dampak perubahan penggunaan lahan terhadap ketersediaan sumber daya...

155
DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005

Upload: nguyendung

Post on 27-May-2018

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR

DI KOTA TANGERANG

OLEH : DADAN SUHENDAR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2005

ABSTRAK

DADAN SUHENDAR. Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Ketersediaan Sumberdaya Air di Kota Tangerang. Dibimbing oleh SUNSUN SAEFULHAKIM dan AFFENDI ANWAR.

Perkembangan suatu wilayah tidak terlepas dari pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan kegiatan yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi, sehingga terjadi konflik terhadap lahan, disatu sisi permintaan terhadap lahan terus meningkat disisi lain luas lahan tetap. Hal ini akan berakibat terhadap perubahan penggunaan lahan terutama dari lahan pertanian menjadi non pertanian. Perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi non pertanian mendorong meningkatnya areal terbangun (built up area), yang berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya air. Untuk mengetahui seberapa besar dampak dari perubahan penggunaan lahan terhadap ketersediaan sumberdaya air perlu mengerahui barapa besar perubahan penggunaan lahan dari ruang terbuka hijau menjadi built up area setiap tahun atau dalam kurun waktu tertentu secara time series, curah hujan yang jatuh di wilayah penelitian, Evapotranspirasi yang terjadi, Air hujan ang meresap kedalam tanah (infiltrasi) serta berapa air limpasan permukaan (run off). Untuk mengtahui perubahan penggunaan lahan dapat dilkukan dengan pembuatan peta penggunaan lahan secara time series dengan metoda penginderaan jauh (remote sensing) baik melalui citra satelit atau foto udara. Data curah hujan didapat dari hasil pengukuran yang dilakukan Badan Meteorologi stasiun Tangerang, Penghitungan Evapotranspirasi dilakukan dengan menggunakan metoda Turc dan Langbein, infiltrasi dan run off dilakukan dengan pendekatan tipologi wilayah dengan mengacu pada U.S. Forest Service. Dengan meningkatnya areal terbangun mengakibatkan menurunnya air hujan yang meresap kedalam tanah (infiltrasi) yang menjadi cadangan air tanah dan meningkatkan aliran air permukaan (run off). Pada kondisi yang kritis hal tersebut akan meyebabkan kekeringan (kekurangan air) pada musim kemarau dan menimbulkan banjir pada waktu musim hujan. Utuk mengurangi resiko tersebut perlu dilakukan efisiensi dalam pemanfaatan lahan, serta pembuatan sumur resapan pada setiap bangunan, kolam resapan/danau buatan komunal pada kawasan perumahan.

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR

DI KOTA TANGERANG

DADAN SUHENDAR

Tesis Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Magister Sains pada Program Studi Ilmu–ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2005

Judul Tesis : Dampak Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Ketersediaan Sumber Daya Air di Kota Tangerang

Nama : Dadan Suhendar NRP : P053020131 Program Studi : Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan

Perdesaan

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. H.R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr . Ketua

Prof. Dr. Ir. Affendi Anwar, MSc . Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan

Wilayah dan Pe rdesaan

Prof. Dr. Ir. Isang Gonarsjah

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M,Sc

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cimahi, Jawa Barat pada tanggal 18 Maret 1965 dari ayah Engkus Kusmana (alm) dan ibu Edjeh Mulyati (alm). Penulis merupakan putra ketiga dari enam bersaudara.

Tahun 1984 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bandung dan pada tahun yang sama penulis diterima di Jurusan Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan menamatkannya pada tahun 1992. Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister pada program studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan pada Sekolah Pasca Sarjana IPB diperoleh pada tahun 2002. Ijin belajar diperoleh dari Pemerintah Kota Tangerang.

Penulis bekerja pada Pemerintah Kota Tangerang sejak tahun 1994 sebagai pelaksana pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), kemudian promosi sebagai Kepala seksi Industri, Pertambangan dan Energi Bappeda pada tahun 1996, pada tahun 1999 menjabat sebagai Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Lahan pada Bappeda, Kemudian menjadi Kepala seksi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup pada Bappeda pada tahun 2000, Sejak tahun 2001 hingga sekarang penulis menjabat Kasi Pemetaan dan Survey pada Dinas Tata Kota

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2004 ini adalah Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Ketersediaan Sumberdaya Air di Kota Tangerang. Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. H.R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr dan Bapak Prof. Dr. H. Affendi Anwar, M.Sc selaku pembimbing. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Joewono H, MT Kepala Dinas Tata Kota Kota Tangerang periode tahun 2002 – 2005 dan Ibu Hj. Roostiwie, SKM, M.Si Kepala Dinas Tata Kota periode Tahun 2005 sampai sekarang, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi pasacasarjana S-2, rekan-rekan mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah dan Pedesaan angkatan 2002 serta seluruh jajaran Dinas Tata Kota yang telah membantu penulis dalam penyediaan dan pengolahan data serta dorongan moril. Tak lupa penulis ucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada rekan seperjuangan Ir. H. Masduki dan Drs. Otong Suhyanto atas bantuan yang sangat berharga sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Karya ilmiah ini penulis persembahkan kepada istri tercinta Neti Hendrawati serta anakanak tersayang Shabrina ghassani dan Hadyan Adam semoga karya yang telah penulis lakukan menjadi motivasi bagi anak-anakku Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2006

Dadan Suhendar

DAFTAR ISI Halaman

DAFTAR TABEL .............................................................................................. DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... PENDAHULUAN …………………………………………………………………… Latar Belakang ………………………………………………………………… Tujuan Penelitian ………………………………………………………………

xi

xii

xiv

1 1 8

TINJAUAN PUSTAKA ............................ ........................................................ Tata Guna Lahan ....................................................................................

Teori Lokasi ..................................................................................... Teori Land Rent ..............................................................................

Sumberdaya Air ……………………………………………………..........…. Daur Hidrologi ................................................................................ Presipitasi ....................................................................................... Evapotranspirasi ............................................................................. Infiltrasi .......................................................................................... Limpasan Permukaan ................................................................... Keterkaitan Penggunaan Lahan dengan Sumberdaya Air ......................

9 9 9

15 24 24 26 28 29 31 32

METODA PENELITIAN .................................................................................. Perubahan Penggunaan Lahan ................................................................ Analisis Hidrogeologi ................................................................................ Hidrologi .................................................................................................... Analisis Penentuan Harga Air ..................................................................

35 37 39 46 50

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN ...................................................

Kondisi Fisik Kota Tangerang ................................................................. Kondisi Sosial ......................................................................................... Kondisi Ekonomi ..................................................................................... Kondisi Sarana dan Prasarana ...............................................................

52 52 59 65 69

PEMBAHASAN DAN HASIL .......................................................................... Perubahan Penggunaan Lahan .................................................................. Pola Perubahan Sumberdaya Air ................................................................. Neraca Air Wilayah Kota Tangerang........................................................ Kondisi Hidrogeologi ...............................................................................

Kondisi DAS Cisadane ............................................................................ Keterkaitan antara Penggunaan Lahan dengan Sumberdaya Air ............... Keterkaitan Perubahan Penggunaan Lahan dengan Land Rent ................ Kondisi Ekonomi Air …………………....…………………………………..

75 75 89 89 96 98

104 103 106

KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... Kesimpulan .................................................................................................... Saran .............................................................................................................

123 123 125

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... LAMPIRAN ...................................................................................................

126

131

DAFTAR TABEL Tabel Halaman

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19 20

Nilai Koefisien Air Larian Hubungan Jenis Batuan dengan Besar Butir, Porositas dan Kelulusan .......................................................................................... Nilai Tahanan Jenis Batuan .................... ......................................... Jumlah dan Perkembangan Penduduk Kota Tangerang…………… Kepadatan Penduduk Kota Tangerang Tahun 2003 ………….…… Jumlah Penduduk Menurut Umur Tahun 2003 ................................. PDRB Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1998 – 2002 ................................................................................................. PDRB Kota Tangerang Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 1998 – 2002 .................................................. ............................................... Pertumbuhan PDRB Kota Tangerang Tahun 1999-2002 ................ Perbandingan Luas Lahan Terbangun dengan Ruang Terbuka ...... Penggunaan Lahan Tahun Kota Tangerang Tahun 2000 ............ Data Curah Hujan Stasiun Tangerang Tahun 1994-2003 ................ Data Temperatur Stasiun Tangerang Tahun 1994-2003 .................. Hasil Perhitungan Evapotranspirasi Perioda 1994-2003 .................. Perhitungan Neraca Air Tahun 1959, 1994 dan 2004 ...................... Fluktuasi Debit Sungai Cisadane yang Terukur di Stasiun Pengamatan Pasar Baru Tangerang .............................................. Analisa Neraca Air DAS Cisadane ................................................... Perbandingan Ketersediaan Sumberdaya Air dengan Penggunaan Lahan Tahun 1959, 1994 dan 2004 ................................................. Perkembangan Perubahan Muka Air Tanah Tahun 1959 dan 2004 Jumlah dan Panjang Sungai di Kota Tangerang ..........................

25 33

34 49 51 52

55

56 57 64 65 78 79 80 82

84 96

99

100 109

DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36 37.

Siklus Hidrologi …………………………………………………………… Efek Negatif Pengaturan Suberdaya Air Tanah yang Tidak Baik …… Model Tata Guna Lahan Menurut Von Thunen ................................ Model Tata Guna Lahan Menurut Burges ........................................ Model Tata Guna Lahan Menurut Hoyt ............................................ Pola Penggunaan Lahan Kota Konsep Teori Pusat Lipat Ganda .... Hubungan antara Land Rent Lokasi pada Berbagai Sektor Ekonomi Model Tata Guna Lahan Lingkaran Konsentris ................................ Pembentukan Kota Inti Secara Berganda ......................................... Kerangka Pemikiran Perubahan Pengunaan Lahan dan Ketersediaan Sumberdaya Air .............. ........................................... Diagram Alir Metode Penelitian ........................................................ Citra Satelit ........................................................................................ Foto Udara ........................................................................................ Material Bahan yang Dilalui oleh Arus Listrik .................................... Hubungan antara Tahanan Jenis dan Kadar Garam dalam Air yang Dikandung Batuan ............................................................................. Skema Alat Ukur Geolistrik ............................................................ Pengukuran Tahanan Jenis di Lapangan ........................................... Peta Wilayah Administrasi Kota Tangerang ...................................... Peta Lokasi Banjir .............................................................................. Peta Hidrogeologi Kota Tangerang ................................................ Peta Cekungan Air Tanah Kota Tangerang ......................................

5 6 9

10 11 11 13 14 16

27 28 29 29 31

34 35 35 43 44 46 47 48 49 50 51 53 53 62 63 66

66 69 72

75

76

76 79

38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56.

Peta Geologi Kota Tangerang ........................................................... Prosentase Jumlah Penduduk Tahun 2003 ...................................... Grafik Laju Pertumbuhan Penduduk Tahun 2001 – 2003 ................. Grafik Kepadatan Penduduk Tahun 2003 ......................................... Grafik Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur Tahun 2003 ........... Jumlah Penduduk Kota Tangerang Menurut Jenis Kelamin ........... Peta Tata Guna Lahan Kota Tangerang Tahun 1959 ...................... Peta Tata Guna Lahan Kota Tangerang Tahun 2000 ...................... Proporsi Tiap Jenis Penggunaan Lahan ........................................... Perbandingan Luas Pemanfaatan Lahan Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya ........................................................................... Peta Sebaran Kegiatan Perdagangan dan Jasa ............................... Peta Sebaran Industri ....................................................................... Perbandingan Sumbangan Sektor Pertanian Terhadap Total PDRB Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 ................ Perbandingan Sumbangan Sektor Industri Terhadap Total PDRB Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 ................ Perbandingan Sumbangan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran terhadap Total PDRB Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 ............................................................. Grafik Curah Hujan Bulanan Tahun Kota Tangerang 1994 – 2003 . Grafik Curah Hujan Bulanan Tahun Kota Tangerang 1994 – 2003 . Distribusi Air Hujan yang Jatuh di Daerah Penelitian ...................... Perbandingan Infiltrasi dan Run-Off …………………………………. Grafik Fluktuasi Debit Sungai Cisadane Tahun 1999 – 2004 …… Grafik Fluktuasi Debit Sungai Cisadane Tahun 1950 – 2000 …… Grafik Varian Debit Sungai Cisadane Tahun 1950 – 2000 .............. Grafik Covarian Debit Sungai Cisadane Tahun 1950 – 2000 ..........

80 82 83 84 85 86 87 87 89 90 97 97

101 101 102 107 108 108 114

Grafik Rata-rata Tahunan debit Sungai Cisadane ......................... Susunan Lapisan Hasil Penafsiran Geolistrik ................................ Perubahan Muka air Tanah Dangkal .............................................. Kondisi Air Tanah DAS Cisadane …………………………………….. Grafik Surplus dan Defisit Air DAS Cisadane ………………………. Grafik Curah Hujan Rata-rata Tahunan Tahun 1994-2000 ……… Grafik Suhu Udara Rata-rata Tahunan Tahun 1994-2000 ……… Grafik Debit Rata-rata Tahunan Sungai Cisadane Tahun 1994-2000 Peta Sebaran Instalasi Pengolahan Air PDAM ................................. Grafik Perkembangan Jumlah Penduduk .......................................... Grafik Perkembangan Kebutuhan Air ................................................ Perkembangan Sumbangan Air Bersih terhadap PDRB …………...

DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN Halaman

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

Peta DAS Cisadane. ….………………………………….………… Peta Geologi DAS Cisadane. .….………………………………… Peta Jenis Tanah DAS Cisadane. .….………………………… Peta Penggunaan Lahan DAS Cisadane. .…...........................… Peta Daerah Tangkapan Air DAS Cisadane. .........................… Data Debit Bulanan Sungai Cisadane .............................................. Varian dan Covarian Debit Sungai Cisadane................................... Tabel Hasil Penafsiran Pengukuran Geolistrik .............................. Perbandingan Kebutuhan dan Ketersediaan Air Bersih Tahun 2004 Data Tahun 2003 dan Korelasi antar Variabel ............................... Data Pengambilan Air Bawah Tanah Tahun 2004 ………………… Data Pengambilan Air Permukaan Tahun 2004 ………………….. Data Permohonan Sumur Berdasarkan Ijin ...................................

131 132 133 134 135 136 143 144 149 150 152 153 154

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sejak berdirinya Kota Tangerang pada tahun 1993, telah terjadi

berbagai perkembangan baik eksternal maupun internal yang sangat

berpengaruh terhadap dinamika kota. Kota Tangerang sebagai salah satu

kota di wilayah Metropolitan Jabotabek yang menjadi wilayah penyangga

bagi DKI Jakarta, mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang cukup

pesat.

Lokasi Tangerang yang potensial terutama dinilai dari aksesibilitas

dengan pusat kota Jakarta, Bandara Soekarno-Hatta, Pelabuhan Tanjung

Priuk di Jakarta dan Bojonagara di Cilegon, dan kota-kota lainnya di

Jabotabek, Banten dan Jawa Barat, menyebabkan kota ini sangat menarik

bagi perkembangan kegiatan seperti perumahan, industri dan perdagangan.

Keterbatasan lahan di DKI Jakarta untuk kegiatan industri dan perumahan

mengakibatkan adanya pergeseran kegiatan ke wilayah penyangga

termasuk kota Tangerang. Sejalan dengan perkembangan kedua kegiatan

tersebut berkembang pula kegiatan perdagangan dan pergudangan di

sepanjang koridor jalan utama yang menghubungkan simpul-simpul utama

tranportasi nasional dan internasional dengan DKI Jakarta. Perkembangan

kegiatan-kegiatan tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan

penggunaan lahan yang kemudian menimbulkan beberapa masalah bagi

Kota Tangerang.

Proses perubahan penggunaan lahan terjadi seiring pertumbuhan

ekonomi yang memberi dampak terhadap pendapatan dalam masyarakat.

Perubahan diharapkan mampu memperluas kesempatan kerja sehingga

memungkinkan terjadinya proses tranformasi pekerja dari sektor pertanian ke

non pertanian. Terjadinya perubahan kegiatan akan memberi tekanan

kepada permintaan lahan diluar sektor pertanian. Dari tahun 1994 sampai

dengan tahun 2003 perubahan lahan dari ruang terbuka hijau menjadi areal

terbangun mencapai 23,6% atau arata-rata 2,36% pertahun. Hal yang

mendasari perubahan penggunaan lahan adalah perkembangan jumlah

penduduk dan perkembangan kegiatan ekonomi. Laju pertumbuhan

penduduk dari tahun 1991 - 2003 mencapai 5,75% dan pertumbuhan

ekonomi dilihat berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan tahun 1993

Pola Perubahan penggunaan lahan yang terjad i cenderung mengikuti

teori ekonomi, yaitu dari lahan yang mempunyai land rent rendah menuju

lahan yang mempunyai land rent tinggi yaitu dari lahan pertanian menjadi

perumahan, industri atau perdagangan atau dari lahan permukiman menjadi

perdagangan atau jasa

Perubahan lahan membawa dampak kepada perubahan sumberdaya

air terutama air tanah, air tanah merupakan penunjang utama disamping air

permukaan dalam rangka memenuhi kebutuhan air bersih bagi penduduk

Kota Tangerang sejak puluhan tahun lalu. Meningkatnya taraf kesejahteraan

penduduk seiring pula dengan meningkatnya penggunaan sumberdaya alam,

sebagaimana halnya dengan sumberdaya air. Pertambahan laju

pertumbuhan penduduk dan laju pembangunan yang sangat pesat

khususnya sektor industri dan perumahan/permukiman, maka masalah

penyediaan air bersih akan menjadi sangat besar peranannya.

Kebutuhan air bersih yang sangat tinggi bagi penduduk Kota

Tangerang yang saat ini berjumlah sekitar 1,52 juta jiwa yang tersebar pada

wilayah seluas 18.378 Ha membutuhkan air bersih sebesar 69.261.168 m3

(standar WHO kebutuhan air bersih 125 l/orang/hari).

Perubahan penggunaan lahan selain berpengaruh terhadap air tanah

juga juga berpengaruh pada air permukaan, aliran air permukaan menjadi

tidak terkendali perbedaan aliran air permukaan (surface run off) menjadi

sangat jauh antara musim hujan dan musim kemarau, dimana pada musim

hujan aliran air permukan yang tinggi melebihi kapasitas badan penampung

air sehingga air meluap dan menimbulkan banjir, sedangkan pada musim

kemarau air permukaan menunjukan ketinggian yang sangat rendah bahkan

pada daerah pertanian tidak bisa memberi kontribusi kepada lahan pertanian

yang memerlukan air.

Proses perubahan penggunaan lahan tersebut harus dilakukan, apabila

diinginkan pertumbuhan ekonomi yang memberi dampak terhadap

pendapatan dalam masyarakat. Perubahan diharapkan mampu memperluas

kesempatan kerja sehingga memungkinkan terjadinya proses tranformasi

pekerja dari sektor pertanian ke non pertanian.

Terjadinya perubahan kegiatan akan memberi tekanan kepada permintaan

lahan diluar sektor pertanian, khususnya lahan-lahan pertanian yang

berdekatan dengan kawasan perkotaan

Perubahan penggunaan lahan akan membawa dampak kepada

perubahan sumberdaya air terutama air tanah, air tanah merupakan

penunjang utama disamping air permukaan dalam rangka memenuhi

kebutuhan air bersih bagi penduduk Kota Tangerang sejak puluhan tahun

lalu. Meningkatnya taraf kesejahteraan penduduk seiring pula dengan

meningkatnya penggunaan sumberdaya alam, sebagaimana halnya dengan

sumberdaya air. Pertambahan laju pertumbuhan penduduk dan laju

pembangunan yang sangat pesat khususnya sektor industri dan

perumahan/permukiman, maka masalah penyediaan air bersih akan menjadi

sangat besar peranannya.

Perkembangan Kota Tangerang yang semakin maju, baik ditinjau dari

segi fisik, social, ekonomi maupun segi-segi lainnya dapat mengakibatkan

kebutuhan akan air bersih semakin meningkat pesat. Dilain pihak,

pertambahan produksi air bersih oleh PDAM masih sangat terbatas dan

belum dapat memenuhi keperluan akan air bersih, sehingga pengeboran air

tanah di seluruh kawasan Kota Tangerang menjadi semakin banyak dan tak

terkendalikan.

Pesatnya laju penyedotan/penggunaan air tanah yang tidak terkendali

tersebut, akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan daur

geohidrologi bagi Kota Tangerang. Penurunan muka air tanah, dan

penyusupan (intrusi) air laut, serta kemungkinan penurunan permukaan

tanah atau amblesan (land subsidence) dapat terjadi dibeberapa bagian

wilayah Kota Tangerang terutama di daerah dengan tingkat kerapatan jumlah

sumur bor yang sangat tinggi. Penurunan muka air tanah (water table)

diperkirakan akan terus berlangsung sebagai bukti bahwa debit/luah

pengambilan melebihi kecepatan pengisian kembali pada system akifernya

yang berasal dari peresapan air hujan.

Perubahan penggunaan lahan selain berpengaruh terhadap air tanah juga

juga berpengaruh pada air permukaan, aliran air permukaan menjadi tidak

terkendali perbedaan aliran air permukaan (surface run off) menjadi sangat

jauh antara musim hujan dan musim kemarau, dimana pada musim hujan

aliran air permukan yang tinggi melebihi kapasitas badan penampung air

sehingga air meluap dan menimbulkan banjir, sedangkan pada musim

kemarau air permukaan menunjukan ketinggian yang sangat rendah bahkan

pada daerah pertanian tidak bias memberi kontribusi kepada lahan pertanian

yang memerlukan air.

Sumberdaya air merupakan suatu siklus, dimana hujan (Precipitation = P)

turun kebumi mengalir dipermukaan (Run-off = RO) sebagian meresap

(Infiltration = F) serta ada yang menguap (Evapotranpirasi = ET) yang

selanjutnya menjadi uap air yang naik kembali keatas dan bila bertemu

dengan inti kondensat akan berubah lagi menjadi hujan dan begitu

seterusnya (Gambar 1). Seperti diketahui bahwa dalam Ilmu hidrologi

dikenal adanya hukum “water balance” yang menerangkan siklus diatas,

yang dapat ditulis dengan rumus dibawah ini (Rumus 1).

P = RO + ET + F …………………………………………. ( 1 )

dimana : P : Curah Hujan/Presipitasi (Presipitation) RO : Air Limpasan Permukaan (Run-Off) ET : Evapotranspirasi (Evapotranspiration) F : Infiltrasi (Infiltration)

Sumber air utama berasal dari air permukaan (non artesis : sungai, danau)

dan air bawah permukaan (artesis : air tanah dangkal dan dalam). Banyak

dampak telah terjadi akibat pemakaian air bawah permukaan yang tidak

sesuai dengan kemampuan akuifer seperti penurunan tanah ( land

subsidence), akuifer menjadi dalam, tekanan air tanah berkurang sehingga

(A)

(B) Sumber : Seyhan diterjemahkan olehSubagyo, 1990

Keterangan : (A) : Tampak Atas (B) : Tampak Samping

Gambar 1. Siklus Hidrologi

Presipitation

EVPT

RO INF

EVPT

PRECIPITATION

RO INF

intrusi air laut semakin jauh kedaratan. Hal ini terjadi karena pengelolaan air

tanah maupun air permukaan tidak dilakukan dengan baik. Pertumbuhan

penduduk yang pesat disertai perkembangan kegiatan perkotaan yang

menyebabkan meningkatnya kebutuhan air tanah, sehingga terjadi

eksploitasi air tanah secara besar-besaran. Pada kondisi pemompaan air

tanah yang berlebihan (over pumping) akan terjadi penurunan muka air

tanah yang besar, pada kondisi ini pula akan menyebabkan kekeringan

bahkan kematian pada tanaman (Gambar 2).

Sumber : PT. Tatanusa Teknoyasa, Propsal Penelitian Hidrogeologi, 2004

Atas : Kondisi Normal Bawah : Over pumping

Gambar 2. Efek Negatif Pengaturan SumberDaya Air Tanah Yang Tidak Baik

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi karakteristik Kota Tangerang terkait dengan perubahan

lahan dan ketersediaan sumberdaya air

2. Menganalisis perubahan penggunaan lahan khususnya terhadap pola

dan determinan perubahan tersebut.

3. Menganalisis perubahan ketersediaan sumberdaya air

4. Menganalisis kaitan antara perubahan penggunaan lahan dan

ketersediaan sumberdaya air.

5. Menganalisis dan merumuskan konsekwensi/implikasi strategis dari

perubahan penggunaan lahan dan ketersediaan sumberdaya air dan

kaitan antar keduanya.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengambil kebijakan

dalam hal ini Pemerintah Kota Tangerang didalam pengendalian

penggunaan lahan dan pengambilan air bawah tanah agar keseimbangan air

(water balance) dapat dipertahankan.

Atas dasar penelitian ini, maka akan dicoba untuk memberikan beberapa

rekomendasi penanganan pengelolaan sumberdaya air, khususnya air tanah,

agar tidak terjadi gangguan keseimbangan lingkungan yang lebih parah,

sebagai akibat ketidak seimbangan antara produksi (eksploitasi) air dan air

tanah yang masuk kedalam akifer (infiltrasi).

TINJAUAN PUSTAKA

Tata Guna Lahan

Lahan (land) adalah suatu daerah di permukaan bumi dengan sifat-sifat

tertentu, yaitu dalam hal sifat-sifat atmosfer, geologi, geomorfologi, tanah,

hidrologi, vegetasi, dan penggunaan lahan. Sumberdaya lahan (land

resources) adalah kondisi dari sumberdaya lahan yang dapat dieksploitasi

manusia. Sementara yang dimaksud dengan tanah (soil) adalah bahan

mineral cerai berai pada permukaan bumi yang berfungsi sebagai medium

tumbuh bagi tanaman atau tumbuhan (Soepardi, 1977). Lahan merupakan

komoditi ekonomi yang nilainya terus meningkat karena sifat

keterbatasannya, apalagi dilihat dari berbagai sudut pandang lahan

mempunyai banyak nilai tambah. la mempunyai nilai keindahan, nilai politik,

nilai fisik, nilai sosial, nilai spiritual dan sebagainya. Nilai -nilai ini, dimiliki oleh

sumberdaya lahan apabila ia mempunyai manfaat/potensi untuk

menghasilkan pendapatan dan kepuasan sementara jumlah yang ditawarkan

lebih sedikit daripada pemintaannya serta ia mudah untuk dialihkan

penguasaannya (Cahyono, 1982).

Teori Lokasi

Teori Lokasi Von Thunen, Burges dan Homer Hoyt

Teori Von Thunen dikenal sejak abad 19, Teori ini merupakan model guna lahan sederhana, didasarkan pada satu titik permintaan dalam lingkungan ekonomi pedesaan yang mempunyai struktur pasar sempurna baik pasar output maupun pasar input. Selain itu diasumsikan bahwa seluruh wilayah dapat dijangkau tertapi terisolasi, sehingga tidak ada ekspor impor. Berasumsi tersebut maka lahan akan mengikuti pola kawasan komoditi berbentuk lingkaran (Gambar 3) dengan kota sebagai pusatnya sekaligus sebagai tempat permukiman kemudian areal sawah, tegalan, hingga kebun. Bentuk lingkaran tidak mesti simetris, tetapi tergantung akses yang ada. Misalnya melonjong, mengikuti akse s jalan atau sungai.

Sumber: Adisasmita, 1983 (teori-teori lokasi dan pengembangan wilayah)

Gambar 3 : Model Tata Guna Lahan menurut Von Thunen

Analisis serupa Von Tunen yang digunakan di kawasan perkotaan,

dilakukan oleh Burges (Barlowe, 1978). Burges menganalogikan pusat

pasar dengan pusat kota (Central Business District atau CBD). CBD

merupakan tempat yang lebih banyak digunakan untuk gedung kantor, pusat

pertokoan, Bank dan perhotelan. Berbeda dengan Von Thunen yang

menggambarkan pola kawasan untuk berbagai komoditi, bagi Burges pola

O

A

A

L K

D

C

B

D’

M

A’ B’ C’

Xi

Xm

Xj

Xn

Land rent

Pusat Kota

Jarak dari Pusat Kota

Keterangan : Xi : Pusat Kota (Permukman) Xj : Areal sawah Xm : Tegalan Xn : Kebun K : Zona Permukman L : Zona Persawahan M : Zona Tegalan A,B,C,D : Nilai Land rent A’,B’,C’D’ jarak dari Pusat Kota

tersebut untuk berbagai kegiatan ekonomi. Asumsi yang dipakai sama,

semakin jauh dengan kawasan CBD, nilai land rent ekonomi kawasan

tersebut semakin kecil, tetapi Burges menekankan pada faktor karak

komutasi ke tempat kerja dan tempat belanja merupakan faktor utama

dalam tata guna lahan di perkotaan. Jadi Burges memusatkan pada tempat

orang bermikim relatip terhadap tempat bekerja dan belanja. Dalam area

konsentrasi Burges, pusat area merupakan CBD, dikelilingi kawasan

industri, kemudian kawasan transisi termasuk didalamnya kawasan kumuh,

tempat bisnis dan pertokoan yang mapan, kemudian kawasan perumahan

kelas rendah. Lingkaran selanjutnya, perumahan menengah dan kelas atas.

Terakhir kawasan pinggiran tempat penglaju (komuter).Untuk lebih jelasnya

lihat Gambar 4.

Sumber: Adisasmita, 1983 (teori-teori lokasi dan pengembangan wilayah)

Gambar 4 : Model Tata guna Lahan menurut Burges

Hoyt (Barlow, 1978) mengemukakan gagasan pengganti konsentrasi

kawasan berdasarkan kedudukan relative tempat kerja dan belanja terhadap

CBD

Industri

Transisi

Perumahan kelas rendah

Perumahan menengah & atas

Komuter

tempat permukiman. Pendekatan sektor menggambarkan jaringan

transportasi yang dianggap homogen oleh Burges, diaplikasikan sesuai

dengan keadaan jalan seperti kondisi jalan di amerika serikat pada waktu

itu. Hasil analisis Hoyt adalah system jaringan transportasi seperti keadaan

sebenarnya, Hoyt menyimpulkan bahwa jaringan transportasi tersebut

mampu memberikan jangkauan yang lebih tinggi dan ongkos yang lebih

murah terhadap kawasan lahan tertentu. Kalau digambarkan dalam bentuk

lingkaran kawasan, hampir sama dengan bentuk Burges. Bedanya model

Hoyt lebih menekankan pada peran jaringan transportasi terhadap suatu

lahan. Faktor jaringan transportasi yang baik akan membuat kawasan

perumahan kelas atas bersambung dengan kawasan CBD. Sedang lahan

yang aksesnya kurang baik, akan dihuni oleh kelompok bawah yang

letaknya di luar lingkaran kawasan grosir dan industri (lihat Gambar 5).

Keterangan Gambar :

1. Daerah Pusat Kegiatan (CBD)

2. Zona Industri

3. Zona Permukiman Kelas Rendah

4. Zona Permukiman Kelas Menengah

5. Zona Permukiman Kelas Tinggi

Sumber: Adisasmita, 1983 (teori -teori lokasi dan pengembangan wilayah)

Gambar 5 : Model Teori Sektor menurut Hoyt

Teori lain yang dapat menjelaskan mengenai penggunaan lahan kota.

adalah teori pusat lipat ganda (Multi Nuclei Theori) yang dikemukakan oleh

Harris dan Ulman (Daldjoeni, 1992). Menurut teori ini suatu kota terdiri dari

beberapa pusat inti perkembangan dan bukan hanya satu seperti halnya

menurul teori Burgess maupun Hoyt. Seliap pusat inti cendrung diwarnai

oleh satu jenis kegiatan seperti pemerintahan, rekreasi, pendidikan,

perdagangan dan lain-lain. Beberapa pusat/inti mungkin sudah berkembang

sejak awal berdirinya kota dan yang lainnya akan muncul dan berkembang

kemudian, yang dapat dilihat pada gambar teori pusat lipat ganda berikut ini.

(Sumber: Daldjoeni, 1992)

Keterangan :

(1) Pusat kota

(2) Kawasan niaga

(3) Kawasan tempat tinggal berkualitas rendah

(4) Kawasan bertempat tinggal berkualitas menengah

(5) Kawasan tempat tinggal berkualitas tinggi

(6) Pusat industri berat

(7) Pusat niaga/perbelanjaan lain dipinggiran

(8) Kawasan madyawisma dan adiwisma (9) Kawasan industri

Gambar 6. Pola Penggunaan Lahan Kota Konsep Teori Pusat Lipat Ganda

Bila dilihat dari segi perkembangan kota, sebenamya ada tiga faktor utama yang

sangat menentukan perkembangan dan pertumbuhan kota yaitu manusia, kegiatan

manusia dan pola pergerakan antar pusat kegiatan manusia yang satu dengan pusat

kegiatan manusia lainya. Menurut Sujarto (1989) ketiga faktor tersebut akan

termanifestasikan pada perubahan akan tuntutan kebutuhan lahan. Faktor manusia

yang berpengaruh terhadap perubahan tersebut menyangkut perkembangan tenaga

kerja, status sosial serta perkembangan kemampuan dan teknologi. Faktor

kegiatan manusia meliputi kegiatan kerja, kegiatan fungsional, kegiatan

perekonomian kota dan kegiatan hubungan regional yang lebih luas, faktor pola

pergerakan adalah akibat dari perkembangan yang disebabkan oleh kedua faktor

perkembangan penduduk disertai dengan perkembangan fungsi kegiatannya akan

memacu pola hubungan antara pusat-pusat kegiatan tersebut.

Teori Alfred Weber

Teori Weber (Barlow, 1978; Glason, 1977) biasa disebut teori biaya terkecil.

Dalam teori tersebut Weber mengasumsikan : (1) Bahwa daerah yang

menjadi obyek penelitian adalah daerah yang terisolasi. Konsumennya

terpusat pada pusat-pusat kegiatan. Semua unit perusahaan dapat

memasuki pasar yang tidak terbatas dan persaingan sempurna. (2) Semua

sumberdaya alam tersedia secara tak terbatas. (3) Barang-barang lainnya

seperti minyak bumi dan mineral adalah sporadic tersedia secara terbatas

pada sejumlah tempat. (4) Tenaga kerja tidak tersedia secara luas, ada yang

menetap tetapi ada juga yang mobilitasnya tinggi.

Menurut Weber ada tiga faktor yang mempengaruhi lokasi industri

yang biaya transportasi, biaya tenaga kerja dan kekuatan aglomerasi. Biaya

transportasi diasumsikan berbanding lurus terhadap jarak yang ditempuh dan

berat barang sehingga titik lokasi yang membuat biaya terkecil adalah bobot

total pergerakan pengumpulan berbagai input dan pendistribusian yang

minimum. Dipandang dari segi tata guna lahan model Weber berguna untuk

merencanakan lokasi industri dalam rangka mensuplai pasar wilayah, pasar

nasional, atau pasar global. Dalam model ini fungsi tujuan biasanya

meminimkan ongkos transportasi sebagai fungsi dari jarak dan berat barang

yang harus diangkut (input dan output). Kritikan atas model ini terutama pada

asumsi biaya transportasi dan biaya produksi yang bersifat konstan, tidak

memperhatikan faktor kelembagaan dan terlalu menekankan pada sisi input.

Teori Land Rent

Land Rent Lokasi dan sektor Ekonomi

Barlow (1978) menggambarkan hubungan antara nilai land rent dan alokasi

sumberdaya lahan diantara berbagai kompetisi penggunaan kegiatan. Sektor -sektor

yang komersial dan strategis mempunyai land rent yang tinggi sehingga sektor sektor

tersebut berada di kawasan strategis. Sebaliknya sektor -sektor yang kurang

mempunyai nilai komersial nilai land rentnya semakin kecil. Land rent disini

diartikan sebagai locational rent. Kalau digambarkan secara grafis, sektor-sektor

yang strategis fungsinya lebih curam. Sebaliknya sektor yang kurang strategis

fungsinya lebih mendatar, seperti tampak dalam Gambar 7.

Sumber : Saefulhakim

Gambar 7. Hubungan antara land rent lokasi pada berbagai sektor ekonomi.

Gambar 5 menjelaskan hubungan antara land rent dengan lokasi

kegiatan ekonomi. Sebagai contoh sektor A paling komersial maka kurvanya

lebih curam, sehingga land rent lebih tinggi yaitu OE. Dalam gambar, lokasi

OP* paling cocok untuk sektor A, sedang daerah lokasi P*P1 bisa saling

bersubstitusi dengan sektor B yang relative kurang komersial dibandingkan

A

B

C

D

Jarak dari Lokasi Pusat(d)

Land Rent (R)

Lokasi Pusat

Land use

Land use B

Land use C Land use D Natural Land Cover

O

E

P*

P1

sektor A itu sendiri. Diluar OP1 tidak cocok untuk sektor A, sebagai contoh

sektor perbankan jelas tidak layak ditempatkan dikawasan yang sepi tetapi

lebih cocok di kawasan komersial dilain pihak didaerah OP* bagi sektor lain

selain sektor A jelas kurang optimal penggunaannya ditinjau dari segi lokasi.

Ilustrasi di atas bias digambarkan dalam betuk model tata guna lahan

lingkaran konsentris (Anwar, 1993) dimana persaingan antara berbagai

kegiatan akan menghasilkan suatu pola tata guna lahan yang berbentuk

lingkaran konsentris seperti tampak dalam Gambar 8 berikut :

Sumber : Yunus, Struktur Tata Ruang Kota, 2001

Gambar 8. Model Tata gunalahan Lingkaran Konsentris

Keterangan : 1. kawasan komersial 2. kawasan industri 3. kawasan perumahan 4. kawasan pertanian

Land Rent dan Pasar Lahan

Lahan dalam kegiatan produksi merupakan salah satu faktor produksi tetap.

Untuk melihat nilai Land Rent dalam teori sumber daya lahan disebut rente

(rent). Menurut Barlow (1978), nilai rente sumber daya lahan dibedakan

menjadi tiga jenis, yaitu sewa kontrak (contrac t rent ), sewa lahan (land rent)

dan nilai rente ekonomi dari lahan (economic rent). Economic rent atau rente

ekonomi didefinisikan sebagai surplus ekonomi merupakan kelebihan nilai

produksi total di atas biaya total (Barlow, 1978; Suparmoko, 1989) Economic

rent diartikan pula sebagai surplus pendapatan di atas harga suplai terkecil

yang terjadi akibat adanya faktor produksi (Robinson, 1933; Boulding, 1966).

Sedang menurut Nasution (1990), land rent merupakan pendapatan bersih

yang diperoleh suatu pelaku ekonomi melalui kegiatan yang dilakukan pada

suatu unti ruang dengan tingkat teknologi dan efisiensi manajemen tertentu

dan dalam suatu kurun waktu tertentu secara formal.

Saefulhakim (2003) mendefinisikan Land Rent sebagai nilai ekonomi bersih yang diberikan oleh suatu jenis penggunaan lahan (Land Use) tertentu, pada suatu bidang lahan dengan luasan tertentu, dalam periode waktu tertentu. Secara matematis, rumusan sederhana (dengan pendekatan constant return to scale baik dari sisi input maupun output), definisi land rent ini dapat ditulis sebagai berikut:

ijij

ijijijijij tA

XcQpr

∆−

= (2)

atau

∆=

∆=

−=

ijij

ijij

ijij

ijij

ijijijijij

tA

Xx

tA

Qq

xcqpr

dan

:mana di (3)

Notasi dalam rumus Persamaan (2) dan (3) di atas dapat dideskripsikan sebagai berikut:

rij : nilai land rent yang diberikan bila sebidang lahan berlokasi di i dikembangkan dengan jenis penggunaan lahan j; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.ha-1.tahun-1

pij : harga pasar (dengan patokan harga setempat: farm-gate price) per unit kuantitas output komoditas barang/jasa yang dihasilkan da ri jenis penggunaan lahan j pada sebidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.ton -1

Qij : total kuantitas output komoditas barang/jasa yang dihasilkan dari jenis penggunaan lahan j pada sebidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam ton

cij : harga pasar (dengan patokan harga setempat: farm-gate price) per unit kuantitas input yang diperlukan oleh jenis penggunaan lahan j yang dikembangkan pada sebidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.kg-1

Xij : total kuantitas input yang diperlukan oleh jenis penggunaan lahan j yang dikembangkan pada sebidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam kg

Aij : luas areal bidang lahan di lokasi i yang dikembangkan dengan jenis penggunaan lahan j; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam ha

∆tij : periode waktu yang dibutuhkan oleh jenis penggunaan lahan j di lokasi i untuk menghasilkan output komoditas barang/jasa seperti yang dimaksud di atas; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam tahun

qij : rataan produktifitas (yield) komoditas barang/jasa output dari jenis penggunaan lahan j pada bidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan ton.ha-1.tahun-1

xij : rataan penggunaan input oleh jenis penggunaan lahan j pada bidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan kg.ha-1.tahun-1

Dengan menggunakan asumsi: (1) patokan harga di lokasi pasar, (2)

pasar output maupun pasar input berada pada lokasi yang sama, (3) antara

lokasi pasar dan lokasi lahan i dengan penggunaan lahan j terpisah sejauh

jarak di j, maka dengan menggunakan pendekatan bahwa biaya satuan

transportasi komoditas output maupun input proporsional terhadap jarak,

rumusan land rent di atas dapat dimodifikasi menjadi sebagai berikut:

( ) ( ) ijijjjijijjjij xdcqdtpr ⋅⋅+−⋅⋅−= τ (4)

di mana:

pj : harga satuan kuantitas output komoditas barang/jasa yang dihasilkan dari jenis penggunaan lahan j di lokasi pasar; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.ton-1

cj : harga satuan kuantitas input untuk jenis penggunaan lahan j, di lokasi pasar; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.kg-1

dij : jarak antara lokasi pasar dan lokasi sebidang lahan i dengan jenis penggunaan lahan j; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam km

tj : biaya satuan transportasi komoditas output penggunaan lahan j; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.ton -1.km-1

τj : biaya satuan transportasi komoditas input penggunaan lahan j; satuan pengukurannya misa lnya dinyatakan dalam Rp.kg-1.km-1

( ) ( ) ijijjjijijjjij xdcqdtpr ⋅⋅+−⋅⋅−= τ

Karena 0≥jp , 0≥jt , 0≥jc , 0≥jτ , 0≥ijd , 0≥ijq , dan 0≥ijx , maka:

0≥=∂∂

ijj

ijq

p

r

Land Rent meningkat dengan adanya kenaikan harga pasar output (komoditas output menjadi langka di pasar).

0≤⋅−=∂

∂ijij

j

ij qdt

r

Land Rent menurun dengan adanya peningkatan tarif angkutan komoditas output (aksesibilitas transportasi output memburuk).

0≤−=∂

∂ij

j

ij xc

r

Land Rent menurun dengan adanya peningkatan biaya produksi.

0≤⋅−=∂∂

ijijj

ijxd

r

τ

Land rent menurun dengan adanya peningkatan biaya transport input.

( ) 0≤+−=∂

∂ijjijj

ij

ij xqtd

Land Rent menurun dengan semakin jauhnya jarak lokasi lahan dari pusat pasar.

0≥⋅−=∂

∂ijjj

ij

ij dtpq

r

Land Rent meningkat dengan semakin tingginya produktifitas komoditas output.

( ) 0≤⋅+−=∂

∂ijjj

ij

ij dcx

Land Rent menurun dengan semakin besarnya kebutuhan input produksi (inefisiensi meningkat).

Kota sebagai Pusat Pertumbuhan dan Konversi Lahan

Kota timbul dan berkembang melalui suatu proses yang oleh Hoteling

disebut proses aglomerasi. Mengumpulnya usaha-usaha sejenis

menimbulkan penghematan-penghematan intern dan ekstern yang

disebabkan terjadinya keuntungan akibat pertukaran, tersedianya berbagai

pasar termasuk pasar capital, tenaga kerja dan sebagainya. Pusat-pusat

kawasan tersebut merupakan sumber pertumbuhan bahkan merupakan

prasarat bagi suatu transisi perekonomian di kawasan pedesaan (rural) yang

umumnya didomonasi sektor pertanian kepada suatu perekonomian yang

maju, dimana terdapat produktifitas yang tinggi dan aktifitas-aktifitas yang

luas.

Aspek kosmopolitikan kota merupakan tempat strategis berbagai

inovasi, input-input vital bahkan merupakan tempat perubahan. Kota

merupakan media penghubung (transmitter) masuknya pemikiran-pemikiran

maupun tindakan yang berasal dari luar.

Sistem transportasi yang dibangun untuk menghubungkan kawasan

kota dengan hinterland merupakan faktor pendorong berkembangnya kedua

kawasan. Melalui proses waktu semakin berkembangnya kota induk akan

mengembangkan kawasan penyangga menjadi kota-kota kecil. Lewat suatu

proses aglo-merasi ganda maka antara kota kota induk dan kota-kota kecil

tersebut bisa saling menyatu. Hal ini menurut Anwar (1994) terjadi karena

faktor transportasi “ketidakmampuan” kota induk memenuhi tuntutan

kebutuhan warganya, terutama dalam menyediakan lahan untuk pemukiman

tempat tinggal dan tempat mereka bekerja. Sehingga kawasan penyangga

menjadi penting baik oleh kemungkinan ketersediaab lahan lingkungan lebih

segar dan lahan-lahan dikota induk menjadi langka, sulit dispst dan mahal

harganya.

Terjadinya aglomerasi ganda serta bergabungnya dua kota yang

didorong oleh perbaikan system transportasi mendodorng terjadinya tata

guna lahan terutama perubahan tersebut menyangkut pengalihan lahan-

lahan pertnian ke penggunaan non pertanian di pinggiran wilayah urban atau

didekat akses transportasi tersebut. Proses terbentuknya kota inti secara

berganda tersebut bisa terjadi untuk ukuran kota yang besar seperti

JABOTABEK, hingga kota-kota kecil dengan kawasan penyangga

disekitarnya. Proses tersebut sangat penting pengaruhnya terhadap pola

perubahan tata guna lahan termasuk perubahan lahan pertanian menjadi

non pertanian. Proses terbentuknya kota ini digambarkan dalam Gambar 9

berikut ;

Sumber: Adisasmita, 1983 (teori-teori lokasi dan pengembangan wilayah)

Gambar 9 : Pembentukan Kota Inti secara Berganda

Proses aglomerasi kota mendorong terjadinya suatu proses yang disebut

spread effect dan back wash effect. Spread effect menunjuk pada dampak

momentum pembangunan yang merugikan secara sentrifugal dari pusat

pengembangan ekonomi ke wilayah-wilayah lainnya. Dorongan tesebut

berbentuk pertambahan permintaan dari daerah yang kaya terhadap

produksi barang dan jasa seperti hasil pertanian , industri rumah tangga dan

sebagainya dari kawasan hinterland tersebut. Sebaliknya melalui proses

1 2

3

4

Jarak dari pusat Jarak dari pusat

Land Rent

Lokasi Pusat

Keterangan : 1. Kawasan Komersial/Finansial 2. Kawasan Industri 3. Kawasan Perumahan 4. Kawasan Pertanian

back wash effect justru terjadi proses penyedotan berbagai faktor input

seperti tenaga kerja potensial, faktor capital bahkan sumberdaya potensial

lain.

Myrdal berkeyakinan bahwa kawasan maju akan mengalami proses

external diseconomics, karena terjadi misorgianisasi, kemacetan lalulintas,

kerusakan lingkungan bahkan kriminalitas semakin meningkat karena

tekanan penduduk yang tinggi. Akibatnya pemukiman-pemukiman golongan

mapan keatas maupun perusahaan membutuhkan kawasan baru yang akan

menjadi kawasan pertumbuhan baru pula.

Seluruh rangkaian proses ini memungkinkan terjadinya relokasi lahan

termasuk lahan sawah khususnya disekitar kawasan pertumbuhan. Karena

lahan-lahan seperti lahan sawah yang land rent persatuan luasnya lebih

rendah, dialokasikan ke sektor lain yang nilai land rent per satuan luasnya

lebih tinggi. Tekanan yang semalin besar terhadap lahan khususnya lahan

pertanian di sekitar kawasan pertumbuhan walaupun merupakan proses

yang wajar tetapi tanpa ada aturan yang jelas tentang siapa memperoleh

siapa dan untuk apa jelas akan besar biaya sosialnya..

Sumberdaya Air

Persediaan air hampir seluruhnya didapatkan dalam bentuk hujan sebagai

hasil dari penguapan air laut. Proses-proses yang tercakup dalam peralihan

uap dari laut ke daratan dan kembali ke laut lagi membentuk apa yang

disebut daur hidrologi.

Daur Hidrologi

Tahap pertama dari daur hidrologi adalah penguapan air dari laut. Uap ini

dibawa di atas daratan oleh massa udara yang bergerak. Bila didinginkan

hingga titik embunnya, maka uap tersebut akan membentuk awan. Dalam

kondisi meteorologis yang sesuai, butiran-butiran air kecil itu akan

berkembang menjadi besar untuk dapat jatuh ke permukaan bumi sebagai

hujan.

Pendinginan massa udara yang besar terjadi karena pengangkatan (lifting).

Berkurangnya tekanan yang diakibatkan akan disertai dengan turunnya

suhu, sesuai dengan hukum tentang gas. Pengangkatan orografis akan

terjadi bila udara dipaksa naik di atas suatu hambatan yang berupa gunung.

Oleh sebab itu, maka lereng gunung yang berada pada arah angin biasanya

menjadi daerah yang berhujan lebat. Udara mungkin pula naik di atas udara

yang lebih dingin. Perbatasan antara massa-massa udara ini disebut

permukaan frontal. Dan proses pengangkatannya disebut pengangkatan

frontal. Akhirnya udara yang dipanaskan dari bawah mungkin naik keatas

dengan berputar menembus udara yang lebih dingin (pengangkatan

pusaran/konvektif) yang menjadi sebab adanya badai pusaran setempat

yang biasa terjadi pada musim panas.

Sekitar 2/3 (dua pertiga) dari presipitasi yang mencapai permukaan

tanah dikembalikan lagi ke udara melalui penguapan dari permukaan air,

tanah dan tumbuh-tumbuhan serta melalui transpirasi oleh tanaman. Sisa

presipitasikembali ke laut melalui saluran -saluran di atas atau di bawah

tanah. Prosentase yang besar dari presipitasi yang menguap sering

menimbulkan bahwa penambahanpenguapan dengan pembangunan waduk

atau penambahan pohon-pohon akan meningkatkan jumlah embun di udara

yang bisa diperoleh untuk presipitasi. Hanya sebagian kecil dari embun yang

melalui suatu titik tertentu dipermukaan bumi yang jatuh sebagai presipitasi.

Oleh karenanya air yang diuapkan dari permukaan tanah hanyalah

merupakan bagian kecil dari keseluruhan air di atmosfir. Daur hidrologi

dilukiskan dalam bentuk bagan pada Gambar 1.

Presipitasi

Definisi presipitasi adalah curahan atau jatuhnya air dari atmosfet ke

permukaan bumi dan laut dalam bentuk yang berbeda, yaitu curah hujan di

derah tropis dan curah hujan serta salju di daerah beriklim sedang (Asdak,

1995). Menurut Linsley dan Franzini, 1979 presipitasi meliputi semua air

yang jatuh dari atmosfir ke permukaan bumi. Presipitasi terjadi dalam

berbagai bentuk yaitu presipitasi cair (curah hujan) dan presipitasi beku

(salju, batu es). Curah hujan yang mengalir segera ke sungai setelah

mencapai tanah, dan menjadi sebab dari sebagian besar banjir. Selain

curah hujan ada tetesan kabut dan embun yang jatuh ke tanah namun

jumlahnya sangat kecil sehingga tidak diperhitungkan.

Tipe Presipitasi

Tipe presipitasi ditentukan atas dasar dua sudut pandang yang berlainan,

yaitu atas dasar genesa (asal mulanya) maupun atas dasar bentuk

presipitasi (Linsley dan Franzini, 1979 dan Seyhan, 1977).

Klasifikasi genetic

Klasifikasi ini didasarkan atas timbulnya presipitasi, faktor-faktor yang

mempengaruhi terjadinya presipitasi yaitu : suhu udara yang lembab, inti

kondensasi (partikel debu, kristal garam, dan lain -lain) dan sarana untuk

menaikan udara yang lembab, sehingga kondensasi dapat berlangsung

sebagai akibat udara yang mendinginkan. Presipitasi berdasarkan klasifikasi

ini dibedakan dalam 3 jenis, yaitu pendinginan siklonik, orografik dan

konvektif.

Klasifikasi bentuk

Presipitasi jenis ini dapat dibedakan dalam dua jenis yait vertikal dan

horizontal.

Presipitasi vertikal terdiri dari :

1. Hujan : Air yang jatuh dalam bentuk tetesan yang dikondensasikan

dari uap air di atmosfir

2. Hujan gerimis : Hujan dengan tetesan yang sangat kecil

3. Salju : Kristal -kristal kecil air yang membeku yang secara langsung

dibentuk uap air di udara bila suhunya pada saat kondensasi kurang

dari 0ºC.

4. Hujan batu es : gumpalan es yang kecil, kebulat bulatan yang

dipresipitasikan selama huja badai

5. Sleet : Campuran hujan dan salju.Hujan ini disebut juga glaze (salju

basah).

Presipitasi Horizontal terdiri dari :

1. Es : Salju yang sanga dipadatkan

2. Kabut : Uap air yang dikondensasikan menjadi partikel-partikel air

halus di dekat permukaan tanah.

3. Embun beku : Bentuk kabut yang membeku diatas permukaan tanah

dan vegetasi.

4. Embun : Air yang diondensasikan sebagai air diatas permukaan tanah

dan vegetasi yang dingin, terutama pada malam hari. Embun ini

menguap pada pagi hari.

5. Kondensasi pada es dalam tanah : Kondensasi juga menghasilkan

presipitasi dari udara basah hangat yang mengalir diatas lembaran es

dan pada iklim sedang didalam beberapa sentimeter bagian atas

tanah.

Evapotranspirasi

Evapotranspirasi adalah proses kembalinya air hujan yang jatuh

kepermukaan bumi baik dari air hujan yang langsung menguap kembali ke

udara (evaporasi) maupun melalui tanaman yang menyerap ait dari dalam

tanah dan menguapkannya kembali ke udara (transpirasi). Evaporasi yang

terjadi di seluruh permukaan bumi mencapai lebih dari setengahnya dari

curah hujanyang jatuh ke permukaan bumi, bahkan pada daerah yang

gersang evapotranspirasi menghabiskan sebagian besar air yang terdapat

dalam situ/danau (Linsley dan Franzini, 1979).

Faktor yang mempengaruhi evapotranspirasi adalah radiasi matahari,

terbukanya stomata daun dan kelembaban tanah (Asdak, 1995).

Pengaruh radiasi matahari terhadap evapotranspirasi adalah melalui proses

fotosintesis, dimana dalam mengatur hidupnya tanaman memerlukan

sirkulasi air melalui sistem akar-batang-daun. Sirkulasi perjalanan air dari

bawah (akar) ke atas (daun) dipercepat dengan meningkatnya jumlah radiasi

matahari terhadap vegetasi. Pengaruh suhu terhadap evapotranspirasi dapat

dikatakan secara langsung berkaitan dengan intensitas dan lama waktu

radiasi matahari. Namun suhu yang besar pengaruhnya terhadap

evaporanspirasi adalah suhu permukaan daun bukan suhu udara

disekitarnya.

Terbukanya stomata daun juga mempengaruhi besarnya evapotranspirasi,

yaitu pada saat proses tebuka dan tertutupnya stomata, pada waktu stomata

terbuka evapotranspirasi akan berjalan lebih cepat proses lamanya stomata

terbuka dipengaruhi oleh suhu udara sekitarnya, oleh karena itu

evapotranspirasi lebih banyak terjadi pada siang hari.

Kelembaban tanah juga mempunyai peran untuk mempengaruhi terjadinya

evapotranspirasi, dimana evapotranspirasi berlangsung ketika vegetasi yang

bersangkutan sedang tidak kekurangan supali air (Penman, 1956 dalam

Asdak, 1995).

Infiltrasi

Infiltrasi adalah proses aliran air (umumnya berasal dari curah hujan) masuk

ke dalam tanah. Perkolasi merupakan kelanjutan aliran air tersebut ke tanah

yang lebih dalam (Asdak 1995). Dengan kata lain infiltrasi adalah aliran air

yang masuk ke dalam tanah sebagai akibat gaya kapiler (gerakan air ke arah

lateral) dan gravitasi (gerakan air ke arah vertikal). Setelah lapisan tanah

bagian atas jenuh, kelebihan air tersebut mengalir ke tanah yang lebih dalam

sebagai akibat gaya gravitasi bumi dan dikenal sebagai proses perkolasi.

Proses terjadinya infiltrasi

Ketika hujan jatuh di atas permukaan tanah tergantung pada biofisik

permukaan tanah, sebagian atau seluruh air hujan tersebut akan mengalir

masuk ke dalam tanah melalui pori-pori permukaan tanah. Proses

mengalirnya air hujan ke dalam tanah disebabkan oleh tarikan gaya gravitasi

dan gaya kapiler tanah. Laju air infiltrasi yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi

dibatasi oleh besarnya diameter pori-pori tanah. Dibawah pengaruh gravitasi,

air hujan mengalir vertikal ke dalam tanah melalui profil tanah.

Mekanisme infiltrasi melibatkan tiga proses yang tidak saling mempengaruhi

(Asdak, 1995) :

1. Prosesnya masuknya air hujan melalui pori -pori permukaan tanah.

2. Tertampungnya air hujan tersebut di dalam tanah.

3. Proses mengalirnya air tersebut ke tempat lain (bawah, samping dan

atas). Meskipun tidak saling mempengaruhi secara langsung, ketiga

proses tersebut di atas saling terkait.

Faktor-faktor penentu infiltrasi

Proses infiltrasi dipengaruhi beberapa faktor antara lain, tekstur dan

struktur tanah, persediaan air awal (kelembaban awal), kegiatan biologi dan

unsur organik dan tumbuhan bawah atau tajuk penutup tanah lainnya. Tanah

yang remah memberikan kapasitas infiltrasi lebih besar daripada tanah liat.

Tanah dengan pori-pori jenuh air mempunyai kapasitas infiltrasi lebih kecil

dibandingkan dalam keadaan kering. Keadaan tajuk penutup tanah yang

rapat dapat mengurangi jumlah air hujan yang sampai ke permukaan tanah,

dengan demikian mengurangi besarnya air infiltrasi. Sementara sistem

perakaran vegetasi dan seresah yang dihasilkannya dapat membantu

menaikan permeabilitas tanah, dan dengan demikian, meningkatkan laju

infiltrasi. Laju infiltrasi ditentukan oleh :

1. Jumlah air yang tersedia dipermukaan tanah.

2. Sifat permukaan tanah

3. Kemampuan tanah untuk mengosongkan air di atas permukaan tanah.

Air yang diterima pada permukaan bumi akhirnya, jika permukaannya tidak

kedap air, dapat bergerak ke dalam tanah secara gravitasi dan kapiler dalam

suatu aliran yang disebut infiltrasi. Terjadinya infiltrasi karena tanah yang

merupakan permukaan bumi mempunyai rongga-rongga yang

memungkinkan dilalui air dan mempunyai kapasitas untuk menyimpan air

dari presipitasi. Kemampuan tanah untuk menyimpan air disebut lengas

tanah. Neraca sederhana air dalam tanah menurut Ward, 1967 (dalam

Asdak, 1995) adalah sebagai berikut :

ÄS = f + c – d – Ea + Äw …………………………………………………… (5)

Dimana :

ÄS = laju perubahan kandungan lengas tanah

f = laju infiltrasi kedalam mintakat air dalam tanah

c = laju kenaikan kapiler dari mintakat jenuh

d = laju drainase kedalam mintakat penjenuhan

Ea = laju evapotranspirasi aktual

Äw = laju perubahan uap air yang berpindah melalui penampang tanah

terutama karena gradien suhu

Limpasan Permukaan

Limpasan permukaan adalah bagian presipitasi (juga kontribusi-

kontribusi permukaan dan bawah permukaan) yang terdiri ats gerakan

gravitasi air da nampak pada saluran permukaan dari bentuk permanen

maupun terputus-putus yang melintas di atas permukaan tanah menuju

saluran sungai (Seyhan, 1977).

Faktor-faktor yang mempengaruhi limpasan

Faktor-faktor yang mempengaruhi volume total limpasan adalah:

- Faktor iklim yang terdiri dari banyaknya presipitasi dan evapotranspirasi

- Faktor DAS yang meliputi ukuran daerah aliran sungai dan tinggi tempat

rata-rata daerah aliran sungai (pengaruh orografis).

Faktor-faktor yang mempengaruhi agihan waktu limpasan adalah :

- Faktor meteorologis yang terdiri dari : Presipitasi (tipe, intensitas, lama

presipitasi, agihan kawasan, agihan waktu, arah gerakan air hujan,

frekwensi terjadinya, presipitasi yang mendahuluinya), radiasi matahari,

suhu, kelembaban, kecepatan angin, tekanan atmosfer, dll.

- Faktor daerah aliran sungai yang meliputi : Topografi (bentuk daerah

aliran sungai, kemiringan daerah aliran sungai) geologi (permeabilitas

dan kapasitas akifer), tipe tanah, vegetasi dan jaringan drainase (tatanan

sungai dan kerapatan drainase).

- Faktor manusiawi, yang terdiri dari : struktur hidrolik, teknik pertanian dan

urbanisasi.

Keterkaitan Pengunaan Lahan dengan Sumberdaya Air

Jenis penggunaan lahan yang berbeda dalam suatu wilayah mempunyai

perlakuan yang berbeda terhadap sumberdaya air, dimana air hujan yang

jatuh diatas permukaan bumi/tanah, sebagian kembali ke udara melalui

proses evapotranspirasi, sebagian meresap kedalam tanah menjadi aliran air

bawah tanah dn sebagian lagi mengalir dipermukaan untuk masuk kedalam

badan penampung air (sungai, situ dll). Perubahan penggunaan tanah yang

dilihat dari penutup tajuk (land cover) akan mengakibatkan perubahan

terhadap air hujan yang meresap kedalam tanah dan air permukaan, suatu

lahan terbuka yang diguakan untuk pertanian atau ruang terbuka hijau

denganland cover vegetasi akan mengalirkan air hujan yang jatuh ke tanah

sebanyak 20% dan 80% lagi meresap kedalam tanah, ketika lahan tersebut

berubah menjadi perumahan maka aliran air permukaan akan meningkat

menjadi 50% dan 50% lagi meresap kedalam tanah dan ketika lahan terbuka

tersebut berubah menjadi kawasan yang padat industri aliran air permukaan

berubah menjadi 80% dan aliran air permukaan berubah menjadi 20%.

Perlakuan lahan terhadap air hujan yang jatuh kepermukaan bumi di nilai

dengan bearnya koefisien air larian (C). Koefisien air larian adalah bilangan

yang menunjukan perbandingan antara besarnya air larian terhadap

besarnya curah hujan. Misalnya C untuk hutan adalah 0,10, artinya 10

persen dari total curah hujan akan menjadi air larian. Angka koefien air larian

makin besar menunjukanbahwa lebih banyak air hujan yang menjadi air

larian, hal ini kurang menguntungkan dari segi pencagaran sumberdaya air

karena besarnya air yang akan menjadi air tanah berkurang, kerugian lain

adalah dengan semakin besarnya air hujan yang menjadi air larian, maka

ancaman terjadinya erosi dan banjir menjadi lebih besar.

Nilai koefisian air larian di sajikan pada tabel dibawah ini.

Tabel 1 . Nilai koefisien Air Larian C, (hasil penelitian U.S. Forest Service 1980)

Tata Guna lahan Koefisien Run -Off (C)

Tata Guna Lahan Koefisien Run -Off (C)

Perkantoran Daerah Pusat Kota Daerah Sekitar Kota Perumahan Rumah Tunggal Rumah susun, terpisah Rumah susun, bersambung Pinggiran kota Daerah Industri Kurang padat industri Padat industri Tanah Kuburan Tempat Bemain Daerah Stasiun KA Daerah Tak Berkembang Jalan Raya Beraspal Berbeton Berbatu bata Trotoar Daerah Beratap

0,70 – 0,95 0,50 – 0,70 0,30 – 0,50 0,40 – 0,60 0,60 – 0,75 0,25 – 0,40 050 – 0,80 0,60 – 0,90 0,10 – 0,25 0,20 – 0,35 0,20 – 0,40 0,10 – 0,30 0,70 – 0,95 0,80 – 0,95 0,70 – 0,85 0,75 – 0,85 0,75 – 0,95

Tanah lapang Berpasir, datar, 2% Berpasir, agak rata, 2-7% Berpasir miring, 7% Tanah berat, datar, 2% Tnh berat,agak rata, 2-7% Tanah berat, miring, 7% Tanah Pertanian,0–30% Tanah Kosong Rata Kasar Ladang garapan Tnh berat, tanpa vegetasi Tnh berat, dngn vegetasi Berpas ir, tanpa vegetasi Berpasir, dngn vegetasi Padang Rumput Tanah Berat Berpasir Huta/bervegetasi Tanah Tidak Produktif, >30% Rata, kedap air Kasar

0,05 – 0,10 0,10 – 0,15 0,15 – 0,20 0,13 – 0,17 0,18 – 0,22 0,25 – 0,35 0,30 – 0,60 020 – 0,50 0,30 – 0,60 020 – 0,50 020 – 0,25 0,10 – 0,25 0,15 – 0,45 0,05 – 0,25 0,05 – 0,25 0,70 – 0,90 0,50 – 0,70

Sumber : Asdak, 2004

METODA PENELITIAN

Daerah penelitian adalah Kota Tangerang, Provinsi Banten dengan

luas wilayah sebesar 183.78 Km². Kota Tangerang secara geografis terletak

antara 6°6’ Lintang Utara sampai dengan 6°13’ Lintang Selatan dan 106°36’

Bujur Timur sampai dengan 106°42’ Bujur Timur dengan batas wilayah :

Sebelah utara dengan Kecamatan Teluk Naga dan kecamatan sepatan

Kabupaten Tangerang.

Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Curug, Kecamatan

Serpong dan Kecamatan pondok Aren Kabupaten Tangerang.

Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Cikupa Kabupaten

Tangerang.

Sebelah timur dengan DKI Jakarta.

Kota Tangerang terdiri dari 13 kecamatan yaitu : Kecamatan Tangerang,

Karawaci, Batuceper, Neglasari, Cipondoh, Pinang, Ciledug, Karang Tengah,

Larangan, Jatiuwung, Cibodas, Periuk dan Kecamatan Benda.

Kerangka pemikiran terjadinya perubahan penggunaan lahan yang

terjadi di daerah penelitian dan perubahan potensi sumberdaya air serta

yang menyebabkan terjadinya kedua perubahan tersebut dapat dilihat pada

Gambar 10 dibawah ini.

Metoda yang digunakan dalam penelitian terdiri dari 2 jenis, yaitu : metoda

untuk analisa perubahan tata guna lahan dan sumberdaya air.

Gambar 11. Diagram Alir Metoda Penelitian

Perubahan penggunaan Lahan

Pembuatan Peta Guna Lahan

Tahap persiapan meliputi tahap studi pustaka dan pengumpulan data yang

meliputi data yang berkaitan dengan penggunaan lahan, data penginderaan

jauh (remote sensing) maupun data penunjang dan peralatan penelitian.

Data penginderaan jauh adalah data hasil perekaman obyek dengan

menggunakan sensor buatan berupa citra foto udara skala 1 : 5.000 maupun

citra satelit skala 1 : 25.000.

Tahap Interpretasi dan uji lapang

Interpretasi dilakukan dengan menggunakan Softcopy Photogrametry yaitu

metoda pemetaan dengan melakukan ploting peta dengan dilatar belakangi

photo imagenya, sehingga foto latar belakang merupakan control terhadap

kelengkapan peta. Cara ini bisa digunakan terhadap citra foto udara maupun

citra satelit.

Uji lapang dilakukan setelah selesai menginterpretasi citra foto, ploting peta

dicocokan dengan kondisi dilapangan sehingga peta penggunaan lahan yang

dibuat sesuai dengan kondisi di lapangan.

Sumber : Ikonos, 2001 Gambar 12. Citra Satelit (Bagian Wilayah Kota Tangerang)

Sumber : Peta Foto, Dinas Pertanahan, 2003

Gambar 13. Foto udara (Bagian Wilayah Kota Tangerang)

Korelasi antar variabel

Analisis data dilakukan secara deskriptif dan tabulasi. Untuk mengetahui

faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan lahan pertanian/ruang terbuka

hijau secara wilayah dicoba menggunakan korelasi sederhana dengan

menggunakan program Microsoft Exel SPSS versi 12 maupun Statistica versi

6. Korelasi antar variabel dilakukan dengan membuat tabulasi data dengan

variabel-variabel yang diperkirakan mempengaruhi pola perubahan

penggunaan lahan. Hasil dari korelasi tersebut menunjukan apakah variabel-

variabel tersebut mempunyai korelasi yang kuat atau lemah dalam

mendorong terjadinya perubahan lahan pertanian atau uang terbuka hijau

menjadi daerah terbangun (built up area). Adanya hubungan yang kuat antar

variabel ditunjukan dengan nilai korelasi yang tinggi. Variabel yang diamati

dalam penelitian ini adalah : Jumlah penduduk, pertumbuhan penduduk,

Kepadatan penduduk, Luas wilayah, Luas ruang terbuka hijau (pertanian),

Luas areal terbangun,Jumlah penduduk yang bekerja pada sektor pertanian

dan Jarak lokasi terhadap lokasi pusat (pusat kota)

Analisis Hidrogeologi

Metodologi yang digunakan dalam penelitian air tanah secara umum dibagi

dalam 2 jenis, yaitu :

Penelitian Langsung dan tidak langsung

Penelitian Tidak Langsung (Prospecting)

Metoda penelitian tidak langsung dengan menggunakan metoda geofisika

yang umum digunakan dalam penyelidikan air tanah adalah metoda

geolistrik. Pengukuran geolistrik dilakukan dengan cara memberikan arus

listrik ke dalam bumi dan kemudian mengamati pengaruh yang

ditimbulkannya. Dalam pengukuran resistivity (tahanan jenis), arus listrik

(ampere) dihantarkan ke bumi melalui 2 elektroda, dan beda potensialnya

(volt) dapat diukur antara 2 elektroda yang lainnya (Gambar 14). Dengan

demikian maka pengukuran ini memberikan besaran tahanan bumi (ohm).

Tujuan pengukuran geolistrik adalah mencoba menduga susunan bawah

permukaan dengan mempelajari sifat-sifat batuan apabila diberikan arus

kepadanya. Ruang pori lapisan yang permeable terisi larutan ionic yang

menghantarkan listrik.

Tahanan jenis listrik suatu bahan dapat dapat didefinisikan sebagai berikut :

……………………………………………………… (6)

ñ = Tahanan jenis bahan (ohm meter) R = Tahanan jenis yang diukur (ohm) L = Panjang (meter) A = Luas penampang material (m²)

ñ = R A L

dimana :

…………………………………………………………. (7)

sehingga :

…………………………………………………… (8)

V = Beda Potensial (Volt) I = Kuat Arus yang melalui bahan (ampere)

Gambar 14 Material/bahan yang dilalui oleh arus listrik

Sedangkan untuk konduktivitas merupakan hantaran jenis yang dinyatakan dengan persamaan berikut :

……………………………………………………..(9)

……………………………………………………..(10)

J = Rapat Arus

ó = Hantaran Jenis E = Medan Listrik

ó = 1

ñ

R = V

I

ñ = A L

V

I

Ä V

L

I

ó = J

E

……………………………………………………..(11)

……………………………………………………..(12)

Berdasarkan hal yang mempengaruhi besarnya nilai tahanan jenis sebagai berikut :

1. Jenis batuan (sedimen, beku dan metamorf) jika batuan tersebut

mengandung air, maka tahanan jenisnya akan lebih rendah, dan

menjadi makin rendah jika air yang dikandung lapisan batuan

mempunyai kadar garam yang tinggi, hal ini meliputi pula salinitas

(kadar garam).

2. Faktor kondisi geologi setempat yang mengontrolnya, berbeda antara

satu tempat dengan tempat yang lain.

3. Perbedaan lapisan batuan, baik dari segi ketebalan, tekstur dan

komposisinya.

4. Temperatur.

5. Permeabilitas atau kemampuan suatu lapisan (batuan) meluluskan air

yang dicirikan dengan adanya pori-pori yang saling berhubungan.

Tabel 2. Hubungan jenis batuan terhadap besar butir, porositas dan kelulusan

Batuan

Butir (mm)

Porositas

(%)

Angka Kelulusan Air (Permeability)

(m³/hari) Lempung Lanau Pasir sangat halus Pasir halus Pasir sedang Pasir kasar Konglomerat

0,01

0,01 – 0,04 0,05 – 0,10 0,10 – 0,20 0,25 – 0,45 0,50 – 0,95 1,00 – 5,00

45 – 55 40 – 50

30 – 40

30 - 40

0,01

0,05 – 0,80 1,20 – 40,00 5,00 – 20,00

30,00 – 100,00 125,00 – 450,00

500,00 – 1.200,00

J = I

A

E = V

L

Sumber : Soewali dkk, 1981

Parameter tahanan jenis (ñ) batuan merupakan nilai yang didapat dari hasil

pengukuran. Fenomena ini tidak tergantung pada komposisi mineral yang

menyusun batuan saja, tetapi lebih tergantung kepada porositas dan

kandungan air di dalam pori-pori batuan. Untuk memperoleh gambaran

mengenai hal tersebut di atas, berikut disajikan gambar grafis yang

memperlihatkan hubungan nilai tahanan jenis dengan kadar garam (Gambar

15)

Sumber : Utomo, E.P dkk, 1981 Gambar 15. Hubungan Antara Tahanan Jenis dan kadar Garam dalam

Air yang dikandung Batuan)

Tabel 3. Nilai Tahanan Jenis batuan

Tahanan Jenis (Ù m) Jenis Tanah dan Batuan

Basah

Kering

Soil (Tanah) Lempung Pasir, Kerikil

10 5 50

50

100 1.000

Tahanan Jenis

500

100

10

1,0

0 10 1.00 10.00 Kadar Garam

Air Tawar dalam

Batas Air

Air Asin (Air

Batugamping, batupasir Konglomerat Batuan beku

20 – 100

1.000

500

1.000

Sumber : Utomo dkk, 1981

Gambar 16. Skema alat ukur Tahanan Jenis (Geolistrik)

Gambar 17. Pengukuran Tahanan Jenis (Geolistrik) dilapangan

Secara garis besar air tanah dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) bentuk,

yaitu air tanah bebas dan air tanah tertekan (artesis).

Air tanah bebas adalah air tanah yang terjadi dimana air hujan yang jatuh

dipermukaan tanah sebagian akan meresap melalui pori-pori atau rekahan

pada tanah dan batuan sampai pada suatu kedalaman tertentu dimana

batuan telah jenuh air. Bagian ini disebut zona penjenuhan (zone of

saturation) yang merupakan suatu batas dimana air tanah berkumpul. Batas

atasnya sebagai permukaan air tanah.

Masukan informasi yang dibutuhkan berupa kemiringan lahan, kerapatan

sungai, ketebalan tanah, jenis batuan dasar dan keadaan air tanahnya.

Ketebalan tanah memberikan informasi, bahwa makin tebal tanah makin

mempunyai kemungkinan besar untuk keterdapatn air tanah bebas, jika

Alat Permukaan Tanah

Arus (I)

Beda Potensial (V)

dibandingkan dengan batuan dasar. Jenis batuan akan mempengaruhi

adanya air tanah. Batuan sedimen berbutir kasar dan kadang-kadang

Batugamping mempunyai kemungkinan besar untuk dapat mengandung air

tanah bebas.

Air tanah tertekan dapat terjadi apabila lapisan pembawa air (akifer) terapit

oleh dua lapisan batuan yang kedap air ( impermeable).

Terdapatnya artesis tergantung pula padajenis batuan dan struktur geologi

yang mengontrolnya. Batuan yang yang makin bersifat lulus air, maka batuan

tersebut makin tinggi kemungkinan untuk terdapatnya air tanah secara

umum. Penyebaran batuan batuan baik tegak maupun mendatar, struktur

geologi, arah kemiringan lapisan, lipatan dan patahan (sesar) akan

mencerminkan keberadaan air tanah artesis.

Metoda penelitian terhadap akifer secara langsung dengan pemboran inti.

Pemboran inti (Core drilling) efektif digunakan untuk mengetahui susunan

lapisan dari atas ke bawah secara utuh. Dengan menggunakan mata bor

intan (diamond bit) lapisan yang berada dibawah permukaan tanah akan

diambil dengan batang bor kemudian lapisan berbentuk silinder yang berda

di batang bor disimpan dalam sebuah kotak dan disusun berdasarkan

kedalaman, berbeda dengan pengukuran geolistrik jenis lapisan ditentukan

berdasarkan interpretasi nilai tahanan jenis, dalam pemboran inti jenis

lapisan (batuan) bisa ditentukan secara langsung berdasarkan sifat-sifat fisik

batuan untuk batuan sedimen perbedaan lapisan diketahui berdasarkan

ukuran butir.

Hidrologi

Perubahan tata guna lahan akan berpengaruh pada neraca air,

dimana makin bertambahnya kawasan terbangun akan bepengaruh

terhadap berkurangnya air hujan yang meresap kedalam tanah,

dengan demiian aliran air permukaan akan meningkat, karena curah

hujan dan evapotranspirasi dianggap tetap tidak terpengaruh oleh

perubahan penggunaan lahan. Variabel yang dianalisis dalam

pnghitungan neraca air meliputi Curah Hujan (Presipitasi), Laju

Penguapa (Evapotranspirasi), Air yang meresp ke dalam tanah

(Infilrasi) dan Limpasan air permukaan (Run Off).

Presiptasi

Presipitasi biasaya dinyatakan sebagai kedalaman cairan yang

berakumulasi di atas permukaan bumi bila seandainya tidak terdapat

kehilangan . Pengukuran presipitasi dapat dilakukan dengan

menggunakan alat pengukur presipitasi yang didasarkan atas suatu

kombinasi dua pendekatan (seyhan), yatu :

1. Penakar hujan bukan pencatat

Penakar hujan bukan pencatat diletakan di tanah, terdiri dari :

penakar hujan baku (standard), penakar hujan penympan 9atau

penjumlah), penakar hujan searas tanah, Penakar hujan acuan

internasional (International Reference Precipitation Gauge), RADAR

(Radio Detecting and Ranging)

2. Penakar hujan Otomatik (pencatat)

Semua penakar hujan otomatik akan mencatat data (dalam hal ini

jumlah hujan) secara kontinu (interval 1 menit, 5 menit, 10 menit dll)

maupun secara berkala pada beberapa macam grafik, pita berlubang,

pita magnetic, film, sinyal-sinyal listrik dll.

Pemantauan presipitasi dapat dilakukan dengan 3 cara :

a. Pemantauan hujan di tanah, dapat dilakukan dengan

menggunakan alat penakar :

- Penakar hujan otomatik tipe pelampung

- Penakar hujan otomatik tipe penimbangan

- Penakar hujan otomatik tipe ember tupah

- Penginderaan jauh.

b. Pemantauan presipitasi dari udara (penginderaan jauh), terdiri dari

- Kamera

- Penyaring Gambar (Sanners)

- Radar

- Radiometer gelombang mikro

c. Pemantauan presipitasi dari ruang angkasa (penginderaan jauh)

Evapotranspirasi

Penaksiran evapotranspirasi dapat dilakukan dengan berbagai

metoda, metoda yang digunakan untuk menghitung evapotranspirasi

dalam penelitian ini adalah berdasarkan rumus Turc dan Langbein.

Pada tahun 1952 hidrolog Perancis Turc mengembangkan metoda

untuk menghitung evapotranspirasi aktual tahunan rata-rata dengan

menggnakan data yang didapatkan pada 254 daerah aliran sungai di

seluruh dunia. Rumus tersebut adalah :

........................................ ...... (13)

E = P

0,9 + P²

[L(T)]² [ ] ½

L(T) = 300 + 25(T) + 0,05 (T)³ .............................................. (14)

Dimana :

E : Evapotranspirasi actual rata-rata tahunan (mm/tahun)

P : Presipitasi rata-rata tahunan (mm/tahun)

L (T) : Fungsi Temperatur

T : Temperatur rata-rata tahunan (°C)

Pada tahun 1949 Langbein (AS) mengembangkan hal yang sama

dengan Turc untuk menaksir evapotransprasi berdasarkan besarnya

curah hujan dan temperatur udara suatu wilayah.

Limpasan Permukaan (Surface Run-Off)

Setelah mengetahui besar evapotranspirasi maka air limpasan

permukaan dan air yang meresap ke dalam tanah (infiltrasi) bisa dihitung

dengan cara curah hujan dikurangi oleh evapotranspirasi maka sisanya

adalah air yang mengalir ke permukaan bumi, air yang jatuh kepermukaan

tanah sebagian meresap kedalam tanah menjadi aliran air tanah dan

sebagian mengalir dipermukaan dan asuk ke dalam sungai. Untuk

menghitung besarnya surface run off didekati dengan menggunakan tabel

koefisien run off hasil penelitian yang dilakukan oleh U.S. Forest Service

dengan menggunakan rumus :

RO = (P – ET) x C x A .............................................. (15)

dimana :

RO = Surface Run Off (m3/tahun)

P = Curah hujan (m/tahun)

ET = Evapotranspirasi (m/tahun)

C = Koefisien run off

A = Luas lahan (m2)

Infiltrasi

Sama halnya dengan perhitungan run off, Untuk menghitung besarnya

infiltrasipun didekati dengan menggunakan tabel koefisien run off hasil

penelitian yang dilakukan oleh U.S. Forest Service dengan menggunakan

rumus :

F = (P – ET) x (1 – C) x A .......................................................... (16)

dimana :

F = Infiltrasi (m3/tahun)

P = Curah hujan (m/tahun)

ET = Evapotranspirasi (m/tahun)

C = Koefisien run off

A = Luas lahan (m2)

Analisis Penentuan Harga Air

Analisis penentuan harga air ditujukan untuk mendapatkan biaya

pengelolaan sumberdaya air meliputi biaya pemeliharaan, biaya konservasi

serta biaya jasa pengelolaan air. Selain itu pembiayaan dimaksudkan untuk

menciptakan insentif ekonomi penggunaan sumberdaya air yang lebih efisien

sebagai upaya menghindari kelangkaan sumberdaya air.

Diantara tata cara penghitungan nilai manfaat air (NIMA) telah

dilakukan oleh Kimpraswil. Tata cara penghitungan pada prinsipnya adalah

jumlah komponen biaya dalam satuan waktu dibagi dengan jumlah

pengambilan air dalam satuan waktu yang sama. Hasil bagi tersebut

menghasilkan tariff penggunaan air permeter kubik. Komponen biaya dalam

perhitungan itu adalah:

a. Biaya ekploitasi dan pemeliharaan (E& P)

b. Biaya Depresiasi

c. Biaya amortisasi; yakni konsep alokasi harga perolehan harta tetap tidak

berwujud dan harga perolehan harta sumberdaya alam

d. Biaya tidak langsung atau overhead.

Perhitungan tarif air yang dilakukan oleh NIMA dengan memasukan

konsep sisi penyediaan air dimana disamping biaya E&P juga dimasukan

biaya penyediaan sarana dan prasarana penyediaan air berupa historical

cost, kemudian juga biaya perlindungan sumberdaya air, sehingga semua

biaya penyediaan air baku dimasukan ke dalam perhitungan. Jadi total

biaya dibagi dengan volume potensi air dalam wilayah sungai akan

memberikan petunjuk besaran angka mampu pulih air, besaran inilah yang

disebut dengan NIMA oleh Kimpraswil

Perhitungan nilai manfaat air yang dikeluarkan oleh pihak

Kimpraswil adalah berikut:

Vs

LSMn

Vs

P

.

.1

. αα

++

= ………………………………. (17)

dimana:

P = Penyediaan air atau dalam hal ini adalah supply air baku

Vs = Jumlah ketersediaan air dalam satuan wilayah sungai (m3/ tahun)

n = Jumlah umur ekonomis prasarana bangunan irigasi (dalam

tahun)

M = Nilai investasi pembangunan sarana pengairan untuk

kemanfatan umum dari sumberdaya air (Rp/ tahun)

S = Jumlah pengeluaran operasional dan pemeliharaan bangunan

prasarana pengairan yang ditujukan untuk mendukung

keseimbangan antara ketersediaan dan permintaan air dalam

setiap tahun (Rp/tahun).

L = Jumlah pengeluaran aktifitas dan invenstasi yang ditujukan untuk

mendukung kelestarian air dan sumberdaya air. (Rp/ tahun)

á = Faktor Pengali.

Maka dapat dihitung nilai pemanfaatan air baku dari PJT II oleh para

penggunanya yakni, dimana harga air baku PJT II itu akan menjadi:

Vs

LSMn

Vs

P

.

.1

. αα

++= …………………………………… (18)

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

Kondisi Fisik KotaTangerang

Wilayah Kota Tangerang dilintasi oleh oleh Sungai Cisadane yang

membagi Kota Tangerang menjadi 2 (dua) bagian, yaitu bagian timur dan

bagian barat sungai. Wilayah bagian timur meliputi Kecamatan Tangerang,

Kecamatan Neglasari, Kecamatan Batuceper, Kecamatan Benda,

Kecamatan Pinang, Kecamatan Cipondoh, Kecamatan Ciledug, Kecamatan

Karang Tengah dan Kecamatan Larangan, sedangkan di bagian barat

meliputi Kecamatan Karawaci, Kecamatan Jatiuwung, Kecamatan Cibodas

dan Kecamatan Periuk (Gambar 18 ).

Topografi

Kota Tangerang sebagian besar berada pada ketinggian 10 – 30 m dpl

(diatas permukaan laut), sedangkan bagian utaranya (meliputi sebagian

besar Kecamatan Benda) ketinggiannya berkisar antara 6 – 10 m dpl. Selain

itu di Kota tangerang pun terdapat daerah-daerah yang mempunyai

ketinggian lebih dari 30 m dpl yaitu pada bagian selatan Kecamatan Ciledug

dan Kecamatan larangan.

Dilihat dari kemiringan tanahnya, sebagian besar Kota Tangerang

mempunyai tingkat kemiringan tanah 0 – 3 % dan sebagian kecil (bagian

selatan kota) kemiringan tanahnya antara 3 – 8 %. Adanya daerah yang

cukup landai merupakan potensi yang cukup besar bagi pembangunan dan

pengembangan kota. Selain itu kondisi yang cukup landai dan dibeberapa

lokasi terdapat cekungan-cekiungan kecil yang potensial menimbulkan

masalah khususnya dalam masalah tata air, hal ini terbukti dengan adanya

daerah rawan genangan dimana tercatat 49 titik banjir (Gambar 19).

Hidrologi

Seperti telah diuraikan diatas bahwa Kota Tangerang dilintasi oleh Sungai

cisadane yang membelah kota menjadi 2 (dua) bagian. Selain Sungai

Cisadane di Kota Tangerang pun terdapat pula sungai-sungai lain seperti

Sungai Cirarab yang merupakan batas sebelah barat Kecamatan Jatiuwung

dan Kecamatan Periuk dengan Kecamatan Pasar Kemis di Kabupaten

Tangerang Kali Ledug yang merupakan anak Sungai cirarab, Kali Sabi dan

Kali Cimone, sungai -sungai tersebut berada di sebelah barat Sungai

Cisadane, sedangkan dibagian timur Sungai Cisadane terdapat pula kali

Angke, Kali Pembuangan Cipondoh, Kali Wetan (Anak Kali Angke), Kali

Cantiga (Anak Kali Angke) Kali pondok Bahar (Anak Kali Cantiga). Selai

Sungai/Kali di Kota Tangerang terdapat pula saluran saluran air yang

meliputi ; Saluran Mookervart, Saluran Induk Irigasi Tanah Tinggi, Saluran

Induk Cisadane Barat, Saluran Induk Cisadane Timur dan Saluran Induk

cisadane Utara.

Keberadaan Sungai Cisadane yang melintas di tengah kota ini

dirasakan sekali fungsi dan peranannya baik bagi Kota Tangerang maupun

bagi kota-kota sekitarnya. Fungsi dan peranan Sungai Cisadane

dimaksudkan diatas meliputi pemenuhan kebutuhan air bagi kegiatan

perkotaan, kegiatan pertanian dan industri.

Hidrogeologi

Berdasarkan penelitian hidrogeologi yang dilakukan oleh Departemen

PU yang bekerjasama dengan IWACO dan WASECO tahun 1990

hidrogeologi wilayah Kota Tangerang didominasi oleh akifer produktif dengan

penyebaran luas yang terdapat debagian barat Kota tangerang yang meliputi

Kecamatan Jatiuwung, Periuk, Cibodas dan Karawaci serta sebagian wilayah

timur di Kecamatan Ciledug, Larangan, Karang Tengah dan sebagian kecil

Kecamatan Cipondoh. Akifer produktif sedang dengan penyebaran luas

menempati bagian utara dari Kota Tangerang yang meliputi Kecamatan

Neglasari, Benda dan sebagian kecamatan Batuceper. Akifer produktifitas

kecil dengan penyebaran lokal (setempat) terdapat di Kecamatan Cipondoh,

Pinang dan sebagian Batuceper (Gambar 20).

Hasil penyelidikan hidrogeologi yang dilakukan oleh Sukrisna, A,

Murtianto, E dan Ruchijat, S dari Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan

Kawasan Pertambangan, Departemen Energi dan Sumberdaya Lingkunan

dalam sistem cekungan air tanah wilayah Kota Tangerang terdapat dua

sistem cekungan air tanah, pada wilayah bagian barat Kota Tangerang

(sebelah barat Sungai Cisadane) termasuk dalam Cekungan air Tanah

Tangerang-Serang, sedangkan di wilayah timur Kota tangerang (sebelah

timur Sungai Cis adane) termasuk dalam Cekungan air Tanah Jakarta.

Cekungan air tanah Tangerang – Serang mempunyai jumlah aliran air tanah

bebas sebesar 1.075 juta m 3 /tahun dan aliran air tanah tertekan sebesar 18

juta m3 /tahun. Cekungan air tanah Jakarta dengan jumlah aliran air tanah

bebas sebesar 803 juta m3 /tahun dan aliran air tanah tertekan sebesar 40

juta m3 /tahun (Gambar 21).

Sumber : Peta Hidrogeologi Kabupaten Tangerang, IWACO-WASECO, 1990

Gambar 20. Peta Hidrogeologi Kota Tangerang

Keterangan :

Q1 Aliran Air tanah

bebas

Q2 Aliran air tanah

tertekan

Keterangan :

Akifer Produktif Sed ang

Akifer Produktif

Akifer Produktif Kecil

Sumber : Peta cekungan Air Tanah Lembar Banten, 2003

Gambar 21. Peta Cekungan Air Tanah Kota Tangerang

Iklim

Suhu udara di Kota Tangerang berkisar antara 21 – 33,7 °C, curah hujan

untuk sebagian besar Kota tangerang berkisar antara 1.500 – 2.000 mm per

tahun dan sebagian kecil curah hujannya < 1.500 mm per tahun yaitu di

Kecamatan Benda di bagian utara. Jumlah hari hujan maksimal 150 hari

hujan dan jumlah hari hujan minimum 90 hari.

Geologi dan Jenis Tanah

Kondisi geologi Kota Tangerang terbentuk oleh Tuf Banten yang merupakan

batuan vulkanik dan Aluvial. Tuf Banten (QTvb) mendominasi geologi Kota

Tangerang yang didominas i oleh Tuf, Tuf Batuapung dan Batupasir Tufaan

sedang endapan Aluvial (Qa) yang terdiri dari Lempung, Lanau, Pasir,

Kerikil, Kerakal dan Bongkah berada di sepanjang Sungai Cisadane, Kali

Angke, Kali sabi, kali Cirarab, Situ Cipondoh dan di bagian utara Kota

Tangerang, Kipas Aluvial (Qav) yang terdiri dari Tuf halus berlapis,Tuf

Pasiran yang berselingan dengan Tuf konglomeratan mengisi wilayah bagian

utara Kota Tangerang sekitar Bandara Soekarno-Hatta (Kecamatan Benda).

Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada Gambar 22.

Dilihat dari jenis tanahnya sebagian besar Kota Tangerang

mempunyai jenis tanah Asosiasi Latosol merah/Latosol merah kecoklatan,

sedangkan di sekitar Sungai cisadane mempunyai jenis tanah Aluvial kelabu.

Selain kedua jenis tanah tersebut pada bagian sebelah timur bandara

mempunyai jenis tanah Asosiasi Glei Humus rendah dan Aluvial kelabu

Sumber : Peta geologi lembar Jakarta (Direktorat Geologi Tata Lingkungan)

Keterangan :

Qa

Qav

QTvb

QTpss

QTpg

Aluvium

Kipas Aluvium

Tuff Banten

Formasi Serpong

Formasi Genteng

Gambar 22 : Kondisi Geologi Kota Tangerang

Kondisi Soial

Kependudukan

Jumlah dan Sebaran Penduduk

Pada tahun 2001 jumlah penduduk Kota Tangerang berjumlah 1.336.213

jiwa dan pada tahun 2003 berjumlah 1.493.698 jiwa. Selama periode

tersebut jumlah penduduk Kota Tangerang bertambah 157.485 jiwa. Selam

periode tersebut Kota Tangerang memeiliki laju pertumbuhan sebesar 5,73

%. Untuk lebih jelasnya mengenai laju pertumbuhan penduduk Kota

Tangerang dapat dilihat pada Tabel 4, Gambar 23 dan Gambar 24.

Tabel 4 : Jumlah dan Perkembangan Penduduk Kota Tangerang

Penduduk (Jiwa) No Kecamatan 2001 2002 2003

LPP (%)

1 Ciledug 95.004 99.010 106.943 6,10 2 Larangan 119.515 126.039 136.137 6,73

3 Karang Tengah 84.642 88.208 95.275 6,10

4 Cipondoh 133.592 133.921 134.207 0,23 5 Pinang 105.682 111.451 120.380 6,73 6 Tangerang 93.841 96.542 101.194 3,84 7 Karawaci 147.886 155.959 168.454 6,73 8 Cibodas 119.789 126.328 136.449 6,73 9 Jatiuwung 119.703 126.237 136.351 6,73 10 Periuk 102.237 107.818 116.456 6,73 11 Neglasari 82.335 85.775 92.647 6,08

12 Batuceper 72.410 75.308 81.342 5,99 13 Benda 59.576 62.828 67.862 6,73

Jumlah 1.336.213 1.395.424 1.493.698 5,73 Sumber : Kota Tangerang Dalam Angka, 2003 (Bapeda, 2004)

Jatiuwung9%

Karawaci12%

Tangerang7%

Pinang8%

Cipondoh9%

Karang Tengah6%

Larangan9%

Cibodas9%

Periuk8%

Neglasari6%

Batuceper5%

Benda5%

Ciledug7%

Sumber : Kota Tangerang Dalam Angka, 2003 (Bapeda)

Gambar 23 : Prosentase Jumlah Penduduk Kota Tangerang Tahun 2003

0

1

23

4

5

6

78

Cile

dug

Lara

ngan

Kar

ang

Tenga

h

Cip

ondo

h

Pin

ang

Tange

rang

Kara

waci

Cib

odas

Jatiu

wun

g

Per

iuk

Negla

sari

Batu

ceper

Ben

da

Kecamatan

LP

P (

%)

Keterangan : LPP = Laju pertumbuhan Penduduk

Sumber : Kota Tangerang Dalam Angka Tahun 2003 (Bapeda)

Gambar 24 : Grafik Laju Pertumbuhan Penduduk Tahun 2001 – 2003

Dari tabel dan gambar di atas dapat dilihat bahwa jumlah penduduk

Kecamatan Tangerang pada tahun 2003 sebesar 7 % dari jumlah penduduk

keseluruhan Kota Tangerang. Laju perkembangan penduduk selama tiga

tahun tidak terlalu pesat, yaitu dengan LPP 3,38 %. Angka ini merupakan

angka LPP yang per tengahan dari LPP kecamatan yang ada.

Kepadatan Penduduk

Kepadatan penduduk Kota Tangerang pada tahun 2003 adalah 91 jiwa/ha.

Kepadatan tertinggi terdapat di Kecamatan Larangan dengan kepadatan 145

jiwa/ha sedangkan kepadatan terendah terdapat di Kecamatan Pinang

dengan kepadatan 56 jiwa/ha. Untuk lebih jelasnya mengenai kepadatan

penduduk Kota Tangerang dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 25..

Tabel 5 : Kepadatan Penduduk Kota Tangerang Tahun 2003

No Kecamatan Penduduk (Jiwa)

Luas (Ha)

Kepadatan (Jiwa/ha)

1 Ciledug 106.943 877 122 2 Larangan 136.137 940 145 3 Karang Tengah 95.275 1.047 91 4 Cipondoh 134.207 1.791 75 5 Pinang 120.380 2.159 56 6 Tangerang 101.194 1.579 64

122145

9175

56 64

125142

95122

58 70

26

0

20

40

60

80

100

120

140

160

Kep

adat

an (J

iwa/

Ha)

Ciledu

g

Laran

gan

Karang

Ten

gah

Cipond

oh

Pinang

Tang

erang

Karaw

aci

Ciboda

s

Jatiu

wung

Periuk

Neglas

ari

Batuc

eper

Benda

Kecamatan

7 Karawaci 168.454 1.348 125 8 Cibodas 136.449 961 142 9 Jatiuwung 136.351 1.441 95 10 Periuk 116.456 954 122 11 Neglasari 92.647 1.608 58 12 Batuceper 81.342 1.158 70 13 Benda 67.862 2.561 26

Jumlah 1.493.698 18.378 81 Sumber : Kota Tangerang dalam Angka, 2003, Bapeda, 2004

Sumber : Kota Tangerang Dalam Angka Tahun 2003 (Bapeda, 2004)

Gambar 25 : Grafik Kepadatan Penduduk Kota Tangerang Tahun 2003

Dari tabel dan gambar di atas dapat dilihat bahwa kepadatan penduduk

Kecamatan Tangerang adalah 64 jiwa/ha. Kepadatan tersebut di bawah rata-

rata kepadatan Kota Tangerang.

Struktur Penduduk

Struktur penduduk Kota Tangerang terdiri dari stuktur penduduk menurut

penduduk menurut umur, jenis kelamin, dan agama.

Struktur Penduduk Menurut Umur

Berdasarkan data tahun 2003 Kota Tangerang, jumlah penduduk menurut

kelompok umur yang tertinggi jumlahnya adalah kelompok umur 25 - 29

tahun sebesar 189.880 jiwa atau 0,13 % dari total jumlah penduduk

sedangkan kelompok umur terendah jumlahnya adalah kelompok umur 70 -

74 sebesar 14.130 jiwa atau 0,01 % dari total jumlah penduduk. Untuk lebih

jelasnya penduduk menurut umur dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 24.

Jika dilihat penduduk menurut usia produktif dan non produktif Kota

Tangerang, Penduduk usia produktif (usia 15-64 tahun) di Kota Tangerang

berjumlah 1.056.456 jiwa terdiri dari perempuan 539.940 jiwa dan laki-laki

516.515 jiwa. Sedangkan penduduk usia non produktif Kota Tangerang

berjumlah 437.243 jiwa terdiri dari perempuan 205.495 jiwa dan laki-laki

231.748 jiwa.

Tabel 6 : Jumlah Penduduk Menurut Umur Kota Tangerang Tahun 2003

Umur (Jiwa) No

Kelompok Umur Laki-Laki Perempuan

Jumlah (Jiwa)

1 0 - 4 68.559 73.286 141.845

2 5 - 9 63.672 74.826 138.498 3 10 - 14 57.370 69.021 126.391

4 15 - 19 57.235 74.341 131.576 5 20 - 24 83.158 97.774 180.932 6 25 - 29 94.055 95.825 189.880

7 30 - 34 88.207 75.649 163.856

8 35 - 39 61.315 54.206 115.521 9 40 - 44 52.253 42.725 94.978

10 45 - 49 38.093 27.468 65.561

11 50 - 54 27.491 18.455 45.946

12 55 -59 16.158 11.894 28.052 13 60 - 64 13.433 10.506 23.939

14 65 - 69 8.545 7.675 16.220

15 70 - 74 7.455 6.675 14.130 16 75+ 8.440 7.941 16.381

Jumlah 745.435 748.263 1.493.698 Sumber : Kota Tangerang dalam Angka 2003 (Bapeda, 2004)

0 50.000 100.000 150.000 200.000

Jumlah Penduduk

0 - 4

5 - 9

10 - 14

15 - 19

20 - 24

25 - 29

30 - 34

35 - 39

40 - 44

45 - 49

50 - 54

55 -59

60 - 64

65 - 69

70 - 74

75+

Kel

om

po

k U

mu

r

Sumber : Kota Tangerang Dalam Angka, 2003 (Bapeda, 2004) Gambar 26 : Grafik Penduduk Kota Tangerang Berdasarkan Kelompok Umur Tahun

2003

Struktur Penduduk Menurut Jenis Kelamin

Pada tahun 2003, jumlah penduduk menurut jenis kelamin terdiri dari laki-laki

745.435 jiwa atau 49,50 % dari total penduduk sedangkan perempuan

748.263 jiwa atau 50,09 % dari total penduduk Kota Tangerang. Untuk lebih

jelasnya mengenai jumlah penduduk menurut jenis kelamin dapat dilihat

pada Gambar 27.

745.435

748.263

744.000

744.500

745.000

745.500

746.000

746.500

747.000

747.500

748.000

748.500

JU

ML

AH

PE

ND

UD

UK

LAKI-LAKI PEREMPUAN

JENIS KELAMIN

Sumber : Kota Tangerang dalam Angka, 2003 (Bapeda, 2004) Gambar 27 : Jumlah Penduduk Kota Tangerang Menurut Jenis Kelamin

Kondisi Ekonomi

Dalam melihat pertumbuhan ekonomi dan tingkat keberhasilan daerah maka

salah satu indikator adalah PDRB. PDRB merupakan salah satu indikator

makro untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi dan tingkat

keberhasilan pembangunan suatu daerah. Oleh karena itu untuk melihat

perkembangan ekonomi Kota Tangerangakan melihat perkembangan PDRB

Kota Tangerang.

PDRB atas dasar harga berlaku pada tahun 1999 sebesar 13.524.637 juta

rupiah dan pada tahun 2003 sebesar 21.078.365 juta rupiah atau meningkat

sekitar 0,56 %.

Sumber pendapatan terbesar terdapat pada sektor industri sebesar

12.576.533 juta rupiah dan sumber pendapatan terkecil terdapat pada sektor

perikanan. Dilihat dari PDRB bahwa yang mempunyai sumber pendapatan

terbesar adalah dari sektor industri, perdagangan, hotel dan restoran

sedangkan sumber pendapatan terkecil adalah sektor pertanian. Untuk lebih

jelasnya mengenai PDRB atas harga harga konstan dapat dilihat pada Tabel

7 dan Tabel 8.

Sumber pendapatan Kota Tangerang berasal dari :

1. Sektor Primer, yaitu sektor yang tidak mengolah bahan mentah atau

bahan baku melainkan mendayagunakan sumber-sumber.

2. Sektor sekunder, yaitu sektor yang mengolah bahan mentah atau bahan

baku baik yang berasal dari sektor primer maupun dari jasa-jasa.

Kelompok sektor ini adalah sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas,

dan air minum, dan sektor konstruksi.

3. Sektor tersier atau dikenal sebagai sektor jasa yang tidak memproduksi

dalam bentuk fisik melainkan dalam bentuk jasa. Kelompok sektor ini

adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran, pengangkutan dan

komunikasi, barik dan lembaga keuangan lainnya, dan lainnya.

Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang selama periode 1999-

2002 yang digambarkan oleh PDRB atas harga berlaku pada tahun 1999 –

2002 mengalami peningkatan. Pada tahun 2002 mengalami peningkatan

sebesar 9,53 %. Untuk PDRB atas dasar harga konstan pada tahun 1999 –

2002 mengalami penurunan pada tahun -0,31 %. Untuk lebih jelasnya dapat

dilihat pada Tabel 9.

Tabel 7 : Produk Domesti Regional Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 (Juta Rupiah) Tahun 1998-2002

Sumber : PDRB 2002 (Bapeda, 2003) No Lapangan Usaha 1998 1999 2000 2001 2002

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan

21.183 21.087 20.428 20.172 20.820

a. Tanaman bahan makanan 18.182 17.982 17.814 17.635 18.140 b. Tanaman perkebunan 445 450 97 15 16 c. Peternakan dan hasil-hasilnya 2.182 2.267 2.407 2.497 2.638 d. Kehutanan - - - - - e. Perikanan 374 388 110 25 26

2 Pertambangan dan Penggalian - - - - -

a. Minyak dan gas bumi (migas) - - - - - b. Pertambangan tanpa migas - - - - - c. Penggalian - - - - -

3 Industri Pengolahan 3.057.471 3.124.788 3.289.052 3.378.424 3.542.509 a. Industri Migas - - - - - b. Industri Tanpa Migas 3.057.471 3.124.788 3.289.052 3.378.424 3.542.509

4 Listrik, Gas, dan Air Bersih 92.316 98.223 104.917 112.071 120.187 a. Listrik 84.167 89.394 95.741 102.058 109.212 b. Gas Kota - - - - - c. Air Bersih 8.149 8.829 9.176 10.013 10.975

5 Bangunan 104.190 102.939 103.618 104.354 109.874

6 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 1.401.153 1.465.377 1.540.618 1.625.467 1.730.071 a. Perdagangan besar dan eceran 1.313.280 1.373.561 1.443.887 1.523.463 1.619.654 b. Hotel 11.414 12.123 13.117 13.962 14.934 c. Restoran 76.459 79.693 83.614 88.042 95.483 7 Pengangkutan dan Komunikasi 692.605 697.156 732.082 775.195 807.276 a. Pengangkutan 652.009 652.874 684.966 726.055 752.028 1. Rel 1.889 1.945 2.020 1.724 1.838 2. Angkutan jalan raya 142.143 153.984 161.441 167.635 176.867 3. Angkuatan laut - - - - -

4. Angkutan sungai dan penyeberangan - - - - -

5. Angkutan udara 362.780 336.549 361.054 389.579 424.326 6. Jasa penunjang angkuatan 145.197 151.615 160.451 167.117 176.382 b. Komunikasi 40.596 44.282 47.116 49.140 55.248

8 Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan

148.807 150.627 93.889 55.601 72.969

a. Bank 27.219 24.257 41.337 89.826 82.187 b. Lembaga Keuangan Lainnya 6.193 6.676 7.143 7.681 8.054 c. Sewa Bangunan 79.799 81.634 87.431 94.114 101.378 d. Jasa Perusahaan 35.596 38.060 40.652 43.632 45.724

9 Jasa-Jasa 162.452 168.233 174.989 181.321 190.488 a. Pemerintahan Umum 55.564 56.322 57.060 57.865 61.732 b. Swasta 106.888 111.911 117.929 123.456 128.756 1. Sosial kemasyarakatan 43.907 46.322 48.925 50.584 53.739 2. Hiburan dan rekreasi 1.339 1.358 1.407 1.482 1.565 3. Perorangan dan rumah tangga 61.642 64.231 67.597 71.410 76.587

Jumlah 5.680.177 5.828.430 6.059.593 6.252.605 6.594.194

Tabel 8 : Produk Domestik Regional Bruto Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 (prosentase) Tahun 1998 -2002

No Lapangan Usaha 1998 1999 2000 2001 2002

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan

-26,61 -0,45 -3,13 -1,25 3,21

a. Tanaman bahan makanan 21,51 -1,10 -0,93 -1,00 2,86 b. Tanaman perkebunan -79,45 1,12 -78,44 -84,54 6,67 c. Peternakan dan hasil-hasilnya -80,72 3,90 6,18 3,74 5,65 d. Kehutanan - - - - - e. Perikanan -10,98 3,74 -71,65 -77,27 4,00 2 Pertambangan dan Penggalian - - - - - a. Minyak dan gas bumi (migas) - - - - - b. Pertambangan tanpa migas - - - - - c. Penggalian - - - - -

3 Industri Pengolahan 3,37 3,37 5,26 2,72 4,86 a. Industri Migas - - - - - b. Industri Tanpa Migas 1,01 2,20 5,26 2,72 4,86

4 Listrik, Gas, dan Air Bersih -13,86 6,40 6,82 6,82 7,24 a. Listrik -13,96 6,21 7,10 6,60 7,01 b. Gas Kota - - - - - c. Air Bersih -12,84 8,34 3,93 9,12 9,61

5 Bangunan -48,70 -1,20 0,66 0,71 5,29

6 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 4,59 4,59 5,13 5,51 6,44 a. Perdagangan besar dan eceran 6,21 6,21 5,12 5,51 6,31 b. Hotel 4,23 4,23 8,20 6,44 6,96 c. Restoran 0,77 0,77 4,92 5,30 8,45

7 Pengangkutan dan Komunikasi 0,13 0,13 5,01 5,89 4,14 a. Pengangkutan 2,96 2,96 4,92 6,00 3,58 1. Rel 8,33 8,33 3,86 -14,65 6,61 2. Angkutan jalan raya 8,33 8,33 4,84 3,84 5,51 3. Angkuatan laut - - - - -

4. Angkutan sungai dan penyeberangan

- - - - -

5. Angkutan udara -32,42 -7,23 7,28 7,90 8,92 6. Jasa penunjang angkuatan 4,42 4,42 5,83 4,15 5,54 b. Komunikasi 11,00 11,00 6,40 4,30 12,43

8 Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan

1,22 1,22 -37,67 -40,78 31,24

a. Bank -68,39 -10,88 -

270,41 117,30 -8,50

b. Lembaga Keuangan Lainnya 7,80 7,80 7,00 7,53 4,86 c. Sewa Bangunan 2,30 2,30 7,10 7,64 7,72 d. Jasa Perusahaan -9,09 6,92 6,81 7,33 4,79

9 Jasa-Jasa 8,03 3,56 4,02 3,62 5,06 a. Pemerintahan Umum 14,19 1,36 1,31 1,41 6,68 b. Swasta 5,09 4,70 5,38 4,69 4,29 1. Sosial kemasyarakatan 0,26 5,50 5,62 3,39 6,24 2. Hiburan dan rekreasi -29,60 1,42 3,61 5,33 5,60 3. Perorangan dan rumah tangga 10,04 4,20 5,24 5,64 7,25

Jumlah -7,55 2,61 3,97 3,19 5,46 Sumber : PDRB Kota Tangerang, 2002

Tabel 9 : Pertumbuhan PDRB Kota Tangerang Tahun 1999-2002

Harga Berlaku Harga Konstan 1993 Tahun

PDRB Kenaikan (%) PDRB Kenaikan

(%) 1999 11.617.592 5,89 4.598.812 0,05

2000 12.354.524 6,34 4.619.487 0,45

2001 13.582.198 9,94 4.668.621 1,06

2002 14.877.236 9,53 4.654.221 -0,31

Sumber : PDRB 2002 (Bapeda, 2003)

Kondisi Sarana dan Prasarana

Gambaran mengenai prasarana perkotaan yang di Kota Tangerang secara

garis besar akan membahas mengenai pengelolaan dan penyediaan air

bersih, pengelolaan air limbah/sanitasi lingkungan, pengelolaan sampah, dan

jaringan drainase.

Pengelolaan dan Penyediaan Air Bersih

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan menunjukkan bahwa

dari keseluruhan penduduk di wilayah Kotamadya Tangerang pada tahun

2003 yang menggunakan sumur pompa 55 %, sumur pantek dan air hujan

23 %, dan sumur perpipaan PDAM sebesar 22 %. Sumber PDAM terdiri dari

• Kapasitas produksi 155 lt/detik PDAM Kota, 740 l/dt PDAM Kabupaten

dan 50 l/dt PDAM Swasta.

• Jumlah sambungan 8.516 unit (kota), 35.657 unit (kabupaten)

• Kebocoran 21,33 % (kota), 43,8 % (kabupaten)

A. Sistem Perpipaan

Wilayah pelayanan air bersih perpipaan di Kota Tangerang dilayani oleh

3 (tiga) Institusi, yaitu :

a) PDAM Kabupaten Tangerang

Dengan wilayah pelayanan Kecamatan Tangerang dan kecamatan

Jatiuwung. Sistem ini terbagi atas 3 cabang yaitu:

• Cabang Babakan, menggunakan Instalasi Pengolahan Air (IPA)

Babakan dengan kapasitas 80 liter/detik dan IPA Cikokol kapasitas

500 dan 100 l/detik. Dengan daerah pelayanan meliputi wilayah

pusat kota.

• Cabang perumnas I, menggunakan IPA Perumnas kapasitas 40

dan 20 liter/detik, serta IPA Cikokol dengan kapasitas 500 dan 100

liter/detik, dengan daerah pelayanan meliputi wilayah Perumnas I.

• Cabang Perumnas II, menggunakan IPA Cikokol kapasitas 500

dan 100 liter/detik, dengan daerah pelayanan meliputi Pusat Kota,

yaitu Tangerang, Bandara Soekano – Hatta, sebagian wilayah

Serpong dan wilayah Perumnas.

Total kapasitas terpasang sekitar 740 liter/detik. Sumber air baku

adalah Sungai Cisadane dengan kapasitas produksi sekitar 647

liter/detik yang didistribusikan dengan sistem pemompaan. Total

kapasitas terdistribusi 633 liter/detik dan yang terjual sekitar 356

liter/detik dengan penduduk terlayani sekitar 229.000 jiwa atau sekitar

16% penduduk Kota Tangerang.

Pendistribusian 3 (tiga) cabang sistem penyediaan air bersih tersebut

dilakukan secara terpadu, yaitu pipa distribusi antar masing-masing

cabang pelayanan saling berhubungan, sehingga air yang dihasilkan

IPA Cikokol akan interkoneksi dengan air yang dihasilkan dari IPA

Babakan dan IPA Perumnas I.

b) PDAM Kota Tangerang

Wilayah pelayanan air bersih PDAM Kota Tangerang yaitu Kecamatan

Batuceper dan Benda, dengan kapasitas terpasang saat ini sekitar

150 l/detik yang telah selesai pembangunannya baru terpakai ± 25

liter/detik, sedangkan sisanya masih dalam tahap konstruksi.

c) Jaringan Yang Dikelola Oleh Swasta

Pihak swasta membangun IPA kapasitas 100 liter/detik, dengan

memakai Sungai Cisadane sebagai sumber air baku. Direncanakan

PDAM Kota Tangerang akan bekerja sama dengan pihak swasta

untuk melayani air bersih di Kelurahan Pabuaran Tumpeng dan

Kelurahan Bugel sekitar jalan Moh. Toha di Kecamatan Karawaci

dengan memanfaatkan pipa distribusi milik PDAM.

Dalam rangka meningkatkan pelayanan, PDAM Kota Tangerang

merencanakan akan mengadakan kerjasama dengan pihak swasta

yaitu memanfaatkan sisa kapasitas dari IPA yang dimiliki swasta

sebesar 30 liter/detik dari total kapasitas yang dimiliki sebesari 100

l/idetik. Pihak swasta belum memiliki jaringan pipa distribusi, sehingga

selama ini penjualan air dilakukan dengan menggunakan mobil tangki.

PDAM Kotamadya Tangerang direncanakan akan memasang jaringan

pipa distribusi untuk menyalurkan air bersih dari IPA swasta yang

melayani Kelurahan Pabuaran Tumpeng dan Kelurahan Bugel sekitar

jalan M. Toha Kecamatan Tangerang.

B. Air Bersih Non Perpipaan

Untuk daerah yang belum terlayani oleh air bersih sistem perpipaan maka

dalam memenuhi kebutuhan akan air bersih yaitu dengan memanfaatkan

air tanah melalui sumur gali atau sumur dangkal.

System pelayanan air bersih non perpipaan ini biasanya ada dalam

lingkungan permukiman perkampungan penduduk. Cara yang digunakan

adalah melalui pengeboran sumur dangkal, atau memanfaatkan

keberadaan sungai.

Pengelolaan Drainase

A. Kondisi Eksisting Saluran Drasinase

Kota Tangerang berada pada ketinggian 0 – 30 m diatas permukaan

laut, kemiringan lahan antara 0% - 3% dan curah hujan antara 1500 –

2000 mm/tahun. Kawasan drainase Kotamadya Tangerang mencakup ±

7.300 Ha atau ± 88% dari luas wilayah terbangun.

Sistem drainase makro Kota Tangerang meliputi 4 buah sungai yang

melintasi wilayah kota, berikut sebagai badan air penerima dari sistem

drainase kota yaitu :

1. Sungai Cisadane,

2. Sungai Angke,

3. Sungai Cirarab,

4. Sungai Sabi,

Keempat sungai diatas mempunyai daerah tangkapan air yang cukup

luas dengan muara ke sebelah utara dan berakhir di laut Jawa. Selain

sungai yang berfungsi sebagai badan air penerima tersebut diatas

adalah Situ Cipondoh yang berfungsi sebagai tandon air seluas 126 Ha.

Sistem jaringan drainase di Kota Tangerang dibagi menjadi 2, yaitu :

• Sistem drainase makro/drainse alam, yaitu sungai dan anak-anak

sungai yang berfungsi sebagai badan air penerima.

• Sistem drainase Mikro meliputi saluran primer, sekunder dan tersier

dengan total pajang saluran ± 192.763 m.

Melihat kondisi eksisting yang ada yaitu : topografi yang relatif datar

berakibat air hujan tidak bisa cepat mengalir, curah hujan pertahunnya

yang cukup tinggi serta kondisi saluran drainase (primer, sekunder dan

tersier) ada yang kondisinya buruk terutama saluran sekunder yang

mencapai 52% dari panjang saluran sekunder yang ada maka dapat

disimpulkan bahwa KotaTangerang mempunyai potensi genangan.

B. Daerah Rawan Genangan

Akibat dari kondisi eksisting saluran drainase yang ada, maka genangan

menjadi masalah utama di Kota Tangerang dengan luas genangan

sekitar 180,5 Ha tersebar di 49 lokasi pada kawasan permukiman dan

jalan. Hal tersebut dirasakan sebagai suatu maslah mengingat genangan

menimbulkan rusaknya alam danmengganggu kualitas lingkungan

permukiman.

Beberapa wilayah tergenang sampai 72 – 120 jam dengan tinggi

mencapai 1,5 m dan wilayah lainberkisar antara 3 – 48 jam dengan tinggi

genangan 0,3 – 1 m.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perubahan Penggunaan Lahan

Perubahan penggunaan lahan yang terjadi dari ruang terbuka hijau

menjadi areal terbangun. Pada umumnya terjadi dari areal perkebunan dan

pertanian menjadi areal perumahan/permukiman, industri dan perdagangan

serta jasa. Dari tahun 1959 sampai dengan tahun 2003 perubahan lahan dari

ruang terbuka hijau menjadi areal terbangun mencapai 245% atau arata-rata

5,57% pertahun (Gambar 28, Gambar 29 dan Tabel 10) Luas lahan

terbangun pada tahun 1959 baru mencapai 37,18 ha atau 20% dari luas

wilayah, sedangkan luas lahan belum terbangun (ruang terbuka hijau)

mencapai 148,7 ha atau 80% dari luas wilayah. Dimana pada tahun 1959

pengunaan lahan di Kota Tangerang didominasi oleh perkebunan karet,

kebun sayuran dan umbi-umbian dan pertanian lahan basah (sawah) Hal ini

dapat dilihat pada Gambar 28. Pada tahun 2003 luas lahan terbangun

mencapai 128,26 ha atau 69% dariluas wilayah dan lruang terbuka hijau

seluas 57,62 ha atau 31% dari luas wilayah.

Dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2003 perubahan lahan dari

ruang terbuka hijau menjadi areal terbangun mencapai 23,6% atau rata-rata

2,36% pertahun. Perubahan penggunaan yang tinggi terjadi antara akhir

tahun 70-an sampai dengan tahun 1997, sedang dari tahun 1997 saat terjadi

krisis moneter yang berdampak pada krisis ekonomi sampai 2004 berjalan

lambat. Pada tahun 1999 pola penggunaan lahan sudah berubah dimana

perumahan/permukiman, industri dan ruang terbuka hijau mempunyai

dominasi yang hampir sama yang mengisi fisik ruang wilayah Kota

Tangerang (Gambar 29). Luas lahan terbangun pada tahun 1994

mencapai 103,77 ha atau 55,83% dari luas wilayah dan Ruang terbuka hijau

seluas 82,11 ha atau 44,17% dari luas wilayah.

Tabel 10. Perbandingan luas Lahan Terbangun dengan Ruang Terbuka Hijau di Kota Tangerang

PENGGUNAAN LAHAN

TAHUN 1959

(A)

TAHUN 1994

(B)

TAHUN 2003

(C) Areal terbangun Ruang Terbuka hijau

37,18 ha (20%) 14,7 ha (80%)

103,77 ha (55,83%) 82,11 (44,17%)

128,26 (69%) 57,62 ha (31%)

Sumber : (A) Peta dasar AMS Tahun 1959 (B) RTRW Kota Tangerang Tahun 1994 (C) Tangerang Dalam Angka Tahun 2004

Perubahan lahan dari lahan pertanian menjadi lahan industri

sebagian besar terjadi di Kecamatan Jatiuwung, Periuk, Karawaci dan

Batuceper, sedang di Kecamatan Benda kecil (Gambar 30 dan Tabel 10).

Pada tahun 1959 tidak ada lahan industri, luas lahan terbangun untuk

industri pada tahun 1994 seluas 916,25 Ha, sedangkan tahun 2003

mencapai 2.172 Ha atau 11,9% dari luas wilayah.

Perubahan lahan dari pertanian dan permukiman menjadi lahan

perdagangan dan jasa terjadi di pusat kota dan koridor jalan arteri dan

kolektor primer. Luas lahan terbangun untuk perdagangan dan jasa sampai

saat ini mencapai 367 Ha atau 2,01% dari luas wilayah kota (Gambar 30

dan Tabel 11).

Perubahan lahan dari pertanian ke perumahan/permukiman terjadi di

seluruh wilayah kota terutama di wilayah timur (kecamatan Ciledug, Karang

Tengah, Larangan) yang berbatasan degan Jakarta. Luas lahan terbangun

untuk perumahan dan fasilitasnya mencapai 8.465 Ha atau 46,4% dari luas

wilayah (Tabel 11).

Tabel 11 : Penggunaan Lahan Kota Tangerang Tahun 1999

KECAMATAN CILEDUG1) CIPONDOH2) TANGERANG3)

NO JENIS GUNA LAHAN

Luas(Ha) % Luas(Ha) % Luas(Ha) % A Kawasan Lindung 1 Situ Cipondoh 0 0,00 126 3,28 0 0,00 B Kawasan Budidaya I Lahan Terbangun

1.1 Perumahan, Fasos dan Fasum

2.000 74,43 1.772 46,19 2.003 61,59 1.2 Industri 0 0,00 106 2,76 436 13,41 1.3 Bandara Soekarno - Hatta 0 0,00 0 0,00 0 0,00 1.4 Perdagangan dan Jas a 75 2,79 64 1,67 155 4,77 1.5 Militer 0 0,00 0 0,00 0 0,00 1.6 Jalan 12 0,45 17 0,44 49 1,51 II Lahan Non Terbangun

2.1 Pertanian dan Ruang Terbuka

600 22,33 1.841 47,99 462 14,21 2.2 Lapangan Golf 0 0,00 36 0,94 111 3,41 2.3 Kuburan 0 0,00 0 0,00 36 1,11

Jumlah 2.687 100,00 3.836 100,00 3.252 100,00

KECAMATAN JATIUWUNG4) BATUCEPER5) BENDA

KOTA

NO

JENIS GUNA LAHAN

Luas (Ha) % Luas % Luas % Jml % A Kawasan Lindung 1 Situ Cipondoh 0 0,00 0 0,00 0 0,00 126 0,69 B Kawasan Budidaya I Lahan Terbangun

1.1 Perumahan, Fasos dan 1.199 33,0 850 45,1 655 22,1 8.479 46,41.2 Industri 1.299 35,8 300 15,9 31 1,05 2.172 11,91.3 Bandara Soekarno - Hatta 0 0,00 0 0,00 1.969 66,4 1.969 10,71.4 Perdagangan dan Jasa 55 1,52 18 0,96 0 0,00 367 2,01 1.5 Militer 50 1,38 0 0,00 0 0,00 50 0,27 1.6 Jalan 10 0,28 12 0,64 0 0,00 100 0,55 II Lahan Non Terbangun

2.1 Pertanian dan Ruang 1.013 27,9 649 34,4 309 10,4 4.874 26,72.2 Lapangan Golf 0 0,00 0 0,00 0 0,00 147 0,81 2.3 Kuburan 0 0,00 55 2,92 0 0,00 91 0,50

Jumlah 3.626 100, 1.884 100, 2.964 100, 18.24 100,Sumber : RTRW Kota Tangerang,(Bapeda, 2000) Keterangan : 1)

Meliputi Kecamatan Karang Tengah dan Larangan 2)

Meliputi Kecamatan Pinang 3) Meliputi Kecamatan Karawaci 4) Meliputi Kecamatan Cibodas dan Periuk 5) Meliputi Kecamatan Neglasari

45%12%

11%

2%0%1%

27%

1%1%0%

Perumahan, Fasos dan Famum IndustriBandara Soekarno - Hatta Perdagangan dan JasaMiliter JalanPertanian dan Ruang Terbuka Situ CipondohLapangan Golf Kuburan

126

18.249

0

5000

10000

15000

20000

Lu

as P

eman

faat

an L

ahan

(H

a)

Kawasan Lindung Kawasan Budidaya

Sumber : Tabel 11 Gambar 30. Proporsi Jenis Penggunaan Lahan Kota Tangerang Tahun 1999

Sumber : Tabel 11 Gambar 31. Perbandingan Kawasan Lindung dengan Kawasan Budidaya

Tahun 1999

Perumahan

Guna lahan untuk kegiatan perumahan dan permukiman termasuk

penggunaan yang paling dominan dalam pemanfaatan lahan terbangun

kegiatannya dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu :

Ø Perumahan yang tumbuh dan berkembang tidak tertata dalam skala

ruang yang relatif kecil atau yang lazim disebut perkampungan.

Ø Perumahan yang tumbuh dan berkembang dibangun secara massal oleh

perusahaan atau lembaga pengembang dalam skala ruang yang relatif

besar dengan berbagai kelengkapan fasilitas sosial yang umumnya

disebut kompleks perumahan.

Masing-masing kegiatan perumahan mempunyai pola sebaran berbeda.

Untuk perkampungan yang berada di sekitar pusat kota pada umumnya

menunjukkan pola sebaran menerus merapat, sedangkan di lokasi-lokasi

lainnya yang relatif jauh dari pusat kota pada umumnya mempunyai pola

cluster, sedangkan kompleks perumahan pada umumnya pola

pengembangannya tidak menerus dan menyesuaikan terhadap luas dan

bentuk lahan yang berhasil dibebaskan.

Perdagangan dan Jasa

Kegitan perdagangan dan jasa dari segi pemanfaatan lahan tersebar di

berbagai bagian wilayah kecamatan, tetapi pemanfaatan yang dominan

untuk keg iatan ini berada di pusat kota dan sebagian tumbuh pada koridor

jalan utama. Dilihat dari segi pengelompokkannya pada suatu lokasi maka

dapat dikenali adanya pengelompokkan kegiatan sebagai berikut :

Kegiatan perdagangan dan jasa yang teraglomerasi dan relatif luas, berada

di pusat kota dan dominan memanfaatkan lahan di lokasi tersebut sehingga

membentuk kawasan fungsional perdagangan dan jasa. Kegiatan ini berada

pada lokasi :

Sepanjang koridor Jalan Ki Asnawi – Pasar Anyar dan sekitarnya – dan Ki

Samaun

Koridor Jalan Gatot Subroto – Jalan Merdeka dan Terminal Cimone

1. Kegiatan perdagangan dan jasa yang memanfaatkan lokasi strategis, meliputi :

• Kegiatan pasar baik tradisional maupun modern/shopping centre

• Kegiatan perdagangan dan jasa yang tumbuh pada simpul pergerakan yang

menghubungkan beberapa kawasan perumahan, seperti pasar Bengkok dan

sebagainya.

• Kegiatan yang mengelompok di sekitar Terminal Pasar Baru dan berbagai

kegiatan perdagangan dan jasa yang tumbuh pada penggal Jalan M. Toha –

Jalan Merdeka

2. Kegiatan perdagagan dan jasa yang tumbuh sepanjang koridor jalan, seperti :

• Koridor Jalan MH. Thamrin – Serpong Raya

• Koridor Jalan Raya Ciledug – Kebayoran Lama DKI Jakarta, yang

membentuk koridor komersial terpanjang di Tangerang, sejak dari awal Jalan

Hos Cokroaminoto hingga Cipulir/over pas Kebayoran Lama Jakarta.

Termasuk pada koridor ini banyak dipenuhi kegiatan perdagangan dan jasa

oleh pelaku sektor informal sebagai pedagang kaki lima.

3. Kegiatan perdagangan dan jasa pada skala kegiatan yang lebih kecil, tumbuh di

pusat-pusat blok perumahan seperti ruko pertokoan eceran dan warung-warung.

Kegiatan ini hampir tersebar merata di setiap kelurahan/perkampungan maupun

komplek perumahan.

Untuk lebih jelasnya , sebaran kegiatan perdagangan dan jasa yang ada di Kota

Tangerang dapat dilihat pada Gambar 32.

Fasilitas pelayanan umum berupa pasar tradisional masih tetap menjadi tumpuan

kegiatan yang relatif besar perkembangannya dan semakin menarik bagi para

investor lokal. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya bentuk pengelolaan yang

dikelola oleh Dinas Pasar dan yang dikelola swasta.

a. Pasar yang dikelola oleh Dinas Pasar di Kota Tangerang diantaranya :

1. Pasar Anyar

2. Pasar Cikokol

3. Pasar Ciledug

4. Pasar Malabar

5. Pasar Bandeng (Perumnas I)

6. Pasar Gerendeng

7. Pasar Jatiuwung (Cibodas)

8. Pasar Ramadhani (Pasar Baru)

b. Pasar – pasar lain disamping kedelapan pasar tersebut, yang pengelolaannya

bukan oleh Dinas Pasar namun milik perseorangan atau perumahan. Pasar-

pasar tersebut mengelola baik administrasi pasar maupun masalah kebersihan

dilaksanakan sendiri tanpa melalui koordinasi dengan Dinas Pasar.

Kegiatan Industri

Kegiatan industri sebagai motor utama perekonomian Kota Tangerang

sebagian besar sebarannya terdapat di Kecamatan Jatiuwung, Batuceper,

Kecamatan Tangerang dan sebagain kecil di Kecamatan Cipondoh. Kegiatan

industri ini mayoritas berlokasi di pada koridor Jalan Daan Mogot-Batuceper

sedangkan sebagian lagi pada koridor Sungai Cisadane-Jalan Imam Bonjol-

Jalan M.H Thamrin. Kegiatan Industri di Kota Tangerang dapat dikatagorikan

sebagai :

1. Zona Industri

Yaitu suatu kawasan yang diperuntukkan dominasinya untuk kegiatan

industri dan dikembangkan berdasarkan perizinan secara individual

sesuai dengan tingkat kebutuhan. Zona ini yang paling dominan, seperti

pada koridor Jalan Daan Mogot, sebagian di Kecamatan Tangerang dan

Kecamatan Jatiuwung.

2. Kegiatan Industri Rumah Tangga (Home Industri)

Kegiatan ini sesuai dengan kegiatan sebagai industri rumah tangga,

hanya memanfaatkan ruang di kawasan lainnya seperti perumahan,

perdagangan dan jasa, ruang terbuka bantaran sungai, lahan pertanian

dan sebagainya. Kegiatan ini pada umumnya dilakukan tanpa izin lokasi,

namun selama belum menimbulkan gangguan masih dibiarkan tumbuh

dan berkembang. Khususnya bagi kegiatan informal industri ini yang

berada di bantaran Sungai Cisadane perlu pengarahan dan pengawasan

ruang yang lebih ketat.

Sedangkan untuk kegiatan home industri yang cenderung teraglomerasi

seperti industri pakaian jadi seperti di Cipadu – Ciledug perlu diarahkan

dan ditata pengembangannya agar dapat menimbulkan daya tarik

investor dan tidak menimbulkan konflik terhadap kegiatan lainnya.

Untuk lebih jelasnya mengenai sebaran lokasi industri, dapat dilihat pada

Gambar 33.

Pesatnya perkem bangan Kota Tangerang tidak terlepas dari

perkembangan Jakarta sebagai Pusat Kegiatan Nasional, terjadinya

perubahan kebijakan dalam pengisian fisik ruang di Jakarta berpengaruh

langsung terhadap wilayah hinterlandnya, termasuk Kota Tangerang.

Ketidakmampuan Kota Jakarta untuk menampung segala aktifitas

perekonomian dan hunian bagi penduduk yang bekerja di Jakarta

menyebabkan Kota Tangerang sebagai salah satu wilayah penyangga yang

menjadi alternative untuk menampung limpahan kegiatan perekonomian

maupun hunian bagi penduduk yang bekerja di Jakarta.

Pertambahan dan jumlah penduduk bagi Kota Tangerang bersifat

dilematis khususnya terhadap kebutuhan dan ketersediaan lahan. Pertama

kebutuhan terhadap lahan merupakan hal yang tidak bisa ditawar sehingga

lahan merupakan komoditi politik. Semakin besar pertumbuhan maupun

jumlah penduduk semakin besar pula kebutuhan dan ketergantungan

terhadap lahan. Hal ini bisa dimaklumi kebutuhan terhadap lahan tidak bisa

digantikan oleh komoditi lain. Di lain pihak pertumbuhan dan jumlah

penduduk yang besar pertumbuhan dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi

yang tingi, berarti kebutuhan akan lahan termasuk lahan pertanian untuk

permukiman, industri, sarana prasarana serta perdagangan da jasa semakin

besar. Oleh karena persediaan lahan (supply) dalam suatu wilayah adalah

tetap konflik persaingan penggunaan lahan akan semaikn besar, sehingga

tekanan terhadap konversi lahan pertanian dan ruang terbuka hijau lainnya

sebagai lahan resapan air akan semakin besar pula.

Secara teoritis pertumbuhan ekonomi yang tinggi cenderung

menyebabkan beberapa sektor ekonomi tumbuh dengan pesat, hal ini

merupakan sumber pergeseran alokasi lahan . Kondisi ini wajar karena land

rent persatuan luas yang diperoleh dari aktivitas baru lebih tinggi dari yang

dihasilkan pada lahan pertanian.

Secara teoritis kalau nilai produksi sector pertanian relatif tinggi

terhadap PDRB keseluruhan konversi lahan pertanian masih akan lambat.

Suatu wilayah yang mempunyai akses kuat baik jaringan transportasi yang

memungkinkan mobilitas barang dan jasa tinggi maupun system pasar

penuh distorsi, cenderung akan lebih memihak kepada investor komersial

dan memilih swasembada pangan dinamis yang sifatnya relative. Artinya

wilayah tersebut lebih mementingkan kemampuan daya beli terhadap

komoditi pertanian dan tidak mesti harus memproduksi komoditi pertanian

sendiri. Dari perkembangan PDRB dari Tahun 1999 sampai dengan 2003

terlihat PDRB terus meningkat, namun meningkatnya PDRB tidak dibarengi

kenaikan pada sector pertanian, sumbangan sector pertanian terhadap

PDRB cenderung tetap bahkan ada yang mengalami penurunan, sehingga

secara keseluruhan sumbangan sector pertanian terhadap PDRB secara

proporsional dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan (Gambar 34).

Pada tahun 1999 Sektor Pertanian menyumbang 21.087.000.000 rupiah

terhadap PDRB Kota Tangerang, tahun 2000 menyumbang 20.428.000.000

rupiah, tahun 2001 sebesar 20.190.000.000 rupiah, kemudian pada tahun

2002 sebesar 20.820.000.000 rupiah dan tahun 2003 menyumbang

21.550.000.000 rupiah.

Sumber : PDRB Kota Tangerang, Bapeda, 2003

Gambar 34. Perbandingan Sumbangan Sektor Pertanian terhadap Total PDRB Kota Tangerang atas Dasar Harga Konstan tahun 1993

Sektor industri merupakan penyumbang terbesar pada PDRB Kota

Tangerang lebih dari 50% setiap tahunnya PDRB Kota Tangerang diperoleh

dari sektor industri, dari tahun 1999 – 2003 sumbangan sektor industri terus

mengalami kenaikan. Pada tahun 1999 sektor industri menyumbang

3.124.788.000.000 rupiah terhadap PDRB Kota Tangerang, kemudian tahun

2000 menyumbang 3.289.052.000.000 rupiah, tahun 2001 sebesar

3.378.424.000.000 rupiah, tahun 2002 sebesar 3.542.509.000.000 rupiah

dan tahun 2003 menyumbang 3.681.649.000.000 rupiah terhadap PDRB

Kota Tangerang. Hal ini menunjukan bahwa land rent untuk idustri lebih

tinggi dari pertanian, sehingga terjadi perubahan lahan pertanian menjadi

industri (Gambar 30).

Sektor perdagangan, hotel dan restoran menyumbang sekitar 25% setiap

tahunnya, ini meruakan sumbangan yang cukup besar bagi perkembangan

ekonomi di Kota Tangerang dan setiap yahunnya mengalami peningkatan.

Pada tahun 1999 sektor perdagangan, hotel dan restoran menyumbang

1.465.377.000.000 rupiah tahun 2000 menyumbang 1.540.613.000.000

0

1000000

2000000

3000000

4000000

5000000

6000000

7000000

8000000

1999 2000 2001 2002 2003

Total PDRB

Sektor Pertanian

Tahun

PDRB (Jutaan rupiah)

0,36% 0,34 0,32 0,31 0,30

rupiah, kemudian tahun 2001 sebesar 1.625.467.000.000 rupiah tahun 2002

menyumbang 1.730.071.000.000 rupiah dan pada tahun 2003 sebesar

1.823.775.000.000 rupiah (Gambar 35).

Sumber : PDRB Kota Tangerang, Bapeda, 2003

Gambar 35. Perbandingan Sumbangan Sektor Industri Terhadap PDRB Kota Tangerang atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993

Sumber : PDRB Kota Tangerang, Bapeda, 2003 Gambar 36. Perbandingan Sumbangan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran

Terhadap PDRB Kota Tangerang atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993

0

1000000

2000000

3000000

4000000

5000000

6000000

7000000

8000000

1999 2000 2001 2002 2003

Total PDRB

Sektor Industri 53,7%

54,3 54,0 53,5

52,1

Tahun

(Dalam Jutaan Rupiah)

0

1000000

2000000

3000000

4000000

5000000

6000000

7000000

8000000

1999 2001 2003

Total PDRB

Sektor

Perdagangan

Sumbangan sektor lainnya diluar sektor peranian, industri dan

perdagangan juga menunjukan peningkatan setiap tahunnya, sehngga

secara keseluruhan penerimaan PDRB terus meningkat. Hal ini menunjukan

bahwa penggunaan lahan untuk sector lain seperti industri, perdagangan,

jasa dan sector lainnya mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi dari sector

pertanian. Dengan demikian koversi lahan dari pertanian atau Ruang terbuka

hijau menjadi kegiatan lain yang mempunyai nilai ekonomis semakin cepat.

Wilayah-wilayah yang mempunyai akses lebih baik cenderung membuat

aglomerasi termasuk juga bidang demografis. Pertumbuhan dan jumlah

penduduk suatu wilayah belum tentu langsung diterjemahkan dengan

kepadatan penduduk . Dua factor pertama tersebut langsung mengakibatkan

kepadatan penduduk hanya pada kawasan tertentu yang puna akses baik.

Kondisi ini akan berpengaruh pada kemungkinan alih fungsi lahan pertanian

lewat permintaan efektif terhadap lahan yang bersangkutan. Sehingga

pertumbuhan dan jumlah penduduk pun bisa bersifat mendua. Disatu pihak

penduduk merupakan factor produksi untuk sector pertanian karena

kebutuhan akan pangan yang meningkat tetapi penduduk juga merupakan

factor yang meningkatkan permintaan efektif terhadap komoditas non

pertanian seperti perumahan sarana dan prasarana umum, lokasi industri

serta perdagangan dan jasa.

Proses konversi lahan pertanian ke non pertanian hakekatnya

merupakan antara Richardian rent dan locational rent sehingga factor lokasi

sangat menentukan. Sehinga lokasi relative suatu kawasan terhadap akses

kawasan sangat menentukan. Akses kawasan tersebut meliputi jarak

terhadap pusat -pusat pertumbuhan maupun jaringan transportasi. Jarak

suatu kawasan diterjemahkan oleh jarak suatu kawasan terhadap Kota

Jakarta sebagai pusat primer dan pusat Kota Tangerang sebagai pusat

sekunder. Sedang akses jaringan transportasi dicoba didekati dengan

frekuensi keramaian lalu lintas yang tercermin dari ada tidaknya transportasi

kendaraan umum. Sehingga semakin dekat dengan pus at pertumbuhan dan

semakin ramai transportasi kendaraan umum akan mendorong proses

konversi lahan pertanian.

Pola Perubahan Sumberdaya Air

Perubahan Neraca Air Wilayah Kota Tangerang

Kuantifikasi potensi sumberdaya air di daerah penelitian memberikan

gambaran mengenai jumlah limpasan permukaan, yang diperoleh dari

interaksi antara hujan yang jatuh di wilayah Kota Tangerang, serta jenis

liputan lahan dan besarnya penguapan. Penguapan potensial

(evapotranspirasi) di daerah penelitian ini dihitung dengan cara Turc (1952)

dan Langbein (1949). Data klimatologi diperoleh dari Badan Meteorologi dan

Geofisika stasion Tangerang yang wilayah kerjanya mencakup seluruh Kota

Tangerang (Tabel 12 dan 13, Gambar 37 dan 38).

Tabel 12 : Data Curah Hujan Stasiun Tangerang Tahun 1994 – 2003 (Dalam mm)

TAHUN

JAN

FEB

MAR

APR

MEI

JUN

JUL

AUG

SEP

OKT

NOP

DES

TOTAL

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003

416 549 267 521 210 326 359 233 594 121

288 292 599 122 294 259 324 175 504 478

253 233 129

80 247

91 109 259 171 148

246 123 198 127 113 42

170 209 147 33

7

70 80

3 216 166 201 93 27

101

39

135 71 70

138 56 47

146 46 21

0

116 40 15 87

126 15

114 104

0

0

29 110

0 110

18 59 15 16 23

1

207 46

0 90 22 18

133 0

62

3

90 182

0 217 224

70 195

0 88

152 259 171 100

82 141 195 213 145

68

27

474 150 119

54 226

53 231 105 399

1.432 2.577 2.043 1.157 1.858 1.697 1.620 2.016 1.859 1.542

Rata2

359,6

333,5

172

140,8

96,4

76,9

61,7

38

57,9

106,9

152,6

183,8

1.780,1

Sumber : Badan Meteorologi dn Geofisika Tangerang

0

100

200

300

400

500

600

700

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Bulan

Cu

rah

Hu

jan

(m

m/B

ln)

Th. 1994

Th. 1995

Th. 1996

Th. 1997

Th. 1998

Th. 1999

Th. 2000

Th. 2001

Th. 2002

Th. 2003

Sumber : Tabel 12

Gambar 37. Grafik Curah Hujan Kota Tangerang Tahun 1994 – 2003

Tabel 13 : Data Temperatur Stasiun Tangerang Tahun 1994 – 2003 (Dalam °C)

TAHUN

JAN

FEB

MAR

APR

MEI

JUN

JUL

AUG

SEP

OKT

NOP

DES

Temp Rata2 Tahunan

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003

26,0 26,6 26,2 26,0 27,8 26,1 26,4 26,7 26,7 27,8

26,7 26,6 26,3 26,2 27,4 26,2 26,3 26,4 26,4 26,7

26,1 26,3 26,7 27,1 27,4 27,2 27,2 26,9 27,4 27,0

27,0 27,0 27,2 26,9 27,7 27,7 27,5 27,4 27,5 27,9

26,9 27,6 27,4 27,3 28,3 27,1 27,6 27,7 27,9 28,0

26,9 27,2 27,1 27,3 27,1 25,9 26,7 26,7 27,6 27,5

26,3 26,7 27,2 26,5 27,0 26,3 27,0 26,6 27,1 27,2

26,4 26,7 26,9 26,6 27,0 26,4 27,0 27,2 27,0 27,5

26,8 27,0 27,4 27,1 27,7 27,4 27,9 27,4 27,9 278

27,8 27,6 26,9 28,0 27,2 27,2 28,0 27,1 28,8 27,9

28,1 26,8 26,9 27,2 27,4 28,8 27,2 27,2 28,4 27,8

27,4 26,8 26,0 27,7 27,4 26,7 27,6 27,3 27,8 27,9

26,9 26,9 26,9 27,0 27,5 26,9 27,2 27,1 27,5 27,6

Temp Rata2 Bulanan

26,6

26,5

26,9

27,4

27,6

27,0

26,8

26,9

27,4

27,7

27,7

27,6

27,1

Sumber : Badan Meteorologi dn Geofisika Tangerang

Dari data klimatologi stasiun Tangerang diperoleh data Presipitasi rata-rata

tahunan dan Suhu udara rata-rata, maka berdasarkan rumus diatas

diperoleh besarnya Evapotranspirasi (Table 14).

24,0

24,5

25,0

25,5

26,0

26,5

27,0

27,5

28,0

28,5

29,0

29,5

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Bulan

Suh

u U

dara

Th. 1994

Th. 1995

Th. 1996

Th. 1997

Th. 1998

Th. 1999

Th. 2000

Th. 2001

Th.2002

Th. 2003

Sumber : Tabel 13

Gambar 38. Grafik Suhu Udara Kota Tangerang Tahun 1994 – 2003

Tabel 14. Hasil Perhitungan Evapotranspirasi Periode 1994 – 2004

Rata-rata Tahunan Temp. Udara (°C)

Presipitasi (mm/thn)

Evapotranspirasi (mm/thn)

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1959

26,9 26,9 26,9 27,0 27,5 26,9 27,2 27,1 27,5 27,6 27,5 27,1

1.432 2.577 2.043 1.157 1.858 1.697 1.620 2.016 1.859 1.542 1.409 1.773

1.164 1.525 1.399 985

1.408 1.326 1.296 1450 1.169 1.274 1.194 1.353

Sumber : Dihitung dengan Menggunakan Rumus 13

Dengan demikian maka bisa diketahui besarnya jumlah air yang secara

potensial menguap kembali sebesar (1.369/1780) x 100% = 76,9%.

Selanjutnya dengan mengetahui curah hujan dan perhitungan

evapotranspirasi, aliran air limpasan permukaan dapat dihitung dengan

menggunakan table koefisien run-off (C) dari U.S Forest Service. Dimana

berdasarkan karakteristik wilayah ditetapkan bahwa koefisien run off untuk

kawasan terbangun sebesar 0,7 artinya dari air hujan yang jatuh ketanah

70% berpotensi menjadi run off, sedangkan untuk Ruang terbuka hijau 0,2.

Perhitungan run off didasarkan pada dua criteria yaitu kawasan terbangun

dan ruang terbuka hijau, dimana run-off (RO) = (P – ET) x C x luas wilayah.

Dengan luas wilayah terbangun 128,26 km2 atau 69% Run off pada tahun

2004 adalah 21.780.489 m3 (54,5%) dari air yang jatuh ketanah, pada tahun

1994 dengan luas lahan terbangun seluas 103,77 Km2 run off sebesar

23.868.348 m3 (48%) dari total air hujan yang jatuh ke tanah, sedang pada

tahun 1959 dengan luas lahan terbangun 18,59 Km2 yang didominasi

perumahan/permukiman dengan Koefien Dasar Bangunan (KDB) rendah

ditetapkan nilai C = 0,4 dan C untuk Ruang terbuka hijau 0,2 run off sebesar

18.736.704 m3 (24%) dari total curah hujan yang jatuh ke tanah.

Infiltrasi dihitung dengan menggunakan rumus F = (P – ET) x (1 – C) x luas

wilayah, infiltrasi dihitung untk kawasan terbangun dan ruang terbuka hijau

keduanya dijumlahkan menjadi total infiltrasi. Dengan luas wilayah terbangun

128,26 km2 atau 69% infiltrasi pada tahun 2004 adalah 18.183.711 m3

(45,5%) dari air yang jatuh ketanah, pada tahun 1994 dengan luas lahan

terbangun seluas 103,77 Km2 infiltrasi sebesar 25.947.492 m3 (52%) dari

total air hujan yang jatuh ke tanah, sedang pada tahun 1959 dengan luas

lahan terbangun 37,18 Km2 yang didominasi perumahan/permukiman

dengan Koefien Dasar Bangunan (KDB) rendah ditetapkan nilai C = 0,4 dan

C untuk Ruang terbuka hijau 0,2 infiltrasi sebesar 59.332.896 m3 (76%) dari

total curah hujan yang jatuh ke tanah.

Dari hasil perhitungan neraca air (Table 15 dan Gambar 41) yang dilakukan

pada tahun 1959, 1994 dan 2003 terlihat adanya kenaikan dalam run-off dari

tahun ketahun, sedangkan infiltrasi terus menurun hal ini disebabkan terus

meningkatnya kawasan terbangun. Pada tahun 1959 sampai tahun 1994

infiltrasi lebih bear dari run off, sedangkan pada tahun 2003 infiltrasi lebih

kecil dari run-off.

Gambar 39. Distribusi Air Hujan yang Jatuh di Daerah Penelitian (Saefulhakim,2005)

Tabel 15. Hasil Perhitungan Neraca Air Tahun 1959, 1994 dan 2004

Guna Lahan Luas Lahan

(Km2) P

(mm) ET

(mm) F

(m3) RO (m3)

Perbandingan F vs RO

( % ) Tahun 2004 Terbangun Ruang Terbuka Total Tahun 1994 Terbangun Ruang Terbuka Total Tahun 1959 Terbangun Ruang Terbuka Total

128,26 57,62

185,88

103,77 82,11

185,88

37,18 148,70 185,88

1.409

1.432

1.773

1.194

1.164

1.354

8.272.589 9.911.122

18.183.711

8.343.108 17.604.384 25.947.492

9.368.352 49.964.544 59.332.896

19.302.709 2.477.780

21.780.489

19.467.252 4.401.096

23.868.348

6.245.568 12.491.136 18.736.704

45,5 : 54,5

52 : 48

76 : 24

Sumber : Tabel 14 dan Gambar 41 Simbol : Keterangan simbol sama dengan Gambar 41

Kawasan Terbangun

C = 0,7

Ruang Terbuka Hijau C =

0,2

P

ET

ET

F

F

F

P P

RO

RO

RO

P = Presipitasi ET = Evapotranspirasi F = Infiltrasi RO = Run-Off C = Koefisien Run Off

Pr P

r

Sumber : Tabel 15

Gambar 40. Perbandingan Infiltrasi dan Run Off

Debit Sungai Cisadane

Fluktuasi debit rata-rata bulanan Sungai Cisadane di Stasiun

pengamat Pasar Baru Tangerang menunjukan bahwa debit bulanan

berfluktuasi mulai dari 41,6 m3/det pada bulan Agustus hingga 103,1 m3/det

pada bulan Februari, Pada stasiun pengamatan Serpong fluktuasi debit rata-

rata bulanan Sungai Cisadane dari tahun 1960 – 2000 menunjukan bahwa

debit bulanan berfluktuasi mulai dari 10,15 m3/det pada bulan Agustus

hingga 366,1 m3/det pada bulan Februari. Pada musim penghujan fluktuasi

debit relatif tinggi seiring dengan tingginya curah hujan, namun pada

musimkemarau fluktuasi debit tidak sejalan dengan fluktuasi curah hujan.

Pada musim kemarau, meskipun curah hujan rendah (< 100 mm/bln), namun

fluktuasi debit pada bulan-bulan tertentu masih relatif tingi (42 – 75 m3/det).

Hal ini disebabkan bahwa debit Sungai Cisadane tidak hanya tergantung

0

10000000

20000000

30000000

40000000

50000000

60000000

Th. 1959 Th. 1994 Th. 2003

InfiltrasiRun Off

(m3/Th)

pada curah hujan di Kota Tangerang dan sekitarnya, namun juga juga

tergantung pada kondisi curah hujan di bagian hulu, di wilayah Bogor dan

sebagian Kabupaten Tangerang di bagian hulu. Fluktuasi debit dapat dilihat

pada Tabel 16, Gambar 43 dan Lampiran 6.

Tabel 16. Fluktuasi debit Sungai Cisadane yang Terukur di Stasiun Pengamatan Pasar BaruTahun 1999 – 2004

Parameter Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

Q-max 386,2 348,0 208,7 371,5 298,5 308,3 318,1 208,7 239,9 378,1 385,5 232,2

Q-rata2 81,1 87,5 56,8 70,1 80,2 65,1 52,8 41,6 51,2 75,3 81,0 59,0

Q-min 17,1 14,9 6,6 14,3 21,0 16,2 12,6 6,0 4,9 6,2 20,1 9,5 Sumber : Dokumen Amdal PDAM Kabupaten, 2005

Berdasarkan Tabel 16 memperlihatkan fluktuasi bulanan debit

maksimum, debit minimum dan debit rata-rata bulanan Sungai Cisadane

yang terukur di stasiun pengamatan Pasar Baru Tangerang, sedangkan

Gambar 43 memperlihatkan secara visual fluktuasi debit rata-rata dan debit

minimum bulanan dari tahun 1999 – 2004

0,0

50,0

100,0

150,0

200,0

250,0

300,0

350,0

400,0

450,0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Bulan

Deb

it (m

3/d

et)

Q-max

Q-rata2

Q-min

Sumber : Tabel 16

Gambar 41. Grafik Flukuasi Debit Sungai Cisadane Tahun 1999 - 2004

Data debit rata-rata bulanan yang terukur di stasiun pengamatan Pasar Baru

Tangerang memperlihatkan pada periode Oktober – Februari dan Periode

Maret – Mei, debit rata-rata bulanan Sungai Cisadane berkisar antara 75,3 –

87,5 m3/det berada di atas rata-rata tahunan sebesar 66,8 m3/det.

Sedangkan selama periode Mei – September, Desember dan Maret, debit

rata-rata bulanan berada di bawah rata-rata tahunan, yaitu berkisar antara

41,6 - 65,1 m3/det.

Debit Sungai Cisadane yang diamati antara tahun 1950 – 2000 terlihat

perbedaan debit maksimum dan minimum dari tahun 1950 – 1990 tidak

terlalu besar dan cenderung stabil. Tahun 1990 – 2000 perbedaan debit

maksimum dan minimum menunjukan angka yang lebih besar dari tahun-

tahun sebelumnya dan perbedaan keragaman debit sungai ini cenderung

semakin besar (Gambar 44).

Grafik Debit Bulanan Tahun 1950 - 2000

0

50

100

150

200

250

300

350

4000 1

00

20

0

30

0

40

0

50

0

60

0

Bulan

Deb

it (

m3/

det

)

Sumber : Lampiran 6 Gambar 42. Fluktuasi Debit Bulanan Sungai Cisadane Tahun 1959 - 2000

Keragaman debit Sungai Cisadane terlihat kecil dan cenderung stabil

dari tahun 1950 – 1995, namun dari tahun 1995 – 2000 terjadi lonjakan nilai

keragaman dimana keragaman pada perioda tersebut jauh lebih besar dari

tahun-tahun sebelumnya (Gambar 45 dan Lampiran 7).

Grafik Varian Debit Sungai Tahun 1950 - 2000

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

14000

1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000 2010

Tahun

Var

ian

Series1

Sumber : Lampiran 6 Gambar 43. Grafik Varian Debit Sungai Cisadane Tahun 1950 - 2000

Koefisein Keragaman debit Sungai Cisadane terlihat kecil dan

cenderung stabil dari tahun 1950 sampai pertengahan dekade 90, namun

pertengahan dekade 90 terjadi lonjakan nilai koefisien keragaman dimana

keragaman pada perioda tersebut jauh lebih besar dari tahun-tahun sebelum

dan sesudahnya, pada akhir dekade 90 koefisien keragaman kembali normal

sama seperti sebelum pertengahan dekade 90 (Gambar 46 dan Lampiran

7).

Koefisien Keragaman Debit sungai Cisadane Tahun 1950 - 2000

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000 2010

Tahun

Co

vari

an

Sumber : Lampiran 6 Gambar 44. Grafik Covarian Debit Sungai Cisadane Tahun 1950 – 2000

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

140.00

160.00

180.00

TAHUN

TAHUN

DE

BIT

RA

TA

-RA

TA

TA

HU

NA

N (

m3

/de

t)

Sumber : Lampiran 6

Gambar 45. Grafik Rata-rata Tahunan Debit Sungai Cisadane Tahun 1950 - 2000

Debit Sungai Cisadane rata-rata tahunan dari tahun 1950 – 2000

menunjukan debit rata-rata tahunan yang fluktuatif, secara umum fluktuasi

debit tahunan menunjukan keseragaman, namun terdapat debit rata-rata

yang sangat tinggi di atas 100 m3/det pada 5 titik tahun, yaitu pada tahun

1958, 1972, 1981, 1996 dan tahun 2000.

Perbedaan fluktuasi debit Sungai Cisadane, Keragaman dan koefisien

keragaman yang menunjukan kenaikan yang signi fikan pada dekade 90 an

diduga akibat perubahan pengunaan lahan yang menunjukan perkembangan

yang sangat besar yang terjadi pada dekade 90, dimana booming

perumahan dan industri mencapai klimaks pada dekade ini. Perubahan

penggunaan lahan tersebut berakibat pada meningkatnya debit sungai pada

musim hujan dan menurunnya debit sungai pada musim kemarau akibat dari

semakin kecilnya pasokan air tanah terhadap sungai pada musim kemarau

dan besarnya pasokan run off pada musim hujan.

Kondisi Hidrogeologi

Data hasil penafsiran geolistrik yang dilakukan Tahun 2004 (Gambar 48 dan

Lampiran 8) menunjukan bahwa muka air tanah dangkal di Kota Tangerang

bervariasi antara 8 – 20 m dibawah permukaan tanah atau rata rata tinggi

muka air tanah dangkal 14 meter dengan ketebalan akifer rata-rata 16 m.

Sumber : Identifikasi dan Pemetaan Konservasi Air Tanah Kota Tangerang, Dinas

Lingkungan Hidup Kota Tangerang, 2004

Gambar 46. Susunan Lapisan Hasil Penafsiran Data Geolistrik

Sedangkan berdasarkan data sumur bor (Dinas Lingjungan Hidup)

kedalaman muka air tanah dangkal antara 2 – 12 m atau atau rata-rata 7 m.

Pada tahun enam puluhan kedalaman muka air tanah dangkal daerah

Jakarta rata-rata 5 m dibawah permukaan tanah (Muif, 1991), dengan

melihat adanya kesamaan pada beberapa parameter antara lain litologi,

dimana Jakarta dan Tangerang didominasi oleh endapan alluvial, dilihat dari

hidrogeologi dimana Cekungan Air Tanah sebagian wilayah Tangerang

termasuk dalam Cekungan air tanah Jakarta, kemudian dari hidrologi

Wilayah Tangerang dan sebagian wilayah Jakarta termasuk dalam DAS

Cisadane, kemudian dalam hal morfologi/topografi Jakarta dan Tangerang

mempunyai kesamaan yaitu merupakan dataran dengan elevasi yang hampir

sama dan dari data klimatologi hampir ada kesamaan antara Jakarta dan

Tangerang, maka dapat di simpulkan bahwa muka air tanah di wilayah

Tangerang pada tahun enam puluhan berada pada kedalaman rata-rata 5 m

di bawah permukaan tanah. Sehingga bisa diketahui bila mengacu pada

hasil penafsiran geolistrik telah terjadi penurunan muka air tanah dangkal

setinggi 9 m dalam kurun waktu empat puluh tahunan. Sedangkan bila

mengacu pada data sumur bor penurunan muka air tanah dangkal hanya 2

meter selama 45 tahun. Dengan demikian penurunan muka air tanah

dangkal yang terjadi rata-rata 4,4 cm/tahun. Bila dikonversikan dengan

perubahan penggunaan lahan terjadi penurunan muka air tanah dangkal

sebesar 0,816 cm setiap 1% perubahan guna lahan dari ruang terbuka hijau

menjadi areal terbangun. Perubahan penurunan air tanah dangkal dapat

dilihat pada Gambar 49.

Sumber : Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang

Gambar 47. Perubahan Tinggi Muka Air Tanah Dangkal

Tinggi muka air pada akifer dalam berada pada kedalaman 40 sampai 100 m

atau rata-rata 70 m dibawah permukaan tanah (Lampiran 8). Jenis air tanah

dalam dari hasil interpretasi geolistrik merupakan air asin, hal ini menunjukan

bahwa kondisi air tanah dalam telah terintrusi oleh air laut, hal ini terjadi

0

1

2

3

4

5

6

7

Tahun1959

Tahun2004

Data Sumur

dimana pengambilan air tanah dalam yang sebagian besar digunakan untuk

keperluan industri lebih besar dari infiltrasi yang masuk kedalam cekungan

air tanah Tangerang, sehingga kekosongan akibar terjadinya eksploitasi air

tanah secara besar-besaran terisi oleh air laut yang mendesak ke daratan.

Perbedaan kedalaman muka air tanah dalam yang signifikan terdapat pada

kawasan industri, dimana pada kawasan industri mempunyai kedalaman

yang lebih besar dari wilayah sekitarnya, Hal ini terjadi akibat dari

pengambilan air tanah dalam yang intensif yang dilakukan oleh perusahaan

untuk kegiatan industri.

Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane

Letak dan Luas

Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane terletak pada 1060 28’50” - 1060 56’20”

BT dan 60 0’59” - 60 47’02” LS, yang meliputi 202 desa dalam 18 kecamatan

di wilayah Kabupaten Bogor, 33 kelurahan dalam 3 kecamatan di wilayah

Kota Bogor, 80 desa dalam 9 kecamatan di wilayah Kabupaten Tangerang

dan 43 kelurahan dalam 10 kecamatan di wilayah Kota Tangerang.

Berdasarkan penafsiran Citra Landsat tahun 2001 dan peta topografi skala 1

: 50.000 las DAS Cisadane seluas 156.043 Ha. Untuk lebih jelasnya bisa

dilihat pada peta wilayah pada Lampiran 1.

Topografi

Topografi di wilayah DAS Cisadane bervariasi dari bergelombang berbukit

dan bergunung dengan ketinggian berkisar antara 0 meter sampai dengan

1200 meter di atas permukaan laut. Klas kelerengan di DAS Cisadane

beragam dari yang datar sampai yang sangat curam. Kelas kelerengan datar

menempati wilayah seluas 114.153 ha (73,15%), Kelas kelerengan curam

seluas 16.320,5 ha (10,46%) dan Kelas kelerengan sangat curam seluas

25.569,5 ha (16,44%). Morfologi DAS Cisadane bisa dilihat pada peta

geomorfologi pada Lampiran 2.

Tanah dan Geologi

Tanah-tanah di wilayah DAS Cisadane terdiri dari berbagai jenis seperti

Aluvial, Regosol, Andosol, Rensina, Grumosol Mediteran dan Latosol yang

mempunyai erodibilitas dan kedalaman yang berbeda. Erodibilitas tanah

ditentukan oleh tekstur, struktur, permeabilitas dan bahan-bahan organik

tanah

Penyebaran tanah di DAS Cisadane dalah sebagai berikut :

Tanah aluvial, mempunyai tekstur seperti liat (clay), berdebu (silty clay),

lempung berliat (clay loam), lempung liat berdebu (silty clay loam), tanah ini

penyebarannya seluas 23.290,5 ha.

Tanah Regosol , brtekstur gumpal dengan permeabilitas sedang,

erodibilitasnya tergolong agak tinggi dan mempunyai kedalaman tanah yang

dangkal. Penyebaran tanah ini di DAS Cisadane seluas 9.404 Ha.

Tanah Andosol, berteksturlempung (loam) dan mempunyai struktur antara

sedang, kasar sampai gumpal serta permeabilitas yang dominan sedang

dengan kandungan bahan organik antara 2,63 – 6%. Penyebaran tanah ini di

DAS Cisadane seluas 25.329 Ha.

Tanah Latosol, bertekstur liat (clay) dengan kandungan bahan organik

antara 1,24 – 6,93% struktur gumpal, permeabilitas sedang sampai lambat

dan kedalaman solum 90 cm. Penyebaran tanah latosol ini meliputi areal

seluas 91.462,8 ha.

Tanah Podsolik, merupakan tanah merah yang mempunyai spektrum yang

sangat luas. Dalam keadaan alam kesuburan tanah hanya terbatas pada

lapisan berbahan organik di atas, dan bila digunakan kurang maksimal,

kesuburannya cepat menurun. Pembakaran akan mempercepat merosotnya

kesuburan kimia dengan merusak struktur tanah, untuk merehabilitasi

kembali sangat sukar. Tanah ini dikenal kemiskinannya akan Ca, N, P dan K

serta unsur makro, MO dan S karena jeleknya sifat kimia dan fisik tanah.

Tanah podsolik ini merupakan tanah marginal untuk pertanian berumur

panjang. Umumnya tanah podsolik lebih sesuai untuk tanaman tahunan

misalnya tanaman perkebunan dan kehutanan. Daerah penyebarannya

meliputi areal seluas 6.556,7 ha.

Untuk lebih jelasnya penyebaran jenis tanah di DAS Cisadane bisa dilihat

pada Lampiran 3.

Ikilm

Wilayah DAS Cisadane mempunyai iklim tropis yang dipengaruhi oleh angin

muson dan mempunyai dua musim yaitu musim penghujan dan musim

kemarau. Musim penghujan berlangsung antara bulan Nopember hngga

bulan april sedangkan musim kemarau antara bulan Juni hingga Oktober.

Curah hujan adalah salah satu faktor iklim yang sangat berpengaruh besar

terhadap proses erosi. Semakin tinggi intensitas hujan dan semaki lama

jatuh maka erosi yang terjadi akan semakin besar apabila faktor-faktor lain

yang mempengaruhi proses terjadinya erosi tidak berbeda. Curah hujan rata-

rata pertahun selama lima tahun di DAS Cisadane brkisar antara 1.731 mm

sampai dengan 5.098 mm.

Vegetasi Penutup Lahan

Keadaan vegetasi di DAS Cisadane dapat dibedakan menjadi vegetasi yang

terdapat didalam kawasan hutan dan yang berada di luar kawasan hutan.

Vegetasi penutup lahan disini diartikan sebagai prosentase penutupan lahan

oleh tanaman, baik tanaman tahunan maupun tanaman semusim. Penutupan

lahan di DAS Cisadane didominasi oleh jenis tanaman perkebunan berupa

tanaman perkebunan, jenis tanaman palawija, sayuran dan tanaman

semusim lainnya meliputi sawah seluas 54.960,5 ha dengan tipe

penggunaan sebagai tegalan/ladang, kebun campuran dan tanah pertanian

terpadu seluas 9.193,2 ha, penggunaan lahan untuk perkebunan seluas

24.898,4 ha, semak belukar seluas 11.261,5 ha, vegetasi berupa hutan

menurut fungsinya seluas 15. 736,1 ha dan tambak seluas 3.016 ha serta

pengguaan lahan untuk permukiman seluas 36.977,3 ha. Peta penggunaan

lahan DAS Cisadane disajikan dalam Lampiran 4.

Hidrologi

Debit maksimum di wilayah DAS Cisadane sebesar 415,66 m³/detik pada

tinggi muka air 3,19 m dan debit minimum sebesar 78,19 m³/detik pada tinggi

muka air 0,96 m. Keadaan aliran tersebut menunjukan nilai koefisien regin

sungai (KRS) sebesar 5,13 yang memberikan indikasi bahwa kontinuitas

aliran di DAS Cisadane tidak normal. Peta Daerah Tangkapan air disajikan

dalam Lampiran 5 .

Neraca Air DAS Cisadane

Dalam perhitungan neraca air DAS digunakan asumsi bahwa rata-rata

kedalaman efektif tanah adalah 100 cm. Dalam perhitungan neraca air DAS,

dimana DAS Cisadane mencakup wilayah Bogor, Serpong dan Tangerang,

digunakan data curah hujan bulanan dari tiga stasiun pencatat hujan yang

masing-masing mewakili wilayah Bogor, Serpong dan Tangerang. Bobot

dugaan cakupan luas stasiun pencatat hujan Bogor sekitar 0,51, bobot

dugaan cakupan luas stasiun pencatat hujan Serpong sekitar 0,31, dan

bobot dugaan cakupan luas stasiun pencatat hujan Tangerang sekitar 0,18

dari seluruh wilayah DAS. Melalui pembobotan yang didasarkan pada luas

cakupan representasi masing-masing stasiun hujan, maka kemudian

ditentukan nilai curah hujan wilayah terboboti yang mewakili DAS Cisadane.

Nilai-nilai curah hujan pada Tabel 17 memperlihatkan bahwa curah hujan

wilayah DAS Cisadane (Chwil berkisar antara 75 mm/bln pada bulan Agustus

hingga 299 mm/bln pada bulan Maret. Sedangkan evaporasi potensial (ETP)

diduga berkisar antara 110 mm/bln pada bulan februari hingga153 mm/bln

pada bulan September.

Kondisi CHwil dan ETP yang berfluktuasi tidak seirama

mengakibatkan adanya periode-periode dimana CHwil lebih tinggi dari ETP

serta periode-periode dimana CHwil lebih rendah dari ETP. Periode dimana

CHwil lebih tinggi dari ETP terjadi selama 9 bulan, yaitu antara Oktober

hingga Juni. Selama Periode tersebut terjadi siklus yang besarnya berkisar

antara 7 – 180 mm/bulan, dan diperkirakan debit sungan Cisadane akan

lebih tinggi dibandingkan priode lainnya. Sedangkan periode dimana CHwil

lebih rendah dari ETP terjadi selama 3 bulan, yaitu antara Juli hingga

September. Selama Periode tersebut akan terjadi defisit Yang besarnya

antara 1-33 mm/bulan (Gambar 47), dan diperkirakan debit sungai Cisadane

akan menurun, namun tidak habis, karena air yang mengalir di sungai adalah

cadangan air sungai yang tersimpan didalam tanah berasal dari kelebihan

selama periode surplus.

Tabel 17. Analisa Neraca Air DAS Cisadane

Parameter Satuan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

Tahunan

CH Bogor mm 282 329 370 331 259 204 134 88 230 289 358 396 3270

CH Serpong mm 254 254 220 210 185 86 60 91 97 137 211 207 2012

CH Tangerang mm 293 243 233 100 79 31 19 13 22 79 109 111 1332

CH-Wilayah mm 275 290 299 252 203 136 90 75 151 204 268 286 2529

ETO mm/ hari 4,1 3,9 4,1 4,3 4,3 4,3 4,7 4,8 5,1 4,7 4,2 3,9 4,4

Jumlah Hari hari 31 28,3 31 30 31 30 31 31 30 31 30 31

ETP mm 127 110 127 129 133 129 146 149 153 146 126 121 1596

CH- ETP mm 148 180 172 123 70 7 -55 -73 -2 58 142 165 935

APWL mm 0 0 0 0 0 0 -55 -129 -131 0 0 0

KAT mm 150 150 150 150 150 150 103 63 62 120 150 150

DKAT mm 0 0 0 0 0 0 -47 -40 -1 58 30 0

ETA mm 127 110 127 129 133 129 137 116 152 146 126 121 1553

Defisit mm 0 0 0 0 0 0 9 33 1 0 0 0 43

Surplus mm 148 180 172 123 70 7 0 0 0 0 112 165 977

Sumber : Dokumen ANDAL PDAM Kabupaten Tangerang, 2005

Kondisi CHwil dan ETP yang berfluktuasi tidak seirama

mengakibatkan adanya periode-periode dimana CHwil lebih tinggi dari ETP

serta periode-periode dimana CHwil lebih rendah dari ETP. Periode dimana

CHwil lebih tinggi dari ETP terjadi selama 9 bulan, yaitu antara Oktober

hingga Juni. Selama Periode tersebut terjadi siklus yang besarnya berkisar

antara 7 – 180 mm/bulan, dan diperkirakan debit sungan Cisadane akan

lebih tinggi dibandingkan priode lainnya. Sedangkan periode dimana CHwil

lebih rendah dari ETP terjadi selama 3 bulan, yaitu antara Juli hingga

September. Selama Periode tersebut akan terjadi defisit Yang besarnya

antara 1-33 mm/bulan (Gambar 50), dan diperkirakan debit sungai Cisadane

akan menurun, namun tidak habis, karena air yang mengalir di sungai adalah

cadangan air sungai yang tersimpan didalam tanah berasal dari kelebihan

selama periode surplus

0

20

40

60

80

100

120

140

160

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Bulan

Tin

gg

i Ko

lom

Air

Tan

ah (

mm

/Bln

)

Sumber : Tabel 17

Gambar 48. Kondisi Air Tanah DAS Cisadane

-50

0

50

100

150

200

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Bulan

Tin

gg

i K

olo

m A

ir (

mm

/Bln

)

Sumber : Tabel 17

Gambar 49. Grafik Surplus dan Defisit Air DAS Cisadane

Keterkaitan antara Penggunaan Lahan dengan Sumberdaya Air

Seperti dibahas dalam perhitungan neraca air Kota Tangerang yang dihitung

pada tiga titik tahun yang berbeda, dimana pada tahun 1959 dengan luas

wilayah terbangun baru 20%, volume infiltrasi jauh lebih besar dari run off

dimana infiltrasi sebesar 76% dari curah hujan yang jatuh ke permukaan

tanah, sedangkan run off hanya 24%, kemudian pada tahun 1994 dimana

luas lahan terbangun sebesar 55,83% infiltrasi sebesar 52% sedangkan run

off sebesar 48%, pada tahun 2003 dimana luas lahan terbangun mencapai

69%, infiltrasi yang terjadi sebesar 45,5% dan run off sebesar 54,5%. Hal ini

menunjukan bahwa ketersediaan sumberdaya air terutama air tanah

tergantung dari jenis penggunaan lahan yang ada, makin banyak lahan

terbangun yang merupakan perubahan dari pertanian/ruang terbuka hijau

menjadi penggunaan lahan lain seperti perumahan, industri maupun

perdagangan dan jasa, makin kecil air hujan yang meresap kedalam tanah

dan menjadi cadangan air tanah. Disisi lain kebutuhan terhadap air tanah

dari waktu ke waktu semakin meningkat. Pengguna air tanah terbesar adalah

untuk rumah tangga yang memanfaatkan air tanah dangkal dan industri yang

memanfaatkan air tanah dalam. Total volume pengambilan air tanah dalam

pada tahun 2004 adalah 13.977.201 m3. Untuk lebih jelasnya kebutuhan

terhadap air tanah dalam oleh berbagai kelompok pengguna air tanah dapat

dilihat pada Lampiran 9 dan untuk menghitung penggunaan air tanah

dangkal oleh masyarakat/rumah tangga dengan menghitung jumlah

penduduk dikalikan standar kebutuan air bersih dikurangi distribusi air PDAM

untuk rumah tangga. Hasil perhitungan pengambilan air tanah oleh kelompok

rumah tangga dibahas dalam sub bab ekonomi air dan tabel perhitungan

total kebutuhan terhadap air bersih berdasarkan jumlah penduduk dan total

suply air PDAM untuk rumah tangga dapat dilihat pada Lampiran 10.

Dengan menurunnya cadangan air tanah maka air permukaan semakin

meningkat, sebagaimana telah diuraikan dalam bab pendahuluan tentang

neraca air bahwa jumlah air secara keseluruhan adalah tetapp, jadi bila

terjadi pengurangan pada salah satu variabel maka akan terjadi peningkatan

pada variabel yang lain. Peningkatan jumlah/debit air permukaan yang tidak

terkendali dapat menimbulkan bahaya banjir. Perubahan ketersediaan

sumberdaya air yang terkait dengan perubahan penggunaan lahan

ditampilkan dala Tabel 18 di bawah ini.

Tabel 18. Perbandingan Ketersediaan Sumberdaya Air dengan Penggunaan Lahan Tahun 1959, 1994 dan 2004

Kondisi Lahan

Luas Lahan (Km2)

(%)

Infiltrasi

(F) (m3)

(%)

Run-Off

(RO) (m3)

( % )

Tahun 2004 Terbangun Ruang Terbuka Total Tahun 1994 Terbangun Ruang Terbuka Total Tahun 1959 Terbangun Ruang Terbuka Total

128,26 57,62

185,88

103,77 82,11

185,88

37,18 148,70 185,88

69 31

100

55,83 44,17

100

20 80

100

8.272.589 9.911.122

18.183.711

8.343.108 17.604.384 25.947.492

9.368.352 49.964.544 59.332.896

45,5

52

76

19.302.709 2.477.780

21.780.489

19.467.252 4.401.096

23.868.348

6.245.568 12.491.136 18.736.704

54,5

48

24

Sumber : Tabel 15

Seperti pada pembahasan sebelumnya perubahan penggunaan lahan

dari ruang terbuka hijau menjadi areal terbangun memerikan dampak

terhadap menurunya infiltrasi sebagai pasokan terhadap keberadaan air

tanah, dengan demikian muka air tanah pun akan menurun. Penurunan

muka air tanah bisa dilihat dengan membandingkan pada waktu yang

berbeda, dalam penelitian ini dibandingkan penurunan muka air tanah dan

kondisi lahan pada tahun 1959 dengan tahun 2004 seperti pada Tabel 19

dibawah ini.

Tabel 19. Perkembangan Perubahan Muka Air Tanah Tahun 1959 dan 2004

Sumber : Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang

Berdasarkan data yang curah hujan dan suhu udara rata-rata tahunan Kota

Tangerang yang diperileh dari Badan Meteorologi dan Geofisika Kota

Tangerang diperoleh grafik curah hujan dari tahun 1994 sampai dengan

tahun 2000 secara umum cenderung konstan (Gambar 52), sedangkan suhu

udara rata-rata tahunan dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2000 secara

umum terlihat menunjukan kenaikan (Gambar 53 ), Kenaikan suhu udara

diduga disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan dari ruang terbuka

hijau menjadi kegiatan industri dan prasarana jalan yang semakin besar

untuk mengimbangi kenaikan jumlah kendaraan bermotor, kedua kegiatan

tersebut bisa mengakibatkan polusi udara yang mengikis lapisan ozon yang

merupakan filter bagi bumi dari panasnya sinar matahari, dengan demikian

sinar matahari lebih besar ang menembus lapisan ozon yang mengakibatkan

suhu udara mengalami peningkatan.

TAHUN RTH MUKA AIR TANAH (m)

(%) GEOLISTRIK SUMUR

1959 80 5 2004 31 14 7

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

1 2 3 4 5 6 7 8

TAHUN KE (1994 - 2000)

CU

RA

H H

UJ

AN

RA

TA

-RA

TA

TA

HU

NA

N (

mm

)

Series1

Sumber : Tabel 12

Gambar 50. Grafik Curah Hujan Rata-rata Tahunan Kota Tangerang 1994 - 2000

26.5

26.6

26.7

26.8

26.9

27.0

27.1

27.2

27.3

27.4

27.5

1 2 3 4 5 6 7

TAHUN KE (1994 - 2000)

SU

HU

UD

AR

A R

AT

A-R

AT

A T

AH

UN

AN

(C

)

Series1

Sumber : Tabel 13 Gambar 51. Grafik Suhu Udara Rata-rata Tahunan Kota Tangerang Tahun 1994 – 2000

Debit Sungai Cisadane dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2000 secara

umum cenderung meningkat (Gambar 54), meskipun curah hujan yang turun

dalam kurun waktu tersebut cenderung tetap. Peningkatan debit Sungai

Cisadane diduga sebagai akibat dari perubahan penggunaan lahan dari

ruang terbuka menjadi areal terbangun. Dengan terus terjadinya perubahan

penggunaan lahan dari ruang terbuka hijau menjadi areal terbangun

menyebabkan curah hujan yang jatuh ke permukaan tanah dan diteruskan

kedalam tanah menjadi aliran air tanah semakin berkurang, sebaliknya aliran

permukaan terus meningkat yang merupakan pasokan bagi Sungai Cisadane

sehingga debit sungai mengalami peningkatan.

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

140.00

160.00

180.00

1 2 3 4 5 6 7

Tahun

Deb

it (

m3/

det

)

Series1

Sumber : Lampiran 6 Gambar 52. Grafik Debit Sungai Cisadane Rata-rata Tahunan Tahun 1994 - 2000

Keterkaitan Perubahan Penggunaan Lahan dengan Land Rent

Perubahan land rent selain dipengaruhi oleh lokasi yang strategis antara lain

jarak dari pusat kota atau pusat pelayanan dan aksesibilitas yang tinggi, juga

land rent dapat dipengaruhi oleh perubahan penggunaan lahan. Land rent

bisa berubah dengan berubahnya fungsi lahan atau aktifitas perekonomian.

Dalam survey yang dilakukan terhadap beberapa lokasi serta penggunaan

lahan yang berbeda menunjukan perbedaan land rent pada penggunaan

lahan yang sama dengan jarak yang berbeda dengan pusat kegatan (pusat

kota) juga terdapat perbedaan nilai land rent pada lokasi yang sama namun

penggunaan lahan berbeda. Berikut akan disampaikan beberapa nilai land

rent berdasakan lokasi dan penggunaan lahan.

Pada lokasi yang paling jauh dari pusat kota di dekat pantai Kramat

Kecamatan Sepatan banyak terdapat kegiatan tambak sebagian petani

tambak mempunyai lahan sendiri sebagian lagi mengusahakan dengan cara

sewa. Harga sewa lahan untuk tambak di daerah tersebut pada umumnya

sebesar Rp. 2.500.000,- /hektar/tahun, sedangkan untuk harga sewa rumah

tinggal permanen antara Rp. 1.000.000,- sampai dengan 1.500.000,- untuk

bangunan permanen dengan luas bangunan 45 m2 diatas tanah 90 m2.

Untuk lokasi yang tidak jauh dari pusat kota yang terletak di Kecamatan

Cibodas terdapat beberapa tanah kosong yang disewakan sebagai

penampung bahan material seperti pasir, batu dll. Harga sewa lahan kosong

yang berlaku di lokasi tersebut sebesarRp. 5.000.000,- pertahun untuk setiap

luas tanah 1.000.000 m2. Sedangkan harga sewa rumah tinggal pada

perumahan yang berdekatan dengan lokasi tersebut berkisar antara Rp.

8.000.000,- sampai dengai Rp. 10.000.000,- untuk rumah tinggal dengan

luas bangunan 54 m2 diatas tanah 120 m2. Sedangkan harga sewa untuk

ruko yang terletak dipinggir jalan pada lokasi yang sama harga sewa ruko

rata-rata Rp. 15.000.000,- untuk ruko dua lantai ukuran 4 x 15 m2 dengan

luas tanah 60 m2. Pada daerah industri yang terdapat banyak sewaan

rumah/kamar yang diperuntukan bagi pekerja industri harga sewa perkamar

rata-rata Rp. 200.000,- perbulan atau Rp. 2.400.000,- pertahun untuk kamar

ukuran 3 x 4 m2 dengan halaman/eras berukuran 1 x 3 m2.

Pada lokasi yang terletak di pusat kota tidak terdapat lahan kosong yang

disewakan sebagai tempat usaha. Tempat usaha yang disewakan masih

terdapat dalam bangunan pasar modern (mall) pada umumnya toko yang

berada di lingkungan mall sudah dibeli oleh pemilik toko, namun masih

terdapat toko dalam mall di pusat kota yang disewakan oleh pembeli ruko

tersebut harga sewa toko di dalam mall rata-rata sebesar Rp. 1.000.000,-

perbulan atau Rp. 12.000.000,- pertahun untuk toko berukuran 3x4 m2.

Disini terlihat bahwa perubahan penggunaan lahan sangat berpengaruh

terhadap perubahan nilai land rent, Land rent berubah seiring dengan

berubahnya fungsi lahan.

Dari uraian diatas berdasarkan survey dilapangan semakin jelas bahwa nilai

land rent dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor lokasi (jarak dari pusat

kota/pusat kegiatan, aksesibilitas dan fasilitas penunjang) serta faktor fungsi

kegiatan (penggunaan lahan).

Kondisi Ekonomi Air

Perilaku Supply - Demand Air

Kota Tangerang, dengan pertumbuhan penduduknya yang pesat,

dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 3,51 %. Jumlah penduduk Kota

Tangerang pada akhir tahun 2003 adalah berjumlah 1.466.577 juta jiwa

denga jumlah rumah tangga sebanyak 368.858 yang tersebar pada 4.292

Rukun Tetangga (RT), 901 Rukun Warga (RW), 103 kelurahan dan 13

kecamatan.

Besarnya pertambahan jumlah penduduk telah meningkatkan

permintaan terhadap air bersih terutama untuk keperluan air minum dan

sanitasi di wilayah Kota Tangerang. Menurut WHO kebutuhan air standar

perorangan untuk kota Metropolitan itu adalah 125 liter/ orang/ hari, jika

mengikuti standar kesehatan WHO ini untuk memenuhi kebutuhan air

penduduk Kota Tangerang, dengan jumlah penduduk tahun 2004

diperkirakan sebesar 1,518.053 jiwa, maka kebutuhan air penduduk Kota

Tangerang pada tahun sekarang adalah 189.757 m3/ hari atau setara

dengan 69.261.305. m3 /tahun.

Sementara itu, kapasitas produksi PDAM Kota Tangerang pada tahun

2004 adalah sebesar 1.560 liter/detik yang setara dengan 134.784 m3/ hari

atau setara dengan 49.196.160 m3/ tahun, dari lima instalasi penjernihan air

yang dimiliki oleh PDAM Kota Tangerang dua instalasi dengan kapasitas

produksi sebesar 350 l/det, PDAM Kabupaten Tangerang tiga instalasi

dengan kapasitas produksi sebesar 1.200 l/det dengan wilayah pelayanan

mencakup Kota dan Kabupaten Tangerang dan perusahaan swasta satu

instalasi dengan kapasitas produksi sebesar 10 l/det. Air dari PDAM yang

terdistribusi kepada konsumen pada tahun 2004 sebesar 20.974.992 m3

untuk berbagai golongan konsumen, untuk konsumsi rumah tangga sebesar

16.232.586 m3. Sehingga dari data ini hanya sebagian kecil kebutuhan air

penduduk yang terlayani oleh PDAM Kota Tangerang. Yakni hanya sekitar

23,44 % dari kebutuhan standart penduduk Kota Tangerang. Besarnya

kebutuhan air penduduk Kota Tangerang ini telah menyebabkan penduduk di

wilayah ini menggunakan sumber air alternatif untuk memenuhi kebutuhan

air mereka melalui pemompaan air tanah, sumur, dan lain sebagainya.

Penduduk yang menggunakan air alternatif yang tidak menggunakan air

PDAM sebesar 76,56% dari kebutuhan penduduk atau sebanyak 53.028.582

m3. Diasumsikan sumber air alternatif lain adalah air tanah dangkal

berdasarkan perhitungan neraca air air yang meresap kedalam tanah

menjadi cadangan air tanah pada tahun 2004 sebesar 18.183.711 m3. Disini

terlihat bahwa suply air tanah (infiltrasi) lebih kecil dari demand, pada kondisi

inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan muka air tanah.

Seiring dengan trend perkembangan jumlah penduduk di wilayah Kota

Tangerang, maka kebutuhan terhadap air minum dan sanitasi akan terus

meningkat hal ini terlihat dari grafik kebutuhan air yang cenderung meningkat

(Gambar 57). Hal ini disebabkan karena Kota Tangerang tetap menjadi

pusat pertumbuhan ekonomi dan memiliki kesempatan kerja serta ekspektasi

yang besar bagi imigran dari daerah lain untuk mencari kerja dan menetap di

Kota Tangerang atau yang mencari kerja di jakarta dan tinggal di Tangerang

sebagai komuter.

Disamping itu, meningkatnya permintaan air bersih PDAM oleh

penduduk Kota Tangerang juga lebih banyak disebabkan oleh tidak bisa

dimanfaatkannya air sungai yang ada karena tercemar oleh sampah, plastik,

limbah rumah tangga dan industri, tingginya sedimentasi air sungai karena

erosi yang menyebabkan tingkat kekeruhan air sungai lebih tinggi. Sehingga

air sungai tidak bisa lagi dimanfaatkan lagi sebagai air untuk keperluan

mencuci, memasak, apalagi untuk keperluan air minum.

Sumber : PDAM Kabupaten Tangerang, 2005

Gambar 53. Peta Sebaran Instalasi Pengolahan Air PDAM

IPA MEKARSARI 350 l/det

IPA BABAKAN 80 l/det

IPA PERUMNAS 120 l/det

IPA CIKOKOL 1.100 l/det

Sumber Kota Tangerang dalam Angka, 2005 (Bapeda) Gambar 54. Grafik Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Tangerang

Sumber Perhitungan dari Gambar 53 dengan standar WHO

Gambar 55. Grafik Jumah Perkembangan Kebutuhan Air (Asumsi Kebutuhan Air Standar WHO 125 liter/hari/orang)

1100000115000012000001250000130000013500001400000145000015000001550000

1999 2000 2001 2002 2003 2004

JumlahPenduduk1.267.54

7

1.518.053

1.311.746

1.354.226

1.416.842

1.466.577

52000000540000005600000058000000600000006200000064000000660000006800000070000000

1999 2001 2003

57.831.832

Tahun

Kebutuhan Air Bersih (m3)

59.831.832

61.786.561

64.643.416

66912576

69.261.365

Jika dilihat dari potensi sumberdaya air yang dimiliki oleh wilayah Kota

Tangerang wilayah ini memiliki lebih kurang 4 buah aliran sungai. Oleh

karena itu, secara fisik geografis dan hidrologis, wilayah Kota Tangerang

memiliki potensi sumberdaya air yang sangat berlimpah, tetapi karena tidak

dipelihara dan diatur dengan baik, justru banyaknya sungai menimbulkan

bahaya banjir, dikala musim hujan. Dari jumlah sungai yang ada di Kota

Tangerang, hanya Kali Cisadane dan sebagian kecil Kali Angke digunakan

untuk air minum, sedangkan yang lainnya tidak dipergunakan untuk

keperluan rumah tangga bagi penduduk. Itulah sebabnya, sumber air baku

untuk air minum Kota Tangerang sebagian besar berasal dari Kali Cisadane

yang pemakaian air baku untuk keperluan air bersih mencapai 48.89 juta m3

/ tahun, hal ini kira-kira 99,36% dari penggunaan air baku PDAM yang ada di

Kota Tangerang.

Tabel. 20 Jumlah dan Panjang Sungai di Kota Tangerang

NO SUNGAI PANJANG

(Km)

LUAS

(Ha)

PERUNTUKAN

1. Cisadane 46.200 1.155.000 Air Baku Minum

2. Cirarab 28.750 172.500 Usaha Perkotaan

3. Mookevart 7.300 233.600 Usaha Perkotaan

4. Kali Angke 12.810 538.020 Air Baku Minum

5. Kali Sabi 27.300 351.900 Usaha Perkotaan

Sumber : Dinas PU Kota Tangerang, 2005

Hal ini belum termasuk potensi air tanah; dimana wilayah Kota

Tangerang juga merupakan daerah Cekungan air tanah (CAT) dengan luas

sebarannya lebih kurang 183,78 Km 2 dengan volume air dalam akifernya

lebih kurang 327,13 juta m3/ tahun, dengan curah hujan rata-rata yang jatuh

pada cekungan ini sebesar 1.780 mm/ tahun. Wilayah penelitian terbagi

dalam 2 CAT, dimana sebelah Timur Sungai Cisadane yang meliputi Kec.

Ciledug, Kec. Larangan, Kec. Karang Tengah, Kec. Pinang, Kec. Cipondoh,

Kec. Tangerang, Kec. Batuceper, Kec. Neglasari dan Kec. Benda termasuk

dalam CAT Jakarta dengan jumlah aliran air tanah pada akifer dangkal atau

laju precipitasi pada cekungan ini sebesar ± 803 juta m3/ tahun, dan jumlah

aliran air tanah pada akifer dalam adalah ± 40 juta m3/ tahun, sedangkan

wilayah sebelah Barat Sungai Cisadane yang terdiri dari Kec. Karawaci, Kec.

Jatiuwung, Kec. Cibodas dan Kec. Periuk termasuk dalam CAT Serang-

Tangerang dengan jumlah aliran air tanah pada akifer dangkal atau laju

precipitasi pada cekungan ini sebesar ± 1.075 juta m3/ tahun, dan jumlah

aliran air tanah pada akifer dalam adalah ± 18 juta m3/ tahun (DGTL, ESDM,

2001). Dalam Cekungan air tanah Tangerang – Serang wilayah Kota

Tangerang menempati luas wilayah sekitar 6,7% dari total luas Cekungan air

tanah Tangerang – Serang, dengan demikian diperkirakan jumlah aliran air

tanah yang mengalir diwilayah Kota Tangerang sekitar 6,7 % dari jumlah

aliran air tanah pada Cekungan air tanah Tangerang - Serang, yaitu aliran air

tanah bebas (air tanah dangkal) sebesar 72,025 juta m³ per tahun,

sedangkan aliran air tanah tertekan (air tanah dalam) sebesar 1,206 juta m³.

Dalam Cekungan air tanah Jakarta wilayah Kota Tangerang menempati luas

wilayah sekitar 15% dari total luas Cekungan air tanah Jakarta, dengan

demikian diperkirakan jumlah aliran air tanah yang mengalir diwilayah Kota

Tangerang sekitar 15 % dari jumlah al iran air tanah pada Cekungan air tanah

Jakarta, yaitu aliran air tanah bebas (air tanah dangkal) sebesar 120,45 m³

per tahun, sedangkan aliran air tanah tertekan (air tanah dalam) sebesar 6

juta m³/tahun. Dengan demikian total jumlah aliran air tanah dangkal di

wilayah Kota Tangerang sebesar 192.475.000 m³/tahun dan aliran air tanah

dalam sebesar 7.206.000 m³/tahun. Dalam pada itu, pengambilan air tanah

dalam yang tercatat pada Dinas Pendapatan Propinsi Banten di wilayah Kota

Tangerang pada tahun 2004 sebesar 13.977.201 m3, bila dibandingkan

angka pengambilan air tanah dalam yang tercatat oleh Dinas Pendapatan

Propinsi Banten dengan jumlah aliran air tanah dalam hasil penelitian DGTL,

maka jumlah pengambilan air tanah lebih besar daripada jumlah aliran air

tanah dalam, pada kondisi demikian bisa terjadi intrusi air laut pada akifer

dalam, hal ini dapat dibuktikan dari hasil interpretasi geolistrik diperkirakan

air tanah dalam telah mengalami intrusi air laut yang menandakan bahwa

telah terjadi penurunan muka air tanah dalam yang diakibatkan pengambilan

air tanah dalam lebih besar dari jumlah aliran air tanah.

Sistem Supply Air Bersih di Wilayah Kota Tangerang.

Penyediaan air bersih di wilayah Kota Tangerang, masih dilayani oleh

PDAM Kota Tangerang dan PDAM Kabupaten Tangerang, sedangkan

wilayah yang belum dilewati oleh jaringan pipa PDAM menggunakan air

tanah untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Secara umum sistem

pendistribuasian air bersih, di bagi dalam 2 wilayah distribusi air yakni:

1. Wilayah Kecamatan Tangerang, Karawaci, Cibodas, Jatiuwung dan

Periuk dilayani oleh PDAM Kabupaten Tangerang. Instalasi produksi

PDAM Kabupaten Tangerang mempunyai kapasitas produksi 1.200

l/det. Sumber air bakunya berasal dari Sungai Cisadane.

2. Wilayah Kecamatan Neglasari, Batuceper dan Benda dilayani oleh

PDAM Kota Tangerang, dengan kapasitas produksi 350 l/ detik sumber

air bakunya berasal dari Sungai Cisadane.

3. Wilayah Ciledug, dilayani oleh Perusahaan Swasta yang bekerjasama

dengan PDAM Kota Tangerang, namun baru sebagian kecil dari

wilayah tersebut yang terlayani, dengan kapasitas produksi 10 l/ detik

sumber air bakunya berasal dari Kali Angke

Berikutnya, sumber-sumber penyediaan air minum dan air baku di

wilayah Kota Tangerang sebenarnya sudah sangat memadai karena dengan

adanya Sungai Cisadane yang mempunyai debit yang sangat besar untuk

memenuhi kebutuhan air wilayah Kota Tangerang. Persoalannya sekarang

adalah bagaimana mengelola sumberdaya air yang banyak ini menjadi satu

system pengelolaan terpadu baik antar sektoral, maupun antar wilayah dan

atas dasar apa pengelolaan terpadu itu bisa dilaksanakan. Oleh karena itu,

penentuan harga air itu sendiri merupakan langkah awal dalam menuju

pengelolaan sumberdaya air yang terpadu.

Menurut Anwar dkk (dalam Final Report “ Model Pengelolaan Sumber

Daya Air dan Lahan pada Kerjasama Ekonomi Inter Regional untuk

Meningkatkan Pembangunan Ekonomi Wilayah” Tahap I tentang Perilaku

Suply – Demand Air di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan, Lembaga

Penelitian IPB) selama ini yang dilakukan baru menentukan nilai manfaat

dan nilai perolehan air, sedangkan sebagai sumberdaya yang mulai

mendekati kelangkaannya terutama untuk air bersih, sumberdaya air telah

menjadi sumberdaya ekonomi, maka nilai air itu tidak lagi hanya nilai

kegunaanya tetapi nilai dalam pertukarannya (exchange), maka harga air

disini menjadi patokan di dalam pemanfatan dan pertukaran air tersebut.

Pertukaran yang dimaksud adalah pertukaran (trade off) antara pengguna air

yang memberikan nilai guna (utility ) air yang tinggi dengan pengguna yang

memiliki utility yang lebih rendah. Si pemilik air (sumberdaya air) yang

menggunakan air dengan utility yang lebih rendah dapat mempertukarkan

penggunaan airnya dengan pengguna yang utilitynya terhadap air tinggi

seperti antara petani yang menggunakan air untuk irigasi dengan industri dan

rumah tangga yang menggunakan untuk input dan kebutuhan minum dan

sanitasi. Artinya mekanisme pengaturan supply air harus mengacu kepada

mekanisme ekonomi sumberdaya air yang ada; dimana jika sumberdaya air

menjadi langka, maka akan berlaku prinsip-prinsip ekonomi pertukaran

didalamnya.

Sementara itu, dalam konteks otonomi daerah, pentingnya pemanfaatan

sumberdaya air sebagai pendorong aktifitas perekonomian wilayah

semakin terasa, karena jika dilihat pada trend PDRB di wilayah Kota

Tangerang, sumbangan sektor air terhadap peningkatan PDRB semakin

nyata, dan nilai sektor air semakin besar (Gambar 56).

Sumber : Kota Tangerang Dalam Angka (Bapeda, 2004)

Penentuan Harga Air

Menurut Anwar dkk (dalam Final Report “ Model Pengelolaan Sumber

Daya Air dan Lahan pada Kerjasama Ekonomi Inter Regional untuk

Meningkatkan Pembangunan Ekonomi Wilayah” Tahap I tentang Perilaku

Suply – Demand Air di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan, Lembaga

Penelitian IPB) usaha untuk memberikan nilai kepada penggunaan

sumberdaya air oleh para penggunanya (value in use) telah lama dilakukan

di Indonesia, tetapi usaha untuk memberikan nilai air dalam pertukarannya

(value in exchange); yakni harga air, merupakan suatu hal yang baru,

karena air selama ini dianggap sebagai public good, sehingga konsumsi

terhadap air tidak dikenakan biaya, dan pemerintah berkewajiban di dalam

penyediaan air ini bagi penduduk.

Pada awalnya ekonom menganggap bahwa air adalah barang

konsumsi yang tidak ada nilainya di dalam pertukaran karena

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

1999 2000 2001 2002 2003

Gambar 56. Perkembangan Sumbangan Air Bersih terhadap PDRB

Juta Rupiah

ketersediaannya yang berlimpah, dan pengadaan terhadap air ini tidak

membutuhkan tenaga kerja (labor) yang banyak, sehingga nilainya di dalam

pertukaran rendah karena relative rendahnya biayanya (extraction cost).

Ketersediaan sumberdaya air sudah mulai memperlihatkan gejala

kelangkaan, terutama karena pengaruh musim, sehingga air telah menjadi

barang ekonomi, dan perlu diatur sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi.

Prinsip ekonomi utama yang perlu diterapkan adalah system harga dan

pertukaran dari sumberdaya air itu sendiri, karena dipercaya bahwa harga

merupakan suatu metoda untuk mengalokasikan sumberdaya air, agar

penggunaan sumberdaya air menjadi lebih efisien, yang pada gilirannya

dapat mengkonservasi sumberdaya air itu sendiri. Jika pasar gagal dalam

mengalokasikan sumberdaya air itu (market failure) maka akan terjadi

eksternalitas, sumberdaya air akan mengalami degradasi, oleh karena itu,

diperlukan campur tangan pemerintah agar tetap menjaga pasar berjalan

dengan baik melalui pengaturan dan penyediaan kesempatan yang sama

bagi setiap pihak yang berkepentingan dengan memperoleh kesempatan dan

akses yang sama terhadap sumberdaya air.

Pada dasarnya, telah banyak dilakukan upaya untuk menghitung nilai

manfaat dan pajak air, tetapi sedikit sekali yang mencoba untuk menghitung

harga air, karena sebelumnya air dianggap sebagai public goods, maka

sejak arus globalisasi perekonomian melanda perekonomian Indonesia

pemikiran kearah penentuan harga air yang tepat semakin berkembang,

dengan dasar pemikiran bahwa air sekarang telah menjadi economic goods .

Diantara tata cara penghitungan nilai manfaat air (NIMA) telah

dilakukan oleh Kimpraswil (Anwar dkk, 200) . Tata cara penghitungan pada

prinsipnya adalah jumlah komponen biaya dalam satuan waktu dibagi

dengan jumlah pengambilan air dalam satuan waktu yang sama. Hasil bagi

tersebut menghasilkan tariff penggunaan air permeter kubik. Komponen

biaya dalam perhitungan itu adalah:

e. Biaya ekploitasi dan pemeliharaan (E& P)

f. Biaya Depresiasi

g. Biaya amortisasi; yakni konsep alokasi harga perolehan harta tetap tidak

berwujud dan harga perolehan harta sumberdaya alam

h. Biaya tidak langsung atau overhead.

Perhitungan tarif air yang dilakukan oleh NIMA dengan memasukan

konsep sisi penyediaan air dimana disamping biaya E&P juga dimasukan

biaya penyediaan sarana dan prasarana penyediaan air berupa historical

cost, kemudian juga biaya perlindungan sumberdaya air, sehingga semua

biaya penyediaan air baku dimasukan ke dalam perhitungan. Jadi total

biaya dibagi dengan volume potensi air dalam wilayah sungai akan

memberikan petunjuk besaran angka mampu pulih air, besaran inilah yang

disebut dengan NIMA oleh Kimpraswil (Kimpraswil, 1998:37)

Perhitungan nilai manfaat air yang dikeluarkan oleh pihak Kimpraswil

adalah didasarkan kepada bagian yakni:

1. Sisi penyediaan

Maka nilai dasar manfaat air mengambil bentuk formula sebagai

berikut (Anwar dkk):

Vs

LSMn

Vs

P

.

.1

. αα

++

=

dimana:

P = Penyediaan air atau dalam hal ini adalah supply air baku

Vs = Jumlah ketersediaan air dalam satuan wilayah sungai (m3/

tahun)

n = Jumlah umur ekonomis prasarana bangunan irigasi (dalam tahun)

M = Nilai investasi pembangunan sarana pengairan untuk kemanfatan

umum dari sumberdaya air (Rp/ tahun)

S = Jumlah pengeluaran operasional dan pemeliharaan bangunan

prasarana pengairan yang ditujukan untuk mendukung

keseimbangan antara ketersediaan dan permintaan air dalam setiap

tahun (Rp/tahun).

L = Jumlah pengeluaran aktifitas dan invenstasi yang ditujukan untuk

mendukung kelestarian air dan sumberdaya air. (Rp/ tahun)

á = Faktor Pengali.

Model perhitungan nilai manfaat air ini dipakai dalam menetapkan harga

air oleh Perum Jasa Tirta II (PJT II) untuk Sungai Citarum, maka

komponen biaya yang digunakan adalah biaya investasi (M), biaya

operasional (S), dan biaya pelestarian lingkungan (L). maka dengan

rincian biaya yang diperlukan oleh pihak PJT II dapat dihitung nilai

manfaat airnya tahun 2003/2004 sesuai dengan konsep NIMA, adalah

sebagai berikut:

1. Umur bangunan Pengairan, n, adalah dihipotesiskan 50 tahun

2. Biaya investasi (M) adalah Rp. 31 milyar

3. Biaya Pemeliharaan (L) adalah Rp. 8 milyar

4. Biaya Oprasional adalah (S) Rp. 5 milyar

5. jumlah persediaan air baku untuk PDAM dan Industri dari Divisi I PJT

II adalah sebesar 700 juta m 3 / tahun

6. Dengan factor pengali á sebesar 10 % yang berarti discount rate dari

kehilangan air, maka jumlah persediaan air baku menjadi 70 juta m3 /

tahun

Maka dapat dihitung nilai pemanfaatan air baku dari PJT II oleh para

penggunanya yakni PAM Jaya, Industri dan PDAM Daerah, dimana harga

air baku PJT II itu akan menjadi:

Vs

LSMn

Vs

P

.

.1

. αα

++=

70010.0

5000800031000501

×

++×=

P = Rp 186, 57 / m3

Nilai penyediaan air baku untuk PDAM dan industri oleh PJT II (tahun

2003/2004) itu diperoleh sebesar Rp. 186,57 / m3 air baku. Nilai penyediaan

air baku ini sangat tergantung kepada ketersediaan aliran mantap dari air

sungai Citarum, jika aliran mantap atau dalam hal ini debit sungai citarum

meningkat, maka nilai air baku dengan sendirinya akan mengalami

penurunan pula, demikian pula jika penggunaan air untuk pertanian

dimasukan yakni sebesar 6,5 juta m3/ tahun , maka nilai air baku yang

ditetapkan itu akan menjadi semakin berkurang yakni Rp. 184,85 / m3 .

Perhitungan tariff air seperti itu seharusnya bias diterapkan untuk pem akai

air di Sungai Cisadane, mangingat kewenangan pengelolaan sungai Citarum

dan Cisadane sama.

Namun dalam penetapan tarif air baku untuk keperluan air minum

kepada PDAM Kota Tangerang dan PDAM Daerah, serta air baku kepada

industri, selama ini hanya berdasarkan kepada penetapan tarif oleh

Keputusan Menteri Kimpraswil sebagai berikut:

1. Penetapan Tarif air baku PJT II untuk PDAM Daerah Kabupaten/ Kota

- SK Menteri PU No: 485/ KPTS/ 1996 tanggal 1 Juni 1996 adalah

sebesar RP. 23 / m 3

- SK Menteri Kimpraswil No: 283/ KPTS/ 2003 tanggal 28 Agustus

2003 adalah sebesar RP. 45 / m 3

- SK Menteri Kimpraswil/ PU No: 201/ KPTS/M/ 2004 tanggal 19

Maret 2004 adalah sebesar RP. 45 / m 3

2. Penetapan tariff air baku PJT II untuk Industri

- SK Menteri Kimpraswil/ PU No: 485/ KPTS/ 1996 tanggal 1 Juni

1996 adalah sebesar RP. 23 / m 3

- SK Menteri Kimpraswil No: 284/ KPTS/ 2003 tanggal 28 Agustus

2003 adalah sebesar RP. 50 / m3

- SK Menteri Kimpraswil/ PU No: 202/ KPTS/M/ 2004 tanggal 19

Maret 2004 adalah sebesar RP. 50 / m3

Berdasarkan penetapan tarif air baku yang ada oleh keputusan

Menteri Kimpraswil diatas, dimana tariff untuk industri itu hanya sebesar Rp.

50 / m3 , maka terlihat bahwa penetapan tariff air baku ini jauh lebih rendah

dari perhitungan nilai manfaat air yang dikeluarkan oleh Kimpraswil sendiri,

dimana berdasarkan perhitungan NIMA, maka tariff air baku untuk industri itu

adalah Rp. 186, 57 / m3. Jadi tariff air baku untuk industri baru hanya seperti

tiganya dari biaya penyediaan air sesungguhnya, sedangkan tariff air baku

PDAM Kota Tangerang yang ditetapkan oleh pihak PJT II sebesar Rp. 45 /m3

tahun 2004 ini sedangkan berdasarkan perhitungan nilai manfaat air oleh

PDAM itu adalah sebesar Rp. 186, 57 /m3, baru mencapai seperempatnya

dari nilai air baku yang seharusnya dibayar. Keadaan ini mencerminkan

bahwa nilai air itu sangat rendah, sedangkan volume pemakainnya sangat

tinggi. Keduanya; pemakaian air oleh PDAM Kota Tangerang dan Industri

sifatnya high volume, tetapi low value.

Jika ditelaah lebih jauh, penetapan tariff air baku antara PDAM Kota

Tangerang dengan Industri, terlihat bahwa tariff air baku untuk PDAM Kota

Tangerang lebih rendah dari pada tariff air untuk industri. Hal ini sesuai

dengan kerangka teoritis yang ada, dimana nilai air untuk Industri lebih tinggi

jika dibandingkan dengan nilai manfaat air oleh PDAM Kota Tangerang yang

pada dasarnya air baku PDAM Kota Tangerang ini sebagian besarnya

adalah untuk keperluan air minum penduduk. Fakta ini membuktikan bahwa

pembangunan sumberdaya air selama ini lebih berpihak kepada ebutuhan

masyarakat dari pada pembangunan perkotaan dalam hal ini adalah

pembangunan industri meskipun tidak terlalu signifikan.

Konsep NIMA ini belum bisa mencerminkan tingkat kelangkaan

sumberdaya air dan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk berinvestasi

dalam penyediaan air baku ini, karena NIMA baru memperlihatkan

bagaimana pengaruh fluktuasi debit dan aliran mantap dari sungai sebagai

sumber air baku terhadap nilai penyediaan air itu sendiri. Dalam konsep

NIMA, jika volume pemakaian semakin besar, dengan asumsi nilai investasi

dan nilai perlindungan tetap, nilai manfaat air akan menjadi turun atau harga

persatuan meter kubiknya semakin kecil, sehingga jika ini terus dipakai akan

menyebabkan terjadinya penurunan dan pengikisan sumberdaya air. Air

akan menjadi langka dan debitnya akan menurun, tetapi investasi

terhadapnya akan menjadi lebih besar, karena untuk mempertahankan harga

persatuan meter kubik air sesuai dengan konsep NIMA, akan diperlukan

biaya Investasi dan biaya pemeliharaan yang tinggi. Ini adalah pemborosan

keuangan Negara, maka konsep NIMA ini harus di tinggalkan, karena tidak

sesuai dengan prinsip konservasi sumberdaya air itu sendiri. Konsep NIMA

masih berpijak pada paradigma bahwa air adalah public goods , ini harus

dirubah, bahwa air adalah economic goods, dimana semakin besar volume

air dikonsumsi, maka semakin tinggi pula biaya yang harus dikeluarkan untuk

itu.

Peningkatan Nilai Ekonomi Air

Seperti telah dibahas pada bab sebelumnya bahwa permintaan akan

kebutuhan air terhadap PDAM semakin meningkat, disisi lain harga air ang

disuplay dari PDAM terus meningkat, hal ini menunjukan bahwa air

mempunyai nilai ekonomi yang terus meningkat dari waktu ke waktu.

Sebelum tahun 50-an semua orang bisa memanfaatkan air secara bebas

(gratis) tanpa harus mengeluarkan uang. Namun kini hal itu tidak bisa

dilakukan lagi semakin banyak kalangan masyarakat yang memenuhi

kebutuhan air harus dengan membayar. Air tanah yang dipergunakan oleh

kalangan usaha dipatok dengan harga sesuai dengan aturan yang berlaku

untuk pengambilan setiap meter kubiknya, demikian pula untuk pengambilan

air permukaan oleh kalangan usahawan harus membayar dengan tarif yang

bervariasi tergantung dari klasifikasinya.

Kebutuhan air bersih untuk rumah tanggapun demikian pula, semakin

banyak orang memenuhi kebutuhan air untuk sehari hari (minum, mandi,

cuci) dengan harus membayar, produksi air PDAM terus meningkat dari

tahun ke tahun menunjukan bahwa nilai ekonomi air semakin meningkat.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut :

1. Karakteristik Kota Tangerang yang mendorong terjadinya perubahan

penggunaan lahan yang berdampak pada perubahan ketersediaan

sumberdaya air adalah pertambahan penduduk yang menyebabkan

permintaan terhadap lahan untuk pemukiman meningkat, disamping itu

perkembangan kegiatan ekonomi yang tumbuh dengan pesat juga

berimplikasi pada tekanan terhadap permintaan lahan semakin tinggi

antara lain untuk kegiatan industri, perdagangan dan jasa, fasilitas sosial

yang meliputi fasilitas pendidikan, kesehatan, peribadatan dan lain-lain

serta fasilitas pemerintahan, Pertumbuhan penduduk dan kegiatan

ekonomi tersebut berdampak kepada meningkatnya permintaan terhadap

sumberdaya air baik air tanah maupun air permukaan.

2. Pola perubahan penggunaan lahan secara umum terjadi dari lahan

pertanian menjadi non pertanian (industri, Perumahan/permukiman,

perdagangan dan jasa serta fasilitas sosial). Perubahan penggunaan

lahan dari ruang terbuka hijau (pertanian, tegalan) menjadi kawasan

terbangun (built up area) dari tahun 1959 – 2004 sebesar 245% atau rata-

rata 5,57% per tahun.

3. Ketersediaan sumberdaya air terutama air tanah dari tahun ketahun terus

mengalami perubahan pada tahun 1959 air hujan yang jatuh ke

permukaan tanah dan meresap kedalam tanah (infiltrasi) jauh lebih besar

dari air limpasan permukaan (run off), yaitu 76% meresap ke dalam tanah

dan 24% mengalir di permukaan, pada tahun 1994 air yang meresap ke

dalam tanah 52% dan 48% mengalir di permukaan, sedangkan pada

tahun 2004 air yang meresap ke dalam tanah 45,5% dan 54,5% mengalir

di permukaan. Sementara jumlah pemakaian air tanah lebih besar

daripada cadangan air tanah. Pada kondisi seperti ini telah terjadi

penurunan muka air tanah dangkal, demikian pula dengan kondisi air

tanah dalam pengambila lebih besar dari pada aliran air tanah dalam

(demand air tanah dalam lebih besar daripada supply) sehingga terjadi

penurunan muka air tanah dalam.

4. Perubahan penggunaan lahan dari ruang terbuka hijau menjadi kawasan

terbangun mengakibatkan terjadinya perubahan nilai koefisien run off,

dimana pada ruang terbuka hijau nilai koefisien run off sebesar 0,2

sedangkan setelah menjadi kawasan terbangun nilai koefisien run off

menjadi 0,7 artinya pada ruang terbuka hijau air hujan hujan jatuh ke

permukaan tanah 20% menjadi run off dan 80% meresap ke dalam tanah,

sedangkan pada kawasan terbangun 70% air hujan hujan jatuh ke

permukaan tanah menjadi run off dan 30% meresap ke dalam tanah.

Dengan demikian semakin luas lahan terbangun, air hujan yang meresap

ke dalam tanah yang menjadi cadangan air tanah semakin menurun,

sedangkan air limpasan permukaan R(run off) semakin besar, pada

kondisi curah hujan yang tinggi bisa menimbulkan banjir.

Saran

Untuk menjaga keseimbangan supply dan demand sumberdaya air

khususnya air tanah perlu dilakukan tindakan sebagai berikut :

1. Membuat dan melaksanakan aturan tentang Koefisien Dasar Bangunan

yang ketat untuk memperbesar air yang meresap kedalam tanah.

2. Pembuatan sumur resapan pada setiap bangunan, dan kolam resapan

komunal pada kawasan perumahan dan perdagangan. Untuk

melaksanakan hal tersebut perlu di payungi dengan adanya peraturan

daerah.

3. Merubah pola pembangunan dengan orientasi bangunan vertikal dengan

membangun rumah susun, apartemen, kondominium dll, untuk

menghemat penggunaan lahan.

4. Mengembangkan PDAM untuk dapat memenuhi kebutuhan air bersih

warga Kota Tangerang untuk meminimalkan pengambilan air tanah.

DAFTAR PUSTAKA Adisasmita R. 1983. Teori-Toeri Lokasi dan Pengembangan Wilayah. Universitas

Muslim Indonesia. Ujung Pandang.

Anwar A. 1990. Pengantar Metodologi Penelitian Ekonomi. Bahan Kuliah Metodologi Penelitian Ekonomi dan Sosial, Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, Program Pasca Sarjana, IPB.

Anwar A. 1993. Dampak Alih Fungsi Lahan sawah Menjadi Lahan Non-Pertanian Di Sekitar Wilayah Perkotaan. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Nomor 10, Triwulan IV. Bandung.

Anwar A. 1994. Tinjauan Beberapa Aspek Ekonomi Dari Konservasi

Tanah/Lahan. Bahan Kuliah Ekonomi Sumberdaya Alam, Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, Program Pasca Sarjana, IPB.

Anwar A. 1994. Beberapa Aspek Ekonomi Sumberdaya Lahan. Bahan

Kuliah Ekonomi Sumberdaya Alam, Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, Program Pasca Sarjana, IPB.

Anwar A, Fauzi A, Ansofino, Suciati LP ; Final Report “ Model pengelolaan Sumber

Daya Air dan Lahan pada Kerjasama Ekonomi Inter Regional untuk Meningkatkan Pembangunan Ekonomi Wilayah” Tahap I tentang Perilaku Suply – Demand Air di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan, Lembaga Penelitian IPB.

Alonso W. 1970. Locations and Land Use: Toward a General Theory of Land Rent. Harvard University Press, Cambridge.

Arsyad S. 1989. Konservasi Tanah dan Air [skripsi]. Bogor: Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Asdak, C, 2004 ; Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gajah Mada

University Press, Cetakan ketiga. Badan Meteorologi dan Geofisika, 1994-2003. Data Curah Hujan dan Temperatur

udara Rata-rata Bulanan. Badan Meteorologi dan Geofisika, Tangerang

Bappeda Kota Tangerang, 2000 ; Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tangerang Bapeda Kota Tangerang, 2003: Kota Tangerang Dalam Angka Tahun 2003 Bapeda Kota Tangerang, 2003 : Produk Domestik Regional Bruto Tahun 2003 Barret, E.C. and Curtis, L.F., 1983 ; Introduction to Envirromental Remote Sensing,

Chapmn and Hall, London Barlowe R. 1978. Land Resources Economic. The Economics of Real Es tate. 3nd ed.

Prentice -Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. Michigan State University.

Bowen, R, 1986; Ground Water, Elsevier Applied Science Publishers Burges EW. 1925. The Growth of The City : In The City. R.E.Park. University of

Chicago Press.

Cahyono TB. 1982. Ekonomi Pertanahan. Penerbit Liberty. Yogyakarta.

Direktorat Sumberdaya Air, IWACO, WASECO, 1990 ; Peta Hidrogeologi

Kabupaten Tangerang, West Java Provincial Water resources. Daldjoeni, N, 1992 ; Geografi Baru, Organisasi Keruangan dalam Teori dan Praktek,

Alumni Departemen Kehutanan, 2003 ; Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan

Konservasi Tanah DAS Cisadane Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang, 2004 ; Identifikasi dan Pemetaan Wlayah

Konservasi Air Tanah Kota Tangerang Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang, 2005 ; Dokuen ANDAL PDAM

Kabupaten Tangerang Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Banten ; Peta Hasil Sweeping Inventarisasi

SIPA ABT Dinas Pertanahan Kota Tangerang, , 2003; Foto Udara Kota Tangerang Tahun 2002. Fauzi, A, 2004; Ekonomi Sumber daya Alam dan Lingkungan, Gramedia. Jayadinata, J.T, ; Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan , Perkotaan &

Wilayah, Edisi Ketiga, Penerbit ITB Bandung. Lillessand, T.M and Kiefer, R.W, 1979 ; Remote Sensing and Image Interpretation,

John Wiley & Sons, New York. Linsley, R.K and Franzizi, J.B, 1979 ; Water Resources Engineering Third Edition,

Mc Graw Hill Book Company.

Linsley,R.K, Kohler,M.A, Paulhus, J.H, 1988; Hydrology for Engineers, Mc Graw Hill Book Company.

Linsley, R.K and Franzizi, J.B diterjemahkan Sasongko, D, 1991 : Teknik Sumber

Daya Air Edisi Ketiga Jilid 1, Penerbit Erlangga Muif, M, 1991 : Pengaruh Eksploitasi Air Tanah Terhadap Sistem Keseimbangan

Tata Air di Wilayah Jakarta (Tesis), Program Pasca Sarjana, IPB Pratondo, BJ, 2001 : Evaluasi Subedaya Lahan Dengan Memanfaatkan Teknologi

Inderaja dan SIG di Kabupaten Blitar (tesis), Program Pasca Sarjana, IPB

Rustiadi E. 2001. Alih Fungsi Lahan dalam Perspektif Lingkungan Pedesaan. Makalah Lokakarya Penyusunan Kebijaksanaan dan Strategi Pengelolaan Lingkungan Kawasan Pedesaan di Cibogo, Bogor, Tanggal 10-11 Mei 2001. Bogor.

Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2002. Analisis Kecendrungan dan dampak Proses Suburbanisasi di Wilayah Jabotabek; Suatu Upaya Pengembangan Model Pembangunan Wilayah Metropolitan. Fakultas Pertanian IPB

Saefulhakim S, Kitamura T dan Kobayashi S.1992. Factors Affecting Rural

Occupations and I.and Use: A Multivariate Approach Using Correspondence Analysis. Indonesian Journal of Tropical Agriculture, Vol. 4, No. 1, pp. 1-10.

Saefulhakim S. 1994. A Land Availability Mapping Model for Sustainable Land Use Management. Ph.D. Dissertation of Regional Planning Laboratory, Graduate School of Agriculture, Kyoto University, Kyoto.

Saefulhakim S dan Nasoetion LI. 1994. Rural Land Use Management for Economic Development. Paper presented at the Seminar on Agricultural Land Use Management, Organized by Asian Productivity Organisation (APO), Tokyo 8th-18th November 1994.

Saefulhakim S. 1996. A Study on Effectiveness of Land Use Conversion Control Policy Institutions, Case Study of Bali, Java, and South Sumatra. Monograph of Land Resources Development Planning Laboratory, Department of Soil Sciences, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University (IPB), Bogor. (In Indonesian).

Saefulhakim S dan Nasoetion LI. 1996. Irrigated Paddy Land Conversion Control Policy. Proceedings of National Forum on Soil and Agroclimatic Research Communication. Center tor Soil and Agroclimatic Researches, Bogor. (in Indonesian).

Saefulhakim S. 1997a. Conceptual Framework for Spatial Planning and Rural Area Development. Journal of Regional and Urban Planning, Vol.8, No.l, January 1997. Center for Regional and Urban Development, Bandung Institute of Technology (ITB), Bandung.

Saefulhakim S. l997b. Socio -economic Aspects of an Optimal Land Use Model for the Upper Cimanuk Basin. Inception Report, Cooperative Research Work of Research Institute of Bogor Agric. Univ. (IPB) and the World Bank (In Indonesian).

Saefulhakim S, Dyah RP dan Nasoetion LI. 1997. Land Ownership/Holding, Land Consolidation, and Land Use Arrangement Policy Model for Sustainable Agribusiness Development. Monograph of Land Resources Development Planning Laboratory, Department of Soil Sciences, Faculty of Agriculture, Bogor Agric. Univ. (IPB), Bogor. (In Indonesian)

Saefulhakim S.1998. Spatial Arrangement for Rural Areas, Agriculture Development, and Irrigation Infrastructure. Paper presented in the National Expert Forum for Designing the Government Regulation on Rural Spatial Arrangement. Jakarta, January 21-22, 1998. The National Coordinating Agency for Spatial Arrangement (BKTRN). (In Indonesian)

Saefulkaim S dan Otsubo. 1999. Land Use Global Environmental Concervation (LU/GEC) – Final Report Of The LU/GEC Firs t Phase (1995 –1997). Center for Global Environmental Research. National Institute for Environmental Studies.

Sahidin D. 1995. Kajian Alih Fungsi Lahan Akibat Perkembangan Industri di Kabupaten Daerah Tingkat II Purwakarta, Jawa Barat. Tesis. Program Pascasarjana. Jurusan Teknik Planologi. ITB. Bandung.

Sarief, E.S, 1986 : Konservasi Tanah dan Air, Pustaka Buana, Soepardi G. 1977. Sifat dan Ciri Tanah. IPB Press. Bogor. Soewali a.s. dan Soenarto, B, 1988 ; Pendugaan geolistrik untuk Penyelidikan Air

Tanah, Direktorat Penyelidikan Masalah Air, Bandung Somaji PR. 1994. Perubahan Tata Guna Lahan dan Dampaknya Terhadap

Masyarakat Petani di Jawa Timur. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana PWD, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Subagyo, S. 1990 ; Dasar-dasar Hidrologi, Gajah Mada University Press. Sukrisna, A, Murtianto, E dan Ruhciat, S ; Peta Cekungan Air Tanah Provinsi

Banten, Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan 2003.

Telford, ; Applied Geophisycs, Mc Graw Hill Book Company. Thomas, R.L, 1997 ; Modern Econometrics an introduction, Addison-Wesley. Turkandi, T, Sidarto, Agustiyanto, D.A dan Purbohadiwidjoyo, M.M, 1992 ; Peta

Geologi Lembar Jakarta, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Thunen, Johann HV (1826), Der Isolierte Staat in Bezieburg Ouf Lendwirtsc Haft

und Nationalokonomie, Hunburg friedrich (English Traslation by Peter Hill ed. Van Thunne’s Isolated State, Oxford Pegamon Press 1966.

Utomo. E.P., Arsadi. E.M dan Harjono. H.1981 : Dasar-dasar penafsiran Tahanan

Jenis, Lembaga Geologi dan Pertambangan Nasinal – LIPI, Bandung.

Welber A. 1909. Theory of Location of Industries. Chicago. University of chicago

Press.

Yunus, H.S, 2001 ; Struktur Tata Ruang Kota, Pustaka Pelajar Zahnd, M, 1999; diterjemahkan oleh Frick, H, Perancangan Kota Secara Terpadu,

Kanisius.