chapter ii stroke iskemik
DESCRIPTION
treatmentTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. STROKE ISKEMIK
1.1 Definisi
Stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat
gangguan fungsi otak fokal (atau global), dengan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa
ada penyebab lain yang jelas selain vaskuler (PERDOSSI, 1999 ; Gofir,
2009). Definisi ini mencakup stroke akibat infark otak (stroke iskemik),
perdarahan intraserebral (PIS) non traumatik, perdarahan intraventrikuler dan
beberapa kasus perdarahan subarakhnoid (PSA) (Gofir, 2009).
Stroke iskemik adalah tanda klinis disfungsi atau kerusakan jaringan
otak yang disebabkan kurangnya aliran darah ke otak sehingga mengganggu
kebutuhan darah dan oksigen di jaringan otak (Sjahrir, 2003)
1.2 Epidemiologi
Insidens terjadinya stroke di Amerika Serikat lebih dari 700.000 orang per
tahun, dimana 20% darinya akan mati pada tahun pertama. Jumlah ini akan
meningkat menjadi 1 juta per tahun pada tahun 2050. Secara internasional
insidens global dari stroke tidak diketahui (Becker, dkk, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Di Indonesia, data nasional epidemiologi stroke belum ada. Tetapi dari
data sporadik di rumah sakit terlihat adanya tren kenaikan angka morbiditas
stroke, yang seiring dengan semakin panjangnya life expentancy dan gaya
hidup yang berubah (Modul Neurovaskular PERDOSSI, 2009)
Dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga di Indonesia dilaporkan
bahwa proporsi stroke di rumah sakit antara tahun 1984 sampai dengan
tahun 1986 meningkat, yaitu 0,72 per 100 penderita pada tahun 1984 dan
naik menjadi 0,89 per 100 penderita pada tahun 1985 dan 0,96 per 100
penderita pada tahun 1986. Sedangkan di Jogyakarta pada penelitian
Lamsudin dkk (1998) dilaporkan bahwa proporsi morbiditas stroke di rumah
sakit di Jogyakarta tahun 1991 menunjukkan kecendrungan meningkat
hampir 2 kali lipat (1,79 per 100 penderita) dibandingkan dengan laporan
penelitian sebelumnya pada tahun 1989 (0,96 per 100 penderita) (Sjahrir,
2003).
Dari studi rumah sakit yang dilakukan di Medan pada tahun 2001,
ternyata pada 12 rumah sakit di Medan dirawat 1263 kasus stroke terdiri dari
821 stroke iskemik dan 442 stroke hemoragik, dimana meninggal 201 orang
(15,91%) terdiri dari 98 (11,93%) stroke iskemik dan 103 (23,30%) stroke
hemoragik. (Nasution, 2007)
Universitas Sumatera Utara
1.3 Faktor Risiko
Penelitian prospektif stroke telah mengidentifikasi berbagai faktor-
faktor yang dipertimbangkan sebagai risiko yang kuat terhadap timbulnya
stroke. Faktor risiko timbulnya stroke : (Sjahrir, 2003 ; Nasution, 2007 ;
Howard, dkk, 2009).
1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi :
a. Umur
b. Jenis kelamin
c. Ras dan suku bangsa
d. Faktor turunan
e. Berat badan lahir rendah
2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
a. Prilaku:
1. Merokok
2. Diet tidak sehat: lemak, garam berlebihan, asam urat, kolesterol,
kurang buah
3. Alkoholik
4. Obat-obatan: narkoba (kokain), anti koagulansia, antim platelet,
amfetamin, pil kontrasepsi
5. Kurang gerak badan
Universitas Sumatera Utara
b. Fisiologis
1. Penyakit hipertensi
2. Penyakit jantung
3. Diabetes mellitus
4. Infeksi/lues, arthritis, traumatik, AIDS, lupus
5. Gangguan ginjal
6. Kegemukan (obesitas)
7. Polisitemia, viskositas darah meninggi & penyakit perdarahan
8. Kelainan anatomi pembuluh darah
9. Stenosis karotis asimtomatik
1.4 Klasifikasi
Dasar klasifikasi yang berbeda – beda diperlukan, sebab setiap jenis
stroke mempunyai cara pengobatan, pencegahan dan prognosa yang
berbeda, walaupun patogenesisnya sama (Misbach,1999)
I. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya :
1. Stroke iskemik
a. Transient Ischemic Attack (TIA)
b. Thrombosis serebri
c. Embolia serebri
2. Stroke Hemoragik
a. Perdarahan intraserebral
b. Perdarahan subarachnoid
Universitas Sumatera Utara
II. Berdasarkan stadium / pertimbangan waktu
1. Transient Ischemic Attack (TIA)
2. Stroke in evolution
3. Completed stroke
III. Berdasarkan jenis tipe pembuluh darah
1. Sistem karotis
2. Sistem vertebrobasiler
IV. Berdasarkan tipe infark (Sjahrir, 2003) :
1. Total Anterior Circulation Infarction
2. Partial Anterior Circulation Infarction
3. Posterior Circulation Infarction
4. Lacunar Infarction
V. Klasifikasi Stroke Iskemik berdasarkan kriteria kelompok peneliti TOAST
(Adams, dkk, 1993 ; Sjahrir, 2003)
1. Aterosklerosis arteri besar (Embolus/ Trombosis)
2. Kardioembolisme (Risiko Tinggi/ Risiko Sedang)
3. Oklusi pembuluh darah kecil (Lakunar)
4. Stroke akibat dari penyebab lain yang menetukan
5. Stroke akibat dari penyebab lain yang tak dapat ditentukan:
a. Dua atau lebih penyebab teridentifikasi
b. Tidak ada evaluasi
c. Evaluasi tidak lengkap
Universitas Sumatera Utara
1.5 Patofisiologi
Pada level makroskopik, stroke iskemik paling sering disebabkan oleh
emboli dari ekstrakranial atau trombosis di intrakranial, tetapi dapat juga
disebabkan oleh berkurangnya aliran darah otak. Pada level seluler, setiap
proses yang mengganggu aliran darah ke otak dapat mencetuskan suatu
kaskade iskemik, yang akan mengakibatkan kematian sel-sel otak dan infark
otak (Becker, dkk, 2010).
Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti
(core) dengan tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini
akan menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Di luar
daerah core iskemik terdapat daerah penumbra iskemik. Sel – sel otak dan
jaringan pendukungnya belum mati akan tetapi sangat berkurang fungsi –
fungsinya dan menyebabkan juga defisit neurologis. Tingkat iskemiknya
makin ke perifer makin ringan. Daerah penumbra iskemik, di luarnya dapat
dikelilingi oleh suatu daerah hiperemik akibat adanya aliran darah kolateral
(luxury perfusion area). Daerah penumbra iskemik inilah yang menjadi
sasaran terapi stroke iskemik akut supaya dapat direperfusi dan sel-sel otak
berfungsi kembali. Reversibilitas tergantung pada faktor waktu dan jika tidak
terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat berangsur-angsur mengalami
kematian (Misbach, 2007) .
Universitas Sumatera Utara
Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara
bertahap, yaitu (Sjahrir, 2003):
Tahap 1 :
a. Penurunan aliran darah
b. Pengurangan O2
c. Kegagalan energi
d. Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostasis ion
Tahap 2 :
a. Eksitoksisitas dan kegagalan homeostasis ion
b. Spreading depression
Tahap 3 : Inflamasi
Tahap 4 : Apoptosis
2. SUHU TUBUH NORMAL
2.1. Suhu inti dan suhu kulit.
Suhu dari jaringan dalam tubuh (inti/ “core” dari tubuh) bertahan dalam
rentang yang stabil 37 ± 0,6 0C, kecuali dalam keadaan demam. Suhu kulit,
berlawanan dengan suhu inti, naik dan turun mengikuti suhu lingkungan.
(Guyton, dkk, 2006)
Universitas Sumatera Utara
2.2. Suhu inti yang normal.
Tidak ada satu ketetapan tentang suhu inti yang normal, karena
pengukuran pada banyak orang sehat menunjukkan rentang suhu normal.
Rata-rata suhu inti normal secara umum antara 36,6 0C sampai 37 0C jika
diukur secara oral dan lebih tinggi 10C jika diukur secara rektal. Suhu tubuh
meningkat selama latihan dan berubah-ubah pada suhu lingkungan yang
ekstrim. Saat produksi panas berlebih-lebihan dalam tubuh karena latihan
yang berat, suhu dapat meningkat secara temporer mencapai 380C sampai
40 0C. Saat tubuh terpapar dengan dingin yang ekstrim, suhu dapat turun
sampai di bawah 35,5 0C. (Guyton, dkk, 2006)
Gambar 1. Perkiraan Rentang Suhu Inti Tubuh Pada Orang Normal. Dikutip dari: Guyton AC and Hall JE. Body Temperature, Temperature Regulation, and Fever. In: Schmitt W and
Gruliow R (Ed.). Medical physiology guyton and hall 11th edition. Mississippi: Elsevier Saunders, 2006. p: 889 – 901.
Universitas Sumatera Utara
2.3. Pengaturan Suhu Tubuh Oleh Hipotalamus.
Suhu tubuh dikontrol oleh hipotalamus. Sel-sel saraf baik yang berada
di preoptik hipotalamus anterior dan hipotalamus posterior menerima 2
macam sinyal: yang pertama dari nervus perifer yang merefleksikan reseptor
panas/ dingin dan yang lain dari darah yang mengaliri daerah hipotalamus
tersebut. Kedua tipe sinyal ini diintgrasikan oleh pusat termoregulator dari
hipotalamus untuk menjaga suhu tubuh tetap normal. Pada tubuh yang sehat,
suhu tubuh tetap stabil karena pusat termoregulator dari hipotalamus
menyeimbangkan produksi panas (yang diperoleh dari aktifitas metabolik
dalam otot dan liver) dengan pelepasan panas (dari kulit dan paru-paru).
(Dinarello, dkk, 2005)
Suhu tubuh dikendalikan hampir sepenuhnya oleh mekanisme nervous
feedbeck dan hampir semuanya dilakukan melalui pusat pengaturan suhu
yang terletak di hipotalamus. Area preoptik-hipotalamus anterior ini terdiri dari
sejumlah besar sel-sel saraf yang sensitif terhadap panas dan sepertiganya
terdiri dari sel-sel saraf yang sensitif terhadap dingin. Sel-sel saraf ini
berfungsi sebagai sensor suhu dalam mengontrol suhu tubuh. Saat area
preoptik tersebut dirangsang panas, kulit pada seluruh tubuh akan
mengeluarkan keringat yang banyak, sementara pembuluh darah pada kulit
akan berdilatasi. Hal ini sebagai reaksi cepat agar tubuh dapat melepaskan
panas, sehingga membantu mengembalikan suhu tubuh ke normal. Sebagai
Universitas Sumatera Utara
tambahan, tubuh juga akan menghambat produksi panas yang berlebihan
(Guyton, dkk, 2006). Penurunan suhu tubuh menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah (untuk menyimpan panas) dan menggigil (untuk
menghasilkan panas). (Waxman, 2010).
Meskipun pengaturan hipotalamus terhadap suhu tubuh sangat
berpengaruh, namun reseptor lain juga berperan dalam pengaturan suhu
tubuh (yaitu reseptor yang ada di kulit dan jaringan dalam tubuh). Reseptor di
kulit untuk dingin 10 kali lebih banyak daripada reseptor panas, sehingga
lebih peka terhadap suhu dingin daripada panas. Saat kulit di seluruh tubuh
dirangsang dingin, maka akan terjadi respon untuk meningkatkan suhu tubuh
berupa menggigil, mengurangi produksi keringat dan vasokontriksi pembuluh
darah kulit. Reseptor di jaringan dalam tubuh terutama terdapat di medulla
spinalis, organ-organ visera abdomen dan vena-vena besar dalam abdomen
bagian atas dan toraks. Reseptor ini juga lebih peka terhadap dingin daripada
panas. Kepekaan yang lebih terhadap dingin tersebut mungkin untuk
mencegah agar tubuh tidak hipotermia (Guyton, dkk, 2006).
Meskipun sinyal sensorik banyak datangnya dari reseptor di perifer,
namun sinyal-sinyal itu akan mempengaruhi suhu tubuh melalui pengaturan
hipotalamus. Area yang distimulasi oleh sinyal-sinyal itu terletak bilateral di
hipotalamus posterior, setentang dengan mammilary body. Sinyal-sinyal
sensorik dari preoptik-hipotalamus anterior juga ditransmisikan ke area
Universitas Sumatera Utara
hipotalamus posterior. Di sinilah sinyal-sinyal itu semua diintegrasikan untuk
mengontrol produksi dan penyimpanan panas dari tubuh (Guyton, dkk, 2006).
Gambar 2. Bagian-bagian dari Hipotalamus. Dikutip dari: Rohkamm R. Color Atlas of Neurology. Germany: Thieme Varlag, 2004. hal: 143
3. DEMAM PADA STROKE ISKEMIK
Demam merupakan peningkatan suhu tubuh di atas rentang yang
normal, yang dapat disebabkan oleh abnormalitas dari otak itu sendiri atau
substansi toksik yang mempengaruhi pusat pengaturan suhu (Guyton, dkk,
2006).
Universitas Sumatera Utara
Demam pada pasien stroke akut merupakan hal yang biasa terjadi dan
kebanyakan disebabkan oleh infeksi. Penelitian Georgilis, dkk tahun 1999
mendapatkan dari 330 pasien stroke akut 37,6% ditemukan demam, 22,7%
disebabkan oleh infeksi dan 14,8% tanpa adanya infeksi . Pada beberapa
kasus, fokus infeksinya tidak dapat ditemukan, demam tersebut tidak respon
dengan terapi antibiotik empiris dan diperkirakan disebabkan lesi pada
susunan saraf pusat. Pada pasien dengan demam tanpa fokus infeksi,
karakteristik satu-satunya yang membedakan dengan adanya infeksi adalah
onset demam yang segera. (Georgilis, dkk, 1999).
Banyak protein, produk sisa dari protein dan substansi-substansi lain,
terutama toksin lipopolisakarida yang dilepaskan dari membrane sel bakteri
dapat menyebabkan set-point dari thermostat hipotalamus meningkat.
Substansi yang menyebabkan efek ini disebut pirogen. Pirogen dilepaskan
dari toksin bakteri atau dari jaringan tubuh yang mengalami degenerasi. Saat
set-point dari pusat pengaturan suhu di hipotalamus meningkat dari normal,
semua mekanisme untuk meningkatkan suhu tubuh akan berjalan, meliputi
penyimpanan suhu dan peningkatan produksi panas. Dalam beberapa jam
setelah set-point meningkat, suhu tubuh juga akan mencapai level tersebut
(Guyton, dkk, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3. Efek Perubahan Set-Point dari Pengaturan Suhu di Hipotalamus. Dikutip dari: Guyton AC and Hall JE. Body Temperature, Temperature Regulation, and Fever. In: Schmitt W and Gruliow R (Ed.). Medical physiology guyton and hall 11th edition. Mississippi: Elsevier
Saunders, 2006. p: 889 – 901.
Sitokin merupakan molekul protein kecil (10.000 – 20.000 Da) yang
mengatur imunitas, inflamasi dan proses hematopoesis. Beberapa sitokin
yang dapat menyebabkan demam disebut sitokin pirogenik (IL-1, IL-6 dan
TNF). Beberapa tipe sel (monosit/makrofag, sel endothelial, dan lain-lain)
dapat memproduksi sitokin pirogenik, yang kemudian akan memasuki
sirkulasi sistemik. Meskipun efek sistemik dari sitokin yang bersirkulasi dapat
menyebabkan demam dengan menginduksi sintesis PGE2, sitokin itu juga
dapat menginduksi PGE2 di jaringan perifer. Peningkatan kadar PGE2 di
perifer ini akan menyebabkan mialgia dan atralgia yang sering bersamaan
dengan demam. Namun demikian, induksi PGE2 di otaklah yang memulai
proses peningkatan set-point di hipotalamus.
Universitas Sumatera Utara
Ada 4 reseptor dari PGE2, dan reseptor yang ke 3 lah yang berperan
pada terjadinya demam. Meskipun PGE2 penting pada proses terjadinya
demam, tapi PGE2 bukanlah neurotransmitter. Adapun demikian, pelepasan
PGE2 dari endotelium hipotalamus akan merangsang reseptor PGE2 di sel
glial dan hal ini akan menyebabkan pelepasan yang cepat dari cyclic
adenosine 5 - monophosphate (cyclic AMP), yang merupakan
neurotransmitter. Cyclic AMP ini akan menyebabkan peningkatan
termoregulator set-point di hipotalamus.
Perangsangan langsung terhadap hipotalamus oleh toksin mikroba juga
dapat terjadi. Endotoksin yang dihasilkan oleh bakteri gram negative dan
asam teichoic dari bakteri gram positif akan merangsang reseptor yang ada
di endothelium hipotalamus (disebut reseptor Toll-like). Aktifasi langsung
reseptor Toll-like ini akan menyebabkan produksi PGE2 dan demam
(Dinarello, dkk, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4. Kronologis Kejadian Yang Diperlukan Untuk Menginduksi Demam. Dikutip dari: Dinarello CA, Gelfand JA. Fever and Hyperthermia. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL and Jameson JL (Ed.). Harrison’s principles of internal medicine. New York: McGraw-Hill, 2005. p: 106.
Disfungsi dari regio preoptik hipotalamus anterior (misalnya karena
cedera kepala atau perdarahan) dapat menyebabkan central / neurogenic /
hypothalamic fever (Baehr dkk, 2005). Mekanisme perdarahan
intraventrikuler dapat mengganggu fungsi hipotalamus dan menyebabkan
demam sentral diperkirakan akibat kerusakan langsung dari hemotoksik pada
thermoregulatory center. Perdarahan subarakhnoid dapat mengganggu
pengaturan suhu berhubungan dengan seringnya muncul cloth yang tebal di
sisterna supraselar atau gangguan mekanisme pelepasan panas
(Commichau dkk, 2003).
Universitas Sumatera Utara
4. PARASETAMOL(ASETAMINOFEN) DAN ASAM ASETIL SALISILAT
4.1. PARASETAMOL (ASETAMINOFEN)
Asetaminofen merupakan obat analgesik, antipiretik dan non
antiinflamasi. Fenasetin merupakan prodrug yang dapat dimetabolisme
menjadi asetaminofen.
4.1.1. Mekanisme kerja
Cyclooxigenase (COX), enzim yang mengkonversi asam
arakhidonat menjadi endoperoksida (precursor
prostaglandin) mempunyai setidaknya 2 isoform: COX-1 dan
COX-2. COX-1 terutama bekerja dalam sel-sel non inflamasi
sementara COX-2 bekerja dalam limfosit, sel
polimorfonuklear dan sel-sel inflamasi lainnya. Efek
antipiretik parasetamol ditimbulkan oleh gugus
aminobenzen, dimana obat ini bekerja dengan menghambat
enzim COX, terutama sangat selektif pada COX-2, dengan
demikian mengurangi jumlah prostaglandin E2 di susunan
saraf pusat, maka akan menurunkan set-point di pusat
pengaturan suhu di talamus. Obat ini bekerja sebagai
inhibitor yang lemah terhadap enzim COX-1 dan COX-2 di
jaringan perifer, yang menyebabkan tidak adanya efek
antiinflamasi, hal ini karena parasetamol hanya bekerja pada
Universitas Sumatera Utara
lingkungan yang kadar peroksidnya rendah, sementara pada
lokasi inflamasi (yang biasanya di perifer) mengandung
banyak peroksid yang dihasilkan leukosit. Bukti-bukti lain
menunjukkan obat ini dapat menghambat enzim ketiga,
COX-3, di susunan saraf pusat. (Katzung, dkk, 2005;
Wilmana, dkk, 2007)
4.1.2. Efek
Merupakan analgesik dan antipiretik, tanpa efek
antiinflamasi dan antipletelet.
4.1.3. Farmakokinetik dan Penggunaan klinis
Asetaminofen efektif untuk indikasi yang sama pada dosis
intermediet dari asam asetil salisilat (efek analgesik dan
antipiretik: 300 – 2400 mg/ hari). Diserap dengan baik
secara oral dan dimetabolisme di hepar. Konsentrasi
tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam, dengan
masa paruh 2 – 3 jam pada orang dengan fungsi hati yang
normal, dan tidak dipengaruhi oleh penyakit pada ginjal.
Sebagian besar (80%) dikonjugasi dengan asam glukoronat
dan sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat. Tersebar di
seluruh cairan tubuh. Dalam plasma 25% terikat protein
plasma. Diekskresikan melalui ginjal, sebagian kecil sebagai
Universitas Sumatera Utara
parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk
terkonjugasi. (Katzung, dkk, 2005 ; Wilmana PF, 2007)
4.1.4. Dosis
Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal berbentuk tablet
500 mg atau sirup yang mengandung 120 mg/ 5 ml. Dosis
parasetamol untuk dewasa 300 – 1000 mg per kali beri,
dengan dosis maksimum 4 gram per hari; untuk anak 6-12
tahun 150 – 300 mg/ kali dengan maksimum 1,2 gram/ hari.
Untuk anak 1-6 tahun: 60 – 120 mg/ kali dan bayi di bawah 1
tahun: 60 mg/ kali; pada keduanya diberikan maksimum 6
kali sehari (Wilmana PF, 2007).
4.1.5. Kontraindikasi
Parasetamol dikontraindikasikan pada pasien dengan
riwayat alergi terhadap obat ini. Perdarahan saluran cerna
(dosis besar (> 2000 mg/ hari)). Efek iritasi, erosi dan
perdarahan lambung tidak terlihat pada obat ini, demikian
juga gangguan pernafasan dan keseimbangan asam basa.
(Wilmana PF, 2007 ; García Rodríguez LA dan Hernández-
Díaz S, 2000).
Universitas Sumatera Utara
4.1.6. Toksisitas
Dalam dosis terapeutik, toksisitasnya pada kebanyakan
individu tidak ada. Namun pada pemakaian melebihi dosis
atau pasien dengan gangguan fungsi hepar yang berat, obat
ini merupakan hepatotoksin yang berbahaya (Katzung, dkk,
2005).
4.2. ASAM ASETIL SALISILAT
Asam asetil salisilat merupakan prototipe dari salisilat.
Selain sebagai prototipe, obat ini merupakan standar dalam
menilai efek obat sejenis (Katzung, dkk, 2005 ; Wilmana PF,
2007)
4.2.1. Mekanisme kerja
Asam asetil salisilat bekerja dengan menghambat kedua
bentuk isoform dari enzim COX dan makanya menurunkan
sintesis prostaglandin dan tromboksan dalam tubuh.
Perbedaan obat ini dengan obat anti inflamasi nonsteroid
yang lainnya ialah obat ini menghambat COX secara
irreversibel, sementara yang lainnya reversibel (Katzung,
dkk, 2005).
Universitas Sumatera Utara
4.2.2. Efek
Derivat asam arakhidonat merupakan mediator yang penting
dari inflamasi, penghambat COX akan mengurangi
manifestasi dari inflamasi, meskipun tidak mempunyai efek
terhadap kerusakan jaringan yang mendasarinya atau reaksi
imunologis. Sintesis prostaglandin di susunan saraf pusat
yang distimulasi oleh pirogen, dihambat oleh obat ini
sehingga menurunkan demam (efek antipiretik). Mekanisme
analgesik obat ini belum sepenuhnya dipahami. Aktifasi
sensor nyeri di perifer mungkin berkurang sebagai akibat
penurunan produksi prostaglandin di jaringan yang cedera.
Obat ini juga mengganggu fungsi keseimbangan
prostaglandin, terutama mengurangi prostaglandin-mediated
cytoprotection di saluran gastrointestinal (Katzung, dkk,
2005).
4.2.3. Farmakokinetik dan Penggunaan Klinis
Asam asetil salisilat melalui oral diserap dengan baik di
lambung dan di intestinal dalam 4-10 menit dan mencapai
puncak dalam plasma 30-40 menit. Dihidrolasi di hepar
menghasilkan asam salisilat. Metabolit inaktif diekskresikan
melalui ginjal. Obat ini mempunyai 3 rentang dosis
Universitas Sumatera Utara
terapeutik: Rentang rendah (< 300 mg/hari), efektif dalam
mengurangi agregasi platelet. Dosis intermediet (300-2400
mg/ hari) mempunyai efek antipiretik dan analgesik. Dan
dosis tinggi (2400-4000 mg/ hari) mempunyai efek
antiinflamasi. (Katzung, dkk, 2005 ; Jacewicz, dkk, 2008)
4.2.4. Dosis
Asam asetil salisilat tersedia dalam bentuk tablet 100 mg
dan 500 mg. Dosis yang digunakan:
- Sebagai anti platelet: < 300 mg/ hari
- Sebagai antipiretik dan analgesik: 300 – 2400 mg/ hari
untuk dewasa dan 15 – 20 mg/ kg berat badan per kali
beri tiap 4-6 jam dengan dosis maksimal 3,6 gram per
hari untuk anak.
- Sebagai antiinflamasi: 2400 – 4000 mg/ hari untuk
dewasa dan 100 – 125 mg/ kg berat badan per hari,
diberikan tiap 4-6 jam untuk anak. (Katzung, dkk, 2005 ;
Wilmana PF, 2007)
Universitas Sumatera Utara
4.2.5. Kontraindikasi
Asam asetil salisilat tidak boleh diberikan pada penderita
dengan riwayat alergi terhadap obat ini, gangguan
pernafasan, gangguan keseimbangan asam basa,
gangguan hati dan ginjal. Pada penderita
hipoprotrombinemia, defisiensi vitamin K dan hemofilia,
sebab dapat meinimbulkan perdarahan. Juga pada
penderita gastritis, ulkus gaster dan perdarahan saluran
cerna. (Wilmana PF, 2007)
4.2.6. Toksisitas
Adverse effect yang paling sering pada dosis antiinflamasi
adalah gangguan lambung. Pemakaian yang kronis bisa
menyebabkan ulkus gaster, perdarahan gastrointestinal
bagian atas dan gangguan ginjal. (Katzung, dkk, 2005)
Universitas Sumatera Utara
5. KERANGKA TEORI
STROKE ISKEMIK AKUT
Dippel, dkk, 2001: Selama hari pertama fase akut stroke, demam dapat terjadi pada sepertiga sampai setengah jumlah pasien.
Dippel, dkk, 2003: Peningkatan suhu dihubungkan dengan volume infark yang luas, tingginya case fatality dan outcome fungsional yang jelek.
PARASETAMOL
(ASETAMINOFEN)ASAM ASETIL
SALISILAT
SUHU TUBUH
Sulter, dkk, 2002: Dippel, dkk, 2001: asetaminofen 6000 mg memberikan manfaat yang potensial dalam menurunkan suhu tubuh setelah stroke iskemik akut baik pada pasien normotermia dan subfebris.
1 jam pemberian: asetaminofen 1000 mg → hasil yang signifikan ↓ suhu tubuh dan normotermia dibandingkan dengan ASA 500 mg.
3 jam pemberian: asetaminofen l000 mg & ASA memberikan efek yang hampir sama, dimana normotermia hanya diperoleh pada 37-38% pasien.
Koennecke & Leistner, 2001 ; Sulter, dkk, 2002: menyarankan pemberian antipiretik profilaksis asetaminofen yang mungkin efektif dalam mencegah terjadinya demam.
Reith, dkk, 1996: Tiap pe↑ 10C suhu tubuh maka risiko relatif outcome yang jelek meningkat 2,2 kali. Reith, dkk, 1996: mortalitas yang
lebih rendah dan outcome yang lebih baik pada pasien dengan hipotermia ringan ( < 36
Saini, dkk, 2009: Tindakan yang agresif untuk mencegah dan mengobati hipertermia dapat meningkatkan outcome klinis.
0C) pada saat masuk.
OUTCOME
Universitas Sumatera Utara
6. KERANGKA KONSEP
STROKE
ISKEMIK
AKUT
PARASETAMOL
(ASETAMINOFEN) SUHU TUBUH
ASAM ASETIL
SALISILAT
OUTCOME
Universitas Sumatera Utara