chapter ii stroke iskemik

24
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. STROKE ISKEMIK 1.1 Definisi Stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global), dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa ada penyebab lain yang jelas selain vaskuler (PERDOSSI, 1999 ; Gofir, 2009). Definisi ini mencakup stroke akibat infark otak (stroke iskemik), perdarahan intraserebral (PIS) non traumatik, perdarahan intraventrikuler dan beberapa kasus perdarahan subarakhnoid (PSA) (Gofir, 2009). Stroke iskemik adalah tanda klinis disfungsi atau kerusakan jaringan otak yang disebabkan kurangnya aliran darah ke otak sehingga mengganggu kebutuhan darah dan oksigen di jaringan otak (Sjahrir, 2003) 1.2 Epidemiologi Insidens terjadinya stroke di Amerika Serikat lebih dari 700.000 orang per tahun, dimana 20% darinya akan mati pada tahun pertama. Jumlah ini akan meningkat menjadi 1 juta per tahun pada tahun 2050. Secara internasional insidens global dari stroke tidak diketahui (Becker, dkk, 2010). Universitas Sumatera Utara

Upload: mutamamin-ula

Post on 31-Jan-2016

228 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

treatment

TRANSCRIPT

Page 1: Chapter II Stroke Iskemik

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. STROKE ISKEMIK

1.1 Definisi

Stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat

gangguan fungsi otak fokal (atau global), dengan gejala-gejala yang

berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa

ada penyebab lain yang jelas selain vaskuler (PERDOSSI, 1999 ; Gofir,

2009). Definisi ini mencakup stroke akibat infark otak (stroke iskemik),

perdarahan intraserebral (PIS) non traumatik, perdarahan intraventrikuler dan

beberapa kasus perdarahan subarakhnoid (PSA) (Gofir, 2009).

Stroke iskemik adalah tanda klinis disfungsi atau kerusakan jaringan

otak yang disebabkan kurangnya aliran darah ke otak sehingga mengganggu

kebutuhan darah dan oksigen di jaringan otak (Sjahrir, 2003)

1.2 Epidemiologi

Insidens terjadinya stroke di Amerika Serikat lebih dari 700.000 orang per

tahun, dimana 20% darinya akan mati pada tahun pertama. Jumlah ini akan

meningkat menjadi 1 juta per tahun pada tahun 2050. Secara internasional

insidens global dari stroke tidak diketahui (Becker, dkk, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Chapter II Stroke Iskemik

Di Indonesia, data nasional epidemiologi stroke belum ada. Tetapi dari

data sporadik di rumah sakit terlihat adanya tren kenaikan angka morbiditas

stroke, yang seiring dengan semakin panjangnya life expentancy dan gaya

hidup yang berubah (Modul Neurovaskular PERDOSSI, 2009)

Dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga di Indonesia dilaporkan

bahwa proporsi stroke di rumah sakit antara tahun 1984 sampai dengan

tahun 1986 meningkat, yaitu 0,72 per 100 penderita pada tahun 1984 dan

naik menjadi 0,89 per 100 penderita pada tahun 1985 dan 0,96 per 100

penderita pada tahun 1986. Sedangkan di Jogyakarta pada penelitian

Lamsudin dkk (1998) dilaporkan bahwa proporsi morbiditas stroke di rumah

sakit di Jogyakarta tahun 1991 menunjukkan kecendrungan meningkat

hampir 2 kali lipat (1,79 per 100 penderita) dibandingkan dengan laporan

penelitian sebelumnya pada tahun 1989 (0,96 per 100 penderita) (Sjahrir,

2003).

Dari studi rumah sakit yang dilakukan di Medan pada tahun 2001,

ternyata pada 12 rumah sakit di Medan dirawat 1263 kasus stroke terdiri dari

821 stroke iskemik dan 442 stroke hemoragik, dimana meninggal 201 orang

(15,91%) terdiri dari 98 (11,93%) stroke iskemik dan 103 (23,30%) stroke

hemoragik. (Nasution, 2007)

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Chapter II Stroke Iskemik

1.3 Faktor Risiko

Penelitian prospektif stroke telah mengidentifikasi berbagai faktor-

faktor yang dipertimbangkan sebagai risiko yang kuat terhadap timbulnya

stroke. Faktor risiko timbulnya stroke : (Sjahrir, 2003 ; Nasution, 2007 ;

Howard, dkk, 2009).

1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi :

a. Umur

b. Jenis kelamin

c. Ras dan suku bangsa

d. Faktor turunan

e. Berat badan lahir rendah

2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi

a. Prilaku:

1. Merokok

2. Diet tidak sehat: lemak, garam berlebihan, asam urat, kolesterol,

kurang buah

3. Alkoholik

4. Obat-obatan: narkoba (kokain), anti koagulansia, antim platelet,

amfetamin, pil kontrasepsi

5. Kurang gerak badan

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Chapter II Stroke Iskemik

b. Fisiologis

1. Penyakit hipertensi

2. Penyakit jantung

3. Diabetes mellitus

4. Infeksi/lues, arthritis, traumatik, AIDS, lupus

5. Gangguan ginjal

6. Kegemukan (obesitas)

7. Polisitemia, viskositas darah meninggi & penyakit perdarahan

8. Kelainan anatomi pembuluh darah

9. Stenosis karotis asimtomatik

1.4 Klasifikasi

Dasar klasifikasi yang berbeda – beda diperlukan, sebab setiap jenis

stroke mempunyai cara pengobatan, pencegahan dan prognosa yang

berbeda, walaupun patogenesisnya sama (Misbach,1999)

I. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya :

1. Stroke iskemik

a. Transient Ischemic Attack (TIA)

b. Thrombosis serebri

c. Embolia serebri

2. Stroke Hemoragik

a. Perdarahan intraserebral

b. Perdarahan subarachnoid

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Chapter II Stroke Iskemik

II. Berdasarkan stadium / pertimbangan waktu

1. Transient Ischemic Attack (TIA)

2. Stroke in evolution

3. Completed stroke

III. Berdasarkan jenis tipe pembuluh darah

1. Sistem karotis

2. Sistem vertebrobasiler

IV. Berdasarkan tipe infark (Sjahrir, 2003) :

1. Total Anterior Circulation Infarction

2. Partial Anterior Circulation Infarction

3. Posterior Circulation Infarction

4. Lacunar Infarction

V. Klasifikasi Stroke Iskemik berdasarkan kriteria kelompok peneliti TOAST

(Adams, dkk, 1993 ; Sjahrir, 2003)

1. Aterosklerosis arteri besar (Embolus/ Trombosis)

2. Kardioembolisme (Risiko Tinggi/ Risiko Sedang)

3. Oklusi pembuluh darah kecil (Lakunar)

4. Stroke akibat dari penyebab lain yang menetukan

5. Stroke akibat dari penyebab lain yang tak dapat ditentukan:

a. Dua atau lebih penyebab teridentifikasi

b. Tidak ada evaluasi

c. Evaluasi tidak lengkap

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Chapter II Stroke Iskemik

1.5 Patofisiologi

Pada level makroskopik, stroke iskemik paling sering disebabkan oleh

emboli dari ekstrakranial atau trombosis di intrakranial, tetapi dapat juga

disebabkan oleh berkurangnya aliran darah otak. Pada level seluler, setiap

proses yang mengganggu aliran darah ke otak dapat mencetuskan suatu

kaskade iskemik, yang akan mengakibatkan kematian sel-sel otak dan infark

otak (Becker, dkk, 2010).

Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti

(core) dengan tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini

akan menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Di luar

daerah core iskemik terdapat daerah penumbra iskemik. Sel – sel otak dan

jaringan pendukungnya belum mati akan tetapi sangat berkurang fungsi –

fungsinya dan menyebabkan juga defisit neurologis. Tingkat iskemiknya

makin ke perifer makin ringan. Daerah penumbra iskemik, di luarnya dapat

dikelilingi oleh suatu daerah hiperemik akibat adanya aliran darah kolateral

(luxury perfusion area). Daerah penumbra iskemik inilah yang menjadi

sasaran terapi stroke iskemik akut supaya dapat direperfusi dan sel-sel otak

berfungsi kembali. Reversibilitas tergantung pada faktor waktu dan jika tidak

terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat berangsur-angsur mengalami

kematian (Misbach, 2007) .

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Chapter II Stroke Iskemik

Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara

bertahap, yaitu (Sjahrir, 2003):

Tahap 1 :

a. Penurunan aliran darah

b. Pengurangan O2

c. Kegagalan energi

d. Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostasis ion

Tahap 2 :

a. Eksitoksisitas dan kegagalan homeostasis ion

b. Spreading depression

Tahap 3 : Inflamasi

Tahap 4 : Apoptosis

2. SUHU TUBUH NORMAL

2.1. Suhu inti dan suhu kulit.

Suhu dari jaringan dalam tubuh (inti/ “core” dari tubuh) bertahan dalam

rentang yang stabil 37 ± 0,6 0C, kecuali dalam keadaan demam. Suhu kulit,

berlawanan dengan suhu inti, naik dan turun mengikuti suhu lingkungan.

(Guyton, dkk, 2006)

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Chapter II Stroke Iskemik

2.2. Suhu inti yang normal.

Tidak ada satu ketetapan tentang suhu inti yang normal, karena

pengukuran pada banyak orang sehat menunjukkan rentang suhu normal.

Rata-rata suhu inti normal secara umum antara 36,6 0C sampai 37 0C jika

diukur secara oral dan lebih tinggi 10C jika diukur secara rektal. Suhu tubuh

meningkat selama latihan dan berubah-ubah pada suhu lingkungan yang

ekstrim. Saat produksi panas berlebih-lebihan dalam tubuh karena latihan

yang berat, suhu dapat meningkat secara temporer mencapai 380C sampai

40 0C. Saat tubuh terpapar dengan dingin yang ekstrim, suhu dapat turun

sampai di bawah 35,5 0C. (Guyton, dkk, 2006)

Gambar 1. Perkiraan Rentang Suhu Inti Tubuh Pada Orang Normal. Dikutip dari: Guyton AC and Hall JE. Body Temperature, Temperature Regulation, and Fever. In: Schmitt W and

Gruliow R (Ed.). Medical physiology guyton and hall 11th edition. Mississippi: Elsevier Saunders, 2006. p: 889 – 901.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Chapter II Stroke Iskemik

2.3. Pengaturan Suhu Tubuh Oleh Hipotalamus.

Suhu tubuh dikontrol oleh hipotalamus. Sel-sel saraf baik yang berada

di preoptik hipotalamus anterior dan hipotalamus posterior menerima 2

macam sinyal: yang pertama dari nervus perifer yang merefleksikan reseptor

panas/ dingin dan yang lain dari darah yang mengaliri daerah hipotalamus

tersebut. Kedua tipe sinyal ini diintgrasikan oleh pusat termoregulator dari

hipotalamus untuk menjaga suhu tubuh tetap normal. Pada tubuh yang sehat,

suhu tubuh tetap stabil karena pusat termoregulator dari hipotalamus

menyeimbangkan produksi panas (yang diperoleh dari aktifitas metabolik

dalam otot dan liver) dengan pelepasan panas (dari kulit dan paru-paru).

(Dinarello, dkk, 2005)

Suhu tubuh dikendalikan hampir sepenuhnya oleh mekanisme nervous

feedbeck dan hampir semuanya dilakukan melalui pusat pengaturan suhu

yang terletak di hipotalamus. Area preoptik-hipotalamus anterior ini terdiri dari

sejumlah besar sel-sel saraf yang sensitif terhadap panas dan sepertiganya

terdiri dari sel-sel saraf yang sensitif terhadap dingin. Sel-sel saraf ini

berfungsi sebagai sensor suhu dalam mengontrol suhu tubuh. Saat area

preoptik tersebut dirangsang panas, kulit pada seluruh tubuh akan

mengeluarkan keringat yang banyak, sementara pembuluh darah pada kulit

akan berdilatasi. Hal ini sebagai reaksi cepat agar tubuh dapat melepaskan

panas, sehingga membantu mengembalikan suhu tubuh ke normal. Sebagai

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Chapter II Stroke Iskemik

tambahan, tubuh juga akan menghambat produksi panas yang berlebihan

(Guyton, dkk, 2006). Penurunan suhu tubuh menyebabkan vasokonstriksi

pembuluh darah (untuk menyimpan panas) dan menggigil (untuk

menghasilkan panas). (Waxman, 2010).

Meskipun pengaturan hipotalamus terhadap suhu tubuh sangat

berpengaruh, namun reseptor lain juga berperan dalam pengaturan suhu

tubuh (yaitu reseptor yang ada di kulit dan jaringan dalam tubuh). Reseptor di

kulit untuk dingin 10 kali lebih banyak daripada reseptor panas, sehingga

lebih peka terhadap suhu dingin daripada panas. Saat kulit di seluruh tubuh

dirangsang dingin, maka akan terjadi respon untuk meningkatkan suhu tubuh

berupa menggigil, mengurangi produksi keringat dan vasokontriksi pembuluh

darah kulit. Reseptor di jaringan dalam tubuh terutama terdapat di medulla

spinalis, organ-organ visera abdomen dan vena-vena besar dalam abdomen

bagian atas dan toraks. Reseptor ini juga lebih peka terhadap dingin daripada

panas. Kepekaan yang lebih terhadap dingin tersebut mungkin untuk

mencegah agar tubuh tidak hipotermia (Guyton, dkk, 2006).

Meskipun sinyal sensorik banyak datangnya dari reseptor di perifer,

namun sinyal-sinyal itu akan mempengaruhi suhu tubuh melalui pengaturan

hipotalamus. Area yang distimulasi oleh sinyal-sinyal itu terletak bilateral di

hipotalamus posterior, setentang dengan mammilary body. Sinyal-sinyal

sensorik dari preoptik-hipotalamus anterior juga ditransmisikan ke area

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Chapter II Stroke Iskemik

hipotalamus posterior. Di sinilah sinyal-sinyal itu semua diintegrasikan untuk

mengontrol produksi dan penyimpanan panas dari tubuh (Guyton, dkk, 2006).

Gambar 2. Bagian-bagian dari Hipotalamus. Dikutip dari: Rohkamm R. Color Atlas of Neurology. Germany: Thieme Varlag, 2004. hal: 143

3. DEMAM PADA STROKE ISKEMIK

Demam merupakan peningkatan suhu tubuh di atas rentang yang

normal, yang dapat disebabkan oleh abnormalitas dari otak itu sendiri atau

substansi toksik yang mempengaruhi pusat pengaturan suhu (Guyton, dkk,

2006).

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Chapter II Stroke Iskemik

Demam pada pasien stroke akut merupakan hal yang biasa terjadi dan

kebanyakan disebabkan oleh infeksi. Penelitian Georgilis, dkk tahun 1999

mendapatkan dari 330 pasien stroke akut 37,6% ditemukan demam, 22,7%

disebabkan oleh infeksi dan 14,8% tanpa adanya infeksi . Pada beberapa

kasus, fokus infeksinya tidak dapat ditemukan, demam tersebut tidak respon

dengan terapi antibiotik empiris dan diperkirakan disebabkan lesi pada

susunan saraf pusat. Pada pasien dengan demam tanpa fokus infeksi,

karakteristik satu-satunya yang membedakan dengan adanya infeksi adalah

onset demam yang segera. (Georgilis, dkk, 1999).

Banyak protein, produk sisa dari protein dan substansi-substansi lain,

terutama toksin lipopolisakarida yang dilepaskan dari membrane sel bakteri

dapat menyebabkan set-point dari thermostat hipotalamus meningkat.

Substansi yang menyebabkan efek ini disebut pirogen. Pirogen dilepaskan

dari toksin bakteri atau dari jaringan tubuh yang mengalami degenerasi. Saat

set-point dari pusat pengaturan suhu di hipotalamus meningkat dari normal,

semua mekanisme untuk meningkatkan suhu tubuh akan berjalan, meliputi

penyimpanan suhu dan peningkatan produksi panas. Dalam beberapa jam

setelah set-point meningkat, suhu tubuh juga akan mencapai level tersebut

(Guyton, dkk, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Chapter II Stroke Iskemik

Gambar 3. Efek Perubahan Set-Point dari Pengaturan Suhu di Hipotalamus. Dikutip dari: Guyton AC and Hall JE. Body Temperature, Temperature Regulation, and Fever. In: Schmitt W and Gruliow R (Ed.). Medical physiology guyton and hall 11th edition. Mississippi: Elsevier

Saunders, 2006. p: 889 – 901.

Sitokin merupakan molekul protein kecil (10.000 – 20.000 Da) yang

mengatur imunitas, inflamasi dan proses hematopoesis. Beberapa sitokin

yang dapat menyebabkan demam disebut sitokin pirogenik (IL-1, IL-6 dan

TNF). Beberapa tipe sel (monosit/makrofag, sel endothelial, dan lain-lain)

dapat memproduksi sitokin pirogenik, yang kemudian akan memasuki

sirkulasi sistemik. Meskipun efek sistemik dari sitokin yang bersirkulasi dapat

menyebabkan demam dengan menginduksi sintesis PGE2, sitokin itu juga

dapat menginduksi PGE2 di jaringan perifer. Peningkatan kadar PGE2 di

perifer ini akan menyebabkan mialgia dan atralgia yang sering bersamaan

dengan demam. Namun demikian, induksi PGE2 di otaklah yang memulai

proses peningkatan set-point di hipotalamus.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Chapter II Stroke Iskemik

Ada 4 reseptor dari PGE2, dan reseptor yang ke 3 lah yang berperan

pada terjadinya demam. Meskipun PGE2 penting pada proses terjadinya

demam, tapi PGE2 bukanlah neurotransmitter. Adapun demikian, pelepasan

PGE2 dari endotelium hipotalamus akan merangsang reseptor PGE2 di sel

glial dan hal ini akan menyebabkan pelepasan yang cepat dari cyclic

adenosine 5 - monophosphate (cyclic AMP), yang merupakan

neurotransmitter. Cyclic AMP ini akan menyebabkan peningkatan

termoregulator set-point di hipotalamus.

Perangsangan langsung terhadap hipotalamus oleh toksin mikroba juga

dapat terjadi. Endotoksin yang dihasilkan oleh bakteri gram negative dan

asam teichoic dari bakteri gram positif akan merangsang reseptor yang ada

di endothelium hipotalamus (disebut reseptor Toll-like). Aktifasi langsung

reseptor Toll-like ini akan menyebabkan produksi PGE2 dan demam

(Dinarello, dkk, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Chapter II Stroke Iskemik

Gambar 4. Kronologis Kejadian Yang Diperlukan Untuk Menginduksi Demam. Dikutip dari: Dinarello CA, Gelfand JA. Fever and Hyperthermia. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL and Jameson JL (Ed.). Harrison’s principles of internal medicine. New York: McGraw-Hill, 2005. p: 106.

Disfungsi dari regio preoptik hipotalamus anterior (misalnya karena

cedera kepala atau perdarahan) dapat menyebabkan central / neurogenic /

hypothalamic fever (Baehr dkk, 2005). Mekanisme perdarahan

intraventrikuler dapat mengganggu fungsi hipotalamus dan menyebabkan

demam sentral diperkirakan akibat kerusakan langsung dari hemotoksik pada

thermoregulatory center. Perdarahan subarakhnoid dapat mengganggu

pengaturan suhu berhubungan dengan seringnya muncul cloth yang tebal di

sisterna supraselar atau gangguan mekanisme pelepasan panas

(Commichau dkk, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Chapter II Stroke Iskemik

4. PARASETAMOL(ASETAMINOFEN) DAN ASAM ASETIL SALISILAT

4.1. PARASETAMOL (ASETAMINOFEN)

Asetaminofen merupakan obat analgesik, antipiretik dan non

antiinflamasi. Fenasetin merupakan prodrug yang dapat dimetabolisme

menjadi asetaminofen.

4.1.1. Mekanisme kerja

Cyclooxigenase (COX), enzim yang mengkonversi asam

arakhidonat menjadi endoperoksida (precursor

prostaglandin) mempunyai setidaknya 2 isoform: COX-1 dan

COX-2. COX-1 terutama bekerja dalam sel-sel non inflamasi

sementara COX-2 bekerja dalam limfosit, sel

polimorfonuklear dan sel-sel inflamasi lainnya. Efek

antipiretik parasetamol ditimbulkan oleh gugus

aminobenzen, dimana obat ini bekerja dengan menghambat

enzim COX, terutama sangat selektif pada COX-2, dengan

demikian mengurangi jumlah prostaglandin E2 di susunan

saraf pusat, maka akan menurunkan set-point di pusat

pengaturan suhu di talamus. Obat ini bekerja sebagai

inhibitor yang lemah terhadap enzim COX-1 dan COX-2 di

jaringan perifer, yang menyebabkan tidak adanya efek

antiinflamasi, hal ini karena parasetamol hanya bekerja pada

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Chapter II Stroke Iskemik

lingkungan yang kadar peroksidnya rendah, sementara pada

lokasi inflamasi (yang biasanya di perifer) mengandung

banyak peroksid yang dihasilkan leukosit. Bukti-bukti lain

menunjukkan obat ini dapat menghambat enzim ketiga,

COX-3, di susunan saraf pusat. (Katzung, dkk, 2005;

Wilmana, dkk, 2007)

4.1.2. Efek

Merupakan analgesik dan antipiretik, tanpa efek

antiinflamasi dan antipletelet.

4.1.3. Farmakokinetik dan Penggunaan klinis

Asetaminofen efektif untuk indikasi yang sama pada dosis

intermediet dari asam asetil salisilat (efek analgesik dan

antipiretik: 300 – 2400 mg/ hari). Diserap dengan baik

secara oral dan dimetabolisme di hepar. Konsentrasi

tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam, dengan

masa paruh 2 – 3 jam pada orang dengan fungsi hati yang

normal, dan tidak dipengaruhi oleh penyakit pada ginjal.

Sebagian besar (80%) dikonjugasi dengan asam glukoronat

dan sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat. Tersebar di

seluruh cairan tubuh. Dalam plasma 25% terikat protein

plasma. Diekskresikan melalui ginjal, sebagian kecil sebagai

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Chapter II Stroke Iskemik

parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk

terkonjugasi. (Katzung, dkk, 2005 ; Wilmana PF, 2007)

4.1.4. Dosis

Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal berbentuk tablet

500 mg atau sirup yang mengandung 120 mg/ 5 ml. Dosis

parasetamol untuk dewasa 300 – 1000 mg per kali beri,

dengan dosis maksimum 4 gram per hari; untuk anak 6-12

tahun 150 – 300 mg/ kali dengan maksimum 1,2 gram/ hari.

Untuk anak 1-6 tahun: 60 – 120 mg/ kali dan bayi di bawah 1

tahun: 60 mg/ kali; pada keduanya diberikan maksimum 6

kali sehari (Wilmana PF, 2007).

4.1.5. Kontraindikasi

Parasetamol dikontraindikasikan pada pasien dengan

riwayat alergi terhadap obat ini. Perdarahan saluran cerna

(dosis besar (> 2000 mg/ hari)). Efek iritasi, erosi dan

perdarahan lambung tidak terlihat pada obat ini, demikian

juga gangguan pernafasan dan keseimbangan asam basa.

(Wilmana PF, 2007 ; García Rodríguez LA dan Hernández-

Díaz S, 2000).

Universitas Sumatera Utara

Page 19: Chapter II Stroke Iskemik

4.1.6. Toksisitas

Dalam dosis terapeutik, toksisitasnya pada kebanyakan

individu tidak ada. Namun pada pemakaian melebihi dosis

atau pasien dengan gangguan fungsi hepar yang berat, obat

ini merupakan hepatotoksin yang berbahaya (Katzung, dkk,

2005).

4.2. ASAM ASETIL SALISILAT

Asam asetil salisilat merupakan prototipe dari salisilat.

Selain sebagai prototipe, obat ini merupakan standar dalam

menilai efek obat sejenis (Katzung, dkk, 2005 ; Wilmana PF,

2007)

4.2.1. Mekanisme kerja

Asam asetil salisilat bekerja dengan menghambat kedua

bentuk isoform dari enzim COX dan makanya menurunkan

sintesis prostaglandin dan tromboksan dalam tubuh.

Perbedaan obat ini dengan obat anti inflamasi nonsteroid

yang lainnya ialah obat ini menghambat COX secara

irreversibel, sementara yang lainnya reversibel (Katzung,

dkk, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Page 20: Chapter II Stroke Iskemik

4.2.2. Efek

Derivat asam arakhidonat merupakan mediator yang penting

dari inflamasi, penghambat COX akan mengurangi

manifestasi dari inflamasi, meskipun tidak mempunyai efek

terhadap kerusakan jaringan yang mendasarinya atau reaksi

imunologis. Sintesis prostaglandin di susunan saraf pusat

yang distimulasi oleh pirogen, dihambat oleh obat ini

sehingga menurunkan demam (efek antipiretik). Mekanisme

analgesik obat ini belum sepenuhnya dipahami. Aktifasi

sensor nyeri di perifer mungkin berkurang sebagai akibat

penurunan produksi prostaglandin di jaringan yang cedera.

Obat ini juga mengganggu fungsi keseimbangan

prostaglandin, terutama mengurangi prostaglandin-mediated

cytoprotection di saluran gastrointestinal (Katzung, dkk,

2005).

4.2.3. Farmakokinetik dan Penggunaan Klinis

Asam asetil salisilat melalui oral diserap dengan baik di

lambung dan di intestinal dalam 4-10 menit dan mencapai

puncak dalam plasma 30-40 menit. Dihidrolasi di hepar

menghasilkan asam salisilat. Metabolit inaktif diekskresikan

melalui ginjal. Obat ini mempunyai 3 rentang dosis

Universitas Sumatera Utara

Page 21: Chapter II Stroke Iskemik

terapeutik: Rentang rendah (< 300 mg/hari), efektif dalam

mengurangi agregasi platelet. Dosis intermediet (300-2400

mg/ hari) mempunyai efek antipiretik dan analgesik. Dan

dosis tinggi (2400-4000 mg/ hari) mempunyai efek

antiinflamasi. (Katzung, dkk, 2005 ; Jacewicz, dkk, 2008)

4.2.4. Dosis

Asam asetil salisilat tersedia dalam bentuk tablet 100 mg

dan 500 mg. Dosis yang digunakan:

- Sebagai anti platelet: < 300 mg/ hari

- Sebagai antipiretik dan analgesik: 300 – 2400 mg/ hari

untuk dewasa dan 15 – 20 mg/ kg berat badan per kali

beri tiap 4-6 jam dengan dosis maksimal 3,6 gram per

hari untuk anak.

- Sebagai antiinflamasi: 2400 – 4000 mg/ hari untuk

dewasa dan 100 – 125 mg/ kg berat badan per hari,

diberikan tiap 4-6 jam untuk anak. (Katzung, dkk, 2005 ;

Wilmana PF, 2007)

Universitas Sumatera Utara

Page 22: Chapter II Stroke Iskemik

4.2.5. Kontraindikasi

Asam asetil salisilat tidak boleh diberikan pada penderita

dengan riwayat alergi terhadap obat ini, gangguan

pernafasan, gangguan keseimbangan asam basa,

gangguan hati dan ginjal. Pada penderita

hipoprotrombinemia, defisiensi vitamin K dan hemofilia,

sebab dapat meinimbulkan perdarahan. Juga pada

penderita gastritis, ulkus gaster dan perdarahan saluran

cerna. (Wilmana PF, 2007)

4.2.6. Toksisitas

Adverse effect yang paling sering pada dosis antiinflamasi

adalah gangguan lambung. Pemakaian yang kronis bisa

menyebabkan ulkus gaster, perdarahan gastrointestinal

bagian atas dan gangguan ginjal. (Katzung, dkk, 2005)

Universitas Sumatera Utara

Page 23: Chapter II Stroke Iskemik

5. KERANGKA TEORI

STROKE ISKEMIK AKUT

Dippel, dkk, 2001: Selama hari pertama fase akut stroke, demam dapat terjadi pada sepertiga sampai setengah jumlah pasien.

Dippel, dkk, 2003: Peningkatan suhu dihubungkan dengan volume infark yang luas, tingginya case fatality dan outcome fungsional yang jelek.

PARASETAMOL

(ASETAMINOFEN)ASAM ASETIL

SALISILAT

SUHU TUBUH

Sulter, dkk, 2002: Dippel, dkk, 2001: asetaminofen 6000 mg memberikan manfaat yang potensial dalam menurunkan suhu tubuh setelah stroke iskemik akut baik pada pasien normotermia dan subfebris.

1 jam pemberian: asetaminofen 1000 mg → hasil yang signifikan ↓ suhu tubuh dan normotermia dibandingkan dengan ASA 500 mg.

3 jam pemberian: asetaminofen l000 mg & ASA memberikan efek yang hampir sama, dimana normotermia hanya diperoleh pada 37-38% pasien.

Koennecke & Leistner, 2001 ; Sulter, dkk, 2002: menyarankan pemberian antipiretik profilaksis asetaminofen yang mungkin efektif dalam mencegah terjadinya demam.

Reith, dkk, 1996: Tiap pe↑ 10C suhu tubuh maka risiko relatif outcome yang jelek meningkat 2,2 kali. Reith, dkk, 1996: mortalitas yang

lebih rendah dan outcome yang lebih baik pada pasien dengan hipotermia ringan ( < 36

Saini, dkk, 2009: Tindakan yang agresif untuk mencegah dan mengobati hipertermia dapat meningkatkan outcome klinis.

0C) pada saat masuk.

OUTCOME

Universitas Sumatera Utara

Page 24: Chapter II Stroke Iskemik

6. KERANGKA KONSEP

STROKE

ISKEMIK

AKUT

PARASETAMOL

(ASETAMINOFEN) SUHU TUBUH

ASAM ASETIL

SALISILAT

OUTCOME

Universitas Sumatera Utara