cedera kepala

Upload: arini-nurlela

Post on 07-Jan-2016

24 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

cedera kepala

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUANCedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah di atas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala tersebut. Di negara berkembang seperti Indonesia, perkembangan ekonomi dan industri memberikan dampak frekuensi cedera kepala cenderung semakin meningkat. (1)

Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif antara 1544 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Penyebab cedera kepala terbanyak adalah akibat kecelakaan lalu lintas, disusul dengan jatuh (terutama pada anak-anak). Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma. Karena itu, sudah saatnya seluruh fasilitas kesehatan yang ada, khususnya puskesmas sebagai lini terdepan pelayanan kesehatan, dapat melakukan penanganan yang optimal bagi penderita cedera kepala. Seperti negara-negara berkembang lainnya, kita tidak dapat memungkiri bahwa masih terdapat banyak keterbatasan, di antaranya keterbatasan pengetahuan dan keterampilan petugas kesehatan, keterbatasan alat-alat medis, serta kurangnya dukungan sistem transportasi dan komunikasi. Hal ini memang merupakan tantangan bagi kita dalam menangani pasien dengan trauma, khususnya trauma kepala. (1)

Cedera kepala merupakan keadaan yang serius. Diharapkan dengan penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan morbiditas dan mortalitasnya. Penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya rujukan dapat menyebabkan keadaan penderita semakin memburuk dan berkurangnya kemungkinan pemulihan fungsi.(1)BAB II

TRAUMA KAPITISII.1 DEFINISI TRAUMA KAPITIS

Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak. (2) MenurutBrain Injury Association of America,cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.(3)

II.2 EPIDEMIOLOGI

Cedera kepala merupakan penyebab tertinggi pada kelompok umur di bawah 45 tahun (usia produktif). Dan melihat banyaknya korban dan kerugian, baik akibat hilangnya jam kerja maupun besarnya biaya yang diperlukan untuk pengobatan dan rehabilitasi penderita, maka cedera kepala layak untuk disebut sebagai problema terkait. Cedera kepala merupakan epidemi yang tersembunyi, oleh karena sebagian belas persen dari pasien yang dirawat dengan cedera kepala akan mengalami skuele (problem gangguan kronik) sepanjang hidupnya. (2)

Secara statistik diperkirakan setiap tahun 2% penduduk dunia mengalami cedera kepala. Di Amerika Serikat, 5,3 juta penduduk setiap tahun mengalami cedera kepala. Trauma menjadi penyebab utama kematian pada pasien berusia dibawah 45 tahun dan hampir 50%-nya merupakan cedera kepala traumatik. MenurutBrain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama trauma kepala. Puncak insiden cedara kepala pada usia 5 tahun, 15-24 tahun dan di atas 70 tahun. Cedera kepala pada laki-laki lebih sering daripada wanita.(1)Cedera kepala akan memberikan gangguan yang sifatnya lebih kompleks bila dibandingkan dengan trauma pada organ tubuh lainnya. Hal ini disebabkan karena struktur anatomik dan fisiologik dari isi ruang tengkorak yang majemuk, dengan konsistensi cair, lunak dan padat yaitu cairan otak, selaput otak, jaringan saraf, pembuluh darah dan tulang.Struktur anatomi kepala yang merupakan ruang tertutup menyebabkan permasalahan yang tidak dijumpai pada organ lain yaitu terjadinya peningkatan intrakranial. Oleh karena itu trauma kepala dapat menyebabkan cedera primer dan sekunder. Cedera primer terjadi dalam masa akut yaitu saat terjadinya cedera yang dapat mengenai jaringan kulit kepala hingga otak berupa laserasi, perdarahan, fraktur tulang tengkorak dan kerusakan jaringan otak. Sedangkan cedera sekunder merupakan komplikasi lanjutan misalnya edema serebri, peningkatan tekanan intrakranial, infeksi jaringan otak, hipoksia dan sebagainya.(4)Setelah mengalami cedera kepala, pasien berisiko terjadi cedera kepala berulang 2-3 kali lipat. Hal ini disebabkan karena perhatian pasien berkurang, reaksi lebih lambat (lebihimpulsive), dan sulit mengambil keputusan yang cepat dan tepat. Cedera kepala berulang ini mengakibatkan kerusakan otak yang lebih besar. Beberapa konsep patofisiologi terkini, seperti peran mediator inflamasi dan neurogenerasi dalam penanganan cedera kepala, juga berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan penanganan kegawatan pasien-pasien tersebut. Prinsip dasar penatalaksanaan cedera kepala merupakan penerapan proteksi otak secara menyeluruh.(5)II.3 ANATOMI1. Kulit Kepala (Scalp)

Kulit kepala terdiri atas lima lapis, tiga lapisan yang pertama saling melekat dan bergerak sebagai sebuah unit. Kelima lapisan tersebut adalah kulit, jaringan ikat di bawah kulit yang merupakan jaringan lemak fibrosa, aponeurosis (epicranial), jaringan ikat longgar dan pericranium. (4)

Gambar 1. Lapisan kepala dari scalp sampai otak2. Persarafan sensorik kulit kepalaTruncus utama saraf sensorik terletak pada fascia superficialis. Dari anterior di garis tengah menuju ke lateral ditemukan saraf-saraf berikut ini, n. supratrochlearis, n. supraorbitalis, n. zygomaticotemporalis, n. auriculotemporalis, n. occipitalis minor dan n. occipitalis major. (4)3. Perdarahan kulit kepala Kulit kepala mempunyai banyak suplai darah untuk memberi makanan ke folikel rambut, dan oleh karena itu, luka kecil akan menyebabkan perdarahan yang banyak. Arteri terletak di dalam fascia superficialis. Dari arah anterior ke lateral, ditemukan arteri-arteri berikut ini, a. supratrochlearis dan a. supraorbitalis, a. temporalis superficialis, a. auricularis posterior cabang a. carotis externa dan a. Occipitalis. (4)

4. Otak

Otak manusia kira-kira merupakan 2 % dari berat badan orang dewasa (sekitar 3 pon). Otak menerima sekitar 20 % curah jantung dan memerlukan 20 % pemakaian oksigen tubuh dan sekitar 400 kilokalori energi setiap harinya. Otak merupakan jaringan yang paling banyak memakai energi dalam seluruh tubuh manusia dan terutama berasal dari proses metabolisme oksidasi glukosa. Jaringan otak sangat rentan dengan kebutuhan akan oksigen dan glukosa melalui aliran darah yang bersifat konstan. Metabolisme otak merupakan proses tetap dan kontinu, tanpa ada masa istirahat. (4)a. Meninges (Lapisan pelindung)

Otak terdiri dari rangka tulang bagian luar dan tiga lapisan jaringan ikat yang disebut meninges. Meninges melindungi otak dan memberikan perlindungan tambahan. Ketiga lapisan meninges adalah dura mater, arakhnoid, dan pia mater. Masing-masing mempunyai fungsi tersendiri dan strukturnya berbeda dari struktur lainnya. (5)Dura mater adalah membran luar yang liat, semitranslusen, dan tidak elastis. Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi sinus-sinus vena (yang terdiri atas dura mater dan lapisan endothelial saja tanpa jaringan vaskular), dan membentuk periosteum tabula interna. Dura melekat erat dengan permukaan bagian dalam tengkorak. Dura memiliki banyak suplai darah. Bagian tengah dan posterior disuplai oleh arteria meningea media yang bercabang dari arteria vertebralis dan arteria karotis interna. Pembuluh darah anterior dan etmoidalis juga merupakan cabang dari arteria karotis interna dan menyuplai fosa anterior. Arteria meningea posterior, yaitu cabang dari arteria oksipitalis, menyuplai darah ke fosa posterior. (5)Di dekat dura (tetapi tidak menempel pada dura) terdapat membran fibrosa halus dan elastis yang dikenal sebagai arakhnoid. Membran ini tidak melekat pada dura mater. Namun demikian, ruangan antara kedua membrane tersebutruang subdural merupakan ruangan yang potensial. Vena-vena otak yang melewati ruangan ini hanya mempunyai sedikit jaringan penyokong dan oleh karena itu mudah sekali terkena cedera dan robek pada trauma kepala (otak). (5)Di antara arakhnoid dan pia mater (yang terletak langsung di bawah arakhnoid) terdapat ruang subarachnoid. Ruangan ini melebar dan mendalam pada tempat tertentu, dan memungkinkan sirkulasi cairan serebrospinalis. Pada sinus sagitalis superior dan transversal, arakhnoid membentuk tonjolan vilus (badan Pacchioni) yang bertindak sebagai lintasan untuk mengosongkan cairan serebrospinalis ke dalam sistem vena. (5)Pia mater adalah membran halus yang memiliki sangat banyak pembuluh darah halusdan merupakan satu-satunya lapisan meningeal yang masuk ke dalam semua ulkus dan membungkus semua girus; kedua lapisan yang lain hanya menjembatani sulkus. Pada beberapa fisura dan sulkus di sisi medial hemisfer otak, pia mater membentuk sawar antara ventrikel otak dan sulkus atau fisura. Sawar ini merupakan struktur penyokong dari pleksus koroideus setiap ventrikel. (5)

Gambar 2.Lapisan Otakb. Ventrikel dan Cairan serebrospinalis

Ventrikel merupakan serangkaian dari empat rongga dalam otak yang saling berhubungan dan dibatasi oleh sel ependim (semacam sel epitel yang membatasi semua rongga otak dan medulla spinalis) dan mengandung cairan serebrospinalis (CSF). Pada setiap hemisferium serebri terdapat satu ventrikel lateral. Ventrikel ketiga terdapat dalam diensefalon, sedangkan ventrikel keempat dalam pons dan medulla oblongata. Ventrikel lateral berhubungan dengan ventrikel ketiga melalui sepasang foramen interventrikularis Monro. Ventrikel ketiga dan keempat dihubungkan melalui suatu saluran sempit di dalam otak tengah yang dinamakan akuaduktus Sylvii. Pada ventrikel keempat terdapat tiga lubang sepasang foramen Luschka di lateral dan satu foramen Magendie di medial, yang berlanjut ke ruang subarachnoid otak dan medulla spinalis. (4)

Gambar 3. Ventrikel di otakDalam setiap ventrikel terdapat struktur sekresi khusus yang dinamakan pleksus koroideus. Pleksus ini terdiri dari jalinan pembuluh darah pia mater yang mempunyai hubungan langsung dengan ependima. Pleksus koroideus yang menyekresi CSF jernih dan tak berwarna, yang merupakan bantal cairan pelindung di sekitar susunan saraf pusat. CSF terdiri dari air, elektrolit, gas oksigen, dan karbondioksida yang terlarut, glukosa, beberapa leukosit (terutama limfosit), dan sedikit protein. Selain itu, cairan ini juga banyak mengandung kadar natrium dan klorida yang lebih tinggi dibandingkan dengan cairan ekstraseluler lainnya, sedangkan kadar glukosa dan kaliumnya lebih rendah. (5)Setelah mencapai ruang subarachnoid, CSF dalam sirkulasi di sekitar otak dan medulla spinalis, lalu keluar menuju sistem vascular (SSP tak mengandung sistem getah bening). Sebagian besar CSF direabsorpsi ke dalam darah melalui struktur khusus yang dinamakan vili arakhnoidalis atau granulasio arakhnoidalis, yang menonjol dari ruang subarachnoid ke sinus sagitalis superior otak. CSF diproduksi dan direabsorpsi secara terus menerus dalam SSP. Volume total CSF di seluruh rongga serebropsinal sekitar 125 ml, sedangkan kecepatan sekresi pleksus koroideus sekitar 500 sampai 750 ml perhari. Tekanan CSF merupakan fungsi kecepatan pembentukan cairan dan resistensi terhadap reabsorpsi oleh vili arakhnoidal. (5)c. Perdarahan Otak

i. Arteri otak

Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk circulus Willisi (circulus arteriosus). (4)

Arteri carotis interna keluar dari sinus cavernosus pada sisi medial processus clinoideus dengan menembus duramater. Kemudian arteri ini membelok ke belakang menuju sulcus cerebri lateralis. Di sini, arteri ini bercabang menjadi arteri cerebri anterior dan arteri cerebri media. Cabang-cabang dari arteri carotis interna yaitu : arteri opthalmica, arteri communicans posterior, arteri choroidea, arteri cerebri anterior, arteri cerebri media (merupakan cabang terbesar dari arteri carotis interna). (4)

Arteri vertebralis cabang dari bagian pertama arteri subclavia, berjalan ke atas melalui foramen processus transversus vertebrae C1-6. Pembuluh ini masuk ke tengkorak melalui foramen magnum dan berjalan ke atas, depan, dan medial medulla oblongata. Pada pinggir bawah pons arteri ini bergabung dengan arteri dari sisi lainnya membentuk arteri basilaris. (4)Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot di dalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis. Terdapat vena-vena cerebri, cerebella, dan batang otak. Vena magna verebri dibentuk dari gabungan kedua vena interna cerebri dan bermuara ke dalam sinus rectus. (4)

(4) Gambar 4. Vaskularisasi otakII.4 FISIOLOGIMekanisme fisiologis yang berperan antara lain : (5)1. Tekanan Intra Kranial

Biasanya ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu tekanan intra kranial normal sebesar 50 sampai 200 mmH2O atau 4 sampai 15 mmHg. Dalam keadaan normal, tekanan intra kranial (TIK) dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari dan dapat meningkat sementara waktu sampai tingkat yang jauh lebih tinggi dari normal.

Ruang intra kranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu : otak ( 1400 g), cairan serebrospinal ( sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan ruang yang ditempati oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan intra cranial.2. Hipotesa Monro-Kellie

Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga bila salah satu dari ketiga komponennya membesar, dua komponen lainnya harus mengkompensasi dengan mengurangi volumenya ( bila TIK masih konstan ). Mekanisme kompensasi intra kranial ini terbatas, tetapi terhentinya fungsi neural dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal. Kompensasi terdiri dari meningkatnya aliran cairan serebrospinal ke dalam kanalis spinalis dan adaptasi otak terhadap peningkatan tekanan tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme kompensasi yang berpotensi mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran darah ke otak dan pergeseran otak ke arah bawah ( herniasi ) bila TIK makin meningkat. Dua mekanisme terakhir dapat berakibat langsung pada fungsi saraf. Apabila peningkatan TIK berat dan menetap, mekanisme kompensasi tidak efektif dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan kematian neuronal.II.5 PATOFISIOLOGI

Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibattraumakapitisbergantung pada :(6)1. Besar dan kekuatan benturan2. Arah dan tempat benturan3. Sifat dan keadaan kepala sewaktu menerima benturanSehubungan dengan berbagai aspek benturan tersebut maka dapat mengakibatkan lesi otak berupa : (6)1. Lesi bentur (Coup)2. Lesi antara (akibat pergeseran tulang, dasar tengkorak yang menonjol/falx dengan otak, peregangan dan robeknya pembuluh darah dan lain-lain = lesi media)3. Lesi kontra (counter coup)Lesi benturan otak menimbulkan beberapa kejadian berupa : (6)1. Gangguan neurotransmitter sehingga terjadi blok depolarisasi pada sistem ARAS (Ascending Reticular Activating System yang bermula dari brain stem)2. Retensi cairan dan elektrolit pada hari pertama kejadian3. Peninggian tekanan intra kranial ( + edema serebri)4. Perdarahan petechiae parenchym ataupun perdarahan besar5. Kerusakan otak primer berupa cedera pada akson yang bisa merupakan peregangan ataupun sampai robeknya akson di substansia alba yang bisa meluas secara difus ke hemisfer sampai ke batang otak.

6. Kerusakan otak sekunder akibat proses desak ruang yang meninggi dan komplikasi sistemik hipotensi, hipoksemia dan asidosis.Cedera kepala akan menyebabkan fragmentasi jaringan dan kontusio, selanjutnya menyebabkan rusaknya sawar darah otak (blood brain barrier), disertai vasodilatasi dan eksudasi cairan sehingga akan timbul edema. Edema yang timbul akan menyebabkan peningkatan tekanan pada jaringan dan akhirnya meningkatkan tekanan intrakranial, yang pada berikutnya akan menurunkan aliran darah ke otak, iskemia, hipoksia, asidosis (penurunan pH dan peningkatan PaCO2), dan menyebabkan kerusakan sawar darah otak lebih lanjut. Siklus ini akan terus berlanjut hingga terjadi kematian sel dan bertambahnya edema secara progresif kecuali bila dilakukan intervensi. (6)Setelah cedera kepala, edema terjadi dalam 36 hingga 48 jam hingga mencapai maksimum. Peningkatan tekanan intrakranial hingga 33 mmHg (450 mmH2O) menurunkan secara bermakna aliran darah ke otak (cerebral blood flow). Kenaikan tekanan intrakranial yang terjadi secara cepat disebabkan oleh perdarahan arteri atau edema otak akut. Perdarahan sebanyak 100 ml sudah dapat mematikan karena penambahan volume sebesar ini secara mendadak di dalam rongga tengkorak akan meningkatkan tekanan intrakranial sampai mengimbangi tekanan sistolik, sehingga peredaran darah di dalam jaringan otak terhenti. Iskemia yang terjadi merangsang pusat vasomotor dan tekanan darah sistemik akan meningkat. Rangsangan pada pusat inhibisi jantung mengakibatkan bradikardia dan pernapasan menjadi lebih lambat. (6)

Gambar 5. Patofisiologi cedera jaringan otak

II.6 KLASIFIKASI CEDERA KEPALACedera kepala bias dibagi menurut empat kelompok besar: (3)1. Mekanisme Cedera Kepala

Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.

2. Berdasarkan morfologi

a. Fraktura tengkorak :

i. Kalvaria :

1. Linier atau stelata.

2. Terdepres atau tidak terdepresii. Basiler :

1. Anterior.

2. Media.

3. Posterior. Fracture Basis Cranii

Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media dan fossa posterior. Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana yang terkena.Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala:

Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding

Epistaksis

RhinorrhoeFraktur pada fossa media menimbulkan gejala:

Hematom retroaurikuler, Ottorhoe

Perdarahan dari telingaDiagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan X-foto basis kranii.

Komplikasi :

Gangguan pendengaran

Parese N.VII perifer

Meningitis purulenta akibat robeknya duramater

Fraktur basis kranii bisa disertai commotio ataupun contusio, jadi terapinya harus disesuaikan. Pemberian antibiotik dosis tinggi untuk mencegah infeksi. Tindakan operatif bila adanya liquorrhoe yang berlangsung lebih dari 6 hari.b. Lesi intrakranial :1. Fokal :

a. Perdarahan meningeal :

i. Epidural.

ii. Subdural.

iii. Sub-arakhnoid.b. Perdarahan dan laserasi otak : Perdarahan intraserebral dan atau kontusi, benda asing, peluru tertancap.2. Difusa :

i. Konkusi ringan.ii. Konkusi klasik.

iii. Cedera aksonal difusa. Hematom Epidural (3) Letak : antara tulang tengkorak dan duramater

Etiologi : pecahnya A. Meningea media atau cabang-cabangnya

Gejala : setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya nyeri kepala sebentar kemudian membaik dengan sendirinya tetapi beberapa jam kemudian timbul gejala-gejala yang memperberat progresif seperti nyeri kepala, pusing, kesadaran menurun, nadi melambat, tekanan darah meninggi, pupil pada sisi perdarahan mula-mula sempit, lalu menjadi lebar, dan akhirnya tidak bereaksi terhadap refleks cahaya. Ini adalah tanda-tanda bahwa sudah terjadi herniasi tentorial. Akut (minimal 24jam sampai dengan 3x24 jam)

Interval lucid

Peningkatan TIK

Gejala lateralisasi hemiparese

Pada pemeriksaan kepala mungkin pada salah satu sisi kepala didapati hematoma subkutan

Pemeriksaan neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil melebar. Pada sisi kontralateral dari hematom, dapat dijumpai tanda-tanda kerusakan traktus piramidalis, misal: hemiparesis, refleks tendon meninggi dan refleks patologik positif.

CT-Scan : ada bagian hiperdens yang bikonveks

LCS : jernih

Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan pengikatan pembuluh darah.

Gambar 6. Epidural Hematom

Gambar 7. CT Scan Non Contrast Epidural Hematom Hematom subdural (3) Letak : di bawah duramater

Etiologi : pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging veins dan laserasi piamater serta arachnoid dari kortex cerebri

Gejala subakut : mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama

Kronis : 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma

CT-Scan : setelah hari ke 3 diulang 2 minggu kemudian

Ada bagian hipodens yang berbentuk cresent.

Hiperdens yang berbentuk cresent di antara tabula interna dan parenkim otak (bagian dalam mengikuti kontur otak dan bagian luar sesuai lengkung tulang tengkorak)

Isodens terlihat dari midline yang bergeser

Operasi sebaiknya segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak (dekompresi) dengan melakukan evakuasi hematom. Penanganan subdural hematom akut terdiri dari trepanasi-dekompresi.

Gambar 8. Perdarahan Subdural

Gambar 9.CT Scan Perdarahan Subdural Perdarahan Sub-arachnoid (3)

Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu perdarahan pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering dan berarti pada praktik sehari-hari adalah perdarahan pada permukaan dasar jaringan otak, karena bawaan lahiraneurysna pelebaran pembuluh darah. Ini sering menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak. Gambaran klinik tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit tetapi terjadi gangguan ingatan karena timbulnya gangguan meningeal. Akut Intracerebralis Haematoma terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks yang mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak menjadi pecah pula karena tekanan pada durameter bagian bawah melebar sehingga terjadilah subduralis haematoma, disertai gejala kliniknya. Perdarahan Intraserebral (3)

Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal, terbanyak pada lobus temporalis. Perdarahan intraserebral akibat trauma kapitis yang berupa hematom hanya berupa perdarahan kecil-kecil saja. Jika penderita dengan perdarahan intraserebral luput dari kematian, perdarahannya akan direorganisasi dengan pembentukan gliosis dan kavitasi. Keadaan ini bisa menimbulkan manifestasi neurologik sesuai dengan fungsi bagian otak yang terkena.

Gambar 10. CT Scan Perdarahan intraserebral Oedema cerebri (7)

Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama pingsannya, mungkin hingga berjam-jam. Gejala-gejalanya berupa commotio cerebri, hanya lebih berat. Tekanan darah dapat naik, nadi mungkin melambat. Gejala-gejala kerusakan jaringan otak juga tidak ada. Cairan otak pun normal, hanya tekanannya dapat meninggi.

TIK meningkat

Cephalgia memberat

Kesadaran menurunMeningkatnya massa jaringan otak yang disebabkan peningkatan kadar cairan intraseluler maupun ekstraseluler otak sebagai reaksi daripada proses patologik lokal atau pengaruh umum yang merusak.

Jenis-jenis:

1. Vasogenik oedema serebri2. Sitotoksik oedema serebri3. Osmotik oedema serebri4. Hidrostatik oedema serebriTabel 1. Oedema Serebri

VasogenikSitotoksikOsmotikHidrostatik

KausaBBB kapilerSodium pumpOsmotikGangguan absorbsi LSC

LokalisasiSubs. albaAlba + griseaAlba + griseaSubs. Alba

Permeabilitas vaskulerMeningkatNormalNormalNormal

HistologisEkstraselulerInterselulerEkstra / intraEkstraseluler

UnsurPlasmaPlasmaAirAir + Na

Pada oedema serebri tahap permulaan, tekanan intra kranial, tekanan perfusi otak masih dapat dikompensasi dengan mengatur otoregulasi cerebral blood flow, dan volume likuor serebro spinal. Untuk setiap penambahan 1 cc volume intra kranial tekanan intra kranial akan meningkat 10-15 mmHg.1. Vasogenik oedema serebriLesi terutama pada sistem Blood Brain Barrier yang dibentuk dari ikatan fusi sel membran endotel kapiler pembuluh darah otak pada keadaan tertentu secara langsung dapat merusak dinding kapiler dan secara tidak langsung dapat menyebabkan pelepasan serotonin, yang mengakibatkan gangguan dan pengurangan eratnya ikatan fusi membran sel. Dengan endotel kapiler cairan plasma dapat mengalir ke jaringan otak dan mengakibatkan terjadi oedema serebri. Vasogenik oedema serebri dapat terjadi pada kasus-kasus :-traumakapitis- stroke- ischemia

- radang : meningitis, ensefalitis- space occupying lesion : tumor otak

- malignant hipertensi- konvulsi

2. Sitotoksik oedema serebri

Ini bisa terjadi bila ada gangguan sodium pump membran sel otak, akibatnya permeabilitas membran terganggu dan akan masuk cairan ke intraseluler otak. Sitotoksik oedema serebri dapat terjadi pada kasus-kasus :- neonatal asphyxia

- cardiac arrest

- zat-zat toksik hexachlorophene, golongan alkyl metal

3. Osmotik oedema serebri

Bila osmolaritas plasma dikurangi 12 % atau lebih, maka cairan akan meloloskan diri dari sistem vaskuler dan menyebabkan pembengkakan otak. Ini bisa terjadi apabila membran sel masih intak. Osmotik oedema serebri ini terdapat pada kasus-kasus :- water intoksikasi

- hemodialisis yang terlalu cepat4. Hidrostatik oedema serebri

Ini terjadi bila jumlah cairan ekstraseluler berlebihan (cairan likuor serebrospinal). Contohnya pada hidrosefalus.

3. Berdasarkan patofisiologi

1. Simple Head InjuryDiagnosa simple head injury dapat ditegakkan berdasarkan:

Ada riwayat trauma kapitis

Tidak pingsan

Gejala sakit kepala dan pusing

Umumnya tidak memerlukan perawatan khusus, cukup diberi obat simptomatik dan cukup istirahat.2. Commotio Cerebri

Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang berlangsung tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah dan tampak pucat.

Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau terangsangnya pusat-pusat dalam batang otak. Pada commotio cerebri mungkin pula terdapat amnesia retrograde, yaitu hilangnya ingatan sepanjang masa yang terbatas sebelum terjadinya kecelakaan. Amnesia ini timbul akibat terhapusnya rekaman kejadian di lobus temporalis. Pemeriksaan tambahan yang selalu dibuat adalah foto tengkorak, EEG, pemeriksaan memori. Terapi simptomatis, perawatan selama 3-5 hari untuk observasi kemungkinan terjadinya komplikasi dan mobilisasi bertahap.3. Contusio Cerebri

Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringanyang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang penting untuk terjadinya lesi contusion ialah adanya akselerasi kepala yang seketika itu juga menimbulkan pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible terhadap lintasan asendens retikularis difus. Akibat blockade itu, otak tidak mendapat input aferen dan karena itu, kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung.

Timbulnya lesi contusio di daerah coup, contrecoup, dan intermediate menimbulkan gejala deficit neurologik yang bisa berupa refleks babinsky yang positif dan kelumpuhan UMN. Setelah kesadaran puli kembali, si penderita biasanya menunjukkan organic brain syndrome.

Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh darah cerebral terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis. Tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah. Juga karena pusat vegetatif terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa timbul.

Pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan berguna untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek. Terapi dengan antiserebral edem, anti perdarahan, simptomatik, neurotropik dan perawatan 7-10 hari.

4. Laceratio Cerebri

Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai dengan robekan piamater. Laceratio biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan subaraknoid traumatika, subdural akut dan intercerebral. Laceratio dapat dibedakan atas laceratio langsung dan tidak langsung.

Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed terbuka. Sedangkan laceratio tidak langsung disebabkan oleh deformitas jaringan yang hebat akibat kekuatan mekanis.a. 4. Berdasarkan GCS

b. Cedera Kepala Ringan (CKR) termasuk didalamnya Laseratio dan Commotio Cerebri

Skor GCS 13-15

Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 10 menit

Pasien mengeluh pusing, sakit kepala

Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan neurologist.c. Cedera Kepala Sedang (CKS)

Skor GCS 9-12

Ada pingsan lebih dari 10 menit

Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad

Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota gerak.d. Cedera Kepala Berat (CKB)

Skor GCS 13 : cedera kepala ringan Fungsi utama dari GCS bukan sekedar merupakan interpretasi pada satu kali pengukuran, tetapi skala ini menyediakan penilaian objektif terhadap tingkat kesadaran dan dengan melakukan pengulangan dalam penilaian dapat dinilai apakah terjadi perkembangan ke arah yang lebih baik atau lebih buruk.

Tabel 3. Glasgow Coma Scale2. PupilPemeriksaan teliti ukuran pupil serta reaksinya terhadap cahaya adalah paling penting pada pemeriksaan pertama. Tanda dini herniasi lobus temporal yang diketahui dengan baik adalah dilatasi ringan pupil serta respons cahaya pupil yang lambat. Baik kompresi maupun distorsi saraf okulomotor saat herniasi tentorial-unkal mengganggu fungsi akson parasimpatetik yang menghantarkan sinyal eferen untuk konstriksi pupil, berakibat dilatasi pupil ringan. Namun miotik pupil bilateral terjadi pada tingkat awal dari herniasi sefalik sentral. Ini karena terganggunya jalur simpatetik pupilomotor bilateral yang berasal dari hipotalamus, memungkinkan tonus parasimpatetik predominan dan konstriksi pupil.

Herniasi yang berlanjut berakibat bertambahnya dilatasi pupil serta paralisis refleks cahayanya. Dengan midriasis lengkap (pupil 8-9 mm), ptosis dan paresis rektus medial dan otot okular lainnya yang dipersarafi oleh saraf okulomotor terjadi. Sinar yang terang selalu diperlukan untuk menentukan respons cahaya pupil. Lensa yang kuat seperti plus 20-diopter dari oftalmoskop standar sangat bermanfaat untuk membedakan respons cahaya pupil yang lemah dan tiadanya reaksi, terutama bila pupilnya kecil. Mencari kelainan pupil lain yang dapat terjadi pada pasien tidak sadar sangat perlu pada pasien cedera kepala. Hippus adalah fenomena yang tidak bisa diterangkan yaitu dilatasi dan kontraksi pupil spontan, dan sering dijumpai pada pasien dengan respirasi Cheyne-stoke. Selain menunjukkan fungsi yang terganggu, ia diduga lebih menunjukkan integritas fungsional jalur simpatetik-parasimpatetik pupil. Terputusnya lengkung aferen refleks cahaya pupil didalam saraf optik diperiksa dengan menggunakan tes swinging flashlight. Cahaya lampu senter diayunkan dari mata normal kemata yang terganggu, cedera pada saraf optik ditunjukkan oleh respons paradoksal pupil: yaitu dilatasi, bukannya konstriksi. Pupil kecil bilateral menunjukkan pasien menggunakan obat tertentu, terutama opiat, atau mengalami satu atau beberapa ensefalopati metabolik atau lesi destruktif dari pons. Dalam hal ini refleks cahaya pupil biasanya dapat dilihat bila diperiksa dengan lensa kuat. Miosis yang terjadi pada lesi pontin adalah akibat inaktifasi struktural atau fisiologikal jalur simpatetik yang turun dari hipotalamus melalui sistem aktifasi retikular ke cord spinal. Pupil Horner bilateral kadang-kadang terlihat pada lesi batang otak, tapi pada pasien trauma perhatian harus diberikan atas kemungkinan putusnya jalur simpatetik eferen pada apeks paru-paru, didasar leher, atau selubung karotid ipsilateral. Pupil posisi tengah dengan respons cahaya variabel dapat ditemukan pada setiap tingkat dari koma. Cedera saraf okulomotor traumatika adalah diagnosis untuk pasien dengan riwayat dilatasi pupil sejak onset cedera, dengan perbaikan derajat kesadaran, dan dengan kelemahan otot okular yang sesuai. Pupil midriatik (6 mm atau lebih) terjadi kadang-kadang akibat trauma langsung pada bola mata. Midriasis traumatika ini biasanya unilateral dan tidak disertai paresis otot okular. Jarang ditemukan pupil korektopik yang berhubungan dengan kelainan otak tengah. Pada tanda ini, bukaan pupil tampak bermigrasi di dalam stroma iris karena pada sektor yang berbeda dari otot iris berkontraksi dan berrelaksasi secara tidak sinkron. Akhirnya, pupil yang berdilatasi dan fixed bilateral pada pasien dengan cedera kepala mungkin akibat perfusi vaskular serebral yang inadekuat. Keadaan ini mungkin akibat hipotensi sekunder terhadap kehilangan darah atau oleh peninggian tekanan intrakranial pada tingkat yang mengganggu aliran darah serebral. Kembalinya respons pupil mungkin terjadi segera setelah perbaikan aliran darah bila masa perfusi yang inadekuat tidak terlalu lama.

3. Gerakan Mata

Gerakan okular adalah indeks yang penting dari aktifitas fungsional yang berada pada formasi retikular batang otak. Bila pasien cukup alert untuk mengikuti perintah sederhana, pergerakan mata lengkap mudah didapat, dan integritas sistem motor okular keseluruhan di dalam batang otak dapat dipastikan. Pada keadaan kesadaran yang tertekan, gerak mata volunter menghilang, ini mungkin disfungsi pengaktifasi struktur neural gerakan mata. Pada keadaan ini respons okulosefalik atau okulovestibular digunakan untuk menentukan ada atau tidaknya gangguan gerak mata. Pada pasien cedera kepala tidak sadar, hilangnya gerak mata horizontal menunjukkan perlunya pemeriksaan diagnostik yang mendesak. Bila fraktura leher sudah disingkirkan, fungsi pusat gaze pontin harus segera ditentukan dengan manuver okulosefalik. Kepala ditinggikan 30o dari posisi baring dan dengan cepat diputar to and fro pada bidang horizontal. Pada respons doll's eye normal, setiap mata cenderung mempertahankan posisinya terhadap ruangan dengan gerak berlawanan terhadap rotasi kepala dan secara horizontal menuju posisi lateral dan medial yang sesuai pada orbita. Ketika manuver ini dilakukan, kelopak mata mungkin harus diretraksi secara manual untuk melihat gerak bola mata lebih baik. Respons okulovestibuler. Stimulasi dilakukan dengan air es dan hanya membutuhkan sedikit waktu. Obstruksi di dalam kanal auditori eksternal oleh darah atau serumen harus dibersihkan. Terbatasnya gerak otot mata terjadi pada pasien dengan edema orbital. Pembengkakan intraorbital biasanya jelas tampak namun tidak menghalangi pemeriksaan tes okulosefalik atau kalorik. Respons okulosefalik lengkap pada pasien tidak sadar menunjukkan bahwa proses yang menyebabkan koma menyisakan formasi retikular pontin, fasikulus longitudinal medial, dan nuklei okulomotor serta abdusen dengan akar-akar sarafnya. Selanjutnya, supresi sistem aktivasi retikuler bertanggung-jawab atas hilangnya kesadaran diduga yang bekerja rostral dari struktur pontin dan otak tengah. Respons antara, yaitu tiadanya respons okulosefalik namun respons kalorik intak, dapat terjadi pada lesi supratentorial. Tiadanya kedua respons tersebut menunjukkan proses patologis berat yang meluas ke pons yang lebih bawah. Saat tes okulosefalik dan kalorik dilakukan, kelainan motilitas okular infranuklir, internuklir dan supranuklir dapat ditemukan. Lesi destruktif dari baik frontal maupun pusat gaze pontin berakibat overaksi tonik dari aksis frontal-pontin sisi berlawanan untuk gerak mata horizontal. Deviasi tonik mata terjadi akibat aksi sistem frontal-pontin yang masih utuh. Overaksi ini berakibat deviasi ipsilateral pada lesi lobus frontal dan deviasi gaze kontralateral pada lesi pontin. 4. Fungsi Motor

Pemeriksaan dasar dilengkapi dengan pemeriksaan motor sederhana karena pasien dengan cedera kepala berat tidak cukup responsif terhadap setiap nilai pemeriksaan hingga dapat dipercaya. Setiap ekstremitas diperiksa dan dinilai dengan skala berikut yang digunakan secara internasional:

Kekuatan normal

5

Kelemahan sedang 4

Kelemahan berat (antigravity) 3

Kelemahan berat (not antigravity) 2

Gerakan trace 1

Tak ada gerakan 0

5. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak

Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar. Kedalaman leaserasi dan ditemukannya benda asing harus dicatat.Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan, dan memar.Setelah dilakukan pemeriksaan awal, pasien tetap harus dievaluasi sewaktu di rumah sakit. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui samada pasien mengalami perbaikan atau perburukan terhadap terapi yang diberikan. Evaluasi dilakukan setiap 4jam. Antara yang perlu dievaluasi adalah:i. Penilaian kesadaran berdasarkan GCSii. Penilaian fungsi vital tensi, nadi dan pernafasan

iii. Othorrea, rhinorrea

iv. Ecchymosis periorbital bilateral

v. Gangguan fokal neurologic

vi. Fungsi motorik: lateralisasi, kekuatan ototvii. Reflex tendon, reflex patologisviii. Pemeriksaan fungsi batang otaka. Ukuran besar, bentuk, isokor/anisokor dan reaksi pupilb. Reflex korneac. Dolls eye phenomenonix. Monitor pola pernafasan

a. Cheyne stoke lesi di hemisfer

b. Central neurologic hyperventilation lesi di pons dan mesensefalon

c. Apneutic breath lesi di pons

d. Ataxic breath lesi di medulla oblongata

x. Gangguan fungsi otonom

xi. Funduskopi

II.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. X-ray Tengkorak

Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada. (5)Jenis Foto :

1. Foto antero-posterior.

2. Foto lateral.

3. Foto Towne: foto ini dibuat seperti foto AP tetapi dengan tabung rontgen diarahkan 30 derajat kraniokaudal. Foto ini penting untuk melihat fraktur di daerah oksipital yang sulit dilihat dengan foto AP.

4.Foto Waters : dibuat bila curiga ada fraktur tulang muka.

5. Foto basis kranii : dibuat bila curiga ada fraktur basis.

6. Foto tangensial : dibuat bila ada fraktur impresi, untuk melihat kedudukan pas fragmen tulang yang melesak masuk.

b. CT-Scan

Penemuan awal computed tomography scanner ( CT Scan ) penting dalam memperkirakan prognosa cedera kepala berat. Suatu CT scan yang normal pada waktu masuk dirawat pada penderita-penderita cedera kepala berat berhubungan dengan mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih baik bila dibandingkan dengan penderita-penderita yang mempunyai CT scan abnormal. (5)

Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan yang relatif normal akan menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkata TIK dan dapat berkembang lesi baru pada 40% dari penderita. Di samping itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk. (5)c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik. Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD). (5)

Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera kepala ringan. (5)II.9 KOMPLIKASI

Komplikasi yang sering terjadi adalah komplikasi jangka panjang. Antara komplikasi jangka panjang yang sering ditemui adalah: (5)1. Gangguan Neurologik

Cedera saraf otak dapat berupa anosmia, gangguan visus, strabismus, cedera terdapat afasia atau hemiperesis.

2. Sindrom pascatrauma

Biasanya sindrom pasca trauma terjadi pada trauma kepa;a yang tergolong ringan dengan GCS awal di atas 12, atau pingsan yang tidak lebih dari 20 menit. Sindrom tersebut berupa keluhan nyeri kepala, kepala terasa berat, mudah lupa, daya konsentrasi menurun, cemas, dan mudah tersinggung. Tidak didapatkan kelainan neurologik. Keluhan tersebut pada umumnya berlangsung hingga 2 3 bulan pascatrauma walaupun kadang jauh labih lama.

3. Sindrom psikis pascatrauma

Sindrom psikis pascatrauma yang agak jarang ditemukan, meliputi penurunan intelegensia, baik verbal maupun prilaku, gangguan berpikir, rasa curiga serta sikap bermusuhan, cemas, menarik diri, dan depresi. Yang menonjol adalah gangguan daya ingat. Faktor utama timbulnya gangguan neuropsikiatrik ini ialah beratnya trauma dan bukan factor premorbid, seperti status social, umur, atau tingkat pendidikan.

4. Ensefalopati pascatrauma

Istilah ensefalopati dipakai bila erdapat focus patologik yang tersebar di otak. Gambaran klinis tampak seperti demensia, penurunan kesiagaan, dan tanda neurologic lain. Ensefalopati pascatrauma yang khas didapat pada para petinju dan disebut demensiapugilistic atau ensefalopati kronik progresif. Gejala terdiri atas tanda pyramidal, ekstrapiramidal, dan vestibuloserebral. Secara patologik anatomi, terdapat kista septum pelusidum yang luas, pembesaran rongga ventrikel otak, serta focus nekrosis atau parut pada korpus kalosum, serebelum dan substansia nigra.

5. Epilepsi pascatrauma

Epilepsi pascatrauma biasanya terjadi karena cedera vertikal.

6.Hidrosefalus pascatrauma

Hidrosefalus pasca trauma jarang ditemukan dan timbul secara perlahan-lahan. biasanya kelainan ini ditemukan pada ensfealopati pugilistic. Gejala yang tampak adalah trias yang terdiri atas demensia, ataksia dan inkontinensia urin.7. Koma vigil

Penderita dengan truma kepala berat dapat berakhir dalam keadaan korteks serebrum tidak berfungsi lagi. Semua rangsang dari luar masih dapat diterima, tetapi tidak dapat disadari. Penderita biasanya dalam keadaan menutup mata, dan terdapat siklus bangun dan tidur. Penderita dapat bersuara , gerakan ototnya lemah atau tidak dapat bergerak sama sekali.

II.10 PENATALAKSANAANPrioritas penanggulangan cedera kepala: (8)a. Perbaiki kardiovaskular (atasi shock).b. Perbaiki keseimbangan respirasi, ventilasi atau jalan nafas yang baik.

c. Evaluasi tingkat kesadaran.

d. Amati jejas di kepala, apakah ada impressi fraktur, tanda-tanda fraktur basis kranii, likuorhoe, hati-hati terhadap adanya fraktur servikalis (stabilisasi leher).

e. Amati jejas di bagian tubuh lainnya.

f. Pemeriksaan neurologis (GCS, respons pupil, gerakan mata, kekuatan motorik, pemeriksaan sensori sederhana) dan rontgen kepala, leher, CT-Scan.g. Atasi apabila terdapat eodem serebri.h. Perbaiki keseimbangan cairan, elektrolit dan kalori.

i. Monitor tekanan intra kranial.

j. Pengobatan simptomatis atau konservatif.k. Jika ada pemburukan kesadaran disertai perdarahan intra kranial yang lebih dari 75cc, perlukaan tembus kranioserebral terbuka, impressi fraktur lebih dari 1 cm secepatnya dilakukan tindakan operatif.

Pedoman Penatalaksanaan (9)1. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur berikut:- Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCI 0,9%) atau larutan Ringer laktat: cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravascular daripada cairan hipotonis, dan larutan ini tidak menambah edema serebri.

- Lakukan pemeriksaan: hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah: glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan kadar alkohol bila perlu2. Lakukan CT ScanPasien dengan cedera kepala ringan, sedang, atau berat, harus dievaluasi adanya:

- Hematoma epidural

- Darah dalarn subaraknoid dan intraventrikel

- Kontusio dan perdarahan jaringan otak

- Edema serebri

- Obliterasi sisterna perimesensefalik

- Pergeseran garis tengah

- Fraktur kranium, cairan dalarn sinus, dan pneumosefalus.3. Pada pasien yang koma skor GCS 40 cc + midline shifting pada temporal / frontal / parietal dgn fungsi batang otak masih baik > 30 cc pada fossa posterior dengan tanda-tanda penekanan batang otak atau hidrosefalus dengan fungsi batang otak masih baik EDH progresif EDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan indikasi operasi.

SDH (subdural hematoma)

SDH luas (> 40 cc / > 5 mm) dengan GCS > 6, fungsi batang otak masih baik SDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan indikasi operasi SDH dengan edema serebri / kontusio serebri disertai midline shift dengan fungsi batang otak masih baik

ICH (perdarahan intraserebral) pasca trauma

Penurunan kesadaran progresif Hipertensi dan bradikardi dan tanda-tanda gangguan nafas (Cushing reflex) Perburukan defisit neurologi fokal Fraktur kranii dengan laserasi serebri Fraktur kranii terbuka Edema serebri berat yang disertai tanda peningkatan TIK, dipertimbangan operasi dekompresi II.11 PROGNOSIS

Hal-hal yang dapat membantu menentukan prognosis: (8) Skor GCS penting untuk menilai tingkat kesadaran dan berat ringannya trauma kapitis. Skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5 10%. Usia dan lamanya koma pasca traumatik, makin muda usia, makin berkurang pengaruh lamanya koma terhadap restitusi mental. Tekanan darah pasca trauma. Hipertensi pasca trauma memperjelek prognosis.

Pupil lebar dengan fefleks cahaya negatif, prognosis jelek.

Reaksi motorik abnormal (dekortikasi/deserebrasi) biasanya tanda penyembuhan akan tidak sempurna.

Hipertermi, hiperventilasi,Cheyne-Stokes,deserebrasi: menjurus ke arah hidup vegetatif.

Apnea, pupil tak ada reaksi cahaya, gerakan refleks mata negatif, tak ada gerakan apapun merupakan tanda-tanda brain death.BAB III RINGKASANCedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa tumpul/tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara. Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas

Akibat benturan kepala, terjadi cedera pada otak dan ja-ringan sekitarnya yang disebut dengan lesi primer. Bila korban dapat tetap bertahan, terjadi proses lebih lanjut yang dipenga-ruhi oleh faktor-faktor intrakranial maupun sistemik. Proses ini akan menghasilkan kerusakan-kerusakan yang disebut lesisekunder. Mekanisme terjadinya cedera akibat benturan kepala dan patofisiologik proses selanjutnya telah dibicarakan; juga kerusakan-kerusakan pada jaringan sekitar otak.

Pengelolaan meliputi pemeriksaan, observasi dan pengobatan penderita baik secara konservatif maupun yang memerlukan tindakan operasi darurat. Cedera kepala merupakan keadaan yang serius. Oleh karena itu, setiap petugas kesehatan diharapkan mempunyai pengetahuan dan keterampilan praktis untuk melakukan penanganan pertama dan tindakan live saving sebelum melakukan rujukan ke rumah sakit. Diharapkan dengan penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan morbiditas dan mortalitasnya. Penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya rujukan dapat menyebabkan keadaan penderita semakin memburuk dan berkurangnya kemungkinan pemulihan fungsi.DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada Universiti Press, Yogyakarta, 20052. Sjamsuhidajat, R., dan Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed.2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 20053. Schwartz, Seymour I; Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Jakarta EGC, 2000.4. Carl T, Philip T, Johnanes G. Atlas Teknik Bedah. Jakarta EGC 1992.5. Sabiston DC. Textbook Of Surgery; The Biological Basis Of Modern Surgical Practice; 17th edition W.B. Saunders Company6. Mardjono M, Sidharta P, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 20047. Mansjoer A dkk Editor, Trauma Susunan Saraf dalam Kapita Selekta Kedokteran edisi Ketiga jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta, 20008. Robert L. Martuza, Telmo M. Aquino, Trauma dalam Manual of Neurologic Therapeutics With Essentials of Diagnosis, 3th ed, Litle Brown & Co, 20009. Cedera kepala dan pengelolaannya. Accesed on June 24th, 2012. Available at http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/09_CederaOtakdanPengelolaanya.pdf/09_CederaOtakdanPengelolaanya.html 7