biogas dengan kotoran kuda dengan campuran serasah daun jati

22
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pada lambung sapi terjadi proses pembusukan dan peragian. Dalam rumen terjadi pencernaan protein, polisakarida, dan fermentasi selulosa oleh enzim selulase yang dihasilkan oleh bakteri dan jenis protozoa tertentu. Sedangkan hewan seperti kuda, tidak mempunyai struktur lambung seperti pada sapi untuk fermentasi seluIosa. Proses fermentasi atau pembusukan terjadi pada sekum yang banyak mengandung bakteri. Proses fermentasi pada sekum tidak seefektif fermentasi yang terjadi di lambung. Akibatnya kotoran kuda menjadi lebih kasar karena proses pencernaan selulosa hanya terjadi satu kali, yakni pada sekum. Sedangkan pada sapi proses pencernaan terjadi dua kali, yakni pada lambung dan sekum yang kedua-duanya dilakukan oleh bakteri dan protozoa tertentu (Nugraha, 2007). Pada feses sapi mengandung hemisellulosa sebesar 18,6%, sellulosa 25,2%, lignin 20,2%, nitrogen 1,67%, fosfat 1,11% dan kalium sebesar 0,56%. Sedangkan feses kuda mengandung hemisellulosa sebesar 23,5%, sellulosa 27,5%, lignin 14,2%, nitrogen 2,29%, fosfat 1,25% dan kalium sebesar 1,38% (Sihotang, 2010). Menurut Suriawiria 1

Upload: ludfiawindyas9698

Post on 29-Jun-2015

1.079 views

Category:

Documents


14 download

TRANSCRIPT

Page 1: biogas dengan kotoran kuda dengan campuran serasah daun jati

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Pada lambung sapi terjadi proses pembusukan dan peragian.

Dalam rumen terjadi pencernaan protein, polisakarida, dan fermentasi selulosa oleh

enzim selulase yang dihasilkan oleh bakteri dan jenis protozoa tertentu. Sedangkan

hewan seperti kuda, tidak mempunyai struktur lambung seperti pada sapi untuk

fermentasi seluIosa. Proses fermentasi atau pembusukan terjadi pada sekum yang

banyak mengandung bakteri. Proses fermentasi pada sekum tidak seefektif fermentasi

yang terjadi di lambung. Akibatnya kotoran kuda menjadi lebih kasar karena proses

pencernaan selulosa hanya terjadi satu kali, yakni pada sekum. Sedangkan pada sapi

proses pencernaan terjadi dua kali, yakni pada lambung dan sekum yang kedua-

duanya dilakukan oleh bakteri dan protozoa tertentu (Nugraha, 2007).

Pada feses sapi mengandung hemisellulosa sebesar 18,6%, sellulosa 25,2%,

lignin 20,2%, nitrogen 1,67%, fosfat 1,11% dan kalium sebesar 0,56%. Sedangkan

feses kuda mengandung hemisellulosa sebesar 23,5%, sellulosa 27,5%, lignin 14,2%,

nitrogen 2,29%, fosfat 1,25% dan kalium sebesar 1,38% (Sihotang, 2010). Menurut

Suriawiria dan Sastramihardja (1980), kotoran kuda mempuyai kandungan C/N ratio

25% lebih tinggi daripada C/N ratio kotoran sapi yang mempunyai nilai C/N ratio

18%. Selain itu kotoran kuda juga mempunyai kadar nitrogen (N) sebesar 2,8%, lebih

tinggi daripada kadar N dalam kotoran sapi. Produksi gas metan sangat tergantung

oleh rasio C/N dari substrat, untuk itu perlu ditambahkan sumber karbon untuk

meningkatkan rasio C/N substrat. Menurut Hartono (2009) rentang rasio C/N antara

20-30 merupakan rentang optimum untuk proses penguraian anaerob. Jika rasio

C/N terlalu tinggi, maka nitrogen akan terkonsumsi sangat cepat oleh bakteri-

bakteri metanogen untuk memenuhi kebutuhan protein dan tidak akan lagi

bereaksi dengan sisa karbonnya. Sebagai hasilnya produksi gas akan rendah. Di lain

pihak, jika rasio C/N sangat rendah, nitrogen akan dibebaskan dan terkumpul

dalam bentuk NH4OH.

1

Page 2: biogas dengan kotoran kuda dengan campuran serasah daun jati

Guguran daun jati (Tectona Grandis L) yang lebar yang menutupi tanah

melapuk secara lambat, sehingga menyulitkan tumbuhan lain berkembang. Guguran

daun jati dapat memicu kebakaran hutan kecil yang justru mengakibatkan proses

pemurnian tegakan jati terdorong untuk berkecambah, pada saat jenis-jenis pohon lain

mati. Namun demikian, jika tumpukan serasah dalam jumlah besar dapat

mengakibatkan kebakaran hutan yang besar dan mematikan vegetasi dalam hutan

(Perum Perhutani, 2000).

Menurut Musyafa (2004), secara umum daun kering yang termasuk sampah

coklat kaya akan karbon (C) yang menjadi sumber energi atau makanan untuk

mikrobia. Tanda sampah daun biasanya kering, kasar, berserat dan berwarna coklat

(sampah coklat).

Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah peternakan sering

menjadi banyak sorotan di lingkungan masyarakat. Perlunya pengolahan limbah

peternakan tersebut mendorong terciptanya teknologi tepat guna untuk memanfaatkan

limbah tersebut menjadi sesuatu yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Selain

itu, pengembangan industri di suatu daerah sudah saatnya dilakukan usaha untuk

memanfaatkan limbahnya, mengingat sebagian besar senyawa dari alam bersifat

biodegradable artinya dapat diuraikan secara biologis. Sebagian besar senyawa

tersebut adalah karbohidrat, lemak, dan protein (Hvelplund, 1991).

Pada proses pengolahan limbah secara anaerob terjadi proses methanogenesis

yang dapat membentuk asam lemak rantai pendek menjadi H2, CO2, dan asetat. Asetat

akan mengalami dekarboksilasi dan reduksi CO2, kemudian bersama-sama dengan

H2  dan CO2  menghasilkan produk akhir, yaitu metan (CH4) dan karbondioksida

(CO2) (Hvelplund, 1991).

Berdasarkan tinjauan di atas dimana kotoran sapi dan kuda menjadi suatu

masalah dalam pencemaran lingkungan di peternakan, serta guguran daun jati yang

lama-kelamaan dapat menimbulkan kebakaran hutan, dibutuhkan pengolahan secara

biologis. Dengan demikian, potensi kandungan bahan organik dalam kotoran ternak

dan serasah daun jati dapat dimanfaatkan dalam pembuatan biogas. Untuk itu, perlu

2

Page 3: biogas dengan kotoran kuda dengan campuran serasah daun jati

adanya penelitian mengenai optimasi dan efisiensi penggunaan kotoran sapi dan kuda

dengan penambahan daun jati (Tectona Grandis L) sebagai substrat dalam pembuatan

biogas, sehingga akan diketahui proses fermentasi methanogenik dan produksi gas

metan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan kotoran sapi

dan kuda sebagai substrat dengan penambahan serasah daun jati (Tectona grandis)

terhadap proses fermentasi methanogenik yang meliputi aktivitas enzim, kandungan

volatile fatty acid (VFA) dan produksi gas metan.

Manfaat penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Memanfaatkan kotoran sapi dan kuda sebagai substrat pembuatan biogas

sebagai upaya penanggulangan pencemaran lingkungan di kawasan yang

mempunyai potensi peternakan tersebut.

2. Memanfaatkan serasah daun jati (Tectona grandis) sebagai bahan tambahan

pembuatan biogas sebagai upaya penanggulangan kebakaran hutan.

3. Menciptakan sumber energi alternatif.

Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah:

1. Terdapat interaksi antara pengaruh penggunaan jenis kotoran ternak sebagai

substrat dengan proses fermentasi methanogenik.

2. Penambahan serasah daun jati (Tectona grandis) pada level yang berbeda

sebagai sumber carbon dapat meningkatkan produksi gas methan dalam

proses fermentasi methanogenik.

3

Page 4: biogas dengan kotoran kuda dengan campuran serasah daun jati

MATERI DAN METODE

Materi

Bahan-bahan:

Kotoran sapi. Kotoran sapi yang digunakan adalah kotoran sapi segar yang

diperoleh dari kandang ternak potong Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.

Kotoran Kuda. Kotoran kuda yang digunakan adalah kotoran kuda segar

yang diperoleh dari kandang ternak potong Fakultas Peternakan Universitas Gadjah

Mada.

Serasah Daun Jati (Tectona grandis). Serasah Daun Jati (Tectona grandis)

diambil dari hutan jati di Piyungan, Bantul.

Alat Percobaan: Alat yang digunakan dalam penelitian adalah 15 unit

biodigester, termometer, higrometer, kertas indikator universal pH 0-14 Merck untuk

mengukur pH substrat, alat pengukur volume gasbio.

Skema rangkaian alat yang digunakan dalam penelitian disajikan dalam

gambar 1

Gambar 1. Rangkaian reactor anaerobic batch I

Metode

Penelitian dilkasanakan selama 5 bulan mulai dari bulan Juni sampai dengan

November 2010. Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap yaitu: 1) persiapan awal,

meliputi persiapan peralatan dan bahan; 2) penelitian, dan 3) pengolahan data (hasil

4

Page 5: biogas dengan kotoran kuda dengan campuran serasah daun jati

penelitian) dan pembuatan laporan. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Hasil

Ikutan dan Lingkungan, Bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan,

Universitas Gadjah Mada.

Substrat dicampur dengan air dengan perbandingan 1:2. Sebelum

dimasukkan ke dalam fermentor campuran substrat dengan air dihomogenisasikan

dengan cara dicampur air kemudian diaduk. Perubahan suhu, volume dan pH diamati

setiap 10 hari sekali.

Percobaan dilakukan dengan menggunakan feses sapi dan kuda, yang masing-

masing perlakuan ditambahkan dengan remahan daun jati sebanyak 0%, 5% dan 10%.

Setiap level dilakukan 3 kali ulangan. Evaluasi data penelitian dilakukan setiap 10

hari sekali pada hari ke-10, ke-20, ke-30 dan ke-40 untuk pengukuran aktivitas enzim,

kandungan volatile fatty acid dan kadar gas metan.

Aktivitas enzim. Digunakan sampel yang diambil disentrifuge pada 3000 G,

kemudian disenrtifuge kembali pada 10.000 G (Sunaryanto, 2004).

Konsentrasi gas metan diukur dengan menggunakan Gas Chromatography.

Pengambilan gas dilakukan dengan cara injeksi dengan jarum suntik, kemudian

dipindahkan ke dalam tabung vacuumtainer (Kashani, 2009).

Asam lemak volatile dianalisis dengan menggunakan metode gas

Chromatography (Bachrudin, 1996). Dimana tiap titik pengambilan sampel

dianalisiskan kadar asam lemak volatilnya. Dengan menggunakan mikropipet diambil

2µl dan diinjeksikan ke dalam kolom pada alat gas Chromatography. Asam lemak

yang diukur kadarnya adalah asam asetat, asam propionate dan asam butirat

Analisis Data

Pengolahan data penelitian ini menggunakan perhitungan analisis split-plot

untuk pengamatan pengukuran volume gas bio, aktivitas enzim dan kadar gas metan.

5

Page 6: biogas dengan kotoran kuda dengan campuran serasah daun jati

Hasil dan Pembahasan

Serasah daun jati (Tectona grandis) merupakan salah satu sumber carbon (C)

yang dapat digunakan untuk menjadi sumber energi atau makanan untuk mikrobia.

Untuk mengetahui kandungan yang terdapat pada daun jati dilakukan analisis kimia

dengan menggunakan metode analisis proksimat. Hasil analisis kimia yang diperoleh

tertera dalam tabel 1.

Tabel 1. Hasil analisis kandungan kimia daun jati (Tectona grandis)

No Analisa bahan Persentase berdasar BK (%)1. BK (bahan kering) 93,922. Abu 24,343. Kadar air 6,084. Protein kasar (PK) 5,825. Lemak kasar (LK) 6,636. Serat kasar 22,907. Carbon (C) 46,09

Dari data tersebut dapat dilihat jika kandungan C-organik dalam serasah daun

jati mempunyai kandungan C-organik yang rendah jika dibandingkan dengan

kandungan C-organik pada seresah jenis kayu putih (Melaleuca cajuputi) yang

mempunyai kadar C/N dan lignin yang tinggi (Supriyo, 2009), namun selain itu daun

jati ternyata mempunyai kandungan tannin yang cukup tinggi, hal ini dapat

menghambat pertumbuhan mikrobia didalam proses fermentasi methanogenesis.

Berikut data produksi gas methan yang dihasilkan. tertera dalam tabel 2.

Tabel 2. Pengaruh jenis kotoran ternak, konsentrasi substrat dan waktu terhadap produksi rata-rata produksi gas metan (CH4) dalam proses fermentasi methanogenik dalam persen (%)

Hari keFeses Konsentras

i10 20 30 40 Rerata

Sapi 0% 20,69 24,78 36,50 54,77 34,21c

5% 16,16 27,37 38,39 51,55 33,37c

10% 16,20 24,38 36,28 57,63 33,62c

Kuda 0% 18,25 36,35 46,69 63,19 41,12a

5% 17,70 21,37 43,09 64,99 36,78b

10% 12,22 25,18 40,31 50,71 32,11c

6

Page 7: biogas dengan kotoran kuda dengan campuran serasah daun jati

Hasil diatas menunjukkan bahwa produksi gas methan berbeda tidak nyata.

Rerata tertinggi produksi gas methan dihasilkan oleh biogas dengan feses kuda 100%

(P4) hal ini dikarenakan kotoran kuda mempuyai kandungan C/N ratio 25% lebih

tinggi daripada C/N ratio kotoran sapi yang mempunyai nilai C/N ratio 18%, selain

itu kotoran kuda juga mempunyai kadar nitrogen (N) sebesar 2,8%, lebih tinggi

daripada kadar N dalam kotoran sapi (Suriawiria dan Sastramihardja, 1980). Selain

itu feses kuda mengandung hemisellulosa sebesar 23,5%, sellulosa 27,5%, lignin

14,2%, nitrogen 2,29%, fosfat 1,25% dan kalium sebesar 1,38% lebih tinggi nilainya

jika dibanding dengan feses sapi yang mengandung hemisellulosa sebesar 18,6%,

sellulosa 25,2%, lignin 20,2%, nitrogen 1,67%, fosfat 1,11% dan kalium sebesar

0,56% (Sihotang, 2010).

Namun demikian pada biogas dengan feses sapi 100% (P1) juga mempunyai

produksi gas methan yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan biogas dengan

campuran feses sapi dan serasah daun jati sebanyak 5 dan 10%. Kandungan tannin

pada daun jati sebesar 16,25% adalah salah satu faktor yang dapat menyebabkan

turunnya produksi gas methan pada biogas yang mendapat perlakuan penambahan

serasah daun jati sebanyak 5 dan 10%. Menurut Cheeke (1999), disamping bersifat

anti-protozoa, tannin bersifat anti-bakteri terutama terhadap bakteri Gram-positif.

Sementara itu Moss (1993) menyatakan bahwa bakteri penghasil CH4 (metanogen)

seperti Methanobrevibacter ruminantium dan Methanosarcina bakteri termasuk

dalam klasifikasi bakteri Gram-positif. Oleh sebab itu penurunan CH4 yang sejalan

dengan peningkatan konsentrasi penambahan persentase serasah daun jati (Tectona

grandis) diduga berhubungan dengan penurunan populasi metanogen. Disamping itu

menurut Patra et al. (2006), tanin mempunyai aktivitas antimetanogenik.

7

Page 8: biogas dengan kotoran kuda dengan campuran serasah daun jati

Untuk mengetahui proses terjadinya fermentasi methanogenesis lebih lanjut,

akan ditampilkan hasil analisis VFA (volatile fatty acid) dalam tabel dibawah ini.

Tabel 3. Pengaruh jenis kotoran ternak, konsentrasi substrat dan waktu terhadap produksi rata-rata asam asetat dalam proses fermentasi methanogenik (ml Mol)

Hari keFeses Konsentras

i10 20 30 40 Rerata

Sapi 0% 32,75 29,82 17,92 2,75 20,81a

5% 21,55 18,37 12,98 7,57 15,11b

10% 29,03 15,37 10,77 6,47 15,41b

Kuda 0% 19,88 11,50 4,30 1,76 9,36c

5% 16,59 14,07 7,88 3,84 10,59c

10% 19,88 11,45 7,48 3,65 10,61c

Tabel 4. Pengaruh jenis kotoran ternak, konsentrasi substrat dan waktu terhadap produksi rata-rata asam propionat dalam proses fermentasi methanogenik (ml Mol)

Hari keFeses Konsentras

i10 20 30 40 Rerata

Sapi 0% 10,67 7,96 6,18 3,61 7,10ab

5% 8,69 6,45 4,35 3,96 5,86ab

10% 11,86 7,24 6,74 4,44 7,57a

Kuda 0% 10,06 6,08 3,44 1,32 5,22ab

5% 7,80 5,07 3,50 1,41 4,44b

10% 8,19 5,85 4,05 1,72 4,95b

Tabel 5. Pengaruh jenis kotoran ternak, konsentrasi substrat dan waktu terhadap produksi rata-rata asam butirat dalam proses fermentasi methanogenik (ml Mol)

Hari keFeses Konsentras

i 10 20 30 40 Rerata

Sapi 0% 7,16 5,27 3,44 1,44 4,33ab

5% 5,47 4,80 3,16 1,83 3,82bc

10% 9,42 7,20 5,35 2,77 6,18a

Kuda 0% 4,00 2,94 1,90 0,08 2,23bc

5% 3,28 3,22 2,88 0,67 2,51bc

10% 2,74 2,02 1,36 0,24 1,59c

Bahan organik di fermentasi menjadi VFA, protein mikroba dan gas. Produksi

gas tergantung pada produksi VFA terutama komposisi dan berhubungan erat dengan

degradasi bahan organik. Penurunan konsentrasi VFA secara parsial diduga

8

Page 9: biogas dengan kotoran kuda dengan campuran serasah daun jati

berhubungan dengan penurunan degradasi bahan organik yang terdapat dalam isian

biodigester. Dari hasil penelitian, dapat dilihat bahwa kandungan VFA yang meliputi

asam asetat, asam propionate dan asam butirat tertinggi adalah perlakuan P1 yaitu

biogas dengan isian 100% feses sapi, hal ini dikarenakan oleh ternak ruminansia

mempunyai sistem pencernaan khusus yang menggunakan mikroorganisme dalam

sistem pencernaannya yang berfungsi untuk mencerna selulosa dan lignin dari rumput

atau hijauan berserat tinggi. Oleh karena itu pada tinja ternak ruminansia, khususnya

sapi mempunyai kandungan selulosa yang cukup tinggi (Kustiawan, 2009).

Bakteri dalam biogas mengubah asam organik menjadi VFA disertai dengan

terbentuknya gas (Orskov dan Ryle, 1990). Laju produksi gas semakin tinggi dan

potensi terbentuknya gas juga semakin meningkat. Tingginya produksi gas

merupakan indikator terbentuknya VFA terutama asam asetat dan propionat (Menke

et al., 1979). Hal ini sejalan dengan produksi gas methan yang terbentuk, walaupun

agak sedikit berbeda bahwa produksi gas methan tertinggi dihasilkan oleh P4 atau

biogas dengan isian 100% feses kuda, namun ditunjukkan diatas bahwa P1 juga

mempunyai produksi gas methan yang cukup tinggi.

Dari hasil penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa produksi asam asetat

adalah produksi tertinggi dari kandungan VFA yang lain yaitu asam propionate dan

asam butirat. Hal ini menurut Prihartini (2007) jumlah kandungan serat yang

semakin tinggi akan meningkatkan proporsi asetat dan semakin tinggi fraksi serat

yang larut akan meningkatkan aktivitas amilolitik sehingga menurunkan jenis

mikroba selulolitik sehingga menurunkan degradasi serat.

Rata-rata temperatur sludge pada tiap digester dengan beda perlakuan dan

pengamatan setiap 10 hari sekali tertera dalam tabel 4 dibawah ini.

Tabel 6. Rata-rata temperatur sludge (oC) pada biogasHari ke

Feses Konsentrasi

10 20 30 40 Rerata

Sapi 0% 27,50 27,17 26,83 26,17 26,92a

5% 27,33 27,50 26,00 26,33 26,79ab

10% 26,83 27,17 25,50 26,00 26,38c

9

Page 10: biogas dengan kotoran kuda dengan campuran serasah daun jati

Kuda 0% 27,17 26,17 26,00 25,83 26,29c

5% 27,67 26,83 25,67 26,33 26,63abc

10% 27,33 26,00 26,17 26,33 26,46bc

Temperatur sludge tersebut lebih rendah apabila dibandingkan dengan

temperatur kerja optimum untuk proses produksi biogas. Menurut Kirby (1983)

bahwa temperature optimum untuk perkembangan bakteri pada proses pencernaan

tinja di dalam digester berkisar 30-35oC. Produksi gas bio yang terbentuk sangat

tergantung pada suhu tangki pencerna. Gas bio terbentuk pada hari ke-7 dengan suhu

tangki pencerna 28oC dan produksi gas yang kecil.

Menurut Hadiwiyoto (1983), bahwa proses perombakan bahan organik pada

suasana anaerob akan dihasilkan tenaga panas, karena digester diletakkan ditempat

terbuka, maka pada malam hari pada saat udara berada di bawah temperatur sludge,

energi panas yang dihasilakan selama proses fermentasi di dalam digester akan

terserap oleh udara secara konduksi. Sebaliknya pada waktu siang hari pada saat

temperature sludge lebih rendah dari temperature udara, maka tenaga panas sinar

matahari akan diserap secara radiasi dan konduksi. Situasi tersebut tidak banyak

membantu untuk meningkatkan temperature sludge mencapai temperature optimal.

Temperature merupakan cerminan dari aktivitas mikroorganisme di dalam

sludge, semakin tinggi temperaturnya maka aktivitas mikroorganisme juga semakin

meningkat. Menurut Kaparaju (2006), pada temperature 55oC mikroorganisme seperti

Methanosarcinaceae pada permukaan sludge mencapai 70-100% lebih banyak dari

pada di lapisan bawah atau di lapisan tengah.

Rata-rata derajat keasaman (pH) sludge pada tiap digester dengan beda

perlakuan dan pengamatan setiap 10 hari sekali, tertera dalam tabel dibawah ini.

Tabel 7. Rata-rata derajat keasaman (pH) sludge pada biogas

Hari keFeses Konsentras

i10 20 30 40 Rerata

Sapi 0% 6,83 7,33 7,00 7,17 7,08a

5% 7,17 7,00 7,50 7,00 7,17a

10% 6,83 7,33 7,33 6,83 7,08a

10

Page 11: biogas dengan kotoran kuda dengan campuran serasah daun jati

Kuda 0% 7,33 7,33 7,50 7,00 7,29a

5% 7,50 7,00 7,33 7,17 7,25a

10% 7,00 7,33 7,17 7,00 7,13a

Derajat keasaman (pH) pada digester yang diamati setiap 10 hari sekali berada

pada kisaran ph netral 7,0. Aktivitas bakteri fermentative mencapai optimal pada

Susana pH netral yaitu 7,0 (Kirby, 1983). pH optimal untuk proses fermentasi

berkisar antara 7,0-8,0. Proses tersebut akan terhambat apabila pH berada pada 6,5

dan terhenti sama sekali pada ph 5,5 (Taiganides, 1980).

Menurut Wahyuni (2008), pH dalam digester merupakan fungsi waktu di

dalam digester tersebut. Tahap awal proses fermentasi, asam organik dalam jumlah

besar diproduksi oleh bakteri pembentuk asam, pH dalam digester dapat mencapai di

bawah 5. Keadaan ini cenderung menghentikan proses pencernaan (fermentasi).

Bakteri-bakteri metanogenik sangat peka terhadap pH dan tidak bertahan hidup

dibawah pH 6,5. Kemudian proses fermentasi berlangsung, NH4 bertambah dan dapat

meningkatkan nilai pH diatas 7.

11

Page 12: biogas dengan kotoran kuda dengan campuran serasah daun jati

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa:

1. Semakin besar level penambahan serasah daun jati (Tectona grandis) tidak

berbeda nyata terhadap proses fermentasi methanogenik.

2. Penggunaan jenis kotoran ternak sebagai substrat berbeda tidak nyata terhadap

proses fermentasi methanogenik.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai level penambahan serasah

daun jati (Tectona grandis) sebagai sumber carbon sehingga dapat diketahui titik

optimal yang dapat ditambahkan sebagai sumber carbon.

12

Page 13: biogas dengan kotoran kuda dengan campuran serasah daun jati

DAFTAR PUSTAKA

Bachrudin, Z. 1996. Aplikasi enzim dalam Bioteknologi Pertanian. Buletin Peternakan.Edisi Khusus; 221-223. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Cheeke, P.R. 1999. Actual and potential applications of Yucca schidigera and Quillaja saponaria saponins in human and animal nutrition. Proc. Am. Soc. Anim. Sci., 1-10. Crowder, L.V. & H.R. Chheda. 1982. Tropical Grassland Husbandry. Longman Group Limited, New York, USA.

Hadiwiyoto, S. 1983. Penanganan dan Pemanfaatan Sampah. Yayasan Idayu. Jakarta.

Hartono, R. 2009. Produksi Biogas dari Jerami Padi dengan Penambahan Kotoran Kerbau. Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia – SNTKI 2009 ISBN 978-979-98300-1-2. Bandung, 19-20 Oktober 2009.

Hvelplund, T. 1991. Volatile fatty acids and protein production in the ruminants In : J.P. Jouany (Ed.) Rumen Microbial Metabolism and Ruminant Digestion. INRA. Paris. pp. 165 – 178.

Kashani, A. 2009. Application of Various Pretreatment Methods to Enhace Biogas Potential of Waste Chicken Feathers. This thesis comprises 30 ECTS credits and is a compulsory part in the Master of Science with a Major in Environmental Engineering, 120 ECTS credits No. 8/2009.University of Boras.

Kaparaju, P. 2006. Effect of Temperature and Active Biogas Process on Passive Separation of Digested Manure. Journal Bioresources Technology. Volume 97 (2006): 113-125

Kirby, K.D. 1983. Anaerobic Digester and Their Apllication to Agriculture Residue Utilization. Australian Government Publishing Service. Canbera.

Kustiawan, L. 2009. Parameter Fermentasi Rumen Pada Kerbau Yang Diberi Pakan Tunggal Glirisidia, Jerami Jagung dan Kaliandra. Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan – Semarang, 20 Mei 2009. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang

Musyafa. 2004. Peranan Makrofauna Tanah dalam Proses Dekomposisi Serasah Acacia mangium Willd. ISSN: 1412-033X. Nomor 1 Januari 2005. Biodiversitas Volume 6, Nomor 1 Halaman: 63-65

13

Page 14: biogas dengan kotoran kuda dengan campuran serasah daun jati

Menke, K.H. & H. Steingass. 1988. Estimation of the energetic feed value obtained from chemichal analysis and in vitro gas production using rumen fluid. Anim. Res. Develop.28:7-55.

Moss, A.R. 1993. Methane Global Warming and Production by Animals. Chalcombe Publications, Canterbury. p.105.

Nugraha, Bayu. 2007. Sistem Pencernaan Ruminansia. Avalaible at netfarm.blogsome.com/.../sistem-pencernaan-ruminansia/ 29 November 2010.

Patra, A.K., D.N. Kamra & N. Agarwal. 2006. Effect of plant extracts on in vitro methanogenesis, enzyme activities and fermentation of feed in rumen liquor of buffalo. Anim. Feed Sci. and Technol. 128:276-291.

Perum Perhutani. 2000. “Marketing and Trade Policy of Perum Perhutani”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.

Prihartini, I., 2007. Parameter Fermentasi Rumen dan Produksi Gas In Vitro Jerami Padi Hasil Fermentasi Inokulum Lignochloritik. Laporan Penelitian. UMM. Malang.

Ørskov, E.R., And Ryle., 1990. Energi Nutrition In Ruminats. Elsevier Applied Science. London And New York.

Sarjadi. S. 2009. Nusa Tenggara Barat. Avalaible at jurnalisme-makassar.blogspot.com/.../useful-link-from-indopubs-penerbitan-di.html. 14 Februari 2010.

Sihotang, Benikditus. 2010. Kandungan Senyawa Kimia Pada Pupuk Kandang Berdasarkan Jenis Binatangnya. Avaliable at r.yuwie.com/blog/entry.29 November 2010.

Sunaryanto, R. 2004. Pengaruh kombinasi media sumber karbon (dedak : Tapioka) dan sumber nitrogen pada kultivasi media Padat produksi enzim glukoamilase. Prosiding Seminar nasional rekayasa kimia dan proses 2004 Issn : 1411 – 4216

14

Page 15: biogas dengan kotoran kuda dengan campuran serasah daun jati

Supriyo, H. 2009. Kandungan C-organik dan N-total pada seresah dan tanah pada 3 tipe fisiognomi (Studi Kasus di Wanagama, Gunung kidul, DIY). Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 9 No. 1 (2009) p: 49-57

Suriawiria dan Sastramihardja. 1980. Faktor Lingkungan Biotis dan Abiotis Didalam Proses Pembentukan Biogas serta Kemungkinan Penggunaan Starter Efektif Didalamnya. Lokakarya Pengembangan Energi Non-Konvensional. Direktorat Jendral Ketenagaan Departemen Pertambangan dan Enenrgi, Jakarta.

Soerawidjaja, Tatang H. 2006. Potensi Sumber Daya Hayati Indonesia dalam Penyediaan Berbagai Bentuk Energi. Lokakarya Pengembangan Energi Non-Konvensional. Direktorat Jendral Ketenagaan Departemen Pertambangan dan Energi, Jakarta.

Taiganides, E.P. 1980. Bio Engeneering Properties of Feedlot Waste Animal. Applied Science Publishers Ltd, London.

Wahyuni, S. 2008. Biogas. Penerbit PT Media Inovasi Transfer dan Penebar Swadaya. Jakarta.

15