d4 teknik sipil politeknik negeri bandung

68

Upload: others

Post on 23-Nov-2021

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 2: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-2

Sementara itu, ada hal yang lain yang harus di perhatikan kembali.

Sebagai upaya dari pencegahan kebakaran ialah mengetahui asal sumber

panas itu terjadi. Karena sumber panas mampu menimbulkan kebakaran,

berikut merupakan asal sumber panas yang perlu di diketahui seperti:

1. Sinar matahari, dapat menyebabkan kebakaran hutan.

2. Listrik, karena konsleting.

3. Panas yang berasal dari energi mekanik, karena gesekan benda-

benda sehingga dapat terjadi loncatan bunga api.

4. Panas yang berasal dari reaksi kimia, di gudang-gudang bahan

kimia.

Selain itu, sumber-sumber panas di atas mampu berpindah dengan

beberapa cara. Sehingga ada hal yang perlu diketahui menganai cara-cara

sumber panas berpindah diantaranya:

1. Radiasi yaitu perpindahan panas yang memancar ke segala arah

2. Konduksi yaitu perpindahan panas melalui benda perambatan panas

3. Konveksi yaitu perpindahan panas yang menyebabkan perbedaan

tekanan udara

4. Loncatan bunga api yaitu suatu reaksi antara energi panas dengan

udara (O2)

Bila telah terjadi kebakakaran ada beberapa upaya pemadaman yang

dapat dilakukan terhadap kebakaran. Upaya tersebut dilakukan agar sebuah

kebakaran mampu di atasi dengan cepat. Berikut upaya-upaya pemadaman

kebakaran diantaranya:

1. Penguraian yaitu memisahkan atau menjauhkan benda-benda

yang dapat terbakar.

2. Pendinginan yaitu penyemprotan air pada benda-benda yang

terbakar.

3. Isolasi atau sistem lokalisasi yaitu dengan cara menyemprotkan

bahan kimia CO2.

4. Blasting effect system yaitu dengan cara memberikan tekanan

yang tinggi misalkan dengan jalan meledakan bahan peledak

(contoh : elide fire ball).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 3: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-3

Berdasarkan Undang-undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan

Gedung yang mengatur tentang peryaratan administrasi dan teknis bangunan

gedung dan lingkungan. Pada pasal 16 dibahas mengenai Persyaratan

keandalan bangunan gedung sebagaimana yang meliputi persyaratan

keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan. Persyaratan

keselamatan bangunan gedung sebagaimana dimaksud meliputi persyaratan

kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban muatan, serta

kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan menanggulangi bahaya

kebakaran dan bahaya petir.

Segala upaya yang menyangkut ketentuan dan persyaratan teknis yang

diperlukan dalam mengatur dan mengendalikan penyelenggaraan

pembangunan bangunan gedung. Termasuk dalam rangka proses perizinan,

pelaksanaan, pemanfaatan/pemeliharaan bangunan gedung terhadap bahaya

kebakaran. Dalam upaya pencegahan/proteksi bahaya kebakaran, perlu di

lakukan segala usaha sehingga tidak akan terjadi penyalaan api yang tidak

dikehendaki dan tidak terkendali.

Menurut Anizar (2009:24-26), Kebakaran disebabkan oleh sumber-

sumber yang membuat adanya nyala api (terbakar), yaitu:

1. Instalasi dan peralatan listrik Hal ini karena perlengkapan listrik yang

digunakan tidak sesuai dengan prosedur yang benar dan standar yang

telah ditetapkan oleh LMK (Lembaga Masalah Kelistrikan) PLN,

rendahnya kualitas peralatan listrik dan kabel yang digunakan, serta

instalasi yang asal-asalan dan tidak sesuai peraturan.

2. Merokok

Secara tidak langsung perokok pun berpotensi mendatangkan potensi

kebakaran sebab bagi yang merokok selalu membawa korek sebagai

sumber api.

3. Bahan yang terlewat panas yang terjadi pada benda-benda yang saat

dipanaskan tidak terpantau dengan baik.

4. Nyala dari alat pembakar Seperti pada alat pemanas listrik (oven dan

pembakar portable)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 4: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-4

2.1.1 Jenis-Jenis Bahaya Kebakaran

Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.26/PRT/M/2008 tentang

persyaratan teknis sistem proteksi kebakaran pada bangunan gedung dan

lingkungan. Bahaya kebakaran dapat diklasifikasikan menjadi beberapa

kelompok, yaitu:

1. Bahaya kebakaran ringan

Bangunan yang mempunyai nilai kemudahan terbakar rendah dan

apabila terjadi kebakaran melepaskan panas rendah, dan kecepatan

menjalar api lambat.

2. Bahaya kebakaran sedang

Bahaya kebakaran pada tingkat sedang ini dikelompokan kembali

menjadi 3 kelompok, yaitu:

1. Bahaya Kebakaran Sedang Kelompok I

Bangunan yang mempunyai nilai kemudahan terbakar rendah,

penimbunan bahan yang mudah terbakar sedang dengan tinggi

tidak lebih dari 2,5 m dan apabila terjadi kebakaran melepaskan

panas sedang, kecepatan penjalaran sedang. Contoh: bangunan

yang fungsinya bukan bangunan industri, dan memiliki ruangan

terbesar tidak melebihi 125m².

2. Bahaya Kebakaran Sedang Kelompok II

Bangunan yang mempunyai nilai kemudahan terbakar sedang,

penimbunan bahan yang mudah terbakar dengan tinggi tidak lebih

dari 4,00 m dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas

sedang, kecepatan penjalaran sedang. Contoh: bangunan

komersial dan industri yang berisi bahan yang dapat terbakar.

3. Bahaya Kebakaran Sedang Kelompok III

Bangunan yang mempunyai nilai kemudahan terbakar tinggi dan

apabila terjadi kebakaran, melepaskan panas yang tinggi, sehingga

menjalarnya api cepat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 5: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-5

3. Bahaya kebakaran berat

Bangunan yang mempunyai nilai kemudahan terbakar tinggi dan

apabila terjadi kebakaran, melepaskan panas yang tinggi, sehingga

menjalarnya api cepat. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah

bangunan komersil dan bangunan industri yang berisi bahan-bahan

yang mudah terbakar, seperti karet rusak, cat, spirtus dan bahan bakar

lainnya.

Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 tentang �Bangunan

Gedung� pasal 16 dan pasal 17 yang mengatur tentang persyaratan

administratif dan teknis bangunan gedung di Indonesia. Pencegahan bahaya

kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan adalah segala upaya yang

menyangkut ketentuan dan persyaratan teknis yang diperlukan dalam

mengatur dan mengendalikan penyelenggaraan pembangunan bangunan

gedung. Termasuk dalam rangka proses perizinan, pelaksanaan dan

pemanfaatan/pemeliharaan bangunan gedung, serta pemeriksaan kelayakan

dan keandalan bangunan gedung terhadap bahaya kebakaran. Adapun pasal

16 dan 17 tersebut mebahas tentang hal-hal sebagai berikut:

Pasal 16 pada bagian keempat, paragraf 1 membahas Persyaratan Keandalan

Bangunan Gedung secara umum yakni.

(1) Persyaratan keandalan bangunan gedung sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 7 ayat (3), meliputi persyaratan keselamatan,

kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan.

(2) Persyaratan keandalan bangunan gedung sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) ditetapkan berdasarkan fungsi bangunan gedung.

Pasal 17 mebahas tentang Persyaratan Keselamatan, yakni.

(1) Persyaratan keselamatan bangunan gedung sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 16 ayat (1) meliputi persyaratan kemampuan

bangunan gedung untuk mendukung beban muatan, serta

kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan

menanggulangi bahaya kebakaran dan bahaya petir.

(2) Persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk mendukung

beban muatannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 6: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-6

merupakan kemampuan struktur bangunan gedung yang stabil dan

kukuh dalam mendukung beban muatan.

(3) Persyaratan kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan

menanggulangi bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) merupakan kemampuan bangunan gedung untuk

melakukan pengamanan terhadap bahaya kebakaran melalui

sistem proteksi pasif dan/atau proteksi aktif.

(4) Persyaratan kemampuan bangunan gedung dalam mencegah

bahaya petir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan

kemampuan bangunan gedung untuk melakukan pengamanan

terhadap bahaya petir melalui sistem penangkal petir.

Kepmen PU No. 11/KPTS/2000 Tentang Ketentuan Teknis

Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan, angka

klasifikasi resiko bahaya kebakaran dapat dikategorikan kedalam

angka 3 sampai 7 yaitu:

1. Angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 3.

Angka klasifikasi ini harus mempertimbangkan resiko bahaya

kebakaran yang paling rawan, dimana jumlah dari isi bahan

mudah terbakarnya sangat tinggi. Kebakaran dalam tingkat

klasifikasi ini dapat diperkirakan berkembang sangat cepat dan

mempunyai nilai pelepasan panas yang tinggi. Bangunan

yang berdekatan dengan bangunan yang mempunyai angka

klasifikasi resiko bahaya kebakaran 3, harus dianggap sebagai

bagian dari klasifikasi tersebut jika jaraknya 15 m atau

kurang.

2. Angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 4.

Angka klasifikasi ini harus dipertimbangkan sebagai resiko

bahaya kebakaran tinggi, dimana kuantitas dan kandungan

bahan mudah terbakarnya tinggi. Kebakaran dalam tingkat

klasifikasi ini dapat diperkirakan berkembang cepat dan

mempunyai nilai pelepasan panas yang tinggi. Bangunan yang

berdekatan dengan bangunan yang mempunyai angka

Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 4, harus dianggap

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 7: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-7

sebagai bagian dari klasifikasi tersebut jika jaraknya 15 m

atau kurang.

3. Angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 5.

Angka klasifikasi ini harus dipertimbangkan sebagai

hunian bahaya sedang, dimana kuantitas dan kandungan

bahan mudah terbakarnya sedang dan tinggi tumpukan

bahan mudah terbakarnya tidak melebihi dari 3,7 m.

Kebakaran dalam tingkat klasifikasi ini dapat

diperkirakan berkembang sedang dan mempunyai nilai

pelepasan panas yang sedang.

4. Angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 6.

Angka klasifikasi ini harus dipertimbangkan sebagai

resiko bahaya rendah, dimana kuantitas dan kandungan

bahan mudah terbakarnya sedang dan tinggi tumpukan

bahan mudah terbakarnya tidak lebih dari 2,5 m.

Kebakaran dalam tingkat klasifikasi ini dapat

diperkirakan berkembang sedang dan mempunyai nilai

pelepasan panas sedang.

5. Angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 7.

Angka dalam klasifikasi ini harus dipertimbangkan

sebagai resiko bahaya rendah, dimana kuantitas dan

kandungan bahan mudah terbakarnya rendah.

Kebakaran dalam tingkat klasifikasi ini dapat

diperkirakan berkembang rendah dan mempunyai nilai

pelepasan panas relatif rendah.

Adapun peraturan tentang Ketentuan Teknis Manajemen

Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan mengacu pada Kepmeneg PU

No.11/KPTS/2000 yang berisikan tentang penanggulangan pada setiap

bangunan gedung berdasarkan klasifikasi bahaya dari peruntukan bangunan,

menurut objek yang diambil dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel

II.1.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 8: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-8

Tabel II.1 Bangunan Dengan Angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran

Sumber: Kepmeneg PU No.11/KPTS/2000

Angka dalam klasifikasi ini harus dipertimbangkan sebagai resiko

bahaya rendah dikarenakan bahan penyusun material resiko bahaya 7

merupakan bangunan berbahan dasar beton dan material lainnya yang tidak

memungkinkan untuk menjalarkan api secara cepat dengan kata lain, bahan

material ini memiliki kemampuan, kuantitas dan daya bakar yang rendah

atau tidak mudah terbakar. Kebakaran dalam tingkat klasifikasi ini dapat

diperkirakan berkembang rendah dan mempunyai nilai pelepasan panas

relatif rendah.

Berdasarkan SNI 03-3985-2000 tentang tata cara perencanaan dan

pemasangan sistem deteksi dan alarm kebakaran untuk pencegahan bahaya

kebakaran adalah suatu fenomena yang terjadi ketika suatu bahan mencapai

temperatur kritis dan bereaksi secara kimia dengan oksigen (sebagai contoh)

yang menghasilkan panas, nyala api, cahaya, asap, uap air, karbon

monoksida, karbon dioksida, atau produk dan efek lainnya. Kebakaran juga

dapat diartikan sebagai suatu peristiwa berkobarnya api yang tidak

dikehendaki dan berpotensi membawa kerugian baik material, korban jiwa

dan sebagainya. Kebakaran merupakan ancaman yang sangat berbahaya

bagi sebuah gedung sehingga diperlukan upaya pencegahan dan

penanggulangan pada bahaya kebakaran.

Menurut SNI 03-3989-2000 tentang tata cara perencanaan dan

pemasangan sistem deteksi dan alarm kebakaran untuk pencegahan bahaya,

terdapat beberapa bangunan yang termasuk ke dalam hunian bahaya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 9: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-9

kebakaran ringan. Adapun bangunan tersebut diantaranya:

- ibadat - perkantoran - klub - perumahan - pendidikan - restoran ( ruang makan ).

- perhotelan - lembaga - rumah sakit - perpustakaan - penjara. - museum.

2.2 Bangunan

Menurut Undang Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan

Gedung, dijelaskan bahwa setiap bangunan gedung memiliki fungsinya

yang berbeda-beda. Hal ini dirumuskan dalam Bab III Pasal 5 yang

mengidentifikasikan fungsi bangunan gedung seperti pada Tabel II.2

Tabel II.2 Fungsi Bangunan Gedung

FUNGSI BANGUNAN GEDUNG

MELIPUTI :

Fungsi Hunian Bangunan untuk rumah tinggal tunggal, rumah tinggal deret, rumah susun, dan rumah tinggal sementara

Fungsi Keagamaan Masjid, gereja, pura, wihara, dan kelenteng

Fungsi Usaha

Bangunan gedung untuk perkantoran, perdagangan, perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal, dan penyimpanan

Fungsi Sosial dan Budaya Bangunan gedung untuk pendidikan, kebudayaan, pelayanan kesehatan, laboratorium, dan pelayanan umum

Fungsi Khusus

Bangunan gedung untuk reaktor nuklir, instalasi pertahanan dan keamanan, dan bangunan sejenis yang diputuskan oleh menteri

Sumber: UU No. 28 Tahun 2002

Suatu bangunan gedung dapat memiliki lebih dari satu fungsi atau

kombinasi fungsi dalam bangunan gedung, misalnya kombinasi fungsi

hunian dan fungsi usaha, seperti bangunan gedung rumah-toko (ruko),

rumah-kantor (rukan), apartemen-mal, dan hotel-mal, atau kombinasi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 10: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-10

fungsi-fungsi usaha, seperti bangunan gedung kantor, toko, dan hotel atau

mal.

Agar pemenuhan persyaratan teknis setiap fungsi bangunan gedung

lebih efektif dan efisien, fungsi bangunan gedung tersebut diklasifikasikan

berdasarkan tingkat kompleksitas, tingkat permanensi, tingkat resiko

kebakaran, zonasi gempa, lokasi, ketinggian, dan kepemilikan.

Pengklasifikasian bangunan gedung ini diatur dalam Pasal 5 Peraturan

Pemerintah No 36 Tahun 2005 tentang Bangunan Gedung seperti yang

terlampir pada Tabel II.3 berikut:

Tabel II.3 Klasifikasi Bangunan Gedung

KLASIFIKASI BANGUNAN GEDUNG

Tingkat Kompleksitas

Sederhana karakter, kompleksitas dan teknologi sederhana

Tidak Sederhana karakter, kompleksitas dan teknologi tidak sederhana

Khusus penggunaan dan persyaratan khusus

Tingkat Permanensi Permanen umur layanan di atas 20 tahun Semi Permanen umur layanan 5 s/d 10 tahun Darurat / Sementara umur layanan s/d 5 tahun

Tingkat Resiko Kebakaran

Resiko kebakaran tinggi mudah terbakarnya tinggi Resiko kebakaran sedang mudah terbakarnya sedang Resiko kebakaran rendah mudah terbakarnya rendah

Zonasi Gempa

Zona 1 daerah sangat aktif Zona 2 daerah aktif Zona 3 daerah lipatan dengan retakan Zona 4 daerah lipatan tanpa retakan Zona 5 daerah gempa kecil Zona 6 daerah stabil

Lokasi Lokasi Padat di pusat kota Lokasi Sedang di daerah pemukiman Lokasi Renggang di daerah pinggiran kota

Ketinggian Bertingkat Tinggi lebih dari 8 lantai Bertingkat Sedang 5 s/d 8 lantai Bertingkat Rendah s/d 4 lantai

Kepemilikan Milik Negara Milik Badan Usaha Milik Perorangan

Sumber: PP No. 36 Tahun 2005

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 11: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-11

Fungsi dan Klasifikasi bangunan gedung harus sesuai

dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah

(RTRW) Kabupaten/Kota, Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan

(RDTRKP), dan/atau Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).

Fungsi dan Klasifikasi bangunan gedung diusulkan oleh pemilik bangunan

dalam pengajuan permohonan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB).

Hotel merupakan suatu bentuk akomodasi yang dikelola secara

komersil, disediakan bagi setiap orang untuk memperoleh pelayanan

menginap, makan, minum dan juga mengadakan acara atau event-event

tertentu demi keuntungan bersama antara perusahaan dengan konsumen.

Hotel diharapkan menciptakan stimulus yang baik, dimana stimulus ini

berkaitan erat dengan upaya proses mendesain suatu jasa yang dapat

dipercaya, sehingga mampu mendorong komitmen dan loyalitas pelanggan,

hal ini telah diyakini oleh Morgant dan Hunt pada tahun 2004 (Primalita,

2009:72).

Dalam SNI 03-1735-���� ������� �Tata Cara Perencanaan Akses

Bangunan Dan Akses Lingkungan Untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran

�� � !�"#$"�" %& $"#', kelas bangunan adalah pembagian bangunan

sesuai dengan jenis peruntukan atau penggunaan bangunan. Berdasarkan

SNI 03-1736-2000 tentang sistem proteksi kebakaran pasif, ada 3 tipe

konstruksi tahan api, yaitu:

Tipe A:

Konstruksi yang unsur struktur pembentuknya tahan api dan mampu

menahan secara struktural terhadap beban bangunan. Pada konstruksi

ini terdapat komponen pemisah pembentuk kompartemen untuk

mencegah penjalaran api ke dan dari ruangan bersebelahan dan dinding

yang mampu mencegah penjalaran panas pada dinding bangunan yang

bersebelahan.

Tipe B:

Konstruksi yang elemen struktur pembentuk kompartemen penahan api

mampu mencegah penjalaran kebakaran ke ruang-ruang bersebelahan di

dalam bangunan dan dinding luar mampu mencegah penjalaran

kebakaran dari luar bangunan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 12: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-12

Tipe C:

Konstruksi yang komponen struktur bangunannya adalah dari bahan

yang dapat terbakar serta tidak dimaksudkan untuk mampu menahan

secara struktural terhadap kebakaran.

Berdasarkan SNI 03-1735-���� ������� �Tata Cara Perencanaan Akses

Bangunan Dan Akses Lingkungan Untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran

Pad� �� !" � #$%" !&, kelas bangunan adalah pembagian bangunan

sesuai dengan jenis peruntukan atau penggunaan bangunan sebagai berikut:

1. Kelas 1: Bangunan Hunian Biasa adalah satu atau lebih bangunan yang

merupakan:

o Kelas 1a: bangunan hunian tunggal yang berupa satu rumah

tunggal atau satu atau lebih bangunan hunian gandeng, yang

masing-masing bangunannya dipisahkan dengan suatu dinding

tahan api, termasuk rumah deret, rumah taman, unit town house,

villa, atau

o Kelas 1b: rumah asrama/kost, rumah tamu, hotel, atau sejenis-nya

dengan luas total lantai kurang dari 300 m² dan tidak ditinggali

lebih dari 12 orang secara tetap, dan tidak terletak di atas atau di

bawah bangunan hunian lain atau bangunan kelas lain selain

tempat garasi pribadi.

2. Kelas 2: Bangunan hunian yang terdiri atas 2 atau lebih unit hunian yang

masing-masing merupakan tempat tinggal terpisah.

3. Kelas 3: Bangunan hunian di luar bangunan kelas 1 atau 2, yang umum

digunakan sebagai tempat tinggal lama atau sementara oleh sejumlah

orang yang tidak berhubungan, termasuk:

a. Rumah asrama, rumah tamu, losmen; atau

b. Bagian untuk tempat tinggal dari suatu hotel atau motel; atau apartment.

c. Bagian untuk tempat tinggal dari suatu sekolah; atau

d. Panti untuk orang berumur, cacat, atau anak-anak; atau

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 13: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-13

e. Bagian untuk tempat tinggal dari suatu bangunan perawatan kesehatan yang menampung karyawan-karyawannya.

4. Kelas 4: Bangunan Hunian Campuran Adalah tempat tinggal yang

berada di dalam suatu bangunan kelas 5; 6; 7; 8; atau 9 dan merupakan

tempat tinggal yang ada dalam bangunan tersebut.

5. Kelas 5: Bangunan kantor Adalah bangunan gedung yang dipergunakan

untuk tujuan-tujuan usaha profesional, pengurusan administrasi, atau

usaha komersial, di luar bangunan kelas 6; 7; 8; atau 9.

6. Kelas 6: Bangunan Perdagangan Adalah bangunan toko atau bangunan

lain yang dipergunakan untuk tempat penjualan barang-barang secara

eceran atau pelayanan kebutuhan langsung kepada masyarakat,

termasuk:

a. Ruang makan, kafe, restoran; atau

b. Ruang makan malam, bar, took atau kios sebagai bagian dari suatu

hotel atau motel atau

c. Tempat potong rambut/salon, tempat cuci umum atau

d. Pasar, ruang penjualan, ruang pamer, atau bengkel.

7. Kelas 7: Bangunan Penyimpanan/Gudang Adalah bangunan gedung yang

dipergunakan penyimpanan, termasuk:

a. Tempat parkir umum; atau

b. Gudang, atau tempat pamer barang-barang produksi untuk dijual

atau cuci gudang.

8. Kelas 8: Bangunan Laboratorium/Industri/Pabrik Adalah bangunan

gedung laboratorium dan bangunan yang dipergunakan untuk tempat

pemrosesan suatu produksi, perakitan, perubahan, perbaikan,

pengepakan, finishing, atau pembersihan barang-barang produksi dalam

rangka perdagangan atau penjualan.

9. Kelas 9: Bangunan Umum Adalah bangunan gedung yang dipergunakan

untuk melayani kebutuhan masyarakat umum, yaitu:

a. Kelas 9a: bangunan perawatan kesehatan, termasuk bagian-bagian

dari bangunan tersebut yang berupa laboratorium.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 14: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-14

b. Kelas 9b: bangunan pertemuan, termasuk bengkel kerja,

laboratorium atau sejenisnya di sekolah dasar atau sekolah

lanjutan, hall, bangunan peribadatan, bangunan budaya atau

sejenis, tetapi tidak termasuk setiap bagian dari bangunan yang

merupakan kelas lain.

10. Kelas 10: Adalah bangunan atau struktur yang bukan hunian.

a. Kelas 10a: bangunan bukan hunian yang merupakan garasi

pribadi, carport, atau sejenisnya.

b. Kelas 10b: struktur yang berupa pagar, tonggak, antena, dinding

penyangga atau dinding yang berdiri bebas, kolam renang, atau

sejenisnya.

Jumlah lantai dan tipe konstruksi yang dipersyaratkan pada bangunan

dapat dilihat pada Tabel II.4. Bangunan-bangunan yang tidak

diklasifikasikan khusus Bangunan atau bagian dari bangunan yang tidak

termasuk dalam klasifikasi bangunan 1 s.d. 10 tersebut, dalam Pedoman

Teknis ini dimaksudkan dengan klasifikasi yang mendekati sesuai

peruntukannya. Bagian bangunan yang penggunaannya insidentil dan

sepanjang tidak mengakibatkan gangguan pada bagian bangunan lainnya,

dianggap memiliki klasifikasi yang sama dengan bangunan utamanya.

Bangunan dengan klasifikasi jamak adalah bila beberapa bagian dari

bangunan harus diklasifikasikan secara terpisah, dan:

1) Bila bagian bangunan yang memiliki fungsi berbeda tidak melebihi 10 %

dari luas lantai dari suatu tingkat bangunan, dan bukan laboratorium,

klasifikasinya disamakan dengan klasifikasi bangunan utamanya;

2) Kelas-kelas 1a, 1b, 9a, 9b, 10a dan 10b adalah klasifikasi yang terpisah;

3) Ruang-ruang pengolah, ruang mesin, ruang mesin lif, ruang boiler atau

sejenisnya diklasifikasikan sama dengan bagian bangunan di mana ruang

tersebut terletak.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 15: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 16: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-16

b. Komponen Arsitektur.

Komponen arsitektural adalah komponen suatu bangunan yang

mendukung dari segi fungsi penggunaan, kenyamanan, dan estetika

bangunan. Berdasarkan diktat PU Tentang Tata Cara Evaluasi untuk

Pemeliharaan Komponen Rumah Susun menyebutkan bahwa

arsitekktur adalah mutu hasil perencanaan dan pengerjaan dari suatu

bangunan yang meliputi aspek-aspek:

- Estetika bangunan dan penyelesaian (finishing);

- Bentuk dan dimensi serta kesesuaian organisasi ruang, sirkulasi

dalam bangunan, hubungan natar ruang, kondisi eksterior dan

interior gedung yang dapat menjamin fungsi gedung, kenyamanan

dan kesehatan gedung sesuai dengan rencana yang diinginkan.

c. Komponen Mekanikal Elektrikal.

Maksud dan fungsi utama dari suatu gedung menjadi landasan dasar

dalam menentukan penentuan sistem ME dalam suatu bangunan/

gedung. Gedung rumah sakit misalnya akan mempunyai sistem yang

khusus yang digunakan di gedung tersebut yang tidak digunakan di

gedung lain, demikian juga dengan gedung pemerintahan, bandara atau

mall dan jenis gedung lainnya. Oleh sebab itu, pemeliharaan dan

perawatan pada komponen ME sangat penting dilakukan untuk

menunjang fungsi bangunannya.

d. Komponen Plumbing.

Plambing adalah teknologi perpipaan (instalasi pipa), dan peralatan

untuk menyediakan air bersih ketempat yang dituju, dengan baik

berdasarkan kuantitas, kualitas dan kontinyuitas harus memenuhi

persyaratan, serta untuk menyalurkan/membuang air bekas (kotoran)

dari tempat-tempat tertentu dengan media penyaluran (saluran/pipa)

dengan aman, tanpa mencemari tempat lainnya (John M. Chols dan

Hasan Shadely dalam modul Plumbing). Sistem plumbing merupakan

bagian komponen bangunan yang mudah terjadi kerusakan jika

komponen-komponennya tidak dijaga atau dirawat dengan baik.

Lingkup pemeliharaan untuk komponen plumbing pada suatu bangunan

yaitu memelihara dan melakukan pemeriksaan berkala sistem distribusi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 17: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-17

air yang meliputi penyediaan air bersih, sistem instalasi air kotor,

sistem hidran, sprinkler dan septik tank serta unit pengolah limbah.

Pada saat terjadi kebakaran, material dari komponen tersebut sangat

besar pengaruhnya terhadap resiko penjalaran api yang dapat membuat api

semakin besar. Berdasarkan kemudahan terbakarnya, material dibagi

kedalam beberpa kelompok ketahanan struktur dan konstruksi,

pengelompokkan dalam tingkat kemudahan material tersebut terbakar (

combustibility ) seperti Tabel II.5.

Tabel II.5. Pengelompokan Material Terhadap Sifat Kemudahan Terbakarnya

No Tingkat kemudahan Terbakar Sifat Material

1 Non Combustible Tidak Mudah Menyala, Berpijar atau

hangus karena api atau temperatur tinggi.

2 Low Combustible

Mudah menyala atau berpijar segera

setelah api atau temperatur tinggi

bereaksi, tetapi tidak lagi menyala atau

berpijar setelah sumber api atau panas

dimatikan.

3 Combustible

Cepat menyala dan terbakar setelah

bersinggungan dengan api atau temperatur

tinggi.

Sumber: Jurnal Sri Umiati, Ketahanan Material Baja Sebagai Struktur Bangunan Terhadap Kebakaran

Bahan material yang sering digunakan dalam pembangunan bangunan

hunian ataupun perkantoran termasuk kedalam tiga kategori tersebut.

Menurut Sri Umiati (2008) dalam jurnalnya menyebutkan bahwa material

tersebut diantaranya:

1. Baja.

Baja dikatagorikan sebagai bahan yang non combustible yaitu tidak

mudah menyala atau terbakar bila bersentuhan dengan api. Tetapi

termasuk bahan penghantar panas yang baik sehingga sewaktu terjadi

kebakaran cepat menyebarkan panas. Suhu kritis baja tanpa dibebani

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 18: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-18

sekitar 13330 F atau 7230 C Yaitu temperatur awal terjadi perubahn

dari bentuk padat ke larutan padat.

2. Alumunium.

Aluminium mempunyai kekuatan tarik kira kira 100 N/ mm² rendah

dibanding baja konstruksi, sehingga untuk kontruksi bangunan yang

harus memikul beban berat tidak digunakan. Aluminium merupakan

logam yang ringan dengan massa jenis rendah sekitar 2,7 103 kg/m3 ,

aluminium tahan korosi. Suhu kritis 30000 C, lebih rendah dari baja

Ketahanan terhadap api tidak banyak menunjang. Dijilat api selama 20

menit aluminium sudah rusak Aluminiumpun merupakan penghantar

kalor yang baik, sehingga dalam keadaan panas mendorong

meyebarkan kalor.

3. Beton.

Beton adalah campuran dari pada: semen , agregat kasar dan halus, air

dengan komposisi tertentu. Beton banyak dipakai sebagai bahan

struktur pemikul beban karena sifat kekuatan tekannya yang tinggi.

Namun beton tidak kuat menahan tarik sehingga untuk konstruksi

diperkuat dengan tulangan baja. Dalam suhu tinggi beton akan

kehilangan banyak kekuatannya dan bila sudah mendingin kembali

sisa kekuatannya lebih rendah. Sehingga beton yang telah mengalami

kebakaran perlu mendapatkan penambahan kekuatan. Beton tidak

termasuk bahan menghantar panas. Suhu kritis beton sekitar 40000 C.

Kekuatan beton ditentukan oleh kekuatan tulangannya.

4. Kayu.

Kayu sebagai bahan organik yang mudah terbakar, tetapi dengan

pengecatan kekuatannya sedikit meningkat tidak mudah langsung

terjilat api. Namun bila sudah terbakar kayu berubah jadi arang.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 19: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-19

2.2.2 Pemilihan Material Sistem Proteksi Kebakaran Pasif

Berdasar pada KEMENPU 02/KTPS/1985 yang dimaksud dengan

Bahan Bangunan dalam ketentuan ini adalah semua macam bahan yang

dipakai pada atau untuk konstruksi bangunan gedung, baik sebagai bahan

lapis penutup bagian dalam bangunan, maupun sebagai bahan komponen

struktur bangunan.

Maka dari itu, setiap bangunan harus dilengkapi dengan sarana

evakuasi yang dapat digunakan oleh penghuni bangunan, sehingga memiliki

waktu yang cukup untuk menyelamatkan diri dengan aman tanpa terhambat

hal-hal yang diakibatkan oleh keadaan darurat, salah satunya berupa sistem

proteksi pasif (SPP).

Sistem Proteksi Pasif (SPP) adalah sistem perlindungan bangunan

terhadap kebakaran melalui pertimbangan sifat termal bahan bangunan,

serta persyaratan ketahanan api struktur bangunan. Termasuk pula dalam

sistem pasif ini hal-hal yang menyangkut pengaturan tapak bangunan (site

plan), persyaratan akses ke bangunan, perancangan arsitektur dan penataan

ruang bangunan dan sistem pengendalian asap. Namun pada beberapa

ketentuan, persyaratan mengenai akses ke bangunan dan sistem

pengendalian asap diatur tersendiri.

Selanjutnya dalam bahasan ini Sistem Proteksi Pasif ditekankan pada

pertimbangan sifat bahan terhadap api (material fire properties), persyaratan

sruktur tahan api,

Kompartemenisasi dan perlindungan bukaan sebagai unsur pembentuk

pembatas api (fire barrier), serta sistem pembatas asap untuk pencegahan

aliran asap masuk ruangan hunian (smoke barrier). Mengacu pada

KEPMENEG PU No 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Pengamanan

Terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan,

maka Sistem Proteksi Pasif ditekankan kepada aspek bahan bangunan dan

konstruksi yang meliputi persyaratan diantaranya ketahanan api dan

stabilitas, kompartemenisasi dan pemisahan, dan perlindungan pada bukaan

dalam Kepmen ini, pengaturan mengenai tapak bangunan termasuk akses

pemadam kebakaran ke lingkungan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 20: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-20

Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum (Kepmen

��� ������ �� !�"# $��� %&'%(') *Standar Pencegahan Kebakaran Pada

+,-./-,- 0,- 12-.3/-.,-4, sistem proteksi kebakaran pasif adalah sistem

perlindungan bangunan terhadap kebakaran melalui sifat termal bahan

bangunan, penerapan sistem kompartemen dalam bangunan, serta

persyaratan ketahanan api dalam struktur bangunan.

Sistem proteksi pasif dalam bangunan mempunyai tujuan untuk

melindungi bangunan dari keruntuhan serentak, memberi waktu untuk

menyelamatkan diri, menjamin keberlangsungan fungsi gedung dan

melindungi keselamatan petugas pemadam kebakaran. Sistem proteksi pasif

ditekankan pada aspek bahan bangunan, konstruksi bangunan dan bentuk

penataan ruang serta bukaan. Ada tiga hal yang berkaitan dengan ketahanan

bahan bangunan terhadap api yang harus dipenuhi sebagai bahan konstruksi

yaitu:

a. Ketahanan memikul beban (kelayakan struktur) yaitu kemampuan

untuk memelihara stabilitas dan kelayakan kapasitas beban sesuai

dengan standar yang dibutuhkan.

b. Ketahanan terhadap penjalaran api (integritas) yaitu kemampuan

untuk menahan penjalaran api dan udara panas sebagaimana

ditentukan oleh standar.

c. Ketahanan terhadap penjalaran panas yaitu kemampuan untuk

memelihara temperatur pada permukaan yang tidak terkena panas

5(')67') 8(�9 %7'):7 :&;(:(�(' <(8( %&�<&�(%7� 89 ;(=(> �?��@A

sesuai dengan standar uji ketahanan api.

Bahan bangunan dapat terdiri dari satu jenis bahan, atau merupakan

gabungan dari beberapa jenis bahan pembentuknya. Bahan-bahan yang lepas

dan mudah dipindahkan, seperti misalnya karpet, tirai, perabot rumah tangga

dan sebagainya yang merupakan isi bangunan, tidak termasuk dalam

pengertian ini. Bahan bangunan dibagi dalam 5 (lima) tingkat mutu, yaitu:

- Tingkat I

Bahan mutu Tingkat I (non-combustible) adalah bahan yang memenuhi

persyaratan pengujian sifat bakar (non-combustibility test) serta

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 21: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-21

memenuhi pula pengujian sifat penjalaran api pada permukaan (surface

test).

-Tingkat II

Bahan mutu Tingkat II (semi non-combustible) adalah bahan yang

sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan pada pengujian penjalaran

api permukaan untuk tingkat bahan, sukar terbakar, serta memenuhi

pengujian permukaan tambahan.

- Tingkat III

Bahan mutu Tingkat III (fire-retardant) adalah bahan yang sekurang-

kurangnya memenuhi persyaratan pada pengujian penjalaran api

permukaan, untuk tingkat bahan yang bersifat menghambat api.

- Tingkat IV

Bahan mutu Tingkat IV (semi fire retardant) adalah bahan yang

sekurang-kurangnya memenuhi syarat pada pengujian penjalaran api

permukaan untuk tingkat agak menghambat api.

- Tingkat V

Bahan mutu Tingkat V (combustible) adalah bahan yang tidak

memenuhi, baik persyaratan uji sifat bakar maupun persyaratan sifat

penjalaran api permukaan. (3) Bahan bangunan yang dimaksudkan

dalam pasal 5, ayat (1), seperti pada Tabel II.6

Bahan lapis penutup adalah bahan bangunan yang dipakai sebagai

lapisan penutup bagian dalam bangunan (interior finishing materials).

Bahan komponen struktur bangunan adalah bahan bangunan yang

dipakai sebagai bahan pembentuk komponen struktur bangunan, seperti

kolom, balok, dinding, lantai, atap dan sebagainya. Tingkat mutu

bangunan, seperti pada Tabel II.6

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 22: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-22

Tabel II.6 Tingkat Mutu Bahan Bangunan Terhadap Api.

Tingkat I Tingkat II Tingkat III Tingkat IV Tingkat V

- Beton - Bata - Batako - Asbes - Alumunium - Kaca - Besi - Baja - Adukan

semen - Ubin

Keramik - Ubin

Semen - Ubin

Marmer - Lembaran

Seng - Panel

Kalium Silikat

- Rock Wool - Genteng

Keramik - Wired

Glass - Lembaran

baja lapis seng.

- Papan wool kayu semen (exceisior boar)

- Papan semen pulp

- Serat kaca semen

- Plasterboard - Pelat baja

lapis pvc

- Kayu lapis yang dilindungi

- Papan yang mengandung lebih dari 5290 glass fiber

- Papan artikel yang dilindungi.

- Papan wool kayu

- Papan polyester bertulang

- Polyvinil dengan tulangan

- Setiap bambu

- Sirap kayu bukan lilin atau kayu jati

- Rumbia - Anyaman

bambu - Bahan atap

aspal berlapiskan mineral

- Kayu kamper

- Kayu meranti

- Kayu terentang

- Kayu lapis 14mm 17mm

- Soft board - Hard board - Papan

partikel

Sumber : KEMENPU 02/KTPS/1985

Adapun persyaratan bahan lapis penutup yang tertuang dalam pasal

6 diantaranya:

(1) Bahan bangunan yang cepat terbakar dan/atau yang mudah

menjalarkan api melalui permukaannya, tanpa perlindungan khusus,

tidak boleh dipakai pada tempat-tempat penyelamatan kebakaran,

maupun di bagian lainnya dalam bangunan di mana terdapat sumber api.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 23: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-23

(2) Sesuai dengan Klasifikasi Bangunan yang ditentukan dalam

Bab II Pasal 3, bahan lapis penutup harus memenuhi syarat minimum

yang disebutkan dalam Tabel II.7.

Tabel II.7 Tabel Mutu Bahan Lapis Penutup

Kelas Bangunan (Ketahanan

terhadap api)

Bahan Lapis Penutup Untuk

Ruang Efektif, kamar, dsb.

Ruang sirkulasi, koridor, dsb.

Tangga kebakaran, pintu kebakaran,

dsb. Kelas A (3jam) Bahan Mutu Tingkat 1

Kelas B (2jam) Bahan Mutu Tingkat II

Bahan Mutu Tingkat II

Bahan Mutu Tingkat I

Kelas C (1/2Jam) Bahan Mutu Tingkat II

Bahan Mutu Tingkat III

Bahan Mutu Tingkat II

Kelas D Diatur Sendiri Sumber : KEMENPU 02/KTPS/1985

Adapun Pasal 7 menerangkan tentang Persyaratan Bahan Untuk

Komponen Struktur Bangunan yakni:

(1) Berdasarkan klasifikasi bangunan yang disebutkan dalam Bab II, pasal

3, bahan bangunan yang dipakai untuk komponen struktur bangunan harus

memenuhi syarat minimum seperti pada Tabel II.7.

(3) Pengujian dan penilaian mutu bahan serta petunjuk teknis

pemakaiannya, baik untuk bahan lapis penutup maupun untuk komponen

struktur bangunan, harus mengikuti ketentuan yang dikeluarkan oleh

instansi yang berwenang.

Tabel II.8 Persyaratan Bahan Untuk Komponen Bangunan

Kelas Bangunan (Ketahanan

terhadap api)

Kolom dan Balok

Atap Dinding Luar dan

Bukaan Pada Dinding Luar

Lantai dan Tangga

Kelas A (3jam) Mutu

Tingkat I Mutu

Tingkat I Mutu Tingkat I

Mutu Tingkat I

Kelas B (2jam) Mutu

Tingkat I Mutu

Tingkat I Mutu Tingkat I

Mutu Tingkat II

Kelas C (1/2Jam)

Mutu Tingkat II

Mutu Tingkat II

Mutu Tingkat II Mutu

Tingkat II Kelas D Diatur Sendiri

Sumber : KEMENPU 02/KTPS/1985

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 24: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-24

2.2.3 Keandalan Bangunan

Menurut UU No 28 tahun 2002 keandalan bangunan adaah keadaan

bangunan yang memenuhi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan

kemudahan bangunan gedung sesuai dengan kebutuhan fungsi yang ditetapkan.

Bentuk penilaiaan keandalan suatu komponen bangunan yaitu

menggunakan proses interpretasi yang mengacu pada PD-T-11-2005-C tentang

Pemeriksaan Keselamatan Kebakaran Bangunan Gedung. Nilai tersebut dapat

������ �� ����� ���� �� ����! "���# $ %��� & '%() *#�#+ & '*( �� ,#-� � & ',(

(Evaluasi nilai B adalah 100, C adalah 80 dan K adalah 60).

a. > 80 . 100 (Baik) yaitu sesuai persyaratan.

b. 60 . 80 (Cukup) yaitu terpasang tetapi ada sebagian kecil yang tidak

sesuai persyaratan.

c. < 60 (Kurang) yaitu tidak sesuai sama sekali.

Untuk rumus penilaian keandalan dapat dilakukan dengan cara seperti

dibawah ini :

Nilai Keandalan = /01234 567893:;< 39:032=567893:;< >? :8739 @A@038

/01234 567893:;< 39:032B CDDE

2.2.4 Tingkat Ketahanan Api Bangunan

Pada SNI 03 . 1736 . 2000 disebutkan bahwa bahaya yang diakibatkan oleh

adanya ancaman potensial dan derajat terkena pancaran api sejak dari awal terjadi

kebakaran hingga penjalaran api, asap dan gas yang ditimbulkan. Maka dari itu

sebuah bangunan harus lah memiliki Tingkat ketahanan Api (TKA) yang sangat

baik. Pemilihan material sangat penting dalam mencegah penjalaran api yang

sangat cepat dari satu ruangan ke ruangan lain. Setiap material penyusun

bangunan haruslah memiliki kriteria TKA yang sangat baik, kriteria tersebut

diantaranya:

1. Integritas. dikaitkan dengan TKA adalah kemampuan untuk menahan

penjalaran api dan udara panas sebagaimana ditentukan pada standar

2. Isolasi. yang dikaitkan dengan TKA adalah kemampuan untuk memelihara

temperatur pada permukaan yang tidak terkena panas langsung dari tungku

kebakaran pada temperatur di bawah 1400 C sesuai standar uji ketahanan

api.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 25: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-25

3. Kelayakan struktur. yang dikaitkan dengan TKA adalah kemampuan untuk

memelihara stabilitas dan kelayakan kapasitas beban sesuai dengan

atandar yang dibutuhkan.

2.2.4.1 Persyaratan dinding dan kolom.

1. Dinding luar, dinding biasa, dan bahan lantai serta rangka lantai untuk

sumuran lif ( lift pit ) harus dari bahan tidak dapat terbakar.

2. Tiap dinding dalam yang disyaratkan mempunyai TKA harus diteruskan

ke :

a. permukaan bagian bawah dari lantai di atasnya.

b. permukaan bagian bawah dari atap serta harus memenuhi Tabel II.9.

c. langit-langit yang tepat berada di bawah atap, memiliki ketahanan

terhadap penyebaran kebakaran ke ruang antara langit-langit dan atap

tidak kurang dari 60 menit ( 60/60/60 ).

d. bila menurut butir atap tidak disyaratkan memenuhi Tabel II.9, maka

permukaan bawah penutup atap yang terbuat dari bahan sukar terbakar

terkecuali penopang atap berdimensi 75 mm x 50 mm atau kurang,

tidak boleh digantikan dengan bahan kayu atau bahan mudah terbakar

lainnya.

3. Dinding pemikul beban seperti dinding dalam dan dinding pemisah tahan

api termasuk dinding-dinding yang merupakan bagian dari saf pemikul

beban harus dari bahan beton atau pasangan bata.

4. Bila suatu struktur yang tidak memikul beban yang berfungsi sebagai:

a. dinding dalam yang disyaratkan tahan api.

b. saf untuk lif, ventilasi, pembuangan sampah atau semacamnya yang

tidak digunakan untuk pembuangan atau pelepasan produk pembakaran.

maka harus dari konstruksi yang tidak mudah terbakar (non

combustible).

5. Tingkat ketahanan api sebagaimana tercantum pada Tabel II.9. untuk

kolom luar, berlaku pula untuk bagian dari kolom dalam yang

permukaannya.

6. Persyaratan kolom dan dinding internal. Bangunan dengan ketinggian

efektif tidak lebih dari 25 m dan atapnya tidak memenuhi Tabel II.9,

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 26: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-26

tetapi mengikuti persyaratan, maka pada lantai tepat di bawah atap, kolom-

kolom internal di luar serta dinding internal pemikul beban selain dinding-

dinding api boleh mempunyai:

(a). bangunan kelas 2 atau 3; TKA 60/60/60.

(b). bangunan kelas 5, 6, 7, 8 atau 9.

(1). bila jumlah lantai bangunan melebihi 3 lantai; TKA 60/60/60.

(2). bila jumlah lantai kurang dari 3 lantai; tidak perlu TKA.

Tabel II.9. Konstruksi Tipe A : TKA Elemen Bangunan.

Sumber: SNI 03 � 1736 � 2000 mengenai Tingkat Ketahanan Api

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 27: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-27

Tabel II.10. Konstruksi Tipe A : TKA Elemen Bangunan (Lanjutan)

Sumber: SNI 03 � 1736 � 2000 mengenai Tingkat Ketahanan Api

2.2.4.2 Persyaratan Lantai

Konstruksi lantai tidak perlu mengikuti Tabel II.10, apabila:

1. terletak langsung di atas tanah.

2. di bangunan kelas 2, 3, 5 atau 9 yang ruang di bawahnya bukanlah suatu

lapis bangunan, tidak digunakan untuk menampung kendaraan bermotor,

bukan suatu tempat penyimpanan atau gudang ataupun ruang kerja dan

tidak digunakan untuk tujuan khusus lainnya.

3. lantai panggung dari kayu di bangunan kelas 9 b yang terletak di atas

lantai yang mempunyai TKA dan ruang di bawah panggung tersebut tidak

digunakan untuk kamar ganti pakaian, tempat penyimpanan atau

semacamnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 28: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-28

4. lantai yang terletak didalam unit hunian tunggal di bangunan kelas 2, 3

atau bagian bangunan kelas 4.

5. lantai dengan akses terbuka (untuk menampung layanan kelistrikan dan

peralatan elektronik) yang terletak di atas lantai yang memiliki TKA.

6. persyaratan berkaitan dengan pembebanan lantai bangunan kelas 5 dan 9

b. Pada lantai bangunan kelas 5 dan 9 b yang dirancang untuk beban hidup

tidak melebihi 3 kPa, maka:

a. lantai di atasnya (termasuk balok lantai) dibolehkan memiliki TKA

90/90/90.

b. atap, bila terletak langsung di atas lantai tersebut (termasuk balok

atap) dibolehkan memiliki TKA 90/60/30.

2.2.4.3 Persyaratan atap

1. Penempatan atap di atas plat beton penutup tidak perlu memenuhi syarat.

mengenai konstruksi tahan api, apabila:

a. penutup dan bagian-bagian konstruksi yang terletak diantara penutup

tersebut dengan plat beton seluruhnya dari bahan tidak mudah terbakar.

b. plat atap beton memenuhi Tabel II.10.

2. Suatu konstruksi atap tidak perlu memenuhi tabel 5.4.1. bila penutup atap

terbuat dari bahan tidak mudah terbakar dan bila pada bangunan tersebut:

a. terpasang seluruhnya sistem springkler sesuai standar yang berlaku.

b. terdiri atas 3 (tiga) lantai atau kurang.

c. adalah bangunan kelas 2 atau 3.

d. memiliki ketinggian efektif tidak lebih dari 25 m dan langit-langit

yang langsung berada di bawah atap mempunyai ketahanan terhadap

penyebaran awal kebakaran ke ruang atap tidak kurang dari 60

menit.

3. Lubang cahaya atap. Apabila atap disyaratkan memenuhi TKA ataupun

penutup atap disyaratkan dari bahan tidak mudah terbakar, maka lubang

cahaya atap atau semacamnya yang dipasang di atas harus:

(a). mempunyai luas total tidak lebih dari 20% dari luas permukaan atap.

(b). berada tidak kurang dari 3 m terhadap:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 29: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-29

1. batas persil bangunan, dan tidak berlaku untuk batas dengan jalan

atau ruang publik.

2. tiap bagian bangunan yang menonjol di atas atap, kecuali:

a. bila bagian bangunan tersebut memenuhi TKA yang

disyaratkan untuk suatu dinding tahan api.

b. bila terdapat bukaan pada dinding tersebut, maka harus

berjarak vertikal 6 m di atas lubang cahaya atap, atau

semacamnya. harus dilindungi terhadap api.

3. setiap lubang cahaya atap atau semacamnya yang terletak pada

hunian tunggal yang bersebelahan, apabila dinding bersamanya

disyaratkan memenuhi TKA.

4. setiap lubang cahaya atap atau semacamnya pada bagian bangunan

berdekatan yang dipisahkan oleh dinding tahan api.

(c). Apabila suatu langit-langit yang memiliki ketahanan terhadap

penjalaran api awal, maka lubang cahaya atap harus dipasang

sedemikian rupa agar bisa mempertahankan tingkat proteksi yang

diberikan oleh langit-langit ke ruang atap.

2.2.5 Jalan Lingkungan

Berdasarkan Keputusan Mentri Pekerjaan Umum No.26 Tahun 2008.

Untuk melakukan proteksi terhadap meluasnya kebakaran dan

memudahkan operasi pemadaman, maka di dalam lingkungan bangunan

gedung harus tersedia jalan lingkungan dengan perkerasan agar dapat

dilalui oleh kendaraan pemadam kebakaran, dan juga sebagai sarana

penyelamatan. Menurut Keputusan Mentri Pekerjaan Umum No.26 Tahun

2008 Sarana penyelamatan adalah sarana yang dipersiapkan untuk

dipergunakan oleh penghuni maupun petugas pemadam kebakaran dalam

upaya penyelamatan jiwa manusia maupun harta benda bila terjadi

kebakaran pada suatu bangunan gedung dan lingkungan.

Lingkungan tersebut di atas harus direncanakan sedemikian rupa

sehingga tersedia sumber air berupa hidran halaman, sumur kebakaran

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 30: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-30

atau reservoir air dan sebagainya yang memudahkan instansi pemadam

kebakaran untuk menggunakannya, sehingga setiap rumah dan bangunan

gedung dapat dijangkau oleh pancaran air unit pemadam kebakaran dari

jalan di lingkungannya. Setiap lingkungan bangunan gedung harus

dilengkapi dengan sarana komunikasi umum yang dapat dipakai setiap

saat untuk memudahkan penyampaian informasi kebakaran. Akses

kendaraan pemadam kebakaran harus disediakan dan dipelihara sesuai

persyaratan teknis ini. Adapun persyaratan akses jalan lingkungan untuk

pemadam kebakarannya adalah sebagai berikut:

1. Jalan akses pemadam kebakaran yang telah disetujui harus

disediakan pada setiap fasilitas, bangunan gedung, atau bagian

bangunan gedung setelah selesai dibangun atau direlokasi.

2. Jalan akses pemadam kebakaran meliputi jalan kendaraan, jalan

untuk pemadam kebakaran, jalan ke tempat parkir, atau kombinasi

jalan-jalan tersebut.

3. Apabila jalan akses pemadam kebakaran tidak dapat dibangun

karena alasan lokasi, topografi, jalur air, ukuran-ukuran yang tidak

dapat dinegosiasi, atau kondisi-kondisi semacam itu, maka pihak

yang berwenang bisa mensyaratkan adanya fitur proteksi kebakaran

tambahan.

4. Jalur akses pemadam kebakaran lebih dari satu bisa disediakan

apabila ditentukan oleh OBS (Otoritas berwenang setempat) dengan

pertimbangan bahwa jalan akses tunggal kurang bisa diandalkan

karena kemacetan lalu lintas, kondisi ketinggian, kondisi iklim, dan

faktor-faktor lainnya yang bisa menghalangi akses tersebut.

Pada setiap akses jalan pemadam kebakaran dibutuhkan perkerasan

jalan yang memadai. Di setiap bagian dari bangunan gedung hunian di

mana ketinggian lantai hunian tertinggi diukur dari rata-rata tanah tidak

melebihi 10 meter, maka tidak dipersyaratkan adanya lapis perkerasan,

kecuali diperlukan area operasional dengan lebar 4 meter sepanjang sisi

bangunan gedung tempat bukaan akses diletakkan, asalkan ruangan

operasional tersebut dapat dicapai pada jarak 45 meter dari jalur masuk

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 31: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-31

mobil pemadam kebakaran. Dalam tiap bagian dari bangunan gedung

(selain bangunan gedung rumah tinggal satu atau dua keluarga),

perkerasan harus ditempatkan sedemikian rupa agar dapat langsung

mencapai bukaan akses pemadam kebakaran pada bangunan gedung.

Perkerasan tersebut harus dapat mengakomodasi jalan masuk dan

manuver mobil pemadam, snorkel, mobil pompa dan mobil tangga dan

platform hidrolik serta mempunyai spesifikasi sebagai berikut:

1. Lebar minimum lapis perkerasan 6 meter dan panjang minimum 15

meter. Bagian-bagian lain dari jalur masuk yang digunakan untuk

lewat mobil pemadam kebakaran lebarnya tidak boleh kurang dari 4

meter.

2. Lapis perkerasan harus ditempatkan sedemikian agar tepi terdekat

tidak boleh kurang dari 2 meter atau lebih dari 10 meter dari pusat

posisi akses pemadam kebakaran diukur secara horizontal.

3. Lapis perkerasan harus dibuat dari metal, paving blok, atau lapisan

yang diperkuat agar dapat menyangga beban peralatan pemadam

kebakaran. Persyaratan perkerasan untuk melayani bangunan gedung

yang ketinggian lantai huniannya melebihi 24 meter harus

dikonstruksi untuk menahan beban statis mobil pemadam kebakaran

seberat 44 ton dengan beban plat kaki (jack).

4. Lapis perkerasan harus dibuat sedatar mungkin dengan kemiringan

tidak boleh lebih dari 1 : 8,3.

5. Lapis perkerasan dan jalur akses tidak boleh melebihi 46 m dan bila

melebihi 46 harus diberi fasilitas belokan.

2.2.6 Jarak Antar Bangunan

Pada Keputusan Mentri Pekerjaan Umum No.26 Tahun 2008

dituliskan bahwa untuk melakukan proteksi terhadap meluasnya

kebakaran, harus diusulkan pula perencanaan tapak. Perencanaan tapak

adalah perencanaan yang mengatur tapak (site) bangunan, meliputi tata

letak dan orientasi bangunan, jarak antar bangunan, penempatan hidran

halaman, penyediaan ruang-ruang terbuka dan sebagainya dalam rangka

mencegah dan meminimasi bahaya kebakaran.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 32: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-32

Tabel II.11 Jarak antar bangunan gedung

Sumber : KepMen PU No.26 Tahun 2008

Jarak minimum antar bangunan gedung tersebut tidak dimaksudkan

untuk menentukan garis sempadan bangunan gedung. Garis sempadan

bangunan gedung tetap mengikuti ketentuan rencana tata ruang wilayah

yang berlaku di kabupaten/kota atau Provinsi DKI Jakarta.

2.2.7 Kompartemenisasi

Setiap bangunan gedung harus dilindungi dengan sistem proteksi

pasif yang tujuannya adalah untuk meminimasi risiko penyebaran

kebakaran antara bangunan bangunan yang bersebelahan melalui

pemisahan antar bangunan, mencegah keruntuhan bangunan yang tidak

pada waktunya saat terjadi kebakaran, lewat sistem konstruksi yang stabil

dan tahan lama (durable), dan mencegah penyebaran api di antara bagian-

bagian dalam bangunan melalui kompartemenisasi. Menurut SNI 03-1736-

2000, kompartemenisasi ialah usaha untuk mencegah penjalaran

kebakaran dengan cara membatasi api dengan dinding, lantai kolom,

balok, balok yang tahan terhadap api untuk waktu yang sesuai dengan

kelas bangunan. Pada sistem proteksi pasif unsur-unsur utama yang harus

diperhatikan adalah ketahanan api dan stabilitas struktur,

kompartemenisasi dan pemisahan serta perlindungan pada bukaan,

disamping pemenuhan persyaratan kinerja.

Ukuran dari setiap kompartemen kebakaran atau atrium bangunan

klas 5, 6 ,7 ,8 atau 9 harus tidak melebihi luasan atau volume maksimum.

Ukuran kompartemen pada bangunan dapat melebihi ketentuan, bila:

1) Luasan bangunan tidak melebihi 18.000 m² dan volumenya tidak

melebihi 108.000 ��, dengan ketentuan: 1. Bangunan klas 7 atau 8

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 33: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-33

yang memiliki lantai bangunan tidak lebih dari 2 lantai dan terdapat

ruang terbuka yang lebarnya tidak kurang dari 18 m; dan 2.

Bangunan klas 5 sampai dengan 9 yang dilindungi seluruhnya

dengan sistem sprinkler otomatis, dan dikelilingi jalan masuk

kendaraan.

2) Bangunan melebihi 18.000 m² luasnya atau 108.000 ��

volumenya, dilindungi dengan sistem sprinkler, dikelilingi jalan

masuk kendaraan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan ini dan

apabila: 1. Ketinggian langit-langit kompartemen tidak lebih dari

12 m, dilengkapi dengan sistem pembuangan asap atau ventilasi

asap dan panas sesuai pedoman teknis dan standar teknis yang

berlaku; 2. Ketinggian langit-langit lebih dari 12 m, dilengkapi

dengan sistem pembuangan asap sesuai ketentuan yang berlaku.

3) Bila terdapat lebih dari satu bangunan pada satu kapling:

a. Setiap bangunan harus memenuhi ketentuan huruf a atau

huruf b;

b. Bila jarak antar bangunan satu lainnya kurang dari 6 m,

maka seluruhnya akan dianggap sebagai satu bangunan dan

secara bersama harus memenuhi ketentuan huruf a atau

huruf b.

2.2.8 Jalan Keluar

Jarak dari dalam bangunan ke luar yang relative pendek dan tidak

membutuhkan waktu yang lama untuk penghuni keluar ruangan ke jalan

utama. Untuk akses keluar bagi penghuni gedung yaitu melalui pintu-pintu

darurat yang langsung menuju dekat pintu utama. Kondisi jalan keluar

adalah sebagai berikut:

1. Eksit memiliki kondisi terpisah dan terlindungi, ditandai dengan

konstruksi beton dan pasangan bata yang tertutup dari lantai teratas

sampai dengan pintu keluar bangunan dan dilengkapi dengan pintu

tahan api.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 34: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-34

2. Jumlah sarana jalan keluar pada bangunan dihitung dengan beban

penghuni (pengelola, pengunjung, penghuni, pekerja dan semua yang

terlibat) pada bangunan.

3. Pintu standar kebakaran dipasang pada semua bagian jalan keluar

pada setiap lantai dan diberi tanda warna merah untuk memudahkan

penandaan sesuai dengan standar untuk jalur evakuasi.

4. Ketinggian jalan keluar/pintu darurat adalah 2,1 m dan di pasang pada

setiap jalan keluar di tiap-tiap lantai.

5. Jarak pintu darurat/eksit satu dengan yang lain adalah kurang dari

45m.

6. Penanda jalan keluar terpasang diatas pintu darurat dan terlihat jelas.

2.2.9 Kontruksi Jalan Keluar

Rata-rata bentuk konstruksi jalan keluar pada setiap gedung berupa

koridor-koridor panjang yang biasa di lalui oleh penghuni sebagai jalur cepat

atau jalur evakuasi khusus. Koridor tersebut terbuat dari beton betulang atau

bahan-bahan lain yang mampu bertahan terhadap api dalam waktu beberapa

jam. Sehingga dapat memberikan waktu evakuasi bagi penghuni bangunan

saat terjadi kebakaran.

Berdasarkan standar lebar bersih suatu koridor untuk bangunan ini adalah

sebesar ± 2 meter. Selain itu di jelaskan juga bahwa koridor dan jalur keluar

harus di lengkapi dengan tanda/arah yang menunjukkan lokasi pintu keluar,

seperti tanda panah EXIT/KELUAR dan harus diletakkan pada setiap lokasi

dimana pintu keluar terdekat tidak terlihat.

2.3 Sistem Proteksi Pasif

Berdasarkan KepMen PU No 10/KPTS/2000, sistem proteksi pasif

adalah sistem perlindungan terhadap kebakaran yang dilaksanakan dengan

melakukan pengaturan terhadap komponen bangunan gedung dari aspek

arsitektur dan struktur sedemikian rupa sehingga dapat melindungi penghuni

dan benda dari kerusakan fisik saat terjadi kebakaran.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 35: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-35

2.3.1 Tangga Darurat

Bangunan gedung harus disediakan sarana vertikal selain lift,

seperti tangga darurat. Dalam Bab 1 butir 69 Peraturan Menteri Pekerjaan

Umum Nomor: 26/PRT/M/2008, tangga kebakaran adalah tangga yang

direncanakan khusus untuk penyelamatan bila terjadi kebakaran.

Dalam perencanaan tangga darurat/tangga kebakaran ada beberapa

kriteria yang disyaratkan untuk digunakan dalam perancangan menurut

Juwana (2005:139) dan dalam Bab 3 butir 3.8.1.1 Peraturan Menteri

Pekerjaan Umum Nomor: 26/PRT/M/2008 bahwa semua tangga darurat,

terutama pada bangunan tinggi harus aman dan terlindung dari api dan gas

panas yang beracun. Sedangkan pada SNI 03-1746-2000 butir 5.2 kriteria

tangga darurat, antara lain:

1) Konstruksi.

Semua tangga yang digunakan sebagai sarana jalan ke luar sesuai

persyaratan, harus dari konstruksi tetap yang permanen.

Setiap tangga, panggung (platform) dan bordes tangga dalam

bangunan yang dipersyaratkan dalam standar ini untuk konstruksi

kelas A atau kelas B harus dari bahan yang tidak mudah terbakar.

2) Bordes tangga.

Tangga dan bordes antar tangga harus sama lebar dengan tanpa

pengurangan lebar sepanjang arah lintasan jalan ke luar. Dalam

bangunan baru, setiap bordes tangga harus mempunyai dimensi

yang diukur dalam arah lintasan sama dengan lebar tangga.

Pengecualian: Bordes tangga harus diijinkan untuk tidak lebih dari

120 cm (4 ft) dalam arah lintasan, asalkan tangga mempunyai jalan

lurus.

3) Permukaan anak tangga dan bordes tangga.

Anak tangga dan bordes tangga harus padat, tahanan gelincir

tangganya seragam, dan bebas dari tonjolan atau bibir yang dapat

menyebabkan pengguna tangga jatuh. Jika tidak tegak (vertikal),

ketinggian anak tangga harus diijinkan dengan kemiringan di

bawah anak tangga pada sudut tidak lebih dari 30 derajat dari

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 36: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-36

vertikal, bagaimanapun, tonjolan yang diijinkan dari pingulan

harus tidak lebih dari 4 cm (1½ inci).

4) Kemiringan anak tangga harus tidak lebih dari 2 cm per m (¼ inci

per ft ) (kemiringan 1 : 48).

5) Ketinggian anak tangga harus diukur sebagai jarak vertikal antar

pingulan anak tangga.

6) Kedalaman anak tangga harus diukur horisontal antara bidang

vertikal dari tonjolan terdepan dari anak tangga yang bersebelahan

dan pada sudut yang betul terhadap ujung terdepan anak tangga,

tetapi tidak termasuk permukaan anak tangga yang dimiringkan

atau dibulatkan terhadap kemiringan lebih dari 20 derajat

(kemiringan 1 : 2,75).

7) Pada pinggiran anak tangga, pemiringan atau pembulatan harus

tidak lebih dari 1,3 cm (½ inci) dalam dimensi horizontal.

8) Harus tidak ada variasi lebih dari 1 cm (3/16 inci) di dalam

kedalaman anak tangga yang bersebelahan atau di dalam

ketinggian dari tinggi anak tangga yang bersebelahan, dan toleransi

antara tinggi terbesar dan terkecil atau antara anak tangga terbesar

dan terkecil harus tidak lebih dari 1 cm (3/8 inci) dalam sederetan

anak tangga. Pengecualian: Apabila anak tangga terbawah yang

berhubungan dengan kemiringan jalan umum, jalur pejalan kaki,

jalur lalu lintas, mempunyai tingkat ditentukan dan melayani suatu

bordes, perbedaan ketinggian anak tangga terbawah tidak boleh

lebih dari 7,6 cm (3 inci) dalam setiap 91 cm (3 ft) lebar jalur

tangga harus diijinkan.

9) Pagar pengaman dan rel pegangan tangan.

10) Sarana jalan ke luar yang lebih dari 75 cm (30 inci) di atas lantai

atau di bawah tanah harus dilengkapi dengan pagar pengaman

untuk mencegah jatuh dari sisi yang terbuka.

11) Tangga dan ram harus mempunyai rel pegangan tangan pada kedua

sisinya. Di dalam penambahan, rel pegangan tangan harus

disediakan di dalam jarak 75 cm (30 inci) dari semua bagian lebar

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 37: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-37

jalan ke luar yang dipersyaratkan oleh tangga. Lebar jalan ke luar

yang dipersyaratkan harus sepanjang jalur dasar dari lintasan.

Pengecualian 1:

Pada tangga yang sudah ada, pegangan tangga harus disediakan di dalam

jarak 110 cm (44 inci) dari semua bagian lebar jalan ke luar yang

disyaratkan oleh tangga.

Pengecualian 2:

Jika bagian dari batu penahan pinggiran trotoir memisahkan sisi pejalan

kaki dari jalan kendaraan, sebuah langkah tunggal atau sebuah ram tidak

harus disyaratkan untuk mempunyai rel pegangan tangan.

Pengecualian 3:

12) Tangga yang sudah ada, ram yang sudah ada, tangga di dalam unit

rumah tinggal dan di dalam wismar tamu, dan ram di dalam unit

rumah tinggal dan di dalam wisma tamu, harus mempunyai sebuah

rel pegangan tangan tidak kurang pada satu sisi.

13) Pagar pengaman dan rel pegangan tangan yang disyaratkan harus

menerus sepanjang tangga. Pada belokan tangga, rel pegangan

tangan bagian dalam harus menerus antara deretan tangga pada

bordes tangga. Pengecualian: Pada tangga yang sudah ada, rel

pegangan tangan harus tidak dipersyaratkan menerus antara

deretan tangga pada bordes.

14) Rancangan dari pagar pelindung dan rel pegangan tangan dan

perangkat keras untuk memasangkan rel pegangan tangan ke pagar

pelindung, balustrade atau dinding-dinding harus sedemikian

sehingga tidak ada tonjolan yang mungkin menyangkut pakaian.

15) Bukaan pagar pelindung harus dirancang untuk mencegah pakaian

yang menyangkut menjadi terjepit pada bukaan seperti itu.

16) Rel pegangan tangan pada tangga harus paling sedikit 86 cm (34

inci) dan tidak lebih dari 96 cm (38 inci) di atas permukaan anak

tangga, diukur vertikal dari atas rel sampai ke ujung anak tangga.

Pengecualian 1: Ketinggian dari rel pegangan tangan yang

diperlukan yang membentuk bagian dari pagar pelindung harus

diijinkan tidak lebih dari 107 cm (42 inci) diukur vertikal ke bagian

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 38: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-38

atas rel dari ujung anak tangga. Pengecualian 2: Rel pegangan

tangan yang sudah ada harus paling sedikit 76 cm (30 inci) dan

tidak lebih dari 96 cm (38 inci) di atas permukaan atas anak

tangga, diukur vertikal ke bagian atas rel dari ujung anak

tangga.Pengecualian 3: Rel pegangan tangan tambahan yang lebih

rendah atau lebih tinggi dari pada rel pegangan tangan utama harus

diijinkan.

17) Rel pegangan tangan yang baru harus menyediakan suatu jarak

bebas paling sedikit 3,8 cm (1½ inci) antara rel pegangan tangan

dan dinding pada mana rel itu dipasangkan.

18) Rel pegangan tangan yang baru harus memiliki luas penampang

lingkaran dengan diameter luar paling sedikit 3,2 cm (1¼ inci) dan

tidak lebih dari 5 cm (2 inci). Rel pegangan tangan yang baru harus

dengan mudah dipegang terus menerus sepanjang seluruh

panjangnya. Pengecualian 1: Setiap bentuk lain dengan satu

dimensi keliling paling sedikit 10 cm (4 inci) tetapi tidak lebih dari

16 cm (6¼ inci), dan dengan dimensi penampang terbesar tidak

lebih dari 5,7 cm (2¼ inci) harus diijinkan, asalkan ujungnya

dibulatkan sampai satu jarak radius minimum 0,3 cm (1/8 inci).

Pengecualian 2: Pengikat rel pegangan tangan atau balustrade

dipasang ke bagian bawah permukaan dari rel pegangan tangan,

yang mana tonjolan horisontalnya tidak melewati sisi sisi dari rel

pegangan tangan dalam jarak 2,5 cm (1 inci) dari bagian bawah rel

pegangan tangan dan yang memiliki ujung dengan radius minimum

0,3 cm (1/8 inci), harus tidak dipertimbangkan sebagai penghalang

pada pegangan tangan.

19) Ujung rel pegangan tangan yang baru harus dikembalikan ke

dinding atau lantai atau berhenti pada tempat terbaru.

20) Rel pegangan tangan yang baru yang tidak menerus diantara

sederetan anak tangga harus melebar horisontal, pada ketinggian

yang diperlukan, paling sedikit 30 cm (12 inci) tidak melebihi tiang

tegak teratas dan menerus miring pada kedalaman satu anak tangga

di atas tiang tegak paling bawah. Pengecualian: Apabila disetujui

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 39: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-39

oleh instansi yang berwenang karena keterbatasan tempat dan di

dalam unit hunian, kepanjangan horisontal di atas anak tangga

teratas tidak diperlukan asalkan rel pegangan tangan memanjang

pada ketinggian yang diperlukan sampai pada satu titik langsung di

atas tiang tegak teratas.

21) Ketinggian pagar pengaman yang dipersyaratkan harus diukur

vertikal ke bagian atas pagar pengaman dari permukaan yang dekat

dimaksud.

22) Pagar pengaman paling sedikit harus 100 cm (42 inci) tingginya.

Pengecualian 1: Pagar pengaman yang sudah ada yang di dalam

unit hunian harus sedikitnya 90 cm (36 inci) tingginya.

Pengecualian 2: Seperti yang ada pada bangunan kumpulan.

Pengecualian 3: Pagar pengaman yang sudah ada pada tangga yang

sudah ada harus paling sedikit tingginya 80 cm (30 inci).

23) Pagar pengaman terbuka harus mempunyai rel atau pola ornamen

sehingga bola berdiameter 10 cm (4 inci) harus tidak bisa lolos

melalui bukaan sampai ketinggian 80 cm (34 inci). Pengecualian 1:

Bukaan segitiga yang dibentuk oleh tiang tegak, anak tangga, dan

elemen bawah rel pagar pengaman pada sisi terbuka dari sebuah

tangga harus ukurannya sedemikian rupa sehingga sebuah bola

dengan diameter 15 cm (6 inci) harus tidak dapat lolos melalui

bukaan segitiga itu. Pengecualian 2: Dalam rumah tahanan, dalam

hunian industri, dan di dalam gudang, jarak bebas antara rel

terdekat diukur tegak lurus pada rel harus tidak lebih dari 50 cm

(21 inci). Pengecualian 3: Pagar pengaman yang sudah ada yang

disetujui.

Ruangan tertutup dan proteksi dari tangga

24) Semua tangga di dalam, yang melayani sebuah eksit atau

komponen eksit harus tertutup (harus aman dan terlindung dari api

dan gas panas yang beracun).

25) Semua tangga lain di dalam harus diproteksi sesuai dengan bukaan

vertikalnya. Pengecualian: Dalam bangunan gedung yang sudah

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 40: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-40

ada, apabila sebuah ruangan eksit dua lantai menghubungkan lantai

eksit pelepasan dengan lantai berdekatan, eksit tersebut harus

dipersyaratkan untuk ditutup pada lantai eksit pelepasan dan paling

sedikit 50% dari jumlah dan kapasitas eksit pada lantai eksit

pelepasan harus tersendiri ditutupnya.

26) Apabila dinding yang bukan tahan terhadap api atau bukan tidak

terproteksi menutup bagian luar jalur tangga dan dinding serta

bukaan itu di ekspos pada bagian lain dari bangunan pada satu

sudut tidak lebih dari 180 derajat, dinding penutup bangunan dalam

jarak 3 m (10 ft) horisontal dari dinding yang bukan tahan api atau

bukan yang terproteksi harus dikonstruksikan seperti

dipersyaratkan untuk ruang jalur tangga tertutup termasuk proteksi

untuk bukaannya. Konstruksi harus menjulur vertikal dari dasar ke

suatu titik 3 m (10 ft) di atas bordes tangga di puncak paling tinggi

atau pada garis atap, yang mana yang lebih rendah.

Untuk perencanaan tangga darurat/tangga kebakaran, perlu

mempertimbangkan jumlah orang (N) yang dapat terakomodasi,

lebar tangga darurat, dan jumlah lantai. Perhitungan ini dilakukan

sesuai dengan persamaan berikut:

P = 200w + [50(w � 0,3)] (n � 1)������������ ���

Dimana:

P = jumlah orang yang direkomendasi

w = lebar tangga dalam meter

n = jumlah lantai bangunan

Pada tangga darurat harus diadakan penandaan jalur tangga. Dalam

perencanaan penandaan tangga darurat/kebakaran ada beberapa

kriteria yang disyaratkan berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan

Umum Nomor: 26/PRT/M/2008 Bab 3 butir 3.8.4, antara lain:

27) Menunjukkan tingkat lantai,

28) Menunjukkan akhir teratas dan terbawah dari ruang tangga

terlindung,

29) Menunjukkan tingkat lantai dari, dan ke arah eksit pelepasan,

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 41: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-41

30) Diletakkan di dalam ruang terlindung di tempat mendekati 1,5 m di

atas bordes lantai dalam suatu posisi yang mudah terlihat bila pintu

dalam posisi terbuka atau tertutup,

31) Dicat atau dituliskan pada dinding atau pada penandaan terpisah

yang terpasang kuat pada dinding,

32) Huruf identifikasi jalur tangga harus ditempatkan pada bagian atas

dari penandaan dengan tinggi minimum huruf 2,5 cm dan harus

�������� ��������� ������� ��!����! ��!�"#$%��

33) Angka level lantai harus ditempatkan di tengah-tengah penandaan

dengan tinggi angka minimum 12,5 cm.

Berdasarkan SNI 03-1746-&''' ������� (��� )�!� *�!��)�����

dan pemasangan sarana jalan keluar untuk penyelamatan terhadap

+���,� ��+���!�� *�%� +������� ��%���- ��!%�*�� ���������-

ketentuan pemasangan jalur keluar atau jalan penyelamatan

(emergency exit) berupa tangga kebakaran (fire scape) yang harus

memperhatikan syarat-syarat di bawah ini:

(a) Tangga terbuat dari konstruksi beton atau baja dengan yang

mempunyai ketahanan kebakaran selama 2 jam;

(b) Tangga dipisahkan dari ruangan-ruangan lain dengan dinding

beton yang tebalnya minimum 15 cm atau tebal tembok 30 cm

yang mempunyai ketahanan kebakaran selama 2 jam;

(c) Bahan-bahan finishing, seperti lantai dari bahan yang tidak

mudah terbakar dan tidak licin.

(d) Lebar tangga minimum 120 cm (untuk lalu lintas 2 orang);

(e) Harus dapat dilewati minimal oleh 2 orang bersama-sama atau

lebar bersih tangga minimal 120 cm;

(f) Untuk anak tangga, lebar minimum injakan tangga 27,9 cm,

tinggi minimum 10,5 cm, tinggi maksimum 17,8 cm dan

.��/�� &012 3 4' )�;

Keterangan : R = lebar injakan tangga

G = Tinggi injakan tangga

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 42: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-42

(g) Harus mudah dilihat dan dicapai (dilengkapi dengan petunjuk

arah). Jarak maksimum dari sentral kegiatan 30 m atau antar

tangga 60 m;

(h) Supaya asap kebakaran tidak masuk kedalam ruangan tangga,

diperlukan Exhaust fan dan Pressure fan.

2.3.2 Pintu Darurat

Berdasarkan SNI 03-1746-���� ������� ����� �� � !� �������� "��

pemasangan sarana jalan keluar untuk penyelamatan terhadap bahaya

#�$�#� �� !�"� $���%��� ��"%��& �� "�!�� '���"� (������) !�(�'�����

pintu darurat, yaitu:

a. Bukaan pintu harus sedikitnya memiliki lebar bersih 90 cm,

b. Pintu harus tahan api sekurang-kurangnya 2 jam,

c. Pintu harus dilengkapi minimal 3 engsel,

d. *)��% ")+���#�!) !� )������ �,-./0 12-3/-456 �/�/*

3178-.5&,

e. Pintu harus dicat berwarna merah.

Pintu darurat adalah pintu yang langsung menuju tangga kebakaran dan

hanya dipergunakan apabila terjadi kebakaran.

a. Pintu harus tahan terhadap api sekurang-kurangnya dua jam.

b. Pintu harus dilengkapi minimal 3 engsel.

c. Pintu juga harus dilengkapi dengan alat penutup otomatis (door

closer).

d. Bila pintu dioperasikan dengan tenaga listrik maka harus dapat

dibuka secara manual bila terjadi kerusakan, dapat membuka

langsung kearah jalan umum dan harus dapat membuka otomatis

bila terjadi kegagalan pada daya listrik atu saat aktivasi alarm

kebakaran.

e. Pintu dilengkapi dengan tuas atau tungkai pembuka pintu yang

berada diluar ruang tangga (kecuali tangga yang berada dilantai

dasar, berada didalam ruang tangga) dan sebaiknya menggunakan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 43: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-43

tuas yang memudahkan, terutama dalam keadaan panik (panic

bar).

f. ����� ������� !� ���� � � �� !�"��� � � #$%&''% (%)*)%$

+ $*$*� ,-./%0123

g. Pintu dapat dilengkapi dengan kaca tahan api.

h. Ambang pintu harus tidak mengenai anak tangga atau ramp

minimal selebar daun pintu.

i. Pintu paling atas membuka kearah luar (atap bangunan) dan semua

pintu lainnya membuka kearah ruangan tangga kecuali pintu paling

bawah membuka keluar dan langsung berhubungan ruang luar.

2.3.3 Jalur Evakuasi

Berdasarkan SNI 03-1736-2000 menjelaskan tentang persyaratan teknis

pemasangan dan syarat elemen struktur maupun arsitektur dalam

penanganan bahaya kebakaran secara proteksi pasif. Jalur-jalur evakuasi

adalah salah satu sistem proteksi pasif yang harus dirancang dengan baik

sehingga dapat memudahkan proses penyelamatan pada penghuni gedung,

karena penyelamatan jiwa adalah hal yang harus diutamakan. Selain jalur

evakuasi, tangga darurat, peta evakuasi dan assembly meeting point juga

termasuk sistem proteksi kebakaran pasif yang harus diperhatikan.

Berikut adalah persyaratan perencanaan akses jalur evakuasi serta pintu

darurat yang harus diterapkan:

1. Jalur Evakuasi bersifat permanen, menyatu dengan bangunan

gedung.

2. Jalur Evakuasi harus memiliki akses langsung ke jalan atau ruang

terbuka yang aman.

3. Jalur Evakuasi di lengkapi Penanda yang jelas dan mudah terlihat.

4. Penanda/Safety Sign dapat menyala di kegelapan (glow in the

dark).

5. Jalur Evakuasi di lengkapi penerangan yang cukup.

6. Jalur Evakuasi bebas dari benda yang mudah terbakar atau benda

yang dapat membahayakan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 44: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-44

7. Jalur Evakuasi bersih dari orang atau barang yang dapat

menghalangi gerak.

8. Jalur Evakuasi tidak melewati ruang yang dapat dikunci.

9. Jalur Evakuasi memiliki lebar minimal 71,1 cm dan tinggi langit-

langit minimal 230 cm.

10. Pintu Darurat dapat di buka ke luar, searah Jalur Evakuasi menuju

Titik Kumpul.

11. Pintu Darurat bisa di buka dengan mudah, bahkan dalam keadaan

panik.

12. Pintu Darurat di lengkapi dengan penutup pintu otomatis.

13. Pintu Darurat dicat dengan warna yang mencolok dan berbeda

dengan bagian bangunan lainnya.

2.3.4 Marka Jalan dan Titik Kumpul

Selain membahas SNI 03-1746-2000 menjelasakan terkait persyaratan

penempatan pintu darurat dan juga bagaimana penyusunan akses ke pintu

darurat sehingga akses yang diterapkan mudak dicapai oleh penghuni

bangunan. Dalam upaya meraih pintu darurat, diperlukan adanya marka

jalan sebagai petunjuk jalan saat terjadinya kebakaran. Pemberian petunjuk

arah keluar bertujuan untuk memberikan petunjuk atau rambu yang cukup

jelas untuk menuju jalan keluar (exit) dan alur pencapaian menuju exit.

Dalam menunjang proses evakuasi, tanda-tanda yang cocok atau cara lain

untuk dapat mengenali, sampai pada tingkat yang diperlukan harus

memenuhi syarat, yakni sebagai berikut:

a. Penunjuk arah keluar harus dipasang pada sepanjang koridor

bangunan .

b. Penunjuk arah keluar harus terpasang pada ruang koridor, di atas

pintu tangga kebakaran dan tempat lain yang direncanakan untuk

evakuasi.

c. Pada setiap ruangan yang digunakan lebih dari 10 orang, harus

dipasang denah evakuasi pada tempat yang mudah dilihat.

d. Penunjuk arah keluar harus menggunakan 2 sumber daya listrik

berbeda.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 45: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-45

e. Penunjuk arah keluar harus mempunyai kuat penerangan minimal 50

lux dan berwarna hijau dengan warna tulisan adalah putih (tinggi

huruf 10 cm dan tebal huruf 1 cm).

f. Penempatan penunjuk arah keluar harus mudah terlihat jelas dan

terang dari jarak 20 m.

g. Jarak antara penunjuk arah keluar minimal 15 m & maksimal 20 m

dan, tinggi penunjuk arah keluar 2 m dari lantai.

Perencanaan marka jalan dan titik kumpul juga diatur dalam Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2016. Perencanaan

titik kumpul merupakan salah satu bagian dari manajemen tanggap darurat

gedung. Manajemen tanggap darurat gedung pada perinsipnya dilakukan

sama untuk kebakaran, gempa, huru-hara, banjir, dan ancaman bom.

Manajemen tanggap darurat gedung bertujuan untuk meminimalkan dampak

terjadinya kejadian yang dapat menimbulkan kerugian fisik, material, jiwa,

bagi karyawan dan pengunjung perkantoran. Tindakan Awal Dalam

Rencana Tanggap Darurat:

a. Merencanakan suatu titik kumpul (Assembly Point) yang merupakan

suatu Denah Evakuasi yang menunjukkan kemana pekerja

berkumpul bila terjadi kondisi darurat dan diperintahkan untuk

evakuasi.

b. Mengadakan simulasi kebakaran dan bencana yang melibatkan dinas

kebakaran setempat dan kalau perlu dengan mengikutsertakan dinas

atau instansi terkait lainnya.

c. Menyiapkan sirene-sirene dan alarm tanda bahaya.

d. Menyiapkan rambu-rambu arah ke tempat titik kumpul, lokasi

tabung pemadam kebakaran dan lain-lain.

e. Menyiapkan prosedur tanggap darurat.

Pada perarutan ini pula dijelaskan bagaimana kondisi lokasi dari

bangunan yang sedang terjadi bencana ke titik kumpul. Adapun

persyaratannya diantaranya yaitu:

a. Rute evakuasi harus bebas dari barang-barang yang dapat

mengganggu kelancaran evakuasi dan mudah dicapai.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 46: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-46

b. Koridor, terowongan, tangga harus merupakan daerah aman

sementara dari bahaya api, asap dan gas. Dalam penempatan pintu

keluar darurat harus diatur sedemikian rupa sehingga dimana saja

penghuni dapat, menjangkau pintu keluar (exit).

c. Koridor dan jalan keluar harus tidak licin, bebas hambatan dan

mempunyai lebar untuk koridor minimum 1,2 m dan untuk jalan

keluar 2 m.

d. Rute evakuasi harus diberi penerangan yang cukup dan tidak

tergantung dari sumber utama.

e. Arah menuju pintu keluar(exit) harus dipasang petunjuk yang jelas.

f. Pintu keluar darurat (emergency exit) harus diberi tanda tulisan.

2.4 Pengujian Komponen Bangunan

Bangunan biasanya dihuni oleh banyak manusia, baik dalam melakukan

pekerjaan, menghadiri sebuah acara, kegiatan keagamaan, sekolah, rumah

sakit, dll. Maka dari itu suatu bangunan diperlukan pengujian secara berkala

untuk mengetahui apakah bangunan tersebut masih layak huni, ataukah

diperlukan perbaikan secara besar-besaran. Adapun cara mengidentifikasi

bangunan tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yakni pengujian dengan

merusak struktur bangunan (Destructuve Test) dan pengujian tanpa merusak

struktur bangunan (Non-Destructive Test).

2.4.1 Non-Destructive Test (NDT)

Kekuatan beton merupakan salah satu sifat yang paling utama disamping

sifat-sifat lainnya, Kekuatan suatu beton sangat dipengaruhi oleh faktor-

faktor berikut:

a) Faktor Air Semen

Yaitu jumlah air yang ada dalam beton dibanding dengan jumlah

semen. Makin tinggi nilai air semen dalam beton maka makin

rendah kekuatan betonnya, dan hal tersebut berlaku sebaliknya.

b) Umur atau Waktu Perkerasan

Rendahnya kekuatan suatu beton sangatlah dipengaruhi oleh umur

beton tersebut. Makin muda umur suatu beton, maka makin rendah

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 47: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-47

pula kekuatannya dibandingkan dengan beton yang sudah cukup

umur. Hal ini dikarenakan pada umur muda sifat perekat pada

semen belum selesai terhidarasi. Bila semen telah terhidrasi semua

maka kekuatan akan menjadi maksimum. Secara umum, semen

akan terhidrasi sempurna dalam waktu 4 minggu (28 hari) pada

suhu normal (± 20°C), tergantung suhu dan kelembaban kondisi

dibuatnya beton tersebut.

Kekuatan suatu struktur bangunan ditentukan oleh salah satunya adalah kuat

tekan beton. Didalam mengevaluasi kekuatan beton, compression test

menjadi standar untuk mengetahui kualitas suatu struktur secara keseluruhan

(Setjo R., 2012).

Berdasarkan Peraturan Menteri PU Nomor 25/RT/M2007, keandalan

bangunan gedung adalah kondisi keselamatan, kesehatan kenyamanan, dan

kemudahan yang memenuhi persyaratan keandalan bangunan gedung. Untuk

mengetahui keandalan bangunan tersebut, maka dilakukan investigasi dengan

pengujian kekuatan struktur, untuk menilai kuat tekan beton berdsasarkan

metode pengujian Non-Destructive Test (NDT). Non-Destructive Test (NDT)

adalah suatu metoda pengujian suatu struktur beton ataupun material lain

tanpa merusak. Ada beberapa metoda pengujian Non-Destructive Test (NDT)

antara lain: Hammer test, UPV (Ultrasonic Pulse Velocity Test), Profometer.

Adapun pada tugas akhir ini lebih ditekankan pada Hammer test dan

Profometer.

2.4.1.1 Hammer test

Salah satu cara yang umum dilakukan untuk mengetahui sisa

kekuatan tekan beron yang tidak merusak adalah dengan menggunakan

alat palu beton. Alat penguji ini dikenal dengan nama Hammer Test.

Hammer test merupakan suatu alat utuk memeriksa mutu beton tanpa

merusak beton. Dengan menggunakan metode ini akan diperoleh cukup

banyak data dalam waktu yang relatif singkat dengan biaya yang

murah. Metode pengujian ini dilakukan dengan memberikan tumbukan

pada permukaan beton. Jarak pantulan yang timbul dari massa tersebut

pada saat terjadi tumbukan dengan permukaan beton benda uji dapat

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 48: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-48

memberikan indikasi kekerasan juga setelah dikalibrasi, dapat

memberikan pengujian ini adalah jenis "Hammer".

Alat ini sangat berguna untuk mengetahui keseragaman material

beton pada struktur, maka dari itu Hammer test sangat peka terhadap

variasi yang ada pada permukaan beton, dan diperlukan pengambilan

beberapa kali pengukuran disekitar setiap lokasi pengukuran, yang

hasilnya kemudian dirata-ratakan. Prinsip kerja Hammer test adalah

dengan pantulan massa di ujung alat pada permukaan beton yang rata.

Pada sisi luar alat terdapat bagian yang akan menunjukkan nilai

pantulan/rebound tersebut. Pengujian biasanya dapat dilakukan pada

struktur kolom dan balok serta slab sebagai penyangga konstruksi.

Adapun standar acuan yang digunakan pada pelaksanaan

pengujian ini adalah:

a. ASTM C 805 (North American Standard)

b. EN12504-2 (European Standard)

c. JGJ/T 23-2001 (Chinese Standard)

d. BS 1881, part 202 (British Standard)

e. DIN 1048 Part 2 (German Standard)

Berdasarkan SNI 03-4430-1997, Hammer test bertujuan untuk

��������������� �� �� �!�" "���� #�"$� ��%� &!�"! � ���� &"�!�"!�

untuk keperluan pengendalian mutu beton di lapangan bagi

perencanaan dan atau pengawasa pelaksanaan pekerjaan. Secara umum

alat ini bisa digunakan untuk Memeriksa keseragaman kualitas beton

pada struktur serta untuk mendapatkan perkiraan Kuat Tekan Beton

'()*). Meskipun secara umum alat ini bisa digunakan untuk memeriksa

keseragaman kwalitas beton pada struktur, serta mendapatkan perkiraan

kuat tekan beton secara mudah dan singkat, hammer test juga memiliki

keuntungan dan kekurangan, diantaranya:

a. Kelebihan metode hammer test:

1. Pengukuran bisa dilakukan dengan cepat sehingga tidak

memerlukan biaya yang banyak dalam pelaksanaannya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 49: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-49

2. Praktis serta mudah digunakan karena tidak merusak struktur

yang akan diuji sehingga dapat dilakukan oleh mahasiswa

yang msih belajar.

b. Kekurangan metode hammer test:

1. Hasil pengujian sangat dipengaruhi oleh kerataan permukaan,

kelembaban beton, sifat sifat dan jenis agregat kasar, derajad

karbonisasi dan umur beton. Oleh karena itu perlu diingat

bahwa beton yang akan diuji haruslah dari jenis dan kondisi

yang sama.

2. Sulit mengkalibrasi hasil pengujian. Tingkat keandalannya

rendah.

3. Hanya memberikan imformasi mengenai karakteristik beton

pada permukaan

Pada saat akan melakukan pengujian hammer test, bidang yang

akan diuji harus lah memenuhi ketentuan sebagai berikut:

1. Permukaan beton yang akan diuji harus merupakan permukaan yang

padat, halus, dan tidak dilapisi oleh plesteran atau bahan pelapis

lainnya;

2. Bidang uji yang dipilih harus kering dan halus, bebas dari

tonjolantonjolan atau lubang-lubang;

3. Lokasi-lokasi bidang uji harus ditentukan sesuai dengan dimensi

elemen struktur dan jumlah nilai uji yang diperlukan untuk perhitungan

perkiraan kekuatan beton.

Menurut PBI 1971, konstruksi atau beton yang diuji

menggunakan alat Hammer Test dikatakan memenuhi syarat bila hasil

perhitungan mencapai 80% dari rencana kuat beton karakteristik. Dapat

juga dibandingkan dengan membandingkan kuat beton karakteristik

dengan kuat beton karakteristik rencana yang didapat dari hasil

pengujian dengan cara Core Drill. Adapun sistim kerja alat Hammer

Test adalah sebagai berikut:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 50: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-50

a. Suatu masa baja yang diberikan muatan energi kinetik melalui

sistim tekanan dengan cara menekan sebuah torak (plunger) secara

perlahan-lahan /sedikit demi sedikit pada permukaan beton.

b. Setelah mencapai batas tertentu, masa baja tersebut dilepas atau

dipukulkan pada permukaan beton, sehingga torak sebagai

pemukul tertekan pada permukaan beton.

Akibat pemukulan tersebut maka baja tersebut akan memantul

kembali, besarnya pantulan inilah yang menjadi suatu ukuran dari

kekerasan permukaan beton yang sedang diuji yang ditunjukkan oleh

sebuah jarum penunjuk yang dapat bergerak pada sebuah skala linier.

Arah pemukulan dengan Hammer Test bisa bermacam-macam, dengan

perjanjian tanda: searah jarum jam positif.

Arah pemukulan:

1. �=45o

2. � = - 45o

3. � = 90o

4. � = - 90o

5. � = 0o

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 51: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-51

Pengujian dengan Hammer Test memiliki beberapa persyaratan:

a. Umur beton yang akan diuji minimal 14 hari;

b. Permukaan beton harus rata;

c. Beton yang akan diuji harus dalam keadaan kering udara, artinya

tidak boleh lembab atau basah;

d. Jarak antar titik pemukulan minimal 2,5 cm;

e. Untuk beton yang sudah diplester atau permukaannnya dilapisi

sesuatu, harus dikupas telebih dahulu atau dibuang telebih dahulu.

Kemudian pemukaan diasah rata;

f. Apabila permukaan beton yang akan diuji adalah beton lama atau

tua yang mana permukaannya sudah mengalami pelapukan, maka

permukaannya harus dikupas terlebih dahulu ± 12 mm. Serpihan-

serpihan kerak harus dibersihkan, lalu permukaannya diasah rata.

Sebelum digunakan, alat Hammer Test harus dikalibrasi terlebih

dahulu. Dimana fungsi dari kalibrasi tersebut adalah untuk mencari

nilai angka koreksi dari suatu alat agar alat tersebut menjadi standard.

Adapun langkah kerja Hammer Test adalah sebagai berikut:

1. Persiapan bahan dan alat

2. Lakukan kalibrasi terlebih dahulu pada alat Hammer Test dengan

cara :

a. Masukan alat, lalu pukulkan torak (plunger) kedalam kalibrasi.

b. Catat besar pukulan atau rebound (r).

c. Lakukan minimal 10 kali.

d. Setelah pemukulan selesai dan didapat nilai rebound dari

masing-masing pukulan, hitung nilai kalibrasinya.

N = Jumlah Pukulan

r = Besar Pukulan (rebound)

R = Angka Rebound Rata-rata

AK = Angka Kalibrasi

R = N

rN

�1 AK =

R

80�������������

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 52: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 53: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-53

dengan n=jumlah benda uji

11. Hitung 80% � bk�

12. Dalam setiap pengujian hendaknya diusahakan:

a. Mendapatkan titik sebanyak mungkin;

b. Benda uji harus berumur tidak kurang dari 14 hari dan

sebaiknya diuji pada umur >28 hari.

Setelah didapatkan hasil perhitungan dari Hammer Test sesuai atau

tidaknya kuat tekan dari mutu beton bangunan dapat dilihat pada Tabel

II. 12. Mengenai beban hidup pada masing-masing bangunan hunian.

Tabel II.12 Beban Hidup Pada Gedung

No Hunian atau Penggunaan Beban Merata

1 Rumah tinggal semua ruang kecuali tangga dan balkon 200 kg/m²

2 Tangga dan jalan keluar 500 kg/m²

3 Sistem lantai akses Ruang kantor Ruang komputer

250 kg/m² 500 kg/m²

4 Sekolah Ruang kelas Koridor diatas lantai pertama Koridor lantai pertama

200 kg/m² 400 kg/m² 500 kg/m²

5 Rumah sakit Ruang operasi Ruang pasien

300 kg/m² 200 kg/m²

6 Perpustakaan Ruang baca

300 kg/m²

Ruang penyimpanan 800 kg/m²

7 Pabrik Ringan Berat

650 kg/m²

1300 kg/m²

8 Gedung Perkantoran Lobi dan koridor lantai pertama Kantor Koridor diatas lantai pertama

500 kg/m² 250 kg/m² 400 kg/m²

12 Tempat rekreasi Kolam renang Ruang dansa Stadium dan tribun

400 kg/m² 500 kg/m² 300 kg/m²

Sumber : Standart Nasional Indonesia 1727-2013

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 54: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-54

2.4.1.2 Covermeter test

Covermeter test adalah metode pengujian untuk menentukan posisi

tulangan, tebal selimut beton dan diameter tulangan pada struktur

existing dengan Profometer. Pengujian ini bertujuan antara lain untuk

mendeteksi tulangan dalam elemen beton, dan juga ketebalan selimut

beton (concrete cover).

Peralatan Profometer yang digunakan terdiri dari:

1) 1 buah probe 1 untuk menentukan letak tulangan.

2) 1 buah probe 2 untuk menentukan tebal selimut beton.

3) 1 buah probe 3 untuk menentukan dimensi tulangan

4) Pesawat pembaca indikasi letak tulangan, tebal selimut dan dimensi

tulangan.

Sedangkan metoda pengukuran menggunakan Profometer meliputi:

1) Pergunakan probe 1 untuk mengetahui letak dari tulangan dan

setelah diketahui letak tulangan, maka diberi tanda dengan

pensil/kapur.

2) Kemudian dicari letak tulangan berikutnya yang bersebelahan /

sejajar sampai terdapat beberapa titik yang ada, seterusnya lakukan

pengukuran jarak pada titik �titik tersebut.

3) Dari letak tulangan tersebut di ukur juga ketebalan selimut beton

dengan menggunakan probe 2.

4) Untuk mengetahui dimensi tulangan, letakan probe 3 pada lokasi

yang sudah di tandai terdapatnya tulangan.

Untuk mendeteksi tulangan, unit sensor ditempelkan pada permukaan

beton lalu digeser perlahan sambil diamati bacaan di display. Arah

gerakan adalah tegak lurus pada sumbu tulangan yang akan dideteksi.

Khusus pada alat tipe Profometer ini, akan terdengar nada sinyal bila

sensor mendeteksi keberadaan tulangan, yang selanjutnya posisi/titik ini

ditandai. Posisi scanning bisa vertikal maupun horizontal.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 55: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-55

Berikutya dilakukan scan serupa dari arah berlawanan, sehingga

didapatkan posisi/titik berikutnya. Jarak antara dua titik ini yang

merupakan perkiraan dari diameter tulangannya. Jika scanning dilakukan

dari tepi elemen, maka jarak dari tepi ke titik pertama terdengar sinyal

adalah tebal selimut betonnya. Dari hasil beberapa scanning ini bisa

dibuat gambaran perkiraan posisi tulangan dan diameternya. Selain

untuk mencocokkan dengan data-data gambar/laporan, pengujian ini juga

berfungsi sebagai pendahuluan sebelum pengambilan beton inti (core

case/drill) agar pemotongan nantinya tidak mengenai tulangan. Seperti

pada peralatan lainnya, tentu alat ini juga akan membutuhkan kalibrasi.

Kalibrasi yang paling baik tentu saja bila ada pembanding langsung di

lapangan, misal sampel inti beton, sehingga bisa diketahui diameter yang

ada dan tebal selimut. Disamping pengujian yang mudah dan tidak

merusak struktur bangunan, pengujian ini memiliki beberapa kelemahan

diantaranya:

a. Deteksi hanya bisa dilakukan sebatas tulangan terluar saja, sehingga

bila terdapat beberapa lapis tulangan, maka lapis tulangan yang

dalam tidak bisa terdeteksi dengan baik, termasuk dalam hal ini

adalah pengaruh overlap/sambungan lewatan dan bundel tulangan,

b. Jarak antar tulangan yang terlalu rapat, sehingga bisa mempengaruhi

akurasi pembacaan/perkiraan diameter tulangan,

c. Pengaruh dari kandungan besi dalam agregat yang berlebih, atau

penggunaan jenis semen yang khusus.

Adapun langkah kerja dari pengujian tersebut adalah sebagai berikut:

a. Cara pelaksanaan menscanan dilakukan dengan cara langusng pada plat

lantai yang sudah ada dan beton bertulang yang sebelumnya dibuat

setelah direncanakan. Untuk penscanan baton hasil pembuatan beton

bertulang dilakukan tiga kali penscanan untuk memastikan alat benar-

benar bekerja maksimal.

b. Untuk langkah kerja langsung menscan dan alat akan menyimpan

dengan sendirinya didalam alat, sebelum dipindahkan ke PC. Di PC

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 56: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 57: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-57

G

Gambar II.4 Plat Lantai yang di Scan

Sumber: Laporan Lab Uji Bahan

2.4.1.3 Liquid Penetrant Test

Metode NDT yang sangat sederhana diantara metoda lainnya yakni metode

Liquid Penetrant Test. Metode ini digunakan untuk menemukan cacat di

permukaan terbuka dari komponen solid, baik logam maupun non logam,

seperti keramik dan plastik fiber. Dengan memberikan cairan berwarna

terang pada permukaan yang aan diinspeksi, kita akan menemukan cacat

pada material dan akan terlihat lebih jelas. Cairan yang disemprotkan pada

pengujian Liquid Penetrant Test ini memiliki daya penetrasi yang baik dan

viskousitas yang rendah, hal tersebut dimaksudkan agar cairan dapat masuk

pada permukaan material yang cacat. Kemudian, cairan penetrant yang

tersisa di permukaan material disingkirkan dengan cara dilap atau

dibersihkan. Dengan demikian cacat akan nampak jelas pada perbedaan

warna penetrant dengan latar belakang cukup kontras. Seusai inspeksi,

penetrant yang tertinggal dibersihkan dengan penerapan developer.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 58: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-58

2.4.1.4 Visual Inspection

Metoda ini hanya melihat kerusakan yang pertama kali diambil dalam NDT.

Metode ini bertujuan menemukan cacat atau retak permukaan dan korosi.

Dalam hal ini tentu saja adalah retak yang dapat terlihat oleh mata telanjang

atau dengan bantuan lensa pembesar ataupun boroskop.

2.4.1.5 PUNDIT

PUNDIT merupakan singkatan dari Portable Ultrasonic Non-Destructive

Digital Indicating Tester yakni salah satu pengujian NDT yang bertujuan

untuk mengetahui keretakan dan kedalaman suatu kerusakan beton,

homoginitas pada beton, kerusakan permukaan beton akibat kebakaran atau

pengaruh kimiawi, perubahan-perubahan sifat pada masa ke masa,

kwalitas/mutu beton, honeycombing/void atau kerusakan lain pada beton,

serta modulus Elastisitas Beton. Dalam pelaksanaan pengujian ini terdiri

dari 3 aplikasi pengukuran yaitu:transducer diletakkan dalam satu bidang datar.

Metoda Indirect ini lebih lambat kurang lebih 28% daripada metoda Direct, maka

pada saat perhitungan dalam pengolahan data diperlukan faktor koreksi = 0.72 jika

pengujian akan dilakukan dengan metoda Indirect.

a. Semidirect Transmission dimana receiver transducer dan transmitter

transducer diletakkan pada posisi axial, satu bidang tegak lurus dan

satu bidang mendatar. Metoda Semi-Direct ini lebih lambat dari pada

yang lainnua, rasio lambatnya kurang lebih 15% dari pada metoda

Direct, maka pada saat perhitungan dalam pengolahan data

diperlukan factor koreksi = 0.85 apabila penelitian akan dilakukan

dengan metoda Semi-Direct.

2.4.2 Destructive Test

Destructive Test merupakan salah satu pengujian yang dilakukan terhadap

suatu spesimen sampai material tersebut mengalami kerusakan. Hal ini

dilakukan untuk mengetahui performa pada material tersebut, salah satunya

bila material tersebut diberi beban dari luar dengan besar gaya yang berbeda-

beda. Pengujian ini umumnya jauh lebih mudah untuk dilaksanakan, selain itu

memberikan informasi yang lebih baik dari pada Non Destructive Test.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 59: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-59

2.4.2.1 Core Drill

Pengujian core adalah metode yang secara langsung mendeterminasi

kekuatan beton yang sebenarnya pada suatu struktur. Umumnya core

diperoleh untuk mengevaluasi dan menilai apakah kekuatan suatu struktur

beton sesuai dengan mutu yang direncanakan, karena sampel core itu sendiri

diambil secara langsung dari struktur yang diamati (ACI 214.4R-03). Standar

atau prosedur dalam menggunakan metode pengujian ini dapat dilihat pada

ASTM C 42. Biasanya sample yang diambil dari bangunan yang diinspeksi

akan dilakukan pengujian seperti berikut:

a. Uji Tarik

Pengujian tarik merupakan salah satu pengujia yang bertujuan untuk

mengetahui tingkat elastistas sebuah material. Pengujian ini juga

digunakan untuk mengukur ketahanan suatu material terhadap gaya

statis yang diberikan secara lambat dengan cara memberikan beban

tarik pada spesimen material secara berkelanjutan hingga spesimen

material tersebut terputus. Data yang diperoleh berupa pertambahan

panjang serta besarnya beban yang diberikan secara terus menerus.

b. Uji Tekan

Pengujian kuat tekan dari sampel tersebut diatas biasanya lebih

������� ������ ����� ��� !"�#$� %�#�& '()% *+-3403-1994). Alat uji

yang digunakan adalah mesin tekan dengan kapasitas dari 2000 kN

sampai dengan 3000 kN. Kekuatan tekan material adalah gaya per

satuan luas yang dapat menahan kompresi dan ketika batas kuat

tekan tercapai, maka bahan akan terdeformasi atau mengalami

perubahan bentuk. Pada uji tekan umumnya kekuatan tekan lebih

tinggi dari kekuatan tarik. Peralatan yang digunakan untuk

percobaan ini hampir sama dengan yang digunakan dalam uji tarik

yang lebih sering dilakukan pengukuran. Namun, bukan menerapkan

beban tarik, melainkan beban tekan. Spesimen (bahan uji) biasanya

berbentuk silinder atau balok. Pada tes ini, material diberikan beban

tekan hingga mengalami deformasi atau patah dengan maksud untuk

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 60: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-60

mempelajari sifat mekanik dari suatu material saat diberikan tekanan

yang relative kecil. Biasanya dilakukan pada material yang

diaplikasikan pada struktur yang mengalami beban tekan.

c. Uji Puntir

Uji puntir merupakan salah satu pengujian material yang bertujuan

untuk mengetahui sifat-sifat seperti batas luluh geser dari suatu

material, modulus elastisitas geser, n (jumlah benda uji) dan K

(kalibrasi). Ada dua jenis patahan pada uji puntir, yaitu patah ulet

atau patahan yang terjadi karena tegangan geser dan menghasilkan

patahan bersudut 900, dan patah getas atau patahan terjadi karena

tegangan normal dan bentuk patahannya bersudut 450. Peralatan uji

puntir terdiri atas kepala puntir yang dilengkapi cekam untuk

mencengkram benda uji dan untuk memberikan momen puntir pada

benda uji serta kepala bobot yakni dengan cara mencengkram salah

satu ujung benda uji dan mengukur besarnya momen ulir atau torsi.

Deformasi yang terjadi dari benda uji yang bersangkutan diukur

dengan peralatan pengukur ulir yang dinamakan troptometer.

Penentuan dilakukan dengan menggunakan perpindahan sudut suatu

titik didekat salah satu ujung benda uji dibandingkan terhadap suatu

titik pada elemen memanjang yang sama pada arah yang

berlawanan.

2.4.2.2 Compression Test

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui nilai kekuatan beton dengan

melakukan pengujian kuat tekan terhadap benda uji diantaranya silinder

(�=15 cm, h=30 cm) ataupun kubus (15x15x15 cm) pada umur 28 hari yang

dibebani dengan gaya tekan sampai mencapai beban maksimum. Beban

maksimum didapat dari pengujian dengan menggunakan alat compression

testing machine. Standar yang digunakan ialah ASTM C-39 untuk benda uji

silinder dan BS-1881 Part 115; Part 16 untuk benda uji kubus.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 61: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-61

2.5 Rencana Anggaran Biaya

Rencana Anggaran Biaya adalah suatu bangunan atau proyek adalah

perhitungan banyaknya biaya yang diperlukan untuk bahan dan upah, serta

biaya-biaya lain yang berhubungan dengan pelaksanaan bangunan atau

proyek. Rencana anggaran biaya merupakan perhitungan banyaknya biaya

yang diperlukan untuk bahan dan upah, serta biaya-biaya lain yang

berhubungan dengan pelaksanaan proyek pembangunan. Rencana anggaran

biaya biasanya dihitung sebagai berikut:

RAB = � ( Volume x Harga Satuan Pekerjaan )

Anggaran biaya pada bangunan yang sama akan berbeda-beda di

masing-masing daerah, hal ini disebabkan perbedaan harga satuan bahan dan

upah tenaga kerja. Ada dua faktor yang berpengaruh terhadap penyusunan

anggaran biaya suatu bangunan yaitu faktor teknis dan non teknis. Faktor

teknis antara lain berupa ketentuan-ketentuan dan persyaratan yang harus

dipenuhi dalam pelaksanaan pembangunan serta gambar-gambar kontruksi

bangunan. Sedangkan faktor non teknis berupa harga-harga bahan bangunan

dan upah tenaga kerja. Dalam melakukan anggaran biaya dapat dilakukan

dengan dua cara yaitu anggaran biaya kasar (taksiran) dan anggaran biaya

teliti. Dalam menyusun Anggaran Biaya dapat dilakukan dengan 2 cara

berikut:

1. Angka Biaya Kasar.

Sebagai Pedoman dalam menyusun anggaran biaya kasar digunakan harga

satuan tiap meter persegi (m²) luas lantai. Anggaran kasar dipakai sebagai

pedoman terhadap anggaran biaya yang dihitung secara teliti. Meskipun

dinamakan anggaran biaya kasar, namun harga satuan tiap m² luas lantai tidak

terlalu jauh berbeda dengan harga yang dihitung secara teliti.

2 . Angka Biaya Teliti.

Yang dimaksud anggaran biaya teliti adalah Anggaran Biaya Bangunan atau

proyek yang dihitung dengan teliti dan cermat sesuai dengan ketentuan dan

syarat-syarat penyusunan anggaran biaya. Pada anggaran biaya kasar

sebagaimana diuraikan terdahulu, harga satuan dihitung berdasarkan harga

taksiran setiap luas lantai m². Taksiran tersebut haruslah berdasarkan harga

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 62: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-62

yang wajar dan tidak terlalu jauh berbeda dengan harga yang dihitung secara

teliti.

Sedangkan penyusunan anggaran biaya yang dihitung secara teliti, didasarkan

atau didukung oleh:

a. Besteks.

Gunanya untuk menentukan spesifikasi bahan dan syarat-syarat teknis.

b. Gambar Bestek.

Gunanya untuk menetukan/menghitung besarnya masing-masing volume

pekerjaan.

c. Harga Satuan Pekerjaan.

Didapat dari harga satuan bahan dan harga satuan upah berdasarkan

perhitungan Analisa Harga Satuan (AHS).

Rencana anggaran biaya juga memiliki beberapa jenis, diantaranya:

1. Rencana Anggaran Biaya Kasar (Taksiran) untuk Pemilik.

Rencana Anggaran Biaya dibutuhkan oleh pemilik untuk memutuskan akan

melaksanakan ide/gagasan untuk membangunan proyek atau tidak (biasanya

masih di bantu dengan Studi Kelayakan Proyek). Rencana Anggaran Biaya

kasar ini juga di pakai sebagai pedoman terhadap anggaran biaya yang

dihitung secara teliti. Rencana Anggaran Biaya ini dibuat masih kasar/global

sekali dan biasanya dihitung berdasarkan harga satuan tiap meter persegi luas

lantai atau dengan cara yang lain.

2. Rencana Anggaran Biaya Pendahuluan.

Oleh Konsultan Perencana Perhitungan anggaran Biaya ini dilakukan setelah

gambar rencana (desain) selesai dibuat oleh konsultan Perencana.

Perhitungan anggaran biaya ini lebih teliti dan cermat sesuai ketentuan dan

syarat-syarat penyusunan anggaran biaya. Penyusunan anggaran biaya ini di

dasarkan pada:

a. Gambar Bestek.

Gunanya untuk menentukan/menghitung besarnya volume masing-

masing pekerjaan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 63: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-63

b. Bestek atau Rencana Kerja dan Syarat-Syarat (RKS).

Gunanya untuk menetukan spesifikasi bahan dan syarat-syarat teknis.

c. Harga Satuan Pekerjaan.

Dihitung dari harga satuan bahan dan harga satuan upah berdasarkan

perhitungan Analisa Harga Satuan (AHS).

2.5.1 Dasar Perhitungan

Perhitungan RAB pada prinsipnya diperoleh sebagai jumlah

seluruh basil kali volume tiap jenis pekerjaan yang ada dengan harga

satuan masing-masing. Volume pekerjaan dapat diperoleh dan

membaca dan menghitung atas gambar desain (lebih dikenal sebagai

gambar bestek). Telah disinggung di muka bahwa unsur biaya konstruksi

mencakup harga-harga bahan, upah tenaga, dan peralatan yang

digunakan Semua unsur biaya ditentukan harga satuan tiap jenis

pekerjaan, dan untuk ini dapat digunakan analisis BOW yang sudah

dikenal sejak masa penjajahan Belanda (ketetapan Direktur BOW

tanggal 28 Februari 1921 Nomor 5372 A). Secara umum prosedur

perhitungan RAB disusun atas dasar lima unsur harga berikut:

a. Bahan-bahan atau material bangunan:

Dihitung kuantitas (volume, ukuran, berat, tipe, dsb) masing-masing jenis

bahan yang digunakan. Juga harga tiap jenis bahan itu sampai di

lokasi pekerjaan (termasuk ongkos angkutan), bahkan kadang-kadang

mencakup biaya pemeriksaan kualitas dan pengadaan gudang/tempat

penyimpanan.

b. Upah tenaga kerja.

Dihitung jam kerja yang dibutuhkan dan jumlah biaya/upah. Biasanya

digunakan berdasar harian atau per hari sebagai unit waktu, serta

volume pekerjaan yang dapat diselesaikan dalam unit waktu tersebut.

Sebagai unit waktu dapat pula atas dasar tiap jam. Perlu diketahui

bahwa kemampuan tiap tenaga kerja tidak sama tergantung

ketrampilan dan pengalaman, demikian juga besar upahnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 64: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-64

c. Pera latan .

Dihitung banyak dan jenis tiap peralatan yang diperlukan serta

harga/biayanya (beli atau sewa). Biaya peralatan termasuk ongkos

angkut/mobilisasi, upah operator mesin, biaya bahan bakar dan

sebagainya. Kemampuan peralatan per satuan waktu perlu diketahui.

d. Overhead.

Biasa dikategorikan sebagai biaya tak terduga atau biaya tak langsung,

dan dibagi menjadi dua golongan, yakni pertama yang bersifat umum,

serta kedua yang berkaitan dengan pekerjaan di lapangan. Overhead

umum misalnya sewa kantor, peralatan kantor, listrik, telepon,

perjalanan, asuransi/jamsostek, termasuk gaji/upah karyawan kantor

yang terlibat kegiatan proyek. Sedangkan overhead lapangan merupakan

biaya yang tak dapat dibebankan pada harga bahan-bahan, upah

pekerja dan peralatan, seperti telepon di proyek, pengamanan, biaya

perizinan, dan sebagainya. Biaya overhead keseluruhan ditetapkan

berdasar pengalaman, biasanya sekitar 12 sampai 30% dari jumlah

harga bahan, upah dan peralatan.

e. Keuntungan dan pajak.

Besar keuntungan tergantung pada besar-kecilnya proyek dan besarnya

risiko serta tingkat kesulitan pekerjaan. Biasanya keuntungan berkisar

antara 8 sampai 15% dari biaya konstruksi (bouwsom). Sedangkan pajak

besarnya tergantung pada peraturan pemerintah yang berlaku, biasanya

antara 10 sampai 18%.

2.5.2 Porsentase Bobot Pekerjaan

Prosentase bobot pekerjaan merupakan besarnya nilai prosentase tiap

item-item pekerjaan, berdasarkan perbandingan antara anggaran biaya

pekerjaan dengan harga bangunan. Secara skematis dapat digambarkan

sebagai berikut:

Persentase Bobot Pekerjaan (PBP)

= Volume x Harga satuan x 100 % Harga Bangunan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 65: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-65

2.5.3 Harga Satuan Pekerjaan

Harga satuan pekerja merupakan jumlah dari harga satuan bahan, upah

pekerja dan harga alatyang di butuhkan untuk menyelesaikan tiap satuan

pekerjaan berdasarka perhitungan analisis.

Harga satuan pekerjaan didapat dari hasil penjumlahan antara harga

satuan bahan dengan harga satuan upah tenaga kerja. Perhitungan harga

satuan pekerja dapat diperoleh dengan Rumus berikut.

HSP = HSB + HSU

Dimana:

HSP = Harga Satuan Pekerjaan

HSB = Harga Satuan Bahan

HSU = Harga Satuan Upah

Besarnya harga satuan pekerjaan tergantung dari besarnya harga satuan

bahan dan harga satuan upah, dimana pada harga satuan bahan

tergantung pada ketelitian dalam perhitungan kebutuhan bahan untuk

setiap jenis pekerjaan, sedangkan pada penentuan harga satuan upah

tergantung pada tingkat produktifitas dari pekerja dalam menyelesaikan

pekerjaan terrsebut.

2.5.4 Harga Satuan Bahan dan Upah

Harga satuan bahan adalah harga yang harus dibayar untuk membeli

persatuan jenis bahan bangunan.

Harga satuan bahan/upah diperoleh dari hasil perkalian antara koefisien

bahan atau upah tenaga kerja dengan harga bahan tiap satuan. Harga

satuan bahan dan upah dapat diperoleh dengan Rumus sebagai berikut:

HSB = KB x HB

HSU = KU x HU

Dimana :

KB = jumlah bahan yanga dibutuhkan tiap satuan pekerjaan

HB = harga bahan tiap satuan

KU = jumlah orang/hari untuk menyelesaikan tiap satuan pekerjaan

HU = upah tenaga kerja tiap hari

Adapun beberapa jenis pekerjaan yang diperhitungkan secara lumpsum

(LS). Lumpsum yaitu taksiran biaya yang tidak memiliki analisa, namun

dihitung berdasarkan perkiraan umum. Dari perhitungan satuan

pekerjaan ini nantinya dijadikan dasar dalam perhitungan kebutuhan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 66: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-66

bahan dan tenga kerja tiap-tiap pekerjaan, durasi tiap-tiap pekerjaan, dan

rencana anggaran biaya.

2.5.5 Kebutuhan Bahan dan Tenaga Kerja

Kebutuhan bahan dan material yang dibutuhkan untuk melaksanakan

tiap-tiap pekerjaan sesuai dengan jadwal yang ada dan juga kebutuhan

akan tenga kerja yang akan mengerjakannya. Dalam perhitungan durasi

pekerjaan terdapat produktifitas pekerja untuk menyelesaikan suatu

volume pekerjaan, dari produktifitas tersebut direncanakan jumlah

tenaga kerja yang dibutuhkan, jadi diketahui kebutuhan akan tenaga

kerja. Sedangkan untuk menentuakn kebutuhan akan bahan didapat dari

hasil perkalian antara koefisien bahan yang terdapat dalam harga satuan

pekerjaan dengan volume suatu pekerjaan yang bersangkutan.

Perhitungan kebutuhan bahan dapat diperoleh dengan Rumus berikut:

Kebutuhan bahan = KB x V

Dimana:

KB = Jumlah bahan yang diperluakan tiap satuan pekerjaan

V = Volume pekerjaan

Dengan penetuan akan bahan dan tenaga kerja tiap-tiap pekerjaan

diharapkan pada pelaksanaan proyek nantinya bahan dan tenaga kerja

yang dibutuhkan telah siap dilokasi proyek sesuai jadwal yang

ditentukan.

2.5.6 Analisa Harga Satuan

Analisa harga satuan pekerjaan adalah suatu cara perhitungan

harga satuan pekerjaan konstruksi yang dijabarkan dalam perkalian

kebutuhan bahan bangunan, upah kerja, dan peralatan dengan harga

bahan bangunan, standart pengupahan pekerja dan harga sewa/beli

peralatan untuk menyelesaikan per satuan pekerjaan konstruksi.

Analisa harga satuan pekerjaan ini dipengaruhi oleh angka

koefisien yang menunjukkan nilai satuan bahan/material, nilai satuan

alat, dan nilai satuan upah tenaga kerja ataupun satuan pekerjaan yang

dapat digunakan sebagai acuan/panduan untuk merencanakan atau

mengendalikan biaya suatu pekerjaan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 67: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-67

Untuk harga bahan material didapat dipasaran, yang kemudian

dikumpulkan didalam suatu daftar yang dinamakan harga satuan

bahan/material, sedangkan upah tenaga kerja didapatkan di lokasi

setempat yang kemudian dikumpulkan dan didata dalam suatu daftar

yang dinamakan daftar harga satuan upah tenaga kerja. Harga satuan

yang didalam perhitungannya haruslah disesuaikan dengan kondisi

lapangan, kondisi alat/efisiensi, metode pelaksanaan dan jarak angkut.

Adapun perhitungna bahan, upah dan alat berdaasar AHS adalah sebagai

berikut:

Upah : harga satuan upah x koefisien (analisa upah).

Bahan : harga satuan bahan x koefisien (analisa bahan).

Alat : harga satuan alat x koefisien (analisa alat).

Besarnya harga satuan pekerjaan tergantung dari besarnya harga

satuan bahan, harga satuan upah dan harga satuan alat dimana harga

satuan bahan tergantung pada ketelitian dalam perhitungan kebutuhan

bahan untuk setiap jenis pekerjaan. Penentuan harga satuan upah

tergantung pada tingkat produktivitas dari pekerja dalam menyelesaikan

pekerjaan. Harga satuan alat baik sewa ataupun investasi tergantung dari

kondisi lapangan, kondisi alat/efisiensi, metode pelaksanaan, jarak

angkut dan pemeliharaan jenis alat itu sendiri.

Analisa Bahan dan Upah

Yang dimaksud dengan analisa bahan suatu pekerjaan, ialah yang

menghitung banyaknya/volume masing-masing bahan, serta

besarnya biaya yang dibutuhkan. Sedangkan yang dimaksud dengan

analisa upah suatu pekerjaan ialah, menghitung banyaknya tenaga

yang diperlukan, serta besarnya biaya yang dibutuhkan untuk

pekerjaan tersebut. (H.bachtiar,1993)

Produktivitas

Secara umum produktivitas diartikan sebagai suatu perbandingan

antara hasil keluaran dan masukan atau output : input (Umar, 1998).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 68: D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

���� ������ ������� �� �� �������� �������II-68

Pengertian output meliputi volume dan kualitas, sedangkan input

meliputi bahan dan energi, tenaga kerja dan peralatan modal. Jadi

dapat juga dikatakan bahwa produktivitas merupakan upaya untuk

mewujudkan hasil-hasil tertentu yang diinginkan dengan

mengerahkan sejumlah sumber daya (Umar, 1998).