cg kasus 5

25
ANALISIS PENERAPAN PRINSIP CG TENTANG TANGGUNG JAWAB DEWAN KOMISARIS DAN DIREKSI PADA PT. ASKRINDO Disusun Oleh : Ari Wahyu Hidayat Arief Ramdani Gilang Maulana Mikael Wil Iskandar Siahaan PROGRAM EKSTENSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS INDONESIA

Upload: gilang-maulana

Post on 31-Jan-2016

245 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

CG Kasus 5

TRANSCRIPT

Page 1: CG Kasus 5

ANALISIS PENERAPAN PRINSIP CG TENTANG TANGGUNG

JAWAB DEWAN KOMISARIS DAN DIREKSI PADA

PT. ASKRINDO

Disusun Oleh :

Ari Wahyu Hidayat

Arief Ramdani

Gilang Maulana

Mikael Wil Iskandar Siahaan

PROGRAM EKSTENSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS INDONESIA

2015

Page 2: CG Kasus 5

STATEMENT OF AUTHORSHIP

Saya/kami yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas terlampir

merupakan murni hasil dari pekerjaan saya/kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang

saya/kami gunakan tanpa menyebutkan sumbernya.

Materi ini belum/tidak pernah dasajikan/digunakan sebagai bahan makalah/tugas pada mata

ajaran lain kecuali saya/kami menyatakan dengan jelas bahwa saya/kami menyatakan dengan

jelas menggunakanya.

Saya/kami memahami bahwa tugas yang kami kumpulkan ini dapat diperbanyak dan atau

dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.

Nama : Ari Wahyu Hidayat

NPM : 1406645052

Tanda Tangan :

Nama : Arief Ramdani

NPM :

Tanda Tangan :

Nama : Gilang Maulana

NPM : 1406645430

Tanda Tangan :

Nama : Mikael Wil Iskandar

NPM : 1406645696

Tanda Tangan :

Mata Kuliah : Tata Kelola Perusahaan

Judul Makalah : Analisis Penerapan Prinsip CG Tentang Tanggung Jawab Dewan

Komisaris dan Direksi pada PT. Askrindo

Tanggal :

Dosen : Siti Nuryanah

Page 3: CG Kasus 5

DAFTAR ISI

STATEMENT OF AUTHORSHIP …………………………………………………….. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ................................................................................................................ 1

BAB 2 LANDASAN TEORI

2.1 Supervisory Board System.............................................................................................. 2

2.2 The Responsibilities of The Board, Principles of Corporate Governance, OECD (2004)

........................................................................................................................................ 3

2.3 Peraturan Tentang Dewan Komisaris dan Direksi di Indonesia..................................... 4

BAB 3 RUMUSAN MASALAH

3.1 Tanggung Jawab Dewan Komisaris dan Direksi pada PT Askrindo.............................. 6

BAB 4 PEMBAHASAN

4.1 Analisis Kasus PT Askrindo........................................................................................... 8

BAB 5 PENUTUP

5.1 Kesimpulan...................................................................................................................... 10

5.2 Saran................................................................................................................................ 11

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 12

Page 4: CG Kasus 5

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam penerapan good corporate governance, peran dari dewan komisaris maupun

direksi sangatlah penting untuk melakukan internal monitoring, mengingat struktur

perusahaan terbuka yang memisahkan fungsi kepemilikan dengan kontrol. Principal, yaitu

shareholders, akan mendelegasikan fungsi kontrol kepada agen untuk mengontrol

perusahaan sesuai dengan tujuan awal dan kepentingan bersama shareholders. Hal tersebut

tentunya akan menimbulkan kemungkinan adanya asymmetric information antara kedua

fungsi tersebut, seperti yang dikemukakan oleh Jensen dan Meckling1. Untuk meminimalisir

hal tersebut, diperlukan adanya fungsi internal kontrol yang akan menjembatani hubungan

antara manajer dengan shareholders. Nevile2 menyebutkan bahwa dewan adalah kunci dari

mekanisme internal untuk memonitor dan mendisiplinkan manajemen.

Masalah selanjutnya adalah bagaimana fungsi yang tepat dijalankan oleh para agen

tersebut? Bagaimana dewan direksi akan bekerja sama secara maksimal dengan dewan

komisaris untuk memonitor manajemen? Berkaca dari kasus besar seperti Enron atau

Worldcom, diperlukan adanya tuntunan yang tepat tentang bagaimana fungsi dari dewan

komisaris maupun direksi akan berpengaruh positif bagi pelaksanaan good corporate

governance. Dimulai dari pemilihan struktur dewan yang cocok bagi perusahaan, hingga hak

dan kewajiban dewan yang dibatasi dengan peraturan dibutuhkan untuk memastikan peran

dewan supervisi berjalan dengan baik.

Di Asia sendiri, dimana mayoritas perusahaan menganut sistem kepemilikan

terkonsentrasi, peran dari dewan komisaris dan direksi akan bisa menurunkan controlling

cost, dan akan mengarahkan ke penerapan good corporate governance. Indonesia, yang ada

didalamnya, tentunya juga membutuhkan peran dewan yang sama besar untuk mengakomodir

¹ Michael Jensen and William H Meckling, Theory of The Firm (1976)2 Nevile M., The Role of Boards In Small and Medium Size Firms, Journal of Financial Economic-Elsevier

(2011)

Page 5: CG Kasus 5

kepentingan para shareholders bisa tersampaikan dengan baik ke manajer, begitu pula dengan

informasi yang diberikan oleh manajer bisa didapatkan dengan mudah dan akurat oleh para

shareholder. Isu pentingnya tatanan perusahaan yang baik di Indonesia dimulai setelah

terjadinya krisis pada tahun 1997-1998. Untuk mencegah terjadinya hal yang sama,

perusahaan berlomba-lomba untuk menerapkan good corporate governance.

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Supervisory Board System

Jüergen dan Brändle dalam journalnya3 menyebutkan bahwa ada dua tipe board yang

dipakai untuk melakukan proses internal monitoring, atau supervisi, yaitu one tier dan two

tier board system. Perbedaan mendasar pada dua tipe board ini adalah; jika dalam one tier

board dewan executive dan non-executive digabung menajadi satu dan disebut board of

director, maka di sistem two tier board ada pemisahan fungsi untuk non-executive

director ,sebagai dewan komisaris, dan executive director.

2.1.1 One Tier Board

Sistem one tier board menggabungkan non-executive director dan executive director

menjadi satu sebagai board of director. Board of director berfungsi mengatur dan memonitor

peran manajemen berjalan sebagaimana mestinya, walaupun hanya executive director yang

terlibat dalam operasi setiap hari dari perusahaan. Baik non-executive maupun executive

director sama-sama dapat melakukan pengambilan keputusan di operasional perusahaan.

Pemilihan anggota board of director sendiri dilakukan tiap tahun di RUPS.

Kelebihan dari sistem ini adalah; dikarenakan tidak ada pemisah diantara executive dan

non-executive director, maka mereka bisa mendapaptkan akses yang sama terhadap

informasi, yang dampaknya bisa mempercepat proses pengambian keputusan. Hal ini juga

berakibat pada efisiensi usaha, karena semua director hanya berada pada satu badan saja.

Tetapi sistem ini akan mengurangi independensi yang ada, karena fungsi pengaturan

(managing) dan monitoring dilakukan oleh satu badan yang sama.3 Udo C. Brändle dan Jüergen Noll, The Power of Monitoring, German Law Journal (2004)

Page 6: CG Kasus 5

2.1.2 Two Tier Board

Berbeda dengan sistem one tier board, two tier board memisahkan non-executive dengan

executive director menjadi dua fungsi, yaitu dewan komisaris dan dewan direksi. Tugas dari

dewan direksi adalah pengambilan keputusan dalam fungsi managing perusahaan , sedangkan

dewan komisaris bertanggung jawab atas fungsi monioring dari jalannya perusahaan. Dewan

direksi terdiri dari executive member seperti CEO, CFO, dsb. Sedangkan dewan komisaris

terdiri dari non-executive independen maupun non-independen member.

Dengan menggunakan sistem two tier board ini, fungsi managing dan monitoring akan

terpisah, yang mana direksi akan berusaha mencapai kinerja yang tinggi karena merasa

diawasi oleh dewan komisaris. Selain itu masing-masing fungsi dapat menjalankan tugasnya

dengan baik, karena tidak adanya rangkap jabatan pada posisi dewan direksi dan komisaris.

Dewan komisaris juga lebih banyak diisi dengan posisi komisaris independen yang

menguatkan fungsi monitoring secara objektif.

Namun begitu, penggunaan sistem ini tetap memungkinkan adanya celah

penyelewengan, yaitu terjadinya kerja sama antara dewan direksi dan komisaris untuk

mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan pribadi, tanpa memperhatikan

kepentingan pemilik saham dan perusahaan. Hal ini bisa terjadi karena dewan komisaris

hanya bergantung pada dewan direksi untuk mendapatkan informasi perusahaan. Masalah

lainnya muncul ketika baik dewan komisaris maupun direksi memiliki jabatan di satu atau

lebih perusahaan lain. Hal ini memungkinkan permasalahan yang disebut sebagai

interlocking directorship.

2.2 The Responsibilities of The Board, Principles of Corporate Governance, OECD

(2004)

Dalam pedoman CG OECD4, prinsip keenam menyebutkan tanggung jawab dari anggota

dewan komisaris dan direksi yang seharusnya. Disebutkan bahwa dalam tata kelola

perusahaan yang baik, harus ada fungsi monitoring dari dewan kepada manajemen, dan

dewan tersebut harus mempunyai akuntabilitas terhadap perusahaan dan pemegang saham.

Tanggung jawab dewan dalam prinsip ini adalah sebagai berikut :

1 Anggota dewan diharuskan bertindak sesuai kepentingan perusahaan dan pemegang

saham.

2 Keputusan dewan harus adil terhadap semua pemegang saham.4 OECD, Principles of Corporate Governance (2004)

Page 7: CG Kasus 5

3 Standar etika yang tinggi dari dewan terhadap perusahaan dan pemegang saham.

4 Fungsi dari dewan yang terdiri dari; mengontrol keputusan operasional perusahaan,

memonitor pelaksanaan usaha, merencanakan sasaran strategis, memastikan

remunerasi yang sejalan dengan tujuan perusahaan, memastikan pemilihan dewan

yang transparan, menyelesaikan konflik perusahaan, memastikan integritas laporan

keuangan, dan melakukan pengungkapan.

5 Dapat memberikan pandangan objektif jika ada masalah dalam perusahaan.

6 Memiliki akses yang akurat dan relevan dalam mendapatkan informasi perusahaan.

2.3 Peraturan Tentang Dewan Komisaris dan Direksi di Indonesia

Indonesia yang menganut sistem two tier board tentunya membutuhkan pedoman yang

jelas mulai dari pemilihan hingga tanggung jawab serta wewenang dari dewan komisaris

mauppun direksi. Ada beberapa peraturan yang telah dikeluarkan dari badan seperti

Bapepam, Bank Indonesia, maupun OJK sebagai badan regulator di Indonesia. Beberapa

peraturan yang ada adalah sebagai berikut :

1 Peraturan OJK No. 33/OJK.04/2014

2 Keputusan Ketua Bapepam No. KEP-45/PM/2004

3 Keputusan Direksi PT BEI No. Kep-00001/BEI/01-2014

4 Peraturan BI No. 8/4/PBI/2006

5 Peraturan Menteri Keuangan No. 152/PMK.010/2012

6 UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Dalam beberapa peraturan ini disebutkan bahwa direksi adalah organ perusahaan yang

berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perusahaan sesuai dengan

kepentingan perusahaan, sedangkan dewan komisaris adalah organ perusahaan yang bertugas

mengawasi dan memberikan saran kepada direksi.

Direksi terdiri dari minimal dua anggota (atau tiga sesuai peraturan menteri keuangan),

yang satu diantaranya adalah direktur utama. Anggota direksi dipilih melalui RUPS dengan

masa jabatan maksimal 5 tahun. Rangkap jabatan direksi dibatasi untuk menjaga

independensi direksi. Dewan komisaris juga terdiri dari minimal dua anggota, yang salah

satunya adalah dewan komisaris independen atau 30% (50% dalam peraturan BI bagi bank

umum) jika keanggotaan dewan komisaris lebih dari dua anggota, dengan satu anggota

Page 8: CG Kasus 5

sebagai komisaris utama. Ketentuan lainnya yang terlekat pada direksi juga melekat pada

dewan komisaris.

Komisaris independen sendiri sesuai peraturan BI No. 8/4/PBI/2006 adalah anggota

dewan komisaris yang tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan

saham dan/atau hubungan kekeluargaan dengan dewan komisaris, direksi, dan/atau pemegang

saham pengendali atau hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk

bertindak independen. Hal ini tentu sejalan dengan pedoman CG OECD prinsip 6 sub prinsip

D nomor tiga yang lebih memfokuskan pada fungsi monitoring pada perusahaan. Untuk

menjaga hak pemegang saham yang sama, komisaris independen dipilih oleh pemegang

saham minoritas dalam RUPS, bukan pemegang saham pengendali, sesuai aturan Keputusan

Direksi PT BEI No. Kep-00001/BEI/01-2014. Tujuannya adalah untuk mendorong prinsip

fairness dan objektif dalam setiap pengambilan keputusan perusahaan, tanpa mengutamakan

kepentingan pribadi. Contoh dari tindakan fairness adalah adanya hak pemegang saham

minoritas yang tidak terdistorsi oleh kepentingan lainnya.

Lebih jauh lagi, dalam peraturan tersebut ada tanggung jawab dan wewenang dari dewan

komisaris dan direksi. Contohnya adalah bagaimana pengambilan keputusan yang baik oleh

dewan sejalan dengan kepentingan dari perusahaan dan pemegang saham dan pembatasan

wewenang yang akan berakibat pada hancurnya perusahaan. Kehati-hatian dalam

pengambilan keputusan yang didasari oleh informasi yang relevan dan akurat, yang nantinya

harus diungkapkan ke pemegang saham.

Dalam kaitannya dengan hal pengambilan keputusan yang salah, dewan komisaris perlu

berhati-hati dan dan loyal pada kepentingan pemegang saham dan perusahaan, atau fiduciary

duties. Menurut RJ Holland5, kehati-hatian yang dimaksud adalah sikap dewan yang

bertindak dengan informasi yang lengkap, beritikad baik, dengan ketekunan dan penuh

perhatian. Sedangkan loyal adalah bagaimana sikap dewan yang direfleksikan dalam

pengambilan keputusannya berdasar kepentingan pemegang saham dan perusahaan demi

kemajuan usaha.

Jika dua elemen tersebut sudah dipenuhi, baik dewan komisaris maupun direksi akan

dlindungi oleh keputusan maupun undang-undang yang berlaku. Contohnya dalam UU No.

40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, disebutkan bahwa baik direksi maupun komisaris

tidak bisa dimintai pertanggung jawaban jika ada keputusannya yang mengakibatkan

kerugian perusahaan, tetapi keputusan tersebut sudah dilaksanakan dengan penuh kehati-

hatian dan atas asas kepentingan baik perusahaan maupun pemegang saham.5 RJ Holland, Delaware Director’s Fiduciary Duties : The Focus on Loyalti, Pennsylvania Journal of Law (2009)

Page 9: CG Kasus 5

BAB 3

RUMUSAN MASALAH

3.1 Tanggung Jawab Dewan Komisaris dan Direksi pada PT Askrindo

Tugas dari PT Askrindo sebagai salah satu BUMN adalah memberikan jaminan kredit

pada UMKM yang tidak memiliki agunan, disamping melakukan bisnis asuransi pada

umumnya seperti asuransi kredit perdagangan maupun bank. Hingga saat ini, PT Askrindo

memiliki beberapa produk yakni Asuransi Kredit, Surety Bond, Custom Bond, Asuransi

Kredit Perdagangan, Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan memberikan jaminan kredit atas

enam bank pelaksana dan 26 (dua puluh enam) Bank Pembangunan Daerah, Reasuransi, dan

Asuransi Umum seperti Asuransi Kecelakaan Diri, dan Asuransi Kebakaran.

Peran dari direksi dan komisaris di PT Askrindo yang menjadi permasalahan di

perusahaan ini. Adapun definisi direksi dan komisaris menurut UU No. 40 tahu 2007 adalah;

direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas

pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan

perseroan serta mewakili perseroan, baik didalam maupun diluar pengadilan sesuai dengan

ketentuan anggaran dasar. Sedangkan komisaris adalah organ Perseroan yang bertugas

melakukan pengawasan secara umum/ khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi

nasihat kepada Direksi

Masalah yang mucul di Askrindo adalah ketika tahun 2005 beberapa perusahaan yang

dijamin kreditnya oleh Askrindo pada Bank Mandiri, tidak bisa membayar kreditnya. Dalam

tahapan ini perlu dipertanyakan tugas dari direksi untuk menentukan UMKM yang akan

dijamin, apakah proses pemilihan yang dilakukan sudah benar dan berdasar informasi yang

relevan dan akurat, mengingat pemilihan ketujuh UMKM tersebut dimulai sejak tahun 2002.

Selain itu peran komisaris terhadap keputusan yang diambil, dalam fungsinya sebagai

pengawas dan pemberi saran kebijakan, perlu dipertanyakan. Apakah komisaris disini sudah

melakukan tugasnya sesuai dengan yang diamanatkan oleh RUPS ?

Akibat dari kredit yang tidak bisa dilunasi oleh ketujuh UMKM yang dijamin oleh

Askrindo, Bank Mandiri melakukan penarikan kas Askrindo. Dalam perannya sebagai

pemberi kredit, langkah yang dilakukan oleh Bank Mandiri terhadap Askrindo sebagai badan

Page 10: CG Kasus 5

penjamin kredit dilindungi oleh undang-undang. Di titik inilah kesalahan dari direksi

Askrindo yang tidak mau dananya untuk ditarik oleh Bank Mandiri. Untuk mencegah

kehilangan dana yang cukup signifikan, Askrindo melakukan tindakan yang melanggar

peraturan dengan menyalurkan dana UMKM yang dijaminnya, kepada nasabah baik

perorangan maupun perusahaan, melalui perusahaan investasi dalam bentuk kontrak

pengelolaan dana (KPD) pada tahun 2005 dan repurchase agreement (repo) pada tahun 2008,

yang notabene tidak boleh dilakukan oleh lembaga asuransi. Hal tersebut diatur dalam

peraturan Bapepam-LK No. V.G.6 tentang perusahaan asuransi, karena KPD dan repo

bukanlah bisnis yang diperbolehkan dilakukan perusahaan asuransi.

KPD sendiri adalah pengelolaan portofolio efek untuk kepentingan investor tertentu

berdasarkan perjanjian pengelolaan dana yang bersifat bilateral dan individual, yang disusun

sesuai peraturan OJK. Dalam hal ini Askrindo berlaku ‘seperti’ investor dimana Askrindo

menjaminkan dana UMKM yang dijaminnya kepada manajer investasi yang nantinya akan

disalurkan ke nasabah, baik perorangan maupun perusahaan. Hal ini yang tidak

diperbolehkan dilakukan oleh lembaga asuransi dalam aturan Bapepam-LK. Sedangkan untuk

repo, yang sama-sama melanggar peraturan Bapepam-LK, pihak Askrindo menawarkan

sekuritas berupa short-term borrowing notes yang didalamnya tercantum hak untuk dibeli

kembali oleh si penerbit sekuritas tersebut.

Dari tindakan yang diambil oleh PT Askrindo, terdapat kesalahan antara manajemen

Askrindo dengan salah satu perusahaan yang dijaminnya, PT Tranka Kabel. Hal ini terlihat

karena sebelum Askrindo menyalurkan dananya melalui manajer investasi, Askrindo

melakukan pembelian promisary notes (PM) dan medium term notes (MTN) milik Tranka

UMKMPT Tranka KabelPT VitronMitra Bakti Jaya UtamaTri Kemindo MandiriTrio Sakti Mitra AbadiPT Multimegah

CV Porintdo

PT Askrindo

Bank Mandiri

MANAJER INVESTASIPT Jakarta Aset ManajemenPT Jakarta InvestmentPT Reliance Asset ManagementPT Harvestindo Asset Management

Page 11: CG Kasus 5

Kabel, tetapi hal tersebut tetap gagal mengembalikan dana yang diambil Bank Mandiri.

Dengan fakta bahwa PT Tranka Kabel adalah UMKM gagal bayar kredit, direksi Askrindo

masih melakukan pembelian surat sanggup bayar (PM) yang jelas-jelas tidak akan bisa

dilakukan oleh perusahaan dengan solvabilitas rendah. Tindakan ini sudah melanggar prinsip

CG OECD nomor enam sub prinsip A, karena tidak adanya kejujuran, ketekunan, kehati-

hatian, maupun memprioritaskan kepentingan pemegang saham dan perusahaan.

Pengambilan keputusan untuk menyalurkan dana pada nasabah melalui lembaga

investasi-pun adalah kesalahan direksi yang dalam mengambil keputusan, dikarenakan

informasi yang didapatkan dewan direksi bahwa UMKM yang dijaminnya tidak sehat tetapi

direksi Askrindo masih tetap menyalurkan dana UMKM tersebut lewat manajer investasi.

Disini muncul pelanggaran sub prinsip C dalam prinsip keenam pedoman CG dari OECD,

bahwa tidak adanya standar etika yang tinggi dari dewan. Kenapa dewan, karena peran

komisaris-pun perlu dipertanyakan mengingat pengambilan keputusan yang penting seperti

ini tentunya tidaklah luput dari pengamatan dewan komisaris. Seharusnya menjadi tanggung

jawab direksi untuk melakukan pengungkapan terhadap fakta yang ada kepada manajer

investasi, jika mereka akan melakukan investasi tersebut, diluar fakta bahwa investasi seperti

itu dilarang oleh peraturan yang berlaku. Dalam sub prinsip D prinsip keenam CG dari

OECD juga tidak dilakukan oleh komisaris, dimana harus ada tinjauan terhadap rencana yang

besar terkait resiko yang akan dihadapi oleh perusahaan.

BAB 4

PEMBAHASAN

4.1 Analisis Kasus PT Askrindo

Dalam kasus Askrindo yang telah dipaparkan, jelas terlihat bahwa tidak adanya prinsip

kehati-hatian yang dipegang oleh direksi dalam penngambilan keputusan. Hal ini dikarenakan

dengan informasi yang sudah didapatkan oleh direksi, resiko yang sudah jelas, dan peraturan

yang ada, direksi maupun komisaris yang mengawasinya masih melakukan pengambilan

keputusan dengan tidak adanya itikad baik, kejujuran, maupun perhatian besar terhadap

Page 12: CG Kasus 5

kepentingan pemegang saham maupun perusahaan. Kesalahan pertama adalah dalam

penentuan perusahaan yang akan dijamin tidak dilakukan dengan informasi yang relevan dan

akurat. Salah satunya adalah PT Tranka Kabel yang seharusnya tidak dijaminkan kreditnya

karena masalah likuiditas, malah dijaminkan usahanya pada Bank Mandiri. Masalah

likuiditas pada perusahaan ini tentu sudah bisa dilihat, mengingat kerjasama yang dilakukan

denngan Askrindo sudah dilakukan dari tahun 2004 sampai dengan 2008. Alhasil sampai

dengan jatuh tempo, Tranka Kabel tidak bisa melunasi kredit yang diberikan.

Pengambilan keputusan yang tidak sesuai dengan prinsip GCG dan peraturan juga

terlihat disaat Askrindo akan diambil dananya oleh Bank Mandiri. Askrindo sebagai

perushaan penjamin kredit tentunya sudah paham dengan resiko seperti ini, tetapi mereka

tetap tidak mau menanggungnya. Lantas apa dasar Askrindo tidak mau menanggung kerugian

yang disebabkan oleh UMKM yang dijaminnya ? Padahal sudah jelas tertulis di beberapa

peraturan dan undang-udang, seperti POJK No. 33 maupun UU No. 40 tahun 2007, bahwa

jika memang keputusan tentang penentuan UMKM sudah dijalankan dengan benar, maka

direksi dan dewan komisaris tidak akan dimintai pertanggung jawaban menngenai kerugian

yang disebabkan oleh kredit gagal bayar UMKM tersebut. Dari tindakan yang dilakukan

seperti itu, bisa terlihat adanya keputusan yang dibuat untuk menutupi kesalahan

pengambilan keputusan sebelumnya.

Peran dewan selanjutnya bisa dipertanyakan pada saat pembelian promissory notes dan

medium term notes dari UMKM yang dijaminnya. Lagi-lagi informasi yang sudah didapat

tidak dipergunakan oleh dewan dengan itikad baik untuk kepentingan pemegang saham dan

perusahaan. Dewan direksi, dibawah saran dan pengawasan dewan komisaris, tetap

mengeluarkan keputusan tersebut yang berakibat pada gagalnya dua sekuritas tersebut

menyelamatkan kehilangan dana kas Askrindo yang cukup besar. Lain halnya jika laporan

yang diberikan oleh direksi kepada komisaris adalah laporan yang tidak benar dan

menyesatkan. Disini bisa mucul konflik antara dua fungsi executive, dimana komisaris sudah

melakukan tugasnya dengan benar, sedangkan direksi memberikan pernyataan yang

menyesatkan dan tidak benar. Jika yang muncul demikian, prinsip CG dalam OECD

mengatur bahwa untuk mengatasi masalah perusahaan, dewan harus bertindak objektif dan

mengeluarkan keputusan yang independen berdasar kepentingan perusahaan.

Kesalahan dewan selanjutnya adalah pelanggaran terhadap standar etika bisnis yang

tinggi, saat tidak melakukan pengungkapan atas fakta bahwa UMKM yang akan disalurkan

Page 13: CG Kasus 5

dananya melalui manajer investasi mengalami masalah likuiditas maupun solvabilitas terkait

kredit kepada Bank Mandiri melalui Askrindo. Bentuk investasi yang dilakukan juga

merupakan pelanggaran peraturan Bapepam-LK terkait perusahaan asuransi. Padahal peran

dewan komisaris menurut pedoman GCG dari KNKG, salah satunya adalah memastikan

perusahaan memiliki strategi bisnis yang efektif. Dalam kasus ini strategi yang diambil

tentuah tidak efektif, mengingat penyaluran dana dari perusahaan tidak sehat tidak akan

menghasilkan keuntungan apapun, ditambah dengan bentuk investasi yang melanggar

peraturan.

BAB 5

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Penerapan CG yang baik dalam lingkup dewan sebagai organ perusahaan, adalah dewan

harus memiliki prinsip kehati-hatian, yaitu berdasar informasi yang relevan dan akurat,

ketekunan, kejujuran, beritikad baik, dan penuh perhatian. Keputusan yang diambil juga

haruslah berdasar kepentingan perusahaan dan pemegang saham, sebagai pemilik perusahaan,

tanpa mengabaikan peraturan yang berlaku.

Dalam UU No. 40 tahun 2007 tentang PT pasal 105 ayat 1, dijelaskan bahwa keputusan

RUPS dalam melakukan pemberhentian direksi dapat dilakukan jika direksi tersebut

melakukan tindakan yang merugikan perusahaan (perseroan). Peraturan ini juga terdapat

dalam Peraturan Bapepam LK No IX.I.6 mengenai Direksi dan Komisaris Emiten dan

Perusahaan Publik bahwa Direksi bertanggung jawab secara pribadi maupun tanggung

renteng atas pernyataan tidak benar mengenai fakta material ataupun tidak diungkapkannya

fakta tersebut dan Direksi dan Komisaris dapat diminta pertanggung jawabannya apabila

pihak yang bersangkutan tidak hati-hati dalam menyampaikan pernyataan tersebut. Oleh

karena keputusan investasi yang melanggar hukum dan tidak diungkapnya fakta kepada

manajer investasi, Dewan direksi dan komisaris Askrindo bisa untuk diberhentikan sesuai UU

No. 40 pasal 105 ayat 1, peraturan Bapepam-LK No. V.G.6, dan No. IX.I.6.

Dalam kasus Askrindo, jika kita hubungkan dengan prinsip CG nomor enam, maka ada

beberapa kesalahan dewan yang dilakukan. Pertama yaitu dewan tidak mengindahkan etika

Page 14: CG Kasus 5

bisnis yang tinggi dalam keputusannya. Hal itu terjadi ketika UMKM yang bermasalah malah

ditawarkan untuk menjadi peluang investasi pada manajer invetasi yang ada. Kedua yaitu dari

dewan komisaris yang tidak melakukan review atas kebijakan yang salah yang telah diambil

oleh dewan direksi. Atas keputusan direksi melakukan penyaluran dana dalam bentuk KPD

dan repo selama bertahun-tahun, tidak ada tindakan penyelamatan dari dewan komisaris

sebagai pengawas dan pemberi saran bagi manajemen dan direksi. Padahal dalam prinsip CG

OECD dijelaskan bahwa perubahan keputusan bisa diambil jika memang keputusan yang

diambil tidak effective. Ketiga adalah tidak adanya pengawasan dan pengelolaan pada saat

terdapat konflik kepentingan yang melibatkan direksi dengan Tranka Kabel.

Jika kita melihat struktur dewan di Askrindo, standar pemilihan anggota dewan sudah

memenuhi standar yang disyaratkan, background dari para direksi sudah pas dengan

wewenang yang mereka miliki. Peraturan lainnya terkait independensi, seperti menjadi

komisaris maupun direksi di perusahaan lain, juga sudah dilaksananakan. Yang belum ada

adalah fungsi monitoring terhadap kebijakan dewan direksi yang dimonitor oleh dewan

komisaris.

5.2 Saran

Untuk mengatasi adanya fungsi dewan yang tidak berjalan pada perusahaan, seharusnya

dalam pemilihan dewan dilakukan dengan hati-hati, mengingat pentingnya fungsi dewan.

Standar yang tinggi pada saat fit and proper test bisa menjadi filter awal untuk melakukan

tindakan pencegahan. Adanya komite nominasi maupun remunerasi, yang pada saat itu belum

ada, bisa menjadi solusi, sesuai dengan sub prinsip D prinsip keenam CG OECD. Selanjutnya

fungsi dewan komisaris harus diawasi oleh organ lain, tidak hanya komite audit, seperti

auditor eksternal yang independen untuk mencegah adanya penyalahgunaan wewenang. Jika

sudah dilakukan dengan benar, fungsi monitoring dari komisaris dan manajemen dari direksi

akan berjalan dengan baik.

Page 15: CG Kasus 5

BAB 6

DAFTAR PUSTAKA

Undang Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Peraturan Bapepam LK No IX.I.6

Peraturan Bapepam LK No V.G.6

Peraturan OJK No. 33/OJK.04/2014

Keputusan Ketua Bapepam No. KEP-45/PM/2004

Keputusan Direksi PT BEI No. Kep-00001/BEI/01-2014

Peraturan BI No. 8/4/PBI/2006

Peraturan Menteri Keuangan No. 152/PMK.010/2012

OECD, Principles of Corporate Governance (2004)

Michael Jensen and William H Meckling, Theory of The Firm (1976)

Udo C. Brändle dan Jüergen Noll, The Power of Monitoring, German Law Journal

(2004)

Nevile M., The Role of Boards In Small and Medium Size Firms, Journal of Financial

Economic-Elsevier (2011)

RJ Holland, Delaware Director’s Fiduciary Duties : The Focus on Loyalti, Pennsylvania

Journal of Law (2009)

wikipedia.com

ojk.go.id

okezone.com

news.detik.com

nasional.kompas.com