css konjungtivitis alergi

20

Click here to load reader

Upload: sivaneasan-kandiah

Post on 25-Jul-2015

528 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: CSS Konjungtivitis Alergi

Clinical Science Session

KONJUNGTIVITIS ALERGI

Oleh :

Zulfahmi 07120025

Sivaneasan Kandiah 0810314262

Nabilah Raisa 0810314274

Preseptor :

dr. M. Hidayat, Sp.M

dr. Andrini Ariesti, Sp.M

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2012

Page 2: CSS Konjungtivitis Alergi

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konjungtiva merupakan membran yang tipis dan transparan yang melapisi bagian

anterior dari bola mata (konjungtiva bulbi), serta melapisi bagian posterior dari palpebra

(konjungtiva palpebrae). Oleh karena letaknya yang paling luar itulah sehingga konjungtiva

sering terpapar terhadap banyak mikroorganisme dan faktor lingkungan lain yang mengganggu.

Salah satu penyakit konjungtiva yang paling sering adalah konjungtivitis.1

Konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi bagian putih mata dan

bagian dalam kelopak mata. Penyakit ini merupakan penyakit mata paling umum di dunia,

gejalanya bervariasi dari hiperemi ringan dengan air mata sampai konjungtivitis berat dengan

banyak sekret purulen dan kental. Berdasarkan agen penyebabnya maka konjungtivitis dapat

dibedakan konjungtivitis bakterial, konjungtivitis virus, konjungtivitis klamidia, konjungtivitis

rickettsia, konjungtivitis fungal, konjungtivitis parasit, konjungtivitis alergika, konjungtivitis

kimia atau iritatif, konjungtivitis yang penyebabnya tidak diketahui, serta konjungtivitis yang

berhubungan dengan penyakit sistemik.1

Insidensi konjungtivitis di Indonesia berkisar antara 2-75%. Data perkiraan jumlah

penderita penyakit mata di Indonesia adalah 10% dari seluruh golongan umur penduduk per

tahun dan pernah menderita konjungtivitis. Data lain menunjukkan bahwa dari 10 penyakit mata

utama, konjungtivitis menduduki tempat kedua (9,7%) setelah kelainan refraksi (25,35%).2

Pada dasarnya konjungtivitis adalah penyakit ringan, namun pada beberapa kasus dapat

berlanjut menjadi penyakit yang serius. Untuk itu tidak ada salahnya berkonsultasi dengan dokter

mata jika terkena konjungtivitis.1

1.2 Batasan Masalah

Makalah ini akan membahas mengenai anatomi konjungtiva, epidemiologi, etiologi,

patofisiologi, diagnosis dan penatalaksanaan pada konjungtivitis alergi.

1.3 Tujuan Penulisan

Page 3: CSS Konjungtivitis Alergi

Makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai anatomi

konjungtiva, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, diagnosis dan penatalaksanaan pada

konjungtivitis alergi.

1.4 Metode Penulisan

Metode yang dipakai dalam penulisan makalah ini berupa tinjauan kepustakaan yang merujuk

kepada berbagai literatur dan makalah ilmiah.

BAB II

Page 4: CSS Konjungtivitis Alergi

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus

permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera

(konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dcngan kulit pada tepi kelopak

(persambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus. Konjungtiva terdiri dari tiga

bagian:

a. Konjungtiva palpebralis (menutupi permukaan posterior dari palpebra)

b. Konjungtiva bulbaris (menutupi sebagian permukaan anterior bola mata)

c. Konjungtiva forniks (bagian transisi yang membentuk hubungan antara bagian posterior

palpebra dan bola mata).3

Gambar 1. Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke

tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada fornices

superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera dan menjadi konjungtiva bulbaris.3

Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan melipat berkali-

kali. Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva

sekretorik. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke kapsul tenon dan sclera di bawahnya,

kecuali di limbus (tempat kapsul Tenon dan konjungtiva menyatu sejauh 3 mm),. Lipatan

Page 5: CSS Konjungtivitis Alergi

konjungtiva bulbaris yang tebal, mudah bergerak dan lunak (plika semilunaris) terlelak di

kanthus internus dan membentuk kelopak mata ketiga pada beberapa binatang. Struktur

epidermoid kecil semacam daging (karunkula) menempel superfisial ke bagian dalam plika

semilunaris dan merupakan zona transisi yang mengandung baik elemen kulit dan membran

mukosa.3

Konjungtiva forniks struktumya sama dengan konjungtiva palpebra. Tetapi hubungan

dengan jaringan dibawahnya lebih lemah dan membentuk lekukan-lekukan. Juga mengandung

banyak pembuluh darah. Oleh karena itu, pembengkakan pada tempat ini mudah terjadi bila

terdapat peradangan mata.2

Jika dilihat dari segi histologinya, lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima

lapisan sel epitel silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat

limbus, di atas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri

dari sel-sel epitel skuamosa.3

Sel-sel epitel superficial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi

mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata

secara merata di seluruh prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat daripada sel-sel

superficial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen.3

Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial) dan satu lapisan

fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat

mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak

berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa

konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian

menjadi folikuler. Lapisan fibrosa tersusun dari Jaringan penyambung yang melekat pada

lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang konjungtiva. Lapisan

fibrosa tersusun longgar pada bola mata.3

Kelenjar airmata asesori (kelenjar Krause dan Wolfring), yang struktur dan fungsinya

mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar Krause berada di

forniks atas, dan sedikit ada di forniks bawah. Kelenjar Wolfring terletak di tepi atas tarsus atas.3

2.2 Definisi

Page 6: CSS Konjungtivitis Alergi

Konjungtivitis adalah peradangan pada selaput bening yang menutupi bagian putih mata

dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut menyebabkan timbulnya berbagai macam

gejala, salah satunya adalah mata merah. Penyakit ini bervariasi mulai dari hyperemia ringan

dengan mata berair sampai konjungtivitis berat dengan banyak sekret purulen kental.

Konjungtivitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi, atau kontak dengan benda asing,

misalnya kontak lensa.2

Salah satu bentuk konjungtivitis adalah konjungtivitis alergi. Konjungtivitis alergi adalah

peradangan konjungtiva yang disebabkan oleh reaksi alergi atau hipersensitivitas tipe humoral

ataupun sellular. Konjungtiva sepuluh kali lebih sensitif terhadap alergen dibandingkan dengan

kulit.2

2.3 Epidemiologi

Konjungtivitis alergi dijumpai paling sering di daerah dengan alergen musiman yang

tinggi. Keratokonjungtivitis vernal paling sering di daerah tropis dan panas seperti daerah

mediteranian, Timur Tengah, dan Afrika. Keratokonjungtivitis vernal lebih sering dijumpai pada

laki-laki dibandingkan perempuan, terutamanya usia muda (4-20 tahun). Biasanya onset pada

dekade pertama dan menetap selama 2 dekade. Gejala paling jelas dijumpai sebelum onset

pubertas dan kemudian berkurang. Keratokonjungtivitis atopik umumnya lebih banyak pada

dewasa muda.4

2.4 Etiologi

Konjungtivitis alergi dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti :

a. reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang

b. iritasi oleh angin, debu, asap, dan polusi udara

c. pemakaian lensa kontak terutama dalam jangka panjang.1

2.5 Patogenesis

Tipe reaksi immunologi yang didapatkan pada konjungtivitis alergi berupa reaksi

hipersensitivitas tipe 1 (tipe cepat) yang berlaku apabila individu yang sudah tersentisisasi

sebelumnya berkontak dengan antigen yang spesifik. Imunoglobulin E (IgE) mempunyai afinitas

yang kuat terhadap sel mast, dan cross-link 2 IgE oleh antigen akan menyebabkan degranulasi

sel mast.2

Page 7: CSS Konjungtivitis Alergi

Degranulasi sel mast mengeluarkan mediator-mediator inflamasi di antaranya histamin,

triptase, chymase, heparin, chondroitin sulfat, prostaglandin, thromboxane, and leukotriene.

Mediator-mediator ini bersama dengan faktor-faktor kemotaksis akan menyebabkan peningkatan

permeabilitas vaskular dan migrasi sel neutrophil dan eosinophil. Ini merupakan reaksi alergi

yang paling sering pada mata.2

2.6 Klasifikasi

Konjungtivitis alergi terbagi kepada empat tipe yaitu ;

- Konjungtivitis “hay fever” (konjungtivitis simpleks) : Seasonal Allergic Conjunctivitis

(SAC) dan Perennial Allergic Conjunctivitis (PAC)

- Keratokonjungtivitis vernal

- Keratokonjuntgivitis atopic

- Giant Papillary Conjunctivitis.2

2.6.1 Konjungtivitis hay fever

Konjungtiva adalah permukaan mukosa yang sama dengan mukosa nasal. Oleh karena

itu, allergen yang bisa mencetuskan rhinitis allergi juga dapat menyebabkan konjuntivitis alergi.

Alergen airborne seperti serbuk sari, rumput, bulu hewan dan lain-lain dapat memprovokasi

terjadinya gejala pada serangan akut konjuntivitis alergi.4

Perbedaan konjungtivitis alergi sesonal dan perennial adalah waktu timbulnya gejala.

Gejala pada individu dengan konjungtivitis alergi seasonal timbul pada waktu tertentu seperti

pada musim bunga di mana serbuk sari merupakan allergen utama. Pada musim panas, allergen

yang dominan adalah rumput dan pada musim dingin tidak ada gejala karena menurunnya

tranmisi allergen airborne. Sedangkan individu dengan konjungtivitis alergi perennial akan

menunjukkan gejala sepanjang tahun. Alergen utama yang berperan adalah debu rumah, asap

rokok, dan bulu hewan.4

Gambaran patologi pada konjunktivitis hay fever berupa:

a. respon vascular di mana terjadi vasodilatasi dan meningkatnya permeabilitas pembuluh

darah yang menyebabkan terjadinya eksudasi.

b. respon seluler berupa infiltrasi konjungtiva dan eksudasi eosinofil, sel plasma dan mediator

lain.

Page 8: CSS Konjungtivitis Alergi

c. respon konjungtiva berupa pembengkakan konjungtiva, diikuti dengan meningkatnya

pembentukan jaringan ikat.2

2.6.2 Keratokonjungtivitis vernal

Keratokonjungtivitis vernal adalah inflamasi konjungtiva yang rekuren, bilateral,

interstitial dan self-limiting. Pada Keratokonjungtivitis vernal terjadi perubahan-perubahan akibat

dari reaksi alergi. Epitel konjungtiva mengalami hiperplasia dan membuat proyeksi ke dalam

jaringan subepitel. Pada lapisan adenoid terdapat infiltrasi oleh eosinophil, sel plasma, limfosit

dan histiosit. Juga ditemukan proliferasi lapisan fibrous yang kemudian terjadi perubahan hialin.

Selain itu, terdapat juga proliferasi pembuluh darah konjungtiva, peningkatan permeabilitas dan

vasodilatasi. Semua perubahan ini menyebabkan terbentuknya banyak papil pada konjungtiva

tarsalis superior.2

Ada dua tipe keratokonjungtivitis vernalis:

a. bentuk palpebra.

Pada tipe palpebra ini terutama mengenai konjungtiva tarsal superior, terdapat pertumbuhan

papil yang besar atau cobblestone yang diliputi secret yang mukoid. Konjungtiva inferior

hiperemi dan edema dengan kelainan kornea lebih berat disbanding bentuk limbal. Secara

klinis, papil besar ini tampak sebagai tonjolan bersegi banyak dengan permukaan yang rata

dan dengan kapiler di tengahnya.

b. Bentuk limbal

Pada tipe limbal terdapat hipertrofi pada limbus superior yang dapat membentuk jaringan

hiperplastik gelatin. Terdapat juga panus dengan sedikit eosinofil.2

2.6.3 Keratokonjungtivitis atopik

Keratokonjungtivitis atopik adalah inflamasi konjungtiva bilateral dan juga kelopak mata

yang berhubungan erat dengan dermatitis atopi. Individu dengan keratokonjungtivitis atopik

umumnya menunjukkan reaksi hipersensitivitas tipe 1, tetapi imunitas selluler yang rendah. Oleh

karena itu, pasien keratokonjungtivitis atopik beresiko untuk mendapat keratitis herpes simplex

dan kolonisasi oleh Staphylococcus Aureus. 2

2.6.4 Konjungtivitis Giant Papillarry

Page 9: CSS Konjungtivitis Alergi

Konjungtivitis Giant Papillarry adalah yang diperantarai reaksi imun yang mengenai

konjungtiva tarsalis superior. Penyebabnya masih belum diketahui secara pasti dan diperkirakan

kombinasi reaksi hipersensitivitas tipe 1 dan 4 mendasari patofisiolginya. Antigen yang terdapat

konjungtiva seperti lensa kontak dan benang operasi akan menstimulasi timbulnya reaksi imun

pada individu yang mempunyai faktor predisposisi. Iritasi mekanis yang terus-menerus terhadap

konjungtiva tarsalis superior juga menjadi salah satu faktor terjadinya konjungtivitis Giant

Papillarry.2

2.7 Diagnosis

2.7.1 Konjungtivitis Hay Fever

a. Tanda dan gejala

Radang konjungtivitis non-spesifik ringan umumnya menyertai “hay fever” (rhinitis alergika).

Bianya ada riwayat alergi terhadap tepung sari, rumput, bulu hewan, dan lainnya. Pasien

mengeluh gatal, kemerahan, berair mata, mata merah, dan sering mengatakan bahwa matanya

seakan-akan “tenggelam dalam jaringan sekitarnya”. Terdapat injeksi ringan di konjungtiva

palpebralis dan konjungtiva bulbaris, selama serangan akut sering ditemukan kemosis berat

(yang menjadi sebab kesan “tenggelam” tadi). Mungkin terdapat sedikit kotoran mata, khususnya

setelah pasien mengucek matanya.3

b. Laboratorium

Eosinofil sulit ditemukan pada kerokan konjungtiva.3

2.7.2 Keratokonjungtivitis vernal

a. Tanda dan gejala

Keratokonjungtivitis vernal ditandai dengan sensasi panas dan gatal pada mata terutama apabila

pasien berada di daerah yang panas. Gejala lain termasuk fotofobia ringan, lakrimasi, sekret

kental dapat ditarik seperti benang dan kelopak mata terasa berat.3,5

Pada tipe palpebral, terdapat papil-papil besar/raksasa yg tersusun sepertt batu bata

(cobble stones appearance). Cobble stones menonjol, tebal dan kasar karena serbukan limfosit,

plasma, eosinofil dan akumulasi kolagen & fibrosa. Hal ini dapat menggesek kornea sehingga

timbul ulkus kornea.3,5

Pada tipe bulbar/limbal terlihat penebalan sekeliling limbus karena massa putih keabuan.

Kadang-kadang ada bintik-bintik putih (Horner-Trantas dots), yang terdiri dari sebukan sel

Page 10: CSS Konjungtivitis Alergi

limfosit, eosinofil, sel plasma, basofil serta proliferasi jaringan kolagen dan fibrosa yang semakin

bertambah.3,5

b. Laboratorium

Pada eksudat konjungtiva yang dipulas dengan Giemsa terdapat banyak eosinofil dan granula

eosinofilik bebas.3

Gambar 2. Gambaran cobble stones appearance pada keratokonjungtivitis vernal

2.7.3 Keratokonjungtivitis atopik

a. Tanda dan gejala

Gejala keratokonjungtivitis atopic berupa sensasi terbakar, bertahi mata, berlendir, merah, dan

fotofobia. Pada pemeriksaan tepi palpebra eritemosa, dan konjungtiva tampak putih seperti susu.

Terdapat papilla halus, namun papilla raksasa tidak berkembang seperti pada

keratokonjungtivitis vernal, dan lebih sering terdapat di tarsus inferior. Berbeda dengan papilla

raksasa pada keratokonjungtivitis vernal, yang terdapat di tarsus superior. Tanda-tanda kornea

yang berat muncul pada perjalanan lanjut penyakit setelah eksaserbasi konjungtivitis terjadi

berulangkali. Timbul keratitis perifer superficial yang diikuti dengan vaskularisasi. Pada kasus

berat, seluruh kornea tampak kabur dan bervaskularisasi, dan ketajaman penglihatan menurun.3,5

Biasanya ada riwayat alergi (demam jerami, asma, atau eczema) pada pasien atau

keluarganya. Kebanyakan pasien pernah menderita dermatitis atopi sejak bayi.

Page 11: CSS Konjungtivitis Alergi

Keratokonjungtivitis atopik berlangsung lama dan sering mengalami eksaserbasi dan remisi.

Seperti keratokonjungtivitis vernal, penyakit ini cenderung kurang aktif bila pasien telah berusia

50 tahun. 3,5

b. Laboratorium

Kerokan konjungtiva menampakkan eosinofil, meski tidak sebanyak yang terlihat sebanyak pada

keratokonjungtivitis vernal.3

2.7.4 Konjungtivitis giant papillary

Dari anamnesa didapatkan riwayat pemakaian lensa kontak terutama jika memakainya melewati

waktunya. Juga ditemukan keluhan berupa mata gatal dan berair. Pada pemeriksaan fisik

ditemukan hipertrofi papil. Pada awal penyakit, papilnya kecil (sekitar 0,3mm diameter). Bila

iritasi terus berlangsung, papil kecil akan menjadi besar ( giant) yaitu sekitar 1mm diameter.2

2.8 Penatalaksanaan

Pada konjungtivitis alergi hay fever penatalaksanaan bukan dengan tujuan untuk mengobati

tetapi bersifat simptomatik dan profilaktif.

a. Non-medikamentosa

Penatalaksanaan non-medikamentosa ditujukan pada eleminasi dan menghindari sumber

allergen. Kompres dingin bisa diberikan untuk membantu mengatasi gatal-gatal.

b. Medikamentosa

Local

- topical antihistamin

- mast-cell stabilizer seperti cromolyn sodium

- topical vasokonstriktor seperti adrenalin, efedrin dan nafazoline.

- air mata artificial guna untuk dilusi dan irrigasi allergen dan mediator inflamasi di

permukaan ocular.

Sistemik : antihistamin oral

c. Imunoterapi : hiposensitisasi dengan pemberian injeksi ekstrak allergen 2

Penatalaksanaan pada keratokonjungtivitis vernal berupa

a. Terapi lokalis

Page 12: CSS Konjungtivitis Alergi

- Steroid topical – penggunaannya efektif pada keratokonjungtivitis vernal, tetapi harus

hati-hati kerana dapat menyebabkan glaucoma. Pemberian steroid dimulai dengan

pemakaian sering (setiap 4 jam) selama 2 hari dan dilanjutkan dengan terapi

maintainance 3-4 kali sehari selama 2 minggu. Steroid yang sering dipakai adalah

fluorometholon, medrysone, betamethasone, dan dexamethasone. Fluorometholon dan

medrysone adalah paling aman antara semua steroid tersebut.

- Mast cell stabilizer seperti sodium cromoglycate 2%

- Antihistamin topical

- Acetyl cysteine 0,5%

- Siklosporin topical 1%

b. Terapi sistemik;

- Anti histamine oral untuk mengurangi gatal

- Steroid oral untuk kasus berat dan non responsive

c. Terapi lain

- Apabila terdapat papil yang besar, dapat diberikan injeksi steroid supratarsal atau

dieksisi. Eksisi sering dianjurkan untuk papil yang sangat besar.

- Kaca mata gelap untuk fotofobia

- Kompres dingin dapat meringankan gejala

- Pasien dianjurkan pindah ke daerah yang lebih dingin 2

Pada konjungtivitis atopic atihistamin oral termasuk terfenadine (60-120 mg 2x sehari),

astemizole (10 mg empat kali sehari), atau hydroxyzine (50 mg waktu tidur, dinaikkan sampai

200mg) ternyata bermanfaat. Obat-obat antiradang non-steroid yang lebih baru, seperti ketorolac

dan iodoxamid, ternyata dapat mengatasi gejala pada pasien-pasien ini. Pada kasus berat,

plasmaferesis merupakan terapi tambahan. Pada kasus lanjut dengan komplikasi kornea berat,

mungkin diperlukan transplantasi kornea untuk mengembalikan ketajaman penglihatannya.2,5

Pada konjungtivitis giant papillary tatalaksana yang paling baik adalah menghindari

kontak dengan iritan. Jika memakai lensa kontak, dinasehatkan agar mengganti dengan memakai

kaca mata. Jika tetap menggunakan lensa kontak, perawatan lensa kontak yang baik seperti

desinfeksi dan pembersihan dengan cairan yang tepat dan jangan memakai melewati waktunya.

Dapat juga diberikan disodium cromoglyn sebagai terapi simptomatik.2,5

Page 13: CSS Konjungtivitis Alergi

2.9 Prognosis dan Komplikasi

Pada dasarnya konjungtivitis adalah penyakit ringan, namun pada beberapa kasus dapat

berlanjut menjadi penyakit yang serius jika tidak ditangani dengan cepat dan benar. Pada

umumnya konjungtivitis tidak menimbulkan komplikasi melainkan efek terhadap kualitas hidup

penderita. Iritasi pada mata menyebabkan penderita susah untuk keluar rumah pada waktu

tertentu. Konjungtivitis juga dapat mengganggu konsentrasi sewaktu bekerja ataupun di

sekolah.2,6

Pada konjungtivitis giant papillary, iritasi kronis akan menyebabkan keratitis yaitu

inflamasi pada kornea dan dapat menyebabkan kebutaan permanen karena terjadi ulserasi pada

permukaan kornea. Pada keratokonjungtivitis vernal juga dapat menyebabkan keratitis jika tidak

ditatalaksana.6

DAFTAR PUSTAKA

1. Riordan-Eva P. Anatomi dan embriologi mata. Dalam: Whitcher JP, Riordan-Eva P, editors.

Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta: EGC; 2007. h 1-27.

2. Khurana AK. Diseases of the conjunctiva. Dalam : Khurana AK, editor. Comprehensive

Ophtalmology Fourth Edition. New Delhi: New Age; h51-88.

3. Garcia-Ferrer FJ, Schwab IR, Shetlar DJ. Konjungtiva. Dalam: Whitcher JP, Riordan-Eva P,

editors. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta: EGC; 2007. h 97-124.

Page 14: CSS Konjungtivitis Alergi

4. Ventocillia M, Roy H. Allergic Conjunctivitis. Medscape Reference. 2012.

http://emedicine.medscape.com/article/1191467-overview#a0104

5. American Academy of Ophtalmology. Clinical approach to immune-related disorders of the

ecxternal eye in External Disease and Cornea. San Fransisco: American Academy of

Ophtalmology; 2008. h205-41.

6. Ilyas S. Mata merah dengan penglihatan normal. Ilyas S, editor. Dalam: Ilmu Penyakit Mata

Edisi ke-3. Jakarta: FKUI; 2009. h116-46.