clinical reasoning dlm critical thinking.pdf

12
TELAAH KRITIS TERHADAP CLINICAL REASONING DALAM KONTEKS CRITICAL THINKING Endang Lestari FK Unissula Pendahuluan Sangat disadari bahwa clinical reasoning adalah merupakan kompetensi utama yang harus dimiliki oleh seorang dokter. Oleh karena itu, hampir seluruh institusi penyelenggara pendidikan kedokteran menjadikan kemampuan clinical reasoning-- yang umumnya dinyatakan dalam kemampuan problem solving dan kemampuan untuk mengambil keputusan-- sebagai tujuan yang hendak dicapai melalui kegiatan pembelajaran. Dalam menjalankan profesinya, dokter dituntut untuk dapat memutuskan masalah kesehatan pasiennya serta penanganan yang tepat atas masalah tersebut, dengan mempertimbangkan berbagai data yang diperolehnya dari pasien dan pemeriksaan fisik yang dilakukannya Berfikir komprehensif dalam mengambil keputusan itulah inti dari clinical reasoning. Dengan menerapkan konsep berfikir komprehensif dan logis seperti itu, maka sesungguhnya dokter menerapkan konsep berfikir kritis. Sebagaimana diketahui, tujuan dari berpikir kritis adalah untuk mendapatkan suatu pemahaman, mengevaluasi dan kemudian menyelesaikan suatu permasalahan. Langkah-langkah tersebut jugalah yang dipergunakan dalam melakukan clinical reasoning. Riset menunjukkan bahwa ada beberapa metode yang dipergunakan oleh dokter untuk memutuskan persolan kesehatan yang dihadapinya, antara lain yang umum sekali dipergunakan adalah pattern recognition. Yang menjadi persoalan kemudian adalah apakah metode-metode clinical reasoning tersebut juga menerapkan konsep berfikir kritis, seperti yang harus dilakukan seharusnya oleh critical thinker dalam memutuskan masalah?

Upload: kalih-r-gusti

Post on 09-Feb-2016

309 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: clinical reasoning dlm critical thinking.pdf

TELAAH KRITIS TERHADAP CLINICAL REASONING

DALAM KONTEKS CRITICAL THINKING

Endang Lestari

FK Unissula

Pendahuluan

Sangat disadari bahwa clinical reasoning adalah merupakan kompetensi utama

yang harus dimiliki oleh seorang dokter. Oleh karena itu, hampir seluruh institusi

penyelenggara pendidikan kedokteran menjadikan kemampuan clinical reasoning-- yang

umumnya dinyatakan dalam kemampuan problem solving dan kemampuan untuk

mengambil keputusan-- sebagai tujuan yang hendak dicapai melalui kegiatan

pembelajaran. Dalam menjalankan profesinya, dokter dituntut untuk dapat memutuskan

masalah kesehatan pasiennya serta penanganan yang tepat atas masalah tersebut, dengan

mempertimbangkan berbagai data yang diperolehnya dari pasien dan pemeriksaan fisik

yang dilakukannya Berfikir komprehensif dalam mengambil keputusan itulah inti dari

clinical reasoning. Dengan menerapkan konsep berfikir komprehensif dan logis seperti

itu, maka sesungguhnya dokter menerapkan konsep berfikir kritis. Sebagaimana

diketahui, tujuan dari berpikir kritis adalah untuk mendapatkan suatu pemahaman,

mengevaluasi dan kemudian menyelesaikan suatu permasalahan. Langkah-langkah

tersebut jugalah yang dipergunakan dalam melakukan clinical reasoning.

Riset menunjukkan bahwa ada beberapa metode yang dipergunakan oleh dokter

untuk memutuskan persolan kesehatan yang dihadapinya, antara lain yang umum sekali

dipergunakan adalah pattern recognition. Yang menjadi persoalan kemudian adalah

apakah metode-metode clinical reasoning tersebut juga menerapkan konsep berfikir

kritis, seperti yang harus dilakukan seharusnya oleh critical thinker dalam memutuskan

masalah?

Page 2: clinical reasoning dlm critical thinking.pdf

Paper ini akan mengeksplore mengenai clinical reasoning dipandang dari sudut

pandang critical thinking, bagaimana clinical reasoning seharusnya dilakukan jika

konsep critical thinking diterapkan, serta mengkritisi apakah model clinical reasoning

yang selama ini diterapkan oleh dokter menggunakan konsep critical thinking.

Pengertian Berpikir kritis

Sebelum dibahas apakah metode clinical reasoning yang diterapkan oleh dokter

merupakan kegiatan berfikir kritis, maka perlu difahami terlebih dahulu mengenai apakah

berfikir kritis itu. Schafersman (1991) menyatakan bahwa berfikir kritis adalah berfikir

dengan benar berdasarkan pengetahuan yang relevan dan reliable, atau cara fikir yang

beralasan, relfektif, bertanggungjawab, dan mahir. Seorang yang berfikir kritis dapat

menanyakan suatu hal dengan tepat, mencari informasi dengan tepat yang akan

dipergunakannya untuk menyelesaikan masalah, dapat mengelola informasi tersebut

dengan logis, efisien dan kreatif sehingga dia dapat membuat simpulan yang logis dan

dapat memecahkan masalah yang dihadapinya dengan tepat berdasarkan analisis

informasi dan pengetahuan yang dimilikinya. John Dewey, dikutip oleh Fisher, 2001,

menjelaskan bahwa critical thinking adalah pertimbangan yang aktif dan tepat serta

berhati-hati atas keyakinan dan keilmuan untuk mendukung kesimpulan. Selain itu,

Fisher juga mengambil pendapat Ennis, yang menyatakan bahwa critical thinking adalah

kegiatan berfikir yang beralasan dan reflektif yang memfokuskan pada apa yang diyakini

dan apa yang akan dilakukan.

The APA Concensus Definition (dalam Facione, 1996) memberikan definisi

berfikir kritis sebagai keputusan yang memiliki tujuan dan dilakukan sendiri oleh pelaku

kegiatan berfikir, sebagai hasil dari kegiatan interpretasi, analisis, evaluasi dan inferensi

serta penjelasan dari pertimbangan yang didasarkan pada bukti, konsep, metodologi,

kriteriologi dan kontekstual, yang kemudian melandasi keputusan yang dibuat oleh orang

tersebut. Dari definisi tersebut, Facione (2004) menjelaskan bahwa sebagai cognitive

skill, bagian penting dalam kegiatan berfikir kritis adalah interpretasi, analisis, evaluasi,

inferensi, penjelasan dan pengaturan/pengelolaan diri. Berikut adalah penjelasannya:

Page 3: clinical reasoning dlm critical thinking.pdf

- interpretasi adalah kemampuan untuk memahami dan menjelaskan makna dari situasi,

pengalaman, kejadian, data, keputusan, konvensi, kepercayaan, aturan, prosedur dan

criteria. Contohnya adalah kemampuan seseorang untuk menjelaskan masalah dan

mendeskripsikan informasi yang diberikan tanpa ada bias; mampu memilah antara ide

utama dan ide tambahan ketika membaca tulisan orang lain; mampu menyusun

kategorisasi sementara untuk mengorganisasi hal yang sedang dipelajari; mampu

menyampaikan kembali ide orang lain dalam kalimat yang disusunnya sendiri;

mampu menjelaskan gambar, tanda dan grafik; mampu mengidentifikasi tujuan, tema,

sudut pandang penulis ketika membaca karya tulis dalam bentuk apapun.

- Analisis adalah mengidentifikasi hubungan antar beberapa pernyataan, pertanyaan,

konsep, deskripsi, dan berbagai bentuk yang dipergunakan untuk merefleksikan

pemikiran, pandangan, kepercayaan, keputusan, alasan, informasi dan opini. Sub skill

analisis antara lain adalah mengevaluasi ide dan pendapat orang lain, mendeteksi

argument, dan menganalisis argument. Kee dan Bickle (2004) menjelaskan beberapa

hal yang dapat dilakukan untuk menganalisis argumen, yakni dengan

mempertanyakan: apakah kesimpulannya; apakah alasan yang diberikan untuk

mendukung kesimpulan tersebut; apakah asumsi yang tersirat; apakah struktur

argumentasi tersebut; bagaimana kebenaran alasan tersebut dapat diukur; adakah

bukti tambahan yang dapat mendukung dan melemahkan simpulan; sepasti apakah

penjelasan yang diberikan dan sudah tepatkah analogi yang diberikan; adakah

kerancuan dalam penalaran; dan apakah argumentasi tersebut masuk akal? Contoh

kemampuan menganalisis antara lain adalah: mengidentifikasi persamaan dan

perbedaan dua pendekatan yang dipergunakan untuk menyelesaikan masalah;

mengidentifikasi asumsi; mengkonstruksi berbagai cara untuk membuat simpulan dan

menyampaikan berbagai alasan untuk mengkritisi simpulan tersebut; dan lain

sebagainya.

- Evaluasi adalah kemampuan untuk menguji kredibilitas pernyataan atau berbagai

bentuk lain yang dipergunakan untuk menyatakan pemikiran, persepsi, pandangan,

keputusan, alasan, opini, dan lain sebagainya; serta untuk menguji logika hubungan

berbagai pernyataan, deskripsi, pertanyaan dan bentuk lain yang dipergunakan untuk

merefleksikan pemikiran. Contoh kemampuan analisis adalah: memutuskan

Page 4: clinical reasoning dlm critical thinking.pdf

kredibilitas penulis atau pembicara; membandingkan kelebihan dan kelemahan

berbagai pendapat; menetapkan kredibilitas sumber informasi apakah layak rujuk atau

tidak; memutuskan apakah dua pernytaan saling berkontradiksi; memutuskan apakah

bukti yang diberikan mendukung kesimpulan. Selain itu, para ahli menambahkan

bahwa contoh kemampuan melakukan evaluasi antara lain adalah: mengetahui faktor

yang menjadikan seseorang layak atau kredibel untuk menulis atau menyampaikan

topik tertentu; menetapkan bahwa kesimpulan dari sebuah argumentasi diambil dari

premis yang dapat dipercaya; memutuskan kekuatan logika argumen berdasarkan

hipotesis; memutuskan apakah argumen yang diberikan relevan atau layak guna atau

memiliki implikasi bagi situasi tertentu.

- Inferensi adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dan memilih elemen yang

dibutuhkan untuk menyusun simpulan yang beralasan; untuk menduga dan

menegakkan diagnosis; untuk mempertimbangkan informasi apa sajakah yang

dibutuhkan dan untuk memutuskan konsekuensi apa yang harus diambil dari data,

informasi, pernyataan, kejadian, prinsip, opini, konsep dan lain sebagainya. Subskill

inferensi adalah mampu mengumpulkan bukti, menyampaikan berbagai alternatif, dan

membuat simpulan. Contoh kemampuan inferensi adalah: menggambarkan dan

mengkontruksi pemahaman dari sebuah bacaan; mengidentifikasi informasi dari

berbagai sumber yang dibutuhkan untuk memformulasi penyelesaian masalah; dan

lain sebagainya.

- Selain memiliki kemampuan untuk mengnterpretasi; menganalisis; mengevaluasi dan

menginferensi; seorang critical thinker juga harus dapat menjelaskan apa yang

difikirkannya serta bagaimana dan mengapa dia sampai pada keputusan tersebut.

Untuk itu, dia harus memiliki kemampuan untuk menjelaskan. Facione (2004)

menjelaskan bahwa kemampuan menjelaskan (explanation) ditunjukkan dengan

kemampuan menyatakan hasil pemikiran; menjelaskan penalarannya berdasarkan

pertimbangan bukti, konsep, metodologi, kriteriologi, dan konteks. Beberapa subskil

kemampuan menjelaskan adalah: mampu menyampaikan hasil; menjelaskan

prosedur; dan mempresentasikan argumen. Contoh kemampuan menjelaskan antara

lain adalah: menjelaskan standart dan faktor-faktor kontekstual yang dipergunakan

untuk menilai kualitas interpretasi seseorang atas artikel atau teks lain;

Page 5: clinical reasoning dlm critical thinking.pdf

menyampaikan simpulan penelitian dan menjelaskan metode dan kriteria yang

dipergunakan untuk mencapai simpulan tersebut; menjelaskan kriteria dan langkah

yang diambil dalam mengambil keputusan yang beralasan; dan lain sebagainya.

- Kemampuan terakhir yang sangat penting untuk dimiliki oleh seorang critical thinker,

yang menjadikannya tumbuh dan berkembang menjadi pemikir yang baik dan

memungkinkan pemikirannya selalu berkembang adalah self regulation atau

kemampuan untuk mengatur diri dalam berfikir. Sebagian orang menyebut

kemampuan ini sebagai meta-cognition, akan tetapi menurut Facione (2004) ada

bagian yang tidak tercover oleh meta-cognition, yakni bahwa apa yang dilakukan oleh

seorang dengan kemampuan self-regulation adalah selalu melihat ulang pada seluruh

dimensi critical thinking yang dilakukannya dan mengeceknya berulang kali atas apa

yang dilakukannya pada keseluruhan kegiatan critical thinking-nya tersebut. Dengan

self regulation, seorang crtical thinker dapat memonitor dan memperbaiki interpretasi

serta keputusan yang diambilnya; meriview dan memformulasi ulang penjelasan yang

telah diberikan terhadap keputusan yang pernah diambilnya. Secara sederhana, para

ahli mendefinisikan self regulation sebagai kesadaran untuk memonitor akivitas

kognitif seseorang. Bahkan dengan self regulation, seseorang dapat mengevaluasi dan

memperbaiki kemampuannya untuk mengevaluasi dan memperbaiki keputusan

sebelumnya.

Ciri – ciri berpikir kritis

Carrol (2004) dan Facione (1996, 2004) menyimpulkan beberapa ciri-ciri critical

thinker yang ideal yaitu: “ terbiasa ingin tahu, banyak pengetahuan, menyampaikan

alasan yang terpercaya, tanpa prasangka , fleksibel dalam mempertimbangkan berbagai

alternatif dan pendapat , berpandangan terbuka di dalam megevaluasi, jujur di dalam

menghadapi bias pribadi, bijaksana di dalam membuat penilaian, berkeinginan

mempertimbangkan kembali pendapatnya dan pandangannya ketika refleksi yang

dilakukannya dengan jujur mengharuskannya untuk merubah pandangannya tersebut,

bersih dari isu-isu, rapi di dalam hal yang rumit, rajin di dalam mencari informasi terkait,

layak di dalam pemilihan ukuran-ukuran, fokus di dalam pemeriksaan.

Page 6: clinical reasoning dlm critical thinking.pdf

Ada beberapa hal yang harus dilakukan agar seseorang dapat melakukan kegiatan

crtitical thinking. Facione (2004) menyarankan enam langkah berfikir efektif dan

problem solving, yakni:

Mengidentifikasi masalah

Menentukan konteks

Mementukan pilihan penyelesaian

Menganalisis pilihan tersebut hingga ditentukan pilihan terbaik

Menyusun alasan secara eksplisit

Mengevaluasi langkah yang telah diambil dan proses berfikir yang dilakukan.

Critical thinking adalah adalah kemampuan yang sangat diperlukan dalam dunia

kerja. Oleh karena itu, critical thinking ditetapkan sebagai keterampilan generik yang

harus dimiliki oleh kalangan terpelajar, termasuk dokter. Dalam menjalankan tugasnya,

menyelesaikan masalah kesehatan pasiennya dengan menggunakan clinical reasoning,

sudah semestinya dokter menerapkan langkah-langkah dan mengoptimalisasikan

kemampuan criticak thinkingnya. Namun, bagaimanakah konsep clinical reasoning yang

umum dipergunakan dokter dalam menyelesaikan masalah pasien, dan sudahkah kegiatan

clinical reasoning yang dilakukan dokter benar-benar menerapkan konsep critical

thinking di atas?

Clinical reasoning dan analisisnya dari sudut pandang critical thinking

Dalam menjalankan praktek kedokteran, dokter diharuskan selalu melakukan

clinical reasoning. Groves dkk. (2002) mengambil pendapat Newble menjelaskan bahwa

clinical reasoning adalah proses kognitif yang terjadi ketika berbagai informasi yang

diperoleh dokter baik melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik atau melalui kasus klinik

yang diberikan pada mahasiswa kedokteran disintesis dan diintegrasikan dengan

penegtahuan dan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya oleh dokter dan mahasiswa

tersebut yang kemudian dipergunakan untuk mendiagnosis dan menatalaksana masalah

pasien.

Karena merupakan proses kognitif, maka proses reasoning sangat dipengaruhi

oleh proses berfikir manusia yang cenderung untuk: (i) terburu-buru sehingga sering

Page 7: clinical reasoning dlm critical thinking.pdf

tidak dilakukan evaluasi yang mendalam terhadap berbagai alternatif (ii) dangkal,

sehingga gagal untuk menantang asumsi dan mempertimbangkan pandangan orang lain

(iii) kabur, tidak jelas (iv) dan tak terorganisir. Akibatnya, wajar jika pada umumnya kita

selalu mencari jalan pintas penyelesaian masalah. Cognitive bias juga mempengaruhi

praktek dokter, salah satunya adalah confirmation bias, yakni banyaknya waktu yang

dipergunakan untuk mengkonfirmasi atau mecari pembenar atas hipotesis yang

dibuatnya, dan bukan mengevaluasi ketepatan atau mencari kelemahan hipotesisnya.

Untuk mengatasi bias kognitif tersebut, Kee dan Bickle (2004) mengutip pendapat Roy

Poses, menyarankan agar: (i) meminta feedback atas proses pengambilan keputusan dan

keputusan yang dihasilkan (ii) membuat akuntabilitas dan justifikasi yang jelas untuk

menetapkan keputusan (iii) perlu menfokuskan diri untuk mencari hipotesis alternatif.

Selain itu, hal lain yang perlu diperhatikan dalam clinical reasoning terkait dengan proses

cognitive adalah: hindari bias persepsi dengan menata ulang masalah, cari penjelasan dari

berbagai referensi, dan biasakan untuk membuang informasi yang tidak berguna.

Clinical reasoning biasa dibagi menjadi forward dan backward clinical reasoning

(Patel dkk. dalam Beullens dkk. 2005). Forward clinical reasoning adalah proses untuk

menetapkan hipotesis berdasarkan data yang ada. Sedangkan backward clinical

reeasoning adalah mengungkapkan data berdasarkan hipotesis. Sebagai contoh, jika

seorang dokter menyatakan bahwa pasien ini mempunyai gula darah yang tinggi melebihi

normal, dan menarik hipotesis bahwa pasien menderita diabetes, maka dapat dikatakan

bahwa dokter tersebut melakukan forward reasoning. Sedangkan jika dokter menyakatan

karena pasien menderita diabetes, maka pasien memiliki gula darah yang tinggi melebihi

normal.

Ditinjau dari konsep critical thinking, maka forward clinical reasoning lebih

menerapkan konsep critical thinking. Dalam menegakkan diagnosis atau hipotesis, paling

tidak langkah yang dilakukannya adalah menginterpretasi, menganalisis, dan

mengevaluasi data (sign, symptoms dan pemeriksaan penunjang) kemudian melakukan

inferensi dengan mengambil keputusan diagnosis. Interpretasi dilakukan dengan

mengumpulkan dan memahami informasi tersebut, melalui kegiatan anamnesis dan

pemeriksaan fisisk; analisis dilakukan dengan menghubungkan sign, symptoms dan hasil

pemeriksaan penunjang dengan kemungkinan diagnosis; evaluasi dilakukan dengan

Page 8: clinical reasoning dlm critical thinking.pdf

mengevaluasi pilihan-pilihan diagnosis yang ditetapkan berdasarkan teori yang dimiliki,

dan inferensi dilakukan dengan memilih informasi penting yang telah dimilikinya

(berupa ilmu pengetahuan dan kondisi pasien) yang dipergunakan untuk menyelesaikan

masalah dan mengambil keputusan, serta membuat simpulan keputusan (yakni diagnosis

dan managemen penyakit pasiennya). Jika proses tersebut dilanjutkan dengan

memberikan penjelasan kepada pasien tentang logika hasil diagnosisnya dan logika

managemen yang akan diterapkannya, maka dokter telah menerapkan kemampuan

’menjelaskan’, salah satu kemampuan critical thinker. Selanjutnya, setelah itu, jika

dokter tetap melakukan evaluasi dan memonitor seluruh kegiatan fikir yang dilakukannya

dalam mengambil keputusan, maka dokter tersebut telah melakukan self regulation.

Sedangkan backward clinical reasoning menerapkan metode berfikir terbalik,

karena memulai pemikiran dari hipotesisnya dahulu, baru mengumpulkan bukti-bukti

tanda dan gejala penyakit pasien. Langkah ini bisa saja dilakukan, akan tetapi karena

tidak didasarkan pada telaah bukti (tanda dan gejala serta pemeriksaan penunjang) maka

hipotesis atau diagnosis yang diambil bisa saja keliru. Hasil riset yang dilakukan oleh

Beullens dkk (2005) menunjukkan bahwa clinical reasoning dengan menggunakan

metode forward lebih besar akurasinya dibanding dengan backward. Selain itu, metode

forward lebih banyak dipergunakan oleh ekspert, sedangkan backward lebih sering

dipergunakan oleh pemula. Akan tetapi, riset yang dilakukan oleh Eva yang dikutip oleh

Norman (2005) menunjukkan bahwa pada kasus yang berbeda (yakni mendiagnosis

ECG) tidak ada beda antara keakurasian penggunaan forward dan backward, bahkan

metode yang paling baik dipergunakan adalah metode gabungan, dengan dimulai dari

backward. Oleh karena itu, akhirnya disimpulkan bahwa konten dan konteks sangat

mempengaruhi akurasi diagnosis. Untuk diagnosis penyakit secara umum, metode

forward lebih tepat diterapkan.

Akan tetapi, secara tradisionil metode clinical reasoning yang dilakukan dan

diajarkan kepada para dokter adalah dengan hanya menghubungkan antara sign dan

symptom. Sebagai contoh, pada umumnya sesak merupakan gejala dari pneumonia dan

keluarnya darah merupakan gejala dari Pulmonary Thrombo Embolism (PTE). Pada

kasus di atas, gejala tambahan seperti serak, nausea dan mutah-mutah menunjukkan

diagnosis ke arah pneumonia, sedangkan tambahan gejala seperti batuk darah

Page 9: clinical reasoning dlm critical thinking.pdf

menunjukkan terjadinya PTE. Model clinical reasoning yang menggunakan teorema

Bayes mewakili bentuk penalaran seperti ini. Secara sederhana, model penalaran Bayes

ini meyakini bahwa dokter pada umumnya memiliki kemampuan untuk memperkirakan

diagnosis yang akan ditegakkan dan kemungkinan kondisi yang menghubungkan bukti

(tanda dan gejala serta tes diagnostik) dengan diagnosis tersebut.

Bentuk clinical reasoning sering juga dibedakan menjadi analitical dan non

analitical clinical reasoning (Eva, 2004). Proses analitic adalah kegiatan penalaran

dengan melakukan analisis yang sangat berhati-hati untuk mengetahui hubungan antara

tanda dan keluhan dengan diagnosis yang ditetapkan. Berikut adalah diagram proses

analitik dalam clinical reasoning.

Gambar 1. metode clinical reasoning analitik

Tanda klinik diwakili huruf (A,B,C) diagnosis diwakili dengan angka (Dx 1, Dx 2, Dx 3).

Tingkat kemungkinan tanda tersebut menunjuk pada diagnosis tertentu, ditentukan oleh

ketebalan panah. Pr menunjukkan kemungkinan atau probabilitas dipilihnya diagnosis

tertentu. Dari gambar tersebut diketahui bahwa tanda A sangat mungkin menunjukkan

diagnosis 1 (anak panah dari A ke Dx1 tebal) dan B juga menunjuk ke diagnosis 1 (anak

panah dari B ke Dx1 tebal) maka probabilitas diagnosis yang dipilih adalah yang Pr

(Dx1). Demikian juga untuk pilihan diagnosis ke dua. Jadi, pada clinical reasoning yang

analitik, hal utama yang harus difahami oleh dokter adalah hubungan sebab akibat yang

menghubungkan antara tanda atau gejala dengan diagnosisnya.

Selanjutnya Eva (2004) menjelaskan bahwa non analitic-clinical reasoning adalah

clinical reasoning yang tidak membutuhkan penalaran sama sekali, dan biasa disebut

dengan pattern recognition (pengenalan tanda). Berikut adalah gambar diagram yang

menunjukkan proses clinical reasoning yang tidak analitik.

Page 10: clinical reasoning dlm critical thinking.pdf

Gambar 2. Metode clinical reasoning non analitik

Dengan mengetahui adanya tanda atau gejala A, B, C, D dan ketika tanda A, B,D, F

muncul bersamaan diketahui sebelumnya sebagai penyakit 1, maka diagnosis yang

ditegakkan adalah Pr (Dx1). Jadi, proses clinical reasoning yang non-analitic sangat

tergantung dari pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya. Dengan menggunakan

pengalaman masa lalu maka ketika menemukan gejala yang sama dengan yang

ditemukannya pada masa lalu, dokter melakukan clinical reasoning non analitik dengan

mengambil keputusan yang sama dengan yang diambilnya dahulu.

Saya sepakat dengan pernyataan Norman (2005) yang menyatakan bahwa langkah

clinical reasoning yang dilakukan dengan metode tradisional, Bayesian, analitic dan non

analitic -- dengan pattern recognition (pengenalan tanda) dan schema inductionnya,

bukan merupakan kegiatan ’problem solving’ dan ’reasoning’. Proses critical thinking

tidak diterapkan dalam clinical reasoning dengan menggunakan metode tersebut.

Sepanjang dokter hafal dan memiliki pengalaman mengenai tanda dan gejala serta

kemungkinan diagnosisnya, maka diagnosis dapat diputuskan. Kee dan Bickle (2005)

juga menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh para dokter bukan lagi problem solving,

karena mereka hanya mengingat jalan keluar dari pemecahan masalah yang pernah

dilakukan sebelumnya. Menurutnya, ada tiga jenis clinical reasoning, yakni: (i)

probabilistik, yakni ketika dokter mampu untuk mengapresiasi informasi dalam bentuk

tanda dan gejala (ii) causal, yang membutuhkan pemahaman anatomik dan proses

fisiologi (iii) rule based, yang membutuhkan pattern recognition atau pengenalan tanda

untuk memutuskan diagnosis. Meskipun menurutnya penggunaan metode tersebut sangat

tergantung pada kepentingan masalah yang akan diselesaikan, namun, yang perlu diingat

bahwa seorang ahli tidak akan banyak memutuskan masalah jika hanya dengan

Page 11: clinical reasoning dlm critical thinking.pdf

mendasarkan pada penyelesaian sebelumnya, karena setiap pasien dan masalahnya

memiliki karakteristik masing-masing yang unik dan khas, sehingga harus

dipertimbangkannya secara menyeluruh. Inilah salah satu hal yang menjadi alasan

mengapa berfikir kritis harus diterapkan dalam clinical reasoning. Namun sayangnya,

pattern recognition adalah cara umum yang dipergunakan oleh praktek dokter saat ini.

Semakin berpengalaman seorang dokter, maka metode inilah yang sering dipakai.

Rutinitas kegiatan problem solving yang kreatif, yang dilakukan sejak pemula, membuat

dokter yang sudah ahli dan berpengalaman menggunakan metode pattern recognition ini.

Oleh karena itu, mengapa Norman memaklumi diterapkannya metode ini oleh para ahli.

Namun bagi para pemula, tetap kegiatan problem solving yang kreatif harus diajarkan

dan dilakukan, bahkan diuji. Semakin banyak kasus yang dipelajari dan diselesaikan oleh

pemula, kesempatan menjadi ekspert akan terbuka. Pada saat itulah dia akan dengan

sendirinya menggunakan clinical reasoning biasa, bukan problem solving (Norman

2004).

Memang bisa dimaklumi jika banyaknya pasien yang harus ditangani

mengharuskan dokter menerapkan metode ini. Akan tetapi, jika dilihat dari sisi

kemungkinan kesalahan dalam penegakkan diagnosis jika tidak dilakukan dengan

langkah critical thinking, maka dokter patut berhati-hati dan berfikir ulang untuk

menggunakan pattern recognition. Selain itu, kondisi pasien dengan seluruh latar

belakang baik sosial budaya dan keluarga selain kondisi fisiknya yang berbeda antara

satu dengan yang lain juga patut menjadi perhatian dokter dalam memutuskan masalah.

Penutup

Proses clinical reasoning jika dilakukan dengan benar pasti akan menerapkan

prinsip-prinsip critical thinking. Namun, yang menjadi permasalahan adalah dokter

cenderung menggunakan cara praktis dan heuristic, seperti pattern recognition dalam

menegakkan diagnosis pasien.

Sudah saatnya dokter memikirkan untuk menerapkan konsep critical thnking

dalam kegiatan clinical reasoningnya, bukan hanya berfikir praktis, dengan hanya

mendasarkan pada pattern recognition dan pengalaman masa lalu. Proses berfikir yang

benar dalam menyelesaikan masalah harus diajarkan kepada siswa, bahkan jika perlu

Page 12: clinical reasoning dlm critical thinking.pdf

harus menjadi bagian metode pembelajaran yang selalu dilakukan oleh siswa dalam

kegiatan pembelajarannya.

DAFTAR PUSTAKA

Beullens, J, Struyf and Van Damme, B. 2005. Do extended mathcing multiple choice

questions measure clinical reasoning? Medical Education, 39:410-417

Carrol, Robert T. 2004. Critical thinking. Becoming a Critical Thinker.

Eva KW. 2004. What every teacher needs to know about clinical reasoning. Medical

Education, 39, 98-106.

Facione NC, Facione PA. 1996. Externalizing the critical thinking in knowledge

development and clinical judgment. Nursing Outlook, 44, 129-36.

Facione NC.2004. Critical Thinking what it is and why it counts. California Academic

Press.

Fisher, Alec, 2001, Critical Thinking an Introduction, UK: Cambridge University Press.

Groves, M, Scott, I, Alexander, H. 2002. Assessing clinical reasoning: a method to

monitor its development in a PBL curriculum, Medical Teacher, vol 24, No.

5. 507 -515

Kee, F dan Bickle I. 2004. Critical thinking and Critical Appraisal: the chicken and the

Egg? QMJ, 97, 609-614

Norman, G. 2005. Research in clinical reasoning: past history and current trends, Medical

Education, 39, 418-427

Schafersman, Steven D. 1991. An Introduction to critical thinking.