case bell palsy

Upload: ratu-suci-angraini-hasibuan

Post on 08-Oct-2015

42 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

bell palsy, case, nerves 7

TRANSCRIPT

BELLS PALSY

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SYARAFRUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH

Pembimbing:dr. Julintari Indriyani, SpS.

Oleh:Andri Changat (030.09.018)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTIJAKARTANOVEMBER 2014

LEMBAR PENGESAHANBELLS PALSY

Case ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Syaraf Rumah Sakit Umum Daerah Budhi AsihPeriode 27 Oktober 29 November 2014

Oleh: 1. Nama: Andri Changat NIM: 030.09.018

Telah diterima dan disetujui oleh penguji,

Jakarta, November 2014

dr. Julintari Indriyani, SpS.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SYARAFRUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIHPROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

PENDAHULUAN

Bells palsy adalah suatu kelumpuhan saraf fasialis perifer yang bersifat unilateral, penyebabnya tidak diketahui (idopatik), akut dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran, kelainan neurologi lainnya.1Diagnosis biasanya ditegakkan bila semua penyebab yang mungkin telah disingkirkan.2

Sir Charles Bell (1774-1842) dari Singhi dan Cawthorne3adalah orang pertama yang meneliti tentang sindroma kelumpuhan saraf fasialis dan sekaligus meneliti tentang distribusi dan fungsi saraf fasialis. Oleh karena itu nama Bell diambil untuk diagnosis setiap kelumpuhan saraf fasialis perifer yang tidak diketahui penyebabnya. Insiden Bells palsy dilaporkan sekitar 40-70% dari semua kelumpuhan saraf fasialis perifer akut.2Prevalensi rata-rata berkisar antara 1030 pasien per 100.000 populasi per tahun dan meningkat sesuai pertambahan umur. Insiden meningkat pada penderita diabetes dan wanita hamil. Sekitar 8-10% kasus berhubungan dengan riwayat keluarga pernah menderita penyakit ini.2,4,5

Berdasarkan epidemiologi, Bells palsy dapt menyerang berbagai kelompok usia, prevalensi laki-laki dan wanita sama. Berdasarkan penyebab, bells palsy dikaitkan dengan faktor resiko paparan udara dingim terhadap wajah, infeksi seperti Herpes Simpleks Virus yeng menyerang ganglion genikulatum, penyakit autoimun, penyakit mikrovaskuler, dan proses inflamasi.

Tujuan penatalaksanaan Bells palsy adalah untuk mempercepat penyembuhan, mencegah kelumpuhan parsial menjadi kelumpuhan komplit, meningkatkan angka penyembuhan komplit, menurunkan insiden sinkinesis dan kontraktur serta mencegah kelainan pada mata. Pengobatan seharusnya dilakukan sesegera mungkin untuk mencegahpengaruh psikologi pasien terhadap kelumpuhan saraf ini. Disamping itu kasus Bells palsy membutuhkan kontrol rutin dalam jangka waktu lama.6

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien Nama: Ny. MS Jenis Kelamin: Perempuan Usia: 50 tahun Alamat: Jl. Kalibata, Jakarta Agama: Islam Pekerjaan: Ibu Rumah Tangga Status Pernikahan: Menikah Pendidikan Terakhir: SMA Tanggal Datang ke RS: 28 Oktober 2014 Nomor CM: 17 77 17

II. Anamnesis(Dilakukan secara autoanamnesis di Poli Neurologi pada hari Selasa, 28 Oktober 2014 pukul 10.00) Keluhan Utama: Tidak bisa menutup mata kanan Riwayat Penyakit Sekarang:Pasien datang ke Poli Neurologi karena tidak bisa menutup mata kanan sejak 4 hari yang lalu tanggal 24 Oktober 2014 kira kira pukul 10.00 pagi. Pasien juga mengeluhkan tidak bisa mengangkat alis yang sebelah kanan juga. Sebelumnya tidak didapatkan adanya riwayat demam, sakit kepala, nyeri pada otot. Tidak didapatkan adanya riwayat nyeri telinga, keluar secret dari liang telinga, telinga berdengung dan penurunan pendengaran. Riwayat susah menelan disangkal, tidak ada gangguan pengecapan. Pandangan buram dan pandangan ganda disangkal. Pasien menyangkal adanya riwayat terpapar AC atau kipas angin secara terus menerus di wajah. Pasien sering naik motor dan terkena angin. Tidak ada mual muntah dan tidak ada riwayat pingsan sebelumnya. Tidak ada riwayat kelemahan pada sebelah tubuh. Pada tanggal 24 Oktober 2014 pukul 22.00, pasien sempat datang ke UGD dan diberikan obat Amlodipine 1x5mg, Asam Mefenamat 1x500mg bila nyeri, Acyclovir 4x400mg, Ranitidine 2x150mg dan Dexametason 4x1mg, tetapi keluhan tidak kunjung berkurang Riwayat Penyakit Dahulu:Pasien memiliki riwayat hipertensi yang terkontrol dengan obat Captopril yang diminum secara oral 3 x 25 mg/hari. Riwayat diabetes mellitus disangkal. Riwayat Penyakit Keluarga:Tidak terdapat riwayat hipertensi, diabetes mellitus, riwayat stroke ataupun keluhan yang serupa seperti yang dialami pasien sekarang pada keluarga pasien. Faktor Risiko:Pasien tidak merokok, tidak minum alcohol dan tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan. Alergi:Riwayat alergi terhadap makanan ataupun obat disangkal oleh pasien.

III. Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum: Tampak Sakit Ringan Tanda Vital: Tekanan darah: 150/90 mmHg Nadi: 88 x/menit Laju pernafasan: 20 x/menit Suhu: 36,60C Status Generalis: Kepala: Normosefali Mata: Sklera ikterik -/- Konjungtiva anemis -/- Tampak ptosis pada kedua mata Hematom palpebrae -/- Hidung: Pernafasan cuping hidung (-) Deviasi septum (-) Mulut: Tidak tampak pucat Mukosa faring hiperemis (-) Arkus faring simetris +/+ Uvula tampak di tengah Leher: KGB tidak teraba membesar, JVP tampak dbn, dan kelenjar tiroid tidak teraba membesar Thorax: Gerakan nafas simetris SN vesikuler +/+ Rhonki -/- Wheezing -/- BJ I-II regular murmur (-) gallop (-) Abdomen: Tampak datar Bising usus (+) Nyeri tekan (-) Teraba supel Ekstremitas: Atas : Hangat +/+ Oedem -/- Bawah : Hangat +/+ Oedem -/- Status Neurologis: Kesadaran: Kualitatif: Compos mentis Pupil: Isokor 3mm RCL +/+ RCTL +/+Nystagmus (-)Dolls Eyes: (-)Gaze parese / Deviation conjugate -/- Tanda Rangsang Meningeal: tidak dilakukan pemeriksaan Pemeriksaan N. Cranialis: N. III, IV, VI: Baik N. VII: Parese NVII kanan perifer didapatkan adanya lagoftalmus OD dengan celah 7mm, alis sebelah kanan tidak terangkat, mulut sebelah kanan tertinggal ketika menyeringai. N. IX, X: Baik N. XI: Baik N. XII: Baik Pemeriksaan Sensorik: baik Pemeriksaan Motorik: 5555 5555 5555 5555 Refleks Fisiologis: Biceps: +/+ Triceps: +/+ Patella: +/+ Refleks Patologis: Babinsky: -/- Oppenheim: -/- Chaddock: -/- Hoffmann Trommer: -/-

IV. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium (24 Oktober 2014)Dari hasil laboratorium semua dalam batas normal EKG

EKG Normal

V. Resume:Pasien datang ke Poli Neurologi karena tidak bisa menutup mata kanan sejak 4 hari yang lalu tanggal 24 Oktober 2014 kira kira pukul 10.00 pagi. Pasien juga mengeluhkan tidak bisa mengangkat alis yang sebelah kanan juga. Sebelumnya tidak didapatkan adanya riwayat demam, sakit kepala, nyeri pada otot. Tidak didapatkan adanya riwayat nyeri telinga, keluar secret dari liang telinga, telinga berdengung dan penurunan pendengaran. Riwayat susah menelan disangkal, tidak ada gangguan pengecapan. Pandangan buram dan pandangan ganda disangkal. Pasien menyangkal adanya riwayat terpapar AC atau kipas angin secara terus menerus di wajah. Pasien sering naik motor dan terkena angin. Tidak ada mual muntah dan tidak ada riwayat pingsan sebelumnya. Tidak ada riwayat kelemahan pada sebelah tubuh. Pada tanggal 24 Oktober 2014 pukul 22.00, pasien sempat datang ke UGD dan diberikan obat Amlodipine 1x5mg, Asam Mefenamat 1x500mg bila nyeri, Acyclovir 4x400mg, Ranitidine 2x150mg dan Dexametason 4x1mg, tetapi keluhan tidak kunjung berkurang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah agak tinggi yaitu 150/90, sedangkan yang lain lain masih dalam batas normal. Dari hasil pemeriksaan neurologi didapatkan adanya parese nervus VII kanan perifer yang ditandai oleh adanya lagoftalmus OD dengan celah 7mm, tidak bisa mengangkat alis sebelah kanan dan mulut sebelah kanan tertinggal ketika menyeringai. Dari hasil laboratorium dan EKG tidak didapatkan adanya kelainan.

VI. Diagnosis: Diagnosis Kerja: Diagnosis klinis:Hipertensi gr. I, Lagoftalmus OD, Kelumpuhan wajah sebelah kanan Diagnosis topis:Nervus VII Dextra Perifer setinggi foramen stylomastoideus Diagnosis etiologi:Parese NVII dextra perifer Diagnosis patologi:Neuritis Iskemik

VII. Penatalaksanaan: Methylprednisolone (Lameson) 16mg 1x3 pada hari pertama dilanjutkan 1x2 hari kedua dan 1x1 hari ketiga kemudian dilanjutkan dengan Lameson 4mg 1x3 hari keempat kemudian 1x2 hari kelima dan 1x1 hari keenam. Mecobalamin 3x500 mcg

VIII. Prognosis: Ad vitam: bonam Ad fungsionam: bonam Ad sanationam: bonam

BAB IIIANALISA KASUS

Pada anamnesa didapatkan bahwa pasien tidak bisa menutup mata kanan sejak 4 hari yang lalu sebelum datang ke poli neurologi. Pasien juga mengeluhkan tidak bisa mengangkat alis yang sebelah kanan juga, Pada pasien tidak didapatkan adanya riwayat sakit kepala, mual muntah, penurunan kesadaran dan kelemahan pada sebelah tubuh. Tidak didapatkan adanya riwayat nyeri telinga, keluar secret dari liang telinga, telinga berdengung dan penurunan pendengaran. Riwayat susah menelan disangkal, tidak ada gangguan pengecapan. Pasien sering naik motor dan terkena angin. Berdasarkan hal diatas dapat kita tegakkan diagnosa Bells Palsy karena memenuhi kriteria diagnosis dari Tavernel (1954) dan Ronthal dkk (2012) yaitu:Kriteria Diagnosis Menurut Taverner (1954):A.Paralisis dari semua kelompok otot ekspresi wajah pada satu sisi wajahB.Onset yang tiba- tibaC.Tidak adanya tanda- tanda penyakit susunan saraf pusat (SSP)D.Tidak adanya tanda penyakit telinga dan penyakit cerebellopontine angle

Kriteria Diagnosis Menurut Ronthal dkk (2012):A.Terdapat suatu keterlibatan saraf fasialis yang difus yang digambarkan dengan paralisis dari otot- otot wajah, dengan atau tanpa kehilangan pengecapan pada dua pertiga anterior lidah atau sekresi yang berubah dari kelenjar saliva dan lakrimal. B.Onset akut, terjadi dalam 1 atau 2 hari, perjalanan penyakit progresif, mencapai kelumpuhan klinis paralisis maksimal dalam 3 minggu atau kurang dari hari pertama kelemahan terlihat; dan penyembuhan yang dijumpai dalam 6 bulan.

Dari anamnesis didapatkan juga bahwa faktor resiko pasien terkena Bells Palsy adalah pasien sering naik motor sehingga wajah pasien sering terpapar oleh angin. Hal ini menyebabkan terjadinya spasme arteriol segmental yang kemudian akan menyebabkan neuritis iskemik. Paralisis dapat terjadi karena terjadi edema pada saraf didalam rongga tulang diatas lesi sehingga menyebabkan blokade total dan disintegrasi saraf.

Dari hasil pemeriksaan neurologi didapatkan adanya parese nervus VII kanan perifer yang ditandai oleh adanya lagoftalmus OD dengan celah 7mm, tidak bisa mengangkat alis sebelah kanan dan mulut sebelah kanan tertinggal ketika menyeringai. Gejala-gejala yang didapatkan pasien merupakan imbas langsung adanya ganguan fungsi nervus facialis yang mempersarafi wajah untuk fungsi motorik dan sensoris, fungsi tulang-tulang pendengaran. Gangguan fungsi motorik (LMN) bersifat unilateral dan ipsilateral sesuai dengan persarafan N.VII yang mempersarafi otot orbikularis okuli, orbiculris oris, temporal, servikal, bukal, dan zygomatik, marginal mandibula. Kelumpuhan melibatkan bagian dahi dan bawah dari wajah. Pada pasien didapatkan ketidak mampuan untuk menutup mata atau tersenyum pada sisi yang terkena dan tidak didapatkan adanya gangguan lakrimasi, gangguan pendengaran, dan gangguan pengecapan. Hal ini menunjukkan bahwa Nervus VII yang terganggu hanya setinggi foramen stylomastoideus.

Pada pasien menurut House Brackmann Facial grading system kelainan parese nervus yang terjadi pada pasien termasuk grade 4 yaitu moderately severe dysfunction karena secara kasat mata kelemahan dan asimetri pada wajah sudah terlihat, ditambah lagi ketidakmampuan mata pasien dalam menutup matanya serta masih terlihat keadaan asimetris pada mulut pasien ketika disuruh tersenyum secara maksimal

Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien sempat datang ke UGD dan diberikan obat Acyclovir 4x400mg. Acyclovir disini adalah obat untuk infeksi virus. Beberapa literature menuliskan bahwa infeksi Virus Herpes Simpleks (HSV) juga merupakan penyebab tersering dari Bells Palsy. Setelah infeksi primer di mulut, virus dapat naik ke axon saraf sensorik dan menetap di ganglion geniculatum. Ketika stress atau terjadi penurunan sistem kekebalan, virus akan aktif kembali dan menyebabkan kerusakan lokal pada myelin. Tetapi karena setelah 4 hari pengobatan dengan obat antivirus tidak menunjukan perubahan apapun, terapi dengan obat antivirus dapat dihentikan, karena kemungkinan Bells Palsy pada pasien ini tidak ada hubungannya dengan infeksi HSV.Pada pasien kemudian diberikan penatalaksanaan berupa medikamentosa yaitu diberikan kortikosteroid berupa lameson 16 mg dan 4 mg dengan tappering off dan mecobalamin. Menurut Guideline dari American Academy of Neurology menjelaskan bahwa pemberian steroid sangatlah efektif dan dapat meningkatkan pengembalian fungsi Nervus VII pada onset baru. Steroid bekerja dengan cara mengurangi peradangan dan oedem pada saraf yang bengkak akibat proses iskemik yang terjadi. Dan diberikan mecobalamin atau vitamin B12 untuk membantu memperbaiki fungsi saraf.Prognosis pada pasien ini bonam adalah karena 75% kasus Bells Palsy akan sembuh sendiri secara spontan, tergantung dari tinkat keparahan lesi dan kemampuan saraf itu sendiri untuk membentuk faradik stimulus. Ketika terjadi parsial paralisis dan saraf itu mampu membuat faradic stimulus maka dapat sembuh sendiri selama 2-3 minggu. Jika terjadi paralisis total selama 2 minggu, saraf yang mati akan kehilangan kemampuan untuk menciptakan faradik stimulus sehingga kehilangan kemampuan untuk menyembuhkan diri sendiri. Pada saat inilah dapat dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan.Pembedahan yang dilakukan adalah untuk dekompresi. Pada pembedahan dilakukan pemotongan pada selubung saraf untuk mengurangi tekanan pada saraf yang bengkak. Dilakukan insisi pada post aural, kemudian bagian bawah dari prosesus mastoideus dibuka sampai selubung digastric nerve terlihat, kemudian ditelusuri hingga menemukan selubung Nervus VII di foramen stylomastoideus. Kemudian dilakukan insisi pada selubung nervus fasialis itu untuk memberi ruang lebih sehingga tekanan berkurang.

Daftar Pustaka

1. Vrabec JT, Coker NJ. Acute Paralysis of Facial Nerve in: Bailey BJ, Johnson JT, Newland SD, editors. Head &NeckSurgery-Otolaryngology.4thEd. Lippincott Williams & Wilkins; Texas; 2006. P. 2139-54.2. Marsk E,Hammarstedt L,Berg et al. Early Deterioration in Bells Palsy : Prognosis and Effect of Prednisolone. Otology & Neurotology. 2010; 31:1503-073. Cawthorne T. The Pathology and Surgical Treatment of Bells Palsy in: Section of Otology. Proceeding of the Royal Society of Medicine. 1950;44: 565-724. Rath B, Linder T, Cornblath D. All That Palsies is not Bells The Need to Define Bells Palsy as an Adverse event following immunization.Elsevier. 2007; 26:1-145. Tiemstra JD, Khatkhate N. Bells Palsy: Diagnosis and Management. American Family Physician. 2007;76(7): 997-10026. Holland J. Bells palsy. BMJ Publishing.2008; 1-8.

4