cerita rakyat
DESCRIPTION
Berbagai cerita rakyat yang menjadi mitos maupun legenda di tanah air.TRANSCRIPT
Kisah Rara Mendut Jawa Tengah - Indonesia
Rating : 2.6 (45 pemilih)
Rara Mendut atau Roro Mendut (dalam bahasa Jawa) adalah seorang gadis cantik yang berpendirian
teguh. Karunia kecantikan yang luar biasa membuat Rara Mendut menjadi rebutan para pria, mulai
dari kalangan rakyat biasa, bangsawan, hingga panglima perang. Suatu ketika, Rara Mendut diculik
oleh Adipati Pragolo II, penguasa Kadipaten Pati untuk dijadikan selir. Namun, sebelum menjadi selir
Adipati Pragolo II, Rara Mendut direbut oleh panglima perang Kerajaan Mataram, Tumenggung
Wiraguna untuk dijadikan selir pula. Bagaimana nasib Rara Mendut selanjutnya? Berikut kisahnya
dalam cerita Kisah Rara Mendut.
* * *
Dahulu, di pesisir pantai utara Pulau Jawa, tepatnya di daerah Pati, Jawa Tengah, tersebutlah sebuah
desa nelayan bernama Teluk Cikal. Desa itu termasuk ke dalam wilayah Kadipaten Pati yang diperintah
oleh Adipati Pragolo II. Kadipaten Pati sendiri merupakan salah satu wilayah taklukan dari Kesultanan
Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung.
Di Teluk Cikal, hidup seorang gadis anak nelayan bernama Rara Mendut. Ia seorang gadis yang cantik
dan rupawan. Rara Mendut juga dikenal sebagai seorang gadis yang teguh pendirian. Ia tidak sungkan-
sungkan menolak para lelaki yang datang melamarnya sebab ia sudah memiliki calon suami, yakni
seorang pemuda desa yang tampan bernama Pranacitra, putra Nyai Singabarong, seorang saudagar
kaya-raya.
Suatu hari, berita tentang kecantikan dan kemolekan Rara Mendut terdengar oleh Adipati Pragolo II.
Penguasa Kadipaten Pati itu pun bermaksud menjadikannya sebagai selir. Sudah berkali-kali ia
membujuknya, namun Rara Mendut tetap menolak. Merasa dikecewakan, Adipati Pragolo II mengutus
beberapa pengawalnya untuk menculik Rara Mendut.
Hari itu, ketika Rara Mendut sedang asyik menjemur ikan di pantai seorang diri, datanglah utusan
Adipati Progolo.
“Ayo gadis cantik, ikut kami ke keraton!” seru para pengawal itu sambil menarik kedua tangan Rara
Mendut dengan kasar.
“Lepaskan, aku!” teriak Rara Mendut sambil meronta-ronta, “Aku tidak mau menjadi selir Adipati
Pragolo. Aku sudah punya kekasih!”
Para pengawal itu tidak peduli dengan rengekan Rara Mendut. Mereka terus menyeret gadis itu naik
ke kuda lalu membawanya ke keraton. Sebagai calon selir, Rara Mendut dipingit di dalam Puri
Kadipaten Pati di bawah asuhan seorang dayang bernama Ni Semangka dengan dibantu oleh seorang
dayang yang lebih muda bernama Genduk Duku.
Sementara Rara Mendut dalam masa pingitan, di Kadipaten Pati sedang terjadi gejolak. Sultan Agung
menuding Adipati Pragolo II sebagai pemberontak karena tidak mau membayar upeti kepada
Kesultanan Mataram. Sultan Agung pun memimpin langsung penyerangan ke Kadipaten Pati.
Menurut cerita, Sultan Agung tidak mampu melukai Adipati Pragolo II karena penguasa Pati itu
memakai kere waja (baju zirah) yang tidak mempan senjata apapun. Melihat hal itu, abdi pemegang
payung sang Sultan yang bernama Ki Nayadarma pun berkata,
“Ampun, Gusti Prabu. Perkenankanlah hamba yang menghadapi Adipati Pragolo!” pinta Ki Nayadarma
seraya memberi sembah.
“Baiklah, Abdiku. Gunakanlah tombak Baru Klinting ini!” ujar sang Sultan.
Berbekal tombak pusaka Baru Klinting, Ki Nayadarma langsung menyerang Adipati Pragolo II. Namun,
serangannya masih mampu ditepis oleh Adipati Pragolo II. Saat Adipati itu lengah, Ki Nayadarma
dengan cepat menikamkan pusaka Baru Klinting ke bagian tubuh sang Adipati yang tidak terlindungi
oleh baju zirah. Adipati Pragolo II pun tewas seketika.
Sementara itu, para prajurit yang dikomandani panglima perang Mataram, Tumenggung Wiraguna,
segera merampas harta kekayaan Kadipaten Pati, termasuk Rara Mendut. Tumenggung Wiraguna
langsung terpesona saat melihat kecantikan Rara Mendut. Ia pun memboyong Rara Mendut ke
Mataram untuk dijadikan selirnya.
Tumenggung Wiraguna berkali-kali membujuk Rara Mendut untuk dijadikan selir, namun selalu ditolak.
Bahkan, di hadapan panglima itu, ia berani terang-terangan menyatakan bahwa dirinya telah memiliki
kekasih bernama Pranacitra. Sikap Rara Mendut yang keras kepala itu membuat Tumenggung
Wiraguna murka.
“Baiklah, Rara Mendut. Jika kamu tidak ingin menjadi selirku, maka sebagai gantinya kamu harus
membayar pajak kepada Mataram!” ancam Tumenggung Wiraguna.
Rara Mendut tidak gentar mendengar ancaman itu. Ia lebih memilih membayar pajak daripada harus
menjadi selir Tumenggung Wiraguna. Oleh karena masih dalam pengawasan prajurit Mataram, Rara
Mendut kemudian meminta izin untuk berdagang rokok di pasar. Tumenggung Wiraguna pun
menyetujuinya. Ternyata, dagangan rokoknya laku keras, bahkan, orang juga beramai-ramai membeli
puntung rokok bekas isapan Rara Mendut.
Suatu hari, ketika sedang berjualan di pasar, Rara Mendut bertemu dengan Pranacitra yang sengaja
datang mencari kekasihnya itu. Pranacitra berusaha mencari jalan untuk bisa melarikan Rara Mendut
dari Mataram.
Setiba di istana, Rara Mendut menceritakan perihal pertemuannya dengan Pranacitra kepada Putri
Arumardi, salah seorang selir Wiraguna, dengan harapan dapat membantunya keluar dari istana. Rara
Mendut tahu persis bahwa Putri Arumardi tidak setuju jika Wiraguna menambah selir lagi.
Putri Arumardi dan selir Wiraguna lainnya yang bernama Nyai Ajeng menyusun siasat untuk
mengeluarkan Rara Mendut ke luar dari istana. Bersama dengan Pranacitra, Rara Mendut berusaha
untuk kembali ke kampung halamannya di Kadipaten Pati.
Namun sungguh disayangkan, pelarian Rara Mendut dan Pranacitra diketahui oleh Wiraguna.
Pasangan ini akhirnya berhasil ditemukan oleh para prajurit Wiraguna. Rara Mendut pun dibawa
kembali ke Mataram, sedangkan secara diam-diam, Wiraguna memerintahkan abdi kepercayaannya
untuk menghabisi nyawa Pranacitra. Alhasil, kekasih Rara Mendut itu tewas dan dikuburkan di sebuah
hutan terpencil di Ceporan, Desa Gandhu, terletak kurang lebih 9 kilometer sebelah timur Kota
Yogyakarta.
Sepeninggal Pranacitra, Tumenggung Wiraguna kembali membujuk Rara Mendut agar mau menjadi
selirnya. Namun, usahanya tetap sia-sia, gadis cantik itu tetap menolak. Sang Panglima pun tidak
kehabisan akal. Ia kemudian menceritakan perihal kematian Pranacitra kepada Rara Mendut.
“Sudahlah, Rara Mendut. Percuma saja kamu menikah dengan Pranacitra,” ujar Tumenggung
Wiraguna.
“Apa maksud, Tuan?” tanya Rara Mendut mulai cemas.
“Pemuda yang kamu kasihi itu sudah tidak ada lagi,” jawab Tumenggung Wiraguna.
“Kanda Pranacitra sudah tidak ada? Ah, itu tidak mungkin terjadi. Aku baru saja bertemu dengannya
kemarin,” kata Rara Mendut tidak percaya.
“Jika kamu tidak percaya, ikutlah bersamaku, akan kutunjukkan kuburnya,” ujar Tumenggung
Wiraguna.
Rara Mendut pun menurut untuk membuktikan perkataan Tumenggung Wiraguna. Betapa terkejutnya
Rara Mendut begitu sampai di tempat Pranacitra dikuburkan. Ia berteriak histeris di hadapan makam
kekasihnya.
“Kanda, jangan tinggalkan Dinda!” tangis Rara Mendut.
“Sudahlah, Mendut! Tak ada lagi gunanya meratapi orang yang sudah mati,” ujar Wiraguna, “Ayo, kita
tinggalkan tempat ini!”
Rara Mendut pun bangkit lalu mengikuti Tumenggung Wiraguna sambil terus menangis. Belum jauh
mereka meninggalkan tempat pemakaman itu, Rara Mendut pun murka dan mengancam akan
melaporkan perbuatan Wiraguna kepada Raja Mataram, Sultan Agung.
“Tuan jahat sekali. Perbuatan Tuan akan kulaporkan kepada Raja Mataram agar mendapat hukuman
yang setimpal!” ancam Rara Mendut.
Seketika, Tumenggung Wiraguna menjadi sangat marah. Ia kemudian menarik tangan Rara Mendut
untuk dibawa pulang ke rumahnya. Namun, gadis itu menolak dan meronta-ronta untuk melepaskan
diri. Begitu tangannya terlepas, ia menarik keris milik Tumenggung Wiraguna yang terselip di
pinggangnya. Rara Mendut kemudian berlari menuju makam kekasihnya. Panglima itu pun berusaha
mengejarnya.
“Berhenti, Mendut!” teriaknya.
Setiba di makam Pranacitra, Rara Mendut bermaksud untuk bunuh diri.
“Jangan, Mendut! Jangan lakukan itu!” teriak Tumenggung Wiraguna yang baru saja sampai.
Namun, semuanya sudah terlambat. Rara Mendut telah menikam perutnya dengan keris yang
dibawanya. Tubuhnya pun langsung roboh dan tewas di samping makam kekasihnya. Melihat peristiwa
itu, Tumenggung Wiraguna merasa amat menyesal atas perbuatannya.
“Oh, Tuhan. Sekiranya aku tidak memaksanya menjadi selirku, tentu Rara Mendut tidak akan nekad
bunuh diri,” sesal Tumenggung Wiraguna.
Penyesalan itu tak ada gunanya karena semuanya sudah terjadi. Untuk menebus kesalahannya,
Tumenggung Wiraguna menguburkan Rara Mendut satu liang dengan Pranacitra. Begitulah kisah
perjuangan Rara Mendut dalam mempertahankan harga diri dan kesetiaannya.
* * *
Demikian cerita Kisah Rara Mendut dari Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Hingga kini, kisah ini masih
dikenang dan menjadi simbol cinta yang abadi dalam masyarakat Jawa. Oleh YB. Mangunwijaya, cerita
ini telah ditulis dalam trilogi karya sastra klasik berjudul Rara Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri
yang dimuat di harian Kompas secara bersambung. Sekitar tahun 1983, novel ini kemudian diadaptasi
menjadi sebuah film yang berjudul “Roro Mendut” yang disutradarai oleh Ami Prijono. Tahun 2008,
novel trilogi ini kembali diterbitkan ke dalam gabungan sebuah novel yang berjudul Rara Mendut:
Sebuah Trilogi.
Adapun pesan moral yang dapat dipetik dari kisah di atas adalah bahwa harta, pangkat, dan jabatan
bukanlah jaminan untuk mendapatkan cinta sejati seseorang. Cinta sejati tidak selamanya bisa dinilai
dengan materi, namun justru cinta itu hadir karena perasaan saling memberi-menerima dan memiliki
sebagaimana kisah Rara Mendut dan Pranacitra. (Samsuni/sas/283/10-11)
Diceritakan kembali oleh Samsuni
LUTUNG KASARUNG
Cerita Rakyat Jawa Barat
Pada jaman dahulu kala di tatar pasundan ada sebuah kerajaan yang pimpin oleh seorang raja yang bijaksana, beliau dikenal sebagai Prabu Tapak Agung.
Prabu Tapa Agung mempunyai dua orang putri cantik yaitu Purbararang dan adiknya Purbasari.
Pada saat mendekati akhir hayatnya Prabu Tapak Agung menunjuk Purbasari, putri bungsunya sebagai pengganti. “Aku sudah terlalu tua, saatnya aku turun tahta,” kata Prabu Tapa.
Purbasari memiliki kakak yang bernama Purbararang. Ia tidak setuju adiknya diangkat menggantikan Ayah mereka. “Aku putri Sulung, seharusnya ayahanda memilih aku sebagai penggantinya,” gerutu Purbararang pada tunangannya yang bernama Indrajaya. Kegeramannya yang sudah memuncak membuatnya mempunyai niat mencelakakan adiknya. Ia menemui seorang nenek sihir untuk memanterai Purbasari. Nenek sihir itu memanterai Purbasari sehingga saat itu juga tiba-tiba kulit Purbasari menjadi bertotol-totol hitam. Purbararang jadi punya alasan untuk mengusir adiknya tersebut. “Orang yang dikutuk seperti dia tidak pantas menjadi seorang Ratu !” ujar Purbararang.
Kemudian ia menyuruh seorang Patih untuk mengasingkan Purbasari ke hutan. Sesampai di hutan patih tersebut masih berbaik hati dengan membuatkan sebuah pondok untuk Purbasari. Ia pun menasehati Purbasari, “Tabahlah Tuan Putri. Cobaan ini pasti akan berakhir, Yang Maha Kuasa pasti akan selalu bersama Putri”. “Terima kasih paman”, ujar Purbasari.
Selama di hutan ia mempunyai banyak teman yaitu hewan-hewan yang selalu baik kepadanya. Diantara hewan tersebut ada seekor kera berbulu hitam yang misterius. Tetapi kera tersebut yang paling perhatian kepada Purbasari. Lutung kasarung selalu menggembirakan Purbasari dengan mengambilkan bunga –bunga yang indah serta buah-buahan bersama teman-temannya.
Pada saat malam bulan purnama, Lutung Kasarung bersikap aneh. Ia berjalan ke tempat yang sepi lalu bersemedi. Ia sedang memohon sesuatu kepada Dewata. Ini membuktikan bahwa Lutung Kasarung bukan makhluk biasa. Tidak lama kemudian, tanah di dekat Lutung merekah dan terciptalah sebuah telaga kecil, airnya jernih sekali. Airnya mengandung obat yang sangat harum.
Keesokan harinya Lutung Kasarung menemui Purbasari dan memintanya untuk mandi di telaga tersebut. “Apa manfaatnya bagiku ?”, pikir Purbasari. Tapi ia mau menurutinya. Tak lama setelah ia menceburkan dirinya. Sesuatu terjadi pada kulitnya. Kulitnya menjadi bersih seperti semula dan ia menjadi cantik kembali. Purbasari sangat terkejut dan gembira ketika ia bercermin ditelaga tersebut.
Di istana, Purbararang memutuskan untuk melihat adiknya di hutan. Ia pergi bersama tunangannya dan para pengawal. Ketika sampai di hutan, ia akhirnya bertemu dengan adiknya dan saling berpandangan. Purbararang tak percaya melihat adiknya kembali seperti semula. Purbararang tidak mau kehilangan muka, ia mengajak Purbasari adu panjang rambut. “Siapa yang paling panjang rambutnya dialah yang menang !”, kata Purbararang. Awalnya Purbasari tidak mau, tetapi karena terus didesak ia meladeni kakaknya. Ternyata rambut Purbasari lebih panjang.
“Baiklah aku kalah, tapi sekarang ayo kita adu tampan tunangan kita, Ini tunanganku”, kata Purbararang sambil mendekat kepada Indrajaya. Purbasari mulai gelisah dan kebingungan. Akhirnya ia melirik serta menarik tangan Lutung Kasarung. Lutung Kasarung melonjak-lonjak seakan-akan menenangkan Purbasari. Purbararang tertawa terbahak-bahak, “Jadi monyet itu tunanganmu ?”.
Pada saat itu juga Lutung Kasarung segera bersemedi. Tiba-tiba terjadi suatu keajaiban. Lutung Kasarung berubah menjadi seorang Pemuda gagah berwajah sangat tampan, lebih dari Indrajaya. Semua terkejut melihat kejadian itu seraya bersorak gembira. Purbararang akhirnya mengakui kekalahannya dan kesalahannya selama ini. Ia memohon maaf kepada adiknya dan memohon untuk tidak dihukum. Purbasari yang baik hati memaafkan mereka. Setelah kejadian itu akhirnya mereka semua kembali ke Istana.
Purbasari menjadi seorang ratu, didampingi oleh seorang pemuda idamannya. Pemuda yang ternyata selama ini selalu mendampinginya dihutan dalam wujud seekor lutung.
Legenda Rawa PeningJawa Tengah - Indonesia
Rating : 3 (63 pemilih)
Rawa Pening adalah sebuah danau yang merupakan salah satu obyek wisata air di Kabupaten
Semarang, Jawa Tengah. Danau ini tepatnya berada di cekungan terendah antara Gunung Merbabu,
Telomoyo, dan Ungaran. Rawa Pening memiliki ukuran sekitar 2.670 hektar yang menempati empat
wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru. Menurut cerita,
danau ini terbentuk akibat suatu peristiwa yang pernah terjadi di daerah tersebut. Peristiwa apakah
itu? Berikut kisahnya dalam cerita Legenda Rawa Pening.
* * *
Dahulu, di lembah antara Gunung Merbabu dan Telomoyo terdapat sebuah desa bernama Ngasem. Di
desa itu tinggal sepasang suami-istri yang bernama Ki Hajar dan Nyai Selakanta yang dikenal pemurah
dan suka menolong sehingga sangat dihormati oleh masyarakat. Sayangnya, mereka belum
mempunyai anak. Meskipun demikian, Ki Hajar dan istrinya selalu hidup rukun. Setiap menghadapi
permasalahan, mereka selalu menyelesaikannya melalui musyawarah.
Suatu hari, Nyai Selakanta duduk termenung seorang diri di depan rumahnya. Tak lama kemudian, Ki
Hajar datang menghampiri dan duduk di sampingnya.
“Istriku, kenapa kamu terlihat sedih begitu?” tanya Ki Hajar.
Nyai Selakanta masih saja terdiam. Ia rupanya masih tenggelam dalam lamunannya sehingga tidak
menyadari keberadaan sang suami di sampingnya. Ia baru tersadar setelah Ki Hajar memegang
pundaknya.
“Eh, Kanda,” ucapnya dengan terkejut.
“Istriku, apa yang sedang kamu pikirkan?” Ki Hajar kembali bertanya.
“Tidak memikirkan apa-apa, Kanda. Dinda hanya merasa kesepian, apalagi jika Kanda sedang pergi.
Sekiranya di rumah ini selalu terdengar suara tangis dan rengekan seorang bayi, tentu hidup ini tidak
sesepi ini,” ungkap Nyai Selakanta, “Sejujurnya Kanda, Dinda ingin sekali mempunyai anak. Dinda
ingin merawat dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang.”
Mendengar ungkapan isi hati istrinya, Ki Hajar menghela nafas panjang.
“Sudahlah, Dinda. Barangkali belum waktunya Tuhan memberi kita anak. Yang penting kita harus
berusaha dan terus berdoa kepada-Nya,” ujar Ki Hajar.
“Iya, Kanda,” jawab Nyai Selakanta sambil meneteskan air mata.
Ki Hajar pun tak kuasa menahan air matanya melihat kesedihan istri yang amat dicintainya itu.
“Baiklah, Dinda. Jika memang Dinda sangat menginginkan anak, izinkanlah Kanda pergi bertapa untuk
memohon kepada Yang Mahakuasa,” kata Ki Hajar.
Nyai Selakanta pun memenuhi keinginan suaminya, meskipun berat untuk berpisah. Keesokan harinya,
berangkatlah Ki Hajar ke lereng Gunung Telomoyo. Tinggallah kini Nyai Selakanta seorang diri dengan
hati semakin sepi.
Berminggu-minggu, bahkan sudah berbulan-bulan Nyai Selakanta menunggu, namun sang suami
belum juga kembali dari pertapaannya. Hati wanita itu pun mulai diselimuti perasaan cemas kalau-
kalau terjadi sesuatu pada suaminya.
Suatu hari, Nyai Selakanta merasa mual dan kemudian muntah-muntah. Ia pun berpikir bahwa dirinya
sedang hamil. Ternyata dugaannya benar. Semakin hari perutnya semakin membesar. Setelah tiba
saatnya, ia pun melahirkan. Namun, alangkah terkejutnya ia karena anak yang dilahirkan bukanlah
seorang manusia, melainkan seekor naga.
Ia menamai anak itu Baru Klinthing. Nama ini diambil dari nama tombak milik suaminya yang bernama
Baru Klinthing. Kata “baru” berasal dari kata bra yang artinya keturunan Brahmana, yaitu seorang resi
yang kedudukannya lebih tinggi dari pendeta. Sementara kata “Klinthing” berarti lonceng.
Ajaibnya, meskipun berwujud naga, Baru Klinthing dapat berbicara seperti manusia. Nyai Selakanta
pun terheran-heran bercampur haru melihat keajaiban itu. Namun di sisi lain, ia juga sedikit merasa
kecewa. Sebab, betapa malunya ia jika warga mengetahui bahwa dirinya melahirkan seekor naga.
Untuk menutupi hal tersebut, ia pun berniat untuk mengasingkan Baru Klinthing ke Bukit Tugur. Tapi
sebelum itu, ia harus merawatnya terlebih dahulu hingga besar agar dapat menempuh perjalanan
menuju ke lereng Gunung Telomoyo yang jaraknya cukup jauh. Tentu saja, Nyai Selakanta merawat
Baru Klinthing dengan sembunyi-sembunyi, tanpa sepengetahuan warga.
Waktu terus berjalan. Baru Klinthing pun tumbuh menjadi remaja. Suatu hari, anak itu bertanya
kepada ibunya.
“Bu, apakah aku mempunyai ayah?” tanyanya dengan polos.
Nyai Selakanta tersentak kaget. Ia benar-benar tidak pernah menduga pertanyaan itu keluar dari
mulut anaknya. Namun, hal itu telah menyadarkan dirinya bahwa sudah saatnya Baru Klinthing
mengetahui siapa ayahnya.
“Iya, anakku. Ayahmu bernama Ki Hajar. Tapi, ayahmu saat ini sedang bertapa di lereng Gunung
Telomoyo. Pergilah temui dia dan katakan padanya bahwa engkau adalah putranya,” kata Nyai
Selakanta.
“Tapi, Bu. Apakah ayah mau mempercayaiku dengan tubuhku seperti ini?” tanya Baru Klinthing
dengan ragu.
“Jangan khawatir, Anakku! Bawalah pusaka tombak Baru Klinthing ini sebagai bukti,” ujar Nyai
Selakanta, “Pusaka itu milik ayahmu.”
Setelah memohon restu dan menerima pusaka dari ibunya, Baru Klinthing berangkat menuju lereng
Gunung Telomoyo. Setiba di sana, masuklah ia ke dalam gua dan mendapati seorang laki-laki sedang
duduk bersemedi. Kedatangan Baru Klinting rupanya mengusik ketenangan pertapa itu.
“Hai, siapa itu?” tanya pertapa.
“Maafkan saya, tuan, jika kedatangan saya mengganggu ketenangan Tuan,” kata Baru Klinting.
Betapa terkejutnya pertapa itu saat melihat seekor naga yang dapat berbicara.
“Siapa kamu dan kenapa kamu bisa berbicara seperti manusia?” tanya pertapa itu dengan heran.
“Saya Baru Klinthing,” jawab Baru Klinthing. “Kalau boleh tahu, apakah benar ini tempat pertapaan Ki
Hajar?”
“Iya, aku Ki Hajar. Tapi, bagaimana kamu tahu namaku? Siapa kamu sebenarnya?” tanya pertapa itu
penasaran.
Mendengar jawaban itu, Baru Klinthing langsung bersembah sujud di hadapan ayahnya. Ia kemudian
menjelaskan siapa dirinya. Awalnya, Ki Hajar tidak percaya jika dirinya memiliki anak berujud seekor
naga. Ketika naga itu menunjukkan pusaka Baru Klinthing kepadanya, Ki Hajar pun mulai percaya.
Namun, ia belum yakin sepenuhnya.
“Baiklah, aku percaya jika pusaka Baru Klinthing itu adalah milikku. Tapi, bukti itu belum cukup bagiku.
Jika kamu memang benar-benar anakku, coba kamu lingkari Gunung Telomoyo ini!” ujar Ki Hajar.
Baru Klinthing segera melaksanakan perintah tersebut untuk meyakinkan sang ayah. Berbekal
kesaktian yang dimiliki, Baru Klinting berhasil melingkari Gunung Telomoyo. Akhirnya, Ki Hajar pun
mengakui bahwa naga itu adalah anaknya. Setelah itu, ia kemudian memerintahkan anaknya untuk
bertapa di Bukit Tugur.
“Pergilah bertapa ke Bukit Tugur!” ujar Ki Hajar, “Suatu saat kelak, tubuhmu akan berubah menjadi
manusia.”
“Baik,” jawab Baru Klinthing.
Sementara itu, tersebutlah sebuah desa bernama Pathok. Desa ini sangat makmur, namun sayang
penduduk desa ini sangat angkuh. Suatu ketika, penduduk Desa Pathok bermaksud mengadakan merti
dusun (bersih desa), yaitu pesta sedekah bumi setelah panen. Untuk memeriahkan pesta, akan digelar
berbagai pertunjukan seni dan tari. Berbagai makanan lezat pun akan disajikan sebagai hidangan
bersama dan jamuan untuk para tamu undangan. Untuk itulah, para warga beramai-ramai berburu
binatang di Bukit Tugur.
Sudah hampir seharian mereka berburu, namun belum satu pun binatang yang tertangkap. Ketika
hendak kembali ke desa, tiba-tiba mereka melihat seekor naga sedang bertapa. Naga ini tak lain
adalah Baru Klinthing. Mereka pun beramai-ramai menangkap dan memotong-motong daging naga itu
lalu membawanya pulang. Setiba di desa, daging naga itu mereka masak untuk dijadikan hidangan
dalam pesta.
Ketika para warga sedang asyik berpesta, datanglah seorang anak laki-laki yang tubuhnya penuh
dengan luka sehingga menimbulkan bau amis. Rupanya, anak laki-laki itu adalah penjelmaan Baru
Klinthing. Oleh karena lapar, Baru Klinthing pun ikut bergabung dalam keramaian itu. Saat ia meminta
makanan kepada warga, tak satu pun yang mau memberi makan. Mereka justru memaki-maki, bahkan
mengusirnya.
“Hai, pengemis. Cepat pergi dari sini!” usir para warga, “Tubuhmu bau amis sekali.”
Sungguh malang nasib Baru Klinthing. Dengan perut keroncongan, ia pun berjalan sempoyongan
hendak meninggalkan desa. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang janda tua bernama Nyi
Latung.
“Hai, anak muda. Kenapa kamu tidak ikut berpesta?” tanya Nyi Latung.
“Semua orang menolak kehadiranku di pesta itu. Mereka jijik melihat tubuhku,” jawab Baru Klinthing,
“Padahal, saya lapar sekali.”
Nyi Latung yang baik hati itu pun mengajak Baru Klinthing ke rumahnya. Nenek itu segera
menghidangkan makanan lezat.
“Terima kasih, Nek,” ucap Baru Klinthing, “Ternyata masih ada warga yang baik hati di desa ini.”
“Iya, cucuku. Semua warga di sini memiliki sifat angkuh. Mereka pun tidak mengundang Nenek ke
pesta karena jijik melihatku,” ungkap Nyi Latung.
“Kalau, begitu. Mereka harus diberi pelajaran,” ujar Baru Klinthing. “Jika nanti Nenek mendengar suara
gemuruh, segeralah siapkan lesung kayu (lumpang: alat menumbuk padi)!”
Baru Klinthing kembali ke pesta dengan membawa sebatang lidi. Setiba di tengah keramaian, ia
menancapkan lidi itu ke tanah.
“Wahai, kalian semua. Jika kalian merasa hebat, cabutlah lidi yang kutancapkan ini!” tantang Baru
Klinthing.
Merasa diremehkan, warga pun beramai-ramai hendak mencabut lidi itu. Mula-mula, para anak kecil
disuruh mencabutnya, tapi tak seorang pun yang berhasil. Ketika giliran para kaum perempuan,
semuanya tetap saja gagal. Akhirnya, kaum laki-laki yang dianggap kuat pun maju satu persatu.
Namun, tak seorang pun dari mereka yang mampu mencabut lidi tersebut.
“Ah, kalian semua payah. Mencabut lidi saja tidak bisa,” kata Baru Klinthing.
Baru Klinthing segera mencabut lidi itu. Karena kesaktiannya, ia pun mampu mencabut lidi itu dengan
mudahnya. Begitu lidi itu tercabut, suara gemuruh pun menggentarkan seluruh isi desa. Beberapa saat
kemudian, air menyembur keluar dari bekas tancapan lidi itu. Semakin lama semburan air semakin
besar sehingga terjadilah banjir besar. Semua penduduk kalang kabut hendak menyelamatkan diri.
Namun, usaha mereka sudah terlambat karena banjir telah menenggelamkan mereka. Seketika, desa
itu pun berubah menjadi rawa atau danau, yang kini dikenal dengan Rawa Pening.
Sementara itu, usai mencabut lidi, Baru Klinthing segera berlari menemui Nyi Latung yang sudah
menunggu di atas lesung yang berfungsi sebagai perahu. Maka, selamatlah ia bersama nenek itu.
Setelah peristiwa itu, Baru Klinthing kembali menjadi naga untuk menjaga Rawa Pening.
* * *
Demikian cerita Legenda Rawa Pening dari Jawa Tengah. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita
di atas adalah sifat angkuh, sombong, dan tidak menghargai orang lain adalah sifat tidak terpuji.
Saling membantu dan saling tolong menolong merupakan perbuatan baik yang patut untuk dicontoh,
tanpa memandang latar belakang status sosial, agama, asal, dan kondisi fisik orang yang ditolong.
(Samsuni/sas/282/10-11)
Diceritakan kembali oleh Samsuni
CINDELARAS
Kerajaan Jenggala dipimpin oleh seorang raja yang bernama Raden Putra. Ia didampingi oleh seorang permaisuri yang baik hati dan seorang selir yang memiliki sifat iri dan dengki. Raja Putra dan kedua istrinya tadi hidup di dalam istana yang sangat megah dan damai. Hingga suatu hari selir raja merencanakan sesuatu yang buruk pada permaisuri raja. Hal tersebut dilakukan karena selir Raden Putra ingin menjadi permaisuri.
Selir baginda lalu berkomplot dengan seorang tabib istana untuk melaksanakan rencana tersebut. Selir baginda berpura-pura sakit parah. Tabib istana lalu segera dipanggil sang Raja. Setelah memeriksa selir tersebut, sang tabib mengatakan bahwa ada seseorang yang telah menaruh racun dalam minuman tuan putri. "Orang itu tak lain adalah permaisuri Baginda sendiri," kata sang tabib. Baginda menjadi murka mendengar penjelasan tabib istana. Ia segera memerintahkan patih untuk membuang permaisuri ke hutan dan membunuhnya.
Sang Patih segera membawa permaisuri yang sedang mengandung itu ke tengah hutan belantara. Tapi, patih yang bijak itu tidak mau membunuh sang permaisuri. Rupanya sang patih sudah mengetahui niat jahat selir baginda. "Tuan putri tidak perlu khawatir, hamba akan melaporkan kepada Baginda bahwa tuan putri sudah hamba bunuh," kata patih. Untuk mengelabui raja, sang patih melumuri pedangnya dengan darah kelinci yang ditangkapnya. Raja merasa puas ketika sang patih melapor kalau ia sudah membunuh permaisuri.
Setelah beberapa bulan berada di hutan, sang permaisuri melahirkan seorang anak laki-laki. Anak itu diberinya nama Cindelaras. Cindelaras tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas dan tampan. Sejak kecil ia sudah berteman dengan binatang penghuni hutan. Suatu hari, ketika sedang asyik bermain, seekor rajawali menjatuhkan sebutir telur ayam. Cindelaras kemudian mengambil telur itu dan bermaksud menetaskannya. Setelah 3 minggu, telur itu menetas menjadi seekor anak ayam yang sangat lucu. Cindelaras memelihara anak ayamnya dengan rajin. Kian hari anak ayam itu tumbuh menjadi
seekor ayam jantan yang gagah dan kuat. Tetapi ada satu yang aneh dari ayam tersebut. Bunyi kokok ayam itu berbeda dengan ayam lainnya. "Kukuruyuk... Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra...", kokok ayam itu
Cindelaras sangat takjub mendengar kokok ayamnya itu dan segera memperlihatkan pada ibunya. Lalu, ibu Cindelaras menceritakan asal usul mengapa mereka sampai berada di hutan. Mendengar cerita ibundanya, Cindelaras bertekad untuk ke istana dan membeberkan kejahatan selir baginda. Setelah di ijinkan ibundanya, Cindelaras pergi ke istana ditemani oleh ayam jantannya. Ketika dalam perjalanan ada beberapa orang yang sedang menyabung ayam. Cindelaras kemudian dipanggil oleh para penyabung ayam. "Ayo, kalau berani, adulah ayam jantanmu dengan ayamku," tantangnya. "Baiklah," jawab Cindelaras. Ketika diadu, ternyata ayam jantan Cindelaras bertarung dengan perkasa dan dalam waktu singkat, ia dapat mengalahkan lawannya. Setelah beberapa kali diadu, ayam Cindelaras tidak terkalahkan.
Berita tentang kehebatan ayam Cindelaras tersebar dengan cepat hingga sampai ke Istana. Raden Putra akhirnya pun mendengar berita itu. Kemudian, Raden Putra menyuruh hulubalangnya untuk mengundang Cindelaras ke istana. "Hamba menghadap paduka," kata Cindelaras dengan santun. "Anak ini tampan dan cerdas, sepertinya ia bukan keturunan rakyat jelata," pikir baginda. Ayam Cindelaras diadu dengan ayam Raden Putra dengan satu syarat, jika ayam Cindelaras kalah maka ia bersedia kepalanya dipancung, tetapi jika ayamnya menang maka setengah kekayaan Raden Putra menjadi milik Cindelaras.
Dua ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani. Tetapi dalam waktu singkat, ayam Cindelaras berhasil menaklukkan ayam sang Raja. Para penonton bersorak sorai mengelu-elukan Cindelaras dan ayamnya. "Baiklah aku mengaku kalah. Aku akan menepati janjiku. Tapi, siapakah kau sebenarnya, anak muda?" Tanya Baginda Raden Putra. Cindelaras segera membungkuk seperti membisikkan sesuatu pada ayamnya. Tidak berapa lama ayamnya segera berbunyi. "Kukuruyuk... Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra...," ayam jantan itu berkokok berulang-ulang. Raden Putra terperanjat mendengar kokok ayam Cindelaras. "Benarkah itu?" Tanya baginda keheranan. "Benar Baginda, nama hamba Cindelaras, ibu hamba adalah permaisuri Baginda."
Bersamaan dengan itu, sang patih segera menghadap dan menceritakan semua peristiwa yang sebenarnya telah terjadi pada permaisuri. "Aku telah melakukan kesalahan," kata Baginda Raden Putra. "Aku akan memberikan hukuman yang setimpal pada selirku," lanjut Baginda dengan murka. Kemudian, selir Raden Putra pun di buang ke hutan. Raden Putra segera memeluk anaknya dan meminta maaf atas kesalahannya Setelah itu, Raden Putra dan hulubalang segera menjemput permaisuri ke hutan.. Akhirnya Raden Putra, permaisuri dan Cindelaras dapat berkumpul kembali. Setelah Raden Putra meninggal dunia, Cindelaras menggantikan kedudukan ayahnya. Ia memerintah negerinya dengan adil dan bijaksana.
DANAU TOBA
Cerita Rakyat Sumatera Utara
Di wilayah Sumatera hiduplah seorang petani yang sangat rajin bekerja. Ia hidup sendiri sebatang kara. Setiap hari ia bekerja menggarap lading dan mencari ikan dengan tidak mengenal lelah. Hal ini dilakukannya untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Pada suatu hari petani tersebut pergi ke sungai di dekat tempat tinggalnya, ia bermaksud mencari ikan untuk lauknya hari ini. Dengan hanya berbekal sebuah kail, umpan dan tempat ikan, ia pun langsung menuju ke sungai. Setelah sesampainya di sungai, petani tersebut langsung melemparkan kailnya. Sambil menunggu kailnya dimakan ikan, petani tersebut berdoa,“Ya Alloh, semoga aku dapat ikan banyak hari ini”. Beberapa saat setelah berdoa, kail yang dilemparkannya tadi nampak bergoyang-goyang. Ia segera menarik kailnya. Petani tersebut sangat senang sekali, karena ikan yang didapatkannya sangat besar dan cantik sekali.
Setelah beberapa saat memandangi ikan hasil tangkapannya, petani itu sangat terkejut. Ternyata ikan yang ditangkapnya itu bisa berbicara. “Tolong aku jangan dimakan Pak!! Biarkan aku hidup”, teriak ikan itu. Tanpa banyak Tanya, ikan tangkapannya itu langsung dikembalikan ke dalam air lagi. Setelah mengembalikan ikan ke dalam air, petani itu bertambah terkejut, karena tiba-tiba ikan tersebut berubah menjadi seorang wanita yang sangat cantik.
“Jangan takut Pak, aku tidak akan menyakiti kamu”, kata si ikan. “Siapakah kamu ini? Bukankah kamu seekor ikan?, Tanya petani itu. “Aku adalah seorang putri yang dikutuk, karena melanggar aturan kerajaan”, jawab wanita itu. “Terimakasih engkau sudah membebaskan aku dari kutukan itu, dan sebagai imbalannya aku bersedia kau jadikan istri”, kata wanita itu. Petani itupun setuju. Maka jadilah mereka sebagai suami istri. Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu mereka tidak boleh menceritakan bahwa asal-usul Puteri dari seekor ikan. Jika janji itu dilanggar maka akan terjadi petaka dahsyat.
Setelah beberapa lama mereka menikah, akhirnya kebahagiaan Petani dan istrinya bertambah, karena istri Petani melahirkan seorang bayi laki-laki. Anak mereka tumbuh menjadi anak yang sangat tampan
dan kuat, tetapi ada kebiasaan yang membuat heran semua orang. Anak tersebut selalu merasa lapar, dan tidak pernah merasa kenyang. Semua jatah makanan dilahapnya tanpa sisa.
Hingga suatu hari anak petani tersebut mendapat tugas dari ibunya untuk mengantarkan makanan dan minuman ke sawah di mana ayahnya sedang bekerja. Tetapi tugasnya tidak dipenuhinya. Semua makanan yang seharusnya untuk ayahnya dilahap habis, dan setelah itu dia tertidur di sebuah gubug. Pak tani menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus dan lapar. Karena tidak tahan menahan lapar, maka ia langsung pulang ke rumah. Di tengah perjalanan pulang, pak tani melihat anaknya sedang tidur di gubug. Petani tersebut langsung membangunkannya. “Hey, bangun!, teriak petani itu.
Setelah anaknya terbangun, petani itu langsung menanyakan makanannya. “Mana makanan buat ayah?”, Tanya petani. “Sudah habis kumakan”, jawab si anak. Dengan nada tinggi petani itu langsung memarahi anaknya. "Anak tidak tau diuntung ! Tak tahu diri! Dasar anak ikan!," umpat si Petani tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan dari istrinya.
Setelah petani mengucapkan kata-kata tersebut, seketika itu juga anak dan istrinya hilang lenyap tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang sangat deras. Air meluap sangat tinggi dan luas sehingga membentuk sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal dengan nama Danau Toba.
Jaka KendhilJawa Tengah - Indonesia
Rating : 2.4 (58 pemilih)
Alkisah, di daerah Jawa Tengah, Indonesia, hiduplah seorang raja bernama Asmawikana yang
bertahta di Kerajaan Ngambar Arum. Raja Asmawikana mempunyai seorang permaisuri bernama
Prameswari dan seorang selir bernama Dewi Dursilawati. Namun ia belum mempunyai seorang putra
mahkota yang kelak akan meneruskan tahta kerajaan. Hal ini membuat hati sang Raja menjadi sedih.
Setiap hari ia selalu duduk termenung di singgasananya.
Sebenarnya, Prameswari sudah dua kali mengandung, tetapi dua kali juga keguguran. Penyebab
Prameswari keguguran karena ulah Dewi Dursilawati yang iri hati kepadanya. Ia mencampuri racun ke
dalam makanan dan minuman Prameswari secara diam-diam. Dewi Dursilawati melakukan hal itu
karena ia menginginkan putra yang lahir dari rahimnyalah yang akan menggantikan kedudukan Raja
Asmawikana kelak.
Pada suatu sore, ketika Raja Asmawikana sedang duduk termenung di singgasananya, tiba-tiba
muncul perasaan curiga terhadap selirnya Dewi Dursilawati.
“Wah, jangan-jangan Dewi Dursilawati telah mencampurkan racun ke dalam makanan Prameswari,”
pikirnya.
Sejak itu, Raja Asmawikana selalu memperhatikan kesehatan Prameswari, khususnya dalam hal
makanan. Ketika Prameswari mengandung putranya yang ketiga, ia pun memerintahkan kepada para
dayang-dayang istana agar memeriksa makanan dan minuman yang akan dihidangkan kepada
Prameswari dan mengawasi sang permaisuri pada saat makan.
“Wahai, Dayang-dayang! Ingat, jangan biarkan permaisuri Prameswari makan dan minum tanpa
sepengetahuan kalian! Kalian harus mengawasi semua hidangan yang akan disantapnya!” titah Raja
Asmawikana.
“Baik, Baginda!” jawab dayang-dayang tersebut serentak.
Sejak itu, segala kebutuhan makanan dan minuman Prameswari senantiasa dalam pengawasan para
dayang-dayang istana. Dengan demikian, Dewi Dursilawati tidak dapat lagi meracuni Prameswari.
Namun, selir raja yang licik itu tidak kehabisan akal. Ia pergi ke seorang nenek dukun untuk meminta
bantuan agar menyihir bayi yang ada di dalam kandungan Prameswari.
“Hai, Nenek Dukun! Aku ingin meminta bantuanmu! Sihirlah bayi yang ada di dalam kandungan
Prameswari supaya menjadi cacat!” pinta Dewi Dursilawati.
Nenek sihir itu pun bersedia mengabulkan permintaan Dewi Dursilawati. Begitu kandungan
Prameswari berusia sembilan bulan, dukun itu menyihir bayi yang tak berdosa itu. Tak berapa lama
kemudian, Prameswari pun melahirkan seorang anak laki-laki. Alangkah terkejutnya keluarga istana,
terutama Raja Asmawikana, ketika melihat putranya lahir dalam keadaan cacat, yaitu kepalanya
berbentuk kendhil (panci). Ia dan permaisurinya sangat sedih melihat keadaan putra mereka. Sang
Permaisuri menangis siang dan malam. Meski demikian, mereka tetap menerima keadaan itu dengan
lapang dada. Bayi yang diberi nama Jaka Kendhil itu mereka rawat dengan penuh kasih sayang.
Namun, Raja Amawikana tidak ingin putranya cacat seumur hidup. Untuk itu, ia pun memerintahkan
pengawalnya untuk memanggil seorang pertapa yang terkenal sakti mandraguna untuk melihat
keadaan putranya. Pada suatu hari, pertapa itu pun datang ke istana menghadap kepada Raja
Asmawikana.
“Ampun, Gusti! Apa yang bisa hamba bantu?” tanya pertapa itu sambil memberi hormat.
Raja Asmawikana pun menceritakan perihal keadaan putranya yang lahir dalam keadaan cacat itu.
“Wahai, Pertapa! Apakah kamu mengetahui penyebab penyakit yang diderita putraku? Apakah
penyakitnya masih bisa disembuhkan?” tanya Raja Asmawikana dengan perasaan haru.
“Ampun, Gusti! Menurut pengetahuan hamba, putra paduka terkena sihir. Sebaiknya paduka
menitipkan putra paduka kepada seorang nenek yang bernama Mbok Rondho. Ia tinggal di pinggir
sungai di wilayah perbatasan kerajaan paduka. Suatu hari kelak, putra paduka akan menjadi kesatria
setelah menikah dengan seorang putri raja,” ramal pertapa itu.
“Terima kasih atas bantuanmu, Pertapa!” ucap Raja Asmawikana.
Setelah mendapat saran dari sang pertapa, Raja Asmawikana segera mengirim utusan untuk
menitipkan putranya kepada Mbok Rondho. Ia juga memerintahkan beberapa pengawalnya yang lain
untuk menangkap dukun yang telah menyihir putranya untuk dihukum pancung. Namun sayang,
dukun itu telah kabur dari rumahnya untuk menyelamatkan diri. Rupanya, Dewi Dursilawati telah
memberitahu perihal penangkapan itu kepada si dukun.
Sementara itu di tempat lain, para utusan raja telah tiba di rumah Mbok Rondho untuk menyerahkan
Jaka Kendhil.
“Mbok Rondho! Kami adalah utusan Raja Asmawikana. Kanjeng Gusti memerintahkan kami untuk
menitipkan putranya kepada Mbok. Sebagai ucapan terima kasih, Kanjeng Gusti juga menitipkan
emas, intan, dan permata untuk bekal hidup Mbok bersama Jaka Kendhil,” pesan salah seorang
utusan.
Mbok Rondho pun menerima Jaka Kendhil dengan senang hati. Ia berjanji akan merawat dan
membesarkan Jaka Kendhil dengang penuh kasih sayang. Sejak itu, Jaka Kendhil berada di bawah
asuhan Mbok Rondho. Ketika Jaka Kendhil berumur belasan tahun, Mbok Rondho sering mengajaknya
ke pasar dan ke ladang. Jaka Kendhil adalah anak yang rajin, baik hati, dan suka membantu orang-
orang yang sedang kesusahan. Tak heran, jika semua orang sayang kepadanya.
Waktu berjalan begitu cepat. Jaka Kendhil pun tumbuh menjadi pemuda dewasa. Ia pun semakin rajin
membantu ibu angkatnya bekerja di ladang. Ia juga suka membantu masyarakat di sekitarnya yang
membutuhkan tenaganya.
Pada suatu hari, raja dari negeri seberang dengan rombongannya sedang mengadakan rekreasi di
sungai di dekat Dusun Kasihan tempat tinggal Mbok Rondho dan Jaka Kendhil. Dalam rombongan
tersebut hadir pula permaisuri dan putrinya yang jelita bernama Putri Ngapunten. Masyarakat Dusun
Kasihan pun berbondong-bondong untuk melihat rombongan raja yang sedang berekreasi tersebut.
Tak terkecuali Jaka Kendhil dan Mbok Rondho.
Saat pertama kali melihat Putri Ngapunten, Jaka Kendhil pun langsung jatuh hati. Ia terus menatap
wajah putri raja yang cantik nan rupawan itu hingga rombongan raja tersebut kembali ke negerinya.
Bahkan, di sepanjang perjalanan pulang ke rumahnya, wajah cantik Putri Ngapunten selalu terbayang-
bayang di hadapannya. Jaka Kendhil benar-benar jatuh hati kepada Putri Ngapunten dan berniat untuk
meminangnya. Setibanya di rumah, ia pun menyampaikan niat tersebut kepada ibu angkatnya.
“Bu! Jaka jatuh hati kepada putri raja dari negeri seberang itu. Bersediakah Ibu melamarnya untukku?”
pinta Jaka Kendhil.
Alangkah terkejutnya Mbok Rondho mendengar permintaan putra angkatnya itu.
“Ah, kamu jangan meminta yang aneh-aneh, Putraku! Mana mungkin Raja Negeri Seberang itu akan
menerima pinanganmu dengan keadaanmu seperti ini. Apalagi dia itu putri raja satu-satunya.
Sebaiknya, kamu urungkan saja niatmu itu, Putraku!” kata Mbok Rondho menasehati Jaka Kendhil.
“Tidak, Bu! Apa salahnya jika Ibu mencobanya dulu,” desak Jaka Kendhil.
Mulanya, Mbok Rondho menolak untuk memenuhi permintaan Jaka Kendhil. Namun, karena terus
didesak, akhirnya ia pun bersedia untuk memenuhi permintaan putra kesayangannya itu. Ia pun
segera ke istana untuk menyampaikan niat Jaka Kendhil kepada Raja Asmawikana. Penguasa Kerajaan
Ngambar Arum yang bijak itu pun menyetujuinya.
“Baiklah, Mbok Rondho! Aku merestui putraku menikah dengan Raja Ngapunten. Tapi, aku mohon
Mbok Rondho yang datang ke Kerajaan Seberang untuk meminang putri raja itu. Aku akan menyiapkan
segala keperluan pinangan ini dan mengutus beberapa pengawalku untuk mendampingimu ke sana,”
pinta Raja Asmawikana.
Mbok Rondho pun tidak kuasa untuk menolak permintaan Raja Asmawikana. Pada hari yang telah
ditentukan, Mbok Rondo bersama utusan raja pun berangkat ke Kerajaan Seberang dengan membawa
perhiasan emas dan intan permata untuk dipersembahkan kepada putri raja.
Pada malam sebelum Mbok Rondho berangkat ke Kerajaan Seberang, Jaka Kendhil berdoa kepada
Tuhan Yang Mahakuasa agar pinangannya diterima. Berkat doanya tersebut, Tuhan pun membuka hati
Raja Negeri Seberang melalui mimpi. Suatu malam, sang Raja bermimpi kejatuhan sebuah kendhil.
Ajaibnya, ketika kendhil itu diberikan kepada putrinya, kendhil itu tiba-tiba berubah menjadi seorang
kesatria yang gagah dan tampan. Raja Negeri Seberang pun berharap mimpi tersebut menjadi
kenyataan. Maka, ketika Mbok Rondho bersama utusan Raja Asmawikana datang meminang putrinya,
ia pun langsung menerimanya.
“Pinangan Jaka Kendhil saya terima. Kembalilah ke negeri kalian untuk menyampaikan berita gembira
ini kepada Raja Asmawikana! Sampaikan kepadanya bahwa pesta pernikahan Jaka Kendhil dengan
putriku akan dilaksanakan pekan depan!” seru Raja Negeri Seberang.
“Baik, Gusti!” ucap Mbok Rondho dengan senang hati.
Mbok Rondho bersama utusan raja pun mohon diri kembali ke istana untuk menemui Raja
Asmawikana. Mendengar berita gembira tersebut, Raja Asmawikana segera memerintahkan seluruh
pengawalnya untuk menyiapkan segala keperluan pesta pernikahan putranya. Pada hari yang telah
ditentukan, pesta pernikahan Jaka Kendhil dengan Raja Ngapunten pun dilangsungkan dengan meriah
di istana Negeri Seberang. Pesta tersebut dimeriahkan oleh berbagai pertunjukan seni dan tari.
Undangan yang hadir pun datang dari berbagai penjuru negeri.
Ketika Jaka Kendhil dan Raja Ngapunten sedang duduk bersanding di atas pelaminan, para undangan
tiba-tiba menjadi gaduh. Banyak di antara mereka yang menyesali atas pernikahan tersebut, karena
kedua mempelai bukanlah pasangan yang serasi. Raja Ngapunten adalah seorang putri raja yang
cantik nan rupawan, sedangkan Jaka Kendhil putra raja yang memiliki bentuk kepala yang sangat
buruk, yakni menyerupai kendhil.
Di tengah kegaduhan tersebut, tiba-tiba terjadi peristiwa ajaib. Jaka Kendhil tiba-tiba menghilang
entah ke mana, sehingga Raja Ngapunten tampak duduk seorang diri di atas pelaminan. Beberapa
saat kemudian, tiba-tiba seorang pemuda tampan dan gagah muncul di antara kerumunan undangan,
lalu berjalan menuju ke pelaminan dan duduk di samping Raja Ngapunten. Para undangan tersentak
kaget bercampur rasa senang ketika menyaksikan peristiwa ajaib itu. Mereka baru menyadari bahwa
ternyata Jaka Kendhil adalah seorang putra raja yang tampan dan gagah. Akhirnya, pesta pernikahan
berlanjut dengan suasana meriah. Para undangan pun merasa senang dan gembira menyaksikan
kedua mempelai pengantin yang duduk di pelaminan. Kini, kedua mempelai tersebut telah menjadi
pasangan yang sangat serasi. Mereka hidup bahagia dan harmonis dalam menjalani bahtera rumah
tangga.
Tidak lama setelah menikah, Jaka Kendhil dinobatkan menjadi raja untuk menggantikan ayahandanya
yang usianya sudah mulai udzur. Seluruh keluarga istana merasa sangat bahagia atas penobatan Jaka
Kendhil sebagai raja, kecuali Dewi Dursilawati. Ia merasa dengki dan iri hati, karena belum mendapat
seorang putra yang diharapkannya untuk menjadi raja. Karena perasaan dengki itu, ia berniat untuk
mencelekai istri Jaka Kendhil. Namun, niat busuk itu terlebih diketahui oleh Raja Asmawikana melalui
petunjuk dari sang pertapa, sehingga ia gagal melaksanakannya. Ia melarikan diri masuk ke dalam
hutan, karena takut mendapat hukuman dari Raja Asmawikana. Pada saat itulah, ia terperosok masuk
ke dalam jurang dan tewas seketika.
* * *
Demikian cerita Jaka Kendhil dari daerah Jawa Tengah, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori
dongeng yang di dalam terkandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan
sehari-hari. Nilai moral yang terkandung di dalam cerita di atas adalah sifat dengki, yaitu suatu sifat
yang tidak senang atas keberhasilan atau kenikmatan yang diperoleh orang lain dan berusaha untuk
mecelakainya. Sifat dengki ini harus kita jauhi, karena ia bagaikan racun yang dapat mengubah rasa
kasih sayang menjadi kebencian, bahkan hingga ke pembunuhan sekalipun. Hal ini ditunjukkan oleh
sifat Dewi Dursilawati yang merasa iri dan dengki terhadap Prameswari, sehingga ia selalu berusaha
untuk mencelakai Prameswari dan bayinya.
(Samsuni/sas/1561/08-09)