dari aku.docx

21
Dari aku Dari hati, untuk kamu

Upload: drroveny

Post on 05-Nov-2015

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Dari akuDari hati, untuk kamu

PROLOG

Betapalah aku mengertiHitam ini tak mungkin kau ubah putihAda hati yang terikat janjiMaka sejauh mana diri ini berartiTetaplah ada yang tak termiliki

Usahlah gundah, KasihSelalu ada senyum meski tersembunyiAku tahu harus di mana kaki berdiriBersamamu, meski kata abadi tak tergarisbawahiMeski tanpa harap ikatan yang ditakdirkan suciDemi yang kusebut cinta, ikhlas kan kujalani

***Langit mendung, benar-benar mendung. Sekilas tampak seperti senja, padahal arloji di tangan kiriku bahkan belum menunjukkan pukul sepuluh. Yah, masih terlalu pagi untuk kunjungan ke panti asuhan. Sebagian besar anak-anak masih sekolah, panti nyaris kosong. Kosong, tapi hangat.Entah mengapa aku merasa ada begitu banyak kehangatan di sini. Bertolak belakang dengan cuaca di luar sana, di dalam sini cerah. Sungguh! Melihat Rin menimang bayi Rizka yang menderita bibir sumbing sambil mengajak main si cantik Farah yang berusia 3 tahun merupakan pemandangan yang menyejukkan mata dan menentramkan hati. Ini adalah kunjungan keduaku. Sama seperti sebelumnya, emosi ini pun kembali diobrak-abrik, terutama oleh Rin. Ia memang tidak melakukan apa pun untuk menarik perhatianku, hanya mengerjakan rutinitas harian. Dalam balutan kaos putih dan jeans hitam, ia tampak sempurna. Dan tampak begitu salah. Entahlah! Buatku ia terlalu cantik, terlalu muda, dan terlalu pintar untuk mengabdikan seluruh hidupnya pada anak-anak di panti.Satu lagi kisah bagus untuk kutulis.Aku mengeluarkan catatan dan pena dari ransel bututku. Mendekat ke Rin yang tengah tertawa lepas bersama anak-anaknya.Sepertinya Mbak sayang banget sama mereka, aku berbasa-basiIa menatapku sejenak, tersenyum seolah membenarkan pernyataanku. Senyum yang manis.Tapi menurutku ketimbang di sini Mbak lebih cocok ada di kantor, mengenakan blazer menghadiri rapat, dan mempersiapkan presentasi untuk promosi kenaikan jabatan.Rin kembali menatapku, rona wajahnya berubah. Kukira ia akan marah dengan kelancanganku tetapi justru tertawa begitu renyah.Ia merapatkan Rizka ke pelukannya, menarik napas panjang, Sepertinya pendapat itu meminta penjelasan.Kalau Mbak bersedia berbagi dengan saya.Kalau Mas punya banyak waktu untuk mendengarkan.Ada banyak waktu sampai anak-anak pulang sekolah.Aku membuka buku catatanku. Rin tersenyum simpul. Ada gurat mendung di bola matanya, persis seperti mendung di langit sana.

Bab SatuCinta yang Sempurna

Selamat malam Sayang!Malam Mama!Rin masih menatap nanar pada punggung mama yang hilang bersama pintu kamar yang ditutup. Malam ini pun tanpa dongeng, sama seperti malam-malam lalu. Rin tidak ingat lagi kapan terakhir kali didongengkan. Bahkan ia mulai lupa bagaimana rasanya dibacakan dongeng, bagaimana rasanya ditanya mengenai apa yang ia lakukan seharian ini.Sejatinya ia hanyalah anak kecil yang masih mendamba manja. Di usia yang belum genap 10 tahun, Rin kesepian sebagai anak tunggal dari kedua orang tua yang merupakan pekerja keras. Rasanya beberapa tahun lalu, papa dan mamanya tidak sesibuk dan secuek ini. Entah sejak kapan perubahan itu terjadi, tahu-tahu Rin sudah lebih sering makan bersama Mbak Yem daripada papa mama.Begitu pun, ia tidak pernah mengeluh. Kesibukan kedua orang tuanya telah cukup menimbulkan kerengganganyang membuat Rin semakin segan, terasing, dan sungkan. Yah, setidaknya Rin masih mempunyai Mbak Yem yang siap menghibur, Miss Levi yang sabar mengajarinya bermain piano, Kak Rama yang membantu pelajaran sekolahnya, serta teman-teman yang selalu menemani bermain. Dan Damar. Tentu saja Rin tidak akan menyingkirkan nama itu. Damar.Seingat Rin, ia mengenal Damar seumur hidupnya. Rumah keluarga Damar persis di seberang rumah Rin. Sejak kecil mereka sering bermain bersama. Samar-samar Rin masih ingat momen-momen itu. Entah karena memang terpatri begitu kuat di memorinya atau karena sering diceritakan Tante Lismama Damarkalau Rin berkunjung ke sana. Saat ini Damar sudah duduk di bangku SMP, terapaut 4 tahun dari Rin. Pada usia seperti itu, menurut ahli jiwa Simon Freud, seharusnya anak lelaki akan lebih nyaman bermain dengan anak laki-laki, dan demikian pula halnya anak perempuan. Namun, teori tersebut tidak berlaku pada Rin dan Damar. Mereka masih nyaman bermain bersama.Kepuasan itu sudah ada meski sekadar menonton film kartun keluaran terbaru atau memainkan game playstion. Mencoba kreasi kue buatan Tante Lis. Mendengarkan cerita Damar tentang surat cinta di kertas merah jambu yang diberikan Tasya padanya di hari valentine. Menanggapi keluh-kesah Rin tentang anak badung di sekolahnya. Sampai mengerjakan tugas bersama, semuanya.Untuk Rin, Damar adalah bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Damar memberinya kerinduan terhadap seorang abang, meski ia lebih suka memanggil Damar dengan nama daripada dengan sebutan Abang. Iya, abang yang siap menjaga, mendengarkan, berbagi, bahkan berkelahi dengannya. Rumah Damar adalah rumah keduanya. Papa dan mama Damar, serta Nabila, kakak perempuan Damar adalah keluarga Rin yang lain. Bisa jadi, itu jugalah yang membuat Rin tetap tumbuh dan berkembang secara wajardi tengah ketidaksempurnaan keluarganya sendiri.Untuk Damar, Rin adalah sahabat baiknya. Meski tanpa ikatan, tanpa hitam di atas putih, secara naluriah Damar akan melindungi Rin. Mungkin bukan akan, melainkan harus.***Berkali-kali Rin memandangi jam dinding di kamarnya. Tidak banyak yang berubah, jarum jam pendek masih di sekitar angka delapan. Ia tahu itu, tetapi lima menit lagi ia akan kembali memantau jam tersebut. Refleks. Sama seperti spontanitasnya menyibak gorden yang menutupi pandangan ke rumah keluarga Damar. Sejak mobil Damar memasuki gerbang rumahnya sekitar satu jam yang lalu, sudah puluhan kali Rin mengintip dari balik jendela kamar. Padahal pandangannya tidak sanggup menembus pagar dan tembok. Tak ada yang tampak, kecuali jika Damar keluar. Pertama kali dalam 17 tahun hidupnya, Rin uring-uringan. Bahkan ia tidak pernah seperti ini jika mama atau papa pulang terlalu telat. Perasaannya benar-benar tidak enak. Sudah terjadi sejak 3 hari yang lalu, tepat saat Damar menceritakan rencana mengajak Aini untuk makan malam di rumah. Klimaks keresahan itu adalah malam ini, Damar benar-benar merealisasikannya. Sudah berkali-kali Rin makan malam bersama keluarga itu. Namun, Damar mengajak seorang wanita untuk makan malam bersama adalah adegan perdana. Rin tahu Damar dekat dengan Aini. Jika Damar mengajak Aini ke rumah, artinya ia serius.Entahlah! Ia hanya tidak siap kehilangan Damar setelah semua momen yang mereka habiskan bersama selama ini. Ia tidak siap ditinggal seorang diri, sementara Damar bersama pacarnya. Terlalu egois, tidak akan ada adik yang menghalangi abangnya mengejar cinta. Mungkin hanya Rin.***Hanya ada segelas susu dan beberapa lembar roti panggang, lengkap dengan selaitanpa mama dan papa. Rin melirik sekilas ke arah meja makan. Kemudian berlalu.Tepat di depan pagar, Damar sudah menunggunya dengan cantik. Ritual harian.Kau terlambat 5 menit hari ini. Ayo! seru Damar sambil masuk ke mobil.Bukannya menurut, Rin justru melangkah menjauh. Damar adalah orang terakhir yang ingin dia temui pagi ini. Semalaman ia tidak bisa tidur. Ada wajah Damar di langit-langit kamarnya. Jika ia memejamkan mata, wajah itu menari-nari di pikirannya. Hei! Kok malah pergi? Damar berupaya menyamai langkah Rin, meninggalkan mobilnya dalam keadaan menyala.Aku mau jalan kaki saja ke sekolah.Ada apa denganmu?Tidak ada. Sudah, sana! Nanti kau terlambat.Apa aku berbuat salah?Iya, kau mengusik pikiranku. Dan tidurku.Tidak. Menurut ramalan bintangku, aku kurang olahraga. Sudah, sana!Alasan yang payah! Damar tahu Rin tidak pernah membaca apalagi percaya pada ramalan bintang. Masalahnya ini Rin. Berdebat dengannya tidak akan membawa keuntungan.Hati-hati! Hari ini aku pulang cepat, sms kalau mau bareng.Rin meneruskan langkahnya tanpa berpaling. Damar yakin ia mendengar, hanya terlalu enggan untuk memberi reaksi, bahkan sekadar anggukan atau gelengan.Gadis itu selalu bertingkah aneh kalau ada yang mengganggunya. Hanya saja Damar tak mengerti apa yang salah. Rin masih baik-baik saja saat meng-copy file film dari laptop-nya kemarin siang. Dan Damar belum berbuat jahat pada Rin terhitung sejak kemarin.Kadang Rin memang suka melampiaskan kekesalannya pada Damar. Namun, berapa kali ia mengambek tanpa sebab masih bisa dihitung dengan jari. Jelasnya, Damar benci setiap kali Rin berbuat demikian. Ia tak akan pernah bisa berhenti menerka-nerka apa yang terjadi pada Rin dan itu mengganggunya.Rin keterlaluan, mengambek di saat seperti inisaat di mana ia butuh telinga untuk mendengar dan mulut untuk memberi komentar. Ia butuh pendapat Rin mengenai Aini. Makan malam berjalan lancar, Aini cepat akrab dengan keluarganya, mama pun tidak tampak menunjukkan rasa keberatan. Namun, entah mengapa Damar merasa ada yang tidak benar. Ia lebih suka makan malam bersama Rin daripada bersama Aini.Ah, mungkin satu-satunya yang tidak benar di sini adalah membandingkan Rin dengan Aini.***Dan hari ini pun kau menghindariku lagi. Dari tadi aku menunggumu di sekolah, di tempat biasa, meneleponmu berulang kali. Ada apa sih sebenarnya? Damar menggerutu begitu menemukan Rin tengah menonton TV bersama setoples keripik kentang. Mukanya cemberut, kesal.Ponselku tertinggal.Kau menghindariku kan Rin?Tidak, jawab Rin pelan, hampir tanpa ekspresi.Saat orang terdekatmu menunjukkan perubahan, sekecil apa pun perubahan itu, tentu kau bisa merasakannya. Kecuali salah satu dari mereka ke luar kota, Rin dan Damar selalu bertemu setiap hari, setidaknya saling memberi kabar. Sudah dua hari semua berjalan tidak sebagaimana mestinya.Dengar! Damar meraih pundak Rin, mengalihkan perhatiannya dari TV, Kau tidak pernah bisa membohongiku, ada yang kau sembunyikan.Tidak ada, Damar. Tidak ada.Lalu apa yang bisa kau jelaskan? Semalam kau tidak berkunjung, tidak membalas sms-ku, tidak mengangkat telpon. Dan tadi, kata Mbak Yem kau sudah berangkat pagi-pagi. Jangan bilang padaku kau harus membuka pintu gerbang sekolah hari ini!Rin tertawa renyah, dipaksa.Benar-benar tidak ada apa-apa, Rin menghela napas, Aku cuma berpikir mungkin akan lebih baik kalau membiasakan diri tanpamu. Belum tentu dia bisa menerima kedekatan kita.Tidak sepenuhnya begitu. Aku marah padamu tanpa aku tahu mengapa. Sebaiknya kau pergi sebelum kemarahanku meluap, Damar!Dia?Aini.Rin! Kau sudah gila?

BAB 2Sebuah AwalBAB 3Noda-Noda Cinta

BAB 4Memeluk Dua Hati

BAB 5Perubahan

BAB 6Ambivalen

BAB 7Ujian

BAB 8Hati yang Tersakiti

BAB 9Jika Ini Akhirnya

BAB 10Dua Wanita

Epilog