cedera kepala

54
REFERAT CEDERA KEPALA Pembimbing : Dr. Julintari Bidramnanta Sp.S Disusun oleh : Yasmin Diah Pratiwi 030.11.314 Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih Periode Agustus- September 2015 Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti 1

Upload: yasmindp

Post on 04-Jan-2016

14 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

referat

TRANSCRIPT

REFERAT

CEDERA KEPALA

Pembimbing :

Dr. Julintari Bidramnanta Sp.S

Disusun oleh :

Yasmin Diah Pratiwi

030.11.314

Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf

Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih

Periode Agustus- September 2015

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Jakarta

1

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 5

BAB III KESIMPULAN.............................................................................. 33

DAFTAR PUSTAKA………………………………………...…………….. 34

2

BAB I

PENDAHULUAN

Cedera kepala atau head injury adalah kerusakan pada setiap struktur bagian

kepala yang disebabkan oleh trauma dan berakibat disfungsi cerebral sementara

sampai disfungsi permanen. Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan

utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu

lintas dan terjatuh dari ketinggian.

Di Indonesia kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai

500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah

sakit.

Cedera kepala dapat terjadi ringan sampai dengan cedera kepala berat, hal ini

tergantung terhadap penyebab dari cedera itu sendiri.

Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para

dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada

penderita.

Prognosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan

dilakukan secara tepat dan cepat.

Pada penderita korban cedera kepala, yang harus diperhatikan adalah

pernafasan, peredaran darah dan kesadaran, sedangkan tindakan resusitasi, anamnesa

dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus dilakukan secara serentak.

Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat pasien tiba di

Rumah Sakit.

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI CEDERA KEPALA

Cedera kepala adalah trauma mekanik

pada kepala yang disebabkan oleh faktor

eksternal berupa kecelakaan dan benturan pada kepala yang dapat berakibat pada

gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, dan psikososial, yang bersifat sementara

atau permanen. Menurut Brain Injury Assosiaciation of America, cedera kepala

adalah perubahan fungsional pada otak yang disertai keadaan patologis pada otak

yang disebabkan oleh faktor eksternal.

ANATOMI KEPALA

1. Jaringan lunak kepala

Jarngan lunak kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:

Skin (kulit) yang tebal dan mengandung rambut serta kelenjar minyak

(sebasea)

Connective tissue (jaringan subkutis), merupakan jaringan ikat lemak

yang kaya akan pembuluh darah.

Aponeuris Galea, merupakan lapisan terkuat berupa fascia yang

melekat pada otot

Loose areolar tissue (jaringan areolar longgar) terdiri dari vena- vena

tanpa katup yang menghubungkan scalp, vena diploica dan sinus vena

intracranial.

Perikranium

Merupakan periosteum yang melapisi tulang tengkorak, melekat erat

pada sutura dan berhubungan dengan endosteum.

4

2. Tulang Tengkorak

Terdiri dari kalvaria dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari

beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Basis cranii

dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat

temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan

serebelum

3.Meningens

5

Selaput meninges terdiri dari 3 lapisan yaitu :

a.Duramater

Duramater (dalam Bahasa latin disebut “hard mother”/meningens

fibrosa/jaringan parenkim) adalah membrane yang tebal dan paling dekat

dengan tengkorak. Dura mater, bagian terluar, adalah lapisan fibroelastik sel,

tidak mengandung kolagen ekstraselular, dan memiliki ruang ekstraselular

yang signifikan. Bagian tengah lapisan meningens adalah yang paling banyak

mengandung jaringan ikat. Lapisan tengah meningens terdiri dari dua lapisan,

yaitu lapisan endosteal, yang terletak paling dekat dengan calvaria (tengkorak),

dan lapisan meningeal dalam, yang terletak lebih dekat ke otak. Lapisan ini

berisi pembuluh darah besar yang bercabang menjadi kapiler dan berjalan ke

pia mater. Dura mater adalah suatu kantung yang menyelubungi arachnoid dan

mengelilingi saluran scrams besar (sinus dural) yang membawa darah dari otak

menuju jantung.

Dura memiliki empat bagian, terdiri dari 1) Falx cerebri, bagian terbesar,

memisahkan belahan otak. Mulai dari puncak frontal tulang frontal dan galli

crista berjalan ke oksipital internal. 2)Tentorium cerebelli, terbesar kedua,

berbentuk bulan sabit; memisahkan lobus oksipital dari otak. 3)Falx cerebelli,

terletak di bagian inferior tentorium cerebri, memisahkan belahan serebelum.

4)Diaphragma sellae, meliputi kelenjar pituitari dan sella turcica.

b. Selaput Arakhnoid

Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput

ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural

dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor

serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera

kepala

c. Pia mater

6

Piamater (dalam Bahasa latin disebut “tender mother”) adalah membran yang

sangat halus. Ini adalah amplop meningeal yang melekat pada permukaan otak

dan sumsum tulang belakang dan semua bagian otak (termasuk gyri dan sulci).

Ini adalah membran yang sangat tipis terdiri dari jaringan fibrosa tertutup di

permukaan luarnya dengan selembar sel datar yang tidak permeable terhadap

air. Piamater ditembus oleh pembuluh darah ke otak dan sumsum tulang

belakang, dan kapiler yang memberikan nutrisi pada otak.

Ruang subarachnoid adalah ruang yang terdapat di aantara arachnoid dan pia

mater, yang berisi cairan cerebrospinal. Biasanya, duramater melekat pada

tengkorak, tetapi di sumsum tulang belakang, dura mater dipisahkan dari

tulang (vertebra) oleh ruang yang disebut ruang epidural, yang mengandung

pembuluh darah dan lemak. Arachnoid melekat pada dura mater, sedangkan

pia mater melekat pada jaringan sistem saraf pusat. Ketika dura mater dan

arachnoid terpisah oleh karena cedera atau sakit, ruang antara mereka adalah

ruang subdural. Terdapat ruang subpial dibawah pia mater yang

memisahkannya dari glia limitans.

7

4. Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa

sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan)

terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan

rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan

serebellum.

Otak dibangi menjadi 5 lobus, yaitu Lobus frontal adalah yang terbesar

dari empat lobus bertanggung jawab untuk banyak fungsi yang berbeda, termasuk

keterampilan motorik seperti gerakan volunter, fungsi intelektual dan fungsi

perilaku. Daerah yang menghasilkan gerakan di bagian tubuh yang ditemukan di

korteks motor utama atau gyrus precentral. Korteks prefrontal memainkan peran

penting dalam memori, kecerdasan, konsentrasi, marah dan kepribadian.

Premotor cortex adalah daerah yang ditemukan di samping korteks motor

utama. Area Broca, penting dalam produksi bahasa, ditemukan dalam lobus

frontal, biasanya di sisi kiri.

Oksipital lobus - lobus ini terletak di bagian belakang otak dan

memungkinkan manusia untuk menerima dan memproses informasi visual..

Oksipital lobus di sebelah kanan menafsirkan sinyal visual dari ruang visual kiri,

sedangkan lobus oksipital kiri melakukan fungsi yang sama untuk ruang visual

yang tepat.

Parietal lobus - lobus ini menafsirkan secara bersamaan, sinyal yang

diterima dari daerah lain otak seperti penglihatan, pendengaran, motorik, sensorik

dan memori. Memori seseorang dan informasi sensorik baru diterima, memberi

makna objek.

Temporal Lobes - lobus ini terletak di setiap sisi otak pada sekitar tingkat

telinga, dan dapat dibagi menjadi dua bagian. Satu bagian adalah di bagian bawah

(ventral) dari masing-masing belahan, dan bagian lain di sisi (lateral) dari masing-

8

masing belahan. Daerah di sisi kanan terlibat dalam memori visual dan membantu

manusia mengenali obyek dan wajah orang-orang '. Daerah di sisi kiri terlibat

dalam memori verbal dan membantu manusia mengingat dan memahami bahasa.

Bagian belakang lobus temporal memungkinkan manusia untuk menafsirkan

emosi dan reaksi orang lain.

Otak kecil terletak di bagian belakang otak di bawah lobus oksipital dan

dipisahkan dari otak oleh tentorium (lipatan dura). Otak kecil berfungsi

mempertahankan postur tubuh, keseimbangan atau ekuilibrium, dengan

mengontrol tonus otot dan posisi anggota badan. Otak kecil adalah penting dalam

kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan yang cepat dan berulang-ulang

seperti bermain video game. Di otak kecil, kelainan kanan sisi menghasilkan

gejala pada sisi yang sama dari tubuh.

5. Vaskularisasi Otak

Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.

Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk

sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam

dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar

dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis

9

PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA

Patofisiologi umum

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera

primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai

akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala

dengan suatubenda keras maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala.

 Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup.

Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan

daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat

benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi

karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma.

Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi

semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya.

Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam

tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).

Patofisiologi spesifik

cedera kepala disebabkan oleh kerusakan langsung pada jaringan kepala akibat

trauma, gangguan perfusi cerebral dan juga gangguan metabolisme pada otak yang

dapat menyebabkan “ischemia like pattern” yang menyebabkan akumulasi asam

laktat akibat terjadi glikolisis anaerob, peningkatan permeabilitas membran, dan

edema. Metabolisme anaerob menyebabkan pembentukan energi yang tidak adekuat,

cadangan ATP menurun, dan kegagalan pada pompa ion pada jalur pembentukan

ATP dalam menghasilkan energi.

Tahapan kedua dari kaskade patofisiologi ditandai dengan depolarisasi

membrane terminal bersama dengan perangsangan produksi neurotransmiter yang

berlebihan (yaitu glutamat, aspartat), aktivasi N-methyl-D-aspartat, α-amino-3-

10

hidroksi-5-metil-4 –isoxazolpropionate. Proses ini mengarah kepada terjadinya

katabolic proses di intaseluler. Ca2 + mengaktifkan peroksidase lipid, protease, dan

phospholipases yang meningkatkan konsentrasi intraseluler asam lemak bebas dan

radikal bebas. Selain itu, aktivasi caspases (protein ICE-seperti), translocases, dan

endonuklease memulai perubahan struktural progresif membran biologis dan DNA

nucleosomal (fragmentasi DNA dan menghambat perbaikan DNA). Peristiwa ini

menyebabkan membran degradasi pembuluh darah dan struktur selular dan akhirnya

nekrosis dan apoptosis.

Aliran darah otak

Pada cedera kepala, dapat terjadi hiperperfusi atau hipoperfusi pada pembuluh darah

di otak. Hipoperfusi yang terjadi sebagai akibat dari iskemia. Iskemik cerebral dapat

menyebabkan pasien jatuh pada keadaan vegetative state dan kematian. Iskemia otal

menyebabkan stress metabolic dan gangguan ion di otak. Trauma kepala pada cedera

kepala jua dapat menyebabkan struktural badan sel saraf, astrosit dan mikroglia, serta

mikrovaskuler otak dan kerusakan sel endotel.

Pada tahap awal dari terjadinya cedera, didapatkan keadaan hiperperfusi

pada pembuluh darah otak. Mekanisme yang terjadi pada iskemia pasca-trauma juga

mengakibatkan cedera morfologi seperti distorsi pembuluh darah sebagai akibat dari

perpindahan mekanik, hipotensi dengan adanya kegagalan autoregulasi, terbatasnya

ketersediaan nitrit oksida atau neurotransmitter kolinergik, dan potensiasi dari

prostaglandin yang diinduksi vasokonstriksi.

Pada tahap awal dari cedera kepala dapat terjadi hiperperfusi aliran darah

otak. Hiperperfusi ditandai dengan terjadinya hyperemia. Keadaan ini berhubungan

dengan terjadinya vasoparalisis yang selanjutnya dapat menyebabkan peningkatan

aliran darah dan tekanan intracranial.

Disfungsi metabolisme otak

11

Pada keadaan cedera kepala akibat trauma, kemampuan metabolisme pada

otak menurun. Hal ini berkaitan dengan disfungsi mitokondria yang merupakan

penghasil ATP sebagai akibta dari trauma. Disfungsi metabolism ini juga

berhubungan dengan hiperperfusi dan hipoperfusi aliran darah otak

Oksigenasi otak

Cedera otak menyebabkan ketidakseimbangan antara penyebaran oksigen

dan juga konsumsi oksigen. Keadaan ini berbahaya karena dapat menyebabkan

hipoksia dan dapat berakibat kematian.

Edema dan Inflamasi

Klasifikasi edema otak berkaitan dengan kerusakan struktural dan

ketidakseimbangan osmotik yang disebabkan oleh cedera primer atau sekunder.

Edema otak vasogenik disebabkan oleh gangguan mekanis atau autodigestive atau

kerusakan fungsional dari lapisan sel endotel dari pembuluh otak. Disintegrasi

dinding endotel pembuluh darah otak memungkinkan ion dan protein mentransfer

tidak terkendali dari intravaskular ke ekstraseluler kompartemen (interstitial) otak

dengan menyebabkan akumulasi air. Ekstraseluler sitotoksik edema otak ditandai

dengan akumulasi air intraseluler neuron, astrosit, dan mikroglia terlepas dari

integritas dinding endotel vaskular. Patologi ini disebabkan oleh permeabilitas

membran sel meningkat, kegagalan pompa ion karena deplesi energi, dan reabsorpsi

seluler zat terlarut osmotik aktif.

Cedera kepala juga menyebabkan peradangan yang mengaktivasi sitokin-

sitokin pro inflamasi sehingga terjadi inflamasi pada otak.

KLASIFIKASI CEDERA KEPALA

Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan

a. Mekanisme cedera kepala

12

Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul

dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan

kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul.

Sedang cedera kepala tembuus disebabkan oleh peluru atau tusukan

b. Beratnya cedera (Glasgow Coma Scale)

Kategori SKG Gambaran Klinik CT Scan otak

Minimal 15 Pingsan (-) defisit neurologi{-) Normal

Ringan 13-15 Pingsan < 10 menit, defisit neurologik (-) Normal

Sedang 9-12 Pingsan >10 menit s/d 6 jam

Defisit neurologik (+)

Abnormal

Berat 3-8 Pingsan > 6 jam, defisit neurotogik (+) Abnormal

c. Morfologi cedera

Fraktur cranium

1. Fraktur linier 

A. Vault 

Merupakan fraktur yang terjadi pada atap tengkorak (calvarium) yang disebut

dengan fracture calvarium, Fraktur linier pada kalvaria  ini dapat terjadi jika gaya

langsung yang bekerja  pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan

tulang kepala “bending” dan terjadi fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga

intrakranial. Gaya yang menyebabkan terjadinya fraktur tersebut cukup besar maka

kemungkinan terjadinya hematom intrakranial cukup besar Jika gambar fraktur

tersebut  kesegala arah disebut “Steallete fracture”, jika fraktur mengenai sutura

disebut  diastase fraktur 

13

B. Basilar 

Merupakan fraktur yang terjadi pada dasar tengkorak, disebut fraktur basis

kranii (skull base) Skull base di bagi menjadi 3 yaitu: 

FRAKTUR BASIS KRANII

1. Anterior

Gejala dan tanda Minis :

- keluarnya cairan likuor melalui hidung / rhinorea

- perdarahan bilateral periorbital ecchymosis / raccoon eye

- anosmia

2. Media

Gejala dan tanda klinis :

- keluaraya cairan likuor melalui telinga / otorrhea

- gangguan n.VTI & VIII

3. Posterior

Gejala dan tanda kLinis :

- bilateral raastoid ecchymosis / Battle s sign

Penunjang diagnostik:

- Memastikan cairan serebrospinal secara sederhana dengan tes halo

- Scaning otak resolusi tinggi dan irisan 3 mm (50% +) (high resolution and

thin section)

Jenis fraktur basis cranii : 

a.  Fraktur Temporal, terdiri atas 3 jenis yaitu 

1.longitudinal 

2.Transfersal 

14

3.Mixed 

b.  Fraktur condylar occipital 

c.  Fraktur clivus

2. Depress fracture

Apabila fragmen dari fraktur masuk  rongga intrakranial minimal setebal

tulang fragmen tersebut. Fraktur depresi dibagi 2 berdasarkan pernah tidaknya

fragmen berhubungan dengan udara luar,yaitu

1.  Fraktur Depresi tertutup

Biasanya tidak dilakukan tindakan operatiF kecuali bila fraktur tersebut

menyebabkan gangguan neurologis, misal kejang-kejang, hemiparese/ plegi,

penurunan kesadaran. Tindakan yang dilakukan adalah mengangkat fragmen tulang

yang menyebabkan penekanan pada jaringan otak,setelah mengembalikan dengan

fiksasi pada tulang disebelahnya. 

2.  Fraktur Depresi Terbuka

Semua fraktur depresi terbuka harus dilakukan tindakan operatif debridemant

untuk mencegah terjadinya proses infeksi (meningoencephalitis) yaitu mengangkat

fragmen yang masuk, membuang jaringan devitalized seperti jaringan nekrosis

benda-benda asing, evakuasi hematom, kemudian menjahit durameter secara “water

tight”/kedap air kemudian fragmen tulang dapat dikembalikan ataupun dibuang

Lesi Intrakranial

Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua

bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural,

hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien pada

kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal namun

menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis

1. Hematoma Epidural

15

Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang

potensial antara tabula interna dan duramater dengan ciri berbentuk bikonvek atau

menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau

temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan

biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena

pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya sinus

vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Walau hematoma

epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma

cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera.

Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang

terjadi tidak berlangsungg lama. Keberhasilan pada penderita pendarahan epidural

berkaitan langsung dengan status neurologis penderita sebelum pembedahan. Gejala

yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif. Pasien dengan

kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga.

Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau telinga. Pasien

seperti ini harus di observasi dengan teliti. Setiap orang memiliki kumpulan gejala

yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang muncul

bersaman pada saat terjadi cedera kepala.

Tanda Diagnostik Klinik:

1. Lucid interval (+)

2. Kesadaran makin menurun

3. Late Hemiparese kontralateral lesi

4. Pupil anisokor

5. Babinsky (+) kontralateral lesi

6. Fraktur di daerah temporal

16

HEMATOMA EPIDURAL DI FOSSA POSTERIOR:

Gejala dan Tanda Klinis :

1. Lucid interval tidak jelas

2. Fraktur kranii oksipital

3. Kehilangan kesadaran cepat

4. Gangguan serebellum .batang otak dan pernafasan

5. Pupil isokor

Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese atau

serangan epilepsi fokal. Pada perjalanannya, pelebaran pupil akan mencapai

maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah

tanda sudah terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan

bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil

kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak

menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-gejala

respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal

batang otak.

Jika Epidural hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar otak, interval

bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur.

Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu

homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula interna

dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral ( tanda space occupying lesion ). Batas

dengan corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat

diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga tampak lebih jelas

2. Hematoma subdural17

Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi diantra duramater dan

aracnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30%

penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena

bridging vein antara kortek cerebral dan sinus draining. Namun ia juga dapat

berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak

mungkin ada atau tidak.

Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya

sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural.

Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang

sangat segera dan pengelolaan medis agresif. Subdural hematom terbagi menjadi

akut, subakut, dan kronis:

a.Hematoma Subdural Akut

Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam

setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik

progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak

dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang

otak. Keadaan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan

hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.

b. Hematoma Subdural Subakut

Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam

tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut,

hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangansubdural.

Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang

menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang

perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-

tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun

perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan meningkatnya tekanan intrakranial

18

seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar

dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri.

Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh

akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi

tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak.

c.Hematoma Subdural Kronik

Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan

beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena

yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan

subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh

membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik

cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma.

Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut

dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah

ukuran dan tekanan hematoma.

Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi

pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan

ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan.

Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah.

Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena

tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada

dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang

menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.

Jenis

1. Akut : Interval Lucid 0-5 hari

2. Subakut : Interval Lucid 5 hari – bbrp minggu

19

3. Kronik : Interval Lucid > 3 bulan

Hematoma Subdural Akut

Gejala dan tanda klinis :

- Sakit kepala

- Kesadaran menurun + / -

Penunjang Diagnostik:

- CT Scan otak : gambaran hiperdens (perdarahan) diantara duramater dan

araknoid, umumnya karena robekan dari bridging vein, dan tampak seperti bulan

sabit

3. PERDARAHAN SUBARAKHNOID TRAUMATIKA

Gejala dan tanda Klinis:

- Kaku kuduk

- Nyeri kepala

- Bisa didapati gangguan kesadaran

Penunjang diagnosis:

CT Scan otak: perdarahan (hiperdens) di ruang subaraknoid

4. Kontusi dan hematoma intraserebral

Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak hampir

selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar kontusi terjadi

dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk

serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral

traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan

kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa

hari.

20

Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim)

otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang

menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak

tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi

perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya

(countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung

pada lokasi dan luas perdarahan.

5. Cedera difus

Diartikan sebagai suatu keadaan patologis penderita koma (penderita tidak

sadar setelah mengalami benturan kepala) tanpa gambaran SOL pada CT scan

atau MRI. Cedara otak difus merupakan kerusakan otak yang disebabkan oleh

kecelakaan lalu lintas berkecepatan tinggi sehingga terjadi mekanisme akselerasi

dan deselerasi. Angulasi, rotasi, dan peregangan yang timbul menyebabkan

robekan pada serabut saraf pada berbagai tempat yang sifatnya menyeluruh

(difus)

Klasifikasi Diffuse Brain Injury

A. Berdasarkan CT scan dibedakan menjadi

21

1. Grade 1: tidak terdapat kelainan patologi yang terlihat pada CT

2. Grade 2: sisterna masih tampak, midline shift 5 mm, tidak terdapat lesi

berdensitas tinggi atau campuran yang > 25 ml

3. Grade 3: sisterna menghilan, midline shift 5 mm, tidak terdapat lesi

berdensitas tinggi atau campuran yang > 25 ml

4. Grade 4: sisterna menghilang, midline shift > 5 mm

Gejala dan tanda Klinis:

- koma lama pasca trauma kapitis (prolonged coma)

- disfungsi saraf otonom.

- demam tinggi

Penunjang Diagnostik:

CT Scan otak:

- awal - normal, tidak ada tanda adanya perdarahan, edema, kontusio

- ulangan setelah 24 jam - edema otak luas

B. Berdasarkan gambaran patologi

1. Diffuse Axonal Injury (DAI)

Adanya Kerusakan akson yang menyeluruh dalam hemisfer cerebri, korpus

kalosum, batang otak, dan serebelm (pedunkulus).

2. Diffuse Vascular Injury (DVI)

Perdarahan kecil-kecil yang menyebar pada seluruh hemisfer. Keadaan ini

dapat menyebabkan pasien meninggal dalam hitungan menit. Pada DVI,

terjadi kerusakan menyeluruh pada endothel mikrovaskuler otak.

22

PENEGAKKAN DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan

1. Anamnesis

Trauma kapitis dengan / tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval lucid

Perdarahan / otontiea / rhinorrhea

Amnesia Traumatika (retrograd / anterograd)

2. Hasil pemeriksaan klinis Neurologis

3. Foto kepala polos, posisi AP, lateral, tangensial

4. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal.

Dari hasil foto, perlu diperhatikan kemungkinan adanya fraktur :

Linier

Impresi

terbuka / tertutup

5. CT Scan Otak : untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi berupa

Gambaran kontusio

Gambaran edema otak

Gambaran perdarahan (hiperdens) :

Hematoma epidural

Hematoma subdural

Perdarahan subarakhnoid

Hematoma intraserebral

PEMERIKSAAN KLINIS UMUM DAN NEUROLOGIS

Penilaian Kesadaran berdasarkan skala koma Glasgow (SKG)

23

Penilaian fungsi vital tensil, nadi, pernafasan

Otorrhea, Rhinorrhea

Ecchymosis periorbital bilateral / Eyes/ hematoma kaca mata

Ecchymosis nmstoid bilateral / Battle s Sign

Gangguan fokal neurologik

Fungsi motorik : lateralisasi. kekuatan otot

Refleks tendon, refleks patologis

Pemeriksaan fungsi batang otak:

Ukuran besar, bentuk, isokor / anisokor & reaksi pupil

Refleks kornea

Doll's eye phenomen

Monitor pola pernafasan:

o cheyne stokes : lesi di hemisfer

o central neurogenic hyperventilation : lesi di mesensefalon - pons

o apneustic breath : lesi di pons

o atoxic breath : lesi di medulla oblongata

Gangguan fungsi otonom

Funduskopi

Pemeriksaan Penunjang

a. Foto polos kepala

Tidak semua penderita dengan cedera kepala diindikasikan untuk

pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin

dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka tembus

(tembak/tajam), adanya corpus alineum, deformitas kepala (dari inspeksi dan

palpasi), nyeri kepala yang menetap, gejala fokal neurologis, gangguan

kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnose foto

24

kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya

fraktur depresi maka dilakukan foto polos posisi AP/lateral dan oblique.

b. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)

Indikasi CT Scan adalah :

1) Nyeri kepala menetap atau muntah – muntah yang tidak menghilang setelah

pemberian obat–obatan analgesia/anti muntah.

2) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi

intrakranial dibandingkan dengan kejang general.

3) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor – faktor ekstracranial telah

disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi

shock, febris, dll).

4) Adanya lateralisasi.

5) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur

depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.

6) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru

7) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.

8) Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).

9) Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan

perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark /

iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.

25

c. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.

d. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :

perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.

e. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis

f. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur

garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.

g. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil

h. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak

i. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan

subarachnoid.

j. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan

(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial

k. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat

peningkatan tekanan intrkranial

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya cedera dan

dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal dilaksanakan oleh suatu tim yang

terdiri dari paramedis terlatih, dokter ahli saraf, bedah asraf, radiologi, anestesi dan

rehabilitasi medik. Pasien dengan cedera kepala harus ditangani dan dipantau terus

sejak tempat kecelakaan, selama perjalanan dari tempat kejadian sampai rumah sakit,

diruang gawat darurat, kamar radiologi, sampai ke ruang operasi, ruang perawatan

atau ICU, sebab sewaktu-waktu bisa memburuk akibat aspirasi, hipotensi, kejang dan

sebagainya. Macam dan urutan prioritas tindakan cedera kepala ditentukan atas

dalamnya penurunan kesadaran pada saat diperiksa:

Penanganan emergensi sesuai dengan beratnya trauma kapitis (ringan, sedang, berat)

berdasarkan urutan :

26

1. Survei Primer, gunanya untuk menstabilkan kondisi pasien, meliputi tindakan-

tindakan sebagai berikut:

A = Airway (jalan nafas).

Bebaskan jalan nafas dengan memeriksa mulut dan mengeluarkan darah,

gigi yang patah, muntahan, dan lain sebagainya. Bila perlu lakukan

intubasi (waspadai kemungkinan adanya fraktur tulang leher)

B = Breathing (pernafasan).

Pastikan pernafasan adekuat

Perhatikan frekuensi, pola nafas dan pernafasan dada atau perut dan

kesetaran pengerabangan dada kanan dan kiri (simetris). Bila ada

gangguan pemaiasan, cari penyebab apakah terdapat gangguan pada

sentral (otak dan batang otak) atau perifer (otot pernafasan atau paru-

paru). Bila perlu, berikan Oksigen sesuai dengan kebutuhan dengan target

saturasi 02 > 92%.

C = Circulation (sirkulasi)

Pertahankan Tekanan Darah. Sistolik > 90 mmHg. Pasang sulur intravena.

Berikan cairan intravena drip, NaCl 0,9% atau Ringer. Hindari cairan

hipotonis. Bila perlu berikan obat vasoptesor dan / inotropik.

Konsultasi ke spesialis bedah saraf berdasarkan indikasi (lihat indikasi

operasi penderita trauma kapitis)

D = Disability (yaitu untuk mengetahui lateralisasai dan kondisi umum dengan

pemeriksaan cepat status umum dan neurologi )

- Tanda vital: tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu

- Skala koma Glasgow27

- Pupil : ukuran, bentuk dan reflek cahaya

- Pemeriksaan neurologi cepat: hemiparesis, refieks patologis

- Luka-luka

- Anamnesa : AMPLE {Allergies, Medications, Past Illnesses, Last

Meal, Event / Environment related to the injury)

2. Survei Sekunder, meliputi pemeriksaan dan tindakan lanjutan setelah kondisi

pasien stabil.

E = Laboratorium

Darah : Hb, leukosit, hitung jenis lekosit, trombosit, ureum, keatinin, gula

darah sewaktu, analisa gas darah dan elektrolit

Urine : perdarahan (+) / (-)

Radiologi:

- Foto polos kepala, posisi AP, lateral, tangensial

- CT scan otak.

- Foto lainnya sesuai indikasi (termasuk foto servikal)

F = Manajemen Terapi

- Siapkan untuk operasi pada pasien yang mempunyai indikasi

- Siapkan untuk masuk ruang rawat

- Penanganan luka-luka

- Pemberian terapi obat obatan sesuai kebutuhan

INDIKASI OPERASI PENDERITA TRAUMA KAPITIS

1. EDH (epidural hematoma);

28

a. > 40 cc dengan midline shifting pada daerah temporal / frontal / parietal

dengan fungsi batang otak masih baik.

b. > 30 cc pada daerah fossa posterior dengan tanda-tanda penekanan batang

otak atau hidrosefalus dengan fungsi batang otak masih baik.

c. EDH progresif.

d. EDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan indikasi operasi.

2. SDH (subdural hematoma)

a. SDH luas (> 40 cc / > 5 mm) dengan GCS > 6, fungsi batang otak masih baik.

b. SDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan indikasi operasi.

c. SDH dengan edema serebri / kontusio serebri disertai midline shift dengan

fungsi batang otak masih baik.

3. ICH (perdarahan intraserebrai) pasca trauma. Indikasi operasi ICH pasca trauma :

a. Penurunan kesadaran progresif.

b. Hipertensi dan bradikardi dan tanda-tanda gangguan nafas (Cushing reflex).

c. Perburukan defisit neurologi fokal.

4. Fraktur impresi melebihi 1 (satu) diploe.

5. Fraktur kranii dengan laserasi serebri.

6. Fraktur kranii terbuka (pencegahan infeksi intra-kranial).

7. Edema serebri berat yang disertai tanda peningkatan TIK, dipertimbangkan

operasi dekompresi.

KASUS RINGAN (Simple Head Injury)

1. Pemeriksaan status umum dan neurologi

2. Perawatan luka-luka

3. Pasien dipulangkan dengan pengawasan ketat oleh keluarga selama 48 jam

29

Bila selama di rumah terdapat hal-hal sebagai berikut:

- Pasien cenderung mengantuk

- Sakit kepala yang semakin berat

- Muntah proyektil maka pasien harus segera kembali ke rumah sakit.

4. Pasien perlu dirawat apabila ada hal-hal berikut:

- Ada gangguan orientasi (waktu, tempat)

- Sakit kepala dan muntah

- Tidak ada yang mengawasi di rumah

- Letak rumah jauh atau sulit utk kembali ke RS

IV. KONSENSUS DI RUANG RAWAT

Pelayanan medis:

Tujuan yang paling utama dari tata laksana trauma kapitis tertutup harus maksimal

terhadap proses fisiologis dari perbaikan otak itu sendiri (Miller, 1978)

A. KRITIKAL-SKG 3-4

Perawatan di Unit Intensif Neurologi (Neurological ICU)/ICU (bila fasilitas

tersedia)

B. TRAUMA KAPITIS SEDANG DAN BERAT - SKG 5-12

1. Lanjutkan penanganan ABC

2. Pantau tanda vital (suhu, pernafasan, tekanan darah), pupil, SKG, gerakan

ekstremitas, sampai pasien sadar (memakai lembar pantauan kondisi

medis/Observation Chart, lampiran 2)

- pantauan dilakukan tiap 4 jam

- lama pantauan sampai pasien raencapai SKG 15

30

Perhatian khusus harus diberikan untuk mencegah terjadinya hipotensi

(Milter, I978; Chestnut 1993). Data dari Traumatic Coma Data Bank (TCDB)

memperlihatkan bahwa hipotensi pada pasien dengan trauma kranioserebral

berat akan meningkatkan angka kematian dari 27% menjadi 50% (Wilkins,

1996). Tatalaksana tradisional yang meliputi pembatasan cairan dalam

mengurangi terjadinya edema otak, kemungkinan akan membahayakan

pasien, terutama pada pasien yang telah mengalami banyak kehilangan cairan

(misalnya perdarahan).

Dijaga jangan terjadi kondisi sebagai berikut:

- Tekanan darah sistolik < 90 mm Hg

- Suhu>38 derajat Celcius

- Frekuensi nafas > 20 x /' menit

3. Cegah kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intrakranial, dengan cara :

- Posisi kepala ditinggikan 30 derajat.

- Bila perlu dapat diberikan Manitol 20% (hati-hati kontraindikasi). Dosis awal

1 gr / kg BB, berikan dalam waktu ½ - 1 jam, drip cepat , dilanjutkan

pemberian dengan dosis 0,5 gr / kg BB drip cepat, ½ - 1 jam, stlh 6 jam dari

pemberian pertama dan 0,25 gr / kg BB drip cepat, ½ - 1 jam setelah 12 jam

dan 24 jam dari pemberian pertama.

- Berikan analgetika, dan bila perlu dapat diberikan sedasi jangka pendek

Sequele Cedera Kepala

1.Kejang pasca trauma.

31

Merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10 %, terjadi di awal cedera 4-

25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah 7 hari trauma). Faktor

risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur

depresi kranium, kontusio serebri, GCS <10.

2.Demam dan mengigil :

Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolism dan memperburuk

“outcome”. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi, efek sentral.

Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro muscular paralisis. Penanganan lain

dengan cairan hipertonik, koma barbiturat, asetazolamid.

3.Hidrosefalus:

Berdasar lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan non komunikan.

Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera kepala dengan obstruksi,

Hidrosefalus non komunikan terjadi sekunder akibat penyumbatan di sistem

ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala, papil

udema, dimensia, ataksia, gangguan miksi.

4.Spastisitas :

Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada kecepatan gerakan.

Merupakan gambaran lesi pada UMN. Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi.

Beberapa penanganan ditujukan pada : Pembatasan fungsi gerak, Nyeri, Pencegahan

kontraktur, Bantuan dalam posisioning.

Terapi primer dengan koreksi posisi dan latihan ROM, terapi sekunder dengan

splinting, casting, farmakologi: dantrolen, baklofen, tizanidin, botulinum,

benzodiasepin

5.Agitasi

32

Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal dalam bentuk

delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga sering terjadi

akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi sentral. Penanganan

farmakologi antara lain dengan menggunakan antikonvulsan, antihipertensi,

antipsikotik, buspiron, stimulant, benzodisepin dan terapi modifikasi lingkungan.

6. Mood, tingkah laku dan kognitif

Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding gangguan fisik setelah

cedera kepala dalam jangka lama. Penelitian Pons Ford,menunjukkan 2 tahun setelah

cedera kepala masih terdapat gangguan kognitif, tingkah laku atau emosi termasuk

problem daya ingat pada 74 %, gangguan mudah lelah (fatigue) 72%, gangguan

kecepatan berpikir 67%. Sensitif dan Iritabel 64%, gangguan konsentrasi 62%.

Cicerone (2002) meneliti rehabilitasi kognitif berperan penting untuk perbaikan

gangguan kognitif. Methyl phenidate sering digunakan pada pasien dengan problem

gangguan perhatian, inisiasi dan hipoarousal (Whyte). Dopamine, amantadinae

dilaporkan dapat memperbaiki fungsi perhatian dan fungsi luhur. Donepezil dapat

memperbaiki daya ingat dan tingkah laku dalam 12 minggu. Depresi mayor dan

minor ditemukan 40-50%. Faktor resiko depresi pasca cedera kepala adalah wanita,

beratnya cedera kepala, pre morbid dan gangguan tingkah laku dapat membaik

dengan antidepresan.

7.Sindroma post kontusio

Merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera kepala 80% pada 1

bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun pertama:

Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual, mudah lelah, sensitif

terhadap suara dan cahaya, kognitif: perhatian, konsentrasi, memori,

Afektif: iritabel, cemas, depresi, emosi labil.

33

PROGNOSIS

Sekitar setengah dari berat pasien cedera kepala akan memerlukan

pembedahan untuk menghilangkan hematoma (pembuluh darah pecah) atau memar

(jaringan otak memar). Kecacatan yang dihasilkan dari trauma kepala tergantung

pada tingkat keparahan cedera, lokasi cedera, dan usia dan status kesehatan umum

individu. Beberapa kecacatan umum termasuk masalah kognisi (berpikir, memori,

dan penalaran), pengolahan sensorik (penglihatan, pendengaran, sentuhan, rasa, dan

bau), komunikasi (ekspresi dan pemahaman), dan perilaku atau kesehatan mental

(depresi, kecemasan, perubahan kepribadian , agresi, bertindak, dan ketidaktepatan

sosial). Cedera kepala yang lebih serius dapat mengakibatkan pingsan, yaitu keadaan

tidak responsif, tapi satu di mana seorang individu dapat terangsang secara singkat

oleh stimulus yang kuat, seperti rasa sakit yang tajam; koma, keadaan di mana

seorang individu benar-benar tidak sadar, tidak responsif, menyadari, dan

unarousable; kondisi vegetatif, di mana seorang individu tidak sadar dan tidak

menyadari nya lingkungan, tetapi terus memiliki siklus tidur-bangun dan periode

kewaspadaan; dan kondisi vegetatif (PVS), di mana seorang individu tetap dalam

keadaan vegetatif selama lebih dari sebula

BAB III

KESIMPULAN

Cedera kepala atau head injury adalah kerusakan pada setiap struktur bagian

kepala yang disebabkan oleh trauma dan berakibat disfungsi cerebral sementara

sampai disfungsi permanen. Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan

34

utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu

lintas dan terjatuh dari ketinggian.

Terjadinya cedera kepala, kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu

kerusakan primer yang merupakan akibat yang langsung dari suatu ruda paksa dan

kerusakan sekunder yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai

tahap lanjutan dari kerusakan otak primer.

Aspek-aspek terjadinya cedera kepala dikelompokan menjadi beberapa

klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme cedera kepala, beratnya cedera kepala, dan

morfologinya. Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang

menetap. Kelainan fungsi yang terjadi juga tergantung kepada bagian otak mana yang

terkena.

Gejala yang timbul juga tergantung bagian otak yang terkena dampak dari

cedera. Penatalaksanaan cedera kepala dibagi menjadi primary survey dan secondary

survey, dimana keduanya bertujuan untuk menyelamatkan jiwa pasien, mengobati

kelainan yang terjadi, dan mencegah komplikasi lebih lanjut.

Prognosis dari cedera kepala tergantung pada tingkat keparahan cedera, lokasi

cedera, dan usia dan status kesehatan umum individu. Beberapa kecacatan umum

termasuk masalah kognisi (berpikir, memori, dan penalaran), pengolahan sensorik

(penglihatan, pendengaran, sentuhan, rasa, dan bau), komunikasi (ekspresi dan

pemahaman), dan perilaku atau kesehatan mental (depresi, kecemasan, perubahan

kepribadian , agresi, bertindak, dan ketidaktepatan sosial).

35

DAFTAR PUSTAKA

1. America Association of Neurological Surgeon. Anatomy of Brain. United States

of America:2015. Diakses tanggal 24 September 2015 pukul 15.00: www.ans.org

2. American College of Surgeons. Advance Trauma Life Suport. United States of

America:1997.

3. Brain Injury Association of America. Definition of Brain injury. United State of

America:2015. Diakses tanggal 23 September 2015 pukul 20.00:

www.biausa.nih.gov

4. Bernath D. Head Injury.2009. Diakses tanggal 23 September 2015 pukul 20.00

www.e-medicine.com

5. Hafid A. Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta:2007.

6. Ghazali Malueka. Radiologi Diagnostik, Yogyakarta: 2007.

7. Japardi I. Penatalaksanaan Cedera Kepala. Sumatra Utara:2002.

8. Japardi I. Cedera Kepala. Jakarta:2004.

9. Mendelow AD. Pathophysiology of Head Injury. Br.J.Surg vol:1983 70 641-50.

10. National Institute of Neurological Disorder and stroke. NINDS Traumatic Brain

Injury. 2014 Diakses tanggal 24 September 2015 pukul 20.00:

www.ninds.nihgov/disorder/tbi/tbi.htm

11. National Institute of Neurological Disorder and stroke. Subdural Hematom CT

Scan. 2015. www.ninds.nih.gov.

12. Price DD. Epidural Hematom in Emergency Medicine. 2015. Diakses tanggal 24

September 2015 pukul 18.00: www.emedicine.medscape.com

36

13. Werner C. Pathophysiology of Traumatic Brain Injury. Oxford Journal:2015.

Vol.99 pp 4-9

37