dari internet

Upload: majdiatul-akmah

Post on 06-Jul-2015

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

http://stihmkotabumi.wordpress.com/tulisan-dosen/ TULISAN DOSEN PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM PERSPEKTIF KONTROL YUDISIAL (Oleh : Syafruddin, SH*) A. Pendahuluan UUD 1945 (sebelum maupun sesudah perubahan) mengintrodusir konsep negara hukum berdasar Pancasila, maka pemerintah diwajibkan menyelenggarakan keadilan dan kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam pembukaannya. Dalam konsep negara kesejahteraan (Welfare State), tugas pemerintah dalam menyelenggarakan kepentingan umum menjadi sangat luas, bukan saja menjaga keamanan semata-mata melainkan juga secara aktif turut serta dalam urusan-urusan kemasyarakatan demi kesejahteraan rakyat. Untuk mewujudkan konsepsi tersebut diperlukan pemerintahan yang efektif, kuat dan bersih, serta kemerdekaan bertindak administrasi atas inisiatif sendiri, salah satunya dapat berupa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Adanya kemerdekaan bertindak admnisitrasi atas inisiatif sendiri ini tidak menutup kemungkinan terjadinya sengketa antara pemerintah dan warga masyarakat, bahkan pelanggaran terhadap hak seseorang atau badan hukum perdata, sehingga diperlukan penyelesaian dan atau pengawasan yudisial oleh Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang akan menilai suatu KTUN itu melanggar atau tidak terhadap hak seseorang atau badan hukum perdata tadi. Dalam melakukan pengawasan yudisial ini menurut Kuntjoro Purbopranoto (1982: 29), berdasarkan hukum tak tertulis, dapat dilakukan melalui penormaan Asas Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) sebagai yang telah pernah disosialisasikannya, dimana menurut pendapat-nya, selain asas pemerintahan yang layak dari Crince Le Roy sebanyak 11 butir, juga ditambah dengan asas kebijaksanaan dan asas peyelengaaraan kepentingan umum. ____________

* Dosen tetap STIH Muhammadiyah Kotabumi Adapun asas pemerintahan yang layak menurut Crince Le Roy, dalam rangkuman kuliahnya pada penataran lanjut Hukum Tata Usaha Negara Tata Pemerintahan di Fakultas Hukum Airlangga tahun 1978, meliputi asas-asas; kepastian hukum, keseimbangan, bertindak cermat, motivasi, tidak boleh mencampuradukan kewenangan, kesamaan dalam pengambilan keputusan, permainan yang layak, keadilan atau kewajaran, menanggapi penghargaan yang wajar, meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal dan perlindungan atas pandangan hidup pribadi (SF. Marbun, 2002: 206) Semula implementasi AAUPB dicarikan landasannya pada pasal 27 ayat (1) UU No. 14/1970 jo UU No. 35/1999, dan pasal 53.2 sub c UU No. 5/1986. Namun dalam perkembangannya telah diformulasikan adanya asas-asas umum pemerintahan negara yang baik melalui UU No. 28/1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, maka kiranya Peradilan Tata Usaha Negara dapat menggunakan momentum ini untuk mengefektifkan fungsi kontrolnya terhadap Pemerintah dalam rangka menegakkan supremasi hukum. Kontrol yudisial harus diletakkan sebagai premis untuk menghasilkan pemerintahan yang kuat dan bersih. Melalui kontrol yudisial yang efektif dapat ditemukan value mengenai prinsip-prinsip pemerintahan yang bersih. Berdasarkan pada uraian di atas, bahwa untuk mencegah agar kebebasan yang dimilki pemerintah dalam menjalankan tugas penyelenggaraan kesejahteraan umum di negara hukum berdasar Pancasila tidak menjurus kearah tindakan kesewenang-wenangan yang disebut dengan detournement de pouvoir atau ultra vires, maka diperlukan sistem pengawasan, guna memberikan perlindungan, baik bagi warga masyarakat maupun bagi sikap tindak pemerintah itu sendiri. Dengan demikian dapat dirumuskan permasalahan dalam makalah ini, bagaimanakah Hukum dan Kekuasaan suatu Peradilan Tata Usaha Negara dapat melakukan kontrol yudisial terhadap Keputusan Tata Usaha Negara ? B. Landasan dan Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara

Sesungguhnya usaha ke arah pembentukan Undang-undang tentang peradilan tata usaha negara ini telah lama dirintis, baik oleh pihak pemerintah, yudikatif maupun organisasi profesi. Berikut di kemukakan secara singkat beberapa hal yang berkenaan dalam usahausaha tersebut. Konsep dasar dari pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak dapat dipisahkan dari introduksi FJ. Stahl, seorang sarjana dari Jerman, tentang Konsep Negara Hukum (Rechstaat), dimana sebagai negara hukum harus memiliki unsur-unsur yaitu; (a) mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia, (b) untuk melindungi hak asasi tersebut maka penyelenggaraan negara harus berdasarkan pada teori Trias Politica, (c) yang dalam menjalankan tugasnya, pemerintah berdasar atas undang-undang, dan (d) apabila dalam menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang tersebut pemerintah masih melanggar hak asasi maka diperlukan adanya peradilan administrasi yang akan menyelesaikannya (SF. Marbun, 2002: 7). Adanya peradilan administrasi (Tribunal Administratif), yang menurut G. Braibant, cs., dalam bukunya yang berjudul Putusan-putusan Utama dalam Yurisprudensi Peradilan Administrasi, maka peranannya terlihat melahirkan norma-norma yang berlaku dalam bidang peradilan administrasi, mulai dari cara mengajukan gugatan, mengenai materi yang digugat, saat mengajukan gugatan dan jangka waktu mengajukan gugatan, sifat pemeriksaan, kekuasaan atau wewenang hakim dan sebagainya sampai kepada pelaksanaan putusan (Benyamin M., 1982: 67). Lembaga peradilan tersebut, pada pokoknya, bertugas memeriksa dan mengadili hal-hal yang sangat menyentuh rasa keadilan bagi warga masyarakat, bahkan di Perancis lembaga ini merupakan Les protecteurs des Citoyen yang berarti pelindung daripada warga masyarakat , namun tidak berarti bahwa setiap pengaduan itu atau gugatan terhadap administrasi/ pemerintah oleh warga masyarakat dapat diajukan ke muka hakim peradilan tata usaha negara. Hal-hal yang terletak dalam hukum privat tetap jadi wewenang hakim perdata di muka pengadilan negeri (Benyamin M., 1982: 65). Di negara kita, usaha pembentukan lembaga Peradilan Administrasi dapat dlihat mulai tahun 1960, berdasarkan Tap MPRS No. II/MPRS/ 1960, oleh Lembaga Pembinaan Hukum

Nasional (LPHN) telah disusun Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Peradilan Administrasi, namun tidak sempat diajukan ke lembaga legislatif, sehingga pada tahun 1964, dengan diundang-kannya Undang Undang No. 19 tahun 1964 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dimana dalam pasal 7 ayat (1) yang mencantumkan Peradilan Tata Usah Negara merupakan salah satu lingkungan pengadilan, maka sebagai usaha melaksanakan ketentuan pasal tersebut, LPHN menyusun kembali Rancangan Undang Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang kemudian dapat disahkan dalam sidang plenonya pada tanggal 10 Januari 1966, yang selanjutnya pada tahun 1967, DPRGR mengajukan usul inisiatif mengenai Rancangan Undang Undang tentang Peradilan Tata Usah Negara. Pada tahun 1970, diundangkan Undang Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang meng-gantikan Undang Undang No. 19 tahun 1964, dimana dalam pasal 10 ayat (1) undang-undang tersebut juga menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan antara lain peradilan tata usaha negara. Demikian pula dalam repelita II, ditetapkan perlunya dibentuk peradilan administrasi, maka diadakan usaha untuk membuat persiapan penyusunan undang-undang peradilan tata usaha negara. Sehubungan hal ini, Departemen Kehakiman dengan kerjasama UNPAD, mengadakan penelitian mengenai peradilan administasi negara. Demikian pula Persahi dalam Munas di Prapat pada tahun 1972 telah membahas permasalahan peradilan administrasi negara di Indonesia. Dengan dicantumkannya RUU Peradilan Administrasi dalam Repelita, yang kemudian dimuat dalam Tap MPR No. IV/MPR/1978 menetapkan bahwa perlu diusahakan terwujudnya peradilan tata usaha negara, maka usaha kearah penyusunan RUU tentang Peradilan Tata Usaha Negara makin mendekati hasil yang nyata. Untuk merealisir Ketetapan MPR tersebut BPHN menyusun naskah akademis tentang susunan, kekuasaan, dan hukum acara peradilan tata usaha negara. Sementara itu Menteri Kehakiman membentuk Panitia Interdepartemen Penyusunan RUU Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan mendasarkan naskah tersebut, dan dari bahan hasil simposium, maka panitia menyusun RUU tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Kemudian pada tanggal 28-30 November 1978, Mahkamah Agung mengadakan lokakrya

mengenai hubungan Mahkamah Agung dengan badan-badan peradilan tata usaha negara (Benyamin M., 1982: 126-127). Setelah melalui proses panjang, dari uraian diatas selama lebih 22 tahun, gagasan penyusunan RUU tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang dilakukan baik oleh pihak eksekutif, yudikatif, dan perguruan tinggi maupun dari kalangan profesi, maka baru pada tanggal 29 Desember 1986 dibentuk dan diundangkannya UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (LN 1986 No. 77 dan TLN No. 3344). Undang-undang inipun baru bisa diterapkan secara efektif setelah selama 5 tahun mengalami slapende regeling , dengan dikeluarkanya PP (Peraturan Pemrintah) No. 7 tahun 1991 tentang Penerapan Undang-undang No. 5 tahun 1986, yang dituangkan dalam LN 1991 No. 8 pada tanggal 14 Januari 1991 (W Riawan Tjandra, 2002: 5) Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia merupakan peradilan administrasi yang berwenang untuk menilai keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh pemerintah, sebagaimana dimaksud pada pasal-pasal; 1 butir (b,c,d), 3, 47, 53, dan 97 ayat (9) UU No. 5/1986. Dalam pasal 1 butir b disebutkan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang me-laksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Sedangkan butir c-nya menyebutkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Kemudian pada butir d dirumuskan bahwa Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di tingakt pusat maupun di tingkat daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk dalam sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam praktek, adanya kontrol ini sering juga dilihat sebagai sarana untuk mencegah timbulnya segala suatu bentuk tindakan atas penyimpangan tugas pemerintahan yang

dilakukan dari apa yang telah digariskan dalam peraturan perundangan. Memang disinilah letak inti atau hakekat dari suatu pengawasan. Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara juga diartikan sebagai kecenderungan tekad pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi warga negara terhadap kekuasaan pemerintah dalam melaksanakan urusan pemerintahan (Martiman P., 1993: 12), memberikan pengayoman (Sjachran Basah, 1985: 4), sarana pemelihara ketertiban dan stabilisator hukum (Sunaryati H., 1975: 8). Hal yang demikian ini, maka dapat pula dikatakan adanya maksud dari fungsi hukum, sebagaimana yang dikemukakan Sjahran Basah, bahwa dalam kehidupan masyarakat yang conditio sine quanom, fungsi hukum adalah sebagai; a. Direktif, yaitu sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara, b. Integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa, c. Stabilitatif, yaitu sebagai pemelihara (termasuk kedalamnya hasil-hasil pembangunan) dan penjaga keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, d. Perfektif, yaitu penyempurna terhadap tindakan-tindakan administrasi negara, maupun sikap tindak warga dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, e. Korektif, baik terhadap warga negara maupun administrasi negara dalam mendapatkan keadilan (SF. Marbun, 2002: 268). Hukum yang disebutkan di atas mempunyai makna yang sangat luas, termasuk dalam pengertian pengendalian, pencegahan dan pengawasan terhadap kemungkinan timbulnya segala suatu bentuk penyimpangan tugas pemerintahan dari apa yang telah digariskan (preventif) dan menindak atau memperbaiki penyimpangan yang terjadi (represif). Dengan demikian, fungsi dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik yang timbul antara Pemerintah (Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara) dengan rakyat (Orang atau Badan Hukum Perdata) sebagai akibat dikeluarkannya atau tidak dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.

C. Pengawasan Yudisial Peradilan Tata Usaha Negara Sebagaimana pernah dikemukakan terdahulu bahwa dalam konsep negara kesejahteraan (Welfare State), maka tugas pemerintah dalam menyelenggarakan kepentingan umum menjadi sangat luas, bukan hanya semata-mata menjaga keamanan, melainkan juga secara aktif turut serta dalam urusan-urusan kemasyarakatan demi kesejahteraan rakyat. Untuk mewujudkan konsepsi tersebut, dalam melakukan tindakannya, pemerintah memerlukan keleluasaan (Freies Ermessen, Discretionair) dalam menentukan kebijakan-kebijakannya, dimana salah satunya dapat berupa Keputusan Tata Usaha Negara. Akan tetapi dalam suatu negara hukum adalah menjadi suatu syarat bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum, artinya sikap tindak pemerintah tersebut haruslah dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun secara hukum. Oleh karena sendi-sendi negara hukum tetap harus dipertahankan, dan agar pada satu sisi tindakan pemerintah itu, dalam menyelenggarakan pemerintahan tidak keluar dari jalur negara hukum dan pada sisi lain warga negara atau masyarakat tetap dijamin perlindungan hak-hak asasinya, maka diperlukan sistem pengawasan. Dalam sistem ketatanegaraan di negara kita sesungguhnya sistem pengawasan terhadap perbuatan pemerintah dapat dilakukan dari dan atau oleh beberapa pihak, yaitu; instansi pemerintahan yang lebih atas, instansi yang mengambil keputusan itu sendiri, masyarakat melalui perwakilan (DPR RI/DPRD), instansi yang khusus ditunjuk untuk mengadakan pengawasan, dan juga peradilan tata usaha negara. Dari beberapa pihak dan cara pengawasan tersebut di atas maka dapat dirinci dalam beberapa segi sebagai berikut: 1. Ditinjau dari segi kedudukan suatu badan atau organ yang melaksanakan pengawasan: a. pengawasan intern, b. pengawasan ekstern. 2. Ditinjau dari segi saat/waktu dilaksanakannya:

a. pengawasan preventif (a-priori), b. pengawasan represif (a posteriori). 3. Pengawasan dari segi hukum (SF. Marbun, 2002: 268-269). Meskipun demikian, berkenaan dengan hal sebagaimana rumusan masalah yang ingin dikemukakan dalam makalah ini, maka penulis hanya akan menguraikan pengawasan dari segi hukum dimana terhadap perbuatan pemerintah yang merupakan pengawasan dari segi rechtmatigheid, pengawasan yang merupakan penilaian sah atau tidaknya suatu perbuatan pemerintah yang menimbulkan akibat hukum. Dalam praktek diberbagai negara, sekalipun pokok sesungguhnya di-semua negara itu serupa, tetapi perkembangan serta pemecahan tentang pengawasan dan perlindungan hukum bagi warga negara masyarakat di masing-masing negara pada akhirnya menunjukkan perbedaan baik dalam bentuk maupun sistemnya. Perbedaan tersebut pada prinsipnya berkaitan dengan unsur utama dari negara hukum, bahwa tindakan pemerintahan itu haruslah berdasarkan hukum yang berlaku. Sehingga dalam praktek timbul pertanyaan kaidah hukum apakah yang harus diterapkan di dalam menilai tindakan pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan. Apakah hukum perdata yang berlaku bagi setiap orang ataukah hukum administrasi yang bersifat otonom. Sedangkan perbedaan dalam sistem, karena ada negara yang menganut duality of jurisdiction dan ada pula yang menganut unity of juris-diction, disamping negara-negara yang menganut sistem yang berbeda dari keduanya. Kesemuanya berkaitan dengan pertanyaan kepada organ manakah yang diberi wewenang memberikan penilaian dan pemeriksaan tersebut. Ada yang memberikan wewenangnya kepada organ peradilan umum dengan menetapkan hukum perdata, ada negara yang memberikan wewenangnya kepada organ peradilan khusus yang disebut peradilan administrasi negara, disamping organ lainnya (SF. Marbun, 2002: 275). Di negara kita, dengan terbentuknya UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sebagai implementasi dari pasal 10 UU No. 14 tahun 1970 (jo. UU No. 35 tahun 1999 jo. UU No. 4 tahun 2004) tentang Kekuasaan Kehakiman, terlihat adanya peradilan

administrasi sebagai bahagian dari kekuasaan kehakiman, dengan nama Peradilan Tata Usaha Negara, yang merupakan peradilan khusus. Dibentuknya lembaga ini dimaksudkan unutk menyelesaikan sengketa antara Pemerintah dan warga negaranya, yakni sengketa yang timbul sebagai akibat dari adanya tindakan-tindakan Pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak warga negaranya. Tujuan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara ini adalah memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hakhak individu, memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut. Demikian yang tersirat dalam Penjelasan Umum angka ke-1 Undang-undang tersebut. Selanjutnya dalam penjelasan umum tersebut menyebutkan bahwa hukum acara yang digunakan pada peradilan mempunyai persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada peradilan umum untuk perkara perdata, dengan beberapa perbedaan antara lain; a) pada Peradilan Tata Usaha Negara, Hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan guna memperoleh kebenaran material dan untuk Undang-undang ini mengarah pada ajaran pembuktian bebas; b) suatu gugatan Tata Usaha Negara pada dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan. Dari perbedaan tersebut tampaklah spesifikasi dari hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara dalam asas-asas yang menjadi landasan normatif operasionalnya, yaitu: a) asas aktifitas hakim, dimana hakim diwajibkan secara aktif untuk meng-imbangi kedudukan para pihak (tergugat dan penggugat), sebagaimana dalam pasal-pasal; 58, 63 ayat (1, 2), 80, 85. b) asas praduga rechtmatig, bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap sebagai keputusan yang sah sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini, gugatan tidak menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat, sebagaimana pasal 67 ayat (1). c) Asas pembuktian bebas, dimana hakim yang menentukan beban pembuk-tiannya, sebagaimana dalam pasal 107.

d) Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat erga omnes . Dengan demikian, dari spesifikasi tersebut, terdapat ciri-ciri khusus didalam memberikan penilaian atau melakukan kontrol bagi Peradilan Tata Usaha Negara terhadap tindakan hukum Pemerintah dalam bidang hukum publik, yaitu: a) sifat atau karakteristik dari suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang selalu mengandung asas prasumtio iustae causa , yaitu bahwa suatu Keputusan Tata Usaha Negara harus selalu dianggap sah selama belum dibuktikan sebaliknya sehingga pada prinsipnya harus selalu dapat segera dilaksanakan, b) asas perlindungan terhadap kepentingan umum atau publik yang menonjol disamping perlindungan terhadap individu, c) asas self respect dari aparatur pemerintah terhadap putusan-putusan peradilan administrasi, karena tidak dikenal adanya upaya pemaksa yang langsung melalui juru sita, seperti halnya dalam prosedur perkara perdata. Dalam UU No. 5 tahun 1986 tidak menganut prinsip actio popularis, yaitu suatu prinsip yang memberikan hak menggugat kepada setiap orang atau setiap penduduk, melainkan orang atau badan hukum perdata kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara atas Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan, atau tidak dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, yang mengakibatkan kerugian terhadap orang atau badan hukum perdata. Suatu obyek sengketa Tata Usaha Negara, untuk dapat diuji melalui Peradilan Tata Usaha Negara, menurut Hans Kelsens, adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang memiliki kriteria; 1) Secara substansil, merupakan penetapan tertulis yang harus jelas; a. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkan, b. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu, c. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalam-nya.

2) Dari segi pembuatnya, dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam rangka melaksanakan kegiatan yang bersifat eksekutif (urusan pemerintahan). 3) Wujud materiilnya, berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara, yaitu tindakan hukum Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah. 4) Dari segi sifatnya, adalah kongkrit, individual dan final. 5) Dari segi akibatnya, menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (W. Riawan Tjandra, 2002: 13). Untuk menentukan segi pengujian yuridis terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam sengketa Tata Usaha Negara harus dilihat pula peraturan perundang-undangan yang mendasari dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, misalnya; mengenai penggunaan upaya administratif (pasal 48) ditentukan untuk melihat ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan apakah terhadap Keputusan Tata Usaha Negara tersebut terbuka atau tidak terbuka kemungkinan untuk ditempuh suatu upaya administratif (penjelasan pasal 48 ayat 1). Hal ini berkaitan dengan pasal 48 ayat 2 yang menegaskan bahwa pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana di maksud dalam ayat 1 jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan. Apabila seluruh prosedur dan kesempatan tersebut pada penjelasan ayat 1 telah ditempuh, dan pihak yang bersangkutan masih tetap belum merasa puas, maka barulah persoalannya dapat digugat dan diajukan ke Pengadilan (penjelasan pasal 48 ayat 2). Konsiderans yuridis dari setiap keputusan menunjukkan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya keputusan. Untuk itu dalam menentukan pengujian atau kontrol yuridis terhadap keputusan harus diperhatikan konsiderans yuridis Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi obyek sengketa. Kontrol yudisial terhadap tindakan hukum tata usaha negara ini dilakukan dengan pengujian terhadap Keputusan Tata Usaha Negara oleh Peradilan Tata Usaha Negara yang memiliki karakteristik sebagai

suatu ekternal control, bersifat represif dan pada dasarnya hanya menilai segi legalitas tindakan Pemerintah dalam bidang hukum publik. Dengan demikian, nampak karakteristik kontrol yudisial yang dilakukan oleh badan peradilan dalam hukum administrasi, yang menurut PE. Lotulung (1993: xviii) meliputi; a) ekstern, karena dilakukan oleh suatu lembaga di luar pemerintahan, b) posteriori, yaitu karena selalu dilakukan sesudah terjadinya perbuatan yang dikontrol, legalitas atau kontrol segi hukum, karena hanya menilai dari segi hukum saja. Pengujian aspek legalitas terhadap Keputusan Tata Usaha Negara ini, menyangkut masalah keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara, maka Van der Pot mengemukakan ada 4 (empat) syarat yang harus di penuhi, yaitu: 1) Ketetapan harus dibuat oleh alat (organ) yang berkuasa membuatnya, 2) Karena ketetapan suatu pernyataan kehendak, maka pembentukan kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis, 3) Ketetapan harus diberi bentuk yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya, dan pembuatnya harus juga memperhatikan cara membuat ketetapan itu, bilamana cara itu ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut, 4) Isi dan tujuan ketetapan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar. (Utercht, 1986: 117-118) Sedangkan Van der Wel, membagi syarat-syarat keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara, dalam dua golongan, yaitu; 1) Syarat-syarat materiil, yang meliputi: a. alat negara yang membuat ketetapan harus berkuasa. b. dalam kehendak alat negara yang membuat ketetapan tidak boleh ada kekurangan. c. ketetapan harus berdasarkan suatu keadaan (situasi) tertentu.

d. ketetapan harus dapat dilakukan dan tanpa melanggar peraturan-peraturan lain, menurut isi dan tujuannya sesuai dengan peraturan lain yang menjadi dasar ketetapan itu. 2) Syarat-syarat formil, terdiri atas: a. syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya ketetapan dan berhubungan dengan cara dibuatnya ketetapan harus dipenuhi. b. ketetapan harus diberi bentuk yang ditentukan. c. syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan dilakukannya ketetapan harus dipenuhi. d. jangka waktu yang ditentukan: antara timbulnya hal-hal yang menye-babkan dibuatnya ketetapan dan diumumkannya ketetapan itu, tidak boleh dilewati (W. Riawan Tjandra, 2002: 28). Berhubung dalam hukum administrasi negara kedudukan para pihak tidak terdapat kesamaan, karena Rakyat selalu dalam kedudukan sebagai pihak yang relatif lemah berhadapan dengan pihak yang relatif lebih kuat yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, oleh karena itu, Hakim Tata Usaha Negara harus ditempatkan atau menempatkan dalam posisi aktif dalam memimpin persidangan. Sehingga dalam Peradilan Tata Usaha Negara terdapat asas keaktifan hakim (dominus litis) untuk menyeimbangkan kedudukan para pihak, yang antara lain diimplementasikan dalam pasal 58, pasal 63 ayat (1,2) dan pasal 85 Undang Undang No. 5 tahun 1986 (Hadjon, 1994: 313). Dalam pasal-pasal tersebut diantaranya dapat dikemukakan rumusannya sebagai berikut ; - Pasal 58; Apabila dipandang perlu Hakim berwenang memerintahkan kedua belah pihak yang bersengketa datang menghadap sendiri ke persidangan, sekalipun sudah diwakili oleh seorang kuasa . - Pasal 63 ayat (1); Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib

mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas .

- Pasal 63 ayat (2); Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Hakim: a. wajib memberi nasihat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh hari; b. dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan. Karakteristik ekstern diatur dalam pasal 5, 6, 8, 9, 10 dan 13 (2) UU No. 5/ 1986 jo pasal 11 UU No. 35/1999. Selain itu, pasal 11 ayat 1 UU No. 43/1999 yang mendudukan Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan sebagai Pejabat Negara, telah memberikan jaminan kebebasan bagi Hakim Peradilan Tata Usaha Negara dalam menjalankan fungsi kontrol yudisial terhadap produk-produk keputusan tata usaha negara dari suatu badan atau pejabat tata usaha negara. Kontrol a posteriori ditampakkan dari keharusan sudah dikeluarkan-nya KTUN yang bersifat konkrit, individual dan final oleh badan atau pejabat TUN (pasal 1(3)). Sebab, jika KTUN yang digugat belum sempat ditetapkan atau belum mengikat berdasarkan pasal 62 ayat (1) sub a akan di-dismissed (niet ontvantkelijkverklaard atas alasan gugatan prematur). Kontrol Peradilan Tata Usaha Negara dilakukan terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara (rechtmatigheid) dari segi hukum, bukan dari sisi pertimbangan kebijaksanaan pemerintah (doelmatigheid). Semboyannya dalam hal ini mengatakan bahwa, Hakim itu dilarang duduk di kursi pemerintah , artinya walaupun hakim itu tidak sependapat dengan kebijak-sanaan yang ditempuh tersebut, atau sebaliknya kalaupun ia sangat menyetujui kebijaksanaan yang dilakukan dalam keputusan yang digugat itu, ia tetap harus menguji dari segi hukum, apakah keputusan yang bersangkutan itu bersifat melawan hukum atau tidak (Indroharto, 1993: 166). Satu hal yang telah diterima sebagai suatu asas umum, adalah bahwa pengawasan atas bijaksana atau tidaknya suatu tindakan pemerintah itu tidak dapat diserahkan kepada

hakim, tetapi tetap berada ditangan pemerintah itu sendiri. Dengan kata lain dalam hal beleid pemerintah, hakim tidak dapat mengadakan penilaian, karena hal itu akan mendudukan hakim pada kursi eksekutif (Utrecht, 1986: 127). Oleh karena itu, penilaian Hakim Tata Usaha Negara terhadap keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara, menurut Indroharto, (1993: 167) dilakukan dengan cara; a) menguji Keputusan Tata Usaha Negara tersebut terhadap peraturan perundangundangan yang mendasarkan dikeluarkannya, dan b) pengujian suatu Keputusan Tata Usaha Negara terhadap peraturan dasarnya dilakukan hanya terhadap peraturan perundang-undangan yang dipergunakan sebagai dasar menetapkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut walaupun barangkali setelah Keputusan Tata Usaha Negara itu ditetapkan terjadi perubahan peraturan perundangundangan. Dalam penjelasan pasal 53 ayat (2) UU No. 5 tahun 1986 menyebutkan tentang dasar pengujian dan dasar pembatasan pengadilan dalam menilai suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu apakah mengandung sifat melawan hukum atau tidak, untuk kemudian dinyatakan batal atau tidak. Dalam penjelasan selanjutnya disebutkan bahwa pengujian Hakim Tata Usaha Negara dari segi hukum terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan, itu dilakukan hanya dengan cara; a) melihat fakta yang relevan yang telah dikumpulkan, dan b) mencocokkannya dengan rumusan dalam peraturan dasarnya. Kemudian diuraikan lebih lanjut, bahwa pengujian dari segi hukum yang dilakukan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara terhadap Keputusan Tata Usaha Negara demikian itu terbatas pada penelitian; 1) apakah semua fakta yang relevan itu telah dikumpulkan untuk ikut dipertimbangkan dalam Keputusan Tata Usaha Negara yang bersang-kutan.

Contoh: dalam hal keputusan yang digugat itu dikeluarkan atas dasar fakta yang kurang lengkap, maka keputusan yang demikian itu telah terjadi atas kemauan sendiri, bukan atas dasar hukum, sehingga merupakan keputusan yang bersifat sewenang-wenang. 2) apakah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan pada waktu memper-siapkan, memutuskan dan melaksanakannya, telah memperhatikan asas-asas yang berlaku. Contoh : Keputusan seorang pegawai negeri dengan alasan kesehatan, yang tidak dilengkapi dengan pendapat Dewan Pertimbangan Kesehatan Pegawai. 3) apakah keputusan yang diambil juga akan sama dengan keputusan yang sedang digugat kalau hal-hal tersebut pada angka 1 dan angka 2 telah diperhatikan. Contoh : Menurut pasal 7 ayat (2), Undang-undang Nomor 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan; Panitia Penyelesaian Perburuhan Daerah (P4D) wajib memberikan perantaraan ke arah penyelesaian secara damai dalam suatu perselisihan perburuhan dengan jalan mengadakan perundangan dengan kedua belah pihak. Apabila perantaraan P4D itu dilakukan dengan cara berat sebelah atau tidak jujur, maka keputusan yang diambil mengenai perselisihan itu dapat dianggap sebagai keputusan sewenang-wenang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penanganan perkara atau sengketa di pengadilan senantiasa berawal dari langkah induksi yaitu yang berupa merumuskan fakta-fakta, mencari hubungan sebab akibat (causalitasnya) dan mereka-reka probabilitasnya. Melalui langkah ini, maka hakim pengadilan pada tingkat pertama dan kedua adalah judex facti. Setelah langkah induksi diperoleh atau fakta-fakta yang ditemukan telah dirumuskan, maka diikuti dengan penerapan hukum sebagai langkah deduksi. Langkah penerapan hukum ini diawali dengan melakukan identifikasi aturan hukum, yang sering dijumpai keadaan aturan hukum, dan dengan metode mengatasinya sebagai berikut: 1) jika terjadi kekosongan hukum, maka dilakukan rechtsvinding yaitu dengan interpretasi undang-undang dan/atau konstruksi,

2) jika terjadi konflik antar norma hukum, maka menggunakan asas-asas penyelesaian konflik dengan lex posterior derogat legi priori, dan/atau lex specialis derogat legi generali, dan/atau lex superior derogat legi inferior. Yang selanjutnya dengan langkah-langkah pengingkaran, penafsiran kembali, pembatalan atau pembetulan, 3) jika norma hukumnya kabur (tidak jelas), maka dengan penemuan hukum bebas. Sesuai dengan asas contrarius actus, kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara hanya menyatakan suatu Keputusan Tata Usaha Negara sebagai tidak sah dan pencabutannya harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pembuat keputusan TUN tersebut, demikian sebagaimana yang dimaksud pada UU No. 5/1986 pasal 53 ayat (1) yang berbunyi agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan , dan pasal 97 ayat (8), yang menyatakan Dalam hal gugatan

batal atau tidak sah,

dikabulkan, maka dalam putusan Pengadilan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara , dan ayat (9) berbunyi Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) berupa: a. pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan; atau b. pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau c. penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3. Inisiatif untuk mentaati kewajiban pencabutan suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang dinyatakan tidak sah oleh Peradilan Tata Usaha Negara, berdasarkan asas self respec atau self obidence, harus berasal dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara itu sendiri, demikian yang tersirat dari maksud pasal 116 UU No. 5/1986. Justru disini bisa timbul persoalan hukum jika tidak didukung oleh komitmen pemerintah untuk turut mendukung terwujudnya supremasi hukum. Menurut Geelhoed (Hirsch Ballin, 1991: 77-78) terdapat beberapa fungsi yang dijalankan oleh pemerintah dalam suatu sociale rechstaat, yaitu: orednende functie, arbitrende

functie, strurende functie dan presterende functie. Untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut, terdapat beberapa macam tindak administrasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah, yaitu: 1) penetapan (beschikking), 2) rencana (plan), 3) norma jabaran (concrete normgeving), dan 4) legislasi semu (pseudo wetgeving) (Prajudi, 1986: 125). Terhadap istilah ligislasi semu, Hadjon (1994: 125) menggunakan istilah peraturan kebijaksanaan sebagai padanan dari beleidsregel, Bagir Manan (1987: 168) menggunakan istilah ketentuan kebijakan. Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dalam melakukan kontrol yudisial terhadap produk-produk hukum Tata Usaha Negara dibatasi hanya terhadap Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 butir c UU No. 5/ 1986, yang berbunyi Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perata . Itupun masih di kecualikan untuk tidak menilai Keputusan Tata Usaha Negara yang diatur dalam pasal 2 dan 49-nya. Pasal 2 UU No. 5/ 1986, menyebutkan Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini: a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata; b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum; c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;

d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab UndangUndang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana; e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemerik-saan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; g. Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum. Kemudian pasal 49 UU No. 5/ 1986 menentukan Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan: a. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keada-an luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundangndangan yang berlaku. Sedangkan terhadap produk hukum Tata Usaha Negara, seperti norma jabaran (concrete normgeving), maka tunduk pada pengujian secara materiil yang dilakukan oleh Mahkamah Agung jika by case melalui suatu pasal 26 UU No. 14 tahun 1970 via pemeriksaan tingkat kasasi atau dapat juga melalui prosedur Perma No. 1 tahun 1993 tanpa harus ada sengketa terlebih dahulu. Untuk rencana (plan) jika produknya dituangkan dalam suatu norma jabaran dapat pula mengikuti prosedur uji materiil. Hanya untuk legislasi semu belum ada pengaturan spesifik bagaimana pengawasan terhadapnya dapat dilakukan, sebab menurut Hadjon (1994: 154) peraturan kebijaksanaan terletak dalam dunia fakta dan tidak dapat berperan dalam kasasi. Namun identifikasi Bagir Manan menunjukkan bahwa peraturan kebijakan dapat mengambil bentuk serupa dengan peraturan perundang-undangan seperti peraturan atau

keputusan (1987: 171), oleh karena itu pengujian terhadap peraturan kebijaksanaan lebih diarahkan pada aspek doelmatigheidnya, sedangkan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara hanya dari segi aspek rechmatigheid suatu keputusan Tata Usaha Negara, maka Peradilan Tata Usaha Negara tidak dapat menguji peraturan kebijaksanaan dari segi hukumnya . Sementara itu, saat ini kadar penggunaan fries ermessen yang di tuangkan dalam peraturan kebijaksanaan semakin meningkat, bagaimana pengawasan terhadap peraturan kebijaksanaan dapat dilakukan secara efektif, dan siapa yang tepat melakukan penilaian jika Peradilan Tata Usaha Negara tidak dimungkinkan untuk melakukan kontrol yudisial terhadapnya. Nilai yang seharusnya dijadikan pedoman bagi Peradilan Tata Usaha Negara adalah asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB). D. Pengaruh Kontrol Yudisial Konsepsi AAUPB versi Crince le Roy yang meliputi: asas kepastian hukum, asas keseimbangan, asas bertindak cermat, asas motivasi untuk setiap keputusan badan pemerintah, asas tidak boleh mencampuradukan kewenangan, asas kesamaan dalam pengambilan keputusan, asas permainan yang layak, asas keadilan atau kewajaran, asas menanggapi pengharapan yang wajar, asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal dan asas perlindungan atas pandangan hidup pribadi, Koentjoro (1982: 29-30) menambahkan dua asas lagi, yaitu; asas kebijaksanaan dan asas penyelenggaraan kepentingan umum. AAUPB yang telah mendapat pengakuan dalam praktek hukum di Belanda, yaitu; asas persamaan, asas kepercayaan, asas kepastian hukum, asas kecermatan, asas pemberian alasan (motivasi), larangan penyalahguna-an wewenang dan larangan bertindak sewenang-wenang (Hadjon, 1994: 270) Hakim Tata Usaha Negara dapat menemukan dan merumuskan AAUPB yang selanjutnya dijadikan pedoman bagi pemerintah dalam melaksanakan kewenangan Tata Usaha Negaranya. Tahapan penerapan AAUPB yang disebut juga asas-asas umum pemerintahan yang layak (AAUPL), menurut Hamidi (1999: 92), adalah sebagai berikut:

1) Tahap pengumpulan fakta, meliputi; proses administratif, merumuskan fakta, melakukan pembuktian. Tahap ini sering disebut tahap meng-konstantir 2) Tahap mengidentifikasikan hukum, terdiri atas; penilaian/pengujian fakta, kualifikasi hukum, proses penerapan hukum. Tahap ini disebut tahap mengkualifisir. 3) Tahap merumuskan AAUPL, dimana setelah membuat pertimbangan hukum, menentukan AAUPL yang dilanggar, menjatuhkan putusan. Tahap ini disebut tahap mengkonstituir. Pada tahapan mengkonstantir di atas merupakan langkah induksi, sedangkan pada tahapan mengkualifisir dan mengkonstituir merupakan langkah deduksi. Sesungguhnya keberadaan AAUPB telah terakomodasi dalam pasal 53 ayat (2) sub b dan c UU No. 5/ 1986, yaitu larangan penyalahgunaan wewenang dan larangan bertindak sewenang-wenang. Diluar yang telah diatur tersebut, Hakim TUN secara yurisprudensial dapat membentuk hukum untuk menetapkan berlakunya suatu AAUPB yang mengikat bagi pemrintah. Pembentuka AAUPB harus bertitik tolak dari fakta-fakta sengketa TUN seputar kebenaran materiil pembentukan suatu keputusan TUN melalui konstatasi, kualifikasi dan konstitusi. Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme secarra normatif telah merumuskan asas umum pemerintahan negara yang baik sebagaimana dirumuskan di dalam pasal 3, yaitu asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum, untuk mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi kolusi dan nepotisme. Asas-asas umum penyelenggara negara meliputi: asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas dan asas akuntabilitas. Dari rumusan pasal tersebut, kiranya dapat juga melengkapi dasar penilaian terhadap keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara oleh Hakim Tata Usaha Negara melalui rechstoepassing. Dasar atas penilaian tersebut dapat ditempatkan pada pasal 53 ayat (2)

sub a UU No. 5 tahun 1986, yaitu keputusan Tata Usaha Negara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ini merupakan langkah deduksi. Perumusan dan penerapan AAUPB menjadi batas-batas penggunaan kewenangan badan atau pejabat Tata Usaha Negara. Sebagai norma hukum, AAUPB itu mempunyai pengaruh pada tiga bidang, yaitu: 1. Pada bidang penafsiran dan penerapan dari ketentuan perundang-undangan. 2. Pada bidang pembentukan beleid pemerintahan dimana organ pemerintah diberi kebebasan kebijaksanaan oleh perundang-undangan atau tidak terdapat ketentuanketentuan yang membatasi kebebasan kebijaksanaan yang akan dilakukan itu. 3. Pada waktu pelaksanaan kebijaksanaan. E. Penutup Prasyarat esensial terwujudnya suatu negara kesejahteraan (Wefare Staats) adalah eksistensi strong and clean government. Analisis tentang perkembangan liberale rechstaat, menjadi sociale rechhstaat dipengaruhi oleh kebutuhan faktual perluasan tugas-tugas pemerintahan. Pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan yang kian mengalami perluasan sesuai dengan keperluan menurut konteks sosialnya, memerlukan pengawasan yudisial. Dalam negara kesejahteraan, tugas-tugas publik pemerintah semakin luas. Hal ini perlu diimbangi dengan adanya kontrol yudisial secara efektif terhadap penggunaan kewenangan Tata Usaha Negara melalui fungsi Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga akan membawa terciptanya aparatur negara yang bersih dan berwibawa menuju kepada tercapainya masyarakat yang dicita-citakan. Adanya Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara yang dilaksanakan oleh kekuasaan kehakiman tidaklah perlu dikhawatirkan akan mengakibatkan kegiatan dan pembangunan yang dilaksanakan Pemerintah akan terlambat dan atau menjadi dibawah kekuasaan pengadilan, sebab yang dilakukan lembaga peradilan tata usaha negara adalah sematamata dalam bidang kontrol legalitasnya saja (rechsmatiegheids controle), yang tidak meliputi kontrol sisi pertimbangan kebijaksanaan pemerintah (doelmatigheids controle),

disamping itu masih terbukanya freies ermessen yang sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah sendiri, yang tidak boleh dinilai oleh Hakim. Keterbatasan kewenangan absolut yang dimiliki badan Peradilan Tata Usaha Negara masih membuka kemungkinan celah belum sempurnanya pengawasan yudisial terhadap penggunaan kewenangan Tata Usaha Negara bagi Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, sehingga memiliki jangkauan pengawasan yudisial yang lebih luas terhadap pemerintah. Maka Hakim Tata Usaha Negara dapat melakukan penemuan Asas Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagai langkah induksi maupun penerapan Asas Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagai langkah deduksi untuk merumuskan value yang dapat dijadikan pedoman penggunaan kewenangan pemerintahan.

Tugas Praktik Peradilan TUN OPINI | 09 March 2010 | 22:56 1574 0 1 dari 1 Kompasianer menilai Bermanfaat

Surat Kuasa Untuk Beracara Di PTUN (Unsur Kuasa Beracara di PTUN)

unsur, Penjelasan dan Syarat Surat

Surat kuasa merupakan suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kuasa pada orang lain, yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Didalam surat kuasa terdapat unsur pemberian kewenangan kepada seorang atau beberapa orang, baik

sendiri-sendiri atau secara bersama-sama untuk menyelenggarakan suatu urusan pemberi

kuasa. Bentuk pemberian kuasa dapat berupa pemberian kuasa secara umum ataupun secara khusus. Perlu diketahui bahwasanya penunjukan kuasa hukum di PTUN sifatnya tidak wajib. Fungsi kuasa hukum merupakan alternatif, apakah kuasa hukum itu mendampingi dalam perkara atau mewakili dalam sengketa di Pengadilan. Pemberian kuasa hanya dapat diberikan kepada seseorang atau beberapa (atau banyak) orang yang memiliki ijin beracara di Pengadilan (dalam hal ini adalah advokat). Jaksa selaku Pengacara Negara, atau Pejabat Administarsi Negara yang dikuasakan untuk itu dapat pula berkedudukan sebagai Kuasa Hukum dari Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang berkedudukan sebagai tergugat. Cara pemberian kuasa dapat dilakukan melalui surat kuasa khusus (tidak diperkenankan surat kuasa yang sifatnya umum) atau secara lisan dipersidangan. Jika surat kuasa diberikan secara tertulis, maka surat kuasa wajib dilampirkan dalam surat gugatan atau diserahkan dalam persidangan. Apabila tindakan penerima kuasa telah melampaui batas kewenangan yang

dikuasakan kepadanya, maka pemberi kuasa dapat mengajukan pembatalan kepada Hakim atas tindakan tersebut dan untuk selanjutnya tindakan kuasa hukum tersebut dicoret dari Berita Acara Persidangan. Adapun elemen dari Surat Kuasa adalah sebagai berikut: Titel -> disebutkan Surat Kuasa , bagian tengah khusus . Identitas pemberi kuasa (nama,umur,pekerjaan, alamat) Identitas penerima kuasa (nama, profesi, alamat) Subjek tergugat & objek gugatan; Kompetensi relative; Penyebutan kewenangan penerima kuasa (khusus) secara limitatif; (hak upah, hak subtitusi jika di perlukan);

Tanda tangan para pihak, tempat dan tanggal pembuatan serta ditempeli materai. Suatu surat gugat harus memenuhi dua syarat, yaitu: 1. Syarat Formil Gugatan harus memuat nama, kewarganegaraan, tempat tinngal, pekerjaan penggugat maupu kuasanya (termasuk melampirkan surat kuasa jika memakai kuasa) dan nama jabatan dan tempat kedudukan tergugat. 2. Syarat Materiil Gugatan harus memuat posita (dasar atau alasan-alasan gugatan) dan petitum (tuntutan baik tuntutan pokok maupun tambahan (ganti rugi dan/atau rehabilitasi)). Adapun kerangka Surat Gugat sebagaimana diatur dalam Pasal 56 UU PTUN, adalah sebagai berikut: (1) Gugatan harus memuat : a.nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat, atau kuasanya; b.nama, jabatan, dan tempat kedudukan tergugat; c. dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh Pengadilan. (2) Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa penggugat, maka gugatan harus disertai surat kuasa yang sah. (3) Gugatan sedapat mungkin juga disertai Keputusan Tata Usaha Negara. yang disengketakan oleh penggugat. Alasan gugatan sebagaimana diatur dalam UU No.5 Th. 1986 diatur dalam Pasal 53 ayat (2), yaitu: a) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku

b) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut (Melanggar larangan penyalahgunaan wewenang / detournement de pouvior); c) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputsan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut (melanggar larangan willekeur/ sewenang-wenang ). Meskipun dalam Pasal 53 ayat (2) haya ditentukan 3 alasan dalam mengajukan gugatan, akan tetapi dalam yurisprudensi dan doktrin dikenal pula adanya alasan gugatan berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik/layak/patut (AUPB/L/P). Setelah perubahan UU PTUN, yaitu

dengan UU No.9 Th. 2004, alasan gugatan menjadi dua macam, yaitu: a) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, b) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dalam penjelasan Pasal 53 ayat (2) dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan .asas-asas umum pemerintahan yang baik. adalah meliputi asas: kepastian hukum; tertib penyelenggaraan negara; keterbukaan; proporsionalitas; profesionalitas; akuntabilitas, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dengan penafsiran otentik sebagaimana Penjelasan Pasal 53 tersebut, sebenarnya dapat timbul beberapa pertanyaan mendasar, yaitu: pertama, bagaimanakah kedudukan AUPB doktrinal dalam kaitannya dengan alasan gugatan, kedua, mengapa dalam penjelasan tersebut hanya diuraikan 6 asas, padahal UU No.28 Tahun 1999 menyebutkan 7 asas. Dalam pada itu, untuk menganalisa apakah suatu KTUN itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat digunakan ukuran dibawah ini. Pejabat Tata

Usaha Negara dikatakan telah melanggar peraturan perundang-undangan, jika Keputusan yang diterbitkan: (1) Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural/formal; (2) Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat materiil/Subtansial; (3) Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat tata usaha negara yang tidak berwenang, dalam hal keputusan dikeluarkan oleh: a. Pejabat yang membuat keputusan tidak memiliki kewenangan tersebut, dalam arti keputusan tersebut tidak ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan; b. Pejabat yang membuat keputusan melampaui kewenangan karena wilayah hukumnya diluar batas kewenangannya; c. Badan/Pejabat TUN belum berwenang atau tidak berwenang lagi mengeluarkan Keputusan TUN, artinya dari segi waktu Badan/Pejabat TUN belum berwenang atau tidak berwenang lagi mengeluarkan keputusan. Contoh SURAT KUASA beracara di PTUN Yang bertanda tangan/cap jempol di bawah ini, kami : Nama Ali Mazi .Warga Negara Indonesia, pekerjaan Gubernur Sultra Tempat tinggal JL. Ciliwung II / 101 Jakarta Utara Dalam hal ini telah memilih tempat kediaman hukum (domicilie) di rumah/kantor kuasanya tersebut di bawah, serta dengan ini menerangkan memberi kuasa kepada: Andi Margareta,S.H. Liani

Warga Negara Indonesia, Pekerjaan Advokad dan

Pengacara yang berkedudukan yang berkedudukan hukum di Jakarta Utara, dan berkantor di JL.A.Yani No.10 Jakarta Utara, serta dapat beracara diwilayah hukum seluruh Indonesia. KHUSUS Untuk dan atas nama pemberi kuasa bertindak, untuk mewakili/membela pemberi kuasa guna menjalankan perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta terhadap Mendagri yang menerbitkan surat keputusan No.150.24/126 tentang penonaktifkan Gubernur, pemberi kuasa. berhubung dengan itu kepada penerima kuasa diberikan hak dan

wewenang, untuk membela hak-hak dari yang bertandatangan/cap jempol serta mengurus kepentingannya, bertindak dalam hal hukum terhadap tiap-tiap orang, memilih tempat kediaman hukum, menghadiri sidang-sidang yang khusus diadakan untuk menyelesaikan perkaranya, membuat-menandatangani-mengajukan replik-mengajukan bukti-bukti/saksisaksi-mengajukan kesimpulan-mengajukan banding-kasasi dan peninjauan kembali, meminta-menerima-menolak sumpah, meminta-menerima-menolak keputusan, membuatmenandatangani surat-surat : pada umumnya membuat segala apa yang di pandang perlu serta berguna, diberikan hak seluas-luasnya dalam hal bertindak dengan batas-batas yang ditentukan dalam hukum yang berlaku dan lain hal yang tidak memerlukan kuasa lagi. .. Surat kuasa ini di berikan dengan wewenang penuh bila mana perlu dapat dialihkan pada orang lain (hak substitusi), baik sebagaian maupun seluruhnya serta diberikan hak untuk menarik kembali surat kuasa yang telah diberikan dan diberikan hak retensi/upah menurut hukum, serta surat kuasa ini tidak boleh di cabut secara sepihak kecuali atas kesepakatan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa. Denpasar, 29 Januari 2005 Penerima Kuasa Pemberi Kuasa (Andi Liani Margareta, S.H) (Ali Mazi.) http://politik.kompasiana.com/2010/03/09/tugas-praktik-peradilan-tun/ ..

http://io.ppijepang.org/v2/index.php?option=com_k2&view=item&id=351:ombudsmandan-pengawasan-terhadap-aparatur-negara-pasca-reformasi

Ombudsman dan Pengawasan Terhadap Aparatur Negara Pasca Reformasi Ditulis oleh Oce Madril

ukuran huruf kurangi ukuran huruf tambah ukuran huruf Cetak E-mail

Beri penilaian

1 2 3 4 5

(1 suara)

1. Pendahuluan

Gerakan

reformasi

mengamanatkan

perubahan

kehidupan

ketatanegaraan

yang

didasarkan pada pemerintahan yang demokratis dan berlandaskan hukum (rule of law). Sebelum reformasi, praktik pemerintahan cenderung diwarnai praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kondisi tersebut membuat masyarakat tidak percaya pada aparat pemerintah, sehingga untuk memperbaki citra pemerintahan, mutlak diperlukan pemerintahan yang baik dan bersih (good governance) melalui upaya penegakan asas-asas pemerintahan yang baik dan penegakan hukum.

Dalam rangka menegakkan pemerintahan yang baik dan upaya meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat, maka diperlukan keberadaan lembaga pengawas yang secara efektif mampu mengontrol penyelenggaraan tugas aparat penyelenggara negara. Selama ini, pengawasan secara internal dinilai kurang memenuhi harapan masyarakat dari sisi obyektifitas dan akuntabilitas. Sehingga, dibutuhkan lembaga pengawas eksternal agar mekanisme pengawasan pemerintahan bisa diperkuat dam berjalan secara lebih efektif untuk mewujudkan birokrasi yang bersih, transparan dan responsif terhadap kebutuhan publik.

2. Pengawasan Sebelum Reformasi

Sebelum reformasi, sistem pengawasan diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) nomor 15 tahun 1983. Namun, peraturan hukum tersebut tidak memberikan keterangan yang tegas dan jelas mengenai apa yang dimaksud dengan pengertian pengawasan itu sendiri.

Menurut George R. Terry, pengawasan adalah `Control is to determine what is accomplished evaluate it, and apply corrective measures, if needed to insure result in keeping with the plan.` Sedangkan Newman berpendapat bahwa `Control is assurance that the performance conform to plan.` Kemudian, Siagian memberikan definisi tentang pengawasan bahwa proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organsasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan.[1]

Dari pengertian diatas terlihat bahwa pengawasan dititikberatkan pada dua hal, yakni pada proses pelaksanaan kegiatan dan pada tahap evaluasi serta koreksi terhadap pelaksanaan kegiatan. Kedua aspek pengawasan tersebut dilakukan untuk menjamin agar pelaksanaan suatu tugas berjalan sesuai dengan tujuan dan hasil yang telah direncanakan.

Pengawasan, juga membutuhkan beberapa unsur, yakni :

a. Adanya kewenangan yang jelas yang dimiliki oleh aparat pengawas

b. Tindakan pengawasan dapat dilakukan terhadap proses kegiatan yang sedang berlangsung atau yang telah dilaksanakan

a. Pengawasan dapat ditindaklanjuti secara administratif maupun yuridis.[2]

Ada tiga jenis mekanisme pengawasan yang dikenal umum. Pertama adalah pengawasan melekat. Bentuk pengawasan ini merupakan suatu mekanisme pengawasan yang mengombinasikan sistem manajemen dan sistem pengawasan atasan langsung. Di dalam

pengawasan ini, diharapkan kekurangan-kekurangan dalam suatu instansi pemerintahan dapat diselesaikan dengan cepat, murah dan efisien. Akan tetapi, fakta di lapangan menunjukkan penggunaan pengawasan melekat sulit dilakukan dalam lingkungan mentalmental aparatur negara yang dinilai koruptif.

Penitikberatan pada atasan inilah yang menjadi kendala besar untuk melaksanakan pengawasan melekat dalam suatu lembaga pemerintahan. Padahal tujuan dari adanya pengawasan melekat adalah untuk menciptakan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat yang bersih, transparan, profesional dan memiliki budaya kerja yang baik. Bagaimana dapat menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, transparan, profesional kalau orang-orang di dalamnya pun masih bermental money oriented, menghalalkan segala cara dan bertendensi melakukan praktek-praktek korup. Mereka lupa bahwa menjadi aparat pemerintah bahkan menjadi pejabat adalah menjadi pelayan publik.

Bentuk pengawasan lainnya dalam melakukan mekanisme pengawasan terhadap setiap tindakan pemerintah adalah pengawasan fungsional. Pengawasan fungsional yang mana merupakan bentuk mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh suatu lembaga independen yang memang sengaja dibentuk untuk mengawasi lembaga tertentu menjadi pilihan awal daripada pengawasan melekat. Berdasarkan Inpres No. 15 tahun 1983, subyek yang melaksanakan fungsi pengawasan fungsional adalah:

1. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan

2.

Inspektorat

Jenderal

Departemen,

aparat

pengawasan

lembaga

non

departemen/instansi pemerintah lainnya

3. Inspektorat wilayah provinsi

4. Inspektorat kabupaten/kota.[3]

Lembaga Pengawas Struktural, seperti Inspektorat Jenderal, selama ini tidak bisa mandiri karena secara organisatoris merupakan bagian dari kelembagaan/departemen terkait. Lagi pula pengawasan yang dilakukan bersifat intern artinya kewenangan yang dimiliki dalam melakukan pengawasan hanya mencakup urusan institusi itu sendiri. Kemudian, Lembaga Pengawas Fungsional, seperti Badan Pengawasan dan Pemeriksaan Keuangan, meskipun tidak bersifat intern namun substansi/sasaran pengawasan terbatas pada aspek tertentu terutama masalah keuangan. Lagi pula aparat pengawas fungsional pada umumnya tidak menangani keluhan-keluhan yang bersifat individual, mereka melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan secara rutin baik yang merupakan anggaran rutin maupun pembangunan.

Kondisi ini membuat lembaga pengawasan struktural maupun fungsional tidak berjalan dengan baik. Bahkan, ada kecenderungan lembaga-lembaga tersebut malah larut dalam prilaku koruptif birokrasi sehingga, pengawasan tidak pernah dijalankan secara serius dan keluhan-keluhan baik yang berasal dari internal birokrasi maupun dari eksternal (masyarakat) tidak dapat ditindaklanjuti secara serius.

3. Munculnya Lembaga Pengawas Eksternal

Ketatanegaraan Indonesia menampilkan wajah baru setelah perubahan UUD 1945, yang secara berantai dilakukan MPR selama 4 tahun, sejak 1999 hingga 2002. Reformasi konstitusi di era transisi itu, relatif mampu meletakkan sistem ketatanegaraan anyar yang lebih baik. Tentu di sana-sini ada kekurangan hasil perumusan, namun dibandingkan dengan konstitusi sebelum amandemen, UUD 1945 hasil amandemen adalah konstitusi yang lebih demokratis.[4]

Salah satu kecenderungan wajah ketatanegaraan Indonesia transisi, serta setelah perubahan UUD 1945 adalah lahirnya lembaga-lembaga `eksternal` yang memiliki kewenangan untuk mengawasi institusi negara (pemerintah). komisi negara independen (independent regulatory agencies) maupun lembaga negara non struktural lainnya, seperti komisi eksekutif (executive branch agencies). Bak jamur di musim hujan, semua bidang kenegaraan berlomba menghadirkan komisi negara. Nyatalah bahwa Indonesia tidak imun dari kecenderungan global, yaitu mendirikan lembaga baru di masa transisi pasca pemerintahan otoriter. Salah satu penyebab utamanya adalah lunturnya kepercayaan publik atas lembaga negara konvensional. Ketidakpercayaan publik (public distrust) itu mendorong hadirnya komisi negara yang diidamkan memberikan kinerja baru yang lebih terpercaya.[5]

Jeremy Pope dalam buku berjudul Pengembangan Sistem Integritas Nasional

secara

sederhana menguraikan bahwa pada saat warga negara melihat ada sesuatu yang salah, ketidakpuasan bermunculan, dan keluhan terhadap lembaga birokrasi pemerintahan tidak ditanggapi, padahal pada saat yang sama sistem penegakan hukum yang menjadi tumpuan akhir memperoleh keadilan sangat lamban, mahal, bersifat publik, dan jauh dari kemudahan (not-user friendly), maka saat itulah Ombudsman mulai banyak dilirik orang.[6]

Kondisi negara yang secara ilustratif diuraikan Jeremy Pope tersebut sangat relevan untuk menggambarkan keadaan negara Indonesia pasca reformasi dimana birokrasi masih dinilai sebagai institusi yang korup, tidak efektif dan tidak responsif terhadap kebutuhan publik. Kondisi inilah yang menyebabkan masyarakat tidak percaya pada birokrasi pemerintahan. Sikap tidak puas bahkan mengarah pada sikap tidak percaya pada birokrasi merupakan sikap yang membahayakan bagi keberlangsungan pembangunan. Karena bagaimanapun, birokrasi merupakan tulang punggung jalannya roda pemerintahan. Baik buruknya pemerintahan tergantung pada kualitas birokrasinya. Sehingga, adalah suatu keharusan untuk merebut kepercayaan publik terhadap birokrasi. Kepercayaan ini penting agar kedepannya, masyarakat dapat bekerjasama dengan aparat birokrasi sehingga bermanfaat bagi proses jalannya program pemerintahan.

4. Lembaga Ombudsman

Untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap birokrasi, salah satu langkah penting yang ditempuh pemerintah pasca reformasi adalah dengan memperkuat pengawasan terhadap birokrasi dengan membentuk lembaga pengawas eksternal, yakni lembaga ombudsman. Lembaga ini dibentuk pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid berdasarkan Keputusan Presiden nomor 44 tahun 2000. Kemudian, dasar hukum ombudsman diperkuat dalam bentuk Undang-undang (UU), yakni UU nomor 37 tahun 2008.

Secara internasional, tidak kurang 65 negara kini memiliki lembaga Ombudsman yang keberadaannya bahkan diatur dalam konstitusi. Ombudsman di negara-negara yang sudah lama memilikinya seperti Finlandia, Swedia, dan Norwegia, dinamai "Parliamentary Ombudsman". Ini terkait dengan para anggotanya dipilih dan diangkat oleh parlemen, sehingga kedudukan mereka sangat kuat. Ombudsman Finlandia dan Polandia diberikan kewenangan untuk mengawasi lembaga peradilan sekaligus menghukum hakim-hakim

yang terbukti korup. Kemudian, hampir semua negara eks Komunis di Eropa Timur, termasuk Rusia, kini memiliki sistem Ombudsman; apalagi negara-negara maju seperti Amerika, Inggris, Belanda, Australia dan Selandia Baru. Negara-negara Afrika yang tergolong sebagai negara berkembang seperti Zambia, Ghana, Uganda, Pantai Gading, Burkina Faso dan Kamerun, juga mempunyai Ombudsman.[7] Sehingga, pilihan Indonesia untuk membentuk lembaga Ombudsman tidak terlepas dari trend internasional yang memilih strategi model Ombudsman untuk memperbaiki kualitas pemerintahannya, terutama di negara-negara yang sedang berada dalam proses transisi dari rezim otoriter ke rezim demokrasi.

Pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia didasarkan pada beberapa pertimbangan, yakni, pertama, bahwa pelayanan kepada masyarakat dan penegakan hukum yang dilakukan dalam rangka penyelenggaraan negara dan pemerintahan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk menciptakan pemerintahan yang baik, bersih, dan efisien guna meningkatkan kesejahteraan serta menciptakan keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh warga negara.

Kedua, bahwa pengawasan pelayanan yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan merupakan unsur penting dalam upaya menciptakan pemerintahan yang baik, bersih, dan efisien serta sekaligus merupakan implementasi prinsip demokrasi yang perlu ditumbuhkembangkan dan diaplikasikan guna mencegah dan menghapuskan penyalahgunaan wewenang oleh aparatur penyelenggara negara dan pemerintahan. Terakhir, pembentukan Ombudsman sebagai bagian dari pemberdayaan masyarakat agar turut terlibat aktif untuk melakukan pengawasan terhadap aparat pemerintah sehingga akan lebih menjamin penyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Pemberdayaan pengawasan oleh masyarakat ini merupakan implementasi demokratisasi yang perlu dikembangkan serta diaplikasikan agar penyalahgunaan kekuasaan, wewenang ataupun jabatan oleh aparatur negara dapat diminimalisasi.

Dalam UU Ombudsman ditegaskan bahwa Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang

diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Sasaran utama kerja Ombudsman adalah praktek maladministrasi, yakni perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.

Terdapat beberapa tujuan pembentukan Ombudsman :

a. Mewujudkan negara hukum yang demokratis, adil, dan sejahtera;

b. Mendorong penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, terbuka, bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme;

c. Meningkatkan mutu pelayanan negara di segala bidang agar setiap warga negara dan penduduk memperoleh keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan yang semakin baik;

d. Membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk pemberantasan dan pencegahan praktek-praktek Maladministrasi, diskriminasi, kolusi, korupsi, serta nepotisme;

e. Meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum masyarakat, dan supremasi hukum yang berintikan kebenaran serta keadilan.

Selanjutnya, dinyatakan dalam pasal 2 UU Ombudsman bahwa Ombudsman merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. Kemandirian dan independensi Ombudsman dimaksudkan agar dalam melaksanakan tugasnya Ombudsman dapat bersikap obyektif, transparan, dan mempunyai akuntabilitas kepada publik.

5. Fungsi, tugas dan wewenang Ombudsman

Ombudsman

berfungsi

mengawasi

penyelenggaraan

pelayanan

publik

yang

diselenggarakan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu.[8]

Terkait dengan tugas, Ombudsman mempunyai tugas sebagai berikut :

a. Menerima Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;

b. Melakukan pemeriksaan substansi atas Laporan;

c. Menindaklanjuti Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman;

d. Melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;

e. Melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan;

f. Membangun jaringan kerja;

g. Melakukan upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; dan

h. Melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang-undang.[9]

Dalam menjalankan fungsi dan tugas, Ombudsman berwenang:

a. Meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor, Terlapor, atau pihak lain yang terkait mengenai Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman;

b. Memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada Pelapor ataupun Terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu Laporan;

c. Meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari instansi mana pun untuk pemeriksaan Laporan dari instansi Terlapor;

d. Melakukan pemanggilan terhadap Pelapor, Terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan Laporan;

e. Menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak;

f. Membuat Rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk Rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan;

g. Demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi. [10]

Selain itu, Ombudsman berwenang:

a. Menyampaikan saran kepada Presiden, kepala daerah, atau pimpinan Penyelenggara Negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atau prosedur pelayanan publik;

b. Menyampaikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau kepala daerah agar terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah Maladministrasi.

Melihat fungsi, tugas dan wewenang Ombudsman tersebut, jelaslah bahwa pembentukan Ombudsman terutama untuk membantu upaya pemerintah dalam mengawasi jalannya proses pemerintahan. Dengan tujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik yang menerapkan prinsip-prinsip good governance, bersih dari KKN dan meningkatkan pelayanan umum (public service). Terlihat juga bahwa Ombudsman dibentuk untuk memfasilitasi peran serta masyarakat dalam pengawasan pemerintah. Aspek partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dapat lebih terjamin melalui mekanisme Ombudsman. Sehingga, partisipasi masyarakat dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN, dapat dilaksanakan secara optimal.

Anggota Ombudsman terdiri dari 9 komisioner. Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Ombudsman dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan calon yang diusulkan oleh Presiden.[11] Tugas mulai untuk mengawasi aparat pemerintah, mengharuskan komisioner Ombudsman haruslah orang yang cakap, jujur, memiliki integritas moral yang

tinggi, dan memiliki reputasi yang baik. Komisioner juga tidak boleh menjadi pengurus partai politik untuk menjaga kemandirian lembaga.

6. Ombudsman dan Antikorupsi

Salah satu tujuan pembentukan Ombudsman dalam UU adalah untuk memberantas dan mencegah korupsi dikalangan aparat pemerintah. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa melenyapkan korupsi sampai ke akar-akarnya tidak cukup hanya dengan tindakan represif dengan memberikan hukuman kepada pelaku korupsi. Pemberantasan korupsi harus dimaknai sebagai bentuk tindakan yang komprehenshif, meliputi pencegahan, penindakan, dan perbaikan.

Ombudsman merupakan salah satu kelembagaan antikorupsi yang direkomendasikan ketetapan (TAP) MPR Nomor VIII tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Lembaga antikorupsi lain, yang juga direkomendasikan dibentuk perundangundangannya meliputi Komisi Antikorupsi, Pencucian Uang,

Perlindungan Saksi, Kebebasan Memperoleh Informasi dan sebagainya.

Disamping peran dan kewenangan sebagai pengawas penyelenggaraan pemerintahan, Ombudsman juga berperan dalam proses pemberantasan dan pencegahan Korupsi. Bahkan, sebagaimana ditunjukkan oleh TAP MPR, sesunggguhnya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bersama-sama dengan Komisi Ombudsman Nasional dilihat sebagai dua lembaga yang sama-sama berperan dalam Pemberantasan dan Pencegahan KKN, tetapi masing-masing diberi tugas dan kewenangan untuk memberantas dan mencegah KKN dari sudut dan melalui jalur yang berbeda. Bila Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertugas dan berperan memberantas KKN yang merupakan tindak pidana, dan karena itu bertindak sebagai Pengawas Kejaksaan dalam hal pemeriksaan dan penuntutan perkara

pidana korupsi, yang bahkan dapat menggantikan/mengambil alih peran Kejaksaan itu, maka Komisi Ombudsman Nasional memberantas dan mencegah aspek-aspek KKN dari jalur yang lain, yaitu melalui jalur administrasi dan Penyelenggara Negara, serta melalui pengembangan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Benar (Good Governance).[12]

Kwik Kian Gie pernah berpendapat bahwa untuk memberantas korupsi harus dimulai dari membersihkan manusia agar bebas korupsi atau setidaknya takut melakukan korupsi. Ia kemudian menawarkan konsep pemberantasan korupsi dengan menggunakan metode pemberian carrot and stick. Menurut Kwik Kian Gie, memberi kesejahteraan dan mempertegas hukuman (carrot and stick) bagi penyelenggara negara/pemerintah seharusnya menjadi starting point yang sangat penting dalam pemberantasan korupsi. Tentu saja dengan tidak mengabaikan perbaikan perangkat hukum, kelembagaan, sistem prosedur pengambilan keputusan dan transparansi.

Pada tahap inilah, peran Ombudsman sangat dibutuhkan. Sebab selain menghukum para pelaku korupsi, tidak kalah penting adalah mengawasi proses pemberian hukuman tersebut apakah sudah sesuai prosedur atau sarat dengan berbagai penyimpangan. Sehingga dalam hal ini, Ombudsman lebih berperan untuk melakukan pencegahan secara dini agar dalam setiap aspek pemberantasan korupsi tidak terjadi penyimpangan atau maladministrasi. Oleh karena itu, sebagai lembaga yang menitikberatkan pada pengawasan proses pemberian pelayanan umum, dalam konteks pemberantasan korupsi, Ombudsman lebih berperan guna mencegah terjadinya perilaku koruptif setiap aparatur penyelenggara negara/pemerintah. Peran ini dilaksanakan atas dasar pemikiran bahwa pemberantasan korupsi harus dimulai dengan memperbaiki sistem pelayanan umum. Pendapat ini dibangun dengan asumsi bahwa sistem pelayanan umum (termasuk proses penegakan hukum) menjadi tidak berjalan secara baik karena didalamnya sarat dengan praktekpraktek penyelenggaraan negara yang koruptif. Sehingga apabila proses pemberian pelayanan umum diawasi sedemikian rupa, maka setidaknya dapat mencegah adanya peluang bagi penyelenggara negara melakukan tindakan-tindakan yang koruptif.[13]

Berbeda dengan tindakan hukum (repressive) bagi Koruptor, maka pencegahan (prevention) terhadap terjadinya praktek-praktek koruptif dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh banyak orang. Apabila kita bisa mencegah praktek-praktek koruptif dalam proses pemberian pelayanan umum seperti misalkan permintaan uang dalam pembuatan KTP, SIM, IMB dan perijinan lainnya, tentu lebih banyak orang yang merasakan dampaknya. Dengan demikian ratusan ribu bahkan jutaan orang di Indonesia dapat memperoleh pelayanan prima tanpa dibebani biaya-biaya tidak resmi yang memberatkan. Oleh karena itu, memasukkan upaya pencegahan korupsi sebagai bagian penting dalam strategi pemberantasan korupsi akan semakin melengkapi dan memperkuat gerakan antikorupsi di Indonesia. Hal ini akan semakin memperjelas peran Ombudsman dalam gerakan antikorupsi di Indonesia. Apabila pemberantasan korupsi dimaknai sebagai bentuk tindakan yang komprehenshif, meliputi pencegahan (preventif), penindakan (represif), dan perbaikan (kuratif), permasalahannya adalah bagaimana mensinergikan peran masing-masing lembaga yang menjadi stakeholder gerakan antikorupsi sehingga menjadi kekuatan yang utuh dari hulu (pencegahan) sampai hilir (perbaikan).[14]

7. Ombudsman di Daerah

Untuk konteks Indonesia, dengan luas wilayah kepulauan dan jumlah penduduk yang sangat besar, barangkali tidak mungkin semua masalah maladministrasi publik bisa ditangani oleh Ombudsman nasional secara cepat dan murah. Dalam konteks otonomi daerah, dimana hampir seluruh kewenangan public administration dilimpahkan ke daerah, maka harus dimungkinkan dibentuk Ombudsman daerah yang independen. Pelaksanaan desentralisasi kekuasaan yang tidak diikuti dengan pembangunan sistem akuntabilitas dan pengawasan eksternal yang kuat cenderung akan mengakibatkan terjadinya desentralisasi korupsi.[15]

Sebagai lembaga yang menitikberatkan pada pengawasan proses pemberian pelayanan umum, dalam konteks pemberantasan korupsi di daerah, Ombudsman daerah berperan di baris paling depan guna mencegah terjadinya korupsi dan perilaku koruptif setiap aparatur penyelenggara pemerintahan daerah. Peran Ombudsman daerah dalam proses pencegahan korupsi dimulai dengan mendorong upaya perbaikan sistem pelayanan umum pemerintahan daerah dengan mengedepankan transparansi dan akuntabilitas publik.

8. Penutup

Secara universal diakui bahwa pada hakikatnya Ombudsman mengemban misi untuk melakukan pengawasan terhadap aparat pemerintah. Rekomendasi Ombudsman meskipun tidak mengikat (not legally binding) namun secara moral diikuti (morally binding). Ombudsman tidak memberi sanksi hukum sebagaimana Lembaga Peradilan akan tetapi memberi pengaruh kepada aparatur negara. Dengan memperkuat pengawasan, diharapkan pemberian pelayanan kepada masyarakat akan lebih meningkat kualitasnya. Memperoleh pelayanan secara baik dari Penyelengara Negara merupakan sebuah permasalahan penting saat ini yang harus kita atasi. Institusi Ombudsman ingin mengembalikan paradigma bahwa sesungguhnya lembaga pengawasan memiliki peran strategis untuk mewujudkan birokrasi pemerintahan yang baik.

Terkait pemberantasan korupsi, pendekatan yang dilakukan Ombudsman berbeda dengan fungsi lembaga represif antikorupsi seperti KPK, kejaksaan atau kepolisian. Fungsi Ombudsman lebih tertuju pada perbaikan administrasi guna memastikan bahwa sistemsistem tersebut membatasi korupsi sampai tingkat minimum, yakni penyelenggaraan administrasi yang transparan, efisien dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

Dalam penyelenggaraan pemerintahan pada prakteknya sangat dimungkinkan timbulnya permasalahan antara para pejabat administrasi dalam tugasnya melayani kepentingan umum dalam bentuk pelayanan-pelayanan publik. Dari sisi hukum, pelayanan public diartikan sebagi suatu kewajiban yang telah diamanatkan dalam Konstitusi atau undangundang kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan publik (Pengertian ini diambil dari Proposal Pengembangan Sosialisasi Konsepsi Hukum tentang Pelayanan Publik yang dibuat oleh Kementerian Negara Pendayaan Aparatur Negara). Permasalahan-permasalahan tersebut dapat timbul berupa perbuatan atau perilaku maladministrasi (Maladministrasi menurut Hasil Kajian Kelompok Kerja KHN tentang Prosedur Pelayanan Publik adalah keadaan di mana sebuah badan public telah gagal untuk bertindak sesuai dengan aturan atau prinsip-prinsip yang mengikat badan itu, atau pengurus dari badan itu)., de tournement de pouvoir (penyalahgunaan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang untuk tujuan lain daripada yang dimaksudkan dalam undang-undang), de tournement de procedure (penggunaan prosedur yang lain daripada prosedur yang telah ditentukan sebelumnya), maupun onrechtmatigheid overheidsdaad sebagai perilaku yang dapat dihukum berdasarkan ketentuan mengenai pelayanan publik Sunaryati Hartono, Hubungan Sistemik antara Pelayanan Publik yang Baik dan Pemberantasan serta Pencegahaan KKN , Makalah pada seminar RUU Pelayanan Publik yang diselenggarakan oleh Kementrian Pendayaagunaan Aparatur Negara RI, 30 April 2003. Hukum Administrasi Negara telah menyediakan mekanisme dalam hukum formil atas berbagai permasalahan tersebut yang diatur dalam UU No.5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-undang ini berkaitan erat dengan kedudukan administrator negara yang wajib menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta menjunjung tinggi hak dan kewajiban asasi masyarakat. Selain itu juga berkaitan dengan suatu kewajiban pemerintah untuk terus menerus membina, menyempurnakan dan menertibkan aparaturnya agar mampu menjadi alat yang efisien, efektif, bersih dan berwibawa dan dalam melaksanakan tugasnya selalu berlandaskan hukum. Subsistem-subsistem yang terdapat dalam PTUN adalah hakim berikut segala kelengkapannya, pejabat-pejabat tata usaha negara atau badan-badan tata usaha negara dan masyarakat pencari keadilan. Dalam hal ini masyarakat atau badan hukum swasta

dirugikan dengan adanya suatu keputusan administrasi tertentu, karena itu yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke PTUN secara tertulis dan terbatas pada satu tuntutan pokok yaitu pembatalan atas keputusan administrasi yang telah merugikan penggugat. Undang-undang mengenai Peradilan Tata Usaha Negara menjadi suatu persyaratan bagi tegaknya Negara hukum dan menjadi pemberi jaminan bagi masyarakat agar dapat terlindungi hak-haknya. Dengan diaturnya PTUN diharapkan terjadi perubahan dari pejabat-pejabat tata usaha negara untuk selaras dengan apa yang menjadi tujuan dari PTUN sebagaimana disebutkan dalam konsiderans UU No.5 tahun 1986. Karenanya PTUN mempunyai peranan sebagai suatu bentuk judicial control yang mempunyai karakteristik sebagai eksternal kontrol yang bersifat represif dan pada dasarnya hanya menilai segi legalitas dari tindakan administrasi negara dalam melaksanakan kebijakan publik berupa penerbitan keputusan administrasi. Hal ini terkait dengan ketentuan pasal 1 butir 3, pasal 2 dan pasal 3 UU No.5 tahun 1986. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengawasan judicial yang dilakukan oleh PTUN. Pertama, tidak diaturnya sanksi terhadap pejabat yang tidak memenuhi putusan pengadilan. Kedua, PTUN dipengaruhi oleh kemauan politik yang kuat dari pemerintah untuk memberikan sumber daya serta membagi kekuasaan secara seimbang. Ketiga, struktur dan sistem pengadilan TUN dan keempat kedudukan hakim sebagai pegawai negeri. Sebagai lembaga pengawasan judicial terhadap aparatur pemerintah, PTUN tidak disertai dengan suatu mekanisme pemberian sanksi bagi aparatur pemerintah sebagai tergugat bila tidak melaksanakan putusan PTUN. Putusan yang telah ditetapkan memiliki jangka waktu empat bulan, bila putusan tersebut tidak diindahkan maka putusan tersebut tidak lagi mempunyai kekuatan hukum. Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan untuk memerintahkan tergugat melaksanakan putusan tersebut. Apabila tergugat masih tidak melaksanakan putusan tersebut dalam waktu dua bulan, Ketua Pengadilan mengajukan permohonan tersebut kepada Instansi Atasan tergugat hingga ke Presiden. Akan tetapi, tetap tidak ada sanksi yang dapat dijatuhkan kepada aparat pemerintah sebagai tergugat. Menurut Undang-undang ini, obyek sengketa yang dapat diajukan ke PTUN adalah putusan Pejabat Tata Usaha Negara yang merugikan masyarakat. Putusan Tata Usaha Negara menurut Pasal 1 butir 3 adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Berkaitan dengan kompetensi absolut dari Peradilan Tata Usaha Negara ini, maka unsur-unsur dari sengketa tersebut adalah (UU No.5 Tahun 1986, yang diterbitkan oleh Dharma Bhakti, hal. 3 - 14)

Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, (Gama Media: Yogyakarta, 1999) .cet. 1. hal. 311- 312.): 1. subyek yang bersengketa adalah orang atau badan hukum privat di satu pihak dan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di lain pihak. 2. obyek sengketa adalah keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Pengecualian terhadap kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 49 UU No.5 Tahun 1986 adalah: 1. keputusan yang dikeluarkan dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. 2. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pembatasan tersebut merupakan pembatasan langsung terhadap kompetensi absolute PTUN. Kemudian yang menarik untuk dibicarakan adalah adanya klausul kepentingan umum yang menjadi dasar bagi pengecualian atas suatu sengketa TUN. Klausul kepentingan umum dalam pembatasan ini berkaitan erat dengan kewenangan diskresi Pemerintah dalam menyelenggarakan kegiatan pemerintahan atau yang disebut juga dengan fries ermessen. Kewenangan diskresi yang dimiliki oleh Pemerintah ini membolehkan Pemerintah untuk campur tangan dalam kehidupan masyarakat, sebagaimana yang lazim terjadi dalam Negara kesejahteraan. Adanya campur tangan ini membuka peluang terjadinya sengketa antara Pemerintah dan masyarakat. Pemerintah dapat mengeluarkan suatu keputusan dengan justifikasi adanya kepentingan umum yang mendesak, hanya saja pengertian kepentingan umum dalam UU tentang PTUN masih bersifat abstrak. Penjelasan Pasal 49 hanya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan Negara dan atau kepentingan masyarakat bersama, dan atau kepentingan pembangunan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ukuran kepentingan umum yang dimaksud, berdasarkan Inpres No. 9 Tahun 1973 dapat digunakan sebagai tolok ukur apa yang dimaksud dengan kepentingan umum. Namun, Inpres ini tidak memberikan kriteria yang menyangkut kepentingan bangsa dan Negara, kepentingan masyarakat luas, kepentingan rakyat banyak, dan kepentingan pembangunan. Dalam aturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, dapat ditemukan beberapa definisi tentang kepentingan umum seperti pada:

1. Penjelasan UU. No. 5 / Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI, Pasal 1 huruf c, bahwa kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas; 2. KEPPRES No. 55 / Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Pasal 1 Ayat 3, bahwa kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat; 3. UU. No. 28 / Tahun 1997 tentang Kepolisian, Pasal 1 Ayat 5, bahwa kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas demi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat serta tercapainya tujuan pembangunan nasional (Tim Redaksi Tatanusa, Kamus Istilah Menurut Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia 1945-1998 ,

BAB II PEMBAHASAN

Badan Pengadilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) sudah terbentuk sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Terakhir diubah dengan Undangundang Nomor 9 Tahun 2004 (UU-PTUN). UU-PTUN itu sendiri baru pada tanggal 14 Januari 1991 mulai diterapkan secara efektif di seluruh wilayah hukum Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1991 Tentang Penerapan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Meskipun sudah berlaku efektif selama 15 (lima belas) tahun, namun hingga kini dalam praktik peradilan masalah kompetensi PTUN masih menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan penegak hukum itu sendiri, baik dilihat dari segi subjek maupun objek sengketa Tata Usaha Negara. Terhadap masalah tersebut penulis berrmaksud untuk urun rembug sebagai sumbangan pemikiran,meskipun hanya sekadar ibarat setetes air di tengah lautan. Sebagaimana disebutkan oleh Sjachran Basah, bahwa kompetensi itu merupakan kekuasaan ,kewenangan, atau hak kepada badan dan atau pengadilan yang melakukan peradilan. Kompetensi pengadilan ini penting agar suatu permohonan atau gugatan yang disampaikan dapat diperiksa dan diputus oleh badan atau pengadilan yang berwenang. Karena itu yang harus diperhatikan terlebih dahulu adalah kompeten atau tidaknya

pengadilan memeriksa perkara. Kompetensi pengadilan dibedakan ke dalam dua macam, yaitu : 1. Kompetensi absolut (atribusi). Kompetensi ini berkaitan dengan pemberian wewenang yang bersifat bulat (absolut) mengenai materinya yang dapat dibedakan ke dalam dua jenis : a. Horisontal, yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu jenis pengadilan terhadap jenis pengadilan lainnya (dalam lingkungan peradilan yang berbeda) yang mempunyai kedudukan sederajat. b. Vertikal. yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu jenis pengadilan terhadap jenis pengadilan lainnya yang secara berjenjang atau hierarkhis mempunyai kedudukan lebih tinggi (dalam lingkungan peradilan yang sama). 2. Kompetensi relatif (distribusi). Kompetensi ini berkaitan dengan pembagian wewenang yang bersifat terperinci (relatif) di antara badan-badan yang sejenis (dalam lingkungan peradilan yang sama) mengenai wilayah hukum. Untuk mengetahui ruang lingkup kompetensi absolut secara horinsontal (selanjutnya disingkat kompetensi) Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun) guna membedakan dengan jenis peradilan lainnya, pertama-tama mengarahkan perhatian kita pada ketentuan Pasal 47 UU-PTUN berbunyi : Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara . Pasal di atas secara tegas menentukan bahwa kompetensi pengadilan dalam lingkungan Peratun adalah mengadili sengketa Tata Usaha Negara. Adapun pengertian sengketa Tata Usaha Negara itu sendiri telah dirumuskan dalam Pasal 1 angka 4 UU-PTUN sebagai berikut : Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara ,baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kep