danny rahdiansyah's article on "revitalisasi plni"

2
S ejak tahun 1948 sampai saat ini, Indonesia menggunakan doktrin Politik Luar Negeri Bebas Aktif (PLN-BA) yang dicetuskan oleh Mohammad Hatta. Secara umum, pengertianbebasaktifdapatdimaknaisebagai independensi Indonesia untuk menentukan posisinya dalam isu-isu internasional berdasarkan kepentingan nasionalnya. Serta komitmen Indonesia untuk berpartisipasi dalam upaya konstruktif guna membangun dan mempertahankan dunia yang adil dan damai. Dengan mengikuti logika dari definisi tersebut, dalam implementasinya, arah kebijakan dapat bergerak ke berbagai arah, bahkan mungkin saja didikte oleh kepentingan nasional pada masa-masa tertentu. Pada awal dicetuskan, PLN-BA me- rupakan reaksi Indonesia terhadap sistem internasional saat itu di mana terdapat dua kekuatan superpower yaitu Amerika Serikat dan Uni Sovyet yang saling bertentangan (bipolar). Tidak ingin terjebak sebagai obyek pada bipolaritas tersebut, Indonesia memilih jalur sendiri dan tidak berpihak pada salah satu blok tersebut. Doktrin ini juga merupakan posisi pembeda yang jelas bagi Indonesia dalam sistem internasional waktu itu. Sejarah membuktikan dengan PLN- BA, Indonesia dapat berkiprah di panggung dunia, melalui Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955, pembentukan Gerakan Non- Blok (GNB) 1961, dan lain sebagainya. Walaupun Indonesia mengalami sejumlah pergantian pemerintahan dan perubahan sistem politiknya, PLN-BA tidak berubah dan terus menjadi prinsip pokok dalam politik luar negerinya. Lebih jauh, PLN-BA dapat mencitrakan Indonesia sebagai sebuah negara yang bersahabat dan tidak mengancam negara- negara lain di kawasan. Hal ini juga dibuktikan dengan penolakan Indonesia masuk dalam blok superpower, tidak pernahnya Indonesia berpartisipasi dalam suatu pakta militer atau mengijinkan adanya markas militer asing di wilayah Indonesia. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir ini, implementasi PLN-BA juga berupaya mencitrakan Indonesia sebagai peace maker, confidence builder, problem solver, dan bridge builder. Namun di samping berbagai keberha- silan dalam implementasi PLN-BA, doktrin ini juga menghadapi berbagai ujian yang menggugat relevansinya dan meminta perlu adanya redefinisi terhadap doktrin ini. Sejumlah peristiwa dalam sejarah moderen termasuk berakhirnya Perang Dingin (yang menjadi konteks sejarah dicetuskannya doktrin ini), krisis ekonomi 1997-1998, peristiwa WTC 11 September 2001, dan krisis finansial global 2008 menjadi Kepentingan Nasional Bukan Lagi “Politik Sana-Sini Senang” ARTIKEL Politik luar negeri sebuah negara merupakan perpaduan dan cerminan dari situasi politik, kondisi sosial, serta kapabilitas ekonomi dan militer di dalam negeri, serta dipengaruhi perkembangan di lingkungan eksternal, baik pada tataran regional maupun global. Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Hassan Wirajuda, menyebutnya sebagai faktor intermestik. Danny Rahdiansyah • Alumni Jurusan Hubungan Internasional • Universitas Indonesia dan Program Master of Public Policy University of Sydney, Australia. • Saat ini berdomisili di Roma 46 << MAJALAH FIGUR EDISI XXXIII/TH. 2008

Upload: danny-rahdiansyah

Post on 14-Jul-2015

717 views

Category:

Business


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Danny Rahdiansyah's article on "Revitalisasi PLNI"

S ejak tahun 1948 sampai saat ini, Indonesia menggunakan doktrin Politik Luar Negeri Bebas Aktif (PLN-BA) yang dicetuskan oleh Mohammad Hatta. Secara umum,

pengertian bebas aktif dapat dimaknai sebagai independensi Indonesia untuk menentukan posisinya dalam isu-isu internasional berdasarkan kepentingan nasionalnya. Serta komitmen Indonesia untuk berpartisipasi dalam upaya konstruktif guna membangun dan mempertahankan dunia yang adil dan damai. Dengan mengikuti logika dari definisi tersebut, dalam implementasinya, arah kebijakan dapat bergerak ke berbagai arah, bahkan mungkin saja didikte oleh kepentingan nasional pada masa-masa tertentu.

Pada awal dicetuskan, PLN-BA me-rupakan reaksi Indonesia terhadap sistem internasional saat itu di mana terdapat dua

kekuatan superpower yaitu Amerika Serikat dan Uni Sovyet yang saling bertentangan (bipolar). Tidak ingin terjebak sebagai obyek pada bipolaritas tersebut, Indonesia memilih jalur sendiri dan tidak berpihak pada salah satu blok tersebut. Doktrin ini juga merupakan posisi pembeda yang jelas bagi Indonesia dalam sistem internasional waktu itu.

Sejarah membuktikan dengan PLN-BA, Indonesia dapat berkiprah di panggung dunia, melalui Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955, pembentukan Gerakan Non-Blok (GNB) 1961, dan lain sebagainya. Walaupun Indonesia mengalami sejumlah pergantian pemerintahan dan perubahan sistem politiknya, PLN-BA tidak berubah dan terus menjadi prinsip pokok dalam politik luar negerinya.

Lebih jauh, PLN-BA dapat mencitrakan Indonesia sebagai sebuah negara yang bersahabat dan tidak mengancam negara-negara lain di kawasan. Hal ini juga dibuktikan dengan penolakan Indonesia masuk dalam blok superpower, tidak pernahnya Indonesia berpartisipasi dalam suatu pakta militer atau mengijinkan adanya markas militer asing di wilayah Indonesia. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir ini, implementasi PLN-BA juga berupaya mencitrakan Indonesia sebagai peace maker, confidence builder, problem solver, dan bridge builder.

Namun di samping berbagai keberha-silan dalam implementasi PLN-BA, doktrin ini juga menghadapi berbagai ujian yang menggugat relevansinya dan meminta perlu adanya redefinisi terhadap doktrin ini. Sejumlah peristiwa dalam sejarah moderen termasuk berakhirnya Perang Dingin (yang menjadi konteks sejarah dicetuskannya doktrin ini), krisis ekonomi 1997-1998, peristiwa WTC 11 September 2001, dan krisis finansial global 2008 menjadi

Kepentingan Nasional Bukan Lagi “Politik Sana-Sini Senang”

ARTIKEL

Politik luar negeri sebuah negara merupakan perpaduan dan cerminan dari situasi politik, kondisi sosial, serta kapabilitas ekonomi dan militer di dalam negeri, serta dipengaruhi

perkembangan di lingkungan eksternal, baik pada tataran regional maupun global. Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Hassan Wirajuda, menyebutnya sebagai faktor intermestik.

Danny Rahdiansyah• Alumni Jurusan

Hubungan Internasional • Universitas Indonesia dan Program Master of

Public Policy • University of Sydney,

Australia. • Saat ini berdomisili di Roma

46 < < M a j a l a h F I G U R • Edisi XXXiii/Th. 2008

Page 2: Danny Rahdiansyah's article on "Revitalisasi PLNI"

M a j a l a h F I G U R • Edisi XXXiii/Th. 2008 > > 47

ARTIKEL

tantangan tersendiri terhadap doktrin PLN-BA.

Sejumlah kritik yang muncul antara lain adalah tidak jelasnya arah politik luar negeri Indonesia dalam situasi internasional yang telah banyak berubah. Selain itu terdapat pandangan bahwa Indonesia hanya memiliki sekumpulan kebijakan tanpa adanya politik luar negeri yang jelas. Prinsip bebas aktif dimaknai sebatas bebas memilih apa pun dan aktif berpartisipasi dalam berbagai pertemuan tingkat global, namun sedemikian bebasnya sehingga sulit mencari benang merahnya. Bahkan satu kritik menyebut bebas aktif sebagai politik “sini senang” dan “sana senang”.

Menghadapi berbagai kritik tersebut, pemerintah sebagai aktor utama implementasi PLN-BA menyadari bahwa doktrin ini perlu terus disesuaikan dengan situasi kenyataan dunia internasional saat ini. Dengan demikian PLN-BA dapat terus menjadi corong kepentingan Indonesia di pentas global. Namun hal ini kemudian mengundang pertanyaan baru, apakah PLN-BA perlu dibongkar total atau cukup diperbaiki sejumlah elemennya saja.

Melalui tulisan ini, penulis berpandangan bahwa sebagai konsep dasar atau doktrin, PLN-BA dapat terus dipertahankan dan akan selalu relevan bagi Indonesia. Rasional di balik pandangan ini adalah bahwa PLN-BA membuat Indonesia memiliki ruang gerak untuk memanuver kebijakan yang luas untuk memproyeksikan kepentingan nasionalnya di panggung internasional. Implementasi PLN-BA perlu didukung oleh stabilitas sosial-politik nasional yang mantap, kapabilitas ekonomi dan militer yang kuat, dan citra positif Indonesia di luar negeri untuk memperkuat legitimasi diplomasi. Hanya dengan dukungan tersebut, sebuah negara dapat secara bebas memilih kebijakan yang diinginkan demi pencapaian kepentingan nasionalnya.

Namun demikian, terdapat sejumlah elemen yang perlu diperbaiki dan dikembangkan agar doktrin ini lebih “membumi” dan tidak dipandang lagi sebagai inkonsistensi dalam berdiplomasi ataupun politik “sana-sini senang”.

Pertama, PLN-BA harus dapat menegaskan posisi pembeda Indonesia dalam konteks dunia internasional yang sudah berubah. Dengan kata lain, Indonesia harus memiliki identitas jelas yang didefinisikan sendiri dalam pergaulannya di

tingkat internasional. Terkait hal ini, perlu ada penegasan yang jelas mengenai definisi tegas kepentingan nasionalnya, yang akan memandu pelaksanaan PLN-BA. Dengan demikian, seluruh pemangku kepentingan akan mengetahui apa tujuan Politik Luar Negeri Indonesia melalui doktrin bebas aktifnya, beserta indikator keberhasilan/ kegagalannya.

Kedua, PLN-BA harus dapat menjadi cermin dari cita-cita bangsa Indonesia seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, tidak hanya untuk berpartisipasi dalam menciptakan perdamaian dunia, tetapi juga untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kedua elemen yang disebut terakhir jarang disinggung dalam perdebatan mengenai Politik Luar Negeri Indonesia, karena kita lebih sering terfokus pada elemen menciptakan perdamaian dunia saja.

Ketiga, PLN-BA perlu melepaskan diri dari konteks sejarah pencetusannya di masa lalu. Seperti telah disampaikan sebelumnya, PLN-BA muncul sebagai reaksi, bukan aksi. Hal tersebut dapat dimaknai sebagian kalangan sebagai positioning negatif. Di sini kemudian perlu ada penekanan bahwa PLN-BA adalah sesuatu aksi yang muncul dari dalam negeri sebagai wahana memproyeksikan kepentingan nasional, bukan semata reaksi Indonesia terhadap situasi dan kondisi dunia internasional. Dalam hal ini, Indonesia perlu terlibat dalam pembentukan konteks internasional dengan memberikan penguatan pada elemen aktif dalam doktrin PLN-BA (positioning positif). Peran Indonesia dalam sejumlah pertemuan

internasional belakangan ini seperti COP-13 UNFCCC di Bali yang melahirkan Bali Road Map, partisipasi Indonesia dalam pertemuan G8 Outreach di Jepang dan keikutsertaaan Indonesia dalam pertemuan G20 di Washington DC untuk membahas krisis finansial global merupakah tanda Indonesia telah mengarah pada positioning positif tersebut.

Keempat, PLN-BA harus mengurangi ketergantungan pada figur perseorangan. Tidak dapat dipungkiri bahwa selama ini gaya kepemimpinan dan kepribadian seorang presiden sebagai pemimpin bangsa merupakan salah satu faktor determinan Politik Luar Negeri Indonesia, dan pada gilirannya akan sangat memengaruhi pelaksanaan PLN-BA. Diharapkan dengan meningkatnya independensi PLN-BA dari faktor figur pemimpin, maka doktrin ini akan sulit dibelokkan ke sana ke mari sesuai selera presidennya. PLN-BA akan tetap menjadi panduan bagi presiden dan seluruh jajarannya dalam melaksanakan Politik Luar Negeri RI.

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa “redefinisi” PLN-BA dapat terjadi pada tataran implementasi strategisnya, dengan tetap mempertahankan elemen normatifnya. Selain itu, PLN-BA akan terus menjadi doktrin Politik Luar Negeri Indonesia yang terbuka, mampu melakukan aksi memproyeksikan kepentingan nasional di panggung internasional, dan tanggap terhadap perubahan yang terjadi di tataran global. Lebih jauh, PLN-BA juga akan mampu membuktikan bahwa Politik Luar Negeri Indonesia bukan politik “sana-sini senang”. F