokal yang disertai dengan sedasi, ahli anestesi memonitor tanda vital serta fungsi tubuh pasien

4. Anestesi lokal, mungkin tidak disertai oleh ahli anestesi dalam tim pembedahan

Ahli anestesi akan mendiskusikan resiko dan keuntungan masing-masing teknik dengan

pasien, dan berdasarkan informasi yang dikumpulkan ahli anestesi pada waktu skrining dan evaluasi prabedah pilihan anestesi yang terbaik akan didiskusikan dengan pasien. Teknik anestesi yang optimal pada bedah rawat jalan harus memenuhi kriteria:

1. Menciptakan kondisi pembedahan yang prima.

2. Pemulihan yang cepat (rapid recovery).

3. Tidak ada efek samping pascabedah.

4. Kepuasan pasien.

Disamping itu, teknik anestesi yang dipakai harus mengambil peran dalam peningkatan kualitas serta penurunan biaya, meningkatkan efisiensi penggunaan kamar operasi, serta pemulangan pasien yang lebih cepat tanpa efek samping.

Belakangan, penggunaan Monitored Anesthesia Care (MAC) lebih dipilih oleh banyak ahli anestesi sebagai alternatif dari anestesi umum dan anestesi regional pada bedah rawat jalan. Dikenalkannya obat-obat anestesi yang lebih rapid dan shorter-acting seperti volatile anestesi (desfluran dan sevofluran), analgetik opioid (remifentanil) dan pelemas otot (rapacuronium) memberi peluang bagi ahli anestesi untuk lebih konsisten mencapai kondisi pemulihan yang lebih ideal setelah tindakan anestesi umum. Induksi anestesi sering dilakukan dengan propofol. Propofol menjadi drug of choice

pada anestesi bedah rawat jalan. Setelah bolus saat induksi konsentrasi propofol menurun secara cepat dalam plasma. Propofol juga memiliki klirens metabolik yang cepat, sekitar 10x lebih cepat dibanding thiopental. Rasa sakit akibat suntikan dapat dikurangi dengan pemakaian vena besar atau didahului maupun dicampur pemberiannya dengan lidokain. Propofol juga sering dipakai untuk maintenance anestesi. Pemakaian propofol sebagai maintenance mengurangi insidensi PONV bila dibandingkan dengan maintenance anestesi dengan inhalasi. Etomidat juga sering dipakai pada induksi bedah rawat jalan dengan dosis 0,3 mg/kgbb. Masalah nyeri akibat etomidat sekarang dapat dikurangi dengan mengganti pelarut etomidat dengan trigliserida rantai sedang, sedangkan masalah mioklonus dapat diatasi dengan pemberian fentanil, sufentanil sebelum induksi anestesi. Sevofluran dengan sifat tidak iritatif terhadap saluran napas dan solubility yang rendah dapat digunakan sebagai induksi inhalasi yang cepat dan aman. Insidensi kejadian komplikasi respirasi sangat rendah sedangkan kualitas induksinya sama baik bahkan lebih dibandingkan halotan.6

 Sevofluran dan desfluran merupakan 2 obat anestesi inhalasi yang baru diperkenalkan dan sangat berguna pada anestesi bedah rawat jalan. Kedua obat ini dieliminasi dengan cepat dan menghasilkan recovery yang cepat dari anestesi. Kedalaman anestesi dengan kedua obat ini lebih terkendali. Kekurangannya, obat ini lebih mahal dibanding obat anestesi

Page 160: Dasar ilmu Anesthesi

160

inhalasi lainnya. Tidak seperti sevofluran, desfluran tidak dapat dipergunakan untuk induksi inhalasi karena bersifat iritatif terhadap saluran napas. Pemberian pelemas otot yang bersifat intermediate atau short acting non-depolarizing lebih disukai daripada suksinil kolin karena kemungkinan adanya mialgia, malignant hipertermi, dan hiperkalemia. Walau demikian, suksinil kolin memberikan onset yang paling cepat dan terutama digunakan bila ada risiko aspirasi isi lambung. Reversal pelemas otot non-depolarisasi harus diberikan bila ada keraguan bahwa masih ada efek relaksasi otot. Tetapi harus diingat bahwa pemberian prostigmin dapat meningkatkan kejadian muntah. Opioid yang sering digunakan adalah fentanil untuk tambahan analgesi selama anestesi. Bila tersedia lebih baik remifentanil karena memiliki lama kerja yang lebih singkat dibanding fentanil dan tidak memiliki efek kumulatif. Walaupun pertimbangan pada anestesi bedah rawat jalan harus dicapai rapid recovery dan cost effectiveness menyebabkan penggunaan obat anestesi dibatasi, kejadian awareness dan recall pada bedah rawat jalan dengan anestesi umum tidak meningkat dibanding bedah rawat inap, dengan dosis dan tatalaksana anestesi yang sama. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa anestesi regional lebih aman daripada anestesi

umum. Anestesi regional yang biasa dipakai untuk bedah rawat jalan adalah spinal anestesi, epidural anestesi, caudal anestesi, blok saraf tepi, regional anestesi intravena dan infiltrasi. Faktor utama yang menyebabkan keterlambatan pemindahan pasien (discharge) dengan anestesi spinal sebelumnya adalah pemulihan dari residual blokade motorik, efek simpatolitik dari blok subarakhnoid, berperan dalam delayed ambulation serta void inability. Efek samping ini dapat diminimalisasi dengan pemakaian teknik spinal anestesi mini-dose lidocaine fentanyl, lidokain dosis lebih kecil (15-30 mg) atau bupivakain (3-6 mg) dikombinasi dengan opioid (fentanil 12,5-25 µg atau sufentanil 5-10 µg) menghasilkan efek pemulihan motorik dan bladder function lebih cepat dibanding dosis konvensional anestesi lokal tunggal. Teknik ini mampu meningkatkan cost-effectiveness pada bedah rawat jalan. Tetapi, efek samping seperti pruritus dan nausea akan meningkat dengan penggunaan fentanil walaupun dalam dosis kecil pada blok subarakhnoid. Permasalahan lain dari spinal anestesi termasuk back pain, PDPH, dan transient radicular irritation karena lidokain. Kombinasi antara low cost dan kepuasan pasien yang menggambarkan kualitas terbaik dari prosedur anestesi mungkin dapat dicapai dengan teknik Monitored Anesthesia Care (MAC) dengan syarat anestesi pada prosedur pembedahan tersebut dapat dicapai dengan teknik ini (seperti bedah superficial dan prosedur endoskopi). Perkembangan dalam

teknik sedasi dan analgesi untuk melengkapi anestesi lokal infiltrasi telah meningkatkan penggunaan teknik MAC dalam pembedahan. Kepuasan pasien dengan teknik MAC juga berhubungan dengan efektifitas terhadap pengendalian nyeri dan tidak adanya efek samping pascabedah yang umum terjadi pada teknik anestesi spinal atau anestesi umum. Keberhasilan teknik MAC bukan hanya tergantung dari ahli anestesi tetapi juga kemampuan ahli bedah dalam melakukan infiltrasi lokal yang efektif serta gentle handling terhadap jaringan tubuh selama introperatif. Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa teknik MAC lebih cost-effective daripada anestesi spinal atau anestesi umum.

Konsep Fast-track anesthesia Konsep fast-track dalam pembedahan pertama kali diperkenalkan pada awal tahun 1990. Dengan konsep ini maka pasien dapat pulang lebih cepat dari rumah sakit dan melakukan aktifitas normalnya setelah menjalani operasi. Prinsip utama pada fast-track anesthesia adalah pasien tidak melewati PACU (fase I recovery), pasien langsung dipindahkan dari kamar operasi menuju ruang pemulihan fase 2 (fase II recovery). Fast-track anesthesia tumbuh karena kebutuhan untuk pengendalian biaya kesehatan, tetapi keuntungan paradigma ini lebih besar daripada hanya pengurangan biaya perawatan, termasuk juga outcome dan kepuasan pasien. Meningkatnya penggunaan teknik bedah minimally invasive, perkembangan obat-obat baru termasuk yang mula kerjanya cepat, durasi kerja lebih cepat,

Page 161: Dasar ilmu Anesthesi

161

obat-obatan analgesik dan pelemas otot merupakan bagian dalam perkembangan fast-track anesthesia. Keuntungan fast-track anesthesia:

Pemulihan cepat Mengurangi lama tinggal di rumah

sakit

Mengurangi kebutuhan monitoring dan lembar observasi

Mengizinkan pasien kembali dengan cepat ke lingkungan yang lebih menyenangkan

Mengurangi biaya perawatan di ruang pemulihan

Kerugian fast-track anesthesia: Kehilangan pendapatan rumah sakit Meningkatnya risiko komplikasi

pascabedah

Diperlukan training perawat

Meningkatnya kerja perawat di ruang pemulihan fase 2

Memerlukan pemulihan yang tepat dari anestesi.

 Sebuah kriteria untuk menentukan apakah pasien layak untuk fast-track anesthesia telah dibuat, karena penggunaan Modified Aldrete Score yang biasa digunakan sebagai kriteria discharge pasien dari PACU tidak adekuat digunakan pada pasien bedah rawat jalan

terutama dengan anestesi umum karena tidak mencakup komplikasi yang biasa terjadi di PACU (seperti: nyeri, mual, dan muntah). Didalam sistem skoring tersebut pasien yang layak untuk fast-track adalah pasien dengan nilai dari semua kriteria >12 dan tidak ada nilai 0. Fast-track scoring system baru ini memiliki kelebihan dibanding modified Aldrete’s scoring system dalam penilaian kelayakan pasien bedah rawat jalan untuk bypassing PACU setelah menjalani bedah rawat jalan dengan anestesi umum.

Tabel 1. Fast Track Criteria yang diusulkan untuk menentukan pasien dapat ditransfer langsung dari kamar bedah ke ruang pemulihan fase II.

Kesadaran Nilai

  Sadar penuh 2  Respon terhadap rangsang minimal 1  Respon hanya bila dirangsang fisik 0Aktifitas fisik  Mampu menggerakan semua anggota gerak sesuai perintah

2

  Ada kelemahan pada bagian anggota gerak

1

  Tidak mampu menggerakkan semua anggota gerak

0

Stabilitas hemodinamik  Tekanan darah, ± 15% dari nilai MAP awal

2

  Tekanan darah, 15%–30% dari nilai MAP awal

1

  Tekanan darah, > 30% dari nilai MAP awal

0

Stabilitas respirasi  Mampu bernafas dalam 2

  Takipneu tapi mampu batuk 1  Dispneu dan tidak mampu batuk 0Saturasi oksigen  Saturasi > 90% dengan udara bebas 2  Saturasi > 90% dengan bantuan oksigen via nasal canul

1

  Saturasi < 90% dengan oksigen tambahan

0

Nyeri pascabedah  Tidak ada atau minimal 2  Nyeri sedang sampai berat dengan tambahan analgetik IV

1

  Nyeri berat yang menetap 0Muntah pascabedah  Tidak ada atau mual minimal tanpa muntah

2

  Muntah kadang-kadang 1  Muntah sering dengan derajat sedang sampai berat

0

Nilai total 14

 Penggunaan teknik anestesi yang berhubungan dengan rapid recovery akan menghasilkan lebih sedikit pasien yang tetap tersedasi dalam pada fase awal pascabedah, mengurangi resiko obstruksi jalan napas dan gangguan kardiorespiratori, dan menurunkan intervensi perawat. Dengan menurunnya intervensi dari perawat pada fase awal pascabedah ini maka tenaga perawat dapat dikurangi pada ruang pemulihan, sehingga penghematan biaya dapat dilakukan. Penggunaan analgetik non opioid (anestesi lokal, ketamin, NSAID, COX-2 inhibitor, asetaminofen) serta anti emetik (droperidol, metoclopramid, 5-HT3 antagonist,

Page 162: Dasar ilmu Anesthesi

162

dexametason) secara preemptif akan mengurangi efek samping pascabedah dan mempercepat kedua fase pemulihan setelah bedah rawat jalan.Ahli anestesi memiliki peran penting dalam konsep fast-track dengan pendekatan perioperative medical care. Peranan ahli anestesi tersebut yaitu melalui tindakan dalam pemilihan pengobatan prabedah, obat dan teknik anestesi, penggunaan obat profilaksis untuk meminimalisasi efek samping, serta pemberian obat-obatan untuk memelihara fungsi organ selama dan setelah operasi. Keputusan ahli anestesi sebagai seorang pengelola perioperatif sangat penting bagi tim pembedahan untuk mencapai kesuksesan program fast-track dalam pembedahan.

Pemulihan (Recovery)Pemulihan adalah suatu proses yang secara tradisional dibagi atas 3 bagian yang saling tumpang tindih yaitu early recovery, intermediate recovery, dan late recovery. Early recovery dimulai dari dihentikannya obat anestesi supaya pasien bangun, kembalinya refleks proteksi jalan napas, dan dimulainya aktifitas motorik. Intermediate recovery bila sudah mencapai kriteria untuk dapat dipulangkan ke rumah. Late recovery mulai dari dipulangkan sampai pulihnya fungsi fisiologis ke keadaan seperti sebelum pembedahan. 

Aldrete merancang suatu sistem skoring untuk menentukan kapan pasien fit untuk keluar dari PACU. Nilai skoring 0, 1, atau 2 ditujukan

untuk aktifitas motorik, respirasi, sirkulasi, kesadaran, dan warna kulit. Total skor maksimalnya 10. Penggunaan pulse oksimetri dapat menolong lebih akuratnya indikator oksigenasi, dan diusulkanlah suatu modifikasi skoring aldrete yang mengganti kriteria warna pada Aldrete skor dengan SpO2 pada modifikasi sistem skoring Aldrete.

Table 2. Modified Aldrete Scoring System

Aktifitas: mampu menggerakkan ekstremitas

   4 ekstremitas 2   2 ekstremitias 1   0 ekstremitias 0Respirasi

   Mampu nafas dalam dan batuk 2   Dispneu atau nafas terbats 1   Apneu 0Sirkulasi   BP 6 ± 20 mmHg dari nilai sebelum anestesi

2

   BP 6 ± 20–50 mmHg dari nilai sebelum anestesi

1

   BP 6 ± 50 mmHg dari nilai sebelum anestesi

0

Kesadaran   Sadar penuh 2   Respon bila dipanggil 1   Tidak ada respon 0Saturasi oksigen   Saturasi oksigen > 92% dengan udara bebas

2

   Saturasi oksigen > 90% dengan 1

bantuan oksigen tambahan

   Saturasi oksigen < 90% walaupun dengan oksigen tambahan

0

 Tersediannya obat-obatan anestesi yang lebih cepat onset serta lebih pendek durasinya (seperti propofol, sevofluran, desfluran, dan remifentanil) membuka jalan untuk pemulihan yang lebih cepat setelah anestesi umum, penggunaan analgetik preemtif non opioid (seperti anestesi lokal, ketamin, NSAID, COX-2 inhibitors, ibuprofen, dan parasetamol) serta antiemetik (seperti droperidol, metoklopramid, 5-HT3 antagonist, dan deksametason) akan mengurangi efek samping pascabedah serta akan mempercepat pemulihan pada early dan late recovery pada bedah rawat jalan. Kemajuan teknik bedah rawat jalan telah melahirkan suatu konsep baru yaitu fast-track yang menyebabkan pasien tidak harus melewati PACU untuk menjalani fase I recovery. Dengan teknik fast-track pasien dari kamar bedah langsung di pindahkan ke ruang pemulihan fase II tanpa melalui PACU, sehingga biaya di PACU tidak ada, yang berarti akan menekan biaya sehingga akan menguntungkan pasien. Kriteria yang dipakai untuk fast-track ini berbeda dengan modifikasi sistem Aldrete (tabel 1). Sistem skoring ini mempertimbangkan faktor nyeri dan muntah, suatu efek samping yang sering terjadi di PACU.

Pemulangan (Discharge)

Page 163: Dasar ilmu Anesthesi

163

Program bedah rawat jalan yang sukses tergantung pada pemulangan pasien yang tepat waktu setelah anestesi. Beberapa kriteria yang telah dibuat untuk menentukan kesiapan pasien untuk dipulangkan seperti Guidelines for Safe Discharge After Ambulatory Surgery dan PADSS (Post Anesthesia Disharge Scoring System). PADSS merupakan suatu sistem skoring yang secara objektif menilai kondisi pasien untuk dipulangkan. Modifikasi PADSS dibuat karena dalam kriteria PADSS terdapat ketentuan mampu minum pascabedah, dimana ketentuan minum pascabedah tidak lagi dimasukkan kedalam protokol kriteria pemulangan pasien dan hanya diperlukan pada pasien tertentu. Modifikasi PADSS berdasarkan 5 kriteria, yaitu:

1. Tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, frekuensi napas, temperature)

2. Ambulasi

3. Mual/muntah

4. Nyeri

5. Perdarahan akibat pembedahan

Bila skor mencapai ≥ 9, pasien cukup aman untuk dipulangkan ke rumah.

Tabel 3. Modified PADSS

1. Tanda vital

    2 = sekitar 20% dari nilai prabedah    1 = 20 – 40% dari nilai prabedah    0 = 40% dari nilai prabedah2. Pergerakan    2 = mampu berdiri/tidak ada pusing

    1 = dengan bantuan    0 = tidak ada pergerakan/pusing3. Mual/muntah    2 = minimal    1 = sedang    0 = berat4. Nyeri    2 = minimal    1 = sedang    0 = berat5. Perdarahan    2 = minimal    1 = sedang    0 = berat

Total nilai 10. Bila nilai ≥ 9 pasien dinyatakan bisa dipulangkan

 Tuntutan bahwa pasien harus kencing/voiding memperlambat pemulangan pasien. Pasien bedah rawat jalan yang tidak berisiko terhadap retensi urin aman untuk dipulangkan sebelum mereka mampu untuk kencing. Faktor resiko terjadinya retensi urin pascabedah termasuk:

Riwayat retensi urin pascabedah Anestesi spinal/epidural

Pembedahan pelvis/urologi

Kateterisasi perioperatif

Retensi urin pascabedah dapat disebabkan inhibisi refleks kencing akibat manipulasi bedah, pemberian cairan yang berlebihan sehingga menyebabkan distensi kandung kemih, nyeri, kecemasan, efek sisa dari anestesi spinal atau epidural. 

Menunggu pasien untuk bisa minum tanpa terjadi muntah juga memperlambat pemulangan pasien. Penelitian mengenai masalah ini membuktikan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan terhadap kejadian PONV pada pasien yang telah memiliki toleransi untuk minum dengan yang tidak sebelum pasien dipulangkan.

Pemulangan pasien setelah anestesi regionalSejumlah teknik anestesi regional dapat dipakai untuk bedah rawat jalan, mulai dari anestesi spinal sampai ke blok ekstremitas. Pasien yang dilakukan anestesi regional mempunyai kriteria pemulangan yang sama dengan pasien yang di anestesi umum. Anestesi regional memiliki keuntungan dan masalah pada bedah rawat jalan. Pemulangan pasien dengan regional anestesi lebih cepat daripada anestesi umum. Kejadian PONV, dizziness, dan nyeri yang biasa terjadi pada anestesi umum lebih rendah pada anestesi regional. Anestesi spinal merupakan teknik yang simpel dan reliable dipergunakan secara luas saat ini. Karena short-acting lidokain sering dipakai pada bedah rawat jalan untuk anestesi spinal. Masalahnya lidokain yang dipakai untuk spinal anestesi dapat menyebabkan kejadian TRI (Transient Radicular Irritation). Namun masalah ini dapat dikurangi dengan metode spinal mini-dose, yaitu mencampur lidokain dosis kecil dengan opioid (contohnya lidokain 15-30 mg dengan fentanil 12,5-25 µg).

Page 164: Dasar ilmu Anesthesi

164

Kejadian PDPH (Post Dural Punctre Headache) akibat spinal juga menjadi masalah pada bedah rawat jalan. Penggunaan jarum spinal yang lebih kecil (no. 29) dan jenis pencil point akan mengurangi kejadian tersebut. Sebelum pemulangan pasien bedah rawat jalan dengan anestesi spinal harus yakin bahwa blok sensorik, motorik, dan simpatik telah mengalami regresi. Kriteria yang dapat dipakai untuk menilai hal tersebut termasuk: sensasi normal perianal (S4-5), fleksi plantar, propriosepsi pada ibu jari kaki.

Faktor yang memperlambat pemulangan pasienBeberapa faktor dapat menjadi penyebab lambatnya waktu pemulangan pasien. Meningkatnya umur dihubungkan dengan lambatnya pemulihan, suatu perbedaan umur 10 tahun dihubungkan dengan 2% perubahan lama tinggal. Operasi THT, strabismus, congestive heart failure merupakan prediktor prabedah yang penting untuk lambatnya pemulangan.Sebuah studi menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pemulangan pasien dewasa pada bedah rawat jalan adalah:

Perawat pada ruang pemulihan fase II, merupakan faktor paling penting dalam menentukan waktu pemulangan setelah bedah rawat jalan dengan anestesi umum. Pelatihan perawat yang adekuat, standarisasi tugas perawat, umpan balik yang positif, insentif untuk meningkatkan efisiensi, akan

membawa pengaruh besar dalam menurunkan waktu pemulangan pasien.

Orang dewasa pendamping pasien.

Pengaruh anestesi termasuk pengelolaan nyeri, mual dan muntah serta drowsiness. Pemilihan teknik dan obat-obatan anestesi juga mempunyai pengaruh besar dalam menurunkan waktu pemulangan yang disesuaikan dengan jenis operasi dan jenis kelamin pasien.

Penanganan komplikasi pascabedahPengelolaan nyeriPenanganan yang tidak adekuat terhadap komplikasi pascabedah seperti nyeri dan PONV akan memperlambat waktu pemulangan pasien pada bedah rawat jalan. Kemajuan dalam pengendalian nyeri pascabedah akan mempercepat normalisasi kualitas dan fungsi kehidupan yang biasanya didapatkan setelah berminggu-minggu setelah operasi elektif. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkatan nyeri pada bedah rawat jalan antara lain jenis pembedahan dan anestesi, analgetik yang diberikan saat anestesi, faktor demografi pasien, riwayat analgetik (toleransi analgetik), serta respon emosional dan fisiologi terhadap nyeri itu sendiri. Pengelolaan nyeri pascabedah harus dimulai intraoperatif atau idealnya saat prabedah untuk menjamin pemulihan yang bebas nyeri. 

Penggunaan analgetik opioid pada perioperatif berhubungan dengan kejadian toleransi opioid akut dan hiperalgesia, hipoventilasi, sedasi, mual dan muntah, retensi urin, dan ileus yang akan memperlambat waktu kepulangan pasien dari rumah sakit serta menambah biaya pengobatan.Analgesi multimodal yang dikembangkan sekarang ini melibatkan penggunaan lebih dari satu macam penanganan nyeri guna mendapatkan efek sinergis analgetik dalam upaya menurunkan efek samping yang berhubungan dengan penggunaan opioid. Teknik multimodal analgesi ini terbukti mampu meningkatkan pemulihan serta outcome pasien setelah bedah rawat jalan dan telah menjadi standar dalam pelaksanaan prosedur fast-track. Mengingat banyaknya efek samping yang berhubungan dengan penggunaan opioid sebagai analgetik maka ketertarikan terhadap penggunaan NSAID yang poten (seperti diklofenak, ketorolak) menjadi meningkat, yang terbukti efektif menurunkan kebutuhan obat analgetik oral opioid-containing pada bedah rawat jalan. Obat analgetik non steroid oral yang lebih murah (seperti ibuprofen, naproxen) dapat diterima sebagai alternatif pengganti fentanil dan obat NSAID non selektif parenteral jika diberikan sebagai preemtif. Penambahan ketamin dosis rendah (75-150 µg/kgbb) pada analgetik multimodal akan meningkatkan kerja analgetik pascabedah serta functional outcome setelah operasi orthopedi. Pada bedah rawat jalan nyeri sudah harus terkontrol dengan analgetik oral (seperti

Page 165: Dasar ilmu Anesthesi

165

parasetamol, ibuprofen, parasetamol dengan codein) sebelum pasien dipulangkan. Ibuprofen 800 mg menghasilkan efek analgetik yang lebih baik dibanding parasetamol 800 mg dengan codein 60 mg bila diberikan setiap 8 jam selama 3 hari setelah bedah rawat jalan. Penggunaan ibuprofen secara signifikan juga jarang menyebabkan konstipasi, yang biasa terjadi setelah pemberian codein. Karena penggunaan NSAID yang non selektif (seperti ketorolak) berpengaruh terhadap perdarahan karena mengganggu aggregasi platelet, premedikasi dengan COX-2 inhibitor (seperti celecoxib, rofecoxib, valdecoxib, parecoxib) menjadi makin popular karena tidak berpengaruh terhadap fungsi aggregasi platelet. Pada penggunaan rutin, premedikasi oral dengan rofecoxib 50 mg, celecoxib 400 mg, atau valdecoxib 40 mg merupakan pendekatan yang sederhana dan cost-effective dalam meningkatkan pengendalian nyeri serta mempersingkat waktu pemulangan pasien pada bedah rawat jalan. Idealnya, analgetik non opioid multiple (seperti NSAID, parasetamol, COX-2 inhibitor) dapat dikombinasikan untuk mencapai pengelolaan nyeri yang optimal, serta mungkin tanpa penggunaan opioid.Pemakaian anestesi lokal sebagai analgetik intraoperatif pada MAC juga pada anestesi umum dan anestesi spinal memberikan efek analgesi yang yang sangat baik pada awal pemulihan serta pemulangan pasien. Bahkan infiltrasi lokal pada luka/bekas jahitan

meningkatkan analgesi pascabedah setelah operasi abdominal bawah, ektremitas, dan pembedahan laparoskopi. Teknik analgesi non farmakologi seperti elektroanalgesia (transcutaneus electrical nerve stimulation/TENS), akupunktur, serta percutaneus neuromodulation therapy juga dapat dipergunakan sebagai tambahan dalam pengelolaan nyeri pada bedah rawat jalan. Optimalisasi pengelolaan nyeri sangat diperlukan untuk memaksimalkan keuntungan bedah rawat jalan bagi pasien serta penyedia jasa kesehatan. Obat analgetik serta teknik pengelolaan nyeri non farmakologi yang aman, simpel, serta lebih murah sangat diperlukan dalam pengendalian nyeri yang cost-effective pada bedah rawat jalan.

Pengelolaan PONVPost Operative Nausea and Vomiting (PONV) masih merupakan masalah yang umum pada bedah rawat jalan, dan kejadiannya 20-30% setelah pemberian anestesi umum dan dilaporkan masih terjadi pada 35% pasien setelah dipulangkan kerumah, sehingga mencegah PONV merupakan prioritas bagi pasien.Society for Ambulatory Anesthesia/SAMBA mengeluarkan pedoman pengelolaan PONV. Faktor resiko kejadian PONV pada dewasa termasuk:

Faktor resiko yang berasal dari pasien: wanita, tidak merokok, riwayat PONV sebelumnya, dan mabuk perjalanan.

Faktor resiko anestesi: penggunaan volatile anestesi, pemakaian N2O, penggunaan opioid intraoperatif serta pascabedah.

Faktor pembedahan: lamanya pembedahan (setiap penambahan 30 menit durasi pembedahan akan meningkatkan resiko PONV 60%, sehingga resiko PONV 10% akan meningkat menjadi 16% setelah 30 menit), jenis pembedahan (laparoskopi, laparotomi, operasi payudara, strabismus, bedah plastic, maxillofacial, operasi ginekologi, abdomen, neurology, operasi mata, serta operasi urologi).

Apfel dkk. Menyederhanakan faktor resiko PONV pada pasien dewasa dengan membuat suatu sistem skoring yang terdiri dari 4 kategori yaitu: wanita, tidak merokok, riwayat PONV dan penggunaan opioid pascabedah. Bila 0, 1, 2, 3, atau 4 faktor tersebut ada maka kejadian PONV adalah sekitar 10%, 20%, 40%, 60%, atau 80%. Strategi untuk mengurangi resiko PONV adalah:

Menghindari pemakaian anestesi umum, dengan menggunakan anestesi regional.

Penggunaan propofol untuk induksi serta rumatan anestesi.

Menghindari pemakaian N2O.

Menghindari pemakaian obat anestesi volatil

Page 166: Dasar ilmu Anesthesi

166

Meminimalkan pemakaian opioid intraoperatif dan pascabedah.

Meminimalkan pemakaian prostigmin

Pemberian cairan yang adekuat.

Antiemetik yang digunakan sebagai profilaksis PONV pada pasien dewasa termasuk :

5-hydroxytryptamine (5-HT3) antagonist (seperti ondansetron,

dolasetron, granisetron, dan tropisetron)

Steroid (seperti deksametason)

Phenothiazines (prometazin dan proklorperazin)

Penylethylamine (efedrin)

Butyrophenones (droperidol, haloperidol)

Antihistamin (dimenhidrinat)

Antikolinergik (skopolamin transdermal)

Obat-obat antiemetik ini direkomendasikan pada pasien dengan tingkat resiko moderat sampai resiko tinggi terhadap PONV.

Tabel 4. Dosis serta waktu pemberian obat antiemetik profilaksis

Obat dosis waktu

Dexamethasone 4–5 mg IV At inductionDimenhydrinate 1 mg/kg IV End of surgeryDolasetron 12.5 mg IV End of surgeryDroperidol 0.625–1.25 mg IV End of surgeryEphedrine 0.5 mg/kg IM End of surgeryGranisetron 0.35–1.5 mg IV End of surgeryHaloperidol 0.5–2 mg IM/IV End of surgeryProchlorperazine 5–10 mg IM/IV End of surgeryPromethazineb 6.25–25 mg IV At inductionOndansetron 4 mg IV End of surgeryScopolamine Transdermal patch Prior evening or 4 h

before surgery

Tropisetron 2 mg IV End of surgery

 Kombinasi lebih dari satu jenis profilaksis (multimodal) direkomendasikan pada pasien yang beresiko sedang sampai tinggi terjadinya PONV, dimana terdapat 2 atau lebih faktor resiko. Dalam kombinasi tersebut harus terdiri dari obat dengan mekanisme kerja yang berbeda-beda. Strategi multimodal juga termasuk penggunaan propofol dan teknik analgesi berbasis anestesi lokal, pemberian

cairan yang adekuat, serta meminimalkan penggunaan opioid selama perioperatif. Penggunaan antiemetik profilaksis non farmakologi (akupunktur, transcutaneous electrical nerve stimulation, acupoint stimulation, dan acupressure) juga memperlihatkan hasil yang efektif dalam pengelolaan PONV. 

Jika PONV terjadi pascabedah, antiemetik yang diberikan sebagai terapi harus dengan farmakologi yang berbeda dari antiemetik profilaksis yang telah diberikan, antiemetik yang direkomendasikan adalah antagonis 5-HT3, terbukti adekuat pada terapi PONV. Dosis antagonis 5-HT3 yang digunakan untuk terapi lebih kecil dibanding dosis profilaksis: ondansetron 1,0 mg, dolasetron 12,5 mg, granisetron 0,1 mg, dan tropisetron 0,5 mg.

Page 167: Dasar ilmu Anesthesi

167

Alternatif terapi lain adalah dexametason 2-4 mg, droperidol 0,625 mg IV, atau prometazin 6,25-12,5 mg IV. Propofol 20 mg dapat juga dipakai sebagai rescue therapy PONV pada pasien yang masih berada di PACU, sama efektifnya dengan ondansetron. Kejadian mual muntah setelah pasien dipulangkan juga cukup tinggi, 17% mengalami mual dan 8% mengalami muntah setelah pasien dipulangkan pada bedah rawat jalan. Untuk profilaksis kejadian ini dapat diberikan ondansetron 4 mg atau deksametason 4-10 mg. Sebuah penelitian memperlihatkan bahwa pencegahan mual muntah setelah pemulangan cukup efektif dengan pemberian ondansetron disintegrating tablet/ ODT, acupoint stimulation, dan skopolamin transdermal. Ondansetron ODT terbukti secara signifikan mengurangi kejadian mual muntah setelah pemulangan pasien dan meningkatkan kepuasan pasien terhadap pengelolaan PONV pada bedah rawat jalan. Dosis ondasetron ODT yang digunakan sama dengan ondansetron tablet oral biasa, 8 mg.

Penatalaksanaan setelah pasien pulang dari rumah sakitPasien bedah rawat jalan harus disertai orang dewasa yang bertanggung jawab membawanya pulang dan menjaganya dirumah karena akan mengurangi kejadian adanya efek yang tidak diinginkan, meningkatkan kenyamanan pasien. Dianjurkan pasien harus diberikan instruksi tertulis tentang prosedur diet, obat, aktifitas, dan nomor telepon bila ada kejadian emergensi. Pasien secara rutin diminta untuk

tidak minum alkohol, menyetir, membuat keputusan penting dalam 24 jam. Komplikasi pascabedah harus sudah tertangani sebelum pasien dipulangkan. Pengelolaan nyeri harus optimal dan analgetik peroral idealnya mampu memberikan analgesi yang adekuat setelah pasien dipulangkan. Strategi multimodal dalam pengelolaan nyeri memberikan hasil yang efektif dalam meningkatkan outcome pasien. Mual dan muntah setelah pasien dipulangkan dapat dicegah dengan pemberian ondansetron ODT. Untuk hasil maksimal dalam penanganan mual dan muntah setelah pemulangan pasien, pencegahan mual muntah dengan obat antiemetik profilaksis sebelumnya harus efektif untuk mencegah kejadian PONV termasuk penerapan multimodal antiemetik khususnya pada pasien yang mempunyai resiko cukup tinggi terjadinya PONV. Faktor kenyamanan pasien merupakan salah satu tujuan utama bedah rawat jalan. Faktor yang menentukan kenyamanan pasien adalah keramahan personil kamar bedah, diskusi ahli bedah dengan pasien tentang apa yang ditemukan saat pembedahan, pengelolaan PONV dan nyeri pascabedah, pemasangan jalur vena yang adekuat, dan menghindari keterlambatan.

Kesimpulan Kemajuan dalam bidang anestesi dan

teknik pembedahan menyebabkan teknik bedah rawat jalan berkembang pesat, jumlah pasien bedah rawat jalan juga terus mengalami peningkatan.

Peranan ahli anestesi dalam pengelolaan perioperatif sangat penting dalam tim bedah rawat jalan dalam mencapai keberhasilan teknik bedah rawat jalan.

Evaluasi pada setiap proses dalam anestesi pada bedah rawat jalan (evaluasi prabedah, skrining laboratorium, pemilihan obat dan teknik anestesi, efek pada outcome pasien, efek pada perawatan pascabedah, serta pengaruh secara keseluruhan terhadap pelayanan) melahirkan kontroversi-kontroversi dalam rangka mencari strategi terbaik untuk meningkatkan kualitas bedah rawat jalan agar lebih cost-effectiveness, aman, serta tetap menjaga kualitas pelayanan sehingga menjamin kepuasan pasien.

Pendekatan multimodal serta penggunaan obat-obat dan teknik non farmakologi yang lebih aman, sederhana, dan lebih cost effective dalam pengelolaan komplikasi pascabedah (nyeri dan mual muntah) akan memaksimalkan keuntungan teknik bedah rawat jalan serta outcome pasien yang lebih baik.

BAB XV

Page 168: Dasar ilmu Anesthesi

168

Anestesi Geriatri

SISTEM PERNAPASAN

Penurunan elastisitas jaringan paru, menyebabkan distensi alveoli berlebihan yang berakibat mengurangi permukaan alveolar, sehingga menurunkan efisiensi pertukaran gas.

Ventilasi masker lebih sulit.

Arthritis sendi temporomandibular atau tulang belakang servikal mempersulit intubasi.

Tidak adanya gigi, sering mempermudah visualisasi pita suara selama laringoskopi.

Penurunan progresif refleks protektif laring dapat menyebabkan pneumonia aspirasi.

FUNGSI METABOLIK DAN ENDOKRIN Konsumsi oksigen basal dan maksimal

menurun. Produksi panas menurun, kehilangan

panas meningkat, dan pusat pengatur temperatur hipotalamik mungkin kembali ke tingkat yang lebih rendah.

Peningkatan resistensi insulin menyebabkan penurunan progresif terhadap kemampuan menangani asupan glukosa.

FUNGSI GINJAL Aliran darah ginjal dan massa ginjal

menurun. (massa korteks diganti oleh lemak dan jaringan fibrotik). Laju filtrasi

glomerulus dan bersihan kreatinin (creatinin clearance) menurun

Gangguan penanganan natrium, kemampuan konsentrasi, dan kapasitas pengenceran memberi kecenderungan pasien usia lanjut untuk mengalami dehidrasi atau overload cairan.

Fungsi ginjal menurun, mempengaruhi kemampuan ginjal untuk mengekskresikan obat.

Penurunan kemampuan ginjal untuk menangani air dan elektrolit membuat penatalaksanaan cairan yang tepat menjadi lebih sulit; pasien usia tua lebih cenderung untuk mengalami hipokalemia dan hiperkalmeia. Hal ini diperparah oleh penggunaan diuretik yang sering pada populasi usia lanjut.

FUNGSI GASTROINTESTINAL Berkurangnya massa hati berhubungan

dengan penurunan aliran darah hepatik, menyebabkan Fungsi hepatik juga menurun sebanding dengan penu-runan massa hati.

Biotransformasi dan produksi albumin menurun.

Kadar kolinesterase plasma berkurang.

Ph lambung cenderung meningkat, sementara pengosongan lambung memanjang.

SISTEM SARAF Aliran darah serebral dan massa otak

menurun sebanding dengan kehilangan

jaringan saraf. Autoregulasi aliran darah serebral tetap terjaga.

Aktifitas fisik tampaknya mempunyai pengaruh yang positif terhadap terjaganya fungsi kognitif.

Degenerasi sel saraf perifer menyebabkan kecepatan konduksi memanjang dan atrofi otot skelet.

Penuaan dihubungkan dengan peningkatan ambang rangsang hampir semua rangsang sensoris misalnya, raba, sensasi suhu, proprioseptif, pende-ngaran dan penglihatan.

Volume anestetik epidural yang diberikan cenderung mengakibatkan penyebaran yang lebih luas ke arah kranial, tetapi dengan durasi analgesia dan blok motoris yang singkat. Sebaliknya, lama kerja yang lebih panjang dapat diharapkan dari anestetik spinal.

Pasien usia lanjut sering kali memerlukan waktu yang lebih lama untuk pulih secara sempurna dari efek SSP anestetik umum, terutama jika mereka mengalami kebingungan atau disorientasi preoperatif.

MUSKULOSKELETAL

Massa otot berkurang. Pada tingkat mikroskopik, neuromuskuler junction menebal.

Kulit mengalami atrofi akibat penuaan dan mudah mengalami trauma akibat pita

Page 169: Dasar ilmu Anesthesi

169

berperekat, bantalan elektrokauter, dan elektroda elektrokardiografi.

Vena seringkali lemah dan mudah ruptur pada infus intravena.

Sendi yang mengalami arthritis dapat mengganggu pemberian posisi (misalnya, litotomi) atau anestesi regional (misalnya, blok subarakhnoid).

PERUBAHAN FARMAKOLOGI TERKAIT UMUR

Distribusi dan eliminasi juga dipengaruhi oleh terganggunya ikatan protein plasma. Albumin yang cenderung berikatan dengan obat yang bersifat asam (misalnya barbiturat, benzodiazepin, agonis opioid), menurun. α1-asam glikoprotein, yang berikatan dengan obat yang bersifat basa (misalnya, anestetik lokal), meningkat.

Perubahan farmakodinamik utama adalah penurunan kebutuhan anestetik, ditunjukkan oleh MAC yang rendah. Titrasi hati-hati bahan anestetik mem- bantu menghindari efek samping dan durasi yang panjang; bahan kerja singkat seperti propofol, desflurane, remifentanil, dan suksinilkolin sangat berguna pada pasien usia lanjut.

Obat yang secara bermakna tidak tergantung pada fungsi hepatik dan ginjal atau aliran darah, seperti mivacurium, atracurium, dan cistracurim dapat berguna.

ANESTETIK INHALASI

MAC untuk agen inhalasi berkurang sekitar 4% per dekade umur setelah usia 40 tahun. Sebagai contoh, MAC halotan pada usia 80 tahun diharapkan menjadi 0,65 (0,77-[0,77 x 4% x 4]).

Onset kerja menjadi lebih cepat jika curah jantung berkurang, tetapi akan lebih lambat jika terdapat gangguan ventilasi/perfusi yang signifikan.

Efek depresan miokardial dari anestetik gas bertambah pada pasien usia lanjut, sementara kecenderungan takikardi dari isofluran dan desfluran mele- mah. Berlawanan dengan efeknya pada pasien yang lebih muda, isofluran mengurangi curah jantung dan denyut jantung pada pasien usia lanjut.

Pemulihan dari anestesi yang menggunakan anestetik gas kemungkinan memanjang sebab peningkatan volume distribusi (peningkatan lemak tubuh), penurunan fungsi hepatik (penurunan metabolisme halotan) dan penurunan pertukaran gas paru.

BAHAN ANESTETIK NON VOLATILE

Pasien usia lanjut menunjukkan kebutuhan dosis barbiturat, opioid agonis, dan benzodiazepin yang lebih rendah. Sebagai contoh, umur 80 membutuhkan kurang dari setengah dosis induksi tiopental dibandingkan dengan kebutuhan pada umur 20-an.

Benzodiazepin cenderung berakumulasi dalam penyimpanan lemak, volume

distribusinya lebih besar pada pasien usia lanjut sehingga eliminasi dari tubuh juga lambat. Waktu paruh lebih dari 36 jam dapat menyebabkan kebingungan selama beberapa hari setelah pemberian diazepam.

PELUMPUH OTOT

Penurunan curah jantung dan aliran darah otot yang lambat dapat menyebabkan pemanjangan onset blokade neuromuskuler sampai 2 kali lipat pada pasien usia lanjut.

Pemulihan dari pelumpuh otot nondepolarisasi yang tergantung pada ekskresi ginjal (misalnya, metokurin, pankuronium, doksakurium, tubokurarin) mungkin tertunda akibat menurunnya bersihan obat.

Demikian juga, penurunan ekskresi hepatik akibat kehilangan massa hati memperpanjang waktu paruh eliminasi dan lama kerja rokuronium dan vekuronium.

Pria usia lanjut dapat menunjukkan sedikit pemanjangan efek suksinilkolin akibat kadar kolinesterase plasma mereka yang rendah.

Page 170: Dasar ilmu Anesthesi

170

BAB XVI

Anestesi pada Obstetri dan Ginekologi

PERSIAPAN PREOPERASI / PREANESTESITujuan

1. Mengenal pasien, mengetahui masalah saat ini, mengetahui riwayat penyakit dahulu serta keadaan / masalah yang mungkin menyertai pada saat ini.

2. Menciptakan hubungan dokter-pasien

3. Menyusun rencana penatalaksanaan sebelum, selama dan sesudah anestesi / operasi

4. Informed consent

Penilaian catatan medik (chart review) 1. Membedakan masalah obstetri /

ginekologi dengan masalah non-obstetri yang terjadi pada kehamilan.

2. Jenis operasi yang direncanakan

3. Indikasi / kontraindikasi

4. Ada /tidak kemungkinan terjadinya komplikasi, faktor penyulit

5. Obat-obatan yang pernah / sedang / akan diberikan untuk masalah saat ini yang kemungkinan dapat berinteraksi dengan obat / prosedur anestesi

6. Hasil-hasil pemeriksaan penunjang / laboratorium yang diperlukan

Pemeriksaan pasien Anamnesis : Penting mengumpulkan data tambahan tentang riwayat penyakit yang dapat menjadi penyulit / faktor risiko tindakan anestesi (asma, hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal, gangguan pembekuan darah, dsb), riwayat operasi / anestesi sebelumnya, riwayat alergi, riwayat pengobatan, kebiasaan merokok / alkohol / obat-obatan.Pemeriksaan fisik : Tinggi / berat badan, tanda vital lengkap, kepala / leher (perhatian KHUSUS pada mulut / gigi / THT / saluran napas atas, untuk airway maintenance selama anestesi / operasi), jantung / paru / abdomen / ekstremitas.Pada kasus obstetri / kasus non-obstetri dalam kehamilan, penting dilakukan : pemeriksaan obstetri (umumnya telah dilakukan oleh dokter obstetri), pemantauan kesejahteraan janin (dengan fetal monitoring). Menetapkan rencana anestesi

1. Konsultasi dengan dokter yang akan melakukan tindakan obstetrik.

2. Penjelasan kepada pasien : metode, kemungkinan risiko, cara, persiapan (diet, puasa, premedikasi), pemulihan, dsb.

Page 171: Dasar ilmu Anesthesi

171

PENTING DIKETAHUI : FARMAKOLOGI OBAT-OBAT (uterotonik / tokolitik, vasopresor / vasodilator, , anestesi, analgesi, musclerelaxant, dsb)Untuk detail nya, baca sendiri yaaaaa !!!.

ANESTESIA / ANALGESIA UNTUK KASUS OBSTETRI Pertimbangan : Fisiologi Kehamilan / Persalinan (Maternal Physiology) Sistem pernapasan Perubahan pada fungsi pulmonal, ventilasi dan pertukaran gas. Functional residual capacity menurun sampai 15-20%, cadangan oksigen juga berkurang. Pada saat persalinan, kebutuhan oksigen (oxygen demand) meningkat sampai 100%.Menjelang / dalam persalinan dapat terjadi gangguan / sumbatan jalan napas pada 30% kasus, menyebabkan penurunan PaO2 yang cepat pada waktu dilakukan induksi anestesi, meskupun dengan disertai denitrogenasi. Ventilasi per menit meningkat sampai 50%, memungkinkan dilakukannya induksi anestesi yang cepat pada wanita hamil.

Sistem kardiovaskularPeningkatan isi sekuncup / stroke volume sampai 30%, peningkatan frekuensi denyut jantung sampai 15%, peningkatan curah jantung sampai 40%. Volume plasma meningkat sampai 45% sementara jumlah eritrosit meningkat hanya sampai 25%, menyebabkan terjadinya dilutional anemia of

pregnancy.Meskipun terjadi peningkatan isi dan aktifitas sirkulasi, penekanan / kompresi vena cava inferior dan aorta oleh massa uterus gravid dapat menyebabkan terjadinya supine hypertension syndrome. Jika tidak segera dideteksi dan dikoreksi, dapat terjadi penurunan vaskularisasi uterus sampai asfiksia janin.Pada persalinan, kontraksi uterus / his menyebabkan terjadinya autotransfusi dari plasenta sebesar 300-500 cc selama kontraksi. Beban jantung meningkat, curah jantung meningkat, sampai 80%.Perdarahan yang terjadi pada partus pervaginam normal bervariasi, dapat sampai 400-600 cc. Pada sectio cesarea, dapat terjadi perdarahan sampai 1000 cc. Meskipun demikian jarang diperlukan transfusi. Hal itu karena selama kehamilan normal terjadi juga peningkatan faktor pembekuan VII, VIII, X, XII dan fibrinogen sehingga darah berada dalam hypercoagulable state.

Ginjal Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus meningkat sampai 150% pada trimester pertama, namun menurun sampai 60% di atas nonpregnant state pada saat kehamilan aterm. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh aktifitas hormon progesteron.Kadar kreatinin, urea dan asam urat dalam darah mungkin menurun namun hal ini dianggap normal.Pasien dengan preeklampsia mungkin berada dalam proses menuju kegagalan fungsi ginjal meskipun pemeriksaan laboratorium mungkin

menunjukkan nilai "normal".

Sistem gastrointestinalUterus gravid menyebabkan peningkatan tekanan intragastrik dan perubahan sudut gastroesophageal junction, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya regurgitasi dan aspirasi pulmonal isi lambung. Sementara itu terjadi juga peningkatan sekresi asam lambung, penurunan tonus sfingter esophagus bawah serta perlambatan pengosongan lambung. Enzim-enzim hati pada kehamilan normal sedikit meningkat. Kadar kolinesterase plasma menurun sampai sekitar 28%, mungkin akibat hemodilusi dan penurunan sintesis. Pada pemberian suksinilkolin dapat terjadi blokade neuromuskular untuk waktu yang lebih lama. Lambung HARUS selalu dicurigai penuh berisi bahan yang berbahaya (asam lambung, makanan) tanpa memandang kapan waktu makan terakhir.

Sistem saraf pusatAkibat peningkatan endorphin dan progesteron pada wanita hamil, konsentrasi obat inhalasi yang lebih rendah cukup untuk mencapai anestesia; kebutuhan halotan menurun sampai 25%, isofluran 40%, metoksifluran 32%. Pada anestesi epidural atau intratekal (spinal), konsentrasi anestetik lokal yang diperlukan untuk mencapai anestesi juga lebih rendah. Hal ini karena pelebaran vena-vena epidural pada kehamilan menyebabkan ruang subarakhnoid dan ruang epidural menjadi lebih sempit.Faktor yang menentukan yaitu peningkatan

Page 172: Dasar ilmu Anesthesi

172

sensitifitas serabut saraf akibat meningkatnya kemampuan difusi zat-zat anestetik lokal pada lokasi membran reseptor (enhanced diffusion).

Transfer obat dari ibu ke janin melalui sirkulasi plasentaJuga menjadi pertimbangan, karena obat-obatan anestesia yang umumnya merupakan depresan, dapat juga menyebabkan depresi pada janin. Harus dianggap bahwa SEMUA obat dapat melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin. (baca juga catatan special aspects of perinatal pharmacology)

TINDAKAN ANESTESI Anestesi / Analgesi RegionalAnalgesi / blok epidural (lumbal) : sering digunakan untuk persalinan per vaginam.Anestesi epidural atau spinal : sering digunakan untuk persalinan per abdominam / sectio cesarea.

Keuntungan : 1. Mengurangi pemakaian narkotik

sistemik sehingga kejadian depresi janin dapat dicegah / dikurangi.

2. Ibu tetap dalam keadaan sadar dan dapat berpartisipasi aktif dalam persalinan.

3. Risiko aspirasi pulmonal minimal (dibandingkan pada tindakan anestesi umum)

4. Jika dalam perjalanannya diperlukan sectio cesarea, jalur obat anestesia regional sudah siap.

Kerugian :

1. Hipotensi akibat vasodilatasi (blok simpatis)

2. Waktu mula kerja (time of onset) lebih lama

3. Kemungkinan terjadi sakit kepala pasca punksi.

4. Untuk persalinan per vaginam, stimulus nyeri dan kontraksi dapat menurun, sehingga kemajuan persalinan dapat menjadi lebih lambat.

Kontraindikasi :1. Pasien menolak 5. Sepsis2. Insufisiensi utero-plasenta 6.

Gangguan pembekuan

3. Syok hipovolemik 7. Kelainan SSP tertentu

4. Infeksi / inflamasi / tumor pada lokasi injeksi

Teknik :1. Pasang line infus dengan diameter

besar, berikan 500-1000 cc cairan kristaloid (RingerLaktat).

2. 5-30 menit sebelum anestesi, berikan antasida

3. Observasi tanda vital

4. Epidural : posisi pasien lateral dekubitus atau duduk membungkuk, dilakukan punksi antara vertebra L2-L5 (umumnya L3-L4) dengan jarum / trokard. Ruang epidural dicapai dengan

tehnik "Lost of Resistensi" pada saat jarum menembus ligamentum flavum.

5. Spinal / subaraknoid : posisi lateral dekubitus atau duduk, dilakukan punksi antara L3-L4 (di daerah cauda equina medulla spinalis), dengan jarum / trokard. Setelah menembus ligamentum flavum (hilang tahanan), tusukan diteruskan sampai menembus selaput duramater, mencapai ruangan subaraknoid. Identifikasi adalah dengan keluarnya cairan cerebrospinal, jika stylet ditarik perlahan-lahan.

6. Kemudian obat anestetik diinjeksikan ke dalam ruang epidural / subaraknoid.

7. Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik pada daerah operasi, menggunakan jarum halus atau kapas.

8. Jika dipakai kateter untuk anestesi, dilakukan fiksasi. Daerah punksi ditutup dengan kasa dan plester.

9. Kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi / tindakan selanjutnya.

Obat anestetik yang digunakan : lidocain 1-5%, chlorprocain 2-3% atau bupivacain 0.25-0.75%. Dosis yang dipakai untuk anestesi epidural lebih tinggi daripada untuk anestesi spinal.

Komplikasi yang mungkin terjadi :1. Jika terjadi injeksi subarakhnoid yang

tidak diketahui pada rencana anestesi

Page 173: Dasar ilmu Anesthesi

173

epidural, dapat terjadi total spinal anesthesia, karena dosis yang dipakai lebih tinggi. Gejala berupa nausea, hipotensi dan kehilangan kesadaran, dapat sampai disertai henti napas dan henti jantung. Pasien harus diatur dalam posisi telentang / supine, dengan uterus digeser ke kiri, dilakukan ventilasi O2 100% dengan mask disertai penekanan tulang cricoid, kemudian dilakukan intubasi. Hipotensi ditangani dengan memberikan cairan intravena dan ephedrine.

2. Injeksi intravaskular ditandai dengan gangguan penglihatan, tinitus, dan kehilangan kesadaran. Kadang terjadi juga serangan kejang. Harus dilakukan intubasi pada pasien, menggunakan 1.0 - 1.5 mg/kgBB suksinilkolin, dan dilakukan hiperventilasi untuk mengatasi asidosis metabolik.

3. Komplikasi neurologik yang sering adalah rasa sakit kepala setelah punksi dura. Terapi dengan istirahat baring total, hidrasi (>3 L/hari), analgesik, dan pengikat / korset perut (abdominal binder).

Tindakan Anestesi UmumTindakan anestesi umum digunakan untuk persalinan per abdominam / sectio cesarea.

Indikasi : 1. Gawat janin.

2. Ada kontraindikasi atau keberatan terhadap anestesia regional.

3. Diperlukan keadaan relaksasi uterus.

Keuntungan :1. Induksi cepat.2. Pengendalian jalan napas dan

pernapasan optimal.

3. Risiko hipotensi dan instabilitas kardiovaskular lebih rendah.

Kerugian :1. Risiko aspirasi pada ibu lebih besar.2. Dapat terjadi depresi janin akibat

pengaruh obat.

3. Hiperventilasi pada ibu dapat menyebabkan terjadinya hipoksemia dan asidosis pada janin.

4. Kesulitan melakukan intubasi tetap merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas maternal.

Teknik :1. Pasang line infus dengan diameter

besar, antasida diberikan 15-30 menit sebelum operasi, observasi tanda vital, pasien diposisikan dengan uterus digeser / dimiringkan ke kiri.

2. Dilakukan preoksigenasi dengan O2 100% selama 3 menit, atau pasien diminta melakukan pernapasan dalam sebanyak 5 sampai 10 kali.

3. Setelah regio abdomen dibersihkan dan dipersiapkan, dan operator siap, dilakukan induksi dengan 4 mg/kgBB tiopental dan 1.5 mg/kgBB suksinilkolin.

4. Dilakukan penekanan krikoid, dilakukan intubasi, dan balon pipa endotrakeal dikembangkan. Dialirkan ventilasi dengan tekanan positif.

5. O2-N2O 50%-50% diberikan melalui inhalasi, dan suksinilkolin diinjeksikan melalui infus. Dapat juga ditambahkan inhalasi 1.0% enfluran, 0.75% isofluran, atau 0.5% halotan, sampai janin dilahirkan, untuk mencegah ibu bangun.

6. Obat inhalasi dihentikan setelah tali pusat dijepit, karena obat-obat tersebut dapat menyebabkan atonia uteri.

7. Setelah itu, untuk maintenance anestesi digunakan teknik balans (N2O/narkotik/relaksan), atau jika ada hipertensi, anestetik inhalasi yang kuat juga dapat digunakan dengan konsentrasi rendah.

8. Ekstubasi dilakukan setelah pasien sadar.

9. Catatan ..... !. Jika terjadi hipertonus uterus, sementara diperlukan relaksasi uterus yang optimal, hal ini menjadi indikasi untuk induksi cepat dan penggunaan anestetik inhalasi.

Page 174: Dasar ilmu Anesthesi

174

Pada kasus-kasus obstetri patologi yang memerlukan obat-obatan / penanganan medik selain anestesi, diberikan sebagaimana seharusnya.Contoh :

1. Pada pre-eklampsia, diberikan juga vasodilator, magnesiumsulfat.

2. Pada infeksi atau kemungkinan infeksi, diberikan antibiotika.

3. Pada keadaan umum / tanda vital yang buruk, misalnya syok, hipoksia, ditatalaksana dengan oksigen, cairan, obat-obatan, dan sebagainya.

ANESTESIA / ANALGESIA UNTUK OPERASI NON-OBSTETRI Pada Masa Kehamilan (NON-OBSTETRICAL SURGERY DURING PREGNANCY)Sekitar 1-5% wanita hamil mengalami masalah yang tidak berhubungan secara langsung dengan kehamilannya, yang memerlukan tindakan operasi (misalnya : trauma, appendiksitis, dsb dsb).Mortalitas / morbiditas maternal : tidak berbeda signifikan dengan tindakan anestesi / operasi pada wanita yang tidak hamil.Mortalitas / morbiditas perinatal : LEBIH TINGGI signifikan, antara 5-35%. Pada kasus gawat darurat, mortalitas maternal dan perinatal SANGAT TINGGI (lihat catatan management of injured pregnant patient). Pertimbangan tindakan anestesi untuk bedah non-obstetri pada masa kehamilan :

1. Keselamatan ibu (prioritas utama).2. Usaha mempertahankan kehamilan.

3. Usaha mempertahankan fisiologi sirkulasi utero-plasenta yang optimal.

4. Pencegahan sedapat mungkin, pemakaian obat-obatan yang memiliki efek depresi, efek hambatan pertumbuhan atau efek teratogen terhadap janin.

Anjuran / pertimbangan :1. Operasi elektif sebaiknya ditunda

sedapat mungkin sampai 6 minggu pascapersalinan (setelah masa nifas, di mana semua perubahan fisiologis akibat kehamilan diharapkan telah kembali pada keadaan normal).

2. Operasi semi-urgent sebaiknya ditunda sampai trimester kedua atau ketiga.

3. Teknik anestesia regional (terutama spinal) lebih dianjurkan, karena paparan / exposure obat-obatan terhadap janin relatif paling minimal.

4. Premedikasi minimal : barbirat lebih dianjurkan dibandingkan benzodiazepin; narkotik dapat digunakan untuk analgesia.

5. Untuk pasien yang direncanakan anestesia dengan N2O, berikan suplementasi asam folat (N2O dapat menghambat sintesis dan metabolisme asam folat).

6. Jika operasi dilakukan dalam masa kehamilan, lanjutkan pemeriksaan antenatal dengan perhatian khusus

pada fetal heart monitoring dan penilaian aktifitas uterus, untuk deteksi kemungkinan persalinan preterm pascaoperasi.

ANESTESIA / ANALGESIA UNTUK KASUS GINEKOLOGIKuretaseUntuk tindakan kuretase, digunakan obat yang diberikan melaui intravena:

1. Analgetika (pethidin 1-2 mg/kgbb, dan/atau neuroleptika ketamin HCl 0.5 mg/kgbb, dan/atau tramadol 1-2 mg/kgbb)

2. Sedativa (diazepam 10 mg atau Misazolam 2 - 5 mg )

3. Atropin sulfat (0.25-0.5 mg/ml)

Untuk meningkatkan kontraksi uterus digunakan ergometrin maleat.

Untuk operasi ginekologi dengan laparotomi, digunakan anestesia umum. LaparoskopiUntuk tindakan laparoskopi, diperlukan keadaan khusus :

1. Pengisian rongga abdomen dengan udara (pneumoperitoneum)

2. Kadang diperlukan posisi Trendelenburg ekstrim.

3. Kadang digunakan elektrokoagulasi.

Tujuan anestesi pada laparoskopi adalah :1. Mencegah peningkatan tekanan parsial

CO2 dalam darah (PaCO2) pada insuflasi abdomen dengan gas CO2.

Page 175: Dasar ilmu Anesthesi

175

2. Mengurangi potensial kejadian aritimia akibat hiperkarbia dan asidosis.

3. Mempertahankan stabilitas kardiovaskular pada keadaan peningkatan tekanan intraabdominal yang besar akibat insuflasi CO2 (umumnya tekanan naik sampai 20-25 cmH2O, dapat sampai 30-40 cm H2O).

4. Menciptakan relaksasi otot yang adekuat untuk membantu tindakan operasi.

Pengisian rongga peritoneum dengan CO2 dapat menyebabkan peningkatan PaCO2 jika pernapasan tidak dikendalikan. Kelebihan CO2 dapat diatasi dengan kendali frekuensi pernapasan 1.5 kali di atas frekuensi basal. Peningkatan tekanan intraabdominal akibat insuflasi gas dapat menyebabkan muntah dan aspirasi, serta peningkatan tekanan vena sentral dan curah jantung sekunder akibat redistribusi sentral volume darah. Tekanan intraabdominal sampai 30-40 cm H2O sebaliknya dapat menyebabkan penurunan tekanan vena sentral dan curah jantung dengan cara menurunkan pengisian jantung kanan.Metode yang dianjurkan adalah anestesi dengan N2O-O2 perbandingan 75%-25% inhalasi, dengan anestetik narkotik dan musclerelaxant. Dapat juga digunakan tambahan anestesi inhalasi dalam konsentrasi rendah, seperti 0.5-1.0% isofluran atau enfluran. Jika diperlukan, anestesia lokal blok regio periumbilikal dapat dilakukan dengan 10-15 cc bupivacain 0.5%. Sedasi ringan dapat diberikan.

Fertilisasi in vitro

Untuk aspirasi oosit secara laparoskopi, digunakan anestesi yang sesuai.Untuk aspirasi oosit dengan panduan ultrasonografi, dapat digunakan anestesi lokal regio suprapubik dengan bupivacain 0.5% 10 - 15 cc, disertai tambahan analgesi dan sedasi dengan benzodiazepin kombinasi bersama fentanil, meperidin atau morfin dosis rendah. 

Pediatrik Neuroanestesia

Menangani pasien bedah saraf tidak hanya memerlukan pengetahuan tentang anestesi umum bedah saraf tetapi juga memahami anestesi anak dan ketidak normalan saraf PERTIMBANGAN PATOFISIOLOGI UMUM

Basic tubular dan multi ventrikel terbentuk saat trimester pertama, tetapi koneksi neural, struktur pendukung dan mielinisasi terjadi pada semester akhir.

Berat otak akan meningkat dua kalinya saat 6 bulan pertama dan pada tahun kedua akan mencapai 80% berat optimal.

Pertumbuhan itu membutuhkan banyak oksigen sehingga bila terjadi hipoksia atau iskemia akan terjadi mikrocephali dan defisit neurologis.

Critical blood flow adalah 15 – 20 cc/ 100g/ menit

Produksi CSF adalah 0.35 ml/menit dengan perkiraan volume subarakhnoid pada anak sekitar 50 – 150 cc.

Karena tekanan darah pada anak cenderung rendah maka autoregulasi juga muncul pada tekanan yang rendah.

CO2 arterial merupakan komponen penentu utama dari CBF pada autoregulasi normal.

Tekanan oksigen arteria juga mempengaruhi CBF, lebih kecil dari pada karbondioksida.

Hipoksia pada anak yang lebih tua dapat meningkatkan CBF dimana pada infant hal ini terjadi saat tekanan oksigen sangat rendah.

Iskemia dan asidosis juga mempengaruhi CBF sehingga autoregulasi tidak berjalan pada bayi yang sakit

Laju metabolik cerebral juga mempengaruh CBF, kenaikan temperatur akan menaikkan laju metabolik cerebral.

Tekanan intra cranial dipengaruhi oleh parenkim saraf, CSF dan volume darah, dimana bila salah satu berubah akan merubah yang lain untuk menjaga agar volume neuraxial tetap konstan (doktrin Monro-Kellie).

Karena perbedaan compliance dari beberapa faktor menyebabkan kenaikan volume tidak setara dengan peningkatan ICP

Page 176: Dasar ilmu Anesthesi

176

80% otak berisi jaringan neural axis serta 20% berupa CSF dan darah

Hubungan volume dan tekanan intracranial adalah hiperbolik dan kurvanya sesuai dengan compliance

Karena sutura pada bayi belum menutup maka dapat untuk mengukur ICP secara non invasif

Tugas utama pada bedah saraf anak adalah mengontrol ICP caranya dengan memposisikan, hiperventilasi, dehidrasi euvolume, dan obat

Karena ukuran bayi relatif kecil maka penurunan ICP dapat diperoleh dengan posisi head up

Menolehkan kepala ke salah satu sisi dapat menghambat kembalinya darah lewat vena juguler sehingga ICP dapat naik

Penggunaan manitol 1 g/kg diikuti oleh 0.7 mg /kg furosemide adalah cara yang paling efektif

Steroid (dexametason 1-3 mg/kg/hari) hanya efektif untuk tumor otak bukan pada trauma

Barbiturat (thiopenthal 2-6 mg/kg) menurunkan ICP dengan cara vasokonstriksi cerebral, menurunkan cerebral metabolik rate, dan blood flow

Untuk terapi jangka panjang dari peningkatan ICP pada pasien trauma atau

Reye’s syndrome dapat digunakan barbiturat continuous infusion dengan serum barbiturat yang direkomendasikan adalah 3 mg/ 100 cc

MANAJEMEN ANESTESI

Evaluasi pre operasi

Periksa neurologic history Traumaàpengosongan lambung tertunda

Berat badan yang tepat untuk estimasi cairan pengganti dan dosis obat

Laboratorium dan rontgen

Premedikasi harus hati-hati terutama pada airway sulit. Pasien AVM dan aneurisma harus di premedikasi berat.

Monitoring

Monitor yang ketat terutama pada posisi ekstrim

Monitoring blok neuromuskular

CVP jangan lewat vena juguler karena dapat mengganggu drainage vena dari otak.

CVP dikalibrasi pada level kepala untuk memperkirakan CPP (lateral canthus mata ~ foramen of Monroe)

Positioning

Elevasi 15-30 derajad dapat menurunkan ICP tetapi bila lebih tinggi maka Cardiac output dan CPP juga akan turun.

Hal-hal yang diperhatikan pada posisi extrim:

o Badan harus ikut miring kalau kepala dimiringkan

o Kalau kepala flexi harus pakai ETT non kinking

o Pada posisi duduk, jangan gunakan N2O, lutut agak ditekuk dan kaki diberi elastic bandage

o Saat posisi prone, dada dan pelvis harus diganjal, jaga ETT agar jangan sampai lepas

Kontrol temperatur General anestesi menyebabkan pasien

jadi poikilotermik Hipotermi menurunkan cerebral

metabolik rate tetapi juga menurunkan tekanan darah dan shivering

Cegah hipotermi dengan menaikkan suhu kamar operasi, menghangatkan dan melembabkan gas anestesi, membungkus pasien, matras penghangat dan menghangatkan cairan yang masuk.

Penggantian cairan dan darah Pemberian infus cairan gula harus disertai

dengan pemeriksaan gula karena peningkatan kadar gula dapat memperburuk kondisi neurologik pasien.

Page 177: Dasar ilmu Anesthesi

177

Perlu adanya monitoring dan pemeriksaan Hct serial karena kehilangan darah sulit diestimasi

Bila perdarahan >2x EBV maka perlu tranfusi FFP dan platelet

Pada tranfusi masif (1.5 – 2 cc/kg/menit) atau infus cepat FFP (>1 cc/kg/menit) perlu diperhatikan hipoCa dan butuh terapi Ca (10-20 mg/kg).

Induksi Induksi harus mulus Barbirturat merupakan agen yang ideal

untuk menurunkan ICP, CBF dfan metabolic rate

Pada anak yang tidak kooperatif perlu dipertimbangkan induksi per rectal

Pada pasien dengan anomali craniofascial lebih baik diinduksi inhalasi atau awake intubasi.

Halotan meningkatkan CBF tapi dapat diminimalisasi dengan hiperventilasi

Isofluran menurunkan konsumsi O2 cerebral tapi bila dihiperventilasi bisa terjadi penurunan CBF

Scholin tidak disukai karena dapat menaikan ICP

Atracurium menyebabkan histamin release

Vecuronium lebih disukai

Pada bayi dan anak dimana Cardiac Output merupakan rate dependen, pancuronium lebih dipilih karena membuat kardiovaskular stabil

Intubasi ETT not kinking dipakai pada posisi yang

ekstrim Untuk anak < 6 tahun digunakan ETT non

cuff untuk mencegah trauma subglotis

Gastric tube digunakan untuk mencegah distensi lambung

Lidokain 1-1.5 mg/kg digunakan untuk mencegah reflek simpatis dan mencegah peningkatan ICP

Maintanance dan pelayanan post operasi Isofluran dosis rendah berguna jika

diperlukan hipotensi terkontrol N2O harus dihindari pada pembedahan

intracranial dan apabila membuka vena besar

Emergency dan pelayanan post operasi Tujuan utama anestesi pada bedah saraf

anak adalah pasien bangun dengan halus untuk mencegah peningkatan ICP

Reversal diperlukan untuk mencegah hipoventilasi

Anestesi inhalasi dapat dieliminasi dengan cepat tanpa efek sisa sehingga cocok

untuk anestesi anak yang ICP nya tidak naik

Post operasi anak sering timbul hipoksemia sehingga perlu suplemen O2

HYDROCHEPALUS Penyakit bedah saraf anak terbanyak

Pertimbangan klinis

Hidrocephalus merupakan ketidak seimbangan antara produksi CSF dan absorbsi, dimana hampir semua kasus merupakan obstruksi pada sirkulasi CSF kecuali pada Choroid plexus papilloma dimana terjadi over sekresi dari CSF

Obtruksi tersering adalah pada keluaran ventikel 4, biasanya stenosis aquaductal.

Penyebabnya myelomeningocelle, Arnold-Chiari malformation, congenital atresia of the foramina of Luschka and Magendie, Dandy-Walker cyst, dan massa intracranial

Hydrocephalus yg didapat pada infant seringkali karena fibrosis akibat leptomeninges dari meningitis atau perdarahan intraventrikuler.

Karena tengkorak bayi dapat melebar maka tanda peningkatan ICP muncul terakhir

Gejala awal adalah membesarnya kepala dan bila sudah maksimal akan muncul tanda-tanda peningkatan ICP seperti

Page 178: Dasar ilmu Anesthesi

178

mual, tanda setting sun dan lumpuhnya nervus ke enam

Diagnosa pasti didapat dengan CT Scan

Manajemen Operasi Tehniknya relatif mudah yaitu

menempatkan kateter dalam sistem ventrikel baik lewat frontal maupun occipital.

Kateter tersebut dilewatkan subcutan ke rongga peritoneum, atrium kanan, atau di kavitas paru.

Atrium kanan mempunyai resiko mikroemboli, cor pulmonale dan gagal jantung kanan sehingga hanya dipakai bila tidak bisa ditaruh di rongga abdomen.

Shunt ke pleura sering dipakai untuk anak dengan usia lebih tua (>7 tahun) tetapi dengan resiko efusi pleura yang mengarah ke gagal napas.

Manajemen anestesi Ketika shunt mengalami gangguan maka

akan terjadi kegawatan karena antara peningkatan ICP dengan herniasi intracerebral waktunya pendek.

Peningkatan ICP dapat dikurangi dengan cara intubasi, hiperventilasi sehingga PaCO2 22-25 mmHg, manitol (0.5-1 mg/kg) dan furosemide (1mg/kg) untuk membuang cairan extra sel.

Saat terjadi kegawat daruratan maka jarum spinal dapat dimasukkan lewat

fontanela yang terbuka atau dimasukkan lewat tempat kateter shunt sebelumnya.

Lebih baik tidak disedasi saat premedikasi dan diinduksi dengan barbiturat atau dengan menggunakan halotan-N2O.

Jika tidak kooperatif bisa diberikan methohexital 25mg/kg dalam larutan 10%

Pasien diposisikan supine, agak ekstensi dengan kepala menghadap ke arah anestesi

Perhatikan peletakan elektroda ECG agar tidak mengganggu ruang kerja bedah

Jumlah perdarahan biasanya minimal dan waktu operasi singkat

Hati-hati saat meletakkan kateter di rongga abdomen agar tidak terjadi perforasi buli

Komplikasi Ventrikel atrial shunt bisa menyebabkan

disritmia kardiac dan emboli udara Kateter atrial dimasukkan lewat vena

jugularis masuk ke atrium kanan (posisi midatrial)

Shunt di pleura harus disertai dengan napas tekanan positif agar paru tidak kolap

Umumnya pasien mudah dibangunkan dan diekstubasi sadar baik kecuali pasien dengan kecenderungan parese vokal cord.

Pembuangan CSF secara tiba-tiba dalam jumlah yang banyak bisa menarik batang otak keatas dan disertai gejala serupa dengan herniasi batang otak (bradikardi, disritmia, gasping)

Bridging cortical vein dapat ruptur dan menyebabkan SDH

Pada pasien Arnold-Chiary malformation atau Dandy-Walker syndrome, paralisa satu atau dua pita suara dapat memperparah napas penderita

CRANIAL DAN SPINAL DYSRAPHISMYang paling sering adalah spina bifida occulta

Myelomeningocele

Merupakan kasus yang paling parah dan paling sering ditemui

Elemen saraf sebagian tertutupi kulit dan meningen dan biasanya ruptur saat persalinan

Dengan perawatan yang agresif, pasien bisa bertahan cukup lama

Kelainan dilumbal dan sacrum secara rutin diperbaiki pada saat awal post partum

Kelainan dithorak dan cervical seringkali tidak diterapi

Sebagian besar dari myelomeningocele mengalami hydrochephalus

Page 179: Dasar ilmu Anesthesi

179

Perbaikan defek spinal biasanya dilakukan dalam 48 jam pertama

Tehnik yang dipakai biasanya adalah membebaskan kulit dan subcutan untuk menutup myelomeningocele yang besar

Bila meningocele berada di occipital maka dianjurkan untuk mengintubasi sambil miring menghadap muka pasien secara awake.

Sebelum mengintubasi lakukan atropinisasi (0,01 – 0.02 mg/kg untuk mencegah bradikardi yang mengarah ke kolapnya kardiovaskuler

Saat diposisikan tengkurap, letak bokong harus lebih tinggi dari kepala agar mencegah CSF bocor lewat myelomeningocele

Pasien diposisikan dengan penyangga pada dada dan panggul supaya perut bebas

Bila meningocele dan hidrocephalus diterapi sekaligus maka posisi perut harus oblique

Selama posisi prone pasien dikontrol ventilasi dan dijaga suhu dan volumenya

Perdarahan yang terjadi bisa banyak saat dilakukan skin flap dan bila kantongnya pecah sebelum operasi maka diperlukan terapi cairan

Muscle relaksan tidak boleh digunakan bila perlu dilakukan neuro transmiter test

Post op pasien dirawat dengan posisi prone dengan posisi kepala lebih rendah dari meningocelenya sehingga ekstubasi boleh dilakukan saat pasien sudah sadar baik

Hampir semua pasien juga menderita Arnold-Chiary tipe II malformation dengan pergeseran dari cerebelum dan ventrikel 4 lewat foramen magnum

Karena manipulasi leher dapat menekan brainstem maka leher harus dipegang oleh asisten selama intubasi

Encephalocele           Bisa berupa polip kecil sampai massive encephalocele

Anak dengan encephalocele dapat tumbuh dengan intelektual normal

Encephalocele frontal butuh fiksasi ETT yang baik karena biasanya pasien hyperteleoric dan butuh rekonstruksi sinus

Pasien dengan encephalocele occipital perlu diintubasi posisi miring kemudian diposisikan prone

Selama memposisikan hari-hati supaya jangan menekan encephalocele

Perdarahan bisa sangat banyak karena sagital venous sinus terlibat baik untuk encephalocele frontal maupun occipital

Saat encephalocele dieksisi sering muncul gejala bradikardia

Tindakan operasinya adalah memotong proporsi extracranial dan memperbaiki defek cranial dengan dural graft dan skin graft

Dysrhaphisms yang lain                Pada pasien ini biasanya dilakukan pelepasan tethered cord atau memotong intra spinal lipoma atau dermoid

Operasi dengan posisi prone terdiri dari laminectomy dan melepas cord dan nerve roots dengan menggunakan mikroskop

Perdarahan biasanya minimal

CRANIOSYNOSTOSIS

Merupakan penutupan sutura secara prematur dan menimbulkan gangguan kosmetik an letak wajah

Jika hanya satu sutura yang menyatu maka akan terjadi malrotasi

Bila ada beberapa sutura yang menyatu maka otak tidak bisa berkembang, ICP meningkat, gangguan pertumbuhan

Biasanya craniosynostosis terkait dengan Crouzon’s syndrome dan Apert’s syndrome

Tehnik operasi klasik adalah synostectomy

Coronal synostosis terdiri dari bifrontal skin flap, bifrontal craniostomy dan orbital rim advancement

Sagital suture synostosis terdiri dari bilateral parasagital synostectomy

Page 180: Dasar ilmu Anesthesi

180

Operasinya biasanya menggunakan dural plication untuk mengatur abnormal contur dari otak

Tehnik operasi terbaru menggunakan Phi (Φ) squeeze procedure dimana tehnik ini membutuhkan terapi dehidrasi untuk membuat otak relaks dan mengecil

Crouzon’s dan Apert’s syndrome Pasien ini mengalami deformitas midface

yang berat dan displasia sehingga mengalami gangguan pertumbuhan dari jalan napas dan cenderung untuk apnea karena obstruksi. Hal ini menyebabkan sulitnya intubasi terutama intubasi nasal

Tanda-tanda yang lain : exopthalmus dengan hypertelorism, mata yang sangat lebar dan proptosis, tulang-tulang yang abnormal

Pasien ini diterapi dengan midface Le Fort advancements.

Pre operasi pasien ini perlu diperhatikan ICP nya

Induksi secara inhalasi biasanya aman dimana sebagian besar pasien ini dengan ICP normal

Induksi barbiturat dilakukan bila tidak ada abnormalitas pada jalan napas

Semua pasien ini harus diintubasi selama operasi dengan fiksasi yang baik karena posisinya yang extreme

Infant dengan posisi supine dengan fleksi leher yang ekstreme mempunyai resiko

untuk emboli udara karena osteotomy nya diatas level jantung sehingga perlu monitoring dengan precordial doppler

Perdarahannya biasanya banyak karena itu perlu monitor IAP dan pemeriksaan BGA dan hematocrit berkala

Jika tranfusinya banyak maka perlu tranfusi fresh frozen plasma dan platelet

Pasien yang lebih dewasa mengkin memerlukan osteotomy cranial dan facial dan butuh nasal intubasi

Jika diperlukan graft costa hati-hati pneumothorak

Ektubasi dilakukan bila sudah tidak bengkak dan tidak ada darah yang merembes

Holoprosencephaly Merupakan serangkaian malformasi

teratology yang ditandai dengan deformitas wajah dan otak

Tanda-tandanya adalah satu ruang ventrikel, thalamus yang menyatu, tidak adanya inferiofrontal dan temporal, isocortek yang rudimenter

Induksi dengan menggunakan halotan dan dipre medikasi dengan atropin

TRAUMA KEPALA

Trauma kepala merupakan penyebab kematian terbanyak dan 70% nya karena kecelakaan sepeda motor

Angka morbiditas dan mortalitas meningkat sejalan dengan lamanya jarak antara trauma dan penanganannya sehingga trauma ini memerlukan perhatian dan evaluasi yang cepat supaya tidak terjadi kecacatan

Pada anak, respon pertama dari trauma adalah hiperemia dan peningkatan ICP

Oksigen harus diberikan secepat mungkin dan airway harus segera dilindungi dengan intubasi

Untuk mencegah peningkatan ICP, digunakan RSI dengan barbiturat dan lidokain

Hiperventilasi bisa menurunkan ICP dengan menurunkan PaCO2

Selama operasi jaga PaCO2 20-25 mmHg

ICP juga dapat diturunkan dengan agent hiperosmolar seperti manitol (0.5-1 g/kg) dan posisi slight head up

Manitol menaikkan volume darah sehingga ICP meningkat pada anak sedangkan pada neonatus dapat terjadi congestive heart failure

Jaga agar osmolaritas serum berada pada 295-305, bila diatas 320 mOsm/l akan terjadi renal tubular nekrosis

Page 181: Dasar ilmu Anesthesi

181

Cedera tulang leher jarang terjadi pada anak, apabila ada maka perlu dilakukan traksi leher

Untuk mengontrol ICP dalam jangka panjang digunakan steroid (terutama pada tumor)

Barbiturat masih digunakan untuk mengontrol ICP durante operasi dan untuk Reye’s syndrome

Pelumpuh otot digunakan untuk mencegah naik turunnya ICP karena batuk dan mengejan

Perdarahan pada subdural hematom dapat menyebabkan hipotensi pada bayi karena ukuran kepala lebih besar dari badan

Depresi tulang tengkorak dapat terjadi pada anak tanpa laserasi kulit kepala dan tidak memerlukan operasi emergensi

TUMOR OTAK

Tumor kepala merupakan tumor terbanyak kedua pada anak dimana kebanyakan berada di infratentorial

Tumor terbanyak adalah cerebellar astrocytoma, medulloblastoma dan brainstem glioma. Di jepang dan Afrika tumor terbanyak adalah craniopharyngiomas dan pinealomas sedangkan ependymoma terbanyak di India

Tumor pada anak cenderung gawat karena kebanyakan berada di fossa posterior dan dapat menyebabkan obtruksi CSF

Tumor anak dibedakan menjadi tumor supratentorial dan infratentorial

Gejala tumor supratentorial : kejang, perdarahan dan lesi neurologis, sayangnya gejala ini muncul tiba-tiba sehingga perlu penanganan segera

Pembedahan digunakan untuk diagnosa, dekompresi atau pengangkatan total

Gejala tumor infratentorial berupa peningkatan ICP dengan atau tanpa hidrocephalus

Manajemen anestesi Tujuan utamanya adalah mencegah

peningkatan ICP dan menjaga suhu badan karena operasinya lama

Pasien biasanya mendapat dexamethasone dan furosemide atau manitol untuk mengurangi edema cerebri

Pada anak yang lebih tua dilakukan drainase spinal untuk mengurangi volume otak

Anestesi dengan induksi intravena, hiper ventilasi dan narkotik serta isofluran dosis rendah

Diusahakan agar pasien segera bangun agar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis

Pertanyaan yang perlu dijawab sebelum operasi:

1. - apakah hiperventilasi dan dehidrasi diperlukan

2. - penggunaan steroid dan dosisnya

3. - apakah hiperventilasi dan dehidrasi diperlukan

4. - penggunaan steroid dan dosisnya

5. - pada pasien tumor supratentorial, seberapa sering diberikan anti kejang

6. - terapi cairan 60-80% normal

7. - apakah tumornya highly vaskular, apakah perdarahannya mungkin banyak

Posisi anak durante operasi perlu dipertimbangkan

Manipulasi dari brainstem dapat menyebabkan aritmia

Idealnya untuk pasien tumor langsung sadar saat akhir operasi

Saat pasien mulai bangun dan ekstubasi merupakan saat kritis dimana bisa timbul perdarahan bila pasien mengejan (valsava manuver) atau hipertensi

Tumor pada daerah supra sella biasanya menyebabkan gangguan endokrin dan seringkali disertai dengan gangguan penglihatan

Page 182: Dasar ilmu Anesthesi

182

Operasinya lewat transphenoidal pada dewasa dan frontal craniotomy pada anak

Manipulasi saraf penglihatan dapat menyebabkan bradikardi dapat diterapi dengan atropin

Diabetes insipidus mungkin terjadi durante atau post operasi

Pitresin dihindari saat durante operasi dan penggantian cairan elektrolit harus sesuai dengan evaluasi elektrolit secara serial

Cairan dekstrosa sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan hiperglikemia yang parah

GANGGUAN VASKULER

Gangguan yang jarang pada anak dimana AVM merupakan gangguan yang tersering

90% AVM dijumpai di supratentorial pada cabang utama arteri carotis interna

Gejala AVM baru muncul saat usia 30-40 tahun

Pada anak, gejala AVM adalah perdarahan intracranial yang harus segera dihilangkan kalau perlu dilakukan surgical extirpasi dan perlu dilakukan resusitasi segera, proteksi jalan napas, dan pencegahan peningkatan ICP

Aneurisma  Berbeda dengan dewasa, anak laki lebih

sering mengalami aneurisma dan sering berada di distal dari circle of willis

Aneurisma pada anak sering terkait dengan coarctation dari aorta, penyakit ginjal polikistik, hipertensi esential, pheochromocytoma atau cyanotic congenital heart disease

Tehnik operasinya adalah obliterasi dan relatif lebih gampang dari dewasa karena tidak ada atherosclerotic

Anak dengan perdarahan subarachnoid akibat aneurisma akan mengalami peningkatan ICP dan dikurangi dengan agen dehidrasi, hiperventilasi dan drainage spinal

Durante operasi biasanya diperlukan hipotensi sehingga diperlukan obat untuk menurunkan tekanan darah dengan cepat dimana pada anak lebih baik digunakan anestesi inhalasi yang dalam, pada anak lebih tua dapat digunakan trimethaphan atau sodium nitroprusside

Trimethaphan dapat menyebabkan takikardi yang bisa diturunkan dengan beta adrenergic bloker. Sodium nitroprussid lebih umum digunakan

Setelah cliping aneurisma selesai maka tekanan darah dikembalikan normal atau sedikit diatas normal untuk memaksimalkan perfusi otak dan menurunkan vasospasm

Arteriovenous malformation Penyakit ini sebelumya jarang ada namun

karena perkembangan tehnik radiologi maka kasus ini jadi sering muncul

Penyakit ini muncul disertai dengan perdarahan subarachnoid atau kejang

Pembedahannya lama dan berdarah banyak

Pencegahan kejang diberikan pra operasi

Premedikasi dengan sedasi berat

Perlu induksi yang mulus dan dilindungi dengan lidokain

Durante operasi memerlukan hipotensi dan pengaturan ICP

Aneurysms of the Vein of Galen Lebih dari separuh AVM dengan gejala

melibatkan vena besar dari Galen Pertemuan antara arteri cerebral dengan

vena besar Gallen menampakan beberapa tingkatan shunt dari kiri ke kanan

Gejala tergantung dari derajad shunting dan letak aneurisma dan biasanya dibagi 3 pola:

1. Bayi baru lahir dengan gagal jantung kongesti yang parah. Kadang disertai kejang dan hidrocephalus dan suara bruit yang keras di cranial. Diperlukan cerebral angiography untuk melihat pembuluh darah yang memberi makan aneurisma. Pengontrolan gagal jantung kongestif segera dilakukan agar operasi koreksi bisa segera dilakukan

2. Bayi dan anak yang lebih tua mempunyai gejala hidrocephalus dan craniomegaly, sebagai akibat dari penekanan ventrikel

Page 183: Dasar ilmu Anesthesi

183

ketiga dan aquaductus Sylvii. Cardiomegaly sering muncul dan bruit di cranial sering terdengar

3. Anak yang lebih tua dan dewasa memiliki gejala migrain dengan atau tanpa hidrocephalus. Terdapat garis calcium mengelilingi aneurisma yang terlihat di foto. Karena shunt nya lebih kecil, maka gagal jantung kongestif dan cardiomegali jarang ada

Manajemen anestesinya merupakan hal yang sulit dimana anak mengalami gagal jantung kongestif, kardiomyopathy dan operasinya berdarah banyak

Setelah ligasi akan muncul hipervolume tiba-tiba karena 80% kardiak output mengalir dalam shunt dan volume darah central akan meningkat bermakna setelah aneurisma dikeluarkan

Angka kematiannya 50-70%

Banyak tehnik termasuk extracorporeal circulation dengan hipotermia telah direkomendasikan

Yang penting saat operasi adalah menjaga perfusi tetap adekuat agar mencegah iskemi miokard, memberikan cairan pengganti, tehnik anestesi yang menyediakan pengurangan maksimal pada otak yang bengkak dengan steroid dan furosemid

Penggunaan narkotik, oksigen dan pankuronium juga dianjurkan

Pada anak yang lebih tua, hipotensi terkontrol diperlukan agar bedah dapat mencapai tempat lesinya

Pada neonatus yang sakit atau bayi kecil, hipotensi dan hipovolemi harus dihindari karena dapat menurunkan perfusi dari myocard

Prosedur Diagnosis    

Kemajuan CT scan dan MRI memungkinkan pneumoencephalography

Baik CT scan dan MRI membutuhkan sedasi ringan

Cerebral arteriography dan myelography pada bayi dan anak membutuhkan anestesi umum

Jika ICP normal maka anestesi inhalasi dengan napas spontan lebih nyaman

Intubasi dimungkinkan karena pasien akan dipindah dari mesin anestesi untuk angiography dan prone untuk myelography

BAB XVII

Anestesi Pediatri

1. Perbedaan jalan napas orang dewasa dan anak-anak

JALAN NAPAS INFAN SIGNIFIKANSI

Pernapasan hidung yang obligat, nares sempit

Infan bernapas hanya melalui hidung yang mudah tersumbat oleh sekresi

Lidah yang besar Dapat menyumbat jalan napas dan membuat laringoskopi dan

Page 184: Dasar ilmu Anesthesi

184

intubasi lebih sulit

Oksiput yang besar Sniffing positon tercapai dengan mengganjal bahunya

Glottis terletak pada C3 bayi yang prematur, C3-C4 bayi baru lahir, dan C5 dewasa

Laring terletak lebih anterior; penekanan krikoid sering dapat membantu visualisasi

Laring dan trakhea berbentuk seperti corong

Bagian tersempit trakhea adalah krikoid; pasien sebaiknya dipasangkan ETT berukuran < 30 cm H2O untuk mencegah tekanan yang berlebihan pada mukosa trakhea, barotrauma

Pita vokalis lebih miring ke anterior

Insersi ETT mungkin lebih sulit

ETT = endotracheal tube

2. Perbedaan sistem pulmonal orang dewasa dengan anak-anak

SISTEM PULMONAL ANAK-ANAK

SIGNIFIKANSI

Alveoli yang sedikit dan lebih kecil

Jumlah alveoli pada usia 6 tahun 13 kali lebih banyak dibanding bayi

baru lahir

Kemampuan pengembangan lebih kecil

Kurang elastis

Kecenderungan kollaps jalan napas lebih besar

Resistensi jalan napas lebih besar

Jalan napas lebih kecil

Tenaga untuk bernapas lebih besar dan penyakit lebih rentan menyerang saluran napas yang kecil

Iga-iga lebih horizontal, lebih lunak, dan mengandung lebih banyak kartilago

Mekanisme kerja dinding dada tidak efisien

Mengadung otot tipe-1 (yang sangat oksidatif) yang lebih sedikit

Bayi lebih mudah lelah

Kapasitas total paru (TLC) kurang, RR dan metabolik lebih cepat

Desaturasi terjadi lebih cepat

Volume akhir lebih besar

Ventilasi ruang rugi lebih tinggi

3. Mengapa sistem kardiovaskuler pada anak-anak berbeda?

Bayi baru lahir tidak mempu meningkatkan curah jantungnya (CO)

dengan cara meningkatkan kontraktilitasnya; CO hanya dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan denyut jantung (HR)

Bayi mempunyai refleks baroreseptor yang immatur dan kemampuan kompensasi yang terbatas hanya dengan cara meningkatkan denyut jantung (HR). Itu sebabnya bayi lebih rentan terhadap efek depresi jantung anestetik volitile.

Bayi dan infan mempunyai tonus vagus yang lebih tinggi sehingga cenderung bradikardi. Tiga penyebab utama bradikardia adalah hipoksia, stimulasi vagus (laringoskopi), dan anestetik volatile (mudah menguap). Bradiardi itu Tidak Baik.

4. Tanda-tanda vital yang normal pada anak-anak

Page 185: Dasar ilmu Anesthesi

185

USIA (tahun) HR RR SBP DBP

<1 120-160 30-60 60-95 35-69

1-3 90-140 24-40 95-105 50-65

3-5 75-110 18-30 95-110 50-65

8-12 75-100 18-30 90-110 57-71

12-16 60-90 12-16 112-130 60-80

HR = denyut jantung, RR = frekuensi napas, SBP = tekanan darah sistol,

DBP = tekanan darah diastol. Kaidah yang disetujui : tekanan darah = 80 mmHg + 2 x usia

5. Kapan sebaiknya anak-anak dipremedikasi ? Obat apa yang sering dipakai ?

Anak-anak sering mengalami rasa takut dan gelisah yang sangat besar saat mereka terpisah dari orang tua mereka dan saat induksi anestesi. Premedikasi dianjurkan oleh Vetter pada anak-anak yang berusia 2-6 tahun dan belum pernah menjalani pembedahan atau tidak menerima tuntunan dan pemahaman perioperatif atau yang gagal berinteraksi positif dengan layanan perawatan kesehatan saat perioperatif. Telah banyak ditemukan perubahan tingkah laku yang negatif pasca operasi pada anak-anak yang gelisah selama induksi.

Medikasi Preoperatif Yang Sering Digunakan Dan Cara Pemberiannya

ObatCara

Pemberian

Keuntungan

Kerugian

Midazolam

po, pr, in, iv, sl

Onset cepat, efek samping minimal

Rasanya tidak enak saat diberikan per oral, menyengat dalam hidung

Ketamin

po, pr, in, iv, sl

Onset cepat, analgesia bagus

Memperlambat emergensi, rasanya tidak enak, menyengat dalam hidung

Fentanyl

Otfc

Rasanya enak, anlagesik bagus, onset 45 menit

Dapat terjadi hipoksemia, mual

Diazepam

po, pr, im

Murah, efek samping minimal

Onset lama, emergensi jadi berkepanjangan

Po = per oral, pr = per rektum, iv = intravena, sl = sublingual, im = intramuskuler,

in = intranasal, otfc = fentalnil sitrat transmukosa oral

6. Teknik induksi yang sering digunakan pada anak-anak

Induksi inhalasi adalah teknik induksi yang paling sering digunakan pada anak-

Page 186: Dasar ilmu Anesthesi

186

anak berusia < 10 tahun. Anak-anak disuruh menghirup N2O 70% dan oksigen 30% selama sekitar 1 menit; halotan kemudian diberikan secara perlahan. Konsentrasi halotan ditingkatkan 0,5% setiap 3-5 kali bernapas. Jika anak itu batuk atau menahan napas, konsentrasi halotan tidak boleh dinaikkan sampai batuk atau menahan napas itu berhenti. Sevofluran juga dapat digunakan dengan atau tanpa N2O.

Induksi inhalasi yang cepat atau “brutane” digunakan pada anak-anak yang tidak kooperatif. Anak-anak dibaringkan kemudian dipasangkan sungkup yang mengandung N2O 70% dan oksigen 30%, dan halotan 3-5% atau sevofluran 8% pada mukanya. Teknik yang seringkali tidak nyaman ini sebaiknya dihindari jika memungkinkan. Sekali anestesi telah diinduksi, konsentrasi sevofluran atau halotan harus dinaikkan.

Steal Induction dapat digunakan saat anak-anak telah tidur. Induksi anestesi dilakukan dengan menggunakan sungkup yang agak jauh dari muka si anak, kemudian konsentrasi halotan atau sevofluran ditingkatkan secara bertahap. Tujuan hal ini adalah untuk menginduksi anestesi tanpa membangunakan si anak.

Induksi intravena digunakan pada seorang anak yang telah dipasangi infus atau pada anak-anak yang berusia > 10 tahun. Medikasi yang biasanya digunakan pada anak-anak adalah tiopental 5-7 mg/kg; propofol 2-3 mg/kg; dan ketamin 2-5 mg/kg. Agar prosedur tidak traumatik,

krim EMLA (campuran anestesi lokal yang eutektos/mudah larut) diusapkan paling kurang 90 menit sebelum infus IV dipasang.

7. Mengapa keberadaan shunt kiri - ke - kanan (left - to - right) dapat mempengaruhi induksi inhalasi?

Shunt kiri-ke-kanan intrakardiak menyebabkan overload volume pada sisi kanan jantung dan pada sirkulasi paru. Pasien dapat menderita gagal jantung kongestif (CHF) dan penurunan kemampuan pengembangan paru. Ambilan dan distribusi zat-zat inhalasi hanya terpengaruh sedikit (minimal); waktu onset zat-zat intravena sedikit memanjang.

8. Bagaimana dengan shunt kanan-ke-kiri (right-to-left) ?

Shunting kanan-ke-kiri intrakardiak menyebabkan overload ventrikel kiri. Pasien berkompensasi dengan cara meningkatkan volume darah dan hematokrit. Hal ini penting untuk memelihara resistensi vaskuler perifer tetap tinggi untuk mencegah peningkatan shunting kanan ke kiri. Shunt seperti itu dapat sedikit memperlambat induksi inhalasi dan mempersingkat waktu onset induksi zat-zat intravena.

9. Hal - hal khusus lain yang harus diperhatikan pada anak - anak yang menderita penyakit jantung

Anatomi lesi dan arah aliran darah sebaiknya ditentukan. Resistensi vaskuler pulmonal (PVR) perlu dijaga. Jika PVR meningkat, shunting kanan-ke-kiri dapat meningkat dan memperburuk oksigenasi, sementara itu, pasien yang menderita shunt kiri-ke-kanan mengalami arah aliran darah yang sebaliknya (sindrom Eisenmenger). Jika pasien menderita shunt kiri-ke-kanan, penurunan PVR akan meningkatkan aliran daraj ke paru-paru dan mengarah ke edema pulmonal. Menurunkan PVR pada pasien dengan shunt kanan-ke-kiri dapat memperbaiki hemodinamik.

Kondisi-kondisi yang Dapat Mningkatkan Shunting

Shunt Kiri-Ke-Kanan

Shunt Kanan-Ke-Kiri

Hematokrit rendah

SVR meningkat

PVR menurun

Hiperventilasi

Hipotermia

Zat anestetik : Isofluran

SVR menurun

PVR meningkat

Hipoksia

Hiperkarbia

Asidosis

Zat anestetik: N2O,Ketamin ?

Page 187: Dasar ilmu Anesthesi

187

SVR = resistensi vaskuler sistemik; PVR = resistensi vaskuler pulmonal

Gelembung udara harus dihindari dengan sangat cermat. Jika terdapat komunikasi antara sisi jantung kanan dan kiri (defek septum ventrikel, defek septum atrium), injeksi udara secara iv dapat berjalan melintasi komunikasi tersebut dan masuk ke sistem arteri. Hal ini akan mengarah ke gejala-gejala SSP (susunan saraf pusat) jika udara tersebut menyumbat suplai darah ke otak dan medulla spinalis (emboli udara paradoksikal).

Antibiotik Profilaksis sebaiknya diberikan untuk mencegah endokarditis bakteri. Medikasi dan dosis yang direkomendasikan dapat ditemukan pada pedoman Asosiasi Jantung Amerika.

Hindari Bradikardi

Mengenali dan mampu menangani “tet spell”. Anak-anak dengan tetralogy of fallot mengalami obstruksi aliran sebelah kiri (RVOT/right outflow tract ), overriding aorta, dan stenosis atau atresia pulmonal. Beberapa diantaranya akan mengalami ucapan hipersianotik (“tet spell”) akibat suatu stimulasi saat usianya bertambah. Episode seperti itu ditandai oleh memburuknya obstruksi RVOT, mungkin sebagai akibat hipovolemia, peningkatan kontraktilitas, atau takikardi saat stimulasi atau stress. Pasien sering ditangani dengan beta blocker, yang sebaiknya dilanjutkan saat perioperatif.

Hipovolemia, asidosis, menangis atau gelisah yang berlebihan, dan peningkatan tekanan jalan napas sebaiknya dihindari. Resistensi vaskuler sistemik (SVR) sebaiknya tetap terpelihara. Jika ucapan hipersianotik terjadi saat periode perioperatif, penatalaksanaan yang dapat dilakukan antara lain : memelihara jalan napas, infus volume, meningkatkan kedalaman anestesia atau mengurangi stimulus pembedahan. Fenilefrin sangat bermanfaat dalam meningkatkan SVR. Dosis tambahan dari beta blocker juga dapat dicoba. Asidosis metabolik sebaiknya dikoreksi.

10. Cara pemilihan ukuran ETT yang tepat ?

U S I AUkuran Diameter

Interna (mm)

Bayi baru lahir 3,0 – 3.5

Bayi baru lahir – 12 bulan

3,5 – 4,0

12 – 18 bulan 4,0

2 tahun 4,5

> 2 tahun Ukuran ETT =

ETT setengah nomor di atas dan setengah di bawah harus disiapkan

Kebocoran di sekitar ETT sebaiknya kurang dari 30 cm H2O

ETT sebaiknya dipasang pada kedalaman sekitar 3 kali dari diameter internanya.

11. Dapatkah ETT yang ber-cuff digunakan pada anak-anak ?

ETT yang ber-cuff dapat diguanakan pada anak-anak. Tentu saja cuff tersebut mengambil tempat sehingga membatasi ukuran ETT. Namun, Khine dkk., telah memperlihatkan bahwa pipa yang ber-cuff telah sukses digunakan bahkan pada neonatus tanpa peningkatan komplikasi.

12. Dapatkah laryngeal mask airway (LMA) digunakan pada anak-anak?

LMA dapat sangat bermanfaat pada pediatrik. Alat ini dapat membantu pada jalan napas sulit, baik sebagai teknik tunggal, maupun digunakan bersama-sama dengan ETT.

13. Bagaimana cara pemilihan ukuran LMA yang tepat ?

Berat Badan Anak Ukuran LMA

Neonatus sampai 5 kg 1

Infan 5-10 kg 1 ½

Anak-anak 10-2 kg 2

Page 188: Dasar ilmu Anesthesi

188

Anak-anak 20-30 kg 2 ½

Anak-anak/dewasa muda > 30 kg

3

14. Mengapa farmakologi obat-obat anestetik yang sering digunakan pada anak-anak berbeda?

Konsentrasi alveolar minimal (MAC) zat-zat volatile lebih tinggi pada anak-anak dibanding dewasa. MAC tertinggi adalah pada infan 1-6 bulan. Bayi prematur dan neonatus mempunyai MAC yang rendah

Anak-anak mempunyai toleransi yang lebih tinggi terhadap efek disritmik epinefrin pada anestesi umum dengan zat-zat volatile

Anak-anak pada umumnya mempunyai keperluan obat (mg/kg) yang lebih tinggi karena mempunyai distribusi volume yang lebih besar (lebih banyak lemak, lebih banyak cairan tubuh)

Opioid sebaiknya digunakan dengan hati-hati pada anak-anak yang berusia < 1 tahun, yang lebih sensitif terhadap efek depresan pernapasan

15. Bagaimana penatalaksanaan perioperatif pada anak-anak?

Pemeliharaan diperhitungkan dengan cara berikut :

o Infan < 10 kg 4 ml/kg/jam

o 10-20 kg 40 + 2 ml/lg/jam setiap < 10 kg

o Anak-anak > 20 kg 60 + 1 ml / kg / jam setiap > 20 kg

Estimasi defisit cairan (EFD) sebaiknya dihitung dan diganti dengan cara :

o EFD = pemeliharaan x jam sejak asupan oral terakhir

o ½ EFD + pemeliharaan diberikan pada jam pertama

o ¼ EFD + pemelihataan diberikan pada jam ke-2

o ¼ EFD + pemelihataan diberikan pada jam ke-3

Seluruh EFD sebaiknya diganti pada kasus-kasus besar. Untuk kasus kecil, 10-20 ml/kg solusi garam yang ditakar dengan atau tanpa glukosa biasanya sudah adekuat.

Estimasi volume darah (EBV) dan kehilangan darah (ABL) sebaiknya dihitung pada setiap kasus.

16. Cairan pengganti apa yang paling sering digunakan pada anak-anak ? Mengapa?

Garam natrium yang ditakar (BSS) seperti RL dengan glukosa (D5RL) atau tanpa glukosa (RL)

direkomendasikan dalam hal ini. Pada bayi yang lahir baik, terlihat bahwa hipoglikemia dapat terjadi pada anak sehat yang menjalani prosedur invasif jika tidak digunakan cairan yang mengandung glukosa. Namun ditemukan adanya hiperglikemia yang terjadi pada mayoritas anak-anak yang telah diberikan solusi yang mengandung glukosa 5%. Beberapa penulis menganjurkan penggunaan cairan yang mengandung glukosa 1% atau 2,5%. Yang lain masih menggunakan solusi glukosa 5% untuk pemeliharaan, namun direkomendasikan bukan BSS yang mengandung non-glukosa untuk third space atau kehilangan darah. Pada operasi mayor, sangat penting untuk memeriksa kadar glukosa secara berseri dan untuk menghindari hiper- atau hipoglikemia.

17. Nilai-nilai EBV pada anak-anak?

USIA EBV (ml/kg)

Neonatus 90

Infan sampa 1 tahun 80

Lebih dari 1 tahun 70

Page 189: Dasar ilmu Anesthesi

189

18. Cara mengkalkulasi (menghitung) jumlah kehilangan darah (blood loss)?

Dimana ABL = kehilangan darah, EBV = estimasi volume darah, px = pasien, dan hct =hematokrit. Nilai hematokrit terendah bervariasi antara tiap individu. Transfusi darah biasanya dipertimbangkan saat hematorkit kurang dari 21-25%. Jika terdapat masalah pada tanda-tanda vital, transfusi darah perlu diberikan lebih dini. Sebagai contoh, seorang infan berusia 4 bulan dijadwalkan untuk rekonstruksi kraniofasial. Dia sehat, dengan asupan oral terakhir diperoleh 6 jam sebelum tiba di ruang operasi. BB = 6 kg, hct preoperatif = 33%, nilai hct terendah = 25%.

Pemeliharaan = BB x 4 ml/jam = 24 ml/jam

EFD = pemeliharaan x 6 kg = 144 ml

EBV = BB x 80 ml/kg = 480 ml

EBL

19. Mengapa manifestasi hipovolemia berbeda pada anak-anak ?

Anak-anak yang sehat telah berkompensasi terhadap kehilangan volume akut sebesar 30-40% sebelum terjadi perubahan tekanan darah. Indikator awal yang paling jelas pada syok hipovolemik yang terkompensasi pada anak-anak adalah takikardi persisten, vasokonstriksi kutaneus, dan penurunan tekanan darah.

20. Respon sistemik terhadap kehilangan darah ?

Respon Sistemik terhadap Kehilangan Darah pada Anak-anak

Sistem

Organ

Kehilangan Darah <25 %

Kehilangan Darah 25-40%

Kehilangan Darah > 45%

Jantung

Nadi lemah dan cepat, HR meningkat

HR meningkat

Penurunan TD, peningkatan HR , bradikardi mengindikasik

an kehilangan darah yang berat dan mengarah ke kollaps sirkulasi

SSPLesu, bingung, cengeng

Perubahan LOC, kurang berespon terhadap nyeri

Komatous

Kulit

Kedinginan, berkeringat

Sianotik, penurunan pengisian kapiler , ekstremitas dingin

Pucat, dingin

GinjalPenurunan UOP

UOP minimal

UOP minimal

HR = denyut jantung, TD = tekanan darah, LOC = tingkat kesadaran, UOP = produksi urine

21. Anestesi regional yang sering dilakukan pada anak-anak

Blok epidural kaudal adalah teknik anestesi yang paling sering dilakukan pada anak-anak. Biasanya, pada anak-anak yang teranestesi diberikan tambahan analgesia intraoperatif dan post-

Page 190: Dasar ilmu Anesthesi

190

operatif. Teknik ini paling sering dilakukan untuk pembedahan ekstremitas bawah, perineum, dan abdomen bawah. Blok epidural thoraks dan lumbal juga dapat digunakan untuk penhilang nyeri pasca operasi. Namun hal ini sebaiknya dilakukan hanya oleh operator yang berpengalaman.

22. Anestetik lokal apa yang biasanya digunakan

Bupivakain dengan konsentrasi 0,125-0,25% adalah anestesi lokal yang paling sering digunakan. Bupivakain 0,25% menghasilkan analgesia intraoperatif yang bagus dan menurunkan kebutuhan MAC pada anestesi inhalasi. Namun, obat ini dapat menyebabkan blokade motorik yang mengganggu proses keluarnya pasien dari rumah sakit. Bupivakain 0,125% menghasilkan blok motorik pasca operatif yang minimal, namun tidak memberikan analgesia intraoperatif dan tidak menurunkan keperluan MAC. Gunter memperlihatkan bahwa bupivakain 0,174% menghasilkan analgesia intraoperatif yang baik dan blok motorik yang minimal serta menurunkan kebutuhan MAC zat volatile.

23. Dosisnya

Dosis Anestesi Lokal yang Sering Diterapkan pada Blok Kaudal

DOSIS (cc/kg)

TINGKAT BLOK JENIS OPERASI

0,5 Sakral/lumbalPenis, ekstremitas bawah

1 Lumbal/thoraksAbdominal bawah

1,2 Thoraks atas Abdominal atas

Dosis toksik bupivakain pada anak-anak = 2,5 mg/kg; pada neonatus = 1,5 mg/kg

24. Apa yang dimaksud dengan blok fasia iliaka dan diindikasikan untuk apa ?

Blok fasia iliaka adalah teknik untuk menganestesi nervus femoral, obturator, dan kutaneus lateralis. Blok ini menghasilkan analgesia pada paha atas dan baik untuk pasien yang mengalami fraktur femur atau pasien yang menjalani prosedur-prosedur seperti osteotomi, biopsi otot, atau grafting kulit.

25. Gambarkan komplikasi pasca operasi yang tersering !

Mual dan muntah merupakan penyebab tersering dari tertundanya waktu keluar pasien. Terapi terbaik untuk mual dan muntah post-operatif adalah dengan pencegahan. Menghindari opiod akan mungurangi insidensi mual dan muntah post-operatif sepanjang ada penghilang nyeri yang adekuat (seperti berfungsinya blok kaudal pada pasien). Penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah pemberian cairan intravena dan penghentian asupan oral. Jika muntah menetap, metoklopramid, droperidol, atau ondansetron dapat dicoba. Jika muntah tidak teratasi, pasien sebaiknya diobservasi.

Faktor-faktor yang Meningkatkan Insidensi Mual dan Muntah Pasca Operasi

Faktor Pasien Faktor Pembedahan/Anestesi

Page 191: Dasar ilmu Anesthesi

191

Pasien berusia > 6 tahun

Riwayat mual dan muntah sebelumnya

Riwayat motion sickness

Mual pre-operatif

Sangat gelisah saat preoperatif

Lama pembedahan > 20 menit

Bedah mata

Tonsilektomi/adenoidektomi

Pemberian narkotik

? Nitrous Oksida

Masalah pernapasan, utamanya laringospasme dan stridor lebih sering ditemukan pada anak-anak dibanding pada orang dewasa. Penatalaksanaan laringo-spasme antara lain : oksigen bertekanan positif, maneuver Fink (jaw thrust yang nyeri), suksinilkolin, dan intubasi ulang jika perlu. Stridor biasanya ditangani dengan oksigen yang dihumidifikasi (dilembabkan), steroid, dan epinefrin rasemik.

KONTROVERSI

26. Apa signifikansi rigiditas otot masseter ?

Rigiditas otot masseter terjadi pada 1% anak-anak yang menerima halotan dan suksinilkolin. Tambahan natrium thiopental dapat mengurangi insidensi itu,

meskipun mekanisme kerjanya belum diketahui.

Rigiditas otot masseter bisa jadi gejala pertama hipertermia maligna (MH), tapi juga dapat terjadi pada pasien yang tidak diduga MH.

27. Bagaimana penatalaksanaan pasien yang mengalami rigiditas otot masseter ?

Sumber insidensi MH akibat rigiditas otot masseter masih kontroversi. Kebanyakan penulis percaya bahwa insidensinya 1% atau kurang; namun salah satu penelitian terbaru menunjukkan bahwa insidensi itu dapat setinggi 59% pada pasien yang diperiksa melalui biopsi otot.

Saat rigiditas otot masseter terjadi, masalah utama adalah apakah mengganti teknik yang tidak memicu atau menghentikan prosedur. Penulis biasanya setuju pada teknik yang tidak memicu dan operasi tetap dilanjutkan, kecuali terjadi tanda-tanda MH atau spasme otot masseter yang berat sehingga intubasi tidak memungkinkan.

Pasien sebaiknya dipantau setelah post operatif untuk melihat adanya peningkatan kadar kreatin fosfokinase (CPK) dan tanda-tanda MH yang lain (HR, TD, suhu, mioglobin urine). Jika kadar CPK postoperatif > 20.000, pasien sebaiknya ditangani dan didiagnosis sebagai MH. Jika CPK < 20.000, namun masih meningkat signifikan, penatalaksanaan MH sebaiknya dipertimbangkan, termasuk biopsi otot. Jika CPK normal atau meningkat minimal, pasien mungkin tidak berisiko MH.

28. Gambarkan penatalaksanaan pasien yang mengalami infeksi saluran napas atas ?

1. Risiko memburuknya pernapasan setelah dua minggu menderita infeksi saluran napas atas (ISPA), 9-11 kali lebih besar. Penyebab gangguan pulmonal antara lain :

Penurunan kapasitas difusi oksigen Penurunan kemampuan pengembangan

dan peningkatan resistensi

Penurunan volume akhir

Page 192: Dasar ilmu Anesthesi

192

Meningkatnya shunting (ketidaksesuaian ventilasi-perfusi), ambilan oksigen paru lebih cepat

Peningaktan insidensi hipoksemia

Peningkatan reaktivitas jalan napas

2. ETT meningkatkan risiko gangguan pernapasan3. Rekomendasi umum untuk anak-anak dengan ISPA

ringan

Mendiskusikan peningkatan risiko dengan pasien

Mencoba untuk menghindari intubasi

Penggunaan antikolinergik untuk menurunkan sekresi dan reaktivitas jalan napas

4. Pada anak-anak yang demam, ronkhi yang tidak jelas dan batuk, sinar X dada abnormal, hitung sel darah putih yang tinggi, atau penurunan derajat aktivitas sebaiknya dibuat jadual ulang.

29. Apa keuntungan dan kerugian sistem sirkuit dan sirkuit bain pada anak-anak?

Keuntungan dan Kerugian Sistem Sirkuit dan Sirkuit Otak Bain

Sirkuit Keuntungan Kerugian

Sistem Sirkuit

· Konsentrasi gas inspirasi yang relatif konstan

· Desainnya rumit, katub satu arah

· Kelembaban dan panas lebih alami

· Polusi pada ruang operatif minimal

· Bayi kecil (< 10 kg) harus bernapas lebih kuat untuk mengatasi resistensi katub

Sirkuit Bain

· Ringan

· Baik untuk ventilasi spontan atau terkontrol

· Resistensi minimal

· Gas yang diekshalasi dari luar pipa membuat gas yang akan diinspirasikan lebih hangat dan lebih lembab (dalam teori)

· Kebanyakan mesin anestesi memerlukan pemasangan khusus pada alat ini

· Pipa dalam dapat bengkok atau tidak terhubung

30. Apakah orang tua dibolehkan untuk menemani anaknya saat induksi anestesi ?

Anak-anak yang lebih muda dapat sangat gelisah dan ketakutan saat mereka dipisahkan dari orang tuanya sebelum pembedahan. Mengizinkan orang

tua untuk menemani anak di ruang operasi dapat memfasilitasi induksi anestesi pada beberapa kasus. Orang tua dan anak-anak sebaiknya diberitahu dan disiapkan menganai apa yang akan dilakukan. Orang tua sebaiknya siap meninggalkan ruang operasi saat anestesiologis yakin hal tersebut memang lebih tepat. Keberadan orang tua sering merasa gelisah, enggan, dan histeris di ruang operasi dapat sangat mengganggu. Seorang anestesiologis yang tidak nyaman dengan mengizinkan orang tua pasien untuk ikut serta saat induksi mungkin sebaiknya tidak mengizinkan mereka untuk ikut serta. Pada anak-anak yang tidak kooperatif atau ketakutan, keberadaan orang tua dapat bermanfaat, namun juga dapat sebaliknya.

BAB XVII

Keseimbangan Asam Basa

KONSEP DASAR Perbedaan ion kuat, PCO2, dan konsentrasi total asam lemah (ATOT) adalah yang terbaik dalam menjelaskan sistem fisiologis keseimbangan asam basa.Buffer bikarbonat efektif untuk melawan kelainan metabolik, tetapi tidak untuk gangguan asam basa respiratorik.Berbeda dengan buffer bikarbonat, hemoglobin dapat berfungsi sebagai penyangga asam karbonik (CO2) dan nonkarbonik (nonvolatile).Secara umum, PaCO2 dapat digunakan untuk meningkatkan

Page 193: Dasar ilmu Anesthesi

193

0,25-1 mmHg untuk setiap peningkatan 1 mEq/L [HCO3-].Respon ginjal terhadap keadaan asam ada 3 tahap: (1) Peningkatan reabsorbsi HCO3- yang telah difiltrasi, (2) Peningkatan ekskresi asam yang dititrasi, (3) Peningkatan produksi ammonia.Selama terjadi asidosis respiratorik kronik, [HCO3-] plasma meningkat sekitar 4mEq/L untuk setiap kenaikan 10mmHg PaCO2 diatas 40 mmHg.Diare merupakan penyebab terbanyak dari asidosis metabolic hiperkhloremik.Perbedaan dari akut dan kronik dari respirasi alkalosis tidak selalu dibuat, karena respon kompensasi dari respirasialkalosis kronis bervariasi: [HCO3-] Plasma menurun 2-5 mEq/L untuk setiap penurunan 10 mmHg dari PaCO2 dibawah 40 mmHg.Muntah atau kehilangan cairan lambung secara terus-menerus karena drainase lambung (nasogastric suctioning) dapat menyebabkan metabolik alkalosis, volume ekstraseluler berkurang, dan hipokalemia.Kombinasi dari alkalemia dan hipokalemia dapat menjadi pencetus terjadinya aritmia atrium dan ventrikel yang berat.Perubahan suhu mempengaruhi penghitungan dari PCO2 dan PO2 secara langsung dan pH secara tidak langsung. Baik PCO2 dan PO2 akan menurun selama hipotermi, tetapi pH meningkat karena suhu tidak mempengaruhi [HCO3-]: PaCO2 menurun, tetapi [HCO3-] tidak berubah.

Hampir semua reaksi biokimia di dalam tubuh kita tergantung dari pemeliharaan konsentrasi ion hidrogen yang fisiologis. Konsentrasi ion hidrogen harus diatur secara ketat karena

perubahan dari konsentrasi ion hidrogen ini menyebabkan disfungsi organ yang luas. Pengaturan ini (yang dikenal sebagai keseimbangan asam basa) merupakan hal yang sangat penting bagi anesthesiologist. Perubahan pada ventilasi dan perfusi dan infus cairan elektrolit sering terjadi selama anesthesia dan dengan cepat dapat mengganggu keseimbangan asam basa. Pemahaman yang baik dari gangguan asam basa, efek fisiologisnya, dan Penanganannya merupakan hal yang sangat essensial dalam manajemen anesthesi secara tepat.Pemahaman kita tentang keseimbangan asam basa terus berkembang. Sebelumnya, kita fokus pada konsentrasi on hidrogen, keseimbangan CO2, dan base excess/deficit. Sekarang kita mengerti bahwa perbedaan ion kuat (SID), PCO2, dan konsentrasi total asam lemah (ATOT) yang sangat baik dalam menjelaskan sistem keseimbangan asam basa secara fisiologis.Bab ini menjelaskan fisiologi asam basa, gangguan yang biasa terjadi, dan implikasinya dalam anesthesi. Pengukuran gas darah secara klinis dan interpretasinya juga dibicarakan dalam bab ini.

DEFINISIKIMIA ASAM BASAKonsentrasi Ion Hidrogen dan pHDalam setiap cairan biasa, molekul air terurai secara reversibel menjadi hidrogen dan ion hidroksida:

Proses ini dikenal sebagai disosiasi konstan, KW:

Konsentrasi air tidak digunakan karena hasilnya tidak signifikan dan sudah konstan. Oleh karena itu dengan pemberian [H+] atau [OH-] konsentrasi ion lainnya dapat dihitung.

Contoh: Jika [H+] = 10-8 nEq/L, maka [OH-] = 10-14 ÷ 10-8 = 10-6 nEq/L.

Nilai normal [H+] pada arteri adalah 40 nEq/L atau 40 x 10-9 mol/L. Konsentrasi ion hidrogen sering dikenal sebagai pH, pH dari suatu larutan didefinisikan sebagai logaritma negatif (base 10) dari [H+]. pH normal arteri adalah –log (40 x 10-9) = 7,40. Konsentrasi ion hidrogen yang sesuai dalam kehidupan adalah antara 16 dan 160 nEq/L (pH 6,8 – 7).

Gambar 1

Page 194: Dasar ilmu Anesthesi

194

Seperti disosiasi konstan lainnya, KW dipengaruhi oleh suhu. Oleh karena itu titik elektronetralitas untuk air terjadi pada pH 7,0 dengan suhu 250C atau pada pH 6,8 dan suhu 370C; Perubahan yang terjadi karena perubahan suhu menjadi penting selama hipotermi.Karena cairan fisiologis adalah larutan biasa yang kompleks, Faktor lain yang mempengaruhi penguraian dari air menjadi H+ dan OH- adalah SID, PCO2, dan ATOT.

Asam dan Basa Asam dikenal sebagai bahan kimia yang berperan sebagai proton [H+] donor,

sedangkan basa berperan sebagai penerima proton (definisi Bronsted-Lowry). Pada larutan fisiologis, lebih baik menggunakan definisi dari Arrhenius: Asam adalah senyawa yang terdiri dari hidrogen dan bereaksi dengan air untuh menghasilkan ion hidrogen. Basa adalah komponen yang menghasilkan ion hidroksida dari air. Dengan menggunakan definisi ini, SID menjadi sama pentingnya seperti ion-ion lain dalam larutan (kation dan anion) yang akan mempengaruhi disosiasi konstan dari air, dan konsentrasi ion hidrogen. Asam kuat merupakan substansi yang mudah dan hampir irreversibel yang dapat memberikan H+ dan dapat meningkatkan [H+], sedangkan basa kuat berikatan kuat dengan H+ dan menurunkan [H+]. Sebaliknya asam lemah memberikan H+ secara reversibel; keduanya punya efek yang sedikit terhadap [H+]. Senyawa biologis termasuk asam lemah atau basa lemah.Untuk larutan yang mengandung asam lemah HA

dengan disosiasi konstan K dapat digambarkan seperti :

Bentuk logaritma negatif menghasilkan persamaan yang dikenal dengan persamaan Henderson-Hasselbach:

Dari persamaan ini dapat dilihat bahwa pH dari larutan ini berhubungan dengan rasio antara anion yang terdisosiasi dengan asam

yang tidak terdisosiasi.Yang menjadi masalah dalam perhitungan ini adalah bahwa secara fenomenal – Pengukuran pH dan bikarbonat, dan kemudian variabel yang lainnya dapat dimanipulasi secara matematis. Perhitungan ini dapat diukur dengan baik dengan air murni – konsentrasi [H+] harus sama dengan [OH-]. Tetapi larutan fisiologis, walaupun larutan biasa, jauh lebih kompleks. Meskipun pada larutan yang kompleks, [H+] dapat diperkirakan dengan menggunakan tiga variabel : SID, PCO2, dan konsentrasi total asam lemah [ATOT].

Perbedan Ion Kuat SID adalah jumlah dari seluruh komponen kuat, baik yang terdisosiasi secara lengkap atau hampir lengkap, Kation (Na+, K+, Ca2+, Mg2+) dikurangi anion kuat (Cl-, laktat-, dan lain-lain)Walaupun kita dapat menghitung SID, karena hukum elektronetralitas harus diperhatikan, maka jika ada SID, ion lain yang tidak terhitung harus ada. PCO2 adalah variabel yang dapat berdiri sendiri dengan asumsi ventilasi tetap berlanjut. Basa konjugasi dari HA adalah A- dan biasanya sebagian besar terdiri dari foafat dan protein yang tidak berubah terhadap kedua variabel lainnya. A- ditambah AH adalah variabel yang berdiri sendiri karena nilainya tidak ditentukan oleh variabel yang lain. Perlu dicatat bahwa [H+] bukanlah ion kuat ( air tidak berdisosiasi secara lengkap), tetapi hal itu dapat terjadi atau dapat berespon terhadap setiap perubahan SID, PCO2, atau ATOT sesuai dengan hukum elektronetralitas dan keutuhan dari massa. Ion kuat tidak dapat dibuat untuk mancapai

Page 195: Dasar ilmu Anesthesi

195

elektronetralitas, tetapi ion hidrogen dibuat atau dipakai berdasarkan perubahan pada disosiasi air.

Gambar 2

Pasangan Konjugasi dan Buffer Seperti yang telah dibahas diatas, ketika asam lemah HA berada dalam larutan, HA dapat berperan sebagai asam dengan melepas H+ dan A- dapat berperan sebagai basa dengan menangkap H+. Oleh karena itu A- sering disebut basa terkonjugasi dari HA. Konsep yang sama dapat diterapkan untuk basa lemah, dimana

Oleh karena itu, BH+ merupakan asam terkonjugasi dari B.Buffer adalah larutan yang terdiri dari asam lemah dan basa terkonjugasi atau basa lemah dan asam terkonjugasi. Buffer meminimalisasikan setiap perubahan konsentrasi [H+] dengan cara mudah menerima atau melepaskan ion hidrogen. Sehingga buffer sangat efisien dalam meminimalisasi perubahan [H+] larutan

(contoh, [A-] = [HA]) ketika pH = pK. Terlebih lagi, pasangan konjugasi harus berada dalam jumlah yang signifikan dalam suatu larutan agar dapat berperan sebagai buffer yang efektif.

GANGGUAN KLINIS Pengertian yang jelas tentang gangguan asam basa dan kompensasi dari respon fisiologis membutuhkan terminologi yang baik. Kata ”-osis” disini digunakan untuk menyebutkan proses patologis yang mengubah pH arteri. Oleh karena itu, gangguan yang dikarenakan penurunan pH disebut asidosis, sedangkan yang dikarenakan peningkatan pH disebut alkalosis. Jika suatu gangguan terutama mempengaruhi [HCO3-], maka disebut metabolik. Jika gangguan terutama mempengaruhi PaCO2, maka disebut respiratorik. Respon kompensasi sekunder harus sesuai dengan nama sebenarnya dan tidak diikuti dengan kata ”-osis”. Mungkin seseorang akan mengarah ke metabolik asidosis dengan kompensasi respiratorik.

Jika hanya satu proses patologis yang terjadi, gangguan asam basa dianggap sederhana. Adanya dua atau lebih proses primer merupakan indikasi terjadinya gangguan asam

basa campuran.Kata ”-emia” digunakan untuk menunjukkan efek dari semua proses primer dan respon kompensasi fisiologis dari pH darah arteri. Karena pH normal darah arteri orang dewasa 7,35-7,45, pada keadaan asidemia pH <7,35, sedangkan pada alkalemia yang signifikan pH >7,45.

MEKANISME KOMPENSASIRespon fisiologis terhadap perubahan [H+] terdiri dari tiga fase: (1) Buffering kimia yang segera, (2) kompensasi respiratorik, (3) kompensasi yang lebih lambat, tetapi lebih efektif yaitu respon kompensasi ginjalyang hasilnya dapat mendekati pH normal arteri meskipun proses patologis masih berlangsung.

BODY BUFFERS Secara fisiologis buffer yang utama di manusia termasuk antara lain bikarbonat (H2CO3/HCO3-), Hemoglobin (HbH/Hb-), protein intraseluler (PrH/Pr-), fosfat (H2PO4/HPO4), dan ammonia (NH3/NH4+). Efektifitas dari keseluruhan buffer ini pada kompartemen cairan yang berbeda tergantung dari konsentrasinya. Bikarbonat adalah buffer yang sangat penting di kompartemen cairan ekstraseluler. Hemoglobin, yang terikat erat dalam sel darah merah, juga berfungsi sebagai buffer yang penting di dalam darah. Protein yang lainnya mungkin juga mempunyai pengaruh utama sebagai buffer pada kompartemen cairan intraseluler. Fosfat dan ammonia merupakan buffer urin yang utama.Penyanggaan dari kompartemen ekstraseluler dapat terpenuhi dengan pertukaran H+

Page 196: Dasar ilmu Anesthesi

196

ekstraseluler dengan Na+ dan Ca2+ dari tulang dan bisa juga dengan pertukaran antara H+ ekstraseluler dengan K+ intraseluler. Asam yang berlebih juga dapat menyebabkan demineralisasi tulang dan pelepasan senyawa alkali (CaCO3 dan CaHPO4). Alkali berlebih (NaHCO3) dapat meningkatkan deposit karbonat pada tulang.Penyanggaan oleh bikarbonat plasma dapat terjadi segera meskipun bikarbonat interstisial membutuhkan waktu 15-20 menit. Sebaliknya, penyanggaan dengan protein intreseluler dan tulang berlangsung lambat (2-4 jam). Lebih dari 50-60% asam berlebih mungkin dapat disangga oleh sistem penyangga dati tulang dan intraseluler.

Buffer Bikarbonat Meskipun dalam pengertian yang jelas bahwa buffer bikarbonat terdiri dari H2CO3 dan HCO3-, tekanan CO2 (PCO2) dapat menggantikan H2CO3, karena:

Hidrasi dari CO2 ini dikatalisasi oleh karbonik anhidrase. Jika penyesuaian ini dibuat dalam disosiasi konstan untuk buffer bikarbonat dan jika koefisien kelarutan untuk CO2 (0,03 mEq/L) dipakai, maka persamaan Henderson-Hesselbach dapat ditulis sebagai berikut:

dimana pK = 6,1.Jika pK tidak mendekati pH normal arteri 7,4 maka bikarbonat tidak dapat dikatakan sebagai buffer ekstraseluler yang efisien. Sistem

bikarbonat, bagaimanapun, penting karena dua alasan: (1) Bikarbonat (HCO3-) berada dalam konsentrasi yang tinggi alam cairan ekstraseluler, (2) Lebih penting lagi, PaCO2 dan [HCO3-] plasma diatur oleh paru-paru dan ginjal secara terus-menerus. Kemampuan dari kedua organ ini untuk mengubah rasio [HCO3-]/PaCO2 menyebabkan kedua organ ini memiliki pengaruh penting terhadap pH arteri.Cara yang praktis dan lebih sederhana dari persamaan Henderson-Hesselbach untuk buffer bikarbonat adalah:

Persamaan ini sangat berguna secara klinis karena pH dapat dengan mudah diubah ke [H+]. Dikatakan untuk pH dibawah 7,40, [H+] meningkat 1,25 nEq/L untuk setiapp penurunan pH sebesar 0,01; Untuk pH diatas 7,40, [H+] menurun sebesar 0,8 nEq/L untuk setiap peningkatan pH sebesar 0,01.Tabel 2

Contoh: Jika pH arteri = 7,28 dan PaCO2 = 24 mmHg, berapakah [HCO3-] plasma?

Karenanya,

Seharusnya buffer bikarbonat efektif untuk melawan metabolik tetapi tidak untuk melawan gangguan asam basa respirasi. Jika 3 mEq/L asam kuat nonvolatil seperti HCl ditambahkan ke dalam cairan ekstraseluler, reaksi berikutnya:

Tercatat bahwa HCO3- bereaksi dengan H+ untuk memproduksi CO2. Selebihnya, CO2 secara normal dieliminasi oleh paru-paru sehingga PaCO2 tidak berubah. Sebagai konsekwensi, [H+] = 24 x 40 ÷ 21 = 45,7 nEq/L dan pH = 7,34. Selanjutnya penurunan pada [HCO3-] mempengaruhi jumlah dari asam nonvolatil yang ditambahkan.Secara kontras, peningkatan tekanan CO2 (asam volatil) memiliki efek yang minimal pada [HCO3-]. Jika, untuk contoh, PaCO2 meningkat dari 40 ke 80 mmHg, CO2 yang terlarut meningkat hanya dari 1,2 mEq/L ke 2,2 mEq/L. Selebihnya, keseimbangan konstan untuk hidrasi dari CO2 meningkat secara minimal dan membawa reaksi ke arah kiri.

Page 197: Dasar ilmu Anesthesi

197

Jika asumsi yang sebenarnya dibuat bahwa [ HCO3–] tidak berubah, kemudian

Oleh karena meningkat sebanyak 40 nEq/L dan karena HCO3- diproduksi dalam rasio 1:1 dengan H+, [HCO3-] juga meningkat sebanyak 40 nEq/L. Karena [HCO3-] ekstraseluler juga meningkat secara nyata dari 24 mEq/L menjadi 24.000040 mEq/L. Oleh karena itu, buffer bikarbonat tidak efektif melawan peningkatan PaCO2 dan perubahan dalam [HCO3-] tidak mempengaruhi keparahan dari asidosis respiratorik.

Hemoglobin Sebagai Buffer Hemoglobin kaya akan histidin, yang merupakan buffer efektif dari pH 5,7 sampai 7,7 (pKa 6,8). Hemoglobin merupakan buffer nonkarbonik yang paling penting pada cairan ekstraseluler. Secara sederhana, hemoglobin dapat dipikirkan sebagai keberadaan sel darah merah dalam keseimbangan sebagai asam lemah (HHb) dan garam kalium (KHb). Berbeda dengan buffer bikarbonat, hemogloin dapat dipakai sebagai buffer untuk asam karbonik (CO2) dan nonkarbonik (nonvolatil):

KOMPENSASI PARU-PARUPerubahan pada ventilasi alveolar bertanggung jawab untuk kompensasi paru dari PaCO2 yang diperantarai oleh kemoreseptor pada batang otak. Reseptor ini berespon terhadap perubahan pada pH cairan serebrospinal.

Ventilasi permenit meningkat 1-4 L/menit untuk setiap peningkatan 1 mmHg PaCO2. Faktanya, paru-paru bertanggung jawab untuk mengeliminasi kira-kira 15 mEq karbondioksida yang diproduksi setiap hari sebagai produk metabolisme karbohidrat dan lemak. Respon kompensasi paru juga penting dalam pertahanan melawan perubahan pada pH selama gangguan metabolik.

Kompensasi Paru-Paru Selama Asidosis Metabolik Penurunan pH darah arteri menstimulasi pusat pernafasan di medulla. Hasil dari peningkatan ventilasi aleolar akan menurunkan PaCO2 dan cenderung menormalkan pH arteri. Respon paru terhadap PaCO2 yang rendah terjadi secara cepat tetapi mungkin tidak mencapai keadaan yang diinginkan sampai 12-24 jam; pH tidak pernah mencapai normal.PaCO2 secara normal turun 1-1,5 mmHg dibawah 40 mmHg untuk setiap penurunan [HCO3-] plasma sebesar 1 mEq/L.

Kompensasi Paru-Paru Selama Alkalosis Metabolik Peningkatan pH darah arteri akan menekan pusat pernafasan. Hasilnya hipoventilasi alveolar cenderung menaikkan PaCO2 dan mengembalikan pH arteri menjadi normal.Respon paru terhadap alkalosis metabolik secara umum sulit diprediksi dibandingkan respon terhadap asidosis matabolik. Hipoksemia, sebagai akibat dari hipoventilasi yang progresif, biasanya mengaktifkan axygen-sensitive chemoreceptor; kemudian menstimulasi

ventilasi dan membatasi respon kompensasi paru. Konsekwensinya, PaCO2 biasanya tidak pernah naik diatas 55 mmHg pada respon terhadap alkalosis metabolik. Secara umum, PaCO2 dapat diharapkan meningkat sebesar 0,25-1 mmHg untuk setiap peningkatan [HCO3-] sebesar 1 mEq/L.

KOMPENSASI GINJAL Kemampuan ginjal untuk mengatur jumlah reabsorbsi HCO3- yang terfiltrasi dari cairan tubulus, membentuk HCO3- yang baru, dan mengeliminasi H+ dalam bentuk asam yang dapat dititrasi dan ion ammonia menyebabkan mereka memberi pengaruh utama terhadap pH selama gangguan asam basa baik metabolik dan respiratorik.Pada kenyataannya, ginjal bertanggung jawab untuk mengeliminasi sekitar 1 mEq/kg/hari dari asam sulfat, asam fosfat, dan sebagian asam organik yang teroksidasi yang normalnya oleh metabolisme dari protein yang berasal dari makanan dan dari dalam tubuh (endogen), nukleoprotein, dan fosfat organik (fosfoprotein dan fosfolipid). Metablisme nukleoprotein juga menghasilkan asam urat. Pembakaran tidak sempurna dari asam lemak dan glukosa akan menghasilkan asam keton dan asam laktat. Alkali endogen dihasilkan selama metabolisme beberapa asam amino anionik (glutamat dan aspartat) dan senyawa organik lainnya (sitrat, asetat, dan laktat), tetapi jumlahnya tidak mencukupi untuk mengimbangi produksi asam endogen.

Kompensasi Ginjal Selama Asidosis Respon ginjal terhadap keadaan asam terdiri

Page 198: Dasar ilmu Anesthesi

198

dari 3 langkah: (1) Peningkatan reabsorbsi HCO3- yang terfiltrasi, (2) Peningkatan ekskresi asam yang dapat dicairkan, (3) Peningkatan produksi ammonia. Meskipun mekanisme ini dapat diaktifkan segera, efeknya secara umum tidak muncul dalam 12-24 jam dan mungkin belum maksimal setelah lebih dari 5 hari.

A. Meningkatkan Reabsorbsi Dari HCO3- CO2 didalam sel tubulus ginjal berikatan dengan air dan membentuk karbonat anhidrase. Asam karbonat (H2CO3) terbentuk dengan cepat dan terdisosiasi menjadi H+ dan HCO3-. Kemudian ion bikarbonat masuk ke aliran darah sementara ion H+ disekresi ke dalam tubulus ginjal, dimana H+ bereaksi dengan HCO3- yang terfiltrasi untuk membentuk H2CO3. Karbonik anhidrase menempel ke dinding lumen dan mengkalisasi peruabhan H2CO3 menjadi CO2 dan H2O. Kemudian CO2 dapat berdifusi kembali kedalam sel tubulus ginjal ntuk menggantikan CO2 yang sudah terpakai. Tubulus proksimal secara normal mereabsorbsi 80-90% bikarbonat yang terfiltrasi bersamaan dengan sodium, sedangkan tubulus distal bertanggung jawab hanya 10-20%. Tidak seperti pompa H+ pada tubulus proksimal, pompa H+ di tubulus distal tidak bersamaan dengan reabsorbsi sodium, dan memiliki kemampuan mengatur gradien H+ antara cairan tubulus dan sel tubulus. pH urine dapat menurun sampai 4,4 (Bandingkan dengan pH plasma yaitu 7,4).

Gambar 3

B. Meningkatkan Ekskresi Asam Yang Dapat Dicairkan Setelah seluruh HCO3- di dalam cairan tubulus kembali lagi ke dalam darah, H+ yang disekrasi ke dalam lumen dapat berikatan dengan HPO42- membentuk H2PO4 yang tidak dapat direabsorbsikarena muatannya dan dieliminasi melalui urine. Hasil akhirnya adalah H+ diekskresi dari tubuh dalam bentuk H2PO4, dan HCO3- dapat masuk ke aliran darah. Dengan pK 6,8, H2PO4/HPO42- secara normal merupakan buffer urine. Ketika pH urine mencapai 4,4, semua fosfat mencapai tubulus distal dalam bentuk H2PO4 dan ion HPO42- sudah tidak dapat lagi mengeliminasi H+. Gambar 4

C. Meningkatkan Pembentukan AmmoniaSetelah reabsorbsi lengkap HCO3- dan penggunaan dari buffer fosfat, NH3/NH4+ menjadi bufer urine yang sangat penting. Deaminasi glutamin didalam mitokondria di sel tubulus proksimal merupakan sumber utama untuk produksi NH3 di ginjal. Keadaan asam dalam darah (acidemis) menyebabkan peningkatan produksi NH3 ginjal. Ammonia yang terbentuk kemudian dapat melewati membran sel luminal dan masuk ke cairan tubulus, kemudian bereaksi dengan H+ membentuk NH4+. Tidak seperti NH3, NH4+ tidak dapat penetrasi ke membran luminal dan terperangkap didalam tubulus. Sehingga NH4+ di urine efektif untuk mengeliminasi H+.

Page 199: Dasar ilmu Anesthesi

199

Gambar 5

Kompensasi Ginjal Selama Alkalosis Jumlah HCO3- yang banyak secara normal difiltrasi dan kadang-kadang direabsorbsi karen aginjal butuh akskresi bikarbonat dalam jumlah banyak jika dibutuhkan. Sebagai haslnya, ginnjal sangat efektif dalam proteksi terhadap keadaan metabolik alkalosis yang secara umu terjadi karena defisiensi sodium atau mineralokortikoid berlebih. Deplesi dari sodium akan menurunkan volume cairan ekstraseluler dan meningkatkan reabsorbsi Na+ dari tubulus proksimal ginjal. Untuk mempertahankan keadaan netral, ion Na+ membawa ion Cl- saat melewati membran. Karena jumlah ion Cl- menurun (<10 mEq/L di urine), maka HCO3- harus direabsorbsi.

Sebagai tambahan, peningkatan sekresi H+ sebagai pengganti untuk meningkatkan reabsorbsi Na+ membutuhkan pembentukan HCO3- yang berkelanjutan dengan metabolik alkalosis. Sama halnya, peningkatan aktivitas mineralokortikoid meningkatkan reabsorbsi Na+ yang diperantarai oleh hormon aldosterone sebagai pengganti ntuk sekresi ion H+ di tubulus distal, dan akhirnya peningkatan pementukan HCO3- dapat menjadi pencetus atau memperberat metabolik alkalosis. Metabolik alkalosis biasanya berhubungan dengan peningkatan aktivitas mineralokortikoid meskipun tidak terjadi deplesi dari sodium dan klorida.

Base Excess Base Excess adalah jumlah assam atau basa yang harus ditambahkan ke dalam darah agar pHnya kembali menjadi 7,4 dan PaCO2 menjadi 40 mmHh pada keadaan saturasi O2 maksimal dan suhu 370C. Ditambah lagi, pemberian ini hanya berlaku untuk buffer yang nonkarbonik di darah. Singkatnya, base excess menggambarkan tentang komponen metabolisme dari gangguan asam asa. Nilai positif menandakan keadaan metabolisme alkalosis, sedangkan nilai negatif menandakan metabolisme asidosis. Base excess biasanya dalam bentuk grafik atau secara elektronik dari normogram yang dikembabngkan oleh Siggaard-Anderson dan membutuhkan penghitungan konsentrasi hemoglobin.Gambar 6

ASIDOSISEFEK FISIOLOGIS TERHADAP ACIDEMIA [H+] diregulasi secara ketat dalam batas nanomol/L (36-43 nmol/L) karena ion H+ memiliki kepadatan muatan yang tinggi dan medan listrik yang las yang dapat mempengaruhi kekuatan ikatan hidrogen yang secara fisiologis terdapat pada hampir semua biokimia. Reaksi biokimia sangat sensitif akan perubahan [H+]. Keseluruhan efek akhir dari acidemia yang terlihat pada pasien

Page 200: Dasar ilmu Anesthesi

200

menunjukkan keseimbangan antara efek secara langsung dan aktivasi simpatis ginjal. Dengan keadaan asidosis yang memburuk (pH < 7,20), efek depresi secara langsung sangat dominan. Depresi otot jantung dan otot polos secara langsung menyebabkan penurunan kontraksi jantung dan resistensi pembuluh perifer, dan pada akhirnya menyebabkan hipotensi tang progresif. Asidosis yang berat menyebabkan hipoksia jaringan disamping menyebabkan affinitas hemoglobin terhadap oksigen bergeser ke arah kanan. Jantung dan otot polos pembuluh darah menjadi kurang responsif terhadap katekolamin eksogen dan endogen, dan ambang fibrilasi ventrikel menurun. Hiperkalemia yang progresif sebagai akibat dari K+ yang keluar dari sel sebagai pengganti untuk H+ ekstraseluler juga sangat potensial untuk menyebabkan kematian.[K+] plasma meningkat sampai kira-kira 0,6 mEq/L untuk setiap penurunan pH sebesar 0,10. Depresi sistem saraf pusat lebih sering terjadi pada respirasi asidosis dibandingkan metabolik asidosis. Pengaruh ini, seringkali disebut Narkosis CO2, mungkin sebagai hasil dari hipertensi sekunder intrakranial untuk meningkatkan aliran darah otak (Cerebral Blood Flow) dan asidosis intrasel yang berat. Tidak seperti CO2, ion H+ tidak mudah penetrasi melalui sawar darah otak.

ASIDOSIS RESPIRATORIK Acidosis respiratorik digambarkan sebagai peningkatan PaCO2 primer. Peningkatan ini berdasar pada reaksi:

ke arah kanan akan menyebabkan peningkatan [H+] dan menurunkan pH arteri. Sesuai dengan reaksi diatas, [HCO3-] sedikit sekali terpengaruh.PaCO2 menggambarkan keseimbangan antara produksi CO2 dan pembuangan CO2:

Produksi karbondioksida berasal dari metabolisme lemak dan karbohidrat. Aktivitas otot, Suhu tubuh, dan aktivitas hormon tiroid mempunyai pengaruh besar terhadap produksi CO2. Karena produksi CO2 tidak dapat dinilai di bawah banyak keadaan, maka asidosis respiratorik biasanya disebabkan hipoventilasi alveolar. Pada pasien dengan kapasitas yang terbatas untuk meningkatkan ventilasi alveolar, bagaimanapun juga, peningkatan produksi CO2 dapat menjadi pencetus asidosis respiratorik.

Tabel 30 – 3

Page 201: Dasar ilmu Anesthesi

201

Asidosis Respiratorik AkutRespon kompensasi terhadap peningkatan PaCO2 secara akut (6-12 jam) adalah terbatas. Sistem penyangga yang berperan secara primer dilakukan oleh hemoglobin dan pertukaran H+ ekstraseluler dengan Na+ dan K+ dari tulang dan kompartemen cairan interstisial. Respon ginjal untuk mempertahankan bikarbonat dalam jumlah lebih sangat terbatas pada keadaan yang akut. Sebagai hasilnya, [HCO3-] plasma meningkat hanya sekitar 1 mEq/L untuk setiap peningkatan 10 mmHg dari PaCO2 di bawah 40 mmHg.

Asidosis Respiratorik Kronis Kompensasi ginjal yang maksimal menandakan terjadinya asidosis respiratorik kronis. Kompensasi ginjal dapat dinilai hanya setelah 12-24 jam dan mungkin mencapai maksimal setelah 3-5 hari. Selama waktu itu, peningkatan PaCO2 yang bertahan sejak lama menyebabkan kompensasi ginjal yang maksimal. Selama asidosis respiratorik kronis, [HCO3-] plasma meningkat sekitar 4 mEq/L untuk setiap peningkatan 10 mmHg dari PaCO2 dibawah 40 mmHg.

Penanganan Asidosis Respiratorik Asidosis respiratorik diterapi dengan mengembalikan ketidakseimbangan antara produksi CO2 dan ventilasi alveolar. Pada kebanyakan kasus, terapi ini dilakukan dengan meningkatkan ventilasi alveolar. Ukuran yang ditujukan pada penurunan produksi CO2 sangat berguna hanya pada kasus-kasus yang

spesifik (seperti, dantrolene untuk hipertermi berat, paralisis otot untuk tetanus, medikasi antitiroid untuk krisis tiroid, dan penurunan asupan kalori). Penantian yang tepat yang ditujukan untuk meningkatkan ventilasi alveolar termasuk bronkhodilatasi, pengembalian keadaan narkosis, pemberian stimulan pernafasan (doxapram), atau meningkatkan kemampuan pengembangan paru (diuresis). Asidosis yang moderat sampai berat (pH < 7,20), narkosis CO2, dan kelelahan otot pernafasan yang tiba-tiba merupakan indikasi untuk pemasangan ventilator. Peningkatan konsentrasi oksigen inspirasi juga diperlukan, karena hipoksemia yang menetap biasa terjadi. NaHCO3 intravenous sangat jarang terjadi kecuali pH < 7.10 dan HCO3 < 15 mEq /L. Terapi sodium bikarbonat akan meningkatkan PaCO2 :

Buffer yang tidak menghasilkan CO2 seperti carbicarb, atau tromethamine, (THAM) bisa digunakan sebagai alternatif tetapi tidak terbukti keuntungannya. Carbicarb adalah campuran dari 0,3 M sodium bikarbonat dan 0,3 M sodium carbonat, buffering dengan campuran ini terutama memproduksi sodium bikarbonat bila dibandingkan dengan CO2. Tromethamin punya keuntungan karena mengandung aPasien dengan dasar kronik asidosis respiratorik memerlukan pertimbangan khusus. Ketika pasien dengan dengan kegagalan ventilasi akut, terapi yang harus dicapai dengan mengembalikan PaCO2 ke

normal. Mengembalikan nilai normal PaCO2 pasien kenilai 40 mmHg akan memberikan hasil alkalosis. Terapi oksigen harus diperhatikan, karena kemampuan resipiratori pada pasien ini sudah terbiasa dalam keadaan hipoksemi, bukan PaCO2 atau meningkatkan kemampuan death space. Sehingga menormalisasikan PaCO2 atau relatif hiperoksia akan memicu terjadinya hipoventilasi.

Asidosis Metabolik Asidosis metabolik didefinisikan sebagai penurunan primer dari HCO3 . Proses patologis akan menghasilkan asidosis metabolik melalui salah satu dari tiga mekanisme sebagai berikut, 1. Konsumsi HCO3 dengan asam kuat nonvolatil, 2. Eksresi Renal atau gastrointestinal dari bikarbonat, 3. Pengenceran cepat dari kompartemen cairan ekstraseluler dengan cairan bebas bikarbonat .Penurunan dari plasma (HCO3) tanpa diikuti dengan reduksi PaCO2 akan menurunkan pH arteri. Reaksi kompensasi pulmonal dalam asidosis metabolik sederhana tidak akan menurunkan PaCO2 sampai tingkat yang dapat menormalkan pH tapi kompensasi hanya berupa hiperventali nag jelas (Kussmaul).

Tabel 30.4 menggambarkan kelain-lelainan yang dapat menyebabkan asidosi metabolik. Catat bahwa diferensial diagnosis yang menyebabkan asidosis metabolik dapat diketahui melalui perhitungan anion gap.

Page 202: Dasar ilmu Anesthesi

202

Anion GapAnion gap di plasma biasanya didefinisikan

sebagai perbedaan antara ukuran mayor kation dan anion.

Atau

Beberapa klinis memasukan kalium plasma dalam perhitungkan menggunakan nilai normal,

Pada dasarnya, anion gap tidak dapat muncul karena tubuh selalu mempertahankan keseimbangan elektrolit; jumlah anion sama dengan jumlah kation. Jadi,

Kation yang tidak terukur termasuk K+, Ca++, dan Mg++, sedangkan anion yang tidak terukur termasuk semua anion organic (termasuk proteinplasma), fosfat dan sulfat. Albumin plasma normalnya menggambarkan fraksi terbesar anion gap (sekitar 11 mEq/l). Anion gap turun 2,5 mEq/l setiap reduksi albumin plasma 1 g/dl. Proses apapun yang meningkatkan anion tidak terukur atau menurunkan kation tidak terukur akan meningkatkan anion gap. Sebaliknya, proses apapun yang menurunkan anion tidak terukur akan menurunkan anion gap.Elevasi ringan anion gap plasma hingga 20 mEq/l tidak membantu diagnosis selama

asidosis, tetapi nilai > 30 mEq/l biasanya mengindikasikan adanya asidosis dengan anion gap tinggi (below). Alkalosis metabolic juga dapat menyebabkan anion gap yang tinggi karena penurunan volume elstraseluler, peningkatan pertukaran albumin, dan peningkatan produksi laktat sebagai kompensasi. Anion gap plasma yang rrendah mungkin disertai hipoalbumin, intoksikasi bromida atau lithium dan multiple myeloma.

Asidosis Metabolik Dengan Anion Gap Tinggi Asidosis metebolik dengan anion gap tinggi ditandai dengan meningkatnya asam nonvolatile kuat. Asam ini dilepaskan dari H+ dan menggambarkan anion; H+ membutuhkan HCO-3 untuk menghasilkan CO2, dimana anionnya (basa konjugasi) berakumulasi dan menggantiikan HCO-3 dalam cairan ekstraseluler (anion gap tinggi). Asam non volatile dapat dihasilkan atau digunakan (ingested) secara endogen.

A. Kegagalan Ekskresi Asam Non Volatile Endogen Asam organik yang dihasilkan secara endogen normalnya dikeluarakanb oleh ginjal lewat urin. GFR < 20 ml/menit (gagal ginjal) identik dengan asidosis metabolik yang progresif yang berasal dari akumulasi asam – asam tersebut.

B. Peningkatan Produksi Asam Non Volatile Endogen Hipoksia jaringan yang berat diikuti hipoksemia, hipoperfusi (iskemia) atau ketidakmampuan menggunakan O2

Page 203: Dasar ilmu Anesthesi

203

(keracunan sianida) dapat m,enyebabkan asidosis laktat. Asam laktat yang merupakan hasil akhir metabolisme glukosa secara anaerob (glikolisis) secara cepat berakumulasi dalam kodisi – kondisi tersebut. Penrunan penggunaan laktat oleh hepar penggeluaran yang sedikit oleh ginjal tidak begitu bertangguang jawab atas terjadinya asidoss metabolik; penyebabnya termasuk hipoperfusi, alakoholisme, dan penyakit hepar. Kadar laktat dapat dengan mudah diukur dan normalnya 0,3 – 1,3 mEq/l. Asidosis - lactatdisebabkan oleh D-lactic acid yang tidak dikenali oleh enzim dehydogenase (dan tidak diukur dalam pemeriksaan rutin), dapat ditemukan pada pasien dengan short bowel syndromes; D-lactic acid dibentuk oleh bakteri colon dari makanan yang mengandung glukosa dan gandum dan diabsorbsi seccara sistemik. Kekurangan insulin yang absolut atau relatif dapat menimbulkan hiperglikemia dan ketoasidosis yang progresif yang berasal dari akumulasi β-hidroksibutirat dan asam asetat. Ketoasidosis juga dapat terlihat dalam keadaan kelaparan dan kecanduan alkohol. Patofisiologi asidosis sering berhubungan dengan intoksikasi alkohol dan koma non ketotik hiperosmolar dan sangat kompleks dan dapat disertai pembentukan laktat, keto dan asam tidak dikenal lainnya. Beberapa gangguan metabolik bawaan sejak lahir , seperti maple syrup urine disease, methylmalonic aciduria, propionic acidemia dan isovalleric acidemia, menyebabkan asidosis metabolik dengan anion gap tinggi sebagai hasil akumulasi asam amino abnormal.

C. Penggunaan Asam Non Volatile Eksogen

Penggunaan salisilat dalam jumlah besar sering menyebabkan asidosis metabolik. Asam salisilat sebagaimana asam intermediate lainnya secara cepat berakumulasi dan menimbulkan asidosis dengan anion gap. Karena salisilat juga menstimulasi langsung pernafasan, pada kebanyakan orang dewasa asidosis metabolik disertai asidosis respiratorik. Penggunaan metanol (methyl alcohol) sering menyebabkan asidosis dan gangguan penglihatan (retinitis). Gejala – gejalanya baru muncul setelah oksidasi lambat metanol oleh enzim alcohol dehydrogenase untuk membentuk asam glikolat. Asam glikolat, penyebab utama asidosis, lebih lanjut dapat tersimpan di ginjal dan menyebabkan gagal ginjal.

Asidosis Metabolik Dengan Anion Gap Normal Asidosis metabolik dengan anion gap normal biasanya ditandai dengan hiperkloremia. Konsentrasi CL- di plasma meningkat, menggantikan ion HCO-3 yang hilang. Perhitungan anion gap dalam urin dapat mewbantu diagnosis asidosis dengan anion gap normal.            Anion gap urin = ([Na+] + [K+]) – [Cl-]Anion gap urin normalnya positif atau mendekati nol. Kation urin tidak terukur yang utama adalah NH4+, yang seharusnya meningkat (bersamaan dengan Cl-) selama asidosis metabolik, pada akhirnya mengahasilkan anion gap negatif. Kegagalan

sekresi H+ atau NH4+, sebagaimana terjadi pada gagal ginjal atau asidosis tubulus ginjal (below?), menghasilkan anion gap urin positif daripada asidosis metabolik.

A. Peningkatan Pelepasan HCO3- Gastrointestinal Diare merupakan penyebab tersering asidosis metabolikmhiperkloremik. Cairan diare mengandung HCO3- 20 – 50 mEq/l. Usus halus, saluran empedu dan cairan pakreas kaya akan HCO3-. Kehilangan cairan ini dalam jumlah besar dapat menyebabkan asidosis metabolik hiperkloremik. Pasien dengan uterosigmoidostomies dan ileal loops yang terlalu panjang atau dengan obstrksi parsial dapat mengakibatkansidosis metabolik hiperkloremik. supan yang mengandung klorida sebagai pengganti anion resin (cholestyramine) atau jumlah kalsium yang banyak atau magnesium klorida bisa menunjukkan peningkatan absorbsi klorida dan kehilangan ion bikarbonat. Resin yang tdak dapat direabsorbsi mengikat ion bikarbonat, sedangkan kalsium dan magnesium berikatan dengan bikarbonat untuk membentuk garam yang tidak larut di dalam usus.

B. Peningkatan Pelepasan HCO-3 Ginjal Pengeluaran HCO-3 dari ginjal bisa terjadi karena kegagalan reabsorbsi HCO-3 yang tersaring atau untuk mensekresi jumlah ion H+ yang adekuat dalam bentuk asssam yang dapat diencerkan atau ion amonium. Kelainan ini ditemuklan pada pasien yang mnegkonsumsi carbonic anhydrase inhibitor seperti

Page 204: Dasar ilmu Anesthesi

204

asetolamid dan pada pasien yang mempunyai asidosis tubulus ginjal.Asidosis tubulus ginjal meningkatkan kelompok dengan kelainan nonazotemik dengan sekresi H+ oleh tubulus ginjal, menyebabkan Ph urin yang terlalu tinggi untuk asidemia sistemik. Kelainan ini mungkin disebabkan oleh kelainan primer di ginjal atau mungkin oleh kelainan sekunder akibat penyakit stemik. Tempat terjadinya kelainan sekresi H+ mungkin di tubulus ginjal distal atau proksimal. Hipoaldosteronisme hiporeninemia biasanya selalu mengarah ke tipe -4 asidosis tubulus ginjal. Dengan asidosis tubulus distal ginjal, kelainan terjaadi pada tempat dimana hampir semua HCO-3 yang terfiltrasi telah direabsorbsi. Sebagai hasilnya, terjadi kegagalan pengasaman urin, dimana jumlah asam yang diekskresi lebih rendah dibanding jumlah asam yang diproduksi. Kelainan ini seringkali berhubungan dengan hipokalemia, demineralisasi tulang, nefrolitiasis dan nefrokalsinosis. Terapi álcali (NaHCO3 1 – 3 mEq/kkg/hari) biasanya cukup untuk memperbaiki efek samping – efek samping tersebut. Dengan asidosis tubulus ginjal proksimal kurang dari biasanya, gangguan sekresi H+ di tubulus proksimal menyebabkan pembuangan HCO-3 yang Herat. Kelainan serupa pada reabsorbsi di tubulus untuk zat yang lain seperti glucosa, asam amino, atau fosfat sering terjadi. Asidosisi hioperkloremi terjadi pada penurunan volume dan hipokalemia. Penangananya termasuk pemberian álcali (sebanyak 10 – 25 mEq/kg/hari) dan suplemen potasium.

C. Penyebab Lain Terjadinya Asidosis Hiperkloremi Asidosis hiperkloremi akibat pengenceran dapat terjadi ketika volume ekstraseluler meningkat secara cepat dengan pemberian cairan bikarbonat bebas seperti normal saline. HCO-3 plasma menurun sesuai jumlah cairan infus yang diberikan sebagaimana kadar HCO-3 ekstraseluler diencerkan. Cairan infus asam amino (parenteral hyperalimentation) mengandung kation organik yang lebih banyak daripada anion organik dan dapat menyebabkan asidosis metabolik karena klorida pada umumnya digunakan sebagai anion untuk asam amino kationik. Akhirnya kelebihan kuantitas dari asam yang mengandung klorida seperti amonium klorida atau arginin hidroklorida (biasanya diberikan untuk menangani alkalosis metabolik) dapat menyebabkan acidosis metabolik hypercloremic.

Penanganan asidosis metabolik Beberapa pemeriksaan umum dapat dilakukan untuk mengetahui seberapa parah asidemia yang terjadi hingga penyebabnya dapat diatasi..Respirasi harus dikontrol bila perlu: PaCO2 serendah 30s dapat digunakan untuk mengembalikan PH kebali normal. Jika PH arterial tetap di bawah 7,20, terapi alkali , biasanya digunakan NaHCO3 (dalam larutan 7,5 % biasanya diperlukan. PaCO3 mungkin akan sedikit meningkat seiring dengan penggunaan HCO3 oleh senyawa asam (memperlihatkan perlunya pengendalian respirasi pada asidemia yang berat). Jumlah

NaHCO3 yang diberikan ditentukan secara empiris sebesar 1 mEq/kg atau dengan menghitung base excess dan bikarbonat. Pada beberapa kasus, analisa gas darah serial diperlukan untuk menghindari komplikasi misalnya kelebihan alkali atau overload sodium. Dan untuk mengevaluasi terapi yang diberikan.peningkatan PH arterial > 7,25 biasanya cukup untuk mengetahui efek samping dari asidemia. Asidemia yang refrakter mungkin memerlukan hemodialisis dengan dialisat bikarbonat.Penggunaan rutin NaHCO3 dalam jumlah banyak dalam penanganan henti jantung dan low flow states tidak lagi direkomendasikan. Asidosis seluler paradoksik dapat muncul , biasanya pada saat eliminasi CO2 terganggu. Karena CO2 yang telah terbentuk memasuki sel sementara ion bikarbonatnya belum. Peningkatan buffer yang tidak meningkatkan CO2 secara teoritis merupakan keadaan yang terpilih, tapi tidak terbukti secara klinik.Terapi spesifik untuk ketoasidodis diabetikum termasuk perbaikan defisit cairan yang telah terjadi sebagai akibat dari diuresis osmotic hiperglikemik dilanjutkan dengan penanganan insulin, potassium, fosfat dan magnesium. Penanganan asidosis laktat harus diarahkan pertama kali untuk mengembalikan oksigenasi yang adekuat dan perfusi jaringan. Alkalinisasi urin oleh NaHCO3 untuk PH yang lebih besar dari 7 meningkatkan eliminasi salisilat untuk keadaan keracunan salisilat. Infus etanol (IV 8-10 mL/Kg 10% etanol dalam larutan D5 dalam 30 menit dibarengi dengan infuse kontinum sebesar 0,15 mL/kg/jam untuk mencapai kadar etanol dalam darah 100-130

Page 205: Dasar ilmu Anesthesi

205

mg/dL) adalah indikasi untuk keadaan keracunan methanol atau etilen glikol. Etanol berkompetisi dengan alkohol dehidrogenase dan menurunkan pembentukan asam dari methanol glikolik dan asam oksalat dari etilen glikol.

Bikarbonat Space adalah volume HCO3 yang akan didistribusikan saat diberikan intra vena. Walaupun secara teoritis harus menyeimbangkan dengan ruang cairan ekstraseluler (25% dari berat badan), dalam kenyataannya dapat sebesar 25%-60% tergantung derajat keparahan dan lamanya sidosis terjadi. Variasi ini setidaknya berkaitan dengan jumlah buffer tulang dan intraseluler yang telah ada.

Contoh menghitung jumlah NaHCO3 yang diperlukan untuk menghitung defisit basa (BD) -10mEq/L pada seorang laki-laki 70 tahun dengan bikarbonat space diperkirakan sebesar 30%:

dalam prakteknya, hanya 50% dari dosis yang telah dihitung (105 mEq) biasa diberikan, setelahnya dilakukan pengukuran AGD.

Pertimbangan anestesi pada pasien dengan asidosis Asidosis dapat membangkitkan efek depresan pada sebagian besar sedatif dan obat anestesi pada SSP dan peredaran darah. Karena sebagian besar opioid adalah basa lemah,

asidosis dapat meningkatkan fraksi obat dalam bentuk tak terioniasasi dan mempermudah penetrasi ke dalam otak. Peningkatan sedasi dan deprsi dari refleks pernafasan dapat menjadi predisposisi terjadinya aspirasi paru. Efek Depresi sirkulasi obat anestesi volátil dan intravena dapat ditingkatkan. Obat-obatan yang meningkatkan tonos simpastis dapat meningkatkan keadaan depresi sirkulasi dalam keadaan asidosis. Halotan lebih aritmigenik dalam keadaan asidosis. Suksinilkolin sebaiknya dihindari pada pasien asidosis dengan hiperkalemia untuk mencegah peningkatan K+ plasma. Asidosis respirasi menginduksi blokade neuromuskular non depolarize. Untuk mengimbangi ion Na+ yang direabsorpsi, peningkatan sekresi H+ harus digunakan untuk menjaga netralitas electrón. Sebagai akibatnya, ion HCO3- yang telah diekresi akan direabsorpsi mengakibatkan alkalosis metabolik. Secara fisiologis, maintenance volume cairan ekstraseluler lebih prioritas dari balance asam-basa. Karena sekresi ion K+ dapat menjaga netralitas electrón, sekresi potasium juga ditingkatkan. Hipokalemi meningkatkan sekresi H+ dan reabsorpsi HCO3- dan juga menyebabkan asidosis metabolik. Konsentrasi klorida urin selama alkalosis metabolik sensitif klorida biasanya rendah (< 10mEq/L). Terapi diuretik adalah penyebab yang paling umum alkalosis metabolik sensitif klorida. Diuretik seperti furosemide, asam etakrinat, dan tiazid meningkatkan sekresi Na+, Cl-, dan K+, mengakibatkan penurunan kadar NaCl, hipokalemi, dan biasanya alkalosis metabolik

sedang. Sekret gastrik mengandung ion H+ sebesar 25-100mEq/L, Na+ sebesar 40-160mEq/L, K+ sekitar 15 mEq/L dan ion Cl- sebesar 200mEq/L. muntah atau kehilangan cairan gaster melaui suction nasogastrik dapat berakibat alkalosis metabolik, penurunan volume ekstraseluler, dan hipokalemia. Normalisasi cepat dari PaCO2 setelah [HCO3-] plasma telah meningkat pada asidosis respiratoris kronik pada alkalosis metabolik. Infant diberikan intake yang mengandung Na+ tanpa klorida pada yang telah mengalami alkalosis metabolik karena peningkatan sekresi H+ atau K+ yang harus diimbangi dengan absorpsi sodium.    ALKALOSISEfek Fisiologis Alkalosis Alkalosis meningkatkan afinitas Hb terhadap oksigen dan pergeseran kurva disosiasi ke kiri, menyebabkan Hb lebih sulit melepaskan oksigen ke jaringan. Pertukaran H+ keluar sel dengan K+ ekstraseluler yang masuk ke dalam sel menyebabkan hipokalemia. Alkalosis meningkatkan jumlah binding site kalsium pada protein plasma, menurunkan ionisasi plasma, sehingga menyebabkan depresi sirkulasi dan iritabilitas neuromuscular. Alkalosis respiratori menurunkan cerebral blood flow, meningkatkan resistensi vascular sistemik dan presipitasi vasospasme koroner. Pada pulmonal, alkalosis respiratori meningkatkan tonus otot polos bronkus (bronkokonstriksi) namun menurunkan rsistensi vascular pulmonal.

Alkalosis Respiratori Alkalosis respiratori didefenisikan sebagai

Page 206: Dasar ilmu Anesthesi

206

menurunnya PaCO2 secara primer. Mekanismenya adalah abnormalitas peningkatan ventilasi alveolar relative terhadap produksi CO2. Tabel 30-5 menunjukkan penyebab alkalosis respiratori yang paling sering. [HCO3-] plasma biasanya turun 2 mEq/L untuk setiap penurunan 10 mmHg secara akut PaCO2 dibawah 40 mmHg. Perbedaan antara alkalosis respiratori akut dan kronis tidak selalu ada, karena respon kompensasialkalosis sedikit bervariasi ; [HCO3-] plasma menurun 2-5 mEq/L untuk setiap penurunan 10 mmHg PaCO2 dibawah 40 mmHg.

Tabel 5 Penyebab Alkalosis Respitorik

Penanganan Alkalosis RespiratoriKoreksi yang paling mendasari adalah satu-

satunya treatment alkalosis respiratori. Alkalemia berat (pH arteri >7,6), pemberian asam hidroklorida intravena, arginin klorida atau ammonium klorida dapat diindikasikan.

ALKALOSIS METABOLIK Alkalosis metabolic adalah peningkatan primer [HCO3-] plasma. Kasus alkalosis metabolik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) yang berhubungan dengan defisiensi NaCl dan deplesi cairan ekstraseluler, kadang disebut chloride sensitive, (2) yang berhubungan dengan peningkatan aktivitas mineralokortikoid, desibut dengan chloride resistent.

Page 207: Dasar ilmu Anesthesi

207

Alkalosis Metabolik Resisten Klorida

Peningkatan aktivitas mineralokortikoid biasanya berakibat alkalosis metabolik meskipun tidak ada kaitannya dengan penurunan volume ekstraseluler. Peningkatan tak terkendali aktivitas mineralokortikoid menyebabkan retensi sodium dan peningkatan volume ekstraseluler. Peningkatan sekresi H+ dan K+ mengambil bagian untuk menyeimbangkan reabsorpsi sodium yang telah ditingkatkan oleh aktivitas mineralokortikoid., menghasilkan alkalosis metabolik dan hipokalemia. Konsentrasi klorida urin biasanya lebih dari 20mEq/L pada kasus seperti ini.

Alkalosis Metabolik dengan penyebab lain Alkalosis metabolik jarang ditemui pada pasien yang diberikan NaHCO3 bahkan pada dosis yang besar kecuali ada gangguan pada ekresi HCO3-. Pemberian produk darah dalam jumlah yang besar dan plasma protein yang mengandung koloid biasanya berakibat alkalosis metabolik. Sitrat, laktat, dan asetat yang terkandung dalam cairan ini dikonversi oleh hepar menjadi HCO3-. Pasien yang mendapat penisilin sodium dosis tinggi, biasanya carbenicillin dapat berakibat alkalosis metabolik. Karena penisilin berperan sebagai anion nonabsorbable dalam tubulus renalis, peningkatan sekresi H+ dan K+ harus diimbangi dengan absorpsi sodium. Untuk alasan yang tidak jelas, hiperkalsemi karana sebab nonparatiroid (milk-alkali síndrome dan metastase tulang) juga sering berkaitan dengan alkalosis metabolik. Patofisiologi alkalosis karena refeeding juga belum diketahui.

Penanganan Alkalosis Metabolik Seperti kelainan asam basa lainnya, perbaikan alkalosis metabolik tak pernah selesai kecuali penyebab utama telah ditangani. Saat ventilasi dikontrol, componen respirasi yang menyebabkan alkalemia harus dikoreksi dengan menurunkan minute ventilation untuk normalisasi PaCO2. Penanganan terpilih untuk alkalosis metabolik sensitif klorida ádalah pemberian saline IV dan potasium/KCl. Terapi blokade H-2 berguna bila penyebabnya adalah kehilangan cairan gaster. Asetazolamide dapat berguna pada pasien yang edematous. Alkalosis dikaitkan dengan peningkatan aktivitas mineralokortikoid memberikan respon yang baik dengan pemberian antagosis aldosteron/spironolactone. Pada keadaan pH arterial lebih dari 7,60, penanganan dengan hydrochlorida IV (0,1 mol/L), amonium klorida (0,1mol/L), arginine hidrokorida atau hemodialisa harus dipertimbangkan.

Pertimbangan Anestesi pada pasien dengan alkalemia Alkalosis respiratori sepertinya meningkatkan durasi depresi pernafasan yang diinduksi dengan opioid. Iskemi serebral dapat muncul karena adanya penurunan cerebral blood flow selama alkalosis respiratori, terutama saat hipotensi. Kombinasi dari alkalemia dan hipokalemia dapat mempresipitasi aritmia atrium dan ventrikel yang berat. Potensiasi blokade neuromuskular non depolarizing ditemukan pada alkalemia, tapi lebih dikarenakan adanya hipokalemia yang terjadi bersamaan.

Page 208: Dasar ilmu Anesthesi

208

Penanganan Metabolisme Alkalosis Seperti dengan gangguan asam basa lainnya, koreksi metabolisme alkalosis tidak pernah lengkap sampai gangguan dasar dirawat. Kapan ventilasi dikendalikan, pernapasan apapun yang mendukung alkalemia harus dikoreksi dengan menurunkan waktu ventilasi menit menjadi PaCO2 normal. Penanganan metabolisme alkalosis pada chloride-sensitive adalah dari ion bersifat garam (NaCl) kedalam pembuluh darah dan kalium ( KCl). H2-blocker therapy bermanfaat ketika hilangnya cairan lambung berlebihan merupakan suatu faktor. Acetazolamide boleh juga bermanfaat pada pasien edematous. Alkalosis terasosiasi dengan peningkatan langsung dalam aktivitas mineralocorticoid yang siap bereaksi terhadap aldosterone lawan ( spironolactone). Ketika pH darah arteri lebih besar dari 7.60, penanganan dengan asam hydrochloric ( 0.1 mol/L), ammonium klorid ( 0.1 mol/L), arginine hydrochloride, atau hemodialysis ke dalam pembuluh darah harus dipertimbangkan.

PERTIMBANGAN ANESTHETIC PADA PASIEN DENGAN ALKALEMIA Alkalosis Pernapasan tampak untuk memperpanjang jangka waktu dari tekanan pernapasan opioid-induced; efek ini boleh diakibatkan oleh peningkatan protein yang

mengikat opioids. Cerebral Ischemia ditandai dengan pengurangan dalam aliran darah cerebral selama Alkalosis Pernapasan, terutama sekali selama hypotension. Kombinasi alkalemia dan hypokalemia dapat mempercepat atrial dan ventricular arrhythmias. Potensi dari nondepolarizing neuromuscular blokade dilaporkan dengan alkalemia tetapi mungkin lebih secara langsung serentak berhubungan dengan hypokalemia.

DIAGNOSIS GANGGUAN ASAM BASA Interpretasi status asam basa dari analisis gas darah membutuhkan pendekatan sistematis. Rekomendasinya adalah sebagai berikut :

1. Memeriksa pH arteri ; apakah terdapat asidemia atau alkalemia?

2. Memeriksa PaCO2 ; apakah perubahan PaCO2 sesuai dengan komponen respiratori?

3. Jika perubahan PaCO2 tidak menjelaskan perubahan pH arteri, apakah perubahan [HCO3-] mengindikasikan komponen metabolik?

4. Buat diagnosis tentative.

5. Bandingkan perubahan [HCO3-] dengan perubahan PaCO2. Apakah

terdapat kompensasi? Karena pH arteri berhubungan dengan rasio PaCO2 dan [HCO3-], dimana kompensasi pulmonal maupun renalis selalu terjadi perubahan PaCO2 dan [HCO3-] yang searah. Perubahan yang berlawanan arah mengindikasikan gangguan asam basa campuran.

6. Jika mekanisme kompensasi yang terjadi lebih atau kurang dari yang diharapkan, maka terjadi gangguan asam basa campuran.

7. Hitung gap anion plasma pada kasus asidosis metabolik.

8. Ukur konsentrasi klorida urin pada kasus alkalosis metabolik.

Pendekatan alternatif yang cepat namun kurang tepat adalah dengan menghubungkan perubahan pH dengan perubahan CO2 dan HCO3. pada gangguan respiratori, setiap perubahan 10 mmHg CO2 akan menyebabkan perubahan pH arteri 0,08 U dengan arah yang berlawanan. Selama gangguan metabolik, setiap perubahan 6 mEq HCO3 juga merubah pH arteri 0,1 dengan arah yang sama. Jika perubahan pH melebihi atau kurang dari yang diprediksikan, maka mungkin terjadi gangguan asam basa campuran.

Page 209: Dasar ilmu Anesthesi

209

PENGUKURAN TEKANAN GAS DARAH DAN PH DARAH Nilai yang didapat dari pengukuran gas darah rutin meliputi tekanan oksigen dan karbondioksida (PO2 dan PCO2), pH, [HCO3-], base excess, hemoglobin, dan persentasi saturasi oksigen. Seharusnya hanya PO2 , PCO2 dan pH yang diukur. Hemoglobin dan persentase saturasi oksigen diukur dengan cooximeter. [HCO3-] diukur dengan menggunakan persamaan Henderson-Hasselbalch dan base excess dari nomogram Siggaard-Andersen.

Sumber Sampel dan Pengumpulannya Sampel darah arteri adalah yang paling sering digunakan secara klinis, walaupun darah vena atau kapiler dapat digunakan jika sampel

terbatas. Tekanan oksigen pada darah vena (normal 40 mmHg) menggambarkan ekstraksi jaringan bukan fungsi pulmonal. PCO2 vena biasanya 4-6 mmHg lebih tinggi dari PaCO2. Konsekuensinya, pH darah vena 0,05 U lebih rendah dari pH darah arteri. Walaupun begitu, darah vena sering digunakan dalam menentukan status asam basa. Darah kapiler merepresentasikan campuran darah arteri dan vena, dan nilai yang didapat merefleksikan hal tersebut. sampel biasanya dikumpulkan pada syringe heparin dan harus dianalisis segera. Gelembung udara harus ditiadakan, sampel ditutup dan diletakkan di atas es untuk mencegah ambilan udara dari sel darah atau kehilangan udara ke atmosfer. Walaupun heparin sangat asam, jumlah haparin yang berlebihan dalam syringe hanya menurunkan pH secara minimal namun menurunkan PCO2 sebanding dengan persentase dilusinya, serta

memiliki efek bervariasi terhadap PO2.

Koreksi Suhu Perubahan pada suhu mempengaruhi PCO2 dan Po2 secara langsung serta pH secara tidak langsung. Turunnya suhu menurnunkan tekanan parsial gas pada larutan- walaupun total gas content tidak berubah- karena kelarutan sebanding dengan suhu. Baik PCO2 dan PO2 turun selama keadaan hipotermia, namun pH meningkat karena suhu tidak mengubah [HCO3-] : PaCO2 menurnu, namun [HCO3-] tidak berubah. Karena tekanan gas darah dan pH selalu diukur pada suhu 37º C, terdapat kontroversi apakan pengukuran nilai harus disesuaikan dengan suhu pasien sebenarnya. Nilai normal pada suhu selain 37 C tidak diketahui. Banyak klinisi menggunakan pengukuran pada suhu 37 C, mengabaikan suhu pasien yang sebenarnya.

Page 210: Dasar ilmu Anesthesi

210

Pengukuran pH Ketika logam diletakkan pada larutan garam, tendensi logam untuk berionisasi ke dalam larutan menyebabkan logam bermuatan negatif. Jika dua logam yang berbeda (elektroda) dan larutan garamnya dipisahkan oleh partisi berpori (bisa terjadi pertukaran muatan), tendensi salah satu logam untuk larut ke dalam larutan dibandingkan logam yang lain menyebabkan adanya sebuah gaya elektromotive antara dua elektroda. Untuk mengukur pH, elektroda perak/ perak klorida dan elektroda merkuri/ merkuri klorida (calomel) adalah yang paling sering digunakan. Elektroda perak kontak dengan larutan uji melalui gelas yang sensitif terhadap pH. Elektroda calomel berhadapan dengan larutan uji melalui larutan potassium klorida dan porous plug. Gaya elektromotive berkembang antara dua elektroda adalah sebanding dengan [H+].

Pengukuran Karbondioksida Modifikasi sistem elektroda pH dapat digunakan untuk mengukur PCO2. pada sistem ini, (elektroda Severinghaus), dua elektroda dipisahkan oleh larutan sodium bikarbonat dan potasium klorida. Sampel uji kontak dengan larutan bikarbonat melalui membran teflon yang tipis yang menyebabkan keseimbangan CO2 antara keduanya. Hasilnya, pH larutan bikarbonat merefleksikan PCO2 pada larutan uji.

Pengukuran Oksigen PO2 paling sering diukur secara polarografis

menggunakan elektroda Clark. Pada sistem ini, hubungan platinum dengan perak/ perak klorida melalui larutan elektrolit (NaCl dan KCl) sampel uji dipisahkan dari larutan elektrolit melalui membran yang menyebabkan oksigen brdifuis secara bebas. Ketika voltase negatif ditambahkan pada elektroda platinum, listrik yang mengalir antara dua elektroda secara langsung berhubungan dengan PO2. pada prosesnya, molekul oksigen menangkap elektron dari katoda dan bereaksi dengan air membentuk ion hidroksida.

BAB XVIII

Keseimbangan Cairan, Elektrolit dan Asam Basa

Pendahuluan      Manusia sebagai organisme multiseluler dikelilingi oleh lingkungan luar (milieu exterior) dan sel-selnya pun hidup dalam milieu interior yang berupa darah dan cairan tubuh lainnya. Cairan dalam tubuh, termasuk darah, meliputi lebih kurang 60% dari total berat badan laki-laki dewasa. Dalam cairan tubuh terlarut zat-zat makanan dan ion-ion yang diperlukan oleh sel untuk hidup, berkembang dan menjalankan tugasnya.

Page 211: Dasar ilmu Anesthesi

211

Untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik sangat dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya. Semua pengaturan fisiologis untuk mempertahankan keadaan normal disebut homeostasis. Homeostasis ini bergantung pada kemampuan tubuh mempertahankan keseimbangan antara subtansi-subtansi yang ada di milieu interior. Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan dua parameter penting, yaitu: volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ektrasel. Ginjal mengontrol volume cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan garam dan mengontrol osmolaritas cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankan keseimbangan ini dengan mengatur keluaran garam dan urine sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut.

Ginjal juga turut berperan dalam mempertahankan keseimbangan asam-basa dengan mengatur keluaran ion hidrogen dan ion karbonat dalam urine sesuai kebutuhan. Selain ginjal, yang turut berperan dalam keseimbangan asam-basa adalah paru-paru dengan mengekskresikan ion hidrogen dan CO2, dan sistem dapar (buffer) kimi dalam cairan tubuh.

Komposisi Cairan Tubuh               Telah disampaikan pada pendahuluan di atas bahwa cairan dalam tubuh meliputi lebih kurang 60% total berat badan laki-laki dewasa. Prosentase cairan tubuh ini bervariasi antara

individu, sesuai dengan jenis kelamin dan umur individu tersebut. Pada wanita dewasa, cairan tubuh meliputi 50% dari total berat badan. Pada bayi dan anak-anak, prosentase ini relatif lebih besar dibandingkan orang dewasa dan lansia.

Cairan tubuh menempati kompartmen intrasel dan ekstrasel. 2/3 bagian dari cairan tubuh berada di dalam sel (cairan intrasel/CIS) dan 1/3 bagian berada di luar sel (cairan ekstrasel/CES). CES dibagi cairan intravaskuler atau plasma darah yang meliputi 20% CES atau 15% dari total berat badan; dan cairan intersisial yang mencapai 80% CES atau 5% dari total berat badan. Selain kedua kompatmen tersebut, ada kompartmen lain yang ditempati oleh cairan tubuh, yaitu cairan transel. Namun volumenya diabaikan karena kecil, yaitu cairan sendi, cairan otak, cairan perikard, liur pencernaan, dll. Ion Na+ dan Cl- terutama terdapat pada cairan ektrasel, sedangkan ion K+ di cairan intrasel. Anion protein tidak tampak dalam cairan intersisial karena jumlahnya paling sedikit dibandingkan dengan intrasel dan plasma.

Perbedaan komposisi cairan tubuh berbagai kompartmen terjadi karena adanya barier yang memisahkan mereka. Membran sel memisahkan cairan intrasel dengan cairan intersisial, sedangkan dinding kapiler memisahkan cairan intersisial dengan plasma. Dalam keadaan normal, terjadi keseimbangan susunan dan volume cairan antar kompartmen. Bila terjadi perubahan konsentrasi atau tekanan di salah satu kompartmen, maka akan

terjadi perpindahan cairan atau ion antar kompartemen sehingga terjadi keseimbangan kembali.

Perpindahan Substansi Antar Kompartmen             Setiap kompartmen dipisahkan oleh barier atau membran yang membatasi mereka. Setiap zat yang akan pindah harus dapat menembus barier atau membran tersebut. Bila substansi zat tersebut dapat melalui membran, maka membran tersebut permeabel terhadap zat tersebut. Jika tidak dapat menembusnya, maka membran tersebut tidak permeabel untuk substansi tersebut. Membran disebut semipermeable (permeabel selektif) bila beberapa partikel dapat melaluinya tetapi partikel lain tidak dapat menembusnya.

Perpindahan substansi melalui membran ada yang secara aktif atau pasif. Transport aktif membutuhkan energi, sedangkan transport pasif tidak membutuhkan energi.

Difusi         Partikel (ion atau molekul) suatu substansi yang terlarut selalu bergerak dan cenderung menyebar dari daerah yang konsentrasinya tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah sehingga konsentrasi substansi partikel tersebut merata. Perpindahan partikel seperti ini disebut difusi. Beberapa faktor yang mempengaruhi laju difusi ditentukan sesuai dengan hukum Fick (Fick’s law of diffusion). Faktor-faktor tersebut adalah:

Page 212: Dasar ilmu Anesthesi

212

1. Peningkatan perbedaan konsentrasi substansi.2. Peningkatan permeabilitas.3. Peningkatan luas permukaan difusi.4. Berat molekul substansi.5. Jarak yang ditempuh untuk difusi.

OsmosisBila suatu substansi larut dalam air, konsentrasi air dalam larutan tersebut lebih rendah dibandingkan konsentrasi air dalam larutan air murni dengan volume yang sama. Hal ini karena tempat molekul air telah ditempati oleh molekul substansi tersebut. Jadi bila konsentrasi zat yang terlarut meningkatkan, konsentrasi air akan menurun.Bila suatu larutan dipisahkan oleh suatu membran yang semipermeabel dengan larutan yang volumenya sama namun berbeda konsentrasi zat terlarut, maka terjadi perpindahan air/zat pelarut dari larutan dengan konsentrasi zat terlarut lebih tinggi. Perpindahan seperti ini disebut dengan osmosis.

FiltrasiFiltrasi terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara dua ruang yang dibatasi oleh membran. Cairan akan keluar dari daerah yang bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah. Jumlah cairan yang keluar sebanding dengan besar perbedaan tekanan, luas permukaan membran dan permeabilitas membran. Tekanan yang mempengaruhi filtrasi ini disebut tekanan hidrostatik.

Transport aktif              

Transport aktif diperlukan untuk mengembalikan partikel yang telah berdifusi secara pasif dari daerah yang konsentrasinya rendah ke daerah yang konsentrasinya lebih tinggi. Perpindahan seperti ini membutuhkan energi (ATP) untuk melawan perbedaan konsentrasi. Contoh: Pompa Na-K.

Keseimbangan Cairan dan Elektrolit        Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan dua parameter penting, yaitu volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ekstrasel. Ginjal mengontrol volume cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan garam dan mengontrol osmolaritas cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankan keseimbangan ini dengan mengatur keluaran garam dan air dalam urine sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut.

1. Pengaturan volume cairan ekstrasel.      Penurunan volume cairan ekstrasel menyebabkan penurunan tekanan darah arteri dengan menurunkan volume plasma. Sebaliknya, peningkatan volume cairan ekstrasel dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri dengan memperbanyak volume plasma. Pengontrolan volume cairan ekstrasel penting untuk pengaturan tekanan darah jangka panjang.

Mempertahankan keseimbangan asupan dan keluaran (intake dan output) air. Untuk mempertahankan

volume cairan tubuh kurang lebih tetap, maka harus ada keseimbangan antara air yang ke luar dan yang masuk ke dalam tubuh. hal ini terjadi karena adanya pertukaran cairan antar kompartmen dan antara tubuh dengan lingkungan luarnya. Water turnover dibagi dalam: 1. eksternal fluid exchange, pertukaran antara tubuh dengan lingkungan luar; dan 2. Internal fluid exchange, pertukaran cairan antar pelbagai kompartmen, seperti proses filtrasi dan reabsorpsi di kapiler ginjal.

Memeperhatikan keseimbangan garam. Seperti halnya keseimbangan air, keseimbangan garam juga perlu dipertahankan sehingga asupan garam sama dengan keluarannya. Permasalahannya adalah seseorang hampir tidak pernah memeprthatikan jumlah garam yang ia konsumsi sehingga sesuai dengan kebutuhannya. Tetapi, seseorang mengkonsumsi garam sesuai dengan seleranya dan cenderung lebih dari kebutuhan. Kelebihan garam yang dikonsumsi harus diekskresikan dalam urine untuk mempertahankan keseimbangan garam.

Ginjal mengontrol jumlah garam yang dieksresi dengan cara:

1. Mengontrol jumlah garam (natrium) yang difiltrasi dengan pengaturan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)/ Glomerulus Filtration Rate (GFR).

Page 213: Dasar ilmu Anesthesi

213

2. Mengontrol jumlah yang direabsorbsi di tubulus ginjal

Jumlah Na+ yang direasorbsi juga bergantung pada sistem yang berperan mengontrol tekanan darah. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron mengatur reabsorbsi Na+ dan retensi Na+ di tubulus distal dan collecting. Retensi Na+ meningkatkan retensi air sehingga meningkatkan volume plasma dan menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri.Selain sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron, Atrial Natriuretic Peptide (ANP) atau hormon atriopeptin menurunkan reabsorbsi natrium dan air. Hormon ini disekresi leh sel atrium jantung jika mengalami distensi peningkatan volume plasma. Penurunan reabsorbsi natrium dan air di tubulus ginjal meningkatkan eksresi urine sehingga mengembalikan volume darah kembali normal.

2. Pengaturan Osmolaritas cairan ekstrasel.             Osmolaritas cairan adalah ukuran konsentrasi partikel solut (zat terlarut) dalam suatu larutan. semakin tinggi osmolaritas, semakin tinggi konsentrasi solute atau semakin rendah konsentrasi solutnya lebih rendah (konsentrasi air lebih tinggi) ke area yang konsentrasi solutnya lebih tinggi (konsentrasi air lebih rendah).

Osmosis hanya terjadi jika terjadi perbedaan konsentrasi solut yang tidak dapat menmbus membran plasma di intrasel dan ekstrasel. Ion

natrium menrupakan solut yang banyak ditemukan di cairan ekstrasel, dan ion utama yang berperan penting dalam menentukan aktivitas osmotik cairan ekstrasel. sedangkan di dalam cairan intrasel, ion kalium bertanggung jawab dalam menentukan aktivitas osmotik cairan intrasel. Distribusi yang tidak merata dari ion natrium dan kalium ini menyebabkan perubahan kadar kedua ion ini bertanggung jawab dalam menetukan aktivitas osmotik di kedua kompartmen ini. Pengaturan osmolaritas cairan ekstrasel oleh tubuh dilakukan dilakukan melalui:

Perubahan osmolaritas di nefron 

Di sepanjang tubulus yang membentuk nefron ginjal, terjadi perubahan osmolaritas yang pada akhirnya akan membentuk urine yang sesuai dengan keadaan cairan tubuh secara keseluruhan di dukstus koligen. Glomerulus menghasilkan cairan yang isosmotik di tubulus proksimal (300 mOsm). Dinding tubulus ansa Henle pars decending sangat permeable terhadap air, sehingga di bagian ini terjadi reabsorbsi cairan ke kapiler peritubular atau vasa recta. Hal ini menyebabkan cairan di dalam lumen tubulus menjadi hiperosmotik.Dinding tubulus ansa henle pars acenden tidak permeable terhadap air dan secara aktif memindahkan NaCl keluar tubulus. Hal ini menyebabkan reabsobsi garam tanpa osmosis air. Sehingga cairan yang sampai ke tubulus distal dan duktus koligen menjadi hipoosmotik. Permeabilitas dinding tubulus distal dan duktus koligen bervariasi bergantung pada ada tidaknya vasopresin

(ADH). Sehingga urine yang dibentuk di duktus koligen dan akhirnya di keluarkan ke pelvis ginjal dan ureter juga bergantung pada ada tidaknya vasopresis (ADH).

Mekanisme haus dan peranan vasopresin (antidiuretic hormone/ADH). 

Peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel (>280 mOsm) akan merangsang osmoreseptor di hypotalamus. Rangsangan ini akan dihantarkan ke neuron hypotalamus yang mensintesis vasopresin. Vasopresin akan dilepaskan oleh hipofisis posterior ke dalam darah dan akan berikatan dengan reseptornya di duktus koligen. ikatan vasopresin dengan reseptornya di duktus koligen memicu terbentuknya aquaporin, yaitu kanal air di membrane bagian apeks duktus koligen. Pembentukkan aquaporin ini memungkinkan terjadinya reabsorbsi cairan ke vasa recta. Hal ini menyebabkan urine yang terbentuk di duktus koligen menjadi sedikit dan hiperosmotik atau pekat, sehingga cairan di dalam tubuh tetap dipertahankan.selain itu, rangsangan pada osmoreseptor di hypotalamus akibat peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel juga akan dihantarkan ke pusat haus di hypotalamus sehingga terbentuk perilaku untuk membatasi haus, dan cairan di dalam tubuh kembali normal.

Pengaturan Neuroendokrin dalam Keseimbangan Cairan dan ElektrolitSebagai kesimpulan, pengaturan

Page 214: Dasar ilmu Anesthesi

214

keseimbangan keseimbangan cairan dan elektrolit diperankan oleh system saraf dan sistem endokrin. Sistem saraf mendapat informasi adanya perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit melalui baroreseptor di arkus aorta dan sinus karotikus, osmoreseptor di hypotalamus, dan volume reseptor atau reseptor regang di atrium. Sedangkan dalam sistem endokrin, hormon-hormon yang berperan saat tubuh mengalami kekurangan cairan adalah Angiotensin II, Aldosteron, dan Vasopresin/ADH dengan meningkatkan reabsorbsi natrium dan air. Sementara, jika terjadi peningkatan volume cairan tubuh, maka hormone atriopeptin (ANP) akan meningkatkan eksresi volume natrium dan air.

perubahan volume dan osmolaritas cairan dapat terjadi pada beberapa keadaan.Faktor lain yang mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit di antaranya ialah umur, suhu lingkungan, diet, stres, dan penyakit.

Keseimbangan Asam-Basa        Keseimbangan asam-basa terkait dengan pengaturan konsentrasi ion H bebas dalam cairan tubuh. pH rata-rata darah adalah 7,4; pH darah arteri 7,45 dan darah vena 7,35. Jika pH <7,35>7,45 dikatakan alkalosis. Ion H terutama diperoleh dari aktivitas metabolik dalam tubuh. Ion H secara normal dan kontinyu akan ditambahkan ke cairan tubuh dari 3 sumber, yaitu:

1. Pembentukkan asam karbonat dan sebagian akan berdisosiasi menjadi ion H dan bikarbonat.

2. Katabolisme zat organik

3. Disosiasi asam organik pada metabolisme intermedia, misalnya pada metabolisme lemak terbentuk asam lemak dan asam laktat, sebagian asam ini akan berdisosiasi melepaskan ion H.

Fluktuasi konsentrasi ion H dalam tubuh akan mempengaruhi fungsi normal sel, antara lain:

1. Perubahan eksitabilitas saraf dan otot; pada asidosis terjadi depresi susunan saraf pusat, sebaliknya pada alkalosis terjadi hipereksitabilitas.

2. Mempengaruhi enzim-enzim dalam tubuh

3. Mempengaruhi konsentrasi ion K

bila terjadi perubahan konsentrasi ion H maka tubuh berusaha mempertahankan ion H seperti nilai semula dengan cara:

1. Mengaktifkan sistem dapar kimia2. Mekanisme pengontrolan pH oleh

sistem pernafasan

3. Mekasnisme pengontrolan pH oleh sistem perkemihan

Ada 4 sistem dapar:1. Dapar bikarbonat; merupakan sistem

dapar di cairan ekstrasel terutama untuk perubahan yang disebabkan oleh non-bikarbonat

2. Dapar protein; merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel dan intrasel

3. Dapar hemoglobin; merupakan sistem dapar di dalam eritrosit untuk perubahan asam karbonat

4. Dapar fosfat; merupakan sistem dapar di sistem perkemihan dan cairan intrasel.

sistem dapat kimia hanya mengatasi ketidakseimbangan asam-basa sementara. Jika dengan dapar kimia tidak cukup memperbaiki ketidakseimbangan, maka pengontrolan pH akan dilanjutkan oleh paru-paru yang berespon secara cepat terhadap perubahan kadar ion H dalam darah akinat rangsangan pada kemoreseptor dan pusat pernafasan, kemudian mempertahankan kadarnya sampai ginjal menghilangkan ketidakseimbangan tersebut. Ginjal mampu meregulasi ketidakseimbangan ion H secara lambat dengan menskresikan ion H dan menambahkan bikarbonat baru ke dalam darah karena memiliki dapar fosfat dan amonia.

Ketidakseimbangan Asam-Basa        Ada 4 kategori ketidakseimbangan asam-basa, yaitu:

1. Asidosis respiratori, disebabkan oleh retensi CO2 akibat hipoventilasi. Pembentukkan H2CO3 meningkat, dan disosiasi asam ini akan meningkatkan konsentrasi ion H.

2. Alkalosis metabolik, disebabkan oleh kehilangan CO2 yang berlebihan akibat hiperventilasi. Pembentukan H2CO3 menurun sehingga pembentukkan ion H menurun.

Page 215: Dasar ilmu Anesthesi

215

3. Asidosis metabolik, asidosis yang bukan disebabkan oleh gangguan ventilasi paru, diare akut, diabetes melitus, olahraga yang terlalu berat dan asidosis uremia akibat gagal ginjal akan menyebabkan penurunan kadar bikarbonat sehingga kadar ion H bebas meningkat.

4. Alkalosis metabolik., terjadi penurunan kadar ion H dalam plasma karena defiensi asam non-karbonat. Akibatnya konsentrasi bikarbonat meningkat. Hal ini terjadi karena kehilangan ion H karena muntah-muntah dan minum obat-obat alkalis. Hilangnyaion H akan menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk menetralisir bikarbonat, sehingga kadar bikarbonat plasma meningkat.

Untuk mengkompensasi gangguan keseimbangan asam-basa tersebut, fungsi pernapasan dan ginjal sangat penting.

Kesimpulan       Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan 2 parameter penting, yaitu: volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ekstrasel. Ginjal mengontrol volume cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan garan dan mengontrol osmolaritas ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankan keseimbangan ini dengan mengatur keluaran garam dan air dalam urine sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan kehilangan

abnormal dari air dan garam tersebut. Ginjal juga turut berperan dalam mempertahankan keseimbangan asam-basa dengan mengatur keluaran ion hidrogen dan ion bikarbonat dalam urine sesuai kebutuhan. Selain ginjal, yang turut berperan dalam keseimbangan asam-basa adalah paru-paru dengan mengeksresikan ion hidrogen dan CO2 dan sistem dapar (buffer) kimia dalam cairan tubuh.

BAB XIX

Terapi Cairan dan Transfusi

PENILAIAN VOLUME INTRAVASKULER Penilaian dan evaluasi  klinis volume intravascular biasanya dapat dipercaya, sebab pengukuran volume cairan kompartemen belum ada. Volume cairan intravascular dapat ditaksir dengan menggunakan pemeriksaan fisik atau laboratorium atau dengan bantuan monitoring hemodynamic yang canggih. Dengan mengabaikan metoda yang ada, evaluasi serial diperlukan untuk mengkonfirmasikan kesan awal dan panduan terapi cairan. Lebih dari itu,  perlu melengkapi satu sama lain, sebab semua parameter tidak langsung, pengukuran volume nonspesifik, kepercayaan pada tiap parameter mungkin salah.

Page 216: Dasar ilmu Anesthesi

216

Pemeriksaan FisikPemeriksaan fisik preoperative adalah yang paling dapat dipercaya .Tanda- tanda hipovolemia meliputi turgor kulit, hidrasi selaput lendir, denyut nadi yang kuat, denyut jantung dan tekanan darah dan orthostatic berubah dari yang terlentang ke duduk atau posisi berdiri, dan mengukur pengeluaran urin. Banyak obat yang pakai selama pembiusan, seperti halnya efek fisiologis dari stress pembedahan, mengubah tanda-tanda ini dan

memandang tak dapat dipercaya periode sesudah operasi. Selama operasi, denyut nadi yang kuat (radial atau dorsalis pedis), pengeluaran urin, dan tanda tidak langsung, seperti respon tekanan darah ke tekanan ventilasi yang positive dan vasodilatasi atau efek inotropic negative dari anestesi, adalah yang paling sering digunakan. Pitting edema-presacral pada pasien yang tidur atau pada pretibial pada pasien yang dapat berjalan- peningkatan pengeluaran urin adalah tanda hypervolemia pada pasien dengan dengan jantung, hepar, dan fungsi ginjal yang

normal. Gejala lanjut dari hypervolemia yaitu tachycardia, pulmonary crackles, wheezing, cyanosis, dan frothy pulmonary secretion.

Tabel. Tanda-Tanda Kehilangan Cairan (Hipovolemia)

Page 217: Dasar ilmu Anesthesi

217

Evaluasi Laboratorium Beberapa pengukuran laboratorium digunakan untuk menilai volume intravascular dan ketercukupan perfusi.jaringan Pengukuran ini meliputi serial hematocrits, seperti pH darah arteri, berat jenis atau osmolalitas urin, konsentrasi klorida atau natrium dalam urin, Natrium dalam darah, dan creatinin serum, ratio blood urea nitrogen (perbandingan BUN). Ini hanya pengukuran volume intravascular secara tidak langsung dan sering tidak bisa dipercaya selama operasi sebab dipengaruhi oleh beberapa variabel dan hasilnya sering terlambat. Tanda-tanda laboratorium dari dehidrasi yaitu peningkatan hematocrit progresif acidosis metabolic yang progresif, berat jenis urin >1.010, Natrium dalam urin <10 mEq/L, osmolalitas > 450 mOsm/kg, hypernatremia, dan ratio BUN- -kreatinin >10:1. Tanda-tanda pada foto roentgen adalah meningkatnya vaskularisasi

paru dan interstitiel yang ditandai dengan ( Kerly " B") atau infiltrasi difus pada alveolar adalah tanda-tanda dari overload cairan   

Pengukuran Hemodinamik  Monitoring CVP diindikasikan pada pasien dengan jantung dan fungsi paru yang normal jika status volume sukar untuk dinilai dengan alat lain atau jika diharapkan adanya perubahan yang cepat. Pembacaan CVP harus diinterpretasikan nilai yang rendah(< 5 mm Hg) mungkin normal kecuali jika ada tanda-tanda hypovolemia. Lebih dari itu, respon dari bolus cairan ( 250 mL) yang ditandai dengan: sedikit peningkatan ( 1-2 mm Hg) merupakan indikasi penambahan cairan, sedangkan suatu peningkatan yang besar (> 5 mm Hg) kebutuhan cairan cukup dan evaluasi kembali status volume cairan.. CVP yang terbaca >12 mmHg dipertimbangkan. hypervolemia dalam disfungsi ventricular kanan, meningkatnya

tekanan intrathorakal, atau penyakit pericardial restriktif. Monitoring tekanan arteri Pulmonary dimungkinkan jika CVP tidak berkorelasi dengan gejala klinis atau jika pasien mempunyai kelainan primer atau sekunder dari fungsi ventrikel kanan, kelainan fungsi tubuh; yang juga berhubungan dengan paru-paru atau penyakit pada ventrikel kiri. Pulmonary Artery Occlusion Pressure (PAOP) <8 mmHg menunjukkan adanya hypovolemia ,dikonfirmasi dengan gejala klinis; bagaimanapun, nilai <15 Mm Hg berhubungan dengan pasien yang hipovolemia relative dengan compliance ventrikel lemah. Pengukuran PAOP >18 mmHg dan biasanya menandakan beban volume ventrikel kiri yang berlebih. Adanya penyakit katup Mitral (stenosis), stenosis aorta yang berat, atau myxoma atrium kiri atau thrombus mengubah hubungan yang normal antara PAOP dan volume diastolic akhir ventrikel kiri.

Page 218: Dasar ilmu Anesthesi

218

Peningkatan tekanan pada thorak dan tekanan pada jalan nafas paru terlihat adanya kesalahan; sebagai konsekwensi, semua pengukuran tekanan selalu diperoleh pada waktu akhir expirasi . Teknik terbaru mengukur volume ventrikel dengan transesophageal echocardiography atau oleh radioisotop dan lebih akurat tetapi belum banyak tersedia.  CAIRAN INTRAVENA  Terapi cairan intravena terdiri dari cairan kristaloid, koloid, atau suatu kombinasi kedua-duanya. Solusi cairan kristaloid adalah larutan mengandung ion dengan berat molekul rendah (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid berisi ion dengan berat molekul tinggi seperti protein atau glukosa. Cairan koloid menjaga tekanan oncotic  plasma dan sebagian besar ada di intravascular, sedangkan cairan kristaloid dengan cepat didistribusikan keseluruh ruang cairan extracellular.  Ada kontroversi mengenai penggunaan cairan koloid dan kristaloid untuk pasien dg pembedahan. Para ahli mengatakan bahwa koloid dapat menjaga plasma tekanan oncotic plasma, koloid lebih efektif dalam mengembalikan volume intravascular dan curah jantung.Ahli yang lain mengatakan bahwa pemberian cairan kristaloid efektif bila diberikan dalam jumlah yang cukup. Pendapat yang mengatakan bahwa koloid dapat menimbulkan edema pulmoner pada pasien dengan peningkatan permeabilitas kapiler paru adalah tak benar, sebab tekanan onkotik interstitial paru-paru sama dengan plasma

( lihat Bab 22). Beberapa pernyataan dibawah ini yang mendukung : 

1. Kristaloid, jika diberikan dalam jumlah cukup sama efektifnya dengan koloid dalam mengembalikan volume intravascular. 

2. Mengembalikan deficit volume intravascular dengan kristaloid biasanya memerlukan 3-4 kali dari jumlah cairan jika menggunakan koloid. 

3. Kebanyakan pasien yang mengalami pembedahan mengalami deficit cairan extracellular melebihi deficit cairan intravascular.. 

4. Defisit cairan intravascular yang berat dapat dikoreksi dengan cepat dengan menggunakan cairan koloid. 

5. Pemberian cairan kristaloid dalam jumlah besar (> 4-5 L) dapat menimbulkan edema jaringan.

Beberapa kasus membuktikan bahwa, adanya edema jaringan mengganggu transport oksigen, memperlambat penyembuhan luka dan memperlambat kembalinya fungsi pencernaan setelah pembedahan.

Cairan KristaloidCairan kristaloid merupakan cairan untuk resusitasi awal pada pasien dengan syok hemoragik dan septic syok seperti pasien luka bakar, pasien dengan trauma kepala untuk menjaga tekanan perfusi otak, dan pasien dengan plasmaphersis dan reseksi hepar. Jika

3-4 L cairan kristaloid telah diberikan, dan respon hemodinamik tidak adekuat, cairan koloid dapat diberikan. Ada beberapa macam cairan kristaloid yang tersedia. Pemilihan cairan tergantung dari derajat dan macam kehilangan cairan. Untuk kehilangan cairan hanya air, penggantiannya dengan cairan hipotonik dan disebut juga maintenance type solution. Jika hehilangan cairannya air dan elektrolit, penggantiannya dengan cairan isotonic dan disebut juga replacement type solution. Dalam cairan, glukosa berfungsi menjaga tonisitas dari cairan atau menghindari ketosis dan hipoglikemia dengan cepat. Anak- anak cenderung akan menjadi hypoglycemia(< 50 mg/dL) 4-8 jam puasa. Wanita mungkin lebih cepat hypoglycemia jika puasa (> 24 h) disbanding pria. Kebanyakan jenis kehilangan cairan intraoperative adalah isotonik, maka yang biasa digunakan adalah replacement type solution, tersering adalah Ringer Laktat. Walaupun sedikit hypotonic, kira-kira 100 mL air per 1 liter mengandung Na serum 130 mEq/L, Ringer Laktat mempunyai komposisi yang mirip dengan cairan extraselular dan paling sering dipakai sebagai larutan fisiologis. Laktat yang ada didalam larutan ini dikonversi oleh hati sebagai bikarbonat. Jika larutan salin diberikan dalam jumlah besar, dapat menyebabkan dilutional acidosis hyperchloremic oleh karena Na dan Cl yang tinggi (154 mEq/L): konsentrasi bikarbonat plasma menurun dan konsentrasi Clorida meningkat. 

Page 219: Dasar ilmu Anesthesi

219

Larutan saline baik untuk alkalosis metabolic hipokloremik dan mengencerkan Packed Red Cell untuk transfusi. Larutan D5W digunakan untuk megganti deficit air dan sebagai cairan pemeliharaan pada pasien dengan restriksi Natrium. Cairan hipertonis 3% digunakan pada terapi hiponatremia simptomatik yang berat (lihat Bab 28). Cairan 3 – 7,5% disarankan dipakai untuk resusitasi pada pasien dengan syok hipovolemik. Cairan ini diberikan lambat karena dapat menyebabkan hemolisis. 

Cairan KoloidAktifitas osmotic dari molekul dengan berat jenis besar dari cairan koloid untuk menjaga cairan ini ada di intravascular. Walaupun waktu paruh dari cairan kristaloid dalam intravascular 20-30 menit, kebanyakan cairan koloid mempunyai waktu paruh dalam intravascular 3-6 jam. Biasanya indikasi pemakaian cairan koloid adalah : 

1. Resusitasi cairan pada pasien dengan deficit cairan intravascular yang berat (misal: syok hemoragik) sampai ada transfusi darah. 

2. Resusitasi cairan pada hipoalbuminemia berat atau keadaan dimana 

Kehilangan protein dalam jumlah besar seperti luka bakar. Pada pasien luka bakar, koloid diberikan jika luka bakar >30% dari luas permukaan tubuh atau jika > 3-4 L larutan kristaloid telah diberikan lebih dari 18-24 jam setelah trauma. 

Beberapa klinisi menggunakan cairan koloid yang dikombinasi dengan kristaloid bila dibutuhkan cairan pengganti lebih dari 3-4 L untuk transfuse. Harus dicatat bahwa cairan ini adalah normal saline ( Cl 145 – 154 mEq/L ) dan dapat juga menyebabkan asidosis metabolic hiperkloremik. Banyak cairan koloid kini telah tersedia. Semuanya berasal dari protein plasma atau polimer glukosa sintetik. Koloid yang berasal dari darah termasuk albumin ( 5% dan 25 % ) dan fraksi plasma protein (5%). Keduanya dipanaskan 60 derajat selama 10 jam untuk meminimalkan resiko dari hepatitis dan penyakit virus lain. Fraksi plasma protein berisi alpha dan beta globulin yang ditambahkan pada albumin dan menghasilkan reaksi hipotensi. Ini adalah reaksi alergi yang alami da melibatkan aktivasi dari kalikrein. Koloid sintetik termasuk Dextrose starches dan gelatin. Gelatin berhubungan dengan histamine mediated- allergic reaction dan tidak tersedia di United States.Dextran terdiri dari Dextran 70 ( Macrodex ) dan Dextran 40, yang dapat meningkatkan aliran darah mikrosirkulasi dengan menurunkan viskositas darah. Pada Dextran juga ada efek antiplatelet. Pemberian melebihi 20 ml/kg/hari dapat menyebabkan masa perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat juga bersifat antigenic dan anafilaktoid ringan dan berat dan ada reaksi anafilaksis. Dextan 1 ( Promit ) sama dengan Dextran 40 atau dextran 70 untuk mencegah reaksi anafilaxis berat.;bekerja seperti hapten dan mengikat setiap antibody dextran di sirkulasi. 

Hetastarch (hydroxyetil starch) tersedia dalam cairan 6 % dengan berat molekul berkisar 450.000. Molekul-molekul yang kecil akan dieliminasi oleh ginjal dan molekul besar dihancurkan pertama kali oleh amylase. Hetastarch sangat efektif sebagai plasma expander dan lebih murah disbanding albumin.. Lebihjauh, Hetastarch bersifat nonantigenik dan reaksi anafilaxisnya jarang. Studi masa koagulasi dan masa perdarahan umumnya tidak signifikan dengan infus 0.5 – 1 L. Pasien transplantasi ginjal yang mendapat hetastarch masih controversial. Kontroversi ini dihubungkan juga dengan penggunaan hetastarch pada pasien yang menjalani bypass kardiopulmoner. Pentastarch, cairan starch dengan berat molekul rendah, sedikit efek tambahannya dan dapat menggantikan hetastarch.  TERAPI CAIRAN PERIOPERATIF Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian deficit cairan, kehilangan cairan normal dan kehilangan cairan lewat luka operasi termasuk kehilangan darah.

Kebutuhan Pemeliharaan Normal    Pada waktu intake oral tidak ada, deficit cairan dan elektrolit dapat terjadi dengan cepat karena adanya pembentukan urin yang terus berlangsung,sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses dari kulit dan paru. Kebutuhan pemeliharaan normal dapat diestimasi dari tabel berikut:

Page 220: Dasar ilmu Anesthesi

220

Tabel Estimasi Kebutuhan Cairan

Pemeliharaan

       Berat Badan                                                      

Kebutuhan        

10 kg

pertama                                                           

4 ml/kg/jam

10-20 kg

kedua                                                          2

ml/kg/jam

Masing-masing kg  > 20

kg                                       1 ml/kg/jam

Contoh: berapa kebutuhan cairan

pemeliharaan untuk anak 25 kg? Jawab:

40+20+5=65 ml/jam

Preexisting Deficit    Pasien yang akan dioperasi setelah semalam puasa tanpa intake cairan akan menyebabkan defisit cairan sebanding dengan lamanya puasa. Defisit ini dapat diperkirakan dengan mengalikan normal maintenance dengan lamanya puasa. Untuk 70 kg, puasa 8 jam, perhitingannya (40 + 20 + 50) ml / jam x 8 jam atau 880 ml. Pada kenyataannya, defisit ini dapat kurang sebagai hasil dari konservasi ginjal. Kehilangan cairan abnormal sering dihubungkan dengan defisit preoperatif. Sering terdapat hubungan antara perdarahan

preoperatif, muntah, diuresis dan diare.

Penggantian Cairan IntraoperatifTerapi cairan intraoperatif meliputi kebutuhan cairan dasar dan penggantian deficit cairan preoperative seperti halnya kehilangan cairan intraoperative ( darah, redistribusi dari cairan, dan penguapan). Pemilihan jenis cairan intravena tergantung dari prosedur pembedahan dan perkiraan kehilangan darah. Pada kasus kehilangan darah minimal dan adanya pergeseran cairan, maka maintenance solution dapat digunakan. Untuk semua prosedur yang lain Ringer Lactate biasa digunakan untuk pemeliharaan cairan. Idealnya, kehilangan darah harus digantikan dengan cairan kristaloid atau koloid untuk memelihara volume cairan intravascular ( normovolemia) sampai bahaya anemia berberat lebih (dibanding) resiko transfusi. Pada kehilangan darah dapat diganti dengan transfuse sel darah merah. Transfusi dapat diberikan pada Hb 7-8 g/dL (hematocrit 21 - 24%).Hb < 7 g/dL cardiac output meningkat untuk menjaga agar transport Oksigen tetap normal. Hb 10 g/dL biasanya pada pasien orang tua dan penyakit yang berhubungan dengan jantung dan paru-paru. Batas lebih tinggi mungkin digunakan jika diperkirakan ada kehilangan darah yang terus menerus. Dalam prakteknya, banyak dokter memberi Ringer Laktat kira-kira 3-4 kali dari banyaknya darah yang hilang, dan cairan koloid dengan perbandingan 1:1 sampai dicapai Hb yang diharapkan.

Tabel. Perkiraan Volume Darah Rata-Rata (Average Blood Volumes) Umur                                          Volume DarahNEONATES     PREMATURE                            95 ML/KG     FULL-TERM                             85 ML/KGINFANTS                                       80 ML/KGADULTS     MEN                                            75ML/KG     WOMAN                                     65 ML/KG

Pada keadaan ini   kehilangan darah dapat diganti dengan Packed red blood cell.

Banyaknya transfusi dapat ditentukan dari hematocrit preoperatif dan dengan perkiraan volume darah. Pasien dengan hematocrit normal biasanya ditransfusi hanya setelah kehilangan darah >10-20% dari volume darah mereka. Sebenarnya tergantung daripada kondisi pasien] dan prosedur dari pembedahan . Perlu diketahui jumlah darah yang hilang untuk penurunan hematocrit sampai 30%, dapat dihitung sebagai berikut:

Estimasi volume darah dari Tabel 29-5. Estimasi volume sel darah merah

(RBCV) hematocrit preoperative (RBCV preop).

Estimasi RBCV pada hematocrit 30% ( RBCV30%), untuk menjaga volume darah normal.

Memperkirakan volume sel darah merah yang hilang ketika hematocrit

Page 221: Dasar ilmu Anesthesi

221

30% adalah RBCV lost = RBCV preop - RBCV 30%.

Perkiraan jumlah darah yang hilang = RBCV lost X 3

Contoh :Seorang perempuan 85 kg mempunyai suatu hematocrit preoperatif 35%. Berapa banyak jumah darah yang hilang untuk menurunkan hematocritnya sampai 30%?

Volume Darah yang diperkirakan = 65 mL/kg x 85 kg = 5525 ml.RBCV 35 % =  5525 x 35 % = 1934 mL. RBCV30% = 5525 x 30 % = 1658 mL Kehilangan sel darah merah pada 30% = 1934 - 1658 = 276 mL. Perkiraan jumlah darah yang hilang = 3 x 276 mL = 828 mL.

Oleh karena itu, transfusi harus dipertimbangkan hanya jika pasien kehilangan darah melebihi 800 ml. Transfusi tidak direkomendasikan sampai terjadi penurunan hematocrit hingga 24% (hemoglobin < 8.0 g/dL), tetapi ini diperlukan untuk menghitung banyaknya darah yang hilang, contohnya pada penyakit jantung dimana diberikan transfusi jika kehilangan darah 800 mL.

Page 222: Dasar ilmu Anesthesi

222

Tabel. Redistribusi dan evaporasi kehilangn cairan saat pembedahanDERAJAT DARI TRAUMA JARINGAN               PENAMBAHAN CAIRAN

MINIMAL (contoh hernioraphy)                                        0 – 2 ml/Kg

SEDANG  ( contoh cholecystectomy)                               2 – 4 ml/Kg

BERAT (contohreseksi usus)                                               4 – 8 ml/Kg

Petunjuk lain yang biasa digunakan

sebagai berikut:

1. Satu unit sel darah merah sel akan meningkatkan hemoglobin 1 g/dL dan hematocrit 2-3% (pada orang dewasa); dan 

2. 10mL/kg transfusi sel darah merah akan meningkatkan hemoglobin 3g/dL dan hematocrit 10%.

Menggantikan Hilangnya Cairan

Redistribusi dan Evaporasi

Sebab kehilangan cairan ini dihubungkan dengan ukuran luka dan tingkat manipulasi dan pembedahan, dapat digolongkan menurut derajat trauma jaringan. Kehilangan cairan tambahan ini dapat digantikan menurut tabel di atas, berdasar pada apakah trauma jaringan adalah minimal, moderat, atau berat. Ini hanyalah petunjuk, dan kebutuhan yang sebenarnya bervariasi pada masing-masing pasien.   

TRANSFUSI

GOLONGAN DARAHMembran sel darah merah berisi sedikitnya 300 faktor penentu antigenic berbeda. Sedikitnya 20 antigen golongan darah terpisah dapat dikenal; tanda dari masing-masing adalah di bawah control genetic dari chromosom loci. Kebetulan, hanya ABO dan Rh Sistem yang penting pada transfusi darah. Setiap orang biasanya menghasilkan antibody ( alloantibodies). Antibodi bertanggung jawab untuk reaksi-reaksi dari transfusi. Antibodi dapat menjadi “alami” atau sebagai respon atas sensitisasi dari suatu kehamilan atau transfusi sebelumnya.

Sistem ABOKromosomal untuk sistem ABO ini menghasilkan dua alleles: A dan B. Masing-masing merepresentasikan suatu enzim yang merupakan modifikasi dari suatu permukaan sel glycoprotein, menghasilkan antigen  yang berbeda. (Sebenarnya, ada berbagai varian A dan B.) Hampir semua individu tidak mempunyai A atau B " natural" yang menghasilkan antibody [ sebagian besar immu-noglobulin M ( IgM)] melawan antigens ( Tabel 29-7) di dalam tahun pertama kehidupan. Antigen H adalah precursor dari system ABO tetapi diproduksi oleh suatu chromosom tempat berbeda. Tidak adanya

antigen H( hh genotype, juga disebut Bombay pheno-type) mencegah munculny gen A atau B; individu dengan  kondisi sangat jarang ini  akan mempunyai anti-A, anti-B, dan anti-H antibodi.

Sistem RhSistem Rh ditandai oleh dua gen yang menempati chromosome. Ada sekitar 46 Rh-berhubungan dengan antigens, tetapi secara klinis, ada lima antigen utama ( D, C, c, E, dan e) dan menyesuaikan dengan antibody .Biasanya, ada atau tidak allele yang paling immunogenic dan umum, D antigen, dipertimbangkan. Kira-Kira 80-85% tentang populasi orang kulit putih mempunyai antigen D. Individu yang kekurangan allele ini disebut Rh-Negative dan biasanya antibodi akan melawan antigen D hanya setelah terpapar oleh ( Rh-Positive) transfusi sebelumnya atau kehamilan ( seorang Ibu Rh-Negative melahirkan bayi Rh-Positive).

Sistem Lain

Sistem lain ini meliputi antigen Lewis, P, li, MNS, Kidd, Kell, Duffy, Lutheran, Xg, Sid, Cartright, YK, dan Chido Rodgers antigens. Kebetulan, dengan beberapa perkecualian ( Kell, Kidd, Duffy, Dan), alloantibodi

Page 223: Dasar ilmu Anesthesi

223

melawan sistem ini jarang menyebabkan reaksi hemolytic serius. 

TES KOMPATIBILITAS 

Tujuan tes ini adalah untuk memprediksi dan untuk mencegah reaksi antigen-antibody sebagai hasil transfusi sel darah merah. Donor

dan penerima donor darah harus di periksa adanya antibody yang tidak baik.

Tabel. Golongan darah ABO  TIPE                              Adanya antibodi dalam serum          Insidensi*     A                                                anti– B                                    45%     B                                                anti – A                                      8%   AB                                                    -                                             4%      O                                            anti A, anti–B                             43%* angka rata-rata  pada orang di Eropa

Tes ABO-Rh

Reaksi Transfusi yang paling berat adalah yang berhubungan dengan inkompatibilitas ABO; antibody yang didapat secara alami dapat bereaksi melawan antigen dari transfusi (asing), mengaktifkan komplemen, dan mengakibatkan hemolisis intravascular. Sel darah merah pasien diuji dengan serum yang dikenal mempunyai antibody melawan A dan B untuk menentukan jenis darah. Oleh karena prevalensi secara umum antibodi ABO alami, konfirmasi jenis darah kemudian dibuat dengan menguji serum pasien melawan sel darah merah dengan antigen yang dikenal.Sel darah merah pasien juga diuji dengan antibody anti-D untuk menentukan Rh. Jika hasilnya adalah Rh-Negative, adanya antibodi anti-D d dapat diuji dengan mencampur serum pasien dengan sel darah merah Rh (+).Kemungkinan berkembangnya antibodi anti-D setelah paparan pertama pada antigen Rh adalah 50-70%.

Crossmatching

Suatu crossmatch transfusi: sel donor dicampur dengan serum penerima. Crossmatch mempunyai tiga fungsi: ( 1) Konfirmasi jenis ABO dan Rh ( kurang dari 5 menit), ( 2) mendeteksi antibodi pada golongan darah lain , dan ( 3) mendeteksi antibody dengan titer rendah atau tidak terjadi aglutinasi mudah. Yang dua terakhir memerlukan sedikitnya 45 menit.

Screening AntibodiTujuan test ini adalah untuk mendeteksi dalam serum adanya antibodi yang biasanya dihubungkan dengan reaksi hemolitik non-ABO. Test ini ( dikenal juga Coombs Tes tidak langsung) memerlukan 45 menit dan dengan mencampur serum pasien dengan sel darah merah dari antigen yang dikenal; jika ada antibodi spesifik, membran sel darah merah dilapisi, dan penambahan dari suatu antibodi antiglobulin menghasilkan aglutinasi sel daraah. Screening ini rutin dilakukan pada seluruh donor darah dan dilakukan untuk penerima donor sebagai ganti dari crossmatch .

Type & Crossmatch versus Type & ScreenTimbulnya suatu reaksi hemolytic yang serius setelah transfusi dari ABO- dan Rh-Compatible Transfusi dengan screening negatif tetapi tanpa crossmatch kurang dari 1%. Crossmatching, bagaimanapun, meyakinkan pentingnya kemanan yang optimal dan mendeteksi adanya antibody yang lain yang muncul dalam screening. Crossmatch kini dilakukan hanya untuk prosedur operasi elektif dg kemungkinan transfusi darah. Oleh karena waktunya sekitar 45 menit jika sebelumnya prosedur dua type dan screen telah didokumentasikan, pada beberapa Center telah memulai crossmatch secara komputer.

Pemesanan Darah Untuk OperasiKebanyakan rumah sakit menyusun daftar operasi yang akan dilakukan dan yang maksimum jumlah unit yang dapat dicrossmatch preoperati. Seperti pada praktek mencegah berlebihan Crossmatching darah. Daftar pada umumnya didasarkan pada masing-masing pengalaman institusi. Suatu

Page 224: Dasar ilmu Anesthesi

224

crossmatch-to-transfusion perbandingan kurang dari 2.5:1 dipertimbangkan bisa diterima. Hanya suatu type and screen dilakukan jika timbulnya transfusi untuk suatu prosedur kurang dari 10%. Jika transfusi diperlukan, dilakukan cross-match . Pinjaman secara khas dibuat untuk pasien anemic dan mereka yang mempunyai kelainan pembekuan.

TRANSFUSI DALAM KEADAAN DARURATKetika pasien sedang exsanguinating, kebutuhan transfusi terjadi sebelum penyelesaian suatu crossmatch, penyaringan , atau bahkan identifikasi tipe darah. Jika jenis darah pasien sudah dikenal, dilakukan crossmatch kurang dari 5 menit, akan mengkonfirmasikan kompatibilitas ABO. Jika jenis darah penerima tidak dikenal dan transfusi harus dimulai sebelum penentuan, jenis O Rh-Negative darah mungkin bisa digunakan.

BANK DARAHDarah dari pendonor disaring untuk mengeluarkan zat-zat yang dapat mempengaruhi kondisi medis yang kurang baik bagi penerima donor. Hematocrit ditentukan, jika >37% untuk allogeneic atau 32% untuk donor autologous, darah dikumpulkan, diidentifikasi, disaring untuk antibodi, dan dilakukan pengujian adanya Hepatitis B, Hepatitis C, sipilis,human T cell leukemia virus ( HTLV)-1 dan HTLV-2, dan Human immunodeficiency virus ( HIV)-1 dan HIV-2. Kebanyakan pusat penelitian sedang

melakukan tes terhadap asam nucleat virus RNA untuk mendeteksi Hepatitis B dan C dan virus HIV ,dan sedang melakukan deteksi terhadap West Nile Virus. Ada test yang sangat sensitif, dan mereka perlu membatasi virus dengan window positif tetapi test negatif.Pertama, darah dikumpulkan kemudian tambahkan larutan anticoagulant. Larutan yang paling umum digunakan adalah CPDA-1, yang berisi sitrat sebagai antikoagulan (berikatan dengan Calcium), fosfat sebagai buffer, dextrose sebagai sumber energi sel darah merah, dan adenosine sebagai precursor dari sintesa ATP.Darah dengan CPDA-1- dapat disimpan untuk 35 hari, setelah kelangsungan hidup sel darah merah dengan cepat berkurang. Sebagai alternatif, penggunaan AS-1 ( Adsol) atau AS-3 ( Nutrice) meluas umur rata-rata 6 minggu.Semua unit yang dikumpulkan dipisahkan ke masing-masing komponen, yang diberi nama, sel darah merah, platelets, dan plasma.Ketika disentrifuge, 1 unit Whole blood utuh menghasilkan sekitar 250 mL packed red blood cel ( hematocrit 70%); mengikuti penambahan larutan saline, volume suatu unit packed red cell sering mencapai 350 mL. Sel darah merah secara normal disimpan pada 1-6°C. Sel darah merah dapat dibekukan dalam larutan glycerol hypertonis sampai 10 tahun. Teknik yang belakangan pada umumnya disediakan untuk penyimpanan darah dengan phenotypes jarang. Supernatant disentrifuge untuk menghasilkan platelets dan plasma. 1 Unit platelets yang diperoleh biasanya berisi 50-70 mL plasma dan dapat disimpan pada 20- 24°C untuk 5 hari. Sisa plasma supernatant

diproses dan dibekukan untuk menghasilkan Fresh frozen plasma; pembekuan cepat mencegah inaktifasi faktor pembekuan ( V dan VIII). Pencairan yang lambat dari Fresh frozen plasma menghasilkan suatu gelatin presipitat (cryo-precipitate) yang berisi faktor VIII dan fibrinogen dengan konsentrasi tinggi. Ketika dipisahkan, cryoprecipitate ini dapat dibekukan kembali untuk disimpan. Satu unit darah menghasilkan sekitar 200 mL plasma, yang mana dapat dibekukan untuk disimpan; sekali ketika, harus ditransfusi dalam 24 jam. Platelets boleh sebagai alternatif untuk mencapai plateletpheresis, yang ekuivalen dengan enam unit reguler dari pasien .

TRANSFUSI INTRAOPERATIF   Packed Red Blood CellsTransfusi darah sebaiknya diberikan packed red cell, dan dapat mengoptimalkan penggunaan dan pemanfaatan bank darah. Packed Red Blood Cell ideal untuk pasien yang memerlukan sel darah merah tetapi tidak penggantian volume ( misalnya, pasien anemia dengan congestive heart failure). Pasien yang dioperasi memerlukan cairan seperti halnya sel darah merah; kristaloid dapat diberikan dengan infuse secara bersama-sama dengan jalur intravena yang kedua untuk penggantian volume cairan.Sebelum transfusi, masing-masing unit harus diperiksa secara hati-hati dicek dengan kartu dari bank darah dan identitas dari penerima donor darah. Tabung transfusi berisi 170-J.m untuk menyaring gumpalan atau kotoran. Dengan ukuran sama dan saringan berbeda digunakan untuk mengurangi leukocyte isi

Page 225: Dasar ilmu Anesthesi

225

untuk mencegah febrile reaksi transfusi febrile pada pasien yang sensitif. Darah untuk transfusi intraoperative harus dihangatkan sampai 37°C. terutama jika lebih dari 2-3 unit yang akan ditransfusi; jika tidak akan menyebabkan hypothermia. Efek tambahan hypothermia dan secara khas 2,3-diphosphoglycerate ( 2,3-DPG) konsentrasi rendah dalam darah yang disimpan dapat menyebabkan suatu pergeseran kekiri ditandai hemoglobin-oxygen kurva-disosiasi dan, menyebabkan hipoxia jaringan. Penghangat darah harus bisa menjaga suhu darah > 30°C bahkan pada aliran rata-rata sampai 150 ml/menit

Fresh Frozen PlasmaFresh Frozen Plasma ( FFP) berisi semua protein plasma, termasuk semua factor pembekuan. Transfusi FFP ditandai penanganan defisiensi faktor terisolasi, pembalikan warfarin therapy, dan koreksi coagulopathy berhubungan dengan penyakit hati. Masing-Masing unit FFP biasanya meningkatkan faktor pembekuan 2-3% pada orang dewasa. Pada umumnya dosis awal 10-15 mL/kg. Tujuannya adalah untuk mencapai 30% dari konsentrasi faktor pembekuan yang normal.FFP boleh digunakan pada pasien yang sudah menerima transfusi darah masive. Pasien dengan defisiensi ANTI-THROMBIN III atau purpura thrombocyto-penic thrombotic dapat diberikan FFP transfusi.Masing-Masing unit FFP membawa resiko cepat menyebar yang sama sebagai unit darah utuh. Sebagai tambahan, pasien dapat menjadi

peka terhadap protein plasma. ABO-COMPATIBLE biasanya diberi tetapi tidak wajib. Seperti butir-butir darah merah, FFP biasanya dihangatkan 37°C sebelum transfusi.

PlateletsTransfusi Platelet harus diberikan kepada pasien dengan thrombocytopenia atau dysfunctional platelets dengan pendarahan. Profilaxis Transfusi trombosit dapat diberikan pada pasien dengan hitung trombosit 10,000-20,000 oleh karena resiko perdarahan spontan.Hitung trombosit kurang dari 50,000 x 109/L dihubungkan dengan peningkatan perdarahan selama pembedahan. Pasien dengan thrombocytopenia yang mengalami pembedahan atau prosedur invasive harus diberikan profilaxis transfusi trombosit sebelum operasi, hitung trombosit harus meningkat diatas 100,000 x 109/L. Persalinan pervaginam dan prosedur bedah minor dapat dilakukan pada pasien dengan hitung trombosit yang agak rendah tapi fungsi trombosit normal dan hitung trombosit >50,000 x 109/L.Masing-Masing unit platelets mungkin diharapkan untuk meningkatkan 10,000-20,000 x 109/L dari trombosit. Plateletpheresis unit berisi yang sejenisnya enam unit donor tunggal. Peningkatan lebih sedikit dapat diharapkan pasien dengan suatu sejarah platelet transfusi. Disfungsi dapat meningkatkan perdarahan pada pembedahan bahkan ketika trombosit normal dan dapat didiagnosa preoperative dengan memeriksa masa perdarahan. . Transfusi. Platelet diindikasikan pada pasien dengan disfungsi

trombosit dan meningkatkan perdarahan pada pembedahan. ABO-compatible platelet transfusi adalah diinginkan tetapi tidak perlu. Transfused Platelets biasanya survive hanya 1-7 hari yang mengikuti transfusi. ABO kompatibel dapat meningkatkan platelet survival. Rh sensitisasi dapat terjadi di Rh-Negative donor dalam kaitan dengan adanyanit donor tunggal. Peningkatan lebih sedikit dapat diharapkan pasien dengan suatu sejarah platelet transfusi. Disfungsi dapat meningkatkan perdarahan pada pembedahan bahkan ketika trombosit normal dan dapat didiagnosa preoperative dengan memeriksa masa perdarahan. . Transfusi. Platelet diindikasikan pada pasien dengan disfungsi trombosit dan meningkatkan perdarahan pada pembedahan. ABO-compatible platelet transfusi adalah diinginkan tetapi tidak perlu. Transfused Platelets biasanya survive hanya 1-7 hari yang mengikuti transfusi. ABO kompatibel dapat meningkatkan platelet survival. Rh sensitisasi dapat terjadi di Rh-Negative donor dalam kaitan dengan adanya beberapa butir-butir darah merah di (dalam) Rh-Positive platelet Unit. Lebih dari itu, anti-A atau anti-B zat darah penyerang kuman di (dalam) yang 70 mL plasma pada setiap platelet unit dapat menyebabkan suatu reaksi hemolytic melawan terhadap butir-butir darah merah penerima ketika sejumlah besar ABO-incompatible platelet unit diberi. Administrasi Rh immuno-globulin ke Rh-Negative Individu dapat melindungi dari Rh sensitisasi yang mengikuti Rh-Positive platelet Transfusi. Pasien yang kembang;kan zat darah penyerang kuman melawan terhadap HLA antigens

Page 226: Dasar ilmu Anesthesi

226

lymphocytes di (dalam) platelet berkonsentrasi) atau platelet spesifik antigens memerlukan HLA-COMPATIBLE atau single-donor unit. Penggunaan plateletpheresis transfusi boleh ber/kurang kemungkinan sensitisasi.

Transfusi GranulositTransfusi Granulosit, yang dibuat dengan leukapheresis, diindikasikan pada pasien neutropenia dengan infeksi bakteri yang tidak respon dengan antibiotik. Transfusi granulosit mempunyai masa hidup dalam sirkulasi sangat pendek, sedemikian sehingga sehari-hari transfusi 1010 granulocytes pada umumnya diperlukan. Iradiasi dari granulosit menurunkan insiden timbulnya reaksi graft-versus-host , kerusakan endothelial berhubungan dengan paru-paru, dan lain permasalahan berhubungan dengan transfusi leukosit (lihat di bawah), tetapi mempengaruhi fungsi granulosit. Ketersediaan filgrastim ( granulocyte colony-stimulating faktor, atau G-CSF) dan sargramostim ( granulocyte-macrophage colony-stimulating faktor, atau GM-CSF) telah sangat mengurangi penggunaan transfusi granulosit.

KOMPLIKASI TRANSFUSIA. Komplikasi Imun   Komplikasi imun setelah transfusi darah terutama berkaitan dengan sensitisasi donor ke sel darah merah, lekosit, trombosit atau protein plasma.

1. Reaksi HemolyticReaksi Hemolytic pada umumnya melibatkan

destruksi spesifik dari sel darah merah yang ditransfusikan oleh antibody resipien. Lebih sedikit biasanya, hemolysis sel darah merah resipien terjadi sebagai hasil transfusi antibody sel darah merah.Trombosit konsentrat yang inkompatible, FFP, clotting faktor, atau cryoprecipitate berisi sejumlah kecil plasma dengan anti-A atau anti-B ( atau kedua-duanya) alloantibodies. Transfusi dalam jumlah besar dapat menyebabkan hemolisis intravascular.Reaksi Hemolytic biasanya digolongkan akut ( intravascular) atau delayed ( extravascular).

Reaksi Hemolytic AkutHemolisis Intravascular akut pada umumnya berhubungan dengan Inkompatibilitas ABO dan frekwensi yang dilaporkan kira-kira 1:38,000 transfusi. Penyebab yang paling umum adalah misidentifikasi suatu pasien, spesimen darah, atau unit transfusi. Reaksi ini adalah yang terberat. Resiko suatu reaksi hemolytic fatal terjadi 1 dalam 100,000 transfusi. Pada pasien yang sadar, gejala meliputi rasa dingin, demam, nausea, dan sakit dada. Pada pasien yang dianestesi, manifestasi dari suatu reaksi hemolytic akut adalah suhu meningkat, tachycardia tak dapat dijelaskan , hipotensi, hemoglobinuria, dan oozing yang difus dari lapangan operasi. Disseminated Intravascular Coagulation, shock, dan penurunan fungsi ginjal dapat berkembang dengan cepat. Beratnya suatu reaksi seringkali tergantung pada berapa banyak darah yang inkompatibel yang sudah diberikan. Gejala yang berat dapat terjadi setelah infuse 10 – 15 ml darah yang ABO inkompatibel. Manajemen

reaksi hemoiytic dapat simpulkan sebagai berikut:

Jika dicurigai suatu reaksi hemolytic, transfusi harus dihentikan dengan segera.

Darah harus di cek ulang dengan slip darah dan identitas pasien.

Kateter urin dipasang , dan urin harus dicek adanya hemoglobin.

Osmotic diuresis harus diaktipkan dengan mannitol dan cairan kedalam pembuluh darah.

Jika ada perdarahan akut, indikasi pemberian platelets dan FFP

Reaksi hemolytic lambatSuatu reaksi hemolytic lambat biasanya disebut hemolysis extravascular biasanya ringan dan disebabkan oleh antibody non D antigen Sistem Rh atau ke asing alleles di system lain seperti Kell, Duffy, atau Kidd antigens. Berikut suatu transfusi ABO dan Rh D-compatible,pasien mempunyai 1-1.6% kesempatan membentuk antibody untuk melawan antigen asing. Pada saat ituSejumlah antibody ini sudah terbentuk ( beberapa minggu sampai beberapa bulan), tranfusi sel darah telah dibersihkan dari sirkulasi. Lebih dari itu, titer antibody menurun dan mungkin tidak terdeteksi. Terpapar kembali dengan antigen asing yang sama selama transfuse sel darah, dapat mencetuskan respon antibody melawan antigen asing. Peristiwa ini dilihat jelas

Page 227: Dasar ilmu Anesthesi

227

dengan Sistem Kidd antigen. Reaksi hemolytic pada tipe lambat terjadi 2-21 hari setelah transfusi, dan gejala biasanya ringan, terdiri dari malaise, jaundice, dan demam. Hematocrit pasien tidak meningkat setelah transfusi dan tidak adanya perdarahan. Serum bilirubin unconjugated meningkat sebagai hasil pemecahan hemoglobin.Diagnosa antibody - reaksi hemolytic lambat mungkin difasilitasi oleh antiglobulin (Coombs) Test. Coombs test mendeteksi adanya antibody di membrane sel darah. Test ini tidak bisa membedakan antara membrane antibody resipien pada sel darah merah dengan membrane antibody donor pada sel darah merah. Jadi, ini memerlukan suatu pemeriksaan ulang yang lebih terperinci pretransfusi pada kedua spesimen : pasien dan donor. Penanganan reaksi hemolytic lambat adalah suportif. Frekwensi reaksi transfusi hemolytic lambat diperkirakan kira-kira 1:12,000 transfusi. Kehamilan ( terpapar sel darah merah janin) dapat juga menyebabkan pembentukan alloan-tibodies pada seldarah merah.

2. Reaksi Imun NonhemolitikReaksi imun Nonhemolytic adalah dalam kaitan dengan sensitisasi dari resipien ke donor lekosit, platelets, atau protein plasma.

Febrile ReaksiSensitisasi lekosit atau Platelet secara khas manifestasinya adalah reaksi febrile. Reaksi ini umumnya ( 1-3% tentang episode transfusi) dan ditandai oleh suatu peningkatan

temperatur tanpa adanya hemolysis. Pasien dengan suatu riwayat febrile berulang harus menerima tranfusi lekosit saja. Transfusi sarah merahh dapat dibuat leukositnya kurang dengan sentrifuge, filtration, atau teknik freeze-thaw.

Reaksi Urtikaria   Reaksi Urtikaria pada umumnya ditandai oleh erythema, penyakit gatal bintik merah dan bengkak, dan menimbulkan rasa gatal tanpa demam. Pada umumnya ( 1% tentang transfusi) dan dipikirkan berkaitan dengan sensitisasi pasien ke transfusi protein plasma. Reaksi Urticaria dapat diatasi dengan obat antihistamine ( H, dan mungkin H2 blockers) dan steroids.

Reaksi Anafilaksis    Reaksi anafilaksis jarang terjadi (kurang lebih 150,000 transfusi). Reaksi ini berat dan terjadi setelah hanya beberapa mililiter darah ditranfusi, secara khas pada IgA- Pasien dengan Deficiensi anti-IgA yang menerima tranfusi darah yang berisi IgA. Prevalensi defisiensi IgA diperkirakan 1:600-800 pada populasi yang umum. Reaksi ini diatasi dengan pemberian epinephrine, cairan, corticosteroids, dan H1, dan H2 blockers. Pasien dengan defisiensi IgAperlu menerima Washed Packed Red Cells, deglycerolized frozen red cells, atau IgA-Free blood Unit .

Edema Pulmonary Noncardiogenic   Sindrom acute lung injury (Transfusion-Related Acute Lung Injury [ TRALI]) merupakan komplikasi yang jarang terjadi(<

1:10,000). Ini berkaitan dengan transfusi antileukocytic atau anti-HLA antibodi yang saling berhubungan dan menyebabkan sel darah putih pasien teragregasi di sirkulasi pulmoner.Tranfusi sel darah putih dapat berinteraksi dengan leukoaglutinin. Perawatan Awal TRALI adalah sama dengan Acute Respiratory distress syndrome ( ARDS), tetapi dapat sembuh dalam 12-48 jam dengan therapy suportif.

Graft versus Host Disease Reaksi jenis ini dapat dilihat pada pasien immune-compromised. Produk sel darah berisi lymfosit mampu mengaktifkan respon imun. Penggunaan filter leukosit khusus sendiri tidak dapat dipercaya mencegah penyakit graft-versus-host; iradiasi ( 1500-3000 cGy) sel darah merah, granulocyte, dan transfusi platelet secara efektif menginaktifasi lymfosit tanpa mengubahefikasi dari transfusi.

Purpura PosttransfusiThrombocytopenia jarang terjadi setelah transfusi darah dan ini berkaitan dengan berkembangnya alloantibody trombosit. Karena alasan yang tidak jelas, antibodi menghancurkan trombosit. Hitung trombosit secara jelas menurun 1 minggu setelah tranfusi. Plasmapheresis dalam hal ini dianjurkan.

Imun Supresi   Transfusi leukosit-merupakan produk darah dapat sebagai immunosuppressi. Ini adalah terlihat jelas pada penerima cangkok ginjal, di mana transfusi darah preoperatif nampak

Page 228: Dasar ilmu Anesthesi

228

untuk meningkatkan survival dari graft. Beberapa studi menyatakan bahwa rekurensi dari pertumbuhan malignan mungkin lebih mirip pada pasien yang menerima transfusi darah selamapembedahan. Dari kejadian yang ada juga menyatakan bahwa tranfusi leukocyte allogenic dapat mengaktifkan virus laten pada resipien. Pada akhirnya, transfusi darah dapat meningkatkan timbulnya infeksi yang serius setelah pembedahan atau trauma.

B. Komplikasi Infeksi 1. Infeksi virusHepatitisSampai tes rutin untuk virus hepatitis telah diterapkan, insidensi timbulnya hepatitis setelah transfusi darah 7-10%. Sedikitnya 90% tentang kasus ini adalah dalam kaitan dengan hepatitis C virus. Timbulnya hepatitis posttransfusi antarab 1:63,000 dan 1:1,600,000; 75% tentang kasus ini adalah anicteric, dan sedikitnya 50% berkembang;menjadi penyakit hati kronis. Lebih dari itu, tentang kelompok yang terakhir ini, sedikitnya 10-20% berkembang menjadi cirrhosis.

Acquired Immunodeficiency Syndrome ( AIDS )Virus yang bertanggung jawab untuk penyakit ini, HIV-1, ditularkan melalui transfusi darah. Semua darah dites untuk mengetahui adanya anti-HIV-1 dan - 2 antibodi . Dengan adanya FDA yang menguji asam nukleat memperkecil waktu kurang dari satu minggu dan menurunkan resiko dari penularan HIV melalui tranfusi 1:1.900.000 tranfusi.

Infeksi Virus LainCytomegalovirus (CMV) dan Epstein-Barr Virus umumnya menyebabkan penyakit sistemik ringan atau asimptomatik.Yang kurang menguntungkan, pada beberapa individu menjadi pembawa infeksi asimptomatik; lekosit dalam darah dari donor dapat menularkan virus. Pasien immunosupresi dan Immunocompromise ( misalnya, bayi prematur dan penerima transplantasi organ ) peka terhadap infeksi CMV berat setelah tranfusi. Idealnya, . pasien- pasien menerima hanya CMV negative. Bagaimanapun, studi terbaru menunjukkan bahwa resiko transmisi CMV dari transfusi dari darah yang leukositnya berkurang sama dengan tes darah yang CMV negative. Oleh karena itu, pemberian darah dengan leukosit yang dikurangi secara klinis cocok diberikan pada pasien seperti itu. Human T sel virus lymphotropic I dan II ( HTLV-1 dan HTLV-2) adalah leukemia dan lymphoma virus, kedua-duanya telah dilaporkan ditularkan melalui transfusi darah; leukemia dihubungkan dengan myelopathy. Penularan Parvovirus telah dilaporkan setelah transfusi faktor pembekuan. dan dapat mengakibatkan krisis transient aplastic pada pasient immunocompromised. Penggunaan filter leukosit khusus nampaknya mengurangi tetapi tidak mengeliminasi timbulnya komplikasi di atas.

2. Infeksi parasitPenyakit parasit yang dapat ditularkan melalui transfusi seperti malaria, toxoplasmosis, dan

Penyakit Chagas'. Namun kasus-kasus tersebut jarang terjadi.

3. Infeksi BakteriKontaminasi bakteri dalam adalah penyebab kedua kematian melalui transfusi. Prevalensi kultur positif dari kantong darah berkisar dari 1/2000 trombosit sampai 1/7000 untuk pRBC. Prevalensi sepsis oleh karena transfusi darah berkisar dari 1/25,000 tromobosit sampai 1/250,000 untuk pRBC. Angka-angka ini secara relatif besar dibandingkan ke resiko HIV atau hepatitis, yang adalah di sekitar 1/1-2 juta. Baik bakteri gram-positive ( Staphylococus) dan bakteri gram-negative ( Yersinia dan Citrobacter) jarang mencemari transfusi darah dan menularkan penyakit. Untuk mencegah kemungkinan kontaminasi dari bakteri, darah harus berikan dalam waktu kurang dari 4 jam. Penyakit bakteri yang ditularkan melalui transfusi darah dari donor meliputi sifilis, brucellosis, salmonellosis, yersiniosis, dan berbagai macam rickettsia.

C. Transfusi Darah MasifTransfusi darah masif umumnya didefinisikan sebagai kebutuhan transfusi satu sampai dua kali volume darah pasien. Pada kebanyakan pasien dewasa, equivalent dengan 10-20 unit.

KoagulopatiPenyebab utama perdarahan setelah transfusi darah masif adalah dilutional thrombocytopenia. Secara klinis dilusi dari factor koagulasi tidak biasa terjadi pada pasien normal. Studi Koagulasi dan hitung trombosit, jika tersedia, idealnya menjadi acuan transfusi

Page 229: Dasar ilmu Anesthesi

229

trombosit dan FFP. Analisa Viscoelastic dari pembekuan darah (thromboelastography dan Sonoclot Analisa) juga bermanfaat.

Keracunan SitratKalsium berikatan dengan bahan pengawet sitrat secara teoritis dapat menjadi penting setelah transfusi darah dalam jumlah besar. Secara klinis hypocalcemia penting, karena menyebabkan depresi jantung, tidak terjadi pada pasien normal kecuali jika transfusi melebihi 1 U tiap-tiap 5 menit. Sebab metabolisme sitrat terutama di hepar, pasien dengan penyakit atau disfungsi hepar ( dan kemungkinan pada pasien hipothermi) memerlukan infuse calcium selama transfusi massif ).

HypothermiaTransfusi Darah massif adalah merupakan indikasi mutlak untuk semua produk darah cairan intravena hangat ke temperatur badan normal. Arhitmia Ventricular dapat menjadi fibrilasi ,sering terjadi pada temperatur sekitar 30°C. Hypothermia dapat menghambat resusitasi jantung. Penggunaan alat infus cepat dengan pemindahan panas yang efisien sangat efisien telah sungguh mengurangi timbulnya insiden hypothermia yang terkait dengan transfusi.

Keseimbangan asam basa Walaupun darah yang disimpan adalah bersifat asam dalam kaitan dengan antikoagulan asam sitrat dan akumulasi dari metabolit sel darah merahs (carbondioxida dan asam laktat), berkenaan dengan metabolisme acidosis

metabolik yang berkaitan dengan transfusi tidaklah umum. Yang terbanyak dari kelainan asam basa setelah tranfusi darah massif adalah alkalosis metabolic postoperative.Ketika perfusi normal diperbaiki, asidosis metabolic berakhir dan alkalosis metabolic progresif terjadi, sitrat dan laktat yang ada dalam tranfusi dan cairan resusitasi diubah menjadi bikarbonat oleh hepar.Konsentrasi Kalium Serum Konsentrasi kalium Extracellular dalam darah yang disimpan meningkat dengan waktu. Jumlah kalium extracellular yang transfusi pada unit masing-msaing kurang dari 4 mEq perunit. Hyperkalemia dapat berkembang dengan mengabaikan umur darah ketika transfusi melebihi 100 mL/min. Hypokalemia biasanya ditemui sesudah operasi, terutama sekali dihubungkan dengan alkalosis metabolisme.

STRATEGI ALTERNATIF UNTUK PENAGANAN KEHILANGAN DARAH SELAMA PEMBEDAHANTransfusi AutologousPasien yang mengalami prosedur pembedahan elektif dengan suatu kemungkinan tinggi untuk transfusi dapat mendonorkan darah mereka sendiri untuk digunakan selama operasi. Darah ini dapat dikumpulkan mulai 4-5 minggu sebelum operasi. Pasien diperbolehkan untuk mendonorkan satu kantong darah sepanjang hematokrit kurang lebih 34% atau hemoglobin sekitar 11 g/dl. Kebutuhan pemakaian darah minimum 72 jam antara mendonorkan darah dan membuat volume plasma kembali normal. Dengan

suplementasi besi dan terapi eritropoetin rekombinan ( 400 U perminggu), sedikitnya tiga atau empat unit pada umumnya dikumpulkan sebelum operasi. Beberapa studi menyatakan bahwa transfusi darah autologous tidak mempunyai efek tambahan yang mempengaruhi survival pada pasien yang mengalami operasi untuk kanker. Walaupun transfusi autologous mungkin mengurangi resiko infeksi dan reaksi transfusi, mereka tidaklah dengan sepenuhnya bebas dari resiko. Resiko meliputi reaksi immunologi yang berhubungan dengan n kesalahan pekerjaan karyawan dalam pengumpulan dan label, pencemaran, dan gudang/penyimpanan yang tidak benar. Reaksi alergi dapat terjadi dalam kaitan dengan allergen (misalnya, ethylen oksida), dapat masuk kedalam darah dari tempat pengumpulan dan gudang/penyimpanan. Pengumpulan darah preoperative autologous dilakukan dengan frekwensi berkurang.

Penyimpanan Darah dan Pemberian Cairan Melalui Infus Berulang Teknik ini umumnya digunakan pada bedah jantung, vascular dan bedah tulang. Darah di aspirasi intraoperatif bersama-sama dengan suatu pencegah pembekuan darah ( heparin) ke dalam suatu reservoir. Setelah jumlah darah cukup dikumpulkan, sel darah yang merah di konsentratkan dan dicuci untuk dimurnikan dari kotoran dan zat pembeku kemudian di transfusikan kembali ke dalam pasien. Konsentrat darah tersebut umumnya mempunyai hematocrits 50-60%. Untuk digunakan secara efektif, teknik ini

Page 230: Dasar ilmu Anesthesi

230

memerlukan kehilangan darah lebih besar dari 1000-1500 mL. Kontrainidikasi meliputi pencemaran dari luka yang busuk dan tumor malignan, meskipun demikian kekhawatiran tentang kemungkinan reinfusi sel malignan via teknik tills tidak dibenarkan. Sistem lebih modern dan sederhana memungkinkan rein-fusion darah tanpa centrifugae.

Normovolemic HemodilusiHemodilution normovolemic akut bergantung pada pendapat bahwa jika konsentrasi sel darah merah dikurangi, total kehilangan sel darah merah dapat dikurangi apabila darah dalam jumlah besar ditumpahkan; lebih dari itu, cardiac output tetap normal sebab volume intravascuiar terkontrol. Darah umumnya dikeluarkan sebelum operasi melalui kateter intravena yang besar dan digantikan dengan cairan kristaloid dan koloid, supaya pasien tetap normovolemic tetapi dengan hematocrit 21-25%. Darah yang dikeluarkan disimpan dalam kantong CPD pada suhu sampai 6 jam untuk menjaga fungsi dari trombosit; darah di transfusikan kembali ke pasien setelah kehilangan darah atau lebih cepat jika diperlukan.

Donor - Transfusi LangsungPasien dapat meminta donor darah dari anggota keluarga atau teman yang mengandung ABO kompatibilitas. Kebanyakan bank darah tidak menyarankan hal ini dan umumnya memerlukan donor kurang lebih 7 hari sebelum operasi untuk memproses darah dan mengkonfirmasikan kompatibilitas.

Studi yang membandingkan keamanan dari pendonor-langsung dengan donor secara random tidak ada perbedaan, ataupun bank darah lebih aman.

KONSEP UTAMA1. Walaupun waktu paruh cairan

kristaloid didalam intravascular adalah 20-30 menit, kebanyakan     cairan koloid mempunyai waktu paruh antara 3-6 jam.

2. Pasien dengan hematocrit normal bisanya ditransfusi hanya setelah kehilangan darah lebih dari 10-20% dari volume darahnya. Ini berdasarkan kondisi medis pasien dan prosedur pembedahan.

3. Reaksi transfusi yang paling berat yaitu yang berhubungan dengan inkompatibilitas ABO, antibody yang didapat secara alami dapat bereaksi melawan antigen dalam transfusi (asing), mengaktifkan komplemen,dan mengakibatkan hemolysis intravascular.

4. Pada pasien yang dianestesi, manifestasi dari reaksi hemolytic akut adalah kenaikan temperatur, tachycardia yang tak dapat dijelaskan,hypotensi, hemoglobinuria dan oozing difus dari lapangan operasi.

5. Transfusi leukocit termasuk produk darah dapat menjadi immunosuppressive.

6. Pasien immunosupresi dan immunocompromised (misalnya, bayi premature dan  penerima transplantasi organ) terutama  peka  terhadap infeksi cytomegalovirus  (CMV) melalui

transfusi. Seperti pasien yang hanya menerima unit CMV-NEGATIVE.

7. Penyebab tersering pendarahan dari transfusi darah yang massif adalah dilutional  thrombocytopenia.

8. Secara klinis hypocalcemia, menyebabkan depresi jantung, tidak terjadi pada pasien   normal kecuali jika transfusi melebihi 1 U tiap 5 menit.

9. Ketidakseimbangan asam basa yang paling sering setelah transfusi darah masif adalah  alkalosis metabolic post operative.

BAB XX

Pertimbangan Anestesia Penderita Hipertensi 

Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk

dilakukannya penundaan anestesia dan operasi.12,13 Namun banyak literatur yang

menulis bahwa TDD 110 atau 115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan

penundaan anestesia atau operasi kecuali

Page 231: Dasar ilmu Anesthesi

231

operasi emergensi.11,12 Kenapa TD diastolik (TDD) yang dijadikan tolak ukur, karena

peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring dengan pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai perubahan fisiologik dibandingkan patologik.

Namun beberapa ahli menganggap bahwa hipertensi sistolik lebih besar risikonya untuk

terjadinya morbiditas kardiovaskuler dibandingkan hipertensi diastolik. Pendapat ini

muncul karena dari hasil studi menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi sistolik dapat menurunkan risiko terjadinya

stroke dan MCI pada populasi yang berumur tua. Dalam banyak uji klinik, terapi

antihipertensi pada penderita hipertensi akan menurunkan angka kejadian stroke sampai

35%-40%, infark jantung sampai 20-25% dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50%. 2,12 Menunda operasi hanya untuk tujuan mengontrol TD mungkin tidak

diperlukan lagi khususnya pada pasien dengan kasus hipertensi yang ringan sampai sedang.

Namun pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan

hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang lebih besar

terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya itu sendiri. Penundaan

operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya kerusakan target organ

sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum operasi.15 The American Heart

Association / American College of Cardiology (AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa TDS

≥ 180 mmHg dan/atau TDD ≥ 110 mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan

operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam beberapa menit

sampai beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi yang bersifat rapid acting.16

Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung mempunyai respon TD yang

berlebihan pada periode perioperatif. Ada 2 fase yang harus menjadi pertimbangan, yaitu

saat tindakan anestesia dan postoperasi. Contoh yang sering terjadi adalah hipertensi

akibat laringoskopi dan respons hipotensi akibat pemeliharaan anestesia. Pasien

hipertensi preoperatif yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan

mempunyai hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol dengan

baik.11,13,14

3. Perlengkapan Monitor Berikut ini ada beberapa alat monitor yang bisa kita gunakan serta maksud dan tujuan penggunaanya:5

EKG: minimal lead V5 dan II atau analisis multipel lead ST, karena pasien hipertensi punya risiko tinggi untuk mengalami iskemia miokard.

Tekanan Darah: monitoring secara continuous Tekanan Darah adalah esensial kateter Swan-Ganz: hanya digunakan untuk penderita hipertensi dengan riwayat CHF atau MCI berulang.

Pulse oxymeter: digunakan untuk menilai perfusi dan oksigenasi jaringan perifer.

Analizer end-tidal CO2: Monitor ini berguna untuk membantu kita mempertahankan kadar CO2.

Suhu atau temperature.

4. Premedikasi Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita hipertensi. Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa menggunakan ansiolitik seperti golongan benzodiazepin atau midazolam. Obat antihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada hari pembedahan sesuai jadwal minum obat dengan sedikit air non partikel. Beberapa klinisi menghentikan penggunaan ACE inhibitor dengan alasan bisa terjadi hipotensi intraoperatif.

5. Induksi Anestesi Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga preloading cairan penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker.3,8,10 Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi endotrakea yang bisa

Page 232: Dasar ilmu Anesthesi

232

menyebabkan takikardia dan dapat menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk menghindari terjadinya hipertensi.3,10

Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5- 10 menit.

Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25 mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,5-1 mikrogram/ kgbb).

Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea.

Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb, propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).

Menggunakan anestesia topikal pada airway..

Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah bervariasi untuk masing-masing klinisi. Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan etomidat tingkat keamanannya adalah sama untuk induksi pada penderita hipertensi.3 Untuk pemilihan pelumpuh otot vekuronium atau cis-

atrakurium lebih baik dibandingkan atrakurium atau pankuronium. Untuk volatile, sevofluran bisa digunakan sebagai obat induksi secara inhalasi.8,10

6. Pemeliharaan Anestesia dan Monitoring Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi tekanan darah yang terlalu lebar. Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode preoperatif.10 Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran kekanan autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika tekanan darah diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat antihipertensi akan menggeser kembali kurva autregulasi kekiri kembali ke normal. Dikarenakan kita tidak bisa mengukur autoregulasi serebral sehingga ada beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu:8

Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal yang dianjurkan untuk penderita hipertensi.

Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala hipoperfusi otak.

Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian stroke.

Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal, kurang lebih sama dengan yang terjadi pada serebral.

Anestesia aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan N2O), anestesia imbang (balance anesthesia) dengan opioid + N2O + pelumpuh otot, atau anestesia total intravena bisa digunakan untuk pemeliharaan anestesia.3 Anestesia regional dapat dipergunakan sebagai teknik anesthesia, namun perlu diingat bahwa anestesia regional sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien dengan keadaan hipovolemia.10 Jika hipertensi tidak berespon terhadap obat-obatan yang direkomendasikan, penyebab yang lain harus dipertimbangkan seperti phaeochro-macytoma, carcinoid syndrome dan tyroid storm.17 Kebanyakan penderita hipertensi yang menjalani tindakan operasi tidak memerlukan monitoring yang khusus. Monitoring intra-arterial secara langsung diperlukan terutama jenis operasi yang menyebabkan perubahan preload dan afterload yang mendadak. EKG diperlukan untuk mendeteksi terjadinya iskemia jantung. Produksi urine diperlukan terutama untuk penderita yang mengalami masalah dengan ginjal, dengan pemasangan kateter urine, untuk operasi-operasi yang lebih dari 2 jam. Kateter vena sentral diperlukan terutama untuk memonitoring status cairan pada penderita yang mempunyai disfungsi

Page 233: Dasar ilmu Anesthesi

233

ventrikel kiri atau adanya kerusakan end organ yang lain.3,10

7. Hipertensi Intraoperatif Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga pada periode

anestesia maupunsaat pasca bedah.13

Hipertensi intraoperatif yang tidak berespon dengan didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan antihipertensi secara parenteral (lihat tabel 2), namun faktor penyebab bersifat reversibel atau bisa diatasi seperti anestesia

yang kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea harus disingkirkan terlebih dahulu.3

Tabel 2. Agents Parenteral Untuk Terapi Akut Hipertesi.3

Agent Rentang Dosis Onset Duration

Nitroprusside 0.5–10 g/kg/min 30–60 1–5 min

Nitroglycerin 0.5–10 g/kg/min 1 min 3–5 min

Esmolol 0.5 mg/kg over 1 min; 50–300 g/kg/min

1 min 12–20 min

Labetalol 5–20 mg 1–2 min 4–8 h

Propranolol 1–3 mg 1–2 min 4–6 h

Trimethaphan 1–6 mg/min 1–3 min 10–30 min

Phentolamine 1–5 mg 1–10 min 20–40 min

Diazoxide 1–3 mg/kg slowly 2–10 min 4–6 h

Hydralazine 5–20 mg 5–20 min 4–8 h

Nifedipine (sublingual)

10 mg 5–10 min 4 h

Methyldopa 250–1000 mg 2–3 h 6–12 h

Nicardipine 0.25–0.5 mg 1–5 min 3–4 h

5–15 mg/h

Enalaprilat 0.625–1.25 mg 6–15 min 4–6 h

Fenoldopam 0.1–1.6 mg/kg/min 5 min 5 min

Pemilihan obat antihipertensi tergantung dari berat, akut atau kronik, penyebab hipertensi, fungsi baseline ventrikel, heart rate dan ada tidaknya penyakit bronkospastik

pulmoner dan juga tergantung dari tujuan dari pengobatannya atau efek yang diinginkan dari pemberian obat tersebut (lihat tabel 3).3,19

Berikut ini ada beberapa contoh sebagai dasar pemilihan obat yang akan digunakan:3

Beta-adrenergik blockade: digunakan tunggal atau tambahan pada pasien dengan fungsi ventrikuler yang masih baik dan dikontra indikasikan pada bronkospastik.

Page 234: Dasar ilmu Anesthesi

234

Nicardipine: digunakan pada pasien dengan penyakit bronkospastik.

Nifedipine: refleks takikardia setelah pemberian sublingual sering dihubungkan dengan iskemia miokard dan antihipertensi yang mempunyai onset yang lambat.

Nitroprusside: onset cepat dan efektif untuk terapi intraoperatif pada hipertensi sedang sampai berat.

Nitrogliserin: mungkin kurang efektif, namun bisa digunakan sebagai terapi atau pencegahan iskemia miokard.

Fenoldopam: dapat digunakan untuk mempertahankan atau menjaga fungsi ginjal.

Hydralazine: bisa menjaga kestabilan tekanan darah, namun obat ini juga punya onset yang lambat sehingga menyebabkan timbulnya respon takikardia.

 8. Krisis Hipertensi Dikatakan krisis hipertensi jika tekanan darah lebih tinggi dari 180/120 mmHg dan dapat dikategorikan dalam hipertensi urgensi atau hipertensi emergensi, berdasarkan ada tidaknya ancaman kerusakan target organ atau kerusakan target organ yang progresif. Pasien dengan hipertensi sistemik kronis dapat mentoleransi TDS yang lebih tinggi dibandingkan individu yang sebelumnya

normotensif dan lebih mungkin mengalami hipertensi yang sifatnya urgensi dibandingkan emergensi.10 Hal-hal yang paling sering menimbulkan krisis hipertensi adalah antara lain karena penggunaan obat antihipertensi seperti clonidine, hiperaktivitas autonom, obat-obat penyakit kolagen-vaskuler, glomerulonefritis akut, cedera kepala, neoplasia seperti pheokromasitoma, preeclampsia dan eklampsia. Manifestasi klinis yang timbul adalah sesuai dengan target organ yang rusak akibat hipertensi ini.8 Krisis hipertensi terbagi atas hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi. Hipertensi emergensi adalah pasien dengan bukti adanya kerusakan target organ yang sedang terjadi atau akut (ensefalopati, perdarahan intra serebral, kegagalan ventrikel kiri akut dengan edema paru, unstable angina, diseksi aneurisme aorta, IMA, eclampsia, anemia hemolitik mikro angiopati atau insufisiensi renal) yang memerlukan intervensi farmakologi yang tepat untuk menurunkan TD sistemik. Ensefalopati jarang terjadi pada pasien dengan hipertensi kronis sampai TDD melebihi 150 mmHg sedangkan pada wanita hamil yang mengalami hipertensi dapat mengalami tanda-tanda ensefalopati pada TDD < 100 mmHg. Sehingga walaupun tidak ada gejala, wanita hamil dengan TDD > 109 mmHg dianggap sebagai hipertensi emergensi dan memerlukan terapi segera. Bila TD diturunkan secara cepat akan terjadi iskemia koroner akut, sehingga MAP diturunkan sekitar 20% dalam 1 jam pertama, selanjutnya pelan-pelan diturunkan sampai160/110 selama 2-6 jam. Tanda-tanda penurunan tekanan darah ditoleransi dengan

baik adalah selama fase ini tidak ada tanda-tanda hipoperfusi target organ.8,10,20 Hipertensi urgensi adalah situasi dimana TD meningkat tinggi secara akut, namun tidak ada bukti adanya kerusakan target organ. Gejala yang timbul dapat berupa sakit kepala, epitaksis atau ansietas. Penurunan TD yang segera tidak merupakan indikasi dan pada banyak kasus dapat ditangani dengan kombinasi antihipertensi oral bertahap dalam beberapa hari.10,20

9. Manajemen Postoperatif Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasien yang menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokard sehingga berpotensi menyebabkan iskemia miokard, disritmia jantung dan CHF. Disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan ulang luka operasi akibat terjadinya disrupsi vaskuler dan dapat berkonstribusi menyebabkan hematoma pada daerah luka operasi sehingga menghambat penyembuhan luka operasi.3,10 Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada banyak faktor, disamping secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidak teratasi dengan baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri, overload cairan atau distensi dari kandung kemih. Sebelum diputuskan untuk memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab sekunder tersebut harus dikoreksi dulu.3 Nyeri merupakan salah satu faktor yang paling berkonstribusi menyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga untuk pasien yang berisiko,

Page 235: Dasar ilmu Anesthesi

235

nyeri sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin epidural secara infus kontinyu. Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi, maka intervensi secara farmakologi harus segera dilakukan dan perlu diingat bahwa meskipun pasca operasi TD kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah mempunyai riwayat hipertensi, sebaiknya obat antihipertensi pasca bedah tetap diberikan.14 Hipertensi pasca operasi sebaiknya diterapi dengan obat antihipertensi secara parenteral misalnya dengan betablocker yang terutama digunakan untuk mengatasi hipertensi dan takikardia yang terjadi. Apabila penyebabnya karena overload cairan, bisa diberikan diuretika furosemid dan apabila hipertensinya disertai dengan heart failure sebaiknya diberikan ACE-inhibitor. Pasien dengan iskemia miokard yang aktif secara langsung maupun tidak langsung dapat diberikan nitrogliserin dan beta-blocker secara intravena sedangkan untuk hipertensi berat sebaiknya segera diberikan sodium nitroprusside.13 Apabila penderita sudah bisa makan dan minum secara oral sebaiknya antihipertensi secara oral segera dimulai.3,10,14