csr

15
CSR Indonesia Newsletter Vol.1 Minggu 34 2007 1 C C S S R R I I n n d d o o n n e e s s i i a a Newsletter Vol. 1 Minggu 34 2007 [email protected] www.csrindonesia.com Dari Redaksi “Merdeka!” adalah pekik yang kita kerap dengar sepanjang minggu lalu. Kiranya pekikan itu terdengar tak seramai masa-masa lalu. Mungkin semakin banyak orang yang kehilangan kesadaran bahwa negara bangsa bernama Indonesia tak kan hadir kalau tak diperjuangkan dengan sungguh-sungguh oleh mereka yang memekikkan ”Merdeka!” dan maju ke medan pertempuran atau meja perundingan. Atau, diam-diam semakin banyak orang yang sadar bahwa ternyata kita memang masih ”agak” jauh dari kemerdekaan. Memang, Belanda dan Jepang sudah tidak bercokol dalam bentuk kolonialisme tradisional: petantang-petenteng dengan bedil di tangan. Namun kemerdekaan dalam berbagai aspek tampaknya belum hadir. Bangsa yang merdeka seharusnya bisa membangun dirinya menuju kesejahteraan bersama dalam segala aspek. Nyatanya kita belum bisa memastikan kesejahteraan multiaspek setelah 62 tahun ”merdeka”. Itu pesan Editorial kali ini. Selain berita-berita penting CSR sepanjang minggu lalu, Edisi 3 Newsletter CSR Indonesia menghadirkan tulisan Muhammad Nuruzzaman mengenai tanggung jawab sosial dalam projek pembangunan infrastruktur, khususnya untuk kasus pembangunan jalan tol. Dua tulisan dari Mukti Fajar dan Mulyadi Sumarto (Kompas, 15/08)—masih tentang debat atas regulasi CSR—juga dimuat, agar pembaca yang tak sempat melihatnya di surat kabar dapat mengaksesnya. Terakhir, kami juga menghadirkan timbangan buku atas karya Yusuf Wibisono ”Membedah Konsep dan Aplikasi Corporate Social Responsibility”. Semoga bermanfaat bagi kita semua dalam mengisi kemerdekaan dengan memperjuangkan CSR yang substansial. Daftar Isi Editorial Kita Belum Mampu Memastikan (Kemerdekaan) Itu......... 2 Berita CSR.................................................................................. 3-5 Agenda………………………………………………….. 5 Publikasi A+ Tangung Jawab Sosial Perusahaan dalam Projek Pembangunan Infrastruktur .............................. 6 Artikel Pilihan Tindakan Amoral Korporasi…................................................ CSR Layaknya Buah Simalakama …………………............ 8 9 Tentang A+ CSR Indonesia A+ CSR Indonesia hadir sebagai social enterprise yang menghimpun berbagai keahlian profesional dalam isu-isu seputar CSR. Dengan keahlian itu, berbagai permasalahan yang ada dalam pelaksanaan CSR dapat diidentifikasikan dengan tepat dan peluang bagaimana melakukan perbaikan atasnya dapat direkomendasikan. Di sisi lain A+ juga menghimpun keahlian yang sama untuk memajukan konsep CSR yang substansial, agar khalayak dapat membedakannya dengan upaya menggunakan konsep tersebut untuk kepentingan di luar pembangunan berkelanjutan. A+ memang bertekad menjaga keseimbangan antara kritisisme terhadap kinerja sosial dan lingkungan perusahaan dengan optimisme rasional untuk perbaikannya. Informasi Buku Membaca Upaya Yusuf Wibisono “Membedah”CSR.......... 11 A+ CSR Indonesia Redaksi Pamadi Wibowo ([email protected]) Jalal ([email protected]) Taufik Rahman ([email protected]) Irpan Kadir ([email protected]) Reza Ramayana ([email protected]) Endro Sampurna ([email protected]) Website & Publikasi ([email protected]) Rukan Permata Senayan No A/6, Jl. Tentara Pelajar, Patal Senayan, Jakarta 12210 T: +62 21 57940610 F: +62 21 57940611 Green Ads Space Untuk mengiklankan produk yang ramah sosial dan lingkungan, sponsorship, link ke laporan CSR perusahaan, agenda kegiatan CSR (pelatihan, seminar, lokakarya, ekspo) atau lainnya yang relevan silakan kontak ke [email protected] .

Upload: suhartojago

Post on 02-Jul-2015

267 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Csr

CSR Indonesia Newsletter Vol.1 Minggu 34 2007 1

CC SS RR II nn dd oo nn ee ss ii aa N e w s l e t t e r Vol. 1 Minggu 34 2007 

[email protected]

www.csrindonesia.com

Dari Redaksi  “Merdeka!” adalah pekik yang kita kerap dengar sepanjang minggu lalu. Kiranya pekikan itu terdengar tak seramai masa-masa lalu. Mungkin semakin banyak orang yang kehilangan kesadaran bahwa negara bangsa bernama Indonesia tak kan hadir kalau tak diperjuangkan dengan sungguh-sungguh oleh mereka yang memekikkan ”Merdeka!” dan maju ke medan pertempuran atau meja perundingan. Atau, diam-diam semakin banyak orang yang sadar bahwa ternyata kita memang masih ”agak” jauh dari kemerdekaan. Memang, Belanda dan Jepang sudah tidak bercokol dalam bentuk kolonialisme tradisional: petantang-petenteng dengan bedil di tangan. Namun kemerdekaan dalam berbagai aspek tampaknya belum hadir. Bangsa yang merdeka seharusnya bisa membangun dirinya menuju kesejahteraan bersama dalam segala aspek. Nyatanya kita belum bisa memastikan kesejahteraan multiaspek setelah 62 tahun ”merdeka”. Itu pesan Editorial kali ini. Selain berita-berita penting CSR sepanjang minggu lalu, Edisi 3 Newsletter CSR Indonesia menghadirkan tulisan Muhammad Nuruzzaman mengenai tanggung jawab sosial dalam projek pembangunan infrastruktur, khususnya untuk kasus pembangunan jalan tol. Dua tulisan dari Mukti Fajar dan Mulyadi Sumarto (Kompas, 15/08)—masih tentang debat atas regulasi CSR—juga dimuat, agar pembaca yang tak sempat melihatnya di surat kabar dapat mengaksesnya. Terakhir, kami juga menghadirkan timbangan buku atas karya Yusuf Wibisono ”Membedah Konsep dan Aplikasi Corporate Social Responsibility”. Semoga bermanfaat bagi kita semua dalam mengisi kemerdekaan dengan memperjuangkan CSR yang substansial.

Daftar Isi   

Editorial Kita Belum Mampu Memastikan (Kemerdekaan) Itu.........

2

Berita CSR.................................................................................. 3-5Agenda………………………………………………….. 5Publikasi A+ Tangung Jawab Sosial Perusahaan dalam Projek Pembangunan Infrastruktur..............................

6

Artikel Pilihan Tindakan Amoral Korporasi…................................................ CSR Layaknya Buah Simalakama …………………............

8 9

Tentang A+ CSR Indonesia  A+ CSR Indonesia hadir sebagai social enterprise yang menghimpun berbagai keahlian profesional dalam isu-isu seputar CSR. Dengan keahlian itu, berbagai permasalahan yang ada dalam pelaksanaan CSR dapat diidentifikasikan dengan tepat dan peluang bagaimana melakukan perbaikan atasnya dapat direkomendasikan. Di sisi lain A+ juga menghimpun keahlian yang sama untuk memajukan konsep CSR yang substansial, agar khalayak dapat membedakannya dengan upaya menggunakan konsep tersebut untuk kepentingan di luar pembangunan berkelanjutan. A+ memang bertekad menjaga keseimbangan antara kritisisme terhadap kinerja sosial dan lingkungan perusahaan dengan optimisme rasional untuk perbaikannya.

Informasi Buku Membaca Upaya Yusuf Wibisono “Membedah”CSR..........

11

A+ CSR Indonesia   Redaksi Pamadi Wibowo ([email protected]) Jalal  ([email protected]) Taufik Rahman ([email protected]) Irpan Kadir ([email protected]) Reza Ramayana ([email protected]) Endro Sampurna ([email protected])  Website & Publikasi ([email protected]

 

 Rukan Permata Senayan No A/6,  Jl. Tentara Pelajar, Patal Senayan, Jakarta 12210  T: +62 21 57940610     F: +62 21 57940611 

Green Ads Space

Untuk mengiklankan produk yang ramah sosial dan lingkungan, sponsorship, link ke laporan CSR perusahaan, agenda kegiatan CSR (pelatihan, seminar, lokakarya, ekspo) atau lainnya yang relevan silakan kontak ke

[email protected].

Page 2: Csr

CSR Indonesia Newsletter Vol.1 Minggu 34 2007 2

Editorial  Kita Belum Mampu Memastikan (Kemerdekaan) Itu… Naskah proklamasi menyatakan bahwa yang ingin merdeka adalah bangsa ini, bangsa Indonesia. Selama 62 tahun merdeka, kemerdekaan itu diisi dengan membangun negara. Memang, hingga kini Indonesia masih belum menunjukkan sebagai sekelompok manusia berbangsa. Kita baru bernegara, belum berbangsa! Kebangsaan adalah salah satu identitas kemanusiaan. Bahasa, budi pekerti, dan kebebasan adalah contoh lainnya. Dan bangsa yang merdeka adalah bangsa yang mampu membebaskan diri dari berbagai bentuk penjajahan. Menjadi bangsa yang merdeka adalah cita-cita semua insan. Status kemerdekaan dan identitas kebangsaan merupakan sesuatu yang dinamis dan kadang-kadang liar. Ia adalah sesuatu yang harus terus-menerus dicari maknanya dan diperjuangkan. Bangsa yang merdeka adalah bangsa yang tiada henti memperjuangakan kemerdekaan itu sendiri. Negara, dalam banyak literatur ilmu politik, adalah sebuah organisasi. Kendati ia berniat mewadahi berbagai ruh dan nilai kebangsaan, dalam pasang-surut sejarah kenegaraan kepentingan ekonomi selalu menjadi panglima. Gerakan politik menjadi mandek jika tanpa dukungan ekonomi. Negara sebagai organisasi dengan legitimasi kekuasaan tertinggi, pada akhirnya menjadi pemain ekonomi yang termasuk paling dominan. Kini, ekonomi digerakkan oleh perdagangan bebas, sementara negara dikelola dengan pertimbangan demokrasi. Dan kehormatan dijunjung tinggi di atas setiap kepala individu. Globalisasi ekonomi tidak memberikan banyak pilihan kecuali beradaptasi dan bersaing secara terbuka. Kendati masih bisa berekspresi dengan dasar menunjukkan keunikan, tapi toh yang namanya persaingan, tetap tidak bisa terlepas dari hukum besi pasar. Siapa kuat modalnya, dia yang dapat! Indonesia, hingga kini masih mengedepankan kekayaan dan keelokan sumberdaya alam. Indonesia adalah ”papan catur” nan elok, lengkap dengan jumlah penonton yang maha banyak. Dibandingkan menyediakan produk canggih, bangsa ini masih mengunggulkan besarnya konsumen dan tenaga kerja murah. Dibutuhkan ”kenekatan” luar biasa untuk mampu bersaing. Dibutuhkan kecerdasan luar biasa untuk mampu bekerja sama yang saling menguntungkan. Berbagai pelaku ekonomi memaknai kemerdekaan bangsa ini dengan memberikan sejumlah diskon. Ada juga yang mempertahankan harga jual, namun meningkatkan biaya iklan. Mereka menjajakan iklan produk di balik puisi dan konser dangdut atau pop

kemerdekaan. Masyarakat beramai-ramai memanjat pinang, balap karung, membuat gapura yang megah, dan menyelenggarakan berbagai turnamen olah raga. Namun tidak sedikit masyarakat yang berdiam diri. Mereka mengambil keputusan taktis: daripada buat seremoni lebih baik duit dipakai buat makan. Bagi kebanyakan perusahaan, momentum HUT Kemerdekaan RI adalah kesempatan untuk meraih dan mengokohkan reputasi diri. Besarnya sumbangan mungkin akan dilaporkan sebagai tanda dari kepatuhan sebagai warga negara (corporate citizen). Dipastikan pula ia akan hadir dalam publikasi kegiatan corporate social responsibility (CSR). Kita butuh lebih dari ini. Kemeriahan perayaan HUT RI pada akhirnya hanyalah panggung hiburan. Dan hiburan itu lebih dekat dengan menghabiskan waktu luang, atau bahkan dalam batas-batas tertentu bisa menjadi kemubaziran. Dari berbagai diskusi mengenai regulasi CSR, majoritas kalangan non-perusahaan menunjukkan antusiasme luar biasa. Mereka memandang bahwa dengan diregulasinya CSR oleh pemerintah sebagai kesempatan untuk memeroleh dana CSR. Sebaliknya perusahaan banyak berkeberatan karena itu artinya harus ada tambahan pengeluaran di luar kepentingan bisnis. Di titik tengahnya hadir manajemen ”reputasi” perusahaan, yang kerap disusutkan menjadi sekadar kehumasan. Dengan nada dan pilihan kegiatan yang sengaja dibuat sepertinya ramah sosial dan ramah lingkungan, perusahaan mempublikasikan citra positif eksistensi dirinya. Sementara, bangsa ini masih merasa kelewat bangga dengan kesementaraan kekayaan alam. Ketika alam sering diperkosa dan masyarakatnya dicampakkan, masih terlampau sedikit dan lemah pihak yang meluruskannya. Kemerdakaan adalah sebuah pilihan sadar. Penjajahan adalah nasib buruk yang mungkin sengaja dipilih secara tak sadar. Negara Indonesia memang sudah lahir sejak 62 tahun lalu. Namun kita tak pernah mampu memastikan apakah bangsa ini tumbuh sehat, berkembang cerdas, atau malah terus-menerus menderita kesakitan. Kita belum bisa memastikan itu! Kiranya diperlukan ruh keagungan sebuah bangsa yang merdeka agar hal-hal yang berkenan dengan pemindahan kekuasaan (ilmu pengetahuan dan teknologi) dapat diselenggarakan secara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

 

Page 3: Csr

CSR Indonesia Newsletter Vol.1 Minggu 34 2007 3

Berita CSR  Ericsson Focuses on IT Education in CSR Programs 16.Aug.2007 - Sumber: http://thejakartapost.com/Archives/ArchivesDet2.asp?FileID=20070816.M03 Jakarta - PT Ericsson Indonesia, the local unit of telecommunications equipment provider Ericsson, says IT education will be the focus of its corporate social responsibility programs. Vice president for marketing and communications Dewi Widiyanti said Tuesday that Ericsson had decided to focus on IT education as it wanted to help develop the IT industry in Indonesia. She said that Ericsson first conducted such activities at the start of the decade, when it gave financial support to a number of electrical engineering students to enable them to finish their undergraduate studies. Then, in 2002, it launched the "Ericsson Fast-Forward" program, which enables some 20 fresh graduates from reputable universities to serve internships in the company every year. This month, it will send three holders of bachelor's degrees to the Royal Institute of Technology (KTH) in Stockholm, Sweden, for two-year postgraduate courses in wireless systems in electrical engineering. "We want to make a contribution to the development of the IT industry in Indonesia. When the three come back, we hope will apply their skills and knowledge to boost the development of IT here," said president director Bengt Thornberg. He said that Ericsson Indonesia currently had around

900 staff members, of whom 95 percent were the holders of degrees. ”We need more people with higher levels of education,” said Thornberg, adding that the three awardees of the bursaries would not be obliged to work in Ericsson after finishing their studies. “We’ll welcome them back here, offering them jobs, but we won't ask for a commitment,” he said. Ericsson first arrived in Indonesia in 1907 and has been supplying the country's telecommunications sector ever since. It provided Indonesia's first cellular network in 1987 and GSM (global system for mobile communications) network in 1995. In 2006, it introduced 3G technology to Indonesia. Ericsson recently extended its contract with the country's top cellular operator, PT Indosat Tbk, to expand the latter's WCDMA (wideband code division multiple access) and HSPA (high-speed packet access) network coverage in greater Jakarta. Ericsson will hence be responsible for supplying core, radio access network and transmission equipment, covering the design, deployment, integration, performance and improvement of Indosat's WCDMA/HSPA network. (11)

Industri Pulp Terguncang, Sedikitnya 1 Juta Pekerja di Riau Terancam Kehilangan Pekerjaan 16.Aug.2007 - Sumber: http://kompas.com/kompas-cetak/0708/16/ekonomi/3765810.htm Jakarta - Krisis bahan baku yang terjadi sejak Februari 2007 telah mengguncang PT Riau Andalan Pulp and Paper serta PT Indah Kiat Pulp and Paper. Tanpa penanganan serius dari pemerintah, kedua produsen pulp terbesar di Indonesia ini akan kolaps dan bisa memunculkan gelombang pengangguran baru. "Perbedaan penafsiran dasar hukum antara polisi dan Departemen Kehutanan dalam operasi pemberantasan pembalakan liar sudah sampai pada tahap menyulitkan operasi kedua perusahaan ini. Pemerintah seharusnya duduk bersama untuk menyelesaikannya agar kedua perusahaan ini tidak berhenti berproduksi mulai

Oktober 2007," kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi di Jakarta, Rabu (15/8). Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) merupakan anak perusahaan Sinar Mas, sementara Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) adalah anak perusahaan Raja Garuda Mas. Keduanya merupakan produsen bubur kertas atau pulp terbesar di Indonesia yang memproduksi 4 juta ton pulp per tahun. Presiden Direktur RAPP Rudi Fajar menambahkan, industri pulp idealnya memiliki stok bahan baku untuk enam bulan ke depan. Namun, stok yang tersisa saat ini

Page 4: Csr

CSR Indonesia Newsletter Vol.1 Minggu 34 2007 4

hanya cukup untuk produksi sampai bulan September 2007. Untuk memproduksi 160.000 ton pulp sedikitnya dibutuhkan 700.000 meter kubik kayu. Krisis berawal dari langkah penyidikan Kepolisian Daerah Riau atas hasil operasi pemberantasan pembalakan liar sejak awal tahun 2007. Polisi menuding manajemen RAPP dan IKPP memakai kayu ilegal untuk berproduksi (Kompas, 23/2). "Kami tetap mendukung langkah hukum. Namun, jika yang terjadi seperti sekarang, maka mulai Oktober 2007 kami tak bisa lagi berproduksi," ujar Rudi. Senada dengan Rudi, General Manager Corporate Communication Sinar Mas Joice Budisusanto mengatakan, IKPP juga kesulitan memperoleh bahan baku karena para pemasok tidak bisa menebang di areal hutan tanaman industri (HTI) mereka. ”Tanpa solusi dari pemerintah, kami terpaksa menghentikan produksi dan keadaan ini akan

mengancam kesinambungan restrukturisasi kewajiban yang sukses dilaksanakan beberapa tahun lalu,” tambah Joice. Lapangan Kerja Sejak beroperasi, IKPP telah menyerap 300.000 pekerja langsung dan 500.000 pekerja tidak langsung, di antaranya dari perusahaan pemasok dan katering. Sementara itu, RAPP mengklaim mempekerjakan sedikitnya 200.000 orang, baik langsung maupun tidak langsung. Setiap tahun, IKPP mengekspor pulp 3 miliar dollar AS dan RAPP senilai 2 miliar dollar AS. Sofjan meminta pemerintah segera merevisi aturan yang tumpang tindih agar proses hukum tak mengganggu kinerja perusahaan yang sah. “Yang terjadi sekarang, polisi memasang garis polisi di seluruh areal HTI yang sah karena di lokasi itu ditemukan kayu yang diduga ilegal. Kalau sudah begini, perusahaan itu jadi sulit bekerja,” ujarnya. (ham)

Perusahaan Pengembang Menunggak Fasos-Fasum 16.Aug.2007 - Sumber: http://kompas.com/kompas-cetak/0708/16/metro/3765947.htm Jakarta, - Sebanyak 180 perusahaan pengembang di Jakarta Pusat tidak merealisasikan kewajiban membangun serta menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum. Tunggakan kewajiban ini terjadi sejak tahun 1990-an. Akibatnya, kebutuhan masyarakat akan ruang terbuka hijau, jalur pejalan kaki, tempat ibadah, fasilitas olahraga, serta kerapian jalan umum tidak terpenuhi. ”Para perusahaan pengembang menyepelekan pemerintah dan sengaja melanggar peraturan. Mereka bahkan tidak mau datang ketika diundang untuk membicarakan masalah kewajibannya,” kata Asisten Ekonomi dan Pembangunan Wali Kota Jakarta Pusat Natsir Sabhara, Rabu (15/8). Natsir bekerja sama dengan Badan Pengelola Kompleks Kemayoran sengaja mengundang para perusahaan pengembang ke Kantor Wali Kota Jakarta Pusat, Rabu

kemarin. Namun, setelah menunggu sekitar satu jam sejak pukul 10.00, sesuai dengan jadwal pertemuan, tak satu pun perwakilan perusahaan datang. Sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Gubernur Nomor 41 Tahun 2001 tentang tata cara penerimaan kewajiban dari pemegang surat izin penunjukan penggunaan tanah, setiap pengembang berkewajiban menyerahkan fasos dan fasum berupa jalan, taman, sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana olahraga, dan rumah murah sederhana. Namun, banyak pengusaha mengabaikan SK tersebut. Saat ini, tercatat hanya 20 dari 202 pengembang yang melaksanakan kewajibannya. (nel)

Coke Energy Use Up 10%, Improves Water Efficiency 3% 14.Aug.2007 - Sumber: www.environmentalleader.com The Coca-Cola Company has released its 2006 Environmental Performance report (PDF). The report includes data gathered from 775 facilities around the world, representing 94 percent of the Coca-Cola

system’s sales volume in 2006. In 2006, the Coca-Cola’s total energy use increased 10 percent. Coke’s vending machines and coolers are the largest contributor to greenhouse gas emissions within

Page 5: Csr

CSR Indonesia Newsletter Vol.1 Minggu 34 2007 5

the system and produce three times the estimated emissions of the company’s manufacturing facilities. Coke says that an increase in on-site production of PET bottles in 2006 contributed to the systemwide energy use increase. “We are working to identify and implement additional measures that will continue to improve efficiencies in our operations,” the report states. While there was an increase in total energy use in 2006, the company says that its energy use ratio has improved 16 percent since the year 2002. The company achieved a three percent improvement in water use efficiency, as sales volume increased four percent. Coca-Cola plants used an average of 2.52 liters of water to make one liter of beverage, as compared to 2.59 liters in 2005 and 2.72 in 2004. Since 2002, the Coca-Cola system has improved water use efficiency by more than 19 percent.

In 2006, sustainable design efforts led to a reduction in weight and improvement of the impact resistance of the Company’s glass contour bottle which saved 89,000 metric tons of glass last year. Coca-Cola Enterprises, which markets, distributes, and produces Coca-Cola products, recently published a corporate responsibility and sustainability report. The Coca-Cola Company recently gave the World Wildlife Fund $20 million to conserve and protect freshwater resources.

 Agenda  

Diskusi Panel “CSR di Persimpangan Jalan”

Corporate Forum for Community Development (CFCD) menyelenggarakan diskusi panel dengan topik utama pasca UU Perseroan Terbatas yang terkait dengan pasal 74 yang mewajibkan perusahan dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya.

Diselenggarakan pada tanggal 22 Agustus 2007, pukul 09.30 – 13.00 wib bertempat di Merak Room, Jakarta Convention Center (JCC). Bertindak selalu pembicara adalah Prof. Dr. Jimmly Asshiddiqie (Ketua Mahmakah Konstitusi), Prof.Dr.Ir Hardinsyah (Dekan Fakultas Ekologi Manusia, IPB), dan Jalal (Direktur Eksekutif A+ CSR Indonesia)

Keterangan lengkap dan pendaftaran silakan hubungi sdr. Agung dan Lina, sekretariat CFCD (021) 794 0634

 Coffee Morning Discussion

with A+ CSR Indonesia

Program  ini  ditujukan  untuk  organisasi  yang  ingin  mendapatkan  pemahaman  awal tentang CSR  ataupun  isu‐isu  terhangat  berkaitan dengannya.  Program gratis  sepanjang dua jam akan membahas apa itu CSR serta apa relevansinya untuk organisasi Anda. Untuk keterangan lebih lanjut, silakan hubungi 

                                     

 [email protected] T: +62‐21 57940611                                                                                                                                                                                                                                                                         

CFCD

Page 6: Csr

CSR Indonesia Newsletter Vol.1 Minggu 34 2007 6

Publikasi A+  Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Projek Pembangunan Infrastruktur Kasus Pembangunan Jalan Tol Palimanan-Cikampek Muhammad Nuruzzaman Pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon/ Aktivis Lingkar Studi CSR www.csrindonesia.com “Kepeloporan Kiai Jatira (KH. Hassanuddin) ini salah satunya adalah kisah tentang regulasi Belanda mengenai pembuatan jalan raya menghubungkan Bandung-Cirebon yang menjadi resisten bagi penduduk Babakan. Dalam planning-nya, semula Belanda memasukkan wilayah Babakan (yang sekarang menjadi Pondok Pesantren Raudlatul Thalibin) menjadi wilayah lintasan jalan raya. Bahkan Belanda telah menanam dua patok besar, pertanda daerah tersebut kelak menjadi jalan. Namun berkat perjuangan KH. Hasanuddin, dua patok jati besar yang melintasi pesantren berhasil dibelokannya ke arah yang menjauhi lokasi pesantren. Karena perjuangan inilah KH. Hasanuddin mendapat julukan “jatira” artinya jati dua.” (Mahmudah, Babakan: Sebuah Potret Pesantren Tradisonal)

“Kiai Jatira sebagai pendiri pesantren bisa memindah jalan Daendels (Belanda), sekarang kita juga harus bisa memindah jalan tol. Belanda dan pengusaha kayaknya sama, kalau tidak bisa dipindah pengusaha ternyata lebih jahat dari Belanda.” (warga Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon) Pembangunan jalan tol Palimanan-Cikampek dalam proses pembebasan tanah. Akhir Agustus 2007 pembebasan tanah diharapkan akan selesai. Reaksi masyarakat terutama yang terlewati oleh jalan tol sangat resah, karena mereka hanya mendengar kabar dan tidak jelas lokasi mana yang akan dibebaskan tanahnya. Informasi masyarakat tentang jalan tol masih jauh dari memadai. Hanya para aparat pemerintah dan desa saja yang tahu, kapan, di mana lokasinya dan berapa biaya penggantiannya. Masyarakat lebih banyak mendengar isu dan rumor yang tidak jelas kebenarannya.. Sepanjang pengamatan penulis, hingga kini belum pernah ada konsultasi publik yang dilakukan oleh perusahaan. Tidak ada satupun masyarakat pesantren Babakan—sebagai pihak yang terkena dampak pembangunan jalan tol, dan karenanya adalah pemangku kepentingan yang sah—yang diajak bicara. Memang ada upaya sosialisasi yang dilakukan PT. Lintas Marga Sedaya, berupa sosialisasi AMDAL Pembangunan Jalan Tol Cikampek-Palimanan. Kendati demikian, masyarakat Pesantren Babakan Ciwaringin hanya mendapatkan fotokopi bahan presentasinya saja dari aparat Pemerintah Desa Babakan. Mereka tidak pernah diundang serta dilibatkan dalam sosialisasi, alih-alih didengarkan aspirasinya. Kegelisahan masyarakat Pesantren Babakan dan

sekitarnya dinyatakan dengan penolakan pembangunan jalan tol. Menurut mereka pembangunan jalan tol merusak pesantren sebagai lembaga pendidikan yang telah berkontribusi besar terhadap pembangunan bangsa dan negara. Jika pun tetap dilanjutkan, pasti mengganggu aktivitas keseharian Pondok Pesantren. Sikap ini, menurut pengamatan penulis terjadi karena pihak pesantren tidak pernah diajak ‘bicara’ soal rencana pembangunan jalan tol. Inilah sebagian temuan penulis tentang kondisi masyarakat pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon ‘vis a vis’ perusahaan yang melakukan projek pembangunan jalan tol. Perlu disadari bahwa Pondok Pesantren di Kabupaten Cirebon bukan hanya aset pendidikan Islam tapi merupakan basis kultural masyarakat Islam di Cirebon. Dikhawatirkan, jika perusahaan tidak serius memperhatikan kondisi ini maka akan terjadi pertarungan yang sangat keras antara masyarakat dengan perusahaan. Sangat boleh jadi, protes dengan legitimasi agama dan dukungan pemimpin Pondok Pesantren akan semakin mengkristalkan sikap penolakan pembangunan jalan tol. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Pada dasarnya, selain perusahaan mengurus ijin legal dari pemerintah, semua aktivitas perusahaan mulai dari rencana prapembangunan, proses pembangunan, dan pascapembangunan harus mempertimbangkan unsur-unsur sosial, ekonomi dan lingkungan masyarakat sekitar. Proses pengurusan ijin legal (legal license to operate) harus diimbangi dengan konsultasi publik untuk mendapat ijin sosial masyarakat (social license to operate). Dalam proses konsultasi publik, perusahaan harus secara terbuka menjelaskan rencana detail pembangunan, perkiraan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang positif dan negatif. Mulai dari kemungkinan terwujudnya harapan tenaga kerja secara proporsional bagi masyarakat sekitar, kompensasi yang berimbang atas eksploitasi sumberdaya yang telah digunakan, pilihan bahan baku produksi yang ramah lingkungan, penanganan atas proses produksi yang menjamin kualitas produk yang dihasilkan, perhatian dan peningkatan kualitas hidup para pekerja, penanganan

Page 7: Csr

CSR Indonesia Newsletter Vol.1 Minggu 34 2007 7

khusus atas limbah produksi sampai pada upaya pemberdayaan masyarakat sekitar operasi perusahaan merupakan beberapa upaya mewujudkan pertimbangan humanisme dan ekologisme dimaksud. Selain—tentu saja—pertanggungjawaban terhadap para pemegang saham (stockholders) dan pemenuhan kewajiban taat pajak bagi negara. Bentuk-bentuk pertimbangan dan perhatian sosial-lingkungan tersebut merupakan upaya dalam memaksimalkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatif dari kehadiran perusahaan saat ini. Perlakuan terhadap dampak-dampak keberadaan perusahaan tidak hanya diterjemahkan dalam keuntungan ekonomi semata, tetapi perlakuan terhadap seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) perusahaan —pihak-pihak yang mempengaruhi dan dipengaruhi secara langsung dan tidak langsung atas segala macam keputusan bisnis dan kegiatan perusahaan. Harus ada upaya untuk mengharmoniskan tiga sektor utama kehidupan manusia (triple bottom line), ekonomi-sosial-lingkungan. Upaya-upaya tersebutlah yang kini dipahami sebagai tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR). Dalam kasus mega-projek seperti pembangunan jalan tol Cikampek-Palimanan, perusahaan pemegang kontrak akan terikat dengan standar seperti dari International Finance Corporation (IFC) dan atau dari Equator Principles (EP) sebagai prasyarat perolehan pembiayaan dari bank. Secara umum standar baik standar IFC maupun EP mempersyaratkan bahwa hanya perusahaan yang menunjukkan komitmen dan kinerja tinggi dalam ranah sosial, lingkungan, dan tentunya ekonomi yang berhak memeroleh jaminan pembiayaan. Baik IFC maupun EP mempersyaratkan keharusan melakukan effective community engagement, karena hanya dengan hubungan yang efektiflah jaminan keberhasilan projek pembangunan dapat diperoleh. Kondisi kebalikannya hanya akan menimbulkan berbagai masalah dan juga kerugian ekonomi. Pondok Pesantren: Basis Kultural Masyarakat Cirebon Dari temuan awal berdasarkan pengamatan dan dialog yang intensif dengan pimpinan Pondok Pesantren di Cirebon, seperti telah disinggung di awal, terdapat kecenderugan perusahaan pemegang kontrak pemba-ngunan mega-projek jalan tol Cikampek-Palimanan terlalu merasa nyaman dengan ijin legal. Seperti diketahui publik bahwa mega-projek ini mendapat jaminan kuat dari negara pasti dan harus terlaksana. Padahal, dalam konteks CSR ijin legal hanyalah bisa berlaku efektif apabila didampingi oleh ijin sosial berupa dukungan pemangku kepentingan. Sejauh ini, PT. Lintas Marga Sedaya sudah berupaya melakukan ”sosialisasi” AMDAL Pembangunan Jalan

Tol Cikampek-Palimanan. Namun sayang, kegiatan yang seharusnya membuka kesempatan luas untuk membantu perusahaan menemukan pemangku kepentingan sosial yang tepat, serta memeroleh masukan mengenai bagaimana seharusnya projek yang efektif bisa diselenggarakan, terkesan hanya sebatas untuk memenuhi persyaratan formal. Padahal, standar yang diminta oleh IFC maupun EP adalah konsultasi publik yang bersifat seimbang dan dua arah, bukan sekadar sosialisasi yang timpang dan satu arah. Studi AMDAL jelas bertujuan menjaring masukan publik. Studi ini kalau dilaksanakan dengan benar akan memberikan rekomendasi mengenai bagaimana meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif dari rencana operasi perusahaan. Prosesnya jelas harus terbuka dan melibatkan representasi komunitas sesuai dengan kemungkinan luasan dampak. Untuk kasus Cirebon, sepertinya untuk memotret rona awal dinamika sosial dibutuhkan pemahaman yang benar mengenai kedudukan pondok pesantren sebagai basis kultural masyarakat, dan berbagai realitas sosio-antropologis masyarakat Cirebon. Kecenderungan yang tampak hingga sekarang—mudah-mudahan ini hanya kekhilafan penulis—adalah pengabaian posisi Pondok Pesantren. Padahal, pesantren bukan saja merupakan basis kultural masyarakat Cirebon, melainkan juga secara teknis penyelenggaraan projek pasti banyak terkena dampak pembebasan lahan. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat fatal. Kenyataan ini dalam telaah yang lebih jauh, mengindikasikan bahwa perusahaan pemegang kontrak mega-projek pembangunan jalan tol Cikampek-Palimanan, benar-benar membutuhkan pemahaman yang utuh dan benar mengenai peta sosial dan budaya masyarakat Cirebon. Pemahaman yang baik tentang hal ini bukan saja bermanfaat bagi kelancaran proses projek pembangunan, namun juga, jika memerhatikan standar IFC dan EP, di atas mempermudah perusahaan untuk melakukan effective stakeholder engagement yang berimplikasi pada ketersediaan dan kesinambungan jaminan pembiayaan projek. Artinya, hanya dengan memastikan bahwa seluruh pemangku kepentingan merasa diperhatikan aspirasinyalah maka pembangunan jalan tol tersebut bisa dilakukan dengan lancar tanpa gejolak sosial dan nantinya benar-benar bermanfaat untuk kepentingan seluruh pihak. Kalau sekarang praktiknya belumlah seperti itu, belum terlambat bagi perusahaan untuk memperbaikinya. Standar untuk itu telah tersedia, perusahaan harus memastikan bahwa substansinya dipenuhi.

 

Page 8: Csr

CSR Indonesia Newsletter Vol.1 Minggu 34 2007 8

Artikel Pilihan  

Tindakan Amoral Korporasi? Mukti Fajar ND 15 Agustus 2007 http://kompas.com/kompas-cetak/0708/15/opini/ 3763353.htm

CSR yang selama ini dilakukan oleh korporasi, mendasarkan pada prinsip sukarela (voluntary) dan kedermawanan (philantrophy), dianggap tidak efektif. Demikian kegelisahan yang disampaikan Sekretaris Jenderal PBB dalam pertemuan Global Compact di Geneva, Swiss. Korporasi dianggap tidak mempunyai kepedulian terhadap persoalan sosial seperti lingkungan hidup, hak asasi manusia, dan community development.

Hal itu terbukti dengan meningkatnya krisis pemanasan global, ketimpangan ekonomi (extreme poverty), mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, serta persoalan sosial lainnya. Demikian pula di Indonesia, pengaturan kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibilty/CSR) dalam Undang-Undang (UU) Perseroan Terbatas dan UU Penanaman Modal justru banyak ditentang banyak korporat.

Perdebatan klasik itu dikarenakan, pertama, mengenai hakikat korporasi dan, kedua, mengenai penegakan hukumnya. Secara nature, korporasi didirikan untuk memaksimalisasi keuntungan, bukannya untuk melakukan perbuatan amal. Pendapat ini disampaikan Milton Friedman, seorang peraih nobel bidang ekonomi. ”Satu-satunya tanggung jawab korporasi adalah kepada shareholder,… menyalurkan kekayaan korporasi kepada masyarakat justru merupakan tindakan amoral korporasi” (Joel Bakan, 2006). Artinya, CSR merupakan pengkhianatan terhadap hak pemegang saham.

Dengan konstruksi hukum perusahaan yang ada sekarang, memang sulit untuk mengubah perilaku mereka. Walaupun kita bisa saksikan, korporasi dilahirkan untuk menjadi spesies yang rakus, tamak, dan hanya memikirkan dirinya sendiri.

Status badan hukum yang disandang membuat dirinya tidak bisa mati (kecuali bangkrut) dan terus mengeksploitasi berbagai sumber daya yang ada hingga semuanya menjadi sampah dan sepah. Tanggung jawab terbatas pemegang saham (limited liability) memungkinkan korporasi untuk menangguk keuntungan tanpa batas. Namun ketika berhadapan dengan persoalan, mereka hanya bertanggung jawab sebatas modal. Masih ingat kisah tanggung jawab Lapindo Brantas Inc. terhadap masyarakat Sidoarjo, Jawa Timur, kan? Bukti adanya kegagalan sistemik yang diciptakan hukum perusahaan dalam menciptakan ketidakadilan secara legal.

Korporasi yang dibentuk dalam sebuah wilayah hukum seharusnya mengabdi pada kepentingan masyarakat di mana hukum itu ada. Oleh karena itu, perlu dibongkar kembali (Gary von Stage, 1994). Pembentukan hukum korporasi yang baru harus memberikan ruang bagi terciptanya keadilan sosial. Aset yang dimiliki korporasi tidak hanya menjadi milik pribadi, tetapi harus digunakan untuk memberikan kemanfaatan umum, khususnya bagi kaum yang paling tidak beruntung (John Rawls, 1995).

Masyarakat mempunyai hak atas keuntungan yang didapat oleh korporasi karena masyarakat sesungguhnya ”pemegang saham” bagi sebuah wilayah hukum yang dijadikan operasi korporasi. Perluasan tafsir atas Pasal 304 KUHP tentang ”membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara...” dapat pula diterapkan sanksi pidana bagi korporasi yang mempunyai kekayaan berlebih tetapi menelantarkan masyarakat di sekitarnya dalam kesulitan.

Dengan paradigma tersebut, CSR akan mendapatkan tempat yang terhormat dalam hukum perusahaan. Ruang lingkup isu-isu dalam CSR memang tidak bisa dibatasi hanya pada teritorial negara karena dampak negatif yang diakibatkan operasi korporat bersifat global, seperti lingkungan hidup dan hak asasi manusia. Persoalan penegakan hukum internasional mempunyai kelemahan karena tidak adanya struktur hukum sebagai otoritas yang dibangun untuk melaksanakannya.

Perjanjian internasional hanya berjalan efektif ketika semua negara sepakat di dalamnya. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sebagai organisasi raksasa yang diikuti hampir seluruh negara di dunia sampai hari ini berdalih hanya akan mengatur negara, bukan korporasi.

Alotnya pihak Amerika Serikat untuk menandatangani pengurangan emisi karbon, demi menekan pemanasan global dengan Uni Eropa, adalah bentuk pembelotan dan mungkin akan diikuti negara lain, yang akan dirugikan industrinya jika menandatangani kesepakatan tersebut.

Namun, bentuk soft law, seperti OECD Guidelines for Multinational Enterprises, yang digagas dalam World Summit on Sustainable Development on CSR dapat dijadikan rujukan (Calder & Culverwell, 2005).

Page 9: Csr

CSR Indonesia Newsletter Vol.1 Minggu 34 2007 9

Penerapan sertifikasi bagi korporasi yang memberikan produk yang ramah lingkungan, memerhatikan kehidupan yang layak bagi buruh, dan peduli terhadap community development adalah acuan bagi sebuah negara yang akan menerima kehadiran korporasi untuk beroperasi di wilayahnya.

Menolak kehadiran korporasi yang mempunyai daftar hitam adalah tindakan yang bijak dan baik untuk

kemanusiaan daripada perhitungan keuntungan sesaat. Walau kadang sulit sebab korporasi lihai menyuap penjabat negara setempat untuk mendapat izin beroperasi.

Mukti Fajar ND, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

CSR Layaknya Buah Simalakama Mulyadi Sunarto 15 Agustus 2007 http://kompas.com/kompas-cetak/0708/15/opini/ 3763355.htm

Isu tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) yang memanas dalam beberapa hari terakhir ini seperti layaknya buah simalakama. Betapa tidak, sejak iklim investasi dibangun Orde Baru, perusahaan, masyarakat, dan negara hidup ber-dampingan tetapi relasi di antara mereka sarat dengan konflik. Kasus Buyat, Abepura, dan Lapindo menunjukkan konflik tersebut. Kondisi problematik ini ingin diperbaiki melalui pengesahan Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT) yang mencakup pasal yang mengatur CSR, tetapi justru membuatnya semakin kompleks.

Kadin dan sejumlah asosiasi pengusaha menolak UU itu, tetapi pemerintah tetap mengesahkannya. Kekhawatiran mereka adalah UU itu menjadi sumber legitimasi praktik pungutan liar karena peraturan itu mencakup kewajiban bagi perusahaan untuk mengalokasikan dana CSR. Begitu seriusnya polemik ini sehingga wakil presiden berusaha meredamnya dengan menyatakan agar perusahaan tidak khawatir pada pengelolaan CSR.

Kalau tidak hati-hati menata CSR, maka kasus hengkangnya PT Sony Elektronik Indonesia beberapa tahun lalu akan terjadi lagi dalam intensitas yang lebih besar dan ekshalasi konflik antara masyarakat dan perusahaan akan menjadi lebih panas. Kalau demikian, bagaimana seharusnya menata CSR? Apakah CSR layak diatur secara legal? Kepedulian atau Kewajiban? Kompleksitas polemik UU PT berawal dari perbedaan perspektif menafsirkan konsep CSR. Belum ada titik temu antara sektor privat dan negara dalam memaknai CSR. Banyak perusahaan menganggap bahwa realisasi CSR yang selama ini diwujudkan dalam program community development (CD) dilakukan karena kepedulian mereka sebagai makhluk sosial (corporate citizenship). Karena CSR merupakan kepedulian, maka keberadaan

peraturan yang mewajibkannya menjadi tidak relevan. Di sisi lain, harus diakui bahwa proses produksi perusahaan menciptakan externality. Kehadiran externality melegitimasi negara untuk mewajibkan perusahaan menginternalisasinya guna meminimalisasi dampak externality pada masyarakat. Dalam hal ini, CSR merupakan salah satu media internalisasi externality. Dengan demikian, CSR bisa ditafsirkan sebagai kewajiban.

Pilihan pemaknaan CSR sebagai kewajiban atau kepedulian menimbulkan implikasi yang berbeda. CSR sebagai bentuk kepedulian tidak mungkin diatur secara legal, sementara CSR sebagai kewajiban bisa diatur oleh negara. Belajar dari Negara Lain Implementasi CSR di beberapa negara bisa dijadikan referensi untuk mengurai perdebatan itu. Australia, Kanada, Perancis, Jerman, Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat telah mengadopsi code of conduct CSR yang meliputi aspek lingkungan hidup, hubungan industrial, gender, korupsi, dan hak asasi manusia (HAM). Berbasis pada aspek itu, mereka mengembangkan regulasi guna mengatur CSR. Australia, misalnya, mewajibkan perusahaan membuat laporan tahunan CSR dan mengatur standardisasi lingkungan hidup, hubungan industrial, dan HAM. Sementara itu, Kanada mengatur CSR dalam aspek kesehatan, hubungan industrial, proteksi lingkungan, dan penyelesaian masalah sosial. Pendekatan Pengelolaan CSR Belajar dari beberapa pengalaman di negara itu dan mengacu pada upaya internalisasi externality, maka CSR perlu diatur secara formal. Pada konteks ini, minimal ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, secara substansial, mengacu

Page 10: Csr

CSR Indonesia Newsletter Vol.1 Minggu 34 2007 10

pada konsep externality, dasar berpijak yang rasional untuk mengaturnya adalah memikirkan siapa yang terkena dampak externality, wilayah cakupannya, cakupan programnya, dan pendekatan realisasi programnya. Dengan demikian, fokusnya bukan pada nominal "pundi-pundi" yang harus dialokasikan perusahaan, sebagaimana yang diatur oleh UU PT. Kedua, secara institusional, terdapat tumpang tindih aturan hukum yang diberlakukan dan infrastruktur kelembagaan yang mendukung realisasi UU PT belum siap. UU itu overlap dengan UU Migas tahun 2001 yang telah mengatur realisasi program CD dan reklamasi lingkungan sebagai bagian dari CSR. Namun, peraturan itu belum bisa ditegakkan karena keterbatasan dukungan kelembagaan. Ini sangat

mungkin terulang pada UU PT yang melibatkan pemangku kepentingan yang lebih kompleks. Mengacu pada kedua hal tersebut, maka aturan hukum CSR sebaiknya difokuskan pada pembuatan rambu-rambu realisasi CSR, tetapi pelaksanaannya didesentralisasi di level perusahaan. Hal ini bisa dilakukan melalui standardisasi CSR secara partisipatif, transparan, dan akuntabel yang melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan perguruan tinggi. Dengan cara ini, maka CSR bukan lagi merupakan buah simalakama yang mematikan, tetapi buah manis yang bermanfaat bagi masyarakat, negara, dan perusahaan. Mulyadi Sumarto, Dosen Fisipol dan Magister Studi Kebijakan Konsentrasi CSR UGM

 .

Green Ads Space

Untuk mengiklankan produk yang ramah sosial dan lingkungan, sponsorship, link ke laporan CSR perusahaan, agenda kegiatan CSR (pelatihan, seminar, lokakarya, ekspo) atau lainnya yang

relevan silakan kontak ke [email protected].

Page 11: Csr

CSR Indonesia Newsletter Vol.1 Minggu 34 2007 11

Info Buku 

Membaca Upaya Yusuf Wibisono “Membedah” CSR  

Judul Membedah Konsep dan Aplikasi Corporate Social Responsibility Penulis Yusuf Wibisono Penerbit Fascho Publishing, Gresik, April 2007 Halaman 163+xxvi

Jalal Aktivis Lingkar Studi CSR www.csrindonesia.com Kini sudah tersedia cukup banyak tulisan dalam Bahasa Indonesia mengenai CSR. Sejak CSR ramai dibicarakan di ruang-ruang seminar, diskusi, lokakarya serta mulai dipraktikkan di lebih banyak perusahaan, makin banyak saja pihak yang menulis mengenai masalah ini. Belakangan, salah satu “berkah” kontroversi regulasi CSR adalah semakin meningkatnya jumlah tulisan mengenai CSR di media massa. Namun, tulisan dalam bentuk buku yang lengkap belumlah mudah ditemukan. Memang ada beberapa terbitan Business Watch Indonesia1 atau Indonesia Center for Sustainable Development2 yang membahas mengenai CSR, namun entah mengapa ketersediaannya sangat terbatas. Sulit mencari literatur tersebut di toko-toko buku besar, apalagi kecil. Menanggapi kelangkaan itu, Yusuf Wibisono, seorang praktisi CSR dari PT Petrokimia Gresik menuangkan pengetahuan yang dimilikinya ke dalam buku. Dari keterangan yang ia tuliskan, dapat dibaca bahwa “Ribuan artikel telah dipelajarinya, diskusi dan sharing pengalaman dengan penggiat CSR menjadi menu hariannya” (h. 163). Tentu, dengan pernyataan yang demikian ia hendak menyatakan bahwa apa yang disampaikannya adalah pengetahuan yang komprehensif, yang bersumber dari sumbang pikir banyak pihak secara langsung maupun tidak. Pesan bahwa buku ini berusaha menjadi all encompassing, all embracing atau memuat “semua” hal sudah mulai tampak dari kulit muka yang menggambarkan 1 Misalnya Heyneardhi, H. 2005. Kritis Memahami CSR. Business Watch Indonesia dan FIDES Intitute. Surakarta.; serta Wermasubun, D. 2003. Corporate Social Responsibility. Business Watch Indonesia. Surakarta. 2 Budimanta, A., Prasetijo, A., dan Rudito, B. 2004. Corporate Social Responsibility, Jawaban bagi Model Pembangunan Indonesia Masa Kini. Indonesia Center for Sustainable Development. Jakarta. Ada beberapa terbitan lain dari ICSD, namun utamanya membahas mengenai pengembangan masyarakat, bukan CSR secara utuh, misalnya Rudito, B., dkk. Akses Peran Serta Masyarakat yang terbit 2003.

lingkaran dengan tulisan merentang dari Protokol Kyoto hingga ISO 26000. Daftar isi buku itu (h. xx-xxii) memperkuat kesan tersebut. Wibisono membagi bukunya menjadi lima bagian, yaitu Konsep Dasar CSR; Mengaca pada Sejarah; Konsep Penerapan CSR; Membangun Kemitraan; dan Strategi dan Taktik Penerapan CSR. Dengan membaca judul bagian-bagian itu, mungkin kebanyakan pembaca akan berharap bahwa dengan menyelesaikan buku ini maka bukan saja pengetahuan dasar mengenai CSR, namun juga pengetahuan yang lebih maju akan diperolehnya. Harapan itu wajar, mengingat banyak pula pihak yang telah menuliskan pujian atas buku ini, seperti yang tertera di sampul belakang. Tak kurang dari seorang bupati, mantan rektor, dan akademisi penasihat ikatan cendekiawan menyatakan kekaguman atas buku ini, dan menganjurkan untuk membacanya. Ketika berbicara mengenai evolusi CSR, dengan tepat Wibisono menyatakan bahwa “tidak ada jejak baku yang disepakati secara bulat tentang tahap perkembangan itu.” Memang, kalau sejumlah literatur yang membahas sejarah CSR diperhatikan, tidaklah bisa ditemukan kesepakatan mengenai kapan dimulainya CSR itu. Namun ada cukup banyak literatur yang bersetuju bahwa karya Howard Bowen bertajuk Social Responsibilities of the Businessman yang terbit di tahun 1953 merupakan tonggak sejarah modern CSR. Adalah Archie Carroll dengan tulisannya yang terkenal Corporate Social Responsibility, Evolution of a Definitional Construct (1999)3 yang bertanggung jawab dalam menyatukan ide bahwa Bowen-lah yang pantas dianggap sebagai Bapak CSR. Wibisono tampaknya tidak mengetahuinya atau tidak mengakui karya Bowen sebagai awal sejarah modern CSR itu. Alih-alih, ia langsung meloncat pada karya 3 Carroll, A. 1999. Corporate Social Responsibility, Evolution of a Definitional Construct. Business and Society, Vol. 38/3.

Page 12: Csr

CSR Indonesia Newsletter Vol.1 Minggu 34 2007 12

Rachel Carson Silent Spring yang memang membuat tekanan publik terhadap perusahaan meningkat dengan pesat (lih. Elkington dan Thorpe, 2005).4 Seandainya Wibisono membaca karya Carroll yang sangat komprehensif itu, mungkin ia akan berubah pikiran mengenai awal sejarah CSR, atau bahkan ia akan menulis ulang bagian Evolusi CSR-nya.

Sebetulnya ada cukup banyak pihak yang tidak bersetuju dengan usul Carroll itu. Sekadar contoh, Balza dan Radojicic (2004)5 menulis bahwa “… the history of social concern about business is as old as business itself. It can be traced back almost 5,000 years. In Ancient Mesopotamia and Greece were introduced codes and laws to punish severely businessmen, builders, innkeepers or farmers if their negligence caused the deaths of others, or major problems to general public.” Sementara Blowfield dan Frynas (2005)6 menyatakan “While ‘corporate social responsibility’ is a recent term, a preoccupation with business ethics and the social dimensions of business activity has been around for a very long time. Business practices based on moral principles and ‘controlled greed’ were advocated by pre-Christian western thinkers such as Cicero in the first century BC and their non-western counterparts such as India’s Kautilya in the fourth century BC; Islam and the medieval Christian Church publicly condemned certain business practices, notably usury.” Kutipan dari dua pustaka di atas menggambarkan bahwa sebetulnya rujukan memori pendek pada karya Howard 4 Elkington, J. and Thorpe, J. 2005. What Future for the Global Compact? McGill International Review. Spring. 5 Balza, M. and Radojicic, D. 2004. Corporate Social Responsibility and Nongovernmental Organizations. International Master’s Programme in Strategy and Culture. Linkoping Universitet. 6 Blowfield, M. and Frynas, J. 2005. Setting New Agendas: Critical Perspectives on Corporate Social Responsibility in the Developing World. International Affairs, Vol. 81/3.

Bowen di tahun 1953 sebagai titik pijak sejarah CSR kuranglah tepat. Dalam membicarakan definisi CSR, Wibisono jauh dari tuntas. Ia mengutip definisi CSR dari WBCSD, World Bank, CSR Forum dan EU. Sayangnya, ia berhenti di situ. Tidak ada pertimbangan sama sekali yang ia berikan, menyangkut definisi mana yang menurut para pakar—atau setidaknya menurut ia sendiri—adalah yang terbaik. Ia tak membahas mengenai konvergensi antara konsep CSR dengan pembangunan berkelanjutan, padahal ia menghabiskan cukup banyak ruang untuk membahas pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian, ketika pembahasan tentang triple bottom line (TBL, h. 32-37)—yang merupakan hasil konvergensi itu—ia lakukan, kesinambungan ide di antara keduanya tidak bisa dibaca dengan jelas. Malahan, yang terjadi adalah penyempitan makna people dalam TBL dengan menekankan pembahasan pada “masyarakat sekitar perusahaan”. Kalau karya Elkington yang memromosikan TBL dicermati benar, maka people di situ lebih berarti pemangku kepentingan, yang mencakup semua pihak yang terkena dampak dan atau memiliki dampak terhadap pencapaian tujuan perusahaan. Kalau saja masalah konvergensi ini dielaborasi, Wibisono tak perlu ragu untuk memilih atau bahkan mengeluarkan definisi CSR yang tepat, termasuk ketika pembahasan mengenai versi Indonesianya. Ia hanya kembali menyatakan “...dari sisi definisi, saat ini juga belum kita temui kesepakatan bakunya,...” (h. 8). Kenyataannya, di dunia Barat yang CSR-nya sudah berkembang beberapa dekade mendahului Indonesiapun definisi yang disepakati tak pernah juga muncul. Tak ada gunanya mencari kesepakatan itu, karena memang tidak akan pernah dicapai. Karya Carroll (1999) telah mengajarkan bahwa CSR adalah konsep yang berkembang dengan cepat, sehingga definisinya berubah-ubah sesuai perkembangan itu. Konvergensi dengan pembangunan berkelanjutanlah yang agaknya membuat definisi yang relatif ajeg. Sudah agak lama juga Lingkar Studi CSR menggunakan definisi ”Upaya sungguh-sungguh dari entitas bisnis meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif operasinya terhadap seluruh pemangku kepentingan dalam ranah ekonomi, sosial dan lingkungan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan” untuk CSR. Lingkar Studi CSR juga berketetapan menggunakan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan—perusahaan, bukan korporasi atau dunia usaha—sebagai padanan CSR dalam Bahasa Indonesia, mengingat (1) istilah ”korporasi” sesungguhnya berarti perusahaan besar, dan (2) istilah ”dunia usaha” mengacu pada keseluruhan situasi terkait dengan bisnis. Padahal, seluruh perusahaan—besar atau kecil—sesungguhnya memiliki tanggung jawab sosial, dan tanggung jawab itu melekat pada setiap entitas, bukan secara tanggung renteng.

Sumber: Elkington and Thorpe (2005)

Page 13: Csr

CSR Indonesia Newsletter Vol.1 Minggu 34 2007 13

Pembahasan tentang stakeholders—oleh Wibisono dipadankan dengan ”para pihak”, walau tampaknya kini istilah yang lebih popular adalah ”para pemangku kepentingan”—dilakukan di Bagian Empat. Ada banyak pengetahuan bermanfaat bisa diperoleh pada bagian ini, terutama tentang siapa saja pihak yang biasanya dianggap sebagai pemangku kepentingan. Sayangnya, Wibisono juga tampak ”agak malas” mendiskusikan definisinya dengan ketat. Ia mengutip Wheelen dan Hunger, yang tidak diberi keterangan yang jelas sumbernya, juga karya Rhenald Kasali berjudul Manajemen Public Relations. Karya yang disebut terakhir inilah yang menjadi rujukan utama. Padahal, ada banyak karya yang tersedia—termasuk tersedia bebas di internet—yang bisa dirujuk untuk mendapatkan definisi pemangku kepentingan. Wibisono tidak merujuk pada buku seminal R. Edward Freeman Strategic Management: A Stakeholder Approach (1984) sebagai karya yang bertanggung jawab memopularkan konsep itu. Karya-karya utama lainnya dalam bidang ini juga tidak dirujuk. Defisiensi pustaka ini menyebabkan kurang kokohnya pemahaman atas konsep penting ini. Secara singkat dapat dinyatakan bahwa perusahaan bertanggung jawab kepada siapa pun yang terpengaruh oleh operasinya. Juga, demi kepentingan bisnis perusahaan, sudah selayaknya perusahaan memerhitung-kan pula mereka yang dapat memengaruhi operasinya. Dengan demikian, istilah pemangku kepentingan mengacu pada “persons and groups that affect, or are affected by, an organization’s decisions, policies, and operations.”7 Dari sini jelas bahwa istilah tersebut tidak saja merujuk kepada kelompok—seperti yang dipahami Wibisono—melainkan juga pada individu. Untuk dapat menjadi pemangku kepentingan—terutama untuk memengaruhi perusahaan—seseorang atau sebuah kelompok harus memiliki atribut tertentu. Menurut Mitchell, Agle dan Wood (1997),8 tiga atribut yang penting adalah power, legitimacy dan urgency. Power berarti kemampuan untuk memengaruhi perusahaan dan apabila perlu menggunakan paksaan ketika perusahaan melakukan perlawanan atas kepentingannya. Legitimacy berarti dukungan atas tindakan yang dilakukan pemangku kepentingan terhadap perusahaan, yang bisa berasal dari berbagai macam nilai atau norma yang ada di masyarakat. Sementara, urgency berarti derajat kepentingan suatu isu atau klaim dari pemangku kepentingan, termasuk di dalamnya sensitivitas waktu 7 Definisi ini berasal dari karya Freeman, E. 1984. Strategic Management: A Stakeholder Approach, Pitman. Menurut Lawrence, Weber and Post. 2005, Business and Society, istilah ini telah diciptakan pada 1963, namun tidak digunakan secara luas hingga Freeman menuliskan buku tersebut. 1963 mengacu pada tahun di mana Stanford Research Institute menggunakan istilah itu untuk pertama kali. 8 Mitchell, K., Agle, B. and Wood, D. 1997. Toward a Theory of Stakeholder Identification and Salience: Defining Principles of Who and What Really Counts. Academy of Management Review Vol 22/4.

bagi pemenuhannya oleh perusahaan. Driscoll dan Starik (2004)9 kemudian menambahkan proximity sebagai atribut penting bagi pemangku kepentingan, dengan definisi sebagai fakta kedekatan dalam ruang, waktu atau urutan. Semakin banyak atribut di atas dimiliki oleh orang atau kelompok, semakin signifikan posisinya sebagai pemangku kepentingan. Kalau lingkungan alam ditimbang dengan keempat kriteria itu, ia memiliki keabsahan yang sangat tinggi sebagai pemangku kepentingan perusahaan. Kalau lingkungan rusak, perusahaan tidak lagi dapat berusaha darinya. Ini menandakan bahwa lingkungan memiliki power. Sementara legitimacy-nya diperoleh dari hukum positif, hukum adat dan norma lain yang menyatakan pentingnya perlindungan atas lingkungan. Urgency penyelesaian berbagai masalah lingkungan juga sangat tinggi, mengingat kita tidak dapat hidup kalau kerusakan alam terus terjadi. Dengan kondisinya yang mengelilingi kita semua, maka atribut proximity jelas dimiliki lingkungan. Perimbangan atas keempatnya membuat Driscoll dan Starik menyatakan status lingkungan sebagai pemangku kepentingan adalah primordial, yang berarti “berada pada urutan pertama dalam urutan waktu, atau primer dan fundamental.” Sementara, Wibisono tidak memasukkan lingkungan sebagai pemangku kepentingan perusahaan. Pembahasannya mengenai pemangku kepentingan eksternal (h. 98-103) hanya mencakup konsumen, penyalur dan pemasok, pemerintah, pers, pesaing, komunitas dan masyarakat. Pembahasan yang mengambang atas hal-hal fundamental di atas membuat banyak hal yang dibahas dalam buku ini terkadang menjadi membingungkan. Misalnya, pembahasan mengenai hubungan pemilik modal dengan pemangku kepentingan yang tampak tidak konsisten. Ia menyatakan “...agar perusahaan bisa mendatangkan manfaat sebesar-besarnya tidak saja kepada para shareholder namun juga kepada stakeholders.” (h. 152), yang menegaskan pendiriannya bahwa pemilik modal bukanlah pemangku kepentingan. Padahal, pada halaman 94 ia memasukkan pemilik modal sebagai bagian darinya. Yang benar tentu saja pemilik modal adalah bagian dari pemangku kepentingan (ekonomi). Contoh lain adalah pembahasan mengenai istilah compliance atau kepatuhan (h. 74). Walaupun kepatuhan bisa saja bisa terhadap standar apapun, namun tampaknya jauh lebih jamak istilah itu mengacu pada regulasi pemerintah. Sementara, Wibisono menyatakan bahwa pemenuhan terhadap standar-standar yang dibuat oleh pasar juga termasuk ke dalam kategori kepatuhan. Kalau pendirian bahwa kepatuhan adalah terhadap regulasi pemerintah diterima, maka sesungguhnya pemenuhan standar-standar yang dibuat oleh pasar adalah termasuk ke dalam kategori beyond compliance, 9 Driscoll, C. and Starik, M. 2004. The Primordial Stakeholder: Advancing the Conceptual Consideration of Stakeholder Status for the Natural Environment. Journal of Business Ethics Vol. 49.

Page 14: Csr

CSR Indonesia Newsletter Vol.1 Minggu 34 2007 14

karena standar-standar itu biasanya melampaui apa yang dipersyaratkan pemerintah. Hal-hal tersebut seharusnya dibahas dengan lebih tuntas. Hal lain yang sangat penting untuk diperbaiki pada edisi mendatang—kalau memang akan terwujud—adalah mengenai EYD, dan terutama kutipan sumber. Kesalahan cetak dan ejaan dalam buku ini cukup banyak, bahkan hampir dapat ditemukan di setiap halaman. Selain itu, ada terlalu banyak istilah asing yang masih dipakai walau padanan Bahasa Indonesianya sudah ada. Dalam hal kutipan, ada banyak pengarang yang dikutip di bagian dalam buku ini namun tak muncul di daftar pustaka—yang disebut Wibisono sebagai Sumber Inspirasi (h. 155-162). Pendapat Elkington (h. 32, 64-67) yang dikutip cukup panjang tidak bisa ditemukan sumber pustakanya di belakang. Demikian halnya juga

dengan kutipan pendapat dari Kavei (h. 119), Tennyson (h. 103), serta Zadek (h. 61-63). Sementara, ada juga pendapat yang dikutip dengan panjang tanpa menyebutkan asal sumber sama sekali, baik pada bagian teks maupun daftar pustaka. Setidaknya ini bisa ditemukan satu kali, yaitu pada paragraf terakhir h. 115 hingga paragraf pertama h. 116. Kutipan dua paragraf tersebut sebetulnya diambil dari tulisan Pamadi Wibowo—kini Direktur Eksekutif Lingkar Studi CSR—berjudul Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan Masyarakat yang dimuat Koran Tempo 24 September tahun 2004. Sebagian pembaca pasti berharap untuk memperoleh kejelasan mengenai setiap sumber sehingga mereka dapat belajar lebih lanjut. Memang, daftar pustaka buku ini memuat terlampau sedikit buku dan artikel, mengingat sebetulnya Wibisono mengklaim telah membaca ribuan artikel terkait CSR.

.

Green Ads Space

Untuk mengiklankan produk yang ramah sosial dan lingkungan, sponsorship, link ke laporan CSR perusahaan, agenda kegiatan CSR (pelatihan, seminar, lokakarya, ekspo) atau lainnya yang

relevan silakan kontak ke [email protected].

Page 15: Csr

CSR Indonesia Newsletter Vol.1 Minggu 34 2007 15

Layanan A+ CSR Indonesia  A+ CSR Indonesia memberikan layanan jasa yang mencakup keseluruhan cakupan CSR. Seluruh layanan jasa yang diberikan ditujukan sebagai suatu upaya memberikan solusi yang bersifat terpadu, komprehensif, dan sinergis. Sebagaimana keyakinan A+ terhadap pentingnya kerjasama multipihak, maka

ranah jasa tersebut tidak hanya ditujukan bagi perusahaan, melainkan juga bagi sektor lain Deskripsi layanan lengkap dapat dilihat pada situs www.csrindonesia.com, atau Anda bisa mengirim email ke alamat email [email protected] untuk mendapatkan profil perusahaan.

   Assessment (Kajian dan Penilaian)

1. Penilaian Sosial dan Lingkungan untuk Pengambilan Keputusan Investasi (Social and Environmental Aspects of Investment Screening).

2. Penilaian Dampak Sosial dan Lingkungan Projek (Social and Environmental Impacts Assessment). 3. Survei Data Dasar (Baseline Survey). 4. Penilaian Kebutuhan Masyarakat (Community Needs Assessments). 5. Pemetaan Isu Strategis dan Pemangku Kepentingan (Strategic Issues and Stakeholder Mapping). 6. Kajian Kebijakan dan Manajemen Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Review on CSR Policy and

Management). Assistance (Bantuan dan Pendampingan)

1. Pengembangan Kebijakan CSR (CSR Policy Development). 2. Perencanaan Strategik CSR (CSR Strategic Planning). 3. Rekruitmen Spesialis CSR (CSR Specialist Recruitment). 4. Pengembangan Tim CSR (CSR Team Development). 5. Pelatihan Manajemen CSR (CSR Management Training). 6. Pelatihan Keterampilan Sosial untuk CSR (Social Skills Training for CSR). 7. Pendampingan Teknis Pelaksanaan Program CSR (CSR Program Technical Assistance).

Assurance (Jaminan)

1. Audit Kinerja CSR (CSR Performance Audit). 2. Pelaporan dan Publikasi Program CSR (CSR Reporting and Publication) 3. Penilaian Independen atas Rencana atau Kinerja CSR (CSR Due Diligence).

Advocacy (Advokasi)

1. Fasilitasi Hubungan dengan Pemangku Kepentingan (Stakeholder Engagement Facilitation). 2. Fasilitasi Resolusi Konflik (Alternative Dispute Resolution/ADR). 3. Pengembangan Kerjasama Tim (Team Building). 4. Perencanaan Penutupan Operasi (Exit Strategy Planning). 5. Pengembangan Strategi Komunikasi CSR (CSR Communication Strategy Development). 6. Pelaksanaan Strategi Komunikasi CSR (CSR Communication Strategy Execution). 7. Kontribusi dalam Penyebaran Wacana dan Keterampilan CSR (Contribution to CSR Discourse and

Skills).    

Green Ads Space

Untuk mengiklankan produk yang ramah sosial dan lingkungan, sponsorship, link ke laporan CSR perusahaan, agenda kegiatan CSR (pelatihan, seminar, lokakarya, ekspo) atau lainnya yang relevan

silakan kontak ke [email protected].