c/n rasio pada serasah daun mangrove dari jenis …repository.ub.ac.id/8156/1/robby yahya.pdf ·...
TRANSCRIPT
a
C/N RASIO PADA SERASAH DAUN MANGROVE DARI JENIS Avicennia
alba, Sonneratia alba dan Bruguiera gymnorrhiza DI KAWASAN
MANGROVE KETAPANG, KECAMATAN KADEMANGAN, KOTA
PROBOLINGGO, JAWATIMUR
SKRIPSI
Oleh: ROBBY YAHYA
NIM.135080101111014
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN JURUSAN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2017
b
c
IDENTITAS TIM PENGUJI
Judul : C/N Rasio pada Serasah Mangrove dari Jenis Avicennia
alba, Sonneratia alba dan Bruguiera gymnorrhiza di
Kawasan Mangrove Ketapang, Kecamatan Kademangan
Kota Probolinggo, Jawa Timur.
Nama Mahasiswa : Robby Yahya
NIM : 135080101111014
Progam Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan
PENGUJI PEMBIMBING
Pembimbing 1 : Dr. Ir. Muhammad Musa, MS
Pembimbing 2 : Dr. Asus Maizar S.H., S.Pi, MP
PENGUJI BUKAN PEMBIMBING
Dosen Penguji 1 : Dr. Yuni Kilawati, S.Pi., M.Si
Tanggal Ujian : 15 Desember 2017
d
PERNYATAAN ORISINALITAS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Robby Yahya
Nim : 135080101111014
Prodi : Manajemen Sumberdaya Perairan
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam usulan skripsi yang berjudul C/N
Rasio pada Serasah Daun Mangrove dari Jenis Avicennia alba, Sonneratia alba
dan Bruguiera gymnorrhiza di Kawasan Mangrove Ketapang, Kecamatan
Kademangan, Kota Probolinggo, Jawa Timur benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau
pendapat yang ditulis atau diterbitkan oleh orang kecuali yang tertulis dalam
naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka
Apabila kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa laporan Skripsi
ini hasil penjiplakan (plagiasi), maka saya bersedia menerima sanksi atas
perbuatan tersebut, sesuai hukum yang berlaku di Indonesia
Malang, Desember 2017
Penulis
e
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW yang telah berkehendak atas segala
kelancaran dan kemudahanyang diberikan dalam penyelesaian laporan Skripsi
ini.
2. Orang tua (Bapak dan Ibu), serta keluarga tercinta yang telahmemberikan doa,
dukungan dan materi sehingga laporan Skripsi ini dapat selesai dengan baik.
3. Dr. Ir. Muhammad Musa, MS dan Dr. Asus Maizar Suryanto H, S.Pi, MP selaku
dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, petunjuk dan
pengarahan dalam penyusunan laporan.
4. Prof. Yenny Risjani, DEA, PhD dan Dr. Yuni Kilawati, S.Pi., M.Si selaku dosen
penguji atas atas kritik dan saran yang telah diberikan.
5. Pak Mukhlis , Mas Irvan dan Mas Hambali yang telah di repotkan saat
penelitian dan dukungannya dalam pelaksaan penelitian.
6. Audina Kartikasari, Wahyu Dewanti, Mochammad Irvan, Benni Pujianto,
Yuninda Pravita sebagai youngentrepreneur Ayam Suir ”Glowriche” atas atas
segala doa dan dukungannya dalam segala hal.
7. Mas Farid, Mas Hafid dan Mas Fikri yang telah mengajarkan dan membantu
dalam proses pengerjaan skripsi ini.
8. Seluruh keluarga FAM’13 yang telah membantu dan memberi dukungan untuk
menyelesaikan laporan ini.
9. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang secara
langsung maupun tidak langsung dan baik sengaja maupun tidak sengaja telah
membantu hingga terselesainya skripsi ini .
f
RINGKASAN
ROBBY YAHYA. Skripsi. C/N Rasio pada Serasah Daun Mangrove Jenis Avicennia alba, Sonneratia alba dan Bruguiera gymnorrhiza di Kawasan Mangrove Ketapang, Kecamatan Kademangan, Kota Probolinggo, Jawa Timur (dibawah bimbingan Dr. Ir. Muhammad Musa, MS dan Dr. Asus Maizar Suryanto. H., S.Pi, M.P)
Hutan mangrove memegang peranan penting sebagai pemasok bahan organik sehingga dapat menyediakan makanan untuk organisme yang hidup diperairan. Komponen dasar dari rantai makanan pada ekosistem mangrove berasal dari serasah. Serasah mangrove merupakan bahan penting untuk berlangsungnya siklus bahan organik dan merupakan bahan dasar untuk kehidupan organisme yang terdapat pada ekosistem mangrove. Semakin tinggi C/N rasio semakin lambat proses dekomposisinya, hal tersebut akan berpengaruh terhadap sebaran bahan organik dan unsur hara yang tersedia. Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Hutan Mangrove Ketapang, Kota Probolinggo, Jawa Timur pada bulan Juni- Juli 2017.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui produksi seresah daun mangrove jenis Avicennia alba, Sonneratia alba dan Bruguiera gymnorrhiza dan membandingkan nilai C/N pada serasah daun mangrove dari jenis Avicennia alba, Sonneratia alba dan Bruguiera gymnorrhiza di kawasan mangove Ketapang, Kota Probolinggo. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif yaitu metode yang dilakukan dengan tujuan utama memberikan gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara objektif. Lokasi pengambilan sampel pada penelitian ini ada 3 stasiun, yaitu stasiun I terdiri dari 3 jenis Mangove, stasiun II terdiri dari 3 jenis mangrove dan stasiun III terdiri dari 3 jenis mangrove. Pengambilan sampel dengan menggunakan litter trap (jaring penampung serasah) dengan ukuran 1x1 m2 dengan masing- masing stasiun 9 jaring. Faktor yang mempengaruhi yaitu iklim (suhu, cahaya, angin dan curah hujan), salinitas dan pasang surut.
Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan bahwa nilai produksi serasah daun mangrove di kawasan mangrove Ketapang Kota Probolinggo mempunyai hasil yang berbeda beda pada tiap jenis mangrove. Hasil produksi serasah daun mangrove yang di peroleh selama 1 minggu dari jenis mangrove Avicennia alba dengan rata – rata 60,29 gr/m2, produksi serasah daun mangrove Sonneratia alba dengan rata – rata 58,48 gr/m2 dan produksi serasah daun mangrove dari jenis Bruguiera gymnorrhiza dengan rata – rata 57,48 gr/m2. Hasil analisis data uji ANOVA produksi serasah daun didapatkan nilai P value (0,892) dengan demikian taraf nyata (0,05), jadi menerima Ho sehingga kesimpulan produksi serasah daun pada tiga jenis mangrove nyata atau tidak ada perbedaan yang signifikan. Sedangkan Kandungan C/N rasio serasah daun dari jenis mangrove Avicennia alba dengan rata – rata 53,95 , C/N rasio jenis Bruguiera gymnorrhiza memiliki nilai rata – rata 52,03 dan C/N rasio serasah daun dari jenis Sonneratia alba memiliki nilai rata – rata 42,28. Hasil analisis data uji ANOVA pada nilai C/N didapatkan nilai P value (0,097) dengan demikian taraf nyata (0,05), jadi menerima Ho sehingga kesimpulan nilai C/N pada tiga jenis mangrove nyata atau tidak ada perbedaan yang signifikan. Nilai C/N rasio serasah daun di kawasan hutan mangrove ketapang, Kota Probolinggo tergolong tinggi karena menurut Purwanto et. al., 2007 menyatakan bahwa serasah berkualitas baik apabila C/N rasio < 25 sehingga serasah cepat terdekomposisi dan sebaliknya jika serasah diatas 25 serasah lama terdekomposisi.
g
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan
hidayah-Nyapenulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan judul “C/N Rasio
pada Serasah Daun Mangrove dari Jenis Avicennia alba, Sonneratia alba dan
Bruguiera gymnorrhiza di Kawasan Mangrove Ketapang, Kecamatan
Kademangan, Kota Probolinggo”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat
untuk mendapatkan gelar sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Brawijaya.
Penulis menyadari bahwa Skripsi ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan dalam penyusunan laporan selanjutnya sehingga tujuan yang
diharapkan dapat tercapai.
Malang, Desember 2017
Penulis
h
DAFTAR ISI
Halaman RINGKASAN ........................................................................................................ f
KATA PENGANTAR ........................................................................................... g
DAFTAR ISI ........................................................................................................ h
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. j
DAFTAR TABEL ................................................................................................. k
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... l
1. PENDAHULUAN .................................................. Error! Bookmark not defined. 1.1 Latar Belakang ....................................... Error! Bookmark not defined. 1.2 Rumusan Masalah .................................. Error! Bookmark not defined. 1.3 Tujuan Penelitian .................................... Error! Bookmark not defined. 1.4 Kegunaan ............................................... Error! Bookmark not defined. 1.5 Tempat dan Waktu Penelitian ................. Error! Bookmark not defined.
2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................... Error! Bookmark not defined.
2.1 Ekosistem Mangrove .............................. Error! Bookmark not defined. 2.2 Deskripsi Avicennia alba ......................... Error! Bookmark not defined. 2.3 Deskripsi Sonneratia alba ....................... Error! Bookmark not defined. 2.5 Peranan Mangrove ................................. Error! Bookmark not defined. 2.6 Produksi Serasah Mangrove ................... Error! Bookmark not defined. 2.7 Bahan Oganik C/N .................................. Error! Bookmark not defined. 2.8 Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi . Error! Bookmark not defined.
2.8.1 Iklim ...................................................... Error! Bookmark not defined. 2.8.2 Salinitas ................................................ Error! Bookmark not defined. 2.8.3 Pasang Surut ........................................ Error! Bookmark not defined.
3. METODE PENELITIAN ........................................ Error! Bookmark not defined.
3.1 Materi Penelitian ..................................... Error! Bookmark not defined. 3.2 Alat dan Bahan ....................................... Error! Bookmark not defined. 3.3 Lokasi Penelitian .................................... Error! Bookmark not defined. 3.4 Metode Penelitian ................................... Error! Bookmark not defined. 3.5 Jenis Data .............................................. Error! Bookmark not defined. 3.6 Penentuan Stasiun Pengamatan ............ Error! Bookmark not defined. 3.7 Teknik Pengambilan Sampel .................. Error! Bookmark not defined.
3.7.1 Serasah ........................................... Error! Bookmark not defined. 3.7.2 Kerapatan Mangrove ....................... Error! Bookmark not defined. 3.7.3 Salinitas ........................................... Error! Bookmark not defined.
3.8 Analisis Sampel ...................................... Error! Bookmark not defined. 3.8.1 Analisis C-organik dengan Metode Walkey-Black . Error! Bookmark not defined. 3.8.2 Analisis N-total dengan Metode Kjedahl Error! Bookmark not defined.
i
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................ Error! Bookmark not defined.
4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian .......... Error! Bookmark not defined. 4.2 Deskripsi Stasiun Pengamatan ............... Error! Bookmark not defined. 4.3 Produksi Serasah Daun Mangove .......... Error! Bookmark not defined. 4.4 C/N Rasio ............................................... Error! Bookmark not defined. 4.5 Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi . Error! Bookmark not defined.
4.5.1 Suhu Udara dan Kelembaban Udara .... Error! Bookmark not defined. 4.5.2 Curah Hujan dan Kecepatan Angin ....... Error! Bookmark not defined. 4.5.3 Lama Penyinaran Matahari ................... Error! Bookmark not defined. 4.5.4 Salinitas ................................................ Error! Bookmark not defined. 4.5.5 Pasang Surut ........................................ Error! Bookmark not defined.
5. KESIMPULAN DAN SARAN ................................ Error! Bookmark not defined.
5.1 Kesimpulan ............................................. Error! Bookmark not defined. 5.2 Saran ...................................................... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA ................................................. Error! Bookmark not defined.
LAMPIRAN ............................................................... Error! Bookmark not defined.
j
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Bagan Alur masalah......................................... Error! Bookmark not defined.
2. Zonasi Mangrove ............................................. Error! Bookmark not defined.
3. (a) Bentuk daun, bunga dan ranting; (b) Bentuk buah (c) Bentuk pohon dan
akar .................................................................. Error! Bookmark not defined.
4. Sonneratia alba ................................................ Error! Bookmark not defined.
5. Bruguiera gymnorrhiza ..................................... Error! Bookmark not defined.
6. Transek Pengukuran Kerapatan Mangrove ...... Error! Bookmark not defined.
7. Lokasi Stasiun I ............................................... Error! Bookmark not defined.
8. Lokasi Stasiun II .............................................. Error! Bookmark not defined.
9. Lokasi Stasiun III ............................................. Error! Bookmark not defined.
10. Histogram Produksi Serasah Daun Mangove. Error! Bookmark not defined.
11. Rata rata C/N Rasio Serasah Daun Mangrove ............. Error! Bookmark not
defined.
k
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Kriteria Baku Kerusakan Mangrove .................. Error! Bookmark not defined.
2. Hasil Produksi Serasah Daun Mangrove .......... Error! Bookmark not defined.
3. Kandungan C, N, C/N rasio serasah daun mangrove ..... Error! Bookmark not
defined.
l
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Alat dan Bahan ................................................ Error! Bookmark not defined.
2. Peta Kota Probolinggo ..................................... Error! Bookmark not defined.
3. Lokasi Pengambilan sampel ............................ Error! Bookmark not defined.
4. Hasil Serasah Daun Mangrove ........................ Error! Bookmark not defined.
5. Kerapatan Jenis dan Kerapatan Relatif Vegetasi Mangrove . Error! Bookmark
not defined.
6. Hasil C/N rasio pada serasah daun .................. Error! Bookmark not defined.
7. Dokumentasi pribadi ........................................ Error! Bookmark not defined.
57
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini manusia sebagian besar belum banyak mengetahui tentang apakah
sebenarnya mangrove itu. Masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya
yang berbahasa Melayu sering menyebut hutan mangrove dengan hutan bakau.
Penggunaan istilah hutan bakau untuk hutan mangrove sebenarnya kurang tepat dan
rancu, karena bakau hanya nama lokal dari marga Rhizophora, sementara hutan
mangrove disusun dan ditumbuhi oleh banyak marga dan jenis tumbuhan lainnya.
Oleh karena itu, beberapa ahli menyarankan penyebutan hutan mangrove dengan
hutan bakau sebaiknya dihindari. Mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai
komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan
terhadap salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies. Dalam
bahasa inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang
tumbuh di daerah jangkauan pasang surut maupun untuk individu individu jenis
tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut (Sulastini, 2011).
Mangrove berkembang di habitat dengan ciri-ciri seperti yang dikemukakan oleh
Bengen (2001), sebagai berikut : 1. Tumbuh pada daerah intertidal yang tanahnya
berlumpur atau berpasir. 2. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat
(sungai, mata air, atau air tanah) yang berfungsi untuk menurunkan salinitas,
menambah pasokan unsur hara, dan lumpur. 3. Terkena gelombang besar dan arus
pasang surut yang kuat. Air payau dengan salinitas 2-22 ppm atau asin dengan
salinitas mencapai 33 ppm.
Mangrove sebagai ekosistem produktif di pesisir menghasilkan serasah sebagai
potensi hara yang mendukung produktivitas primer tinggi di ekosistem ini. Produksi
2
serasah mangrove yang tinggi secara langsung berhubungan dengan struktur
komunitas mangrove yang juga didukung oleh faktor-faktor lingkungan antara lain
musim dan suhu udara (Soenardjo 1999). Struktur komunitas yang terdiri dari banyak
jenis mangrove akan menghasilkan serasah dalam jumlah yang besar dibandingkan
dengan komunitas yang mempunyai jenis mangrove sedikit, hal ini dikarenakan
tegakan mangrove yang memiliki kerapatan tinggi akan menghasilkan produksi
serasah yang tinggi pula. Demikian juga dengan dekomposisi, hasil dekomposisi yang
berupa bahan organik tergantung pada jumlah serasah yang ada. Jumlah serasah
yang besar akan menghasilkan dekomposisi yang tinggi dan ini didukung oleh kondisi
lingkungan seperti lamanya genangan, salinitas dan temperatur air. Kerapatan
mangrove yang tinggi akan menghalangi intensitas cahaya matahari masuk ke dasar
hutan karena terhalang oleh rimbunnya tajuk daun mangrove, hal ini menyebabkan
kelembaban di permukaan tanah tinggi, sehingga meningkatkan laju dekomposisi oleh
bakteri dan jamur (Yulma, 2012).
Mangrove merupakan satu dari ekosistem produktif di dunia terutama dalam
bentuk produktivitas primer berupa produksi jatuhan serasah serta dekomposisi dan
pelepasan nutrien. Produktivitas yang tinggi ini terkait langsung dengan rantai
makanan yang bertumpu pada detritus atau jatuhan serasah. Dekomposisi
merupakan proses penting dalam fungsi ekosistem. Dekomposisi serasah mangrove,
terutama serasah daun, mempunyai kontribusi sebagian besar nutrien sedimen dan
perairan sekitar. Hanya sebagian kecil daun yang telah busuk dikonsumsi secara
langsung oleh hewan herbivora, sedangkan detritus mangrove merupakan
ketersediaan sumber bahan organik yang potensial bagi jaring makanan di estuari
(Mahmudi et.al. 2011).
3
Dekomposisi serasah daun yang disertai pelepasan nutrien merupakan fungsi
yang sangat penting di perairan mangrove. Melalui proses dekomposisi, nutrien
(nitrogen dan fosfor) dilepaskan ke ekosistem estuari dan laut terbuka. Namun, waktu
pelepasan bahan organik dari ekosistem mangrove tergantung pada laju dekomposisi
serasah mangrove yang tergantung pada tingkat dan frekuensi penggenangan
pasang surut, ketersediaan oksigen, suhu, spesies mangrove, dan keberadaan hewan
yang mengkonsumsi serasah di dalam hutan (Nga et al., 2005). C/N rasio merupakan
salah satu indikator untuk melihat laju dekomposisi bahan organik yang terkandung di
dalam serasah. Dengan demikian, hutan mangrove memegang peranan yang sangat
penting dan tidak dapat digantikan oleh hutan maupun ekosistem lain, yaitu sebagai
mata rantai perputaran hara yang penting artinya bagi beberapa organisme air
(Purwanto et al.,2007).
Tingginya bahan organik di ekosistem mangrove memungkinkan sebagai
tempat pemijahan (spawning graund), pengasuhan (nursery graund) dan pembesaran
atau mencari makan (feeding graund) bagi beberapa jenis hewan air termasuk ikan
(Supriharyono, 2002 dalam Atmoko dan Sidiyasa, 2007). Kelurahan Ketapang,
kecamatan Kademangan, Kota Probolinggo merupakan salah satu daerah
pertumbuhan mangrove yang diduga memberikan suplai serasah bagi kehidupan
organisme. Pemerintah Kota Probolinggo telah menetapkan sebagian kawasan
konservasi dengan tujuan untuk melindungi ekosistem mangrove termasuk satwa
endemik dalam kawasan tersebut. Menyadari pentingnya peran produksi serasah
terhadap ekosistem mangrove dan terbatasnya informasi khususnya di Kelurahan
Ketapang, Kecamatan Kademangan, Kota Probollinggo maka perlu dilakukan kajian
mengenai jumlah produksi serasah dan C/N rasio pada serasah daun mangrove dari
4
Jenis Avicennia alba, Sonneratia alba dan Bruguiera gymnorrhiza di kawasan
mangrove Ketapang, Kecamatan Kademangan, Kota Probolinggo .
1.2 Rumusan Masalah
Keberadaan hutan mangrove memegang peranan penting sebagai pemasok
bahan organik sehingga dapat menyediakan makanan untuk organisme yang hidup
diperairan. Komponen dasar dari rantai makanan pada ekosistem mangrove berasal
dari serasah. Serasah mangrove merupakan bahan penting untuk berlangsungnya
siklus bahan organik dan merupakan bahan dasar untuk kehidupan organisme yang
terdapat pada ekosistem mangrove. Semakin tinggi C/N rasio semakin lambat proses
dekomposisinya, hal tersebut akan berpengaruh terhadap sebaran bahan organik dan
unsur hara yang tersedia.
Ekosistem mangrove di Ketapang Kota Probolinggo merupakan salah satu
wilayah konservasi hutan mangove. Penelitian ini dilakukan di sekitar kawasan hutan
mangrove ketapang Kota Probolinggo karena wilayah tersebut merupakan wilayah
konservasi sehingga keberadaan sampah di wilayah tersebut tidak terlalu tinggi di
bandingkan di wilayah mangrove kota Probolinggo lainnya. Jenis mangrove yang
mendominasi di lokasi penelitian terdiri dari Avicennia alba, Rhizophora mucronata,
Sonneratia alba dan Bruguiera gymnorrhiza. Penelitian ini mengenai jumlah produksi
serasah dan besarnya nilai C/N rasio pada daun mangrove dari jenis Avicennia alba,
Sonneratia alba dan Bruguiera gymnorrhiza :
Keterangan :
a. Produksi serasah daun pada mangrove jenis Avicennia alba, Rhizophora
mucronata, Sonneratia alba dan Bruguiera gymnorrhiza.
5
b. Banyaknya serasah mangrove yang dihasilkan dipengaruhi oleh faktor
lingkungan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi seperti data iklim, salinitas
dan pasang surut.
c. Dilakukan evaluasi terhadap hasil C/N rasio yang dihasilkan pada serasah daun.
Apabila hasil C/N rasio tersebut tinggi maka laju dekomposisinya lambat, hal
yang menjadi faktor lambatnya laju dekomposisi yaitu faktor lingkungan.
d. Total hasil C/N rasio yang terdapat pada serasah daun dapat digunakan dalam
penelitian selanjutnya. Dilakukan evaluasi dalam perbandingan C/N rasio
dimana hasil perbandingan tersebut dipengaruhi oleh proses produksi serasah
daun dan faktor lingkungan.
Berdasarkan permasalahan diatas, maka dapat diambil rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Menganalisis produksi serasah daun mangrove jenis Avicennia alba, Sonneratia
alba dan Bruguiera gymnorrhiza di kawasan mangrove Ketapang, Kecamatan
Kademangan, Kota Probolinggo, Jawa Timur.
2. Menganalisis perbandingan C/N rasio yang dihasilkan serasah mangrove
Avicennia alba, Sonneratia alba dan Bruguiera gymnorrhiza di kawasan
mangrove Ketapang, Kecamatan Kademangan, Kota Probolinggo, Jawa Timur.
Bahan organik dalam tanah adalah relatif kecil yaitu kisaran 2%-6% di
bandingkan dengan bahan mineral yang berkisar 94%-98%. Melihat C/N rasio pada
mangrove Avicennia alba, Rhizophora mucronata, Sonneratia alba dan Bruguiera
gymnorrhiza dalam proses dekomposisi perlu dilakukannya penelitian ini untuk
menganalisa perbandingan besarnya jumlah C/N rasio yang dihasilkan oleh serasah
daun mangrove jenis Avicennia alba, Sonneratia alba dan Bruguiera gymnorrhiza.
Rumusan masalah yang dapat ditarik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
6
A
Gambar 1. Bagan Alur masalah
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui produksi serasah daun mangrove dari jenis Avicennia alba,
Sonneratia alba dan Bruguiera gymnorrhiza di kawasan mangrove Ketapang,
Kecamatan Kademangan, Kota Probolinggo.
2. Membandingkan nilai C/N pada serasah daun mangrove dari jenis Avicennia
alba, Sonneratia alba dan Bruguiera gymnorrhiza di kawasan mangrove
Ketapang, Kecamatan Kademangan, kota Probolinggo.
Mangrove
Avicennia
alba
Sonneratia
alba
Bruguiera
gymnorrhiza
Serasah
Daun
C/N
Produktifitas
Kawasan
7
1.4 Kegunaan
Kegunaan yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain adalah sebagai
berikut :
1. Memberikan informasi C/N Rasio pada serasah daun mangrove dari jenis
Avicennia alba, Sonneratia alba dan Bruguiera gymnorrhiza sebagai
dekomposisi bahan organik dalam tanah.
2. Data yang didapatkan nantinya sebagi sumber informasi bagi pemerintah,
perguruan tinggi, Instansi dan masyarakat dan dapat menjadi masukan lebih
lanjut.
3. Memberikan pengetahuan tentang C/N rasio yang terdapat pada serasah daun
mangrove dari jenis Avicennia alba, Sonneratia alba dan Bruguiera
gymnorrhiza.
. 1.5 Tempat dan Waktu Penelitian
Kegiatan penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni - Juli 2017 di
kawasan Mangrove Ketapang, Kecamatan Kademangan, Kota Probolinggo, Provinsi
Jawa Timur dan Laboratorium Universitas Muhamaddiyah Malang, Jawa Timur.
8
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan sumber daya lahan basah wilayah pesisir dan
sistem penyangga kehidupan dan kekayaan alam yang nilainya sangat tinggi, oleh
karena itu perlu upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan secara lestari
untuk kesejahteraan masyarakat. Ekosistem mangrove mempunyai berbagai fungsi
penting, di antaranya sebagai sistem penyangga kehidupan, sumber pangan,
pelindung pesisir, menjaga kekayaan keanekaragaman hayati, berkontribusi sebagai
pengendali iklim global melalui penyerapan karbon (Sosia et al., 2014)
Ekosistem mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropika yang
didominasi oleh beberapa spesies pohon bakau yang mampu tumbuh dan
berkembang pada kawasan pasang surut pantai berlumpur. Komunitas ini pada
umumnya tumbuh pada kawasan intertidal dan supertidal yang mendapat aliran air
yang mencukupi, dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang
kuat. Karena itu hutan mangrove banyak dijumpai di pantai-pantai teluk yang dangkal,
estuaria, delta dan kawasan-kawasan pantai yang terlindung. Untuk zonasi mangrove
dapat dilihat pada Gambar 2 (Rusdianti dan Setyawan, 2012).
Mangrove merupakan salah satu ekosistem yang mempunyai peranan penting
dalam upaya pemanfataan berkelanjutan sumberdaya pesisir dan laut, yang memiliki
fungsi penting sebagai penyambung ekologi darat dan laut, serta gejala alam yang
ditimbulkan oleh perairan, seperti abrasi, gelombang dan badai (Departemen
Kelautan dan Perikanan, 2009). Mangrove merupakan ekosistem yang menjadi
“jembatan” antara ekosistem lautan dan daratan. Mangrove menjadi ekosistem utama
pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir. Ekosistem mangrove
9
memberikan banyak manfaat bagi kehidupan manusia, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Selain memberikan manfaat ekologis sebagai penyedia nutrien bagi
biota perairan; tempat memijah, tempat mencari makan, dan tempat asuhan berbagai
biota, pengendali abrasi, intrusi air laut, dan angin kencang; penahan tsunami,
memperluas daratan. Hutan mangrove juga memberikan manfaat ekonomis antara
lain sebagai penyedia berbagai hasil hutan kayu dan non kayu, serta jasa ekowisata
(Sinaga, . 2008).
Gambar 1. Zonasi Mangrove (Sinaga, 2008)
2.2 Deskripsi Avicennia alba
Avicennia alba merupakan mangrove jenis pionir yang tersebar luas pada
berbagai tipe pasang-surut, dan salinitas yang tinggi di wilayah tropis dan sub tropis
serta memiliki akar dengan kemampuan baik dalam mengikat sedimen. Akarnya
disebut sebagai akar nafas kerana memiliki percabangan yang tumbuh secara vertikal
dan horizontal didalam sedimen ataupun tanah serta berbentuk seperti pensil yang
menonjol ke permukaan dan juga dapat membantu pengikatan sedimen dan
mempercepat proses pembentukan daratan (Noor et al. 2006). Daunnya memiliki ciri-
ciri yang khas pada warna daunya, dimana pada permukaan atas daun berwarna hijau
10
mengkilap sedangkan bagian bawah daun dapat berubah warna menjadi putih sesuai
dengan bertambahnya umur pohon. Permukaan atas daun memiliki tekstur licin halus,
sedangkan permukaan bawah memiliki tekstur yang lebih kasar dengan panjang daun
sekitar 7 cm dengan lebar daun sekitar 3-4 cm. Bunganya bersifat majemuk dan
memiliki 8-18 bunga disetiap tangkainya. Buah pada jenis mangrove ini berbentuk
seperti jambu mente, berwarna hijau kekuningan dengan ukuran panjang 2,5 – 4 cm
dan lebar 1,5 – 2 cm dan permukaan berambut halus. Tumbuhan ini termasuk
golongan pohon dengan ketinggian ± 15 meter. Kulit kayu berwarna gelap kecoklatan,
beberapa tangkai terdapat tonjolan kecil, sementara yang lainya sering memiliki
permukaan yang halus.(Halidah, 2011).
Avicennia alba memiliki nama setempat yaitu api-api putih. Klasifikasi Avicennia
alba dapat diuraikan sebagai berikut ini :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoluphyta
Kelas : Magnolipsida
Ordo : Scrophulariales
Famili : Verbenaceae
Genus : Avicennia
Spesies : Avicennia alba
(a) (b)
11
(c)
Gambar 2. (a) Bentuk daun, bunga dan ranting; (b) Bentuk buah (c) Bentuk pohon dan akar (Halidah, 2011)
Ekosistem mangrove jenis Avicennia alba sering ditemukan pada rawa-rawa,
tepi pantai yang berlumpur ataupun daerah pasang surut. Jenis tumbuhan ini memiliki
kelenjar garam (salt gland) di jaringan daunya sehingga toleran terhadap konsentrasi
garam atau salinitas yang tinggi. Memiliki adaptasi anatomi terhadap keadaan tanah
melalui sistem perakaran yaitu akar napas yang muncul ke permukaan tanah untuk
proses aerasi (Onrizal, 2005). Pada tumbuhan Avicennia alba memiliki banyak
manfaat, diantaranya yaitu pada buahnya dapat diolah menjadi makanan. Pada
daunya digunakan untuk mengatasi kulit yang terbakar dan obat anti fertilisasi
tradisional oleh masyarakat pantai. Manfaat lainya yaitu bisa digunakan sebagai kayu
bakar atau kayunya bisa digunakan untuk membuat tiang layar dan rusuk perahu dan
juga tanaman ini sebagai penyerap racun (Halidah, 2011).
2.3 Deskripsi Sonneratia alba
Sonneratia alba merupakan salah satu jenis tanaman mangrove yang berada
di desa Ketapang. Sonneratia alba tumbuh pada lapisan kedua setelah Rhizophora
sp, Sonneratia sp ini tumbuh pada substrat dari kombinasi antara batu, lumpur dan
pasir dengan kedalaman berkisar antara 18-22 cm (Katili, 2009). Suhu tempat hidup
12
Sonneratia alba berkisar 24,4 – 27,9oC dan kelembaban udara sekitar 80 – 95 %
(Onrizal, 2005). pH tanah pada tegakan Sonneratia alba berkisar antara 6-7. Faktor
lingkungan yang mempengaruhi Sonneratia alba dalam jangka panjang adalah
fluktuasi pasang surut dan ketinggian rata-rata permukaan laut. Beberapa faktor yang
mempengaruhi ekosistem Sonneratia alba mencakup: topografi dan fisiografi pantai,
tanah, oksigen, nutrien, iklim, cahaya, suhu, curah hujan, angin dan gelombang laut,
pasang-surut laut, serta salinitas.
Kedudukan dalam taksonomi tumbuhan Sonneratia alba adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Myrtales
Famili : Sonneratiaceae
Genus : Sonneratia
Spesies : Sonneratia alba.
Gambar 3. Sonneratia alba (Tjitrosoepomo, 2009)
Menurut Tjitrosoepomo (2009), Sonneratia alba memiliki kulit kayu berwarna
putih tua hingga coklat, dengan celah longitudinal yang halus. Akar berbentuk kabel
13
di bawah tanah dan muncul kepermukaan sebagai akar nafas yang berbentuk kerucut
tumpul dan tingginya mencapai 25 cm. Daun Sonneratia alba memiliki susunan
tunggal, bersilangan, bentuk oblong sampai bulat ukuran panjang 5–10 cm. Bunga
Biseksual; gagang bunga tumpul panjangnya 1 cm. Letak di ujung atau pada cabang
kecil. Buah Sonneratia alba seperti bola, ujungnya bertangkai dan bagian dasarnya
terbungkus kelopak bunga. Buah mengandung banyak biji (150-200 biji) dan tidak
akan membuka pada saat telah matang. Sonneratia alba dapat mencapai ketinggian
mencapai 20 meter dengan diameter 40 cm, memiliki system perakaran akar napas,
seperti biji, kokoh, lancip, diameter pangkal akar mencapai 5 cm. Sonneratia alba
umunnya tumbuh didaerah pertemuan sungai yang landai atau teluk berlumpur dalam.
2.4 Deskripsi Bruguiera gymnorrhiza
Bruguiera gymnorrhiza merupakan jenis yang dominan pada hutan mangrove
yang tinggi dan merupakan ciri dari perkembangan tahap akhir dari hutan pantai, serta
tahap awal dalam transisi menjadi tipe vegetasi daratan. Tumbuh di awal dengan
salinitas rendah dan kering serta tanah yang memiliki aerasi yang baik. Jenis ini
toleran terhadap daerah terlindung maupun yang mendapat sinar matahari langsung.
Bruguiera gymnorrhiza juga tumbuh pada tepi daratan dari mangrove, sepanjang
tambak serta sungai pasang surut dan payau. Ditemukan di tepi pantai hanya jika
terjadi erosi pada lahan dihadapannya. Subtratnya terdiri dari lumpur, pasir dan
kadang-kadang tanah gambut hitam, kadang-kadang juga ditemukan dipinggir sungai
yang kurang terpengaruh oleh air laut, hal tersebut dimungkinkan karena buahnya
terbawa arus air atas gelombang pasang. Bunga dan buah tumbuh sepanjang tahun.
Bunga relatif besar, memiliki kelopak bunga berwarna kemerahan, menggantung dan
dan mengundang burung untuk melakukan penyerbukan (Noor et. al, 2006)
14
Kedudukan dalam taksonomi tumbuhan Bruguiera gymnorrhiza adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Angiospermae
Kelas : Eudikotil
Ordo : Malpighiales
Famili : Rhizophoraceae
Genus : Bruguiera
Spesies : Bruguiera gymnorrhiza
Gambar 4. Bruguiera gymnorrhiza (Noor et.al, 2006)
Bruguiera gymnorrhiza adalah adalah sejenis perdu atau pohon kecil penghuni
hutan bakau, anggota suku Rhizophoraceae. Pohon yang sering ditemukan di bagian
dalam zona intertidal ini menyebar luas di pantai-pantai Samudra Hindia. Bruguiera
gymnorrhiza memiliki akar tunjag dan mempunyai sejumlah akar lutut, kulit kayu
berwarna abu-abu tua samapi kecoklatan. Sedangkan daunya berkulit berwarna hijau
dibagian atasnya dan berwarna kekuningan dibagian bawahnya, daun tunggal dan
berhadapan dengan ukuran panjang 8-15 cm dan lebar 4-6 cm, bentuk daun elips
15
dengan ujung meruncing. Bruguiera gymnorrhiza mempunyai ketinggian pohon
hingga 20 meter (Kitamura, 1997).
2.5 Peranan Mangrove
Menurut Karuniastuti (2010), Hutan mangrove mempunyai peranan penting
yaitu memproduksi nutrien yang dapat menyuburkan perairan laut, membantu dalam
perputaran karbon, nitrogen dan sulfur, serta perairan kaya akan nutrien baik nutrien
organik maupun anorganik. Hutan mangrove dapat menjaga keberlangsungan
populasi ikan, kerang dan lainnya. Hutan mangrove menyediakan tempat
perkembangbiakan dan pembesaran bagi beberapa spesies hewan khususnya
udang, sehingga biasa disebut tidak ada hutan mangrove tidak ada organisme .
Mangrove mempunyai manfaat ganda dan merupakan mata rantai yang sangat
penting dalam memelihara keseimbangan siklus biologi di suatu perairan. Ditinjau dari
segi potensinya maka dapat dibedakan menjadi 2 aspek yaitu ekologis dan ekonomis.
Dalam potensi ekologis maka mangove berperan penting dalam kemampuan
mendukung eksistensi lingkungan fisik dan lingkungan biota. Di lingkunagn fisik
berperan sebagai penahan ombak, penahan angin, pengendali banjir, dan penahan
insrusi air asin. Peranannya di dalam lingkungan biota adalah sebagai tempat
persembunyian, tempat berkembang biak berbagai macam biota air (termasuk ikan,
udang, kepiting, mamlia dan burung). Selain itu hutan mangove juga penyumbang zat
hara yang berguna untuk kesuburan perairan sekitarnya. Potensi ekonomi di
tunjukkan dengan kemampuan dalam menyediakan produk dari hutan mangrove yang
secara ekonomi dapat langsung diambil adalah hasil hutan dan produksi perikanan
mangove (Soeroyo, 1992).
16
Peranan terpenting ekologi mangrove terhadap ekosistem perairan pantai
adalah lewat luruhan daunnya yang gugur berjatuhan ke dalam air. Luruhan daun
mangrove ini merupakan sumber bahan organik yang penting dalam rantai pakan
(food chain). Kesuburan perairan sekitar kawasan mangrove kuncinya terletak pada
masukan bahan organik yang berasal dari luruhan guguran daun ini. Sementara daun
mangrove segar merupakan pakan yang digemari kambing dan sapi/ kerbau. Daun
yang gugur ke dalam air menjadi bahan makanan bagi berbagai jenis hewan air yang
dihancurkan terlebih dahulu oleh kegiatan bakteri dan jamur (fungi). Hancuran bahan-
bahan organik (detritus) kemudian menjadi bahan makanan penting bagi cacing,
krustacea, dan hewan-hewan lain. Pada tingkat berikutnya hewan-hewan inipun
menjadi makanan bagi hewan-hewan lainnya yang lebih besar dan seterusnya. Pada
ekologi hutan mangrove yang cukup tebal dapat pula dikembangkan budidaya lebah
madu bakau yang khasiatnya sangat baik (Muharam, 2014).
2.6 Produksi Serasah Mangrove
Guguran daun, biji, batang dan bagian lainya dari mangrove sering disebut
serasah. Mangove mempunyai peran penting bagi ekologi yang didasarkan atas
produksi bahan organik yang berupa serasah, dimana bahan organik ini merupakan
dasar rantai makanan. Serasah dari tumbuhan mangove ini akan akan terdeposit pada
dasar perairan dan terakumulasi terus menerus dan akan menjadi sedimen yang kaya
akan unsur hara dan tempat yang baik untuk kelangsungan hidup fauna
makrobenthos (Mcconnaughey dan Zottoli, 1983 dalam Taqwa, 2010). Serasah
mangrove yang jatuh ke perairan sebagian akan tenggelam dan sebagian akan
terbawa arus laut ke daerah lain (Soeroyo,1990).
17
Serasah adalah bahan organik dari berbagai pohon yang mati yang jatuh di
dasar hutan (daun, ranting dan alat reproduksi) sedangkan produksi serasah adalah
berat dari seluruh bagian material yang mati yang diendapkan di permukaan tanah
tanah pada suatu waktu. Kusmana et al., (2000) menyatakan bahwa besarnya
produktivitas serasah dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
a. Besarnya diameter pohon
b. Produksi daun-daun baru sebagai adaptasi dari salinitas yang tinggi akibat
fluktuasi pasang surut
c. Keterbukaan dari pasang surut dimana semakin terbuka semakin optimal.
Produksi serasah merupakan bagian penting dalam tranfer bahan organik dari
vegetasi ke dalam tanah. Unsur hara yang dihasilkan dari proses dekomposisi
serasah di dalam tanah sangat penting dalam pertumbuhan mangrove, berbagai
sumber detritus ekosistem laut dan estuari dalam menyokong kehidupan berbagai
organisme akuatik (Mahmudi, 2010). Produksi serasah daun untuk setiap kawasan
mangrove adalah berbeda. Perbedaan jumlah serasah ini disebabkan oleh adanya
beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi produktivitas, kesuburan tanah,
kelembaban tanah, kerapatan, musim dan tegakan. Selain faktor-faktor tersebut
ketipisan tajuk dan morfologi daun juga ikut mempengaruhi besar kecilnya serasah.
Semakin tipis penutupan tajuk semakin berkurang produksi serasah (Lugo dan
Snedaker 1974 dalam Yulma, 2012).
2.7 Bahan Oganik C/N
Bahan organik merupakan suatu elemen yang masuk di dalam proses
kehidupan organisme. Bahan organik utama yang dibutuhkan dalam jumlah besar
adalah Karbon (C), Nitrogen (N), Fosfor (P), Oksigen (O2), Silikat (Si), Magnesium
18
(Mg), Potassium (K) dan Kalsium (Ca). Sebagian besar nitrogen yang terlibat dalam
proses berasal dari atmosfir. Nitrogen dari atmosfir yang difiksasi oleh makhluk hidup
berada dalam kesetimbangan dengan nitrogen yang dilepaskan oleh mikroba pada
proses dekomposisi. Nitrogen anorganik terdiri dari ammonia (NH2) dan nitrat (NH3)
sedangkan nitrogen organik terutama dalam bentuk protein, asam amino dan urea.
Umumnya senyawa-senyawa N organik dalam bentuk terlarut maupun partikulat
adalah hasil metabolisme bahari dan hasil proses pembusukan (Effendi 2003).
Serasah yang dihasilkan oleh mangrove merupakan sumber karbon dan
nitrogen bagi hutan mangrove sendiri manupun perairan sekitarnya. Serasah
tumbuhan yang banyak kandungan nitrogen dan fosfornya akan mengalami
pelapukan dengan cepat tanpa penambahan unsur hara, terutama pada keadaan
aerobik. Berbeda halnya dengan bahan-bahan rendah kadar nitrogen seperti jerami,
tumpukan jerami dan sisa-sisa batang yang mengalami dekomposisi secara lambat
dan tidak sempurna dan kemungkinan masih tersisa 50-60% dari bobot awal setelah
3-10 bulan terdekomposisi (Moore-Landecker 1990 dalam Yulma, 2012).
C/N tinggi menyebabkan tersedianya energi yang melimpah bagi jasad renik,
sehingga dapat berkembangbiak dengan pesat. Senyawa N-anorganik yang tersedia
dalam tanah dengan cepat diubah menjadi senyawa N-organik. Pada keadaan ini laju
nitrifikasi berada pada titik terendah oleh karena kurangnya pasok N-NH4 yang sedang
ditambah oleh jasad renik. Jika jasad renik mati dan tubuhnya diurai menjadi senyawa
N-ammonium, maka nitrifikasi berlangsung intensif (Poerwowidodo, 1992 dalam
Saputro, 2013).
19
2.8 Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi
2.8.1 Iklim
Menurut Badan Lingkungan Hidup (2012), iklim mempengaruhi perkembangan
tumbuhan dan perubahan faktor fisik (subtrat dan air). Pengaruh iklim terhadap
pertumbuhan mangrove melalui suhu,cahaya, angin dan curah hujan Penjelasan
mengenai faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :
1. Suhu
a. Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi).
b. Produksi daun tanaman terjadi pada suhu 18-200c dan jika suhu tinggi maka
produksi menjadi berkurang.
2. Cahaya
a. Cahaya berpengaruh terhadap pembuahan dan regenerasi (bentuk awal dari
embrio yang berkembang menjadi sesuatu yang baru yaitu tanamn anakan yang
sempurna) dimana tumbuhan yang berada di luar kelompok akan menghasilkan
lebih banyak bunga karena mendapat sinar matahari lebih banyak.
b. Cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi, fisiologi dan
struktur fisik mangrove.
3. Angin
a. Angin mempengaruhi terjadinya gelombang dan arus.
b. Angin merupakan agen polinasi dan diseminasi sehingga membantu terjadinya
proses reproduksi tumbuhan.
4. Curah hujan
a. Jumlah, lama dan distribusi hujan mempengaruhi perkembangan tumbuhan
mangrove.
20
b. Curah hujan yang terjadi mempengaruhi kondisi udara, suhu air, salinitas air dan
tanah.
2.8.2 Salinitas
Salinitas menurut Boyd (1982) adalah kadar seluruh ion-ion yang terlarut dalam
air, seperti klorida, karbonat, bikarbonat, sulfat, natrium, kalsium dan magnesium.
Kondisi salinitas sangat memengaruhi komposisi mangrove. Berbagai jenis mangrove
mengatasi kadar salinitas dengan cara yang berbeda - beda. Beberapa diantaranya
selektif mampu menghindari penyerapan garam darimedia tumbuhnya, sementara
beberapa jenis yang lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada
daunnya (Noor et al., 2006).
Pengaruh perairan air tawar dari sungai menyebabkan stratifikasi salinitas
diberbagai kedalaman baik pada waktu pasang maupun surut. Lapisan dan
permukaan cenderung memiliki salinitas lebih rendah dibandingkan dengan lapisan
tengah, dan lapisan tengah ini juga lebih rendah jika dibandingkan dengan salinitas
didasar perairan. Stratifikasi salinitas ini juga terjadi secara horizontal dimana daerah
yang jauh dari muara mempunyai salinitas lebih tinggi daripada daerah yang berada
di muara ( Trilaksani et al., 2006).
Menurut Riniatsih dan Kushartono (2009), salinitas tanah bersumber dari
masuknya air laut kedalam tanah mangrove akibat terjadinya pasang surut dimana
aliran air masuk melalui proses peresapan ke bawah tanah hingga ke lapisan kedap
air. Air yang ada dilapisan tersebut akan berkumpul sehingga kadar salinitas lebih
tinggi di bandingkan permukaan perairan. Tumbuhan mangrove memiliki daya
adaptasi dengan kondisi tanah yang terendam oleh pasang surut air laut, dengan
kondisi kadar garam yang cukup tinggi serta kondisi tanah yang berubah ubah.
21
Salinitas merupakan faktor lingkungan dalam pertumbuhan mangrove di habitatnya
(Asraf dan Haris, 2004).
2.8.3 Pasang Surut
Pasang surut adalah fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut
secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik menarik
dari benda-benda astronomi terutama oleh matahari ,bumi,dan bulan. Periode pasang
surut adalah waktu antara puncak atau lembah gelombang ke puncak atau lembah
gelombang berikutnya. Waktu periode pasang surut bervariasi antara 12 jam 25 menit
hingga 24 jam 50 menit .
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pasang surut berdasarkan teori
kesetimbangan adalah rotasi bumi pada sumbunya, revolusi bulan terhadap matahari,
revolusi bumi terhadap matahari.berdasarkan teori dinamis adalah kedalaman dan
luas perairan, pengaruh rotasi bumi (gaya coriolis), dan gesekan dasar. Selain itu juga
terdapat beberapa faktor lokal yang dapat mempengaruhi pasut disuatu perairan
seperti, topografi dasar laut, lebar selat, bentuk teluk, dan sebagainya, sehingga
berbagai lokasi memiliki ciri pasang surut yang berlainan (Diposaptono 2007).
2.9 Siklus C/N pada Mangrove
Gas nitrogen banyak terdapat di atmosfer, yaitu 80% dari udara. Daur nitrogen
melibatkan semua bagian biosfer. Nitrogen dalam atmosfer harus bereaksi dahulu
dengan hydrogen dan oksigen sebelum dapat di asimilasikan oleh tumbuhan, dan
tumbuhan kemudian dimakan hewan. Manusia juga ambil andil dalam daur nitrogen
melalui penanaman polong-polongan yaitu dapat menambat nitrogen. Nitrogen yang
diikat biasanya dalam bentuk amonia. Amonia diperoleh dari hasil penguraian jaringan
yang mati oleh bakteri. Amonia ini akan dinitrifikasi oleh bakteri nitrit, yaitu
22
Nitrosomonas dan Nitrosococcus sehingga menghasilkan nitrat yang akan diserap
oleh akar tumbuhan. Selanjutnya oleh bakteri denitrifikan, nitrat diubah menjadi
amonia kembali, dan amonia diubah menjadi nitrogen yang dilepaskan ke udara.
Dengan cara ini siklus nitrogen akan berulang dalam ekosistem. Dan kemudian
nitrogen tersebut digunakan oleh tumbuhan dalam proses fotosintesis, nitrogen yang
terdapat dalam senyawa hasil fotosintesis tersebut, sebagai contoh vitamin dan
protein dikonsumsi oleh hewan dan manusia (Sutanto, 2005).
Hewan dan manusia melakukan ekskresi juga membuang nitrogen ke dalam
tanah, dan dekomposisinya memasukkan nitrogen ke dalam tanah. Namun yang perlu
diketahui walaupun jumlah Nitrogen di alam ini ternyata tidak mampu secara langsung
di pergunakan oleh makhlik hidup. Itu karena nitrogen yang terdiri dari berbagai
macam bantuknya seperti ammonia (NH3), molekul nitrogen (N2), Nitrogen Oksida
(NO), nitrogendioksida (NO2), asm nitrit (HNO2), asam nitrat (HNO3), dll. Perlu ada
proses nitrifikasi dulu sebelum makhluk hidup dapat memanfaatkannya (Feller et.al,
2002).
23
Gambar 6. Siklus Nitrogen (Sutanto, 2005).
Menurut Yuwono (2004), nitrogen adalah komponen dengan jumlah terbesar
maka daur oksigen dan karbon dioksida adalah daur terbesar di alam ini walaupun di
atmosfer terdapat kandungan CO2 sebanyak 0.03%. Sumber-sumber CO2 di udara
berasal dari respirasi manusia dan hewan, erupsi vulkanik, pembakaran batubara, dan
asap pabrik. Daur karbon merupakan daur yang paling sempurna di banding daur
lainnya. Ini dikarenakan pengembalian bahan-bahan kelingkungan berjalan secepat
pengambilannya. Pada umumnya, kecil sekali atau hamper tidak ada perubahab yang
permanen tentang penyebaran unsur-unsur dalam berbegai ekosistem. Berbagai daur
lainnya mungkin berjalan tidak sempurna, dalam arti kata bahwa sebagian bahan
hilang untuk waktu yang lama di beberapa tempat, atau bahan itu tergabung dalam
senyawa kimia lain sehingga tidak tersedia bagi organisme .
24
Gambar 7. Siklus Karbon (Brown, 2002).
Menurut Brown (2002), Siklus karbon dimulai dengan penambahan karbon
dioksida di udara melalui proses fotosintesis oleh tumbuhan menghasilkan
karbohidrat. Sebagian dari karbohidrat ini dipakai oleh tumbuhan itu sendiri untuk
memperoleh energy dan sementara itu karbon dioksida dilepaskan melalui daun dan
akar (pernafasan). Sebagian lagi dari karbohidrat dimakan hewan yang juga bernafas
dan melepaskan karbon dioksidake udara.hewan dan tumbuhan yang mati kemudian
mengalami dekomposisi, dan Karbondioksida akan kembali ke atmosfer dari
penguraian juga melalui sistem respirasi.
Ekosistem air, pertukaran C02 dengan atmosfer berjalan secara tidak langsung.
Karbon dioksida berikatan dengan air membentuk asam karbonat yang akan terurai
menjadi ion bikarbonat. Bikarbonat adalah sumber karbon bagi alga yang
memproduksi makanan untuk diri mereka sendiri dan organisme heterotrof lain.
Sebaliknya, saat organisme air berespirasi, CO2 yang mereka keluarkan menjadi
bikarbonat. Jumlah bikarbonat dalam air adalah seimbang dengan jumlah C02 di air
(Tiepolo et.al, 2002).
25
3. METODE PENELITIAN
3.1 Materi Penelitian
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah C/N rasio pada serasah daun
mangrove dari jenis Avicennia alba, Sonneratia alba dan Bruguiera gymnorrhiza di
kawasan mangrove Ketapang, Kecamatan Kademangan, Kota Probolinggo, Provinsi
Jawa Timur. Parameter Pendukung yang digunakan dalam penelitian ini meliputi
Kerapatan mangrove, data iklim, salinitas dan pasang surut.
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian merupakan sarana pendukung
yang digunakan dalam pengambilan sampel. Alat dan bahan dalam penelitian ini
dapat dilihat pada Lampiran 1.
3.3 Lokasi Penelitian
Denah lokasi penelitian yang digunakan dalam penelitian merupakan sarana
pendukung untuk mengetahui lokasi penelitian. Denah dalam penelitian dapat dilihat
pada Lampiran 2.
3.4 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode
ini digunakan untuk menggambarkan, mengumpulkan dan menganiliskondisi
mangrove dilapang. Metode deskriptif adalah suatu metode yang dilakukan dengan
tujuan utama untuk memberikan gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan
secara objektif. Metode deskrptif juga berarti metode yang dimaksudkan untuk
menjelaskan fenomena atau karakteristik Individual, situasi atau kelompok tertentu
26
secara akurat sesuai dengan kondisi yang sebenarnya dilapang dengan mengambil
beberapa sampel saja (Aditya, 2009).
3.5 Jenis Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari
pengukuran dilapangan dan laboratorium yang berhubungan dengan produksi dan
nilai C/N rasio pada serasah daun mangrove dari jenis Avicennia alba, Sonneratia
alba dan Bruguiera gymnorrhiza. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari
instansi terkait yaitu BMKG Kota Malang untuk data iklim di lokasi penelitian.
3.6 Penentuan Stasiun Pengamatan
Stasiun pengamatan ditentukan dengan sampling purposive, merupakan teknik
pengambilan sampel dengan pertimbangan peneliti sendiri dalam menentukan titik
pengambilan sampel. Penentuan stasiun dibagi menjadi tiga berdasarkan pada
kemudahan akses dan jenis mangrove yang mendominasi di lokasi penelitian, antara
lain :
a. Stasiun 1 : Avicennia alba berada di daerah pasang surut / yang selalu
tergenang air.
b. Stasiun 2 : Sonneratia alba berada di daerah pasang surut / yang selalu
tergenang air.
c. Stasiun 3 : Bruguiera gymnorrhiza berada di daerah pasang tertinggi.
27
3.7 Teknik Pengambilan Sampel
3.7.1 Serasah
Untuk pengambilan serasah dengan metode litter trap (jaring penampung
serasah). Jaring penampung serasah terbuat dari karung gula yang tidak terpakai
dengan luas (1 x 1) m2. Setiap stasiun ditetapkan 3 transek, dengan ukuran transek
10 m x 10 m. Untuk tiap transek terdapat tiga jaring dan pada setiap stasiun terdapat
9 jaring. Litter trap dibentangkan dibawah pohon mangrove dengan bantuan tali rafia
dan dibiarkan selama 7 hari. Pengambilan serasah dilakukan selama 1 minggu
sebanyak 1 kali pengambilan serasah. Serasah yang dikumpulkan berupa daun dari
jenis mangrove Avicennia alba, Sonneratia alba dan Brugueira gymnorrhiza. Serasah
yang terkumpul kemudian dimasukkan pada kantong plastik dan diberi label untuk
dibawah ke laboratorium. Kemudian di oven dengan suhu 700c selama 24 jam untuk
menghilangkan kadar air sehingga didapatkan berat konstan lalu ditimbang untuk
mengetahui produksi serasah dengan timbangan digital (ketelitian 0,01 gram).
3.7.2 Kerapatan Mangrove
Pangambilan data kerapatan mangrove dilakukan sebanyak dua kali
pengambilan pada masing masing stasiun dengan transek kuadrat ukuran 10 x 10 m2
menggunakan tali rafia pada setiap stasiun. Menetapkan petak-petak pada transek
secara acak pada masing-masing stasiun. Menghitung jumlah mangrove dengan
tingkatan pohon yaitu 10 x 10 m2 dengan diameter batang lebih besar dari 10 cm dan
tinggi pohon > 1,5 m. Transek pengukungan kerapatan mangrove dapat dilihat pada
Gambar 2.
28
10 meter
Gambar 1. Transek Pengukuran Kerapatan Mangrove
Data yang diperoleh dari pengambilan sampel kerapatan mangrove di lapang
kemudian dianalisis menggunakan metode perhitungan kerapatan mangrove dan
dikategorikan menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No, 201 Tahun
2004 yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Baku Kerusakan Mangrove
Kriteria Kerapatan Pohon (ind/ha)
Baik
Padat ≥ 1.500
Sedang ≥ 1.000 - < 1.500
Rusak Jarang < 1.000
Kerapatan mangove adalah jumlah individu per satuan luas area yang
digunakan untuk vegetasi tumbuhan. Menurut Kusmana (1997) yaitu :
1. Kerapatan jenis merupakan jumlah total individu dalam satuan unit area yang
di ukur.
10 meter
29
Dimana :
Ki : Kerapatan Jenis
ni : Jumlah Total Individu
A : Luas Total Area Pengambilan Sampel
2. Kerapatan relatif jenis merupakan perbandingan kerapatan jenis dan jumlah
total kerapatan seluruh jenis.
𝐾𝑅𝑖 = (𝐾𝑖
∑ 𝐾) x 100%
Dimana :
KRi : Kerapatan Reratif Jenis ∑K : Total Kerapatan Seluruh Jenis
Ki : Kerapatan Jenis
3.7.3 Salinitas
Menurut Effendi (2003), pengukuran salinitas dapat dilakukan menggunakan
refraktometer dengan cara sebagai barikut:
1). Refraktometer dikalibrasi menggunakan aquades terlebih dahulu untuk
menetapkan garis horizontal (pada lensa) dengan angka nol.
2). Penutup kaca prisma diangkat dan letakkan 1-2 tetes air yang akan diukur,
kemudian menutup kembali dengan hati-hati agar tidak muncul gelembung udara
dipermukaan kaca prisma.
3). Melihat melalui kaca pengintai, dan akan dilihat pada lensa nilai atau salinitas dari
air yang sedang diukur.
KI =ni
A
30
3.8 Analisis Sampel
3.8.1 Analisis C-organik dengan Metode Walkey-Black
Prosedur C-organik menurut Fauzi (2008) adalah sebagai berikut :
a. 0,5 g serasah yang telah dihaluskan di masukkan ke dalam labu erlenmeyer 500
ml, ditambahkan 10 ml, ditambah 10 ml larutan Kalium dikromat (k2Cr207) 1 N
dengan menggunakan pipet.
b. Ditambah 20 ml larutan asam sulfat (H2SO4) pekat dan digoyang-goyang supaya
bereaksi sepenuhnya, kemudian didiamkan selama 20-30 menit.
c. Sebuah blanko (tanpa serasah) dikerjakan dengan cara yang sama.
d. Blanko di encerkan dengan ai sebanyak 200 ml.
e. Ditambah 10 ml larutan asam fosfat (H3PO4) 85 % dan indikator difenilamina.
f. Dititrasi dengan larutan fero, lihat perubahan warna, dari hijau gelap menjadi
biru kotor, pada titik terakhir warna menjadi kuning.
g. Kadar C-organik dapat dihitung dengan rumus :
3.8.2 Analisis N-total dengan Metode Kjedahl
Prosedur Nitrogen total menurut Taqwa (2010) adalah sebagai berikut :
a. 0,5 gr sampel serasah dimasukkan kedalam tabung digest, kemudian
ditambahkan 0,5 gr campuran selen dan 3 ml asam sulfat pekat, kemudian
didestruksi hingga suhu 3500c selama 3 – 4 jam. Setelah sempurna (keluar asap
putih) didinginkan lalu diencerkan dengan 25 ml air bebas ion.
b. Untuk penampung destilat disiapkan erlenmeyer 100 ml yang berisi 10 ml
larutan asam borat H3BO3 1% dan ditambahkan 3 tetes penunjuk Conway
% C − Organik =(ml blanko−ml sampel)x 3
ml blanko x 0,5 x
100+% KA (Kadar air)
100
31
(warna larutan menjadi merah). Tempatkan penampung sehingga pipa tempat
keluar destilat tercelup larutan penampung.
c. Hasil destruksi dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu didih (gunakan air
bebas ion dan labu semprot) hingga didapat kurang lebih 100 ml larutan.
d. Tambahkan 20 ml NaOH 40 % secapatnya ditutup dengan sumbat penghubung
ke alat destilasi. Destilasi dilakukan sampai warna penampung menjadi hijau
dan diperoleh volume destilat sekitar 50- 75 ml. Destilat dititrasi dengan H2SO4
0,05 N hingga warna larutan menjadi merah muda.
33
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Kota Probolinggo merupakan salah satu daerah kota di wilayah bagian Utara
Provinsi Jawa Timur. Kota Probolinggo memiliki 5 Kecamatan yakni Kecamatan
Mayangan, Kecamatan Kanigaran, Kecamatan Kademangan, Kecamatan Wonoasih
dan Kecamatan Kodopok. Secara geografis negara ini terletak antara 7043’410 –
7049’04” LS dan 133010’ – 113015’ BT dan terletak pada ketinggian 0 hingga kurang
dari 50 meter diatas permukaan laut. Dengan batas wilayah sebelah utara Selat
Madura, Sebelah Timur Kecamatan Drigu (Kabupaten Probolinggo), sebelah selatan
Kecamatan Leces, Wonomerto, Bantaran dan Sumberasih (Kabupaten Probolinggo)
dan sebelah Barat Kecamatan Sumberasih (Kabupaten Probolinggo). Lokasi
penelitian ini dilakukan di kawasan mangrove Kelurahan Ketapang Kecamatan
Kademangan yang secara administratif memiliki luas wilayah 205, 1 Ha (Bappeda
Kota Probolinggo, 2010).
Jenis mangrove yang berada di kawasan mangrove Kelurahan Ketapang
Kecamatan Kademangan Kota Probolinggo yakni dari genus Avicennia sp, Sonneratia
sp, Rhizophora sp dan Bruguiera sp. Dari beberapa genus tersebut, Rhizophora sp
merupakan genus yang mendominasi di wilayah Ketapang. Namun yang banyak
ditemukan yaitu pohon dengan ukuran diameter > 10 cm (tegakan jenis tiang) yakni
Avicennia alba, Sonneratia alba dan Brugueira gymnorrhiza. Keberadaan dari jenis
Avicennia dan Sonneratia yang berdampingan dan berada di sekitar bibir pantai
sehingga akan lebih sering di genangi air laut yang dapat mengakibatkan spesies dari
jenis tersebut mampu hidup dalam kondisi yang ekstrim. Dalam penelitian ini diambil
9 titik pengambilan sampel. Jarak antara spesies Avicennia alba dan sonneratia alba
34
masing – masing titik tidak terlalu jauh dikarenakan keberadaan spesies ini
berdampingan, namun jarak spesies bruguiera jauh karena spesies Bruguiera
gymnorrhiza terletak pada daerah pasang tertinggi.
4.2 Deskripsi Stasiun Pengamatan
Stasiun I berada pada titik koordinat 7044’41,6” LS – 113010’46,90” BT dan
7044’39,42” LS – 113010’52,00” BT. Jenis mangrove yang dominan adalah Avicennia
alba dengan tingkatan pohon sebanyak 6700 ind/ha. Selain itu juga ditemukan jenis
lainnya seperti Sonneratia alba dengan tingkatan pohon sebanyak 4200 ind/ha dan
Bruguiera gymnorrhiza dengan tingkatan pohon sebanyak 2300 ind/ha. Keadaan
lokasi bersih, kondisi perairan keruh, terletak di daerah tempat keluar masuknya kapal
para nelayan, dipengaruhi pasang surut dan dekat dengan persawahan. Kondisi
vegetasi mangrove pada stasiun I dapat dilihat pada Gambar 7.
35
Gambar 1. Lokasi Stasiun I
Stasiun II berada pada titik koordinat 7044’46,06” LS – 113010’51,75” BT dan
7044’49,90” LS dan 113010’49,99” BT. Letak petak pada stasiun ini berada di tengah,
yaitu diantara stasiun I dengan stasiun III. Kondisi pada stasiun ini sangat bersih, tidak
terdapat sampah hanya saja terdapat guguran daun, ranting, buah maupun bunga
mangrove di sekitar daerah tersebut.
Jenis mangrove yang dominan adalah Avicennia alba dengan tingkatan pohon
sebanyak 7200 ind/ha. Selain itu ditemukan jenis lainnya seperti Sonneratia alba
dengan tingkatan pohon 7300 ind/ha dan Bruguiera gymnorrhiza dengan tingkatan
pohon 3800 ind/ha. Keadaan lokasi penuh sampah, kondisi perairan keruh, sangat
dipengaruhi pasang surut dan terdapat sungai yg mengalir ke persawahan. Kondisi
vegetasi mangove pada stasiun II dapat dilihat pada Gambar 8.
36
Gambar 2. Lokasi Stasiun II
Stasiun III berada pada titik Koordinat 7044’42,86” LS – 113010’57,30” BT dan
7044’46,87” LS – 113010’54,90 BT. Jenis mangrove yang dominan adalah Avecennia
alba dengan tingkatan pohon sebanyak 7800 ind/ha. Selain itu ditemukan jenis lainnya
seperti Sonneratia alba dengan tingkatan pohon 6700 ind/ha dan Bruguiera
gymnorrhiza dengan tingkatan pohon 4200 ind/ha. Keadaan lokasi penuh sampah,
kondisi perairan keruh dan sangat dipengaruhi pasang surut. Kondisi vegetasi
mangove pada stasiun III dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 3. Lokasi Stasiun III
4.3 Produksi Serasah Daun Mangove
Produksi serasah daun yang dihasilkan pada tiap stasiun memiliki nilai hasil
yang berbeda – beda selama waktu penelitian berlangsung. Hasil pengukuran
37
produksi serasah daun mangrove Avicennia alba, Sonneratia alba dan Bruguiera
gymnorrhiza selama waktu pengamatan dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 7.
Tabel 1. Hasil Produksi Serasah Daun Mangrove
Produksi Serasah Daun Mangrove (gr/m2/minggu)
Stasiun Jenis Mangrove Bobot Serasah dalam BK (gr)
Rata-rata
Stasiun 1
Avicennia alba 57,44
54,51 Sonneratia alba 53,29
Bruguiera gymnorrhiza 52,81
Stasiun 2
Avicennia alba 53,48
56,45 Sonneratia alba 54,52
Bruguiera gymnorrhiza 61,36
Stasiun 3
Avicennia alba 69,95
65,28 Sonneratia alba 67,62
Bruguiera gymnorrhiza 58,27
Gambar 4. Histogram Produksi Serasah Daun Mangove
Mangrove memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menghasilkan
guguran serasah daun pada setiap stasiunnya. Dari Tabel 2 dan Gambar 10, dapat
dilihat bahwa dari penelitian yang dapat diketahui produksi serasah daun selama 1
minggu. Pada stasiun I dihasilkan produksi serasah daun sebanyak 54,51 gr/m2,
01020304050607080
Avi
cen
nia
alb
a
Son
ner
atia
alb
a
Brugu
iera…
Avi
cen
nia
alb
a
Son
ner
atia
alb
a
Brugu
iera…
Avi
cen
nia
alb
a
Son
ner
atia
alb
a
Brugu
iera…
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Bobot Seresahdalam BK (gr)
38
produksi serasah daun dari jenis mangrove Avicennia alba dengan nilai 57,44 gr/m2
sedangkan produksi serasah dari jenis mangrove Bruguiera gymnorrhiza dengan nilai
52,81 gr/m2. Stasiun II dihasilkan serasah daun sebanyak 56,45 gr/m2, produksi
serasah daun terbesar berasal dari jenis mangrove Bruguiera gymnorrhiza dengan
nilai 61,36 gr/m2 sedangkan produksi serasah terendah berasal dari jenis mangrove
Avicennia alba dengan nilai 53,48 gr/m2. Stasiun III dihasilkan serasah daun sebanyak
65.28 gr/m2, produksi serasah daun terbesar berasal dari jenis mangrove Avicennia
alba dengan nilai 69,95 gr/m2 sedangkan produksi serasah terendah berasal dari jenis
mangrove Bruguiera gymnorrhiza dengan nilai 58,27 gr/m2. Perbedaan serasah daun
yang dihasilkan, nampaknya diakibatkan dari kerapatan tegakan. Stasiun III memiliki
kerapatan tertinggi diantara stasiun I dan stasiun II yaitu sebesar 18700 ind/ha,
sedangkan kerapatan terendah terdapat pada stasiun I yaitu sebesar 13200 ind/ha.
Kerapatan pohon dilokasi penelitian masih dalam kategori baik menurut keputusan
Mentri Negara Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004. Hal ini sesuai dengan
pendapat Taqwa (2010), bahwa produksi serasah meningkat apabila kerapatan
mangrove meningkat. Tutupan kanopi yang semakin tebal menyebabkan produksi
serasah yang dihasilkan semakin tinggi. Selain itu faktor yang mempengaruhi Tinggi
rendahnya produksi serasah dipengaruhi oleh tingkat kepadatan, umur, jenis
mangrove. Komponen serasah yang dihasilkan paling banyak yaitu dari daun > 50%,
bahkan dari beberapa kasus dapat melebihi 80% dari total produksi serasah. Hal
tersebut berkaitan dengan salah satu bentuk adaptasi tumbuhan mangrove untuk
mengurangi kehilangan air agar dapat bertahan hidup pada kondisi kadar garam tinggi
( Aida, 2014).
Hasil produksi serasah daun mangrove selama 1 minggu dapat di lihat pada
Lampiran 4 didapatkan hasil bahwa produksi serasah dari jenis Avicennia alba
39
dengan rata-rata sebesar 60,29 gr/m2, produksi serasah dari jenis Sonneratia alba
dengan rata-rata 58,48 gr/m2 dan produksi serasah dari jenis mangrove Bruguiera
gymnorrhiza 57,48 gr/m2. Namun berdasarkan analisis data uji ANOVA antara
produksi serasah daun didapatkan nilai P value (0,892) dengan demikian taraf nyata
(0,05), Ho = produksi serasah daun pada tiga jenis mangrove nyata atau tidak ada
perbedaan, H1 = produksi serasah pada tiga jenis mangrove ada perbedaan. Jadi
Menerima Ho, Sehingga kesimpulan produksi serasah daun pada tiga jenis mangrove
tersebut adalah nyata atau tidak ada perbedaan yang signifikan.
Menurut Handayani (2004) bahwa banyaknya serasah daun tertampung
disebabkan oleh bentuk daun yang lebar, tipis sehingga mudah digugurkan oleh angin
dan curah hujan atau dapat disebabkan oleh sifat fisiologis dari daun dalam proses
untuk membuat bahan makanan. Serasah mangrove menjadi sumber bahan organik
terutama serasah daun yang dapat digunakan sebagai tempat bakteri dan jamur
berkembang. Selanjutnya bahan-bahan organik tersebut mengalami penguraian,
serasah daun yang kaya akan protein di rombak oleh koloni bakteri sampai menjadi
detritus. Selama perombakan subtansi organik terlarut berasal dari serasah mangrove
di lepaskan yang berguna bagi pertumbuhan organisme dan penyokong rantai
makanan. Hutan mangrove dapat memproduksi serasah pada wilayah Indonesia
dapat mencapai 40,40 sampai 45,50 ha/hari (Sukardjo, 2002). Selain itu produksi
serasah juga dipengaruhi oleh tipe mangrove ( riverine, overwash, fringe, basin, dan
scrub). Dari kelima jenis tipe mangrove tersebut, tipe riverine menghasilkan serasah
lebih banyak jika dibandingkan dengan yang lainya (Aida, 2014). Jika dilihat dari hasil
pengelompokan stasiun pada penelitian ini, stasiun III cenderung masuk kedalam tipe
riverine karena berada di muara sungai dengan salinitas yang lebih rendah.
40
4.4 C/N Rasio
Serasah daun dari hutan mangrove pada dasarnya mengandung unsur hara
karbon (C) dan nitrogen (N). Unsur C menyediakan energi bagi pertumbuhan tanaman
dan organisme, sedangkan unsur N penting dalam penyusunan protein. Hasil analisis
kandungan karbon (C-organik) dan nitrogen total (N-total) dan perhitungan C/N rasio
serasah dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 11.
Tabel 2. Kandungan C, N, C/N rasio serasah daun mangrove
Jenis mangrove C.organik N.total
C/N Rata-rata .....%.....
Avicennia alba
44,83 0,88 50,48
53,95 46,33 0,93 49,74
48,66 0,78 61,64
Sonneratia alba
42,68 0,99 42,7
42,28 41,5 0,98 42,02
41,83 0,99 42,12
Bruguiera gymnorrhiza
43,83 0,94 46,45
52,03 45,19 0,91 49,2
46,02 0,8 60,46
Kandungan C/N rasio pada jaringan tanaman digunakan untuk menduga laju
dekomposisi yang akan terjadi, semakin tinggi nilai C/N rasio maka semakin lama
serasah terdekomposisi. Pada Tabel 3 dapat diketahui bahwa serasah daun
mangrove yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai kandungan C, N dan nilai
C/N rasio yang berbeda dan unsur C merupakan unsur terbesar penyusun serasah.
Serasah Sonneratia alba mempunyai nilai C/N rasio dengan rata – rata 42,28.
Serasah Bruguiera gymnorrhiza mempunyai nilai C/N rasio dengan rata – rata 52,03.
Serasah Avicennia alba mempunyai nilai C/N rasio dengan rata – rata 53,95. Namun
berdasarkan analisis data uji ANOVA antara rata-rata nilai C/N tiga jenis mangrove
didapatkan nilai P value (0,097) dengan demikian taraf nyata (0,05), Ho = C/N rasio
daun mangrove pada tiga jenis mangrove nyata atau tidak ada perbedaan, H1 = C/N
41
rasio daun mangrove pada tiga jenis mangrove ada perbedaan. Jadi Menerima Ho
jadi menerima Ho sehingga kesimpulan nilai C/N pada tiga jenis mangrove tersebut
adalah nyata.
Gambar 5. Rata rata C/N Rasio Serasah Daun Mangrove
Dikarenakan kandungan C/N yang terdapat pada tiga jenis mangrove ini tinggi
maka saya sebagai peneliti memberi masukan kepada masyarakat atau pengelola
kawasan mangrove supaya memperhatikan kerapatan mangrove atau jarak tanam
pada tanaman mangrove supaya mendapatkan hasil c/n rasio optimal agar proses
dekomposisi yang ada di kawasan ekosistem mangrove berjalan dengan baik, karena
c/n rasio meberikan pengaruh terhadap rantai makanan dan berhubungan langsung
dengan produktivitas kawasan.
Besaran nilai C/N rasio tersebut hampir sama dengan penelitian yang dilakukan
oleh Adimara (2014), untuk jenis Bruguiera sp memiliki nilai C/N rasio 44,7 – 46 dan
jenis Avicennia sp sebesar 57. Menurut Palm dan Sanchez (1991) dalam Purwanto et
al., (2007), menyatakan bahwa serasah berkualitas tinggi apabila C/N rasio < 25,
42
kandungan lignin <15% sehingga cepat terdekomposisi. Perbandingan C/N rasio
rendah, berarti bahan penyusun terurai secara sempurna dan akan membusuk lebih
lama bila dibandingkan dengan nilai C/N rasio tinggi (Novisan, 2001 dalam Adimara
2014).
Tingginya C/N rasio disebabkan oleh banyaknya kandungan lignin sehingga
sulit terdekomposisi oleh dekomposer (Yelianti et al., 2009). Berdasarkan kemudahan
perombakannya dalam proses dekomposisi, komponen jaringan organik tanaman
dibagi menjadi mudah, yaitu selulosa, hemiselulosa, pati, gula dan protein.
Sedangkan yang sukar meliputi lignin, minyak, lemak, resin (alexander, 1997 dalam
Hanafiah, 2012). Lignin sulit didegradasi karena fungsi utamanya untuk memperkuat
struktur tanaman dalam menahan terhadap serangan mikroka (yuwono dan
rosmarkam, 2002).
Menurut Sutedjo et al. (1991), proses dekomposisi bahan tumbuhan dipengaruhi
oleh kandungan lignin dan C/N rasio dalam tumbuhan, suplai nitrogen, kondisi
lingkungan, aerasi tanah, kelimpahan mikroorganisme dan suhu udara. Proses
dekomposisi dimulai dari penghancuran struktur fisik yang dilakukan oleh hewan
herbivora dan menyisakannya sebagian bahan organik mati dengan ukuran kecil.
Selama terjadinya dekomposisi juga terjadi mineralisasi unsur hara N melalui proses
amonifikasi yaitu proses mengubah N organik menjadi N ammonia. Proses
amonifikasi dari senyawa N organik pada prinsipnya merupakan reaksi penguraian
protein oleh mikroba. Secara umum proses perombakan protein dimulai dari peran
enzim yang dihasilkan mikroba sehingga menghasilkan asam amino (Indriani, 2008).
C/N rasio merupakan petunjuk untuk menjelaskan mengenai kecepatan proses
perombakan bahan organik berupa dekomposisi dan mineralisasi unsur hara yang
terikat secara kimia dalam bentuk senyawa komplek. C/N rasio juga merupakan salah
43
satu variabel yang menentukan cepat atau lambatnya proses dekomposisi dan
mineralisasi bahan organik dalam membebaskan unsur hara yang terkandung
didalamnya terutama nitrogen. C/N rasio ≤ 20% bahwa perombakan berlangsung
cepat dan proses dekomposisi semakin cepat, kebalikannya jika hasil C/N rasio ≥ 20%
kecepatan perombakan akan semakin lambat ( Botanri, 2011). Menurut Hutama et al.
(2016), nilai C/N rasio lebih kecil dari 15 terjadi mineralisasi N dan C/N antara 15-30
menunjukan mineralisasi seimbang dengan immobilisasi, apabila lebih besar dari 30
maka terjadi immobilisasi N. Mineralisasi sendiri merupakan perubahan dari N-
Organik menjadi N-mineral dan Immobilisasi sendiri merupakan N-Mineral menjadi N-
Organik. Kedua proses ini sangat tergantung akan adanya aktivitas mikroorganisme.
Bahan organik akan mengalami mineralisasi apabila C/N antara 25-30 dan jika diatas
nilai tersebut C/N akan mengalami imobilisasi N.
C/N rasio merupakan salah satu indikator untuk melihat laju dekomposisi bahan
organik, karena perombakan bahan organik akan menurunkan C/N serasah tersebut.
Bahan organik baik yang berasal dari ekosistem itu sendiri (autochthonous) maupun
yang disuplai dari ekosistem lain (allochthonous) akan mengalami dekomposisi oleh
dekomposer seperti bakteri atau jamur. Hasil proses dekomposisi ini berupa nutrien
anorganik yang selanjutnya dimanfaatkan oleh tumbuhan dan dirubahnya kembali
menjadi bahan organik sebagai produksi primer, melalui proses fotosintesis. Melalui
proses jaring-jaring makanan bahan organik ini akan diubah kembali menjadi nutrien
anorganik (Raharjo, 2006). Besarnya nilai awal dan penurunannya akan berkorelasi
dengan cepat dan lambatnya proses dekomposisi karena semakin rendah nilai C/N
semakin baik kandungan unsur hara N disebabkan oleh kemampuan bakteri nitrogen
pada serasah daun untuk melakukan fiksasi nitrogen. Sedangkan jika C/N tinggi akan
44
menyebabkan proses degredasi berlangsung lebih lambat karena nitrogen akan
menjadi faktor penghambat (Andrianto, 2015).
C/N rasio diatas 30, N tersedia yang ada segera dimobilisasi ke dalam sel – sel
mikroba untuk memperbanyak diri, kemudian dengan meningkatkan aktivitas mikroba
mineralisasi N juga meningkat, tetapi selaras dengan kebutuan N untuk
memperbanyak dirinya. Pada taraf akhir selaras dengan menipisnya cadangan bahan
organik yang mudah dirombak, sebagian mikroba akan mati dan N penyusun sel –
selnya segera mengalami mineralisasi melepaskan N dan hara hara lain, sehingga
ketersediaan N meningkat apabila C/N dibawah 30. Oleh karena itu, C/N rasio awal
suatu bahan organik yang akan di dekomposisikan akan mempengaruhi laju
penyediaan N dan hara lainya. Dalam proses ini pemanfaatan bahan organik terjadi
kompetisi antara tanaman dan mikroba dalam penyerapan hara - hara yang tersedia
dalam tanah (Hanafiah, 2012). Penurunan C/N rasio terjadi selama proses
dekomposisi diakibatkan adanya penggunaan karbon sebagai energi dan hilang
dalam bentuk CO2 sehingga karbon semakin berkurang (Graves et al., 2007 dalam
Saputro 2013).
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa serasah yang paling
cepat terdekomposisi jika ditinjau dari besarnya nilai C/N rasio adalah jenis Sonneratia
alba, sedangkan paling lambat terdekomposisi adalah jenis Avicennia alba.
Kecepatan dekomposisi serasah daun dan proses menyatu ke dalam tanah mineral
bergantung pada kondisi fisik dan jenis tumbuhan. Proses penghancuran ini sebagian
besar dilakukan oleh banyak hewan tanah kecil yang memakan serasah diantaranya
siput, cacing kecil, beberapa kutu, larva serangga, dan hewan-hewan tanah yang lebih
besar. Hal ini dikarenakan pada serasah daun mengalami proses dekomposisi
dengan cepat. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Darmadi (2012), bahwa nilai
45
C/N rasio yang semakin besar menunjukkan bahwa bahan organik belum
terdekomposisi sempurna, sedangkan jika nilai C/N rasio yang semakin rendah
menunjukkan bahwa bahan organik sudah terdekomposisi dan hampir menjadi
humus. Lebih lanjut Satchell (1974), menyatakan dekomposisi dapat diartikan
mekanisme penghancuran atau penyederhanaan struktur tanaman mati dari tahap
masih melekat pada kehidupan tumbuhan hingga menjadi humus.
Proses penguraian erat kaitannya dengan kerapatan karena berpengaruh
terhadap banyaknya cahaya yang masuk ke lantai hutan. Kerapatan pohon stasiun III
yang tinggi mengakibatkan cahaya yang masuk ke lantai hutan rendah, sehingga
proses penguraian akan berlangsung lambat. Sebaliknya kerapatan pohon di stasiun
I yang rendah mengakibatkan cahaya yang masuk ke lantai hutan relatif tinggi,
sehingga proses penguraian lebih cepat. Hal ini sejalan dengan pendapat Yuniawati
(2013), bahwa pada kerapatan yang rendah cahaya matahari dapat masuk ke lantai
hutan akibatnya suhu tanah lantai hutan meningkat. Akibatnya dapat mempercepat
aktivitas dekomposer dalam perombakan serasah.
4.5 Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi
Proses guguran daun pada tanaman sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim. Dari
data yang diperoleh pada saat pengambilan sampel didapatkan nilai suhu udara 28,8
– 29,6 0c, curah hujan 8 – 9 mm, kelembaban udara 72 – 76 %, kecepatan angin 7,5
– 8,1 knot dan lama penyinaran 5,3 – 6,5 jam. Selain ilkim, faktor yang mempengaruhi
adalah salinitas dan pasang surut. Dilokasi penelitian didapatkan nilai salinitas 18 –
21 ppt.
46
4.5.1 Suhu Udara dan Kelembaban Udara
Suhu udara dan kelembaban udara mempengaruhi jatuhan serasah pada
tumbuhan. Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang berperan penting
dalam proses fisiologis, seperti fotosintesis dan respirasi (Aksornkoae, 1993 dalam
Indriani, 2008). Naiknya suhu udara akan menyebabkan menurunnya kelembaban
udara sehingga transpirasi akan meningkat untuk menguranginya maka daun harus
segera digugurkan. Fotosintesis tumbuhan mangrove mempunyai suhu optimum
dibawah 35 0c (Onrizal, 2005). Sedikit peningkatan dalam suhu udara memberikan
pengaruh yang kurang baik terhadap struktur akar, pembentukan akar, pembentukan
semai dan proses fotosintesis (Field, 1995 dalam Hastuti, 2013). Peningkatan suhu
juga akan berpengaruh terhadap laju pembusukan serasah (Kusmana, 2010). Suhu
udara di wilayah Ketapang Kota Probolinggo masih berada di kisaran suhu optimal
untuk pertumbuhan mangrove yakni berkisar antara 28,8 – 29,6 0c.
Suhu secara langsung mempengaruhi pertumbuhan tanaman, kelembaban
tanah, aerasi, aktivitas mikroorganisme tanah dalam proses enzimatik dan
dekomposisi serasah atau sisa tanaman serta ketersediaan hara-hara tanaman.
Aktivitas ini sangat terbatas pada suhu dibawah 10 0C, laju optimum aktivitas biota
tanah yang menguntungkan terjadi pada suhu 18-30 0C, seperti bakteri pengikat N
pada tanah berdrainase baik. Pada proses kehidupan bebijian, akar tanaman dan
mikroorganisme tanah secara langsung dipengaruhi oleh suhu tanah. Laju reaksi
kimia meningkat dua kali lipat untuk setiap 100 oC kenaikan suhu (Hanafiah KA 2004).
Kelembaban tanah adalah jumlah uap air yang terdapat dalam suatu massa
tanah yang dinyatakan dalam % bobot kering atau volume (Soedarsono et al. 2006).
Kandungan air tanah dan struktur tanah memegang peranan penting dalam
menentukan aerasi tanah, potensial redoks tanah dan difusi transfer gas dalam tanah
47
(Taufik M 2003). Kelembaban dan kadar air tanah mempengaruhi dominasi jenis
mikroorganisme tanah yang aktif dalam proses dekomposisi bahan organik. Pada
kelembaban dan kadar air yang tinggi, perkembangan dan aktivitas bakteri akan
maksimum. Sebaliknya akan menurun pada kondisi kering (tekanan -3 bar) dan
sangat tertekan pada kadar air titik layu permanen (tekanan -15 bar) (Hanafiah KA
2004).
Aktifitas mikroba (mikroorganisme) tersebut ditentukan oleh beberapa faktor
diantaranya suhu dan kelembaban. Pada umumnya proses pengomposan dilakukan
oleh mikroba, semakin banyak mikroba yang aktif semakin cepat proses
pengomposan. Mikroba dapat bekerja secara optimal pada suhu antara ±45˚C selama
beberapa minggu tergantung jumlah bahan yang digunakan. Apabila suhu terlalu
tinggi mikroba akan mati, sebaliknya jika suhu terlalu rendah mikroba akan berhenti
bekerja. Kelembaban ideal pada proses pengomposan ialah pada persentase ±60%.
Kelembaban yang tidak sesuai dapat menyebabkan mikroba tidak berkembang
bahkan mati (Vandra, 2017).
4.5.2 Curah Hujan dan Kecepatan Angin
Menurut Aksomkokoae (1993) dalam Gultom (2009), menyatakan bahwa jumlah
dan lama pada distribusi curah hujan yang merupakan faktor yang dapat mengatur
perkembangan dan penyebaran tumbuhan. Curah hujan sangat mempengaruhi faktor
lingkungan yang lain, contohnya suhu udara dan kadar garam pada perairan tersebut
yang dapat mepengaruhi kelangsungan hidup spesies – spesies di kawasan
mangrove tersebut. Tumbuhan mangrove dapat tumbuh dengan baik pada daerah
curah hujan dengan kisaran 1500 – 3000 mm/tahun tetapi tumbuhan mangrove juaga
dapat ditemukan dengan curah hujan 4000 mm/tahun, yang tersebar antara 8 – 10
48
bulan dalam satu tahun. Sedangkan Soeroyo (1997), menyatakan bahwa dengan
bertambahnya curah hujan menyebabkan salinitas perairan di sekitarnya berkurang.
Dengan berkurangnya salinitas mungkin tumbuhan mengalami stres, sehingga
banyak daun dan organ lain pada tanaman tersebut akan mati.
Cuaca adalah yang bertanggung jawab dalam mengubah energi matahari
menjadi energi mekanik atau panas sehingga menimbulkan gerakan udara atau angin
(Hanafiah, 2012). Angin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi guguran
serasah. Terdapat hubungan positif antara kecepatan angin dengan produksi
serasah. Bila kecepatan angin tinggi maka produksi serasah akan tinggi ( Cuevas dan
Sajise 1997 dalam Wibisana, 2004).
Kecepatan angin juga berpengaruh terhadap nilai c/n karena apabila kecepatan
angin tinggi maka produksi seresah yang dihasilkan tinggi sehingga produksi seresah
berhubungan langsung dengan nilai c/n rasio. Nilai c/n rasio mempunyai pengaruh
terhadap proses dekomposisi. Kualitas serasah berhubungan erat dengan aktivitas
mikroorganisme dan fauna tanah. Semakin
baik kualitas serasah, maka pelepasan hara oleh mikroorganisme ke tanah semakin
mudah (Wijiyono, 2009).
4.5.3 Lama Penyinaran Matahari
Lama penyinaran matahari juga mempunyai pengaruh terhadap produksi
serasah. Semakin lama penyinaran matahari maka semakin banyak daun yang gugur,
karena air yang ada di dalam daun akan menguap sehingga daun akan kering dan
menggugurkan daunnya. Lama penyinaran di kawasan mangrove Ketapang Kota
Probolinggo berkisar antar 5,3 – 6,5 jam. Soeroyo (1990), berpendapat bahwa dari
salah satu faktor iklim, penyinaran matahari sangat berpengaruh terhadap produksi
49
serasah di samping faktor – faktor lainya. Semakin banyak / lama penyinaran matahari
maka semakin banyak produksi serasah yang diperoleh.
Lama penyinaran matahari juga mempunyai pengaruh terhadap proses
dekomposisi pada organisme. Semakin lama penyinaran matahari maka semakin
banyak daun yang gugur sehingga produksi seresah pada daun mangrove tinggi
maka nilai c/n rasio yang dihasilkan tinggi karena semakin tinggi produksi seresah
semakin tinggi nilai c/n karena proses dekomposisi yang dilakukan oleh
mikroorganisme tidak maksimal atau belum sempurna hal ini sesuai pendapat Ullah
dan Duta (2007), bahwa semakin lama penyinaran matahari maka semakin tinggi nilai
c/n karena proses dekomposisi yang dilakukan oleh mikroorganisme belum maksimal.
Pengaruh lama penyinaran tehadap proses dekomposisi dimana penyinaran yang
dilakukan hingga 100 menit dapat berpengaruh terhadap proses dekomposisi yang
dilakukan oleh mikroorganisme.
4.5.4 Salinitas
Salinitas merupakan faktor lingkungan yang sangat menentukan perkembangan
hutan mangrove, terutama bagi laju pertumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies
mangove (Aksomkoae, 1993 dalam Indriani, 2008). Dari hasil pengukuran salinitas
yang diperoleh pada tiap – tiap stasiun maka di dapat nilai salinitas berkisar antar 18
– 21 ppt. Besarnya nilai salinitas pada tiap stasiun tidak berbeda nyata, hal ini
disebabkan karena lokasi penelitian yang berdekatan, curah hujan dan lama
penyinaran yang diperoleh sama. Menurut Bengen (2002), mangrove hidup di daerah
yang terlindung dari gelombang besar memiliki nilai salinitas payau (2 – 22 ppt) hingga
asin (38 ppt). Jadi dapat disimpulkan bahwa dengan salinitas 18 – 21 ppt mangrove
dikawasan Ketapang Kota Probolinggo dapat tumbuh dengan baik.
50
4.5.5 Pasang Surut
Pasang surut merupakan fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air
laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik
menarik dari benda-benda astronomi terutama oleh matahari ,bumi dan bulan.
Periode pasang surut adalah waktu antara puncak atau lembah gelombang ke puncak
atau lembah gelombang berikutnya. Waktu periode pasang surut bervariasi antara 12
jam 25 menit hingga 24 jam 50 menit. Pasang surut adalah perubahan gerak relatif
dari materi suatu planet, bintang dan benda angkasa lainnya yang diakibatkan aksi
gravitasi benda-benda angkasa di luar materi itu berada. Sehingga pasang surut yang
terjadi di bumi terdapat dalam tiga bentuk pasang surut atmosfer (Atmospheric Tide),
Pasang surut laut (Ocean Tide), Pasang surut bumi (Boily Tide) (Setiawan, 2006).
Pasang surut merupakan salah satu gejala alam yang tampak nyata di laut yakni
suatu gerakan vertikal (naik turunnya air laut secara teratur dan berulang - ulang) dari
seluruh partikel massa air laut dari permukaan sampai bagian terdalam dari dasar laut
(Susanti, 2013). Apabila tinggi pasang surut cukup besar, volume air pasang yang
masuk ke sungai sangat besar. Air tersebut akan berakumulasi dengan air dari hulu
sungai. Pada waktu air surut, volume air yang sangat besar tersebut mengalir keluar
dalam periode waktu tertentu. Sebagian besar perairan Indonesia tinggi pasang surut
adalah kecil yaitu berkisar antara 1,0 dan 2,0 m (Saparinto, 2007). Tinggi pasang surut
di kawasan mangrove Ketapang Kota Probolinggo adalah relatif kecil antara 0,4
sampai 1,4 meter.
51
51
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, dapat diperoleh kesimpulan
sebagai berikut :
1. Produksi serasah daun mangrove di kawasan mangrove Ketapang Kota
Probolinggo mempunyai hasil yang berbeda beda pada tiap jenis mangrove.
Hasil produksi serasah daun mangrove yang di peroleh selama 1 minggu dari
jenis mangrove Avicennia alba dengan rata – rata 60,29 gr/m2, produksi serasah
daun mangrove Sonneratia alba dengan rata – rata 58,48 gr/m2 dan produksi
serasah daun mangrove dari jenis Bruguiera gymnorrhiza dengan rata – rata
57,48 gr/m2. Hasil analisis data uji ANOVA produksi serasah daun didapatkan
nilai P value (0,892) dengan demikian taraf nyata (0,05) jadi menerima Ho
sehingga kesimpulan produksi serasah daun pada tiga jenis mangrove nyata
atau tidak ada perbedaan yang signifikan.
2. Kandungan C/N rasio serasah daun dari jenis mangrove Avicennia alba dengan
rata – rata 53,95 , C/N rasio jenis Bruguiera gymnorrhiza memiliki nilai rata –
rata 52,03 dan C/N rasio serasah daun dari jenis Sonneratia alba memiliki nilai
rata – rata 42,28. Hasil analisis data uji ANOVA pada nilai C/N didapatkan nilai
P value (0,097) dengan demikian taraf nyata (0,05), jadi menerima Ho sehingga
kesimpulan nilai C/N pada tiga jenis mangrove nyata atau tidak ada perbedaan
yang signifikan. Ditinjau dari nilai C/N rasio serasah daun mangrove yang paling
cepat terdekomposisi yaitu dari jenis Sonneratia alba, sedangkan yang sukar
terdekomposisi dari jenis Avicennia alba.
52
5.2 Saran
Penelitian ini hanya mengkaji jumlah produksi serasah daun mangrove dan
kandungan C/N rasio pada jenis mangrove Avicennia alba, Sonneratia alba dan
Bruguiera gymnorrhiza. Pada penelitian ini didapatkan nilai c/n rasio tinggi karena
faktor yang berpengaruh terhadap tinggi rendah nya c/n rasio adalah kerapatan oleh
karena itu sebagai peneliti memberikan masukan supaya memperhatikan kerapatan
dan jarak tanam pada proses penanaman mangrove. Diharapkan ada penelitian
selanjutnya mengenai ini di tempat berbeda sehingga dapat mengetahui kondisi
mangrove tersebut dan juga perbandingan C/N nya.
52
DAFTAR PUSTAKA
Adimara, L. S. 2014. Produksi dan C/N rasio Serasah Mangrove di Kawasan Mangunharjo Kota Probolinggo. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya. Malang. Skipsi tidak Dipublikasikan.
Aditya, D. 2009. Metode Deskriptif. Metologi Reseach. Kebidanan Poltekes Surakarta. Aida,G,R., W, Yusli., A, Fahrudin. 2014. Produksi Serasah Mangrove di Pesisir
Tangerang, Banten (Litterfall Production of Mangrove in Tangerang Coastal Area, Banten). Jurnal ilmu Pertanian Indonesia.Tangerang. Vol:19 (2): 91-97.
Andrianto,F., B.Afif., B.Slamet. 2015. Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah
Mangrove (Rhizopora sp.) Di Desa Durian Dan desa Batu menyan Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran.Jurnal Sylva Lestari. Universitas Lampung.
Ashraf, M. and P.J.C. Harris. 2004. Potential biochemical indicators of salinity
tolerance in plants. Plant Science 166:3-16. Ashraf, M. 1989. Atmoko, T dan K. Sidiyasa. 2007. Hutan Mangove dan Peranannya dalam Melindungi
Ekosistem Pantai. Prosiding Seminar Pemanfaatn HHBK dan Konservasi Biodiversitas menuju Hutan Lestari. Balikpapan. Hal 92-99.
Badan Lingkungan Hidup. 2012. Laporan Pengendalian Pencemaran Kawasan
Pesisir dan Laut. Surabaya. Bengen, D. G. 2002. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. PKSPL. IPB. Bogor. Bengen, D.G., 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Botanri,S., S, Dede., G, Edi., Q, Ibnul. 2011. Karakteristik Habitat Tumbuhan Sagu
(Metroxylon spp.) Di Pulau Seram, Maluku. Maluku. Vol: 34(1): 33-44. Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Science
Pub. Co. Inc. New York. Budiman, A dan S. Prawiroatmodjo. 1992. Penelitian Hutan Mangrove di Indonesia :
Pendayagunaan dan Konservasi. Lokakarya Nasional Penyusunan Progam Penelitian Biologi Kelautan dan Proses Dinamika Pesisir. Semarang.
Darmadi., M.Wahyudi., Alexander. 2012. Struktur komunitas Vegetasi Mangrove
Berdasarkan Karakteristik Substrat Di Muara Harmin Desa Cangkring
53
Kecamatan Cantigi Kabupaten Indramayu. Jurnal Perikanan dan kelautan. Universitas Padjajaran. Vol: 3(3): 347-358.
Departemen Kelautan dan Perikanan, 2009. Ekosistem Hutan Mangrove. Jakarta. Diposaptono, S. 2007. Karakteristik Laut Pada Kota Pantai. Direktorat Bina Pesisir,
Direktorat Jendral Urusan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
Perairan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Fauzi, A. 2008. Analisa Kadar Unsur Hara Karbon Organik dan Nitrogen di dalam
Tanah Perkebunan Kelapa Sawit Bengkalis Riau. Tugas akhir. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatra Utara. Medan.
Gultom, I. M. 2009. Laju Dekomposisi Serasah Rhizophora Mucronata pada Berbagai
Tingkat Salinitas. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatra Utara. Medan.
Halidah. 2011. Avicennia marina (Forssk) Vierh Jenis mangrove yang Kaya Manfaat.
balai Penelitian Kehutanan Makassar. 11(1): 37-44. Hanafiah, K. A. 2012. Dasar- dasar Ilmu Tanah. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Handayani, T. 2004. Laju Dekomposisi Serasah Mangrove Rhizophora mucronata di
Pulau Untung Jawa, Kepulauan Seribu Jakarta. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hastuti, E, D. 2013. Interaksi Struktur Komunitas Vegetasi dengan Kualitas
Lingkungan di Kawasan Sempadan Pantai Semarang-Demak. Disertasi. Paskasarjana Universitas Diponogoro. Semarang.
Hutama.Y.P., Purnomo.p.w dan Nitisupardjo.M. Studi Tentang Potensi Mangrove
Desa Tambakbulusan Berdasarkan Hubungan Antara Sebaran Tingkat Kerapatan,C/N Ratio dan Total Bakteri.Diponegoro Journal of Maquares. 5(1):1-7.
Indriani, Y. 2008. Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah Daun Mangrove Api-api
(Avicennia marina Forssk. Vierh) di Desa Lontar Kecamatan Kemiri Kabupaten Tangerang Provinsi Banten. Skripsi. Fakultas perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Karuniastuti, N. 2010. Perana Hutan Mangove Bagi Lingkungan Hidup. Jurnal
Manajemen. 06(01). Katili, A.S., 2009. “Struktur an Fungsi Protein Kolagen”. Jurnal Pelangi Ilmu 2(5) : 19-
29.
54
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 Tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove.
Kitamura, S., Anwar, C., Chainago, A dan Baba S. 1997. Buku Panduan Mangrove di
Indonesia Bali dan Lombok. Jaya Abadi. Denpasar. Kusmana C, Pradyatmika P, Husin YA, Shea G, Martindale D. 2000. Mangrove litter-
fall studies at the Ajkwa Estuary, Irian Jaya, Indonesia. J of the Indonesian Tropical Animal Agriculture. 9 (3):39-47.
Kusmana, C. 1997. Metode Survei Vegetasi. PT Penerbit Institusi Pertanian Bogor.
Bogor. Kusmana, C. 2010. Respon Mangrove Terhadap Perubahan Iklim Global : Aspek
Biologi dan Ekologi Mangrove. Lokakarya Nasional Peran Mangrove dalam Mitigasi Bencana dan Perubahan Iklim. Jakarta.
Mahmudi, M. 2010. Estimasi Produksi Ikan Melalui Nutrien Serasah Daun Mangrove
di Kawasan Reboisasi Nguling, Pasuruan. Jurnal Ilmu Kelautan. 15 (4): 231-235.
Mahmudi, M. Soemarno. Marsoedi dan D. Arfiati. 2011. Prosuksi dan Dekompossi
Serasah Rhizophora mucronata serta Kontribusi terhadap Nutrien di Hutan Mangrove Reboisasi Nguling, Pasuruan. Jurnal Berk Panel. Hal 19-24.
Muharam. 2014. Penanaman Mangrove Sebagai Salah satu upaya Rehabilitasi Lahan
dan Lingkungan di Kawasan Pesisir Pantai Utara Kabupaten Karawang. Jurnal Ilmiah Solusi. 1(1) : 1-14.
Nga BT, Tinh HQ, Tam DT, Schaffer M, Roijackers R. 2005. Young mangrove stands
produce a large and high quality litter input to aquatic systems. J Wetlands Ecology and Management. 13(5): 569-576.
Noor, Y. R. Khazali, M, dan Suryadiputra, I. N. N. 2006. Panduan Pengenalan
Mangrove di Indonesia. Ditjen PHKA. Bogor. Onrizal. 2005. Adaptasi Tumbuhan Mangrove pada Lingkungan Salin dan Jenuh Air.
Kehutanan. Fakutas Pertanian. Universitas Sumatra Utara. Medan. Purwanto, H. E. Suparyogo. D dan Hairiah K. 2007. Nitrifikasi Potensial dan Nitrogen
Mineral Tanah pada Sistem Agroforesti Kopi dengan Berbagai Pohon Spesies Penaung. Pelita Perkebunan. 23(1). Hal 35-56.
Riniatsih dan Kushartono. 2009. Substrat Dasar dan Parameter Oseanografi Sebagai
Penentu Keberadaan Gastropoda dan Bivalvia di Pantai Sluke Kabupaten Rembang. Jurnal Universitas Diponegoro, Vol. 14 (1) : 50 - 59.
Rusdianti, k dan Setyawan, S. 2012. Konservasi Lahan Hutan Mangrove Serta Upaya
Penduduk Lokal dalam Merehabilitasi Ekosistem Mangrove. Departemen
55
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. IPB. 6 (1).
Saparinto, C. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. Effhar Offset. Semarang. Saputro, F. 2013. Rasio C/N, Nirogen (N) Total, N tersedia, Derajat Keasaman (pH)
dan Bau Kompos Hasil Pengomposan Sampah Organik Pasar dengan Starter Kotoran Ayam dalam Berbagai Dosis. Skripsi. IKIP PGRI Semarang. Semarang.
Saputro, F. 2013. Rasio C/N, Nitrogen (N) Total, N Tersedia, Derajat Keasaman (pH)
dan Bau kompos Hasil Pengomposan Sampah Organik Pasar dengan Starter Kotoran Ayam (Gallus domestica) dalam berbagai Dosis. Skripsi. IKIP PGRI Semarang. Semarang.
Satchel, J.E. 1974.Litter-Interface of Animate/Inanimate Matter.Hlm.xii-xliidalam
Biology of Plant Litter Decomposition. Volk e-1 C..Dickinson dan G. J.F. Pugh (Peny).Academic Press. London. New York.
Setiawan, M.A. 2006. Laju Dekomposisi Serasah Daun Rhizopora mucronata Pada
Berbagai Tingkat Salinitas.Jurnal Program Strata 1 Ilmu Kelautan. Universitas Padjajaran. Bandung.
Sinaga, R. 2008. Teknik Penanaman Mangrove pada Area Pasang Surut Berombak
Besar. Balai Pengelolaan Hutan Mangove Wilayah II Kementrian Kehutanan. Soenardjo N. 1999. Produksi dan laju dekomposisi serasah mangrove dan
hubungannya dengan struktur komunitas mangrove di Kaliuntu Kabupaten Rembang Jawa Tengah. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB.
Soeroyo. 1990. Perubahan Iklim dan Kaitannya Terhadap Produksi Serasah
Mangrove. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oceanografi LIPI. Jakarta. Soeroyo. 1992. Sifat Fungsi dan Peranan Hutan Mangove. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oceanografi. LIPI. Soeroyo. 1997. Pengamatan Gugur Serasah di Hutan Mangrove Sembilang Sumatra
Selatan. Pusat Peneitian dan Pengembangan Oceanografi LIPI. Jakarta. Sosia., Priyasmoro, Y., Tyagita, R., dan Mega, N., 2014. Mangrove Siak dan
Kepulauan Meranti. Environmental and Regulatory Compliance Division Safety, Health and Environment Departement. Energi Mega Prasada. Jakarta.
Sukardjo,S. 2002. Integrated Ecoastal Zone Mangrove in Indonesia Aview from a
Mangrove Ecopologist.Southeast Asia Studies. 40 (2) :200-218. Sulastini, D. 2011. Informasi dan Potensi Mangrove Taman Nasional Alas Purwo.
Erlangga. Jakarta.
56
Susanti,S., M, Samsurizal., R, Pitopang. 2013. Produksi Serasah Empat Jenis Tumbuhan Mangrove Di Desa Lalombi Kabupaten Donggala.Universita Tadulako Kampus Bumi Tadulako Tondo Palu.Sulawesi Tengah. Vol: 7(1): 09-16.
Sutedjo, M. M., A. G Kartasapoetra, Rd. S. Sastroatmodjo. 1991. Mikrobiologi Tanah.
PT Rineka Cipta. Jakarta. Taqwa, A. 2010. Analisis Produktifitas Primer Fitoplankton Struktur Komunitas Fauna
Makrobenthos Berdasarkan Kerapatan Mangrove di Kawasan Konservasi Mangrove dan Berkantan Kota Tarakan, Kalimantan Timur. Tesis. Progam Paskasarjana. Universitas Diponogoro Semarang. Semarang.
Tjitrosoepomo, G. 2009. Taksonomi Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press. Trilaksani, W., Setyaningsih, I. dan Masluha, D. (2015). Formulation of red seaweed
and Spirulina platensis based jelly drinks. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia 18(1): 74-82.
Wibisana, B. T. 2004. Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah Mangrove di Wilayah
Pesisir Kabupaten Benau Provinsi Kalimantan Timur. Skipsi. Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.
Yelianti, U., Kasli dan E.F. Husni. 2009. Kualitas Pupuk Organik Hasil Dekomposisi
Beberapa Bahan Organik dengan Dekomposesrnya. Jurnal Akta Agrosia. 12(1): 1-7.
Yulma, 2012. Kontibusi Bahan Organik dari Mangove Api-api (Avisennia marina)
sebagai Bahan Elaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangove. Tesis. Intitut Pertanian Bogor. Bogor.
Yuniawati. 2013. Pengaruh Pemanenan Kayu Terhadap Potensi Karbon Tumbuhan
Bawah dan Serasah di Latihan Gambut (Studi Kasus di Area HTI Kayu Serat di PT.
RAPP Sektor Pelalawan, Provinsi Riau). Jurnal