dampak kebijakan pemerintah pusat di thailand selatan...
TRANSCRIPT
Dampak Kebijakan Pemerintah Pusat di Thailand Selatan
(Studi Kasus Tragedi Masjid Krue Se dan Insiden Tak Bai)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Disusun oleh:
Agidia Oktavia
1112022000003
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M/1439 H
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAHPUSAT DI THAILAND SELATAII (STUDI KASUSTRAGEDI MASJID KRUE SE DAN INSIDEN TAK BAI)telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab danHumaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 09 Juli 2018.Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untukmemperoleh gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) pada programstudi Sejarah dan Peradaban Islam.
Ciputat 09 Juli 2018Panitia Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota,
H. Nurhasan. MANIP: 1960724 199703 1 001
Anggota,
Penguji I, Penguji II,
Drs.Imam Subchi. M.AIP: 19670810 200003 1 001
Pembimbing,
NIP: 1970119199403
-\.{1 -Dr. Amelia Fauzia. M.ANIP: 19710325 199903 2 004
Sekretaris M
t7 200501 2 007
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan:
1.
2.
J.
Skripsi ini merupakan hasil karyu asli dari saya sendiri
yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan
memperoleh gelar sarjana dalam jenjang strata satu (S1)
di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Svarif
Hidayatullah.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini
telah saya canfumkan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku di UIN Syarif Hidayatullah.
Jika di kemudian hari terbukti jika hasil karya ini bukan
hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya
orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
23 Juli 2018
Agidia Oktavia
i
Abstrak
Skripsi ini bertujuan menganalisa dampak dari kebijakan
Perdana Menteri Thaksin Shinawatra atas Tragedi Masjid Krue Se
dan Insiden Tak Bai di Thailand Selatan. Konflik minoritas di
Thailand Selatan memang bukan peristiwa baru akan tetapi konflik
yang mulai surut pada tahun 1990-an mengalami peningkatan
kembali di masa pemerintahan Thaksin Shinawatra sejak tahun
2001. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yaitu
heuristik, verifikasi, interpretasi dan historiografi. Penulis
menggunakan sumber primer berupa laporan pemerintah atas
tragedi Masjid Krue Se dan Insiden Tak Bai yang didukung oleh
laporan-laporan yang dilakukan Human Right Watch,
International Crisis Group, The Asia Foundation dan surat kabar.
Penulis menguji dugaan Duncan McCargo bahwa situasi di
Thailand Selatan sangat dipengaruhi oleh dinamika perpolitikan
nasional. Maka penulis menggunakan teori Dinamika Kebijakan
Internal Pemerintah dalam penelitian ini. Penulis mengkaji apakah
perubahan menuju demokrasi di Thailand memiliki implikasi
dalam hadirnya kembali gejolak pemberontakan di Thailand
Selatan. Untuk itu, penulis menelisik lebih jauh kebijakan-
kebijakan yang dilakukan pemerintah pusat Thailand dalam
menangani peningkatan kekerasan yang terjadi. Sementara
Pemerintah Thailand menduga bahwa terorisme transnasional
patut dicurigai sebagai salah satu dalang di balik Tragedi Masjid
Krue Se dan Insiden Tak Bai di Thailand Selatan.
Penulis mendapatkan temuan bahwa Tragedi Masjid Krue
Se dan Insiden Tak Bai dipicu oleh kesalahan kebijakan yang
dilakukan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra. Kebijakan
Thaksin membubarkan Civil Police Millitary Task Force 43
(CPM-43) dan Southern Border Province Administration Centre
(SBPAC) karena mengira lembaga yang didirikan oleh Prem
Trinsulanond terkait erat dengan jaringan monarki. Kebijakan
tersebut berdampak pada meningkatnya kekerasan di Thailand dan
khususnya memicu Tragedi Masjid Krue Se dan Insiden Tak Bai.
Kata Kunci: Tragedi Masjid Krue Se, Insiden Tak Bai, Dinamika
Kebijakan Politik
ii
Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam yang
telah melimpahkan segala nikmat, rahmat dan hidayah-Nya.
Shalawat serta salam, senantiasa tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat serta umat-
nya. Rasa syukur dan haru luar biasa tercurah, akhirnya dengan
usaha dan tekad yang sungguh-sungguh penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Dampak Kebijakan
Pemerintah Pusat di Thailand Selatan (Studi Kasus Tragedi
Masjid Krue Se dan Insiden Tak Bai)” Penulis menyadari
selesainya skripsi ini tidak berarti penulisan skripsi ini telah
sempurna melainkan masih memiliki banyak kekurangan.
Namun penulis berharap tulisan penulis dapat memberikan
sumbangsih bagi khazanah penelitian Islam di Thailand
Selatan, khususnya bagi mereka yang memfokuskan penelitian
pada Islam di Thailand Selatan pada masa kontemporer.
Penulis meyakini bahwa segala peritiswa dalam
kehidupan memiliki sebab dan akibat. Maka, selayaknya
peristiwa sejarah yang tidak tunggal dan aktor-aktor sejarah
yang tidak berdiri sendiri, begitu pula yang penulis alami.
Proses penelitian dan penulisan skripsi yang penulis lakukan
bukanlah proses instan. Untuk itu, dalam perjalanannya banyak
sekali orang-orang hebat yang dengan kebesaran jiwanya
iii
membantu penulis. Maka dengan rasa yang mengharu biru,
penulis sampaikan terima kasih yang seluas-luasnya kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A. selaku Dekan Fakultas Adab
dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah
3. H. Nurhasan, M.A. selaku Kepala Jurusan Sejarah dan
Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah yang senantiasa
memotivasi penulis dan teman-teman angkatan 2012 untuk
segera menyelesaikan skripsi.
4. Solikhatus Sa’diyah, M.Pd. selaku Sekretaris Jurusan
Sejarah dan Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah
yang dengan sabar membantu penulis mengurusi segala
proses administrasi yang penulis butuhkan.
5. Dr. Amelia Fauzia, M.A. selaku Dosen Pembimbing
Skripsi yang begitu sabar meluangkan waktunya,
memotivasi penulis, memberikan nasihat dan arahan yang
luar biasa berharga untuk membantu penulis
menyelesaikan skripsi. Penulis merasa sangat beruntung
berada di bawah bimbingan sosok yang senantiasa
menginspirasi penulis. Kebaikan hati dan keteguhan beliau
selalu menjadi motivasi penulis untuk maju. Beliau adalah
sosok yang tidak sungkan memberi kontribusi materiil
maupun immateriil hingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi penulis.
iv
6. Terima kasih kepada para Dosen Penguji yaitu Dr. Jajat
Burhanuddin, M.A. dan Drs. Imam Subchi, M.A. atas
pengarahan dan bimbingannya untuk membuat skripsi
penulis menjadi lebih baik.
7. Dr. Tati Hartimah, M.A. Beliau adalah dosen luar biasa,
selayaknya oase di Padang Pasir tatkala penulis mengalami
ketidak-yakinan untuk melanjutkan studi lagi namun beliau
bisa meyakinkan penulis untuk tetap konsisten dalam
mengikuti perkuliahan.
8. Terima kasih kepada seluruh Dosen Prodi Sejarah
Peradaban Islam yang telah memberikan ilmunya sehingga
membuat penulis menjadi lebih baik lagi.
9. Rodi dan Sri Astuti selaku orang tua penulis. Terima kasih
atas segala yang telah diberikan. Cinta, kasih, motivasi dan
pengorbanan tanpa pamrih yang senantiasa Ayah dan Ibu
berikan membuat penulis dapat menyelesaikan skripsi
penulis dan lebih jauh membawa penulis menjadi Sarjana.
10. Adik-adikku terkasih, Emilio Kamarullah, Aditya
Mahendra dan Dini Valindia. Terima kasih atas senda
gurau yang santai dan menusuk tatkala mengingatkan
penulis untuk segera merampungkan skripsi penulis.
11. Terima kasih yang teristimewa untuk Mbah Kakung (alm)
dan Mbah Putri, Om Udin, Om Amit dan keluarga, Cing
Mida dan keluarga, Lik Tari dan keluarga, Lik Neni dan
v
keluarga, Lik Mar dan keluarga, Lik Agus dan Keluarga
dan semua keluargaku.
12. Vina Septiani, sahabat baik penulis sejak kecil hingga saat
ini. Terima kasih atas segala bantuan baik materil maupun
immaterial sehingga penulis dapat merampungkan skripsi
penulis.
13. Terima kasih kepada sahabat-sahabat terbaik di MAN 11:
Affiza Maharani, Sarirotul Mukarromah, Nur Lailatul
Badriyah, dan Sri Hendrawati.
14. Terima kasih kepada sahabat-sahabat perempuan terbaikku
di Kampus: Irma Fauziah, Alifianti Uswatun Hasanah,
Hikmatul Bilqis, Nuris Salimatul Luthfia, Dliya
Mubarokah, Andini Rachmalia, Diah Nur Afifah,
Mardiyah, Muspiroh, Restu Diniyanti, Rizki Nurdia Astuti,
Titi Maria Ulfah, Siti Hajar, Suci Kismayanti, Durrotul
Muazah, Putri Lalla Tanjung, Suci Rahayu, Syifa Fauziah
Syukur, Alinda Nur Fitriani, Fitriani, Merindu Fitriani,
Fitri Mas’ulah, Dwi Septiani, Teti Nurjannah.
15. Terima kasih kepada sahabat-sahabat laki-laki terbaikku:
Ismeiyanto, Khairul Ummami, Firnandi Ghufron, Rizal
Hans Sri Pesona (Lanang), Mustaqim, Lukman Kholil
Ahmad, Machfud Hadi Wicaksana, M. Nur Azami.
16. Terima kasih spesial untuk guru spiritual terbaikku Ka
Reika Rahma, Umi Irma, dan Nenek Titiek Marjulin.
vi
17. Terima kasih kepada rekan dan sahabat baik dari komunitas
pecinta puisi dan kucing: Laily, Mamih Aya, Ka Rena,
Lanang, Ara, Tanti, Bang Dayat, Ka Murni, Ka Yue.
18. Terima kasih Komunitas Rembugan Pecinta Sejarah
(REMPAH) untuk pengalaman luar biasanya, semoga
REMPAH ke depannya semakin maju! Terima kasih Ka
Firman, Ka Tati, Ka Endi, Ka Dirga, Ka Hana, Ka Wilda,
Ka Indi sudah menerima saya dengan baik di REMPAH.
19. Terima kasih Keluarga Besar Social Trust Fund (STF) UIN
Jakarta telah membantu dan memberikan kepercayaan
kepada saya untuk menerima Beasiswa. Social Trust Fund
UIN Jakarta adalah wadah luar biasa dalam leadership dan
cara pandang global.
20. Terima kasih BAZIS Jakarta Selatan yang telah
memberikan kepercayaan kepada saya untuk menerima
Beasiswa.
21. Terima kasih Jurnal Perempuan untuk pengalaman luar
biasa! Terima kasih Mba Anita, Mba Ima, Ka Lola, dan Jo.
22. Terima kasih keluarga besar HMI KOFAH atas
kesempatan yang diberikan selama ini kepada saya,
yakusa!
23. Terima kasih keluarga besar IKAHIMSI (Ikatan Himpunan
Sejarah Se-Indonesia).
24. Terima kasih keluarga besar PKBM Merah Putih Lebak
Bulus, Jakarta Selatan. Terima kasih Ibu Nur, Ibu Uli, Ibu
vii
Indri dan Pak Wahyu, Pak Niam, Bu Nuttah dan Bunda
Yuni.
25. Terima kasih teman-teman KKN Replika (Relawan Peduli
Kampung): Alfi, Suci, Syifa, Puput, Ais, April, Kamila,
Ghufron, Ummam, Miftah, Hendri, Arul, Beni, dan Tulil.
26. Terima kasih luar biasa untuk teman-teman Jurusan
Sejarah Peradaban Islam Angkatan 2012!
22 Juli 2018
Agidia Oktavia
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK.....................................................................................i
KATA PENGANTAR.................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................viii
DAFTAR TABEL.......................................................................xi
DAFTAR GRAFIK....................................................................xi
DAFTAR SINGKATAN...........................................................xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..................................1
B. Pembatasan Masalah.......................................9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.......................10
D. Kerangka Teori..............................................11
E. Kajian Pustaka...............................................12
F. Metode Penelitian..........................................16
G. Sistematika Penulisan....................................21
BAB II MASYARAKAT THAILAND SELATAN
SEBELUM TRAGEDI MASJID KRUE SE
DAN INSIDEN TAK BAI
A. Geografi dan Struktur Masyarakat Muslim di
Thailand.........................................................24
B. Organisasi-Organisasi Muslim di
Thailand........................................................30
ix
C. Kebijakan Pemerintah Pusat di Thailand
Selatan........................................................40
BAB III TRAGEDI MASJID KRUE SE DAN INSIDEN
TAK BAI
A. Pemberontakan Thailand Selatan di Masa Awal
Pemerintahan Thaksin....................................43
B. Tragedi Masjid Krue Se.................................48
C. Insiden Tak Bai..............................................54
BAB IV DAMPAK TRAGEDI MASJID KRUE SE DAN
INSIDEN TAK BAI DI THAILAND SELATAN
A. Kebijakan Pemerintah Pusat di Thailand
Selatan...........................................................66
B. Respon Pemerintah atas Tragedi Masjid Krue
Se dan Insiden Tak Bai..................................67
C. Keadaan Masyarakat Thailand Selatan Paska
Tragedi Masjid Krue Se dan Insiden Tak
Bai.................................................................76
D. Relasi Pemerintah dan Masyarakat Paska
Tragedi Masjid Krue Se dan Insiden Tak
Bai.................................................................79
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................81
B. Saran..............................................................86
x
DAFTAR PUSTAKA.................................................................88
LAMPIRAN...............................................................................92
xi
Daftar Tabel
II.1 Pendapatan Rumah Tangga 1960-2000.................................30
III.1 Daftar Korban Tewas dalam Insiden Tak Bai......................55
III.2 Penyebab Kematian Korban Insiden Tak Bai......................56
III.3 Korban Pengguna Narkoba dalam Insiden Tak Bai.............62
Daftar Grafik
II.1 Grafik Pendapatan Rumah Tangga, Gross Regional Product,
Kemiskinan dan Pengangguran....................................................29
xii
Daftar Singkatan
BNPP : Barisan Nasional Pembebasan Patani
NFLP : National Liberation Font of Patani
BRN : Barisan Revolusi Nasional
LFRP : Liberation Front of Republic Patani
CPM : Communist Party of Malaya
PULO : Patani United Liberation rganization
PPPP : Pertubohan Persatuan Pembebasan Patani
CPM-43 : Civil Police Military 43
SBPAC : Southern Border Provinces Administration Centre
NRC : National Reconciliation Commission
1
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Arus politik di Thailand mengalami perubahan sekitar
tahun 1990an. Perubahan terjadi saat Thailand memutuskan
menjadi negara demokrasi dan mengedepankan hak asasi manusia.
Hal ini membuat sebagian besar pihak militer mengundurkan diri
dan memberikan tempat agar demokrasi berkembang dengan stabil
paska kudeta dengan pemerintahan militer. Komitmen Thailand
terhadap hak asasi dijewantahkan dalam Konsitusi Reformis pada
1997.1
Perubahan Thailand menjadi negara demokrasi
mengharuskannya melaksanakan pemilihan langsung untuk
memilih Kepala Pemerintahan. Pada 6 Januari 2001, Thailand
melaksanakan Pemilu untuk pertama kalinya di bawah Konstitusi
Reformis. Thaksin Shinawatra dari Partai Thai Rak Thai terpilih
sebagai Perdana Menteri dalam Pemilu.2
Awal pemerintahan Thaksin disambut dengan aksi
penembakan, pembakaran, pengeboman dan serangan terhadap
pabrik senjata milik pemerintah di Thailand Selatan. Thaksin
1Eric Biel, Niel Hicks, Michael McClintock, Losing Ground: Human
Rights Defenders and Counterterrorism in Thailand, (Washington DC: Human
Right First, 2005), h. 1 2Desmond Ball dan Nicholas Farrelly, “Interpreting 10 Years of
Violence in Thailand’s Deep South”, Security Challenges, (Vol. 8, No. 2,
2012), h. 5
2
menganggap rangkaian peristiwa ini terjadi karena perang antar
gang kriminal di Thailand Selatan atau orang berkepentingan yang
mengambil keuntungan dari huru-hara ini untuk merongrong
kredibilitas pemerintah. Thaksin dengan tegas menolak anggapan
bahwa pemberontak Melayu Muslim kembali aktif dan menjadi
dalang atas peristiwa yang terjadi.3
Ketidakstabilan keamanan di Thailand Selatan dimulai
pada 24 Desember 2001 dengan lima serangan yang terkoordinasi
dengan baik di pos-pos polisi di Pattani, Yala dan Narathiwat yang
menyebabkan lima petugas dan seorang relawan pertahanan desa
tewas. Penggerebekan yang nyaris serentak di beberapa pos
kepolisian menunjukkan koordinasi dan teknis yang baik. Hal ini
berbeda dari serangan sporadis biasanya (kebanyakan pemerasan
dan penculikan-tebusan) yang terlihat selama lebih dari satu
dasawarsa.4
Ketidakstabilan dan keamanan yang semakin memburuk
jika dibandingkan pada rentang tahun 1993-2000, hanya terjadi
beberapa insiden kekerasan separatis, yang hanya menyebabkan
beberapa korban. Akan tetapi sejak tahun 2001, statistik
Departemen Dalam Negeri menunjukkan meningkatnya kekerasan
di Thailand Selatan. Hal ini terlihat dari insiden penyerangan pos
3Human Rights Watch,”No One Is Safe”, (Vol. 19, No.13, Agustus
2007), h. 29 4Asia Report No98, “Southern Thailand: Insurgency Not Jihad”,
International Crisis Group, (Singapore, 18 May 2005), h. 16
3
kepolisian yang nyaris serentak di tiga Provinsi utama yaitu
Pattani, Yala dan Narathiwat.5
Hal ini membuat Thaksin memerintah dengan otoriter dan
mengabaikan hak asasi manusia.6 Thaksin berusaha menjaga
kredibilitasnya dengan kebijakan keamanan nasional yang tegas
dan cenderung keras.7 International Crisis Group (ICG)
menganggap kebijakan Thaksin yang keras dan cenderung otoriter
berdampak pada meningkatnya kekerasan di Thailand Selatan.8
Pada 2002 pemerintah masih belum dapat menjaga
stabilisasi keamanan. Beberapa kantor polisi diserang oleh
sejumlah besar gerilyawan yang berhasil mengambil sejumlah
senjata dan amunisi. Sekitar 50 orang terbunuh dalam 75 insiden
yang terjadi sepanjang tahun. Insiden kekerasan masih terus terjadi
hingga tahun 2003 yaitu sekitar 119 insiden terjadi yang tercatat
dalam sumber resmi.9
Kekerasan yang terjadi pada 2001-2003 menjadi pemicu
dari kekerasan yang lebih besar di tahun 2004. Pada 2004, insiden
kekerasan dimulai sejak awal Januari saat depot tentara di
5Aurel Croissant, “Unrest in South Thailand: Contours, Causes, and
Consequences Since 2001”, The NPS Institutional Archive, (Vol. 6, Issue 2,
February 2005), h. 3 6Eric Biel, Niel Hicks, Michael McClintock, Losing Ground: Human
Rights Defenders and Counterterrorism in Thailand, Ibid. 7Peter Chalk, Angel Rabasa, William Rosenau, Leanne Piggott, The
Evolving Terrorist Threat to Southeast Asia, (Pittsburgh: RAND Corporation,
2009), h. 111 8Asia Report No98, “Southern Thailand: Insurgency Not Jihad”,
International Crisis Group, Ibid, h. i 9Aurel Croissant, “Unrest in South Thailand: Contours, Causes, and
Consequences Since 2001”, Ibid.
4
Narathiwat diserang 30 orang bersenjata yang berhasil mencuri
senjata dengan membunuh 4 tentara Thailand.10 Pada hari yang
sama, 20 sekolah terbakar yang diduga sebagai sebuah pengalihan
isu dari serangan utama.11
Peristiwa yang terjadi pada awal Januari semakin
menimbulkan kewaspadaan dari pihak Pemerintah. Thaksin mulai
menyadari bahwa insiden yang terjadi di Thailand Selatan adalah
insiden yang sistematis dan bukan dilakukan oleh bandit, gang
kriminal atau para pengedar narkoba semata.12 Lambat laun
Thaksin merasakan kekhawatiran perihal terorisme di Thailand
Selatan. Konflik di Thailand Selatan sendiri memiliki daya tarik
untuk dimanfaatkan oleh jaringan teroris internasional.13
Pihak pemerintah semakin menekan Militer Thailand untuk
segera merespon peristiwa kekerasan yang terjadi dan terutama
ancaman terorisme internasional. Darurat militer yang sebelumnya
telah berjalan efektif di daerah perbatasan Malaysia diperluas di
tiga provinsi utama yaitu Pattani, Yala dan Narathiwat pada 5
Januari 2004 dengan 1000 tentara. Peristiwa pencurian senjata dan
pembakaran sekolah menjadi agenda utama untuk dikuak. Polisi
10Aurel Croissant, “Unrest in South Thailand: Contours, Causes, and
Consequences Since 2001”, Ibid. 11Eric Biel, Niel Hicks, Michael McClintock, Losing Ground: Human
Rights Defenders and Counterterrorism in Thailand, Ibid, h. 6 12Asia Report No98, “Southern Thailand: Insurgency Not Jihad”,
International Crisis Group, Ibid, h. 17 13Apinya Baggelaar Arrunnapaporn, “Heritage Interpretation and
Spirit of Place: Conflict at Krue Se Mosque and Thailand Southern Unrest”,
Unpublished paper, h. 2
5
investigasi dikirim dari Bangkok untuk menginvestigasi pencurian
senjata dan pembakaran. Investigasi mengakibatkan penangkapan
banyak penduduk sipil dan beberapa pejabat. Kebanyakan dari
mereka terpaksa mengaku terlibat atas insiden yang terjadi karena
tekanan yang ada. Akhirnya tidak ada seorang pun yang ditangkap
atas keterlibatan terhadap peristiwa tersebut.14
Gelombang kekerasan di Thailand Selatan sendiri bukan
sebuah fenomena umum.15 Desmond Ball dan Nicholas Farrelly
dalam artikelnya merujuk pendapat Croissant bahwa peta insiden
kekerasan yang kerap terjadi sulit untuk digeneralisasi indikasinya
melainkan hanya dapat dilihat di mana peristiwa itu terjadi.
Peristiwa itu terjadi di distrik, kota-kota dan desa-desa di mana
kekerasan terjadi secara signifikan.16 Artinya, peristiwa yang
terjadi harus ditelisik secara tuntas pada setiap kejadian di mana
peristiwa itu terjadi untuk menelusuri penyebabnya dan apakah
terdapat relasi antara peristiwa yang satu dengan yang lain.
Insiden pada Januari 2004 tampaknya memang bukan akhir
dari insiden yang terjadi melainkan menjadi awal atas semakin
meningkatnya kekerasan di Thailand Selatan. Padahal paska angka
kekerasan meningkat pada 2002 hingga 2003 telah membuat
insiden yang terjadi menjadi perhatian nasional. Namun masih
belum ada kemungkinan meredanya kekerasan di Thailand
14Eric Biel, Niel Hicks, Michael McClintock, Losing Ground: Human
Rights Defenders and Counterterrorism in Thailand, Ibid, h. 6 15Aurel Croissant, “Unrest in South Thailand: Contours, Causes, and
Consequences Since 2001”, Ibid, h. 24 16Desmond Ball dan Nicholas Farrelly, Ibid, h. 3
6
Selatan. Insiden pencurian dan pembakaran sekolah pada Januari
2004 membawa pada peristiwa selanjutnya yaitu Tragedi Masjid
Krue Se.
Masjid Krue Se merupakan masjid tertua dan bersejarah di
Thailand yang telah digunakan sebagai masjid kerajaan selama
kurang lebih 300 tahun lalu. Masjid Krue Se menjadi situs sejarah
yang diresmikan Pemerintah Thailand sebagai situs sejarah pada
tahun 1935. Peresmian Masjid Krue Se sebagai situs sejarah
menuai ketidaksetujuan masyarakat Melayu Muslim dikarenakan
berkaitan dengan identitas dan menimbulkan demonstrasi serta
menyulut kembali keinginan untuk memerdekakan diri.17 Masjid
Krue Se sebagai sebuah tempat kontestasi kembali terulang pada
April 2004.
Tragedi Masjid Krue Se pada 28 April 2004 bermula saat
sekelompok pemuda bersenjata api dan parang memperingati
pemberontakan tahun 1948 dengan melakukan serangan secara
bersamaan ke sejumlah pos polisi dan tentara di sepanjang
Thailand Selatan. Serangan ini membuat lima penjaga keamanan
terbunuh. Penjaga keamanan melakukan serangan balik di setiap
lokasi dan mengakibatkan sekitar 107 pemuda terbunuh. Beberapa
pemuda yang terpojok bersembunyi di dalam Masjid Krue Se dan
berusaha mengatur strategi bertahan di dalam masjid. Pihak
17 Chaiwat Satha-anand, “Kru-ze: A Theatre for Renegotiating
Muslim Identity”, Journal of Social Issues in Southeast Asia, (Vol. 8, No. 1,
February 1993), h. 196
7
keamanan yang mengalami kebuntuan menyerang dengan roket
dan granat sehingga mengakibatkan 32 pemuda tewas.18
Tragedi yang terjadi di Masjid Krue Se memilukan dan
mengundang banyak kecaman. Di mana semestinya hal itu dapat
didamaikan dengan negosiasi tanpa harus menggunakan granat
untuk penyelesaiannya. Akibat penanganan pemerintah yang tidak
tepat jugalah yang membuat insiden kekerasan semakin marak di
tahun 2004.
Pada Oktober 2004 insiden besar terjadi di Thailand
Selatan. Dunia Internasional menyorot insiden ini, puluhan orang
mati lemas di dalam truk. Hal ini bermula dari enam pemuda sipil
yang ditangkap di bawah hukum darurat militer atas tuduhan
memberi senjata kepada pihak pemberontak. Warga pun
berdemonstrasi memprotes kejadian yang terjadi namun mereka
justru dimasukan ke dalam truk dengan keadaan saling tumpang
tindih dan membuat 78 orang mati lemas.19 Insiden ini dikenal
dengan nama Insiden Tak Bai karena peristiwa ini terjadi di Distik
Tak Bai, bagian tenggara Provinsi Narathiwat, Thailand Selatan.
Peristiwa ini membuktikan bahwa keadaan di Thailand
Selatan sedang tidak baik-baik saja. Demokrasi belum membawa
perubahan signifikan bagi terimplementasinya nilai-nilai hak asasi
manusia di Thailand Selatan. Perubahan sikap Thaksin yang
18Eric Biel, Niel Hicks, Michael McClintock, Losing Ground: Human
Rights Defenders and Counterterrorism in Thailand, Ibid. 19Eric Biel, Niel Hicks, Michael McClintock, Losing Ground: Human
Rights Defenders and Counterterrorism in Thailand, Ibid.
8
semula menganggap kekerasan yang kembali muncul di Thailand
Selatan akibat ulah lawan politiknya dianggap keliru dan ditarik
kembali. Kekhawatiran terhadap terorisme transnasional mulai
menguat seiring diketatkannya patroli di daerah perbatasan.
Namun dugaan terorisme transnasional yang dianggap
sebagai penyebab meningkatnya kembali kekerasan di Thailand
Selatan tampaknya tidak bisa serta merta dibenarkan. Kawasan
Asia Tenggara cenderung tersegregasi antara mayoritas dan
minoritas sehingga menjadi rentan terhadap konflik. Selain itu
belum terbukti adanya aktivitas terorisme transnasional di
Thailand Selatan.
Peningkatan kekerasan di Thailand Selatan lebih mengarah
pada dinamika kebijakan politik. Hal ini dapat dilihat dari
anggapan Thaksin bahwa penyebab munculnya kembali kekerasan
di Thailand adalah ulah lawan politiknya. Dugaan Thaksin
berimbas pada kebijakan-kebijakannya yang justru meningkatkan
kekerasan di Thailand Selatan. Puncak kekerasan terjadi sejak
awal tahun 2004 yang diikuti dua peristiwa besar yaitu Tragedi
Masjid Krue Se pada April 2004 dan Insiden Tak Bai pada Oktober
2004.
Maka dari itu penulis ingin mengkaji lebih jauh tragedi
Masjid Krue Se dan insiden Tak Bai. Pengkajian atas kedua
peristiwa tersebut untuk mencari apakah dinamika kebijakan
antara Thaksin dengan Pemimpin sebelumnya mempengaruhi
9
keadaan di Thailand Selatan dan bagaimana Pemerintahan Thaksin
menangani dua peristiwa besar yang terjadi.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar penulisan Skripsi tidak melebar, untuk itu penulis
merasa perlu memberikan pembatasan masalah dari tema dan studi
yang telah penulis pilih. Hal ini bertujuan agar pengkajian lebih
terfokus dan tidak menimbulkan bias, terlebih disiplin sejarah
merupakan disiplin yang terikat ruang dan waktu. Untuk itu,
penulis akan memfokuskan pada latar belakang terjadinya Tragedi
Masjid Krue Se dan Insiden Tak Bai.
Adapun masalah pokok dalam skripsi ini adalah Tragedi
Masjid Krue Se dan Insiden Tak Bai serta bagaimana peristiwa ini
berimbas pada respon pemerintah dan keadaan masyarakat di
Thailand Selatan. Berikut adalah rumusan permasalahan yang
penulis kaji:
1. Apa saja kebijakan Thaksin Shinawatra di Thailand
Selatan?
2. Bagaimana respon pemerintah dan keadaan masyarakat
paska terjadinya Tragedi Masjid Krue Se dan Insiden
Tak Bai?
3. Bagaimana relasi antara masyarakat dan pemerintah
paska terjadinya Tragedi Masjid Krue Se dan Insiden
Tak Bai?
10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dari permasalahan yang penulis kaji mengenai Tragedi
Masjid Krue Se dan Insiden Tak Bai, ada tiga tujuan yang ingin
penulis capai melalui penelitian ini yaitu:
1. Mengetahui Kebijakan Thaksin Shinawatra di Thailand
Selatan.
2. Mengungkap respon pemerintah Thailand dalam
menangani Tragedi Masjid Krue Se dan Insiden Tak Bai.
3. Mengungkap relasi antara masyarakat dan pemerintah
paska Tragedi Masjid Krue Se dan Insiden Tak Bai.
Adapun manfaat yang penulis harapkan dari penelitian ini
adalah:
1. Tulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan perihal
Tragedi Masjid Krue Se dan Insiden Tak Bai di Thailand
Selatan.
2. Tulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan dalam
melihat kebijakan Pemerintah Central Thailand terhadap
permasalahan di Thailand Selatan.
3. Tulisan ini diharapkan menambah referensi untuk
penelitian selanjutnya.
11
D. Kerangka Teori
Penulis memerlukan teori untuk mengarahkan penelitian
penulis. Dalam penelitian penulis menggunakan teori Dinamika
Kebijakan Internal Pemerintah. Hal ini berlandaskan pada artikel
Duncan McCargo “Thaksin and The Resurgence of Violence in the
Thai South: Network Monarchy Strikes Back?”.20 Penelitian
McCargo mengungkap bahwa kebijakan Thaksin di Thailand
Selatan cenderung berusaha untuk melepaskan keberhasilan
pemerintahan sebelumnya dalam meredakan konflik di Thailand
Selatan.
Thaksin yang terpilih melalui pemilihan umum dan membawa
arah baru bagi Thailand yaitu Demokrasi, merasa bahwa pihak
kerajaan tidak melepaskan bayang-bayangnya dalam
permasalahan yang ada di Thailand. Untuk itu, Thaksin hendak
melakukan perubahan besar untuk meniadakan jaringan monarki
dalam pemerintahannya. Hal ini dilakukan Thaksin dengan
mengganti orang-orang di pemerintahan dengan orang-orang yang
pro-terhadapnya.
Kebijakan Thaksin ini tidak hanya terjadi di Central
Thailand melainkan menyeluruh ke enam wilayah Thailand
termasuk Thailand Selatan. Wilayah Thailand Selatan yang semula
berada di bawah pengawasan tentara menjadi di bawah
20Duncan McCargo, “Thaksin and The Resurgence of Violence in the
Thai South: Network Monarchy Strikes Back?” Critical Asian Studies, (2006)
12
pengawasan kepolisian. Hal ini juga dikarenakan Thaksin
sebelumnya menjabat sebagai Perwira Tinggi Kepolisian.
Kerenggangan keamanan yang ada memicu terjadinya
beberapa kekerasan di masa awal pemerintahan Thaksin di
Thailand Selatan. Selain itu permasalahan Narkoba yang cukup
marak di Thailand Selatan menjadi salah satu awal dari kebijakan
Thaksin di Thailand Selatan. Dalam menangani permasalahan
yang terjadi Thaksin bersikeras bahwa hal tersebut adalah ulah
lawan politiknya.
Untuk itu, penulis berusaha mengkaji lebih jauh perihal
Tragedi Masjid Krue Se dan Insiden Tak Bai menggunakan Teori
Dinamika Kebijakan Internal Pemerintah karena ada dugaan
bahwa meningkatnya kekerasan di Thailand Selatan adalah
dampak dari keengganan Thaksin dengan kebijakan Prem
Tinsulanond. Padahal di bawah kepemimpinan Prem Tinsulanond
(1980-1988), gejolak di Thailand Selatan mulai mereda.
E. Kajian Pustaka
Penulis mencari dan menelusuri beberapa literatur yang
mengkaji mengenai Tragedi Masjid Krue-Se dan Insiden Tak Bai
di Thailand Selatan. Akan tetapi, sejauh penelusuran penulis
mengenail skripsi-skripsi di UIN Jakarta yang penulis akses
melalui Repository UIN tidak terdapat skripsi yang membahas
mengenai Tragedi Masjid Krue-Se dan Insiden Tak Bai melainkan
membahas permasalahan Kerajaan Patani ataupun Patani paska
13
terintegrasi dengan negara Thailand. Namun penulis menemukan
beberapa artikel sejauh penulusuran penulis yang membahas
mengenai Tragedi Masjid Krue-Se dan Insiden Tak Bai:
1. Kru-ze: A Theatre for Renegotiating Muslim Identity21,
artikel yang ditulis oleh Chaiwat Satha Anand berusaha
untuk melihat posisi Masjid dari segi khazanah lokal
masyarakat yaitu dari mitos-mitos yang beredar. Posisi
masjid sebagai sebuah identitas yang diperjuangkan
Muslim Patani dilihat dari sejarah dan mitos yang
melekat. Untuk itu, artikel ini menjadi rujukan penulis
dalam melihat lebih jauh bagaimana posisi utama
Masjid Krue-Se. Namun dalam pengkajiannya penulis
lebih mengedepankan bagaimana latar belakang,
respon pemerintah dan masyarakat paska Tragedi
Masjid Kru se dan Insiden Tak Bai. Secara periodisasi
kajian penulis mencoba melengkapi artikel Chaiwat
Satha Anand karena periodisasi kajian penulis
merupakan kajian kontemporer. Sementara artikel
Chaiwat Satha Anand menekankan periodisasi pra-
demokrasi di Thailand.
21Chaiwat Satha-anand, “Kru-ze: A Theatre for Renegotiating Muslim
Identity”, Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, (Vol. 8, No. 1,
February 1993).
14
2. Heritage Interpretation and Spirit of Place: Conflicts
at Krue-Se Mosque and Thailand Southern Unrest22,
artikel yang ditulis oleh Apinya Baggelaar
Arrunnaporn ini melihat konflik dan pemberontakan
yang terjadi di Masjid Krue-Se, khususnya pada
peristiwa pra dan paska Pemberontakan di Tahun 2004.
Apinya menggunakan disiplin arkeologi dan sosiologi
dalam menginterpretasikan peristiwa yang terjadi di
Masjid Krue-Se. Hal ini sejalan dengan apa yang
penulis tulis tetapi penulis mengkajinya dengan
pendekatan Sejarah. Penulis juga tidak hanya mengkaji
Tragedi Masjid Krue Se melainkan juga Insiden Tak
Bai. Artinya, penulis mencoba melengkapi hasil
penelitian yang dilakukan Apinya Baggelaar
Arrunnaporn.
3. Patani Central Mosque in Southern Thailand as
Sanctuary from Violence23, artikel yang ditulis oleh
Ridwan lebih melihat bahwa pemberontakan yang
terjadi pada 2004 di Masjid Krue-Se kontras dengan
fakta bahwa pemuka agama (Imam Masjid) cenderung
memiliki pandangan toleran. Artikel ini melihat lebih
22Apinya Baggelaar Arrunnapporn, “Heritage and Spirit of Place:
Conflicts at Krue-Se Mosque and Thailand Southern Unrest”, Unpublished
Paper. 23Ridwan, “Patani Central Mosque in Southern Thailand as Sanctuary
from Violence”, Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, (Vol. 4, No.
2, Desember 2014).
15
jauh apakah fenomena yang terjadi di Masjid murni
perbuatan muslim Patani lokal atau justru erat
kaitannya dengan bersemainya muslim transnasional di
Patani. Artikel ini sejalan dengan fokus pengkajian
penulis dan kajian penulis akan mencoba melengkapi
penelitian ini dengan melihat pada dua peristiwa besar
yaitu Tragedi Masjid Krue Se dan Insiden Tak Bai yang
terjadi pada tahun 2004 di Thailand Selatan.
4. Muslim Insurgency, Political Violence and Democracy
in Thailand24, artikel yang ditulis oleh Aurel Croissant
menggambarkan bagaimana demokrasi yang sedang
berlangsung di Thailand dan dampaknya di Thailand
Selatan. Croissant menekankan pada dua perspektif
dalam menganalisa pemberontakan yang terjadi di
Thailand Selatan. Pertama, menganalisa penyebab,
bentuk dan aktor yang terlibat dalam pemberontakan.
Kedua, menganalisa bagaimana konsekuensi politis
dari pemberontakan yang terjadi. Artikel Aurel
Croissant menjadi salah satu rujukan utama penulis
dalam melihat bagaimana Tragedi Masjid Krue Se dan
Insiden Tak Bai menjadi momentum kekerasan yang
terjadi di Thailand.
24 Aurel Croissant, “Muslim Insurgency, Political Violence, and
Democracy in Thailand”, Terorism and Political Violence, (Vol. 19, No. 1-18,
2007)
16
Berdasarkan tinjauan pustaka yang penulis telusuri dapat
dipahami bahwa terdapat beberapa penelitian yang mengulas
Tragedi Masjid Krue Se dan Insiden Tak Bai. Hal ini akan menjadi
kerangka bagi penulis untuk mengkaji Tragedi Masjid Krue Se dan
Insiden Tak Bai di Thailand Selatan.
F. Metode Penelitian
Sejarah dan ilmu politik sejak dahulu hingga detik ini
memiliki hubungan yang kuat. Ilmu politik memerlukan sejarah
sebagai alat untuk mendapatkan data dan kemudian diolah lebih
lanjut.25 Sementara Sejarah sebagai suatu ilmu juga tidak bisa
berdiri sendiri tanpa menggunakan pendekatan ilmu lainnya.26
Penulis menggunakan metode penelitian sejarah dengan ilmu
politik sebagai pendekatan utama dalam penelitian ini.
Adapun dalam penelitian sejarah terdapat tahapan-tahapan
yang harus penulis lakukan, sebagai mana pendapat Kuntowijoyo.
Berikut adalah tahapan-tahapan yang penulis lakukan dalam
penelitian sejarah:27
1. Pemilihan Topik
Dalam penelitian ini, penulis memilih topik relasi
negara dengan minoritas agama. Topik yang telah penulis
25Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi),
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 25 26M. Dien Madjid dan Johan Wahyudi, Ilmu Sejarah Sebuah
Pengantar, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014), h. 218 27Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2013), h. 68-82
17
pilih kemudian penulis batasi dari segi tempat, peristiwa
dan waktu yang terjadi. Penulis fokus dalam penelitian
yang berjudul Analisa Historis Tragedi Masjid Krue Se dan
Insiden Tak Bai di Thailand Selatan. Penulis membatasi
topik penulis dalam judul Skripsi tersebut berdasarkan
ketertarikan penulis terhadap isu minoritas muslim di
Thailand dan keterjangkauan penulis terhadap sumber
untuk sejarah kontemporer di Thailand.
2. Pengumpulan Sumber (Heuristik)
Penulis melakukan (Library Research) atau studi
pustaka untuk mencari sumber-sumber yang bersesuaian
dengan topik dalam skripsi penulis. Penulis menghimpun
sumber-sumber baik primer maupun sekunder. Untuk
sumber primer, penulis menggunakan Tak Bai and Krue Se
Report yaitu sebuah laporan investigasi pemerintah yang
dirilis oleh National Reconciliation Commission. Penulis
tidak banyak mendapatkan sumber primer namun penulis
mendukung skripsi penulis dengan sumber sekunder
berupa laporan investigasi tentang pemberontakan di
Thailand Selatan, berita online dan artikel dari jurnal
internasional.
Keterbatasan penulis dalam mendapatkan sumber
primer dikarenakan Pemerintah Thailand tampaknya
memang berusaha menyembunyikan permasalahan yang
ada dari dunia Internasional. Penulis menduga hal ini
18
berkaitan kesulitan dan keterbatasan untuk mengakses
sumber primer lainnya dalam penelitian ini. Terlebih lima
berita penting tidak dapat penulis akses karena telah
dihapus, di antaranya:
Commission to release reports into Krue Se, Tak Bai
deaths - Bangkok Post, 22 April 2005
SOUTHERN TRAGEDIES: Reports to be censored prior
to publication - The Nation, 22 April 2005
Independent panel descends to deep South - TNA, 21 April
2005
Use of force at Krue Se condemned - NRC releases reports
into southern deaths - Bangkok Post, 25 April 2005
KRUE SE, TAK BAI INCIDENTS: NRC releases official
version - The Nation, 25 April 2005
Adapun beberapa laporan yang berhasil penulis
dapatkan di antaranya Laporan International Crisis Group,
Laporan Human Rights Watch, Laporan Beurau of
Democracy, Human Rights and Labor US Government
(www.state.gov), Laporan Human Rights First serta
Laporan The Asia Foundation.
Sumber sekunder berupa berita online di antaranya
dari BBC, Al-Jazeera dan The Nation (Surat Kabar
Thailand dengan bahasa Inggris seperti Jakarta Post di
Indonesia). Untuk artikel dari jurnal internasional penulis
mengakses melalui UIN Syarif Hidayatullah, PNRI
19
(Perpustakaan Nasional Republik Indonesia) serta Google
Cendekia (Google Scholar).
Penulis juga mendapatkan sumber sekunder berupa
buku yang penulis dapatkan dari perpustakaan pribadi Dr.
Amelia Fauzia perpustakaan utama UIN Syarif
Hidayatullah dan Perpustakaan Adab dan Humaniora UIN
Syarif Hidayatullah.
Selain itu penulis juga menampilkan sumber berupa
foto yang di antaranya penulis dapatkan dari dokumentasi
pribadi Dr. Amelia Fauzia untuk melihat lebih detail
Masjid Krue Se. Adapun foto-foto lainnya penulis
dapatkan dari website ataupun buku yang terpercaya.
3. Verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber)
Verifikasi atau dikenal dengan kritik sumber atau
keabsahan sumber merupakan fase selanjutnya yang harus
dilalui penulis dalam mengkritisi sumber yang diperoleh
pada fase heuristik. Sumber yang didapat diuji
keautentikannya dan kredibilitasnya. Keautentikan sumber
dengan menguji apakah sumber tersebut asli ataukah tidak.
Kredibilitas sumber yaitu sejauh mana sumber tersebut
dapat dipercaya dan layak digunakan sebagai sumber
dalam penelitian.
Untuk keautentikan sumber khususnya pada
sumber foto, penulis memastikan terlebih dahulu apakah
foto yang penulis dapatkan benar dan sesuai dengan
20
peristiwa yang penulis kaji. Maka penulis melakukan
kross-chek melalui google foto, hal ini untuk menghindari
foto yang tidak sesuai atau hoax. Sementara untuk
kredibilitas sumber khususnya sumber tertulis, penulis
menyeleksinya berdasarkan siapa yang menulis dan
penerbitnya.
Kredibilitas artikel dari jurnal internasional yaitu
dengan mengunduhnya melalui JSTOR ataupun Proquest
yang terpercaya. Penulis mengaksesnya melalui UIN
Syarif Hidayatullah network ataupun PNRI. Selain itu,
penulis juga menelusuri melalui Google Scholar dan
melihat citation artikel tersebut untuk membuktikan
kredibilitasnya. Faktor penulis yang menulis artikel juga
menjadi penyeleksian penulis yaitu dengan menelusuri
daftar referensi suatu artikel. Penulis yang kredibel dan
fokus mengkaji Thailand Selatan menjadi rujukan utama
penulis.
Kredibilitas berita internasional yang penulis
telusuri umumnya berupa berita internasional yang sudah
terpercaya baik di kancah internasional maupun nasional di
Thailand. Untuk itu, penulis menjadikan BBC, Al-Jazeera
dan The Nation sebagai sumber rujukan penulis.
4. Interpretasi
Penulis menghadapi beberapa tantangan dalam
mengintepretasikan hasil yang terverifikasi yaitu ketika
21
menginterpretasikannya secara kronologis. Terlebih
penelitian penulis berkaitan dengan peristiwa yang terjadi
di luar Indonesia dalam era kontemporer. Untuk itu, penulis
harus memahami garis besar keadaan di Thailand secara
general dan Thailand Selatan secara khusus untuk
menginterpretasikan data yang telah terverifikasi.
5. Historiografi (Penulisan)
Pada tahap historiografi, penulis menuliskan hasil
penelitian penulis secara kronologis. Penulisan penelitian
ini menggunakan metode analisis-deskriptif sehingga tidak
sekadar narasi saja. Penulis menggunakan metode analisis-
deskriptif yaitu peristiwa sejarah yang ditulis secara
kronologis dan dikuatkan dengan argumentasi-argumentasi
kritis. Untuk itu, penulisan didukung oleh ilmu bantu
Sejarah. Ilmu bantu sejarah yang penulis gunakan yaitu
Ilmu Politik dan Sosiologi.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini tersusun atas lima bab, adapun susunan skripsi
ini adalah sebagai berikut:
Bab I : Bab ini berisikan Pendahuluan yang terdiri atas
penjabaran singkat mengenai permasalahan yang menjadi fokus
kajian, identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian,
kerangka teori serta sistematika penulisan.
22
Bab II : Bab ini membahas mengenai kondisi Thailand Selatan
Sebelum Tragedi Masjid Krue Se dan Insiden Tak Bai. Hal ini
meliputi gambaran geografi, struktur masyarakat dan keadaan
sosial masyarakat Thailand Selatan serta sejarah kebijakan
pemerintah pusat terhadap muslim di Thailand Selatan.
Bab III : Bab ini membahas mengenai Tragedi Masjid Krue Se
dan Insiden Tak Bai di Thailand Selatan. Hal ini meliputi motif
yang melatarbelakangi tragedi Masjid Krue Se dan Insiden Tak
Bai, serta faktor intern dan ekstern penyebab peristiwa terjadi.
Bab IV : Bab ini membahas mengenai Dampak kebijakan
pemerintah pusat terhadap Tragedi Masjid Krue Se dan Insiden
Tak Bai di Thailand Selatan. Hal ini meliputi kebijakan
pemerintah, keadaan masyarakat di Thailand Selatan paska
peristiwa itu terjadi dan relasi antara pemerintah dengan
masyarakat
Bab V : Bab ini merupakan Penutup yang terdiri atas kesimpulan
yang merupakan jawaban dari permasalahan yang penulis kaji dan
saran-saran untuk penelitian selanjutnya mengenai kajian ini.
23
BAB II
Masyarakat Thailand Selatan Sebelum
Tragedi Masjid Krue Se dan Insiden Tak Bai
Thailand merupakan sebuah negara multi-etnis yang
terbagi dalam enam wilayah sejak tahun 1978 yang disahkan oleh
Dewan Riset Nasional Kerajaan Thai yaitu Thailand Utara,
Thailand Timur Laut, Thailand Barat, Thailand Pusat, Thailand
Timur dan Thailand Selatan. Sistem pemerintahan Thailand
cenderung sentralistik sehingga ke-enam wilayah berada dalam
satu kontrol yaitu di bawah Pemerintahan Pusat.
Thailand menggunakan sistem pemerintahan monarki
konstitusional namun sejak awal abad ke-20 terjadi perubahan ke
arah demokrasi. Hal ini membawa Thailand pada Pemilihan
Umum yang dimenangkan oleh Thaksin Shinawatra pada 2001.
Namun perubahan politik di Thailand tentunya memilik PR besar
dari beberapa permasalahan sebelumnya. Terlebih Thailand
merupakan dengan multi-etnis. Negara yang terdiri dari beragam
etnis dengan komposisi mayoritas dan minoritas yang tidak
seimbang cenderung kerap terjadi konflik.
Wilayah Thailand di bagian Selatan merupakan wilayah
yang mengalami konflik antar-etnis terparah dari wilayah lainnya.
Untuk itu, penulis merasa sangat penting untuk membahas tiga
poin utama dalam bab ini karena erat kaitannya dengan konflik
antar-etnis yang terjadi di Thailand Utama. Pertama, geografi dan
24
struktur masyarakat Muslim di Thailand. Hal ini sangat penting
karena isu yang kerap hadir adalah pemerintah Thailand tidak pro
terhadap muslim sehingga Konflik di Thailand Selatan tidak
teratasi dengan baik. Kedua, organisasi-organisasi Muslim di
Thailand selatan. Terdapat beberapa anggapan bahwa konflik di
Thailand Selatan adalah konflik kepentingan antara kelompok
separatis dari organisasi-organisasi Muslim yang ada di Thailand
Selatan. Ketiga, kebijakan pemerintah Thailand dalam menangani
kelompok separatis.
A. Geografi dan Struktur Masyarakat Muslim di
Thailand
Thailand merupakan sebuah negara dengan keberagaman
agama yaitu 94% mayoritas Budha, muslim sekitar 5%, Kristen
dan lainnya sekitar 1% dari total populasi. Identitas Thailand
terbentuk dari konsep “Chat, Sassana dan Pramahakasat” yaitu
Negara, Agama (Budha) dan Kerajaan. Namun meskipun Budha
merupakan agama mayoritas di Thailand tetapi tidak menjadi
agama resmi. Konstitusi Thailand tidak menjadikan Agama Budha
sebagai agama resmi karena Raja Thailand memegang seluruh
patron agama.1
Di Thailand Selatan statistik keagamaan sangat berbeda
dengan statistik keagamaan Thailand secara keseluruhan.
Berdasarkan laporan kependudukan di Provinsi Narathiwat, Yala
1Imtiyaz Yusuf, “Faces of Islam in Southern Thailand”, (East-West
Center Washington Working Papers, No. 7, March 2007), h. 4
25
dan Pattani menunjukan bahwa mayoritas penduduk di Thailand
Selatan adalah 94% Muslim dan 6% Budha.2 Meskipun hal ini
tidak menyangkut keseluruhan provinsi di Thailand Selatan, di
mana Satun tidak terakumulasi. Namun hal ini dapat menjadi
gambaran berarti bahwa di Thailand bagian Selatan mayoritas
penduduknya adalah muslim.
Secara statistik baik nasional maupun regional dapat
disimpulkan bahwa Islam di Thailand bukanlah sesuatu yang baru.
Islam di Thailand terbagi pada dua tipe menurut Omar Farouk
sebagaimana dikutip Imtiyaz Yusuf yaitu Islam terasimilasi dan
tidak terasimilasi. Meskipun tipe ini Omar Farouk rumuskan pada
tahun 1988 dalam study Islam di Thailand namun menurut penulis
hal ini masih sangat relevan untuk mengetahui pola Islam yang ada
di Thailand. Berikut hasil penelitian Omar Farouk yang dikutip
Imtiyaz Yusuf, yaitu:3
1. Tipe Pertama adalah tipe muslim yang terasimilasi di
antaranya Muslim Siam, Thai Melayu, Orang China,
Bengali, Arab, Punjab, dsb. Tipe ini mayoritas berada
di central Thailand dan hidup harmonis dalam
keberagaman. Mereka tidak mempermasalahkan
meskipun berada di bawah Pemerintahan yang
didominasi mayoritas Agama Budha. Mereka
2James Klein, “Democracy and Conflict in Southern Thailand: A
Survey of The Thai Electorate in Yala, Narathiwat, and Pattani”, (The Asia
Foundation: November 2010), h. 9 3Imtiyaz Yusuf, “Faces of Islam in Southern Thailand”, Ibid.
26
umumnya adalah para imigran muslim ataupun
penduduk asli Thailand yang berpindah keyakinan
menjadi muslim. Hal ini memudahkan dalam usaha
pemerintah mengintegrasikan keberagaman yang ada
ke dalam Pan-Thaisme.
2. Tipe kedua yaitu tipe muslim yang tidak terasimilasi
yaitu mayoritas muslim yang berada di Thailand
Selatan, terutama di Provinsi Yala, Narathiwat dan
Pattani. Tidak terasimilasinya muslim di Selatan
Thailand mempersulit proses pengintegrasian dengan
negara Thailand. Kendala yang menyebabkan mereka
sulit terintegrasi dikarenakan ketaatannya pada
identitas yang mereka miliki. Identitas mereka terbagi
dalam tiga konsep yaitu Rayu (Ras), Baso (Bahasa),
dan Agama (Islam). Hal ini secara langsung melandasi
terbentuknya nasionalisme etnoreligius berbasis
etnisitas Melayu.
Thailand Selatan khususnya di Yala, Narathiwat dan
Pattani mayoritas adalah muslim namun karena kebijakan
pemerintah Thailand untuk memudahkan terjalinnya integrasi
antara Muslim Melayu dengan negara Thailand maka dilakukan
kebijakan migrasi. Sejumlah pennduduk Budha bermigrasi ke
daerah Selatan untuk pemerataan penduduk.
Pada saat sensus tahun 2000, tiga provinsi paling selatan
memiliki umat Buddha populasi berjumlah lebih dari 350.000
27
(Yala 127,442, Pattani 113,205 dan Narathiwat 112.250), dari
keseluruhan populasi 1.7488.682 orang. Kurang dari 2 persen ini
populasi diklasifikasikan dalam kategori selain 'Buddha' atau
'Muslim' - sebagian besar Kristen. Populasi Narathiwat adalah
680,303 dengan 83,5 persen Muslim mayoritas (tingkat
pertumbuhan Buddha adalah −2.65, dibandingkan dengan
pertumbuhan Muslim 1,59 tingkat). Populasi Yala mengandung
persentase terbesar umat Buddha. Itu sudah 439.456 orang dengan
71 persen mayoritas Muslim (tingkat pertumbuhan Buddha adalah
−0.29 dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan Muslim 2.70).
Populasi Pattani adalah 628.922 dengan 82 persen mayoritas
Muslim (pertumbuhan penduduk Buddha juga turun pada -1,39,
dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan Muslim 2,24) .
Membongkar statistik ini dapat menjadi rumit: ‘Buddhis’ di
wilayah ini merupakan kategori yang bermasalah. Istilah ini
populer digunakan untuk mencakup tiga kelompok utama:
komunitas Sino-Thailand, beberapa di antaranya telah hidup dan
berdagang di wilayah ini selama berabad-abad; ‘Buddhis lokal’,
Umat Buddhis Theravada yang lahir atau tumbuh di wilayah
tersebut (beberapa di antaranya memiliki akar yang dalam di sana,
sementara yang lain bermigrasi dari bagian lain di Thailand sekitar
tahun 1960-an dan 1970-an di bawah program pemukiman kembali
yang disponsori pemerintah) dan 'orang luar' Buddha, yang pindah
ke daerah Selatan karena tugas-tugas birokrasi atau militer. Untuk
waktu yang lama, hubungan antara komunitas Buddha dan Muslim
28
relatif harmonis. Namun sebagai mana yang dikatakanAbbas
Amporn Marddent, keharmonisan mulai terurai setelah
kebangkitan kekerasan.4
Sampai taraf tertentu, artikulasi politik kesadaran etnis di
Pattani dapat dijelaskan sebagai respon atas subordinasi ekonomi,
budaya dan politik masyarakat Muslim akibat konsekuensi dari
"kolonialisme internal." Menurut pandangan ini, Thailand adalah
paradigmatik kasus kolonialisme internal di mana perbedaan
ekonomi yang mendalam antara pusat (Bangkok) dan pedalaman
telah mengakibatkan keterbelakangan ekonomi di Selatan.
Meskipun Thailand memiliki catatan pertumbuhan ekonomi yang
mengesankan antara 1960-1997, Ketidakseimbangan regional
yang ada semakin besar selama periode ini. Data yang tersedia
menunjukkan tinggi tingkat kesenjangan di antara penduduk lokal
di selatan, terutama jauh ke selatan. Sementara timur laut adalah
wilayah termiskin, hal ini diukur atas indikator inti pembangunan
ekonomi, Satun, Pattani, Yala dan Narathiwat adalah wilayah yang
paling sedikit berkembang dari provinsi-provinsi bekas Kesultanan
Pattani.5
4Duncan McCargo, “Thai Buddhism, Thai Buddhists and the
Southern Conflict”, Journal of Southeast Asian Studies, 1-10 Februari 2009, h.
3 5Aurel Croissant, “Unrest in South Thailand: Contours, Causes, and
Consequences Since 2001”, Strategic Insight, Vol. 6, (Februari 2005), h. 7
29
Grafik II.1
Sumber: Aurel Croissant, “Unrest in South Thailand: Contours, Causes, and
Consequences Since 2001”, Strategic Insight, Vol. 6, (Februari 2005), h. 8
Pergeseran kebijakan pemerintah menuju pembangunan di
wilayah periferi ini gagal mengurangi kesenjangan ekonomi
regional antara selatan dan pusat. Pada awal 1960-an, pendapatan
rumah tangga rata-rata di selatan adalah seperlima lebih tinggi dari
pada rata-rata pendapatan rumah tangga nasional dan PDB daerah
per kapita adalah seperempat di atas rata-rata nasional. Empat
dekade kemudian, wilayah selatan telah jauh tertinggal.6
6Aurel Croissant, “Unrest in South Thailand: Contours, Causes, and
Consequences Since 2001”, Ibid, h. 8
30
Tabel II.1
Sumber: Aurel Croissant, “Unrest in South Thailand: Contours, Causes, and
Consequences Since 2001”, Strategic Insight, Vol. 6, (Februari 2005), h. 8
Meskipun tingkat pendapatan meningkat dalam jumlah
absolut, kesenjangan pendapatan rumah tangga rata-rata dan
pendapatan per kapita (Produk Regional Bruto) telah melebar di
setiap daerah. Deprivasi relatif di wilayah ini sekarang dengan
demikian lebih besar daripada di bawah fase pertumbuhan
ekonomi sebelumnya.7
B. Organisasi-Organisasi Muslim di Thailand Selatan
Thailand bagian Selatan merupakan sebuah wilayah di
bawah Negara Thailand dengan jumlah penduduk mayoritas
Muslim. Pandangan mayoritas Muslim yang merasa bukan bagian
dari Thailand baik secara suku, bahasa dan agama membuat
wilayah ini kerap terjadi konflik. Namun mereka menyadari
perjuangan dengan senjata secara sporadis tidak serta merta
mewujudkan keinginan mereka untuk memisahkan diri dari
Thailand. Kesadaran ini terjadi karena mereka merasa perlu sebuah
wadah yang dapat menampung aspirasi mereka.Alhasil melalui
organisasi merupakan suatu cara yang dirasa lebih baik untuk
dilakukan. Terlebih perubahan arah politik di Thailand juga
7 Aurel Croissant, “Unrest in South Thailand: Contours, Causes, and
Consequences Since 2001”, Ibid.
31
menjadi alasan kuat pilihan berorganisasi sebagai jalan tengah
untuk permasalahan yang terjadi di Thailand Selatan.
Thailand sebelumnya memiliki sejarah panjang sebagai
sebuah negara yang tidak terlepas dari pemerintahan militer.
Namun sejak tahun 1973, pemerintahan militer di Thailand jatuh
dan membawa arah positif bagi politik di Thailand dengan mulai
ditegakkannya demokrasi. Hal ini membawa era baru dalam dunia
politik di Thailand dan tentunya di Thailand Selatan. Semua
keburukan politik, sosial dan ekonomi menjadi wacana yang
hangat. Era keterbukaan yang mulai hadir membuat berbagai
organisasi bermunculan sebagai respon atas jalan demokrasi yang
telah dipilih.8 Organisasi dengan beragam pandangan di Thailand
Selatan.
Organisasi-organisasi di Thailand Selatan sendiri sudah
terbentuk lebih lama dari arah baru perpolitikan di Thailand.
Organisasi di Thailand Selatan telah terbentuk sejak dekade 1960-
an.9 Organisasi tersebut memiliki visi yang beragam, meskipun
dasar terbentuknya adalah kegelisahan sebagai
minoritas.Organisasi tersebut sangat dipengaruhi latar belakang
pemimpinnya. Dalam hal ini, latar belakang pendidikan sangat
mempengaruhi organisasi yang hadir di Thailand Selatan.
8Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai: Nasionalisme Melayu
Masyarakat Patani, (Jakarta: LP3ES, 1989), h. 167 9Asia Report No98, “Southern Thailand: Insurgency Not Jihad”,
International Crisis
Group, (Singapore, 18 May 2005), h. 6
32
Berikut adalah beberapa organisasi yang ada di Thailand
Selatan dan berpengaruh bagi perubahan perjuangan masyarakat,
yaitu:10
1. Barisan Nasional Pembebasan Patani (BNPP)
Barisan Nasional Pembebasan Patani atau yang lebih
dikenal dengan National Liberation Front of Patani (NLFP)
merupakan organisasi yang paling tua jika dibandingkan
organisasi yang lainnya.Organisasi ini merupakan organisasi
pertama yang mengatur perlawanan bersenjata di Thailand Selatan.
Meskipun perlawanan senjata pada saat itu cenderung pasif dengan
hanya sesekali terjadi pemberontakan.
Barisan Nasional Pembebasan Patani (BNPP) didirikan
oleh Tengku Mahyidin yang merupakan putra dari Sultan terakhir
Kesultanan Patani, Sultan Abdul Kadir. Tengku Mahyidin sendiri
meninggal dunia pada tahun 1953 dan kemudian diambil alih oleh
Adul Na Sinaburi, mantan anggota Parlemen di Narathiwat.
Organisasi BNPP secara resmi berdiri pada tahun 1959. Organisasi
ini secara terang-terangan mengemukakan visinya untuk
mengembalikan kejayaan masa lalu di bawah kesultanan pada
1977.
Fokus tujuan BNPP untuk mengembalikan pada kejayaan
masa lalu, dapat dimaklumi jika dilihat dari mayoritas
10Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai: Nasionalisme Melayu
Masyarakat Patani,
Ibid, h. 175-184 dan Asia Report No98, “Southern Thailand: Insurgency Not
Jihad”, Ibid, h.6-10
33
pemimpinnya. Mayoritas pemimpin BNPP merupakan mantan
pemimpin Melayu yang melarikan diri ke Kelantan ketika Haji
Sulong ditangkap pada 1948. Untuk itu, dapat dimaklumi jika
tujuan akhir BNPP adalah “otonomi dalam Federasi Malaysia”.
Artinya, fokus BNPP adalah kemerdekaan penuh, bukan hanya
sekedar otonomi istimewa dari Thailand tetapi merdeka dari
Thailand dan bergabung dengan Malaysia untuk mengembalikan
kembali kejayaan Melayu.
BNPP merupakan organisasi konservatif dan cenderung
keras. Di mana BNPP merekrut sejumlah preman di wilayah
perbatasan dan mengganggu kestabilan keamanan. Hal ini dapat
dilihat bagaimana BNPP fokus menentang upaya pemerintah
mendirikan pemukiman-pemukiman Budha. Pendirian
pemukiman Budha merupakan usaha pemerintah Thailand untuk
meratakan persebaran penduduk dan hal ini semakin massif
dilakukan sejak masa Sarit Thanarat. Namun massifnya migrasi
yang terjadi membuat kecurigaan akan invansi yang dilakukan
pemerintah Thailand. Kecurigaan ini wajar terjadi mengingat
ketika masa Phibul Songkram, Pan-Thaisme11 dianggap mengikis
identitas Melayu.
11Pan-Thaisme merupakan kebijakan yang dicetuskan Phibul Songkram.
Pan-Thaisme yaitu
kebijakan pada pemurnian dan kebudayaan Thailand Pusat. Konsep Phibul atau
yang lebih dikenal
dengan Pan-Thaisme ini berkonsekuensi pada pengidentikan negara-negara
dalam hierarki agama
Buddha. Pan-Thaisme secara Internasional ditegaskan Raymond Scupin, tidak
hanya di-design
34
Pemerataan penduduk yang dilakukan Pemerintah
Thailand disinyalir merupakan sebuah invansi oleh BNPP. Untuk
itu, BNPP sebagai mana dokumen-dokumen yang dikutip Surin
Pitsuwan membiayai kegiatan-kegiatan subversif dengan uang
hasil pemerasan atau “uang hasil perlindungan”. Hal ini dilakukan
agar masyarakat Budha yang bermigrasi ke Selatan tidak merasa
aman dan kembali ke tempat asalnya.
BNPP juga memfasilitasi masyarakat Patani, khususnya
mahasiswa yang mendapatkan beasiswa dari pemerintah Malaysia
untuk menjadi warga negara Malaysia. Hal ini dilakukan BNPP
karena kepemimpinan politik berada di Kelantan. Maka untuk
memudahkan organisasi yang beroperasi di dua negara ini, salah
satunya dengan penggantian kewarganegaraan.
Cara lain yang dilakukan BNPP adalah menjalin hubungan
baik dengan negara muslim yang lain misalnya melalui delegasi-
nya yang mendapatkan beasiswa di negara-negara Arab. BNPP
mencoba menarik simpati dengan menceritakan penderitaan yang
dialami muslim di Thailand Selatan yang tersekat nasionalisme.
BNPP secara garis besar tidak berbeda dengan perjuangan
separatis yang sebelumnya dipimpin oleh Haji Sulong bahkan
BNPP terlihat seperti kelanjutannya. Hal ini dapat dimaklumi
untuk mengabsorbsi minoritas asli di Thailand, tetapi juga untuk
mempromosikan ide-ide dan
nilai-nilai baru kebudayaan Thai secara luas.(Lihat Scupin, Raymond, “Thailand
as a Plural
Society: Ethnic Interaction in a Buddhist Kingdom”, Crossroads: An
Interdisciplinary
Journal of Southeast Asian Studies, (Vol. 2, No, 3, 1986), h. 126)
35
karena dua hal mendasar yang menjadi tumpuan BNPP. Pertama,
ideologi BNPP cenderung lebih konservatif. Hal ini dapat dilihat
dari afiliasi politik BNPP yaitu dengan PI (Partai Islam), sebuah
partai Islam yang konservatif dan sangat berpengaruh di negeri
Kelantan. Kedua, BNPP masih berafiliasi dengan Kesultanan
Pattani sehingga cenderung berorientasi kerajaan dan berkeinginan
kuat untuk mengembalikan pada kejayaan masa lalu. Kejayaan
yang dibangun atas Islam dan etnisitas Melayu, maka tujuannya
adalah untuk mendirikan negara otonom Federasi Malaysia.
BNPP juga memiliki cara unik untuk merekrut
anggotanyayaitu melalui penilaian Guru Agama. Lalu murid yang
terseleksi kemudian diberikan bekal baik politik maupun militer
bahkan beberapa murid akan diberi pelajaran tentang taktik perang
gerilya di Gunung bagian Selatan. Beberapa dari mereka juga
dikirim ke Libya, Afghanistan dan Syiria untuk mendapatkan
pelatihan di sana.
BNPP juga aktif menyuarakan penderitaan yang dialami
masyarakat muslim di Thailand Selatan ke negara-negara Muslim
seperti Arab Saudi dan Mesir. Terlebih lagi banyak anggota BNPP
yang mendapatkan beasiswa ke Kairo dan Mekah, di mana mereka
semakin memiliki ruang untuk berbagi kisah dan meminta
dukungan atas apa yang mereka alami.
2. Barisan Revolusi Nasional (BRN)
BRN atau yang dikenal dengan Liberation Front of
Republic Patani (LFRP) merupakan organisasi separatis lainnya
36
yang hadir sekitar tahun 1960-an. BRN didirikan oleh Ustadz Haji
Abdul Karim Hassan, Tok Guru di distrik Ruso Narathiwat. BRN
hadir dipicu oleh Program Reformasi Pendidikan Pemerintah.
Program Reformasi Pendidikan di bawah pemerintahan
militer Sharit Thanarat dimulai sejak tahun 1961. Reformasi
Pendidikan yang dilakukan adalah mengubah kurikulum dengan
memasukan pendidikan sekuler. Sekolah yang menolak
pembaruan sistem ditutup. Program ini mendorong banyak siswa
bersekolah ke sekolah negeri dengan pendidikan sekuler karena
biaya yang murah. Usaha pemerintah ini mendapat tentangan keras
dari para guru agama karena menganggap hal ini sebagai salah satu
upaya melemahkan melayu dan Islam. Hal ini yang menjadi latar
belakang, Ustadz Haji Abdul Karim Hassan yang berprofesi
sebagai Guru untuk mendirikan BRN sebagai lahan perjuangan.
BRN berbeda dengan BNPP yang mayoritas pemimpinnya
merupakan elit Kesultanan Patani, pemimpin BRN tidak terikat
secara langsung dengan Kesultanan Patani. Hal ini membawa pada
letak perbedaan yang jelas antara BRN dan BNPP. Jika BNPP
memperjuangkan kejayaan masa lalu yaitu mendirikan Negara
Otonom Federasi Malaysia dengan sistem Kerajaan, maka berbeda
dengan BRN yang memperjuangkan berdirinya Republik Patani.
BRN memfokuskan Patani merdeka dengan sistem Republik untuk
empat provinsi dengan mayoritas muslim di Thailand Selatan
(Yala, Narathiwat, Pattani dan Satun) bahkan tidak hanya empat
37
provinsi utama berpenduduk muslim melainkan juga sebagian
Songkhla.
BRN memiliki ideologi yang cenderung progressif jika
dibandingkan dengan BNPP yang konservatif. BRN menganut
Sosialisme sebagai ideologi yang dianggap mencerminkan
perjuangan mereka dan mereka menautkannya dengan Islam.
Sosialisme Islam dianggap sebagai pilihan terbaik untuk
memperjuangkan visi mereka.
Meskipun bernama Barisan Revolusi Nasional, BRN tidak
memfokuskan pada kegiatan gerilia melainkan lebih fokus pada
organisasi politik khususnya di sekolah-sekolah agama. Namun
BRN tetap memiliki sayap militer yang dipimpin oleh Jehku Baku
(alias Mapiyoh Sadalah).
BRN menjadi ancaman serius bagi pemerintah Thailand
dikarenakan memiliki kedekatan dengan CPM (Communist Party
of Malaya) dan Partai Komunis Thai. Kedekatan ini membuat
BRN menjadi organisasi yang sangat aktif dalam menyebarkan
paham sosialisme-komunis dan turut andil dalam menciptakan
ketidakstabilan di Thailand Selatan.
Tidak hanya menjadi ancaman bagi pemerintah namun
BRN juga menjadi ancaman bagi organisasi yang lain. Hal ini
dikarenakan rata-rata organisasi lainnya cenderung konservatif dan
ideologi BRN yang lebih mengutamakan sosialisme daripada
Islam menjadi hal yang berbahaya. Kekhawatiran ini juga
didukung oleh sikap para Ulama yang antipati terhadap BRN
38
karena membuat masyarakat Melayu lebih cenderung pada
sosialisme.
Selain permasalahan ideologi, afiliasi kedekatan dengan
negara lain juga menjadikan BRN dicurigai. BRN lebih dekat
dengan negara-negara komunis seperti Vietnam dan China
sedangkan organisasi lainnya seperti BNPP lebih dekat dengan
negara Timur Tengah. Hal ini membawa kekhawatiran
pemerintah, di mana negara lain akan turut campur atas
permasalahan yang terjadi di Thailand Selatan. Sementara bagi
organisasi seperti BNPP, hal ini akan memecah masyarakat
Melayu yang tidak lagi berada dalam satu tujuan tetapi terpecah
oleh ideologi.
3. PULO
Patani United Liberation Organization (PULO) adalah
nama lain dari Pertubohan Persatuan Pembebasan Patani (PPPP).
PULO dibentuk pada tahun 1968 oleh Bira Kotanila (alias Kabir
Abdul Rahman) di India paska Ia menyelesaikan studi Ilmu Politik
di sana. Latar belakang yang mempengaruhi Bira untuk
membentuk PULO adalah ketidakpuasannya melihat gerakan
perlawanan Melayu yang tidak efektif dan juga kurangnya
kesadaran masyarakat perihal perpolitikan dan pendidikan.
PULO merupakan organisasi penengah antara BNPP dan
BRN karena PULO tidak membatasi pemimpin dan anggotanya
dari kelompok tertentu. Selain itu, PULO dianggap lebih praktis
karena tidak terkait dengan ideologi sosialisme dan bukan Islam
39
Konservatif. PULO berusaha menengahi organisasi dengan
ideologinya yaitu “Agama, Ras, Tanah Air dan Kemanusiaan”.
Ideologi PULO cenderung mengayomi berbagai elemen di
Thailand Selatan untuk berkontribusi dalam perjuangan melalui
PULO.
PULO memiliki keunggulan dan keutamaan dari organisasi
separatis yang lain yaitu memiliki jaringan yang lebih luas di
seluruh dunia. Hal ini disebabkan karena rata-rata pemimpin
PULO adalah aktivis lulusan Timur Tengah dan Asia Selatan.
PULO juga memiliki sumber dana yang banyak untuk menunjang
kegiatannya. Sumber dana PULO didapatkan dari para pemimpin
negara Arab khususnya Libya dan Suriah yang membuatnya
berhasil membeli saham Hotel Hamburg di Jerman.
PULO memiliki tempat pelatihan terbaik yang diikuti
dengan persenjataan modern di empat provinsi utama di Thailand
Selatan dan sebagian Songkhla. Pertahanan utamanya berupa
benteng yang terdapat di Narathiwat dan Patani. Tidak hanya
kegiatan militer, PULO juga aktif berkampanye politik untuk
memecah belah masyarakat Melayu dan Minoritas Cina-Budha di
provinsi-provinsi perbatasan itu. PULO dapat memobilisasi massa
untuk melakukan demonstrasi besar-besaran dan menarik
perhatian umum dan media internasional. Keberhasilan PULO
dalam memobilisasi massa dapat dilihat sekitar akhir tahun 1975.
Lebih dari 70.000 orang Patani turun ke jalan untuk memprotes
kematian lima orang dari distrik Bacho di Narathiwat.
40
` Pemimpin PULO bermarkas pada dua tempat berbeda
untuk mengatur organisasinya. Pemimpin PULO senior bermarkas
di Mekkah. Mereka berperan aktif dalam merekrut jemaah Haji
Thailand untuk bergabung dengan PULO. Sementara Markas
Politik dan Operasional PULO berada di Tumpat, Kelantan. Posisi
Markas ini dibuat sengaja berada di kawasan perbatasan untuk
mengawasi dan mengordinasikan hal yang dianggap dapat
menghadirkan kondisi politik yang menguntungkan bagi operasi
gerilya.
Target perekturan PULO adalah Muslim Patani yang
belajar di Malaysia dan Timur Tengah serta guru Agama di
Thailand Selatan. Pejuang-pejuang yang direkrut PULO banyak
yang mendapatkan pelatihan dari asing. PULO juga memiliki
kamp pelatihan di Suriah, di sepanjang perbatasan dengan
Lebanon.
C. Kebijakan Pemerintah Pusat di Thailand Selatan
Paska Haji Sulong berhasil ditaklukan, separatisme di
Thailand Selatan tidak serta merta berakhir tetapi menjadi terpecah
dengan visi dan misi yang beragam. Pemerintah Thailand
dihadapkan untuk mengubah kebijakannya agar memadamkan
pergejolakan di kubu separatis. Jenderal Prem Tinsulanond yang
saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri meluncurkan strategi
baru pada 1981 yang menekankan pada partisipasi publik,
pembangunan ekonomi, amnesti yang luas baik untu separatis
41
berhaluan kiri ataupun kanan. Kecermatan Prem dalam
membuat kebijakan di Thailand Selatan sendiri karena dirinya
adalah orang Selatan yang kemudian mengabdikan diri di
Angkatan Darat sehingga memahami dengan baik permasalahan
politik di sana. Adapun beberapa kebijakan Jenderal
Prem Tinsulanond adalah:12
Membentuk Civil Police Military (CPM 43) yang bertugas
untuk mengoordinasikan operasi keamanan dan
memastikan bahwa tidak ada penghilangan dan
pembunuhan di luar hukum.
Meluncurkan kebijakan ketertarikan yang bertujuan untuk
menarik simpati dari kelompok-kelompok seperatis dengan
meningkatkan partisipasi politik dan melimpahkan proyek-
proyek pembangunan ekonomi di kawasan itu. Listrik dan
air mulai masuk ke daerah-daerah terpencil. Personil
militer dan pejabat pemerintah membantu membentuk
komite di tingkat desa untuk mempromosikan
pembangunan ekonomi dan keamanan.
Mendirikan Southern Border Provinces Administrative
Centre (SBPAC) untuk menangani masalah politik.
SBPAC pada awalnya berada di bawah Komando Militer
ke-empat lalu kemudian di bawah Kementerian Dalam
Negeri tetapi anggota dewannya juga mencakup banyak
12Asia Report No98, “Southern Thailand: Insurgency Not Jihad”, Ibid,
h. 11-12
42
penduduk setempat. Masalah politik ditangani oleh Pusat
Administrasi Perbatasan Selatan (SBPAC), yang didirikan
pada tahun 1981 dan awalnya di bawah komando Daerah
Militer Keempat, kemudian menteri dalam negeri, tetapi
dewannya juga mencakup banyak penduduk setempat.
SBPAC menekankan pada pemahaman budaya Muslim
Melayu sehingga pelatihan diberikan untuk pejabat non-
Melayu dalam kesadaran budaya dan bahasa Melayu Patani
lokal (yang dikenal oleh Thais as Jawi). SBPAC dirancang
untuk mengatasi dua masalah utama pada administrasi
provinsi-provinsi paling selatan yaitu koordinasi yang
buruk di antara lembaga-lembaga dan korupsi serta
prasangka di antara para pejabat.
Meskipun kebijakan-kebijakan yang dilakukan Jenderal
Prem Tinsulanond sangat sesuai untuk kawasan Thailand Selatan
namun pada praktiknya tidak semulus itu. Ada dua masalah utama
sehingga kebijakan yang dibuat Jenderal Prem Tinsulanond tida
berjalan maksimal, yaitu:13
1. Korupsi seolah telah meresap di kalangan pejabat terutama
di kepolisian.
2. Kebijakan integrasi politik masih mengandung unsur-unsur
Thailand-sentris. Banyak pejabat terus menyamakan
tuntutan budaya yang berkaitan dengan ekspresi identitas
Melayu dengan tuntutan politik untuk separatisme, dan
13Asia Report No98, “Southern Thailand: Insurgency Not Jihad”, Ibid.
43
tanggapan mereka adalah untuk menekan identitas itu.
Untuk itu mereka mempromosikan bahasa Thailand
melalui pendidikan dan media. Guru mengajar siswa
sekolah dasar dan menengah untuk mengidentifikasi
mereka sebagai Muslim Thailand daripada Muslim
Melayu. Bahasa Thailand adalah satu-satunya media
instruksi. Siswa dapat memilih bahasa Inggris, Perancis,
Jerman dan Arab sebagai bahasa kedua, tetapi bahasa
Melayu tidak diizinkan dan media berbahasa Melayu
dilarang. Pemerintah juga mengubah nama jalan dari
bahasa Melayu ke bahasa Thailand dan mendorong orang-
orang untuk memakai nama-nama Thailand. Kebijakan-
kebijakan ini berhasil dalam arti bahwa hampir semua anak
Melayu sekarang berbicara bahasa Thailand tetapi mereka
menganggap mendapat serangan terhadap Bahasa dan
budaya Melayu
43
Bab III
Tragedi Masjid Krue Se dan Insiden Tak Bai di Thailand
Selatan
Thailand Selatan sekitar tahun 1989 mengalami fase
tenang di mana konflik yang kerap terjadi berangsur-angsur
mereda. Namun ketenangan itu tidak berangsur lama,
memasuki tahun 2000-an konflik di Thailand Selatan kembali
hadir. Puncak konflik yang kemudian meningkatkan kekerasan
di Thailand Selatan adalah Tragedi Masjid Krue Se dan Insiden
Tak Bai. Untuk itu, pada bab ini penulis akan mengulas tiga
poin utama yaitu Pemberontakan Thailand Selatan di Masa
Awal Pemerintahan Thaksin, Tragedi Masjid Krue Se dan
Insiden Tak Bai.
A. Pemberontakan Thailand Selatan di Masa Awal
Pemerintahan Thaksin
Pemerintah menganggap pemberontakan di Thailand
Selatan berangsur surut sejak pertengahan 1990-an dan
menyambut era baru pemerintahan di Thailand. Sejak tahun
2001 terjadi peralihan politik yang cukup signifikan dengan
berkurangnya intensitas militer dalam pemerintahan dan
bergantinya sistem pemerintahan menuju demokrasi. Perdana
Menteri Thaksin mendeklarasikan bahwa pemberontakan telah
44
teratasi dan fokus untuk mempelajari mekanisme dalam
mengalahkan pemberontak.1
Namun dugaan Thaksin Shinawatra, Perdana Menteri
terpilih dari Partai Thai Rak Thai perihal berhasilnya menuntas
pemberontak perlu dikaji ulang. Awal pemerintahan Thaksin
diwarnai dengan aksi penembakan, pembakaran dengan
sengaja, pengeboman dan serangan terhadap Pabrik Senjata
milik pemerintah di Thailand Selatan. Thaksin menganggap
rangkaian peristiwa ini terjadi karena perang antar gang
kriminal di Selatan Thailand atau orang berkepentingan yang
mengambil keuntungan dari huru-hara ini untuk merongrong
kredibilitas pemerintah. Thaksin dengan tegas menolak
anggapan bahwa pemberontak Melayu Muslim kembali aktif
dan menjadi dalang atas peristiwa yang terjadi.2
Pada Desember 2001, pembarakan dan pencurian
senjata mulai aktif terjadi. Kemudian pada rentang tahun 2002-
2003 terjadi peningkatan level kekerasan dan mendapatkan
perhatian dalam skala nasional.3 Pada 2002 beberapa kantor
polisi diserang oleh sejumlah besar gerilyawan yang berhasil
mengambil sejumlah senjata dan amunisi. Sekitar 50 orang
terbunuh dalam 75 insiden yang terjadi sepanjang tahun. Pada
1Zachary Abuza, The Islamist Insurgency in Thailand, h. 90
2Human Rights Watch,”No One Is Safe”, (Vol. 19, No.13, Agustus 2007),
h. 29 3Desmond Ball dan Nicholas Farrelly, “Interpreting 10 Years of Violence
in Thailand’s Deep
South, Security Challenges, (Vol. 8, No. 2, 2012), h. 5
45
tahun 2003 sekitar 119 insiden terjadi yang tercatat dalam
sumber resmi.4
Pada 4 Januari 2004, Batalyon Teknik ke-4 Tentara
Thailand di Distrik Cho Airong, Provinsi Narathiwat diserang.
Dalam serangkaian serangan yang direncanakan dengan baik
dan terkoordinasi terjadi sekitar pukul 02:00 pagi. Sekitar 100
penyerang menyerbu pangkalan batalyon pembangunan militer
Rachanakarin dan menyita sekitar 400 senjata, termasuk
senapan serbu, senapan mesin, pistol, dan meriam. Tidak hanya
merampok senjata, para penyerbu juga menanam sejumlah
Bom yang berhasil ditemukan pada 5 Januari 2004.
Perampokan ini menyita Perhatian Thaksin dan ketika menjadi
Perdana Menteri, Thaksin langsung meminta penyelesaian
kasus ini secara cepat.5
Thaksin memerintahkan untuk penyusutan dan
penyelesaian segera dilakukan terhadap insiden yang terjadi
pada 4 Januari 2004. Polisi investigasi dikirim dari Bangkok
untuk menginvestigasi pencurian senjata dan pembakaran.
Investigasi mengakibatkan penangkapan banyak penduduk
sipil dan beberapa pejabat. Kebanyakan dari mereka terpaksa
mengaku terlibat atas insiden yang terjadi karena tekanan yang
4Aurel Croissant, “Unrest in South Thailand: Contours, Causes, and
Consequences Since 2001”, Ibid 5Asia Report No98, “Southern Thailand: Insurgency Not Jihad”,
International Crisis Group, (Singapore, 18 May 2005), h. 17-18
46
ada. Akhirnya tidak ada seorang pun yang ditangkap atas
keterlibatan terhadap peristiwa tersebut.6
Rangkaian insiden di Thailand Selatan meski telah
menjadi perhatian nasional tidak membuatnya terselesaikan
dengan baik tetapi justru semakin meningkat. Hal ini
dikarenakan pemerintahan Thaksin cenderung membentuk
perpolitikan Thailand yang radikal. Selain itu, Thaksin gagal
mendapat simpati dari penduduk Thailand Selatan dan
membuat polisi dan tentara menjadi target kekerasan.7
Kegagalan Thaksin merebut simpati penduduk
Thailand Selatan dikarenakan kebijakannya yang keras dan
petugas pemerintahan cenderung bersikap antipati dan
berprasangka terhadap etnis Melayu Muslim di Thailand
Selatan menjadi pemicu utama kembali meningkatnya
kekerasan di Thailand Selatan. Hal ini diungkapkan informan
yang diwawancarai Human Right Watch, bagaimana kebijakan
Thaksin atas peredaran narkoba yang jutsru membuat petugas
pemerintahan mencurigai dan antipati terhadap etnis melayu
muslim di Thailand Selatan.8
Thaksin akhirnya mengubah pandangannya yang
semula bersikeras tidak ada terorisme di Thailand Selatan dan
6Eric Biel, Niel Hicks, Michael McClintock, Losing Ground: Human
Rights Defenders and Counterterrorism in Thailand, Ibid. 7Desmond Ball dan Nicholas Farrelly, “Interpreting 10 Years of Violence
in Thailand’s Deep South, Ibid. 8Human Rights Watch,”No One Is Safe”, (Vol. 19, No.13, Agustus 2007),
h. 31
47
menganggap peristiwa kekerasan yang meningkat karena ulah
lawan politiknya atau pihak yang berkepentingan untuk
merusak kredibilitasnya. Namun lambat laun Thaksin
merasakan kekhawatiran perihal terorisme di Thailand Selatan.
Konflik di Thailand Selatan sendiri memiliki daya tarik untuk
dimanfaatkan oleh jaringan teroris internasional.9 Terlepas
siapa dalang dari kekerasan yang kembali marak di Thailand
Selatan, namun dapat diambil kesimpulan bahwa Thaksin telah
melakukan kekeliruan jika dia menganggap pemberontakan
dan kekerasan telah usai di Thailand Selatan. Thaksin
memerintah dengan otoriter dan mengabaikan Hak Asasi
Manusia.10 Hal tersebut Thaksin lakukan untuk menjaga
kredibilitasnya dengan kebijakan keamanan nasional yang
tegas dan cenderung keras.11 International Crisis Group (ICG)
menganggap kebijakan Thaksin yang keras dan cenderung
otoriter berdampak pada meningkatnya kekerasan di Thailand
Selatan.12
Untuk mengantisipasi keamanan di Thailand Selatan,
Pemerintah Pusat semakin menekan militer untuk fokus pada
9Apinya Baggelaar Arrunnapaporn, “Heritage Interpretation and Spirit of
Place: Conflict at Krue Se Mosque and Thailand Southern Unrest”,
Unpublished paper, h. 2 10Eric Biel, Niel Hicks, Michael McClintock, Losing Ground: Human
Rights Defenders and
Counterterrorism in Thailand, (Washington DC: Human Right First, 2005) 11Peter Chalk, Angel Rabasa, William Rosenau, Leanne Piggott, The
Evolving Terrorist Threat to Southeast Asia, (Pittsburgh: RAND Corporation,
2009), h. 111 12Asia Report No98, “Southern Thailand: Insurgency Not Jihad”, Ibid, h. i
48
pergejolakan di Thailand Selatam. Darurat militer yang
sebelumnya telah berjalan efektif di daerah perbatasan
Malaysia diperluas di tiga provinsi dengan mayoritas muslim
terbesar yaitu Pattani, Yala dan Narathiwat pada 5 Januari
2004. Darurat militer yang dijalankan membawa seribu tentara
dari utara ke kawasan selatan untuk menjaga dan waspada
kemungkinan terjadi peristiwa kekerasan.13
B. Tragedi Masjid Krue Se
Masjid merupakan sebuah tempat sakral dan penting
bagi Umat Islam. Masjid tidak hanya memiliki fungsi ritual
sebagai tempat ibadah tetapi juga fungsi sosial sebagai institusi
sosial. Masjid dalam fungsinya sebagai institusi sosial kembali
pada refleksi jemaatnya.14 Hal ini terbangun tidaklah mudah
melainkan melalui proses yang lama antara para jemaatnya
dengan masjid itu sendiri.
Masjid juga sebuah tempat yang menyimpan sejarah
sebagai memori kolektif bangsa. Masjid Krue Se di Thailand
Selatan merupakan salah satu masjid bersejarah. Masjid kokoh
yang telah dibangun sejak masa Kesultanan Patani dan tetap
berdiri kokoh hingga saat ini. Masjid Krue Se merupakan salah
satu bangunan bersejarah yang memiliki arti sakral bagi
penduduk Patani karena merupakan simbol kejayaan
1313Eric Biel, Niel Hicks, Michael McClintock, Losing Ground: Human
Rights Defenders and Counterterrorism in Thailand, Ibid. 14Ridwan, “Patani Central Mosque in Southern Thailand as Sanctuary
From Violence”, Indonesia Journal of Islam and Muslim Societies, (Vol. 4,
No. 2, Desember 2014), h. 215
49
Kesultanan Patani di masa lalu. Selain itu, Masjid Krue Se juga
menjadi sumber pertentangan antara masyarakat Patani yang
diwakili para pejuang dan Pemerintah Thailand ketika
memasuki abad ke-20.
Pada 1935 para pejuang muslim yang pemerintah
Thailand anggap sebagai pemberontak karena tindakan
makarnya semakin mendapatkan api perjuangannya ketika
Pemerintah Thailand menjadikan Masjid Krue Se sebagai situs
Sejarah Nasional. Hal ini menimbulkan reaksi keras bagi
masyarakat muslim Thailand Selatan yang mencoba
mengklaim kembali masjid tersebut. Demonstrasi pun terjadi
dan dikomandoi oleh ulama muslim yang berapi-api
menyuarakan untuk memisahkan diri dari Thailand dengan
perjuangan atas nama Islam.15
Adapun kebijakan pemerintah Thailand menjadikan
Masjid Krue-Se sebagai situs sejarah dikarenakan untuk
memajukan sektor pariwisata di Thailand Selatan. Di mana
terdapat mitos bahwa batu yang digunakan untuk bangunan
masjid berasal dari kutukan Dewi China.16 Mitos mengenai
kutukan Dewi China sendiri berkaitan dengan makam kuno
yang terdapat di dekat Masjid. Makam tersebut bukanlah
15Chaiwat Satha-anand, “Kru-ze: A Theatre for Renegotiating Muslim
Identity”, Journal of Social Issues in Southeast Asia, (Vol. 8, No. 1, February
1993), h. 196 16Mengenai mitos kutukan Dewi China pada Masjid Krue-Se,
sebagamana yang dijabarkan Chaiwat Satha Anand dalam abstrak artikelnya.
(Lihat Chaiwat Satha-anand)
50
makam seorang muslim, melainkan makam seorang
perempuan China bernama Lim Kun Yew, yang berasal dari
Provinsi Fujien. Kedatangannya ke Patani untuk membujuk
saudaranya Lim Tho Kiam yang telah memeluk Islam untuk
kembali pulang ke Dinasti Ming. Namun keinginan tersebut
tidak terwujud, untuk itu Lim Kun Yew bunuh diri di bawah
pohon di dekat Masjid Krue-Se. 17
Mitos China inilah yang menjadi konsep utama
pemerintah untuk meningkatkan sektor pariwisata, khususnya
untuk turis dari China maupun perantauan Cina asal Fujien
yang banyak menetap di Singapura, Malaysia dan Indonesia.
Namun hal ini, tidak disukai muslim Patani karena
menganggap hal itu merupakan salah satu usaha untuk
meretriksi nilai-nilai kebudayaan Islam. Untuk itu mereka
menentang pendeklarasian masjid tersebut sebagai situs
sejarah.18
Masjid Krue-Se sendiri dibangun untuk memenuhi
kebutuhan ibadah penduduk lokal dan para pedagang. Fungsi
tersebut membuat Masjid Krue-Se kerap mengalami renovasi.
Terlebih masjid ini merupakan salah satu bangunan termegah
se-Asia Tenggara dan telah digunakan sebagai masjid kerajaan
17Duncan McCargo. Rethinking Thailand's Southern Violence.
(Singapura : National University of Singapore Press, 2007), h. 178 18Pattana Kitiarsa. Religious Commodifications in Asia: Marketing
Gods. (London : Routledge, 2008), h. 101
51
selama lebih dari 300 tahun.19 Artinya masjid tersebut telah
melalui beragam peristiwa politik yang terjadi di Patani dan
mewakili identitas muslim Patani.
Tiga tahun paska penetapan Pemerintah Thailand
terhadap Masjid Krue-Se sebagai peninggalan bersejarah,
terdapat perubahan di ranah pemerintahan paska terpilihnya
Phibul Songkram untuk memerintah Thailand. Corak
pemerintahan Thailand pun semakin militeristik diakibatkan
kepemimpinan Phibul Songkram yang memperkenalkan
administrasi Phibul di Bangkok pada 1938 yang menghadirkan
sebuah etnis nasionalisme chauvinistik secara agressif.
Pemerintah Phibul telah menyokong gerakan yang dikenal
dengan Pan-Thaisme, yang mengabsahkan beberapa kebijakan
pada pemurnian dan kebudayaan Thailand Pusat.20 Hal ini
dilakukan dengan dalih mendapatkan pengakuan dunia dan
memperkuat nasionalisme.
Memasuki Abad ke-21, Masjid Krue Se menjadi
bagian integral masyarakat muslim di Thailand Selatan. Masjid
tersebut seolah menjadi saksi bisu dari kekerasan yang terus
berlangsung di Thailand Selatan. Bahkan Masjid Krue Se
sebagai sebuah tempat kontestasi kembali terulang pada April
2004.
19Apinya Baggelaar Arrunnapporn, “Heritage and Spirit of Place:
Conflicts at Krue-Se Mosque and Thailand Southern Unrest”, Ibid. 20Scupin, Raymond, “Thailand as a Plural Society: Ethnic Interaction
in a Buddhist Kingdom”, Crossroads: An Interdisciplinary Journal of
Southeast Asian Studies,(Vol. 2, No, 3, 1986), h. 126
52
Pada 28 April 2004 terjadi Tragedi Masjid Krue Se
yang membuat keadaan di Thailand Selatan semakin tidak
kondusif. Kondisi ini bermula saat sekelompok pemuda
bersenjata api dan parang memperingati pemberontakan tahun
1948 dengan 11 serangan secara bersamaan. Mereka
melakukan serangan ke sejumlah pos polisi dan tentara di
Thailand Selatan. Lima penjaga keamanan terbunuh akibat
serangan ini. Serangan yang dilakukan pemuda direspon
dengan serangan balik oleh penjaga keamanan di setiap lokasi
dan mengakibatkan sekitar 107 pemuda terbunuh. Pemuda
lainnya berusaha mengatur strategi bertahan dengan
bersembunyi di dalam Masjid Krue Se. Pihak keamanan yang
menggalami kebuntuan menyerang dengan roket dan granat.
Hal ini mengakibatkan 32 pemuda tewas.21 Setelah delapan
jam kebuntuan dan pertukaran tembakan sementara pemuda-
pemuda tersebut tetap bersembunyi di dalam Masjid Krue Se,
akhirnya tentara menyerang dan membunuh semua orang yang
berada di dalam masjid.22
Peristiwa yang terjadi pada 28 April 2004 merupakan
peristiwa yang tidak lazim terjadi di Thailand Selatan.
Peristiwa yang mencapai puncaknya di Masjid Krue Se dengan
kerugian besar di pihak pejuang muslim diawali dengan
21Eric Biel, Niel Hicks, Michael McClintock, Losing Ground: Human
Rights Defenders and Counterterrorism in Thailand, (Washington DC: Human
Right First, 2005), h. 6 22“The scars of Krue Se South Thailand's Krue Se mosque has
become a symbol of a troubled region”, Al-Jazeera, (3 Oktober 2007)
53
pemberontakan di tiga Provinsi di Thailand Selatan yang
mengakibatkan 108 pemberontak tewas. Pemberontak itu
sendiri dilakukan oleh sejumlah pemuda. Mr. Suchinda
memimpin enam orang Komite untuk menginvestigasi kasus
ini dan melaporkan hasilnya sebanyak 30 halaman ke Perdana
Menteri Thaksin. Mr. Suchinda mengonfirmasi kepada para
wartawan dengan pandangan netral bahwa sangat disayangkan
terlalu banyak kekuatan digunakan di dalam Masjid Krue Se.
Hal ini dapat dilihat dari banyaknya senjata berat, senapan
mesin yang digunakan militer sementara pemberontak hanya
dengan parang dan satu senapan yang tidak banyak
pelurunya.23
Mr. Suchinda menegaskan bahwa penyelidikannya tidak
menyalahkan individu tertentu dan membersihkan militer dari
kesalahan karena telah mengatakan bahwa wilayah tersebut
telah ditempatkan di bawah darurat militer pada saat
pemberontakan. Akan tetapi, Komunitas-komunitas Muslim
menuduh pemerintah Thailand bertindak berat dalam
menghancurkan kerusuhan. Jenderal Panlop Pinmanee,
komandan militer yang memerintahkan operasi masjid
menegaskan bahwa "Saya tidak punya pilihan. Jika saya
menunda keputusan saya dua atau tiga jam, akan ada lebih
banyak malapetaka," katanya kepada AFP. Terlebih karena
23Thai Mosque killings criticized The head of an inquiry into the
killing of 32 militants in a mosque in southern Thailand has accused security
forces of using excessive force”, BBC News, (28 Juli 2004).
54
tragedi ini merupakan tragedo yang tidak lazim, di mana dalam
satu hari di provinsi Yala, Pattani dan Songkhla terbunuh lebih
dari 100 orang.24
Tragedi yang terjadi di Masjid Krue Se sangat
memilukan dan mengundang banyak kecaman. Di mana
semestinya hal itu dapat didamaikan dengan negosiasi tanpa
harus menggunakan granat untuk penyelesaiannya. Akibat
penanganan pemerintah yang tidak tepat jugalah yang
membuat tahun 2004 menjadi tahun meningkatnya kekerasan
di Thailand.
C. Insiden Tak Bai
Pada Oktober 2004 insiden besar terjadi di Thailand
Selatan. Dunia Internasional menyorot insiden ini, puluhan
orang mati lemas di dalam truk. Hal ini bermula dari enam
pemuda sipil yang ditangkap di bawah hukum darurat militer
atas tuduhan memberi senjata kepada pihak pemberontak.
Beberapa warga pun berdemonstrasi memprotes kejadian yang
terjadi namun mereka justru dimasukan ke dalam truk dengan
keadaan saling tumpang tindih dan membuat 78 orang mati
lemas.25
Laporan militer mengungkapkan rincian kematian 78
demonstran yang meninggal di dalam truk, sebagai berikut:
24Thai Mosque killings criticized The head of an inquiry into the
killing of 32 militants in a mosque in southern Thailand has accused security
forces of using excessive force”, BBC News, (28 Juli 2004). 25Eric Biel, Niel Hicks, Michael McClintock, Losing Ground: Human
Rights Defenders and Counterterrorism in Thailand, Ibid.
55
No Jenis Truk Jumlah Korban
Tewas
1. Truk dengan Plat Nomor 19338 21 Orang
2. Truk dengan Lempeng Angkatan
Darat No 19232
5 Orang
3. Truk dengan Plat Nomor 19263 6 Orang
4. Truk dengan Lempeng Angkatan
Darat No 13164
23 Orang
5. Truk dengan Marine License Plate
No 531
5 Orang
6. Truk dengan Marine License Plate
No 5256
1 Orang
7. Truk dengan Marine License Plate
No 530
6 Orang
8. Truk yang nomor lisensinya tidak
dapat diidentifikasi
11 Orang
Tabel III.1
Sumber: National Reconciliation Commision, “Tak Bai and Krue Se
Report”, The Nation
Meskipun berhasil mengidentifikasi jumlah mayat di setiap
truk namun tim penyelidik tidak berhasil mengungkap urutan
keberangkatan setiap truk. Selain itu muatan antara truk satu
dengan lainnya tidak sama.
56
The Southern Border Provinces Peace-building Command
melaporkan kepada perdana menteri bahwa setiap truk
mengangkut sekitar 50, 70 atau 90 tahanan. Informasi lainnya yang
ditemukan oleh sub-komite komite pencari fakta menemukan
bahwa setiap truk membawa sekitar 60 tahanan, 70 tahanan atau
80 tahanan.
Pemeriksaan post-mortem pada 78 orang yang meninggal
saat dipindahkan dari kantor polisi Tak Bai di Narathiwat ke kamp
militer Ingkayuth di distrik Nong Chik di Pattani. Tim medis dari
Institut Ilmu Forensik Pusat, dokter Rumah Sakit Pattani, petugas
polisi, petugas administrasi dan jaksa penuntut umum melakukan
sore tanggal 26 Oktober 2004. Pemeriksaan mortem menemukan
bahwa:
No Jumlah
Korban
Penyebab Kematian
1. 33 Orang Sesak napas akibat tekanan pada dada
mereka
2. 4 Orang Sesak napas akibat tekanan pada dada
mereka dan luka-luka yang disebabkan
oleh benda tumpul
3. 10 Orang Sesak napas akibat tekanan pada dada
mereka, menderita kejang akibat
ketidakseimbangan kimia dalam darah
57
dan luka-luka yang disebabkan oleh
benda tumpul
4. 31 Orangg Sesak Napas
Tabel II.2
Sumber: National Reconciliation Commision, “Tak Bai and Krue Se
Report”, The Nation
Khunying Pornthip juga mengklarifikasi kepada Komite
Independen perihal penyebab kematian korban, bahwa:
Tidak ada jejak sesak napas yang disebabkan oleh
pencekikan, atau dengan plastik dibungkus erat di kepala
korban. Sebagian besar tubuh mengalami pendarahan
sklera, dan memiliki kongesti vena.
Puasa bukanlah penyebab kematian, yang lebih berkaitan
dengan standar kesehatan para tahanan.
Tekanan fisik yang diberikan kepada tahanan tidak dapat
menyebabkan kematian.
Laporan investigasi oleh subkomite pencari fakta tentang
aspek medis kembali menegaskan secara detail penyebab kematian
korban yang penulis kutip langsung dari laporan resmi yang dirilis
pemerintah yaitu sebagai berikut:
1.2.1 Regarding the seven people killed at Tak Bai police station and the one
who sustained serious injuries and later died in hospital, the report concluded
that it was clear the victims died of gunshot wounds caused by bullets shot from
distance.
1.2.2 Regarding the deaths of the 78 people at the Inkayuth military camp in
Pattani, the fact-finding subcommittee on medical aspects inferred their causes
58
of death from physical examinations conducted on injured survivors. Of the
injured victims, most suffered crush injuries and four also had compartment
syndrome that meant they required urgent operations. Medical specialists said
the fact that the protesting Thai Muslims had been fasting without food or liquids
for more than 12 hours; that they had been exposed to the scorching sun; and
that they had experienced violent treatment during the demonstration, dispersal
and transfers on overcrowded vehicles had led to their injuries. The transfers
took more than three hours, in some cases on overcrowded vehicles, causing
rhabdomyolysis as well as a chemical imbalance in the blood and blood cells.
The imbalance was so severe that muscles involved with breathing could hardly
function. In the most severe cases the victims died. It was concluded that the
above factors caused the deaths of the detainees. Furthermore, the autopsies on
the 78 detainees who died on their way from Tak Bai police station in
Narathiwat’s Tak Bai district to Ingkayuth military camp in Pattani’s Nong Chik
district showed that most deaths were caused by asphyxiation and pressure on
the chest and breathing muscles. There were also some signs of seizures and
chemical imbalances in the blood, which could have resulted in death.
Therefore, the subcommittee concluded that all 78 detainees died of the same
cause - rhabdomyolysis, which causes abnormal breathing. When coupled with
the shortage of food and water and long exposure to sweltering heat, the
condition can result in death.
Penulis mencoba menerjemahkan hasil laporan berikut
yaitu:
1.2.1 Sehubungan dengan ketujuh orang yang tewas di kantor
polisi Tak Bai dan orang yang menderita luka serius dan kemudian
meninggal di rumah sakit, laporan itu menyimpulkan bahwa sudah
jelas para korban meninggal karena luka tembak yang disebabkan
oleh tembakan peluru dari kejauhan.
1.2.2 Mengenai kematian 78 orang di kamp militer Inkayuth di
Pattani, subkomite pencari fakta pada aspek medis menyimpulkan
penyebab kematian mereka dari pemeriksaan fisik yang dilakukan
pada korban yang terluka. Korban yang terluka yaitu yang
menderita luka-luka dan empat orang memiliki sindrom
kompartemen yang berarti mereka membutuhkan operasi yang
59
mendesak. Para ahli medis mengatakan fakta bahwa Muslim
Thailand yang memprotes telah berpuasa tanpa makanan atau
cairan selama lebih dari 12 jam; bahwa mereka telah terkena sinar
matahari yang menyengat; dan bahwa mereka telah mengalami
perlakuan kekerasan selama demonstrasi, penyebaran dan transfer
pada kendaraan yang penuh sesak telah menyebabkan luka-luka
mereka. Transfer memakan waktu lebih dari tiga jam, dalam
beberapa kasus pada kendaraan yang penuh sesak, menyebabkan
rhabdomyolysis serta ketidakseimbangan kimia dalam darah dan
sel darah. Ketidakseimbangan itu begitu parah sehingga otot-otot
yang terlibat dengan pernapasan hampir tidak bisa berfungsi.
Dalam kasus yang paling parah, korban meninggal. Disimpulkan
bahwa faktor-faktor di atas menyebabkan kematian para tahanan.
Selanjutnya, otopsi pada 78 tahanan yang meninggal dalam
perjalanan mereka dari kantor polisi Tak Bai di distrik Tak Bai
Narathiwat ke kamp militer Ingkayuth di distrik Nong Chik di
Pattani menunjukkan bahwa sebagian besar kematian disebabkan
oleh sesak napas dan tekanan pada dada dan otot-otot pernafasan.
Terdapat beberapa tanda kejang dan ketidakseimbangan kimia
dalam darah, yang bisa mengakibatkan kematian. Oleh karena itu,
subkomite menyimpulkan bahwa semua 78 tahanan meninggal
karena penyebab yang sama -rhabdomyolysis26, yang
26Rhabdomyolysis adalah kondisi dimana jaringan otot rangka penderita
mengalami kerusakan akibat matinya serat-serat otot dan keluarnya isi serat ke
dalam aliran darah. Rusaknya otot juga melepaskan zat mioglobin ke aliran
darah. Mioglobin sendiri merupakan protein yang berfungsi menyimpan oksigen
dalam otot. Terlalu banyak mioglobin dalam darah dapat menyebabkan
60
menyebabkan pernapasan abnormal. Ketika digabungkan dengan
kekurangan makanan dan air dan paparan yang lama terhadap
panas yang terik, kondisi ini dapat menyebabkan kematian.
Selain meningkatnya kekerasan dan dugaan adanya
terorisme internasional sebagai pemicu, narkoba merupakan salah
satu momok utama di kawasan Selatan Thailand. Bahkan
Pemberantasan Narkoba di Thailand Selatan menjadi agenda awal
pemerintahan Thaksin yang kemudian menjadi salah satu penyulut
meningkatnya kekerasan di Thailand Selatan.
Rasa takut dan kebencian menjadi gamblang setelah
pemerintah meluncurkan kampanye anti-narkoba yang dengan
cepat berevolusi menjadi "perang melawan narkoba" yang kejam
dan mematikan pada tahun 2003. Peraturan Perdana Menteri
Thaksin 29/2546, ditandatangani pada 28 Januari 2003,
menyerukan penindasan mutlak perdagangan narkoba dengan
menyatakan bahwa “jika seseorang dituduh melakukan
pelanggaran narkoba, orang itu akan dianggap sebagai orang
berbahaya yang mengancam keamanan sosial dan nasional.”
Dalam minggu-minggu berikutnya, pemerintah mengarahkan
Gubernur dan Kepala kepolisian di setiap Provinsi dalam
menargetkan penangkapan sejumlah tersangka pedagang obat
penderita rhabdomyolysis berisiko terkena komplikasi serius, seperti gagal
ginjal, yaitu kondisi ketika ginjal kehilangan kemampuan dalam membuang
limbah dan konsentrat urine. (Lihat:
https://www.alodokter.com/rhabdomyolysis, diakses pada 14 Mei 2018 pukul
11.09 WIB
61
terlarang dan penyitaan narkotika. Di seluruh negeri antara
Februari dan Mei 2003, 2.598 orang yang diduga pelanggar
narkoba ditembak mati dalam pembunuhan ekstrajudisial yang
jelas, banyak dari pembunuhan ini tampaknya didasarkan pada
"daftar hitam" yang disiapkan oleh polisi dan lembaga pemerintah
setempat.27
Seorang anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa di seluruh negeri
- terutama di provinsi perbatasan selatan yang lebih tanpa hukum -
daftar ini digunakan oleh polisi dan pihak berwenang setempat
untuk menyelesaikan perselisihan lokal dan, pada saat yang sama,
mencetak poin politik dengan pemerintah. Karena para tersangka
yang masuk daftar hitam tidak memiliki mekanisme untuk
menantang inklusi mereka dalam daftar. Hal ini menimbulkan
meningkatnya ketakutan yang semakin intensif sehingga banyak
penduduk desa etnis Melayu Muslim berpaling kepada militan
separatis untuk mencari perlindungan. Akhirnya banyak pengguna
narkoba yang memilih bergabung dengan kelompok separatis
untuk mendapatkan perlindungan dari pemerintah.28
Hal ini terbukti dengan beberapa orang demonstran yang
positif menggunakan Narkoba. Subkomite pencari fakta pada
aspek medis melaporkan hasil tes narkoba yang dilakukan terhadap
tahanan di kamp militer Ingkayut. Tes narkoba juga dilakukan
27Human Rights Watch,”No One Is Safe”, (Vol. 19, No.13, Agustus
2007), h. 29 28Human Rights Watch,”No One Is Safe”, Ibid
62
tidak hanya pada korban yang terluka dari insiden Tak Bai tetapi
juga yang meninggal saat ditahan. Dari 1.093 subyek dari tahanan
di kamp militer, 13 dinyatakan positif menggunakan narkoba.
Sementara dari 78 tahanan yang ditemukan tewas di kamp militer
Ingkayuth, hanya 40 yang dipilih untuk tes narkoba dan tidak
semuaya di tes narkoba. Dari 40 orang yang tewas, dua di antara
positif menggunakan efedrin dan morfin. Detailnya adalah sebagai
berikut:
No Jumlah
Korban
Jenis Narkoba
1. 8 Orang Delapan subjek dinyatakan positif
metamfetamin
2. 1 Orang Satu subjek dinyatakan positif efedrin
3. 1 Orang Satu subjek dinyatakan positif Benzo
4. 2 Orang Dua subyek dinyatakan positif THC
(marijuana)
5. 1 Orang Satu subyek dinyatakan positif Morfin
Tabel III.3
Sumber: National Reconciliation Commision, “Tak Bai and Krue Se
Report”, The Nation
Hal ini semakin menguatkan bahwa kegentingan di
kawasan Thailand bagian Selatan perihal bahaya Narkoba
berdasar. Namun respon pemerintah atas Narkoba tidaklah bijak
sehingga memicu semakin meningkatnya kekerasan di Thailand
Selatan. Di mana, daftar hitam yang dijadikan alasan untuk
63
penangkapan pengguna Narkoba. Namun mekanisme yangb belum
tepat justru membuat kekhawatiran bagi beberapa penduduk
Thailand Selatan lainnya sehingga lebih memilih bergabung
dengan kelompok pemberontak.
Peristiwa ini membuktikan bahwa keadaan di Thailand
Selatan sedang tidak baik-baik saja. Demokrasi belum membawa
perubahan signifikan bagi terimplementasinya nilai-nilai Hak
Asasi Manusia di Thailand Selatan. Perubahan sikap Thaksin yang
semula menganggap kekerasan yang kembali muncul di Thailand
Selatan akibat ulah lawan politiknya dianggap keliru dan ditarik
kembali. Kekhawatiran terhadap terorisme transnasional mulai
menguat seiring diketatkannya patroli di daerah perbatasan. Di sisi
lain ketegasan Thaksin untuk memerangi Narkoba sejak masa awal
pemerintahannya tidak mendapatkan sambutan baik melainkan
ketakutan yang justru memicu masuknya mereka ke kelompok
pemberontak. Sikap Thaksin dalam memerangi Narkoba memang
terbilang keras sehingga dianggap beberapa pejuang Hak Asasi
Manusia telah melanggar HAM.
Berkaitan dengan dugaan terorisme transnasional yang
dianggap sebagai penyebab meningkatnya kembali kekerasan di
Thailand Selatan tampaknya tidak serta merta bisa dibenarkan.
Kawasan Asia Tenggara cenderung terdiferensiasi antara
mayoritas dan minoritas sehingga menjadi rentan terhadap konflik
ethnonasionalisme yang memicu terorisme regional. Artinya untuk
kasus di Thailand Selatan, kemungkinan besar hal ini merupakan
64
permasalahan ethnonasionalisme yang belum padam. Selain itu,
perubahan perpolitikan di Central Thailand juga mempengaruhi
keadaan di Thailand Selatan. Di sisi lain, masyarakat di Thailand
masih berada dalam kolonialisme regional yaitu anggapan bahwa
apa yang dilakukan Pemerintah Pusat terhadap wilayahnya sebagai
suatu bentuk penjajahan.
Thaksin Shinawatra telah berusaha untuk memimpin
Thailand secara berbeda dari pendahulunya. Perbedaan penting
antara Thaksin dan pendahulunya berkaitan dengan peran ekstra-
konstitusional dari monarki. Mode pemerintahan yang dominan
digunakan di Thailand sejak tahun 1980 dapat diistilahkan
sebagai tata kelola jaringan monarki atau monarki jaringan.
Karena kesuksesan Thaksin dalam membantu menyingkirkan
Thanom-Rezim Praphas, Raja Bhumipol dari Thailand. Thaksin
melembagakan suatu rentang kekuatan politik ekstra-
konstitusional yang berbeda dengan monarki jaringan.29
29Duncan McCargo, “Thaksin and The Resurgence of Violence in the
Thai South: Network Monarchy Strikes Back?” Critical Asian Studies, (2006),
h. 42
65
Bab IV
Dampak Kebijakan Pemerintah Pusat terhadap Tragedi
Masjid Krue Se dan Insiden Tak Bai
di Thailand Selatan
Thailand Selatan meski kerap terjadi konflik namun
berbeda dengan Rohingya di Myanmar yang menjadi pemberitaan
Internasional. Konflik di Thailand Selatam jarang hadir dalam
pemberitaan Internasional dan seolah tertutupi dengan dinamika
perpolitikan di Central Thailand. Tragedi Masjid Krue Se dan
Insiden Tak Bai di Thailand Selatan merupakan peristiwa yang
tersorot dunia Internasional. Meskipun pemberitaannya kemudian
dibatasi tetapi masyarakat Thailand Selatan masih sangat
mengenang kedua peristiwa tersebut.
Setiap peristiwa yang terjadi pasti memiliki sebab. Tragedi
Masjid Krue Se dan Insiden Tak Bai terjadi karena dipengaruhi
oleh kebijakan Pemerintah Pusat Thailand. Maka dari itu, ada
empat poin utama yang menurut penulis adalah penting untuk
dibahas pada bab ini yaitu Kebijakan Pemerintah Pusat di Thailand
Selatan, Respon Pemerintah atas Tragedi Masjid Krue Se dan
Insiden Tak Bai, Keadaan Masyarakat Paska Tragedi Masjid Krue
Se dan Insiden Tak Bai serta Respon Pemerintah atas Tragedi
Masjid Krue Se dan Insiden Tak Bai.
66
A. Kebijakan Pemerintah Pusat di Thailand Selatan
Thaksin Shinawatra, Perdana Menteri terpilih dihadapkan
pada pergejolakan di Thailand Selatan pada awal
pemerintahannya. Thaksin beranggapan bahwa rentetan insiden
yang terjadi didalangi oleh lawan politiknya, bandar narkoba, atau
hanya perkelahian antar gang kriminal kecil. Untuk itu dalam
pemerintahannya, Thaksin membuat beberapa kebijakan di
antaranya:
1. Pada tahun 2002 Thaksin menghapus SBPAC dan CPM 43.
Kebijakan ini Thaksin keluarkan karena menganggap
separatisme tidak lagi menjadi permasalahan di Thailand
Selatan.1
2. Peraturan Perdana Menteri Thaksin 29/2456 pada 28
Januari 2003 terkait Narkoba. Peraturan ini menyerukan
“Perang Melawan Narkoba” secara impulsif. Peraturan ini
menegaskan “Jika seseorang dituduh melakukan
pelanggaran narkoba, orang itu akan dianggap sebagai
orang berbahaya yang mengancam keamanan sosial dan
nasional.” Untuk itu orang yang melakukan pelanggaran
narkoba ini dapat ditembak mati dalam pembunuhan
ekstrajudisial.2
1Ian Storey, “Ethnic Separatism in Southern Thailand: Kingdom Fraying
at the Edge?”, Asia-Pasific Center for Security Studies, Maret 2007, h. 5 2Human Rights Watch,”No One Is Safe”, (Vol. 19, No.13, Agustus 2007),
h. 29
67
Dua kebijakan yang Thaksin keluarkan untuk mengatasi
permasalahan di Thailand Selatan ini menuai kontroversi. Pertama,
perihal penghapusan SBPAC dan CPM 43 menjadi sangat
disayangkan karena keberadannya diharapkan dapat mengatasi
permasalahan korupsi yang menjerat wilayah Thailand Selatan dan
juga untuk memberi ruang bagi penduduk muslim Pattani dalam
menyelesaikan konflik yang ada. Kedua, perihal perang melawan
narkoba, hal ini sangat bagus untuk meminimalisir
penyalahgunaan narkoba yang mulai marak terjadi. Namun
penyeldidikan di lapangan yang hanya berdasarkan daftar hitam
tanpa krosscheck lebih lanjut membuat sejumlah pemuda di sana
menjadi panik dan memilih bergabung kepada kelompok separatis
untuk mengamankan diri dari pemerintah.
B. Respon Pemerintah atas Tragedi Masjid Krue Se dan
Insiden Tak Bai
Kesalahan pertama pemerintahan Thaksin adalah salah
mengartikan masalah dan kemudian, berdasarkan penilaian yang
salah itu, membongkar aparat keamanan yang telah membantu
menjaga perdamaian selama lebih dari satu dekade. Meskipun
peningkatan penembakan dan pemboman pada 2001-2002
menunjukkan gerakan separatis meningkat namun Thaksin
menepis kekerasan itu sebagai perang rumput antara geng-geng
kriminal yang bersaing untuk menjatuhkan kredibilitasnya.
Pada tahun 2002, Thaksin percaya bahwa separatisme tidak
lagi menjadi masalah di selatan dan membuatnya menghapus Pusat
68
Administrasi Provinsi Perbatasan Selatan (SBPAC) dan Satuan
Polisi Sipil-Militer-Kepolisian 43 (CMP-43). SBPAC dan CMP-
43 telah didirikan pada awal 1980-an dan merupakan elemen kunci
dalam kampanye kontra-pemberontak. SBPAC memiliki staf yang
sebagian besar terdiri dari pejabat lokal. Pada dasarnya SPBAC
mengatur tiga provinsi, mengawasi proyek-proyek pembangunan
ekonomi, dan menyelesaikan keluhan-keluhan antara pejabat
Melayu-Muslim dan pemerintah. Sementara, CMP-43
mengoordinasikan semua operasi keamanan di selatan dan bekerja
sama dengan SBPAC. Dua organisasi ini serta amnesti untuk para
pemberontak sangat berjasa dalam memadamkan pemberontakan
pada tahun 1980-an dan awal 1990-an. Namun Thaksin yang
merupakan mantan Letnan Kolonel di kepolisian mengalihkan
semua tanggung jawab keamanan di Selatan dari tentara ke polisi.
Hal ini membuat tentara marah karena kehilangan prestise dan
mengakhiri semua kerja sama dengan polisi. Sayangnya hal ini
adalah langkah yang fatal karena polisi tidak pernah menjadi agen
yang populer di Selatan karena catatan hak asasi manusianya
buruk. Kemelut di Selatan semakin terlihat saat Thaksin membuat
kebijakan untuk mempersilakan tembak-menembak dengan dalih
"perang melawan narkoba". Selama kampanye “perang melawan
narkoba” ini, polisi mengeksekusi banyak mantan gerilyawan
69
pemberontak yang menjadi informan pemerintah, mencabut
layanan keamanan mereka di lapangan.3
Namun kekerasan besar yang meletus pada Januari 2004
membuat pemerintahan Thaksin tidak bisa lagi mengabaikan
masalah dan segera mengadopsi respon keamanan militer garis
keras. Bangkok mengumumkan darurat militer di Selatan dan
mengirim 10.000 tentara untuk bergabung dengan 20.000 tentara
yang telah ditempatkan di sana. Selama tahun 2004 respon keras
pemerintah mengakibatkan dua kekejaman besar dan semakin
memperkeruh suasana di Thailand Selatan. Pada 28 April,
sekelompok militan muda yang bersenjata parang menyerang
polisi dan pos militer di Pattani, dan kemudian berlindung di
masjid Krue Se. Tentara menyerbu tempat perlindungan agama,
menembaki 31 militan. Pada penghujung hari, 108 militan dan
lima personel keamanan tewas. Hal ini menyusul pada insiden
kedua yang terjadi pada 25 Oktober di Kota Tak Bai, Provinsi
Narathiwat. Tentara menembaki para pemrotes yang mengepung
Kantor Polisi setempat dan kemudian menggiring ratusan dari
mereka ke dalam truk-truk militer yang penuh sesak untuk
diangkut ke sebuah kamp militer yang berjarak sekitar lima jam
perjalanan. Selama perjalanan itu 78 pria mati lemas. Komisi
pemerintah menyelidiki Tragedi Masjid Krue Se dan Tak Bai
insiden dan menyimpulkan bahwa kekuatan yang berlebihan telah
3Ian Storey, “Ethnic Separatism in Southern Thailand: Kingdom
Fraying at the Edge?”, Ibid
70
digunakan, dan bahwa mereka yang bertanggung jawab harus
dibawa ke pengadilan. Namun, hingga saat ini, tidak ada yang
dituntut dan komandan operasi Tak Bai dipindahkan dari daerah
tersebut dan dipromosikan.4
Thaksin merespon peristiwa-peristiwa yang terjadi di
Thailand Selatan dengan bertahan pada pendekatan garis keras
sambil mengupayakan dengan kebijakan yang lebih damai. Pada
awal April, Wakil Perdana Menteri Chaturon Chaisaeng
mengusulkan demiliterisasi wilayah tersebut dan berusaha mencari
solusi politik, tetapi ide-idenya tidak mendapat dukungan dari
Thaksin. Tanggapan utama Thaksin yaitu berulang kali melakukan
perombakan perwira senior yang dia pertanggung-jawabkan untuk
situasi yang memburuk.5
Menanggapi krisis yang muncul, pemerintah
memberlakukan darurat militer di Narathiwat, Yala dan Pattani,
dan dikerahkan dari 12.000 pasukan Tentara Kerajaan Thailand di
wilayah tersebut. Beberapa unit dikirim untuk melindungi guru
dan pegawai negeri, ketertiban umum dan infrastruktur. Sistem
pendidikan menjadi bagian yang berada di bawah tekanan serius
setelah lebih dari 1.200 guru dan pejabat pendidikan meminta di
pindah ke daerah lain dan mengakibatkan hampir 1.000 sekolah di
tiga provinsi paling selatan harus ditutup sementara. Di lain sisi,
4Ian Storey, “Ethnic Separatism in Southern Thailand: Kingdom
Fraying at the Edge?”, Ibid, h. 6 5 Duncan McCargo, “Thaksin and The Resurgence of Violence in the
Thai South: Network Monarchy Strikes Back?”, Critical Asian Studies, (2006),
h. 41
71
orang tua takut untuk mengirim anak-anak mereka ke sekolah
karena keadaan yang belum aman. Beberapa hakim pengadilan
tingkat provinsi juga mengajukan permintaan untuk transfer keluar
dari wilayah Selatan setelah pembunuhan hakim oleh separatis
Muslim pada tahun 2004.6 Tindakan pemerintah untuk situasi yang
memburuk ini hanya mengabulkan permintaan migrasi dan
memperbanyak tentara untuk mengamankan wilayah.
Struktur pemerintahan sebelumnya telah meningkatkan
dialog antara pemerintah Thailand dan Thailand Muslim. Namun
Thaksin justru mengganti struktur sebelumnya dengan
menempatkan Struktur Kepolisian Provinsi Thailand yang korup
dan mengabaikan elemen kunci dari struktur yang sebelumnya
sukses. Lebih buruk lagi, Perdana Menteri Thaksin menanggapi
krisis keamanan yang muncul dengan membagi tanggung jawab
antara kantor-kantor dari tiga kementerian yang berbeda dan
mengurangi tanggung jawab Kementerian Pertahanan. Setelah
pemerintah menyadari bahwa langkah-langkah sebelumnya gagal
memperbaiki situasi, garis komando untuk lembaga-lembaga
negara yang bekerja di wilayah itu direstrukturisasi beberapa kali.
Selanjutnya, tanggung jawab diresentralisasi dan Wakil Perdana
Menteri Jenderal (rtd.) Chavalit Yongchaiyudh — arsitek
kemenangan atas pemberontak komunis pada awal 1980-an —
diberi otoritas penuh untuk mengambil alih situasi. Pada awal
6Aurel Croissant, “Unrest in South Thailand: Contours, Causes, and
Consequences Since 2001”, Strategic Insight, Vol. 6, (Februari 2005), h. 5
72
Oktober 2004, Jenderal Sirichai Thayasiri dipilih sebagai Ketua
Komando Pembangunan Perdamaian Provinsi Perbatasan Selatan
yang baru, sebuah organisasi yang dibentuk sejak April 2004 yang
bertindak sebagai super-agensi yang mengarahkan dan
mengoordinasikan operasi di Selatan.7
Dalam pertemuan Internasional, pihak pemerintah
berusaha mengecilkan permasalahan kerusuhan di Selatan. Hal ini
mengecewakan para diplomat dan organisasi internasional yang
menyelidiki konflik ini. Kecurigaan ini muncul karena Duta Besar
untuk Thailand tidak pernah bisa mengunjungi wilayah ini karena
alasan keamanan. Perihal Insiden Tak Bai pada 25 Oktober 2004,
Kementerian Luar Negeri justru menjelaskan pada komunitas
diplomatik perihal keadaan Bangkok, jauh dari peristiwa tragis itu
sendiri. Pada KTT ASEAN di Vientiane akhir tahun itu, Thaksin
mengancam akan keluar dari ASEAN jika Tak Bai atau
pelanggaran lain di Selatan dibesarkan oleh rekan-rekannya.
Ketika Sekretaris Jenderal Organisasi Konferensi Islam (OKI),
Profesor Ekmeleddin Ihsanoglu, mengunjungi Thailand pada
tahun 2007 dan membatasi tinggalnya hanya di Bangkok. Sikap
Thaksin dan Pejabat Thailand lainnya untuk menutupi dan tidak
membesarkan masalah yang terjadi di Thailand pada ASEAN, OKI
dan badan-badan PBB agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Kecurigaan pada lembaga-lembaga Internasional ini ditakutkan
7Aurel Croissant, “Unrest in South Thailand: Contours, Causes, and
Consequences Since 2001”, Strategic Insight, Vol. 6, (Februari 2005), h. 11
73
menarik perhatian internasional dan dapat menyebabkan tekanan
dalam pemerintahan seperti otonomi Aceh ataupun referendum
kemerdekaan Timor Timur. Mereka juga khawatir jika skala
konflik dipahami secara luas akan memepengaruhi keinginan
wisatawan asing berkunjung ke Thailand bagian Selatan, terlebih
resort-resort dan indahnya Pantai di Phuket menjadi salah satu
fokus utama wisata. Karena tidak ingin mendapatkan masalah
akibat campur tangan Internasional, Thailand selalu berusaha
menunjukkan citra positifnya di mata dunia Internasional.8
Terurainya tatanan sipil di perbatasan Thailand Selatan
sejak Januari 2004 dan seterusnya mengakibatkan kerusakan besar
pada kedudukan regional dan internasional dari pemerintahan
Thaksin Shinawatra. Sebelum bertemu KTT ASEAN di Vientiane,
Perdana Menteri Thaksin menyatakan dengan tegas bahwa dia
tidak akan ragu untuk keluar dari ASEAN jika ada negara tetangga
Thailand yang mempertanyakan penanganan pemerintahnya atas
Insiden Tak Bai. Hal ini tentunya sangat kontras ketika Thaksin
sebagai tuan rumah Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC)
pada Oktober 2003 dipuji sebagai pemimpin sekaliber Dr.
Mahathir Mohammad dan Lee Kuan Yew. Di mana ketika KTT
ASEAN, Thaksin sangat marah saat Mahathir secara terbuka
meminta provinsi-provinsi di Selatan diberikan otonomi. Hal ini
juga menarik perhatian OKI (Organisasi Konferensi Islam) yang
8Duncan McCargo, “What’s Really Happening In Southern
Thailand?”, ISEAS Regional Forum, (Singapura, 8 Januari 2008), h. 5
74
tidak menyukai sikapnya. Meski demikian, Thaksin mampu
menangkis seruan internasional untuk memantau konflik Selatan
namun Thaksi harus menghadapi kritik dari kelompok masyarakat
sipil di Thailand yang membela Hak Asasi Manusia. Lebih banyak
lagi, dia berulang kali ditegur oleh anggota Dewan Kehormatan
Raja yang dihormati terutama Presiden Prem Tinsulanond dan
mantan Komandan Tentara Surayud Chulanont yang menyerukan
kepada pemerintah untuk mengadopsi pendekatan yang lebih
damai untuk krisis. Akibat tekanan-tekanan yang dihasilkan paska
Insiden Tak Bai akhirnya menyebabkan Thaksin tersingkir pada 19
September dari pemerintahan oleh Kudeta Militer 2006 yang
dilakukan oleh pasukan yang setia kepada monarki Thailand.
Meskipun menang telak dalam pemilihan umum Februari 2005
(Ironisnya Partai Thai Rak Thai kehilangan semua kursinya di
provinsi perbatasan Thailand Selatan), Thaksin berada di bawah
tekanan untuk membuat semacam konsesi kepada kritiknya.9
Salah satu usaha yang dilakukan Thaksin sebelum
kemudian di kudeta pada 2006 adalah mendirikan NRC. NRC atau
National Reconciliation Commission didirikan pada awal Maret
2005. NRC diketuai oleh mantan Perdana Menteri Anand
Panyarachun, NRC muncul dari proposal oleh sekelompok
akademisi yang mengkritik penanganan pemerintah Thaksin
terhadap krisis selatan. NRC secara luas sejajar dengan perspektif
9Duncan McCargo, Mapping National Anxieties: Thailand’s Southern
Conflict, (Copenhagen: NIAS Press, 2012), h. 67-69
75
kerajaan di Selatan 'Memahami, mengakses,
mengembangkan'yang ditekankan Raja Bhumibol Saran
Adulyadej. NRC memiliki 50 anggota, yang diambil dari berbagai
variasi sektor: 17 anggota berasal dari masyarakat sipil di daerah
(termasuk Presiden Dewan Islam, cendekiawan Muslim, dan
akademisi), 12 anggota dari masyarakat sipil di luar daerah
(termasuk beberapa tokoh terkemuka yang terkait dengan LSM di
Bangkok), 7 anggota dari sektor politik dan 12 anggota dari
layanan sipil dan pasukan keamanan. Komisi ini bertugas
menyelidiki peningkatan kekerasan di provinsi perbatasan Selatan
dan membuat rekomendasi kebijakan kepada pemerintah. Tidak
ada preseden yang jelas di Thailand untuk inisiatif semacam itu.10
Upaya lain dari sektor ekonomi adalah anggaran
pembangunan yang cukup besar dengan ketentuan untuk
partisipasi kewarganegaraan kepada Perdana Menteri. Namun
proyek untuk mengalirkan 60 juta crane sebagai tanda perdamaian
di Selatan tidak diterima dengan baik. Akhirnya dibangun Peace
Building atau Bangunan Perdamaian untuk menerima segala
aspirasi dan keluhan warga serta sumber informasi.11
10 Duncan McCargo, Mapping National Anxieties: Thailand’s
Southern Conflict, Ibid, h. 69-70 11 Eric Biel, Niel Hicks, Michael McClintock, Losing Ground:
Human Rights Defenders and Counterterrorism in Thailand, (Washington DC:
Human Right First, 2005), h. 7
76
C. Keadaan Masyarakat Thailand Selatan Paska Tragedi
Masjid Krue Se dan Insiden Tak Bai
Statistik terbaru dari kerusuhan di Thailand Selatan
selama 10 tahun terakhir sejak Januari 2004 hingga April 2014
menunjukkan bahwa jumlah insiden kekerasan meningkat hingga
14.128 dengan sekitar 17.005 kematian dan cedera. Statistik juga
menunjukkan bahwa dari 6.097 kematian, sebagian besar mangsa
korban jiwa adalah Muslim dengan 3.583 orang, sekitar 58,55
persen dari kematian, sementara ada 2.359 kematian Buddha,
sekitar 38,69 persen. Sebaliknya, ada sekitar 10.908 cedera,
sebagian besar diidentifikasi sebagai umat Buddha, sekitar 6.462
individu, 59,24 persen, sementara ada 3.475 orang Muslim yang
terluka, atau sekitar 31,86 persen. Jika dibandingkan dengan
insiden kekerasan bulanan, korban jiwa dan luka-luka menjadi
lebih tinggi sejak Juli 2007, sebagai hasil dari kampanye militer
berskala besar untuk menumpas kerusuhan beberapa saat setelah
kudeta militer pada September 2006.12
Konflik Thailand Selatan telah menjadi perang yang
tidak terlihat di dunia luar dan hanya sedikit dilaporkan di media
global. Ada 1850 insiden pada tahun 2004, 2297 pada tahun 2005,
1815 pada tahun 2006, dan 723 dalam empat bulan pertama tahun
2007. Sementara korban jiwa berskala besar pada 28 April dan 25
12Srisombob Jitpiromsri, “An Inconvenient Truth about the Deep South
Violent Conflict: A Decade of Chaotic, Constrained Realities and Uncertain
Resolution”, DeepSouthWatch, (2 Juli 2014)
77
Oktober 2004 tidak terlampaui. Kemudian dari tahun 2005 dan
seterusnya kematian jarang turun di bawah 40 kematian per bulan
dan secara teratur mencapai 60 bahkan kadang-kadang melampaui
80. Kebanyakan orang yang meninggal karena ditembak, jumlah
penembakan tidak pernah turun di bawah 40 per bulan dalam
empat puluh bulan setelah Januari 2004, dan sering melebihi 80
dalam tujuh bulan ini ada lebih dari seratus penembakan. Bom,
baik yang terlempar maupun yang dipicu dari jarak jauh juga
sering digunakan dalam konflik. Patroli militer sering ditargetkan
untuk efek mematikan, sementara bom juga ditanam di pasar, kafe,
gedung pemerintahan dan lokasi komersial lainnya. Namun
perangkat eksplosif jarang menyebabkan sejumlah besar korban
tetapi dampaknya biasanya lebih bersifat psikologis. Serangan
terkoordinasi, di mana sebanyak enam puluh target terkena secara
bersamaan terjadi secara teratur meski korban dalam serangan ini
seringkali cukup rendah. Beberapa korban kekerasan dipenggal
kepalanya setelah dibunuh.13
Sementara itu kekerasan terus berlanjut meski tidak ada
lagi insiden berskala besar seperti Tragedi Masjid Krue Se dan
Insiden Tak Bai tetapi pembunuhan setiap hari semakin sering
terjadi dan yang menjadi sasaran adalah warga sipil dan muslim,
bukan lagi anggota pasukan keamanan. Kekerasan antisistem ini
memicu militan menyebarkan idiom Islam untuk membenarkan
13Duncan McCargo, “What’s Really Happening In Southern
Thailand?”, Ibid, h. 4
78
pemenggalan kepala, pembunuhan para bhikkhu, dan tindakan-
tindakan aneh lainnya yang dianggap mereka halal untuk
melindungi diri mereka. Pasukan keamanan berusaha mencegah
setiap konfrontasi besar yang akan menarik perhatian dunia
Internasional. Namun demikian, kebijakan informal pembunuhan
ekstra-judisial masih beroperasi di daerah-daerah tertentu dan
relasi kedua komunitas Muslim dan Budha penuh dengan desas-
desus dan takut. Mengadopsi gagasan-gagasan yang berasal dari
bahasa kerajaan tentang perlunya membedakan antara Muslim
"baik" dan "buruk" akan tetapi pasukan keamanan membuat
masalah di lapangan berbagai skema yang disalahpahami terutama
tidak bisa membedakan mana Muslim yang militant dan tidak.
Yang terburuk dari hal ini adalah program yang memaksa ribuan
pria tak berdosa menghabiskan waktu menjalani indoktrinasi
nasionalis di kamp-kamp Tentara di Thailand bagian Tengah.
Pasukan keamanan terbukti tidak kompeten dalam operasi sehari-
hari dan terus-menerus gagal untuk memahami bahwa sebagian
besar Muslim Melayu hanya mencoba untuk bertahan hidup di
lingkungan yang suram di mana mereka takut menentang negara
otoritas atau gerakan militan yang sedang berkembang.14
Artinya keadaan masyarakat Muslim di Thailand Selatan
mengalami keadaaan yang sangat menyulitkan yaitu menghadapi
ketidaknyamanan dari sikap pemerintah maupun kalangan
14Duncan McCargo, “What’s Really Happening In Southern Thailand
Ibid, h.8
79
militant. Di sisi lain, mereka tidak mempunyai perlindungan
berarti terlebih lagi suasana yang ditimbulkan akibat rangkaian
insiden kekerasan membuat masyarakat Budha yang berada di
Thailand Selatan pun takut dan menimbulkan ketidakharmonisan.
D. Relasi Pemerintah dan Masyarakat Paska Tragedi
Masjid Krue Se dan Insiden Tak Bai
Hal yang semakin membuat marah kaum Muslim setempat
adalah ketidaksensitifan Thaksin yang tidak hanya terhadap situasi
yang memburuk terus di selatan tetapi terutama untuk tragedi
kemanusiaan dari keduanya 28 April dan 25 Oktober 2004. Benar
atau salah menjadi sebuah persepsi yang hadir, tidak hanya di
kalangan Muslim tetapi juga di kalangan aktivis Hak Asasi
Manusia non-muslim bahwa pemerintah tidak memiliki kemauan
untuk menangani pasukan keamanan yang bertanggung jawab atas
tindakan mereka. Akibatnya, persepsi yang berkembang di antara
Muslim bahwa pemerintahan pada umumnya dan pasukan
keamanan khususnya adalah kalangan yang anti-Muslim dan hal
ini menambah kompleksitas situasi yang sudah sulit.
Ketidakpekaan budaya dan peningkatan jumlah pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang dilakukan oleh polisi dan militer telah
memprovokasi rasa takut dan kemarahan dan memperkuat
penyebab kehadiran para pemberontak. Menurut laporan dari surat
kabar Thailand dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dua ratus
Muslim Melayu lokal telah dibawa pergi oleh polisi dan militer
setempat atau menghilang setelah pasukan keamanan mencari
80
mereka. Beberapa langkah lain yang diambil oleh pasukan
keamanan, seperti gangguan ke sekolah-sekolah agama yang tidak
terdaftar, penangkapan guru dan tentara yang sering melakukan
pencarian dan penangkapan perburuan telah mengikis keinginan
warga setempat bekerja sama dengan pasukan keamanan juga.15
Selama bulan-bulan terakhirnya di Kantor, Thaksin
kehilangan semua minat di Selatan saat dia terkonsentrasi untuk
mencoba menopang legitimasi sendiri sebagai perdana menteri.
Komisi Rekonsiliasi Nasional yang ia ciptakan di bawah tekanan
liberal dan kritikus kerajaan menerbitkan laporan pada Juni 2006.
Setelah pemilihan pada April 2006 yang gagal akibat intervensi
oleh Raja dan Prem, Thaksin akhirnya digulingkan dalam kudeta
militer 19 September 2006. Pendukung setia monarki melakukan
kudeta dan memimpin pemerintahan sementara dan berharap
bahwa mereka akan meletakkan fondasi yang baik untuk
membawa kembali kedamaian di Thailand Selatan.16
15Aurel Croissant, “Unrest in South Thailand: Contours, Causes, and
Consequences Since 2001”, Ibid, h. 12 16Duncan McCargo, “What’s Really Happening In Southern
Thailand?”, Ibid, h. 9
81
Bab V
Penutup
A. Kesimpulan
Keadaan keamanan di Thailand Selatan dipengaruhi oleh
keadaan perpolitikan nasional. Thailand memutuskan untuk
menganut demokrasi dan mengantarkannya pada pemilihan
umum. Pemilihan Umum yang dilakukan membuat Thaksin
Shinawatra terpilih menjadi Perdana Menteri Thailand untuk
pertama kalinya. Thaksin sendiri tidak menyukai konsep
pemerintahan sebelumnya yang memakai sistem Monarki
Jaringan. Thaksin pun melakukan sejumlah perombakan dalam
pemerintahan khususnya di Thailand Selatan. Namun
perombakan yang Thaksin lakukan di Thailand Selatan justru
memicu meningkatnya konflik di Thailand Selatan.
Padahal Kebijakan yang dilakukan Prem Tinsulanond
sudah tepat untuk menangani pemberontakan yang kerap terjadi
di Thailand Selatan. Hal ini dibuktikan dengan berkurangnya
konflik karena Prem Tinsulanond mengangkat beberapa
masyarakat Muslim di tempat-tempat yang representatif. Namun
hal ini, tidak disadari Thaksin. Thaksin menganggap orang-orang
yang ditunjuk oleh pemerintah sebelumnya adalah mata-mata
Kerajaan. Thaksin memilih mengganti dengan orang-orangnya
yang tidak begitu memahami dinamika Thailand Selatan. Hal ini
82
berdampak pada meningkatnya situasi keamanan di Thailand
Selatan.
Kesalahan pertama pemerintahan Thaksin adalah salah
mengartikan masalah dan atas penilaian yang salah itu telah
merombak aparat keamanan yang telah membantu menjaga
perdamaian selama lebih dari satu dekade. Meskipun peningkatan
penembakan dan pemboman pada 2001-2002 menunjukkan
sentimen separatis yang meningkat namun Thaksin menepis
kekerasan itu sebagai perang akar rumput antara geng-geng
kriminal yang bersaing untuk menjatuhkan kredibilitasnya. Pada
tahun 2002, Thaksin percaya bahwa separatisme tidak lagi
menjadi masalah di selatan dan membuatnya menghapus Pusat
Administrasi Provinsi Perbatasan Selatan (SBPAC) dan Satuan
Polisi Sipil-Militer-Kepolisian 43 (CMP-43). SBPAC dan CMP-
43 telah didirikan pada awal 1980-an dan merupakan elemen
kunci dalam kampanye kontra-pemberontak. SBPAC memiliki
staf yang sebagian besar terdiri dari pejabat lokal. Pada dasarnya
SPBAC mengatur tiga provinsi, mengawasi proyek-proyek
pembangunan ekonomi, dan menyelesaikan keluhan-keluhan
antara pejabat Melayu-Muslim dan pemerintah. Sementara, CMP-
43 mengoordinasikan semua operasi keamanan di selatan dan
bekerja sama dengan SBPAC. Dua organisasi ini serta ditambah
dua amnesti untuk para pemberontak sangat berjasa dalam
memadamkan pemberontakan pada tahun 1980-an dan awal
1990-an. Namun Thaksin yang merupakan mantan Letnan
83
Kolonel di kepolisian mengalihkan semua tanggung jawab
keamanan di Selatan dari tentara ke polisi. Hal ini membuat
tentara marah karena kehilangan prestise dan mengakhiri semua
kerja sama dengan polisi. Sayangnya hal ini adalah langkah yang
fatal karena polisi tidak pernah menjadi agen yang populer di
Selatan karena catatan hak asasi manusianya buruk. Kemelut di
Selatan semakin terlihat saat Thaksin membuat kebijakan untuk
mempersilakan tembak-menembak dengan dalih "perang
melawan narkoba". Selama kampanye “perang melawan
narkoba” ini, polisi mengeksekusi banyak mantan gerilyawan
pemberontak yang menjadi informan pemerintah, mencabut
layanan keamanan mereka di lapangan.
Kebijakan-kebijakan kontroversial Thaksin awalnya
dipengaruhi karena kecurigaannya terhadap lawan politiknya
yang dia anggap berusaha merongrong kredibilitasnya. Namun
faktanya insiden pemberontakan pada awal Januari yang
bersambut dengan Tragedi Masjid Krue Se pada 28 April 2004
dan Insiden Krue Se pada 28 Oktober 2004 menjadi puncak
meningkatnya kembali kekerasan di Thailand Selatan.
Dugaan-dugaan bahwa kekerasan di Thailand Selatan
terjadi karena terorisme internasional terbantahkan. Faktanya
membuktikan bahwa kesenjangan antara mayoritas dan minoritas
merupakan faktor utama dari meningkatnya kekerasan di
Thailand Selatan. Di mana kekerasan yang terjadi masih
tergolong sebagai rasa ethnonasionalisme regional. Selain itu,
84
mental masyarakat melayu muslim di Thailand Selatan masih
terpengaruhi “kolonialisme internal”. Artinya, masyarakat dan
khususnya kalangan pemberontak masih merasa bahwa keadaan
yang terjadi dikarenakan Bangkok atau Pemerintah Pusat hanya
ingin mengambil keuntungan dari Thailand Selatan.
Selain itu, penanganan Tragedi Masjid Krue Se dan Insiden
Tak Bai mengidentifikasikan bahwa Pemerintah tidak memberi
ruang yang baik untuk meredakan permasalahan di Thailand
Selatan. Di mana penjaga keamanan menggunakan senjata yang
berlebihan dalam menangani permasalahan yang ada. Hal ini
mengidentifikasikan tidak adanya ruang untuk berdiskusi dalam
meredakan ketegangan. Pihak keamanan bersikeras melakukan
hal tersebut karena keadaan yang darurat. Namun di lain sisi, hal
ini sangat melanggar Hak Asasi Manusia dan tentunya
mencederai nilai demokrasi yang tengah dianut.
Insiden Tak Bai di Thailand memperlihatkan bagaimana
pemerintah tidak siap menghadapi demonstrasi yang tentunya
merupakan bumbu dari demokrasi. Pemerintah juga tidak
membuka ruang diskusi yang baik antara dirinya, masyarakat dan
kelompok pemberontak. Hal ini pulalah yang membuat
pemerintahan Thaksin Shinawatra didesak dari berbagai pihak
terutama dari kalangan Kerajaan dan dunia Internasional.
Kalangan Kerajaan mendesak Thaksin untuk mengatasi
masalah yang ditimbulkan paska tragedi Masjid Krue Se dan
Insiden Tak Bai. Untuk itu, Thaksin Shinawatra mendirikan NRC
85
(National Reconciliation Commission) untuk menyelidiki Tragedi
Masjid Krue Se dan Insiden Tak Bai untuk kemudian mencari
solusi penyelesaiannya.
Kecurigaan dunia internasional terhadap permasalahan yang
terjadi di Thailand Selatan adalah saat Duta Besar mereka untuk
Thailand tidak pernah bisa mengunjungi Thailand Selatan. Ketika
insiden Tak Bai dipertanyakan langsung kepada Menteri
Pertahanan Thailand, pihak pemerintah malah mengalihkannya
atas situasi yang terjadi di Bangkok. Hal ini seolah menegaskan
bahwa keadaan di Thailand Selatan tidak baik-baik saja.
Mahathir Mohamad, Perdana Menteri Malaysia saat itu
langsung menuntut Thaksin agar memberikan otonomi kepada
provinsi-provinsi Melayu di Thailand Selatan pada KTT ASEAN
di Viantiane. Thaksin tidak terima atas sikap Malaysia yang
mencampuri urusan di dalam negerinya dan mengancam akan
keluar dari ASEAN.
Pemerintah Thailand tampaknya memang berusaha
menyembunyikan permasalahan yang ada dari dunia Internasional.
Penulis menduga hal ini berkaitan kesulitan dan keterbatasan untuk
mengakses sumber primer lainnya dalam penelitian ini. Terlebih
lima berita penting tidak dapat penulis akses karena telah dihapus,
di antaranya:
Commission to release reports into Krue Se, Tak Bai
deaths - Bangkok Post, 22 April 2005
86
SOUTHERN TRAGEDIES: Reports to be censored prior
to publication - The Nation, 22 April 2005
Independent panel descends to deep South - TNA, 21 April
2005
Use of force at Krue Se condemned - NRC releases reports
into southern deaths - Bangkok Post, 25 April 2005
KRUE SE, TAK BAI INCIDENTS: NRC releases official
version - The Nation, 25 April 2005
Terlepas dari beberapa sumber yang tidak dapat penulis
akses, penulis menyimpulkan bahwa terjadinya tragedi Masjid
Krue Se dan Insiden Tak Bai serta meningkatnya kekerasan di
Thailand Selatan disebabkan oleh Dinamika Kebijakan Internal
Pemerintah yang dipelopori oleh rasa khawatir Thaksin terhadap
sistem jaringan monarki dan lawan politiknya.
B. Saran
Thailand merupakan negara yang unik karena terdiri dari
beragam etnis namun keberagamannya tidak semuanya terintegrasi
dengan baik khususnya di Thailand Selatan yang mayoritas
penduduknya adalah Muslim. Hal ini tentunya harus kita gali lebih
dalam untuk menambah khazanah perihal kehidupan Muslim di
negara Minoritas Muslim. Terlebih lagi persoalan di Thailand
Selatan kerap luput dan tertutupi dari kacamata internasional.
Penulis pun berusaha untuk menambah khazanah perihal
kehidupan muslim di Thailand Selatan khususnya untuk Tragedi
Masjid Krue Se dan Insiden Tak Bai di Thailand. Sayangnya
87
penulis mengalami kesulitan dan keterbatasan untuk mengakses
sumber primer lainnya. Jadi, penulis menyarankan untuk yang
hendak melakukan penelitian perihal Thailand Selatan ataupun
menganalisa lebih dalam kekurangan penelitian yang penulis
lakukan, sebaiknya melakukan field research dan menggunkaan
metode in-depth interview.
88
Daftar Pustaka
Foto
Dokumentasi pribadi Dr. Amelia Fauzia
Dokumen
Asia Report No98, “Southern Thailand: Insurgency Not Jihad”,
Internasional Crisis Group, (Singapore, 18 May 2005)
Human Rights Watch, ”No One Is Safe”, (Vol. 19, No.13, Agustus
2007)
Klein, James, “Democracy and Conflict in Southern Thailand: A
Survey of The Thai Electorate in Yala, Narathiwat, and
Pattani”, The Asia Foundation, (November 2010)
National Reconciliation Commision, “Tak Bai and Krue Se
Report”, The Nation, 2005
Buku
Biel, Eric dkk, Losing Ground: Human Rights Defenders and
Counterterrorism in Thailand, (Washington DC: Huma
Right First, 2005)
Chalk, Peter dkk, The Evolving Terrorist Threat to Southeast Asia,
(Pittsburgh: RAND Corporation, 2009)
Kitiarsa, Pattana, Religious Commodifications in Asia: Marketing
Gods, (London: Routledge, 2008)
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2013)
Pitsuwan, Surin, Islam di Muangthai: Nasionalisme Melayu
Masyarakat Patani, (Jakarta: LP3ES, 1989)
89
McCargo, Duncan, Mapping National Anxieties: Thailand’s
Southern Conflict, (Copenhagen: NIAS Press, 2012)
______________, Rethinking Thailand's Southern Violence.
(Singapura : National University of Singapore Press, 2007)
Jurnal dan Artikel
Abuza, Zachary, “The Islamist Insurgency in Thailand”, Current
Trends in Islamist Ideology, (November, 2006)
Baggelaar Arrunnapaporn, Apinya, “Heritage Interpretation and
Spirit of Place: Conflict at Krue Se Mosque and Thailand
Southern Unrest”, Unpublished Paper
Ball, Desmond dan Nicholas Farrelly, “Interpreting 10 Years of
Violence in Thailand’s Deep South, Security Challenges, (Vol.
8, No. 2, 2012)
Croissant, Aurel, “Muslim Insurgency, Political Violence, and
Democracy in Thailand”, Terorism and Political Violence,
(Vol. 19, No. 1-18, 2007)
_____________, “Unrest in South Thailand: Contours, Causes,
and Consequences Since 2001”, Strategic Insight (Vol. 6,
Februari 2005)
McCargo, Duncan, “Thai Buddhism, Thai Buddhists and the
Southern Conflict”, Journal of Southeast Asian Studies, (1-10
Februari 2009)
______________, “Thaksin and The Resurgence of Violence in
the Thai South: Network Monarchy Strikes Back?” Critical
Asian Studies, (2006)
90
______________,“What’s Really Happening In Southern
Thailand?”, ISEAS Regional Forum, (Singapura, 8 Januari
2008)
Ridwan, “Patani Central Mosque in Southern Thailand as
Sanctuary from Violence”, Indonesian Journal of Islam
and Muslim Societies, (Vol. 4, No. 2, Desember 2014)
Satha-anand, Chaiwat, “Kru-ze: A Theatre for Renegotiating
Muslim Identity”, Journal of Social Issues in Southeast Asia,
(Vol. 8, No. 1, February 1993)
Scupin, Raymond, “Thailand as a Plural Society: Ethnic
Interaction in a Buddhist Kingdom”, Crossroads: An
Interdisciplinary Journal of Southeast Asian Studies, (Vol. 2,
No, 3, 1986)
Storey, Ian, “Ethnic Separatism in Southern Thailand: Kingdom
Fraying at the Edge?”, Asia-Pasific Center for Security
Studies, (Maret 2007)
Yusuf, Imtiyaz, “Faces of Islam in Southern Thailand”, East-West
Center Washington Working Papers, (No. 7, March 2007)
Jitpiromsri, Srisombob, “An Inconvenient Truth about the Deep
South Violent Conflict: A Decade of Chaotic, Constrained
Realities and Uncertain Resolution”, Deep South Watch, (2
Juli 2014)
Surat Kabar dan Website
Corben, Ron, “Thai Military Steps Up Security in Restive
Muslim Border Provinces”, Voanews.com, 28 April 2017.
91
(https://www.voanews.com/a/thai-militarysteps-
psecurity-in-restive-muslim-border
provinces/3829479.html)
Levett, Connie, “Muslim Rage for 78 Thais herded to their
deaths”, The Sydney Morning Herald, 28 Oktober 2017.
(http://www.smh.com.au/articles/2004/10/27/1098667844
25.html) diakses pada 20 Desember 2017
Thai Mosque killings criticized The head of an inquiry into the
killing of 32 Militants in a mosque in southern Thailand
has accused security forces of Using excessive force”,
BBC News, (28 Juli 2004).
“The scars of Krue Se South Thailand's Krue Se mosque has
become a symbol of a troubled region”, Al-Jazeera, (3
Oktober 2007).
https://www.alodokter.com/rhabdomyolysis, diakses pada 14 Mei
2018
93
LAMPIRAN
LAMPIRAN I
Peta Thailand Selatan
Sumber: “Tangled Conflict: Thailand”
(http://affiliatenetwork.navisioglobal.com/tag/thailand/)
94
L
AM
PIR
AN
II
Lap
ora
n
Tra
ged
i M
asji
d
Kru
e S
e dan
In
siden
T
ak
Bai
ole
h
Nat
ional
R
econ
cili
atio
n
Co
mm
issi
on
yan
g
dip
ubli
kas
i m
elal
ui
sura
t kab
ar T
he
Nat
ion.
Ho
me |
Th
e N
ati
on
| C
on
tac
t U
s
95
An o
ffic
ial re
port
by a
govern
ment-
ap
poin
ted investigative
te
am
rele
ased b
y t
he N
atio
nal R
eco
ncili
atio
n C
om
mis
sio
n
on S
und
ay h
as c
onfirm
ed a
num
ber
of suspic
ions a
nd a
lleg
ation
s r
egard
ing t
he
cra
ckdo
wn o
n p
rote
ste
rs o
uts
ide
Nara
thiw
at’s T
ak B
ai polic
e s
tatio
n last O
cto
ber.
T
he r
eport
als
o p
oin
ts the f
inger
at cert
ain
senio
r m
ilita
ry o
ffic
ers
, in
clu
din
g th
e th
en F
ourt
h A
rmy R
egio
n c
om
ma
nd
er
Genera
l P
isarn
Wattana
won
gkir
i.
The f
act-
fin
din
g c
om
mitte
e a
nd its
fo
ur
su
b-c
om
mitte
es h
ave c
om
pile
d a
rep
ort
with f
our
sectio
ns: th
e in
troduction, th
e
facts
regard
ing th
e T
ak B
ai de
mo
nstr
ation, th
e p
oin
ts o
f consid
era
tio
n b
y th
e f
act-
fin
din
g c
om
mitte
e a
nd th
e
suggestio
ns b
y th
e fa
ct-
findin
g c
om
mitte
e.
Th
e f
acts
secti
on
is
div
ide
d in
to 1
0 p
art
s a
s f
oll
ow
s:
1 D
em
onstr
ation
at th
e T
ak B
ai dis
tric
t polic
e s
tation in N
ara
thiw
at
2 Inte
llige
nce w
ork
by the a
uth
ori
ties a
nd p
repara
tio
ns to d
ea
l w
ith d
em
onstr
ations, a
nd n
egotiations w
ith
dem
onstr
ato
rs
3 U
se o
f fo
rce to
bre
ak u
p th
e d
em
onstr
atio
n
4 L
oadin
g o
f arr
este
d p
rote
ste
rs o
n t
o m
ilita
ry tru
cks
5 T
ransp
ort
ation o
f arr
este
d p
rote
ste
rs fro
m T
ak B
ai to
the
In
gka
yuth
mili
tary
ca
mp
in
Patta
ni’s
No
ng C
hik
dis
tric
t 6 U
nlo
ad
ing
pro
teste
rs fro
m t
he m
ilita
ry tru
cks a
t th
e c
am
p
7 D
iscovery
of
de
ad p
rote
ste
rs insid
e t
he tru
cks, th
e fili
ng o
f dea
th r
ep
ort
s a
nd takin
g c
are
of
de
tain
ees
8 R
esults o
f th
e p
ost-
mort
em
s o
n s
eve
n p
eople
kill
ed d
uri
ng t
he d
isp
ers
al of
dem
onstr
ato
rs, a
nd o
n 7
8 d
eta
inees w
ho
96
die
d o
n th
e tru
cks. T
he r
esults o
f dru
g t
ests
on d
eta
ine
es.
9 L
egal pro
ce
edin
gs a
ga
inst d
eta
ine
es
10 R
em
ed
y p
rocess: G
overn
me
nt’s d
ealin
g w
ith t
he inju
red
an
d k
ille
d a
s w
ell
as d
eta
ine
es’ b
elo
ngin
gs.
Dem
on
str
ati
on
Peop
le g
ath
ere
d in fro
nt
of T
ak B
ai d
istr
ict
polic
e s
tatio
n o
n O
cto
ber
25, 2
00
4 to
de
ma
nd t
he r
ele
ase o
f six
su
spects
w
ho w
ere
de
fence v
olu
nte
ers
of
a v
illage
and w
ere
ch
arg
ed w
ith
giv
ing s
tate
gu
ns to m
ilita
nts
. S
ecurity
forc
es’
atte
mpt
to h
ave t
he d
em
onstr
ato
rs d
isp
ers
e faile
d.
It w
as late
r d
iscovere
d fro
m d
eta
ine
d p
rote
ste
rs that som
e o
f th
em
co
uld
not le
ave t
he
rally
’s locatio
n b
ecau
se the
y
were
blo
cked b
y th
e d
em
onstr
ation lea
ders
as w
ell
as b
ein
g s
urr
ound
ed b
y s
ecurity
forc
es.
More
over,
man
y d
em
onstr
ato
rs d
id n
ot
he
ar
the s
ecuri
ty f
orc
es, re
ligio
us lea
ders
or
their r
ela
tives w
ho c
am
e to t
he
rally
’s location
to a
sk them
to d
isp
ers
e.
This
was b
eca
use w
he
n t
he a
uth
orities, re
ligio
us lea
ders
an
d r
ela
tive
s s
poke
thro
ugh a
loudsp
eake
r, o
rga
nis
ers
of
the
pro
test
wou
ld b
oo a
nd jeer.
A
t 3:1
0p
m, som
e d
em
onstr
ato
rs trie
d to
bre
ak thro
ug
h th
e b
arr
ier
to g
o insid
e th
e d
istr
ict
polic
e s
tation
’s c
om
poun
d.
As a
result,
the
Fourt
h A
rmy r
eg
ion
co
mm
and
er
ord
ere
d th
e d
isp
ers
al of th
e d
em
onstr
ato
rs. A
t th
at
tim
e,
gunfire
was
heard
to t
he
sid
e o
f th
e d
em
onstr
ato
rs a
nd
a p
olic
em
an w
as inju
red. A
vid
eo
tap
e r
ecord
ing
by a
report
er
fro
m th
e
Mass C
om
munic
ation
Org
anis
atio
n o
f T
ha
iland r
eveale
d t
hat
a s
old
ier
fire
d a
warn
ing
shot, b
ut h
is g
un w
as n
ot
aim
ed
at th
e s
ky b
ut hori
zon
tally
. S
evera
l m
ilita
ry o
ffic
ers
late
r e
xp
lain
ed th
at firi
ng
hori
zo
nta
lly w
as a
tactic to f
orc
e th
e
dem
onstr
ato
rs to lie
dow
n.
Tra
nsport
ation o
f d
eta
ined d
em
onstr
ato
rs f
rom
Tak B
ai dis
tric
t p
olic
e s
tation
to t
he
Ing
kayuth
mili
tary
ca
mp in
Patta
ni’s
No
ng C
hik
dis
tric
t
97
The S
outh
ern
Bord
er
Pro
vin
ces P
eace
-build
ing
Com
ma
nd t
estified t
hat th
ere
were
tw
o c
onvo
ys o
f m
ilita
ry t
rucks. T
he
firs
t convo
y d
ep
art
ed T
ak B
ai at 4.1
5pm
an
d r
each
ed t
he m
ilita
ry c
am
p a
t 7.3
0pm
. T
he
se
cond c
onvo
y left T
ak B
ai a
t 7pm
an
d r
eached t
he
destin
atio
n a
t 1
0pm
. B
ut a d
river
[nam
e w
ithhe
ld]
of a
tru
ck, on w
hic
h 2
3 d
ead b
odie
s w
ere
fo
un
d, te
stifie
d t
hat
his
tru
ck left
Tak B
ai at
5pm
an
d r
eached t
he
mili
tary
cam
p a
t 10
pm
. A
noth
er
drive
r [n
am
e w
ithh
eld
] of
a tru
ck, on w
hic
h 2
1 d
ead b
odie
s w
ere
fo
un
d, said
he left T
ak B
ai an
d r
eached
th
e c
am
p a
t n
earl
y t
he s
am
e t
ime.
A s
ub-c
om
mitte
e in c
harg
e o
f dete
rmin
ing t
he f
acts
and e
vid
ence
learn
ed
fro
m d
eta
ine
d p
rote
ste
rs th
at th
e f
irst tr
uck
left t
he T
ak B
ai po
lice
sta
tion a
t 3.4
0p
m a
nd r
each
ed t
he c
am
p a
t 5.4
0p
m. T
he d
eta
ine
es s
aid
so
me tru
cks le
ft th
e
polic
e s
tation a
t 6
pm
and r
eache
d t
he c
am
p a
t 9p
m a
nd s
om
e le
ft the
po
lice s
tatio
n a
t 9pm
an
d r
eached t
he
cam
p a
t 2am
the
follo
win
g d
ay.
The d
eta
inees a
lso t
estified t
ha
t d
urin
g th
e journ
ey w
he
n d
eta
ine
es c
alle
d for
help
, th
ey w
ere
assaulted b
y g
uard
s
wh
o u
sed
either
a r
ifle
bu
tt o
r a b
ato
n. S
om
e s
old
iers
als
o k
icked o
r sto
mp
ed o
n t
he d
eta
ine
es. D
eta
ine
es a
lso
said
som
e s
old
iers
tre
ate
d d
eta
inees v
ery
we
ll d
uring
th
e journ
ey.
The
su
b-c
om
mitte
e inte
rvie
wed
92 d
eta
inees a
nd n
earl
y
all
of th
em
testified
th
at th
ey w
ere
ord
ere
d t
o lie
face d
ow
n o
n to
p o
f o
ne a
no
ther
duri
ng
tra
nsp
ort
atio
n. T
he
y r
eache
d
the c
am
p in t
he s
am
e face
-do
wn, pro
ne p
ositio
n. B
ut
one
of
the
m w
as a
llow
ed to
sit d
urin
g t
he tri
p.
Lt-
Col W
atc
hara
Sukw
ong,
who w
as a
mo
ng o
ffic
ers
unlo
ad
ing
the d
eta
ine
es, fo
und
about
20 d
ead in a
tru
ck c
arr
yin
g
abo
ut 7
0 d
eta
ine
es. T
he d
eta
ine
es w
ere
lyin
g f
ace d
ow
n w
ith h
ands tie
d b
ehin
d t
he
ir b
ack. C
ol N
op
pa
nan
C
hunpra
dab f
oun
d t
hat d
eta
ine
es w
ere
lyin
g face d
ow
n insid
e th
e first
truck b
ut th
ey d
id n
ot lie
on t
op o
f o
ne a
noth
er.
T
he f
irst
truck h
ad o
ne fata
lity, kill
ed b
y b
ein
g h
it b
y a
hard
obje
ct.
Dis
co
very
of
the d
ead
in
sid
e t
he
milit
ary
tru
cks
1 D
eath
to
ll
A tota
l of
78
de
tain
ed
pro
teste
rs d
ied
durin
g tra
nsport
ation.
The
mili
tary
rep
ort
reve
ale
d d
eta
ils o
f th
e d
eath
s in e
ach
98
truck a
s follo
ws:
Tru
ck w
ith
Arm
y L
ice
nce P
late
No 1
9338
, 21 d
eta
ine
es k
ille
d
Tru
ck w
ith
Arm
y L
ice
nce P
late
No 1
9232
, 5 d
eta
inees k
illed
T
ruck w
ith
Arm
y L
ice
nce P
late
No 1
9263
, 6 d
eta
inees k
illed
T
ruck w
ith
Arm
y L
ice
nce P
late
No 1
31
64
, 23 d
eta
ine
es k
ille
d
Tru
ck w
ith
Mari
ne L
icence P
late
No 5
31,
5 d
eta
ine
es k
ille
d
Tru
ck w
ith
Mari
ne L
icence P
late
No 5
256
, one d
eta
ine
e k
ille
d
Tru
ck w
ith
Mari
ne L
icence P
late
No 5
30, six
de
tain
ees k
illed
. E
leven o
ther
deta
ine
es d
ied in tru
cks w
hose lic
ence n
um
bers
co
uld
not
be id
entifie
d.
The f
act-
fin
din
g c
om
mitte
e tri
ed
but
faile
d t
o d
ete
rmin
e th
e o
rde
r of d
epart
ure
an
d a
rriv
al of th
e tru
cks in o
rder
to
dete
rmin
e tra
vel tim
e.
2 N
um
ber
of
deta
ine
es t
ran
sfe
rre
d o
n e
ach
tru
ck
The c
om
mitte
e d
id n
ot get
deta
ils o
n h
ow
man
y d
eta
inees e
ach tru
ck c
arr
ied b
ut o
bta
ine
d t
he f
ollo
win
g info
rmation:
Col N
op
pa
nan C
hu
np
ra-d
ab,
who
to
ok p
art
in u
nlo
ad
ing d
eta
inee
s a
t th
e c
am
p u
ntil 9.3
0p
m, fo
un
d th
at th
e f
irst
truck
was n
ot to
o c
row
ded a
nd t
here
was o
nly
one d
eath
. T
he d
ea
d p
ers
on a
ppe
are
d to h
ave b
ee
n h
it b
y a
hard
obje
ct.
Lt-
Col W
atc
hara
Suk-w
ong t
estified t
hat
a t
ruck c
arr
yin
g a
bo
ut 7
0 d
eta
inees h
ad a
bou
t 20 d
ea
ths.
The S
outh
ern
Bord
er
Pro
vin
ces P
eace
-build
ing
Com
ma
nd r
eport
ed t
o th
e p
rim
e m
inis
ter
tha
t e
ach tru
ck tra
nsp
ort
ed
abo
ut 5
0, 7
0 o
r 90
de
tain
ees. T
he 2
1st tr
uck c
arr
ied 9
0 d
eta
ine
es a
nd t
here
were
23 d
eath
s in th
e tru
ck.
Info
rmation f
ou
nd b
y a
sub
-com
mitte
e o
f th
e fact-
findin
g c
om
mitte
e f
oun
d th
at
each tru
ck c
arr
ied a
bo
ut
60 d
eta
inees,
70 d
eta
ine
es o
r 8
0 d
eta
inees.
99
3 P
eo
ple
wh
o d
isco
vere
d t
he d
eath
s
When s
old
iers
un
loa
ded d
eta
ine
es fro
m e
ach tru
ck, th
ey fo
und
that som
e d
eta
ine
es w
ere
lyin
g f
ace d
ow
n a
nd n
ot
movin
g. S
old
iers
sho
ok the b
od
ies,
wh
ich
did
not
move,
an
d th
en a
sked a
mili
tary
docto
r, L
ieu
ten
ant Jir
asa
k,
who
w
as tre
ating t
he inju
red, to
check the
m. Jir
asak foun
d th
at th
e m
otio
nle
ss d
eta
inees w
ere
dea
d a
fter
checkin
g t
heir
puls
e a
nd
retinas.
4 T
imes o
f d
eath
The e
xact tim
es o
f th
e d
eta
inees’ de
ath
s a
re n
ot
kn
ow
n.
But
it w
as learn
t fr
om
testim
onie
s th
at th
e d
eta
ine
es d
ied
durin
g tra
nsport
ation f
rom
the T
ak B
ai polic
e s
tation t
o th
e I
ngka
yuth
mili
tary
ca
mp.
5 T
ime w
hen
th
e d
ead
were
dis
co
vere
d
Col N
op
pa
nan C
hu
np
rada
b testifie
d th
at th
e first
death
was d
iscovere
d in t
he f
irst
truck. Late
r at 1
1p
m,
word
sp
rea
d
am
ong t
he s
old
iers
th
at 2
0 m
ore
dea
d w
ere
fou
nd. B
etw
ee
n 1
am
and 2
am
, it w
as r
ep
ort
ed a
mo
ng t
he m
ilita
ry o
ffic
ers
th
at th
e d
eath
toll
had
clim
bed t
o a
bou
t 7
0.
6 H
an
dli
ng
of
tra
nsp
ort
ed
deta
ine
es a
fte
r th
e d
eath
s w
ere
dis
co
vere
d
The f
act-
fin
din
g c
om
mitte
e a
sked m
ilita
ry o
ffic
ers
in c
harg
e o
f tr
ansport
ing
deta
inees w
hy th
ey d
id n
ot re
move
deta
ine
es fro
m th
e o
ther
trucks a
fter
the
de
ath
s in
earl
ier
trucks h
ad b
een d
iscovere
d.
The o
ffic
ers
re
plie
d t
hat
10
0
alth
oug
h t
he tru
cks h
ad r
eached
th
e c
am
p,
the
y h
ad t
o g
radu
ally
unlo
ad
on
e tru
ck a
t a
tim
e for
fear
tha
t th
ey w
ould
not
be a
ble
to
contr
ol so m
an
y d
eta
ine
es w
hen t
he
y w
ere
on th
e g
rou
nd a
t th
e s
am
e tim
e.
7 H
an
dli
ng
of
the b
od
ies
Bodie
s o
f th
e d
ea
d d
eta
inees w
ere
se
nt to
a b
uild
ing
for
post-
mo
rtem
s.
Rep
ort
ing
th
e d
eath
s
1 R
ep
ort
ing
in
sid
e t
he In
gka
yu
th m
ilit
ary
ca
mp
Verb
al re
port
s w
ere
mad
e irr
egu
larl
y insid
e th
e m
ilita
ry c
am
p a
bout
the
de
ath
s. C
ol N
oppa
na
n C
hu
npra
dab,
wh
o left
the m
ilita
ry p
riso
n f
or
his
resid
ence insid
e t
he c
am
p a
t 9.3
0p
m,
heard
that
the n
um
ber
of
death
s h
ad
incre
ased b
y 2
0.
Betw
ee
n 1
am
and
2a
m o
n O
cto
ber
26,
it w
as r
eport
ed a
mong
mili
tary
off
icers
tha
t th
e d
eath
to
ll ha
d c
limb
ed
to a
bou
t 70.
2 R
ep
ort
ing
to
hig
he
r au
tho
riti
es
Hig
her
auth
ori
ties r
eceiv
ed r
eport
s a
s follo
ws:
The d
ep
uty
com
man
der
of th
e S
outh
ern
Bo
rder
Pro
vin
ces P
eace
-build
ing C
om
mand
, S
iwa
Sa
eng
ma
nee
re
ceiv
ed a
re
port
at
10a
m o
n O
cto
ber
26 t
hat
a t
ota
l of
78 d
eta
ine
es h
ad d
ied
. T
he t
hen
south
ern
Arm
y c
om
ma
nd
er
testified t
hat
he r
eceiv
ed a
report
at
7.4
5am
on
Octo
ber
26
th
at 7
8 p
eople
ha
d
die
d. H
e s
aid
he left t
he T
ak B
ai p
olic
e s
tation a
t 7
pm
on O
cto
be
r 25 t
o m
eet
the
pri
me m
inis
ter
at th
e R
oya
l P
rincess
Hote
l in
Nara
thiw
at
and w
as g
rante
d a
n a
udie
nce w
ith H
er
Maje
sty
the Q
uee
n. H
e left
the S
outh
ern
Pala
ce a
t 4
am
on
10
1
Octo
ber
26
. H
e d
id n
ot re
ceiv
e a
ny r
eport
betw
een 7
pm
on
Octo
ber
25 a
nd
7.4
5a
m t
he f
ollo
win
g d
ay.
But G
en
era
l W
iset K
onguth
aik
ul, d
ep
uty
ch
ief ro
yal gu
ard
of th
e Q
ueen,
testified
th
at th
e s
outh
ern
Arm
y c
om
ma
nd
er
and s
evera
l o
ther
mili
tary
and
civ
ilia
n o
ffic
ers
were
gra
nte
d a
n a
udie
nce a
t 00.3
0a
m a
nd left
at
1.3
0a
m o
n O
cto
ber
26. D
uri
ng
th
e a
udie
nce, it w
as a
lrea
dy h
ea
rd tha
t th
e d
eath
to
ll o
f deta
ine
es h
ad c
limb
ed t
o 7
0. W
ise
t sa
id the
south
ern
Arm
y c
hie
f could
have
used a
mo
bile
ph
on
e d
urin
g th
e a
ud
ience in c
ase o
f a
n e
merg
ency.
Tre
atm
en
t an
d r
eg
istr
ati
on
of
de
tain
ee
s
Deta
inees r
ece
ived H
ala
l fo
od a
nd
wate
r in
sid
e th
e In
gka
yuth
ca
mp. D
eta
ine
es fro
m t
he first
truck r
eceiv
ed
the f
oo
d
and w
ate
r at 8
.30
pm
and t
he r
est
were
gra
dua
lly g
ive
n fo
od a
nd
wate
r. T
he last gro
up r
eceiv
ed f
ood
an
d w
ate
r at
3.3
0am
on O
cto
ber
26.
Deta
inees,
wh
o r
ece
ived m
inor
inju
ries, re
ceiv
ed m
edic
al tr
eatm
ent
at th
e h
ospital in
sid
e t
he m
ilita
ry p
riso
n.
Those
with m
ore
severe
in
juri
es w
ere
sen
t to
the
cam
p’s
mili
tary
hospital. T
hose w
ith c
on
ditio
ns c
onsid
ere
d t
o b
e t
oo s
evere
to
be tre
ate
d a
t th
e c
am
p’s
hospita
l w
ere
se
nt to
the
pro
vin
cia
l ho
spital and
th
e P
rince o
f S
ongkhla
Univ
ers
ity
Hospital.
The p
ost-
mort
em
exa
min
atio
ns o
f vic
tim
s (
seven p
eople
who
we
re k
ille
d w
hen s
ecurity
forc
es d
isp
ers
ed c
row
ds a
t T
ak B
ai polic
e s
tation
, an
d 7
8 o
thers
fo
und
dea
d o
n a
rriv
al at
Ing
kha
yuth
mili
tary
ca
mp
), a
nd
dru
g t
ests
on d
eta
inees:
1 P
ost-
mo
rtem
ex
am
inati
on
s
On the p
ost-
mort
em
exam
ina
tio
ns o
f 85 p
eople
kill
ed a
s a
result o
f th
e d
em
onstr
ation a
t T
ak B
ai p
olic
e s
tation,
an
in
depe
nde
nt co
mm
itte
e h
as r
evie
we
d th
e f
ollo
win
g:
- P
ost-
mort
em
exam
ination r
esults b
y T
ak B
ai p
olic
e s
tatio
n’s
in
vestigato
rs a
nd t
he C
entr
al In
stitu
te o
f F
ore
nsic
S
cie
nce
-
Investiga
tio
n r
eport
by a
fact-
findin
g s
ubcom
mitte
e o
n m
ed
ica
l aspects
-
Investiga
tio
n r
eport
by a
fact-
findin
g s
ubcom
mitte
e a
s w
ell
as c
larifica
tio
ns b
y t
he
Ce
ntr
al In
stitu
te o
f F
ore
nsic
10
2
Scie
nce’s
de
puty
dire
cto
r K
hun
yin
g P
orn
thip
Roja
nasu
nan
d,
wh
o c
onducte
d th
e p
ost-
mort
em
exa
min
ations, an
d
Ingka
yuth
Mili
tary
Ca
mp H
ospital’s
actin
g d
irecto
r Lie
ute
na
nt D
r Jirasak Inta
sorn
in h
is c
apacity a
s a
docto
r w
ho
foun
d m
an
y d
eta
ine
es d
ead a
t th
e m
ilita
ry c
am
p.
Results o
f th
e p
ost-
mort
em
exam
ina
tio
ns:
1.1
The p
ost-
mort
em
exa
min
ations o
f 85
vic
tim
s b
y T
ak B
ai polic
e s
tation, N
ong C
hik
polic
e s
tatio
n a
nd C
entr
al
Institu
te o
f F
ore
nsic
Scie
nce.
1.1
.1 R
ep
ort
by investigato
rs a
t T
ak B
ai polic
e s
tation
, N
ara
thiw
at,
wh
ich looked
into
th
e d
eath
s o
f th
e s
even
dem
onstr
ato
rs. S
ix v
ictim
s d
ied a
t th
e p
rote
st site,
wh
ile t
he
se
venth
die
d a
t N
ara
thiw
at R
atc
ha
nakari
n H
ospita
l.
Polic
e o
ffic
ers
, a
dm
inis
trative o
ffic
ers
(an a
ssis
tant dis
tric
t off
ice
r of T
ak B
ai D
istr
ict O
ffic
e a
nd a
n a
ssis
tant
dis
tric
t offic
er
of M
uan
g N
ara
thiw
at D
istr
ict
Off
ice),
and p
ublic
pro
secuto
rs c
onducte
d t
he
auto
psie
s b
etw
een 4
pm
and 5
pm
on O
cto
ber
25
, 2
004
. T
heir a
uto
psy r
eport
said
the s
eve
n p
rote
ste
rs d
ied
of
gu
nshot
wo
un
ds.
1.1
.2 A
: T
he p
ost-
mort
em
exa
min
ations o
n t
he 7
8 p
eo
ple
wh
o d
ied w
hile
be
ing t
ransfe
rre
d fro
m T
ak B
ai polic
e s
tation
in
Nara
thiw
at to
th
e In
gka
yuth
mili
tary
ca
mp
in P
atta
ni’s
No
ng C
hik
dis
tric
t. A
me
dic
al te
am
fro
m t
he C
entr
al In
stitu
te
of F
ore
nsic
Scie
nce,
Patta
ni H
osp
ital docto
rs, polic
e o
ffic
ers
, a
dm
inis
trative o
ffic
ers
and p
ublic
pro
secuto
rs c
onducte
d
the p
ost-
mort
em
exa
min
atio
ns (
with
out
dis
section o
f th
e d
ead b
od
ies)
betw
een 9
am
and 5
pm
on O
cto
ber
26,
200
4.T
he p
ost-
mort
em
exam
inatio
ns fou
nd th
at:
1 T
hir
ty-t
hre
e p
eople
die
d o
f asph
yxia
tion a
nd p
ressure
on
th
eir c
hests
. 2 F
our
pe
op
le d
ied o
f asph
yxia
tio
n a
s a
result o
f pre
ssure
on t
he
ir c
hests
and a
lso
had
inju
ries c
ause
d b
y b
lunt
obje
cts
. 3 T
en
pe
op
le d
ied o
f asph
yxia
tio
n a
s a
result o
f pre
ssure
on t
he
ir c
hests
. T
he
y h
ad a
lso s
uffere
d s
eiz
ure
s a
s a
result
of a c
hem
ica
l im
ba
lan
ce in t
he b
loo
d a
nd
had inju
ries c
aused
by b
lun
t o
bje
cts
. 4 3
1 p
eople
die
d o
f a
sph
yxia
tion.
10
3
B: K
hu
nyin
g P
orn
thip
als
o c
larified to
the
in
dep
end
ent
co
mm
itte
e that:
-
There
was n
o t
race o
f asph
yxia
tion
ca
use
d b
y s
tra
ng
ula
tio
n,
or
by h
avin
g p
lastic w
rappe
d tig
htly a
rou
nd t
he v
ictim
s’
hea
ds. M
ost
bod
ies h
ad s
cle
ra h
ae
morr
hag
e, a
nd h
ad v
eno
us c
ongestion.
- F
asting
was n
ot
the c
ause o
f a
ny o
f th
e d
eath
s,
wh
ich
was r
ath
er
to d
o w
ith t
he s
tan
dard
of h
ea
lth o
f th
e d
eta
inees.
- T
he p
hysic
al pre
ssure
exert
ed o
n d
eta
ine
es fro
m b
ein
g laid
up
on w
as insuffic
ient to
cause d
eath
. 1.2
Investiga
tio
n r
epo
rt b
y a
fact-
find
ing
su
bcom
mitte
e o
n m
edic
al asp
ects
1.2
.1 R
eg
ard
ing t
he
seven p
eop
le k
ille
d a
t T
ak B
ai polic
e s
tation
and
the
on
e w
ho s
usta
ine
d s
eri
ous inju
ries a
nd
late
r die
d in
hosp
ital, th
e r
eport
co
nclu
ded t
ha
t it w
as c
lear
the v
ictim
s d
ied o
f g
unsh
ot
wo
unds c
au
sed b
y b
ulle
ts s
hot fr
om
dis
tance.
1.2
.2 R
eg
ard
ing t
he
death
s o
f th
e 7
8 p
eop
le a
t th
e I
nka
yuth
mili
tary
ca
mp in P
att
an
i, t
he f
act-
find
ing
su
bco
mm
itte
e o
n
med
ical asp
ects
infe
rred t
heir c
auses o
f d
eath
fro
m p
hysic
al e
xa
min
atio
ns c
ond
ucte
d o
n inju
red s
urv
ivo
rs.
Of
the
inju
red v
ictim
s, m
ost
suffere
d c
rush in
juri
es a
nd f
our
als
o h
ad c
om
part
ment syndro
me th
at m
ea
nt th
ey r
eq
uired
urg
ent
opera
tio
ns. M
edic
al specia
lists
said
th
e f
act th
at
the p
rote
sting T
hai M
uslim
s h
ad b
een
fastin
g w
ith
out
food o
r liq
uid
s
for
more
than
12
ho
urs
; th
at th
ey h
ad b
ee
n e
xp
osed t
o th
e s
corc
hin
g s
un;
an
d th
at th
ey h
ad e
xp
erie
nced v
iole
nt
treatm
en
t duri
ng th
e d
em
onstr
ation
, dis
pers
al an
d tra
nsfe
rs o
n o
verc
row
de
d v
eh
icle
s h
ad led
to t
he
ir inju
rie
s. T
he
transfe
rs to
ok m
ore
th
an t
hre
e h
ours
, in
so
me c
ases o
n o
verc
row
ded v
eh
icle
s, causin
g r
ha
bd
om
yoly
sis
as w
ell
as a
chem
ical im
bala
nce in th
e b
loo
d a
nd b
loo
d c
ells
. T
he
im
ba
lance w
as s
o s
evere
that
muscle
s involv
ed w
ith b
reath
ing
could
hard
ly f
unction.
In th
e m
ost severe
ca
ses the v
ictim
s d
ied.
It w
as c
onclu
ded t
hat
the a
bove f
acto
rs c
au
sed the
death
s o
f th
e d
eta
ine
es. F
urt
herm
ore
, th
e a
uto
psie
s o
n th
e 7
8 d
eta
inees w
ho d
ied
on
their w
ay fro
m T
ak B
ai po
lice
sta
tion
in N
ara
thiw
at’s T
ak B
ai d
istr
ict
to I
ngka
yuth
mili
tary
ca
mp
in P
atta
ni’s
No
ng C
hik
dis
tric
t show
ed t
hat
most
death
s w
ere
cause
d b
y a
sp
hyxia
tio
n a
nd p
ressure
on t
he c
hest
and b
reath
ing m
uscle
s. T
here
we
re a
lso
so
me s
igns
of seiz
ure
s a
nd c
hem
ical im
bala
nces in
th
e b
loo
d,
wh
ich
could
ha
ve r
esulte
d in d
eath
. T
here
fore
, th
e s
ubco
mm
itte
e
conclu
de
d th
at
all
78 d
eta
ine
es d
ied o
f th
e s
am
e c
ause -
rha
bdo
myo
lysis
, w
hic
h c
auses a
bn
orm
al bre
ath
ing
. W
hen
couple
d w
ith th
e s
hort
age o
f fo
od
an
d w
ate
r and
lo
ng e
xposure
to
sw
elterin
g h
eat,
th
e c
ond
itio
n c
an r
esult in d
eath
.
10
4
2 D
rug
test
resu
lts
T
he f
act-
fin
din
g s
ubcom
mitte
e o
n m
ed
ica
l aspects
re
port
ed t
he r
esults o
f dru
g tests
carr
ied o
ut
on d
eta
ine
es a
t In
gka
yuth
mili
tary
ca
mp,
inju
red
vic
tim
s fro
m th
e T
ak B
ai in
cid
en
t an
d th
ose w
ho
die
d w
hile
in d
ete
ntion
as f
ollo
ws:
2.1
Of
1,0
93 s
ub
jects
fro
m d
eta
ine
es a
t th
e m
ilita
ry c
am
p, 1
3 teste
d p
ositiv
e f
or
dru
gs.
De
tails
are
: 2.1
.1 E
ight sub
jects
teste
d p
ositiv
e f
or
meth
am
phe
tam
ine
s
2.1
.2 O
ne s
ubje
ct te
ste
d p
ositiv
e f
or
ephe
dri
ne
2.1
.3 O
ne s
ubje
ct te
ste
d p
ositiv
e f
or
Be
nzo
2.1
.4 T
wo s
ubje
cts
te
ste
d p
ositiv
e for
TH
C (
mariju
ana)
2.2
Of
the 1
3 inju
red
subje
cts
teste
d a
t P
att
ani H
ospita
l, o
ne
teste
d p
ositiv
e f
or
morp
hin
e.
2.3
Of
the 7
8 d
eta
ine
es foun
d d
ea
d a
t In
gka
yuth
mili
tary
ca
mp
, o
nly
40 w
ere
se
lecte
d f
or
dru
g tests
. O
f th
ose, tw
o
teste
d p
ositiv
e f
or
dru
gs: one
for
ep
hedri
ne
and o
ne for
morp
hin
e. T
he r
esults o
f th
e d
rug t
ests
are
lim
ited,
how
eve
r,
as n
ot
all
the
de
tain
ees w
ho d
ied
were
teste
d.
Th
e i
nd
ep
en
de
nt
co
mm
itte
e’s
fin
din
gs
Was t
he p
rote
st
ou
tsid
e T
ak B
ai D
istr
ict
Po
lice
Sta
tio
n in
Na
rath
iwat
on
Oc
tob
er
25 s
yste
mati
call
y o
rgan
ised
?
Yes. T
here
were
tw
o r
easons th
e p
rote
st
wa
s o
rga
nis
ed:
to c
all
for
the
rele
ase o
f six
vill
ag
e d
efe
nce v
olu
nte
ers
and t
o
pra
y f
or
the
m.
The c
om
mitte
e a
naly
sed the
be
havio
ur
of th
e p
rote
ste
rs b
efo
re a
nd a
fter
the c
rack d
ow
n a
nd fo
un
d th
at th
e p
rote
st
was s
yste
matica
lly o
rgan
ised in th
e s
am
e w
ay a
s e
arlie
r pro
tests
in P
att
ani an
d N
ara
thiw
at.
T
he p
rote
st
lea
ders
in
tention
ally
org
anis
ed t
he p
rote
st
duri
ng t
he M
uslim
ho
ly m
onth
of
Ra
mad
an a
nd p
lan
ne
d to
instig
ate
polic
e a
nger.
A
bout
30
pro
test le
ad
ers
were
in fro
nt o
f th
e c
row
d, th
e r
est
of th
e p
rote
ste
rs w
ere
pers
uaded
to g
ath
er
to g
ive m
ora
le
support
to t
he d
efe
nce v
olu
nte
ers
and
to p
ray f
or
them
. S
om
e join
ed t
he p
rote
st ou
t of
curiosity.
10
5
Did
th
e p
rote
ste
rs c
arr
y a
rms?
R
eport
s fro
m t
he S
ou
th-e
rn B
ord
er
Pro
vin
ces P
eace
-build
ing
Co
mm
and a
nd
Lt-
Ge
nera
l P
isarn
Wattana
won
g-k
iri,
com
ma
nder
of th
e F
ourt
h A
rmy R
egio
n a
t th
e tim
e o
f th
e p
rote
st,
co
nclu
de
d t
hat so
me
pro
teste
rs c
arr
ied a
rms. P
olic
e
report
ed t
hat
the
y f
ou
nd b
ulle
ts a
nd a
rms h
idd
en in t
he r
iver.
T
he c
om
mitte
e’s
an
aly
sis
of re
port
s a
nd q
uestion
ing o
f w
itnesse
s led it
to b
elie
ve t
hat
som
e p
rote
st le
aders
carr
ied
arm
s, altho
ug
h th
e n
um
ber
was n
ot
gre
at.
A
polic
em
an w
as w
ou
nde
d a
fter
a s
hot
was fired
fro
m w
here
pro
teste
rs w
ere
gath
ere
d.
If th
ere
had
be
en a
la
rge
num
ber
of arm
s, m
ore
po
lice w
ould
have b
een w
oun
de
d o
r kill
ed
wh
en t
he
y tri
ed t
o d
isp
ers
e p
rote
ste
rs.
Were
th
e m
easu
res u
sed
to
dis
pers
e p
rote
ste
rs a
pp
rop
riate
?
The
y w
ere
ap
pro
pri
ate
. T
here
were
ro
ad
blo
cks p
reventing
pe
ople
fro
m g
oin
g into
Tak B
ai D
istr
ict P
olic
e S
tation a
nd
six
separa
te n
eg
otiations w
ere
und
ert
ake
n t
o try
to g
et
the
cro
wd
to d
isp
ers
e. T
hose n
egotiations involv
ed p
olic
e,
relig
ious lea
ders
and t
he p
are
nts
of th
e s
ix d
eta
ine
d d
efe
nce v
olu
nte
ers
. T
he c
om
mitte
e, h
ow
ever,
no
ted t
hat
ha
d th
e r
oa
dblo
cks b
een e
recte
d e
arlie
r or
more
effectively
, th
ere
wou
ld h
ave
bee
n fe
wer
pro
teste
rs. Lo
udspe
akers
used b
y s
tate
off
icia
ls t
o a
sk p
rote
ste
rs to d
isp
ers
e w
ere
not lo
ud
en
ough.
Were
th
e r
ea
so
ns g
iven
fo
r d
isp
ers
ing
pro
teste
rs o
r th
e m
eth
od
s u
sed
fo
r re
mo
vin
g t
hem
ap
pro
pri
ate
?
The c
om
mitte
e b
elie
ves s
tate
off
icia
ls h
ad
gro
unds to d
isp
ers
e t
he p
rote
ste
rs,
because th
e p
rote
st in
volv
ed
a larg
e
num
ber
of p
eo
ple
. T
he p
rote
st
was p
lan
ned a
nd o
rgan
ise
d. T
he p
rote
ste
rs c
arr
ied s
ticks, sto
nes a
nd m
ay h
ave
ha
d h
idd
en a
rms. S
tate
offic
ials
were
als
o p
laced u
nder
pre
ssure
because o
f th
e le
ngth
of th
e p
rote
st.
H
ow
ever,
th
e c
om
mitte
e d
id n
ot
agre
e w
ith t
he u
se o
f m
ilita
ry R
angers
or
co
nscripte
d m
ilita
ry o
r th
e f
irin
g o
f re
al
bulle
ts t
o c
rack d
ow
n o
n p
rote
ste
rs.
Seven p
rote
ste
rs w
ere
kill
ed [five w
ere
sh
ot in
the h
ead]
and
15
polic
e o
ffic
ers
were
in
jure
d d
uri
ng
th
e c
rack d
ow
n.
About
1,3
70 p
rote
ste
rs w
ere
deta
ined.
10
6
Sin
ce p
olic
e a
nd p
rote
ste
rs w
ere
inju
red o
r kill
ed
in
the
cra
ckdow
n,
their c
ases s
hould
be
allo
we
d to
go t
hro
ug
h th
e
justice s
yste
m.
Auto
psie
s r
efu
ted r
ep
ort
s that
pro
teste
rs w
ere
sh
ot
at
poin
t-b
lan
k r
ange.
Was t
he d
ete
nti
on
of
pro
teste
rs a
pp
rop
riate
an
d l
eg
al?
T
here
were
mis
takes a
nd f
law
s in
th
e d
ete
ntion,
beca
use s
tate
off
icia
ls h
ad w
ante
d t
o d
eta
in o
nly
pro
test
lea
ders
. B
ut
after
pro
teste
rs r
em
oved the
ir s
hirts
, o
ffic
ials
could
not
ide
ntify
th
e le
aders
. T
he
y th
en d
ecid
ed t
o d
eta
in a
ll th
e
pro
teste
rs.
Only
four
trucks w
ere
sent to
tra
nsp
ort
pro
teste
rs b
ecause a
uth
orities initia
lly inte
nd
ed
to
arr
est
just th
e lea
ders
. A
ccord
ing t
o m
art
ial la
w,
pro
teste
rs c
an b
e d
eta
ine
d n
o lon
ger
than a
week.
Was t
he d
ecis
ion
to
use a
mil
itary
cam
p i
n P
att
an
i to
deta
in p
rote
ste
rs a
pp
rop
riate
?
It w
as a
ppro
pri
ate
, b
ecause the m
ilita
ry c
am
p in N
ara
thiw
at
wo
uld
not
have b
een
larg
e e
nou
gh t
o h
ouse t
hem
all,
an
d
the P
atta
ni ca
mp a
lso
had
facili
ties t
o tre
at
an
y in
jure
d p
rote
ste
rs.
Was t
he t
ran
sp
ort
of
pro
teste
rs f
rom
Tak
Bai to
th
e c
am
p in
Patt
an
i u
p t
o s
cra
tch
?
The tra
nsport
op
era
tion w
as r
ush
ed a
nd c
arr
ied
ou
t in
a s
tate
of
co
nfu
sio
n.
A tota
l of
28
tru
cks w
ere
pro
vid
ed w
ithou
t know
ing h
ow
man
y p
rote
ste
rs n
eed
ed t
o b
e tra
nsport
ed.
The tru
cks that le
ft fir
st carr
ied o
nly
50 p
rote
ste
rs e
ach,
wh
ile th
e r
est w
ere
heavily
packed.
The c
om
mitte
e fo
und t
hat
pro
teste
rs w
ere
laid
out
on t
op
of
each
oth
er
facin
g d
ow
n in la
yers
of
thre
e t
o fo
ur
on t
he
trucks.
Hig
h-r
ankin
g o
ffic
ials
wh
o o
vers
aw
the tra
nsport
of
pro
teste
rs w
ere
gu
ilty o
f dere
liction o
f d
uty
, as th
ey f
aile
d t
o
ensure
it
was c
arr
ied o
ut sensib
ly.
Seventy
-eig
ht
pro
teste
rs d
ied w
hile
bein
g tra
nsport
ed.
10
7
Was t
he t
ime it
too
k t
o t
ran
sp
ort
pro
teste
rs a
cce
pta
ble
?
The tru
cks in w
hic
h 7
7 o
f th
e p
rote
ste
rs d
ied to
ok s
om
e f
ive
ho
urs
to tra
vel to
the c
am
p -
an
accepta
ble
tim
e g
ive
n
that
it r
ain
ed a
nd w
as d
ark
. T
here
were
als
o n
ails
and
a b
lockade
left
by m
ilita
nts
on th
e r
oa
ds.
The tru
cks w
ere
forc
ed to s
top fre
qu
ently b
ecause o
f sh
ift ch
ang
es for
security
pers
on
nel and
rum
ours
th
at
mili
tan
ts
were
pla
nnin
g a
n o
pe
ratio
n to
fre
e th
e p
rote
ste
rs.
How
ever,
it
was irr
esponsib
le f
or
securi
ty o
ffic
ials
not to
act sensib
ly w
he
n th
ey fo
und o
ut th
at
pro
teste
rs h
ad d
ied o
n
the tru
cks.
Were
pro
teste
rs t
rea
ted
well a
t th
e m
ilit
ary
ca
mp
in
Patt
an
i?
Yes. D
octo
rs a
nd
nurs
es w
ere
on h
an
d t
o t
reat in
jure
d p
rote
ste
rs.
Are
an
y p
rote
ste
rs m
issin
g?
S
even p
eop
le f
rom
Nara
thiw
at, P
att
ani an
d Y
ala
are
mis
sin
g. Lo
cal offic
ials
must spe
ed u
p investiga
tio
ns to fin
d t
heir
wh
ere
abo
uts
. T
he
y m
ust als
o p
rovid
e m
ora
l supp
ort
to
rela
tives o
f th
e m
issin
g.
Wh
o m
ust
tak
e r
esp
on
sib
ilit
y f
or
the c
rackd
ow
n a
nd
th
e t
ran
sp
ort
ati
on
of
pro
tes
ters
?
The c
om
mitte
e fo
und t
hat
Maj-
Genera
l C
ha
lerm
cha
i W
iroonph
et, t
hen
co
mm
an
der
of th
e F
ifth
Infa
ntr
y D
ivis
ion
, is
re
sponsib
le f
or
both
incid
en
ts.
He w
as n
ot
at th
e s
ce
ne t
o o
vers
ee t
he
op
era
tio
n to
th
e e
nd. In
ste
ad,
he left
th
e s
cene
at 7.3
0pm
witho
ut
an
accepta
ble
excuse, to
mee
t th
e p
rim
e m
inis
ter
in N
ara
thiw
at.
M
aj-G
enera
l S
inchai N
uts
atit, t
he t
he
n d
ep
uty
co
mm
and
er
of
the
Fourt
h A
rmy R
egio
n,
was a
ssig
ned
to p
rep
are
w
ate
r, f
ood
an
d a
cco
mm
odation
for
pro
teste
rs o
nce th
ey a
rriv
ed
at th
e c
am
p in P
att
an
i.
He faile
d to t
ake a
ny a
ction a
gain
st
offic
ials
who w
ere
in c
on
trol of th
e tra
nsport
of
pro
teste
rs w
hen h
e f
ou
nd th
at
som
e h
ad d
ied o
n t
he
tru
cks.
10
8
He a
lso d
id n
ot
act in
an
y w
ay t
o h
elp
pro
teste
rs d
eta
ine
d o
n th
e t
rucks. If h
e d
id a
ct, h
e c
ould
have r
ed
uced
the
num
ber
of casualtie
s.
Lt-
Genera
l P
isarn
wa
s the h
igh
est au
thori
ty a
fter
mart
ial la
w w
as im
pose
d.
Altho
ug
h h
e a
ssig
ned
subord
ina
tes to o
vers
ee the
op
era
tion
, it w
as h
is r
esponsib
ility
to m
ake s
ure
the
y s
ucceeded in
carr
yin
g o
ut th
eir t
asks.
When h
e w
as info
rme
d 7
0 p
rote
ste
rs h
ad d
ied o
n th
e tru
cks, he f
aile
d t
o a
ct.
T
he c
om
mitte
e c
onclu
de
d th
e tra
ge
dy t
hat
led t
o 7
8 d
eath
s w
as b
eyond
expecta
tio
ns a
nd w
as n
ot
inte
ntion
al.
Sta
te o
ffic
ials
carr
ied o
ut th
eir
work
un
der
limita
tio
ns t
hat
led to
fla
ws a
nd m
ista
kes, b
ut th
ere
was n
o d
elib
era
te a
ct to
cause d
eath
and
in
jury
.
109
LAMPIRAN III
Volunter memindahkan mayat pemuda muslim yang terbunuh
dalam pertempuran dengan Petugas Keamanan Thai di Krue Se
Mosque pada 28 April 2004
Sumber: Ron Corben, “Thai Military Steps Up Security in Restive
Muslim Border Provinces”, Voanews.com, 28 April 2017.
(https://www.voanews.com/a/thai-military-steps-up-security-in-
restive-muslim-border-provinces/3829479.html)
110
Lampiran IV
Tentara Thailand menahan pemuda paska berdemontrasi
Sumber: Connie Levett, “Muslim Rage for 78 Thais herded to
their deaths”, The Sydney Morning Herald, 28 Oktober 2017.
(http://www.smh.com.au/articles/2004/10/27/1098667842425.htm
l)
111
LAMPIRAN V
Ketua NRC (National Reconciliation Commission) Anand
Panyarachun dalam cover Matichon Weekly pada November
2005
Sumber: Duncan McCargo, Mapping National Anxieties:
Thailand’s Southern Conflict, (Copenhagen: NIAS Press, 2012), h.
69.
112
LAMPIRAN VI
Masjid Krue Se
Foto Bagian depan Masjid Krue Se
Sumber: Dokumentasi Pribadi Dr. Amelia Fauzia
113
LAMPIRAN VII
Masjid Krue Se
Foto Bagian Samping Masjid Krue Se
Sumber: Dokumentasi Pribadi Dr. Amelia Fauzia
114
LAMPIRAN VIII
Denah Masjid Krue Se
Sumber: Dokumentasi Pribadi Dr. Amelia Fauzia
115
LAMPIRAN IX
Sejarah Masjid Krue Se
Sumber: Dokumentasi Pribadi Dr. Amelia Fauzia