communis yang - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/54005/3/bab ii.pdfformat berita, pendapat, musik,...
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Film sebagai Media Komunikasi Massa
2.1.1 Pengertian Komunikasi
Dalam bahasa Inggris, komunikasi berasal dari bahasa latin communis yang
memiliki arti “sama”. Istilah communis sering sekali disebut sebagai asal mula kata
komunikasi. Namun, membicarakan tentang berbagai definisi komunikasi, tidak ada
definisi yang benar maupun definisi yang salah.
Pakar komunikasi sudah sangat banyak memberikan gambaran mengenai
definisi komunikasi. Komunikasi merupakan sebuah proses penyampaian pesan dari
komunikator atau orang yang menyampaikan pesan kepada komunikan atau orang
yang menerima pesan dengan menggunakan sebuah media tertentu dengan harapan
dapat menghasilkan sebuah efek. Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss (dalam Deddy
Mulyana, 2012:76) menyampaikan pengertian komunikasi yang lain, yaitu
komunikasi merupakan proses pembentukan makna diantara dua orang atau lebih.
Harold Lasswell menggambarkan komunikasi yang baik adalah dengan
menjawab pertanyaan “Who Says What In Which Channel To Whom With What
Effect?”. Pertanyaan ini akhirnya menurunkan lima unsur komunikasi yang saling
berkaitan, yaitu:
9
1. Sumber atau Komunikator
Sumber atau komunikator dapat berupa orang, lembaga, buku atau sejenisnya.
Sedangkan komunikator sendiri merupakan seseorang atau pihak yang
menyampaikan pesan menggunaka media yang tepat sehinga dapat mengubah
perilaku komunikan sesuai dengan apa yang diharapkan. Dalam komunikasi massa,
yang menjadi komunikator adalah lembaga atau organisasi. Lembaga yang dimaksud
bisa berupa perusahaan penerbitan surat kabar atau majalah, stasiun radio dan telvisi,
dan lain sebagainya.
2. Pesan
Pesan sendiri memiliki artian sesuatu yang dikomunikasikan dari sumber atau
komunikator kepada komunikan atau penerima. Pesan memiliki tiga komponen, yaitu
makna, simbol yang digunakan untuk menyalurkan makna, serta bentuk pesan.
Materi yang disampaikan bisa berupa lisan maupun tulisan, bisa juga berupa
lambang, gambar atau isyarat lainnya.
Dalam komunikasi massa, pesan berkaitan dengan materi yang disampaikan
kepada khalayak melalui media massa. Materi pesan komunikasi massa dapat berupa
format berita, pendapat, musik, film, iklan, dan lain sebagainya. Pesan komunikasi
massa bersifat umum dan terbuka. Yang berarti pesan tersebut dapat diketahui dan
dipahami oleh semua orang dari berbagai lapisan dan latar belakang sosial ekonomi
yang beragam pula. Oleh karena itu, pesan dalam komunikasi massa harus dikemas
semenarik mungkin agar mudah dipahami oleh khayalak.
10
3. Media
Media menjadi penyalur sumber dalam menyampaikan pesan kepada
penerima, baik secara verbal maupun non-verbal. Dalam komunikasi massa, media
yang menjadi penyalur adalah:
a. Media cetak. Pesan yang disampaikan melalui bahasa tertulis dan
dukungan gambar atau foto. Media cetak berupa surat kabar, majalah dan
buku. Penerima pesan dengan menggunakan media cetak harus bersifat
aktif dan melek huruf sebagai syarat utamanya.
b. Radio. Penerima pesan yang menggunakan media radio cenderung bersifat
pasif. Untuk menikmati siaran radio, khalayak lebih santai. Siaran radio
menggunakan musik yang dominan sebagai ilustrasi dan efek suara untuk
menambahkan kesan mendramatisi pada pesan yang ingin disampaikan.
c. Televisi. Dari beberapa jenis komunikasi massa yang ada, televisi
merupakan jenis yang paling populer. Televisi sendiri merupakan media
audio-visual dan sangat dekat dengan penerima pesan karena mudah
diakses dan sifatnya yang audio-visual.
d. Film. Produksi film tidak berkala dan bersifat fiktif. Namun, pesan-pesan
dalam film tidak hanya sebagai penghibur penontonnya namun juga dapat
dijadikan sebagai sarana sosialisasi program tertentu. Mengikuti
perkembangan jaman, film tidak lagi hanya bisa dinikmati di bioskop,
namun bisa juga melalui televisi dan internet.
11
e. Media online. Keunggulan pada media online tidak hanya pada kecepatan
informasinya, namun juga pada sifat interaktifnya dan multimedianya.
Penerima pesan yang menggunakan media internet dapat terlayani
kebutuhannya dalam bentuk apapun karena mereka dapat mengakses surat
kabar, majalah, jurnal, buku, mendengarkan musik, menonton telvisi,
mendengar radio, ataupun menonton film hanya melalu internet.
4. Komunikan
Komunikan adalah penerima pesan yang menjadi sasaran pengirim pesan.
Dalam komunikasi massa, komunikan adalah orang-orang yang membaca majalah,
mendengarkan radio, menonton televisi, menonton film, juga orang-orang yang
menggunakan internet. Charles Wright mengelompokkan beberapa ciri dari
komunikan pada komunikasi massa, yaitu:
a. Large. Jumlah komunikan pada komunikasi massa sangat banyak dan
tersebar di berbagai lokasi
b. Heterogen. Komunikan pada komunikasi massa berasal dari berbagai
lapisan masyarakat. Mereka memiliki pekerjaan, umur, jenis kelamin, latar
belakang pendidikan, strata sosial, agama yang beragam.
c. Anonim. Komunikan umumnya tidak saling kenal dengan komunikator
atau sumber pengirim pesan. Mereka tidak berinteraksi satu sama lain.
5. Efek
Efek adalah sesuatu yang terjadi setelah penerima pesan menerima pesan dari
pengirim pesan. Dampak tersebut berkaitan dengan perubahan yang terjadi dalam diri
12
penerima pesan sebagai akibat terpaan pesan-pesan media massa. Menurut Berlo,
klasifikasi dampak perubahan yang dialami penerima pesan setelah mengikuti pesan-
pesan media massa dapat dibedakan atas ranah pengetahuan, sikap, dan perilaku
nyata.
Komunikasi massa juga memiliki beberapa fungsi di masyarakat. Robert K. Merton
mengemukakan fungsi tersebut yaitu:
a. Fungsi nyata. Adalah fungsi yang nyata diinginkan.
b. Fungsi tidak nyata atau tersembunyi. Fungsi yang tidak diinginkan. Sehingga
jika kita ambil kesimpulannya, pada setiap fungsi sosial yang ada dalam
masyarakat memiliki efek yang fungsional dan disfungsional.
2.1.2 Komunikasi Massa
Sama halnya dengan berbicara dengan definisi komunikasi, defisini dari
komunikasi massa pun memiliki banyak sekali pengertian dari para ahli. Effendy
(1993:91) mengatakan komunikasi massa adalah komunikasi yang dilakukan melalui
media massa modern yang meliputi surat kabar yang memiliki sirkulasi yang luas,
siaran radio da televisi yang ditunjukkan untuk umum, dan film yang ditunjukkan
untuk gedung-gedung bioskop.
Bittner (1980:10) menyampaikan bahwa komunikasi massa adalah pesan yang
dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang (Rakhmat,
1998:188). Mulyana dalam bukunya (2014:83) mengatakan bahwa pesan yang
disampaikan dalam komunikasi massa bersifat umum dan disampaikan secara cepat.
13
Dalam komunikasi massa, proses komunikasi didominasi oleh lembaga, meskipun
terkadang audiens juga bisa menyampaikan pesan.
Adapun beberapa ciri komunikasi massa adalah sebagai berikut:
a. Pesan yang disampaikan bersifat umum
Pesan komunikasi massa dapat berupa fakta, peristiwa, atau opini. Namun,
tidak semua fakta dapat dimuat di media. Pesan komunikasi massa harus dikemas
secara menarik dalam bentuk apapun selama pesan tersebut merupakan pesan yang
penting.
b. Komunikannya anonim dan heterogen
Dalam komunikasi massa, pengirim pesan bisa saja tidak mengenal siapa
komunikannya atau anonim. Hal ini dikarenakan proses komunikasinya
menggunakan media dan tidak berupa tatap muka secara langsung. Sedangkan
penerima pesan diebut heterogen karena terdiri dari lapisan masyarakat yang berbeda.
c. Media massa menimbulkan keserempakan
Effendy (1981) mengartikan keserempakan dalam media massa adala
keserempakan kontak dengan sejumlah besar penduduk dari jarak yang jauh dari
komuinikator dan penduduk tersebut satu sama lainnya berada dalam keadaan
terpisah (Erdianto, 2007:9). Keserempakan yang dimaksudkan adalah pemahaman
pesan yang diterima oleh penerima pesan secara serempak karena banyaknya jumlah
penerima pesan dalam komunikasi massa.
d. Komunikasi massa bersifat satu arah
14
Tidak hanya memiliki kelebihan, komunikasi massa juga memiliki
kekurangan. Karena komunikasi yang melalui media massa bersifat satu arah,
pengirim pesan dan penerima pesan tidak dapat berkomunikasi secara tatap muka
langsung.
e. Stimulasi alat indera yang terbatas
Dalam komunikasi massa, penggunaan alat indera sesuai dengan media massa
yang digunakan. Sebagai contoh pada penggunaan media cetak penerima pesan hanya
dapat membaca, sedangkan penerima pesan yang tidak melek huruf tidak dapat
menggunakan media cetak.
f. Umpan balik tertunda dan tidak langsung
Karena komunikasi pada komunikasi massa menggunakan media yang
bersifat satu arah, maka penerima pesan tidak dapat menyampaikan umpan balik atau
feedback secara langsung. Umpan balik yang disampaikan oleh penerima pesan
bersifat terbatas karena harus menggunakan media yang lain untuk menyampaikan
feedback mereka. Sebagai contoh penerima pesan mengirimkan feedback melalui e-
mail. Sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk menggunakan e-mail dalam
berkomunikasi sifatnya tertunda.
Nurudin (2011:19) menjabarkan beberapa ciri utama komunikasi massa, yaitu:
a. Komunikator dalam komunikasi massa melembaga;
b. Komunikan dalam komunikasi massa bersifat heterogen;
c. Pesannya bersifat umum;
d. Komunikasinya berlangsung satu arah;
15
e. Komunikasi masa menimbulkan keserempakan;
f. Komunikasi massa mengandalkan peralatan teknis;
g. Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper.
Komunikasi juga berlangsung dalam konteks atau situasi tertentu. Banyak
pakar yang mengklasifikasikan komunikasi berdasarkan konteksnya. Konteks yang
dimaksud disini adalah semua faktor di luar orang-orang yang berkomunikasi, yang
terdiri dari (Mulyana, 2014:78) :
Pertama, aspek yang bersifat fisik seperti iklim, cuaca, suhu udara bentuk
ruangan, warna dinding, penataan tempat duduk, jumlah peserta komunikasi, dan alay
yang tersedia untuk menyampaikan pesan.
Kedua, aspek psikologis, yang melipui sikap, kecenderungan, prasangka dan
emosi para peserta komunikasi.
Ketiga, aspek sosial, seperti normal kelompok, nilai sosial, dan kkarakteristik
budaya.
Keempat, aspek waktu, yaitu kapan berkomunikasi (hari apa, pukul berapa,
pagi, siang, sore atau malam).
Mulyana mengatakan dalam bukunya (2014:79) bahwa komunikasi massa
melibatkan banyak komunikator, berlangsung melalui sistem bermedia dengan jarak
fisik yang rndah, memungkinkan penggunaan satu atau dua saluran indrawi, juga
biasanya tidak memungkinkan umpan balik dilakukan dengan segera.
16
2.1.3 Macam-macam Media Komunikasi Massa
Effendi (2000) memberikan definisi dalam bukunya mengenai komunikasi
massa sebagai komunikasi yang menggunakan media massa modern. Media massa
yang dimaksud antara lain adalah surat kabar, film, radio, internet, dan televisi. Tidak
heran jika pembahasan mengenai komunikasi massa melibatkan media massa sebagai
objek penelitian.
2.1.3.1 Film sebagai Media Komunikasi Massa
Film merupakan alat komunikasi yang tidak terbatas ruang lingkupnya dimana
di dalamnya menjadi tempat bebas berekspresi dalam sebuah proses pembelajaran
massa. Film merupakan alat komunikasi massa yang muncul pada akhir abad ke-19
(Oey Hong Lee dalam Sobur, 2004:126). Film selalu merekam realitas yang tumbuh
dan berkembang di dalam masyarakat dan kemudian memproyeksikannya ke dalam
layar (Sobur, 2004:126-127).
Para ahli film meyakinin bahwa film memiliki potensi yang besar untuk
mempengaruhi membentuk suatu pandangan di masyarakat dengan muatan pesan di
dalamnya. Hal ini dikarenakan film merupakan alat komunikasi yang mampu
menjangkau banyak sekali segmen sosial. Hal ini juga didasarkan atas pendapat
bahwa film adalah potret dari realitas di masyarakat.
Sesuai dengan apa yang peneliti paparkan di atas, ciri komunikasi massa
adalah komunikasi yang menggunakan media massa baik media audio visual maupun
media cetak yang pesannya akan disampaikan kepada massa atau khayalak yang
17
jumlahnya banyak. Dengan begitu, sesuai dengan bentuk film yang berupa audio
visual, maka film dapat dikatakan sebagai alat penyampai pesan kepada massa.
Menurut Sumarno (1996:10), film dirancang untuk melayani keperluan publik
terbatas maupun publik tak terbatas. Hal ini disebabnya adanya unsur ideologi dari si
pembuat film. Unsur ideologi ini diantaranya adalah unsur budaya, sosial, psikologis,
penyampaian bahasa film, dan unsur yang menarik ataupun merangsang imajinasi
khalayak (Irawanto, 1999:88).
Berdasarkan pendapat Sumarno dan Irawanto tersebut maka film dikatakan
dapat menjadi sebuah media komunikasi untuk menyampaikan pesan kepada publik
sasaran atau khalayak atau penontonnya berdasarkan ideologi dari pembuat film.
2.2 Film sebagai Media Komunikasi Budaya
Film mendapatkan peran yang besar sebagai sumber kebudayaan yang
menghasilkan buku, kartun strip, lagu dan bintang televisi. Oleh karena itu, film
adalah sebuah pencipta budaya massa (Jowett dan Linton, 1980).
2.2.1 Macam-macam Film
2.2.1.1 Macam-macam Film berdasarkan Jenisnya
Film merupakan media massa yang bersifat audio visual atau dengan artian
lain dapat dilihat dan didengarkan. Film terbagi dalam beberapa jenis, yaitu:
a. Film Fiksi
Film fiksi ini merupakan film yang diproduksi dengan cerita yang
dikarang. Kemudian dimainkan oleh aktor dan aktris. Biasanya, film jenis fiksi ini
18
dibuat untuk dikomersialkan, dengan artian film yang dibuat akan dipertontonkan
kepada khalayak dengan dikenai tarif (Sumarno, 1996).
b. Film Dokumenter
Film dokumenter menyajikan realitas melalui berbagai cara. Film
dokumenter sendiri dibuat dengan tujuan penyebaran informasi, penyebaran
pendidikan, dan juga dengan tujuan propaganda bagi orang atau sekelompok orang
tertentu.
c. Film Pendek
Dulunya jenis film ini sering digunakan masyarakat di beberapa negara
seperti Jerman, Kanada, Austalia, Amerika Serikat, sebagai batu loncatan untuk
membuat film panjang. Yang dimaksudkan dengan film pendek adalah film yang
berdurasi di bawah 60 menit. Namun, seiring berkembangnya perfilman, di Indonesia
pun film pendek sudah tidak jarang pula diproduksi dan dijadikan sebagai batu
loncatan untuk membuat film panjang. Biasanya, film pendek ini diproduksi oleh
mahasiswa yang memang berkonsentrasi pada bidang film, namun bisa juga
diproduksi oleh sekelompok orang yang tergabung dalam komunitas film
(Effendy,2009:3-6).
d. Film Panjang
Jika film pendek berdurasi kurang dari 60 menit, maka film panjang
berdurasi lebih dari 60 menit. Biasanya film panjang ini merupakan film yang
diputarkan di bioskop (Effendy,2009:3-6).
19
2.2.1.2 Macam-macam Film Berdasarkan Genre
Baksin (2003) menjabarkan ada beberapa genre film yang ada , yaitu:
a. Drama
Genre ini menekankan sisi human interest dalam ceritanya, sehingga
penonton diajak untuk merasakan apa yang terjadi dan dialami oleh tokoh pemeran.
b. Action atau aksi
Film dengan genre ini film yang mempertontonkan adegan berkelahi,
pertempuran dengan senjata yang akhirnya mengajak penonton untuk merasakan
ketegangan, takut, dan perasaan-perasaan lain yang dialami tokoh pemeran.
c. Komedi
Pada genre ini, penonton diajak untuk ikut tartawa dan merasakan
kelucuan yang ada pada naskah yang diperankan oleh pemeran. Genre ini mengusung
cerita yang lucu dan berisi dengan lawakan.
d. Tragedi
Dalam film genre ini, pemain utama atau tokoh utama biasanya memiliki
nasib yang malang atau mengenaskan sehingga membuat penonton ikut merasakan
kesedihan, kepedihan, kasihan, atau prihatin kepada tokoh utama.
e. Horor
Film dengan genre horor ini menampilkan adgan dan cerita yang
menyeramkan sehingga tidak jarang membuat penontonnya merasa
ketakutan.
20
Bordwell dan Thompson (2008) mengatakan dalam bukunya ada beberapa genre film
di Amerika, yaitu:
a. The Western
b. The Horor
c. The Musical
d. Action
e. Adventure
f. Animation
g. Biography
h. Comedy
i. Crime
j. Documentary
k. Drama
l. Family
m. Fantasy
n. History
o. Horor
p. Musical
q. Mystery
r. Romance
s. Sci-Fi
t. Sport
21
u. Thriller
v. War
w. Western
2.3 Sifat Pesan Komunikasi dalam Film
Jika membicarakan pesan dalam proses komunikasi, kita tidak dapat lepas dari
simbol dan kode. Pesan adalah semua bentuk komunikasi baik verbal maupun non-
verbal. Komunikasi verbal adalah komunikasi lisan, sedangkan non-verbal adalah
komunikasi dengan menggunakan simbol, isyarat, sentuhan perasaan dan penciuman
(Pratikto, 1987:42).
Film sendiri memiliki tahapan dalam menyampaikan pesannya kepada
penonton dengan memainkan emosi dan persuasi penontonnya. Dalam film terdapat
babak alur cerita untuk memainkan emosi penontonnya, yaitu:
a. Babak 1
Pada babak ini, terdapat opening film untuk mengenalkan kepada
penonton siapa pemainnya, bagaimana tokoh si pemain, biasanya juga
pada babak ini sudah memunculkan sedikit tentang permasalahan dalam
film nantinya.
b. Babak 2
Pada babak ini pesan yang ingin disampaikan mulai muncul. Dari babak
sini lah cerita biasanya dimulai. Babak ini menampilkan klimaks pada
cerita dan mulai memainkan emosi penonton.
22
c. Babak 3
Babak ini merupakan babak penyelesaian masalah atau klimaks. Babak ini
merupakan bagian ending dari film setelah melewati tahapan klimaks,
dalam tahapan inilah penonton dapat menyimpulkan pesan dalam cerita.
Pesan didefinisikan sebagai seperangkat simbol verbal dan non-verbal yang
mewakili gagasan, nilai, perasaan atau maksud komunikator (Lasswell dalam
Mulyana, 2007:63). Pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunkan satu
kata atau lebih. Suatu sistem kode verbal disebut dengan bahasa. Sedangkan bahasa
dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk dipahami suatu
komunitas (Mulyana, 2007:260). Bahasa verbal menjadi sarana utama untuk
menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata-
kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas individualitas masing-masing
dari kita sesuai dengan pengalaman yang dimiliki dari masing-masing individu juga.
Sebagai contoh, ketika kita menyebutkan kata kursi kepada teman, belum tentu apa
yang teman kita pikirkan adalah kursi seperti yang kita maksud. Ada kursi yang
terbuat dari kayu, ada kursi dengan bantalan, kursi goyang, kursi plastik, dan lain-
lain. Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain yang memiliki budaya yang sama,
maka proses merepresentasikan hal-hal sesuai dengan pengalaman kita akan lebih
mudah dipahami.
Kemudian selanjutnya adalah pesan non-verbal. Larry A. Samovar dan
Richard (1991) mengatakan dalam bukunya komunikasi non-verbal mancakup semua
rangsangan (kecuali rancangan verbal) yang dihasilkan oleh individu yang memiliki
23
nilai potensial bagi pengirim atau penerima pesan. Jadi definisi ini mencakup perilaku
yang disengaja juga tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara
keseluruhan. Kita mengirim banyak pesan non-verbal tanpa menyadari bahwa pesan
tersebut bermakna bagi orang lain (Mulyana, 2007:343)
Larry dan Richard sudah mengklasifikasikan pesan non-verbal dalam berbagai
bentuk. Bentuk yang pertama adalah perilaku yang bersumber dari penampilan dan
pakaian, eskpresi wajah, postur tubuh dan gerakan, sentuhan, para-bahasa, kontak
mata, dan bau-bauan. Bentuk yang kedua yaitu waktu, ruang, dan diam.
Konsep inilah yang nantinya dapat membantu peneliti dalam menganalisis
pesan non-verbal dalam film Prospective Son-in-Law karya Fajar Arrachman.
2.4 Unsur Budaya dalam Film
McQuail mengatakan dalam bukunya (1987:91), film memiliki beberapa
fungsi, yaitu:
a. Film dapat menjadi media yang berisikan sumber pengetahuan, sehingga
dapat menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan mengenai
peristiwa dan kondisi masyarakat dari segala belahan dunia.
b. Film juga dapat dijadikan sebagai media sosialisasi dan pewarisan nilai,
norma, dan kebudayaan. Hal ini memiliki arti bahwa selain sebagai
hiburan, penonton juga dapat mengambil atau mempelajari nilai-nilai
tertentu yang disampaikan dalam film.
c. Tidak hanya sebagai sarana sosialisasi budaya, film juga dapat berperan
sebagai wahana pengembangan kebudayaan.
24
d. Tidak hanya sebagai pengembangan dalam bentuk seni dan simbol, film
juga memiliki fungsi sebagai media pengemasan tata cara, mode, gaya
hidup, dan norma-norma.
Sebuah film tentunya memiliki pesan yang ingin disampaikan sesuai dengan
fungsi-fungsi film yang sudah dituturkan di atas. Selain nilai kebudayaan, film juga
ingin menyampaikan berbagai macam pesan yang terkandung, misalnya seperti pesan
dengan unsur, agama, sosial budaya, politik, maupun kritik sosial. Sehingga, fungsi
film sebagai pemberi informasi kepada penonton atau kepada masyarakat dapat
berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Biasanya, dalam sebuah film terdapat setidaknya unsur-unsur budaya yang
terkandung di dalamnya. Unsur budaya yang terkandung di dalamnya tersebut
biasanya berupa suatu kebudayaan atau suku bangsa dimana film tersebut dibuat.
C. Kluckholn (dalam Koenjtaraningrat, 1986:203) menyebutkan ada beberapa
unsur budaya yang mirip atau hampir sama antara film yang satu dengan yang lain.
Unsur-unsur budaya yang memiliki beberapa kesamaan di dalam film ini disebut
sebagai cultural universal. Kluckholn juga menjabarkan unsur-unsur kebudayaan
yang disebut sebagai cultural universal, yaitu:
a. Bahasa
Bahasa yang dimaksudkan disini adalah bahasa yang berupa bahasa lisan
dan bahasa tertulis.
25
b. Sistem pengetahuan
Sistem pengetahuan yang dijabarkan disini meliputi pengetahuan tentang
alam sekitar, pengetahuan menegnai flora, pengetahuan mengenai fauna,
pengetahuan yang membahas tentang zat-zat dan bahan mentah,
pengetahuan mengenai tubuh manusia, pengetahuan mengenai kelakuan
sesama manusia, pengetahuan mengenai ruang, waktu dan bilangan.
c. Organisasi sosial
Organisasi sosial ini terdiri dari sistem kekearabatan, sistem kesatuan
hidup setempat, asosiasi dan perkumpulan, serta sistem kenegaraan.
d. Sistem peralatan hidup dan teknologi
Semakin berkembangnya jaman, tentu semakin berkembang pula
teknologi yang dikembangkan dan digunakan oleh manusia dan digunakan
untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sitem peralatan hidup dan teknologi
ini terdiri dari: alat-alat produktif, alat-alat distribusi dan transport,
makanan dan minuman, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung atau
rumah, termasuk juga di dalamnya adalah senjata.
e. Sistem mata pencaharian hidup
Setiap manusia tentunya menginginkan kehidupan yang mudah dan
tercukupi. Oleh karenanya, manusia juga melakukan pekerjaan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Mata pencaharian yang biasa dilakukan
adalah berburu dan meramu, perikananan, bercocok tanam, peternakan,
dan perdangan.
26
f. Sistem religi
Tidak hanya unsur budaya, pesan yang ingin disampaikan di dalam film
juga biasanya mengandung unsur agama, seperti sistem kepercayaan,
kesustraan suci, sistem upacara keagamaan, komunitas keagamaan, ilmu
gaib, sistem nilai, dan juga pandangan hidup.
g. Kesenian
Kesenian disini yang dimaksud meliputi seni patung, seni relief, seni lukis
dan gambar, seni rias, seni vokal, seni kesusastraan, seni drama, dan seni
instrumental.
2.5 Penelitian Terdahulu
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan peneliti melalui data pustaka,
ditemukan penelitian sejenis seperti apa yang diteliti oleh peneliti. Berikut uraian
penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini:
2.3 Representasi Nilai Budaya Minangkabau dalam Film “Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck” ditulis oleh Dewi Inrasari, seorang alumni UIN Alauddin
Makassar jurusan Ilmu Komunikasi. Pada penelitian Dewi, menghasilkan
sebuah kesimpulan bahwa budaya Minangkabau dalam film Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck diwujudkan melalui penggunaan bahasa, pakaian, dan
adatyang ditampilkan melalui beberapa adegan. Selain itu makna simbol
budaya Minangkabau pada film ini merupakan sebuah bentuk kritikan
terhadap budaya Minangkabau yang menganut sistem matrilineal dan
27
materialistis (Inrasari, 2015). Bila dibandingkan dengan penelitian yang akan
peneliti teliti, memiliki persamaan pada isu budaya pada film, hanya saja
memiliki perbedaan pada budaya yang diambil dan pada film yang diangkat
menjadi objek penelitian. Kemudian, penelitian ini memiliki perbedaan
dengan penelitian yang akan peneliti teliti. Perbedaan ini terletak pada jenis
penelitian. Inrasari menggunakan jenis penelitian kualitatif analisis teks media
sedangkan peneliti menggunakan kualitatif interpretatif. Bentuk analisis yang
digunakan pun berbeda. Inrasari menggunakan semiotika milik Charles
Sander Pierce, sedangkan peneliti menggunakan miliki Roland Barthes.
2.6 Definisi Konseptual
2.6.1 Definisi Konstruksi Budaya
Dalam teorinya, George Kelley (dalam Littlejohn, 1996:112-120) mengatakan
bahwa konstruktivisme adalah pesan yang diinterpretasikan oleh setiap individu dan
bertindak sesuai dengan kategori yang ada dan terkonsep dalam pikiran. Realitas
dalam pesan yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang ada, namun sudah melalui
proses seleksi yang terjadi karena adanya perspekif dari setiap individu. Jika dilihat
dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, konstruksi ini merupakan susunan suatu
bangunan. Sedangkan dalam Ilmu Komunikasi, konstruksi didefinisikan sebagai
sebuah konsep, yaitu abstraksi yang didefinisikan sebagai generalisasi dari hal-hal
yang khusus dan dapat diamati serta dapat diukur. Konstruktivisme ini sendiri
terbentuk dari teori konstruk setiap personal yang memahami pengalamannya melalui
kejadian yang akhirnya dikelompokkan berdasarkan kesamaan atau perbedaan yang
28
dimiliki tentang sesuatu. Karena teori ini mengakui bahwasanya konstruk memiliki
kondisi sosial yang alami dan dipelajari melalui hubungan dengan orang lain, maka
menjadi sebuah hal penting memaknai budaya sebagai sebuah peristiwa.
2.6.2 Makna Tanda dalam Pesan
2.6.2.1 Definisi Makna
Pada kehidupan sehari-hari, setiap kata yang diucapkan oleh manusia tentu
memiliki makna atau berakibat memunculkan makna. Persoalan makna adalah
persoalan yang menrik dalam kehidupan sehari-hari (Pateda, 2001:288). Menurut
Ogden dan Richards (dalam Sudaryat, 2009:13), makna adalah hubungan antara
lambang (simbol) dan acuan atau referen. Hubungan antara lambang dan acuan
bersifat tidak langsung, sedangkan hubungan antara lambang dengan referensi dan
referensi dengan acuan bersifat langsung. Ogden dan Richards juga menyebutkan
batasan makna ini sama dengan istilah pikiran, referensi yaitu hubungan antara
lambang dengan acuan atau referen.
Saussure (1994) berpendapat bahwa makna adalah pengertian atau konsep
pada tanda linguistik. Pengertian makna dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
maksud pembicara atau penulis, bisa juga diartikan sebagai pengertian yang diberikan
kepada suatu bentuk kebahasaan. Dalam KBBI dijelaskan pula makna mengandung
tiga unsur hal, yaitu (1) arti, (2) maksud pembicara atau penulis, (3) pengertian yang
diberikan kepada suatu bentuk kebahasan.
Secara linguistik makna diartikan sebagai apa-apa saja yang diartikan atau
dimaksudkan oleh kita (Hornby dalam Sudaryat, 2009:13). Rakhmat (1996)
29
menjelaskan mengenai para ahli yang telah menyepakati bahwa makna bersifat
subjektif tergantung dengan latar belakang budaya serta pengalaman dalam memberi
pengertian sebuah makna (Sobur, 2014:20). Pendapatnya ini sejalan dengan pendapat
Stevenson, yaitu apabila seseorang ingin menafsirkan makna sebuah tanda maka ia
harus memikirkan bagaimana mestinya tentang tanda tersebut, sehingga dapat
diperoleh jawaban pada kondisi-kondisi tertentu.
Ogden dan Richards (dalam Sudaryat, 2009:14) menjelaskan definisi makna
menjadi 14 rincian, yaitu:
1. Suatu yang intrinsik;
2. Hubungan dengan benda-benda lain yang unik dan sulit dianalisis;
3. Kata lain tentang suatu kata yang terdapat di dalam kamus;
4. Konotasi kata;
5. Suatu esensi, suatu aktivitas yang diproyeksikan ke dalam suatu objek;
6. Tempat sesuatu di dalam suatu sistem;
7. Konsekuensi praktis dari suatu benda dalam pengalaman kita mendatang;
8. Konsekuensi teoritis yang terkandung dalam sebuah pernyataan;
9. Emosi yang ditimbulkan oleh sesuatu
10. Sesuatu yang secara aktual dihubungkan dengan suatu lambang oleh
hubungan yang telah dipilih;
11.
a. Efek-efek yang membantu ingatan jika mendapat stimulus asosiasi-asosiai
yang diperoleh;
30
b. Beberapa kejadian lain yang membantu ingatan terhadap kejadian yang
pantas;
c. Suatu lambang seperti yang kita tafsirkan;
d. Sesuatu yang kita sarankan;
e. Dalam hubungannya dengan lambang penggunaan lambang yang secara
aktual dirujuk;
12. Pengunaan lambang yang dapat merujuk terhadap apa yang dimaksud;
13. Kepercayaan menggunakan lambang sesuai dengan yang kita maksudkan;
14. Tafsiran lambang;
a. Hubungan-hubungan;
b. Percaya tentang apa yang diacu;
c. Percaya kepada pembicara tentang apa yang dimaksudkannya.
Inti dari apa yang disampaikan oleh Ogden dan Richards, makna berarti
hubungan antara kata dan benda yang bersifat intrinsik yang berada dalam suatu
sistem dan diproyeksikan ke dalam bentuk lambang (Warsidi, 2014-11).
Dari pengertian-perngertian makna yang telah disampaikan di atas dapat
disimpulkan bahwa makna adalah hubungan antara kata dengan konsep, serta benda
atau hal yang dirujuk.
2.6.2.2 Jenis Makna
Pateda (dalam Abdul Chaer, 2009:59) membagi jenis makna menjadi 25 jenis
makna, yaitu afektif, makna denotatif, makna deskriptif, makna ekstensi, makna
emotif, makna gereflekter, makna ideasional, makna intensis, makna gramatikal,
31
Umum
makna kiasan, makna kognitif, makna kolokasi, makna konotatif, makna konseptal,
makna konstruksi makna leksikal, makna luas, makna piktonal, makna proposisional,
makna pusat, makna referensial, makna sempit, makna stilistika, dan makna tematis.
Berbeda dengan Pateda, Leech (dalam Abdul Chaer, 2009:59) membaginya ke
dalam tuhuh tipe makna, yaitu makna konseptual, makna konotatif, makna stilistika,
makna afektif, makna reflektif, makna kolokatif, dan makna tematik.
Sudaryat (2009:22) membagi jenis-jenis makna menjadi dua bagian besar,
yaitu makna leksikal dan makna struktural. Selanjutkan makna leksikal ini dibagi lagi
menjadi makna langsung dan makna kiasan. Sudaryat (2009:22) menggambarkan
ragam makna tersebut dalam bentuk bagan.
Gambar 2.1 Ragam Makna Sudaryat
2.6.2.3 Definisi Tanda
Semiotik menurut Cobley dan Jenz adalah istilah kata yang berasal dari
bahasa Yunani “Semeion” yang memiliki arti tanda atau “Seme” yang memiliki arti
penafsiran.
MAKNA
Leksikal Struktural
Langsung Kiasan Gramatikal Tematis
Khusus Konotatif Afektif Stilistik Reflektif Kolokatif Idiomatikal
32
Sedangkan menurut Eco, semiotik didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari mengenai objek, peristiwa, dan seluruh kebudayan sebagai tanda (Sobur,
2006:95).
Tanda sendiri memiliki artian yaitu sesuatu yang berdiri pada sesuatu yang
lain, atau menambahkan dimensi yang berbeda pada sesautu, dengan memakai segala
apapun yang dipakai untuk mengartikan sesuatu yang lainnya.
Pierce (dalam Berger, 2000:1) mengatakan bahwa tanda merupakan pegangan
seseorang akibat ketertarikan dengan tanggapan atau kapasitasnya. Dikatakan pula
bahwa tanda juga didefinisikan sebagai yang atas dasar konvensi sosial yang
terbangun dan dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Zoest, 1993:1).
Sebenarnya, tanda sendiri adalah bentuk dari representasi dari gejala yag
memiliki sejumlah kriteria, seperti nama, peran, fungsi, tujuan, dan keinginan tanda
ada dimana-mana. Begitu juga dengan benda-benda yang ada di sekitar kita, seperti
lampu lalu lintas, bendera, dan sebagainya. Kata pun juga disebut sebagai tanda.
Beberapa definisi mengenai semiotik sudah dikemukakan oleh beberapa ahli
semiotik, baik berupa definisi secara etimologi dan terminologi, diantaranya adalah:
a. Charles Sanders Pierce
Pierce mendefinisikan bahwa semiotik sebagai sesuatu hubungan diantara
tanda, objek dan makna (Sobur, 2003:16).
b. Van Zoest
Menurut Zoest, semiotik adalah ilmu tanda dan segala yang berhubungan
dengan cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimnya,
33
dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya (Sobur,
2001:96).
c. Saussure
Semiologi menurut Saussure adalah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-
tanda di tengah masyarakat dan dengan demikian menjadi bagian dari
disiplin psikologi sosial (Sobur, 2001:12).
Semiotik memiliki peran melakukan interogasi terhadap kode yang dipasang
oleh pemberi kode agar penerima kode bisa mengerti makna yang dimaksud oleh
pemberi kode dalam sebuah teks (Sobur, 2003: 11).
Sobur mengatakan dalam bukunya (2003:100-101) bahwa semiotik memiliki
beberapa macam semiotik yang bertahan hingga sekarang setidaknya ada sembilan
macam, yaitu:
a. Semiotik analitik
yaitu merupakan semiotik yang menganalisis tanda. Semiotik ini memiliki
objek tanda kemudian dianalisis menjadi ide, obyek dan makna. Ide yang
dianalisis disebut sebagai lambang, sedangkan untuk makna sendiri adalah
beban yang ada di dalam lambang yang nantinya mengacu pada suatu
objek tertentu.
b. Semiotik deskriptif
Semiotik ini merupakan semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang
ada sejak dahulu kala namun tetap disajikan dan digunakan hingga saat
ini.
34
c. Semiotik faunal zoosemiotic
yaitu semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan
oleh hewan. Semiotik kultural merupakan semiotik yang khusus menelaah
sistem tanda yang ada dalam kebudayaan masyarakat.
d. Semiotik naratif
Semiotik ini merupakan semiotik yang membahas sistem tanda dalam
narsi yang berwujud mitos dan cerita lisan.
e. Semiotik natural
Bisa juga disebut dengan semiotik khusus yang membedah sistem tanda
yang dihasilkan oleh alam. Berbeda dengan semiotik natural, semiotik
normatif merupakan semiotik yang khusus membahas sistem tanda yang
dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma.
f. Semiotik sosial
Semiotik ini khusus membeda sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia
yang berwujud lambang. Sedangkan semiotil struktural adalah semiotik
yang khusus membeda sistem tanda yang dimanifestasikan melalui
struktur bahasa.
g. Semiotik cultural
Semiotik ini khusus digunakan untuk membeda sistem tanda yang ada
dalam kebudayaan suatu masyarakat tertentu. Biasanya, budaya yang akan
diteliti memiliki perbedaan dengan kebudayaan di wilayah tertentu.
35
Barthes menjelaskan dalam teorinya bahwa teori semiotik dibagi menjadi dua
tingkatan, yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi sendiri merupakan tingkat petandaan
yang menjelaskan hubungan penanda dengan petanda dalam relaitas, sehingga
menghasilkan makna emplisit, langsung dan pasti. Sedangkan konotasi merupakan
tingkatan petanda yang menjelaskan mengenai hubungan penanda dan petanda yang
di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan juga tidak
pasti (Yusvita Kusumarini, 2006).
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menjadi
ciri khas suatu masyarakat. Menurutnya, mitos ada pada tingkat kedua penandaan.
Tanda tersebut akan muncul menjadi petanda baru yang kemudian memiliki petanda
kedua dan membentu tanda baru setelah terbentuknya sistem sign-signifier-signified.
Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang
menjadi sebuah makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi sebuah
mitos.
2.7 Konsep Bibit, Bebet, dan Bobot dalam Budaya Jawa
2.7.1 Definis Kejawen
Kejawen adalah kepercayaan yang sudah mendarah daging dalam pribadi
masyarakat Indonesia khususnya masyarakat di pulau Jawa. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, arti dari kejawen adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
adat dan kepercayaan yang berlaku di masyarakat Jawa.
Kejawen merupakan ajaran yang keyakinan dan ritualnya merupakan
campuran dari agama-agama formal dengan pemujaan terhadap kekuatan alam
36
(Suyono, 2007:2). Sebagai contoh, sangat banyak sekali orang Jawa yang menganut
agama Islam. Namun, pengetahuan mereka tentang agama Islam bisa dibilang masih
sangat kurang mendalam. Hal ini yang akhirnya mendasari adanya budaya kejawen di
kalangan masyarakat Indonesia khususnya Jawa.
Suparlan (dalam Woodward, 1999:3) menyatakan bahwa varian mistik orang
Islam Jawa atau disebut priyayi dan abangan adalah Islam Jawa sedangkan terhadap
orang-orang kebatinan sebagai kejawen. Kejawen memang sangat sering dikaitkan
dengan hal-hal mistis, meskipun hal ini tidak dapat sepenuhnya dianggap benar.
“Mistisisme adalah ajaran yang menyatakan adanya hal-hal yant idak
terjangkau oleh akal manusia atau sering disebut dengan hal-hal ghaib. Hal ini tidak
dapat sepenuhnya dianggap benar. Namun, tidak dapat dipungkiri pula dunia kejawen
memang tidak dapat dilepaskan dari hal mistis, begitu pula dengan hal mistis yang
tidak dapat dilepaskan dari kejawen” (Tim penyusun KBBI, 2007:749).
Jadi, secara garis besar perilaku masyarakat yang disebut kejawen ini
merupakan suatu pengungkapan seseorang yang ingin dekat dengan Tuhan melalui
berbagai cara. Dan tradisi seperti ini adalah tradisi atau ritual yang telah turun-
temurun diwariskan dari orang-orang Jawa agar hidupnya selaras, harmonis dan
bahagia.
2.7.2 Bibit, Bebet dan Bobot dalam Pernikahan Adat Jawa
Sampai saat ini, dalam menentukan pilihan calon pengantin di masyarakat
Jawa masih menggunakan dua model yaitu model tradisional dan model modern atau
lebih sering disebut dengan pacaran. Kedua model ini sangat bertentangan prinsip
37
karena orang tua yang masih menggunakan model tradisional akan memilihkan calon
pasangan untuk anaknya, sedangkan model pacaran akan membuat anak memilih
sendiri calonnya dan tidak menggunakan perantara dari orang tuanya.
Geertz (1985:61) menjelaskan dalam pemilihan calon pengantin yang
menggunakan model tradisional ini pilihan calon pengantin harus ditentukan oleh
orang tua atau setidaknya harus mendapatkan persetujuan dari orang tua terlebih
dahulu. Suwardi (1992:4) mengatakan bahwa sebenarnya model tradisional yang
dipegang oleh orang tua ini pada dasarnya berpegang pada konsep “bibit, bebet, dan
bobot”.
Seperti yang sudah peneliti jabarkan secara singkat di bab sebelumnya, tradisi
ini sebenarnya merupakan tradisi yang dilakukan oleh keluarga Ningrat. Seperti yang
dikatakan Hariwijaya dalam bukunya (2004:6-7), para bangsawan
mempertimbangkan bibit, bebet dan bobot untuk menentukan jodoh bagi anak-anak
mereka dengan alasan untuk kebaikan dan kebahagiaan kedua mempelai di masa
yang akan datang. Dulunya, bibit, bebet, dan bobot ini diartikan jika calon pengantin
perempuan dari keluarga ningrat, maka calon pengantin laki-laki harus dari keluarga
ningrat pula. Begitu juga sebaliknya. Namun, lama-kelamaan tradisi ini diikuti oleh
masyarakat di luar keraton dengan alasan semata-mata ingin menjunjung nilai
kebudayaan.
Bibit disini berarti orang tua menilai calon pengantin dari segi keturunan
(asal-usul), dari keluarga yang bagaimana si calon pengantin. Kemudian bebet disini
berarti bagaimana status sosial calon pengantin, seperti kedudukan, keahlian,
38
kepandaian, dan lain-lain. Bobot berarti seberapa banyak kekayaan harta benda yang
dimiliki oleh calon pengantin.
Ketika memilih calon pengantin dengan menggunakan model tradisional ini
seringkali diatur oleh seorang “mak comblang”. Biasanya, mak comblang dalam
masyarakat Jawa adalah seorang wanita setengah baya yang memang ahli dalam hal
tata cara perkawinan dan ahli dalam mengatur perkawinan (Koentjaraningrat,
1984:126).
Tujuan dilakukannya bibit, bebet dan bobot ini yang utama adalah
memperoleh keturunan yang sah dan merupakan tujuan yang pokok dari perkawinan
itu sendiri.
Tradisi bibit, bebet dan bobot ini dilakukan dengan cara penyelidikan yang
dilakukan oleh kedua orang tua calon mempelai perempuan dengan dibantu oleh mak
comblang. Jika kedua orang tua calon mempelai perempuan sudah setuju atau merasa
puas dengan hasil penyelidikan, maka kedua orang tua akan memberitahukan kepada
mak comblang untuk dipertemukan dengan calon laki-laki. Namun, ketika calon laki-
laki datang ke rumah calon perempuan, biasanya calon perempuan tidak mengerti
maksud kedatangannya. Orang tuanya pun tidak memberitahunya. Hal ini bertujuan
untuk memberi peluang kepada calon laki-laki untuk menilai secara langsung
bagaimana calon perempuan (Hardiyanto, 1997).