penanganan cedera kepala
TRANSCRIPT
PENANGANAN CEDERA KEPALA
Oleh: Herman
Duta Atur TritamaRadian Ahmad HalimiTommy Nugrahadi W.Mouriezt Arafah Niode
Denri BramantiAndi Mahavira
BAGIAN BEDAH SARAFFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RUMAH SAKIT HASAN SADIKINBANDUNG
2006
I. DEFINISI
Trauma kepala adalah gangguan pada otak yang bersifat non degeneratif dan non kongenital
yang disebabkan oleh kekuatan mekanik eksternal, yang menyebabkan terjadinya kerusakan kognitif,
fisikal, dan fungsi psikososial yang permanen atau sementara, dengan disertai berkurangnya atau
perubahan tingkat kesadaran.
Akan tetapi, definisi dari trauma kepala adalah tidak selalu tetap dan cenderung untuk bervariasi
bergantung kepada spesialitas dan keadaan lingkungan. Seringkali, trauma/cedera otak disamakan
dengan trauma kepala.
II. ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK
Anamnesis
I. Identifikasi pasien (nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan)
II. Keluhan utama, dapat berupa :
- Penurunan kesadaran
- Nyeri kepala
III.Anamnesis tambahan :
- Kapan terjadinya ( untuk: mengetahui onset)
- Bagaimana mekanisme kejadian, bagian tubuh apa saja yang terkena, dan tingkat keparahan
yang mungkin terjadi)
Berdasarkan mekanismenya, trauma dibagi menjadi :
a. Cedera tumpul : - kecepatan tinggi (tabrakan)
- kecepatan rendah (terjatuh atau terpukul)
b. Cedera tembus (luka tembus peluru atau tusukan) adanya penetrasi selaput dura
menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau cedera tumpul.
Komplikasi / Penyulit
1. Memakai helm atau tidak (untuk kasus KLL)
2. Pingsan atau tidak (untuk mengetahui apakah terjadi Lucid interval)
2
3. Ada sesak nafas, batuk-batuk
4. Muntah atau tidak
5. Keluar darah dari telinga, hidung atau mulut
6. Adanya kejang atau tidak
7. Adanya trauma lain selain trauma kepala (trauma penyerta)
8. Adanya konsumsi alkohol atau obat terlarang lainnya
9.Adanya riwayat penyakit sebelumnya (Hipertensi, DM)
Pertolongan pertama (apakah sebelum masuk rumah sakit penderita sudah mendapat
penanganan). Penanganan di tempat kejadian penting untuk menentukan penatalaksanaan dan
prognosis selanjutnya.
Pemeriksaan Fisik
1. Primary Survey
A. Airway, dengan kontrol servikal:
Yang pertama harus dinilai adalah jalan nafas, meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan
nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur
laring atau trakea.
- Bila penderita dapat berbicara atau terlihat dapat berbicara - jalan nafas bebas.
- Bila penderita terdengar mengeluarkan suara seperti tersedak atau berkumur - ada obstruksi
parsial.
- Bila penderita terlihat tidak dapat bernafas - obstruksi total.
Jika penderita mengalami penurunan kesadaran atau GCS < 8 keadaan tersebut definitif
memerlukan pemasangan selang udara.
Selama pemeriksaan jalan nafas, tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi pada leher.
Dalam keadaan curiga adanya fraktur servikal atau penderita datang dengan multiple trauma,
maka harus dipasangkan alat immobilisasi pada leher, sampai kemungkinan adanya fraktur
servikal dapat disingkirkan.
B. Breathing, dengan ventilasi yang adekuat
Pertukaran gas yang terjadi saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan
karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada,
3
dan diafragma.
Pada inspeksi, baju harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan dan jumlah pernafasan per
menit, apakah bentuk dan gerak dada sama kiri dan kanan.
Perkusi dilakukan untuk mengetahui adanya udara atau darah dalam rongga pleura.
Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknva udara ke dalam paru-paru
Gangguan ventilasi yang berat seperti tension pneumothoraks, flail chest, dengan kontusio paru,
dan open pneumothorasks harus ditemukan pada primary survey.
Hematothorax, simple pneumothorax, patahnya tulang iga dan kontusio paru harus dikenali
pada secondary survey
C. Circulation, dengan kontrol perdarahan
a. Volume darah
Suatu keadaan hipotensi harus dianggap hipovolumik sampai terbukti sebaliknya.
Jika volume turun, maka perfusi ke otak dapat berkurang sehingga dapat mengakibatkan
penurunan kesadaran.
Penderita trauma yang kulitnya kemerahan terutama pada wajah dan ekstremitas, jarang dalarn
keadaan hipovolemik. Wajah pucat keabu-abuan dan ekstremitas yang dingin merupakan tanda
hipovolemik.
Nadi
- Periksa kekuatan, kecepatan, dan irama
- Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur : normovolemia
- Nadi yang cepat, kecil : hipovolemik
- Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan normovolemia
- Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar, merupakan tanda diperlukan resusitasi
segera.
b. Perdarahan
Perdarahan eksternal harus dikelola pada primary survey dengan cara penekanan pada luka
D. Disability
Evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai adalah tingkat kesadaran,
ukuran pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya dan adanya parese.
4
Suatu cara sederhana menilai tingkat kesadaran dengan AVPU
A : sadar (Alert)
V : respon terhadap suara (Verbal)
P : respon terhadap nyeri (Pain)
U : tidak berespon (Unresponsive)
Glasgow Coma Scale adalah sistem skoring sederhana dan dapat memperkirakan keadaan
penderita selanjutnya. Jika belum dapat dilakukan pada primary survey, GCS dapat diiakukan pada
secondary survey.
Menilai tingkat keparahan cedera kepala melalui GCS :
a. Cedera kepala ringan (kelompok risiko rendah)
- Skor GCS 15 (sadar penuh, atentif; orientatif)
- Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya : konklusi)
- Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
- Pasien dapat tnengeluh nyeri kepala dan pusing
- Pasien dapat menderita abrasi, Iaserasi, atau hematoma kulit kepala
- Tidak ada kriteria cedera sedang-berat
b. Cedera kepala sedang, (kelompok risiko sedang)
- Skor GCS 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
- Konklusi
- Amnesia pasca trauma
- muntah
- Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea atau
rinorea cairan serebro spinal)
- Kejang
c. Cedara kepala berat (kelompok risiko berat)
- Skor GCS 3-8 (koma)
- Penurunan derajat kesadaran secara progresif
- Tanda neurologis fokal
- Cedera kepata penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium
5
Penurunan kesadaran dapat terjadi karena berkurangnya perfusi ke otak atau trauma langsung ke
otak. Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu tingkat kesadaran penderita. Jika hipoksia dan
hipovolemia sudah disingkirkan, maka trauma kepala dapat dianggap sebagai penyebab penurunan
kesadaran, bukan alkohol sampai terbukti sebaliknya.
E. Exposure
• Penderita trauma yang datang harus dibuka pakaiannya dan dilakukan evaluasi terhadap jejas dan
luka.
2. Secondary Survey
Adalah pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe, examination), termasuk reevaluasi
tanda vital.
• Pada bagian ini dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap yaitu GCS jika belum dilakukan pada
primary survey
• Dilakukan X-ray foto pada bagian vang terkena trauma dan terlihat ada jejas.
III. PENANGANAN CEDERA KEPALA RINGAN (GCS 14-15)
Sekitar 80% dari semua pasien cedera kepala dikategorikan sebagai cedera kepala ringan. Pasien sadar
tetapi mungkin mengalami hilang ingatan atas kejadian yang melibatkan cederanya. Bisa terdapat
riwayat singkat terjadinya pingsan namun sulit untuk diketahui. Gambaran ini sering berhubungan
dengan alcohol atau zat intoksikan lainnya.
Kebanyakan pasien dengan cedera kepala ringan sembuh tanpa penanganan berarti. Tetapi, sekitar 3%
mengalami komplikasi yang tidak terduga, mengakibatkan disfungsi neuroligik berat jika penurunan
status mental terlambat dideteksi.
Pemeriksaan CT scan perlu dipertimbangkan pada semua pasien yang mengalami pingsan lebih dari lima
menit, amnesia, nyeri kepala berat, dan GCS<15 atau defisit neurologic fokal yang berhubungan dengan
otak. Foto cervical X-ray perlu dilakukan jika terdapat nyeri leher atau nyeri saat palpasi.
6
Pemerikasaan CT scan adalah metode yang lebih disukai. Jika tidak tersedia, skull X-ray bisa dilakukan
terhadap cedera kepala tumpul dan penetrans. Yang harus diperhatikan pada foto kepala:
1. Fraktur linear atau depressed
2. Posisi midline pineal gland jika ada kalsifikasi
3. Level udara cairan pada sinus
4. Pneumocephals
5. Fraktur fasial
6. Benda asing
Indikasi rawat pasien cedera kepala ringan yaitu :
- Pingsan > 15menit
- Post Traumatic Amnesia > 1Jam
- Pada observasi penurunan kesadaran
- Sakit Kepala >>
- Fraktur
- Otorhoe / Rinorhoe
- Cedera penyerta,
- CT-Scan Abnormal
- Tidak ada keluarga
- Intoksikasi alkohol / Obat-obatan.
Jika pasien asimtomatik, sadar penuh, normal secara neurologis, maka pasien diamati selama beberapa
jam, diperiksa ulang, dan jika masih normal, akan dipulangkan.
Pesan untuk penderita / keluarga, Segera kembali ke Rumah Sakit bila dijumpai hal-hal sbb :
-Tidur / sulit dibangunkan tiap 2 jam
- Mual dan muntah yang terus memburuk
- Sakit Kepala yang terus memburuk
- Kejang
- Kelemahan tungkai & lengan (hemiparese)
- Bingung / Perubahan tingkah laku /gaduh gelisah
- Pupil anisokor
7
- Nadi naik / turun (bradikardi)
IV. PENANGANAN CEDERA KEPALA SEDANG (GCS 9-13)
Kira-kira sekitar 10% dari pasien cedera kepala adalah termasuk cedera kepala sedang. Pasien masih
dapat mengikuti perintah sederhana tetapi pasien biasanya bingung dan somnolen dan mungkin
8
terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis. Sekitar 10-20% dari pasien ini mengalami
penurunan kesadaran hingga koma.
Sebelum dilakukan penanganan neurologis, anamnesa singkat dilakukan dan kardiopulmoner distabilkan
terlebih dahulu. CT scan kepala perlu dilakukan dan dokter bedah saraf dihubungi. Semua pasien ini
memerlukan observasi di ruang ICU atau unit serupa yang memudahkan observasi dan evaluasi
neurologis ketat untuk 12 hingga 24 jam pertama. CT scan untuk follow up dalam 12-24 jam dianjurkan
jika hasil CT scan awal abnormal atau jika terjadi penurunan pada status neurologis pasien.
9
V. PENANGANAN CEDERA KEPALA BERAT (GCS 3-8)
Pasien yang mengalami cedera kepala berat tidak mampu untuk mengikuti perintah sederhana bahkan
setelah stabilisasi kardiopulmoner. Pendekatan “wait and see” pada pasien ini bisa berakibat fatal, maka
diangnosis dan penanganan cepat sangatlah penting. Jangan menunda CT scan.
A. Primary Survey dan Resusitasi
Cedera kepala sering tidak disebabkan oleh cedera sekunder. Hipotensi pada pasien dengan cedera
kepala berat berhubungan dengan tingkat mortalitas yang meningkat dua kali lipat disbanding
pasien tanpa hipotensi (60% vs 27%). Adanya hipoksia ditambah hipotensi berhubungan dengan
tingkat mortalitas yang mencapai 75%. Maka dari itu, stabilisasi kardiopulmoner pada pasien cedera
kepala berat adalah prioritas dan dan harus segera tercapai.
Transient respiratory arrest dan hipoksia dapat menyebabkan cedera otak sekunder. Pada pasien
koma, intubasi endotrakeal harus dilakukan segera. Pasien diberi oksigen 100% sampai didapat gas
darah, lalu penysuaian tepat terhadap FIO2. Pulse oxymetri adalah pembantu yang berguna dan
diharapkan didapat saturasi O2 > 98%. Hiperventilasi harus digunakan pada pasien dengan cedera
kepala berat secara hati-hati dandipakai hanya saat terjadi penurunan tingkat neurologic.
Hipotensi biasanya tidak terkait dengan cedera kepala itu sendiri kecuali pada stadium terminal saat
terjadikegagalan vena medular. Perdarahan intrakranila tidak menyebabkan syok hemoragik.
Euvolemia harus segera dilakukan jika pasien hipotensi.
Hipotensi adalah penanda kehilangan banyak darah, walau tidak terlalu jelas. Penyebab yang harus
diperhatikan yaitu cedera spinal cord, kontusio jantung atau tamponade dan tension pneumothorax.
B. Pemeriksaan Neurologis
Segera setelah status kardiopulmoner pasien stabil, pemeriksaan neurologis yang cepat dan
langsung. Terdiri dari pemeriksaan GCS dan reflex cahaya pupil. Pada pasien koma, respon motorik
dapat dilakukan dengan mencubit otot trapezius atau dengan nail-bed pressure.
C. Secondary Survey
Pemeriksaan seperti GCS, lateralisasi dan reaksi pupil sebaiknya dilakukan untuk mendeteksi
penurunan neurologik sedini mungkin.
10
D. Prosedur Diagnostik
CT scan kepala emergensi harus dilakukan sedini mungkin setelah hemodinamik stabil. CT scan juga
harus diulang bila ada perubahan pada status klinis dan secara rutin 12-24 jam setelah cedera untuk
pasien dengan kontusio atau hematom pada CT scan awal.
11