cedera kepala

35
LAPORAN KASUS “HEMIPARESE SINISTRA ET CAUSA TRAUMA KEPALA RINGAN” Oleh Yohanes Yoga Laksono H1A 010 022 Zihan H1A 010 032 SUPERVISOR : dr. Wayan Subagiarta, Sp. S DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN ILMU PENYAKITSARAF RSUP NTB FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS MATARAM

Upload: muhammad-kholid-firdaus

Post on 17-Sep-2015

36 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

d

TRANSCRIPT

LAPORAN KASUS

HEMIPARESE SINISTRA ET CAUSA TRAUMA KEPALA RINGAN

Oleh

Yohanes Yoga LaksonoH1A 010 022Zihan H1A 010 032

SUPERVISOR :dr. Wayan Subagiarta, Sp. S

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYABAGIAN ILMU PENYAKITSARAF RSUP NTBFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS MATARAM2014KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWTyang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada saya, sehingga sayadapat menyelesaikan Laporan kasus Ilmu Penyakit Saraf dengan judul hemiparese sinistra et causa trauma kepala ringan sebagai suatu laporan kasus atas hasil belajar yang berkaitan dengan kegiatan kepanitraan klinik di bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUP NTB.Saya mengucapkan terima kasih secara khusus kepada dr.Wayan Subagiartha Sp Satas bimbingan beliau pada saya dalam proses diskusi dan pelaporan kasus penyakit saraf. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada para perawat dan tenaga medis lainnya yang membantu dalam proses perawatan dan pengobatan pasien.Saya juga ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan-kekurangan yang ada dalam laporan kasus ini. Maka dari itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun yang harus saya lakukan untuk dapat menyusun laporan yang lebih baik lagi di kemudian hari.

Mataram, 15 Oktober 2014

Penulis

I.PENDAHULUAN1.1 Definisi Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik1.

1.2 Epidemiologi Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi1. Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal2.

1.3 Etiologi Penyebab trauma kepala, yaitu3: 1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil. 2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan. 3. Cedera akibat kekerasan.4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek otak. dapat menyebabkan cedera seluruh kerusakan terjadi ketika energi/ kekuatan diteruskan kepada otak 5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya. 6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam. Trauma benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat.

Kerusakan jaringan otak karena benda tumpul tergantung pada3 : Lokasi Kekuatan Fraktur infeksi/ kompresi Rotasi Delarasi dan deselarasi

1.4 Patofisiologi Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala4. Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup)4.Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi4. Pada tulang tengkorak dapat terjadi fraktur linier (70% dari fraktur tengkorak), fraktur impresi maupun perforasi. Penelitian pada lebih dari 500 penderita trauma kepala menunjukkanbahwa hanya 18% penderita yang mengalami frakturtengkorak. Fraktur tanpa kelainan neurologik, secara klinis tidak banyak berarti4. Fraktur linier pada daerah temporal dapat merobek atau menimbulkan aneurisma pada arteria meningea media dan cabang-cabangnya; pada dasar tengkorak dapat merobek atau menimbulkan aneurisma a. karotis interna dan terjadi perdarahan lewat hidung, mulut dan telinga. Fraktur yang mengenai lamina kribriform dan daerah telinga tengah dapat menimbulkan rinoroe dan otoroe (keluarnya cairan serebrospinal lewat hidung atau telinga4.Fraktur impresi dapat menyebabkan penurunan volume dalam tengkorak, hingga menimbulkan herniasi batang otak lewat foramen magnum. Juga secara langsung menyebabkan kerusakan pada meningen dan jaringan otak di bawahnya akibat penekanan4.Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan yang hemoragik pada daerah coup dan countre coup, dengan piamater yang masih utuh pada kontusio dan robek pada laserasio serebri. Kontusio yang berat di daerah frontal dan temporal sering kali disertai adanya perdarahan subdural danintra serebral yang akut. Tekanan dan trauma pada kepala akan menjalar lewat batang otak kearah kanalis spinalis; karena adanya foramen magnum, gelombang tekanan ini akan disebarkan ke dalam kanalis spinalis. Akibatnya terjadi gerakan ke bawah dari batang otak secara mendadak, hingga mengakibatkan kerusakan-kerusakan di batang otak. Saraf otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf, kerusakan pada batang otak, ataupun sekunder akibat meningitis atau kenaikan tekanan intrakranial4.

Adapun kerusakan-kerusakan saraf yang sering terjadi, yaitu5: Kerusakan pada saraf otak I kebanyakan disebabkan oleh fraktur lamina kribriform di dasar fosa anterior maupun countre coup dari trauma di daerah oksipital. Pada gangguan yang ringan dapat sembuh dalam waktu 3 bulan. Dinyatakan bahwa 5% penderita trauma kapitis menderita gangguan ini. Gangguan pada saraf otak II biasanya akibat trauma didaerah frontal. Mungkin traumanya hanya ringan saja (terutama pada anak-anak), dan tidak banyak yang mengalami fraktur di orbita maupun foramen optikum. Dari saraf-saraf penggerak otot mata, yang sering terkena adalah saraf VI karena letaknya di dasar tengkorak. Ini menyebabkan diplopia yang dapat segera timbul akibat trauma, atau sesudah beberapa hari akibat dari edema otak. Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis,midriasis dan refleks cahaya negatif sering kali diakibatkan hernia tentori. Gangguan pada saraf V biasanya hanya pada cabang supra-orbitalnya, tapi sering kali gejalanya hanya berupa anestesi daerah dahi hingga terlewatkan pada pemeriksaan. Saraf VII dapat segera memperlihatkan gejala, atau sesudah beberapa hari kemudian. Yang timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulih kembali, karena penyebabnya adalah edema. Kerusakannya terjadi di kanalis fasialis, dan seringkali disertai perdarahan lewat lubang telinga. Banyak didapatkan gangguan saraf VIII pada. trauma kepala, misalnya gangguan pendengaran maupun keseimbangan. Edema juga merupakan salah satu penyebab gangguan. Gangguan pada saraf IX, X dan XI jarang didapatkan, mungkin karena kebanyakan penderitanya meninggal bila trauma sampai dapat menimbulkan gangguan pada saraf-saraf tersebut.Akibat lain dari trauma kapitis adalah kenaikan tekanan intrakranial. Pada saat trauma, terdapat peningkatan tekanan pada sisi benturan dan penurunan tekanan pada sisi yang ber-lawanan. Kenaikan tekanan intrakranial yang terjadi beberapa waktu kemudian dapat oleh karena edema otak atau kenaikan volume darah otak. Bila timbulnya lebih lambat lagi (lebih dari 10 hari), ini mungkin disebabkan oleh adanya hematoma kronik atau gangguan sirkulasi cairan serebro spinal5. Kenaikan tekanan intra kranial ini menyebabkan5: Aliran darah ke otak menurun, Brain shift maupun herniasi, Perubahan metabolisme, yaitu terjadi asidosis metabolic yang selanjutnya memperberat edema, Gangguan faal paru-paru. Ini terjadi karena kerusakan pada batang otak sesudah trauma mengakibatkan terjadinya apnea atau takipnea. Hal ini menimbulkan edema paru-paru yang selanjutnya mengganggu pertukaran gas. Gangguan ini menyebabkan hipoksia yang akanmemperberat edema di otak maupun di paru-paru.

1.5 KlasifikasiCedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan: (1) Mekanisme, (2) Beratnya, (3) Morfologi 6A. Mekanisme Cedera Kepala Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan. B. Beratnya Cedera Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan, mematuhi perintah dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada yang keseluruhan otot ekstremitasnya flaksid dan tidak dapat membuka mata sama sekali nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3 (Lihat , label 2, Glasgow Coma Scale). Nilai GCS sama kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS penderita cedera otak dengan nilai GCS 9 - 13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, penderita dengan nilai GCS 14-15 lategorikan sebagai cedera otak ringan. Dalam GCS, jika terdapat asimetri ekstremitas /kiri maka yang dipergunakan adalah motorik pada yang terbaik. Dalam hal , respon motorik pada kedua sisinya harus dicatat. C. Morfologi 1. Fraktur Kranium Fraktur Kranium dapat terjadi pada atap atau lisar tengkorak, dapat berbentuk garis/linear itau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka lita tertytup. Fraktur dasar tengkprak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan tknik "bone window" untuk memperjelas garis aktumya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur lasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebin rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis erjorbital (Raccopn eyes sign), ekimosis stfoaurikuler (Battle Sign), kebocoran CSS (Mijorrhea, otorrhea), paresis nervus fasialis ankphilangan pendengaran, yang dapat timbul atau beberapa hari setelah trauma. Umumnya prognosis pemulihan paresis nervus sialis lebih baik pada keadaan paresis yang HJadi beberapa waktu kemudian, sementara (rognosis pemulihan N VIII buruk. Fraktur iasar tengkorak yang menyilang kanalis taiotikus dapat merusak arteri karotis (diseksi, pseudoaneurisma atau trombosis) dan dianjurkan untuk dilakukan arteriografi. Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan idanya hubungan antara laserasi kulit kepala lengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak tidak dapat kemehkan, karena menunjukkan bahwa enturan yang terjadi cukup berat. Pada eiderita sadar, bila ditemukan fraktur linier pada kalvaria kemungkinan adanya perdarahan intrakranial meningkat sampai 400 kali. Pada penderita koma kemungkinan ditemukannya perdarahan intra-kranial pada fraktur linier adalah 20 kali karena resiko adanya perdarahan intrakranial memang sudah lebih tinggi.

2. Lesi intrakranial Lesi ini diklasifikasikan sebagai lesi fokal atau lesi difus, walaupun kedua jenis lesi ini sering terjadi bersamaan. Termasuk dalam lesi fokal yaitu perdarahan epidural, perdarahan subdural, kontusio, dan perdarahan intra cerebral. a. Cedera otak difus Mulai dari konkusi ringan dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi yang sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin mengalami amnesia retro/anterograd. Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apneu yang terjadi segera setelah trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau gambaran edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur. Kasus yang lebih jarang, biasanya pada kecelakaan motor dengan kecepatan tinggi, pada CT scan menunjukkan gambaran titik-titik perdarahan multipel di seluruh hemisfer otak yang terkonsentrasi di batas area putih dengan abu-abu. Selama ini dikenal isilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang buruk. Penelitian secara mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan pada akson dan terlihat pada manifestasi klinisnya.

b. Perdarahan epidural Relatif jarang, lebih kurang 0,5% dari semua cedera otak dan 9% dari penderita yang mengalami koma Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di area temporal atau temporoparietal yang dan biasanya disebabkan oleh robeknya a. meningea media akibat fraktur tulang tengkorak. Gumpalan darah yang terjadi biasanya berasal dari pembuluh arteri, namun dapat juga terjadi akibat robekan dari vena besar.c. Perdarahan subdural Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural (kira-kira 30 % dari cedera otak berat). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi selnruh permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan otak di bawahnya lebih berat dan prognosisnyapun jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan epidural.

d. Kontusio dan perdarahan intraserebral Kontusio serebri sering terjadi (20% sampai 30% dari cedera otak berat), dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intraserebral yang membutuhkan tindakan operasi. Hal ini timbul pada lebih kurang 20% dari penderita dan cara mendeteksi terbaik adalah dengan mengulang CT scan dalam 12 - 24 jam setelah CT scan pertama.

1.6 Pemeriksaan Klinis Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan radiologis. Pada anamnesis informasi penting yang harus ditanyakan adalah mekanisme trauma. Pada pemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan bersamaan dengan secondary survey. Pemeriksaan meliputi tanda vital dan sistem organ. Penilaian GCS awal saat penderita datang ke rumah sakit sangat penting untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan neurologis, selain pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan fungsi batang otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan refleks refleks7. Pemeriksaan radiologis yang paling sering dan mudah dilakukan adalah rontgen kepala yang dilakukan dalam dua posisi, yaitu anteroposterior dan lateral. Idealnya penderita cedera kepala diperiksa dengan CT Scan, terutama bila dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia, atau sakit kepala hebat7.Indikasi pemeriksaan CT Scan pada kasus cedera kepala adalah7: 1. bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi cedera kepala sedang dan berat. 2. cedera kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak 3. adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii 4. adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran 5. sakit kepala yang hebat 6. adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan otak 7. kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral

Pemeriksaan-Pemeriksaan diagnostik lain, yang mungkin diperlukan seperti7: 1. CT Scan : mengidentifikasi adanya sol, hemoragi menentukan ukuran ventrikel pergeseran cairan otak. mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri 2. MRI : sama dengan CT Scan dengan atau tanpa kontraks. 3. Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma. 4. EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang. 5. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur dan garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang). 6. BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang otak. 7. PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme pada otak. 8. Pungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid, serta untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan sebelum 6 jam dari saat terjadinya trauma 9. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh dalam peningkatan TIK. 10. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK. 11. Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran. 12. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang

1.7 Tatalaksana Penatalaksanaan cedera kepala sesuai dengan tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat. Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara lain4 : 1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam) 2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit) 3. Penurunan tingkat kesadaran 4. Nyeri kepala sedang hingga berat 5. Intoksikasi alkohol atau obat 6. Fraktura tengkorak 7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea 8. Cedera penyerta yang jelas 9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan 10. CT scan abnormal

Prinsip penanganan awal pada pasien cedera kepala meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak4. Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut4 : 1. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih dari 20 cc di daerah infratentorial 2. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta gejala dan tanda fokal neurologis semakin berat 3. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat 4. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm 5. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg. 6. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan 7. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak 8. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis

1.7.1 Penatalaksanaan Cedera Otak Ringan (GCS = 14-15) Kira-kira 80% enderita yang dibawa ke UGD dengan otak dikategorikan sebagai cedera otak ringan. Penderita-penderita tersebut sadar namun dapat mengalami amnesia berkaitan dengan cedera yang dialaminya. Dapat disertai riwayat hilangnya kesadaran yang singkat namun sulit untuk dibuktikan terutama bila di lawah pengaruh alkohol atau obat-obatan4. Sebagian besar penderita cedera otak ringan pulih sempurna, walaupun mungkin ada gejala sisa yang sangat ringan. Bagaimanapun, lebih urang 3% mengalami perburukan yang tidak terduga, mengakibatkan disfungsi neurologis yang berat kecuali bila perubahan kesadaran dapat dideteksi lebih awal4. Pemeriksaan CT scan idealnya hams dilakukan pada semua cedera otak disertai kehilangan kesadaran lebih dari 5 menit, amnesia, sakit kepala hebat, GCS 100 mmHg setelah dilakukan resusitasi agresif, prioritas tindakan adalah untuk stabilisasi penyebab hipotensinya, dengan pemeriksaan neurologis menjadi prioritas kedua. 4. Pada kasus ini penderita dilakukan DPL dan ultrasound di UGD atau langsung ke kamar operasi untuk seliotomi. CT scan kepala dilakukan setelah seliotomi. Bila timbul tanda-tanda klinis suatu massa intrakranial maka dilakukan ventrikulografi, burr hole eksplorasi atau kraniotomi di kamar operasi sementara seliotomy sedang berlangsung. 5. Bila TDS > 100 mmHg setelah resusitasi dan terdapat tanda klinis suatu lesi intrakranial (pupil anisokor, hemiparesis), maka prioritas pertama adalah CT Scan kepala. DPL dapat dilakukan di UGD, ruang CT Scan atau di kamar operasi, namun evaluasi neurologis dan tindakannya tidak boleh tertunda. 6. pada kasus yang meragukan, misalnya tekanan darah dapat terkoreksi tapi cenderung untuk turun, upayakan utuk membawa ke ruang CT scan sebelum ke kamar operasi untuk seliotomi atau thorakotomi. Beberapa kasus membutuhkan koordinasi yang kuat antara ahli bedah trauma dengan ahli bedah saraf.

A. Primary survey dan Resusitasi Cedera otak sering diperburuk akibat cedera sekunder. Penderita cedera otak berat dengan hipotensi mempunyai mortalitas 2 kali lebih banyak dibanding penderita tanpa hipotensi (60% vs 27%). Adanya hipoksia pada penderita yang disertai dengan hipotensi akan menyebabkan mortalitas mencapai 75%. Oleh karena itu, tindakan stabilisasi kardiopulmoner pada penderita cedera otak berat haras dilaksanakan secepatnya1.1. Airway dan Breathing Terhentinya pemafasan sementara sering terjadi pada cedera otak, dan dapat mengakibatkan gangguan sekunder. Intubasi endotrakeal dini harus segera dilakukan pada penderita koma. Penderita dilakukan ventilasi dengan oksigen 100% sampai diperoleh hasil pemeriksaan analisis gas darah dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO2. Femakaian pulse oksimeter sangat bermanfaat untuk memonitor saturasi O2 (target>98%). Tindakan hiperventilasi harus dilakukan secara hati-hati pada penderita cedera otak berat yang menunjukkan perburukan neurologis akut1.

2. Sirkulasi Hipotensi biasanya tidak disebabkan oleh cedera otak itu sendiri kecuali pada stadium terminal dimana medula oblongata sudah mengalami gangguan. Perdarahan intrakranial tidak dapat menyebabkan syok hemoragik. Pada penderita dengan hipotensi harus segera dilakukan stabilisasi untuk mencapai euvolemia1. Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak selalu tampak jelas. Harus juga diperhitungkan kemungkman penyebab lain seperti trauma medula spinalis (syok neurogenik), kontusio jantung atau tamponade jantung, dan tension pneumothorax1.

B. Pemeriksaan NeurologisPemeriksaan neurologis langsung dilakukan segera setelah status kardiopulmuner penderita stabil. Pemeriksaan ini tefdiri dari GCS dan refleks cahaya pupil. Pada penderita koma, respon motorik dapat dibangkitkan dengan merangsang/mencubit otot trapezius atau menekan dasar kuku penderita. Bila penderita menunjukkan reaksi yang bervariasi, yang digunakan adalah respon motorik terbaik karena merupakan indikator prognostik yang paling akurat dibandingkan respon yang paling buruk. Gerakan bola mata (Doll's eye Phenomena, refleks okulosefalik), Test Kalori dengan suhu dingin (refleks okulo vestibuler) dan refleks kornea ditunda sampai kedatangan ahli bedah saraf1. Pemeriksaan Doll's eye (oculocephalis) refleks aires (oculovestibular)dan refleks kornea hanya boleh dilakukan bila sudah jelas tidak terdapat cedera servikal. Yang sangat penting adalah melakukan pemeriksaan GCS dan refleks pupil sebelum penderita dilakukan sedasi atau paralisis, karena akan menjadi dasar untuk tindakan selanjutnya. Selama primary survey, pemakaian obat-obat paralisis jangka panjang tidak dianjurkan. Succinylcholine, vecuronium, atau dosis kecil pancuronium dapat dipakai untuk intubasi endotrakea atau untuk tindakan diagnostik lainnya. Bila diperlukan analgesia, sebaiknya digunakan morfin dosis kecil dan diberikan secara intravena1.

C. Secondary Survey Pemeriksan neurologis serial (GCS, lateralisasi, dan refleks pupil) haras selalu silakukan untuk deteksi dini gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal (unkus) adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya. Adanya trauma langsung pada mata sering merupakan penyebab abnormalitas respon pupil dan dapat membuat pemeriksaan pupil menjadi sulit Bagaimanapun, dalam hal ini pemikiran terhadap adanya trauma otak harus dipikrkan terlebih dahulu1.

D. TERAPI MEDIKA MENTOSA UNTUK CEDERA OTAK Tujuan utama protokol perawatan intensif ini adalah untuk mencegah terjadinya kerusakan sekunder terhadap otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya adalah bila sel saraf diberikan suasana yang optimal untuk pemulihan, maka diharapkan dapat berfungsi normal kembali. Namun bila sel saraf dibiarkan dalam keadaan tidak optimal maka sel dapat mengalami kematian8. 1. Cairan intravena Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap dalam keadaan normovolemia. Keadaan hipovolemia pada pasien sangatlah berbahaya. Namun, perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih. Jangan berikan cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Karena itu cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam fisiologis atau Ringer's Lactate. Kadar natrium serum perlu diperhatikan pada pasien dengan cedera kepala. Keadaan hiponatremia sangat berkaitan dengan timbulnya edema otak yang harus dicegah8. 2. Hiperventilasi Pada kebanyakan pasien, keadaan normokarbia lebih disukai. Hiperventilasi dilakukan dengan menurunkan PCO2 dan akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak. Hiperventilasi yang berlangsung terlalu lama dan agresif dapat menyebabkan iskemia otak akibat terjadinya vasokonstriksi serebri berat sehingga menimbulkan gangguan perfusi otak. Hal ini terjadi terutama bila PCO2 dibiarkan turun sampai di bawah 30 mmHg (4,0 kPa)8. Hiperventilasi sebaiknya dilakukan secara adeksif dan hanya dalam waktu tertentu. Jmumnya, PCO2 dipertahankan pada 35 mmHg atau lebih. Hiperventilasi dalam waktu singkat (PCO2 antara 25-30 mm Hg) dapat diterima jika diperlukan pada keadaan deteriorasi neurologis akut8.

3. Manitol Manitol digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat. Sediaan yang tersedia biasanya cairan dengan konsentrasi 20%. Dosis yang biasa dipakai adalah 1 g/kgBB diberikan secara bolus intravena. Dosis tinggi manitol jangan diberikan pada pasien yang hipotensi karena manitol adalah diuretik osmotik yang poten. Indikasi Keggunaan manitol adalah deteriorasi neurologis yang akut, seperti terjadinya dilatasi pupil, hemiparesis atau kehilangan kesadaran saat pasien dalam observasi. Pada keadaan ini pemberian bolus manitol (1 g/kg) harus diberikan secara cepat (dalam waktu 5 menit) dan penderita segera dibawa ke CT scan atau langsung ke kamar operasi bila lesi penyebabnya sudah diketahui dengan CT scan8.

4. Furosemid (Lasix @) Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK. Dosis yang biasa diberikan adalah 03-0,5 mg/kgBB, diberikan secara intravena. Seperti pada penggunaan manitol, furosemid sebaiknya jangan diberikan kepada pasien hipovolemik8.

5. Steroid Berbagai penelitian tidak menunjukkan manfaat steroid untuk mengendalikan kenaikan TIK maupun memperbaiki hasil terapi penderita dengan cedera otak berat Karenanya penggunaan steroid pada penderita cedera otal tidak dianjurkan8.

6. Barbiturat Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-obatan lain. Namun obat ini jangan diberikan dalam keadaan hipotensi atau hipovolemi. Nantinya hipotensi sering terjadi pada penggunaan barbiturate. Karena itu barbiturat tidak diindikasikan pada fase akut resusitasi8.

7. Antikonvulsan Epilepsi pascatrauma terjadi pada 5% penderita yang dirawat di RS dengan cedera kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat Terdapat 3 faktor yang berkaitan dengar insidensi epilepsi (1) kejang awal yang terjadi dalam minggu pertama, (2) perdarahan intrakranial, atau (3) fraktur depresi. Penelitian tersamar ganda menunjukkan bahwa fenitoin bermanfaat dalam mengurangi terjadinya kejang dalam minggu pertama cedera nanlun tidak setelah itu. Fenitoin atau fosfenitoin adalah obat yang biasa diberikan dalam fase akut untuk dewasa dosis awalnya adalah 1 g yang diberikan secara intravena dengan kecepatan pemberian tidak lebih cepat dari 50 mg/menit Dosis pemeliharaan biasanya 100 mg/8 jam, dengan titrasi untuk mencapai kadar terapetik serum. Pada pasien dengan kejang lama, diazepam atau lorazepam digunakan sebagai tambahan fenitoin sampai kejang berhenti. Untuk mengatasi kejang yang terus menerus mungkin memerlukan anestesi umum. Sangat jelas bahwa kejang harus dihentikan dengan segera karena kejang yang berlangsung lama (30 sampai 60 menit) dapat meyebabkan cedera otak sekunder8.

1.8 Komplikasi Komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi akibat cedera kepala, diantaranya7: Kebocoran cairan serebrospinal akibat fraktur pada fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak bagian petrous dari tulang temporal. Kejang. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama dini, minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). Diabetes Insipidus, disebabkan oleh kerusakan traumatic pada rangkai hipofisis meyulitkan penghentian sekresi hormone antidiuretik Fistula carotis Herniasi Gangguan neurologis Dapat berupa : gangguan visus, strabismus, parese N.VII dan gangguan N. VIII, disartria, disfagia, kadang ada hemiparese Sindrom pasca trauma Dapat berupa : palpitasi, hidrosis, cape, konsentrasi berkurang, libido menurun, mudah tersinggung, sakit kepala, kesulitan belajar, mudah lupa, gangguan tingkah laku, misalnya: menjadi kekanak-kanakan, penurunan intelegensia, menarik diri, dan depresi. Kematian

1.9 Prognosis Hal-hal yang dapat membantu menentukan prognosis7 : Usia dan lamanya koma pasca traumatik, makin muda usia, makin berkurang pengaruh lamanya koma terhadap restitusi mental Tekanan darah pasca trauma. Hipertensi pasca trauma memperjelek prognosis. Pupil lebar dengan refleks cahaya negatif, prognosis jelek. Reaksi motorik abnormal (dekortikasi/deserebrasi) biasanya tanda penyembuhan akan tidak sempurna. Hipertermi, hiperventilasi, Cheyne-Stokes, deserebrasi: menjurus ke arah hidup vegetatif. Apnea, pupil tak ada reaksi cahaya, gerakan refleks mata negatif, tak ada gerakan apapun merupakan tanda-tanda brain death. Ini perlu dilengkapi dengan EEG yang isoelektrik.

DAFTAR PUSTAKA

1. American College of Surgeon Committee on Trauma. Cedera Kepala. Dalam : Advanced Trauma Life Support for Doctors. Edisi Ke-Tujuh. Ikatan Ahli Bedah Indonesia. Komisi trauma IKABI, 2004. Hal: 167-186 2. Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Cedera Kepala. Jakarta : Deltacitra Grafindo, 20053. Irwana, Olva. Cedera Kepala. Dalam: Files DrsMed Fakultas Kedokteran Universitas Riau. 2009.4. Leksmono PR , A Hafid, dan M Sajid D. Cedera Otak dan Dasar-dasar Penanganannya. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran No. 34. 1984 5. Anderson S. McCarty L. Cedera Susunan Saraf Pusat. Dalam: Patofisiologi. Edisi Ke-empat. Anugrah P. Jakarta: EGC. 1995. Hal: 1014-10166. Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. http://www.biausa.org7. Widjoseno-Gardjito. Trauma Kepala. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Ke-Dua. Editor: R. Syamsurijat dan Wim De Jong. Jakarta: EGC. 2004. Hal: 337-3428. Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Cedera Kepala dan Fraktur Kruris. Dalam: Files DrsMed Fakultas Kedokteran Universitas Riau. 2009.