dalam sosial budaya minangkabau dilema malakok anak...
TRANSCRIPT
ARTIKEL PENELITIAN DOSEN MUDA
DILEMA MALAKOK ANAK TIDAK BERSUKU
DALAM SOSIAL BUDAYA MINANGKABAU
Oleh
Dra. Leni Syafyahya, M. Hum.
DIBIAYAI DIPA SESUAI DENGAN SURAT PERJANJIAN
PELAKSANAAN PEKERJAAN PENELITIAN
NOMOR : 005/SP3/DP2M/II/ 1 FEBRUARI 2006
DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
FAKULTAS SASTRA / SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS ANDALAS PADANG
SEPTEMBER, 2006
HALAMAN PENGESAHAN
ARTIKEL PENELITIAN DOSEN MUDA
1. a. Judul Penelitian : Dilema Malakok Anak Tidak Bersuku
dalam Sosial Budaya Minangkabau b. Bidang Ilmu : Sastra / Filsafat
c. Kategori Penelitian : Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi
2. Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap dan Gelar : Dra. Leni Syafyahya, M.Hum.
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. Golongan Pangkat/NIP : III c/ 132 093 24
d. Jabatan Fungsional : Lektor
e. Jabatan Struktural : -
f. Fakultas / Jurusan : Sastra / Sastra Indonesia
g. Pusat Penelitian : Universitas Andalas
3. Alamat Ketua Peneliti
a. Alamat Kantor/Telp : Fakultas sastra Unand / 0751 21227
b. Alamat Rumah / Telp : Jl. Mangga Raya No. 49 Balimbiang Padang
/0751 496671
4. Jumlah Anggota Peneliti : Tidak ada
5. Lokasi Penelitian :Sumatera Barat
6. Kerjasama dengan Institusi Lain : Tidak ada
7. Lama Penelitian : 10 Bulan
8. Biaya yang Diperlukan
a. Sumber dari Depdiknas : Maks Rp 8.500.000,00
b. Sumber Lain : Tidak ada
Jumlah : Rp 8.500.000,00
(Delapan juta lima ratus ribu rupiah)
Padang, 11 September 2006
Mengetahui,
Dekan Fakultasa Sastra Ketua Peneliti,
Universitas Andalas
Dra. Adriyetti Amir,S.U. Dra. Leni Syafyahya, M.Hum
NIP 131 413 768 NIP 132 093 248
Menyetujui,
Ketua Lembaga Penelitian
Prof. Dr. Ir. H. Helmi, M.Sc.
NIP 131 474 873
DILEMA MALAKOK ANAK TIDAK BERSUKU
DALAM SOSIAL BUDAYA MINANGKABAU1
Dra. Leni Syafyahya, M.Hum.2
ABSTRAK
Anak tidak bersuku ialah anak yang lahir dari perkawinan pria Minangkabau dengan
wanita non-Minangkabau. Menurut adat Minangkabau yang menganut garis keturunan
matrilineal, anak-anak ini dapat dimasukan ke dalam system kekerabatan Minangkabau
setelah menjalani suatu proses yang disebut Malakok. Mereka diterima dan ditampung
dalam struktur persukuan Minangkabau setelah membayar upeti adat. Ketentuan upeti
adat sangat dipengaruhi oleh daerah/tempat terjadinya prosesi malakok. Karena
dipengaruhi oleh daerah pelaksanaannya, hal ini mengakibatkan syarat dan tata cara,
serta penanda dan petannda pembayaran upeti malakok terhadap anak tidak bersuku di
daerah-daerah memiliki perbedaan. Dengan demikian terjadinya keragaman syarat dan
tata cara serta penanda dan petanda pembayaran upeti malakok terhadap anak tidak
bersuku dalam sosial budaya Minangkabau. Namun, persoalan mendapatkan suku bagi
anak yang tidak bersuku tidak semudah yang dibayangkan. Di satu sisi, malakok dapat
memberikan suku bagi anak yang tidak bersuku. Di sisi lain, malakok dapat
menimbulkan dilemma, baik dari pihak lelaki Minangkabau, maupun dari pihak
kaum/kerabat/suku yang akan memberikan suku bagi anak yang tidak bersuku tersebut.
Bagaimana solusinya ? Dalam tulisan ini, akan dideskripsikan dan dijelaskan persoalan
tersebut di atas.
1. PENDAHULUAN
Status anak-anak di Minangkabau yang lahir dari perkawinan pria Minangkabau
dengan wanita non-Minangkabau, baik yang tinggal di rantau maupun yang berada di
ranah Minangkabau merupakan dilema pelik yang dihadapi oleh orang Minangkabau. Hal
itu disebabkan secara umum masih tertutupnya pintu hati orang Minangkabau untuk
menerima anak-anak tersebut menjadi orang Minangkabau. Padahal, kalau kita
perhatikan dan amati banyak dari anak-anak yang berdarah Minangkabau ini, seperti
ibunya dari suku Betawi dan suku Sunda, bangga menjadi orang Minangkabau dan
mengatakan diri mereka sebagai orang Minangkabau. Ini berarti, sesungguhnya mereka
mendambakan dapat diterima dalam persukuan Minangkabau. Patut dicatat pada
umumnya istri-istri non-Minangkabau adalah mereka menganut garis keturunan
“patrilinial” atau bilateral sehingga bergitu mereka kawin dengan pria Minangkabau
1 Penelitian ini dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
sesungguhnya mereka mendambakan dapat diterima dalam persukuan Minangkabau
khususnya anak-anak mereka (Amir, 2005 dalam internet www.cimbuak.com ).
Akan tetapi, apa yang terjadi ? Banyak perempuan non-Minangkabau yang
mempunyai ikatan kekerabatan dengan orang Minangkabau (bersuamikan pria
Minangkabau), menetap di ranah Minangkabau, berbahasa, beradat- istiadat bahkan
beranak-pinak di Minangkabau tetapi masih saja dianggap bukan orang
Minangkabau/orang luar, contoh, di kampung penulis di Kabupaten Agam. Ada seorang
lelaki beristrikan wanita Betawi, karena susahnya hidup di rantau mereka pulang ke
kampung. Sewaktu mereka pulang ke kampung, belumlah memiliki keturunan. Sekarang,
setelah 15 tahun menetap di ranah Minangkabau, mereka telah memiliki 2 orang anak.
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak ada permasalahan, maksudnya mereka dapat hidup
dengan tenang. Akan tetapi, lain halnya dalam persoalan adat-istiadat. Anak-anak mereka
dikatakan anak-anak yang diakui sebagai orang luar Minangkabau karena anak-anak
tersebut tidak memiliki suku. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan, sistem persukuan
di Minangkabau berdasarkan garis keturunan ibu, maka dari itu setiap anak yang
dilahirkan oleh perempuan Minangkabau pasti sukunya sama dengan ibunya. Akan tetapi,
bagaimanakah dengan anak-anak yang ibunya bukan orang Minangkabau? apakah
mereka tidak memiliki suku? Amir (1997:168) mengatakan menurut adat Minangkabau
yang menganut sistem matrilinial, anak-anak yang lahir dari perkawinan antara pria
Minangkabau dengan wanita non-Minangkabau tidak dapat dimasukan ke dalam sistem
kekerabatan Minangkabau. Lebih lanjut Amir mengatakan anak-anak ini dalam kaca
mata adat Minangkabau berstatus “anak tidak bersuku” bahkan di lingkungan marga
ibunya mereka juga tidak diterima dalam sistem patrilinial, sehingga jadilah status
mereka terkatung di awang-awang.
Sebenarnya, anak yang dikatakan tidak bersuku tersebut dapat dicarikan sukunya
dengan menjalani persyaratan adat yang disebut dengan Malakok. Mereka diterima dan
ditampung dalam struktur persukuan Minangkabau/ menjadi kemenakan di Minangkabau
setelah membayar upeti adat dalam bentuk uang, barang, maupun hewan (Amir,
1997:169). Ini menandakan bahwa adat Minangkabau sesungguhnya bersifat terbuka.
Rumusan yang hampir sama dinyatakan oleh Navis (1985:128) bahwa untuk
menjadi orang Minangkabau diperlukan tata cara yang dinamakan mengisi adat: Cupak
diisi limbago dituang. Maksudnya, mengiaskan aturan tersendiri untuk memenuhi suatu
kewajiban pada keadaan yang berbeda-beda. Dengan kata lain, kalau seseorang ingin
menjadi orang Minangkabau haruslah terlebih dahulu memenuhi aturan-aturan dan
syarat-syarat yang telah ditentukan dalam adat.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa anak yang tidak bersuku dapat diberikan
suku setelah menjalani suatu proses yaitu malakok. Proses malakok ini perlu
dikembangkan dan dimasyarakatkan kepada generasi muda Minangkabau khususnya
generasi muda yang menjalin kekerabatan dengan wanita non-Minangkabau. Akan tetapi,
persoalan mendapatkan suku bagi anak tidak bersuku dengan cara malakok tidaklah
semudah yang dibayangkan, mengapa demikian ? Memang di satu sisi, malakok ini dapat
memberikan suku bagi anak yang tidak bersuku. Di sisi lain, malakok ini juga
menimbulkan dilema terutama bagi lelaki Minangkabau yang beristrikan wanita non-
Minangkabau dan tidak dapat membayarkan upeti adat tersebut. Hal itu disebabkan oleh
kemiskinan hidup mereka. Dengan demikian, akan menjadi anak yang tidak bersukukah
anak mereka selamanya? Apakah ada solusi lain dan semacam kemudahan dalam
malakok ini? Sebab malakok bagi orang yang ekonominya baik tentulah tidak
bermasalah, tetapi bagaimana sebaliknya? Jawabannya dapat kita baca dalam tulisan ini.
2. MALAKOK
Sepanjang pengamatan yang peneliti lakukan, pembicaraan khusus tentang
dilema malakok anak tidak bersuku dalam sosial budaya Minangkabau belumlah
ditemukan. Hal ini menyebabkan terbatasnya referen yang peneliti dapatkan dalam
penelitian ini. Pembahasan tentang proses malakok peneliti temukan dalam buku Amir
M.S (1997) pada bab pemekaran suku dan bunga rampai adat Minangkabau. Di samping
itu, Amir juga menulis masalah azas malakok ini dalam pemekaran suku di Minangkabau
dalam internet www.cimbuak.com pada tanggal 20 Februari 2005.
Salah satu ciri khas orang Minangkabau ialah suku. Artinya, orang
Minangkabau adalah orang yang memiliki suku dan menjadi anggota sistem persukuan
cara Minangkabau. Amir (1997: 168) mengatakan suku di Minangkabau adalah
kelompok kaum yang berasal dari seorang “Niniek” (perempuan), sasuku artinya, semua
keturunan dari “Niniek” yang pertama sampai kepada kita yang hidup sekarang sebagai
“anak” yang kini masih Hidup. Lebih lanjut Amir mengatakan namun, pengertian suku
dalam adat Minangkabau bukanlah yang bersifat statis, malah cukup dinamis, pengertian
suku berkembang, baik dalam artian jumlah maupun dalam artian mutu. Amir juga
mengatakan orang yang sesuku tidak selalu terdiri dari orang yang seniniek, hal ini
dimungkinkan oleh dua hal yaitu:
1. setiap nagari merupakan wilayah adat yang indenpenden yang tidak terikat
dengan nagari lain, sedangkan di lain pihak terdapat mobilitas penduduk yang
bebas antara satu wilayah dengan wilayah lain
2. adanya pendatang baru dari luar Minangkabau yang menetap di salah satu
nagari
Proses pemasukan/pembauran pendatang baru ini ke dalam struktur persukuan asal
disebut dengan proses malakok ( Amir, 1997:61). Lebih lanjut Amir mengatakan, dengan
adanya pendatang baru ini hubungan kekerabatan yang ada dalam suku sebagai inti dari
nagari menjadi;
1. Hubungan tali Darah
Hubungan antara mereka yang seketurunan.
2. Hubungan Tali Budi
Hubungan antara mereka yang mempunyai suku yang sama dari satu nagari yang
pindah ke nagari lain dan malakok pada suku yang sama di nagari baru.
3. Hubungan Tali Emas
Hubungan yang tercipta antara pendatang baru berasal dari luar Minangkabau
yang diterima dalam persukuan Minangkabau dengan membayar semacam Upeti
(uang emas). Di samping itu, anak-anak dari pria Minangkabau yang beristri
wanita non-Minangkabau, mereka dapat diterima dan ditampung dalam persukuan
melalui malakok.
Dari pendapat Amir di atas, dapat dikatakan bahwa anak-anak yang lahir dari ibu non-
Minangkabau akan mendapatkan suku apabila telah dilakukan upacara adat/ malakok.
Setelah itu, anak-anak tersebut akan dipandang sebagai kemenakan bertali emas.
Kemenakan bertali emas ini tidak mempunyai hak yang sama dengan kemenakan batali
darah. Kemenakan bertali emas tidak berhak menerima warisan gelar pusaka, tetapi
mungkin dapat menerima harta warisan jika diwasiatkan kepadanya karena memandang
jasa-jasanya/disebabkan uangnya (Toeh, 1967:80).
Di samping itu, ikhwal pembicaraan dilema malakok anak tidak bersuku
termasuk dalam ranah pengkajian semiotik. Semiotik adalah ilmu yang mempelajari
lambang-lambang dan tanda-tanda (Kridalaksana, 1993;195). Dalam uapacara
adat/pembayaran upeti, akan diberikan tanda sebagai syarat diterimanya seseorang dalam
persukuan di Minangkabau.Tanda yang diberikan sebagai pembayaran upeti dapat
berbentuk uang, barang, hewan atau tanda lainnya sesuai dengan kesepakatam
masyarakat setempat. Jika suatu masyarakat menggunakan sistem tanda sebagai
pengaturan kehidupan bermasyarakat, baik perilaku bahasa maupun benda-benda yang
dibuatnya merupakan tanda-tanda yang mengatur pola-pola interaksi sosial dalam
masyarakat (Masinambow dan Hidayat, 2002 : 13). Rumusan yang hampir sama
dinyatakan oleh Agar 1974 (dalam Masinambow dan Hidayat, 2002:13) membuat
tipologi dari tanda-tanda yang digunakan dalam masyarakat atas:
1. Tanda-tanda pribadi
1.1 tanda-tanda verbal
1.1.1 tanda-tanda linguistik
1.1.2 tanda-tanda paralinguistik
1.2 tanda-tanda nonverbal
2. Tanda-tanda kontekstual
2.1 tanda-tanda fashion
2.2 tanda-tanda lingkungan
Tanda-tanda di atas dianggap sebagai tanda atau unsur kebudayaan dengan menggunakan
konsep tanda dari Saussure yang masuk dalam antropologi melalui linguistik. Saussure
(dalam Masinambow dan Hidayat, 2002:15) mengatakan Signifier/penanda sebagai
struktur/bentuk dan signified/petanda sebagai isi mempunyai eksistensi dalam batin
manusia sebagai warga masyarakat dan oleh karena itu, mempengaruhi persepsi tentang
dunia luar ataupun pola perilaku dalam interaksi sosial dan dalam hubungan dengan
penggarapan dan pengolahan dunia luar.
3. SYARAT DAN TATA CARA MALAKOK ANAK TIDAK BERSUKU
Syarat merupakan suatu tuntutan atau permintaan yang harus dipenuhi. Dengan
kata lain, apabila tuntutan telah dipenuhi maka permintaan pun telah dikabulkan. Begitu
pula, dengan permintaan suku bagi anak tidak bersuku. Suku akan didapatkan apabila
tuntutan adat telah dipenuhi sesuai dengan pepatah adat “Cupak diisi limbago dituang”
artinya ada aturan tersendiri untuk memenuhi suatu kewajiban pada keadaan yang
berbeda-beda.
Keadaan yang berbeda-beda akan menyebabkan syarat dan tata cara yang
berbeda pula. Demikian pula dengan malakok, pada daerah yang berbeda memiliki syarat
dan tata cara yang berbeda pula. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan penelitian dan
pengamatan di tiga daerah Darek yaitu: 1) Kabupaten Agam di dua daerah yaitu:
Kecamatan IV Angkek Canduang dan Kecamatan Bnh. Sei Puar, 2) Kabupaten 50 Kota
di dua daerah yaitu: Kecamatan Gn. Mas Suliki dan Kecamatan Perwk. Sago Halaban, 3)
Kabupaten Tanah Datar di dua daerah yaitu: Kecamatan Limo Kaum dan Kecamatan Tj.
Emas. Di samping tiga daerah Darek, peneliti juga melakukan penelitian di tiga daerah
Rantau yaitu: 1) Kabupaten Padang Pariaman di dua daerah: Kecamatan 2 x 11 Enam
Lingkung dan Kecamatan Nan Sabaris, 2) Kabupaten Sawah Lunto Sijunjuang di dua
daerah yaitu: Kecamatan Koto VII dan Kecamatan Kupitan, dan 3) Kota Padang di dua
daerah yaitu: Kecamatan Padang Utara dan Kecamatan Padang Selatan.
Selama pengumpulan data, peneliti menemukan beberapa daerah baik Darek
maupun Rantau yang tidak melakukan proses malakok terhadap anak tidak bersuku.
Daerah tersebut ialah Daerah Kecamatan IV Angkek Canduang dan Kabupaten Sawah
Lunto Sijunjuang. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor.Di antaranya, di daerah Darek,
yang tidak melakukan proses malakok bagi anak tidak bersuku dikarenakan menurut adat
mereka seorang lelaki Minangkabau harus menikah dengan wanita Minangkabau pula.
Pernikahan antara lelaki Minangkabau dengan wanita non-Minangkabau diangap sebagai
pernikahan yang tidak menguntungkan. Anak-anak dari pernikahan ini tidaklah akan
memperbesar jumlah anggota kaum, sebab anak-anak itu tidak dapat dipandang sebagai
orang Minangkabau. Di samping itu, jika wanita yang dinikahi itu menggantungkan
hidup sepenuhnya kepada suaminya, maka kewajiban si lelaki tersebut terhadap kaumnya
akan terganggu. Jika tidak, biasanya seorang lelaki Minangkabau yang menikah dengan
wanita non-Minangkabau, mereka tidak akan tinggal di daerah/kaum kerabat lelaki
tersebut. Dengan kata lain, mereka akan tinggal di daerah perantauan.
Di samping daerah Darek, di daerah Rantau ( Sawah Lunto Sijunjuang) tidak
ada pula proses malakok bagi anak tidak bersuku. Hal ini disebabkan daerah ini
umumnya dihuni oleh para pendatang yang berasal dari berbagai daerah , di antaranya
dari daerah Jawa dan Medan. Adanya pendatang baru dari luar Minangkabau yang
menetap di daerah Minangkabau mengakibatkan keragaman/heterogen penduduk. Akibat
keragaman ini menyebabkan satu nagari yang tidak lagi terbatas pada keempat suku yang
seniniek, tetapi sudah diragami dengan pendatang baru yang harus dimasukkan ke dalam
struktur pesukuan yang terdapat dalam nagari tersebut. Proses pemasukan pendatang baru
ini ke dalam struktur pesukuan di Minangkabau juga disebut dengan malakok. Jadi pada
daerah ini, ditemukan bentuk malakok yang lain yang disebut dengan malakok pada
sekelompok pendatang dari luar Minangkabau dan menetap di Minangkabau. Pada
penelitian ini, peneliti tidak membahas malakok jenis tersebut. Di bawah in, akan
dideskripsikan dan dijelaskan syarat dan tata cara malakok anak tidak bersuku, baik di
daerah Darek maupun di Daerah Rantau.
3.1 Syarat dan Tata Cara Malakok Anak Tidak Bersuku di Daerah Darek
Seperti telah dijelaskan di atas, syarat merupakan suatu yang harus dipenuhi.
Apabila syarat telah dipenuhi maka suku akan didapatkan oleh anak tidak bersuku.
Karena titik pengamatan dilakukan di beberapa daerah Darek, maka dalam prosesi
malakok anak tidak bersuku di daerah darek ini memiliki beberapa syarat yang harus
dipenuhi oleh pihak yang meminta suku. Syarat dan tata cara yang penulis deskripsikan
di bawah ini merupakan kumpulan dari beberapa syarat dan tata cara malakok di
beberapa daerah Darek yang dijadikan sample.
1. Carano diisi dengan siriah langkok dan di atas siriah langkok diletakkan emas
seberat 2 emas. Emas di sini boleh ditukar dengan uang tunai dengan catatan
jumlah uang tersebut sama dengan harga 2 emas.
2. Carano diisi dengan siriah langkok dan di atas siriah langkok tersebut diletakkan
emas seberat 4 sampai 5 emas. Emas di sini tidak boleh ditukarkan dengan uang,
walaupun jumlah uang yang diberikan sama dengan harga 4 sampai 5 emas. Di
samping itu, berat emas juga dapat kurang atau lebih dari 4 sampai 5 emas,
tergantung kepada permintaan para penghulu kepada kerabat anak yang akan
diberikan suku.
3. Seekor kerbau atau seekor kambing akan dipotong dalam upacara pemberian suku
dan untuk menjamu seluruh penduduk nagari.
Setelah syarat-syarat di atas dipenuhi, acara selanjutnya ialah permintaan persetujuan dari
pihak suku yang akan menerima. Persetujuan tersebut dimulai dari:
1. pihak keluarga bapak yang akan menerima
2. sanak saudara sekeliling
3. semua kaum/kerabat yang sapasukuan dengan suku yang akan menerima
4. jika tiga persetujuan di atas telah didapatkan, langkah selanjutnya ialah
memberitahukan penghulu yang ada di setiap persukuan di daerah itu. Di daerah
Sariak kecamatan Banh. Sei. Puar misalnya, ada empat suku yaitu: Sikumbang,
Koto, Tanjuang, dan suku Panyalaian. Berarti keempat panghulu di suku ini harus
diberitahu.
Setalah persetujuan dan pemberitahuan kepada semua penghulu selesai. Tata
cara malakok lainnya yang akan dilakukan ialah mengadakan upacara adat dengan
mendatangkan keempat penghulu tersebut ke rumah anak yang akan diberikan suku. Di
samping keempat penghulu itu, sanak saudara dan masyarakat di nagari itu ikut
memeriahkan upacara ini.
3.2 Syarat dan Tata Cara Malakok Anak Tidak Bersuku di Daerah Rantau
Sama dengan daerah darek, titik pengamatan di daerah Rantau juga dilakukan di
beberapa daerah, maka syarat malakok di sini juga memiliki beberapa syarat yang harus
dipenuhi oleh pihak yang meminta suku. Deskripsii syarat dan tata cara malakok di
daerah Rantau di bawah ini merupakan kumpulan dari syarat dan tata cara malakok di
daerah Rantau yang dijadikan sampel penelitian ini., yaitu:
1. Carano diisi dengan uang (jumlahnya tidak ditentukan atau sesuai kesanggupan
keluarga anak yang akan malakok.)
2. Memotong kambing sebagai pemberitahuan kepada masyarakat banyak bahwa
anak si Fulan telah malakok ke suku ayahnya dan resmi menjadi anak sekaligus
kemenakan dalam suku tersebut.
3. Dalam acara potong kambing tersebut, diundang sekalian orang kampung, ninik
mamak, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang, rang mudo (para pemuda),
rang sumando dan seluruh isi kampung.
4. Ada syarat lain yang lebih sederhana yaitu satu ikat siriah, siriah ini akan
diberikan kepada pihak yang akan memberikan suku. Di sisi lain, pihak yang
memberi suku akan memberikan uang sebesar Rp 5000,00 kepada ibu si anak
yang tidak bersuku. Hal ini dilakukan sebagai tanda bahwa anak yang tidak
bersuku telah memiliki suku atau istilah lainnya telah digadaikan.
Setelah persyaratan di atas dipenuhi, langkah selanjutnya yang akan dilakukan oleh pihak
yang meminta suku ialah:
1. Ayah dari anak yang akan malakok mendatangi penghulu sukunya tempat si anak
akan ditumpangkan (dititipkan).
2. Si ayah menyampaikan maksud hatinya untuk ‘memprjuangkan si anak’ artinya
memberikan suku untuk si anak, memberi kehidupan bagi si anak, memberikan
tanah tempat berdiam, memberikan setumpak (sebidang) sawah untuk digarap.
3. Penghulu suku menerima dengan syarat, mereka mampu melaksanakan
‘Adat diisi, limbago dituang‘.
4. Tata cara malakok yang lebih sederhana ialah dengan menggadaikan si anak ke
kerabat ayahnya. Sebagai bukti (tando) si anak malakok ke kerabat ayahnya, si
ibu anak tidak bersuku memberikan siriah satu ikat kepada kerabat ayah si anak.
Pihak kerabat ayah yang akan memberikan suku memberikan si ibu anak yang
tidak bersuku uang sebanyak Rp. 5000,00, dan air putih satu botol. Dengan
demikian, resmilah si anak mempunyai suku yang sama dengan kerabat ayahnya.
Apabila si anak menikah nantinya, uang sebanyak Rp 5000,00 itu dikembalkan
kepada kerabat ayahnya. Selain itu, ibu si anak juga memberikan nasi kunik
(ketan yang diberi kunyit sehingga berwarna kuning), nasi, dan lauk pauk. Pada
saat yang bersamaan, pihak kerabat ayahnya juga memberikan baju sapatagak
(satu stel), dan selembar sarung. Hal ini dilakukan sebagai pertanda bahwa si anak
tidak lagi tagadai (digadaikan), melainkan sudah menjadi ‘bagian’ dari pihak
kerabat ayahnya.
Dari keterangan di atas, dapat dilihat syarat dan tata cara malakok anak tidak bersuku
dalam sosial budaya Minangkabau baik di daerah Darek maupun daerah Rantau memiliki
variasi. Bahkan di daerah Darek saja dan daerah Rantau saja juga memiliki variasi syarat
dan tata cara malakok. Artinya, setiap daerah memiliki syarat dan tata cara yang berbeda.
Ada daerah yang memiliki syarat dan tata cara yang cukup berat, bahkan tidak mau
melakukan malakok bagi anak yang tidak bersuku. Di sisi lain, ada pula daerah yang
memiliki syarat dan tata cara yang cukup ringan bahkan sangat sederhana. Hal ini sesuai
dengan pepatah di Minangkabau “adaik salingka nagari” artinya aturan dan norma yang
berlaku di suatu nageri akan berbeda dengan aturan dan norma di nageri lain.
4. PENANDA DAN PETANDA PROSES MALAKOK ANAK TIDAK BERSUKU
Tanda terdiri dari dua komponen yaitu: citra bunyi dan konsep. Citra bunyi itu
bertindak sebagai penanda (signifier) dan petanda (signified). Dengan demikian, tanda itu
sendiri merupakan manisfestasi kongret dari citra bunyi. Jadi, penanda dan petanda
merupakan unsure mentalistik. Dengan kata lain, di dalam tanda terungkap citra bunyi
atau pun konsep sebagai dua komponen yang tidak terpisahkan.
Demikian pula halnya, dalam proses malakok, ada penanda dan petanda.
Penanda dan petanda tersebut diimplementasikan dalam bentuk pasambahan. Karena
penelitian ini di lakukan di dua daerah Minangkabau yaitu Darek (tiga kecamatan dan
setiap kecamatan diambil sampel 2 daerah) dan Rantau ( tiga kecamatan dan setiap
kecamatan diambil sample 2 daerah), penanda dan petanda yang digunakan dalam proses
malakok pada kedua daerah ini juga memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut dapat
terlihat dalam pasambahan yang digunakan. Penanda dan petanda yang digunakan dalam
proses itu dapat kita lihat dibedakan atas dua bahagian yaitu:
4.1 Pasambahan dalam Prosesi Malakok Anak tidak Bersuku di Daerah Darek
Karena tidak semua daerah sample yang menerima dan melakukan prosesi malakok,
maka pasambahan yang didapatkan juga tidak pada semua daerah. Pasambahan ini
diucapkan diwaktu acara perhelatan pemberian suku. Yang melakukan pasambahan ini
ialah para penghulu setiap suku dengan penghulu suku yang akan memberikan suku
terhadap anak tidak bersuku atau pihak yang mengadakan perhelatan. Adapun bunyi
pasambahan tersbut ialah;
1. Yang membuka pasambahan ialah pihak yang meminta suku
2. dijawab oleh penghulu suku-suku lain di daerah tersebut
3. setelah itu pasambahan dilanjutkan dengan permintaan syarat oleh penghulu
suku-suku lain di daerah itu
4. jawaban dari pihak yang meminta suku
5. jawaban kembali oleh penghulu suku-suku lain
6. pasambahan ditutup oleh penghulu yang meminta suku
Bunyi dari pasambahan tersebut ialah sebagai berikut:
1. Bakarano batu jatuah ka lansiang lapeh di pangka kajo pangato panyalai ka
panggulu nan 4 suku
Kok panggulu nan 4 suku kok jauhlah bajalang ampianglah baturuik
Lah batingkek janjang lah batapiak bandua
Duduak bareda di tangah rumah
Rokok sabatanglah baisok, siriah sakapualah bakunyah
Baa di hari nan kini kok banamulai nan taragak nan takana
Disilang nan bapangka pangka kajo pangato panyalai
Kok nan ka elok di siang nan ka bana di katangahkan jo nyo ka panggulu nan 4 suku
Artinya: suatu pemberitahuan kepada penghulu yang empat suku karena anak mereka
telah menikah dengan orang luar Minangkabau. Karena anak tersebut telah
memiliki anak pula, maka kaum mereka ingin memberikan suku kepada anak
yang ibunya orang luar Minangkabau.
2. Jawabab dari pangulu nan 4 suku
sapanjang panitahan pangka kajo pangato panyalai
ko lah ka bana ditarimo jo nyo pangulu nan 4 suku
pasamabahan yang dua baris ini diucapkan oleh empat pengulu secara bergantian.
Artinya: Penghulu yang empat suku setuju saja memberikan suku kepada keturunan
mereka asalkan suku , pasukuan, dan kaum yang akan menerima telah setuju.
Intinya segala sesuatu diputuskan dengan mufakat.
3. Setelah itu pangulu nan 4 suku meminta tuntutan dengan bunyi pasambahan sebagai
berikut:
kok bana lai nan taragak nan takana di pangka kajo pangato panyalai
lah elok di siangan baari tarang bak bulan jan nyo pangulu nan 4 suku
Artinya: Jika sudah ada suatu keinginan marilah kita mufakatkan segala sesuatunya
4. jawaban dari penghulu nan meminta suku;
nan taragak nan takana nan silang bapangka pangka kajopangato panyalai
di hari nan kini anak di pangato panyalai
kini buleklah sagiliang-pipiahlah satapiak pangato panyalai
pangato panyalai manarimo anak dari pangato panyalai nan banamo si Antun
kini manjadi kamanakan pangato panyalai
ikolah nan basampaikan ka pangulu nan 4 suku
Artinya: yang ingin disampaikan ialah, kami sasuku dan sapasukuan telah setuju untuk
memberikan suku kepada anak yang ibunya orang luar Minangkabau dan
menjadikannya sebagai kemenakan dari suku dan sapasukuan kami.
5. Jawaban pangulu nan 4 suku
karanolah bulek sagiliang, pipiahlah satapiak
pangato panyalai, lah satarimo jo pangulu nan 4 suku.
Artinya: karena suku dan sapasukuan kaum yang menerima telah setuju, maka kami
penghulu yang lain juga akan menerima anak tersebut menjadi kemenakan dari
suku itu.
Demikianlah bunyi pasambahan dalam perhelatan pemberian suku kepada anak
yang tidak bersuku. Dari keterangan yang penulis dapatkan, suku dapat diberikan kepada
anak yang tidak bersuku biasanya di daerah Darek terjadi pada keturunan yang punah.
Artinya, keturunan yang punah adalah tidak adanya kaum yang melanjutkan keturunanya
dari pihak yang perempuan. Jika suatu kerabat memiliki keturunan yang banyak/
bakambang, keturunan ini biasanya tidak akan memberikan suku kepada anak yang tidak
bersuku dalam kerabat mereka.
4.2 Pasambahan dalam Prosesi Malakok Anak tidak Bersuku di Daerah Rantau
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa di daerah Rantau syarat dan tata
cara malakok di daerah ini ada yang cukup ringan, bahkan sangat sederhana. Pada daerah
yang memiliki syarat dan tata cara yang sangat sederhana tidak terdapatnya psamabahan
dalam prosesi malakok ini.
Pasambahan dalam prosesi malakok disebut dengan “Inggan Biteh”. Di bawah
ini dideskripsikan pasambahan dalam prosesi tersebut. Andai si anak akan malakok ke
suku Mandailing maka Inggan Bitehnya berbunyi:
“Maisi carano, mandabiah kambiang
Alun sah manjadi kamanakan orang Mandiliang
Kalau darah alun di aRu, kalau dagiang alun dimakan ”
Artinya:
Mengisi carano dengan uang, memotong kambing
Belum sah menjadi kemenakan orang Mandiliang
Kalau darah kambing belum mengalir, kalau daging gulai kambing belum
dimakan oleh orang Mandiliang, para undangan dan orang banyak”
“ Jiko ka manjadi kamanakan rang Mandiliang,
Sumua rang Mandiliang di sauak
Rantiang rang Mandiliang di patah
Langik rang Mandiliang di junjuang
Bumi rang Mandiliang dipijak
Parintah rang Mandiliang dituruik
Titah rang Mandiliang di junjuang”
“ Bagi rang Mandiliang, kamanakan surang manjadi baduo, kamanakan
baduo manjadi batigo, kamanakan batigo manjadi barampek dan
sataruihnyo.
Baitu juo rumah, rumah ciek manjadi duo, rumah duo manjadi tigo,
rumah tigo menjadi ampek dan sataruihnyo.
Baitu juo sanak, sanak ciek manjadi baduo, sanak baduo manjadi batigo,
sanak batigo manjadi barampek dan satarauihnyo.
Batambah anak buah nan ka digabaloan
Batambah tangguang jawab,
Batambah kamanakan nan ka dijago,
Baa supayo mangikuti adaik rang Mandiliang,
Baa supayo tak mancoreng arang di muko
Tido mambuaek malu dalam nagari
Malu rang Mandiliang, malunyo (anak malakok) juo
Malunyo, malu rang Mandiliang juo.“
Artinya:
Bagi orang Mandiliang, bertambah kamanakan orang Mandiliang yang akan di
jaga. Menjaga dalam artian bagaimana agar si anak memamtuhi adaik salingka nagari
tidak membuat malu suku atau merusak nama baik suku Mandiliang. Musibah yang
menimpa si anak sama dengan musibah yang menimpa orang Mandiliang, Malu (aib ) si
anak sama dengan malu (aib ) orang Mandiliang.
Setelah proses perhelatan pemberian suku dilakukan, anak-anak yang tidak
bersuku telah diakui sebagai orang Minangkabau. Karena salah satu ciri orang
Minangkabau ialah memiliki suku. Anak ini akan menjadi kemenakan dalam suatu suku
di Minangkabau, tetapi anak ini memilki hak yang berbeda dari kemenakan asli dari
pesukuan asal itu. Anak ini akan dipandang sebagai kemanakan dalam hubungan batali
ameh.
Kemenakan dalam hubungan batali ameh artinya hubungan yang terjadi antara
pendatang baru berasal dari luar Minangakabau yang diterima dalam pesukuan Minang
dengan membayar semacam upeti. Kemenakan batali ameh ini tidak berhak menerima
warisan gelar pusaka, tetapi mungkin dapat menerima harta warisan jika diwasiatkan
kepadanya karena memandang jasa-jasanya/disebabkan uangnya (Toeh,1985:80).
5. PERBEDAAN MALAKOK ANAK TIDAK BERSUKU DAERAH DAREK
DENGAN DAERAH RANTAU
Lain lubuak lain ikannyo
Lain padang lain ilalang
Adaik salingka nagari
Pepatah-petitih di atas bermakna bahwa ada keragaman yang terdapat di setiap daerah.
Berdasarkan analisis yang dilakukan, ada beberapa perbedaan antara malakok anak tidak
bersuku di daerah Darek dengan daerah Rantau. Tetapi perbedaan ini masih bersifat
sangat terbuka, maksudnya masih banyak perbedaan lain yang tidak dapat dijelaskan. Hal
ini didasari oleh sebagian kecil dari daerah Minangkabau yang telah peneliti teliti.
Adapun perbedaan itu dapat dideskripsikan sebagai berikut:
1. Syarat dan Tata cara
a. Syarat dan tata cara malakok anak tidak bersuku di daerah darek
mewajibkan upeti adat baik dalam bentuk emas maupun dalam bentuk
uang, sedangkan di daerah rantau ada daerah yang mewajibkan upeti adat
ada yang tidak. Dengan kata lain, di daerah rantau syarat dan tata cara
malakok sudah mulai longgar.
b. Pihak/suku yang akan menerima anak yang tidak bersuku. Di daerah
Darek anak yang tidak bersuku akan diberikan suku oleh suku yang sudah
mulai punah. Artinya, jika tidak ada lagi keturunan dari pihak perempuan
maka keturunan dari pihak lelaki yang beristrikan perempuan non-
Minangkabau akan diberikan suku. Di daerah rantau, Tradisi Malakok
masih dilakukan seperti biasanya. Perlakuan terhadap anak yang malakok
juga masih sama, hanya saja si anak tidak lagi diberi tanah dan sawah
seperti tatacara malakok yang dahulu. Si anak hanya diberi tumpangan
(rumah) dalam keluarga orang Mandiliang atau suku tempat si anak
malakok. Alasannya, karena sekarang tanah dan sawah tidak lagi seluas
dulu, tanah dan sawah telah bagi-bagi menjadi milik perorangan/milik
pribadi. Tanah dan sawah hari ini, amat berharga, tanah, tidak lagi seperti
tanah pusaka yang dulu mudah dibagi-bagikan.
2. Penanda dan Petanda
Perbedaan penanda dan petanda dapat dilihat pada subbagian penanda dan
petanda di atas. penghulu yang akan berkumpul dalmn suatu perhelatan malakok
di suatu daerah jumlahnya tergantung kepada jumlah suku di daerah tersebut. Jika
satu daerah/nagari memiliki empat suku, pengulu yang harus hadir harus empat
pengulu.
Demikianlah perbedaan malakok anak tidak bersuku antara daerah Darek dan daerah
Rantau. Namun, penelitian ini masih sangat sederhana, maksudnya perlu dilakukan
penelitian yang lebih mendalam khususnya tentang malakok anak tidak bersuku.
Umumnya malakok lain yang terdapat di daerah-daerah di Minangkabau.
6. DILEMA MALAKOK ANAK TIDAK BERSUKU DALAM KONDISI
SEKARANG
Anak tidak bersuku meminta suku, sementara kaum/suku kadangkala berat,
bahkan tidak mau memberikan suku mereka kepada anak yang tidak bersuku. Lalu, akan
menjadi tidak bersukukah anak-anak keturunan Minangkabau yang ibunya bukan orang
Minangkabau. Ini merupakan suatu keadaan sulit dan menjadi dilema bagi anak yang
tidak bersuku. Ada beberapa dilema yang dihadapkan kepada anak yang tidak bersuku ini
yaitu:
1. Malakok memerlukan upeti adat, artinya dalam meminta suku diperlukan
biaya/materi. Bagi lelaki Mianangkabau yang beistrikan perempuan di luar
Minangkabau, memiliki kehidupan ekonomi yang miskin misalnya, tentu tidak
dapat melaksanakan malakok ini. Otomatis anak mereka tidak bersuku.
2. Ada masalah lain di samping upeti adat. Walaupun memiliki materi untuk
membayar upeti adat, akan tetapi, tidak ada suku/kaum yang mau menerima.
Dengan demikian, anak yang tidak bersuku juga tidak dapat diberikan suku.
3. Alasan adanya suku yang tidak mau menerima anak yang tidak bersuku karena
suku yang akan menerima itu memiliki keturunan yang jumlahnya besar.
a. Jika anak tidak bersuku diberikan suku secara langsung anak tersebut
telah menjadi kemenakan penghulu di suku itu. Setelah itu, anak yang
diberikan suku dipandang sebagai kemenakan batali ameh. Kamanakan
batali ameh mempunyai hak yang tidak sama dengan kamanakan batali
darah. Mereka tidak berhak menerima gelar pusaka, tetapi mungkin
berhak menerima harta warisan jika diwasiatkan kepadanya dikarenakan
jasa-jasanya.
b. Perkawinan anatara lelaki Minangkabau dengan perempuan non-
Minangkabau dianggap sebagai suatu perkawinan yang tidak
menguntungkan. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu tidaklah
memperbesar jumlah anggota kaum. Sebab anak-anak itu tidak dapat
dipendang sebagai orang Minangkabau. Di samping itu, jika perempuan
yang dinikahi itu mengantungkan hidup sepenuhnya kepada suamnya,
maka kewajiban lelaki tersebut terhadap kerabatnya akan terganggu.
Dari keterangan di atas, dapat dilihat bahwa pemberian suku kepada anak yang tidak
bersuku tidaklah semudah yang dibayangkan. Akan tetapi, tidak semua daerah yang tidak
mau dan sulit menerima anak yang tidak bersuku. Ada juga beberapa daerah di
Minangkabau yang dengan terbuka menerima anak yang tidak bersuku ini, menjadi orang
Minangkabau setelah melakukan prosesi malakok, terutama di daerah rantau. Perlakuan
terhadap anak yang malakok juga masih sama, hanya saja si anak tidak lagi diberi tanah
dan sawah seperti tatacara malakok yang dahulu. Si anak hanya diberi tumpangan
(rumah) dalam keluarga /suku tempat si anak malakok. Alasannya, karena sekarang
tanah dan sawah tidak lagi seluas dulu, tanah dan sawah telah bagi-bagi menjadi milik
perorangan/milik pribadi. Tanah dan sawah hari ini, amat berharga, tanah, tidak lagi
seperti tanah pusaka yang dulu mudah dibagi-bagikan.
7. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, maka dapat dibuat beberapa
kesimpulan yaitu:
1. Syarat dan tata cara yang peneliti deskripsikan di bawah ini merupakan kumpulan dari
beberapa syarat dan tata cara malakok di beberapa daerah Darek yang dijadikan
sampel:
a. Carano diisi dengan siriah langkok dan di atas siriah langkok diletakkan emas
seberat 2 emas. Emas di sini boleh ditukar dengan uang tunai dengan catatan
jumlah uang tersebut sama dengan harga 2 emas.
b. Carano diisi dengan siriah langkok dan di atas siriah langkok tersebut
diletakkan emas seberat 4 sampai 5 emas. Emas di sini tidak boleh ditukarkan
dengan uang, walaupun jumlah uang yang diberikan sama dengan harga 4
sampai 5 emas. Di samping itu, berat emas juga dapat kurang atau lebih dari 4
sampai 5 emas, tergantung kepada permintaan para penghulu kepada kerabat
anak yang akan diberikan suku.
c. Seekor kerbau atau seekor kambing akan dipotong dalam upacara pemberian
suku dan untuk menjamu seluruh penduduk nagari.
d. Persetujuan tersebut dimulai dari:pihak keluarga bapak yang akan menerima,
sanak saudara sekeliling, semua kaum/kerabat yang sapasukuan dengan suku
yang akan menerima, jika tiga persetujuan di atas telah didapatkan, langkah
selanjutnya ialah memberitahukan penghulu yang ada di setiap persukuan di
daerah itu.
2. Syarat dan tata cara malakok di daerah Rantau di bawah ini merupakan kumpulan dari
syarat dan tata cara malakok di daerah Rantau yang dijadikan sampel penelitian ini.,
yaitu:
a. Carano diisi dengan uang (jumlahnya tidak ditentukan atau sesuai
kesanggupan keluarga anak yang akan malakok.)
b. Memotong kambing sebagai pemberitahuan kepada masyarakat banyak
bahwa anak si Fulan telah malakok ke suku ayahnya dan resmi menjadi
anak sekaligus kemenakan dalam suku tersebut.
c. Dalam acara potong kambing tersebut, diundang sekalian orang kampung,
ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang, rang mudo
(para pemuda), rang sumando dan seluruh isi kamapung.
d. Ada syarat lain yang lebih sederhana yaitu satu ikat siriah, siriah ini akan
diberikan kepada pihak yang akan memberikan suku. Di sisi lain, pihak
yang memberi suku akan memberikan uang sebesar Rp 5000,00 kepada
ibu si anak yang tidak bersuku. Hal ini dilakukan sebagai tanda bahwa
anak yang tidak bersuku telah memiliki suku atau istilah lainnya telah
digadaikan.
e. Setelah persyaratan di atas dipenuhi, langkah selanjutnya yang akan
dilakukan oleh pihak yang meminta suku ialah: Ayah dari anak yang akan
malakok mendatangi penghulu sukunya tempat si anak akan
ditumpangkan (dititipkan), si ayah menyampaikan maksud hatinya untuk
‘memprjuangkan si anak’ artinya memberikan suku untuk si anak,
memberi kehidupan bagi si anak, memberikan tanah tempat berdiam,
memberikan setumpak (sebidang) sawah untuk digarap, penghulu suku
menerima dengan syarat, mereka mampu melaksanakan ‘Adat diisi,
limbago dituang‘.
f. Tata cara malakok yang lebih sederhana ialah dengan menggadaikan si
anak ke kerabat ayahnya. Sebagai bukti (tando) si anak malakok ke
kerabat ayahnya, si ibu anak tidak bersuku memberikan sirih satu ikat
kepada kerabat ayah si anak. Pihak kerabat ayah yang akan memberikan
suku memberikan si ibu anak yang tidak bersuku uang sebanyak Rp.
5000,00, dan air putih satu botol. Dengan demikian, resmilah si anak
mempunyai suku yang sama dengan kerabat ayahnya. Apabila si anak
menikah nantinya, uang sebanyak Rp 5000,00 itu dikembalkan kepada
kerabat ayahnya. Selain itu, ibu si anak juga memberikan nasi kunik (ketan
yang diberi kunyit sehingga berwarna kuning), nasi, dan lauk pauk. Pada
saat yang bersamaan, pihak kerabat ayahnya juga memberikan baju
sapatagak (satu stel), dan selembar sarung. Hal ini dilakukan sebagai
pertanda bahwa si anak tidak lagi tagadai (digadaikan), melainkan sudah
menjadi ‘bagian’ dari pihak kerabat ayahnya.
3. Pananda dan petanda diimplementasikan dalam bentuk pasambahan. Pasambahan
antara daerah Darek dengan daerah Rantau memiliki perbedaan Perbedaan itu
umumnya terdapat pada citra bunyi, sedangkan dari segi konsep pada umumnya
sama. Dari segi konsep, umumnya berisi kesepakatan para penghulu dalam
memberikan suku kepada anak yang tidak bersuku.
4. Perbedaan Malakok anak tidak bersuku di daerah Darek dengan daerah Rantau:
dapat kita lihat pada keterangan di atas. perbedaan itu terdapat pada:
a. Syarat dan tata cara serta besarnya upeti adat
b. cara persetujuan dari pihak kaum yang akan menerima
c. longgar atau ketatnya prosesi malakok bagi anak tidak bersuku, dengan
kata lain keterbukaan dari kaum kerabat/suku yang akan menerima anak
yang tidak bersuku.
5. Dilema malakok anak tidak bersuku pada kondisi saat ini dapat disimpulkan atas
beberapa bagian: pertama yang menjadi dilema ada;ah masalah upeti, jika tidak ada
uang/barang/hewan maka suku tidak akan didapatkan. Kedua, jika ada
uang/barang/hewan, tetapi tidak ada suku yang mau menerima, maka suku juga tidak
akan didapatkan oleh anak yang tidak bersuku. Ketiga, adanya adat suatu daerah yang
beranggapan bahwa perkawinan dengan perempuan non-Minangkabau tidaklah
membawa keberuntungan atau tidak memperbesar jumlah kaum kerabat bahkan
malah akan mengurangi tanggung jawab si lelaki Minangkabau terhadap kaumnya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Amir, M.S. 1997. Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minangkabau.
Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya
___________. 2005. “Pemekaran Suku Minangkabau”. Internet. www.cimbuak.com.
Batuah. A. Dt. 1965. Tambo Alam Minangkabau Payakumbuh: PT Limbago.
Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Metode Linguistik Ancangan Metode Penelitian dan
Kajian. Bandung : Eresco.
Koentjoroningrat. 1979. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Masinambow, E.K.M dan Hidayat, Rahayu. 2002. Semiotik: Kumpulan Makalah
Seminar. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga
Penelitian Universitas Indonesia.
Medan, Tamsin 1980. Geografi Dialek Bahasa Minangkabau. Jakarta : Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Moleong, Lexy J. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda
Karya.
Navis, A.A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau.
Jakarta. Pustaka Grafiti.
Subroto, D. Edi. 1992. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural. Ed. 1.
Surakarta : Sebelas Maret University Press.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta : Duta
Wacana University Press.
Syafyahya, Leni dkk. 2000. Kata Sapaan Bahasa Minangkabau di Kabupaten Agam.
Jakarta : Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Toeah, Datoek. 1976. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi : CV Pustaka Indonesia.