dampak tingkat suku bunga overvalued

14
Dampak Tingkat Suku Bunga 'Overvalued' Ketakutan bahwa tingkat suku bunga yang lebih rendah lagi akan menimbulkan capital flight sangatlah tidak beralasan. Dengan model Hamilton yang dikontrol inflation- indexed treasury yield spreads memperlihatkan capital flight justru bersifat kebalikannya alias terjadi capital inflow dengan implied probability sebesar 60% akibat perbaikan earning di dalam negeri yang terjangkar oleh besarnya rasio price earning pasar regional dan global dan tergerusnya nilai dolar. Simulasi penurunan tingkat suku bunga berdampak positif bagi balance of payment karena surplus terbesar tetap pada current account. Konsekuensinya, kinerja selama 2007 diperkirakan akan lebih baik dari asumsi BI rate yang sebesar 8,5%. Surplus NPI mengalami peningkatan lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi jika BI rate tak diturunkan. Perbaikan tersebut terutama ditopang lebih tingginya surplus current account kalau dibandingkan dengan kondisi penetapan BI rate yang kemahalan. Dengan realisasi NPI yang lebih baik daripada perkiraan tersebut, cadangan devisa sampai akhir 2007 justru berpotensi untuk terus meningkat seiring dengan naiknya harga komoditas dunia yang menimbulkan efek Hicksian. Jelas bahwa penetapan pajak ekspor oleh pemerintah justru berpengaruh positif bagi penerimaan kas pemerintah dan cadangan devisa. Logikanya, lebih baik mengekspor pada harga ekspor yang

Upload: ajihandoko87

Post on 12-Jun-2015

707 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Dampak Tingkat Suku Bunga Overvalued

Dampak Tingkat Suku Bunga 'Overvalued'

Ketakutan bahwa tingkat suku bunga yang lebih rendah lagi akan menimbulkan

capital flight sangatlah tidak beralasan. Dengan model Hamilton yang dikontrol

inflation-indexed treasury yield spreads memperlihatkan capital flight justru

bersifat kebalikannya alias terjadi capital inflow dengan implied probability

sebesar 60% akibat perbaikan earning di dalam negeri yang terjangkar oleh

besarnya rasio price earning pasar regional dan global dan tergerusnya nilai dolar.

Simulasi penurunan tingkat suku bunga berdampak positif bagi balance of

payment karena surplus terbesar tetap pada current account. Konsekuensinya,

kinerja selama 2007 diperkirakan akan lebih baik dari asumsi BI rate yang sebesar

8,5%. Surplus NPI mengalami peningkatan lebih tinggi jika dibandingkan dengan

kondisi jika BI rate tak diturunkan. Perbaikan tersebut terutama ditopang lebih

tingginya surplus current account kalau dibandingkan dengan kondisi penetapan

BI rate yang kemahalan. Dengan realisasi NPI yang lebih baik daripada perkiraan

tersebut, cadangan devisa sampai akhir 2007 justru berpotensi untuk terus

meningkat seiring dengan naiknya harga komoditas dunia yang menimbulkan efek

Hicksian. Jelas bahwa penetapan pajak ekspor oleh pemerintah justru berpengaruh

positif bagi penerimaan kas pemerintah dan cadangan devisa. Logikanya, lebih

baik mengekspor pada harga ekspor yang lebih tinggi ketimbang harga saat ini

yang secara relatif lebih murah selain efektif menekan inflasi dari sisi nontraded

goods di dalam negeri akibat tekanan Ducth Diseases yang mematikan daya saing

traded goods. Sementara itu, dukungan interest rate differential masih positif 425

bps hingga Januari 2008 berdasarkan futures market expectation dengan model

Taylor. Dengan skenario tingkat suku bunga domestik yang lebih rendah, nilai

tukar rupiah pada akhir 2007 akan cenderung stabil pada kisaran 9.000–9.300 per

dolar AS. Berarti tidak berbeda jauh dengan kondisi akhir kuartal pertama 2007,

saat nilai tukar rupiah secara rata-rata mencapai Rp9.101 per dolar AS, atau

terapresiasi 0,34% dari triwulan sebelumnya sebesar Rp9.132 per dolar AS.

Artinya stabilitas makroekonomi seiring dengan stabilitas nilai tukar rupiah.

Perlu diantisipasi

Page 2: Dampak Tingkat Suku Bunga Overvalued

Milton Friedman mengatakan kenaikan harga minyak tidak akan berdampak pada

harga relatif apalagi dalam kondisi longrun. Data perekonomian Indonesia juga

membuktikan pencabutan subsidi BBM yang terakhir lalu ternyata juga kemudian

diikuti kondisi deflasi. Perlu diingat bahwa teori moneter mana pun mengatakan

downward sloping dari kurva Phillips hanya terjadi dalam jangka pendek! Apalagi

potensial output perekonomian Indonesia terkendala oleh pasar tenaga kerja sektor

informal sehingga informasi harga yang tercipta cenderung bersifat kuasi dari

natural rate of unemployment. Perubahan harga relatif hanya mungkin jika

perekonomian dunia mengalami perubahan struktur harga yang signifikan.

Sebagai small open economy, perekonomian Indonesia bukanlah penentu inflasi

dunia, tetapi sebaliknya yang terjadi. Krisis yang seharusnya diantisipasi Bank

Indonesia adalah krisis bank sentral dunia akibat subprime market yang tidak

sustainable di Amerika Serikat dan output gap domestic yang menganga lebar

dengan disguised unemployment. Krisis likuiditas global mengancam

kebangkrutan perekonomian global harus diantisipasi secepatnya.

Konsekuensinya akan terjadi overhang pada likuiditas global yang pada

gilirannya membentuk teknologi produksi Leontief di dalam negeri yang semakin

mapan sehingga output gap semakin membesar. Karena itu, imbal balik dari

obligasi pemerintah dunia jangka panjang yang terus turun seharusnya dijadikan

pedoman ekspektasi kebijakan moneter di Indonesia untuk menyelamatkan pasar

likuiditas, selain untuk menciptakan Slutzky effect yang meningkatkan efek

pendapatan dan substitusi di dalam negeri secara positif. Ketakutan dalam

mengikuti tren global di tengah risiko krisis likuiditas sangatlah tidak berasalan.

BI tampaknya mengikuti aliran Rogoff (1985) berupa model 'conservative' central

banker yang sudah tak sesuai dengan bukti empirik. Yang dikhawatirkan justru

akan menimbulkan generic problem kredibilitas dari otoritas moneter yang

menambah dahsyatnya efek destabilitas akibat kelangkaan likuiditas pasar

finansial dunia sebagai konsekuensi dari besarnya pengaruh kebijakan moneter

terhadap pasar aset yang semakin menguat. Buktinya, pasar saham dunia kembali

terkoreksi ketika Citigroup merugi akibat subprime credit setelah sebelumnya

juga terkoreksi akibat kerugian Merrill Lynch, padahal Fed fund rate sudah

diturunkan menjadi 4,5%. Di sini Teori rate x-nya Lucas kembali terbukti efektif.

Page 3: Dampak Tingkat Suku Bunga Overvalued

Artinya, pasar dunia masih mengharap agar cost of capital semakin rendah lagi

karena problem utama perekonomian dunia adalah krisis likuiditas. Inflation

targeting framework yang diterapkan Bank Indonesia terbukti tidak tepat karena

ekspektasi inflasi dibentuk Bank Indonesia dan bukan ekspektasi pasar itu sendiri

yang tak lepas dari pengaruh globalisasi. Ekspektasi inflasi dan tingkat suku

bunga yang diterapkan Bank Indonesia akan menciptakan distorsi dalam

perekonomian Indonesia. Akibatnya, akan timbul biaya penyesuaian yang lebih

mahal dengan sektor perekonomian berpotensi terancam oleh mismatch antara

target tingkat suku bunga semu dan perangkap deflationary. Hal itu dapat terjadi

karena kebijakan BI bersifat decoupling dengan kondisi imbalances di pasar

dunia. Akibatnya, pasar nilai tukar rupiah dan pasar SUN (dan SBI) akan

mengalami reaksi destabilisasi divergence yang signifikan akibat

ketidakseimbangan pasar reserve yang menimbulkan shadow price dari cost of

capital yang semakin mahal yang mungkin memerlukan waktu tahunan untuk

mencapai kondisi equilibrium convergence karena tak didukung pergerakan

spread imbal hasil dari instrumen dari tenor di dalam negeri yang beragam dalam

mempengaruhi velocity of money bertenor nol. Dampaknya akan semakin fatal

jika disertai pencabutan subsidi BBM sebesar Rp90 triliun. Padahal proyeksi

variabel makroekonomi dengan kombinasi model metaproduction function dan

Montecarlo memperlihatkan penurunan BI rate memberikan tambahan

penerimaan negara yang dapat menutupi nilai subsidi BBM tersebut. Implikasi

kebijakan publiknya adalah tingkat suku bunga yang rendah memberikan superior

consumption-smoothing power dari loan berbasis rupiah. Artinya BI justru

memaksimumkan fungsi quadratic loss yang seharusnya diminimalkan bank

sentral yang pada gilirannya menyebabkan kontraksi dari production possibility

frontier alias menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah daripada yang

seharusnya terjadi. Risikonya, inflasi yang kemahalan yang dibentuk ekspektasi

Bank Indonesia cenderung menciptakan proses produksi dengan teknologi

Leontief yang bersifat decreasing return to scale sesuai dengan teori siklus bisnis

yang ditemukan Prescott (1986), yakni kebijakan moneter justru akan menjadi

semakin tidak efektif!

Page 4: Dampak Tingkat Suku Bunga Overvalued

A Deni Daruri

Dampak Tingkat Suku Bunga yang Overvalued

Center For Bangking Crisis--BI rate kembali dipertahankan pada level 8,25 persen

pada awal November ini membuktikan bahwa BI tak memperhitungkan

ekspektasi riil berdasarkan cost function yang well behaved dengan naiknya harga

minyak dunia. Tingkat suku bunga merupakan cost of capital yang pada

gilirannya mendorong marginal cost menjadi lebih mahal. Sementara itu ekonomi

biaya tinggi bukan hanya berdampak pada mahalnya marginal cost tetapi juga

mark up yang berujung pada harga-harga yang lebih mahal.

BI rate kembali dipertahankan pada level 8,25 persen pada awal November ini

membuktikan bahwa BI tak memperhitungkan ekspektasi riil berdasarkan cost

function yang well behaved dengan naiknya harga minyak dunia. Tingkat suku

bunga merupakan cost of capital yang pada gilirannya mendorong marginal cost

menjadi lebih mahal. Sementara itu ekonomi biaya tinggi bukan hanya berdampak

pada mahalnya marginal cost tetapi juga mark up yang berujung pada harga-harga

yang lebih mahal.

David Hume dalam esainya yang terkenal ”of money” mengatakan "It is easy to

trace the money in its progress through the whole commonwealth; where we shall

find that it must first quicken the diligence of every individual, before it increases

the price of labour." Bahkan Milton Friedman dan Robert Lucas juga ikut

memujinya karena inilah esensi dari ilmu moneter. Dalam konteks perekonomian

Indonesia yang masih terperangkap dalam wages rigidity dan kekakuan kartel

harga pasar output yang membelenggu harga output maka relevansi penerapan

tingkat suku bunga yang overshooting justru dapat menciptakan imbalances pada

keseimbangan makroekonomi jangka panjang seiring dengan hilangnya netralitas

uang sebagaimana yang terlihat dalam bukti empirik. Dengan melihat

perkembangan pasar uang internasional dalam Implied One-Year Forward Rates,

3-Month Eurodollar Futures dan Federal Funds Futures Contracts yang masing-

masing nilainya dikontrol oleh middle swap rate rupiah terhadap dolar dan euro

maka dapat dilihat perkembangan tingkat suku bunga yang rasional melalui

Taylor rule dengan membuka potensial Produk Domestik Bruto dengan

pendekatan open economy sehingga dampak outsourcing antar negara dapat

Page 5: Dampak Tingkat Suku Bunga Overvalued

segera tergambarkan secara nyata.

Fed fund rate yang bulan Oktober ditetapkan sebagai target Fed sebesar 4,50

persen berdasarkan data 4 November 2007 akan menjadi 4 persen pada bulan

Januari 2008 nantinya. Dari pendekatan ini terlihat bahwa tingkat suku bunga di

Indonesia selama bulan Oktober dan awal November tahun 2007 ini telah

overshooting sebesar 300 bps. Artinya tingkat BI rate sebesar 8,25 persen

berpotensi menimbulkan kontraksi aggregat demand dalam jangka pendek dan

menengah dimana output gap cenderung tak terkontrol dengan implied probability

yang siknifikan akibat tekanan economic shock dari harga minyak. Negatif riil

interest rate yang ditakutkan oleh Bank Indonesia tidak akan tercipta seiring

dengan elastisnya downward-sloping Phillips curve dunia yang sesuai dengan

Shepard Lemma. Rogoff dari IMF yang mengatakan bahwa slope kurva tersebut

bersifat inelastic tampaknya tak mendapat banyak dukungan. Lebih dari itu, BI

tampaknya terlalu dipengaruhi oleh novel The World is Flat karya Thomas

Friedman dan bukan teori moneternya Milton Friedman!

Ketakutan bahwa tingkat suku bunga yang lebih rendah lagi akan menimbulkan

capital flight sangatlah tidak beralasan. Dengan model Hamilton yang dikontrol

oleh Inflation-Indexed Treasury Yield Spreads memperlihatkan bahwa capital

flight justru bersifat kebalikannya alias terjadi capital inflow dengan implied

probability sebesar 60 persen akibat perbaikan earning di dalam negeri yang

terjangkar oleh besarnya rasio Price Earning pasar regional dan global dan

tergerusnya nilai dolar. Artinya price discovery harga asset negara sedang

berkembang masih memiliki ruang. Apalagi, harga saham di India jauh lebih

mahal jika dibandingkan dengan harga saham di negara manapun termasuk di

Indonesia. Simulasi penurunan tingkat suku bunga berdampak positif bagi

balance of payment karena surplus terbesar tetap pada current account. Hal ini

juga sesuai dengan simulasi model IS-LM dengan kombinasi teori permanent

income hyphotesis yang terbukti menurunkan output gap. Konsekuensinya,

kinerja selama 2007 diperkirakan akan lebih baik dari asumsi BI rate yang sebesar

Page 6: Dampak Tingkat Suku Bunga Overvalued

8,5 persen. Surplus NPI mengalami peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan

kondisi jika dengan BI rate tak diturunkan. Perbaikan tersebut terutama ditopang

oleh lebih tingginya surplus current account dibandingkan kondisi penetapan BI

rate yang kemahalan. Dengan realisasi NPI yang lebih baik dari perkiraan

tersebut, cadangan devisa sampai akhir 2007 justru berpotensi untuk terus

meningkat seiring dengan naiknya harga komoditas dunia yang menimbulkan efek

Hicksian. Jelas bahwa penetapan pajak ekspor oleh pemerintah justru berpengaruh

positif bagi penerimaan kas pemerintah dan cadangan devisa. Logikanya, lebih

baik mengekspor pada harga ekspor yang lebih tinggi ketimbang harga saat ini

yang secara relative lebih murah selain efektif menekan inflasi dari sisi non traded

goods di dalam negeri akibat tekanan Ducth Diseases yang mematikan daya saing

traded goods.

Sementara dukungan interest rate differential masih positif 425 bps hingga Januari

2008 berdasarkan futures market expectation dengan model Taylor. Dengan

scenario tingkat suku bunga domestic yang lebih rendah, nilai tukar rupiah pada

akhir 2007 akan cenderung stabil pada kisaran IDR 9000 – 9300 per dolar. Berarti

tidak berbeda jauh dengan kondisi akhir kuartal pertama 2007, dimana nilai tukar

rupiah secara rata-rata mencapai Rp9.101 per USD, atau terapresiasi 0,34% dari

triwulan sebelumnya sebesar Rp9.132 per USD. Artinya stabilitas makroekonomi

seiring dengan stabilitas nilai tukar rupiah.

Milton Friedman mengatakan bahwa kenaikan harga minyak tidak akan

berdampak pada harga relative apalagi dalam kondisi longrun. Data perekonomian

Indonesia juga membuktikan bahwa pencabutan subsidi BBM yang terakhir lalu

ternyata juga kemudian diikuti oleh kondisi deflasi. Perlu diingat bahwa

berdasarkan teori moneter manapun mengatakan downward sloping dari kurva

Phillips hanya terjadi dalam jangka pendek! Apalagi potensial output

perekonomian Indonesia terkendala oleh pasar tenaga kerja sector informal

sehingga informasi harga yang tercipta cenderung bersifat quasi dari natural rate

of unemployment. Perubahan harga relative hanya mungkin jika perekonomian

dunia mengalami perubahan struktur harga yang siknifikan. Sebagai small open

economy maka perekonomian Indonesia bukanlah penentu inflasi dunia, namun

Page 7: Dampak Tingkat Suku Bunga Overvalued

sebaliknya yang terjadi.

Dengan pengaruh kontribusi biaya energi per Produk Domestik Bruto negara maju

seperti Amerika Serikat yang mengecil maka dipastikan pengaruhnya tak

berdampak serius seperti periode tahun 1980-an yang lalu. Krisis yang seharusnya

diantisipasi oleh Bank Indonesia adalah krisis bank sentral dunia akibat subprime

market yang tidak sustainable di Amerika Serikat dan output gap domestic yang

menganga lebar dengan disguised unemployment. Kisis likuiditas global

mengancam kebangkrutan perekonomian global harus diantisipasi secepatnya.

Konsekuensinya akan terjadi overhang pada likuditas global yang pada gilirannya

membentuk teknologi produksi Leontief di dalam negeri yang semakin mapan

sehingga output gap semakin membesar. Karena itu, imbal balik dari obligasi

pemerintah dunia jangka panjang yang terus turun seharusnya dijadikan pedoman

ekspektasi kebijakan moneter di Indonesia untuk menyelamatkan pasar likuiditas,

selain untuk menciptakan Slutzky effect yang meningkatkan efek pendapatan dan

substitusi di dalam negeri secara positif. Ketakutan dalam mengikuti trend global

ditengah resiko krisis likuiditas sangatlah tidak berasalan. BI tampaknya

mengikuti aliran Rogoff (1985) berupa model “conservative” central banker yang

sudah tak sesuai dengan bukti empirik.

Yang dikhawatirkan justru akan menimbulkan generic problemkredibilitas dari

otoritas moneter yang menambah dahsyatnya efek destabilitas akibat kelangkaan

likuditas pasar financial dunia sebagai konsekuensi dari besarnya pengaruh

kebijakan moneter terhadap pasar asset yang semakin menguat(Bernanke &

Kuttner (2005). Buktinya, pasar saham dunia kembali terkoreksi ketika Citigroup

mengalami kerugian akibat subprime credit setelah sebelumnya juga terkoresi

akibat kerugian Merrill Lynch, padahal fed fund rate sudah diturunkan menjadi

4,5 persen. Di sini Teori Ratex-nya Lucas kembali terbukti efektif. Artinya, pasar

dunia masih mengharap agar cost of capital semakin rendah lagi karena problem

utama perekonomian dunia adalah krisis likuiditas. Inflation targeting framework

yang diterapkan oleh Bank Indonesia terbukti tidak tepat karena ekspektasi inflasi

dibentuk oleh Bank Indonesia dan bukan ekspektasi pasar itu sendiri yang tak

Page 8: Dampak Tingkat Suku Bunga Overvalued

lepas dari pengaruh globalisasi. Ekspektasi inflasi dan tingkat suku bunga yang

diterapkan oleh Bank Indonesia akan menciptakan distorsi dalam perekonomian

Indonesia, akibatnya akan timbul biaya penyesuaian yang lebih mahal dimana

sector perekonomian berpotensi terancam mismatch antara target tingkat suku

bunga semu dan perangkap deflationary. Hal itu dapat terjadi karena kebijakan BI

bersifat decoupling dengan kondisi imbalances di pasar dunia. Akibatnya, pasar

nilai tukar rupiah dan pasar SUN (dan SBI) akan mengalami reaksi destabilisasi

divergence yang siknifikan akibat ketidakseimbangan pasar reserve yang

menimbulkan shadow price dari cost of capital yang semakin mahal yang

mungkin memerlukan waktu tahunan untuk mencapai kondisi equilibrium

convergence karena tak didukung oleh pergerakan spread imbal hasil dari

instrument dari tenor di dalam negeri yang beragam dalam mempengaruhi velocity

of money bertenor nol.

Dampaknya akan semakin fatal jika disertai pencabutan subsidi BBM sebesar 90

triliun rupiah. Padahal proyeksi variable makroekonomi dengan kombinasi model

meta production function dan Montecarlo memperlihatkan penurunan BI rate

memberikan tambahan penerimaan negara yang dapat menutupi nilai subsidi

BBM tersebut. Implikasi kebijakan publiknya adalah tingkat suku bunga yang

rendah memberikan superior consumption-smoothing power dari loan berbasis

rupiah. Artinya BI justru memaksimumkan fungsi quadratic loss yang seharusnya

diminimisasi oleh bank sentral yang pada gilirannya menyebabkan kontraksi dari

Production Possibility Frontieralias menciptakan pertumbuhan ekonomi yang

lebih rendah dari yang seharusnya terjadi.

Resikonya, inflasi yang kemahalan yang dibentuk oleh ekspektasi Bank Indonesia

cenderung menciptakan proses produksi dengan teknologi Leontief yang bersifat

decreasing return to scale sesuai dengan Teori siklus bisnis yang ditemukan

Prescott (1986) dimana kebijakan moneter justru akan menjadi semakin tidak

efektif!

Penulis: Deni Daruri, President Direktur Center for Banking Crisis