css tetanus
DESCRIPTION
clinical science tetanusTRANSCRIPT
CLINICAL SCIENCE SESSION
TETANUS
Perseptor :
Aih Cahyani, dr., SpS
Disusun Oleh :
Reyhan Farandi (130112120621) Amalia Triakumara (Sedang Proses)
Kartika Sandra (Sedang Proses)
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTERBAGIAN ILMU PENYAKIT SYARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARANBANDUNG
2014
TETANUS
Definisi
Menurut Sir William Gower (1988) Tetanus adalah penyakit pada susunan saraf
yang ditandai dengan spasme tonik persisten ditandai dengan serangan jelas dan keras.
Spasme hampir selalu terjadi pada otot leher dan rahang, menyebabkan penutupan
rahang (trismus, lockjaw), dan melibatkan otot-otot batang tubuh melebihi otot
ekstremitas. Onsetnya selalu akut dan menyebabkan kematian yang tinggi.
Etiologi
Clostridium tetani tersebar luas di dunia, di dalam tanah, dan tinja kuda, dan
hewan lain. Clostridium tetani adalah basil gram positif anaerob, berbentuk batang
ramping, dengan ukuran rata-rata 0,4x6 µm, bakteri ini dapat berkembang dari bentuk
spora serta memberikan gambaran drumstick atau squash racket, serta memiliki bentuk
aktif yang berflagel dan tumbuh subur pada suhu 37 °C. Organisme ini sensitif terhadap
panas dan tidak dapat hidup pada lingkungan yang terdapat oksigen, sedangkan bentuk
spora sangat resisten terhadap panas dan antiseptik biasa. Spora dapat bertahan hidup
pada suhu 100 °C selama 4 jam atau 121 °C pada autoklaf selama 10 – 15 menit. Spora ini
juga relatif persisten terhadap fenol dan bahan-bahan kimia lainnya, seperti etanol dan
formalin, namun dapat dibunuh dengan iodin, glutaraldehid, atau hidrogen peroksida.
Clostridium tetani menghasilkan 2 macam eksotoksin, yaitu tetanolisin dan
tetanospasmin. Fungsi tetanolisin belum dapat diketahui secara pasti , namun diketahui
dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan yang sehat, pada luka yang terinfeksi,
menurunkan potensial reduksi, dan meningkatkan pertumbuhan organisme anaerob.
Tetanospasmin bekerja terhadap susunan syaraf pusat dengan beberapa cara. Toksin ini
menghambat pelepasan asetilkolin sehingga mengganggu transmisi neuromuskuler.
Namun, cara kerja yang paling penting adalah penghambatan neuron spinal post sinaps
dengan menghambat pelepasan mediator penghambat. Ini mengakibatkan kejang otot
yang menyeluruh, hiperefleksia dan kejang umum.
2
Epidemiologi
Tetanus terjadi secara luas di seluruh dunia, namun paling sering pada daerah
dengan populasi yang padat. Pada tahun 2000, berdasarkan data dari WHO, Stanfield dan
Galazka, menghitung insidensi insidensi secara global kejadian tetanus di dunia adalah 0,7
– 1 juta kasus per tahun. Pada tahun 2002, insidensi kejadian tetanus di dunia berkisar
antara 0,5 – 1 juta kasus dan 50 % dari kematian akibat tetanus di negara berkembang
disebabkan oleh tetanus neonatorum. Di negara berkembang, tetanus lebih sering
menyerang laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan 3:1.
Patogenesis
C. tetani memasuki tubuh melalui luka. Spora dapat tumbuh pada keadaan yang
anaerob. Jaringan nekrosis, benda asing, atau infeksi aktif juga merupakan tempat yang
baik untuk perkembangan spora dan pelepasan toksin. Tetanospasmin merupakan
substansi asam amino rantai polipeptida yang dilepaskan di dalam luka. Toksin terikat
pada ujung terminal motor neuron perifer, kemudian memasuki akson dan ditranspor
secara retrograd melalui intraneuronal. Toksin ini bekerja pada sistem syaraf, termasuk
motor end plate perifer, medulla spinalis, otak, dan sistem syaraf otonom. Selain itu toksin
juga dapat menyebar melalui sistem peredaran darah dan limfatik. Tetanospasmin
menghambat pelepasan neuron inhibitor yang berfungsi mengatur kontraksi otot. Otot
akan berkontraksi secara tidak terkontrol sehingga menjadi kaku. Neuron yang
melepaskan neurotaransmitter inhibitor mayor, yaitu GABA dan glisin, akan menjadi
sensitif terhadap tetanospasmin sehingga terjadi kegagalan inhibisi pada respon refleks
motor pada stimulasi sensorik. Penghambatan ini disebabkan karena pemecahan protein
yang berfungsi pada pelepasan vesikel, yaitu synaptobrevin. Hal ini akan mengurangi
fungsi inhibisi dan meningkatkan kecepatan istirahat pada motor neuron, serta
bertanggung jawab pada rigiditas otot. Sehingga pada syaraf perifer terpendek akan
menimbulkan gejala awal berupa distorsi wajah, kekakuan punggung dan leher. Keadaan
tersebut di atas akan menunjukkan suatu manifastasi klinis yang khas, yang terjadi ketika
toksin tetanus mengganggu pelepasan neurotransmiter dan menghambat impuls
3
inhibitor. Keadaan ini mengakibatkan kontraksi dan spasme otot, juga dapat terjadi
kejang, dan bahkan mengenai sistem saraf otonom yang disebabkan inhibisi pada neuron
preganglion simpatis di substansia grisea lateral medulla spinalis sehingga menghasilkan
hiperaktivitas simpatis. Tetanospasmin ini dapat menghambat pelepasan neurotransmiter
pada neuromuscular junction yang akan mengakibatkan kelemahan dan paralisis.
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi yaitu waktu diantara terjadinya luka sampai timbul gejala pertama
berupa spasme otot rahang, pada umumnya berkisar anatar 5 – 8 hari. Makin singkat
masa inkubasi, makin berat penyakitnya. Periode onset (masa antara timbulnya gejala
pertama yang pada umunnya berupa gejala trismus sampai timbulnya spasme) adalah 2 –
3 hari.
Tetanus Umum
Gejala klinik umum terdiri dari:
1. kekakuan dan spasme otot
2. kekakuan otot masseter sebagai gejala awal, sehingga kesulitan membuka mulut
dikenal sebagai trismus (locked jaw). Kekakuan meliputi wajah, leher, dan otot
perut, serta otot anggota badan lainnya
3. gangguan otonom
4. rhisus sardonicus (kekakuan pada otot wajah bagai seorang yang kesakitan dan
ketakutan)
5. retraksi kepala, akibat terjadi penekanan oksiput pada tempat tidur, bila hebat
dalam beberapa hari dapat menimbulkan luka
6. epistotonus, timbul apabila otot-otot punggung kaku
7. kejang fleksor kedua lengan
8. rigiditas abdomen, seringkali disebut sebagai perut papan
9. disfagia, akibat kekakuan faring
10. kesulitan bernapas apabila otot dada interkostalis menjadi kaku
11. spasme otot yang menyerupai kejang tonik pada kasus yang berat
4
Penderita dengan tetanus berat sering mengalami kematian akibat terjadi sepsis,
komplikasi pernafasan, gangguan kardiovaskuler atau cardiac arrest. Gangguan
otonomik biasanya mengenai system simpatik maupun parasimpatik pada tetanus
berat. Gangguan simpatik memberikan gejala sinus takikardia atau keringat yang
berlebihan disamping kenaikan tekanan darah sistolik maupun diastolik serta aritmia
jantung. Kenaikan aktifitas parasimpatis mengakibatkan kenaikan air liur disamping
komplikasi kardiovaskuler yang bilamana sangat berat dikenal sebagai autonomic storm.
Grading menurut Abblet:
Tingkat I (ringan) : trismus ringan dan sedang dengan kekakuan umum.
Tidak disertai kejang, gangguan respirasi dengan sedikit
atau tanpa gangguan menelan.
Tingkat II (sedang) : trismus sedang, kaku disertai spasme kejang ringan
sampai sedang berlangsung singkat disertai disfagia ringan
dan takipnoe lebih dari 30-35 x/menit.
Tingkat III (berat) : trismus berat, kekakuan umum, spasme dan kejang
spontan yang berlangsung lama. Gangguan pernafasan
dengan takipnoe > 45x/menit, kadang apnoe, disfagia
berat dan takikardia >120 x/menit. Terdapat peningkatan
aktifitas saraf otonom yang moderat dan menetap.
Tingkat IV (sangat berat) : gambaran tingkat III disertai gambaran saraf otonom
berat dimana dijumpai hipertensi berat dengan takikardia
berselang dengan hipotensi relatif dan bradikardia atau
hipertensi diastolik yang berat dan menetap (tekanan
diastolik >110 mmHg) atau hipotensi sistolik yang menetap
(tekanan sistolik <90 mmHg) dikenal sebagai autonomic
storm.
5
Patel dan Joag membagi gejala klinik sebagai berikut:
Kriteria I : rahang kaku, spasme terbatas, disfagia dan kekakuan otot tulang
belakang
Kriteria II : spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya
Kriteria III : inkubasi antara 7 hari atau kurang
Kriteria IV : waktu onset adalah 48 jam atau kurang
Kriteria V : kenaikan suhu rektal sampai 100°F dan aksilla sampai 99°F.
Berdasarkan lima kriteria ini, dibuat tingkatan penyakit tetanus sebagai berikut:
Tingkat I (ringan) : minimal 1 kriteria (K I atau K II) , mortalitas 0%.
Tingkat II (sedang) : minimal 2 kriteria (K I dan K II) dengan masa inkubasi > 7 hari
dan onset > 2 hari, mortalitas 10%.
Tingkat III (berat) : minimal 3 kriteria dengan inkubasi < 7 hari dan onset < 2
hari, mortalitas 32%.
Tingkat IV (sangat berat) : minimal 4 kriteria dengan mortalitas 60%.
Tingkat V : biasanya mortalitas 80% dengan 5 kriteria termasuk
didalamnya adalah tetanus neonatorum maupun tetanus
puerperium.
Tetanus Neonatorum
Merupakan tetanus yang sangat berat dengan angka mortalitas yang sangat
tinggi. Didapat riwayat tindakan teknik obstetrik yang tidak steril dan kotor dimana
potongan umbilikus terkontaminasi dengan spora tetanus. Masa inkubasi bervariasi
antara 1 hari sampai 3-4 minggu. Pada umumnya gejala pertama timbul pada minggu
pertama kehidupan anak. Gejala dini berupa kesulitan menelan akibat kekakuan pada
bibir, otot rahang, serta faring. Rhisus sardonikus tampak nyata pada saat menangis.
Trismus jelas dengan sisi badan opistotonus berat, fleksi ekstrimitas atas dengan
hiperekstensi anggota badan bawah. Kesulitan pernafasan diikuti sianosis. Kematian
akibat kegagalan pernafasan, hipoksia dan pneumonia baik akibat aspirasi maupun
6
infeksi bakteri. Gangguan otonom hampir selalu dijumpai dengan akibat kegagalan
fungsi kardiorespirasi.
Tetanus sefalik
Luka pada wajah atau daerah kepala. Masa inkubasi 1-2 hari. Kelumpuhan
terbatas pada otot wajah dan mata. Gejala berupa trismus dan blefarospasm.
Menyerupai tetanus lokal yang menjadi tetanus umum yang pada banyak kasus berakhir
buruk atau fatal.
Tetanus lokal
Merupakan bentuk tetanus yang paling ringan. Gejala awal berupa kekakuan dan
nyeri pada otot sekitar luka diikuti spasme singkat pada otot yang terkena atau kedutan
otot. Spasme involunter menetap gambaran seperti rigiditas atau spastisitas tetani.
Trismus ringan dapat terjadi pada tetanus lokal dan gejala ini dapat membantu
penegakan diagnosis tetani.
Komplikasi tetanus
1. kegagalan respirasi dan hipoksia
Hypoxic respiratory failure tipe I dengan alkalosis respiratorik sering
disebabkan hipocapnia akibat terjadi takipnoe Karena kadar PaO2 turun sampai
70 mmHg pada penderita tetanus sedang. Kejang yang terus menerus pada
tetanus berat yang tidak dapat dikontrol dengan penggunaan sedatif dan obat
relaksan otot mengakibatkan timbulnya hipoventilasi alveolar yang dengan cepat
menurunkan PaO2 dan hiperkapnia sehingga berakhir dengan suatu kegagalan
pernafasan tipe II. Pemberian sedatif dapat memperburuk keadaan. Bilamana
terdapat komplikasi pneumonia berat atau bronkopneumoni maka kegagalan
pernafasan hipoksik menetap. Spasme laring yang terus menerus menimbulkan
hipoksia, sianosis, dan tidak jarang sudden death.
7
Serangan apneu dengan hipoksia berat dan sianosis selalu didapatkan
pada pasien tetanus berat. Bilamana hal ini berlarut dapat terjadi hipoksia,
bradiritmia berat, dan berakhir dengan kematian akibat jantung berhenti kerja.
Adult respiratory distress syndrom terjadi pada tetanus berat beberapa hari
setelah kejang dan tidak disertai berbagai gambaran klinik, infeksi saluran
pernafasan atau sepsis.
2. komplikasi kardiovaskuler dan sistem saraf otonom
takikardi >170-180 x/menit dapat menetap selama beberapa hari. Selain ini
didapatkan hipotensi yang menetap, hipertensi labil, hipertensi sistolik atau
diastolik berat yang menetap dan vasokonstriktor perifer yang berat dengan
bentuk yang paling berat adalah autonomic storm yang secara klinik ditandai
oleh sinus takikardia dengan hipertensi berat diikuti dalam beberapa menit oleh
penurunan denyut jantung dan penurunan tekanan tekanan darah dengan akibat
timbul kematian.
Aritmia dengan gangguan hantar jantung sering ditemukan.
Komplikasi lain yang berhubungan dengan gangguan sistem syaraf otonom
adalah hiperhidrosis, hipertermia, kadang2 hipotermi berat dan SIADH.
Sudden death dapat disebabkan oleh:
ketidakstabilan kardiovaskuler karena fluktuasi tonus simpatik
tonus vagal yang berlebihan mengakibatkan bradikardia
hipoksia berat
emboli pulmonal luas
peningkatan suhu sampai >41°C mengakibatkan henti jantung
hipo atau hiperkalemia berat
infark miokard luas dan akut
miokarditis toksik
3. komplikasi lain adalah
sepsis yang berlangsung dapat multi organ failure
8
komplikasi ginjal berupa kegagalan fungsi ginjal akibat sepsis atau faktor
pre renal, mioglobinuria akibat rabdomiolisis atau kejang berat
komplikasi hematologi akibat infeksi menunjukkan anemia pada minggu
kedua atau ketiga disamping trombositopenia atau DIC
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Ini terjadi akibat
hiperhidrasi dan yang jarang adalah akibat sekresi saliva berlebihan.
Gangguan elektrolit yang terjadi adalah hipokalemia dan hiponatremia.
Komplikasi metabolik. Hiperventilasi karena kejang yang terus menerus
dapat mengakibatkan suatu asidosis respiratorik. Hipokapnia lebih sering
menimbulkan suatu alkalosis respiratorik
Komplikasi pada kulit berupa dekubitus atau suatu tromboflebitis
Fraktur. Karena kejang yang hebat dapat dijumpai fraktur pada tulang
vertebra torakal sampai vertebra lumbal
Komplikasi neurologik berupa neuropati perifer, kompresi pada
n.peroneus, kelumpuhan n. Laryngeus, parese N.VII perifer,
ophtalmoplegia dan ptosis serta gangguan memori dan gangguan
kesadaran.
Komplikasi lanjut yang berakhir dengan kematian bersifat multifaktorial.
Kesulitan makan akibat trismus atau spasme faring mengakibatkan
kekurangan asupan kalori, protein maupun cairan. Bila ini berlanjut
terjadi gangguan keseimbangan asam basa dengan akibat asidosis sampai
syok. Pada saluran cerna dapat terjadi dilatasi gaster akut dan ileus
paralitik, ulkus peptikum akut, perdarahan karena erosi gaster dan syok.
Infeksi sekunder seperti pneumonia, dekubitus, infeksi saluran kencing,
flebitis memperburuk keadaan. Istirahat lama dapat mengakibatkan
timbulnya tromboflebitis vena dalam sehingga mengakibatkan emboli
paru.
9
Pengobatan
1. Pasien tetanus tingkat II, III dan IV sebaiknya dirawat diruang khusus dengan
peralatan intensif yang memadai. Sebaiknya di pasang selang nasogastrik dan bila
perlu dilakukan trakheostomi dengan segera. Ruangan perlu bersih, sejuk dengan
ventilasi udara bersih. Stimulasi taktil sedapat mungkin dihindari. Cahaya yang
terlalu terang sedapat mungkin dihindari. Perawat harus terlatih dalam pemantauan
fungsi vital, kenal tanda aritmia dan deteksi komplikasi serta terampil dalam
penanganan komplikasi.
2. Penggunaan antitoksin dan toksoid tetanus
Serum antitetanus yang dianjurkan beberapa peneliti adalah 10.000 U i.v satu kali.
Sebelum pemberian harus dilakukan uji kulit. Untuk imunisasi aktif digunakan
toksoid tetanus.abila luka kecil, tidak terinfeksi tetapi riwayat imunisasi tidak jelas
diberikan dosis 0,5 ml antitetanus toksoid. Dosis yang sama mutlak perlu diberikan
apabila luka besar, terinfeksi dan riwayat imunisasi terakhir telah lewat 5 tahun.
3. Penggunaan antibiotika
Uwadia menganjurkan pemberian penisilin kristal 2 mU tiap 6 jam i.v. Bilamana
terjadi reaksi alergi dapat diganti dengan Tetrasiklin 2 gram dalam 4 kali pemberian.
Ahmadsyah dan Salim mendapatkan bahwa bahwa pemberian metronidazol lebih
efektif dibanding penicilin dalam penekanan angka kematian pada pasien tetanus.
4. Penggunaan sedativa dan obat relaksan otot
Benzodiazepin merupakan obat yang paling sering dipaki karena merupakan GABA
agonis sehingga tidak langsung bersifat antagonis dengan efek tetanospasmin pada
sistem inhibisi. Dosis diazepam yang dianjurkan adalah sampai 500mg. Obat lain
adalah lorazepam dengan dosis 200 mg per hari.
5. Trakeostomi
Mutlak dilakukan pada pasien tetanus berat (tingkat III-IV). Apabila dilakukan pada
pasien stadium II yang memerlukannya akan lebih baik hasil akhirnya karena
mencegah gagal nafas akibat spasme larings yang berkepanjangan. Penelitia
Suparman dan Samsudin mendapatkan bahwa trakeostomi perlu dilakukan pada
10
pasien tetanus tingkat III dari Patel Joag. Angka kematian akan mencapai 100%
apabila ini tidak dilakukan sedangkan pada yang dilakukan trakeostomi angka
kematian hanya 9,7 %.
6. Induksi paralisis dengan pemasangan ventilator
Obat untuk induksi paralisis adalah yang bersifat seperti curare, vancuronium 2-4 mg
i.v. Bersamaan ini pasien menggunakan ventilator. Perlu disertai pemantauan
respirasi yang baik seperti Pa02 harus di atas 70mmHg dan Pa CO2 antara 35-42
mmHg. Ventilator berguna untuk mengoptimalkan pertukaran gas. Dengan
pengaturan pernafasan yang baik hipoksia, asidosis dan kecemasan dikurangi.
7. Pengobatan disotonomia
Beberapa peneliti mendapatkan bahwa obat labetolol merupakan competitif
antagonist pada reseptor alfa 1 dan beta 1 dan 2 adrenergik. Dosis yang dianjurkan
adalah 0,25 sampai 1 mg/menit.
TERAPI STANDAR PASIEN TETANUS DI BAGIAN SARAF RS HASAN SADIKIN BANDUNG
Serum antitetanus (ATS) 10.000 U i.m
Tetanus toksoid 0,5 cc i.m diulang satu bulan kemudian.
Antibiotika tetrasiklin 2 gr/hari dan metronidazol 1500mg/hari. A.... lain sesuai
kebutuhan.
Sedativa : diazepam 10 mg i.v sesuai kebutuhan
Tindakan perawatan seperti pemasangan selang nasogastrik, trakeostomi
perawatan luka dll.
Masuk ICU atas indikasi antara lain apabila spasme tidak dapat diatasi dengan
sedativa atau apabila terjadi disotonomia.
Prognosis dan Mortalitas
Prognosis dan mortalitas pasien tetanus tergantung dari beratnya penyakit.
Faktor-faktor yang mempengaruhi angka kematian adalah:
1. Masa inkubasi dan waktu onset
11
Semakin pendek masa inkubasi dan periode onset semakin tinggi angka
kematian.
2. Beratnya gejala klinik
Angka kematian tinggi pada penderita tetanus berat. Dua gejala klinik yang
berperan dalam prognosis adalah spasme dan disotonomia. Semakin kuat dan
berat spasme otot dan disotonomia semakin buruk prognosisnya.
3. Usia
Prognosis buruk dan angka kematian tinggi pada neonatus dan penderita yang
berusia di atas 50 tahun.
4. Gizi buruk
Prognosis kurang baik pada penderita tetanus dengan gizi buruk. Penyembuhan
akan lebih baik dan cepat apabila diberikan diet kalori tinggi (3500-4000 kal/hari)
5. Penanganan Komplikasi
6. Apabila komplikasi tetanus yang timbul ditangani dengan optimal, maka angka
kematian rendah.
12