catatan forensik

20
BAB I PENDAHULUAN Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil terhadap perkara tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 6 ayat 2 yang menyatakan “Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-Undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”. Dengan adanya ketentuan perundang-undangan diatas, maka dalam proses penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib mengusahakan pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang ditangani dengan selengkap mungkin. Di dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di luar kemampuan atau keahliannya. Dalam hal demikian maka bantuan seorang ahli sangat penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut. Menurut ketentuan hukum acara pidana di Indonesia, mengenai permintaan bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan didalam KUHAP. Untuk permintaan bantuan tenaga ahli pada tahap penyidikan disebutkan pada pasal 120 ayat (1).Sedangkan untuk

Upload: fiareza-dilaga

Post on 11-Nov-2015

9 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

eyd

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUANPemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil terhadap perkara tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut.Usaha-usaha yang dilakukan untuk mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 6 ayat 2 yang menyatakan Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-Undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.Dengan adanya ketentuan perundang-undangan diatas, maka dalam proses penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib mengusahakan pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang ditangani dengan selengkap mungkin. Di dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di luar kemampuan atau keahliannya. Dalam hal demikian maka bantuan seorang ahli sangat penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut.Menurut ketentuan hukum acara pidana di Indonesia, mengenai permintaan bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan didalam KUHAP. Untuk permintaan bantuan tenaga ahli pada tahap penyidikan disebutkan pada pasal 120 ayat (1).Sedangkan untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan persidangan, terdapat pada pasal 180 ayat (1).Mengenai keterangan ahli sebagaimana disebutkan dalam kedua pasal KUHAP diatas, diberikan pengertiannya pada pasal 1 butir ke-28 KUHAP, yang menyatakan : Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.Terkait dengan bantuan keterangan ahli yang diperlukan dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana, maka bantuan ini pada tahap penyidikan juga mempunyai peran yang cukup penting untuk membantu penyidik mencari dan mengumpulkan bukti-bukti dalam usahanya menemukan kebenaran materiil suatu perkara pidana. Dalam kasus-kasus tertentu, bahkan penyidik sangat bergantung terhadap keterangan ahli untuk mengungkap lebih jauh suatu peristiwa pidana yang sedang ditanganinya. Kasus-kasus tindak pidana seperti pembunuhan, penganiayaan dan perkosaan merupakan contoh kasus dimana penyidik membutuhkan bantuan tenaga ahli seperti dokter ahli forensik atau dokter ahli lainnya untuk memberikan keterangan medis tentang kondisi korban yang selanjutnya cukup berpengaruh bagi tindakan penyidik dalam mengungkap lebih lanjut kasus tersebut.Keterangan ahli yang dimaksud yaitu keterangan dari dokter yang dapat membantu penyidik dalam memberikan bukti. Bukti tersebut berupa keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai keadaan korban, terutama terkait dengan pembuktian adanya tanda-tanda kekerasan. Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum.Menurut pengertiannya, visum et repertum diartikan sebagai laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya.Visum et repertum dalam pengungkapan suatu kasus, menunjukkan peranan yang cukup penting bagi tindakan pihak kepolisian selaku aparat penyidik. Pembuktian terhadap unsur tindak pidana dari hasil pemeriksaan yang termuat dalam visum et repertum, menentukan langkah yang diambil pihak kepolisian dalam mengusut suatu kasus.Pada kasus dimana pengaduan atau laporan kepada pihak kepolisian baru dilakukan setelah tindak pidana berlangsung lama sehingga tidak lagi ditemukan tanda-tanda kekerasan, hasil pemeriksaan yang tercantum dalam visum et repertum tentunya dapat berbeda dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan segera setelah terjadinya tindak pidana. Terhadap tanda-tanda kekerasan yang merupakan salah satu unsur penting untuk pembuktian tindak pidana, hal tersebut dapat tidak ditemukan pada hasil pemeriksaan yang tercantum dalam visum et repertum. Menghadapi keterbatasan hasil visum et repertum yang demikian, maka akan dilakukan langkah-langkah lebih lanjut oleh pihak penyidik agar dapat diperoleh kebenaran materiil dalam perkara tersebut dan terungkap secara jelas tindak pidana yang terjadi.BAB 2TINJAUAN PUSTAKA2.1 Visum et repertum 2.1.1 Pengertian Visum et repertum adalah istilah yang dikenal dalam Ilmu Kedokteran Forensik, biasanya dikenal dengan nama Visum. Visum berasal dari bahasa Latin, bentuk tunggalnya adalah visa. Dipandang dari arti etimologi atau tata bahasa, kata visum atau visa berarti tanda melihat atau melihat yang artinya penandatanganan dari barang bukti tentang segala sesuatu hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan, sedangkan Repertum berarti melapor yang artinya apa yang telah didapat dari pemeriksaan dokter terhadap korban. Secara etimologi visum et repertum adalah apa yang dilihat dan diketemukan.Menurut Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350 Visum et repertum adalah laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya.Abdul Munim Idris memberikan pengertian visum et repertum adalah suatu laporan tertulis dari dokter yang telah disumpah tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti yang diperiksanya serta memuat pula kesimpulan dari pemeriksaan tersebut guna kepentingan peradilan.Dari pengertian visum et repertum tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa visum et repertum adalah keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan ditemukan dalam melakukan pemeriksaan barang bukti guna kepentingan peradilan. Jadi dalam hal ini visum et repertum merupakan kesaksian tertulis dalam proses peradilan.Menurut pendapat Tjan Han Tjong, visum et repertum merupakan suatu hal yang penting dalam pembuktian karena menggantikan sepenuhnya corpus delicti (tanda bukti). Seperti diketahui dalam suatu perkara pidana yang menyangkut perusakan tubuh dan kesehatan serta membinasakan nyawa manusia, maka tubuh si korban merupakan corpus delicti.2.1.2 Jenis Visum et repertum Sebagai suatu hasil pemeriksaan dokter terhadap barang bukti yang diperuntukkan untuk kepentingan peradilan, visum et repertum digolongkan menurut obyek yang diperiksa sebagai berikut :1. Visum et repertum untuk orang hidup.Jenis ini dibedakan lagi dalam :1. 1. Visum et repertum biasa. Visum et repertum ini diberikan kepada pihak peminta (penyidik) untuk korban yang tidak memerlukan perawatan lebih lanjut.2. Visum et repertum sementara. Visum et repertum sementara diberikan apabila korban memerlukan perawatan lebih lanjut karena belum dapat membuat diagnosis dan derajat lukanya. Apabila sembuh dibuatkan visum et repertum lanjutan.3. Visum et repertum lanjutan. Dalam hal ini korban tidak memerlukan perawatan lebih lanjut karena sudah sembuh, pindah dirawat dokter lain, atau meninggal dunia.2. Visum et repertum untuk orang mati (jenazah).Pada pembuatan visum et repertum ini, dalam hal korban mati maka penyidik mengajukan permintaan tertulis kepada pihak Kedokteran Forensik untuk dilakukan bedah mayat (outopsi).1. Visum et repertum Tempat Kejadian Perkara (TKP). Visum ini dibuat setelah dokter selesai melaksanakan pemeriksaan di TKP.2. Visum et repertum penggalian jenazah. Visum ini dibuat setelah dokter selesai melaksanakan penggalian jenazah.3. Visum et repertum psikiatri yaitu visum pada terdakwa yang pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan menunjukkan gejala-gejala penyakit jiwa.4. Visum et repertum barang bukti, misalnya visum terhadap barang bukti yang ditemukan yang ada hubungannya dengan tindak pidana, contohnya darah, bercak mani, selongsong peluru, pisau.2.1.3 Bentuk Umum Visum et repertum Agar didapat keseragaman mengenai bentuk pokok visum et repertum, maka ditetapkan ketentuan mengenai susunan visum et repertum sebagai berikut :1. Pada sudut kiri atas dituliskan PRO YUSTISIA, artinya bahwa isi visum et repertum hanya untuk kepentingan peradilan.2. Di tengah atas dituliskan Jenis visum et repertum serta nomor visum et repertum tersebut.3. Bagian Pendahuluan, merupakan pendahuluan yang berisikan : 1. Identitas peminta visum et repertum.2. Identitas surat permintaan visum et repertum.3. Saat penerimaan surat permintaan visum et repertum.4. Identitas dokter pembuat visum et repertum.5. Identitas korban/barang bukti yang dimintakan visum et repertum.6. Keterangan kejadian sebagaimana tercantum di dalam surat permintaan visum et repertum.4. Bagian Pemberitaan, merupakan hasil pemeriksaan dokter terhadap apa yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti.5. Bagian Kesimpulan, merupakan kesimpulan dokter atas analisa yang dilakukan terhadap hasil pemeriksaan barang bukti.6. Bagian Penutup, merupakan pernyataan dari dokter bahwa visum et repertum ini dibuat atas dasar sumpah dan janji pada waktu menerima jabatan.7. Di sebelah kanan bawah diberikan Nama dan Tanda Tangan serta Cap dinas dokter pemeriksa.Dari bagian visum et repertum sebagaimana tersebut diatas, keterangan yang merupakan pengganti barang bukti yaitu pada Bagian Pemberitaan. Sedangkan pada Bagian Kesimpulan dapat dikatakan merupakan pendapat subyektif dari dokter pemeriksa.2.1.4 Peranan dan kedudukan Visum et repertum Visum et repertum adalah keterangan yang dibuat dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, hidup maupun mati, ataupun bagian/diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah untuk kepentingan peradilan. Penegak hukum mengartikan visum et repertum sebagai laporan tertulis yang dibuat dokter berdasarkan sumpah atas permintaan yang berwajib untuk kepentingan peradilan tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya.Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Visum et repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam Pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai benda bukti. Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di bagian Kesimpulan.Dengan demikian visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan membaca visum et repertum dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh/jiwa manusia.Tugas pokok seorang dokter dalam membantu pengusutan tindak pidana terhadap kesehatan dan nyawa manusia ialah pembuatan visum et repertum sehingga bekerjanya harus obyektif dengan mengumpulkan kenyataan-kenyataan dan menghubungkannya satu sama lain secara logis untuk kemudian mengambil kesimpulan maka oleh karenanya pada waktu memberi laporan pemberitaan dari visum et repertum itu harus yang sesungguh-sesungguhnya dan seobyektif-obyektifnya tentang apa yang dilihat dan ditemukannya pada waktu pemeriksaan. Dengan demikian visum et repertum merupakan kesaksian tertulis. Maka visum et repertum sebagai pengganti peristiwa yang terjadi dan harus dapat mengganti sepenuhnya barang bukti yang telah diperiksa dengan memuat semua kenyataan sehingga akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan yang tepat. Selain daripada itu visum et repertum mungkin dipakai pula sebagai dokumen dengan mana dapat ditanyakan pada dokter lain tentang barang bukti yang telah diperiksa apabila bersangkutan (jaksa, hakim) tidak menyetujui hasil pemeriksaan tersebut.Maka visum et repertum merupakan suatu hal yang penting dalam pembuktian karena menggantikan sepenuhnya Corpus Delicti (tanda Bukti). Seperti diketahui dalam suatu perkara pidana yang menyangkut perusakan tubuh dan kesehatan serta membinasakan nyawa manusia, maka si tubuh korban merupakan Corpus Delicti. maka oleh karenanya Corpus Delicti yang demikian tidak mungkin disediakan atau diajukan pada sidang pengadilan dan secara mutlak harus diganti oleh Visum et repertum. Dan tentunya kedudukan seorang dokter di dalam penanganan korban kejahatan dengan menerbitkan visum et repertum seharusnya disadari dan dijamin netralitasnya, karena bantuan profesi dokter akan sangat menentukan adanya kebenaranSehubungan dengan peran visum et repertum yang semakin penting dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan misalnya, pangaduan atau laporan kepada pihak kepolisian baru akan dilakukan setelah tindak pidana perkosaan berlangsung lama sehingga tidak lagi ditemukan tanda-tanda kekerasan pada diri korban. Jika korban dibawa ke dokter untuk mendapatkan pertolongan medis, maka dokter punya kewajiban untuk melaporkan kasus tersebut ke polisi atau menyuruh keluarga korban untuk melapor ke polisi. Korban yang melapor terlebih dahulu ke polisi pada akhirnya juga akan dibawa ke dokter untuk mendapatkan pertolongan medis sekaligus pemeriksaan forensik untuk dibuatkan visum et repertum nya. Sebagai dokter klinis, pemeriksa bertugas menegakkan diagnosis dan melakukan pengobatan. Adanya kemungkinan terjadinya kehamilan atau penyakit akibat hubungan seksual (PHS) harus diantisipasi dan dicegah dengan pemberian obat-obatan. Pengobatan terhadap luka dan keracunan harus dilakukan seperti biasanya. Pengobatan secara psikiatris untuk penanggulangan trauma pasca perkosaan juga sangat diperlukan untuk mengurangi penderitaan korban.Maka sebagai dokter forensik mempunyai tugas untuk memeriksa dan mengumpulkan berbagai, bukti yang berkaitan dengan pemenuhan unsur-unsur delik seperti yang dinyatakan oleh undang-undang, dan menyusun laporan visum et repertum. Maka dari itu keterangan ahli berupa visum et repertum tersebut akan menjadi sangat penting dalam pembuktian, sehingga visum et repertum akan menjadi alat bukti yang sah karena berdasarkan sumpah atas permintaan yang berwajib untuk kepentingan peradilan, sehingga akan membantu para petugas kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman dalam mengungkap suatu perkara pidana.Apabila visum et repertum belum dapat menjernihkan persoalan di sidang pengadilan maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru seperti yang tercantum dalam KUHAP yang memberi kemungkinan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan (pasal 180 KUHAP).2.2 Penyidikan2.2.1 Pengertian R. Soesilo mengemukakan pengertian penyidikan ditinjau dari sudut kata sebagai berikut : Penyidikan berasal dari kata sidik yang berarti terang. Jadi penyidikan mempunyai arti membuat terang atau jelas. Sidik berarti juga bekas, sehingga menyidik berarti mencari bekas-bekas, dalam hal ini bekas-bekas kejahatan, yang berarti setelah bekas-bekas ditemukan dan terkumpul, kejahatan menjadi terang. Bertolak dari kedua kata terang dan bekas dari arti kata sidik tersebut, maka penyidikan mempunyai pengertian membuat terang suatu kejahatan.Pasal 1 angka 13 Undang-undang Th.2002 No.2 tentang Kepolisian RI serta Pasal 1 angka 2 KUHAP memberikan pengertian yang sama tentang tindakan penyidikan, yaitu Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.2.2.2 Fungsi PenyidikanFungsi penyidikan sebagaimana tugas dan tujuan dari hukum acara pidana ialah mencari dan menemukan kebenaran materiil yaitu kebenaran menurut fakta yang sebenarnya. Abdul Munin Idris dan Agung Legowo Tjiptomartono mengemukakan mengenai fugsi penyidikan sebagai berikut : Fungsi penyidikan adalah merupakan fungsi teknis reserse kepolisian yang mempunyai tujuan membuat suatu perkara menjadi jelas, yaitu dengan mencari dan menemukan kebenaran materiil yang selengkap-lengkapnya mengenai suatu perbuatan pidana atau tindak pidana yang terjadi.Sedangkan R.Soesilo menyamakan fungsi penyidikan dengan tugas penyidikan sebagai berikut : Sejalan dengan tugas Hukum Acara Pidana maka tugas penyidikan perkara adalah mencari kebenaran materiil yaitu kebenaran menurut fakta yang sebenar-benarnyaDapat disimpulkan bahwa fungsi penyidikan adalah untuk mencari dan mengumpulkan fakta dan bukti sebanyak-banyaknya untuk mencapai suatu kebenaran materiil yang diharapkan dan untuk meyakinkan bahwa suatu tindak pidana tertentu telah dilakukan.2.2.3 Pejabat Penyidik, Tugas dan KewenangannyaMengenai pejabat yang berwenang melakukan tindakan penyidikan, Pasal 1 butir 1 KUHAP menyatakan bahwa : Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan, hal ini disebutkan juga pada pasal 6 ayat (1) KUHAP.Pada pasal 6 ayat (2) KUHAP pasal tersebut ditentukan mengenai syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Dalam Peraturan Pemerintah RI No. 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, pada bab II pasal 2 ditentukan syarat kepangkatan Penyidik adalah sebagai berikut :(1) Penyidik adalah :1. Pejabat Polisi Negara RI tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi;2. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b) atau yang disamakan dengan itu.(2) Dalam hal di suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, maka Komandan Sektor Kepolisian yang berpangkat Bintara di bawah Pembantu Letnan Dua Polisi karena jabatannya adalah penyidik.Berdasarkan pengertian secara yuridis maka tugas seorang penyidik yaitu mencari serta mengumpulkan bukti atas suatu peristiwa yang telah ternyata sebagai tindak pidana, untuk membuat terang tindak pidana tersebut dan guna menemukan pelakunya.Mengenai wewenang penyidik diatur dalam KUHAP maupun dalam Undang-undang Tahun 2002 Nomor 2 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam pasal 7 ayat (1) KUHAP ditentukan mengenai wewenang penyidik, dimana disebutkan bahwa karena kewajibannya penyidik mempunyai wewenang :1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;2. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;3. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;4. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;5. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;6. mengambil sidik jari dan memotret seorang;7. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;8. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;9. mengadakan penghentian penyidikan;10. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.Mulai dilakukannya penyidikan suatu perkara pada tindak pidana oleh penyidik diberitahukan kepada penuntut umum dengan diserahkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) sesuai dengan Pasal 109 ayat (1) KUHAP. Setelah bukti-bukti terkumpul dan yang diduga sebagai tersangkanya telah ditemukan selanjutnya penyidik menilai dengan cermat, apakah cukup bukti untuk dilimpahkan kepada penuntut umum atau ternyata bukan merupakan tindak pidana. Jika penyidik berpendapat bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana maka penyidikan dihentikan demi hukum.Berdasarkan Pasal 110 ayat (4) KUHAP, penyidikan dianggap selesai jika dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan mengenai hal tersebut dari penuntut umum kepada penyidik. Setelah penyidikan dianggap selesai, maka penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum. Pemeriksaan pada tahap penyidikan merupakan tahap awal dari keseluruhan proses pidana. Tujuan penyidikan adalah untuk memperoleh keputusan dari penuntut umum apakah telah memenuhi persyaratan untuk dapat dilakukan penuntutan.2.2.4 Hukum PidanaDari rumusan-rumusan definisi hukum pidana yang ada, menurut Moeljatno dapat disimpulkan bahwa :Hukum pidana mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :a. menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut (criminal act),b.menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan (criminal responsibility);c.menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.3.1 Peran Visum et repertum dalam Penyidikan Tindak Pidana di IndonesiaBaik di dalam Kitab Hukum Acara Pidana yang lama, yaitu RIB maupun Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak ada satu pasal pun yang memuat perkataan visum et repertum. Hanya di dalam Staatsblad tahun 1937 No 350 pasal 1 dan pasal 2 yang menyatakan bahwa visum et repertum adalah suatu keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas sumpah atau janji tentang apa yang dilihat pada benda yang diperiksanya yang mempunyai daya bukti dalam perkara-perkara pidana.Di dalam KUHAP terdapat pasal-pasal yang berkaitan dengan kewajiban dokter, untuk membantu peradilan, yaitu dalam bentuk: Keterangan ahli; Pendapat orang ahli; Ahli Kedokteran Kehakiman; Dokter; dan Surat Keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya (KUHAP: pasal 187 butir c).Menurut KUHAP pasal 184 ayat 1, yang dimaksudkan dengan alat bukti yang sah, yaitu:1. Keterangan saksi;2. Keterangan ahli;3. Surat;4. Petunjuk;5. Keterangan terdakwa.Disebutkan pada KUHAP pasal 186 bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Selain itu, keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.Apabila ditinjau dari Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350 yang memberikan definisi Visum et repertum, maka sebagai alat bukti Visum et repertum termasuk alat bukti surat karena keterangan yang dibuat oleh dokter dituangkan dalam bentuk tertulis. Di samping itu pada Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP mengenai alat bukti surat serta Pasal 187 huruf c yang menyatakan bahwa : Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah : c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya. Dari keterangan di atas, maka Visum et repertum dapat diartikan sebagai keterangan ahli maupun sebagai surat.Sebagai suatu keterangan tertulis yang berisi hasil pemeriksaan seorang dokter ahli terhadap barang bukti yang ada dalam suatu perkara pidana, maka Visum et repertum mempunyai peran sebagai berikut :1. Sebagai alat bukti yang sah.Hal ini sebagaimana disebutkan dalam KUHAP pasal 184 ayat (1) jo pasal 187 huruf c.1. Bukti penahanan tersangka.Di dalam suatu perkara yang mengharuskan penyidik melakukan penahanan tersangka pelaku tindak pidana, maka penyidik harus mempunyai bukti-bukti yang cukup untuk melakukan tindakan tersebut. Salah satu bukti adalah akibat tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka terhadap korban. Visum et repertum yang dibuat oleh dokter dapat dipakai oleh penyidik sebagai pengganti barang bukti untuk melengkapi surat perintah penahanan tersangka.1. Sebagai bahan pertimbangan hakim.Meskipun bagian kesimpulan Visum et repertum tidak mengikat hakim, namun apa yang diuraikan di dalam Bagian Pemberitaan sebuah visum et repertum adalah merupakan bukti materiil dari sebuah akibat tindak pidana, di samping itu Bagian Pemberitaan ini adalah dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti yang telah dilihat dan ditemukan oleh dokter. Dengan demikian dapat dipakai sabagai bahan pertimbangan bagi hakim yang sedang menyidangkan perkara tersebut.Visum et repertum dibuat dan dibutuhkan di dalam kerangka upaya penegakan hukum dan keadilan, dengan perkataan lain yang berlaku sebagai konsumen atau pemakai Visum et repertum adalah perangkat penegak hukum, yaitu pihak penyidik sebagai instansi pertama yang memerlukan Visum et repertum guna memperjelas suatu perkara pidana yang telah terjadi, khususnya yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia.Di dalam KUHAP, yang diminta dalam visum et repertum adalah keterangan ahli, dengan demikian tidak terbatas hanya dalam penentuan sebab kematian saja. Visum et repertum harus mencakup keterangan-keterangan yang diberikan oleh dokter kepada pihak penyidik agar penyidik dapat melakukan tugasnya, yaitu memperjelas suatu perkara pidana. Hal ini tergantung dari kasus atau obyek yang diperiksa oleh dokter yang bersangkutan.1. Barang bukti yang diperiksa adalah mayat yang diduga atau diketahui merupakan akibat dari suatu tindak pidana. Dalam hal ini keterangan atau kejelasan yang harus diberikan oleh dokter kepada pihak penyidik adalah:1. Menentukan identitasDalam hal ini dokter dengan metode identifikasi harus dapat menentukan secara pasti identitas korban, walaupun hasil dari penentuan tersebut tidak tertutup kemungkinan berbeda dengan identitas menurut pihak penyidik. Dengan dapat ditentukannya identitas secara ilmiah, pihak penyidik akan dapat membuat suatu daftar tersangka, yang akan berguna di dalam penyidikan. Hal tersebut berpijak pada kenyataan bahwa kebanyakan dari korban telah mengenal siapa pelakunya (ada korelasi antara korban dengan pelaku). Apabila sebab kematian dapat ditentukan sedangkan identitas tidak dapat diketahui, hal ini akan menyulitkan bagi pihak penyidik, tidak jarang penyidikan akan menemukan jalan buntu.1. Memperkiarakan saat kematianDari pemeriksaan mayat yang cermat tentang lebam mayat, kaku mayat, suhu tubuh, keadaan isi lambung serta perubahan post-mortal lainnya, maka dokter dapat memperkirakan saat kematian. Dan bila ditambah dengan informasi yang diperoleh dari para saksi di tempat kejadian perkara (TKP), maka perkiraan saat kematian lebih mendekati sebenarnya.Adapun manfaat dari perkiraan saat kematian tersebut adalah untuk membantu pihak penyidik dalam mempersempit daftar tersangka dari daftar semula yang dibuat atas dasar penentuan identitas korban, yaitu dengan mempelajari alibi dari para tersangka tersebut. Dengan demikian penyidikan akan dipersempit dan lebih terarah.1. Menentukan sebab kematianPrinsip dalam menentukan sebab kematian adalah bahwa sebab kematian hanya dapat ditentukan melalui pembedahan mayat (otopsi), dengan atau tanpa disertai pemeriksaan tambahan (pemeriksaan laboratorium: toksikologi, patologi anatomi, dan sebagainya). Bagi pihak penyidik sebab kematian sangat berguna di dalam menentukan antara lain senjata yang dipergunakan oleh pelaku, racun yang dipakai, dikaitkan dengan kelainan atau perubahan yang ditemukan pada diri korban. Bila korban tewas akibat penembakan, maka pihak penyidik akan dapat mempersempit lagi daftar tersangka pelaku kejahatan yang dihasilkan dari perkiraan saat kematian. Bila korban tewas akibat tusukan benda tajam, maka pihak penyidik akan dapat mencari dengan tepat benda tajam yang bagaimana yang dapat dijadikan sebagai barang bukti.1. Menentukan atau memperkirakan cara kematianPenentuan atau perkiraan cara kematian akan membantu penyidik dalam menentukan langkah yang harus dilakukan. Bila cara kematian korban adalah wajar, yaitu karena penyakit, maka pihak penyidik akan dapat dengan segera menghentikan penyidikan. Bila kematiannya ternyata tidak wajar, misalnya karena pembunuhan, maka pihak penyidik dapat pula menentukan langkah yang harus dilakukan. Demikian pula halnya bila kasus yang dihadapi adalah kasus bunuh diri atau kasus kecelakaan.Walaupun dokter tidak boleh memastikan cara kematian secara jelas di dalam Visum et repertum (oleh karena tidak melihat proses kejadian melainkan memberikan suatu penilaian tentang hasil akhir dari suatu proses), dokter harus dapat menjelaskan hal tersebut secara tersirat di dalam kesimpulan Visum et repertum yang dibuatnya. Dengan menyatakan bahwa sebab kematian adalah karena penyakit jantung serta tidak ditemukannya tanda-tanda kekerasan, ini mengarahkan penyidik kepada kematian yang wajar non kriminal. Dengan menuliskan bahwa pada korban didapatkan tanda-tanda mati lemas, adanya jejas jerat pada leher serta tidak ditemukannya tanda-tanda kekerasan pada mayat yang tergantung, sebenarnya dokter mengarahkan penyidik pada kasus bunuh diri. Dengan menyatakan bahwa pada korban didapatkan luka tembak masuk pada belakang kepala atau punggung, hal ini mengarahkan penyidik pada kasus pembunuhan.Selain keterangan atau kejelasan yang perlu disampaikan oleh dokter melalui Visum et repertum tersebut di atas, maka di dalam kasus-kasus khusus diperlukan kejelasan lain, yaitu:1. Pada kasus penembakanApakah benar luka pada korban adalah luka tembak; luka tembak masuk atau luka tembak keluar; diameter anak peluru dan kaliber serta jenis senjata api yang dipergunakan; jarak penembakan; posisi korban dan posisi penembak; berapa kali korban ditembak dan apakah luka tembak tersebut yang menyebabkan kematian serta luka tembak mana yang menyebabkan kematian bila terdapat lebih dari satu luka tembak masuk.1. Pada kasus penusukanJenis senjata dan perkiraan lebar maksimal senjata tajam yang masuk pada tubuh korban.1. Pada kasus pembunuhan anakApakah dilahirkan hidup atau lahir mati, ada tidaknya tanda-tanda perawatan, maturitas serta viabilitas.1. Pada kasus pengeroyokanJenis kekerasan dan jenis luka, luka mana dan akibat senjata yang bagaimana yang menyebabkan kematian pada korban (prinsip: hanya terdapat satu penyebab kematian).1. Pada kasus kecelakaan lalu lintasPenyebab terjadinya kecelakaan dilihat dari faktor korban (korban yang mabuk atau dalam pengaruh obat); serta perkiraan jangka waktu antara terjadinya kecelakaan dan kematian, yang dikaitkan dengan penentuan faktor apa saja yang menyebabkan kematian, kecelakaan itu sendiri atau keterlambatan pertolongan yang diberikan karena adanya hambatan dalam transportasi korban, dan sebagainya.1. Barang bukti yang diperiksa adalah korban hidup pada kasus perlukaan (penganiayaan), selain identitas korban perlu diberikan kejelasan perihal jenis luka dan jenis kekerasan serta kualifikasi luka, dimana kualifikasi luka dapat menentukan berat ringannya hukuman bagi pelaku, yang pada taraf penyidikan dapat dikaitkan dengan pasal dalam KUHAP yang dapat dikenakan pada diri tersangka, yang berkaitan pula dengan alasan penahanan.2. Di dalam kasus kejahatan seksual, maka kejelasan lain yang diperlukan adalah: Ada tidaknya tanda-tanda persetubuhan, Ada tidaknya tanda-tanda kekerasan, Perkiraan umur, dan Menentukan pantas tidaknya korban untuk dikawin.Bilamana persetubuhan dapat dibuktikan, perlu kejelasan perihal kapan terjadinya persetubuhan tersebut. Hal ini diperlukan untuk mengetahui alibi dari tersangka pelaku kejahatan.1. Di dalam kasus psikiatrik, maka Visum et repertum yang dibuat haruslah dapat memberikan kejelasan di dalam hal: Apakah pelaku kejahatan atau pelanggaran mempunyai penyakit jiwa Apakah kejahatan atau pelanggaran tersebut merupakan produk dari penyakit jiwa tersebutPenjelasan bagaimana psikodinamiknya sampai kejahatan atau pelanggaran itu dapat terjadi.3.2 Hambatan Visum et repertum 1. Hambatan dalam pembuatan antara lain adalah jauhnya rumah sakit dan terbatasnya tenaga kedokteran kehakiman yang membuat visum et repertum (Widy Hargus, 2010).2. Hambatan dalam penerapan adalah, pembuatan Visum et repertum terkadang kurang lengkap dan pembuatan Visum et repertum tidak dilakukan sesegera mungkin. (Widy Hargus, 2010).3. Keadaan mayat sudah membusuk. Keadaan seperti ini dapat mempengaruhi hasil dari visum. Biasanya organ tubuh yang memberikan hasil positif untuk pemeriksaan toksikologi sudah mengalami pembusukan maka dapat mengakibatkan hasil menjadi negatif. (Edward Sinaga, 2010).4. Kurangnya koordinasi antara penyidik dengan dokter yang mengakibatkan prosedur permintaan visum menjadi memakan waktu yang lama (Edward Sinaga, 2010).5. Dari pihak penyidik seperti keterlambatan permintaan visum, (Husnul Muasyaroh, 2002).6. Dari pihak keluarga karena tidak mengijinkan dilakukannya autopsi (Husnul Muasyaroh, 2002).7. Dari pihak dokter karena butuh tempat untuk melaksanakan pemeriksaan lanjutan (Husnul Muasyaroh, 2002).8. Untuk korban kecelakaan yang hidup, banyak korban yang menolak untuk dilakukan visum et repertum oleh karena belum mengetahui manfaat dan kegunaaannya (Budi Sampurna, 2007).Adanya hambatan-hambatan seperti yang disebutkan diatas yang terjadi dalam pelaksanaan visum et repertum memerlukan solusi. Diantaranya dengan memperbaiki koordinasi antara penyidik dan dokter sehingga SPVR datang tepat waktu dan visum dapat dilakukan dengan cepat.Dapat pula menambah pengetahuan dan keterampilan dalam membuat visum dengan cara membuat SOP (standar operasional). Motivasi kepada korban hidup ataupun korban meninggal tentang tujuan dan pentingnya otopsi. Mengadakan kerjasama lintas sektoral mengeenai perbaikan sarana dan prasarana yang mungkin dibutuhkan dalam pemeriksaan visum et repertum.BAB 3KESIMPULANPemeriksaan suatu perkara pidana dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya bertujuan mencari kebenaran materiil terhadap perkara tersebut. Usaha-usaha yang dilakukan oleh para penegak hukum untuk mencari kebenaran materiil tersebut dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang. Dalam kasus-kasus tertentu, penyidik sangat bergantung terhadap keterangan ahli untuk mengungkap lebih jauh suatu peristiwa pidana yang sedang ditanganinya.Pada KUHAP pasal 186 bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Selain itu, keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.Dalam upaya penegakan hukum dan keadilan, visum et repertum merupakan perangkat penegak hukum yaitu penyidik guna memperjelas suatu perkara pidana yang telah terjadi, khususnya yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia.Di dalam KUHAP terdapat pasal-pasal yang berkaitan dengan kewajiban dokter, untuk membantu peradilan, yaitu dalam bentuk: Keterangan ahli; Pendapat orang ahli; Ahli Kedokteran Kehakiman; Dokter; dan Surat Keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya.Tugas seorang dokter dalam membantu pengusutan tindak pidana terhadap kesehatan dan nyawa manusia ialah pembuatan visum et repertum sehingga harus obyektif tentang apa yang dilihat dan ditemukan dan secara logis kemudian mengambil kesimpulan. Dengan demikian visum et repertum merupakan kesaksian tertulis.Keterangan ahli berupa visum et repertum akan menjadi sangat penting dalam pembuktian, sehingga visum et repertum akan menjadi alat bukti yang sah karena berdasarkan sumpah atas permintaan yang berwajib untuk kepentingan peradilan. Walaupun dalam pengerjaanya visum et repertum terkadang mempunyai beberapa hambatan. Namun pembuktian terhadap unsur tindak pidana dari hasil pemeriksaan yang termuat dalam visum et repertum, dapat menentukan langkah yang diambil pihak kepolisian dalam mengusut suatu kasus.Top of Form

Bottom of FormTop of FormBottom of Form