cedera kepala
DESCRIPTION
lllklkTRANSCRIPT
CEDERA KEPALA
1. Definisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau
tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi
fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent. Menurut Brain Injury
Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik
2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000
kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di
rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera
kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera
kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu
lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena
jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi.
Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di
Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan
CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-
50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal
3. Etiologi
Penyebab trauma kepala, yaitu:
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek otak.
dapat menyebabkan cedera seluruh kerusakan terjadi ketika energi/ kekuatan diteruskan
kepada otak
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya.
6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek otak,
misalnya tertembak peluru atau benda tajam. Trauma benda tajam dapat menyebabkan cedera
setempat.
Kerusakan jaringan otak karena benda tumpul tergantung pada :
• Lokasi
• Kekuatan
• Fraktur infeksi/ kompresi
• Rotasi
• Delarasi dan deselarasi
4. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan
cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari
suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala.
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera
primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya
disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi
yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti
secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak
(substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat
dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur
permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).
18
Gambar 2. Coup dan countercoup
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang
timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak,
kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi.
Pada tulang tengkorak dapat terjadi fraktur linier (±70% dari fraktur tengkorak), fraktur
impresi maupun perforasi. Penelitian pada lebih dari 500 penderita trauma kepala
menunjukkanbahwa hanya ± 18% penderita yang mengalami frakturtengkorak. Fraktur tanpa
kelainan neurologik, secara klinis tidak banyak berarti.
Fraktur linier pada daerah temporal dapat merobek atau menimbulkan aneurisma pada arteria meningea media dan cabang-cabangnya; pada dasar tengkorak dapat merobek atau
menimbulkan aneurisma a. karotis interna dan terjadi perdarahan lewat hidung, mulut dan
telinga. Fraktur yang mengenai lamina kribriform dan daerah telinga tengah dapat
menimbulkan rinoroe dan otoroe (keluarnya cairan serebrospinal lewat hidung atau
telinga.
Fraktur impresi dapat menyebabkan penurunan volume dalam tengkorak, hingga menimbulkan herniasi batang otak lewat foramen magnum. Juga secara langsung
menyebabkan kerusakan pada meningen dan jaringan otak di bawahnya akibat
penekanan.
Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan yang hemoragik pada daerah coup
dan countre coup, dengan piamater yang masih utuh pada kontusio dan robek pada laserasio
19
serebri. Kontusio yang berat di daerah frontal dan temporal sering kali disertai adanya
perdarahan subdural danintra serebral yang akut. Tekanan dan trauma pada kepala akan
menjalar lewat batang otak kearah kanalis spinalis; karena adanya foramen magnum,
gelombang tekanan ini akan disebarkan ke dalam kanalis spinalis. Akibatnya terjadi gerakan
ke bawah dari batang otak secara mendadak, hingga mengakibatkan kerusakan-kerusakan di
batang otak. Saraf otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf, kerusakan pada
batang otak, ataupun sekunder akibat meningitis atau kenaikan tekanan intrakranial.
Adapun kerusakan-kerusakan saraf yang sering terjadi, yaitu:
Kerusakan pada saraf otak I kebanyakan disebabkan oleh fraktur lamina kribriform di dasar fosa anterior maupun countre coup dari trauma di daerah oksipital. Pada gangguan
yang ringan dapat sembuh dalam waktu 3 bulan. Dinyatakan bahwa ± 5% penderita
trauma kapitis menderita gangguan ini.
Gangguan pada saraf otak II biasanya akibat trauma didaerah frontal. Mungkin traumanya hanya ringan saja (terutama pada anak-anak), dan tidak banyak yang
mengalami fraktur di orbita maupun foramen optikum. Dari saraf-saraf penggerak otot
mata, yang sering terkena adalah saraf VI karena letaknya di dasar tengkorak. Ini
menyebabkan diplopia yang dapat segera timbul akibat trauma, atau sesudah beberapa
hari akibat dari edema otak.
Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis,midriasis dan refleks cahaya negatif sering kali diakibatkan hernia tentori.
Gangguan pada saraf V biasanya hanya pada cabang supra-orbitalnya, tapi sering kali gejalanya hanya berupa anestesi daerah dahi hingga terlewatkan pada pemeriksaan.
Saraf VII dapat segera memperlihatkan gejala, atau sesudah beberapa hari kemudian. Yang timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulih kembali, karena penyebabnya adalah
edema. Kerusakannya terjadi di kanalis fasialis, dan seringkali disertai perdarahan lewat
lubang telinga.
Banyak didapatkan gangguan saraf VIII pada. trauma kepala, misalnya gangguan pendengaran maupun keseimbangan. Edema juga merupakan salah satu penyebab
gangguan.
20
Gangguan pada saraf IX, X dan XI jarang didapatkan, mungkin karena kebanyakan penderitanya meninggal bila trauma sampai dapat menimbulkan gangguan pada saraf-
saraf tersebut.
Akibat lain dari trauma kapitis adalah kenaikan tekanan intrakranial. Pada saat trauma,
terdapat peningkatan tekanan pada sisi benturan dan penurunan tekanan pada sisi yang ber-
lawanan. Kenaikan tekanan intrakranial yang terjadi beberapa waktu kemudian dapat oleh
karena edema otak atau kenaikan volume darah otak. Bila timbulnya lebih lambat lagi (lebih
dari 10 hari), ini mungkin disebabkan oleh adanya hematoma kronik atau gangguan sirkulasi
cairan serebro spinal.
Kenaikan tekanan intra kranial ini menyebabkan:
aliran darah ke otak menurun,
Brain shift maupun herniasi, p
erubahan metabolisme, yaitu terjadi asidosis metabolic yang selanjutnya memperberat edema,
gangguan faal paru-paru. Ini terjadi karena kerusakan pada batang otak sesudah trauma mengakibatkan terjadinya apnea atau takipnea. Hal ini menimbulkan edema paru-paru
yang selanjutnya mengganggu pertukaran gas. Gangguan ini menyebabkan hipoksia yang
akanmemperberat edema di otak maupun di paru-paru.
5. Klasifikasi
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi yaitu berdasarkan: (1) Mekanisme, (2) Beratnya, (3) Morfologi
A. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul biasanya
berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau pukulan benda tumpul.
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
B. Beratnya Cedera
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita
cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan, mematuhi
perintah dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada
21
penderita yang keseluruhan otot ekstremitasnya flaksid dan tidak dapat membuka mata
sama sekali nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3 (Lihat , label 2, Glasgow Coma
Scale). Nilai GCS sama kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma icedera otak berat.
Berdasarkan nilai GCS penderita cedera otak dengan nilai GCS 9 - 1 dikategorikan
sebagai cedera otak sedang, penderita dengan nilai GCS 14-15 lategorikan sebagai cedera
otak ringan. Dalam GCS, jika terdapat asimetri ekstremitas /kiri maka yang dipergunakan
adalah motorik pada yang terbaik. Dalam hal , respon motorik pada kedua sisinya harus
dicatat.
C. Morfologi
1. Fraktur Kranium
Fraktur Kranium dapat terjadi pada atap atau lisar tengkorak, dapat berbentuk
garis/linear itau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka lita tertytup. Fraktur dasar
tengkprak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan tknik "bone window"
untuk memperjelas garis aktumya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur lasar tengkorak
menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebin rinci. Tanda-
tanda tersebut antara lain ekimosis erjorbital (Raccopn eyes sign), ekimosis
stfoaurikuler (Battle Sign), kebocoran CSS (Mijorrhea, otorrhea), paresis nervus
fasialis ankphilangan pendengaran, yang dapat timbul atau beberapa hari setelah
trauma. Umumnya prognosis pemulihan paresis nervus sialis lebih baik pada keadaan
paresis yang HJadi beberapa waktu kemudian, sementara (rognosis pemulihan N VIII
buruk. Fraktur iasar tengkorak yang menyilang kanalis taiotikus dapat merusak arteri
karotis (diseksi, pseudoaneurisma atau trombosis) dan dianjurkan untuk dilakukan
arteriografi.
Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan idanya hubungan antara laserasi
kulit kepala lengan permukaan otak karena robeknya selaput dura.
Adanya fraktur tengkorak tidak dapat kemehkan, karena menunjukkan bahwa
enturan yang terjadi cukup berat. Pada eiderita sadar, bila ditemukan fraktur linier
pada kalvaria kemungkinan adanya perdarahan intrakranial meningkat sampai 400
kali. Pada penderita koma kemungkinan ditemukannya perdarahan intra-kranial pada
22
fraktur linier adalah 20 kali karena resiko adanya perdarahan intrakranial memang
sudah lebih tinggi.
2. Lesi intrakranial
Lesi ini diklasifikasikan sebagai lesi fokal atau lesi difus, walaupun kedua jenis
lesi ini sering terjadi bersamaan. Termasuk dalam lesi fokal yaitu perdarahan epidural,
perdarahan subdural, kontusio, dan perdarahan intra cerebral.
a. Cedera otak difus
Mulai dari konkusi ringan dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi yang
sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan
mungkin mengalami amnesia retro/anterograd.
Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak
karena syok yang berkepanjangan atau periode apneu yang terjadi segera setelah
trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau
gambaran edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur. Kasus yang
lebih jarang, biasanya pada kecelakaan motor dengan kecepatan tinggi, pada CT
scan menunjukkan gambaran titik-titik perdarahan multipel di seluruh hemisfer
otak yang terkonsentrasi di batas area putih dengan abu-abu. Selama ini dikenal
isilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak berat
dengan prognosis yang buruk. Penelitian secara mikroskopis menunjukkan adanya
kerusakan pada akson dan terlihat pada manifestasi klinisnya
b. Perdarahan epidural
Relatif jarang, lebih kurang 0,5% dari semua cedera otak dan 9% dari penderita
yang mengalami koma Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam
rongga tengkorak dan cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa
cembung. Sering terletak di area temporal atau temporoparietal yang dan biasanya
disebabkan oleh robeknya a. meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.
Gumpalan darah yang terjadi biasanya berasal dari pembuluh arteri, namun dapat
juga terjadi akibat robekan dari vena besar.
23
c. Perdarahan subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural (kira-kira 30
% dari cedera otak berat). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil
di permukaan korteks serebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi selnruh
permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan otak di bawahnya lebih berat dan
prognosisnyapun jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan epidural.
d. Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi (20% sampai 30% dari cedera otak berat), dan
sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga
terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri dapat, dalam waktu beberapa
jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intraserebral yang membutuhkan
tindakan operasi. Hal ini timbul pada lebih kurang 20% dari penderita dan cara
mendeteksi terbaik adalah dengan mengulang CT scan dalam 12 - 24 jam setelah
CT scan pertama.
6. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan radiologis. Pada
anamnesis informasi penting yang harus ditanyakan adalah mekanisme trauma. Pada
pemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan bersamaan dengan secondary survey.
Pemeriksaan meliputi tanda vital dan sistem organ. Penilaian GCS awal saat penderita datang
ke rumah sakit sangat penting untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan
neurologis, selain pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan
fungsi batang otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan refleks refleks.
Pemeriksaan radiologis yang paling sering dan mudah dilakukan adalah rontgen kepala
yang dilakukan dalam dua posisi, yaitu anteroposterior dan lateral. Idealnya penderita cedera
kepala diperiksa dengan CT Scan, terutama bila dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang
cukup bermakna, amnesia, atau sakit kepala hebat.
24
Indikasi pemeriksaan CT Scan pada kasus cedera kepala adalah:
1. bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi cedera kepala sedang dan berat.
2. cedera kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak
3. adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii
4. adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran
5. sakit kepala yang hebat
6. adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan otak
7. kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral
Pemeriksaan-Pemeriksaan diagnostic lain, yang mungkin diperlukan seperti:
1. CT –Scan : mengidentifikasi adanya sol, hemoragi menentukan ukuran ventrikel
pergeseran cairan otak. mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler,
dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan
dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri
2. MRI : sama dengan CT –Scan dengan atau tanpa kontraks.
3. Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran jaringan
otak akibat edema, perdarahan dan trauma.
4. EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang.
5. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur dan
garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang).
6. BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang otak..
7. PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme pada otak.
8. Pungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid, serta untuk
menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan sebelum 6 jam dari saat
terjadinya trauma
9. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh dalam
peningkatan TIK.
10. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang
akan dapat meningkatkan TIK.
11. Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap
penurunan kesadaran.
25
12. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup
efektif untuk mengatasi kejang
7. Tatalaksana
Penatalaksanaan cedera kepala sesuai dengan tingkat keparahannya, berupa cedera kepala
ringan, sedang, atau berat.3 Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah
sakit. Indikasi rawat antara lain :
1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan
10. CT scan abnormal
Prinsip penanganan awal pada pasien cedera kepala meliputi survei primer dan survei
sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain
airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan
resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer
sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak.
Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala ditentukan oleh kondisi klinis
pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan
sebagai berikut :
1. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih dari
20 cc di daerah infratentorial
2. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta gejala dan tanda
fokal neurologis semakin berat
3. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
4. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
26
5. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
6. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
7. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
8. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis
I. Penatalaksanaan Cedera Otak Ringan (GCS = 14-15)
Kira-kira 80% enderita yang dibawa ke UGD dengan otak dikategorikan sebagai
cedera otak ringan. Penderita-penderita tersebut sadar namun dapat mengalami amnesia
berkaitan dengan cedera yang dialaminya. Dapat disertai riwayat hilangnya kesadaran
yang singkat namun sulit untuk dibuktikan terutama bila di lawah pengaruh alkohol atau
obat-obatan.
Sebagian besar penderita cedera otak ringan pulih sempurna, walaupun mungkin
ada gejala sisa yang sangat ringan. Bagaimanapun, lebih urang 3% mengalami
perburukan yang tidak terduga, mengakibatkan disfungsi neurologis yang berat kecuali
bila perubahan kesadaran dapat dideteksi lebih awal.
Pemeriksaan CT scan idealnya hams dilakukan pada semua cedera otak disertai
kehilangan kesadaran lebih dari 5 menit, amnesia, sakit kepala hebat, GCS<15. atau
adanya defisit neurologis fokal. Foto servikal dilakukan bila terdapat nyeri pada palpasi
leher. CT scan merupakan pilihan utama untuk pemeriksaan penunjang. Bila tidak
memungkinkan, pemeriksaan foto polos/rontgen kepala dapat digunakan untuk
membedakan trauma tumpul ataupun tembus.
Pada foto polos kepala harus dicari:
(1) fraktur linear atau depresi,
(2) posisi glandula pineal di garis tengah (bila ada kalsifikasi),
(3) bates air-udara pada daerah sinus,
(4) pneumosefal,
(5) fraktur tulang wajah,
(6) benda asing.
Harus diingat, pemeriksaan foto polos tidak boleh sampai menunda transfer penderita.
27
Bila terdapat abnormalitas pada gambaran CT scan, atau terdapat gejala
neurologis yang abnormal, penderita harus dibawa ke rumah sakit dan dikonsulkan ke
ahli Bedah Saraf.
Bila penderitanya asimtomatis, sadar, neurologis normal, observasi diteruskan
selama beberapa jam dan diperiksa uleng. Bila kondisi tetep normal, dikatakan penderita
aman. Idealnya, keluarga diberi lembar observasi, penderita didampingi dan diobservasi
selama 24 jam berikutnya. Bila dalam perjalanannya dijumpai nyeri kepala, penurunan
kesadaran, atau terdapat defisit neurologis fokal, maka penderita dikembalikan ke unit
gawat darurat Pada semua kasus yang dirawat di luar rumah sakit, instruksi harus jelas
dan dilakukan berulang oleh pendamping penderita. (lihat tabel 3, instruksi pada
penderita cedera otak di luar rumah sakit).
Bila penderita tidak sadar penuh atau berorientasi kurang terhadap rangsang
verbal maupun tulisan, keputusan untuk memulangkan penderita harus ditinjau ulang
28
ALGORITME 1Penatalaksanaan Cedera Kepala Ringan
Definisi: Penderita sadar dan berorientasi (GCS14-15)
Riwayat:
• Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan • Tingkat kewaspadaan• Mekanisme cedera • Amnesia: Retrograde, Antegrade• Waktu cedera • Sakit kepala: ringan, sedang, berat• Tidak sadar segera setelah cedera
Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik
Pemeriksaan neurologis terbatas.
Pemeriksaan rontgen vertebra servikal dan lainnya sesuai indikasi
Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urine Pemeriksaan CT scan kepala sangat ideal pada setiap penderita, kecuali bila memang sama sekali asimtomatik dan pemeriksaan neurologis normal
Observasi atau dirawat di RS CT scan tidak ada Fscan abnormal Semua cedera tembus Riwayat hilang kesadaran Kesadaran menurun Sakit kepala sedang-berat Intoksikasi alkohol/ obat-obatan Kebocoran likuor: Rhinorea-otorea Cedera penyerta yang bermakna Tak ada keluarga di rumah GCS < 15 Defisit neurologis fokal
Dipulangkan dari RS Tidak memenuhi kriteria rawat. Diskusikan kemungkinan
kembali Ke rumah sakit bila memburuk dan berikan lembar observas
Jadwalkan untuk kontrol ulang
29
Tabel 3- Instruksi Bagi Penderita Cedera Kepala Di Luar RS
Kami telah memeriksa dan ternyata tidak ditemukan indikasi bahwa cedera kepala anda
serius. Namun gejala-gejala baru dan komplikasi yang tidak terduga dapat muncul dalam
beberapa jam atau beberapa had setelah cedera. 24 jam pertama adalah waktu yang kritis
dan anda hams tinggal bersama keluarga atau kerabat dekat anda sedikitnya dalam waktu
itu. Bila kelak timbul gejala-gejala berikut seperti tertera di bawah Ini maka anda harus
segera menghubungi dokter anda atau kembali ke RS.
1. Mengantuk berat atau sulit dibangunkan (penderita harus dibangunkan setiap 2 jam
selama periode tidur).
2. Mual dan muntah.
3. Kejang.
4. Perdarahan atau keluar cairan dari hidung atau telinga.
5. Sakit kepala hebat
6. Kelemahan atau rasa baal pada lengan atau tungkai.
7. Bingung atau perubahan tingkah laku.
8. Salah satu pupil mata (bagian mata yang gelap) lebih besar dari yang lain, gerakan-
gerakan aneh bola mata, melihat dobel atau gangguan penglihatan lain.
9. Denyut nadi yang sangat lambat atau sangat cepat atau pola nafas yang tidak teratur
Bila timbul pembengkakan pada tempat cedera, letakkan kantung es di atas selembar
kain/handuk pada kulit tempat cedera. Bila pembengkakan semakin hebat walau telah
dibantu dengan kantung es, segera hubungi RS.
Anda boleh makan dan minum seperti biasa nainun tidak diperbolehkan minum minuman
yang mengandung alkohol sedikitnya 3 hari setelah cedera.
Jangan minum obat tidur atau obat penghilang nyeri yang lebih kuat dari Acetaminophen
sedikitnya 24 jam setelah cedera. Jangan minum obat mengandung aspirin.
Bila ada hal yang ingin anda tanyakan, atau dalam keadaan gawat darurat, kami dapat
dihubungidi nomor telepon:........................
Nama dokter:....................................
30
II. Penatalaksanaan Cedera Otak Sedang (GCS= 9-13)
Sepuluh persen dari penderita cedera kepala di UGD menderita cedera otak
sedang. Mereka umumnya masih mampu menuruti perintah sederhana, namun biasanya
tampak bingung atau mengantuk dan dapat disertai defisit neurologis fokal seperti
hemiparesis. Sebanyak 10-20% dari penderita cedera otak sedang mengalami perburukan
dan jatuh dalam koma. Saat diterima di UGD, dilakukan anamnesis singkat dan segera
dilakukan stabilisasi kardiopuhnoner sebelum pemeriksaan neurologis dilaksanakan. CT
scan kepala harus selalu dilakukan dan segera menghubungai ahli Bedah Saraf. Penderita
harus dirawat di ruang perawatan intensif atau yang setara, dimana observasi ketat dan
pemeriksaan neurologis serial dilakukan selama 12 - 24 jam pertama. pemeriksaan CT
scan lanjutan dalam 12 - 24 jam direkomendasikan bila hasilnya abnormal atau terdapat
penurunan status neurologis penderita
31
ALGORITME 2
Penatalaksanaan Cedera Kepala Sedang
Definisi: Penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk, namun masihmampu menuruti perintah
(GCS:9-13).
Pemeriksaan awal:
Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditambah pemeriksaan darah sederhana
Pemeriksaan CT scan kepala pada semua kasus
Dirawat untuk observasi
Setelah dirawat:
Pemeriksaan neurologis periodik
Pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila penderita akan
dipulangkan.
Bila kondisi membaik (90%) Bila kondisi memburuk (10%)
Pulang bila rnemungkinkan Bila penderita tidak mampu
Kontrol di poliklinik melakukan perintah lagi, segera
lakukan pemeriksaan CT scan
ulang dan penatalaksanaan sesuai
protokol cedera kepala berat.
32
III. Penatalaksanaan Cedera Otak Berat (GCS:3-8)
Penderita dengan cedera kepala berat tidak mampu melakukan perintah sederhana
walaupun status kardiopulmonernya telah stabil. Walaupun definisi ini mencakup
berbagai jenis cedera otak, tetapi dapat mengidentifikasi penderita yang memiliki resiko
morbiditas dan mortalitas yang paling besar. Pendekatan
"Tunggu dan lihat" pada penderita cedera otak berat adalah sangat berbahaya,
karena diagnosis serta terapi yang cepat sangatlah penting. Jangan menunda
transfer penderita karena menunggu CT scan.
Tabel 4 - Penatalaksanaan Awal Cedera Otak Berat
Definisi: Penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana karena kesadaran yang
menurun (GC5 3-8)
Pemeriksaan dan penatalaksaan
ABCDE
Primary Survey dan resusitasi
Secondary Survey dan riwayat AMPLE
Rawat pada fasilitas yang mampu melakukan tindakan perawatan defmitif Bedah saraf
Reevaluasi neurologis: GCS
Respon buka mate
Respon motorik
Respon verbal
Refleks cahaya pupil
Obat-obatan
Manitol
Hiperventilasi sedang (PCO2O5 mmHg)
Antikonvulsan
Tes Diagnostik (sesuai urutan)
CT Scan
Ventrikulografi udara
Angiogram
33
Tabel 5- Prioritas Evaluasi Awal Dan Triase
Penderita Dengan Cedera Otak Berat
1. Semua penderita cedera otak dengan koma harus segera diresusitasi (ABCDE) setibanya di
unit gawat darurat
2. Segera setelah tekanan darah normal, pemeriksaan neurologis dilakukan (GCS dan refleks
pupil). Bila tekanan darah tidak bisa mencapai normal, pemeriksaan neurologis tetap
dilakukan dan dicatat adanya hipotensi
3. Bila tekanan darah sistolik tidak bisa > 100 mmHg setelah dilakukan resusitasi agresif,
prioritas tindakan adalah untuk stabilisasi penyebab hipotensinya, dengan pemeriksaan
neurologis menjadi prioritas kedua.
4. Pada kasus ini penderita dilakukan DPL dan ultrasound di UGD atau langsung ke kamar
operasi untuk seliotomi. CT scan kepala dilakukan setelah seliotomi. Bila timbul tanda-tanda
klinis suatu massa intrakranial maka dilakukan ventrikulografi, burr hole eksplorasi atau
kraniotomi di kamar operasi sementara seliotomy sedang berlangsung.
5. Bila TDS > 100 mmHg setelah resusitasi dan terdapat tanda klinis suatu lesi intrakranial
(pupil anisokor, hemiparesis), maka prioritas pertama adalah CT Scan kepala. DPL dapat
dilakukan di UGD, ruang CT Scan atau di kamar operasi, namun evaluasi neurologis dan
tindakannya tidak boleh tertunda.
6. pada kasus yang meragukan, misalnya tekanan darah dapat terkoreksi tapi cenderung untuk
turun, upayakan utuk membawa ke ruang CT scan sebelum ke kamar operasi untuk seliotomi
atau thorakotomi. Beberapa kasus membutuhkan koordinasi yang kuat antara ahli bedah
trauma dengan ahli bedah saraf.
A. Primary survey dan Resusitasi
Cedera otak sering diperburuk akibat cedera sekunder. Penderita cedera otak berat
dengan hipotensi mempunyai mortalitas 2 kali lebih banyak dibanding penderita tanpa
hipotensi (60% vs 27%). Adanya hipoksia pada penderita yang disertai dengan hipotensi
akan menyebabkan mortalitas mencapai 75%. Oleh karena itu, tindakan stabilisasi
kardiopulmoner pada penderita cedera otak berat haras dilaksanakan secepatnya.
34
1. Airway dan Breathing
Terhentinya pemafasan sementara sering terjadi pada cedera otak, dan dapat
mengakibatkan gangguan sekunder. Intubasi endotrakeal dini harus segera dilakukan
pada penderita koma. Penderita dilakukan ventilasi dengan oksigen 100% sampai
diperoleh hasil pemeriksaan analisis gas darah dan dapat dilakukan penyesuaian yang
tepat terhadap FiO2. Femakaian pulse oksimeter sangat bermanfaat untuk memonitor
saturasi Oz (target>98%). Tindakan hiperventilasi harus dilakukan secara hati-hati
pada penderita cedera otak berat yang menunjukkan perburukan neurologis akut.
2. Sirkulasi
Hipotensi biasanya tidak disebabkan oleh cedera otak itu sendiri kecuali pada
stadium terminal dimana medula oblongata sudah mengalami gangguan. Perdarahan
intrakranial tidak dapat menyebabkan syok hemoragik. Pada penderita dengan
hipotensi harus segera dilakukan stabilisasi untuk mencapai euvolemia.
Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat,
walaupun tidak selalu tampak jelas. Harus juga diperhitungkan kemungkman
penyebab lain seperti trauma medula spinalis (syok neurogenik), kontusio jantung atau
tamponade jantung, dan tension pneumothorax.
Sementara penyebab hipotensi dicari, segera lakukan (pemberian cairan untuk
mengganti rolume yang hilang. DPL (Diagnostik peitoneal Lavage) atau pemeriksaan
trasonografi (bila tersedia) merupakan lemeriksaan rutin pada penderita hipotensi
mengalami koma, dimana pemeriksaan dinis tidak mungkin menentukan tanda-tanda
idanya akut abdomen. (Lihat Bab 3, Syok, dan tabel 5, Prioritas Evaluasi Awal dan
Triase ita dengan Cedera Otak Berat) bentukan prioritas antara pemeriksaan DPL an
CT scan kepala kadang-kadang nenimbulkan konflik antara ahli bedah trauma an ahli
bedah saraf. Perlu diketahui bahwa emeriksaan neurologis pada penderita potensi tidak
dapat dipercaya kebenarannya, in bahkan bila terdapat cedera otak berat, ipotensi
terbukti menyebabkan cedera otak ider. Penderita hipotensi yang tidak terhadap
stimulasi apapun dapat i respon normal segera setelah tekanan a normal.
B. Pemeriksaan Neurologis
35
Pemeriksaan neurologis langsung dilakukan segera setelah status kardiopulmuner
penderita stabil. Pemeriksaan ini tefdiri dari GCS dan refleks cahaya pupil. Pada
penderita koma, respon motorik dapat dibangkitkan dengan merangsang/mencubit otot
trapezius atau menekan dasar kuku penderita. Bila penderita menunjukkan reaksi yang
bervariasi, yang digunakan adalah respon motorik terbaik karena merupakan indikator
prognostik yang paling akurat dibandingkan respon yang paling buruk. Gerakan bola
mata (Doll's eye Phenomena, refleks okulosefalik), Test Kalori dengan suhu dingin
(refleks okulo vestibuler) dan refleks kornea ditunda sampai kedatangan ahli bedah saraf.
Pemeriksaan Doll's eye (oculocephalis) refleks aires (oculovestibular)dan refleks
kornea hanya boleh dilakukan bila sudah jelas tidak terdapat cedera servikal.
Yang sangat penting adalah melakukan pemeriksaan GCS dan refleks pupil
sebelum penderita dilakukan sedasi atau paralisis, karena akan menjadi dasar untuk
tindakan selanjutnya. Selama primary survey, pemakaian obat-obat paralisis jangka
panjang tidak ianjurkan. Succinylcholine, vecuronium, atau dosis kecil pancuronium
dapat dipakai untuk intubasi endotrakea atau untuk tindakan diagnostik lainnya. Bila
diperlukan analgesia, sebaiknya digunakan morfin dosis kecil dan diberikan secara
intravena.
C. Secondary Survey
Pemeriksan neurologis serial (GCS, lateralisasi, dan refleks pupil) haras selalu
silakukan untuk deteksi dini gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus
temporal (unkus) adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya.
Adanya trauma langsung pada mata sering merupakan penyebab abnormalitas respon
pupil dan dapat membuat pemeriksaan pupil menjadi sulit Bagaimanapun, dalam hal ini
pemikiran terhadap adanya trauma otak harus dipikrkan terlebih dahulu.
D. TERAPI MEDIKA MENTOSA UNTUK CEDERA OTAK
Tujuan utama protokol perawatan intensif ini adalah untuk mencegah terjadinya
kerusakan sekunder terhadap otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya adalah
bila sel saraf diberikan suasana yang optimal untuk pemulihan, maka diharapkan dapat
36
berfungsi normal kembali. Namun bila sel saraf dibiarkan dalam keadaan tidak optimal
maka sel dapat mengalami kematian.
1. Cairan intravena
Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap dalam
keadaan normovolemia. Keadaan hipovolemia pada pasien sangatlah berbahaya.
Namun, perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih. Jangan berikan
cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan
hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Karena itu cairan yang
dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam fisiologis atau Ringer's Lactate.
Kadar natrium serum perlu diperhatikan pada pasien dengan cedera kepala. Keadaan
hiponatremia sangat berkaitan dengan timbulnya edema otak yang harus dicegah.
2. Hiperventilasi
Pada kebanyakan pasien, keadaan normokarbia lebih disukai. Hiperventilasi
dilakukan dengan menurunkan PCOa dan akan menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah otak. Hiperventilasi yang berlangsung terlalu lama dan agresif dapat
menyebabkan iskemia otak aidbat terjadinya vasokonstriksi serebri berat sehingga
menimbulkan gangguan perhisi otak. Hal ini terjadi terutama bila PCOz dibiarkan
turun sampai di bawah 30 mm Hg (4,0 kPa).
Hiperventilasi sebaiknya dilakukan secara sdeksif dan hanya dalam waktu
tertentu. Jmumnya, PCOz dipertahankan pada 35 mmHg atau lebih. Hiperventilasi
dalam waktu singkat PCCb antara 25-30 mm Hg) dapat diterima jika diperlukan pada
keadaan deteriorasi neurologis akut.
3. Manitol
Manitol digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat. Sediaan yang
tersedia biasanya caiian dengan konsentrasi 20%. Dosis yang biasa dipakai adalah 1
g/kgBB diberikan secara bolus intravena. Dosis tinggi manitol jangan diberikan pada
pasien yang hipotensi karena manitol adalah diuretik osmotik yang poten. Indikasi
Knggunaan manitol adalah deteriorasi neurologis yang akut, seperti terjadinya dilatasi
37
pupil, hemiparesis atau kehilangan kesadaran saat pasien dalam observasi. Pada
keadaan ini pemberian bolus manitol (1 g/kg) harus diberikan secara cepat (dalam
waktu 5 menit) dan penderita segera dibawa ke CT scan atau langsung ke kamar
operasi bila lesi penyebabnya sudah diketahui dengarvCT scan.
4. Furosemid (Lasix @)
Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK. Dosis yang biasa
diberikan adalah 03-0,5 mg/kgBB, diberikan secara intravena. Seperti pada
penggunaan manitol, furosemid sebaiknya jangan diberikan kepada lasien
hipovolemik.
5. Steroid
Berbagai penelitian tidak menunjukkan manfaal steroid untuk mengendalikan
kenaikan TIK maupun memperbaiki hasil terapi penderita dengan cedera otak berat
Karenanya penggunaan steroid pada penderita cedera otal tidak dianjurkan.
6. Barbiturat
Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-
obatan lain. Namun obat ini jangan diberikan dalam keadaar hipotensi atau
hipovolemi. Nantinya hipotensi sering terjadi pada penggunaan barbiturat Karena itu
barbiturat tidak diindikasikan pada fase akut resusitasi.
7. Antikonvulsan
Epilepsi pascatrauma terjadi pada 5% penderita yang dirawat di RS dengan cedera
kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat Terdapat 3 faktor yang berkaitan
dengar insidensi epilepsi (1) kejang awal yang terjadi dalam minggu pertama, (2)
perdarahart intrakranial, atau (3) fraktur depresi. Penelitian tersamar ganda
menunjukkan bahwa fenitoin bermanfaat dalam mengurangi terjadinya kejang dalam
minggu pertama cedera nanlun tidak setelah itu. Fenitoin atau fosfenitoin adalah obal
yang biasa diberikan dalam fase akut Untuk dewasa dosis awalnya adalah 1 g yang
diberikan secara intravena dengan kecepatan pemberian tidak lebih cepat
38
dari 50 mg/menit Dosis pemeliharaan biasanya 100 mg/8 jam, dengan titrasi untuk
mencapai kadar terapetik serum. Pada pasien dengan kejang lama, diazepam atau
lorazepam digunakan sebagai tambahan fenitoin sampai kejang berhenti. Untuk
mengatasi kejang yang terus menerus mungkin memerlukan anestesi umum. Sangat
jelas bahwa kejang harus dihentikan dengan segera karena kejang yang berlangsung
lama (30 sampai 60 menit) dapat meyebabkan cedera otak sekunder.
E. TATA LAKSANA PEMBEDAHAN
1. Luka Kulit Kepala
Hal yang penting adalah membersihkan luka sebelum melakukan penjahitan.
Penyebab tersering infeksi luka kepala adalah pembersihan dan debridement yang
tidak adekuat. Kehilangan darah dari luka kulit kepala cukup ekstensif terutama pada
anak-anak. Pada pasien dewasa, perdarahan akibat luka di kulit kepala bukan
penyebab syok hemoragik. Perdarahan dari luka kulit kepala dapat diatasi dengan
penekanan, kauterisasi atau ligasi pembuluh besar. Penjahitan, pemasangan klips atau
staples kemudian dapat dilakukan. Inspeksi secara cermat dilakukan untuk
menemukan adanya fraktur tengkorak atau benda asing. Adanya LCS pada luka
menunjukkan adanya robekan dura. Ahli bedah saraf hams dikonsulkan pada semua
kasus dengan fraktur tengkorak terbuka atau depresi. Tidak jarang, perdarahan
subgaleal teraba seperti fraktur depresi. Dalam keadaan ini diperlukan pemeriksaan
foto polos tengkorak atau CT scan.
2. Fraktur Depresi Tengkorak
Umumnya fraktur depresi yang memerlukan koreksi secara bperatif adalah bila tebal
depresi lebih dari ketebalan tulang di dekatnya. Frktur depresi yang tidak signifikan
dapat ditolong dengan menutup kulit kepala yang laserasi. CT scan berguna untuk
menentukan dalamnya depresi tulang, tetapi yang lebih penting adalah untuk
menentukan ada tidaknya perdarahan intrakranial atau kontusio.
39
3. Lesi Masa Intrakranial
Lesi ini harus dikeluarkan atau dirawat oleh seorang ahli bedah saraf. Bila tidak
terdapat ahli bedah saraf di fasilitas yang menerima pasien dengan lesi massa
intrakranial, maka penderita harus segera dirujuk ke RS yang mempunyai ahli bedah
saraf. Terdapat perkecualian pada keadaan di mana perdarahan intrakranial membesar
dengan cepat sehingga mengancam jiwa dan tidak cukup waktu untuk merujuk
penderita. Walaupun keadaan ini umumnya jarang terjadi di kota, hal seperti ini dapat
saja terjadi di daerah perifer. Dalam keadaan itu tindakan kraniotomi darurat dapat
dilakukan oleh seorang ahli bedah terlatih untuk melakukan prosedur tersebut
Prosedur ini penting pada pasien dengan status neurologis yang memburuk dengan
cepat dan tidak membaik dengan terapi nonbedah yang diberikan. Kraniotomi darurat
yang dilakukan oleh bukan ahli bedah saraf hanya dibenarkan pada keadaan yang
benar-benar ekstrim, dan prosedurnya sebaiknya atas saran ahli bedah saraf.
Indikasi untuk melakukan kraniotomi oleh bukan ahli bedah saraf hanya sedikit, dan
penggunaan tindakan ini secara luas sebagai upaya terakhir tidak direkomendasi oleh
Komisi Trauma. Tindakan ini dibenarkan hanya bila tindakan bedah saraf definitif sama
sekali tidak memungkinkan. Komisi Trauma sangat menganjurkan bahwa barang siapa
yang mungldn akan melakukan tindakan ini harus menerima pelatihan dari seorang ahli
bedah saraf.
8. Komplikasi
Komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi akibat cedera kepala, diantaranya:
o Kebocoran cairan serebrospinal akibat fraktur pada fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak bagian petrous dari tulang temporal.
o Kejang. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama dini, minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).
o Diabetes Insipidus, disebabkan oleh kerusakan traumatic pada rangkai hipofisis meyulitkan penghentian sekresi hormone antidiuretik
o Fistula carotis o Herniasi
40
o Gangguan neurologis
Dapat berupa : gangguan visus, strabismus, parese N.VII dan gangguan N. VIII,
disartria, disfagia, kadang ada hemiparese o Sindrom pasca trauma
Dapat berupa : palpitasi, hidrosis, cape, konsentrasi berkurang, libido menurun, mudah
tersinggung, sakit kepala, kesulitan belajar, mudah lupa, gangguan tingkah laku,
misalnya: menjadi kekanak-kanakan, penurunan intelegensia, menarik diri, dan depresi.
o Kematian
9. Prognosis
Hal-hal yang dapat membantu menentukan prognosis :
Usia dan lamanya koma pasca traumatik, makin muda usia, makin berkurang pengaruh
lamanya koma terhadap restitusi mental
Tekanan darah pasca trauma. Hipertensi pasca trauma memperjelek prognosis.
Pupil lebar dengan fefleks cahaya negatif, prognosis jelek.
Reaksi motorik abnormal (dekortikasi/deserebrasi) biasanya tanda penyembuhan akan tidak sempurna.
Hipertermi, hiperventilasi, Cheyne-Stokes, deserebrasi: menjurus ke arah hidup vegetatif.
Apnea, pupil tak ada reaksi cahaya, gerakan refleks mata negatif, tak ada gerakan apapun merupakan tanda-tanda brain death. Ini perlu dilengkapi dengan EEG yang isoelektrik
41