cedera kepala

Upload: beat-gaul

Post on 20-Jul-2015

210 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

1

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Cedera kepalaa atau trauma kapitis merupakan proses terjadinya trauma langsung atau deselerasi terhadap kepalaa atau wajah yang berakibat disfungsi serebral sementara.1 Cedera kepalaa merupakan salah satu penyebab kematian dan gangguan fisik maupun mental yang utama terjadi pada kelompok usia produktif, dewasa maupun anak-anak dan sebagian besar disebabkan karena kecelakaan lalu lintas.2 Gangguan yang ditimbulkan dari cedera kepalaa dapat bersifat sementara maupun menetap, seperti defisit kognitif, psikis, intelektual, serta gangguan fisiologis lainnya. Hal ini disebabkan oleh karena cedera kepalaa dapat mengenai berbagai komponen kepalaa mulai dari bagian terluar hingga terdalam, termasuk tengkorak dan otak.3 Insidensi cedera kepalaa di amerika serikat diperkirakan sekitar 1,6 juta orang pertahunnya dan lebih dari 550.000 orang dirawat di rumah sakit karena cedera fatal. Dari keseluruhannya, 60.000 orang meninggal dan 70.000 sampai 90.000 orang mengalami cacat neurologis permanen.2,4 Cedera kepalaa merupakan kasus yang sering dijumpai di setiap rumah sakit, walaupun belom tersedia data secara nasional. Pada tahun 2005 di RSCM terdapat 434 pasien cedera kepalaa ringan, 315 cedera kepalaa sedang, dan 28 pasien cedera kepalaa berat. 3 Penderita cedera kepalaa memerlukan pemeriksaan dan resusitasi yang sangat cepat. Salah satu jenis pemeriksaannya dengan menggunakan Glasglow Coma Scale (GCS) dan Revised Trauma Score (RTS) untuk menentukan tingkat keparahan cedera kepalaa.3 Tingginya angka kematian pada kasus cedera kepalaa menunjukan bahwa kasus tersebut sangat serius dan perlu tindakan yang cepat dan tepat,3 oleh karena itu, sangatlah penting bagi seorang klinisi untuk mengerti menegenai cedera kepalaa, mengingat konsenkuensi yang ditimbulkan sangat fatal. Hal yang lebih mendalam mengenai cedera kepalaa akan dibahas dalam bab selanjutnya.

2

I.2 Tujuan dan Manfaat I.2.1 Tujuan Umum a. Syarat untuk mengikuti Ujian Akhir Blok. b. Mengetahui mengenai cedera kepalaa. I.2.2 Tujuan Khusus Mengetahui anatomi kepalaa, aspek fisiologis, patofisiologi, klasifikasi serta penatalaksanaan pada cedera kepalaa.

I.2.3 Manfaat a. Menambah pengetahuan serta wawasan bagi penulis mengenai cedera kepalaa. b. Pembaca dapat memahami lebih jauh tentang cedera kepalaa serta penanganannya. c. Menambah bahan bahan pustaka bagi institusi.

3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEFINISI CEDERA KEPALAA Cedera kepalaa adalah trauma mekanik pada kepalaa yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepalaa adalah suatu kerusakan pada

kepalaa, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran,5

sehingga

menimbulkan

kerusakan kemampuan

kognitif dan fungsi fisik.

II.2 ANATOMI KEPALAA a. Kulit Kulit kepalaa menutupi cranium dan meluas dari line nuchalis superior pada os occipitale sampai margo supraorbitalis ossis frontalis. Kulit kepalaa terdiri dari lima lapis jaringan : Kulit yang tipis kecuali didaerah occipitale, mengandung banyak kelenjar keringat serta folikel rambut. Jaringan ikat (connective tissue) yang merupakan lapis subkutan , memiliki banyak pembuluh darah dan saraf. Aponeusis atau galea aponeurotica adalah selembar jaringan ikat yang kuat dan merupakan lembar tendo dari muskulus occipitalis dan muskulus frontalis. Loose areolar tissue jaringan ikat jarang yang menyerupai spons. Pericranium Pericranium adalah periosteum dari tulang tengkorak. Sepanjang garis sutura pericranium berlanjut menjadi endosteum. Karena itu, subperiosteal hematom terbentuk pada tulang tengkorak.

4

Gambar II.1 Lapisan Kepalaa

b. Tengkorak Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.6 c. Meninges Selaput meninges membungkus seluruh bagian otak dan terdiri atas 3 lapisan yaitu: 1) Duramater Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam cranium. Karena tidak melekat pada selaput arakhnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arakhnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.5 Pada cedera otak pembuluh pembuluh vena yang berjalan pada

5

permukaan otak menuju sinus sagitalis superior digaris tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus sinus tersebut dapat menimbulkan perdarahan hebat.5 Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari cranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepalaa dapat menyebabkan laserasi pada arteri arteri tersebut dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera arteri meningea media yang terletak di fossa temporalis (fossa media).5 2) Selaput arakhnoid Selaput arakhnoid merupakan selaput yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid terletak antara piamater sebelah dalam dan duramater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari piamater oleh spatium sub arakhnoid yang terisi liquor serebrospinalis. Perdarahan sub disebabkan oleh cedera kepalaa.7 3) Piamater Piamater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Piamater adalah membrana vaskuler yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyrus dan masuk kedalam sulcus yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumya. Arteri arteri yang masuk kedalam subtansi otak juga diliputi oleh piamater. 5 d. Otak Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon (bagian terbesar yang terdiri dari thalamus dan hypothalamus) merupakn bagian sentral otak. Mesensefalon (midbrain) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medulla arakhnoid umumnya

6

oblongata dan serebelum. Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu, lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses pengelihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.7

Gambar II.2. Otak beserta area fungsinya

Perbedaan Otak Kanan dan Otak Kiri Otak manusia terdiri dari 2 hemisfer (bagian), yaitu otak kanan dan otak kiri yang mempunyai fungsi yang berbeda. Otak kanan berfungsi dalam hal persamaan, khayalan, kreativitas, bentuk atau ruang, emosi, musik dan warna. Daya ingat otak kanan bersifat panjang (long term memory). Bila terjadi kerusakan otak kanan misalnya pada penyakit stroke atau tumor otak, maka fungsi otak yang terganggu adalah kemampuan visual dan emosi. Otak kiri berfungsi dalam hal perbedaan, angka, urutan, tulisan, bahasa, hitungan dan logika.8

7

Gambar II.3 Perbedaan otak kanan dan kiri

Daya ingat otak kiri bersifat jangka pendek (short term memory). Bila terjadi kerusakan pada otak kiri maka akan terjadi gangguan dalam hal fungsi berbicara, berbahasa dan matematika. Setiap belahan otak saling mendominasi dalam aktivitas namun keduanya terlibat dalam hampir semua proses pemikiran.

Gambar II.4 Ilustrasi Fungsi Otak Kanan dan Otak Kiri

8

1) Lobus Frontal

Gambar II.5 Lobus Frontal

Fungsi lobus frontal sebagai berikut: 1. Presental gyrus merupakan area motor kontralateral dari wajah, lengan, tungkai, batang. 2. Area Brocca's merupakan pusat bicara motorik pada lobus dominan. 3. Suplementari motor area untuk gerakan kontralateral kepalaa dan lirikan mata. 4. Area prefrontal merupakan area untuk kepribadian dan inisiatif. 5. Lobulus parasental merupakan pusat kontrol inhibisi untuk miksi dan defekasi.8

Gangguan lobus frontal 1. Presentral gyrus : monophlegi atau hemiphlegia 2. Area Brocca disfasia 3. Suplementari motor area : paralysis kepalaa dan gerakan bola mata berlawanan arah lesi, sehingga kepalaa dan mata kearah lesi hemisfer.

9

4. Area prefrontal: kerusakan sering bilateral karena gangguaan aneurisma a. Communican anterior, mengakibatkan gangguan tingkah laku / kehilangan inhibisi.

2) Lobus parietal Fungsi lobus parietal sebagai berikut: 1. Gyrus postcentral: merupakan kortek sensoris yang menerima jaras afferent dari posisi, raba dan gerakan pasif. 2. Gyrus angularis dan supramarginal: hemisfer dominan merupakan bagian area bahwa Wernics, dimana masukkan auditori dan visual diintegrasikan. Lobus non dominan penting untuk konsep " body image", dan sadar akan lingkungan luar. Kemampuan untuk kontruksi bentuk, menghasilkan visual atau ketrampilan proprioseptik. Lobus dominan berperan pada kemampuan menghitung atau kalkulasi. Jaras visual radiatio optika melalui bagian dalam lobus parietal. 8

Gambar II.6 Lobus Parietal Gangguan lobus parietal 1. Gangguan korteks sensoris dominan / non dominan menyebabkan kelainan sensori kortikal berupa gangguan : sesnasi postural, gerakan pasif, lokalisasi akurat raba halus, two point discrimination, astereognosia, sensory inatetention. 2. Gyrus angularis dan supramarginal : aphasia wernickes 3. Lobus non dominan : anosognosia (denies), dressing apraksia, gegrafikal agnosia, konstruksional apraksia.

10

4. Lobus dominan : Gerstsman sindroma: left and right disorientasi, finger agnosia.

3) Lobus Temporal

Gambar II.7 Lobus Temporal

Fungsi Lobus Temporal sebagai berikut: 1. Kortek auditori terletak pada permukaan gyrus temporal superior (gyrus Heschl). Hemisfer dominan penting untuk pendengaran bahasa, sedang hemisfer non - dominan untuk mendengar nada, ritme dan musik. 2. Gyrus temporalis media dan inferior berperan dalam fungsi belajar dan memori. 3. Lobus limbic : terletak pada bagian inferior medial lobus temporal, termasuk hipokampus dan gyrus parahipokampus. Sensasi olfaktori melalui jaras ini, juga emosi atau sifat efektif. Serabut olfaktori berakhir di uncus. 4. Jaras visual melalui bagian dalarn lobus temporal sekitar cornu posterior ventrikel lateral. 8

Gangguan lobus temporal 1. Korteks auditori: tuli kortikal, lobus dominan ketulian untuk mendengar pembicaraan atau amusia pada lobus non dominan.

11

2. Gyrus temporal media dan inferior: gangguan memori / belajar. 3. Kerusakan lobus limbik: halusinasi olfaktori seperti pada bangkitan parsia komplek. Agresif / kelakuan antisosial, tidak mampu untuk menjaga memori baru.

4) Lobus Oksipital

Gambar II.8 Lobus Oksipital

Gangguan fungsi lobus occipital Lesi Kortikal Lesi kortikal memberikan gejala homonim dengan / tanpa kelainan macula. Bila hanya kutub occipital terkena maka kelainan macula dengan penglihatan perifer normal. Buta kortikal: Karena lesi kortikal yang luas, reflek pupil normal dan persepsi cahaya (- ). Anton's sindroma: Kerusakan striata dan para striata menyebabkan kelainan interpretasi visual. Pasien tidak sadar buta dan menyangkal. Karena kelainan arteri cerebri posterior, juga dapat mengikuti hipoksia dan hipertensi ensefalopati. Balin sindroma : tidak bisa melirikkan mata volunter disertai visual agnosia, karena lesi parietooccipital bilateral.

12

Halusinasi visual Halusinasi karena lesi occipital biasanya sederhana, tampak sebagai pola (zigzag, kilatan) dan mengisi lapangan hemianopsi, sedang halusinasi karena lobus temporal berupa bentuk komplek clan mengisi seluruh lapang pandang. 8 e. Cairan serebrospinalis Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20ml/jam. Cairan serebrospinal mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari aquaductus sylvius menuju ventrikel IV. Cairan serebrospinal akan direabsorpsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid (villi arakhnoidea) yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam cairan serebrospinal dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan cairan serebrospinal dan menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial. Angka rata rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.9 f. Tentorium Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang

supratentorial (terdiri dari fossa cranii anterior dan fossa cranii media) dan ruangan infratentorial (berisi fossa cranii posterior).5 g. Vaskularisasi Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke sinus venosus kranialis.5

II.3 ASPEK FISIOLOGIS CEDERA KEPALAA a. Tekanan intrakranial Tekanan intrakranial dapat meningkat oleh beberapa proses patologi yang selanjutnya dapat menggangu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap penderita. Tekanan intrakranial yang tinggi dapat

13

menimbulkan konsekuensi yang menggangu fungsi otak. Tekanan intrakranial normal kira kira 10 mmHg, Tekanan intrakranial lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap tidak normal. Semakin tinggi tekanan intrakranial setelah cedera kepalaa, semakin buruk prognosisnya.7 b. Hukum Monroe Kellie Konsep utama volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat dasar dari tulang tengkorak yang tidak elastis. Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total volume komponen komponennya yaitu volume jaringan otak (V br), volume cairan serebrospinal (V csf) dan volume darah (V bl). Vic = V br + V csf + V bl. Volume tekanan intrakranial pada dewasa 1500 mL, karena volume intrakranial tetap, tekanan dalam kompartemen tersebut karena beberapi tindakan kompensasi terjadi, seperti penurunan komponen intrakranial.4 c. Tekanan Perfusi otak Tekanan perfusi otak merupakn selisih antara tekanan arteri rata rata (mean arteral pressure) dengan tekanan intrakranial. Pada otak manusia normal tekanan perfusi otak adalah konstan dikisaran 50 150 mmHg, hal ini dipengaruhi karena autoregulasi arteiol. Apabila tekanan perfusi otak kurang dari 50 mmHg atau lebih besar dari 150 mmHg akan memberikan prognosa yang buruk bagi penderita.4 d. Aliran darah otak Aliran darah otak normal kira kira 50 ml/100 gr jaringan otak permenit. Bila aliran darah otak menurun sampai 20 25 ml/100 gr/menit EEG (sebagai alat pemantau fungsi otak melalui sinyal yang dipancarkan) akan menghilang. Apabila aliran darah otak sebesar 5 ml/100 gr/menit maka sel sel otak akan mengalami kematian dan kerusakan yang menetap.4

14

II.4 PATOFISOLOGI CEDERA KEPALAA Kerusakan otak pada penderita cedera kepalaa dapat terjadi dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan awal cedera otak sebagai akibat langsung dari trauma, dapat disebabkan benturan langsung kepalaa dengan suatu benda keras.

Gambar II.9 Cedera kepalaa

Mekanisme cedera kepalaa dapat terjadi peristiwa coup dan countercoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak pada daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi countercoup. Akselarasi-deselarasi terjadi akibat kepalaa bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tualng tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (countercoup).5 Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.4

15

II.5 KLASIFIKASI CEDERA KEPALAA Cedera kepalaa diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepalaa, dan morfologinya. a. Mekanisme cedera kepalaa Berdasarkan mekanisme cedera kepalaa dibagi atas cedera kepalaa tumpul dan cedera kepalaa tembus. Cedera kepalaa tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul. Sedangkan untuk cedera kepalaa tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan.10 b. Beratnya cedera kepalaa Beratnya cedera kepalaa pada penderita dan untuk mengukur tingkat kesadaran umum, dapat diklasifikasikan berdasarkan4

Glasgow Coma

Scale (GCS). Derajat kesadaran terbagi menjadi 2 yaitu secara kuantitif dan secara kualitatif. Derajat kesadaran secara kualitatif bukan merupakan sebuah patokan bagi penderita cedera kepalaa. Derajat kesadaran kualitatif meliputi : 1) Compos mentis berarti kesadaran normal, menyadari seluruh asupan panca indera (aware atau awas) dan bereaksi secara

optimal terhadap seluruh rangsangan dari luar maupun dari dalam (arousal waspada. 2) Somnolen atau drowsiness atau clouding of consciousness, atau waspada), atau dalam keadaaan awas dan

berarti mengantuk, mata tampak cenderung menutup, masih dapat dibangunkan dengan perintah, masih dapat menjawab pertanyaan walaupun sedikit bingung, tampak gelisah dan orientasi

terhadap sekitarnya menurun. Stupor atau sopor lebih rendah daripada somnolen. Mata tertutup dengan rangsang nyeri atau suara keras baru membuka mata atau bersuara satu-dua kata. Motorik hanya berupa gerakan mengelak terhadap rangsang nyeri.

16

3) Semikoma atau soporokoma,

mata tetap tertutup walaupun

dirangsang nyeri secara kuat, hanya dapat mengerang tanpa arti, motorik hanya berupa gerakan primitif. 4) Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah. Dengan rangsang apapun tidak ada reaksi sama sekali, baik dalam hal membuka mata, bicara, maupun reaksi motorik.11 Derajat kesadaran secara kuantitatif dapat diukur dengan metode GCS. Glasgow Coma Scale merupakan salah satu komponen yang digunakan sebagai acuan pengobatan, dan dasar pembuatan keputusan klinis umum untuk pasien serta memiliki peranan penting untuk memprediksi resiko kematian diawal trauma.3 Glasgow Coma Scale yang digunakan meliputi 3 kategori yaitu respon membuka mata, respon verbal dan respon motorik. Skor ditentukan oleh jumlah skor dimasing masing 3 kategori, dengan skor maksimum 15 dan skor minimum 3, adalah sebagai berikut:

17

1. Nilai GCS kurang dari 8 didefinisikan sebagai cedera kepalaa berat. (Koma sopor) 2. Cedera kepalaa sedang memiliki nilai GCS 9 13. (Somnolen) 3. Cedera kepalaa ringan dengan nilai GCS 14 15. (Composmentis)

c. Morfologi cedera Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesi intrakranial. II.5.1 Fraktur tulang tengkorak Fraktur tulang tengkorak (cranium) dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak (basis cranii), dan dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Tulang tengkorak terdiri dari 3 lapisan yaitu: Tabula eksterna. Diploe. Tabula interna. Luas dan tipe fraktur ditentukan oleh beberapa hal: Besarnya energi yang membentur kepalaa ( energi kinetik objek) Arah benturan Bentuk tiga dimensi (geometris) objek yang membentur. Lokasi anatomis tulang tengkorak tempat benturan terjadi. Klasifikasi fraktur tengkorak dapat dilakukan berdasarkan: 1. Gambaran fraktur dibedakan atas: a. Linear b. Distase c. Comminuted d. Depresed 2. Lokasi anatomis, dibedakan atas: a. Konveksitas (kubah tengkorak) b. Basis Cranii (dasar tengkorak) 3. Keadaan luka, dibedakan atas:

18

a. Terbuka b. Tertutup Deskripsi keadaan fraktur dapat menggunakan kombinasi ketiga klasifikasi di atas. Gambaran fraktur sangat ditentukan oleh tiga hal yaitu: 1. Besarnya energi benturan 2. Perbandingan antara besar energi dan luasnya daerah benturan, semakin besar nilai perbandingan ini akan cenderung

menyebabkan fraktur depresed. 3. Lokasi dan keadaan fisik tulang tengkorak. II.5.1.1 Fraktur Linier Fraktur linier merupakan garis fraktur tunggal pada tengkorak yang meliputi seluruh ketebalan tulang. Pada pemeriksaan radiologi akan terlihat sebagai garis radiolusen.5 II.5.1.2 Fraktur Distase Fraktur yang terjadi pada sutura sehingga terjadi pemisahan sutura kranial. Fraktur ini sering terjadi pada anak usia 3 tahun.5 II.5.1.3 Fraktur Comminuted Fraktur dengan dua atau lebih fragmen fraktur. Ketiga fraktur di atas tidak memerlukan tindakan khusus, kecuali jika disertai lesi intrakranial seperti epidural hematoma, subdural hematoma, dll. Jika disertai dengan laserasi SCALP, maka perlu dilakukan debrimen yang baik dan luka dapat segera ditutup dengan penjahitan.5 II.5.1.4 Fraktur Depressed Fraktur tabula eksterna pada satu atau lebih tepi fraktur terletak di bawah level anatomi normal dari tabula interna tulang tengkorak sekitarnya yang masih utuh. Jenis fraktur ini terjadi jika energi benturan relatif besar terhadap area yang relatif kecil. Misalnya benturan oleh martil, kayu, batu, pipa besi. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan untuk tindakan operasi terhadap fraktur depressed, antara lain:

19

Perubahan bentuk secara kosmetik Laserasi SCALP yang menyebabkan fraktur terbuka. Konstutio atau laserasi jaringan otak di bawahnya. Lokasi fraktur, misalnya diatas sinus paranasal atau sinus vena (sinus trombosis). Adanya lesi intrakranial lain yang menyertai misalnya EDH (Epidural hematoma), SDH (Subdural hematoma), ICH (Intraserebral hematoma).5

II.5.1.5 Fraktur Konveksitas Fraktur yang terjadi pada tulang tulang yang membentuk koveksitas (kubah) tengkorak seperti os. Frontalis, os.

Temporalis, os. Parietalis, dan os. Occipitalis. II.5.1.6 Fraktur Basis Cranii Fraktur yang terjadi pada tulang yang membentuk dasar tengkorak. Dasar tengkorak terbagi atas tiga bagian yaitu: 1. Fossa anterior. 2. Fossa media. 3. Fossa posterior Fraktur pada masing masing fossa akan memberikan manifestasi yang berbeda. a. Fraktur Basis Cranii Fossa Anterior Bagian posterior dari fossa anterior dibatasi oleh os. Sphenoid, processus clinoidalis anterior dan jugum

sphenoidalis. Manifestasi klinis: Ecchymosis periorbita, bisa bilateral dan disebut brill hematoma atau racoon eyes. Eccymosis ini kadang kadang sulit dibedakan dengan ecchymosis yang timbul karena cedera langsung.5

20

b. Fraktur Basis Cranii Fossa Media Bagian anterior langsung berbatasan dengan fossa anterior sedangkan bagian posterior dibatasi oleh pyramida petrosus os. Temporalis, processus clinoidalis posterior dan dorsum sella. Manifestasi klinis: Ecchymosis pada mastoid (battles sign). Otorrhea, pembuktiannya sama dengan rhinorahea. Hemotympanum; jika membran tympani robek maka dijumpai darah pada kanalis auricularis eksterna. Kelumpuhan nervus fasialis (N. VII) dan atau nervus vestibulococlearis (N. VIII), hal ini terjasi bila garis frakturnya transversal terhadap aksis pyramida petrosus. Jenis ini hanya 25 %, sedangkan sisanya longitudinal terhadap aksis pyramida petrosus. Carotid Cavernosus Fistula (CCF) yang ditandai dengan chymosis, sakit kepalaa, adanya bruit, exopthalmus yang berdenyut mengikuti irama jantung, gangguan visus dan gangguan gerakan bola mata. c. Fraktur Basis Cranii Fossa Posterior Merupakan dasar dari kompartemen infratentorial. Adanya fraktur pada daerah ini harus waspada terhadap kemungkinan timbulnya hematoma. Sering tidak disertai dengan gejala dan tanda yang jelas, tetapi dapat segera menimbulkan kematian karena penekanan terhadap batang otak. Fraktur ini kadang kadang juga menyebabkan memar pada mastoid (battles sign). Beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan penanganan fraktur basis cranii antara lain: 1. Lakukan observasi terhadap adanya kebocoran LCS, biasanya membaik secara spontan. 2. Tidak perlu memberikan antibiotika profilaksis karena: a. Biasanya antibiotika tidak efektif mencegah

terjadinya meningitis.

21

b. Akan menseleksi organisme yang resisten terhadap antibiotika yang diberikan, jika terjadi meningitis atau infeksi intrakranial lainnya, akan sulit diatasi. 3. Jika setelah 2 minggu kebocoran CSS tidak berhenti atau berkurang serta dinilai bahwa usaha atau penatalaksanaan secara konservatif gagal, maka dilakukan operasi untuk memperbaiki dura yang bocor tersebut oleh ahli bedah saraf.5

Gambar II.10 CT- Scan Fraktur Tengkorak

22

II.5.2 Lesi intrakranial Lesi intrakranial dapat duiklasifikasikan sebagai fokal atau difus, walau kedua bentuk cedera tersebut sering terjadi secara bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan konstusi (hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difus menunjukan koma di kinis.12 a. Hematoma epidural Hematoma epidural terjadi akibat fraktur tulang kepalaa yang dapat merobek pembuluh darah terutama arteri meningea media yang masuk kedalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara duramater dan tulang di permukaan os. Temporal. Pada bayi hematom epidural ini dapat dilihat bila ubun ubun bayi mengembung setelah trauma terjadi.12 Robeknya arteri meningea media menimbulkan hematom epidural dan desakan oleh hematom memisahkan duramater dari tulang kepalaa sehingga hematom dapat bertambah besar dan dapat menekan batang otak hingga terjadi kematian.12 Penderita akan

mengalami sakit kepalaa, mual dan muntah diikuti dengan penurunan kesadaran setelah trauma. Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil mata anisokor, yaitu pupil ipsilateral melebar, terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardia. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai ahkirnya kedua pupil tidak menunjukan reaksi terhadap cahaya.9 Ciri khas hematom epidural murni adalah terdapatnya jarak waktu antara saat terjadinya trauma dan munculnya tanda hematom epidural. Jeda waktu yang terjadi selama beberapa menit hingga jam. Diagnosis didasarkan pada gejala klinis serta pemeriksaan penunjang seperti foto Roentgen kepalaa. Adanya garis fraktur menyokong diagnosis hematom epidural bila sisi fraktur terletak ipsilateral dengan pupil yang melebar, garis fraktur dapat menunjukan lokasi hematom.9

23

b. Hematom subdural (SDH) Hematom subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan arakhnoid. Sekitar 30 % hematom subdural terjadi pada kasus cedera kepalaa berat. Hematom tesebut terjadi akibat robeknya vena penghubung (bridging veins) antara korteks serebri dan sinus dura. Hematom tersebut biasanya terjadi pada kasus cedera karena pukulan. Hematom subdural terbagi menjadi kaut dan kronis.12 1). Hematom subdural akut Hematom subdural akut biasanya berkaitan dengan riwayat trauma yang jelas dan yang paling sering terjadi pada regio frontoparietal.12 2). Hematom subdural kronis Terjadi pada riwayat trauma yang tidak jelas, hematom tersebut sering berkaitan dengan atrofi otak, yang pada akhirnya meningkatkan mobilitas otak di dalam kubah tengkorak sehingga vena penghubung menjadi semakin mudah robek.12

Gambar II.11 Hematom subdural

c. Hematom intraserebral. Hematom intraserebral adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya

24

laserasi atau kontusio jariagan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainya (countercoup). Defisit neurologis yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.9 Penyebab yang paling sering dari hematom intraserebral adalah penyakit hipertensi vaskuler, perdarahan paling sering terjadi pada ganglia basalis (80% kasus), batang otak, serebelum dan korteks serebral. Hematom yang mengisi ruang

menyebabkan kenaikan intrakranial. Sebagian besar perdarahan intraserebral yang terjadi pada penderita hipertensi, akibat dari ruptur pada arteriol kecil, terutama pada cabang lentikulostriata dari arteri serebral media.13

Gambar II.12 Perdarahan otak Kontusi serebral murni biasanya jarang terjadi. Selanjutnya kontusi otak hampir selalu berkaitan dengan hematom subdural akut. Sebagian besar kontusi terjadi pada lobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk

25

serebelum dan batang otak. Perbedaan antar kontusi dan hematom intarserebral traumatika tidak jelas batasnya.

Bagaimana pun, terjadi zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematom intraserebral dalam beberapa hari. d. Kontusi Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainya `(countercoup). Defisit neurologis yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.14 e. Edema Serebral. Edema serebral traumatika merupakan keadaan dan gejala patologis pada penderita cedera kepalaa dan terjadi akibat pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan intrakranial. Terdapat dua terminologi yaitu edema dan swelling yang sering diartikan sama yaitu bengkak. Edema otak menadakan adanya penambahan kandungan air didalam jariungan otak, sedangkan brain swelling merupakan keadaan yang diakibatkan hiperemia dan dilatasi sistem serebrovaskular.14 f. Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) Cedera ini terjadi karena terputusnya dan tertariknya prosesus neuron akibat dari gerak putar otak di dalam tengkorak kepalaa. Keadaan ini sering terjadi tanpa adanya fraktur tulang tengkorak dan kontusio serebral. Cedera aksonal difus terjadi pada hampir keseluruhan cedera kepalaa fatal. Cedera aksonal difus terjadi pada hampir keseluruhan cedera kepalaa berat, dua komponen penting yang ditemukan , yaitu Lesi perdarahan kecil dalam korpus kalosum dan kuadran dorsolateral batang otak.

26

Kerusakan difus pada akson, yang hanya dapat dideteksi dengan pemeriksaan mikroskopis yang berbentuk bola retraksi aksonal.13

Gambar II.13 CT Scan Lesi Intrakranial

II.6 PEMERIKSAAN NEUROLOGIS CEDERA KEPALAA Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepalaa memiliki beberapa kegunaan antara lain: 1. Follow-up perkembangan keadaan penderita, jika terjadi perburukan yang mengancam jiwa akan segera diketahui. 2. Dapat memperkirakan prognosis. 3. Merencanakan pengobatan dan tindakan bedah.

27

4. Memudahkan komunikasi, terutama dalam sistem informasi rujukan. Pemeriksaan neurologis yang harus segera dilakukan terhadap penderita cedera kepalaa setelah resusitasi meliputi: 1. Tingkat kesadaran. 2. Pupil dan pergerakan bola mata, termasuk saraf kranial. 3. Reaksi motorik terhadap berbagai rangsang dari luar. 4. Reaksi motorik terbaik. 5. Pola pernapasan. Terapi harus diingat bahwa hasil penilaian yang paling prediktif dalam perkiraan prognosis adalah penilaian yang dilakukan setelah 24 jam post resusitasi, karena penilaian sebelumnya masih banyak dipengaruhi oleh keadaan sistemik yang belum begitu stabil. 1. Tingkat kesadaran Tingkat kesadaran dinilai dengan GCS. Penilaian tersebut harus dilakukan secara periodik untuk menilai apakah keadaan penderita membaik atau memburuk. Dari ketiga komponen GCS tersebut, motorik merupakan komponen yang paling objektif. Komponen yang menjadi tolak ukur penilaian adalah reaksi (respons) terbaik. Tingkat kesadaran tidak akan terganggu jika cedera hanya terbatas pada satu hemisfer otak, tetapi menjadi progresif memburuk jika kedua hemisfer mulai terlibat, atau juka ada proses patologis akibat penekanan atau cedera pada batang otak. 2. Pupil dan Pergerakan bola mata , termasuk saraf kranial. Reaksi pupil, konstriksi, dan dilatasi diatur oleh sistem saraf otonom, yaitu simpatis dan parasimpatis. Sistem simpatis mulai dari hipotalamus , melalui batang otak terutama yang ipsilateral sampai ke thorakal medula spinalis pada bagian intermediolateral. Sedangkan aferen parasimpatis berawal dari sel ganglion retina, mengikuti nervus dan traktus optikus hingga mencapai pretektum. Bagian eferen akan mengikuti saraf okulomotorius ke orbita. Dua alasan penting penilaian pupil pada cedera kepalaa:

28

Karena batang otak yang mengendalikan kesadaran secara anatomis terletak berdekatan dengan pusat yang mengendalikan reaksi pupil.

Saraf yang mengendalikan reaksi pupil relatif resisten terhadap gangguan metabolik, sehingga ada tidaknya refleks cahaya merupakan tanda penting untuk membedakan koma metabolik dan koma struktural.

Gambar II.14 Gambaran pupil pada penderita koma (sumber: Plum F, Posner JB: The Diagnosis of stupor and coma, FA Davis, Philadelphia, 3th Ed, 1982).

Reflek cahaya menunjukan fungsi mesensefalon. Lakukan juga penilaian langsung dan tidak langsung. Reaksi langsung terjadi pada mata yang langsung diberi rangsang cahaya, sedangkan reaksi tidak langsung pada mata kontralateral dari mata yang diberi rangsang cahaya. Bandingkan antara yang kanan dengan kiri isokor atau tidak.5

29

Gambar II.15 Reaksi okulosefalik dan okulovestibuler. Atas: pada batang otak yang masih baik. Tengah:pada kerusakan FLM (Fasikulus Longitudinalis Medialis). Bawah: pada kerusakan batang otak bagian bawah. (sumber: Plum F, Posner JB: The Diagnosis of stupor and coma, FA Davis, Philadelphia, 3th Ed, 1982).

3. Reaksi Terhahadap berbagai rangsangan dari luar Rangsangan dari luar merupakan mekanisme penting untuk menilai tingkat kesadaran . Kekuatan rangsangan yang dibutuhkan untuk memicu reaksi dari penderita berbanding lurus dengan dalamnya penurunan kesadaran. Pada tahap awal dapat dicoba dengan rangsangan suara pada berbagai tingkat intensitas, jika tidak memberikan reaksi, dilanjutkan dengan goncangan ringan (light shaking), kemudian dengan rangsang nyeri yang semakin progresif. Rangsang nyeri yang diberikan antara lain: Dengan menggunakan batangan pensil, pulpen, gagang refleks hammer, atau benda tumpul yang lain, melakukan penekanan pada kuku bagian proksimal

30

-

Dengan melakukan penekanan tumpul pada sternum Dengan melakukan penekanan tumpul pada supraorbita ridge

4. Reaksi motorik terbaik Pada keadaan normal, respons motorik diatur oleh korteks serebri yang bekerja sama dengan berbagai pusat pengatur subkortikal lainnya. Penilaian reaksi motorik terbaik sangat penting, karena memiliki nilai objektif yang tinggi. Tingkat reaksi motorik dibagi atas: a. Gerakan bertujuian jelas (puposeful movement) b. Gerakana bertujuan tidak adekuat (semipurposeful movement) c. Postur fleksor (dekortisasi) d. Postur ekstensor (deserebrasi) e. Diffuse musle flaccidity Reaksi okulosefalik (Dolls head eye phenomenon). Pemeriksaan nervus trigeminus dan fasialis dapat dilakukan dengan dengan tes kapas pada kornea, dilakukan dari samping.5

II.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG a. Foto polos kepalaa Indikasi foto polos kepalaa tidak semua penderita dengan cedera kepalaa diindikasikan untuk pemeriksaan kepalaa karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin ditinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka tembus(tembak/tajam), deformasi kepalaa (dari inspeksi dan palpasi), nyeri kepalaa yang menetap, gejala fokal neurologis, gangguan kesadaran. b. CT Scan Indikasi CT Scan adalah : 1. Nyeri kepalaa menetap atau muntah muntah yang tidak menghilang setelah pemberian obat obatan analgesia/antimuntah. 2. Adanya kejang kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general.

31

3. Penurunan GCS lebih dari 1 point dimana faktor faktor ekstrakranial telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal syok, febris, dll). 4. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai. 5. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru. 6. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS. c. MRI : digunakan sama seperti CT Scan dengan atau tanpa kontas radioaktif. d. Cereral Angiography : Menunjukan anomali sirkulasi serebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi oedem, perdarahan dan trauma. e. Serial EEG : Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis. f. X Ray : Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang. g. CSF, Lumbal pungsi : Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarakhnoid.15

II.8 PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan awal penderita cedera kepalaa pada dasarnya memiliki tujuan yang memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepalaa sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepalaa tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepalaa ringan, sedang, berat. Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal hal yang diprioristaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan exposure yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepalaa berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder. 15 Tidak semua pasien cedera kepalaa perlu dirawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara lain:

32

a. Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam). b. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit). c. Penurunan tingkat kesadaran. d. Nyeri kepalaa sedang hingga berat. e. Fraktur tengkorak. f. Kebocoran CSS, rhinorrhea. g. Cedera penyerta yang jelas. Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepalaa dilakukan untuk memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, dan antikonvulsan. a. Penggunaan Manitol pada cedera kepalaa. Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan tinggi intrakranial. Efek tersebut diperoleh melalui peningkatan volume darah sirkulasi dan pengenceran viskositas darah. Manitol diperkirakan memiliki tiga mekanisme kerja yang saling melengkapi yaitu meningkatkan tekanan darah, memperbaiki aspek rheologik sirkulasi, dan dehidrasi serebral. Manitol dapat menurunkan kandungan air pada jaringan otak yang edema. Dosis manitol, sediaan manitol yang digunakan biasanya 15 dan 20 persen. Manitol diberikan bolus 0,25-0,5/kgBB dalam 10-20 menit, dilakukan setip 6 jam. Indikasi pemberian, manitol dapat diberikan sebelum dilakukan pengukuran ICP, yaitu jika terdapat tanda- tanda herniasi transtentorial atau adanya perburukan pada keadaan neurologis yang disebakan oleh keadaan sistemik seperti hipovolemia, dll. Pilihan utama untuk resusitasi awal pasien cedera kepalaa yang disertai dengan hipotensi, dikenal dengan small volume resuscitation fluid.5 Pada penanganan beberapa kasus cedera kepalaa memerlukan tindakan operatif. Kraniotomi adalah operasi membuka tulang tengkorak untuk mengangkat tumor, mengurangi tekanan intrakranial, mengeluarkan bekuan darah atau menghentikan perdarahan. Indikasi tindakan kraniotomi atau pembedahan intrakranial adalah sebaga berikut :

33

Pengankatan jaringan abnormal baik tumor maupun kanker. Mengurangi tekanan intrakranial Mengevakuasi bekuan darah Mengontrol bekuan darah, dan Pembenahan organ organ intrakranial. Tumor otak. Perdarahan (hemorrhage) Kelemahan dalam pembuluh darah (cerebral aneurysm) Peradangan dalam otak Trauma pada tengkorak Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut: a. Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih 20 ml di daerah infratentorial. b. Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis. c. Tanda fokal neurologis semakin berat. d. Terjadi sakit kepalaa, mual dan muntah yang semakin berat.

II.9 PROGNOSIS Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepalaa sudah mendapat terapi yang agresif, terutama pada anak anak biasanya memiliki daya pemulihan yang baik. Penderita yang berusia lanjut biasanya mempuyai kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera kepalaa. Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepalaa pada saat trauma juga sangat mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.

34

BAB III PENUTUP

III.1 Kesimpulan 1. Cedera kepalaa merupakan masalah yang serius karena merupakan penyebab kematian yang paling sering terutama pada kecelakaan kendaraan. Jenis dan beratnya kelainan akibat cedera kepalaa tergantung pada lokasi dan beratnya kerusakan otak. Terjadinya cedera kepalaa, kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer yang merupakan akibat langsung dari benturan, dan cedera sekunder yang terjadi akibat proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak. 2. Aspek aspek terjadinya cedera kepalaa dikelompokan menjadi beberapa klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme cedera kepalaa, beratnya cedera kepalaa dan morfologinya. Kerusakan otak seringkali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap, yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas

(terlokalisir) atau lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi yang ditimbulkan juga tergantung pada bagian otak mana yang terkena. Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi, berbicara, pengelihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa mempengaruhi ingatan dan pola tidur penderita, daan bisa menyebabkan kebingunan dan koma. Untuk menentukan tingkat keparahan pada penderita cedera kepalaa digunakan pemeriksaan kesadaran dengan menggunakan skala koma glasgow (GCS). Dengan jumlah yang paling kecil 3 dan paling besar 15 yang meliputi respon verbal, respon motorik, respon membuka mata. Semakin kecil poin GCS maka semakin berat cedera yang diderita.

35

III.2 Saran Dalam menangani paseien penderita cedera kepalaa akibat trauma. Hal yang paling penting yaitu melakukan pemeriksaan skala koma glasgow (GCS) yang meliputi 3 kategori pemeriksaan yaitu, respon verbal, respon motorik dan respon membuka mata. Pemeriksaan tersebut digunakan untuk menentukan derajat keparahan pada penderita cedera kepalaa untuk ditangani apakah perlu dirawat atau tidak. Namun setelah dilakukan perawatan kita harus tetap

memantau perkembangan pasien cedera kepalaa dengan cara yang sama yaitu pemeriksaan skala koma glasgow, untuk memantau apakah perkembangan yang terjadi pada pasien membaik atau memburuk.

36

DAFTAR PUSTAKA

1. Grace, Pierce A. Neil R. Borley. 2006. At a Glance Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta . Erlangga. 2008 2. Graham, DI, Malntosh TK. Neuropathology of Brain Injury. In: Evan RW, editor. Neurology and Trauma. Philadelphia WB. Saunders Company; 1996 3. Dewanto, Georgius. Dewi et al. Perbandingan Glasgow Coma Scale dan Revisid Trauma Score dalam Memprediksi Disabilitas Pasien Trauma Kepalaa di Rumah sakit Atma Jaya. Majalah Kedokteran Indonesia Vol. 60 Nomor 10. Oktober 2010. 4. Crippen, David W. 2011. Head Injury. Medscape Reference. (http://emedicine.medscape.com/article/433855-overview). Diunduh pada 26 Desember 2011 5. Japardi, Iskandar. Penatalaksanaan Cedera Kepalaa. Jakarta. PT. Bhuana Ilmu Populer. 2004 6. Moore, Keith L. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta. Hipokrates. 2002 7. American College of Surgeon Committee on Trauma. Advanced Trauma Life Suport for Doctors. United States of America: Firs Impression. 2004 8. Japardi, Iskandar. Gangguan Fungsi Luhur. Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Press Sumatra Utara. 2003 9. Syamsuhidajat and Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakatara. EGC. 2011 10. Bernhardt, David. 2011. Concussion. Medscape Reference. (http://emedicine.medscape.com/article/92095-overview). Diunduh pada 28 Desember 2011 11. Harsono. Koma dalam Buku ajar Neurologi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 2005 12. Kumar, Vinay and Denis K Burns. Buku Ajar Patologi Volume 2 Edisi 7. Jakarta. EGC. 2007 13. Underwood, J.C.E. Patologi Umum dan Sistemik volume 2 edisi 2. Jakarta. EGC. 2000 14. Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf edisi IV. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. 2010 15. Ariwibowo, Haryo et al. Art Theraphy: Sub ilmu Bedah. Yogyakarta Pustaka Cendikia Press of Yogyakarta. 2008