cedera kepala

63
CEDERA KEPALA 1. Definisi Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik 2. Epidemiologi Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi.

Upload: rylle

Post on 13-Jan-2016

19 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

lllklk

TRANSCRIPT

Page 1: CEDERA KEPALA

CEDERA KEPALA

1. Definisi

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau

tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi

fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent. Menurut Brain Injury

Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat

congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang

dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan

kemampuan kognitif dan fungsi fisik

2. Epidemiologi

Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000

kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di

rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera

kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera

kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu

lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena

jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi.

Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di

Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan

CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-

50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal

3. Etiologi

Penyebab trauma kepala, yaitu:

1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.

2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.

3. Cedera akibat kekerasan.

Page 2: CEDERA KEPALA

4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek otak.

dapat menyebabkan cedera seluruh kerusakan terjadi ketika energi/ kekuatan diteruskan

kepada otak

5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya.

6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek otak,

misalnya tertembak peluru atau benda tajam. Trauma benda tajam dapat menyebabkan cedera

setempat.

Kerusakan jaringan otak karena benda tumpul tergantung pada :

• Lokasi

• Kekuatan

• Fraktur infeksi/ kompresi

• Rotasi

• Delarasi dan deselarasi

4. Patofisiologi

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan

cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari

suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras

maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala.

Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera

primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya

disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi

yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti

secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak

(substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat

dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur

permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).

18

Page 3: CEDERA KEPALA

Gambar 2. Coup dan countercoup

Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang

timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak,

kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan

neurokimiawi.

Pada tulang tengkorak dapat terjadi fraktur linier (±70% dari fraktur tengkorak), fraktur

impresi maupun perforasi. Penelitian pada lebih dari 500 penderita trauma kepala

menunjukkanbahwa hanya ± 18% penderita yang mengalami frakturtengkorak. Fraktur tanpa

kelainan neurologik, secara klinis tidak banyak berarti.

Fraktur linier pada daerah temporal dapat merobek atau menimbulkan aneurisma pada arteria meningea media dan cabang-cabangnya; pada dasar tengkorak dapat merobek atau

menimbulkan aneurisma a. karotis interna dan terjadi perdarahan lewat hidung, mulut dan

telinga. Fraktur yang mengenai lamina kribriform dan daerah telinga tengah dapat

menimbulkan rinoroe dan otoroe (keluarnya cairan serebrospinal lewat hidung atau

telinga.

Fraktur impresi dapat menyebabkan penurunan volume dalam tengkorak, hingga menimbulkan herniasi batang otak lewat foramen magnum. Juga secara langsung

menyebabkan kerusakan pada meningen dan jaringan otak di bawahnya akibat

penekanan.

Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan yang hemoragik pada daerah coup

dan countre coup, dengan piamater yang masih utuh pada kontusio dan robek pada laserasio

19

Page 4: CEDERA KEPALA

serebri. Kontusio yang berat di daerah frontal dan temporal sering kali disertai adanya

perdarahan subdural danintra serebral yang akut. Tekanan dan trauma pada kepala akan

menjalar lewat batang otak kearah kanalis spinalis; karena adanya foramen magnum,

gelombang tekanan ini akan disebarkan ke dalam kanalis spinalis. Akibatnya terjadi gerakan

ke bawah dari batang otak secara mendadak, hingga mengakibatkan kerusakan-kerusakan di

batang otak. Saraf otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf, kerusakan pada

batang otak, ataupun sekunder akibat meningitis atau kenaikan tekanan intrakranial.

Adapun kerusakan-kerusakan saraf yang sering terjadi, yaitu:

Kerusakan pada saraf otak I kebanyakan disebabkan oleh fraktur lamina kribriform di dasar fosa anterior maupun countre coup dari trauma di daerah oksipital. Pada gangguan

yang ringan dapat sembuh dalam waktu 3 bulan. Dinyatakan bahwa ± 5% penderita

trauma kapitis menderita gangguan ini.

Gangguan pada saraf otak II biasanya akibat trauma didaerah frontal. Mungkin traumanya hanya ringan saja (terutama pada anak-anak), dan tidak banyak yang

mengalami fraktur di orbita maupun foramen optikum. Dari saraf-saraf penggerak otot

mata, yang sering terkena adalah saraf VI karena letaknya di dasar tengkorak. Ini

menyebabkan diplopia yang dapat segera timbul akibat trauma, atau sesudah beberapa

hari akibat dari edema otak.

Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis,midriasis dan refleks cahaya negatif sering kali diakibatkan hernia tentori.

Gangguan pada saraf V biasanya hanya pada cabang supra-orbitalnya, tapi sering kali gejalanya hanya berupa anestesi daerah dahi hingga terlewatkan pada pemeriksaan.

Saraf VII dapat segera memperlihatkan gejala, atau sesudah beberapa hari kemudian. Yang timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulih kembali, karena penyebabnya adalah

edema. Kerusakannya terjadi di kanalis fasialis, dan seringkali disertai perdarahan lewat

lubang telinga.

Banyak didapatkan gangguan saraf VIII pada. trauma kepala, misalnya gangguan pendengaran maupun keseimbangan. Edema juga merupakan salah satu penyebab

gangguan.

20

Page 5: CEDERA KEPALA

Gangguan pada saraf IX, X dan XI jarang didapatkan, mungkin karena kebanyakan penderitanya meninggal bila trauma sampai dapat menimbulkan gangguan pada saraf-

saraf tersebut.

Akibat lain dari trauma kapitis adalah kenaikan tekanan intrakranial. Pada saat trauma,

terdapat peningkatan tekanan pada sisi benturan dan penurunan tekanan pada sisi yang ber-

lawanan. Kenaikan tekanan intrakranial yang terjadi beberapa waktu kemudian dapat oleh

karena edema otak atau kenaikan volume darah otak. Bila timbulnya lebih lambat lagi (lebih

dari 10 hari), ini mungkin disebabkan oleh adanya hematoma kronik atau gangguan sirkulasi

cairan serebro spinal.

Kenaikan tekanan intra kranial ini menyebabkan:

aliran darah ke otak menurun,

Brain shift maupun herniasi, p

erubahan metabolisme, yaitu terjadi asidosis metabolic yang selanjutnya memperberat edema,

gangguan faal paru-paru. Ini terjadi karena kerusakan pada batang otak sesudah trauma mengakibatkan terjadinya apnea atau takipnea. Hal ini menimbulkan edema paru-paru

yang selanjutnya mengganggu pertukaran gas. Gangguan ini menyebabkan hipoksia yang

akanmemperberat edema di otak maupun di paru-paru.

5. Klasifikasi

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi

klasifikasi yaitu berdasarkan: (1) Mekanisme, (2) Beratnya, (3) Morfologi

A. Mekanisme Cedera Kepala

Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul biasanya

berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau pukulan benda tumpul.

Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.

B. Beratnya Cedera

Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita

cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan, mematuhi

perintah dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada

21

Page 6: CEDERA KEPALA

penderita yang keseluruhan otot ekstremitasnya flaksid dan tidak dapat membuka mata

sama sekali nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3 (Lihat , label 2, Glasgow Coma

Scale). Nilai GCS sama kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma icedera otak berat.

Berdasarkan nilai GCS penderita cedera otak dengan nilai GCS 9 - 1 dikategorikan

sebagai cedera otak sedang, penderita dengan nilai GCS 14-15 lategorikan sebagai cedera

otak ringan. Dalam GCS, jika terdapat asimetri ekstremitas /kiri maka yang dipergunakan

adalah motorik pada yang terbaik. Dalam hal , respon motorik pada kedua sisinya harus

dicatat.

C. Morfologi

1. Fraktur Kranium

Fraktur Kranium dapat terjadi pada atap atau lisar tengkorak, dapat berbentuk

garis/linear itau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka lita tertytup. Fraktur dasar

tengkprak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan tknik "bone window"

untuk memperjelas garis aktumya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur lasar tengkorak

menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebin rinci. Tanda-

tanda tersebut antara lain ekimosis erjorbital (Raccopn eyes sign), ekimosis

stfoaurikuler (Battle Sign), kebocoran CSS (Mijorrhea, otorrhea), paresis nervus

fasialis ankphilangan pendengaran, yang dapat timbul atau beberapa hari setelah

trauma. Umumnya prognosis pemulihan paresis nervus sialis lebih baik pada keadaan

paresis yang HJadi beberapa waktu kemudian, sementara (rognosis pemulihan N VIII

buruk. Fraktur iasar tengkorak yang menyilang kanalis taiotikus dapat merusak arteri

karotis (diseksi, pseudoaneurisma atau trombosis) dan dianjurkan untuk dilakukan

arteriografi.

Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan idanya hubungan antara laserasi

kulit kepala lengan permukaan otak karena robeknya selaput dura.

Adanya fraktur tengkorak tidak dapat kemehkan, karena menunjukkan bahwa

enturan yang terjadi cukup berat. Pada eiderita sadar, bila ditemukan fraktur linier

pada kalvaria kemungkinan adanya perdarahan intrakranial meningkat sampai 400

kali. Pada penderita koma kemungkinan ditemukannya perdarahan intra-kranial pada

22

Page 7: CEDERA KEPALA

fraktur linier adalah 20 kali karena resiko adanya perdarahan intrakranial memang

sudah lebih tinggi.

2. Lesi intrakranial

Lesi ini diklasifikasikan sebagai lesi fokal atau lesi difus, walaupun kedua jenis

lesi ini sering terjadi bersamaan. Termasuk dalam lesi fokal yaitu perdarahan epidural,

perdarahan subdural, kontusio, dan perdarahan intra cerebral.

a. Cedera otak difus

Mulai dari konkusi ringan dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi yang

sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan

mungkin mengalami amnesia retro/anterograd.

Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak

karena syok yang berkepanjangan atau periode apneu yang terjadi segera setelah

trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau

gambaran edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur. Kasus yang

lebih jarang, biasanya pada kecelakaan motor dengan kecepatan tinggi, pada CT

scan menunjukkan gambaran titik-titik perdarahan multipel di seluruh hemisfer

otak yang terkonsentrasi di batas area putih dengan abu-abu. Selama ini dikenal

isilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak berat

dengan prognosis yang buruk. Penelitian secara mikroskopis menunjukkan adanya

kerusakan pada akson dan terlihat pada manifestasi klinisnya

b. Perdarahan epidural

Relatif jarang, lebih kurang 0,5% dari semua cedera otak dan 9% dari penderita

yang mengalami koma Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam

rongga tengkorak dan cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa

cembung. Sering terletak di area temporal atau temporoparietal yang dan biasanya

disebabkan oleh robeknya a. meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.

Gumpalan darah yang terjadi biasanya berasal dari pembuluh arteri, namun dapat

juga terjadi akibat robekan dari vena besar.

23

Page 8: CEDERA KEPALA

c. Perdarahan subdural

Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural (kira-kira 30

% dari cedera otak berat). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil

di permukaan korteks serebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi selnruh

permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan otak di bawahnya lebih berat dan

prognosisnyapun jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan epidural.

d. Kontusio dan perdarahan intraserebral

Kontusio serebri sering terjadi (20% sampai 30% dari cedera otak berat), dan

sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga

terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri dapat, dalam waktu beberapa

jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intraserebral yang membutuhkan

tindakan operasi. Hal ini timbul pada lebih kurang 20% dari penderita dan cara

mendeteksi terbaik adalah dengan mengulang CT scan dalam 12 - 24 jam setelah

CT scan pertama.

6. Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi anamnesis,

pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan radiologis. Pada

anamnesis informasi penting yang harus ditanyakan adalah mekanisme trauma. Pada

pemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan bersamaan dengan secondary survey.

Pemeriksaan meliputi tanda vital dan sistem organ. Penilaian GCS awal saat penderita datang

ke rumah sakit sangat penting untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan

neurologis, selain pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan

fungsi batang otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan refleks refleks.

Pemeriksaan radiologis yang paling sering dan mudah dilakukan adalah rontgen kepala

yang dilakukan dalam dua posisi, yaitu anteroposterior dan lateral. Idealnya penderita cedera

kepala diperiksa dengan CT Scan, terutama bila dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang

cukup bermakna, amnesia, atau sakit kepala hebat.

24

Page 9: CEDERA KEPALA

Indikasi pemeriksaan CT Scan pada kasus cedera kepala adalah:

1. bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi cedera kepala sedang dan berat.

2. cedera kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak

3. adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii

4. adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran

5. sakit kepala yang hebat

6. adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan otak

7. kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral

Pemeriksaan-Pemeriksaan diagnostic lain, yang mungkin diperlukan seperti:

1. CT –Scan : mengidentifikasi adanya sol, hemoragi menentukan ukuran ventrikel

pergeseran cairan otak. mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler,

dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan

dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri

2. MRI : sama dengan CT –Scan dengan atau tanpa kontraks.

3. Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran jaringan

otak akibat edema, perdarahan dan trauma.

4. EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang.

5. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur dan

garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang).

6. BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang otak..

7. PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme pada otak.

8. Pungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid, serta untuk

menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan sebelum 6 jam dari saat

terjadinya trauma

9. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh dalam

peningkatan TIK.

10. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang

akan dapat meningkatkan TIK.

11. Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap

penurunan kesadaran.

25

Page 10: CEDERA KEPALA

12. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup

efektif untuk mengatasi kejang

7. Tatalaksana

Penatalaksanaan cedera kepala sesuai dengan tingkat keparahannya, berupa cedera kepala

ringan, sedang, atau berat.3 Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah

sakit. Indikasi rawat antara lain :

1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)

2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)

3. Penurunan tingkat kesadaran

4. Nyeri kepala sedang hingga berat

5. Intoksikasi alkohol atau obat

6. Fraktura tengkorak

7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea

8. Cedera penyerta yang jelas

9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan

10. CT scan abnormal

Prinsip penanganan awal pada pasien cedera kepala meliputi survei primer dan survei

sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain

airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan

resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer

sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak.

Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala ditentukan oleh kondisi klinis

pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan

sebagai berikut :

1. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih dari

20 cc di daerah infratentorial

2. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta gejala dan tanda

fokal neurologis semakin berat

3. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat

4. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm

26

Page 11: CEDERA KEPALA

5. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.

6. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan

7. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak

8. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis

I. Penatalaksanaan Cedera Otak Ringan (GCS = 14-15)

Kira-kira 80% enderita yang dibawa ke UGD dengan otak dikategorikan sebagai

cedera otak ringan. Penderita-penderita tersebut sadar namun dapat mengalami amnesia

berkaitan dengan cedera yang dialaminya. Dapat disertai riwayat hilangnya kesadaran

yang singkat namun sulit untuk dibuktikan terutama bila di lawah pengaruh alkohol atau

obat-obatan.

Sebagian besar penderita cedera otak ringan pulih sempurna, walaupun mungkin

ada gejala sisa yang sangat ringan. Bagaimanapun, lebih urang 3% mengalami

perburukan yang tidak terduga, mengakibatkan disfungsi neurologis yang berat kecuali

bila perubahan kesadaran dapat dideteksi lebih awal.

Pemeriksaan CT scan idealnya hams dilakukan pada semua cedera otak disertai

kehilangan kesadaran lebih dari 5 menit, amnesia, sakit kepala hebat, GCS<15. atau

adanya defisit neurologis fokal. Foto servikal dilakukan bila terdapat nyeri pada palpasi

leher. CT scan merupakan pilihan utama untuk pemeriksaan penunjang. Bila tidak

memungkinkan, pemeriksaan foto polos/rontgen kepala dapat digunakan untuk

membedakan trauma tumpul ataupun tembus.

Pada foto polos kepala harus dicari:

(1) fraktur linear atau depresi,

(2) posisi glandula pineal di garis tengah (bila ada kalsifikasi),

(3) bates air-udara pada daerah sinus,

(4) pneumosefal,

(5) fraktur tulang wajah,

(6) benda asing.

Harus diingat, pemeriksaan foto polos tidak boleh sampai menunda transfer penderita.

27

Page 12: CEDERA KEPALA

Bila terdapat abnormalitas pada gambaran CT scan, atau terdapat gejala

neurologis yang abnormal, penderita harus dibawa ke rumah sakit dan dikonsulkan ke

ahli Bedah Saraf.

Bila penderitanya asimtomatis, sadar, neurologis normal, observasi diteruskan

selama beberapa jam dan diperiksa uleng. Bila kondisi tetep normal, dikatakan penderita

aman. Idealnya, keluarga diberi lembar observasi, penderita didampingi dan diobservasi

selama 24 jam berikutnya. Bila dalam perjalanannya dijumpai nyeri kepala, penurunan

kesadaran, atau terdapat defisit neurologis fokal, maka penderita dikembalikan ke unit

gawat darurat Pada semua kasus yang dirawat di luar rumah sakit, instruksi harus jelas

dan dilakukan berulang oleh pendamping penderita. (lihat tabel 3, instruksi pada

penderita cedera otak di luar rumah sakit).

Bila penderita tidak sadar penuh atau berorientasi kurang terhadap rangsang

verbal maupun tulisan, keputusan untuk memulangkan penderita harus ditinjau ulang

28

Page 13: CEDERA KEPALA

ALGORITME 1Penatalaksanaan Cedera Kepala Ringan

Definisi: Penderita sadar dan berorientasi (GCS14-15)

Riwayat:

• Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan • Tingkat kewaspadaan• Mekanisme cedera • Amnesia: Retrograde, Antegrade• Waktu cedera • Sakit kepala: ringan, sedang, berat• Tidak sadar segera setelah cedera

Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik

Pemeriksaan neurologis terbatas.

Pemeriksaan rontgen vertebra servikal dan lainnya sesuai indikasi

Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urine Pemeriksaan CT scan kepala sangat ideal pada setiap penderita, kecuali bila memang sama sekali asimtomatik dan pemeriksaan neurologis normal

Observasi atau dirawat di RS CT scan tidak ada Fscan abnormal Semua cedera tembus Riwayat hilang kesadaran Kesadaran menurun Sakit kepala sedang-berat Intoksikasi alkohol/ obat-obatan Kebocoran likuor: Rhinorea-otorea Cedera penyerta yang bermakna Tak ada keluarga di rumah GCS < 15 Defisit neurologis fokal

Dipulangkan dari RS Tidak memenuhi kriteria rawat. Diskusikan kemungkinan

kembali Ke rumah sakit bila memburuk dan berikan lembar observas

Jadwalkan untuk kontrol ulang

29

Page 14: CEDERA KEPALA

Tabel 3- Instruksi Bagi Penderita Cedera Kepala Di Luar RS

Kami telah memeriksa dan ternyata tidak ditemukan indikasi bahwa cedera kepala anda

serius. Namun gejala-gejala baru dan komplikasi yang tidak terduga dapat muncul dalam

beberapa jam atau beberapa had setelah cedera. 24 jam pertama adalah waktu yang kritis

dan anda hams tinggal bersama keluarga atau kerabat dekat anda sedikitnya dalam waktu

itu. Bila kelak timbul gejala-gejala berikut seperti tertera di bawah Ini maka anda harus

segera menghubungi dokter anda atau kembali ke RS.

1. Mengantuk berat atau sulit dibangunkan (penderita harus dibangunkan setiap 2 jam

selama periode tidur).

2. Mual dan muntah.

3. Kejang.

4. Perdarahan atau keluar cairan dari hidung atau telinga.

5. Sakit kepala hebat

6. Kelemahan atau rasa baal pada lengan atau tungkai.

7. Bingung atau perubahan tingkah laku.

8. Salah satu pupil mata (bagian mata yang gelap) lebih besar dari yang lain, gerakan-

gerakan aneh bola mata, melihat dobel atau gangguan penglihatan lain.

9. Denyut nadi yang sangat lambat atau sangat cepat atau pola nafas yang tidak teratur

Bila timbul pembengkakan pada tempat cedera, letakkan kantung es di atas selembar

kain/handuk pada kulit tempat cedera. Bila pembengkakan semakin hebat walau telah

dibantu dengan kantung es, segera hubungi RS.

Anda boleh makan dan minum seperti biasa nainun tidak diperbolehkan minum minuman

yang mengandung alkohol sedikitnya 3 hari setelah cedera.

Jangan minum obat tidur atau obat penghilang nyeri yang lebih kuat dari Acetaminophen

sedikitnya 24 jam setelah cedera. Jangan minum obat mengandung aspirin.

Bila ada hal yang ingin anda tanyakan, atau dalam keadaan gawat darurat, kami dapat

dihubungidi nomor telepon:........................

Nama dokter:....................................

30

Page 15: CEDERA KEPALA

II. Penatalaksanaan Cedera Otak Sedang (GCS= 9-13)

Sepuluh persen dari penderita cedera kepala di UGD menderita cedera otak

sedang. Mereka umumnya masih mampu menuruti perintah sederhana, namun biasanya

tampak bingung atau mengantuk dan dapat disertai defisit neurologis fokal seperti

hemiparesis. Sebanyak 10-20% dari penderita cedera otak sedang mengalami perburukan

dan jatuh dalam koma. Saat diterima di UGD, dilakukan anamnesis singkat dan segera

dilakukan stabilisasi kardiopuhnoner sebelum pemeriksaan neurologis dilaksanakan. CT

scan kepala harus selalu dilakukan dan segera menghubungai ahli Bedah Saraf. Penderita

harus dirawat di ruang perawatan intensif atau yang setara, dimana observasi ketat dan

pemeriksaan neurologis serial dilakukan selama 12 - 24 jam pertama. pemeriksaan CT

scan lanjutan dalam 12 - 24 jam direkomendasikan bila hasilnya abnormal atau terdapat

penurunan status neurologis penderita

31

Page 16: CEDERA KEPALA

ALGORITME 2

Penatalaksanaan Cedera Kepala Sedang

Definisi: Penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk, namun masihmampu menuruti perintah

(GCS:9-13).

Pemeriksaan awal:

Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditambah pemeriksaan darah sederhana

Pemeriksaan CT scan kepala pada semua kasus

Dirawat untuk observasi

Setelah dirawat:

Pemeriksaan neurologis periodik

Pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila penderita akan

dipulangkan.

Bila kondisi membaik (90%) Bila kondisi memburuk (10%)

Pulang bila rnemungkinkan Bila penderita tidak mampu

Kontrol di poliklinik melakukan perintah lagi, segera

lakukan pemeriksaan CT scan

ulang dan penatalaksanaan sesuai

protokol cedera kepala berat.

32

Page 17: CEDERA KEPALA

III. Penatalaksanaan Cedera Otak Berat (GCS:3-8)

Penderita dengan cedera kepala berat tidak mampu melakukan perintah sederhana

walaupun status kardiopulmonernya telah stabil. Walaupun definisi ini mencakup

berbagai jenis cedera otak, tetapi dapat mengidentifikasi penderita yang memiliki resiko

morbiditas dan mortalitas yang paling besar. Pendekatan

"Tunggu dan lihat" pada penderita cedera otak berat adalah sangat berbahaya,

karena diagnosis serta terapi yang cepat sangatlah penting. Jangan menunda

transfer penderita karena menunggu CT scan.

Tabel 4 - Penatalaksanaan Awal Cedera Otak Berat

Definisi: Penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana karena kesadaran yang

menurun (GC5 3-8)

Pemeriksaan dan penatalaksaan

ABCDE

Primary Survey dan resusitasi

Secondary Survey dan riwayat AMPLE

Rawat pada fasilitas yang mampu melakukan tindakan perawatan defmitif Bedah saraf

Reevaluasi neurologis: GCS

Respon buka mate

Respon motorik

Respon verbal

Refleks cahaya pupil

Obat-obatan

Manitol

Hiperventilasi sedang (PCO2O5 mmHg)

Antikonvulsan

Tes Diagnostik (sesuai urutan)

CT Scan

Ventrikulografi udara

Angiogram

33

Page 18: CEDERA KEPALA

Tabel 5- Prioritas Evaluasi Awal Dan Triase

Penderita Dengan Cedera Otak Berat

1. Semua penderita cedera otak dengan koma harus segera diresusitasi (ABCDE) setibanya di

unit gawat darurat

2. Segera setelah tekanan darah normal, pemeriksaan neurologis dilakukan (GCS dan refleks

pupil). Bila tekanan darah tidak bisa mencapai normal, pemeriksaan neurologis tetap

dilakukan dan dicatat adanya hipotensi

3. Bila tekanan darah sistolik tidak bisa > 100 mmHg setelah dilakukan resusitasi agresif,

prioritas tindakan adalah untuk stabilisasi penyebab hipotensinya, dengan pemeriksaan

neurologis menjadi prioritas kedua.

4. Pada kasus ini penderita dilakukan DPL dan ultrasound di UGD atau langsung ke kamar

operasi untuk seliotomi. CT scan kepala dilakukan setelah seliotomi. Bila timbul tanda-tanda

klinis suatu massa intrakranial maka dilakukan ventrikulografi, burr hole eksplorasi atau

kraniotomi di kamar operasi sementara seliotomy sedang berlangsung.

5. Bila TDS > 100 mmHg setelah resusitasi dan terdapat tanda klinis suatu lesi intrakranial

(pupil anisokor, hemiparesis), maka prioritas pertama adalah CT Scan kepala. DPL dapat

dilakukan di UGD, ruang CT Scan atau di kamar operasi, namun evaluasi neurologis dan

tindakannya tidak boleh tertunda.

6. pada kasus yang meragukan, misalnya tekanan darah dapat terkoreksi tapi cenderung untuk

turun, upayakan utuk membawa ke ruang CT scan sebelum ke kamar operasi untuk seliotomi

atau thorakotomi. Beberapa kasus membutuhkan koordinasi yang kuat antara ahli bedah

trauma dengan ahli bedah saraf.

A. Primary survey dan Resusitasi

Cedera otak sering diperburuk akibat cedera sekunder. Penderita cedera otak berat

dengan hipotensi mempunyai mortalitas 2 kali lebih banyak dibanding penderita tanpa

hipotensi (60% vs 27%). Adanya hipoksia pada penderita yang disertai dengan hipotensi

akan menyebabkan mortalitas mencapai 75%. Oleh karena itu, tindakan stabilisasi

kardiopulmoner pada penderita cedera otak berat haras dilaksanakan secepatnya.

34

Page 19: CEDERA KEPALA

1. Airway dan Breathing

Terhentinya pemafasan sementara sering terjadi pada cedera otak, dan dapat

mengakibatkan gangguan sekunder. Intubasi endotrakeal dini harus segera dilakukan

pada penderita koma. Penderita dilakukan ventilasi dengan oksigen 100% sampai

diperoleh hasil pemeriksaan analisis gas darah dan dapat dilakukan penyesuaian yang

tepat terhadap FiO2. Femakaian pulse oksimeter sangat bermanfaat untuk memonitor

saturasi Oz (target>98%). Tindakan hiperventilasi harus dilakukan secara hati-hati

pada penderita cedera otak berat yang menunjukkan perburukan neurologis akut.

2. Sirkulasi

Hipotensi biasanya tidak disebabkan oleh cedera otak itu sendiri kecuali pada

stadium terminal dimana medula oblongata sudah mengalami gangguan. Perdarahan

intrakranial tidak dapat menyebabkan syok hemoragik. Pada penderita dengan

hipotensi harus segera dilakukan stabilisasi untuk mencapai euvolemia.

Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat,

walaupun tidak selalu tampak jelas. Harus juga diperhitungkan kemungkman

penyebab lain seperti trauma medula spinalis (syok neurogenik), kontusio jantung atau

tamponade jantung, dan tension pneumothorax.

Sementara penyebab hipotensi dicari, segera lakukan (pemberian cairan untuk

mengganti rolume yang hilang. DPL (Diagnostik peitoneal Lavage) atau pemeriksaan

trasonografi (bila tersedia) merupakan lemeriksaan rutin pada penderita hipotensi

mengalami koma, dimana pemeriksaan dinis tidak mungkin menentukan tanda-tanda

idanya akut abdomen. (Lihat Bab 3, Syok, dan tabel 5, Prioritas Evaluasi Awal dan

Triase ita dengan Cedera Otak Berat) bentukan prioritas antara pemeriksaan DPL an

CT scan kepala kadang-kadang nenimbulkan konflik antara ahli bedah trauma an ahli

bedah saraf. Perlu diketahui bahwa emeriksaan neurologis pada penderita potensi tidak

dapat dipercaya kebenarannya, in bahkan bila terdapat cedera otak berat, ipotensi

terbukti menyebabkan cedera otak ider. Penderita hipotensi yang tidak terhadap

stimulasi apapun dapat i respon normal segera setelah tekanan a normal.

B. Pemeriksaan Neurologis

35

Page 20: CEDERA KEPALA

Pemeriksaan neurologis langsung dilakukan segera setelah status kardiopulmuner

penderita stabil. Pemeriksaan ini tefdiri dari GCS dan refleks cahaya pupil. Pada

penderita koma, respon motorik dapat dibangkitkan dengan merangsang/mencubit otot

trapezius atau menekan dasar kuku penderita. Bila penderita menunjukkan reaksi yang

bervariasi, yang digunakan adalah respon motorik terbaik karena merupakan indikator

prognostik yang paling akurat dibandingkan respon yang paling buruk. Gerakan bola

mata (Doll's eye Phenomena, refleks okulosefalik), Test Kalori dengan suhu dingin

(refleks okulo vestibuler) dan refleks kornea ditunda sampai kedatangan ahli bedah saraf.

Pemeriksaan Doll's eye (oculocephalis) refleks aires (oculovestibular)dan refleks

kornea hanya boleh dilakukan bila sudah jelas tidak terdapat cedera servikal.

Yang sangat penting adalah melakukan pemeriksaan GCS dan refleks pupil

sebelum penderita dilakukan sedasi atau paralisis, karena akan menjadi dasar untuk

tindakan selanjutnya. Selama primary survey, pemakaian obat-obat paralisis jangka

panjang tidak ianjurkan. Succinylcholine, vecuronium, atau dosis kecil pancuronium

dapat dipakai untuk intubasi endotrakea atau untuk tindakan diagnostik lainnya. Bila

diperlukan analgesia, sebaiknya digunakan morfin dosis kecil dan diberikan secara

intravena.

C. Secondary Survey

Pemeriksan neurologis serial (GCS, lateralisasi, dan refleks pupil) haras selalu

silakukan untuk deteksi dini gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus

temporal (unkus) adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya.

Adanya trauma langsung pada mata sering merupakan penyebab abnormalitas respon

pupil dan dapat membuat pemeriksaan pupil menjadi sulit Bagaimanapun, dalam hal ini

pemikiran terhadap adanya trauma otak harus dipikrkan terlebih dahulu.

D. TERAPI MEDIKA MENTOSA UNTUK CEDERA OTAK

Tujuan utama protokol perawatan intensif ini adalah untuk mencegah terjadinya

kerusakan sekunder terhadap otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya adalah

bila sel saraf diberikan suasana yang optimal untuk pemulihan, maka diharapkan dapat

36

Page 21: CEDERA KEPALA

berfungsi normal kembali. Namun bila sel saraf dibiarkan dalam keadaan tidak optimal

maka sel dapat mengalami kematian.

1. Cairan intravena

Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap dalam

keadaan normovolemia. Keadaan hipovolemia pada pasien sangatlah berbahaya.

Namun, perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih. Jangan berikan

cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan

hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Karena itu cairan yang

dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam fisiologis atau Ringer's Lactate.

Kadar natrium serum perlu diperhatikan pada pasien dengan cedera kepala. Keadaan

hiponatremia sangat berkaitan dengan timbulnya edema otak yang harus dicegah.

2. Hiperventilasi

Pada kebanyakan pasien, keadaan normokarbia lebih disukai. Hiperventilasi

dilakukan dengan menurunkan PCOa dan akan menyebabkan vasokonstriksi

pembuluh darah otak. Hiperventilasi yang berlangsung terlalu lama dan agresif dapat

menyebabkan iskemia otak aidbat terjadinya vasokonstriksi serebri berat sehingga

menimbulkan gangguan perhisi otak. Hal ini terjadi terutama bila PCOz dibiarkan

turun sampai di bawah 30 mm Hg (4,0 kPa).

Hiperventilasi sebaiknya dilakukan secara sdeksif dan hanya dalam waktu

tertentu. Jmumnya, PCOz dipertahankan pada 35 mmHg atau lebih. Hiperventilasi

dalam waktu singkat PCCb antara 25-30 mm Hg) dapat diterima jika diperlukan pada

keadaan deteriorasi neurologis akut.

3. Manitol

Manitol digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat. Sediaan yang

tersedia biasanya caiian dengan konsentrasi 20%. Dosis yang biasa dipakai adalah 1

g/kgBB diberikan secara bolus intravena. Dosis tinggi manitol jangan diberikan pada

pasien yang hipotensi karena manitol adalah diuretik osmotik yang poten. Indikasi

Knggunaan manitol adalah deteriorasi neurologis yang akut, seperti terjadinya dilatasi

37

Page 22: CEDERA KEPALA

pupil, hemiparesis atau kehilangan kesadaran saat pasien dalam observasi. Pada

keadaan ini pemberian bolus manitol (1 g/kg) harus diberikan secara cepat (dalam

waktu 5 menit) dan penderita segera dibawa ke CT scan atau langsung ke kamar

operasi bila lesi penyebabnya sudah diketahui dengarvCT scan.

4. Furosemid (Lasix @)

Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK. Dosis yang biasa

diberikan adalah 03-0,5 mg/kgBB, diberikan secara intravena. Seperti pada

penggunaan manitol, furosemid sebaiknya jangan diberikan kepada lasien

hipovolemik.

5. Steroid

Berbagai penelitian tidak menunjukkan manfaal steroid untuk mengendalikan

kenaikan TIK maupun memperbaiki hasil terapi penderita dengan cedera otak berat

Karenanya penggunaan steroid pada penderita cedera otal tidak dianjurkan.

6. Barbiturat

Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-

obatan lain. Namun obat ini jangan diberikan dalam keadaar hipotensi atau

hipovolemi. Nantinya hipotensi sering terjadi pada penggunaan barbiturat Karena itu

barbiturat tidak diindikasikan pada fase akut resusitasi.

7. Antikonvulsan

Epilepsi pascatrauma terjadi pada 5% penderita yang dirawat di RS dengan cedera

kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat Terdapat 3 faktor yang berkaitan

dengar insidensi epilepsi (1) kejang awal yang terjadi dalam minggu pertama, (2)

perdarahart intrakranial, atau (3) fraktur depresi. Penelitian tersamar ganda

menunjukkan bahwa fenitoin bermanfaat dalam mengurangi terjadinya kejang dalam

minggu pertama cedera nanlun tidak setelah itu. Fenitoin atau fosfenitoin adalah obal

yang biasa diberikan dalam fase akut Untuk dewasa dosis awalnya adalah 1 g yang

diberikan secara intravena dengan kecepatan pemberian tidak lebih cepat

38

Page 23: CEDERA KEPALA

dari 50 mg/menit Dosis pemeliharaan biasanya 100 mg/8 jam, dengan titrasi untuk

mencapai kadar terapetik serum. Pada pasien dengan kejang lama, diazepam atau

lorazepam digunakan sebagai tambahan fenitoin sampai kejang berhenti. Untuk

mengatasi kejang yang terus menerus mungkin memerlukan anestesi umum. Sangat

jelas bahwa kejang harus dihentikan dengan segera karena kejang yang berlangsung

lama (30 sampai 60 menit) dapat meyebabkan cedera otak sekunder.

E. TATA LAKSANA PEMBEDAHAN

1. Luka Kulit Kepala

Hal yang penting adalah membersihkan luka sebelum melakukan penjahitan.

Penyebab tersering infeksi luka kepala adalah pembersihan dan debridement yang

tidak adekuat. Kehilangan darah dari luka kulit kepala cukup ekstensif terutama pada

anak-anak. Pada pasien dewasa, perdarahan akibat luka di kulit kepala bukan

penyebab syok hemoragik. Perdarahan dari luka kulit kepala dapat diatasi dengan

penekanan, kauterisasi atau ligasi pembuluh besar. Penjahitan, pemasangan klips atau

staples kemudian dapat dilakukan. Inspeksi secara cermat dilakukan untuk

menemukan adanya fraktur tengkorak atau benda asing. Adanya LCS pada luka

menunjukkan adanya robekan dura. Ahli bedah saraf hams dikonsulkan pada semua

kasus dengan fraktur tengkorak terbuka atau depresi. Tidak jarang, perdarahan

subgaleal teraba seperti fraktur depresi. Dalam keadaan ini diperlukan pemeriksaan

foto polos tengkorak atau CT scan.

2. Fraktur Depresi Tengkorak

Umumnya fraktur depresi yang memerlukan koreksi secara bperatif adalah bila tebal

depresi lebih dari ketebalan tulang di dekatnya. Frktur depresi yang tidak signifikan

dapat ditolong dengan menutup kulit kepala yang laserasi. CT scan berguna untuk

menentukan dalamnya depresi tulang, tetapi yang lebih penting adalah untuk

menentukan ada tidaknya perdarahan intrakranial atau kontusio.

39

Page 24: CEDERA KEPALA

3. Lesi Masa Intrakranial

Lesi ini harus dikeluarkan atau dirawat oleh seorang ahli bedah saraf. Bila tidak

terdapat ahli bedah saraf di fasilitas yang menerima pasien dengan lesi massa

intrakranial, maka penderita harus segera dirujuk ke RS yang mempunyai ahli bedah

saraf. Terdapat perkecualian pada keadaan di mana perdarahan intrakranial membesar

dengan cepat sehingga mengancam jiwa dan tidak cukup waktu untuk merujuk

penderita. Walaupun keadaan ini umumnya jarang terjadi di kota, hal seperti ini dapat

saja terjadi di daerah perifer. Dalam keadaan itu tindakan kraniotomi darurat dapat

dilakukan oleh seorang ahli bedah terlatih untuk melakukan prosedur tersebut

Prosedur ini penting pada pasien dengan status neurologis yang memburuk dengan

cepat dan tidak membaik dengan terapi nonbedah yang diberikan. Kraniotomi darurat

yang dilakukan oleh bukan ahli bedah saraf hanya dibenarkan pada keadaan yang

benar-benar ekstrim, dan prosedurnya sebaiknya atas saran ahli bedah saraf.

Indikasi untuk melakukan kraniotomi oleh bukan ahli bedah saraf hanya sedikit, dan

penggunaan tindakan ini secara luas sebagai upaya terakhir tidak direkomendasi oleh

Komisi Trauma. Tindakan ini dibenarkan hanya bila tindakan bedah saraf definitif sama

sekali tidak memungkinkan. Komisi Trauma sangat menganjurkan bahwa barang siapa

yang mungldn akan melakukan tindakan ini harus menerima pelatihan dari seorang ahli

bedah saraf.

8. Komplikasi

Komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi akibat cedera kepala, diantaranya:

o Kebocoran cairan serebrospinal akibat fraktur pada fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak bagian petrous dari tulang temporal.

o Kejang. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama dini, minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).

o Diabetes Insipidus, disebabkan oleh kerusakan traumatic pada rangkai hipofisis meyulitkan penghentian sekresi hormone antidiuretik

o Fistula carotis o Herniasi

40

Page 25: CEDERA KEPALA

o Gangguan neurologis

Dapat berupa : gangguan visus, strabismus, parese N.VII dan gangguan N. VIII,

disartria, disfagia, kadang ada hemiparese o Sindrom pasca trauma

Dapat berupa : palpitasi, hidrosis, cape, konsentrasi berkurang, libido menurun, mudah

tersinggung, sakit kepala, kesulitan belajar, mudah lupa, gangguan tingkah laku,

misalnya: menjadi kekanak-kanakan, penurunan intelegensia, menarik diri, dan depresi.

o Kematian

9. Prognosis

Hal-hal yang dapat membantu menentukan prognosis :

Usia dan lamanya koma pasca traumatik, makin muda usia, makin berkurang pengaruh

lamanya koma terhadap restitusi mental

Tekanan darah pasca trauma. Hipertensi pasca trauma memperjelek prognosis.

Pupil lebar dengan fefleks cahaya negatif, prognosis jelek.

Reaksi motorik abnormal (dekortikasi/deserebrasi) biasanya tanda penyembuhan akan tidak sempurna.

Hipertermi, hiperventilasi, Cheyne-Stokes, deserebrasi: menjurus ke arah hidup vegetatif.

Apnea, pupil tak ada reaksi cahaya, gerakan refleks mata negatif, tak ada gerakan apapun merupakan tanda-tanda brain death. Ini perlu dilengkapi dengan EEG yang isoelektrik

41

Page 26: CEDERA KEPALA